40
DALIL SYARAH YANG DIPERSELISIHKAN ISTIHSAN DAN MASLAHAH MURSALAH A. Istishan Istihsan dalam bahasa, berasal dari kata dasar Hasana artinya baik atau indah, maksudnya adalah sesuatu yang dianggap baik dan indah, seperti dalam Al- Qur’an 1. Az – Zumar: 17- 18, yaitu: “Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.” 2. Al- A’raf: 145, yaitu: Dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah- perintahnya) dengan sebaik-baiknya.” 3. Hadist Riwayat Imam Ahmad yaitu : ٌ نً سَ حِ له الَ دْ نِ عَ وُ هَ ف اً نَ سَ حَ نْ وُ مِ لْ سُ مْ ل اُ ا! هَ ا رَ مSegala sesuatu yang dianggap baik oleh orang-orang muslim, maka di anggap suatu hal yang baik menurut Allah” Sedang Istihsan menurut istilah adalah ن س ح ل و ا( با( ُ هْ نِ م ىَ وْ 0 قَ اِ هْ ( جَ وِ لَ رَ خ! اِ مْ كُ ح ىَ لِ ; ا اَ هِ رِ > اَ @ ظَ نِ مْ كُ حْ نَ عِ 0 هَ لَ > اْ سَ مْ ل اِ ( بُ لْ وُ دُ عْ ل اُ هَ ّ ن> اَ وُ هُ انَ سْ حِ 0 تْ س; الإ) ى ح ر لك اIstihsan adalah berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada sebandingnya ke hukum lain, lantaran adanya suatu sebab yang dipandang lebih kuat atau lebih baik. Dengan demikian , istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas nyata ( jali ) kapada qiyas khafi ( samar ), atau dari dalil kully kepada hukum tashhish lantaran adanya dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pemikirannya dan mementingkan perpindahan hukum. Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya kasus dari suatu kejadian yang status hukumnya tidak ada, 1

Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

DALIL SYARAH YANG DIPERSELISIHKANISTIHSAN DAN MASLAHAH MURSALAH

A. IstishanIstihsan dalam bahasa, berasal dari kata dasar Hasana artinya baik atau indah, maksudnya adalah sesuatu yang dianggap baik dan indah, seperti dalam Al- Qur’an1. Az – Zumar: 17- 18, yaitu:

“Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.”

2. Al- A’raf: 145, yaitu:

“Dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya.”

3. Hadist Riwayat Imam Ahmad yaitu :ن� ح�س� الله� د� ن ع� ف�ه�و� �ا ن ح�س� �م�و ن� ل م�س ال آه� ر� م�ا

“Segala sesuatu yang dianggap baik oleh orang-orang muslim, maka di anggap suatu hal yang baik menurut Allah”Sedang Istihsan menurut istilah adalah �ق و�ى ا �و�ج ه� ل آخ�ر� � م ح�ك �ل�ى إ �ر�ه�ا �ظ�ائ ن � م ح�ك ع�ن �ة� ل

� أ م�س �ال ب ع�د�و ل� ال .ه� ه�و�أن ان� �ح س� ت اإلس) الكرحى ) الحسن ابو ه� م�ن

Istihsan adalah berpindah dari sesuatu hukum yang sudah diberikan kepada sebandingnya ke hukum lain, lantaran adanya suatu sebab yang dipandang lebih kuat atau lebih baik.

Dengan demikian , istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas nyata ) jali ( kapada qiyas khafi ) samar (, atau dari dalil kully kepada hukum tashhish lantaran adanya dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pemikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.

Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya kasus dari suatu kejadian yang status hukumnya tidak ada, maka penyelesaiannya harus menggunakan dua sisi yang konttradiktif, yaitu:1. Dari sisi lahiriyyah yang dikehendaki adalah adanya kepastian hukum.2. Dari sisi lain, yaitu sisi yang tidak tampak ) khafi ( menghendaki adanya

ketetapan hukum lain.Dari kenyataan itu, pada diri mujtahid ada dalil yang dianggap lebih

mendahulukan sisi ketidaktampakan ) khafi (, sehingga ia berpindah kepada sisi yang nyata ) jali/ lahiriyyah (. Begitu juga jika ada ketetapan hukum kulli pada diri mujtahid, namun ia menghendaki adanya dalil juz’iy dari hukum kully tersebut dan memberikan ketetapan hukum kepada juz’iynya. Maka hal ini dalam syara’ dikenal dengan sebutan istihsan. Jadi, istihsan adalah perpindahan penerapan suatu bentuk qiyas pada bentuk qiyas yang lebih kuat.

1

Page 2: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

B. Pengertian mashlahah mursalahMaslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan

mursalah.Perpaduan dua kata menjadi “marsalah mursalah“yang berarti prinsip kemaslahatan )kebaikan( yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik )bermanfaat(. Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya :1. Imam Ar-Razi mena`rifkan sebagai berikut: Maslahah ialah, perbuatan yang

bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri` )Allah( kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya(

2. Imam Al-Ghazali mena`rifkan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat“

3. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah :Memelihara tujuan syara dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan makhluk.

Mashlahatul mursalah yaitu memperoleh suatu hukum yang sesuai menurut akal dipandang dari kebaikannya, sedangkan tidak diperoleh alasannya, seperti seseorang menghukum terhadap sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama. Apakah perbuatan itu haram atau boleh. Maka hendaklah dipandang kemudharatannya dan kemanfaatannya. Bila kemudharatannya lebih banyak dari kemanfaatannya berarti perbuatan itu terlarang. Sebaliknya bila kemanfaatannya lebih banyak dari kemudharatannya berarti perbuatan itu dibolehkan oleh agama, karena agama membawa kepada kebaikan oleh sebab itu dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah:

حرام اهو الشئ ومصلخته  حكم مفسدته الى فلينظر مباح اوArtinya: “Hukum sesuatu adakah dia haram atau mubah, maka dilihat

dari segi kebiasaannya dan kebaikannya.” Mashlahah adalah kalimat isim yang berbentuk mashdar dan artinya sama

dengan al-shulhu yang artinya sinonim dengan kata al-manfa’at, yaitu kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan

Sedang menurut istilah para ahli ushul berbeda – beda redaksi dalam mendefinisikannya antara lain :

ة< م�ض�ر. د�ف ع< �و ا ف�ع�ة< م�ن ج�ل ب� ع�ن ص ل�� األ ف�ى �اد�ة� ب ع� ف�ه�ي� �ح�ة� ل م�س ال �م. ا

Pada dasarnya mashlahah adalah meraih kemanfaatan atau menolak kemadlaratan.

