Click here to load reader
Upload
phamthien
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kegiatan Pendidikan
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahDalam usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional, cukup banyak
masalah yang sedang dan akan dihadapi, sejalan dengan perkembangan
zaman, tuntutan dan tantangan baru siap menghadang kehidupan bangsa
Indonesia yang pada saat ini sedang melaksanakan pembangunan di segala
bidang kehidupan, khususnya pembangunan manusia seutuhnya. Situasi
negara Indonesia yang sedang dilanda krisis sangat besar pengaruhnya
terhadap berbagai bidang kehidupan terutama terhadap kegiatan belajar
anak yang berasal dari keluarga ekonomi lemah.
Menyusul krisis multidimesi jumlah anak putus sekolah sekarang
diperkirakan sudah mencapai angka kritis yaitu 12 juta orang dan itu
dikhawatirkan akan terus bertambah.
Hampir seluruh negara di kawasan Asia Pasifik utamanya Indonesia
menghadapi masalah serius dalam bidang pendidikan, masalah yang
dirasakan paling menonjol adalah ketidakmampuan pemerintah membangun
sistem pendidikan yang terbuka yang dapat diakses oleh golongan
masyarakat tertinggal, perempuan dan anak-anak perempuan, anak-anak
yang berada dalam situasi rawan, serta anak-anak miskin dan terlantar.
Dari uraian di atas maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui
beberapa hal tentang dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan, dengan
mentapkan judul penelitian : “Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Pendidikan”.
B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan di atas, maka penulis
merumuskan masalah dalam makalah ini sebagai berikut : Sejauhmana
dampak krisis ekonomi terhadap pendidikan ?
2
C. Sistematika PenulisanMakalah ini terdiri dari tiga bab. Bab I mengemukakan latar belakang
masalah, perumusan masalah, dan sistematika penulisan. Bab II membahas
Dampak Krisis Ekonomi terhadap Pendidikan, yaitu Awal Krisis Multidmensi
di Indonesia; Terjadinya Krisis Ekonomi, Dampak Krisis Ekonomi terhadap
Kegiatan Pendidikan dan Dampak Krisis Ekonomi terhadap Mutu Pendidikan.
Bab III mengemukakan kesimpulan dan saran yang dianggap perlu.
3
BAB IIDAMPAK KRISIS EKONOMI TERHADAP
KEGIATAN PENDIDIKAN
A. Awal Krisis Multidmensi di IndonesiaBerbicara mengenai tatanan ekonomi dunia baru, pada hakekatnya
kita sedang membicarakan bangsa kita terhadap pola dan tata hubungan
orang dan bangsa-bangsa lainnya dibelahan bumi manapun mereka dan
bangsa itu berada. Dengan kata lain tata hubungan ekonomi dunia baru
adalah pola keterkaitan pribadi dan institusi pada berbagai dimensi
kehidupan yang sudah sangat terintegrasi keseluruhannya. Sebuah adagium
politik internasional dewasa ini mengatakan bahwasannya ketergantungan
untuk bekerjasama satu sama lain adalah suatu keharusan manakala kita
mengharapkan adanya keuntungan, sementara itu penolakan terhadap
bentuk persekutuan adalah kebuntuan dan hilangnya peluang untuk
mendapatkan keuntungan, dan tentu saja ini dibarengi dengan segala
konsekwensinya.
Sebagai contoh ketika krisis keuangan wilayah Asia (sejak 1997)
melanda kawasan ini membawa kepada resesi secara umum termasuk
Indonesia, ini adalah salah satu bukti pola keterkaitan dari lingkungan luar
dalam pengertian batasan negara bisa membawa pengaruh terhadap kondisi
dalam negara Indonesia, yang juga memang sudah mempunyai latar
belakang kondisi sosial ekonomi dan politik yang tidak on the track, alis tidak
pada jalur yang benar dalam pengertian fungsi, tugas dan pelaksanaannya
tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Sejak maraknya unjuk rasa oleh para mahasiswa, yang mendominasi
berita dan liputan di media massa adalah masalah-masalah politik dan
semuanya sepakat bahwa kulminasi dari apa yang terjadi di tanah air
terutama di Jakarata adalah dengan gugurnya beberapa mahasiswa
Universitas Trisakti, para anggota aparat keamanan dan anggota masyarakat
termasuk kaum miskin yang melakukan penjarahan sangat memilukan,
4
menyedihkan, dan menakutkan. Apakah kesemua ini masih kurang dan
masih akan terjadi peristiwa destruktif yang lebih hebat lagi di hari-hari
mendatang.
