Upload
lauralay
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/28/2019 DAMPAK OBESITAS
1/9
DAMPAK OBESITAS
TERHADAP FAAL PARU
KOLOM- Edisi April 2007 (Vol.6 No.9)
Laksmi Wulandari, Manasye Lulu Udju EdoBagian /SMF llmu Penyakit Paru FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya
PENDAHULUAN
Obesitas yang menjadi epidemi di beberapa negara maju dan negara-negara berkembang
sebenarnya dapat dianggap sebagai akibat kemajuan di bidang ekonomi, sosial, dan teknologi
dalam beberapa dekade terakhir. Bahan makanan tersedia berlimpah dengan harga yang
relatif murah. Makanan dengan kandungan kalori yang tinggi tersedia di banyak gerai-gerai
makanan cepat saji di kota-kota besar. Teknologi yang memberikan kemudahan dan
penggunaan alat-alat elektronik telah menjadi gaya hidup sehari-hari yang mengakibatkan
kurangnya aktifitas fisik. Namun selain faktor perilaku dan lingkungan tersebut, faktorgenetik juga ikut berperan pada timbulnya obesitas.
Prevalensi obesitas terus meningkat secara dramatis dari sekitar 9,4% pada National Health
and Nutrition Examination Survey/NHANES I (1971-1974) menjadi 14,5% pada NHANES
II (1976-1980), 22,5% pada NHANES III (19881994), dan 30% pada survey tahun 1999-
2000.
Obesitas, khususnya obesitas sentral (abdominal), berasosiasi dengan sejumlah gangguan
metabolisme dan penyakit dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi antara lain: resistensi
insulin dan diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, aterosklerosis, penyakit hati dan
kandung empedu, bahkan beberapa jenis kanker. Selain itu obesitas (khususnya tipe morbid)juga berasosiasi dengan beberapa jenis gangguan pernafasan. Perubahan yang terjadi antara
lain meliputi: mekanika pernafasan, tahanan aliran udara, pola pernafasan, pertukaran gas dan
respiratory drive, yang akhirnya mengakibatkan abnormalitas tes faal paru.
Obesitas merupakan penyebab utama penurunan kapasitas latihan fisik dan gangguan
pernafasan pada saat tidur (obstructive sleep apnea syndrome [OSAS]). Sebagian kecil
penderita obesitas morbid mengalami hipoksia dan hipekarbia kronik tanpa adanya kelainan
parenkim paru (obesity-hypoventilation syndrome [OHS]). Makalah ini akan membahas
dampak obesitas pada sistem pernafasan, kelainan faal paru yang ditimbulkannya, serta
manfast penurunan berat badan.
KOMPLIKASI RESPIRATORIK PADA OBESITAS
Komplikasi respiratorik yang dapat dijumpai pada obesitas (Tabel 1) sebagian besar
ditentukan oleh jumlah dan distribusi lemak tubuh. Hal tersebut dapat mempengaruhi
mekanika dan fisiologi pernafasan. Penelitian klinis, laboratorik, maupun epidemiologis telah
menunjukkan adanya hubungan antara obesitas dan gangguan pernafasan, termasuk pada
OSAS, OHS, dan asma, namun patofisiologinya belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Tabel 1: Komplikasi respiratorik akibat obesitas
Perubahan mekanika respirasi / berkurangnya kemampuan regangan jaringan paru
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/category_news.asp?IDCategory=14http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/mag_detail.asp?mid=38http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/email_friend.asp?id=457&cid=1http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news_print.asp?IDNews=457http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/mag_detail.asp?mid=38http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/category_news.asp?IDCategory=147/28/2019 DAMPAK OBESITAS
2/9
Peningkatan tahanan sistem pernafasan
Perubahan pola pernafasan dan respiratory drive
Berkurangnya kekuatan dan ketahanan otot-otot pernafasan
Gangguan pertukaran gas
Peningkatan beban kerja pernafasan
Berkurangnya toleransi aktivitas fisikGangguan pernafasan saat tidur
Peningkatan risiko tromboemboli vena
Peningkatan risiko aspirasi
Peningkatan risiko komplikasi pernafasan pada pembiusan dan perioperatif
Perubahan mekanika respirasi / kemampuan regangan paru
Obesitas, khususnya pada penderita OHS, menyebabkan kemampuan regangan (compliance)
paru, dinding thorax, dan sistem pernafasan secara keselurnhan. Penurunan compliance ini
disebabkan oleh bertambahnya volume darah pulmoner dan kolapsnya saluran-saluran nafas
terminal. Kelebihan berat badan memberikan beban tambahan pada thorax dan abdomendengan akibat peregangan yang berlebihan pada dinding thorax. Selain itu otot-otot
pernafasan harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan tekanan negatif yang lebih tinggi
pada rongga pleura untuk memungkinkan aliran udara masuk saat inspirasi. Pada penderita
obesitas sederhana (simple obesity, tanpa OHS) compliance paru mungkin normal atau
mendekati normal. Dengan demikian diduga ada mekanisme lain yang menyebabkan
timbulnya perubahan compliance pada penderita OHS.