�H �ه�م ن د�ي ح�ف ظ� ف�ى �اد�ه� �ع�ب ل م� ح�ك�ي ال ار�ع� الش. ق�ص�د�ه�ا �ى .ت ال ف�ع�ة� م�ن ال ع�ن� ة� �ار� ب ع� �ح�ة� ل م�س ال ن. �ه�م ل �م و�ا و�ا �ه�م ل �س و�ن �ه�م و�ع�ق�و ل ه�م �ف�و س� .و�ن

Pengertian yang lain, mashlahah adalah bentuk perbuatan ynag bermanfaat yang telah diperintahkan oleh syari’ ( allah ) kepada hamba-NYA untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda mereka.

ق� ل خ� ال ع�ن� د� م�ف�اس� ال �د�ف ع� ب ار�ع� الش. م�ق ص�و د� ع�ل�ى اف�ظ�ة� الم�ح� ه�ي� �ح�ة� الم�ص ل

2

Page 3: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara menolak segala sesuatu yang dapat merusakkan makhluk.

Dari ketiga definisi tersebut dapat dipahami bahwa ketiga – tiganya memiliki tujuan yang sama, yaitu: memelihara tercapainya tujuan syara’ yaitu menolak madlarat dan meraih mashlahah.

Jadi mashlahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak memiliki dasar sebagai dalilnya dan juga tidak ada dasar sebagai dalil yang membenarkannya. Oleh sebab itu, jika ditemukan suatu kasus yang ketentuan hukumnya tidak ada dan tidak ada pula” illat” yang dapat dikeluakan dari syara’ yang menentukan kepastian hukum dari kasus tersebut, lalu ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, dalam artian suatu ketentuan hukum yang berdasarkan pada pemeliharaan kemadlaratan atau menyatakan bahwa sesuatu iti bermanfaat, maka kasus seperti itu dikenal dengan sebutan mashlahah mursalah.

Jumhur ulama umat Islam berpendapat bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah syari’at yang dijadikan dasar pembentukan hukum dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash dan ijma atau qiyas atau istihsan itu disyari’atkan padanya hukum yang dikehendaki oleh mashlahah umum, dan tidaklah berhenti pembentukan hukum atas dasar maslahah mursalah ini karena adanya saksi syar’I yang mengakuinya.

Golongan yang mengakui kehujjahan maslahah mursalah dalam pembentukkan hukum )Islam( telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang dipenuhi, sehingga maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusakkan manusia dan agama. Sehingga seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari`atnya. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:1. Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, Ahlul hilli wal aqdi dan mereka

yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah haqiqiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.

2. Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.

3. Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`.Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya, maka maslahah tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh Islam. Bahkan tidak dapat disebut maslahah.

4. Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.

Istishab dan urfA. Definisi Istishab

Istishab secara etimologi berarti “mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Sedangkan secara terminologi, ialah tetap berpegang pada hukum

3

Page 4: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.

Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku

pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa

yang lalu.Contoh Istishab:Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.

B. Pengertian 'Urf'Urf adalah suatu kebiasaan yang berlangsung konstan di tengah

masyarakat karena ia telah diakui oleh orang-orang yang punya akal yang sehat dan diterima oleh watak yang sehat.

Sejenak berbicara tentang 'urf, maka dalam pikiran kita akan terbesit suatu pengertian 'adat. Memang, kedua kata tersebut memiliki definisi yang hampir tidak bisa dibedakan. Keduanya sama-sama berbentuk kebiasaan, namun jika ditelusuri secara etimologi, istilah 'adat merupakan derivasi dari kata al-‘aud atau al-mu’awadah.

Dalil 'Urf'Urf merupakan sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari maksud

sabda Nabi Muhammad SAW Yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad :حسن الله عند فهو حسنا المسلمون رآه ما

Artinya : “Apa yang diyakini kaum mushmin sebagai suatu kebaikan, berarti baik pula di sisi Allah SWT”

SADD ZARIAH DAN SYARU MAN QABLANAA. SADD ZARIAH

Kata al-dzarỉ‘ah digunakan untuk onta yang digunakan orang Arab dalam berburu. Si onta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar

4

Page 5: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping onta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika onta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata al-dzarỉ‘ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.

Dasar Hukum Sadd al-Dzari’ah1. Al Quran

- QS. Al-Baqarah: 104

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan )kepada Muhammad(: "Raa'ina", tetapi Katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih [80].

[80] Raa 'ina berarti: sudilah kiranya kamu memperhatikan kami. di kala Para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudipun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raa'ina Padahal yang mereka katakan ialah Ru'uunah yang berarti kebodohan yang sangat, sebagai ejekan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya Tuhan menyuruh supaya sahabat-sahabat menukar Perkataan Raa'ina dengan Unzhurna yang juga sama artinya dengan Raa'ina. Adanya larangan tersebut dikarenakan ucapan “ra’ina” oleh orang-orang Yahudi dimanfaatkan untuk mencaci nabi. Oleh karena itu, kaum muslimin dilarang mengucapkan kalimat itu untuk menghindarkan timbulnya dzari’ah.- QS. Al-An’am: 108

Artinya: dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah al-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi,

5

Page 6: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif )sadd adz-dzari’ah(.

2. Sunnah:- Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya di antara dosa yang terbesar

adalah seorang laki-laki yang melaknat kedua orang tuanya." Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seorang laki-laki melaknat kedua orang tuanya?" beliau menjawab: "Ia melaknat bapak orang lain, hingga orang itu ganti melaknat bapaknya. Ia melaknat ibu orang lain, hingga orang itu ganti melaknat ibunya".

- Rasululah Saw melarang membunuh orang munafik, padahal jika dilakukan tentu ada unsur mashlahat, namun unsur mashlahat tersebut dikalahkan oleh unsur mafsadat yang akan timbul. Yaitu akan mengakibatkan perginya kaum dari agama Islam dengan anggapan bahwa Rasulullah Saw telah membunuh sahabatnya.

- Rasulullah Saw bersabda: “Tinggalkanlah hal yang membuatmu ragu dan lakukanlah hal yang tidak kamu ragukan”.

