28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hampir sepertiga dari hidup manusia dihabiskan dengan tidur. Tidur yang lelap menjadi salah satu kebutuhan hidup yang penting bagi manusia. Tidur bukan sekedar respon terhadap kebutuhan fisiologis tetapi diperlukan untuk tetap menjaga kerja otak agar tetap berfungsi secara normal. Gangguan tidur pada malam hari akan menyebabkan rasa kantuk. Mengantuk sendiri merupakan faktor risiko terjadinya kecelakaan, penurunan stamina serta kurang konsentrasi. (Rahayu, 2009). Kebutuhan tidur seseorang bergantung pada perkembangan. Usia yang berbeda memiliki kebutuhan tidur yang berbeda pula. Seiring dengan penurunan fungsi tubuh, seorang lanjut usia membutuhkan waktu tidur lebih sebentar dibandingkan dengan manusia yang lebih muda. Menurut Hidayat (2008), jumlah tidur seseorang yang berusia diatas 60 tahun adalah 6 jam perhari. Namun, kenyataannya manusia lanjut usia memiliki waktu tidur yang lebih sedikit dari usia yang lebih muda karena membutuhkan waktu lebih lama untuk memulai tidur. Insomnia merupakan keadaan sulit tidur, sering terbangun pada malam hari atau tidak dapat tidur 1

draft referat pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hampir sepertiga dari hidup manusia dihabiskan dengan tidur. Tidur yang

lelap menjadi salah satu kebutuhan hidup yang penting bagi manusia. Tidur

bukan sekedar respon terhadap kebutuhan fisiologis tetapi diperlukan untuk

tetap menjaga kerja otak agar tetap berfungsi secara normal. Gangguan tidur

pada malam hari akan menyebabkan rasa kantuk. Mengantuk sendiri

merupakan faktor risiko terjadinya kecelakaan, penurunan stamina serta

kurang konsentrasi. (Rahayu, 2009).

Kebutuhan tidur seseorang bergantung pada perkembangan. Usia yang

berbeda memiliki kebutuhan tidur yang berbeda pula. Seiring dengan

penurunan fungsi tubuh, seorang lanjut usia membutuhkan waktu tidur lebih

sebentar dibandingkan dengan manusia yang lebih muda. Menurut Hidayat

(2008), jumlah tidur seseorang yang berusia diatas 60 tahun adalah 6 jam

perhari. Namun, kenyataannya manusia lanjut usia memiliki waktu tidur yang

lebih sedikit dari usia yang lebih muda karena membutuhkan waktu lebih lama

untuk memulai tidur.

Insomnia merupakan keadaan sulit tidur, sering terbangun pada malam

hari atau tidak dapat tidur dengan lelap (Pratiwi, 2009). Insomnia merupakan

salah satu gangguan yang terjadi pada lansia. Insomnia ini menyerang 50%

pada orang berusia 65 tahun atau lebih yang tinggal di rumah dan 66% lansia

yang tinggal di fasilitas jangka panjang. Penurunan efektivitas tidur malam

pada lansia mencapai 70% sampai 80% dibandingkan usia muda. Prosentase

penderita insomnia lebih tinggi dialami oleh orang yang lebih tua, dimana 1

dari 4 pada usia 60 tahun atau lebih mengalami sulit tidur yang serius. Setelah

dilakukan skrining dari 42 orang lansia yang tinggal di PSTW (Panti Sosial

Tresna Werdha) unit Budi Luhur Kasongan Bantul didapatkan 32 lansia

mengalami insomnia. (Jurnal Kebidanan,2010)

Insomnia merupakan akibat dari berbagai faktor. Ada beberapa dampak

yang ditimbulkan dari insomnia misalnya mengantuk berlebihan di siang hari,

1

Page 2: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

gangguan memori, ketidakstabilan emosi, depresi, sering terjatuh, penggunaan

hipnotik yang tidak semestinya serta penurunan kualitas hidup. Ancoli-Israel

dalam sebuah survei di Amerika Serikat yang dikutip oleh Maas (2011) yang

dilakukan pada 428 lansia yang tinggal dalam masyarakat, sebanyak 19%

subjek mengaku bahwa mereka sangat mengalami kesulitan tidur, 21% merasa

mereka tidur terlalu sedikit, 24% melaporkan kesulitan tertidur sedikitnya

sekali seminggu, dan 39% melaporkan mengalami mengantuk yang berlebihan

di siang hari.