Peningkatan tahanan sistem pernafasan
Tahanan sistem pernafasan secara keseluruhan mengalami peningkatan pada penderita obese.
Pada penderita obesitas sederhana peningkatan terjadi sekitar 30%, sedangkan pada penderita
OHS dapat mencapai 100%. Peningkatan ini kemungkinan besar berkaitan dengan
peningkatan tahanan pada saluran-saluran nafas kecil (bukan saluran nafas besar) karena
ternyata volume paru berkurang. Dengan demikian ratio FEV/ FVC akan tetap normal
(selama tidak dijumpai penyakit paru obstruksif). Tahanan ini makin meningkat bila
penderita berbaring terlentang karena beban massa yang ditimbulkan oleh lemak di daerah
supra-laring pada saluran nafas, dan peningkatan aliran darah pulmoner, yang pada akhirnya
mengakibatkan saluran nafas makin menyempit. Pada posisi terlentang juga terjadi
penurunan kapasitas residual fungsional (functional recidual capasity [FRCl) yang akan
menambah tahanan saluran nafas.
Perubahan pola pernafasan / respiratory drive
Sebagian besar penderita obesitas adalah eukapnik. Namun sebagian kecil di antaranya
(terutama penderita OHS) mengalami peningkatan PaCO2 secara kronis. Baik kelompok
penderita obesitas sederhana maupun OHS mengalami perubahan pola pernafasan, namun
masing-masing memiliki pola yang berbeda. Sebagai usaha untuk mengkompensasi
peningkatan beban pada otot-otot pernafasan, penderita obese mengalami peningkatan
respiratory drive yang mengakibatkan peningkatan ventilasi semenit (minute ventilation
[Ve]). Penderita obese eukapnik mengalami peningkatan frekuensi nafas sekitar 25% - 40%
dibandingkan orang normal, sedangkan volume tidalnya (Vt) tetap normal baik pada saat
istirahat maupun saat aktivitas fisik. Eukapoia juga tetap dipertahankan akibat terjadipeningkatan rangsangan saraf pada otot-otot pernafasan, dan peningkatan respons pernafasan
7/28/2019 DAMPAK OBESITAS
3/9
terhadap hipoksia. Penderita obese eukapnik juga mengalami perubahan central breath
timing(penurunan waktu ekspirasi) sebagai akibat perubahan compliance sistem pernafasan.
Penderita obesitas sederhana menunjukkan penurunan respons pernafasan terhadap CO2
dibandingkan penderita non obese.
Dibandingkan penderita obesitas sederhana, penderita OHS mengalami peningkatanfrekuensi nafas sebesar 25% dan penurunan Vt sebesar 25%. Penurunan Vt menyebabkan
gangguan ventilasi alveolar. Perubahan mekanika dinding thorax atau gangguan fungsi otot-
otot pernafasan menyebabkan berkurangnya kemampuan penderita untuk mengoreksi PaCO2
selama manuver hiperventilasi volunter. Selain itu didapatkan pula penurunan respons
tekanan oklusi rongga mulut terhadap perubahan CO2. Keduanya mengindikasikan bahwa
pada penderita OHS terjadi perubahan pola pernafasan akibat abnormalitas respiratory drive.
