Emboli Paru New

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gawat Paru

Citation preview

EMBOLI PARU1. PENDAHULUANEmboli paru adalah suatu peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah arteri pulmonalis oleh peristiwa emboli.1 Keadaan ini dapat memberikan gambaran klinis dengan spektrum luas, mulai dari suatu gambaran klinis yang asimptomatik sampai keadaan yang mengancam nyawa berupa syok kardiogenik dan keadaan henti jantung yang tiba-tiba.2,3Emboli paru merupakan salah satu kegawatdaruratan kardiovaskular dimana terjadi oklusi pada pulmonary arterial bed yang mengakibatkan keadaan yang mengancam jiwa namun memiliki kemungkinan kegagalan ventrikel kanan yang reversibel. Bagaimanapun juga, diperlukan diagnosis cepat serta penatalaksanaan yang segera dalam menanganinya. Berdasarkan gambaran klinis, terapi inisial memiliki tujuan utama selain untuk live saving terhadap perbaikan aliran akibat oklusi arteri pulmonal tetapi juga sebagai pencegahan terhadap kejadian rekurens yang berpotensi lebih fatal. Penatalaksanaan awal maupun antikogulan jangka panjang yang diperlukan sebagai pencegahan sekunder haruslah dipertimbangkan pada setiap pasien dengan hasil diagnostik yang sesuai dan valid.4 Emboli paru dan DVT merupakan dua gambaran klinis dari thromboemboli vena dan memiliki faktor predisposisi yang sama. Pada sebagian besar kasus emboli paru memiliki konsekuensi yang sama dengan DVT. Sebagian besar pasien DVT proksimal, 50% memiliki hubungan dengan kejadian emboli paru pada scan paru-paru yang asimptomatik. Sekitar 70% pasien dengan emboli paru, kejadian DVT juga dapat ditemukan pada tungkai bawah pasien tersebut dengan pemerikasaan diagnostic yang akurat.14Resiko kematian pada episode akut emboli paru maupun emboli paru berulang lebih besar dibandingkan pada pasien yang hanya menderita DVT saja. Berdasarkan penelitian kohort, angka kejadian kasus emboli paru yang fatal berkisar 7-11%, dan juga angka rekurensi emboli paru setelah kejadian emboli paru pertama tiga kali lebih sering dibandingkan dengan setelah kejadian DVT ( sekitar 60% setelah emboli paru pertama vs 20% setelah DVT pertama).21Prevalensi emboli paru pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit di Amerika Serikat berdasarkan data yang dikumpulkan dari tahun 1979-1999 berkisar 0.4%.22Namun hanya 40-53 dari 100.000 pasien saja yang didiagnosis emboli paru per tahun, dengan angka insidensi di Amerika Serikat diperkirakan 600.000 kasus, sedangkan data untuk Eropa belum tersedia.23 Dari beberapa data di Amerika Serikat, analisis dari 2356 autopsi yang dilakukan pada tahun 1987 pada 79% penduduk yang meninggal di kota Malmo, Swedia dengan popuasi 230.000 orang didapatkan 595 kasus (25%) thromboemboli vena dengan kejadian emboli paru ditemukan sekitar 431 kasus (18.3%).24 Pada 308 kasus autopsi (13.1%), emboli paru disangkakan sebagai penyebab utama kematiannya. Insidens emboli paru, sebagaimana didiagnosa dengan scintigrafi paru-paru, pada populasi dan periode yang sama berkisar 48 kasus (2%) dari seluruh daerah di Malmo. Dari hasil autopsi, plebografi dan scintigrafi paru diperkirakan insidensi thromboemboli vena di kota Malmo sekitar 42.5/10.000 kematian per tahun. Namun demikian, pendataan ulang pada daerah tersebut mengindikasikan bahwa insidens emboli paru sekitar 20.8/10.000 kematian per tahun. Pada data dari 342.000 kematian di Inggris, Prancis insidens thromboemboli vena dan emboli paru berkisar 18.3 dan 6.0 /10.000 per tahun, namun data dari hasil autopsi tidak tersedia.25Insidens emboli paru di Amerika Serikat dilaporkan hampir 200.000 kasus pertahun dengan angka kematian mencapai 15% yang menunjukkan bahwa penyakit ini masih merupakan problem yang menakutkan dan salah satu penyebab emergensi kardiovaskular yang tersering.5,6 Laporan lain menyebutkan bahwa emboli paru secara langsung menyebabkan 100.000 kematian dan menjadi faktor kontribusi kematian oleh penyakit-penyakit lainnya.6 Penyebab utama dari suatu emboli paru adalah tromboemboli vena, namun demikian penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli lemak, cairan amnion, fragmen tumor.8,9Diagnosis suatu emboli paru dapat ditegakkan dari penilaian gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berupa EKG, foto thoraks, laboratorium, D-dimer, pencitraan ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion scanning), CT angiografi thoraks dengan kontras, angiografi paru, dupleks ultrasound ekstremitas dan ekokardiografi transtorakal.8,10Penatalaksanaan khusus emboli paru dapat berupa pemberian antikoagulasi, trombolitik atau embolektomi baik dengan intervensi kateterisasi maupun dengan pembedahan.1,112. TUJUANMembahas perihal emboli paru dari sudut pandang patofisiologi dan faktor risiko sehingga dapat mendeteksi dan mendiagnosis secara tepat, sehingga penatalaksanaan pasien dapat tepat dan efektif.3. PATOFISIOLOGI