B. SYARU MAN QABLANAa. Pengertian Syar’u Man Qoblana

Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita )Syar’u Man Qoblana( ialah hukum-hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad SAW.

b. Macam-Macam Syar’u Man Qablana Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :1( Dinasakh syariat kita )syariat islam(. Tidak termasuk syariat kita menurut

kesepakatan semua ulama. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.

2( Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah 183:

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”

6

Page 7: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

3( Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat kita. Dalam hal ini banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama yang cenderung mengatakan bahwa jika hukum tersebut shohih dapat kita amalkan, karena secara tidak langsung hukum terdahulu tidak terhapus, itu berarti juga tetap menjadi syariat umat terdahulu yang berlaku bagi kita umat Islam. Seperti halnya diamnya Rosulullah atas suatu perkara, tidak membenarkan tidak pula menyalahkan )Taqririyah(Contoh dalam surat Al-Maidah ayat 32 “Oleh karena itu, Kami tetapkan )suatu hukum( bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu )membunuh orang lain( atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”

c. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man QablanaPara ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang

tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para ulama Ushul Fiqh sepakat, bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam Al-Qur’qn adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya kewajiban untuk berpuasa dibulan Ramadhan.

Para ulama Ushul Fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat Islamdan tidak pula ada penjelasan yang membatalkanya.

IJTIHAD DAN FATWA

A.  Ijtihad

Menurut Muhammad Abu Zahrah, secara bahasa ijtihâd berasal dari akar kata “jahada” )جـهـد( yang berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu atau melakukan sesuatu, atau berarti pula bersungguh-sungguh. Adapun menurut istilah Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ijtihad adalah berikut ;

7

Page 8: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

ادلـتهـاالـتـفـصـي من الـعـمـلـيـة حـكام اال اســتـنـباط فى وســعـه الـفـقـيه ل uبـذـليـة

Artinya ; Pengerahan kemampuan seorang faqih dalam menggali hukum-hukum yang bersifat amali dari dalil-dalinya secara rinci.

Sementara itu Quthb Mustafa Sanu, menyebutkan bahwa ijtihad secara istilah adalah sebagai berikut ;

شــرعـي بـحـكم ظن لـتـحصـيـل الـوســع الــفـقــيـه اســتـفــراغArtinya ; Upaya sungguh-sungguh seorang faqih untuk menghasilkan hukum syara’.

Masih terdapat sejumlah defenisi yang lainnya, tetapi substansinya sama. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa ijtihâd itu pekerjaan sungguh-sungguh yang membutuhkan keahlian untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum syara’. Oleh karena itu ijtihâd itu tidak berlaku dalam bidang teologi dan akhlak. Ijtihâd dalam istilah ushul fiqh inilah yang banyak dikenal dalam masyarakat.

Para ulama berbeda pendapat tentang luas dan terbatasnya cakupan kerja ijtihâd yang dilakukan oleh ulama. Dalam arti luas ijtihâd itu menurut Harun Nasution juga digunakan dalam bidang selain hukum Islam, misalnya Ibnu Taimiyah, yang menjelaskan bahwa ijtihâd juga digunakan dalam lapangan Tasawuf dan lain-lain. Bahkan kaum sufi adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah kepatuhan sebagaimana mujtahid-mujtahid lain.

B. Fatwa Pengertian Fatwa dan Kedudukan Fatwa, pengertian I’tiba, taqlid dan Talfiq”

Di susun oleh: 1. Wayu Septi Jesasta 2. Upika 3. Abdul Rasul 4. Yosi Meri Garlensia Dosen pembimbing : Desi Isnaini, MA Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkulu )STAIN( Kota Bengkulu Tahun Ajaran 2011/2012 A. Definisi Fatwa Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian )peristiwa( yang merupakan bentukan sebagaimana di katakana Zamakhsyari dalam al-kasysyaf dari kata )al-fataa/pemuda( dalam usianya, dan sebagai kata kiasan )metafora( atau )isti’arah(. Sedangkan pengertian fatwa menurut syara’ ialah menerangkan hokum syara’ dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif. Metode Al-Quran dan As-sunnah dalam Menjelaskan

Hukum Fatwa merupakan salah satu metode dalam Al-Quran Al-karim dan As-sunnah Al-Muthahharah dalam menerangkan hokum-hukum syara’, ajaran-ajarannya dan arahan-arahannya. Kadang-kadang penjelasan itu di berikan tanpa adanya pertanyaan atau pada kesempatan ini saya ingin memberikan indeks dari buku tersebut Tafsir al-Manaar sehingga memudahkan pemerhati atau pembacanya sebagiamana yang di lakukan penyusunnya, rahimahullah, pada akhir tiap-tiap juz. Fatwa-fatwa sayid Rasyid Ridha ini memiliki beberapa

8

Page 9: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

kelebihan, antara lain: Pertama: mampu memecahkan persoalan-persoalan kontemporer dan problema nyata yang di alami dan di derita oleh manusia dalam kehidupan mereka, ketika manusia sangat memerlukan pengetahuan hokum syara’ dalam masalah-masalah tersebut, atau paling tidak mengetahui ijtihad islami masa kii tentang persoalan-persoalan tersebut. Kedua:fatwa-fatwa ini di tulis dengan semangat kebebasan ilmiah, terlepas dari ikatan mazhab, taklid, dan fanatisme terhadap pendapat manapun.

Penulis fatwa ini tidak merujuk kepada pendapat dan mazhab mana pun kecuali kepada Al-Quran, as- Sunnah, dan perinsip-prinsip syariat. Ketiga: fatwa-fatwa Rasyid Ridha mengandung semangat ishlah )perbaikan( dan dakwa )seruan( kepada Islam yang syamil )komprehensif( dan berkeseimbangan )adil(. Maka fatwa-fatwa yang di utarakannya itu bukan sekedar jawaban terhadap pertnyaan yang ada, tetapi lebih berupa risalah kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan pengarahan kepada petunjuk Al-Quran dan keadilan Islam, serta peringatan terhadap tipu daya para penipu dan penyesatan orang –orang yang dendan terhadap islam. Fatwa-fatwanya mampu memobilisasi umat islam agar bangkit, bersiap-siap dan menyusun kekuatan untuk membangun peradapannya dan menolak semua tipu daya musuh. Keluhuran Kedudukan fatwa Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan sangat penting, karena mufti )pemberi fatwa( sebagaimana di katakana oleh Imam Asy-syathibi merupakan pelanjut tugas Nabi Muhammad SAW sehingga ia berkedudukan sebagai Khalifah dan ahli waris beliau.