Betapa pendeknya ingatan kita dan betapa besar kesenjangan antara
kemampuan berpikir dan kemampuan berbuat, sudah lama kita mendengar
para pemimpin menyatakan bahwa : “Apabila kesenjangan sosial lebar
jurangnya antara kaya dan miskin tidak diatasi secepat mungkin niscaya
akan terjadi ledakan sosial, kerusuhan, keonaran, chaos.” (Kwik Kian Gie,
1998:110) Namun tindakan ke arah perbaikan tersebut nyaris tidak ada.
Dengan nilai rupiah yang merosot menjadi demikain rendahnya,
pendapatan nasional perkapita menjadi sekitar 300 dolar AS, yang mungkin
akan menurun lagi di bulan-bulan mendatang. Banyak yang dapat
dikemukakan tentang betapa besar kerugian yang kita derita tetapi tentu saja
semua yang kita lihat hampir sebagian besar dibiayai oleh hutang luar negeri
yang dalam dollar. Sekarang dibakar habis tetapi hutangnnya masih
menumpuk dan masih dalam dolar yang nilainya melonjak empat kali lipat.
Belum lagi kerugian akhlak, moral dan nilai karena anak-anak usia belasan
tahun menjarah dan merampas barang orang lain dan melakukan tindakan
pemerkosaan. Berbicara dalam jangka waktu kedepan utamanya bidang
pendidikan kaitannya dengan krisis ekonomi banyak anak usia sekolah mulai
dari SD sampai Perguruan Tinggi menghadapi ketidak mampuan untuk
melanjutkan studinya. Ini berarti kita menghadapi suatu kondisi yang bisa
dikatakan sebagai lost generations. Dengan perkataan lain krisis yang
sedang dihadapi bangsa Indonesia adalah suatu kondisi yang in oftima forma
(multidimensi).
Menengok sejarah kehidupan ekonomi bangsa-bangsa di dunia
semakin besar hutang bangsa tertentu, semakin besar akan dimaklumi
bahwa bangsa yang bersangkutan niscaya tidak akan mampu membayarnya.
Apa yang menjadi modal kita ? kekayaan alam dan rakyat. Tetapi semua itu
hanya bisa dibangkitkan oleh pemimpin yang baik dan benar. Maka tepat
5
sekali apa yang dikatakan oleh Confucius yang dikutip oleh Kwik Kian Gie,
(1998:122), bahwa :
“Bangsa yang sejahtera adalah bangsa yang mempunyai tiga hal : pemimpin yang baik, makanan, dan senjata. Kalau bangsa menjadi miskin, dan harus membuang satu dari 3, yang harus dibuang adalah senjata. Kalau bangsa masih miskin juga dan harus membuang satu dari dua, yang dibuang adalah makanan. Pemimpin yang baik tidak dapat dibuang, karena hanya dengan pemimpin yang baik dan rakyat yang potensial itulah makanan dan senjata bisa dicari lagi.”
Dari uaraian di atas, penulis berpendapat bahwa kita memerlukan
pemimpin yang bisa membawa bangsa Indonesia dari keterpurukan yang
disebabkan oleh krisis ekonomi, sehingga kita akan lepas dari kemiskinan.
B. Terjadinya Krisis Ekonomi Krisis moneter yang terjadi sejak Juli tahun 1997 telah membawa
akibat serius terhadap sendi-sendi perekonomian nasional. Pendapatan
masyarakat menurun drastis, harga barang dan jasa naik tajam sehingga
mencapai tingkat yang sebagian besar masyarakat sulit menjangkaunya.
Bahkan menurut para ahli, jika krisis ekonomi dibiarkan, akan terjadi proses
pembodohan bangsa secara massal. Pasalnya akibat krisis ekonomi, banyak
masyarakat yang tidak bisa menjangkau harga layanan pendidikan.
