Upload
phungnga
View
245
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DRAFT LAPORAN RISET KELOMPOK
2017
TINJAUAN GEOLOGI DAERAH MAJALENGKA DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP KEMUNGKINAN
KETERDAPATAN MINYAK DAN GAS BUMI
Oleh:
Iyan Haryanto (Ketua)
Johanes Hutabarat (Anggota)
Agung Mulyo (Anggota)
DEPARTEMEN GEOLOGI SAINS
FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI
UNPAD
2017
i
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN 1
STRATIGRAFI 3
Formasi Cinambo 6
Formasi Halang 12
Formasi Subang 16
Formasi Kaliwangu 17
Formasi Citalang 18
Endapan Kwarter 18
Batuan Intrusi 20
STRUKTUR GEOLOGI 21
TEKTONIK 23
PROSPEK HIDROKARBON 28
KESIMPULAN 31
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Majalengka dan sekitarnya secara fisiografi termasuk kedalam Zona
Bogor menurut pembagian dari van Bemmelen (1949), sedangkan berdasarkan atas
fisiografik-tektonik menurut Suyanto (1973) terletak di Cekungan Bogor. Cekungan
Bogor yang menempati bagian tengah dari Jawa Barat secara tektonik dikatagorikan
sebagai ”Intra Arc-basin” yang ditinjau dari segi potensi hidrokarbon dianggap tidak
atau kurang prospektip. Sebaliknya disebelah utara dari cekungan ini terdapat Cekungan
Jawa Barat Utara yang selama ini dikenal sebagai cekungan yang mempunyai potensi
hidrokarbon paling utama di kawasan Jawa Utara dan dikategorikan sebagai
Cekungan ”Back-Arc”, yang pada umumnya merupakan cekungan dimana hidrokarbon
dapat berkembang dengan baik.
Batasan antara kedua cekungan yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda itu
tidaklah begitu jelas, mengingat sering terjadinya perubahan status dari waktu ke waktu,
yang berkaitan dengan kedudukan daripada jalur ”subduksi” dan jalur magmatiknya.
Sampai sekarang batas antara kedua cekungan tersebut umumnya diletakkan
pada apa yang disebut sebagai ”Hinge Belt”, yang diketahui atau dianggap selama ini
sebagai suatu tinggian yang membatasi kedua cekungan tersebut. Secara pasti
sebenarnya baik lokasi dan sifat geologi dari ”Hinge belt” tersebut belum diketahui.
Tetapi yang pasti batasan tersebut dapat saja bersifat sebagai zona peralihan antara
Cekungan Jawa Barat Utara yang kaya hidrokarbon dengan Cekungan Bogor yang
kurang atau tidak prospektip di selatannya.
2
Kajian literatur geologi daerah Majalengka dan sekitarnya ini dilatar belakangi
oleh pertanyaan terhadap dimana batas pemisah antara Cekungan Bogor dengan
Cekungan Jawa Barat Utara, dan menerus atau tidaknya sedimen-sedimen isian
cekungan Jawa Barat Utara ke arah lebih selatan. Harapannya dengan mengetahui posisi
antara ke dua cekungan tersebut berserta isiannya, nantinya akan dapat dinilai
kemungkinan prospek atau penafsiran adanya akumulasi hidrokarbon pada daerah zona
transisi tersebut, dan seberapa jauh ke arah selatan eksplorasi hidrokarbon dapat
dilakukan.
Lokasi
Daerah kajian mencakup seluruh Peta Geologi Bersistem Lembar Arjawinangun
yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengengbangan Geologi (P3G) Bandung,
seluas kurang lebih 1.000 km2 .
Secara administratif daerah kajian termasuk ke dalam wilayah Kabupaten
Majalengka dan Kuningan.
3
STRATIGRAFI
Tinjauan Umum
Dari pemelajaran terhadap laporan-laporan geologi, baik yang terbit ataupun
yang tidak terbit terdapat adanya perbedaan yang menyolok dalam susunan stratigrafi
resmi, atau dengan kata lain belum adanya suatu susunan stratigrafi resmi yang baku
untuk daerah ini, seperti nampak pada tabel yang memperlihatkan perbandingan
stratigrafi di daerah Majalengka (Tabel 1-1).
Kenyataan menunjukkan bahwa :
Dalam daerah tertentu, terdapat lebih dari 1 (satu) susunan stratigrafi.
Hubungan tiap satuan stratigrafi masih berbeda-beda menurut penulis
yang satu dengan lainnya.
Terdapat perbedaan umur yang mencolok dari satuan stratigrafi dengan
nama yang sama oleh beberapa penulis.
Sistematika
Urut-urutan stratigrafi di daerah Majalengka dan sekitarnya mencerminkan suatu
pengendapan di dalam cekungan yang memanjang dengan arah hampir timur-barat,
dimana tepi-tepi dan dasarnya dibatasi dan disilangi oleh struktur sesar yang
mempunyai arah bervariasi antara timurlaut-baratdaya dan tenggara-baratlaut.
Cekungan pengendapan ini oleh para peneliti terdahulu dikenal sebagai bahagian
dari ”Bogor Through” atau ”Bogor Zone” (Lemigas, 1969, Martodjojo, 1984; van
Bemmelen, 1949).
4
Sedimen-sedimen kastik berupa selang-seling batuan sedimen berbutir kasar
dan halus dengan tanda-tanda endapan arus turbid serta pelengseran, dan selingan
endapan klastika asal gunungapi, telah mengisi cekungan di daerah ini semenjak zaman
Miosen hingga Holosen.
Batuan sedimen tertua yang tersingkap berumur Miosen Bawah, sedangkan yang
termuda adalah Pleistosen Atas. Endapan-endapan gunungapi Kuarter dan aluvium
sungai menutupi secara tidak selaras lapisan-lapisan di bawahnya yang lebih tua.
Berdasarkan atas umur batuannya, maka urutan stratigrafi untuk Zaman Tersier
dapat dilakukan pembagian sebagai berikut :
1. Miosen Bawah terbagi dalam Formasi Cinambo Anggota Bawah dan Cinambo
Anggota Atas (menurut Djuri, 1973).
2. Miosen Tengah diwakili oleh ”Cimanuk Serie 1-4” dan ”Cidadap Beds” Fasies
Selatan (menurut Koolhoven, 1936), Formasi Halang Anggota Bawah (menurut
Djuri, 1973), Formasi Cinambo beserta Anggota Jatigede (menurut Martodjojo,
1984), dan Formasi Cisaar dan Formasi Cinambo (menurut Djuhaeni, dkk
(1984).