Para ulama salaf r.a telah mengetahui betapa mulia, agung, dan berpengaruhnya fatwa di dalam agama Allah dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu, mereka mengemukakan beberapa hal: Pertama: takut memberi Fatwa Mereka sangat takut dan berhati-hati dalam memberikan fatwa, bahkan kadang-kadang mereka berdiam diri dan tidak memfatwakan sesuatu. Mereka menghormati orang yang mengatakan “aku tidak tahu” mengenai sesuatu yang tidak di ketahuinya dan memerahi orang-orang yang lancing dalam berfatwa tanpa punya perhatian yang mendalam. Mereka bersikap demikian demi mengagungkan fatwa dan merasakan besarnya dampak yang di timbulkannya. Orang-orang yang yang paling awal bersikap demikian adalah para sahabat. Banyak di antara mereka yang tidak mau memberikan jawaban terhadap suatu pernyataan sehingga mereka diskusikan terlebih dahulu masalah tersebut dengan sahabat yang lain, padahal mereka telah di beri karunia oleh Allah berupa pikiran yang tajam, bersih, terbimbing dan lurus. Sebagaimana mereka tidak bersikap seperti itu, sedangkan Nabi SAW sendiri kadang-kadang tidak memberikan jawaban ketika di Tanya tentang sesuatu sehingga beliau tanyakan kepada malaikat jibril lebih dahulu. Kedua: mengingkari orang yang berfatwa tanpa berdasarkan ilmu Para ulama salaf sangat mengingkari orang yang terjun dalam bidang fatwa sementara dia tidak berkelayakan untuk melakukan hal itu. Mereka menganggap sikap yang demikian itu sebagai suatu celah kerusakan dalam Islam, bahkan merupakan kemunkaran besar yang wajib di cegah. Orang yang meminta fatwa )penanya( itu di

9

Page 10: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

manfaatkan apabila orang yang member fatwa berlagak segabai ahli ilmu, mengelompokkan diri dalam jajaran merekaa, dan memperdaya orang lain dengan penampilan dan sikap lahiriahnya. Hanya saja, orang yang mengakui mufti seperti ini setelah ia mengatahui kejahilian dan kesalahannya, misalnya dari kalangan penguasa maka mereka sama-sama berdosa, lebih-lebih jika mereka saling memnfaatkan dengan cara:”dukunglah saya niscaya engkau saya dukung”

Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa” barangsiapa member fatwa sedangkan dia tidak berkelayakan untuk berfatwa, maka dia berdosa dan berbuat maksiat. Demikian pula, barangsiapa dari kalangan penguasa yang mengakuinya, maka ia juga berarti telah berbuat maksiat.” Ketiga: ilmu dan pengetahuan Mufti Mufti )ahli fatwa( atau faqih )ahli fikih( yang menggantikan tugas Nabi Muhammad bahkan sebagai penerima mandate dari Allah Azza wa Jalla )untuk menyampaikan agama-Nya( sudah selayaknya memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam, menguasai dalil-dalil hokum Islam, mengerti bahasa Arab, paham terhadap kehidupan dan manusia, di samping mengerti fikih dan mempunyai kemampuan melakukan istimbath )menggali dan mencetuskan hokum dari dalil-dalil dan kaidah-kaidahnya(. Dengan demikian, tidaknya di perkenakan orang yang tidak memiliki komitmen dan pengetahuan yang mendalam tentang dua sumber agama Islam yang asasi Al-Quran dan As-Sunnah untuk memberikan fatwa tentang agama.

Ittiba’ Pengertian Ittiba’ Kata ittiba’ berasal dari bahasa Arab yakni dari kata kerja atau fi’il ittaba’a, “yattabiu”” ittiba’an” yang artinya adalah mengikut atau menurun. ittiba’ yang di maksudkan di sini adalah: “menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.” Di samping itu ada juga yang memberi definisi: “menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.” Jika di gabungkan definisi-definisi di atas dapatlah kita simpulkan bahwa ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hokum berdasarkan alasan yang di anggap lebih kuat dengan jalan membanding. Hukum ittiba’ Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang di namakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikut pendapat ulama dengan di sertai alasan-alasan, di namakan “muttabi” Hokum ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah di perintah Allah,

At-Taklid Pengertian taklid Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Oallada”, yaqallidu’, “taqlidan”, artinya meniru emnurut seseorang dan sejenisnya. Adapun taklid yang di maksudkan dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah: “menerima perkataan orang lain yang berkata dan kamu tidak mengetahui alasan perkatannya itu.” Ada juga ulama lain member definisi seperti Al-Gazali, yakni:“menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.” Selain definisi tersebut, masih banyak lagi definisi yang di berikan oleh para ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas. Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa taklid adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain

10

Page 11: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

yang tidak beralasan dari Al-Quran hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hukum taqlid Jumhur ulama berpendapat bahwa taqlid dalam bidang syar’I tidak di benarkan secara mutlak. Sedang aliran maliky berpendapat bahwa taqlid adalah batal. Demikian pula golongan Zahiriyah berpendapat bahwa, taklid dalam agama adalah terlarang. Alasan ulama-ulama yang melarang taqlid adalah, firman Allah yang berbunyi: Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.)Qs. Al.Isra:36( Memang ada sebagian ulama yang membolehkan taqlid, seperti yang di riwayatkan oleh Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul Jawami’, tetapi mereka memberikan syarat, yakni harus ada pebgertian tentang apa yang di taqlidi-Nya tersebut. Bila pendapat di atas kita perhatikan, jelas tidak sesuai dengan definisi taklid yang telah kita sebutkan terdahulu, karena dengan adanya syarat bahwa harus ada pengertian tentang yang di taklidi-nya itu, tentu dengan mengetahui alasan-alasannya. Sedang bila telah mengetahui alasannya, maka bukan taqlid lagi namanyaa, dan dengan sendirinya jatuh pada pengertian ittiba’. Sebagaimana halnya dalam bidang syar’y, juga dalam bidang tauhid )ushuludin(, bahwa jumhuur berpendapat, tidak di benarkan ber taklid dengan membawakan beberapa alasan: 1. Umat telah ijma’ tentang wajibnya mengetahui Allah, adapun cara

mengetahuinya bukan dengan jalan taqlid.2. Seorang muqalid tidak mengetahui apakah benar ataukah salah pendapat yang

di ikutinya itu. 3. Secara umum perbuatan taqlid adalah tercela Hukum Taqlid dan Talfiq

