1
Dmu Politik, Masihkah Berguna? H UBUNGAN antara politik dan teater sudah sering disebut pengamat. Maka juga hubungan ilmu politik dan kajian budaya. Tapi biasanya hubungan itu tidak dianggap akan meleburkan keduanya. Politik dan seni pu- nya hakiki dan otonomi ma- sing-masing. Bagaimana seandainya poli- tik dan teater tidak punya batas lagi? Atau batasnya tak jelas lagi? Orang yang belajar ilmu politik harus belajar mema- hami teater. Dan mereka yang belajar teater dituntut peka pa- da dinamika politik. Teater sebagai politik Teater sebagai politik lebih mudah dikenali daripada poli- tik sebagai teater. Setidaknya ada dua gejala teater-sebagai- politik. Pertama, ditinjau dari isi atau pesan politis dalam pentas teater. Publik kota-kota di Jawa menonton pentas Tea- ter Koma, Bengkel Teater, atau Komunitas Kanjeng untuk mendapatkan apa yang diang- gap seharusnya terjadi di si- dang parlemen, kongres partai, atau kampanye pemilu. Hal se- rupa juga terjadi di galeri seni rupa, konser musik, atau acara baca puisi tertentu. Patut disayangkan jika ilmu politik di universitas memba- tasi bahan kajian pada soallem- baga kepresidenan, DPRIMPR, pemilu, atau partai politik. Pen- tas teater, musik, baca-puisi atau demonstrasi jalanan bisa memberikan masukan lebih penting ten tang gejolak politik negeri ini. Untuk itu buku-bu- ku teks ilmu politik yang ditu- lis dari dan dengan acuan uta- ma negeri liberal tak memadai. Sementara kajian budaya be- lum tentu siap melengkapi. Kedua, teater-sebagai-politik dapat ditinjau dari proses dan formatnya. Kini semakin jelas teater merupakan hasil kerja kolektif yang didominasi insti- tusi politik dalam pengertian yang paling resmi; kepolisian, kejaksaan, direktorat sosial-po- litik pemerintah daerah. Ka- dang-kadang juga Bakorstra- nasda. Politik mungkin telah benar-benar menjadi panglima. Ketika seorang teatrawan In- Oleh Ariel Heryanto donesia mutakhir menyiapkan sebuah pentas, salah satu per- timbangan awal dan akhir, ada- lah pagar politis: apa yang bisa lolos cekal. Apa yang bisa menghambat perizinan pentas? Hal yang sama berlaku bagi kerja penyair, pembuat sine- tron dan film cerita, wartawan, dan penceramah. Ini terjadi bukan karena si seniman secara individual atau sukarela memilih menjadi se- orang politikus. Bukannya ia mempolitisir kesenian. Justru sebaliknya. Ia dipolitisir bertu- bi-tubi oleh lingkungan sosial- nya yang sudah politis berdosis tinggi. Ia tak mungkin berpura- pura bisa be bas berkarya. Kegelisahan politis dalam proses kreatif itu tidak sepe- nuhnya terjadi di benak si seni- man belaka. Tak jarang proses itu terjadi secara badaniah di kantor polisi ketika izin pertun- jukan diproses. Di sana terjadi tawar-menawar kalimat atau ad egan apa yang boleh ditam- pilkan di de pan publik. Celakanya, tak pernah jelas apa yang bisa mengancam sta- bilitas nasional dan apa yang bisa mendewasakan stabilitas itu. Bukan karena aturan yang ada sudah jelas tapi represif. Tak ada aturan yang jelas. Ma- ka seniman Indonesia dan pu- bliknya tak bisa paham batas- batas yang. boleh dan tak boleh dipentaskan. Andaikan ada aturan yang tegas dan pasti, maka seniman dan lembaga kesenian tak perlu terlalu pusing perubahan cuaca politik Indonesia. Ia cuma per- lu menyimpan dan sesekali me- meriksa daftar rambu-rambu aturari itu. Ia bisa mematuhi, menolak, mengejek, menuntut peru bah an atau menyiasati se- la-selanya. Tetapi ini pun tidak bisa dilakukan karena aturan yang jelas tak ada. Maka sebuah pentas seni di sebuah kota berlangsung de- ngan meriah. Sebulan kemu- dian pentas yang sama dilarang di kota lain yang masih menjadi wilayah hukum yang sama di negeri ini. Suatu pentas boleh tampil pad a hari pertama atau kedua di sebuah pusat keseni- an. Tetapi dicekal pada hari berikutnya. Bagaimana semua itu dapat dijelaskan dengan ilmu hukum atau politik? Apakah praktek perizinan bersifat acak? Sewe- nang-wenang? Tak pernah ter- duga? Misterius atau absurd? Mungkin tidak. Apakah belajar ilmu politik bisa membantu? Persoalannya, apakah dalam tata politik ada struktur yang dapat dipelajari ilmu politik dan diramalkan di- namikanya? Bagaimanasean- dainya politik itu sendiri beru- pa pentas teater? Bagaimana jika ternyata "politik" punya struktur dan dinamika yang bergerak sesuai irama dan kai- dah teatrikal, bukan politikal, ekonomis atau legalitas? Politik sebagai teater Sudah lama dunia politik di- kiaskan sebagai panggung tea- ter. Juga seluruh kehidupan masyarakat ini. Di keduanya terdapat tokoh-tokoh dengan has rat yang tak selalu sama. Malahan bertentangan. Ada konflik. Ada dialog, perilaku dan peristiwa. Ada alur cerita. Ada tangis