Walaupun emboli paru dapat terjadi pada pasien tanpa faktor predisposisi apapun, namun biasanya satu atau lebih faktor predisposisi dapat diidentifikasi pada pasien emboli paru (emboli paru sekunder). Thromboemboli vena merupakan kombinasi dari interaksi antara faktor resiko pasien maupun faktor resiko lingkungan, dimana faktor resiko lingkungan merupakan faktor predisposisi yang bersifat sementara.13 Faktor resiko pasien terdiri dari umur, riwayat thromboemboli vena sebelumya, kanker, penyakit neurologis yang berhubungan dengan paresis ekstremitas, penyakit lain yang menyebabkan berbaring lama, seperti gagal jantung atau gagal pernafasan akut, thrombofilia yang kongenital maupun didapat, serta terapi pengganti hormon maupun obat-obatan kontrasepsi.Insidens thromboemboli vena meningkat sebanding dengan umur dan juga kasus emboli paru idiopatik maupun sekunder. Rata-rata umur pasien dengan emboli paru adalah 62 tahun, sekitar 65% pasien berumur 60 tahun atau lebih. Pasien berumur diatas 80 tahun memiliki resiko 8 kali lebih tinggi daripada umur 50 tahun.13 Identifikasi gambaran klinis dan juga perkiraan dari faktor predisposisi yang terkait sangat membantu dalam penjajakan diagnosis penyakit ini serta berguna dalam pencegahan primer. Namun bagaimanapun, berdasarkan survey yang dilakukan pada 358 RS pada 32 negara hanya 58.5 dan 39.5% pasien yang beresiko thromboemboli vena yang disebabkan baik karena pengobatan maupun pembedahan yang menerima profilaksis yang adekuat.13Hubungan antara emboli paru idiopatik dan kejadian kardiovaskular termasuk diantaranya infark miokard dan stroke sudah dilaporkan. Laporan resiko tinggi kejadian emboli paru pada pasien obesitas, merokok dan juga dengan hipertensi serta sindroma metabolik memunculkan ketertarikan pada hubungan antara thromboemboli vena dengan thromboemboli arteri. Pada tahun 1856, Rudolf Virchow membuat suatu postulat bahwa ada tiga faktor yang dapat menimbulkan suatu keadaan koagulasi intravaskuler, trauma lokal pada dinding pembuluh darah, hiperkoagulabilitas darah, stasis vena.7,12 Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism13Trauma lokal pada dinding pembuluh darah dapat terjadi oleh karena cedera pada dinding pembuluh darah, kerusakan endotel vaskular khususnya dikarenakan trombophlebitis sebelumnya. Sedangkan keadaan hiperkoagulabilitas darah dapat disebabkan oleh terapi obat-obatan tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone replacement therapy dan steroid. Disamping itu masih ada sejumlah faktor genetik yang menjadi faktor predisposisi suatu trombosis. Sementara stasis vena dapat terjadi akibat immobilisasi yang berkepanjangan atau katup vena yang inkompeten yang dimungkinkan terjadi oleh proses tromboemboli sebelumnya.12 Bila trombus vena terlepas dari tempat terbentuknya, emboli ini akan mengikuti aliran sistem vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi arteri pulmonalis. Jika emboli ini cukup besar, akan dapat menempati bifurkasio arteri pulmonalis dan membentuk saddle embolus. Tidak jarang pembuluh darah paru terseumbat karenanya. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang kemudian akan melepaskan senyawa-senyawa vasokonstriktor seperti serotonin, refleks vasokonstriksi arteri pulmonalis dan hipoksemia yang pada akhirnya akan menimbulkan peningkatan tekanan vaskular paru (pulmonary vascular resistance).

Peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang tiba-tiba akan meningkatkan tekanan ventrikel kanan dengan konsekuensi dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan yang pada gilirannya akan menimbulkan septum interventrikuler tertekan ke sisi kiri dengan dampak terjadinya gangguan pengisian ventrikel. Dengan berkurangnya pengisian ventrikel kiri maka curah jantung sistemik (systemic cardiac output) akan mennurun yang akan mengurangi perfusi koroner dan menyebabkan iskemia miokard. Peninggian tekanan dinding ventrikel kanan menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen otot jantung yang diikuti oleh penurunan perfusi koroner akan menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen, yang berujung pada iskemia, hipotensi, syok hingga kematian. Siklus ini pada akhirnya akan meyebabkan infark ventrikel kanan, kolaps sirkulasi dan kematian jika tidak ditatalaksana dengan segera.7,12

Dikutip dari Braunwalds A Textbook of Cardiovascular medicine, 9th edition12 Dikutip dari Pulmonary embolism and deep vein thrombosis. Circulation9Ada enam sindroma klinis emboli paru akut dengan gambaran sebagai berikut12 :

1. Emboli paru masif

Presentasi klinis berupa sesak napas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri sistemik perifer; khas > 50 persen obstruksi pada vaskularisasi paru. Disfungsi ventrikel kanan dapat dijumpai

2. Emboli paru sedang sampai berat (Submassive)

Presentasi klinis: Tekanan darah sistemik masih normal, gambaran khas > 30 persen defek pada perfusi scan paru denggan tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan.

3. Emboli paru kecil sampai sedang

Presentasi klinis : Tekanan darah arteri sistemik yang masih normal tanpa disertai tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan.

4. Infark paru (Pulmonary Infarction)

Presentasi klinis : nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural rub atau bukti adanya konsolidasi paru, khasnya berupa emboli perifer yang kecil, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan.

5. Emboli paru paradoksikal (Paradoxical embolism)

Kejadian emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan.

6. Emboli nontrombus (Nonthrombotic emboli)

Penyebab yang tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor, atau cairan amnion. Disfungsi ventrikel kanan jarang menyertai keadaan ini.

4. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS

Diagnosis emboli paru ternyata lebih sulit dibandingkan dengan pengobatan dan pencegahannya. Kebanyakan diagnosis emboli paru tidak terdiagnosis oleh karena presentasi klinis yang memang tidak khas dan kecurigaan yang mengarah ke emboli paru juga rendah.12 Sebelum penegakkan diagnosis lebih lanjut, sebagai langkah awal tatalaksana perlu dilakukan stratifikasi derajat keparahan emboli paru. Derajat keparahan emboli paru harus diartikan sebagai risiko mortalitas dini yang berhubungan dengan emboli paru (kematian dalam rumah sakit atau kematian dalam 30 hari). Hal ini dianggap lebih tepat daripada menggambarkan derajat keparahan berdasarkan derajat sumbatan maupun distribusi emboli intrapulmoner. Derajat keparahan emboli paru berdasarkan marker klinis dapat dibagi menjadi risiko tinggi (high risk) dan risiko rendah (low risk). Klasifikasi ini juga membantu untuk pemilihan strategi diagnostik dan penatalaksanaan awal yang tepat. Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism13 Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism13Kecurigaan emboli paru merupakan dasar dalam menentukan tes diagnostik. Dispnoe merupakan gejala yang paling sering muncul, dan takipnoe adalah tanda emboli paru yang paling khas. Pada umumnya dispnoe berat, sinkop atau sianosis merupakan tanda utama emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli paru kecil dan terletak di arteri pulmonalis distal, berdekatan dengan garis pleura.12 Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism13Emboli paru patut dicurigai pada penderita hipotensi jika :

