22
TUGAS KLIPING PKN NAMA : KRISTINA APRILIA S. NO ABSEN : 12 KELAS : 6A

cliping hesti

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cliping tugas hesti yang berkaitan dengan

Citation preview

TUGAS KLIPING PKN NAMA : KRISTINA APRILIA S.

NO ABSEN : 12

KELAS : 6A

KTT ASEAN 1 (PERTAMA) DI BALI TANGGAL 23-24 FEBRUARI 1976.SEJARAH

Untuk mencapai tujuan ASEAN yang telah dirumuskan, maka perlu melakukan usaha dan kegiatan. Dalam pelaksanaannya telah dibentuk 11 komite, misalnya komite bahan makan dan pertanian, keuangan, pariwisata, mass media dan lain-lain. Komite-komite ini bertujuan meningkatkan bentuk-bentuk kerjasama di antara keenam negara anggota. Di samping itu juga membentuk komite-komite Ad Hoc (Komite Panitia Kerja). Komite ini antara lain Komite Khusus yang bertugas meningkatkan hubungan dagang dengan MEE. Juga komite yang meningkatkan kerja sama ASEAN dengan Australia, Selandia Baru, Canada da negara-negara lain.

Selanjutnya untuk memperlancar tugas-tugas yang harus dihadapi, di setiap negara anggota dibentuk Sekretariat Nasional ASEAN. Selain itu, juga dibentuk Sekretariat Tetap ASEAN, yang berpusat di Jakarta, dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.

Untuk memecahkan berbagai persoalan bersama, ada beberapa bentuk pertemuan yang diselenggarakan ASEAN. antara lain:

Pada setiap tahun diadakan Sidang Tahunan para menteri ASEAN, guna membicarakan berbagai kepentingan bersama.

Pertemuan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebagai contoh pernah diadakan pertemuan ahli-ahli pertanian di Surakarta pada tahun 1976.

Konperensi Tingkat Tinggi ASEAN (KTT ASEAN). Untuk KTT ASEAN ini sudah dua kali diselenggarakan.

KTT ASEAN I

KTT ini di selenggarakan pada tanggal 23-24 Februari 1976, bertempat di Denpasar-Bali. Yang dihadiri oleh:

1. Presiden Soeharto dari Indonesia

2. Perdana Menteri Datuk Hussein Onn dari Malaysia

3. Perdana Menteri Lee Kuan Yew dari Singapura

4. Presiden Ferdinand Marcos dari Filipina

5. Perdana Menteri Kukrit Pramoj dari Thailand

KTT ASEAN yang pertama ini telah mengahsilkan dua buah dokumen penting, yaitu:

1. Deklarasi kesepakatan ASEAN (Declaration of ASEAN Concord).

2. Perjanjian persahabatan dan kerja sama (Treaty of Amity and Cooperation).

PERJANJIAN ZOPFAN TANGGAL 27 NOVEMBER 1971 DI KUALA LUMPUR, MALAYSIAKawasan Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan strategis dibelahan dunia ini. Kawasan ini tidak luput dari incaran kekuatan-kekuatan besar untuk menanamkan pengaruh dan dominasinya. Karenanya faktor keamanan kawasan dalam satu komunitas regional merupakan hal terpenting dalam menunjang keberlangsungan dan keutuhan komuniti tersebut. Negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN (Assosiation of Southeast Asia Nation) yaitu, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Thailand, Vietnam dan Singapura menyadari betul pentingnya menjaga keamanan regional dan menyelesaikan konflik-konflik internal diantara mereka. Semua negara anggota memiliki kesamaan konflik laten yang bisa menjadi pemicu memanasnya isu regional.

Pada awalnya untuk menciptakan rasa percaya diantara sesama negara-negara di kawasan Asia Tenggara, bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini didasari oleh adanya bukti historis akan adanya konflik-konflik yang pernah terjadi dimasa lalu, misalnya konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia, konflik teritorial anatara Malaysia dengan Filipina mengenai wilayah Sabah dan juga berpisahnya Singapura dari negara federasi Malaysia.