dan tawa. Ada ke- palsuan, kejujuran, kepahla- wanan dan pengkhianatan. Tetapi namanya saja kiasan. Politik dan seni teater tetap dipisahkan sebagai dua jagat yang berbeda. Dalam politik boleh jadi ada unsur sandiwara. Seni boleh berunsur politik. Te- tapi politik ya politik, seni ya seni. Begitu seringkali diasum- sikan. Di balik berbagai persa- maan mereka, apa yang diang- gap membedakan keduanya se- cara mendasar? Politik dianggap sebagai me- dan adu kepentingan dan ke- kuasaan yang sangat praktis atau material di dunia nyata. Kecerdasan nalar dianggap menjadi senjata atau bahasa utama dari pertandingan ini, baik yang berlangsung secara resmi dan sah atau kotor. Kare- na politik dianggap adu otak, operasi "intelijens" menjadi penting. Karena politik di- asumsikan serba rasional maka "ilmu politik" dianggap masuk akal dan berguna. Untuk men- jaga keabsahan dan etika ber- politik, maka hukum ditampil- kan dengan janji-janji kewiba- waan, kepastian, keadilan. Seni teater, sebaliknya diang- gap sebagai dunia rekaan atau fiksi. Yang dikejar bukan kuasa atau ketertiban tetapi nilai este- tika, daya-pukau tontonan dan nikmatnya hiburan. Bukan adu kekuatan. Tidak ada kalah-me- nang, kecuali dalam festival dan sayembara. Kepekaan este- tika, fantasi, dan diang- gap sebagai unsur utama (wa- lau bukan satu-satunya) dalam kegiatan ini. Maka yang giat "kritik dan apresiasi" seni bu- kan agen Intel. ' Dalam praktek umum ilmu politik ada asumsi yang seakan tak bisa ditawar. Setiap peristi- wa dan perilaku politik diang- gap dapat diteliti dan dijelas- kan secara rasional. Dinamika politik dianggap berpusat pada upaya individu dan kelompok untuk memaksimalkan kepen- tingan sendiri dengan ongkos semmlm mungkm. Ini dikerja- kan dengan memanfaatkan sa- rana, alat-alat, dan strategi. Berbagai asumsi yang sangat mendasar dalam ilmu politik itu sudah pernah digugat se- jumlah pemikir. Tapi mungkin baru belakangan gugatan itu menjadi kuat, meriah dan menggelisahkan pusat-pusat il- mu .politik. Gelombang gugat- an ltu datang khususnya dari mereka yang menggeluti dunia kreatif seni, media, atau akade- mik dalam bidang kajian sastra, budaya dan humaniora. Dalam kajian tentang Indo- nesia pernah tampil karya Clif- ford Geerts yang membicara- kan negara sebagai teater de- ngan acuan empirik Bali abad 19. Lalu ada analisa cemerlang Benedict Anderson tentang bangsa di mana pun di dunia sebagai fiksi. Belakangan gu- gatan terhadap rasionalitas ber- tumbuh di kalangan cendekia- wan mudp. Indonesia dalam te- laah pascamodernisme. Perlu ditegaskan bahwa kaji- an politik sebagai teater yang muncul belakangan tidak membahas suatu pranata poli- tik tertentu (misalnya Orde Ba- ru) dengan mengaitkannya pa- da kebudayaan tertentu (misal- nya Jawa). Yang terjadi bukan relativis- , me-budaya yang menekankan I keunikan setiap masyarakat. Yang dikemukakan dalam kaji- an mutakhir ini ialah melebur- I nya batas seni dan politik seca- ra global! Nasib ilmu politik dipertaruhkan. Contoh Agar lebih jelas, ada baiknya kita tengok beberapa contoh Itonkret. Banyak sekali peristi- wa yang lazim digolongkan se- bagai "politik" akan sulit sekali dijelaskan dengan ilmu politik yang selama ini lazim kita ke- naI. Jika politik memang berupa adu kepentingan dan kuasa la- lu kepentingan dan an apa yang ingin dan dapat I diraih oleh pemerintah dengan membatalkan SIUPP ketiga media mass a Juni yang lalu? Benarkah ini peristiwa politik? Apa kata ilmu politik? Benarkah kegembiraan kaum muda dalam masa kam- panye pemilu menyatakan as- pirasi politik? Ataukah ini "fes- tival" demokrasi? Mengapa be- lakangan banyak buku biografi politikus? !tu karya fiksi atau fakta? Banyak pengamat kecewa I atau bingung, mungkin karena mereka menggunakan ke- rangka pemahaman dan acuan yang tak pas. Seperti mereka yang dua tahun belakangan mengolok-olok ruang pengadil- an sebagai panggung teater. Seakan-akan yang teatrikal hanya di ruang pengadilan. Atau unik di Indonesia belaka. Bukan seluruh pranata politik secara global. Lalu bagaimana menjelaskan Perang Teluk? Gairah Amerika di Teluk yang tidak berulang di Bosnia? Me- ngapa Amerika Serikat bisa di- pimpin seorang bekas bintang , film (Reagan)? Ia pernah ditem- I bak, bukan oleh lawan politik, tetapi seorang penggemar ki- I sah fiksi Taxi-Driver. Masih bergunakah ilmu politik?*** I * Ariel Heryanto, sta! peng- I ajar pascasarjana UKSW, Sa- ' Latiga. JUMA T, 23 SEPTEMBER 1994 Halaman 4 Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Diunduh dari Dmu Politik ... · rupa juga terjadi di galeri seni rupa, konser musik, ... "kritik dan apresiasi" seni bu- ... keunikan setiap masyarakat