1. Adanya bukti trombosis vena atau faktor predisposisi emboli paru

2. Adanya bukti klinis akut kor pulmonale (gagal ventrikel kanan akut) seperti distensi vena leher, S3 gallop, pulsasi jantung kanan di dinding dada kanan (right ventricular heave), takikardia, atau takipnea.

3. Adanya temuan ekokardiografi berupa gagal jantung kanan dengan hipokinesis atau bukti EKG yang menunjukkan manifestasi akut kor pulmonale dengan gambaran S1Q3T3, gambaran incomplete right bundle branch block atau iskemia ventrikel kanan.Untuk meningkatkan probabilitas klinis emboli paru maka digunakanlah Wells score. Berdasarkan pembagian Wells score maka low clinical probability (skor 1-2) menunjukkan 10 persen kemungkinan emboli paru, intermediate clinical probability (skor 3-6) menunjukkan 30 persen, dan high clinical probability (skor 7) menunjukkan 65 persen kemungkinan emboli paru. Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism13Berdasarkan derajat keparahan dan skor probabilitas Wells score maka dilakukanlah stratifikasi awal dan alur tatalaksana diagnostik seperti yang tergambar di bawah ini. Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism13 ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism135. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto thoraks

Pembesaran arteri pulmonal yang semakin bertambah besar pada serial foto thoraks adalah

tanda spesifik emboli paru. Foto thoraks juga dapat memperlihatkan kelainan seperti efusi

pleura, atelektasis yang sering bersamaan insidensinya dengan penyakit ini. Pemeriksaan

ini juga bermanfaat untuk menyingkirkan keadaan lain khususnya pneumothoraks. Berikut adalah dua gambaran foto thoraks yang khas untuk emboli paru. Westermark sign merupakan suatu gambaran fokal oligemia pada paru, terjadi karena adanya kolaps vaskularisasi paru distal setelah emboli paru. Hampton hump adalah gambaran khas pada infark paru, berwarna putih opak, berbentuk segitiga dengan dasar pada garis pleura dan sudut mengarah ke hilus paru.

2. Analisa gas Darah

Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 yang dikarenakan shunting akibat ventilasi

yang berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau sedikit menurun oleh karena

hiperventilasi. Bagaimanapun juga sensitivitas dan spesifisitas analisa gas darah untuk

pemeriksaan penunjang diagnostik emboli paru relatif rendah.

3. D-dimer

Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi preoduk yang dihasilkan oleh proses fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. Pemeriksaan ini merupakan skrining yang bermanfaat dengan sensitifitas yang tinggi (94%) namun spesifisitasnya rendah (45%). D-dimer dapat meningkat pada keadaan-keadaan lain. Plasma D-dimer yang normal dapat menyingkirkan diagnosis emboli paru. Dikutip dari Goldhaber SZ. Pulmonary Embolism. N Eng J Med 1998; 339:97 174. Elektrokardiografi (EKG)

Perubahan EKG tidak dapat dipercaya dalam diagnosis emboli paru terutama pada kasus yang ringan sampai sedang. Pada keadaan emboli paru masif dapat terjadi perubahan EKG, yaitu :a. Pola S1Q3T3, gelombang Q yang sempit diikuti T inverted di lead III, disertai gelombang S di lead I menandakan perubahan posisi jantung yang dikarenakan dilatasi atrium dan ventrikel kanan.

b. P pulmonal

c. Right bundle branch block yang baru

d. Right ventricular strain dengan T inversi di lead V1 sampai V4.Berikut adalah contoh gambaran EKG pada emboli paru :

Dikutip dari Braunwalds A Textbook of Cardiovascular medicine, 9th edition11 5. Ventilation-perfusion scan (V/Q scan)

Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non invasif yang penting untuk sangkaan emboli paru selama bertahun-tahun. Keterbatasan alat ini pada kasus alergi kontras, insufisiensi gijal atau kehamilan.