Secara umum, penderita OHS memiliki gangguan respons pernafasan terhadap perubahan
CO2 dan hipoksia yang lebih berat dibandingkan penderita obesitas sederhana.
Kekuatan dan ketahanan otot pernafasan
Kekuatan otot-otot inspirasi dan ekspirasi mungkin sedikit terganggu pada penderita OHS.
Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, namun diduga berkaitan dengan infiltrasi lemak
pada otot-otot dan peregangan berlebihan pada otot diefragma. Ketahanan otot-otot
pernafasan yang diukur dengan manuver ventilasi volunter maksimal (maximal voluntary
ventilation [MW]) juga menurun.
Gangguan pertukaran gas
Gangguan pertukaran gas pada obesitas tergantung pada derajat keparahan obesitas, apakah
penderita termasuk obesitas sederhana atau OHS (Tabel 2). Penderita obesitas ringan hingga
sedang memiliki PaC02 yang normal. Penderita dengan obesitas sederhana mengalami
penurunan PaCO2 dan perbedaan tekanan oksigen alveolar dan arteri yang makin lebar.
Abnormalitas tersebut makin parah pada penderita OHS. Penderita OHS mengalami
hipoksemia, baik pada siang maupun malam hari. Hipoksemia ini disebabkan oleh
ketidaksetaraan ventilasi / perfusi (V/Q) dan shunting pada bagian paru (khususnya bagian
basal) yang mengalami atelektasis dan oklusi saluran nafas tetapi masih tetap mendapatkan
perfusi yang normal. Dibandingkan penderita obesitas sederhana, pada penderita OHS
didapatkan fraksi shunting yang lebih besar ( 40% curah jantung) dan rasio V/Q yang lebih
rendah. Hipoventilasi ikut berperan pada terjadinya hipoksemia pada penderita OHS.
Hipoksemia ini makin berat bila penderita berbaring terlentang, karena FRC akan makin
berkurang. Pada penderita OHS PaCO2 meningkat. Hal ini mungkin disebabkan olehabnormalitas respiratory drive dan peningkatan beban kerja pernafasan. Pada kondisi dimana
terjadi peningkatan baban kerja pernafasan yang berlebihan maka hipoventilasi dan toleransi
terhadap PaCO2 yang lebih tinggi merupakan mekanisme kompensasi untuk mencapai
efisiensi energi. Kemoreseptor pada susunan saraf pusat kemudian menyesuaikan diri
terhadap peningkatan PaC02 yang menyebabkan berkurangnya respiratory drive. Beberapa
faktor yang lain, termasuk OSAS, diameter saluran nafas bagian atas yang kecil, dan obesitas
sendiri ikut berperan pada patogenesis OHS.
Tabel 2: Abnormalitas tes faal paru dan pertukaran gas pada Obesitas sederhana (OS)
dan Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS)
Parameter OS OHS
7/28/2019 DAMPAK OBESITAS
4/9
VC Normal
ERV
FRC
TLC Normal
RV Normal
MW NormalPl max Normal
PE max Normal
PaO2 Normal
PaCO2 Normal
PACO2-PaCO2 Normal
VC = vital capacity, ERV = expiratory reserve volume, FRC = functional residual capacity,
TLC = total lung capacity, RV = residual volume, MW = maximum voluntary ventilation, Pl
max = maximum inspiratory muscle pressure, PE max = maximum expiratory muscle
pressure
Peningkatan beban kerja pernafasan
Beban kerja pernafasan adalah banyaknya energi yang dibutuhkan dalam proses pernafasan.
Untuk mengukur banyaknya energi yang dibutuhkan tersebut digunakan ukuran antara berupa
banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-otot pernafasan untuk tiap liter ventilasi
(oxygen cost). Pada penderita obesitas berat oxygen cost meningkat beberapa kali lipat.