Embed Size (px)

Citation preview

Dmu Politik, Masihkah Berguna? H UBUNGAN antara politik

dan teater sudah sering disebut pengamat. Maka

juga hubungan ilmu politik dan kajian budaya. Tapi biasanya hubungan itu tidak dianggap akan meleburkan keduanya. Politik dan seni dian~gap pu­nya hakiki dan otonomi ma­sing-masing.

Bagaimana seandainya poli­tik dan teater tidak punya batas lagi? Atau batasnya tak jelas lagi? Orang yang belajar ilmu politik harus belajar mema­hami teater. Dan mereka yang belajar teater dituntut peka pa­da dinamika politik.

Teater sebagai politik Teater sebagai politik lebih

mudah dikenali daripada poli­tik sebagai teater. Setidaknya ada dua gejala teater-sebagai­politik. Pertama, ditinjau dari isi atau pesan politis dalam pentas teater. Publik kota-kota di Jawa menonton pentas Tea­ter Koma, Bengkel Teater, atau Komunitas Kanjeng untuk mendapatkan apa yang diang­gap seharusnya terjadi di si­dang parlemen, kongres partai, atau kampanye pemilu. Hal se­rupa juga terjadi di galeri seni rupa, konser musik, atau acara baca puisi tertentu.

Patut disayangkan jika ilmu politik di universitas memba­tasi bahan kajian pada soallem­baga kepresidenan, DPRIMPR, pemilu, atau partai politik. Pen­tas teater, musik, baca-puisi atau demonstrasi jalanan bisa memberikan masukan lebih penting ten tang gejolak politik negeri ini. Untuk itu buku-bu­ku teks ilmu politik yang ditu­lis dari dan dengan acuan uta­ma negeri liberal tak memadai. Sementara kajian budaya be­lum tentu siap melengkapi.

Kedua, teater-sebagai-politik dapat ditinjau dari proses dan formatnya. Kini semakin jelas teater merupakan hasil kerja kolektif yang didominasi insti­tusi politik dalam pengertian yang paling resmi; kepolisian, kejaksaan, direktorat sosial-po­litik pemerintah daerah. Ka­dang-kadang juga Bakorstra­nasda. Politik mungkin telah benar-benar menjadi panglima.