Seiring juga dengan hadirnya pengaruh atau kekuatan-kekuatan dari luar disamping masalah regional sendiri, membawa dampak yang sangat besar bagi perkembangan di negara-negara kawasan tersebut. Perubahan konstelasi politik yang demikian cepat dan kekhawatiran untuk bisa mendapatkan rasa aman, perdamaian, kesejahteraan serta stabilitas politik kawasan menjadi kebutuhan mutlak bagi negara-negara ini untuk melanjutkan pembangunannya.

Ide pembentukan zona bebas dan damai kawasan Asia Tenggara dimulai dengan dicetuskannya Deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality Declaration) di Kuala Lumpur pada tahun 1971 atau yang lebih dikenal dengan Deklarasi Kuala Lumpur mengalami pasang surut dalam perumusannya, dan barulah pada KTT ke-1 ASEAN tahun 1976 di Bali, ZOPFAN secara resmi diangkat sebagai kerangka kerjasama politik ASEAN. Kehadiran ZOPFAN tidak hanya merupakan kerangka perdamaian dan kerjasama Asia Tenggara saja tetapi juga mencakup kawasan Asia Pasifik yang lebih luas termasuk major powers dalam bentuk serangkaian tindakan menahan diri secara sukarela (voluntary self-restrains). Dengan demikian ZOPFAN bukan saja mengesampingkan peranan major powers, tetapi justru memungkinkan keterlibatan mereka secara konstruktif dalam penanganan masalah-masalah keamanan kawasan.

Untuk mendukung pelaksanaan ZOPFAN, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN merumuskan Traktat Persahabatan dan Kerjasama (Treaty of Amity and Cooperation TAC) pada tahun 1972. Salah satu instrumen penting dalam upaya mewujudkan ZOPFAN dan menciptakan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara adalah dengan menjalankan kesepakatan dalam TAC, yang pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut juga tercermin di dalam Piagam Bangsa-Bangsa (PBB) antara lain, prinsip non-interference dan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik yang timbul diantara negara-negara penandatangan kesepakatan TAC.

Lahirnya Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone SEANWFZ merupakan suatu kesepakatan di antara sepuluh negara anggota ASEAN untuk mengaman Kawasan Asia Tenggara dari penggunaan nuklir. Gagasan pembentukan SEANWFZ ini diawali pada tanggal 27 November 1971, sewaktu lima negara anggota ASEAN bertemu di Kuala Lumpur dan menandatangani Deklarasi ZOPFAN.

Wacana SEANWFZ pada awalnya tidak berjalan mulus karena kondisi politik di kawasan tidak menguntungkan. Akhirnya baru tahun 1995 traktat SEANWFZ ditandatangani oleh sepuluh kepala pemerintahan negara ASEAN di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Maret 1997.

Kesepakatan yang terdapat dalam SEANWFZ antara lain, mewajibkan negara-negara anggota untuk tidak mengembangkan, memproduksi, ataupun membeli serta mempunyai atau menguasai senjata nuklir, ataupun melakukan uji coba atau menggunakannya baik di dalam maupun diluar kawasan Asia Tenggara. Selain itu, negara tidak diperbolehkan meminta ataupun menerima bantuan yang berkaitan dengan nuklir oleh negara manapun dan juga tidak menyediakan sumber daya atau material khusus, ataupun perlengkapan kepada negara persenjataan non nuklir dimanapun juga (non nuclear weapon state), terkecuali negara tersebut telah memenuhi perjanjian keselamatan dengan The International Atomic Energi Agency.

Pembentukan SEANWFZ menunjukkan adanya keseriusan upaya negara-negara di Asia Tenggara untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas kawasan baik regional maupun global, dan dalam rangka turut serta mendukung upaya tercapainya suatu pelucutan dan pelarangan senjata nuklir secara umum dan menyeluruh. Traktat SEANWFZ ini merupakan instrumen hukum mengenai komitmen negara-negara ASEAN dalam upayanya memperoleh jaminan dari negara yang memiliki nuklir, bahwa mereka akan menghormati Traktat SEANWFZ dan tidak akan menyerang negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Penandatangan Traktat SEANWFZ merupakan tonggak sejarah yang sangat penting bagi ASEAN dalam upaya mewujudkan kawasan Asia tenggara yang aman dan stabil, serta bagi usaha mewujudkan perdamaian dunia.