Sebagaimana di ketahui bahwa hokum amaliyah yang menjadi obyek pembahasan ilmu fiqh di tinjau dari segi wajib atau tidaknya di adakan penelitian terbagi kepada dua macam: Hokum amaliyah yang tidak memerlukan penelitian dan ijtihad. Yakni hokum-hukum yang telah di tetapkan oleh dalil-dalil qath’I dan yang dapat di ketahui dengan segera, tanpa penelitian yang mendalam sebagai ketentuan syari’at yang sudah positif. Seperti rukun islam yang lima macam itu dan keharaman dosa besar. Sebab setiap orang yang tidak mengetahui suatu hokum perbuatan dan tidak mampu berijtihad wajib menanyakan kepada mereka yang ahli, Hukum Talfiq Talfiq sebagaimana di terangkan di atas dalam bidang ibadat dan mu’amalat di perbolehkan sebagai takhfil )keringanan( dan sebagai rahmad dari Tuhan terhadap umat. Ulama Jumhur mengklasifikasi talfiq kepada dua macam yaitu :a. Talfiq yang di perbolehkan. Yakni mengambil yang teringan di antara

pendapat-pendapat para Mujtahid )madzhab( dalam beberapa masalah yang berbeda-beda.

b. Talfiq yang tidak di perbolehkan. Yakni mengambil yang teringan dari pendapat-pendapat para Mujtahid dalam satu masalah.

11

Page 12: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

12

Page 13: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

TAQLID, TALIQ, TARJIH DAN TAUFIQ

Pengertian TaqlidSecara bahasa taqlid berasal dari kata .�د� – )qallada( ق�ل Uد� �ق�ل – )yuqollidu(ي

د�ا �ي �ق ل .)taqlîdan(ت Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti.dalam definisi lain yaitu menerima pendapat orang lain tanpa dikemukakan alasannya

Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.

Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikut pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana sumber pengambilannya, apakah orang lain itu benar atau salah. ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: ")Tidak(, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari )perbuatan( nenek moyang kami". ")Apakah mereka akan mengikuti juga(, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". )QS. Al-Baqarah: 170(.

Pengertian Talfiq Dan hukumnyaTalfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang berbeda”.

Menurut istilah, talfiq ialah beramal dalam suatu masalah atas dasar   hukum  yang  terdiri  dari gabungan dua mazhab atau  lebih. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.

Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya mencari yang mudah, ialah

13

Page 14: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

mengambil dari tiap mazhab yang enteng. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama.

Mengenai hukum talfiq ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan. Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah ketetapan. Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah menyalahi ijma'.

14

Page 15: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

Qaidah Lughawiyah

1. Pengertian ‘Amm a. Menurut Bahasa (Etimologi) ‘Amm menurut bahasa bahasa adalah : م�و ل� م ر< ش�

� �ع�دUد< أ �م�ت ل artinya : Mencakup sesuatu yang berbilang-bilang )tidak terbatas(. b. Menurut Istilah (Terminologi) Sedangkan ‘Amm menurut istilah adalah :

.ف ظ� �غ ر�ق� الل ت م�س ع� ال �ج�م�ي �ح� م�ا ل �ص ل �ه� ي �ح�س�ب� ل د< و�ض ع< ب د�ف ع�ة� و�اح� . Artinya : Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu

kata sekaligus. Contohnya kata yang berarti kaum laki-laki. Maka semua laki-laki di dunia ini masuk dalam kata. Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat: 34 yang menerangkan tentang kedudukan kaum laki-laki

atas kaum perempuan: ٣٤: النساء چ ڀ پ پ پ پ ٻ ٻ ٻ ٻ ٱ

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang

lain (wanita).” (Q.S.Annisa: 34) Yang dimaksud laki-laki di sini bukan hanya laki-laki Arab atau laki-laki yang beragama islam saja, tapi semua laki-laki yang ada di muka bumi ini.

c. Menurut para ulama Para ulama Ushul Fiqh memberikan definisi/pengertian ‘Amm yang berbeda-beda, akan tetapi pada hakekatnya definisi tersebut mempunya pengertian yang sama. Para ulama itu antara lain sebagai berikut:1) Menurut Ulama Hanafiyah:

م�ع ن�ى �ال ب و� أ .ف ظ� �الل ب �ان� ك

� أ و�اء� س� ج�م ع�ا �ظ�م� ت �ن ي �ف ظ< ل gل� .ك“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun

makna.”

2) Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali: ف�ص�اع�د�ا ن� �ي ئ ي ش� ع�ل�ى و�اح�د�ة< ج�ه�ة< م�ن الد.ال� و�اح�د� ال .ف ظ� .الل

“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.”

3) Menurut Al-Bazdawi: د< و�اح� �و�ض ع< ب �ه� ل �ح� �ص ل ي م�ا ع� ج�م�ي �غ ر�ق� ت م�س ال .ف ظ� .الل

“Lafazh yang mencangkup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.”

15

Page 16: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

2. Pengertian Khash Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash.

Namun, pada hakekatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan di sini antara lain:

.ف ظ� هو م�و ض�و ع� الل �م�ع ن�ى ال د< ل < و�اح� �و م اد� ع�ل�ى م�ع ل ف�ر� �ن ال ا .“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan

manunggal.”Sedangkan menurut Al-Bazdawi, definisi Khash adalah:

iل� �ف ظ< ك �م�ع ن�ى و�ض�ع� �ل د< ل اد� ع�ل�ى و�اح� ف�ر� �ن ال ق�ط�اع� ا �ة� و�ان ك ار� لم�ش� ا .“Setiap lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan

terhindar dari makna lain yang (musytarak).” Dengan definisi di atas, ia akan mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khash, dan bukan pula bagian dari lafazh ‘am. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan yang berpikir, atau berbentuk spesies )nau’un(, seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka )3, 5, 100, dan seterusnya(.

16

Page 17: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

Mutlaq dan Muqqayat

Mutlaq adalah lafadz yang menunjukkan sesuatu hakekat tanpa sesuatu qayyid )pembatas(. Jadi ia hanya menunjukkan kepada satu indifidu tidak tertentu dari hakekat tersebut.