Ketika seorang teatrawan In-

Oleh Ariel Heryanto

donesia mutakhir menyiapkan sebuah pentas, salah satu per­timbangan awal dan akhir, ada­lah pagar politis: apa yang bisa lolos cekal. Apa yang bisa menghambat perizinan pentas? Hal yang sama berlaku bagi kerja penyair, pembuat sine­tron dan film cerita, wartawan, dan penceramah.

Ini terjadi bukan karena si seniman secara individual atau sukarela memilih menjadi se­orang politikus. Bukannya ia mempolitisir kesenian. Justru sebaliknya. Ia dipolitisir bertu­bi-tubi oleh lingkungan sosial­nya yang sudah politis berdosis tinggi. Ia tak mungkin berpura­pura bisa be bas berkarya.

Kegelisahan politis dalam proses kreatif itu tidak sepe­nuhnya terjadi di benak si seni­man belaka. Tak jarang proses itu terjadi secara badaniah di kantor polisi ketika izin pertun­jukan diproses. Di sana terjadi tawar-menawar kalimat atau ad egan apa yang boleh ditam­pilkan di de pan publik.

Celakanya, tak pernah jelas apa yang bisa mengancam sta­bilitas nasional dan apa yang bisa mendewasakan stabilitas itu. Bukan karena aturan yang ada sudah jelas tapi represif. Tak ada aturan yang jelas. Ma­ka seniman Indonesia dan pu­bliknya tak bisa paham batas­batas yang. boleh dan tak boleh dipentaskan.

Andaikan ada aturan yang tegas dan pasti, maka seniman dan lembaga kesenian tak perlu terlalu pusing perubahan cuaca politik Indonesia. Ia cuma per­lu menyimpan dan sesekali me­meriksa daftar rambu-rambu aturari itu. Ia bisa mematuhi, menolak, mengejek, menuntut peru bah an atau menyiasati se­la-selanya. Tetapi ini pun tidak bisa dilakukan karena aturan yang jelas tak ada.

Maka sebuah pentas seni di sebuah kota berlangsung de­ngan meriah. Sebulan kemu­dian pentas yang sama dilarang di kota lain yang masih menjadi wilayah hukum yang sama di negeri ini. Suatu pentas boleh tampil pad a hari pertama atau

kedua di sebuah pusat keseni­an. Tetapi dicekal pada hari berikutnya.

Bagaimana semua itu dapat dijelaskan dengan ilmu hukum atau politik? Apakah praktek perizinan bersifat acak? Sewe­nang-wenang? Tak pernah ter­duga? Misterius atau absurd? Mungkin tidak.

Apakah belajar ilmu politik bisa membantu? Persoalannya, apakah dalam tata politik ada struktur yang dapat dipelajari ilmu politik dan diramalkan di­namikanya? Bagaimanasean­dainya politik itu sendiri beru­pa pentas teater? Bagaimana jika ternyata "politik" punya struktur dan dinamika yang bergerak sesuai irama dan kai­dah teatrikal, bukan politikal, ekonomis atau legalitas?

Politik sebagai teater Sudah lama dunia politik di­

kiaskan sebagai panggung tea­ter. Juga seluruh kehidupan masyarakat ini. Di keduanya terdapat tokoh-tokoh dengan has rat yang tak selalu sama. Malahan bertentangan. Ada konflik. Ada dialog, perilaku dan peristiwa. Ada alur cerita. Ada tangis dan tawa. Ada ke­palsuan, kejujuran, kepahla­wanan dan pengkhianatan.

Tetapi namanya saja kiasan. Politik dan seni teater tetap dipisahkan sebagai dua jagat yang berbeda. Dalam politik boleh jadi ada unsur sandiwara. Seni boleh berunsur politik. Te­tapi politik ya politik, seni ya seni. Begitu seringkali diasum­sikan. Di balik berbagai persa­maan mereka, apa yang diang­gap membedakan keduanya se­cara mendasar?

Politik dianggap sebagai me­dan adu kepentingan dan ke­kuasaan yang sangat praktis atau material di dunia nyata. Kecerdasan nalar dianggap menjadi senjata atau bahasa utama dari pertandingan ini, baik yang berlangsung secara resmi dan sah atau kotor. Kare­na politik dianggap adu otak, operasi "intelijens" menjadi penting. Karena politik di­asumsikan serba rasional maka

"ilmu politik" dianggap masuk akal dan berguna. Untuk men­jaga keabsahan dan etika ber­politik, maka hukum ditampil­kan dengan janji-janji kewiba­waan, kepastian, keadilan.