Upaya negara-negara anggota ASEAN untuk memperjuangkan Traktat SEANWFZ di tingkat internasional salah satunya adalah dengan diakuinya traktat tersebut melalui Resolusi Umum Majelis PBB pada tanggal 10 Januari 2008, yang didukung penuh oleh Rusia dan China.

Masalah konflik internal regional di kawasan sendiri sangat mendapatkan perhatian serius dari negara-negara anggota lainnya. Invasi Vietnam ke Kamboja tahun 1979 merupakan ujian berat bagi prinsip kedua doctrine of non-interference. ASEAN mengingatkan bahwa tindakan Vietnam tersebut telah melanggar prinsip non-interference. Dalam pertemuan Menteri Luar Negeri 9 Januari 1979, ASEAN akhirnya mendesak negara-negara Asia Tenggara agar menjaga kemerdekaa, kedulatan dan sistem politik negara lain dan menahan diri agar tidak melakukan campur tangan urusan negara lain serta tidak melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sejak awal pembentukannya para anggota ASEAN cenderung menolak kerjasama militer dalam kerangka ASEAN. Perhatian awal ASEAN adalah isu-isu ekonomi dan kebudayaan, walaupun isu keamanan sudah pasti mempengaruhi pembentukan ASEAN. Dalam isu-isu keamanan ASEAN cenderung mendukung bilateralisme. Kerjasama bilateral dalam urusan keamanan memang tidak mungkin dihindari karena kedekatan geografis masing-masing anggota sehingga sangat rentan terhadap isi-isu keamanan.

Konsep ZOPFAN secara eksplisit memuat bidang kerjasama politik ASEAN untuk mewujudkan stabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Tenggara berdasarkan semangat hidup berdampingan dan saling pengertian dengan mengacuh kepada asas-asas Piagam PBB. Konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Malaysia pada tahun 1971 di Kuala Lumpur sebagai akibat adanya perang dingin (cold war) antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sedang berlangsung.

Sejalan dengan perkembangan dinamika politik internasional yang terjadi dan berakhirnya perang dingin mengakibatkan munculnya dua pandangan berbeda dari negara-negara ASEAN, disatu sisi mengatakan ZOPFAN masih relevan walaupun perang dingin telah berakhir. Sedangkan disisi lain mengatakan ZOPFAN sudah tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang. Dalam teori Amity & enmity dan Regional Security yang dikembangkan oleh Barry Buzan, People, State and Fear: an Agenda for International Security Studies in the Post Cold War Era, yang dimaksud dengan amity hubungan antar negara yang terjalin berdasarkan mulai dari rasa persahabatn sampai pada ekspetasi (expetation) akan mendapatkan dukungan (support) atau perlindungan satu sama lain. Sedangkan yang dimaksud enmity adalah suatu hubungan antar negara yang terjalin atas dasar kecurigaan (suspicion) dan rasa takut (fear).

Berdasarkan hal tersebut bisa merupakan hipotesa bahwa ZOPFAN pasca Perang Dingin tetap relevan, hal tersebut dikarenakan masih banyak terdapat ketegangan dan potensi koflik di kawasan ini, termasuk pengaruh dari luar kawasan berupa perkembangan keadaan dan situasi keamanan di Asia yang masih tidak menentu dan penuh ketidakpastian (uncertainty). ASEAN tentunya akan tetap pada cita-cita semula dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan Asia Tenggara. Maka sekarang inilah merupakan kesempatan yang baik untuk mengembangkan dan meningkatkan kerjasama (amity) dengan melupakan persengketaan-persengketaan masa lalu yang menimbulkan hubungan tidak harmonis dan saling bermusuhan (enmity) diantara negara-negara ASEAN.Dirgahayu ASEAN ke-46, 8 Agustus 2013.