3. Miosen Atas terdapat sebagai ”Cidadap Beds” Fasies Utara (menurut
Koolhoven, 1936), Formasi Halang Anggota Atas dan Formasi Subang (menurut
Djuri, 1973), Formasi Cinambo beserta Anggota Jatigede (menurut Martodjojo,
1984), dan Formasi Cantayan dan Formasi Bantarujeg (menurut Djuhaeni, dkk.
(1984).
5
4. Pliosen terbagi dalam ”Kaliwangu Beds” dan ”Cilutung Serie” (menurut
Koolhoven, 1936), Formasi Kaliwangu dan Citalang (menurut Djuri, 1973),
Formasi Kaliwangu (menurut Martodjojo, 1984), dan Formasi Subang dan
Kaliwangu (menurut Djuhaeni, dkk (1984).
5. Pleistosen diwakili oleh Endapan Breksi volkanik kuarter dan Aluvial (menurut
Koolhoven, 1936), Breksi terlipat, Hasil Gunungapi Tua dan Muda (menurut
Djuri, 1973), Breksi Gunungapi dan Formasi Citalang (menurut Martodjojo,
1984 dan Djuhaeni, dkk. 1984).
Pembagian stratigrafi yang berkembang di daerah Majalengka dan sekitarnya
berdasarkan atas klasifikasi litostratigrafi, sedangkan tatanama yang digunakannnya
menggunakan nama-nama yang sudah dikenal dan lazim digunakan dalam publikasi
peta geologi regional yang diterbitkan oleh P3G Bandung, dimana urutannya dari tua ke
muda berturut-turut adalah :
1. Formasi Cinambo
2. Batugamping Kompleks Kromong
3. Formasi Halang
4. Formasi Subang
5. Formasi Kaliwangu
6. Formasi Citalang
7. Endapan Kuarter, dan
8. Batuan Intrusi
6
Formasi Cinambo
Formasi Cinambo, merupakan formasi tertua yang tersingkap di daerah ini
berumur Oligo-Miosen sampai Miosen Awal. Penyebaran singkapan formasi ini
meliputi daerah sekitar Darmaraja Kabupaten Sumedang sampai kaki G. Ciremai bagian
barat. Ketebalannya lebih dari 1200 meter. Koolhoven (1935) menamakan formasi ini
sebagai “Cimanuk Serie” 1 sampai seri 4, sedangkan van Bemmelen (1949)
menamakannya Formasi Pemali berumur Oligo-Miosen sampai Awal Miosen Tengah.
Djuri (1973) membagi Formasi Cinambo menjadi dua anggota yaitu Anggota
Batupasir (tertua) dan Anggota serpih selaras di atasnya. Anggota Batupasir terdiri dari
batupasir (graywacke) gampingan, tufa, batlempung dan batulanau. Ciri perlapisan tebal
dengan sisipan serpih dan batulempung tipis yang padat berwarna kehitam-hitaman.
Anggota serpih terdiri dari serpih dengan sisipan batupasir dan batugamping, batupasir
gamping, batupasir tufaan dengan ketebalan 400 meter sampai 500 meter.
Dari hasil kerja pemetaan geologi permukaan oleh mahasiswa Geologi Unpad di
daerah Majalengka dan sekitarnya dari tahun 60-an hingga sekarang baik berupa
laporan pemetaan geologi atau berupa Skripsi/Tugas Akhir, secara stratigrafi litologi
penyusun Formasi Cinambo dapat dibagi menjadi 3 (tiga) satuan batuan, yaitu :
1. Satuan Batulempung bersisipan batugamping dan batupasir.
Satuan ini menyebar di bagian selatan daerah pembahasan, terdiri dari dominan
batulempung dengan sisipan batugamping dan batupasir.
Batulempung merupakan bagian yang dominan, bersifat gampingan, berwarna
kelabu gelap-kehijauan, mengandung fosil foraminifera plankton dan benthos,
7
kadang-kadang menyerpih dan keras. Dibeberapa tempat dijumpai nodul-nodul
batugamping lempungan yang berwarna kelabu terang, kadang mengandung oksida
besi, massif, sangat keras, berukuran hingga 15 centimeter. Analisis petrografi yang
dilakukan terhadap contoh batuan ini adalah ”Claystones” dengan komposisi
mineraloginya terdiri dari mineral lempung (60%), karbonat (20$%), kuarsa (10%),
mineral bijih (8%) dan fragmen fosil plankto (2%).
Lapisan batugamping merupakan sisipan, berwarna kelabu terang sampai putih,
kadang berbintik kuning, tersusun oleh kerangka fosil foraminifera besar dominan,
kadang-kadang foraminifera kecil dominan, fargmnen batulempung, sedikit pirit dan
kuarsa, berbutir halus-sangat kasar, terpilah buruk, membundar tanggung, porositas
buruk, struktur gading dan laminasi sejajar, sangat keras, batas bawah tegas dan jejak
bidang erosi. Secara mikroskopis batugamping tersebut, merupakan
jenis ”Foraminiferal Grainstone”, terdiri dari dominan fosil foraminifera besar,
karbonat sebagai semen spar, serta fragmen-fragmen yang berupa kuarsa dan fragmen
batuan, dan.mempunyai porositas intergranular (2%); atau berjenis ”Foraminiferal
Packstone”, dengan fragmen pembentuk yang dominan berupa fosil plankton dan
benthos.
Lapisan batupasir yang merupakan sisipan lainnya, secara megaskopis berwarna
kelabu kehijauan, bersifat gampingan, berbutir sangat halus-sangat kasar, kadang-
kadang granul pada dasar lapisan, terpilah butruk, berbentuk menyudut tanggung-
membundar tanggung, porositas buruk sampai sdang, memperlihatkan struktur
grading, laminasi sejajar, konvolut dan pelitik, dan mempunyai batas yang tegas pada
8
bagian bawahnya dan butir pembentuknya makin ke atas makin halus. Penelitian
mikroskopis terhadap beberapa contoh batupasir dalam satuan ini menunjukkan
jenisnya batupasir ”litihc wacke-volcanic wacke”.
Penentuan umur didasarkan atas analisis foraminifera planktonik, yang
menunjukkan zonasi Blow mulai dari N.9, N.10, N.11, N.12, dan N.13, sehingga
menempatkan satuan ini pada umur Miosen Tengah bagian bawah sampai Miosen
Tengah bagian atasnya.
Kedalaman pengendapan yang ditentukan dari analisis foraminifera bentonik
adalah Neritik Tengah dan Bathyal Atas (sekitar 550-2.000 m). Adanya dua jenis
lingkungan yang berbeda ini menunjukkan kemungkinan telah terjadi percampuran
fosil akibat resedimentasi.