Secara ekonomi, gangguan dalam tidur mampu menurunkan produktivitas

seseorang. Menurut Darmojo (2010), hal lain yang dapat ditimbulkan dari

gangguan tidur adalah ketidakbahagiaan, kesepian, serta memperburuk

penyakit degeneratif yang diderita. Untuk itu, insomnia perlu ditangani

dengan serius.

Penatalaksanaan insomnia dapat dilakukan secara farmakologis maupun

nonfarmakologis. Secara farmakologis dapat digunakan obat-obatan hipnotik

sedatif seperti Zolpidem, Tradozon, Klonazepam, dan Amitriptilin sedangkan

secara nonfarmakologis perawat dapat melakukan tindakan-tindakan mandiri

keperawatan seperti: mengurangi distraksi lingkungan, memberikan aktivitas

di siang hari sesuai indikasi, melakukan masase punggung dan relaksasi otot

progresif. Terapi relaksasi otot progresif yaitu terapi dengan cara peregangan

otot kemudian dilakukan relaksasi otot (Gemilang, 2013).

1.2 Tujuan

Referat ini dibuat dengan tujuan:

Mengetahui pengertian tidur, pola tidur, serta mengetahui dampak dari

kurang tidur

Mengetahui apa itu insomnia dan penyebab insomnia

Mengetahui pengertian, tujuan dan teknik dalam melakukan terapi

relaksasi progresif

Mengetahui perubahan yang terjadi setelah melakukan terapi relaksasi

progresif pada lansia.

2

Page 3: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tidur

2.1.1 Pengertian

Dalam Med Express tahun 2009, tidur merupakan keadaan istirahat

periodik yang dimulai ketika berkurangnya kesadaran terhadap alam

dan pada akhirya tubuh bisa beristirahat.. Tidur juga diartikan sebagai

suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi terhadap lingkungan

menurun atau hilang dan dapat dibangunkan kembali dengan indra

atau rangsangan yang cukup. Tidur ditandai dengan aktivitas fisik

minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, terjadi perubahan proses

fisiologis tubuh serta penurunan respon terhadap rangsangan dari luar

(Asmadi, 2008).

2.1.2 Pola Tidur

Secara umum, proses tidur diawali dengan mengantuk, suatu

keadaan saat hubungan antara kesadaran dan lingkungan berkurang.

Saat mengantuk, rangsang-rangsang dari luar masih dapat diterima

sehingga bisa tersadar kembali dengan mudah. Jika proses tidur

berlanjut, maka kesadaran akan semakin menurun dan masuklah pada

tahap yang sering disebut dengan tidur ayam. Pada tahap ini,

rangsangan masih dapat diterima. Kesadaran yang semakin menurun

menandakan tahapan berikutnya yaitu tidur nyenyak. Pola tidur

sendiri adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu

yang relatif menetap. (Depkes dalam Siallagan, 2010).

Dengan adanya EEG (Electro Encephalo Graph) dapat diketahui

bahwa terdapat 2 pola tidur, yaitu Non REM dan pola REM.

(Asmadi,2008)

2.1.2.1 Non-REM

Pada tidur Non-REM (Non-Rapid Eye Movement), tidur

terjadi dengan nyaman. Pada pola ini, sebagian besar organ

3

Page 4: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

tubuh secara berangsur-angsur menjadi kurang aktif, kecepatan

denyut jantung berkurang, relaksasi otot, pernapasan teratur,

mata dan muka diam tanpa gerak, metabolisme turun, gerakan

bola mata melambat, kecepatan pernafasan dan tekanan darah

menurun.

Menurut Pack tahun 2008, Non-REM merupakan keadaan

yang terjadi melalui osilasi antara talamus dan korteks.

Komponen utama dari osilasi adalah kumparan tidur, delta

osilasi dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan

ciri dari tahap ini yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron

GABAnergic dalam nukleus retikulotalamus. Geloimbang

delta dihasilkan dari interaksi retikulotalamus dan sumber

piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal lambat dihasilkan

di jaringan neokorteks oleh proses hiperpolarisasi dan

depolarisasi.

Tidur Non-REM memiliki empat tahap yang masing –

masing tahap ditandai dengan pola perubahan aktivitas

gelombang otak.

2.1.2.1.1 Tahap I

Tahap I merupakan tahapan dari sadar menjadi tidur.