PERAN INDONESIA DALAM KONFLIK FILIPINA DAN MORO

PERTEMPURAN sengit yang kembali meletus antara pasukan Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari dan militer Filipina di Provinsi Zamboanga memaksa pemerintahan Presiden Benigno Aquino III meminta bantuan pemerintah Indonesia. Bantuan itu yakni untuk kembali memprakarsai pembicaraan damai tripartit antara pemerintah Filipina, MNLF, dan RI selaku mediator dan fasilitator. Permintaan itu dikemukakan Teresita Ging Deles, penasihat presiden urusan proses perdamaian, di Manila (SM, 19/9/13).

Permintaan tersebut tentu tidak berlebihan. Pasalnya, pertempuran terkini yang mulai pecah pada 10 September itu sudah menelan banyak korban tewas (86 gerilyawan MNLF, 14 tentara pemerintah, dan 4 penduduk sipil). Banyaknya nyawa yang terenggut hanya dalam tempo sepekan menandakan betapa sengit perang antara gerilyawan MNLF dan militer Filipina.

Pada pertengahan 1990-an pemerintah RI pernah berkontribusi penting mengatasi masalah konflik bangsa Moro di Filipina Selatan. Kala itu, tahun 1995 pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto menawarkan jasa baik menengahi konflik itu. Tawaran direspons positif oleh Misuari dan pemerintah Filipina di bawah Presiden Fidel Ramos. Perundingan penjajakan menghasilkan kesepakatan yang memungkinkan MNLF bisa berdamai dengan pemerintah Filipina.

Maka, perundingan MNLF dengan penguasa di Manila berlanjut dengan ditengahi Indonesia. Klimaksnya, pada 30 Agustus 1996 kedua pihak yang bertikai mencapai perjanjian damai. Dokumen perdamaian tersebut ditandatangani Misuari dan Ramos di Istana Merdeka Jakarta disaksikan Presiden Soeharto. Salah satu poin terpenting dari perjanjian itu adalah MNLF bersedia menghentikan perlawanan militernya.

Sebagai imbalan, penguasa di Manila memberi otonomi khusus kepada masyarakat Moro yang mayoritas beragama Islam dan mendiami Kepulauan Mindanao beserta gugusannya di Filipina selatan. Pengimplementasikan dari kesepakatan dama tersebut dijabarkan dalam aturan-aturan yang dibuat dan ditetapkan kemudian. Otonomi khusus bagi masyarakat Moro mulai diberlakukan tahun 2000.

Pertanyaannya, mengapa perang antara gerilyawan MNLF pimpinan Misuari dan militer Filipina kembali pecah? Apakah sekarang pemerintah RI juga kembali sukses dalam menengahi konflik tersebut?

Semua Kelompok

Sedari dulu berbagai organisasi perlawanan masyarakat Moro, termasuk MNLF, terhadap pemerintah Filipina, tidak ada yang solid terkait dengan persatuan dan kesatuan mereka. Kelompok MNLF yang berideologi nasionalis-sekuler adalah sempalan dari Moro Liberation Front (MLF) yang didirikan tahun pada 1971. Di luar MNLF, ada Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Salamat Hashim yang juga menyempal dari MLF. Kelompok MILF berideologi Islam, bertujuan mendirikan sebuah negara Islam di Filipina Selatan.

Lebih payah lagi, MNLF pimpinan Misuari juga pecah. Tahun 1981 berdiri MNLF Reformis pimpinan Dimas Pundato, dan tahun 1993 berdiri kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abdurazak Janjalani. Di luar itu semua masih ada kelompok perlawanan lain, semisal Muslim Independent Movement (MIM) yang didirikan tahun 1968 dan Anshar al-Islam. Seperti halnya MILF dan kelompok Abu Sayyaf, keduanya menginginkan pula pembentukan sebuah negara Islam di Filipina Selatan.

Fakta banyaknya front perlawanan Moro yang masih menginginkan pembentukan sebuah negara Islam di Filipina selatan itu pantas diduga menjadi salah satu faktor penyebab pecahnya kembali perang antara gerilyawan MNLF dan militer Filipina. Faktor penyebab lain adalah ketidakpuasan Misuari atas implementasi otonomi khusus masyarakat Moro selama 12 tahun terakhir ini.