Penafsiran lingkungan pengendapan yang ditentukan dari ciri-ciri litologi dan
susunannya, struktur sedimen, serta ditunjang pula oleh hasil analisis laboratorium
berupa analisis paleontologi, analisis petrografi dan granulometri, menunjukkan
bahwa satuan batuannya diendapkan dalam lingkungan turbidit.
2. Satuan batupasir sisipan batulempung
Satuan ini penyebarannya masih menempati bagian selatan daerah pembahasan,
dengan didominasi batupasir dan sisipan tipis-tipis batulempung, dimana pada
beberapa tempat dijumpai juga adanya sisipan batugamping klastik.
Lapisan batupasirnya bersifat gampingan, berwarna kelabu kehijauan, erbutir
halus sampai kasar, pemilahannya buruk, membundar tanggung samapi menyudut,
porositasnya buruk sampai sedang dan sangat keras. Bidang alas lapisan tegas dan
9
umumnya memperlihatkan jejakpengikisan. Fragmen pembentuk bagian bawah
berbutir kasar kadang-kadang granul dan makin ke atas butirannya makin halus.
Struktur sedimen Ta dan Tb (Bouma, 1962) sangat umum dijumpai pada lapisan
batupasir tersebut. Analisis petrografi yang dilakukan terhadap contoh batuan ini
adalah ”volcanic wacke” dengan komposisi mineraloginya terdiri dari fragmen
batuan (28%), kuarsa (15%), plagioklas (15%), K-felspar (10%), dan fragmen fosil
(<2%), matriks lempung dan karbonat (30%), kuarsa (10%), mineral bijih (8%) dan
fragmen fosil plankton (2%).
Batulempung sebagai sisipan, bersifat gampingan, menyerpih sangat keras,
sering mengandung fosil foraminifera kecil walaupun melimpah. Kadang-kadang
dijumpai Clay-pellet dalam batupasir kasar-sedang seperti terlihat di lintasan Sungai
Lebak Situhiang. Clay pellet tersebut berwarna kelabu, sangat gampingan, banyak
mengandung fosil foraminifera kecil.
Penentuan umur didasarkan atas analisis foraminifera planktonik, yang
menunjukkan zonasi Blow mulai dari N.12, N.13 dan N.14, sehingga menempatkan
satuan ini pada umur Akhir Miosen Tengah.
Kedalaman pengendapan yang ditentukan dari analisis foraminifera bentonik
adalah Bathyal Bawah bagian atas (anatrar 550-1.100 m).
Penafsiran lingkungan pengendapan yang ditentukan dari ciri-ciri litologi dan
susunannya, struktur sedimen, serta ditunjang pula oleh hasil analisis laboratorium
berupa analisis paleontologi, analisis petrografi dan granulometri, menunjukkan
10
bahwa satuan batuannya diendapkan dalam lingkungan marin dengan mekanisme
turbidit.
3. Satuan batulempung sisipan batupasir
Satuan ini penyebarannya masih menempati bagian selatan daerah pembahasan,
dimana batulempung sangat dominan dengan disisipi batupasir dan batugamping.
Batulempung berwarna kelabu kehijuan sampai gela, bersifat gampingan,
kadang-kadang menyerpih, mengandung fosil plankton dan benthos, bersifat keras.
Analisis petrografi yang dilakukan terhadap contoh batuan ini termasuk
jenis ”claystones” dengan komposisi mineraloginya terdiri dari mineral lempung
(70%) sebagai penyusun utama batuan, karbonat (20%), fragmen fosil plankton dan
mineral kuarsa (5%), dan gelas volkanik (5%).
Batupasir sebagai sisipan utama dalam satuan ini umumnya bersifat lempungan
dan gampingan, berwarna kelabu kehijauan, berbutir halus-kasar, terpilah buruk,
membundar tanggung hingga menyudut tanggung, porositas buruk-sedang, kiadang-
kadang mengtandung fragmen fosil dan keras. Analisis petrografi yang dilakukan
terhadap contoh batuan ini termasuk jenis ”volcanic wacke”.
Batugamping sebagai sisipan yang berkembang di beberapa lokasi, secara
megaskopis berwarna kelabu terang - putih, bersifat lempungan, tersusun oleh
fragmen foraminifera besar dan fragmen batuan berbutir sangat halus-sangat kasar
dan granul
11
Batugamping Kompleks Kromong
Selaras di atas Formasi Cinambo, diendapkan Batugamping Kompleks Kromong
berumur Miosen Awal sampai Miosen Tengah. Terdiri dari batugamping terumbu
berwarna kuning kotor kecoklatan sampai kelabu. Penyebarannya terbatas di sekitar G.
Kromong (+587 m). Van Bemmelen memasukan batugamping kompleks Kromong ini
kedalam Upper Halang Beds (Miosen Akhir ?). Karena terbatasnya endapan
batugamping terumbu, sebagian besar Formasi Cinambo ditutupi selaras oleh Formasi
Halang.
Dari hasil kerja pemetaan geologi permukaan oleh mahasiswa Geologi Unpad di
daerah Majalengka dan sekitarnya dari tahun 60-an hingga sekarang baik berupa
laporan pemetaan geologi atau berupa Skripsi/Tugas Akhir, litologi penyusun
Batugamping Kompleks Kromong mempunyai ciri utama berupa batugamping yang
umumnya membentuk suatu terumbu, dibeberapa tempat merupakan batugamping
kristalin. Tetapi sering juga dijumpai serpih sebagai sisipan, berwarna abu-abu
kehitaman. Batugamping ini terdapat di bagian utara daerah Majalengka, tersingkap dan
menempati pada bagian timurlaut dari komplek Gunung Kromong, yaitu sekitar daerah
Gunung Merak sebagai pusat penyebarannya. Dari dimensi penyebarannya membentuk
suatu puncak kubah dengan pemanjangan sumbu mengarah dari baratlaut – tenggara.
Batugamping umumnya masif, keras berwarna putih kekuningan hingga abu-abu
kebiruan, mengandung banyak koral, fosil foraminifera bersar, algae dan moluska; dan
seringkali mengandung konkresi silika (chert) berwarna gelap yang merupakan penciri
dari satuan batugamping ini. Secara mikroskopis menunjukkan bahwa batuan ini adalah
12
batugamping jenis ”packstone-wackestone”, dengan konstitusi utama terdiri dari
bioklastik, foram besar dan kecil, koral, serta ganggang dan moluska yang sebagian
bersentuhan, tertanam dalam mikrit. Di beberapa tempat kadang-kadang dijumpai
adanya batugamping yang mempunyai perlapisan tipis dengan ketebalan kira-kira 15 cm,
berwarna abu-abu muda sanapi tua, berbutir sedang hingga kasar dan banyak
mengandung foraminifera besar dan algae.