6. CT pulmonary angiographyTes ini sangat sensitif dan spesifik dalam mendiagnosis emboli paru dan dapat dilakukan pada penderita yang tidak dapat menjalani pemeriksaan scanning ventilasi-perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memberikan injeksi kontras melalui vena perifer dan dapat mencapai arrteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal sampai kecabang segmentalnya. 7. Angiografi paru

Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard) dalam diagnostik emboli paru. Namun teknik ini merupakan penyelidikan invasif yang cukup berisiko terutama pada penderita yang sudah kritis. Karenanya saat ini peran angiografi parru sudah digantikan oleh spiral CT scan yang memiliki akurasi yang sama.

8. Dupleks ultrasound ekstremitasMerupakan pencitraan noninvasif pada kasus dengan sangkaan trombosis vena dalam yang simptomatik pada tungkai maupun lengan yang relatif mudah dan akurat. 9. EkokardiografiEkokardiografi transtorakal muncul sebagai alat diagnostik noninvasif yang berperan dalam menilai suatu pressure overload dari ventrikel kanan yang dapat diakibatkan oleh emboli paru massif. Penderita emboli paru akut menunjukkan pergerakkan dinding segmental abnormal yang spesifik yang sering disebut sebagai tanda McConnell, hipokinesis dinding disertai pergerakan apeks ventrikel kanan yang masih normal. Dilatasi ventrikel kanan merupakan tanda tidak langsung dari beban ventrikel kanan yang berlebihan. Rasio pengukuran ventrikel kanan dibandingkan ventrikel kiri 1 pada pengambilan gambar apical four chamber. Pada teknik pengambilan gambar parasternal short axis akan terlihat septum interventrikuler menjadi datar dan menyebabkan gambaran ekokardiografi D-shape ventrikel kiri. Tanda lain dari disfungsi ventrikel kanan adalah regurgitasi trikuspid dengan kecepatan 2,6 m/detik dan dilatasi vena kava inferior.

Dikutip dari Braunwalds A Textbook of Cardiovascular medicine, 9th edition11 10. Biomarker jantungTroponin T adalah marker jantung yang sangat sensitif dan spesifik untuk suatu nekrosis sel miokardium. Pada pasien emboli paru terjadi sedikit peningkatan kadar Trop T dibanddingkan dengan peningkatan yang cukp tinggi pada kasus sindroma koroner akut. Kadar Trop T berkorelasi dengan berkorelasi dengan disfungsi ventrikel kanan, dimana iskemia miokard terjadi akibat gangguan keseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dari ventrikel kanan sehingga terjadi iskemia dan pelepasan Trop T ke dalam sirkulasi darah tanpa adanya penyakit jantung koroner. Natriuretic peptide merupakan suatu marker yang berguna untuk diagnostik dan prognostik gagal jantung kongestif. Peregangan sel miosit jantung akan merangsang sintesa dan sekresi BNP. Pro BNP dalam miosit ventrikel yang masih normal tidak disimpan dal;am jumlah besar. Peningkatan kadar BNP dan pro BNP berhubungan dengan disfungsi ventrikel kanan pada pasien dengan emboli paru. Kadar BNP 50 pg/l memberikan nilai prognostik emboli paru yang buruk.3,11,13,14,15,16

Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism136. DIAGNOSIS BANDING

1. Pneumonia atau bronchitis

2. Asma bronkiale

3. PPOK eksasrerbasi

4. Infark miokardium

5. Edema Paru

6. Anxietas

7. Diseksi Aorta

8. Pericardial tamponade

9. Kanker paru

10. Hipertensi pulmonal primer

11. Pneumotoraks

12. Nyeri muskuloskeletal 157. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan emboli paru mencakup terapi yang bersifat umum dan khusus.Tatalaksana yang umum antara lain :

1. Tirah baring

2. Pemberian oksigen

3. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan

4. Pemantauan tekanan darahSementara terapi yang bersifat khusus antara lain :

1. Trombolitik : Pada emboli paru massif atau submasif yang mengalami perburukan.

Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism132. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli paru massif

3. Antikoagulan diberikan baik pada emboli paru masif, submasif, dan non masif. Antikoagulan yang diberikan dapat berupa unfractionated heparin (UFH), enoxaparin dan fondaparinux selama setidaknya lima hari yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian antagonis vitamin K, seperti warfarin dengan target INR 2,5 (kisaran target 2,0,-3,0).