Muqayyad adalah lafazh yang telah di hilangkan cakupan jenisnya, baik secara kulli maupun juz'I, atau Muqayyad adalah lafazh yang menunjukan suatu hakekat dengan qayyid )batasan(, seperti kata "raqabah" )budak( yang dibatasi dengan iman dalam ayat:

"(hendaklah) ia memerdekakan budak beriman." {Qs. An-Nisa': 92}

Macam-macam Mutlaq dan Muqayyad dan Status Hukumnya Masing-masing

Mutlaq dan muqayyad mempunyai bentuk-bentuk aqliyyah dan sebagian realitas bentuknya kami kemukakan sebagai berikut:

a. Sebab dan hukumnya sama.

Misalnya "puasa" untuk kafarah sumpah. Lafazh itu dalam qira'ah mutawatir yang terdapat dalam mushaf di ungkapkan secara mutlaq:

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)." {Qs. Al-Ma'idah: 89}

Dan ia muqayyad atau dibatasi dengan tatabu' )berturut-turut( dalam qira'ah Ibnu Mas'ud :

"Maka kafarahnya puasa selama tiga hari berturut-turut." Dalam hal seperti ini, pengertian lafazh yang mutlaq dibawa kepada yang muqayyad )dengan arti, bahwa yang dimakdus oleh lafazh mutlaq adalah sam yang dimaksud oleh muqayyad(, karena "sebab" yang satu tidak akan menghendaki dua hal yang bertentangan. Oleh karena itu segolongan berpendapat bahwa puasa tiga hari tersebut harus dilakukan secara berturut-turut. Dalam pada itu golongan yang memandang qira'ah tidak mutawatir, sekalipun masyhur, tidak dapat dijadikan hujjah, tidak sependapat

17

Page 18: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

golongan yang pertama. Maka dalam kasus ini di pandang tidak ada muqayyad yang karenanya lafazh mutlaq dibawa kepadanya.

b. Sebabnya sama namun hukum berbeda.

Seperti lafazh "tangan" dalam wudhu dan tayamum. Membasuh tangan dalam berwudhu dibatasi sampai dengan siku-siku. Allah berfirtman:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku." {Qs. Al-Ma'idah: 6 }

Sedang menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlaq, sebagaimana di jelaskan dalam firman-Nya:

"Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu." {Qs. Al-Ma'idah: 6 }

Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafazh yang mutlaq tidak dibawa kepada yang muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun al-Ghayali menukil dari ulama' Syafi'I bahwa mutlaq di sini dibawa kepada muqayyad mengingat "sebab"nya sama sekalipun berbeda hukumnya.

c. Sebab berbeda tetapi hukumnya sama

Dalam hal ini ada dua bentuk:

Pertama, taqyid atau batasannya hanya satu. Misalnya, pembebasan budak dalam hal kafarah. Budak yang dibebaskan disyaratkan harus budak "beriman" dalam kafarah pembunuhan tak senganja. Allah berfirman:

"Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (dengan memberi maaf). Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman." {Qs. An-Nisa': 92}

Sedangkan dalam kafarah dhihar ia diungkapkan secara mutlaq:

"Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik

18

Page 19: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." {Qs. Al-Mujadalah: 3}

Kedua, taqyidnya berbeda-beda. Misalnya, "puasa kafarah" ia ditaqyidkan dengan berturut-turut dalam kafarah pembunuhan. Firman Allah:

"Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." {Qs. An-Nisa': 92}

Demikian juga dalam kafarah dhihar, sebagaiman dalam firman-Nya:

"Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur." {Qs. Al-Mujadalah: 4}

d. Sebab berbeda dan hukumpun berlainan

Seperti, "tangan" dalam berwudhu dan dalam kasus pencurian. Dalam berwudhu, ia dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian di mutlaqkan, tidak dibatasi. Firman Allah:

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." {Qs. Al-Ma'idah: 38}

19

Page 20: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

Mantuq dan mafthum Zahir dan Tawil

A. Pengertian MantuqKata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika

diucapkan. Secara istilah dilalah mantuq adalah:الكلم في كور مذ شيئ اللفظعلىحكم داللة هي المنطوق داللة

Artinya :“Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”.

Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada surat Al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi :

ا ك*ر)يم& و+ال& ق* ا م* ل.ه- و*ق-ل ا ه-م* ر+ ت*ن+ه* و*ال* أ-ف2 ا م* ل.ه- ل ت*ق- ال* ف*Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya

perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum, pengertian

mantuq yaitu ucapan lafadz itu sendiri )yang nyata = uffin( jangan kamu katakan perkataan “ah” atau perkataan yang keji kepada kedua orang tuamu. Sedangkan mafhum yang tidak disebutkan yaitu memukul dan menyiksanya )juga dilarang( karena lafadz-lafadz yang mengandung kepada arti, diambil dari segi pembicaraan yang nyata dinamakan mantuq dan tidak nyata disebut mafhum. Hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.

1. Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam yaitu:a. Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas.

Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:بالتضمن او بالمطابقة عليه ل فيد له اللفظ وضغ هوما الصريح المنطوق

     Artinya “Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaandilalah mantuq sharih pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi :

ب*ا الر? م* ر. و*ح* ال+ب*ي+ع* الل.ه- ل. أ*ح* و*      Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.

b. Mantuq ghairu sharih secara istilah adalah:وضع لما زم هوال بل له اللفظ يوضع مالم هو صريح غير المنطوق      “Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan

dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum

didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan )lafal(, bukan ditunjukkan

20

Page 21: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih.  Misalnya dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi :

وف) ع+ر- ب)ال+م* ن. ت-ه- و* و*ك)س+ ن. ه- ق- ر)ز+ ل*ه- ل-ود) و+ ال+م* و*ع*ل*ىArtinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada

para ibu dengan cara yang ma’ruf”.Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nasab seorang anak

dihubungkan kepada ayah bukan kepada ibu karena tanggung jawab nafkah anak berada di tangan seorang ayah. Kesimpulan seperti ini diambil dengan cara mantuq ghairu sharih dari ayat di atas.