Dari hasil analisis fosil foram planktonik umumnya menunjukkan ke zonasi
N.12sampai N.15 atau berdasarkan foram besar pada zona Tf1 sampain Tf2 atau sekitar
Miosen Tengah bagian atas. Lingkungan pengendapannya berupa laut dangkal
kedalaman laut kurang dari 100 meter, jernih dengan temperatur hangat dan salinitas
normal.
Formasi Halang
Koolhoven (1935) menyebut formasi ini Cidadap Beds fasies selatan (Miosen-
Tengah) dan Van Bemmelen (1949) memberi nama Upper Halang Beds fasies volkanik
selatan terdiri dari breksi dan batupasir tufa berumur Akhir Miosen Tengah.
Formasi Halang berumur Miosen Tengah sampai Awal Miosen Akhir.
Penyebarannya di bagian selatan antara Darmaraja sampai Talaga dan di bagian utara
antara Jatigede sampai Panyindangan. Ketebalannya sekitar 1200 meter sampai 1500
meter.
Formasi Halang terdiri dari dua anggota yaitu Anggota Bawah dan Anggota
Atas. Anggota Bawah terdiri dari breksi gunungapi yang bersifat andesit dan basalt.
13
Ditemukan juga tufa dan batulempung serta konglomerat. Formasi Halang Anggota atas
terdiri dari batupasir, tufa, batulempung, konglomerat. Batupasir sangat dominan.
Dari hasil kerja pemetaan geologi permukaan oleh mahasiswa Geologi Unpad di
daerah Majalengka dan sekitarnya dari tahun 60-an hingga sekarang baik berupa
laporan pemetaan geologi atau berupa Skripsi/Tugas Akhir, secara stratigrafi litologi
penyusun Formasi Halang dapat dibagi menjadi 2 (dua) satuan batuan, yaitu :
1. Satuan breksi-konglomerat-batupasir
Satuan batuan ini masih menyebar di bagian selatan daerah Majalengka, dimana
singkapan yang baik terlihat di lintasan Sungai Cilutung, Cigunung, Cipeucang dan
Ciwaru. Pada umumnya satuan ini tersingkap dengan baik memanjang dengan arah
hampir barat-timur.
Breksi sebagai penyusun utama satuan ini berwarna kelabu hingga kelabu gelap,
berbutir granul sampai bongkah, terpilah buruk, menyudut hingga menyudut tanggung,
kemas tertutup, kompak. Fragmen-fragmennya terdiri dari pecahan batuan andesitis,
basaltis, batupasir gampingan, batulempung, nodul napal dan pecahan batugamping
koral mengambang dalam masadasar berupa batupasir lempungan dan bersifat
gampingan, berwarna kelabu hingga kelabu gelap kehijauan, berbutir halus-kasar,
terpilah buruk, menyudut-menyudut tanggung, keras. Breksi yang berukuran kerakal-
bongkah umumnya memperlihatkan pengkasaran ke atas, sedangkan yang berbutir
granul umumnya menghalus ke atas. Frgamen-fragmen batuannya tidak
memperlihatkan orientasi yang jelas atau acak. Di bawah mikroskop ternyata masa
dasar batupasir ini termasuk jenis ”volcanic wacke”.
14
Konglomerat sebagai penyusun utama lainnya berwarna kelabu hingga kelabu
gelap, berbutir granul sampai kerakal, terpilah buruk, membundar hingga membundar
tanggung, kemas tertutup, kadang ada juga yang mempunyai kemas terbuka terutama di
bagian bawah. Umumnya memperlihatkan struktur perlapisan bersusun yang secara
vertikal butirannya menghalus ke atas berukuran pasir kasar-pasir halus, dan dibeberapa
tempat dijumpai adanya struktur Ta, Tb, dan Tc (Bouma, 1962). Masadasarnya tersusun
dari batupasir kasar, terpilah buruk, membundar tanggung-menyudut tanggung dan
keras.
Batupasir sebagai penyusun utama lainnya berwarna abu-abu hingga kelabu
kehijauan, umumnya berbutir halus-kasar, terpilah buruk sampai sedang, membundar
tanggung-menyudut tanggung, porositas sedang, keras, dengan batas bawahnya tegas
dengan sisipan batulempung. Batulempungnya memperlihatkan sifat menyerpih,
gampingan, berwarna kelabu dan mengandung fosil plankton dan benthos. Secara
mikroskopis batupasirnya termasuk jenis ”volcanic wacke”, sedangkan
batulempungnya digolongkan sebagai ”calcareous claystone”.
Dari kandungan fosil foraminiferanya menunjukkan bahwa umur dari satuan
batuan ini adalah Miosen Atas sampai Pliosen Bawah, atau N.17-N.18 (zonasi Blow,
1969). Sedangkan penafsiran lingkungan pengendapannya yang ditentukan dari ciri-ciri
litologi dan susunannya, struktur sedimen, serta ditunjang pula oleh hasil analisis
laboratorium berupa analisis paleontologi, analisis petrografi dan granulometri,
menunjukkan bahwa satuan batuan ini diendapkan dalam lingkungan marin dengan
mekanisme arus turbid pada zona bathyal pada sistem kipas bawah laut.
15
2. Satuan batulempung selang-seling batupasir
Satuan batuan ini masih menyebar di bagian selatan daerah Majalengka,
singkapan yang baik terlihat di lintasan Sungai Cihikeu, Cilengkrang, Cigunung, Cijurai,
Ciwaru, Cilesang dan Sungai Cilutung dekat Bantarujeg. Pada umumnya satuan ini
tersingkap dengan baik memanjang dengan arah hampir barat-timur agak ketenggara
terdiri dari perselingan batulempung dan batupasir yang berulang dengan interval 3-15
meter dan memperlihatkan penebalan ke arah atas. Di beberapa tempat kadang-kadang
dijumpai konglomerat sebagai sisipan dengan ketebalan 2-4 meter seperti terlihat di
Sungai Cihikeu.
Batulempung sebagai penyusn utama bersifat gampingan, berwarna kelabu-
kelabu gelap kehijauan, masif, tidak menunjukkan perlapisan yang baik, mengandung
fosil foram besar dan kecil, serta tidak menunjukkan struktur sedimen yang baik. Dari
hasil pengamatan petrografi batuan ini termasuk jenis ”calcareous claystone”.