Media massa sering menggunakan jorgon-jorgon atau terminologi
yang pada umumnya hanya dipahami maknanya oleh kelompok ilmuwan
atau profesional tertentu. Kita kenal beberapa jorgon misalnya untuk bidang
ekonomi seperti opportinity costs, economic of sales dan kata yang
merupakan jorgon gabungan dari ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi.
Telah menjadi kebiasaan diantara warga masyarakat membicarakan
suatu topik atau isu yang sedang hangat dipermasalahkan masing-masing
pembicara telah memahami apa arti dan maksud serta isi kandungan topik
yang dibicarakan. Padahal sangat mungkin persepsi dan pandangan mereka
berbeda baik tentang arti, maksud atau isi kandungan. Dan tidak jarang
diakhiri dengan polemik. Oleh karena itu ada baiknya kita definisikan apa
yang dimaksud krisis moneter.
6
Terminologi atau jorgon ilmu psikologi, seperti : tension (ketegangan),
panic dan disaster (malapetaka) atau cathastrophic (bencana) yang
merupakan bagian-bagian dan konsep teori sosial itu semuanaya telah bisa
kita saksikan dalam wujud empiriknya sebagaimana yang telah dialami
bangsa Indonesia.
Menurut Kwik Kian Gie, (1998:9) mengemukakan bahwa : “Krisis
adalah the upper turning point dalam kurva gelombang pasang surut ekonomi
atau konjungtor atau business cycle. Maka dengan sendirinya diikuti oleh
resesi, kalau resesinya lambat terbuka terhadap pengimporan inflasi
sehingga terjadi stagplasi.
Kata krisis itu sendiri bagi sebagian warga masyarakat mengandung
arti suatu kondisi krisis yang mengancam sebagian perikehidupan bangsa
tergantung bidang atau sektor apa yang sedang mengalami krisis. Setelah
melihat pengertian krisis menurut para ahli dan wara masyarakat, penulis
dapat menyimpulkan bahwa krisis ekonomi adalah malapetaka atau suatu
bencana yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa sehingga
masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya atau terpuruk
kehidupannya. Seperti dekemukakan oleh Bambang Suwarno, (1999:43)
bahwa : “Dalam waktu yang amat singkat jumlah penduduk miskin meningkat
dari 20 juta menjadi 90 juta”.
Indikator untuk melihat naik turunnya krisis ekonomi dikemukakan oleh
Ace Partadireja, (1990:89) bahwa : “Indikator naik turunya konjungtor
ekonomi adalah produk nasional, produk industri, pengangguran, harga
barang konsumsi, dan produksi, persediaan barang jadi, setengah jadi dan
bahan mentah, jumlah investasi, tingkat konsumsi dan penerimaan
pemerintah dari jumlah pajak tertentu yang mencerminkan keuntungan
perusahaan-perusahaan.”
Namun ternyata bahwa kenaikan kegiatan perekonomian ini tidak
terus menerus melainkan akan sampai kepada puncaknya untuk kemudian
mulai menurun, penjualan barang-barang dan jasa mulai menurun dan terus
meluas dengan dahsyatnya.
7
Sedangkan menurut Kwik Kian Gie, (1999:3) mengemukakan ada dua
karakteristik krisis yaitu :
a. Krisis yang tidak sepandan antara kenaikan konsumsi ketimbang kenaikan kapasitas produksi sehingga terjadi kelebihan kapasistas produksi, krisis ini dinamakan underconsumtion crisis.
b. Krisis yang disebabkan oleh terlampau besarnya investasi yang dipicu modal asing karena tabungan nasional sudah lebih dari habis untuk berinvestasi dimana kemunigkinan untuk memperoleh modal asing pada suatu ketika akan tersendat. Kalau ini yang terjadi maka investasi akan menut\run yang mengakibatkan krisis dinamakan Overeinvestment crisis.
Dari gambaran seperti ini, penulis berpendapat bahwa masalah besar
yang dihadapi bangsa Indonesia hanya dapat diatasi dengan bantuan dari
luar negeri dengan bunga yang sangat lunak. Bantuan dana yang sifatnya
berbentuk sumbangan atau hutang sangat lunak, hanya merupakan bom
waktu saja yang akan meledak ketika jatuh tempo.