Secara keseluruhan terjadi peningkatan beban kerja pernafasan pada penderita obesitas
karena peningkatan oxygen cost, penurunan kemampuan regangan jaringan paru
(compliance), peningkatan tahanan sistem pernafasan, peningkatan nilai ambang beban
inspirasi akibat massa jaringan lemak yang berlebihan. Penderita OSAS juga mengalami
peningkatan tahanan saluran nafas di daerah faring dan nasofaring yang berkorelasi dengan
Indeks Masa Tubuh (IMT) dan semakin meningkatkan beban kerja pernafasan. Penderita
obesitas sederhana mengalami peningkatan beban kerja pernafasan sebesar 60%
dibandingkan orang normal, sedangkan penderita OHS mengalami peningkatan sebesar 250%
42.
Berkurangnya toleransi aktivitas fisik
Kebanyakan penderita obesitas mengalami hambatan untuk melakukan aktivitas fisik.
Beberapa mekanisme berperan pada berkurangnya toleransi aktivitas fisik tersebut (Tabel 3).Sebagian besar penelitian tentang aktivitas fisik dan obesitas dilaksanakan pada penderita
obesitas sederhana. Laju metabolisme tubuh saat istirahat mengalami peningkatan. Penderita
obese mengkonsumsi oksigen 25% lebih banyak dibandingkan nonobese. Hal ini makin
bertambah saat penderita melakukan aktivitas fisik. Banyaknya energi yang dibutuhkan untuk
menggerakkan massa tubuh merupakan salah satu penyebab meningkatnya beban
metabolisme untuk menghasilkan kerja ringan hingga sedang. Perubahan mekanika dinding
thorax dan abdomen ikut berperan pada peningkatan beban kerja ventilasi. Hal ini akan
memicu makin meningkatnya denyut jantung dan frekwensi pernafasan pada saat puncak
aktivitas fisik, walaupun aktivitas fisik yang dikerjakannya hanya sub-maksimal. Dengan
demikian penderita obese akan mengalami penurunan kemampuan melakukan aktivitas fisik
walaupun kondisi kardiovaskulernya cukup sehat. Konsumsi oksigen maksimal (V02 max)yang dinyatakan dalam mL/kg berat badan/menit adalah rendah dan berbanding terbalik
7/28/2019 DAMPAK OBESITAS
5/9
dengan prosentase lemak tubuh. Perbandingan nilai ambang anaerobik terhadap berat badan
juga menurun.
Semua perubahan tersebut menimbulkan sensasi sesak nafas dan mengakibatkan penderita
obese cenderung mengurangi tingkat aktivitas fisiknya (deconditioning). Faktor
kardiovaskuler juga ikut berperan. Penderita hipoksemia kronik dengan / tanpa gangguanpernafasan saet tidur akan mengalami hipertensi pulmoner. Akibatnya akan timbul gangguan
fungsi ventrikel kanan dan kiri pada saat aktivitas. Disfungsi diastolik juga dapat terjadi bila
terdapat hipertensi, iskemia miokard, penyakit mikrovaskuler (biasanya terkait dengan
Diabetes) seringkali dijumpai pada penderita obesitas. Gangguan muskulo-skeletal (misalnya
kesulitan berjalan dan rasa nyeri akibat artritis) akan makin membatasi aktivitas penderita.
Semua faktor tersebut menyebabkan menurunnya kapasitas fungsional Penderita obesitas
berat akan makin sulit melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Tabel 3: Mekanisme penurunan toleransi aktivitas fisik pada obesitas.
Peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktivitas
Beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan massa tubuh
Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen
Rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler
Rendahnya nilai ambang anaerobik
Sesak nafas
Deconditioning
Hipertensi pulmoner
Disfungsi diastolik
Iskemia miokard
Penyakit pembuluh darah tepi / mikrovaskuler
Abnormalitas muskulo-skeletal
Kecemasan
Gangguan pernafasan saat tidur
Sekitar 50% penderita obese menderita OSAS. Obesitas dan lingkar leher yang besar (> 43
cm) merupakan predisposisi terjadinya penyempitan pada saluran nafas bagian atas (daerah
retrofaring). Timbunan lemak pada dan di sekitar faring, demikian pula pada dinding thorax
dan abdomen ikut berperan pada timbulnya penyempitan dan oklusi saluran nafas bagian atas
pada saat penderita tertidur. Akibatnya terjadi penurunan ventilasi, apnea, penurunan saturasioksihemoglobin, yang menimbulkan rangsangan kemoreseptor perifer di carotid bodies dan
membangkitkan refleks pada susunan saraf pusat berupa peningkatan aktivitas saraf simpatis.
Akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah dan gelombang elektroensefalografik (EEG).
Pada saat penderita terjaga dari tidurnya, saluran nafas bagian atas kembali terbuka, apnea
terhenti, ventilasi meningkat diatas normal, saturasi oksigen kembali normal, demikian pula
aktivitas saraf simpatis. Penderita OSAS yang tidak diterapi memiliki mortalitas yang tinggi.
Penderita yang lebih obese biasanya menderita OHS yang ditandai dengan hipoventilasi
alveolar, hiperkarbia dan hipoksia pada pagi dan siang hari yang makin parah saat penderita
tidur, hipertensi pulmoner, dan peningkatan resistensi pembuluh darah paru. Sebagian besar
penderita OHS juga mengidap OSAS. Komplikasi pada OSAS dan OHS meliputi: gangguanneuro-psikiatrik yang berkaitan dengan kurangnya waktu tidur, aritmia jantung, hipertensi
7/28/2019 DAMPAK OBESITAS
6/9
pulmoner dan cor pulmonale, hipertensi sistemik, penyakit jantung koroner, gagal jantung
kongestif, polisitemia, dan stroke.
Risiko terjadinya trombosis vena dan emboli paru
Obesitas merupakan faktor risiko indipenden terjadinya trombosis vena profundus. Risikoterjadinya emboli paru juga meningkat seiring dengan peningkatan IMT. Tromboemboli
terutama terjadi pasca tindakan operasi. Kurangnya aktivitas fisik dan penurunan fibrinolisis
pada obesitas diduga mendasari kedua hal tersebut.
Risiko teriadinya aspirasi
Tingginya volume cairan lambung, tingginya kejadian refluks gastro-esofageal, dan
peningkatan tekanan intra-abdominal merupakan beberapa hal yang yang meningkatkan
risiko terjadinya aspirasi pada penderita obesitas.
KELAINAN FAAL PARU PADA OBESITAS
Kelainan faal paru yang dijumpai pada penderita obesitas menggambarkan perubahan
fisiologis pada mekanika pernafasan dan resistensi aliran udara. Derajat beratnya kelainan
faal paru tergantung pada beratnya obesitas, dan distribusi lemak tubuh (Tabel 2).
Abnormalitas faal paru yang paling sering dijumpai pada obesitas adalah penurunan volume
cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume [ERV]). Hal ini disebabkan oleh beban massa
dan pemindahan beban dari dinding thorax bagian bawah dan abdomen ke paru-paru, serta
naiknya posisi diafragma. Penurunan ERV terjadi seiring dengan bertambahnya derajat
obesitas, lebih-lebih pada saat penderita berbaring terlentang. Didapatkan pula penurunan
kapasitas vital paksa (forced vital capacity [FVC]), dan volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
(forced expiratory volume in 1 second [FEV,]). Pada penderita obesitas sederhana kapasitas
vital (vital capacity [VC]) dan FRC mungkin menurun, namun nilai kapasitas paru total (total
lung capacity [TLC]) tetap normal. Dengan demikian bila dijumpai kelainan TLC pada
penderita obesitas, harus segera dicari adanya penyebab yang lain. Penurunan volume paru
(termasuk ERV, FRC, VC, dan TLC) lebih parah terjadi pada penderita OHS dibandingkan
penderita obesitas sederhana. Kapasitas difusi gas-gas pernafasan juga menurun seiring
dengan bertambahnya derajat obesitas. Kapasitas difusi gas CO umumnya masih normal pada
penderita obesitas sederhana, tetapi mulai menurun pada penderita OHS.