Seni teater, sebaliknya diang­gap sebagai dunia rekaan atau fiksi. Yang dikejar bukan kuasa atau ketertiban tetapi nilai este­tika, daya-pukau tontonan dan nikmatnya hiburan. Bukan adu kekuatan. Tidak ada kalah-me­nang, kecuali dalam festival dan sayembara. Kepekaan este­tika, fantasi, dan ~osi diang­gap sebagai unsur utama (wa­lau bukan satu-satunya) dalam kegiatan ini. Maka yang giat "kritik dan apresiasi" seni bu-kan agen Intel. '

Dalam praktek umum ilmu politik ada asumsi yang seakan tak bisa ditawar. Setiap peristi­wa dan perilaku politik diang­gap dapat diteliti dan dijelas­kan secara rasional. Dinamika politik dianggap berpusat pada upaya individu dan kelompok untuk memaksimalkan kepen­tingan sendiri dengan ongkos semmlm mungkm. Ini dikerja­kan dengan memanfaatkan sa­rana, alat-alat, dan strategi.

Berbagai asumsi yang sangat mendasar dalam ilmu politik itu sudah pernah digugat se­jumlah pemikir. Tapi mungkin baru belakangan gugatan itu menjadi kuat, meriah dan menggelisahkan pusat-pusat il­mu .politik. Gelombang gugat­an ltu datang khususnya dari mereka yang menggeluti dunia kreatif seni, media, atau akade­mik dalam bidang kajian sastra, budaya dan humaniora.

Dalam kajian tentang Indo­nesia pernah tampil karya Clif­ford Geerts yang membicara­kan negara sebagai teater de­ngan acuan empirik Bali abad 19. Lalu ada analisa cemerlang Benedict Anderson tentang bangsa di mana pun di dunia sebagai fiksi. Belakangan gu­gatan terhadap rasionalitas ber­tumbuh di kalangan cendekia­wan mudp. Indonesia dalam te­laah pascamodernisme.

Perlu ditegaskan bahwa kaji­an politik sebagai teater yang muncul belakangan tidak membahas suatu pranata poli­tik tertentu (misalnya Orde Ba-

ru) dengan mengaitkannya pa­da kebudayaan tertentu (misal­nya Jawa).

Yang terjadi bukan relativis- , me-budaya yang menekankan I

keunikan setiap masyarakat. Yang dikemukakan dalam kaji­an mutakhir ini ialah melebur- I

nya batas seni dan politik seca­ra global! Nasib ilmu politik dipertaruhkan.

Contoh Agar lebih jelas, ada baiknya

kita tengok beberapa contoh Itonkret. Banyak sekali peristi­wa yang lazim digolongkan se­bagai "politik" akan sulit sekali dijelaskan dengan ilmu politik yang selama ini lazim kita ke­naI.

Jika politik memang berupa adu kepentingan dan kuasa la­lu kepentingan dan keunt~ng­an apa yang ingin dan dapat I

diraih oleh pemerintah dengan membatalkan SIUPP ketiga media mass a Juni yang lalu? Benarkah ini peristiwa politik? Apa kata ilmu politik?

Benarkah kegembiraan kaum muda dalam masa kam­panye pemilu menyatakan as­pirasi politik? Ataukah ini "fes­tival" demokrasi? Mengapa be­lakangan banyak buku biografi politikus? !tu karya fiksi atau fakta?

Banyak pengamat kecewa I

atau bingung, mungkin karena mereka menggunakan ke­rangka pemahaman dan acuan yang tak pas. Seperti mereka yang dua tahun belakangan mengolok-olok ruang pengadil­an sebagai panggung teater.

Seakan-akan yang teatrikal hanya di ruang pengadilan. Atau unik di Indonesia belaka. Bukan seluruh pranata politik secara global. Lalu bagaimana menjelaskan Perang Teluk? Gairah Amerika di Teluk yang tidak berulang di Bosnia? Me­ngapa Amerika Serikat bisa di­pimpin seorang bekas bintang , film (Reagan)? Ia pernah ditem- I

bak, bukan oleh lawan politik, tetapi seorang penggemar ki- I sah fiksi Taxi-Driver. Masih bergunakah ilmu politik?*** I * Ariel Heryanto, sta! peng- I ajar pascasarjana UKSW, Sa- ' Latiga.

JUMA T, 23 SEPTEMBER 1994

Halaman 4

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>