Batupasir sebagai penyusun utama bersifat tufaan, berwarna kelabu kehijauan,
berbutir halus-kasar kadang-kadang hingga berukuran granul pada dasar lapisan,
terpilah buruk, menyudut tanggung-membundar tanggung, porositas buruk-sedang,
masif dan keras. Secara mikroskopis batupasir ini termasuk jenis ”volcanic wacke”.
Konglomerat sebagai sisipan, berwarna kelabu, fragmennya terdiri dari batuan
andesit, batupasir, batulempung, batugamping koral dan nodul lempung gampingan.
Besar butir berkisar dari kerikil sampai bongkah, terpilah buruk, membundar tanggung,
kemas terbuka. Sedangkan masa dasarnya terdiri dari batupasir lempungan dan
16
gampingan, berwarna kelabu kehijauan, berbutir halus-kasar, terpilah buruk,
membundar tanggung dan keras.
Dari kandungan fosil foraminiferanya menunjukkan bahwa umur dari satuan
batuan ini adalah Miosen Atas bagian atas hinga Pliosen Bawah bagian bawah, atau
N.18 (zonasi Blow, 1969). Sedangkan penafsiran lingkungan pengendapannya yang
ditentukan dari ciri-ciri litologi dan susunannya, struktur sedimen, serta ditunjang pula
oleh hasil analisis laboratorium berupa analisis paleontologi, analisis petrografi dan
granulometri, menunjukkan bahwa satuan batuan ini diendapkan dalam lingkungan
marin dengan mekanisme arus turbid pada zona kedalaman lebih kurang antara 500-
1200 meter pada sistem kipas bawah laut.
Formasi Subang
Formasi Subang Anggota Batulempung berumur Miosen Akhir diendapkan
selaras di atas Formasi Halang. Litologinya terdiri dari betulempung mengandung
lapisan batugamping abu-abu tua, napal, kadang-kadang ditemukan batupasir glaukopit
hijau. Penyebaran singkapan formasi tersebut mencakup sebelah utara kota Majalengka
ke arah barat-laut sampai daerah Subang pada peta geologi Lembar Bandung (Silitonga,
1973). Ketebalannya lebih dari 500 meter. Koolhoven (1935) menamakan formasi ini
sebagai ”Cidadap Beds” fasies utara ( Miosen Akhir) dan Van Bemmelen (1949)
memasukannya sebagai ”Cidadap Beds” fasies marin utara terdiri dari batulempung dan
serpih berumur Akhir Miosen Tengah.
17
Formasi Kaliwangu
Tidak selaras di atas Formasi Subang diendapkan Formasi Kaliwangu berumur
Pliosen Awal terdiri batulempung dengan sisipan batupasir tufaan, konglomerat,
kadang-kadang ditemukan lapisan batupasir gampingan dan batugamping (Djuri, 1973).
Pada batupasir dan konglomerat sering terdapat banyak fosil moluska. Ciri litologi ini
Penyebaran Formasi Kaliwangu cukup luas mencakup daerah-daerah sekitar
sungai Cihieum sampai Kecamatan Darmaraja, dan disekitar Arjawinangun sebelah
utara G. Ciremai (+3078 m). Selain itu tersingkap di sekitar Majalengka memanjang ke
arah barat daya sampai sebelah barat Subang, termasuk pada peta geologi lembar
Bandung (Silitonga, 1973). Ketebalannya sekitar 200 meter sampai 1200 meter.
Koolhoven (1935) menamakan formasi ini Kaliwangu Beds fasies selatan berumur
Pliosen, sedangkan Van Bemmelen (1949) menamakannya Kaliwangu Beds berumur
Pliosen Awal.
Dari hasil kerja pemetaan geologi permukaan oleh mahasiswa Geologi Unpad di
daerah Majalengka dan sekitarnya dari tahun 60-an hingga sekarang baik berupa
laporan pemetaan geologi atau berupa Skripsi/Tugas Akhir, litologi penyusun Formasi
Kaliwangu terdiri dari batulempung disertai sisipan batupasir, yang tersebar di bagian
Utara daerah Majalengka. Pada umumnya satuan ini tersingkap dengan baik
memanjang dengan arah hampir barat-timur agak ketenggara terdiri dari batulempung
dengan sisipan tipis batupasir kaya akan fosil moluska.
Batulempung sebagai penyusun utama bersifat gampingan, berwarna kelabu
hingga kelabu gelap, masif, tidak menunjukkan perlapisan yang baik, mengandung fosil
18
foram plankton dan benthos dan kaya akan fosil moluska. Dibeberapa tempat di bagian
bawahnya banyak mengandung fragmen-fargmen berukuran kerikil hingga bongkah
beruipa batuan andesit dan fargmen gamping koral yang mengambang di dalam
batulempung. Ciri khas dari Formasi Kaliwangu adalah sering dijumpainya fragmen
fosil moluska yang agak rapuh.
Formasi Citalang
Formasi Citalang diendapkan selaras di atas Formasi Kaliwangu, berumur
Pliosen Tengah sampai Pliosen Akhir. Formasi ini terdiri dari batupasir tufaan berwarna
coklat muda, lempung tufaan, konglomerat, kadang-kadang ditemukan lensa batupasir
gampingan yang keras dan lensa batugamping koral berwarna kuning kotor sampai
coklat. Penyebaran singkapan di sebelah barat dan uatara kota Majalengka memanjang
ke arah barat laut dan makin sempit di sebelah utara G. Tampomas (Djuri, 1973).
Ketebalannya antara 400 meter sampai 600 meter. Yang kemungkinan identik dengan
penelitian Van Bemmelen (1949) ialah Ciherang Beds (Pliosen Tengah) atau Cilutung
Serie dari Koolhoven (1935).
Endapan Kwarter
Endapan Kwarter yang termasuk dalam peta geologi lembar Arjawinangun
(Djuri, 1973) dan sebagian lembar Bandung (Silitonga, 1973) yang menutupi endapan
Tersier dari Zona Bogor bagian timur terdiri dari :
19
1). Batupasir tufaan, lempung, konglomerat, breksi tufaan mengandung batuapung dan
breksi gunung api bersifat andesit, breksi tufaan, batupasir kasar, lempung tufaan
dan graywacke, berumur Pleistosen Awal.
2). Hasil gunung api tua (Pleistosen Tengah) terdiri dari batuan gunung api tak
teruraikan, breksi polimik Kompleks Kromong (Komponen : andesit, tufa,
batugamping), breksi volkanik dan lahar, aliran lava tua bersifat andesit dengan
hornblende sebagai mineral utama.