Distribusi lemak tubuh ikut menentukan pengaruh obesitas pada tes faal paru. Dibandingkan
penderita obesitas perifer, penderita obesitas sentral mengalami penurunan FVC, FEV,, TLC,dan MW yang lebih berat. Penurunan MW berbanding lurus dengan peningkatan IMT dan
penurunan aliran udara ekspirasi (FVC dan FEV,) serta volume paru.
MANFAAT PENURUNAN BERAT BADAN
Penurunan berat badan membawa dampak yang menguntungkan dari segi metabolik
dan kardiovaskuler. Demikian pula halnya terhadap gangguan pernafasan. Upaya pengaturan
diet, olahraga, atau pembedahan terbukti memperbaiki gangguan pernafasan pada obesitas.
Penurunan berat badan menyebabkan perbaikan oksigenasi, kadar karbon dioksida, volume
paru, fungsi otot-otot pernafasan, toleransi terhadap aktivitas fisik dan pertukaran gas saat
aktivitas fisik. Pertukaran gas saat penderita tidur juga mengalami perbaikan dan dengan
7/28/2019 DAMPAK OBESITAS
7/9
demikian memperbaiki kwalitas tidur serta mengurangi gejala mengantuk pada pagi dan
siang hari.
Strategi intervensi untuk menurunkan berat badan yang berhasil akan menurunkan morbiditas
dan mortalitas penderita obese secara bermakna. Perencanaan diet terstruktur dan program
olahraga, termasuk didalamnya program rehabilitasi paru, harus selalu dipertimbangkan padapenderita obesitas yang mengalami gangguan pernafasan. Selama olahraga saturasi oksigen
harus dipertahankan > 90%, terutama pada penderita dengan hipertensi pulmoner, agar tidak
terjadi aritmia atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis saat aktivitas fisik yang dapat
menyebabkan penderita jatuh pingsan atau mengalami kegagalan sirkulasi.
RINGKASAN
Obesitas menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tidak dapat diremehkan. Gangguan
fungsi pernafasan yang terjadi pada obesitas meliputi: berkurangnya kemampuan regangan
paru, peningkatan tahanan saluran nafas kecil, gangguan fungsi otot-otot pernafasan,
peningkatan beban kerja pernafasan, gangguan pertukaran gas, berkurangnya toleransiterhadap aktivitas fisik, gangguan pernafasan saat tidur, serta meningkatnya risiko
tromboemboli dan aspirasi, khususnya pada penderita obesitas berat. Perubahan-perubahan
tersebut tidak tergantung pada adanya penyakit dasar parenkim paru. Adanya komplikasi
pernafasan ikut menambah keterbatasan fisik, menurunkan kwalitas hidup, dan makin
meningkatkan mortalitas.
Penurunan berat badan secara bermakna akan menurunkan risiko dan derajat gangguan
pernafasan pada penderita. Penderita obesitas dengan gangguan pernafasan harus
diikutsertakan dalam program rehabilitasi terstruktur yang meliputi perencanaan diet,
olahraga, dan perubahan perilaku yang ditujukan untuk memperbaiki kapasitas fungsional
dan kwalitas hidup, serta mengurangi risiko terjadinya hipertensi pulmoner dan kegagalan
kardiorespirasi.
DAFTAR PUSTAKA ada di Redaksi
Sistem Pernapasan pada Manusia
Mekanisme Pernapasan
Pernapasan pada manusia berlangsung dengan cara mengubah tekanan udara di dalam paru-
paru. Perubahan tekanan ini menyebabkan udara dapat keluar dan masuk dari dan ke dalam
paru-paru yang disebut bernapas.
Proses bernapas pada manusia melalui 2 (dua) tahap :
1. Inspirasi (penghirupan)
Tahap inspirasi terjadi akibat otot tulang rusuk dan diafragma berkontraksi. Volume rongga
dada dan paru-paru meningkat ketika diafragma bergerak turun ke bawah dan sangkar tulang
rusuk membesar. Tekanan udara dalam paru-paru akan turun di bawah tekanan udara
atmosfer, dan udara akan mengalir ke dalam paru-paru.