Sejak awal sudah dikenali, bahwa faktor penentu buat pengurangan
keparahan krisis ekonomi kita adalah nilai rupiah yang harus stabil pada
tingkat yang wajar, maka para ahli melakukan perhitungan nilai rupiah yang
realistik dan wajar, sebenarnya berapa, setelah nilai mata uang dari negara-
negara sekitarnya mengalami penurunan. Ketika nilai rupaiah berpluktuasi
dengan kecenderungan merosot terus, juga sudah dikenali bahwa kalau kurs
dollar stabil pada Rp. 10.000/dollar, sebagian besar pabrik akan tutup.
Inflansi meroket, yang juga ini berarti kemampuan daya beli masyarakat
menurun akan menimbulkan berbagai macam permasalahan kehidupan
termasuk masalah pendidikan.
C. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kegiatan Pendidikan Krisis moneter yang terjadi sejak Juli tahun 1997 sampai sekarang
telah membawa akibat yang serius terhadap sendi-sendi perekonomian
nasional. Pendapatan masyarakat menurun drastis, harga-harga barang juga
naik tajam sehingga mencapai tingkat yang sebagian warga masyarakat sulit
menjangkaunya. Bahkan menurut para ahli, jika krisis ekonomi ini dibiarkan,
8
akan terjadi proses pembodohan bangsa secara massal. Pasalnya akibat
krisis ekonomi, banyak masyarakat yang tidak bisa menjangkau harga
layanan pendidikan.
Secara khsus dampak krisis ekonomi yang terjadi pada masyarakat
dapat dikelompokan menjadi beberapa kemungkinan, diantaranya :
a) kemampuan ekonomi rendah dengan aspirasi pendidikan rendah;
b) kemampuan ekonomi rendah dengan aspirasi pendidikan tinggi; c)
kemampuan ekomomi tinggi dengan aspirasi pendidikan rendah; dan d)
kemampuan ekonomi tinggi dengan aspirasi pendidikan tinggi.
Kemampuan menyekolahkan anak bagi yang kemampuan
ekonominya rendah sangat rentan atas dampak krisis moneter. Keadaan ini
bisa dipahami karena struktur pengeluaran mereka sebagian besar adalah
untuk memenuhi kebutuhan primer. Hanya sebagian kecil pengeluaran
mereka yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder, seperti
untuk membiayai pendidikan. Oleh karena itu begitu penghasilan mereka
menurun atau bahkan hilang, maka untuk pembiayaan pendidikan akan
dikurangi atau bahkan dihentikan. Lebih dari itu, bagi kelompok ini,
penurunan dan hilangnya pendapatan keluarga akan menggerakan mereka
untuk mengarahkan kegiatan anak kepada sesuatu kegiatan produktif bagi
keluarga, daripada merngirim mereka ke sekolah. Kecendrungan ini terjadi
apabila angka putus sekolah atau drop out (DO) sebagian dari kelompok ini
meningkat.
Untuk membendung terjadinya drop out besar-besaran diperlukan
adanya kebijakan khusus dan cepat diantaranya : a) Bidang sosial ekonomi
kemasyarakatan yang mengembangkan proyek padat karya merupakan
salah satu alternatif yang sangat diharapkan; dan b) Bidang pendidikan,
pengembangan dan penambahan program-program beasiswa dapat
merupakan katup pengaman terjadinya gelombang drop out (DO).
Bagi kelompok yang kemampuan ekonominya rendah tetapi aspirasi
pendidikan tinggi, dapak krisis ekonomi mirip sebagaimana kelompok
pertama. Kelompok ini akan mengalami penurunan pendapatan atau bahkan
9
hilang, yang menyebabkan mereka tidak lagi memiliki uang untuk membiayai
anak-anaknya sekolah. Hanya dikarenakan memiliki aspirasi pendidikan yang
tinggi, mereka tidak langsung drop out, melainkan mempertahankan anak-
anak mereka tetap bersekolah. Tetapi, upaya mempertahankan anak-anak
mereka untuk tetap bersekolah ada batasnya, karena itu ancaman drop out
membayangi kelompok ini. Jika mereka dihadapkan pada pilihan antara anak
meneruskan sekolah ke jenjang sekolah yang lebih tinggi atau tidak sekolah
dulu, mereka akan cenderung memilih yang kedua karena ketidakmampuan
menyediakan biaya.