Pada ini ditandai dengan seseorang merasa kabur

dan rileks, seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata

menutup mata, kedua bola mata bergerak ke kiri dan

ke kanan, kecepatan jantung dan pernapasan

menurun secara jelas. Pada EEG terlihat penurunan

voltasi gelombang alfa. Seseorang yang tidur pada

tahap I ini dapat dibangunkan dengan mudah.

2.1.2.1.2 Tahap II

Tahap II merupakan tahap tidur ringan dan proses

tubuh terus menurun. Tahap II ini ditandai dengan

kedua bola mata berhenti bergerak, suhu tubuh

4

Page 5: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

menurun, tonus otot berlahan – lahan berkurang,

serta kecepatan jantung dan pernapasan turun

dengan jelas. Pada EEG timbul gelombang beta

yang berfrekuensi 14 – 18 siklus/detik. Gelombang –

gelombang ini disebut dengan gelombang tidur.

Tahap II berlangsung sekitar 10 – 15 menit.

2.1.2.1.3 Tahap III

Pada tahap ini, keadaan fisik lemah lunglai karena

tonus otot lenyap secara menyeluruh. Kecepatan

jantung, pernapasan, dan proses tubuh berlanjut

mengalami penurunan akibat dominasi sistem saraf

parasimpatis. Pada EEG memperlihatkan perubahan

gelombang beta menjadi 1 – 2 siklus/detik.

Seseorang yang tidur pada tahap III ini sulit untuk

dibangunkan.

2.1.2.1.4 Tahap IV

Tahap IV merupakan tahap tidur dimana seseorang

berada dalam keadaan rileks, jarang bergerak karena

keadaan fisik yang sudah lemah lunglai dan sulit

dibangunkan. Pada EEG tampak hanya terlihat

gelombang delta yang lambat dengan frekuensi 1 – 2

siklus/detik. Denyut jantung dan pernapasan

menurun sekitar 20 – 30%. Pada tahap ini dapat

terjadi mimpi. Selain itu, tahap IV ini dapat

memulihkan keadaan tubuh.

Selain keempat tahap tersebut, ada satu tahap lagi yakni

tahap V. Tahap kelima ini merupakan tidur REM dimana setelah

tahap IV seseorang masuk ke tahap V. Hal tersebut ditandai

dengan kembali bergeraknya kedua bola mata yang berkecepatan

5

Page 6: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

lebih tinggi dari tahap – tahap sebelumnya. Tahap V ini

berlangsung sekitar 10 menit, dapat pula terjadi mimpi.

2.1.2.2 REM

Menurut Asmadi pola tidur paradoksal atau yang disebut

dengan tidur REM (Rapid Eye Movement ). Tidur REM ini

sifatnya nyenyak sekali meski gerakan bola mata sangat aktif.

Tidur ini ditandai dengan denyut jantung dan laju pernafasan

tidak teratur, tekanan darah meningkat, sekresi lambung

meningkat, metabolisme meningkat dan relaksasi secara total

pada otot. Relaksasi ini yang menjadi pemulih tenaga dan

penghilang semua rasa lelah. Fase tidur REM ini berlangsung

sekitar 20 menit. pada fase ini juga sering timbul mimpi,

dengkuran juga igauan. (Asmadi,2008)

Hal ini sependapat dengan pendapat Pack tahun 2008.

Menurutnya, fase REM ini memiliki komponen saraf

parasimpatometimetik dan saraf simpatik yang ditandai oleh

otot rangka berkedut, peningkatan denyut jantung, variabilitas

pelebaran pupil dan peningkatan denyut jantung. Kehilangan

tidur REM akan mengakibatkan ketidakstabilan emosi,

peningkatan nafsu makan serta perasaan curiga dan bingung.

2.1.3 Dampak kurang tidur

Menurut Asmadi (2008), apabila seseorang kehilangan tidur yakni

tidur REM dan NREM maka akan menunjukkan manifestasi sebagai

berikut :

a. Kemampuan memberikan keputusan atau pertimbangan

menurun.

b. Tidak mampu untuk konsentrasi ( kurang perhatian ).

c. Terlihat tanda – tanda keletihan seperti penglihatan kabur,

mual dan pusing.

6

Page 7: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

d. Sulit melakukan aktivitas sehari – hari.

e. Daya ingat berkurang, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi

penglihatan atau pendengaran.