Kedua lapisan batuan Pleistosen tersebut di atas menyebar sangat luas dari sekitar G.
Ciremai, lereng utara G. Cakrabuana sekitar G. Tampomas dan melanjut ke barat.
Sebagian besar lapisan batuan tersebut telah tererosi dan sebagian lagi tertutup oleh
lapisan batuan hasil gunung api muda ( Pleistosen Akhir) dan aluvial Resen.
3). Batuan hasil gunung api muda terdiri dari :
a) Breksi, lava bersifat andesit dan basalt, pasir tufaan dan lapili yang berasal dari
G. Ciremai dan,G. Tampomas.
b) Aliran lava muda andesitis dari G. Ciremai dan lava muda basaltis dari G.
Tampomas, umumnya banyak mengandung lobang-lobang gas.
4) Batuan aluvial Resen. Penyebaranya cukup luas terutama di daerah Arjawinangun
(Djuri, 1973) meliputi sepanjang daerah aliran sungai Cimanuk dan sebelah timur
laut kota Arjawinangun. Di daerah penelitian Silitonga (1973) yang termasuk peta
Bandung, penyebaran aluvial terdapat di sepanjang daerah aliran sungai Cipunagara,
Cibodas, Cibogo dan Cilamaya.
20
Batuan Intrusi
Batuan intrusi cukup banyak tersebar berupa korok dan sill yang menembus
lapisan-lapisan batuan Formasi Cinambo, Formasi Halang dan Formasi Kaliwangu.
Terdapat di sekitar Talaga, sebelah barat-daya kota Majalengka dan kompleks Kromong
berbentuk tonjolan-tonjolan bukit.
Batuan intrusi umumnya terdiri dari andesit hornblende dan andesit hiperstan.
Pada lembar peta geologi Bandung (Silitonga, 1973) bagian utara (yang termasuk zona
Bogor) tidak banyak di jumpai batuan intrusi. Hanya terdapat di sekitar G. Tampomas
sebelah selatan dan barat serta sebelah selatan kota Subang (Gunung Tua). Umumnya
terdiri dari andesit.
21
STRUKTUR GEOLOGI
Struktur geologi daerah Majalengka dan sekitarnya yang meliputi daerah di
sekitar Kadipaten dan Majalengka didapatkan pola struktur besar yang berpotongan
(Gambar 1-1), berbeda dengan daerah lainnya di Jawa Barat. Pola pertama lebih berarah
hampir barat-timur, disini dinamakan Pola Jatigede, sedangkan pola lainnya adalah Pola
Baribis yang memotong pola pertama sekitar daerah labil Talaga di kaki baratdaya
Gunung Ciremai. Kedua pola struktur ini merupakan akibat kompresi dengan sesar-
sesar naik sebagai gejala struktur utama, tetapi terjadi pada umur yang berbeda
(Martodjojo, 1983).
Struktur lain yang menarik adalah struktur yang dinamakan Pola struktur Malati,
dimana struktur ini ditafsirkan hasil gerak tanah yang besar bersamaan atau sesudah
gerak dari sesar Baribis.
Dari hasil kerja pemetaan geologi permukaan oleh mahasiswa Geologi Unpad di
daerah Majalengka dan sekitarnya dari tahun 60-an hingga sekarang baik berupa
laporan pemetaan geologi atau berupa Skripsi/Tugas Akhir, struktur geologi yang
berkembang di daerah ini berupa :
1. Suatu kelompok struktur lipatan terdiri dari 9 buah antiklin dan 9 buah
sinklin dengan arah sumbu kesemuanya barat-timur agak ke tenggara.
2. Suatu zona sesar naik berukuran utama yang terbentang tepat di
selatannya kampung Jatigede dari ujung barat hingga timur. Panjang
sesarnya diperkirakan lebih dari 10 km, dengan bagian selatannya yang
naik terhadap bagian utaranya. Sesar naik ini memperlihatkan jurus
22
umum Barat Baratlaut-Timur Tenggara. Selanjutnya sesar naik ini
memotong terutama formasi-formasi batuan Formasi Cinambo dan
Halang, dan diperkirakan masih menerus ke arah Barat Baratlaut dan
Timur Tenggara.
3. Dibagian utara daerah Majalengka ini dijumpai suatu sesar naik yang
besar yang dinamakan sesar Baribis memanjang baratlaut-tenggara
dengan bagian selatannya yang naik terhadap bagian utaranya. Sesar ini
disekitar kota Majalengka tertutup oleh endapan sungai dan
kenampakannya pada citra LANDSAT arah nya dapat diikuti terus ke
kaki baratdaya dari Gunung Ciremai, tapatnya pada kecamatran Talaga.
4. Lima buah sesar mendatar menganan yang kesemuanya menjurus relatif
utara-selatan dan tiga buah sesar mendatar mengiri yang kesemuanya
berarah relatif timurlaut-baratdaya.
23
TEKTONIK
Pola tektonik dari suatu cekungan pengendapan merupakan produk dari
perkembangan cekungan tersebut sejak pembentukannya. Ada 4 (empat) aspek penting
berkaitan dengan evolusi cekungan dalam hubungannya dengan geologi minyak dan gas
bumi yang akan menentukan potensinya sebagai lahan yang prospektif.
Aspek pertama adalah bentuk, ukuran dasn konfigurasi batuan dasar dari
cekungan itu. Konfigurasi batuian dasar cekungan ini, akan tercermin dari pola atau
tatanan struktur geologi regionalnya, terutama yang tersingkap sebagai bagian tepi dari
cekungan. Konfigurasi dasar cekungan ini mempunyai pengaruh besar terhadap proses
pengendapan yang berlangsung didalam cekungan dengan adanya tinggian-tinggian atau
depresi-depresi setempat, yang seringkali dibatasi oleh sesar-sesar yang terbentuk pada
saat atau pada awal pembentukan cekungan.
Aspek kedua adalah proses pengendapan yang berlangsung selama cekungan itu
berkembang, yang akan membentuk tatanan stratigrafi serta sebaran facies lapisan-
lapisan sedimen. Aspek utama kedua ini akan menentukan potensi batuan induk/sumber,
cadangan/reservoir dan ada atau tidaknya lapisan penyekat.
Aspek ketiga adalah selama perkembangan selanjutnya dari cekungan itu akan
memungkinkan terjadinya :
Deformasi pada lapisan-lapisan sedimen yang mengisi cekungan itu,
yang kemudian akan membentuk struktur geologi, dan
Pengaktifan kembali struktur-struktur sesar yang sudah ada semula pada
batuan dasar.