2. Pembagian MantuqPada dasarnya mantuq ini terbagi menjadi dua bagian, akan tetapi

dalam buku yang dikarang oleh Manna’khalil al-qattan ditambah dengan Mu’awwal. Diantaranya yaitu:a. Nash, yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan

lagi, dan lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas )sarih (, tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti  firman Allah dan Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 196 yang artinya : “….Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna…”

Dalam ayat diatas ada kata penyipatan yaitu “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “sepuluh” ini diartikan lain secara majaz  )metafora(.inilah yang dimaksud dengan nash.

b. Zhahir, yaitu suatu perkataan yang menunjukkan suatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendaki kepada pentakwilan atau lafaz yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). seperti firman Allah SWT dalam surat Ar-Rahman ayat 27 :

ام) )ك+ر* و*اإل+ ل) ال* ال+ج* ذ-و ب?ك* ر* ه- و*ج+ Lى ي*ب+ق* و*Artinya: “Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai

kebesaran dan kemuliaan”.Wajah dalam ayat diartikan dengan dzat, karena mustahil bagi

Allah mempunyai wajah yang menyerupai seperti manusia.c. Mu’awwal adalah lafaz yang diartikan dengan makna marjuh karena ada

sesuatu dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang rajih. Mu’awwal berbeda dengan zahir; zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada yang marjuh karena ada dalil yang memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna itu ditunjukan oleh lafaz menurut bunyi ucapanya.

Misalnya firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat  Al-isra’ ayat 24 yang Artinya : “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah

21

Page 22: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Lafaz janaah az-zulli diartikan dengan “tunduk, tawadu’ dan bergaul secara baik” dengan orang tua, tidak diartikan “sayap”,karena mustahil manusia mempunyai sayap.

B. Pengertian MafhumPengertian Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz,

tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri. Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut. “Mafhum adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan )bagi sesuatu yang tidak diucapkan(” Seperti firman Allah SWT.

ا ك*ر)يم& و+ال& ق* ا م* ل.ه- و*ق-ل ا ه-م* ر+ ت*ن+ه* و*ال* أ-ف2 ا م* ل.ه- ل ت*ق- ال* ف*            Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.

1. Pembagian MafhumMafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian yaitu:

a. Mafhum Muwafaqah, yaitu pengertian yang dipahami sesuatu menurut ucapan lafadz yang disebutkan. Menurut para ahli usul fiqh mafhum muwafaqah adalah penunjukan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukumnya karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan. Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada 2 bagian yaitu:1( Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya

daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :

ا ك*ر)يم& و+ال& ق* ا م* ل.ه- و*ق-ل ا ه-م* ر+ ت*ن+ه* و*ال* أ-ف2 ا م* ل.ه- ل ت*ق- ال* ف*Artinya : Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh

(dilarang) apalagi memukulnya.Dari ayat ini dapat dipahami bahwa haramnya mengatakan

“ah”, oleh karena itu, keharaman mencaci maki dan memukul lebih pantas diambil karena keduanya lebih berat.

2( Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat An-Nisa ayat 10 :ا ن*ار& م+ ب-ط-ون)ه) ف)ي ي*أ+ك-ل-ون* ا )ن.م* إ ا ظ-ل+م& Lال+ي*ت*ام*ى و*ال* م+

أ* ي*أ+ك-ل-ون* ال.ذ)ين* إ)ن.Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak

yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

22

Page 23: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut yang berarti dilarang )haram(.

b. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda daripada ucapan, baik dalam istinbat )menetapkan( maupun nafi )meniadakkan(. Oleh sebab hal itu yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah SWT surat Al-Jumuah ayat 9 :

الل.ه) ذ)ك+ر) Lإ)ل*ى ا ع*و+ اس+ ف* ع*ة) م- ال+ج- ي*و+م) م)ن ة) ال* ل)لص. ن-ود)ي* إ)ذ*ا ن-وا آم* ال.ذ)ين* ا يTه** أ ي*ا

ال+ب*ي+ع* وا ذ*ر- و*Artinya: Wahai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk

menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli

dari ayat ini dipahami bahwa boleh jual beli dihari Jum’at sebelum azan dikumandangkan dan sesudah mengerjakan shalat Jum’at. Dalil Khitab ini dinamakan juga mafhum mukhalafah.

C. Mafhum MukhalafahMafhum mukhalafah adalah makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq.

Mafhum ini terbagi kedalam 6 macam. Ialah :1. Mafhum Shifat

Yaitu yang menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa ayat 92

Uن*ة ؤ+م) Tم Uب*ة ق* ر* ر)ير- ت*ح+ ف*ط*أ& خ* ن&ا ؤ+م) م- ت*ل* ق* و*م*ن

Artinya: barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman

2. Mafhum ’illatYaitu yang menghubungkan hukum sesuatu menurut ‘illatnya. Seperti

mengharamkan minuman keras karena memabukkan.3. Mafhum ’adad

Yaitu memperhubungkan hukum sesuatu kepada bilangan tertentu. Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 4.ل+د*ة& ج* ان)ين* ث*م* م+ ل)د-وه- اج+ ف* د*اء* ه* ش- ب*ع*ة) ر+

ب)أ* ت-واي*أ+ ل*م+ ث-م. ن*ات) ص* ال+م-ح+ م-ون* ي*ر+ ال.ذ)ين* و*

Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,

4. Mafhum ghayahYaitu lafaz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah)batasan,

hinggaan(, hingga lafaz ghayah ini adakalnya ”ilaa”seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 6.

إ)ل*ى ي+د)ي*ك-م+* أ و* ك-م+ وه* و-ج- ل-وا اغ+س) ف* ة) ال* الص. إ)ل*ى ت-م+ م+ ق- إ)ذ*ا ن-وا آم* ال.ذ)ين* ا يTه*

* أ ي*ا

اف)ق) ر* ال+م*

23

Page 24: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.

ن* ر+ ي*ط+ه- Lت.ى ح* ب-وه-ن. ر* ت*ق+ و*ال*Artinya: dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci

5. Mafhum hadYaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu ’adad diantara

adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 145ي*ك-ون* أ*ن إ)ال. ه- ي*ط+ع*م- Uط*اع)م Lع*ل*ى ا م& ر. م-ح* إ)ل*ي. ي* أ-وح) ا م* ف)ي د- ج)

أ* ال. ق-لالل.ه) ل)غ*ي+ر) أ-ه)ل. ا ق& ف)س+ و+

أ* aر)ج+س إ)ن.ه- ف* Uنز)ير خ) م* ل*ح+ و+أ* ا وح& ف- م.س+ ا د*م& و+

أ* ي+ت*ة& م*ب)ه)

Artinya: Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah

6. Mafhum al-LaqabYaitu meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu

lafal terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan tertentu. Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4 yang berbunyi:

ر* م* ال+ق* و* م+س* و*الش. ك*ب&ا ك*و+ ر* ع*ش* د* أ*ح* أ*ي+ت- ر* إ)ن?ي أ*ب*ت) ي*ا ب)يه)* أل) ف- ي-وس- ال* ق* إ)ذ+

د)ين* اج) س* ل)ي م+ ي+ت-ه-* أ ر*

Artinya: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.