2.1.4 Fisiologi tidur

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya

hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian mengaktifkan

dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu

aktivitas tidur ini diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang

merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan

saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur (Hidayat,

2008).

Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam

mesensefalon dan bagian atas pons. Reticular Activating System

(RAS) berlokasi pada batang otak teratas. RAS dipercayai terdiri dari

sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan tidur. Selain itu,

RAS dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan

perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk

rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron

dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin.

Demikian juga pada saat tidur, kemungkinan disebabkan adanya

pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan

batang otak tengah, yaitu Bulbar Synchronizing Regional (BSR),

sedangkan bangun tergantung dari keseimbangan impuls yang

diterima di pusat otak dan sistem limbic. Dengan demikian, sistem

pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur

adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2008).

Menurut Carpenito (2009), tidur yang baik akan dicapai bila

seseorang dalam keadaan rileks. Ketika orang mencoba tertidur,

mereka akan menutup mata dan berada dalam posisi relaks. Stimulus

ke RAS menurun. Jika ruangan gelap dan tenang, maka aktivasi RAS

7

Page 8: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

selanjutnya menurun. Pada beberapa bagian BSR mengambil alih

yang menyebabkan tidur (Potter&Perry, 2006).

2.2 Insomnia

2.2.1 Definisi

Insomnia merupakan salah satu gangguan tidur yang sering

muncul. Insomnia dapat didefinisikan sebagai kesulitan untuk

memulai tidur, mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif, yang

disertai gangguan fungsi fisiologis di siang hari (Scoot,2011).

Menurut Pratiwi, insomnia merupakan keadaan dimana seseorang sulit

tidur, sering terbangun di malam hari atau tidak dapat tidur dengan

lelap. Karjono dan Rejeki berpendapat bahwa insomnia merujuk pada

gangguan pemenuhan kebutuhan tidur baik secara kualitas maupun

kuantitas. Hidayat berpendapat bahwa insomnia merupakan suatu

ketidakmampuan mendapatkan tidur yang adekuat, baik kualitas

maupun kuantitas dengan durasi tidur yang sebentar.

2.2.2 Etiologi

Berbagai faktor dapat memberi pengaruh terhadap proses tidur.

Perubahan pada proses tidur mampu menjadi penyebab insomnia.

Insomnia bisa muncul sebagai insomnia primer, kondisi medis atau

psikologis, penyalahgunaan obat atau insomnia akibat faktor eksogen

berupa suasana yang ramai, lingkungan yang asing juga bisa

disebabkan nyeri. (Chien, 2010)

Menurut Lopes et al, faktor sosio-demografik dan ekonomi seperti

jenis kelamin, usia, statsu pernikahan, pendapatan, tingkat pendidikan

dan ras merupakan faktor risiko yang dapat menimbulkan insomnia.

Faktor risiko lain yang mampu menyebabkan insomnia adalah

kesehatan fisik dan mental, kebiasaan mengonsumsi alkohol,

psikososial, pekerjaan dengan sistem shift dan stres.

Berikut dipaparkan hal-hal yang mampu menyebabkan insomnia :

a. Stres

8

Page 9: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

Stres normal merupakan reaksi alamiah yang berguna untuk

menangani masalah hidup seseorang. namun, tekanan stres

yang melampaui kemampuan seorang individu mampu

mengakibatkan sakit kepala dan sulit tidur. Jika ini berlangsung

selama jangka waktu yang lama, hal lain yang dapat terjadi

adalah perubahan patologis sebagai penyesuaian dari hal yang

terjadi. ( Hartono, 2011)

b. Rokok

Rokok tersusun dari banyak zat seperti nikotin, tar dan karbon

monoksida. Nikotin pada rokok mampu menyebabkan

terjadinya insomnia. Hal ini terjadi karena nikotin mampu

mengacaukan pola tidur seseorang. Nikotin mampu

memberikan kesadaran dan kewaspadaan pada penggunanya

sehingga mampu terjaga. (Putra, 2011)

2.2.3 Insomnia pada usia lanjut

Insomnia merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada lansia.

Insomnia ini menyerang 50% pada orang berusia 65 tahun atau lebih

yang tinggal di rumah dan 66% lansia yang tinggal di fasilitas jangka

panjang. Penurunan efektivitas tidur malam pada lansia mencapai

70% sampai 80% dibandingkan usia muda. Prosentase penderita

insomnia lebih tinggi dialami oleh orang yang lebih tua, dimana 1 dari

4 pada usia 60 tahun atau lebih mengalami sulit tidur yang serius.