24
Aspek utama yang ketiga ini akan memungkinakan terjadinya perangkap-
perangkap struktur untuk hidrokarbon dan juga dapat berfungsi sebagai saluran-saluran
dalam batuan, yang memungkinkan minyak bumi bermigrasi dari batuan sumbernya.
Hal yang penting juga dalam aspek ketiga ini adalah pembentukan porositas sekunder
pada batuan sebagai akibat deformasi yang berlanjut.
Aspek yang keempat adalah proses pematangan dan migrasi yang juga
ditentukan oleh perkembangan selanjutnya dari cekungan. Proses pematangan
mempunyai kaitan yang erat dengan sejarah penimbunan (burial history) dan kegiatan
magmatik apabila ada.
Selama perkembangannya, sifat dari cekungan pengendapan dapat berubah dari
satu tipe ke lainnya, sejalan dengan perubahan sifat interaksi lempengnya. Sebagai
contoh, suatu cekungan pengendapan dapat berawal sebagai cekungan muka busur,
tetapi kemudian mengakhiri sejarah perkembangannya sebagai cekungan belakang
busur, atau juga sebaliknya. Perubahan tipe tersebut, dengan sendirinya juga akan
mempunyai pengaruh terhadap potensi hidrokarbon.
Perkembangan tektonik dari ”Daratan Sunda” umumnya dan Pulau Jawa
khususnya, telah begitu banyak dipelajari dan dibahas serta ditulis oleh peneliti
terdahulu berdasar berbagai data foto udara, penelitian lapangan, citra satelit, data
magnetik, data gravitasi maupun data seismik.
Pembentukan dan perkembangan cekungan-cekungan Tersier di Pulau Jawa
diyakini oleh beberapa ahli mulai sekitar 53 juta tahun lalu, berhubungan erat dengan
terjadinya tumbukan (collosion) antara Lempeng Benua India dengan tepian selatan dari
25
pada Lempeng Benua Eurasia yang terjadi sekitar 50-52 Ma. Gejala tektonik yang
terjadi pada Awal Eosen ini adalah yang mengawali terbentuknya cekungan-cekungan
di Sumatera, Jawa, Malaysia, Thailand dan Kalimantan sebagai ”strike-slip basn”
(Tapponier, dkk 1986; Dally, dkk. 1987). Di Pulau Jawa sendiri dengan adanya gejala
tektonik tersebut menyebakan terjadinya Pola Struktur Sunda yang berarah utara selatan
yang yang hanya terdapat di di bagian barat Jawa Bara dan umumnya berpola regangan
(Pulunggono & Martodjojo, 2002 ?). Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh karena gerak
ke utara pada saat terjadinya tumbukan 50-52 Ma relatif lebih cepat di bagian barat (Di
Sumatera arah struktur utara-selatan lebih berkembang; contohnya di Sumatera Utara)
dan makin mengecil ke arah timur (di Jawa Barat bagian timur, Jawa Tengah dan Jawa
Timur arah struktur utara-selatan tidak begitu dominan) (Heidrich, 1993).
Di kawasan Jawa Barat Utara cekungan-cekungan pengendapan yang dibatasi
oleh sesar-sesar turun dengan tinggian-tinggian yang berarah utara-selatan mulai
terbentuk pada awal Tersier (40-30 Ma, atau Eosen Akhir-Oligosen). Cekungan ini
merupakan cekungan belakang busur (back arc basin), yang terdiri dari sub-sub
cekungan, dengan busur magmatiknya berada di Jawa Selatan (?).
Daerah Majalengka dan sekitarnya secara tektonik tercakup dalam cekungan
Jawa Barat Utara, yang merupakan bahagian dari pada Cekungan Jawa Utara dan
Cekungan Bogor (yang merupakan bahagian barat daripada Cekungan Bogor-Kendeng
dan menempati bahagian tengah P. Jawa). Kedua cekungan ini meskipun secara lateral
dapat diberikan batasan-batasan nyata yang didasarkan kepada sifat-sifat fisografinya,
26
namun didalam perkembangannya sejak dari pembentukannya pada awal Tersier itu
merupakan suatu urutan yang behubungan satu dengan lainnya.
Kenyataan ini yang kemudian menyebabkan timbulnya masalah terhadap
kedudukan dan sifat daripada ”zona transisi” yang hingga saat ini belum jelas baik
kedudukan dan sifat-sifatnya sebagai batas antara Cekungan Jawa Barat Utara dan
Cekungan Bogor.
Cekungan Jawa Barat Utara yang dikenal merupakan daerah paparan yang stabil,
berbatasan dengan daratan Sunda, juga tinggian-tinggian yang memisahkan sub-sub
cekungan ditandai oleh pengendapan laut neritik dari sejak Eosen sampai Pliosen
dengan sifat strukturnya terutama ditunjukkan oleh gerak vertikal, bersifat isostatik serta
sesar yang berarah hampir utara-selatan. Sedangkan Cekungan Bogor yang berada di
sebelah selatannya yang dikenal juga sebagai daerah yang labil dan kebanyakan
ditempati oleh endapan laut dalam yang bersifat turbidit, dengan sifat strukturnya sangat
kompleks, lipatan isoklinan serta pembalikan dari lapisan seringkali dijumpai disertai
oleh sesar-sesar naik yang mempunyai kemiringan pada umumnya ke arah selatan.
Perkembangan selanjutnya, bersamaan dengan adanya jalur tunjaman baru yang
terbentuk di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera pada umur Oligosen Akhir-Miosen
Awal (32 Jtl) mengakibatkan Pulau Jawa mengalami gaya kompresi yang menghasilkan
Zona Anjakan-Lipatan (Thrust Fold Belt) di sepanjang Pulau Jawa dan berlangsung
hingga sekarang dan diikuti pula dengan busur volkaniknya yang bergeser secara
berangsur pula ke utara (terdapatnya beberapa intrusi batuan beku di daerah
27
Rajamandala yang berdasarkan radiometri berumur 14,5 jt, atau ekivalen dengabn
Miosen Tengah).
Ditafsirkan bahwa pada saat ini terjadi pengangkatan yang disertai oleh
pergeseran-pergeseran melalui sesar ink, yang di acu oleg gejala volkanisma dan intrusi
yang dimulai di bagian selatan Majalengka, yang kemudian secara berngsur bergeser ke
utara (Gunung Kromong).