1. Syarat-Syarat Mafhum MukhalafahSyarat-syaraf Mafhum Mukhalafah, adalah seperti yang dikemukakan

oleh A.Hanafie dalam bukunya Ushul Fiqh, sebagai berikut. Untuk syahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat, yaitu :a. Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik

dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq: )Q.S. Al-Isra’ Ayat 31(

Uق إ)م+ال* ي*ة* ش+ خ* د*ك-م+ و+ال*أ* ت-ل-وا ت*ق+ و*ال*

Artinya: Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinanMafhumnya, kalu bukan karena takut kemiskinan dibunuh, tetapimafhum mukhalafah ini berlawanan dengan dalil mantuq  yaitu: )QS. Al-Isra’ 33(

ق? ب)ال+ح* إ)ال. الل.ه- م* ر. ح* ال.ت)ي الن.ف+س* ت-ل-وا ت*ق+ و*ال*Artinya: “Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah

kecuali dengan kebenaran”

24

Page 25: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

MURADIF DAN MUSYTARAK

Muradhif1. Pengertian

Muradhif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna )Usman: 1996, hal. 64(.

2. Kaidah Yang Berkaitan Dengan Muradhif.Jumhur ulama menyatakan bahwa mendudukkan dua muradhif pada

tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh pembuat syara’. Kidahnya:” “Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh syara’”.

Al-Qur’an adalah mukjizat, baik dari sudut lafal maupun maknanya , karena itu tidak diperbolehkan mengubahnya. Bagi Malikiah menyatakan bahwa takbir shalat tidak diperbolehkan kecuali “Allahu Akbar”, sedang Imam Syafi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafal yang semisal dengannya, misalnya “ Allahul A’dhom” “Allahul Ajal” dan sebagainya )Usman: 1996, hal. 65(.

D. Musytarak1. Pengertian

Lafadz Musytarak adalah lafadz yang mempunyai dua makna atau lebih )Usman:1996. hal, 64(. Lafadz musytarak adalah lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan artinya secara gantian. Artinya lafadz itu bisa menunjukkan arti ini dan itu. Seperti lafadz a’in, menurut bahasa bisa berarti mata, sumber mata air, dan mata-mata. Lafadz quru’ menurut bahasa bisa berarti suci atau haid. Begitu juga dengan lafadz sanah dan yadun )Halimuddin: 2005. hal, 221(

2. Penggunaan Lafadz MusytarakJumhur ulama dari golongan Syafi’i, Qodli Abu bakar, dan Abu ‘Ali

Al-jaba’i memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki. Atau berbagai makna. Kaidahnya: “Penggunaan musytarak pada yang dikehendaki ataupun beberapa maknanya yang diperbolehkan “.

Misalnya firman AllahSWT yang artinya : “Apakah kamu tiada mengetahui, kepada Allah bersujud aopa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang, yang melata dan sebagian besar daripada manusia” )Qs. Al-Hajj: 18(.

25

Page 26: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

Makna sujud mempunyai dua arti yaitu bersujud dengan mengarahkan wajah pada tanah, ataupun bersujud berarti kepatuhan )inqiyad(. Kiranya pengggunaan kedua makna ini diperbolehkan, yakni adanya ketundukan bagi apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan sebagainya, dan penggunaan makna sujud dengan menghadapkan wajah pada tanah bagi sebagian orang-orang yang taat. Dengan kata lain penggunaan lafadz musytarak itu diperbolehkan sesuai dengan proporsinya )Usman: 1996, hal. 65-66(.

3. Sebab Adanya MusytarakSebab adanya lafadz musytarak dalam bahasa itu karena beberapa

kabilah –kabilah atau suku-suku yang mempergunakan lafadz-lafadz itu untuk menunjukkan satu pengertian. Beberapa kabilah yang dimaksud dengan tangan ialah seluruh harta yang lain mengatakan ialah lengan dan telapak tangan, yang lain mengatakan hanya telapak tangan saja. Menurut catatan bahasa orang berpendapat bahwa perkataan dalam bahasa arab yaitu lafadz Musytarak mempunyai 3 arti yaitu: Diantarnya orang menempatkan lafadz itu diatas berbentuk hakiki. Sudah itu orang enggunkan dengan bentuk lain yaitu majazi kemudian ada pula orang yang mempergunakan lafadz ini bermakna majazi inilah yang banyak dipakai orang sehigga orang lupa bahwa dia adalah majazi.

Musytarak adalah isim )kata benda( seperti yang dikatakan diatas.Apabila lafadz-lafadz musytarak terdapat pada nash syar’i, bersekutu dengan makna lughawi dan makna istilahi maka orang harus memilih yang dimaksud dengan istilahi syar’i. Lafadz shalat menurut istilah bahasa artinya do’a dan menurut istilah artinya ibadah tertentu berbunyi: Dirikanlah olehmu sembahyang.”Yang dimaksud disini menurut syar’i ialah ibadat tertentu bukan makna lughawi yang berarti Do’a.

E. Sumber1. Abdurrachman, Asymuni, 1985 Ushul fiqh syi’ah imamiyah. Yogyakarta: CV.

Bina Usaha.2. Efendi, Satria dan M. Zein, 2005, Ushul Fiqh, Cet. II, Jakarta: Kencana.3. Karim, Syafi’i, 2001, fiqh ushul fiqh, Bandung : CV Pustaka Setia.4. M. Yusuf, Kadar, 2010, Studi Al-Qur’an, Jakarta: AMZAH.5. Qarib, Ahmad, 1997, Ushul Fiqh 2, Jakarta : PT. Nisam Multima. 6. Syafe’i, Rahmat, 2007, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia.7. Syarifudin, Amir, 2008, Ushul Fiqih, Jilid 2, Cet. 5, Jakarta: Kencana.8. Uman, Khairul dan A. Ahyar Aminudin, 2001, Ushul Fiqih II, Cet. II,

Bandung: Pustaka Setia, 2001

26

Page 27: Dalil Syarah Yang Diperselisihkan

27