Dikutip dari Braunwalds A Textbook of Cardiovascular medicine, 9th edition12

Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism134. Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi pemberian antikoagulan/trombolitik pada emboli paru massif.

5. Pemasangan filter vena cava dilakukan bila terjadi emboli paru berulang pada pasien DVT walaupun telah mendapatkan antikoagulan yang maksimal, atau pada pasien yang kontraindikasi untuk trombolitik.Secara sistematik penangan emboli paru dapat dilihat pada bagan dibawah ini :17 Dikutip dari ESC Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism13

Penderita emboli paru massif atau submassif dengan kontraindikasi fibrinolitik, maka embolektomi akan menjadi pilihan terapi. Embolektomi pulmoner dengan teknik kateterisasi (catheter based pulmonary embolectomy) saat ini berkembang menjadi terapi primer pilihan pada emboli paru akut. Teknik ini diindikasikan bila fibrinolisis dan embolektomi pembedahan merupakan kontraindikasi. Pada umumnya, embolektomi dengan kateterisasi akan berhasil jika dilakukan pada trombus baru dalam kurun waktu 5 hari sejak ditemukan gejala.18

Pemberian antikoagulan merupakan komponen utama dalam penatalaksanaan emboli paru. Low molekular weight heparin (LMWH) sepereti enoxaparin memberikan efek yang aman dan efektif dibandingkan dengan unfractionated heparin intravena. Keuntungan LMWH dibandingkan dengan UFH adalah LMWH memiliki pengaturan dosis yang lebih mudah, tidak perlu monitoring, insidensi trombositopenia yang lebih kecil, tidak menyebabkan perdarahan berlebihan dan dapat dilakukan pasien sendiri di rumah sehingga memperpendek masa perawatan.19,20 Antagonis vitamin K oral seperti warfarin masih tetap menjadi pilihan sebagai antikokagulan oral pada kasus-kasus tromboemboli vena dengan target INR 2,0 sampai 3,0.Waktu penggunaan antikoagulan bergantung pada risiko terjadinya kekambuhan tromboemboli. Beberapa studi merekomendasikan penggunaan antikoagulan tanpa batas waktu pada kasus-kasus tromboembolilk idiopatik.19

Saat ini telah berkembang teknik filter vena cava inferior yang prosedurnya dilakukan melalui vena femoralis yang dengan panduan flouroskopi dimasukkan sampai ke vena cava inferior. Indikasi pemasangan teknik ini adalah penderita dengan risiko tinggi trombosis vena dalam dimana pemberian antikoagulan merupakan kontraindikasi, emboli paru rekuren walaupun dengan antikoagulan yang maksimal.198. PENCEGAHANPencegahan emboli paru merupakan hal penting dikarenakan penyakit ini sulit dideteksi dan penatalaksanaannya tidak selalu berhasil. Setiap penderita yang dirawat seharusnya dilakukan stratifikasi emboli paru dan bila perlu mendapat terapi profilaksis. Regimen farmakologis lainnya dapat diberikan seperti pada tabel berikut ini.13,18 Dikutip dari Braunwalds A Textbook of Cardiovascular medicine, 9th edition129. KESIMPULANEmboli paru merupakan suatu kegawatdaruratan kardiovaskular dengan angka mortalitas yang masih tinggi. Stratifikasi risiko merupakan langkah awal yang penting dalam diagnosis dan tatalaksana emboli paru sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Pemberian antikoagulan baik low molekular weight heparin, unfractionated heparin dan oral antikoagulan lainnya seperti warfarin masih efektif dalam penatalaksanaan emboli paru.DAFTAR PUSTAKA

1. Kusmana D, dkk. Standar pelayanan medik Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Edisi ke-2. Jakarta. 2003.h.209-211.2. Goldhaber SZ, Elliot CG, Acute pulmonary embolism: Part II: Risk stratification, treatment, and prevention. Circulation 2003;108:2834-2838.