Setelah dilakukan skrining dari 42 orang lansia yang tinggal di PSTW

(Panti Sosial Tresna Werdha) unit Budi Luhur Kasongan Bantul

didapatkan 32 lansia mengalami insomnia. (Jurnal Kebidanan,2010)

Insomnia pada lansia mengandung beberapa domain, diantaranya

adalah kesulitan masuk tidur (sleep onset problem); kesulitan

mempertahankan tidur nyenyak (deep maintenance problem); dan

bangun terlalu pagi (early morning awakening/EMA). Gejala dan

tanda yang muncul bisa merupakan salahsatu ari doamain ataupun

9

Page 10: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

gabungan dari beberapa domain dan bisa muncul sementara maupun

kronik (Karjono dan Rejeki, 2010).

2.3 Terapi relaksasi progresif

2.3.1 Definisi

Teknik relaksasi otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam

yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti (Herodes,

2010) dalam (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Terapi relaksasi otot

progresif yaitu terapi dengan cara peregangan otot kemudian

dilakukan relaksasi otot (Gemilang, 2013). Relaksasi progresif adalah

cara yang efektif untuk relaksasi dan mengurangi kecemasan.

2.3.2 Tujuan

Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan Potter (2005) dalam

Setyoadi dan Kushariyadi (2011) bahwa tujuan dari teknik ini adalah:

a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan

punggung, tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, laju

metabolik.

b. Mengurangi distritmia jantung, kebutuhan oksigen.

c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika klien sadar

dan tidak memfokus perhatian seperti relaks.

d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi.

e. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stres.

f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot,

fobia ringan, gagap ringan, dan

g. Membangun emosi positif dari emosi negatif

2.3.3 Teknik

Menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) hal yang perlu

diperhatikan dalam melakukan terapi relaksasi progresif diantaranya:

2.3.3.1 Persiapan

Periapan yang perlu dilakukan adalah persiapan alat, diri

dan lingkungan berupa kursi, bantal, posisi tubuh yang

10

Page 11: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

nyaman, melepaskan diri dari asesoris yang dikenakan, serta

lingkungan yang tenang dan sunyi. Penting juga untuk

memahami tujuan, manfaat, prosedur dari terapi ini.

2.3.3.2 Prosedur

2.3.3.2.1 Gerakan 1: untuk melatih otot tangan

a. Genggam tangan kiri sambil membuat suatu

kepalan.

b. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan

sensasi ketegangan yang terjadi.

c. Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan

relaksasi selama 10 detik.

d. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua

kali sehingga dapat membedakan perbedaan

antara ketegangan otot dan keadaan relaks

yang dialami.

e. Lakukan gerakan yang sama pada tangan

kanan.

2.3.3.2.2 Gerakan 2: untuk melatih otot tangan bagian

belakang

a. Tekuk kedua lengan ke belakang pada

peregalangan tangan sehingga otot di tangan

bagian belakang dan lengan bawah menegang.

b. Jari-jari menghadap ke langit-langit.

2.3.3.2.3 Gerakan 3: untuk melatih otot biseps.

Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.

Kemudian membawa kedua kapalan ke pundak

sehingga otot biseps akan menjadi tegang

2.3.3.2.4 Gerakan 4: untuk mengendurkan otot bahu

a. Angkat bahu setinggi-tingginya

11

Page 12: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

b. Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak

ketegangan yang terjadi di bahu punggung

atas, dan leher.

2.3.3.2.5 Gerakan 5 dan 6: untuk melemaskan otot-otot

wajah

a. Gerakan otot dahi dengan mengerutkan dahi

dan alis

b. Kemudian, pejamkan mata sekuat mungkin

hingga terasa ketegangan di sekitar mata.

2.3.3.2.6 Gerakan 7: untuk mengendurkan ketegangan otot

rahang

Mengatupkan rahang kemudian diikuti dengan

gerakan menggigit sehingga terjadi ketegangan

disekitar otot rahang.

2.3.3.2.7 Gerakan 8: untuk mengendurkan otot-otot disekitar

mulut.

Gerakan 8 dilakukan dengan memoncongkan bibir

sekuat-kuatnya

2.3.3.2.8 Gerakan 9: untuk otot leher belakang.

Merilekskan otot leher belakang dengan

meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat.