7/28/2019 DAMPAK OBESITAS
8/9
2. Ekspirasi (penghembusan)
Tahap ekspirasi terjadi akibat otot tulangrusuk dan diafragma berelaksasi. Volume
rongga dada dan paru-paru mengecil
ketika diafragma bergerak naik dan
sangkar tulang rusuk mengecil. Tekanan
udara dalam paru-paru akan naik
melebihi tekanan udara atmosfer, dan
uNyeri Dada
(Chest Pain)
Diagnosa Dan Perawatan Untuk Penyebab-PenyebabNyeri Dada
Perawatan untuk nyeri dada tergantung pada penyebabnya. Banyak waktu-waktu, situasi-
situasi memerlukan evaluasi, diagnosis dan perawatan terjadi pada waktu yang bersamaan,
namun ketika ada kesempatan, urutan dari sejarah, pemeriksaan fisik, pengujian, diagnosis,
dan perawatan harus diikuti. Berikut adalah Synopsis (ringkasan) dari presentasi-presentasi
dan perawatan-perawatan umum nyeri dada.
Dinding Dada
Tulang-Tulang Rusuk Yang Patah atau Memar
Tulang-tulang rusuk yang memar atau patah adalah luka-luka yang umum. Gejala-gejala dari
tulang-tulang rusuk yang patah atau memar termasuk:
Kepekaan diatas tempat luka
Tulang rusuk yang patah dapat diraba (dokter dapat merasakn patahan tulang rusuk
bergerak ketika ditekan)
Nyeri cenderung pleuritic (ia menyakitkan untuk mengambil napas yang dalam dan
dapat dihubungkan dengan sesak napas).
7/28/2019 DAMPAK OBESITAS
9/9
Karena otot-otot sekelilingnya menjadi kejang, ada nyeri dengan segala gerakan
batang tubuh.
Dokter akan ingin mendengar dada untuk memastikan bahwa tidak ada kerusakan paru yang
berhubungan dengannya. X-ray dada mungkin dilakukan untuk mencaripneumothorax (paru
yang kempis) atau pulmonary contusion (paru yang memar). X-rays khusus untuk mencaripatah tulang rusuk tidak diperlukan karena kehadiran atau ketidakhadiran dari kepatahan
tidak akan merubah penyembuhan. Perhatian khusus akan diberikan pada perut bagian atas
karena tulang-tulang rusuk melindungi limpa dan hati, utuk memastikan tidak ada luka-luka
yang berhubungan dengannya.
Komplikasi utama dari luka-luka tulang rusuk adalahpneumonia. Paru-paru bekerja seperti
embusan-embusan. Normalnya, ketika seseorang mengambil napas, tulang-tulang rusuk
mengayun keluar dan diafragm bergerak kebawah, menghisap udara kedalam paru-paru.
Karena menyakitkan untuk mengambil napas yang dalam, mekanisme ini berubah, dan paru
yang mendasari luka mungkin tidak membesar sepenuhnya. Akibatnya adalah tempat
pembiakan yang potensial untuk infeksi paru (pneumonia).
Perawatan luka tulang rusuk:
Pengontrol nyeri dengan obat-obat anti-peradangan seperti ibuprofen dan obat-obat
nyeri narkotik.
Gunakan es pada area yang terpengaruh dan secara periodik mengambil napas dalam-
dalam. Incentive spirometer mungkin disediakan untuk membantu memperlihatkan
jumlah napas yang diambil.
Tulang-tulang rusuk tidak lagi dibungkus atau diperban untuk membantu kenyamanan
karena risiko pneumonia.
Apakah patah atau memar, luka-luka tulang rusuk memakan waktu 3-6 minggu untuk
sembuh.
dara akan mengalir keluar dari paru-paru.
http://www.totalkesehatananda.com/pneumothorax.htmlhttp://www.totalkesehatananda.com/pneumothorax.htmlhttp://www.totalkesehatananda.com/pneumonia1.htmlhttp://www.totalkesehatananda.com/pneumothorax.htmlhttp://www.totalkesehatananda.com/pneumothorax.htmlhttp://www.totalkesehatananda.com/pneumonia1.html