3. Sunu I. Emboli paru: Pencegahan dan tatalaksana optimal pasien rawat inap. Dalam: Harimurti GM, dkk, penyunting. 18th Weekend course on cardiology, common soils in atherosclerosis: The base for prevention and intervention. Jakarta. 2006.h.9-18.

4. Roy PM, Meyer G, Vielle B, Le Gall C, Verschuren F, Carpentier F et al. Appropriateness of diagnostic management and outcomes of suspected pulmonary embolism. Ann Intern Med 2006;144: 157-164.

5. Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism: Part I: Epidemiology and diagnosis. Circulation 2006; 114:28-32.6. Sobieszczyk P, dkk. Acute Pulmonary Embolism: Dont ignore the platelet. Circulation;2002;106:1748-1749.

7. Fedullo PF : Pulmonary embolism. Dalam: Robert AO, Valentin F, R.Wayne A, penyunting. The Heart manual of cardiology. Edisi ke-1. Boston: McGraw Hill, 2005.h.351-528. Myerson SG, dkk: Pulmonary embolism. Dalam: Saul GM, Robin PC, Andrew RJ, penyunting. Emergencies in cardiology. Edisi 1. Oxford university press, 2006.h.190-1949. GoldhaberSZ, Morrison RB. Pulmonary embolism and deep vein thrombosis. Circulation 2002;106:1436-143810. Julian GD: Disorders of lung and pulmonary circulation. Dalam: Desmond GJ, Cowan JC, James MM, penyunting. Cardiology. Edisi ke-8.Edinburgh: Elsevier Saunders,2005.h.328-33311. Grubb NR, Newby DE: Pulmonary embolism. Dalam : Neil RG, David EN, penyunting. Cardiology. Edisi ke-1. Edinburg: Churchill livingstone, 2000.h.181-18712. Goldhaber SZ: Pulmonary embolism. Dalam: Zipes, Libby, Bonow, Braunwald, penyunting. Braunwalds A Textbook of Cardiovascular Medicine. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2005.h.1798-180613. Torbicki A, Chairperson, Perrier A, Konstatinides S,Agnelli G, Gallie N,et al. European Society of Cardiology: Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. European Heart Journal 2008;29:2276-231514. Kearon C. Natural history of venous thromboembolism. Circulation 2003;107(23 Suppl 1): 122-13015. Palareti G, dkk. Predictive value of D-dimer test for reccurent venous thromboembolism after anticoagulation withdrawl in subjects with previous idiopathic event and in carries of congenital thrombophilia. Circulation 2003;108:313-318.16. Fedullo PF, dkk. The evaluation of suspected pulmonary embolism. New England Journal of Medicine 2003;349:1247-125617. Goldhaber SZ. Pulmonary embolism. New England Journal of Medicin 1998;339:93-10318. Janata K. Managing pulmonary embolism. BMJ 2003;326:1341-134219. Piazza G, Goldhaber SZ. Acute pulmonary embolism: Part II: Treatment and prophylaxis. Circulation 2006;114:42-4720. Turpie GG, dkk. ABC of antithrombotic therapy, venous thromboembolism: treatment strategies. BMJ 2002;325:948-950

21. Stein PD, Kayali F, Olson RE. Estimated case fatality rate of pulmonary embolism, 1979-1998. Am J Cardiol 2004;93:1197-1199

22. Stein PD, Beemath A, Olson RE. Trends in the incidence of pulmonary embolism and deep venous thrombosis in hospitalized patients. Am J Cardiol 2005;95:1525-1526

23. Dalen JE, Alpert JS. Natural history of pulmonary embolism. Prog Cardiovasc Dis 1975;17:259-270

24. Nordstorm M, Lindbald B. Auotpsy verified venous thromboembolism within a defined urban population-the city of Malmo,Sweden. APMIS 1998;106:378-384

25. Oger E. Incidence of venous thromboembolism: a community-based study in Western France. EPI-GETB Study Group. Grope dEtude de la Thrombose de Bretagne Occidentale. Throm Haemost 2000;83:657-660

The diagnostic criteria for acute PE in angiography consist of direct evidence of a thrombus, either a filling defect or amputation of a pulmonary arterial branch.

1