Kemudian melakukan penegangan pada otot leher

bagian belakang dengan cara menekan kepala pada

bantalan kursi yang dijadikan tempat merilekskan

otot leher belakang sebelumnya.

2.3.3.2.9 Gerakan 10 : untuk melatih otot leher bagian

depan.

Gerakan ini dilakukan dengan menundukan kepala

seolah-olah berusaha mempertemukan dagu

dengan dada

2.3.3.2.10 Gerakan 11 : untuk melatih otot punggung

12

Page 13: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

Duduk dengan posisi punggung yang tegak tanpa

menggunakan sandaran pada kursi, diikuti dengan

membusungkan dada, tahan selama 10 detik.

Kemudian relaks dengan posisi punggung yang

masih tegak.

2.3.3.2.11 Gerakan 12: untuk melemaskan otot dada

Gerakan ini dilakukann dengan menarik nafas

panjang sedalam-dalamnya, tahan beberapa saat

kemudian hembuskan dan bernafas secara normal.

Gerakan ini diulang beberapa kali.

2.3.4 Terapi Relaksasi Progresif pada Penderita Insomnia Usia Lanjut

Insomnia pada lansia menyebabkan perlunya waktu yang cukup

lama bagi lansia untuk memulai tidur dan peningkatan frekuensi

terbangun di malam hari (Akmal, 2012). Winanto (2009) berpendapat

bahwa lansia perlu memperhatikan kualitas tidurnya yang tidak hanya

bergantung pada jumlah namun juga bergantung pada pemenuhan

kebutuhan tubuh untuk tidur yang dapat dinilai ketika bangun tidur.

Jadi, indikator cukup terpenuhinya kebutuhan kualitas tidur seseorang

adalah kondisi saat bangun tidur. Seseorang yang bangun dengan

segar, artinya kebutuhan tidurnya telah tercukupi.

Mengonsumsi obat tidur bisa digunakan untuk mengatasi insomnia

pada lansia. Namun, mengonsumsi obat tidur dalam jangka waktu

yang panjang akan menimbulkan efek samping seperti kecanduan dan

mampu membahayakan pemakainya bila dipakai secara berlebihan

(Purwanto, 2007).

Pendekatan relaksasi yang paling sering digunakan untuk

meningkatkan kualitas dan kuantutas tidur adalah relaksasi otot

progresif (Widastra, 2009). Relaksasi otot progresif efektif untuk

meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur bila dilakukan dengan

teratur selama 6 minggu (Marks,2011).

13

Page 14: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

Nasional Center for Complementary and Alternative Medicine

(2010) menyebutkan bahwa relaksasi otot progresif membantu lansia

dalam meningkatkan pememuhan kebutuhan tidurnya serta

menurunkan gangguan tidur pada lansia yang cenderung meningkat.

Hal ini terjadi karena pemberian relaksasi otot progresif ini

berdasarkan pada sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang mampu

mengurangi ketegangan dengan mempengaruhi kerja organ dalam

tubuh (Conrad dan Roth, 2007). Dasar dari Relaksasi Otot Progresif

adalah mekanisme kerja otot progresif dalam mempengaruhi

kebutuhan tidur dimana terjadi Respon relaksasi (Trophotropic).

Respon ini menstimulasi semua fungsi sehingga terciptakan keadaan

tenang dan relaks. Perasaan relaks ini akan diteruskan ke hipotalamus

untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF) yang

nantinya akan menstimulasi kelenjar pituitari untuk meningkatkan

produksi hormon β-Endorphin, Enkefalin dan Serotonin (Ramdhani,

2008).

14

Page 15: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

BAB 3

KESIMPULAN

Tidur merupakan keadaan istirahat periodik yang dimulai ketika

berkurangnya kesadaran terhadap alam dan pada akhirnya tubuh bisa

beristirahat yag terdiri dari REM dan Non-REM. Kurang tidur akan

menyebabkan kurangnya konsentrasi, berkurangnya daya ingat, serta

keletihan.

Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering terjadi berupa sulit

memulai tidur maupun sulit untuk mempertahankan tidur, disebabkan oleh

stres, rokok maupun penyalahgunaan obat.

Terapi relaksasi progresif merupakan teknik relaksasi otot yang mampu

mengatasi insomnia dengan menurunkan kecemasan sebagai penyebab

insomnia. Tujuan dari terapi ini adalah menurunkan ketegangan,

kecemasan, serta mengatasi stres yang dilakukan dengan merilekskan

beberapa bagian tubuh.