Kebijakan yang diperlukan untuk kelompok ini diantaranya : a)
Membebaskan siswa dari segenap beban biaya pendidikan, baik SPP, BP3,
maupun untuk buku dan seragam; b) Pemberian beasiswa; dan c)
Pendayagunaan kemampuan sekolah sendiri dengan meningkatkan
solidaritas sosial di lingkungan sekolah.
Bagi kelompok yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi tetapi
aspirasi pendidikan rendah, dampak krisis ekonomi relatif tidak terlalu terasa.
Pendapatan kelompok ini juga akan menurun atau bahkan hilang, tetapi apa
yang dimiliki masih dapat menopang kehidupannya dengan baik dalam waktu
yang relatif lama. Demikian pula konsumtif, primer dan sekunder, bukan
merupakan masalah bagi kelompok ini. Namun, karena aspirasi pendidikan
mereka ini rendah, kenaikan biaya pendidikan bagi mereka akan
menekankan kemauan dan semangat menyekolahkan anak-anaknya.
Terutama, biaya pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Kebijakan
yang diperlukan agar kelompok ini tetap mempertahankan anak-anaknya
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi adalah menunda kenaikan uang
sekolah dari iuaran sekolah yang lain. Sampai batas waktu tertentu yang
diperkirakan gejolak ekonomi dapat dikendalikan, maka segala kebijakan
untuk menaikan biaya sekolah perlu dipertimbangkan masak-masak.
Bagi kelompok yang kemampuan ekonominya tinggi tetapi aspirasi
pendidikan tinggi, dampak krisis ekonomi tidak nampak. Artinya kemauan
dan kemampuan mereka menyekolahkan anak-anaknya tidak akan
10
terganggu. Kemampuan ekonomi mereka bahkan harus bisa dimanfaatkan
bagi kebutuhan yang lain. Oleh karena itu, kebijakan yang diperlukan untuk
kelompok ini adalah mendorong mereka agar aktif membantu siswa yang
tidak mampu, terutama yang ada di sekolah masing-masing seperti Gerakan
Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA).
D. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan
Krisis ekonomi sangat besar pengaruhnya terhadap mutu pendidikan,
seperti diungkapkan oleh Budiono dalam Mimbar Pendidikan No. 4 tahun
XVII, 1999:11) bahwa : “Mutu pendidikan ditentukan antara lain oleh kualitas
guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, kualitas kepala sekolah
dalam memimpin dan menciptakan kultur sekolah yang kondusif, kualitas staf
administrasi dalam menjalankan tugasnya dengan baik, benar, tertib dan
cepat serta kualitas siswa dalam arti memiliki motivasi belajar yang tinggi
serta kualitas dukungan lingkungan khususnya dari orang tua siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis berpendapat bahwa mutu
pendidikan akan berhasil jika semua komponen sekolah seperti kepala
sekolah, guru, siswa dan orang tua murid dapat bekerja sama dengan baik,
antara lain guru yang berkualitas dan siswa yang memiliki motivasi untuk
belajar serhingga proses belajar mengajar akan berhasil.
Krisis moneter menyebabkan pendapatan sktor riil yang diterima guru
semakin kecil, dikarenakan dengan menerima pendapatan yang tetap sama
harus digunakan membeli kebutuhan dengan harga yang sudah naik.
Menyusutnya pendapatan riil guru tersebut akan berpengaruh terhadap
proses belajar mengajar yang mereka laksanakan. Salah satu contohnya
banyak guru yang berdemonterasi menuntut kenaikan gaji.