Karena itu, apabila pemerintah RI kembali menjadi penengah dalam perundingan damai untuk mengatasi masalah perlawanan Moro, seyogianya dari front perlawanan Moro yang diikutsertakan dalam perundingan dengan pemerintah Filipina tidak hanya MNLF kubu Misuari. Indonesia harus bisa mengondisikan dan mendorong segenap kelompok perlawanan yang ada untuk mengirimkan perwakilannya dalam negosiasi itu.

Perundingan secara lengkap itu dimaksudkan guna menjamin keberlangsungkan keterciptaan perdamaian yang hakiki di Filipina selatan, dan semua pihak berharap tercapai perdamaian abadi. Hasil perundingan itu akan berbeda dari perundingan yang hanya melibatkan satu kelompok perlawanan.

Memang tidak mudah mengupayakan sebuah perundingan yang bisa melibatkan semua kelompok perlawanan tersebut. Namun, kita berharap pemerintah RI dengan menugaskan negosiator andal semisal mantan wakil presiden Jusuf Kalla bisa mengemban misi itu dengan sukses.

PERAN INDONESIA DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIAHAM di Indonesia bersumber dari Pancasiala.Berbagai instrument hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia yakni :

Undang-Undang Dasar 1945

Ketetapan MPR No,XVII /MPR/1998 tentang Hak asasi Manusia

Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia

Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak hak asasi manusia dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :

Hak-hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat,kebebasan memeluk agama,dan kebebasan bergerak. Hak-hak asasi ekonomi (Property Rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu,hak untuk membeli,dan menjual serta memanfaatkannya, Hak-hak asasi Politik (Political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan,hak dipilih dan hak untuk mendirikan partai politik Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (Rights Of legal Equality ) Hak hak asasi sosial dan kebudayaan(Social and culture rights).Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan haj untuk mengembangkan kebudayaan Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (Procedural Rights).

Misalnya peraturan dalam hal penahanan,penjangkapan,penggeledahan dan peradilan.

Dalam UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya :

Latar belakang perumusan HAM di dalam UUD 1945 ( pendebatan antara Soekarno,Soepomo dengan Moch.Hatta ). Pencantuman HAM dalam UUD 1945 relatif singkat ( hasil kompromi)

Pengaturan HAM di dalam UUD 1945 setelah perubahan ke 2 tahun 2000; Pasal 27,28 ( Bab x tentang Warga Negara ) , pasal 28 A -28j ( Bab X A tentang HAM) ,pasal 29,30,31,dan 34.

Berbeda dengan di Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan perjuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara kaum bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau golongan tertentu saja. Perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan terjadi sejak masuk dan bercokolnya bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan dari rakyat untuk mengusir penjajah.

Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan bangsa asing, tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa, bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di bumi Nusantara warna pertentangan-pertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam panggung sejarah, bahkan sebaliknya dalam catatan sejarah yang ada berupa kejayaan bangsa Indonesia ketika berhasil dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad IX, dan kerajaan Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI. Hingga kemudian diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama menolak dimasukkannya HAM terutama yang individual ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di dalamnya memuat hak-hak dasar/asasi manusia Indonesia serta kewajiban-kewajiban yang bersifat dasar/asasi pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang perjuangan hak-hak asasi manusia Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu.Sedangkan istilah atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat ditemukan adalah pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan Perwakilan Rakyat. Baru setelah UUD 1945 mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak asasi manusia dicantumkan secara tegas.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS (1950), ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Declaration of human Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.

Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuan-ketentuan yang mengatur hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945. Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang membuang paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama. Dalam awal masa Orde baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No. A3/I/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.

Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990, dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dalam kesatuan dengan sila-sila Pancasila lainnya. Secara historis pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993. Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri. Dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional untuk menempatkan HAM sebagai fokus pembangunan Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya suatu Ketetapan MPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang GBHN yang didalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945. Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yangberlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPR tersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 september 1999. Undang-Undang ini kemudian diikuti lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.

Di samping itu, Indonesia telah merativikasi pula beberapa konvensi internasional yang mengatur HAM, antara lain :1. Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998. 2. Konvensi mengenai Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958. 3. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7 Tahun 1984.4. Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.5. Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang pelaksanaannya ditangguhkan sementara.6. Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No. 29 Tahun 1999.