Terapi relaksasi progresif membawa perubahan pada penderita insomnia

usia lanjut dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur serta

menurunkan gangguan tidur yang dialami sehingga mampu meningkatkan

pemenuhan kebutuhan tidur pada penderita insomnia usia lanjut.

15

Page 16: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

DAFTAR PUSTAKA

Akmal, S. A. (2012). Diagnosis dan Penatalaksanaan Insomnia Pada Lanjut

Usia. Juni, 11, 2012.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan Aplikasi Kebutuhan

Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Chien KL, Chen PC, Hsu HC et al. Habitual sleep duration and insomnia and the

risk of cardiovascular events and all-cause death: report from a community

based cohort. Sleep 2010; 33: 1-8.

Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi pada Praktik

Klinis.Jakarta. EGC

Conrad, A. & Roth, W.T. (2007). Muscle Relaxation for Anxiety Disorder: It

works but how?. The Journal of Anxiety Disorder, 243-264. Oktober 12,

2011. http://www.laboratoriosilesia.com

Gemilang, J. (2013). Buku Pintar Manajemen stres dan Emosi. Yogyakarta

Mantra Books

Hartono L.A.. Stres dan Stroke. Yogyakarta: Karnesius. 2011

Herodes, R. (2010). Anxiety and Depression in Patient.

Hidayat, A. aziz. 2008. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi Konsep

dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Karjono, Bambang Joni dan Rejeki Andayani Rahayu. 2010. Gangguan Tidur

Pada Usia Lanjut dalam Hadi Martono dan Kris Pranarka. Ed. Buku Ajar

Boedhi- Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Lanjut Usia). Jakarta : Balai

Penerbit

Maas, M.L., et al (2011) Asuhan Keperawatan Geriatrik (Renata Komalasari, Ana

Lusyana, Yuyun Yuningsih, Penerjemah). Jakarta: EGC. MNSU (2014)

16

Page 17: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

Marks,I. Tracey. (2011). Master your Sleep, Proven Methode Simplied. USA:

Bascom Hills Publish Group

Med Express. Bebas Insomnia. Yogyakarta: Karnesius. 2009

Pack Al, Kline LR, Hendricks JC, Morrison AR. Control of respiratory during

sleep. In : Fishman AP, ed. Pulmonary diseases an disorders. 4th ed.

Toronto: Mc Graw Hill, 2008;95:1680-711.

Perry, Patricia A., & Potter, Anne Griffin. (2005). Fundamental Keperawatan

buku I edisi 7. Jakarta : Salemba Medika

Pratiwi. 2009. Kesehatan Keluarga. Yogjakarta : Oryza

Purwanto, S.2007. Terapi Insomnia.Available online at http//klinis.wordpress.com

Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan edisi 4 volume 2.

Jakarta : EGC

Putra SR. Tips sehat dengan pola tidur tepat dan cerdas. Yogyakarta: Buku biru,

2011; p.125-7.

Rahayu RA. Gangguan tidur pada usia lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi

I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 (Edisi

Kelima). Jakarta: Interna Publishing, 2009; p.802.

Ramdhani, N.Aulia. Adhyos. (2008). Pengembangan Multimedia Relaksasi.

November 27, 2011. http://www neila.staff.ugm.ac.id

Scott GW, Scott HM, O’Keeffe KM et al. Insomnia-treatment pathways, cost and

quality of life. Cost Effectiveness and Resource Allocation 2011; 9: 1-10.

Setyoadi, K. (2011). Terapi Modalitas Keperawatan Jiwa pada Klien

Psikogeriatrik. Jakarta : Salemba Medika

Siallagan, A.M. (2010). Pola Tidur Ibu pada Masa Kehamilan. Medan

Widastra, I. M. (2009). Terapi Relaksasi Otot Progresif Sangat Efektif Mengatasi

Keluhan Insomnia pada Lansia. Gempar :Jurnal Ilmiah Keperawatan No.2

Vol.1, 84-89. September 12, 2011. http://isjd.pdii.lipi.go.id

17

Page 18: draft referat  pendahuluan, tinjauan pustaka, dapus 27-09-2015.docx

Winanto (2009).Tidur dalam Sudut Pandang Ilmiah. Juni 19, 2012.

http://www.winanto.typepad.com

18