Kehidupan guru sekarang ini termasuk dalam kelompok marginal atau
pas-pasan, itupun sebagian besar guru bersedia kerja ekstra, mengajar tidak
hanya disatu sekolah. Semakin mahalnya harga-harga barang kebutuhan
sehari-hari merupakan tambahan persoalan yang harus dihadapi guru. Tidak
pelak lagi, semangat kerja guru dapat merosot dan konsentrasi mereka
11
mengajar akan terganggu karena persoalan hidup sehari-hari yang
meningkat, kalau dalam kondisi normal saja, kualitas guru dalam
melaksanakan proses belajar mengajar masih perlu untuk ditingkatkan,
apalagi dalam kondisi krisis moneter dewasa ini. Oleh karena itu, merosotnya
semangat kerja dan konsentrasi kerja guru merupakan ancaman langsung
terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Krisis ekonomi dan moneter mengharuskan pengkajian ulang atau
reorientasi kebijaksanaan pembiayaan lama disusun berdasarkan keadaan
sebelum krisis. Pelaksanaan harus secara sadar berpihak kepada lapisan
masyarakat miskin. Upaya tersebut mencakup untuk siswa, guru, kepala
sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.
1. Siswa. Sasaran beasiswa harus ditingkatkan dan diperluas. Beasiswa ini
ditujukan bagi mereka yang putus sekolah dan mereka yang akan
melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pengembangan
beasiswa ini sangat mendesak, untuk itu perlu dukungan birokrasi, yang
memberikan kemudahan di bidang administrasi keuangan. Pembebasan
pembayaran yang seharusnya dibayar siswa secara bulanan, caturwulan,
maupun tahunan dapat diberikan dalam jangka waktu tertentu, misalnya
satu atau dua tahun terutama dalam tahun-tahun keadaan ekonomi sulit.
Pebebasan biaya sekolah ini bisa juga diberikan secara multi years
seperti beasiswa. Pembebasan biaya sekolah ini tidak selalu di darah
terpencil tetapi juga dialami oleh orang tua siswa yang orang tuanya di
PHK (putus Hubungan Kerja).
2. Guru. Program peningkatan mutu guru melalui pelatihan perlu
ditingkatkan sehingga guru mampu mengelola kelas dengan baik,
meskipun kondisi siswa kurang memadai. Kegiatan MGMP (Musyawarah
Guru Mata Pelajaran) yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
guru diperkaya dengan pemberian insentif transport dan sebagainya yang
dapat meringankan bukan hanya pekerjaan tetapi juga kehidupan guru.
3. Kepala Sekolah. Kualitas manajemen kepala sekolah harus ditingkatkan.
Sasaran pada komponen ini adalah mengembangkan sekolah menjadi
12
suatu unit mandiri yang bercorak sistem organik bukannya bercorak
sistem mekanik. Pada sistem mekanik kerusakan pada suatu alat dapat
segera diganti dengan alat lain dan sistem akan berfungsi kembali. Tetapi
tidak demikian pada sistem organik. Kalau sekolah tidak berfungsi dengan
baik tidak hanya dapat diperbaiki dengan mengganti onderdil yang tidak
baik, misalnya guru dilatih agar kualitanya semakin tinggi. Melainkan
fungsi sekolah harus didukung oleh semua orang yang ada pada sekolah.
Inti dari sistem organik adalah semua komponen sekolah, mulai dari
kepala sampai siswa dan bahkan orang tua siswa harus terlibat dan
bertanggung jawab utuk terlaksananya program pendidikan yang baik di
sekolah.
4. Orang tua siswa. Bertambahnya orang tua siswa dengan penghasilan
semakin rendah dan bahkan tidak berpenghasilan karena PHK dan
terjadinya krisis moneter. Oleh karena itu, pembangunan sekolah atau
ruang kelas baru serta kegiatan tehabilitasi gedung sekolah, baik di kota
maupun di desa akan menambah lapangan kerja bagi para penganggur
tersebut.
5. Masyarakat. Peran BP3 atau yang sekarang telah berubah nama menjadi
Dewan Sekolah untuk menunjang kegiatan sekolah harus ditingkatkan
sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat. Hal ini dimungkinkan
kalau terjadi kerjasama yang baik antara masyarakat dengan sekolah.
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa usaha
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya akan mengalami hambatan yang cukup berarti, sehingga tujuan
membentuk pribadi-pribadi yang mantap, mandiri dan bertanggung jawab
dalam segi yang dilakukan oleh anak meningkat. Untuk mengatasi persoalan
itu, maka prioritas program pendidikan harus diarahkan pada pemerataan
pendidikan. Pendidikan harus diarahkan pada pembentukan mental yang
kuat serta pembentukan jiwa kewirausahaan, supaya ketergantungan kepada
orang lain menjadi berkurang.