28
PROSPEK HIDROKARBON
Sistematika
Untuk dapat memberikan jawaban akan prospek minyak bumi pada suatu daerah,
hal pertama yang harus diteliti adalah sejarah cekungannya disamping macam
sedimentasinya. Status cekungan memberikan sejarah regime temperaturnya. Misalanya
seperti pada daerah cekungan depan busur volkanik umumnya mempunyai heat-flow
rendah. Sebaliknya daerah di busur volkanik, temperaturnya amat tinggi. Letak
cekungan terhadap busur volkanik, akan menggambarkan gerak tektonik tertentu,
dengan sendirinya akan memberikan refleksi terhadap macam sedimentasinya.
Selain hal tersebut di atas, adanya indikasi minyak dan gas bumi dipermukaan
yang dapat diamati di lapangan merupakan fakta yang sangat menunjang kemungkinan
adanya akumulasi hidrokarbon, disamping pemelajaran adanya potensi daerah
sekitarnya.
Untuk keperluan ini akan dibahas indikasi minyak dan gas bumi di permukaan
dan kemungkinan yang ada pada setiap satuan di daerah Majalengka dan sekitarnya.
Indikasi hidrokarbon
Indikasi-indikasi hidrokarbon di daerah Majalengka dan sekitarnya berupa
rembesan minyak dan gas dipermukaan yang terdapat di beberapa tempat, yakni :
a. Berupa gas H2S yang tercium sangat kuat di kiri Sungai Cilutung pada lapisan
batupasir Formasi Halang. Di tempat tersebut tampak selalu basah (laporan Skripsi
mahasiswa).
29
b. Rembesan minyak bumi di kampung Sukamurni Kecamatan Maja, yang masih keluar
sampai sekarang (Djuri, 1973; Gondwana, 1983; dan laporan Skripsi mahasiswa).
Minyak tersebut merembes dari batulempung Formasi Cinambo bagian atas.
Kemungkinan rembesan tersebut melalui zona sesar. Menurut Koolhoven (1936) di
daerah tersebut pernah di bor oleh partikelir Belanda (Jan Reerink) pada tahun 1981-
1874. Pada waktu itu dikenal sebagai sumur Cibodas (Kampung Cibodas). Telah
dilakukan 4 pemboran tangan dengan data-data sebagai beikut :
Lokasi Kedalaman Total Produksi
1 39 m -
2 22 m 6.176 kg minyak mentah
3 36 24.704 kg minyak mentah (6 bulan)
4 37 m -
Hasil analisis minyak bumi tersebut dilaporkan mengandung :
7,4 % nafta, grafitasi jenis 0,735
67 % minyak lampu, gravitasi jenis 0,799
12,6 % minyak mengandung 1,7 parafin
1,0 % coal.
3. Koolhoven melaporkan (1936), melaporkan juga adanya rembesan minyak di Kapung
Cisaat dekat G. Sela dan G. Bongkok kurang lebih 2 km seblah utara lokasi Cibodas.
Di lokasi ini rembesan minyak bumi keluar dari ”Cidadap Lagen”.
4. Di Sungai Cisuleuhen dan Cilutung pada litologi batulempung berwarna kelabu gelap
Formasi Cinambo bagian bawah yang digali kurang lebih 30 cm. mengeluarkan bau
minyak bumi (oil smell) (laporan Skripsi mahasiswa).
30
5. PT. Gondwana (1983) melaporkan adanya rembesan minyak pada Formasi Subang,
yang ditemukan pada ”thick black aspaltic clay breccias” dengan ”strong odor of
oil” terasa hingga berjarak 3 meter, di Kampung Sangiangbeuheung, Desa Cirendang,
disebalah jalan yang menghubungan Kadipaten dan Jatigede. Tepatnya sekitar 625 m
ke arah baratdaya titik triangulasi K.Q.1240, sepanjang anak sungai yang tidak ada
namanya dalam peta tofografi. Diperkirakan rembesan tersebut keluar pada kontak
sesar diantara Formasi Cantayan (menurut Martodjo, 1984 dan Djuhaeni, dkk, 1984)
dan Formasi Subang.
31
KESIMPULAN (SEMENTARA)
Berdasarkan atas umur batuannya, maka urutan stratigrafi untuk Zaman Tersier
dapat dilakukan pembagian sebagai berikut :
1. Miosen Bawah terbagi dalam Formasi Cinambo Anggota Bawah dan Cinambo
Anggota Atas (menurut Djuri, 1973).
2. Miosen Tengah diwakili oleh ”Cimanuk Serie 1-4” dan ”Cidadap Beds” Fasies
Selatan (menurut Koolhoven, 1936), Formasi Halang Anggota Bawah (menurut
Djuri, 1973), Formasi Cinambo beserta Anggota Jatigede (menurut Martodjojo,
1984), dan Formasi Cisaar dan Formasi Cinambo (menurut Djuhaeni, dkk
(1984).
3. Miosen Atas terdapat sebagai ”Cidadap Beds” Fasies Utara (menurut
Koolhoven, 1936), Formasi Halang Anggota Atas dan Formasi Subang (menurut
Djuri, 1973), Formasi Cinambo beserta Anggota Jatigede (menurut Martodjojo,
1984), dan Formasi Cantayan dan Formasi Bantarujeg (menurut Djuhaeni, dkk.
(1984).
4. Pliosen terbagi dalam ”Kaliwangu Beds” dan ”Cilutung Serie” (menurut
Koolhoven, 1936), Formasi Kaliwangu dan Citalang (menurut Djuri, 1973),
Formasi Kaliwangu (menurut Martodjojo, 1984), dan Formasi Subang dan
Kaliwangu (menurut Djuhaeni, dkk (1984).
5. Pleistosen diwakili oleh Endapan Breksi volkanik kuarter dan Aluvial (menurut
Koolhoven, 1936), Breksi terlipat, Hasil Gunungapi Tua dan Muda (menurut
32
Djuri, 1973), Breksi Gunungapi dan Formasi Citalang (menurut Martodjojo,
1984 dan Djuhaeni, dkk. 1984).
Indikasi-indikasi hidrokarbon di daerah Majalengka dan sekitarnya berupa rembesan
minyak dan gas dipermukaan yang terdapat di beberapa tempat, yakni :
a. Berupa gas H2S yang tercium sangat kuat di kiri Sungai Cilutung pada lapisan
batupasir Formasi Halang. Di tempat tersebut tampak selalu basah (laporan Skripsi
mahasiswa).
b. Rembesan minyak bumi di kampung Sukamurni Kecamatan Maja, yang masih keluar
sampai sekarang (Djuri, 1973; Gondwana, 1983; dan laporan Skripsi mahasiswa).
Minyak tersebut merembes dari batulempung Formasi Cinambo bagian atas.
Kemungkinan rembesan tersebut melalui zona sesar.