13
BAB IIIKESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Hasil kajian yang penulis lakukan mengenai pengaruh krisis ekonomi
terhadap kegiatan pendidikan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Krisis ekonomi dan moneter mengharuskan pengkajian ulang atau
reorientasi kebijaksanaan pembiayaan lama disusun berdasarkan
keadaan sebelum krisis. Pelaksanaan harus secara sadar berpihak
kepada lapisan masyarakat miskin. Upaya tersebut mencakup untuk
siswa, guru, kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.
2. Krisis ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia hanya dapat diatasi
dengan bantuan dari luar negeri dengan bunga yang sangat lunak. Tetapi
bantuan dana yang sifatnya berbentuk sumbangan atau hutang sangat
lunak, hanya merupakan bom waktu saja yang akan meledak ketika jatuh
tempo.
3. Dampak krisis ekonomi yang terjadi pada masyarakat dapat
dikelompokan menjadi beberapa kemungkinan, diantaranya : a)
kemampuan ekonomi rendah dengan aspirasi pendidikan rendah;
b) kemampuan ekonomi rendah dengan aspirasi pendidikan tinggi; c)
kemampuan ekomomi tinggi dengan aspirasi pendidikan rendah; dan d)
kemampuan ekonomi tinggi dengan aspirasi pendidikan tinggi.
4. Kemampuan menyekolahkan anak bagi yang kemampuan ekonominya
rendah sangat rentan atas dampak krisis moneter. Hal ini karena struktur
pengeluaran mereka sebagian besar adalah untuk memenuhi kebutuhan
primer. Hanya sebagian kecil pengeluaran mereka yang dipergunakan
untuk memenuhi kebutuhan sekunder, seperti untuk membiayai
pendidikan. Oleh karena itu begitu penghasilan mereka menurun atau
bahkan hilang, maka untuk pembiayaan pendidikan akan dikurangi atau
bahkan dihentikan. Penurunan dan hilangnya pendapatan keluarga akan
14
menggerakan mereka untuk mengarahkan kegiatan anak kepada sesuatu
kegiatan produktif bagi keluarga, daripada merngirim mereka ke sekolah.
Sehingga menimbulkan angka putus sekolah atau drop out (DO).
B. SaranSelain kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, penulis juga dapat
memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Untuk mengatasi terjadinya drop out besar-besaran
diperlukan adanya kebijakan khusus dan cepat diantaranya : a) Bidang
sosial ekonomi kemasyarakatan yang mengembangkan proyek padat
karya merupakan salah satu alternatif yang sangat diharapkan; dan b)
Bidang pendidikan, pengembangan dan penambahan program-program
beasiswa dapat merupakan katup pengaman terjadinya gelombang drop
out (DO).
2. Bagi kelompok yang kemampuan ekonominya tinggi tetapi
aspirasi pendidikan tinggi, dampak krisis ekonomi tidak nampak. Artinya
kemauan dan kemampuan mereka menyekolahkan anak-anaknya tidak
akan terganggu. Kemampuan ekonomi mereka bahkan harus bisa
dimanfaatkan bagi kebutuhan yang lain. Oleh karena itu, kebijakan yang
diperlukan untuk kelompok ini adalah mendorong mereka agar aktif
membantu siswa yang tidak mampu, terutama yang ada di sekolah
masing-masing seperti Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA).
3. Bagi pembuat kebijakan, prioritas program pendidikan
harus diarahkan pada pemerataan pendidikan. Pendidikan harus
diarahkan pada pembentukan mental yang kuat serta pembentukan jiwa
kewirausahaan, supaya ketergantungan kepada orang lain menjadi
berkurang.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ace Partadiredja, 1990, Pengantar Ekonomika, Jakarta : BPFE.
Cristianto Wibisono, 1998, Menelusuri Krisis Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ian J. Humphreys, 1995, Pengetahuan Ekonomi untuk Orang Awam, Jakarta : Arcan.
Kwik Kian Gie, 1999. Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Paul Hirst dan Graham Thompson, 1996, Globalization in Question, Peling Press.
Sjahrir, 1995, Analisis Ekonomi Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mimbar Pendidikan . 1998. Nomor 4, Kantor Ikatan Alumni IKIP Bandung .
16