Upload
surya-budikusuma
View
211
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
SP SGD4 FK Udayana SMT III
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Leukemia mieloid kronik (CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul
perlahan-lahan dan sel leukemia berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk
kelainan klonal sel induk pluripoten, dan digolongkan penyakit mieloproliferatif.1 Penyakit
ini mencakup 15%-20 % leukemia, CML dapat terjadi 1 diantara 100.000 orang. Tidak ada
variasi yang signifikan antara geografi dan ras, tetapi lebih sering terjadi pada laki-laki
daripada perempuan (1,4:1), dan dapat terjadi pada semua usia, terutama 40-60 tahun.2,3
Sejak dahulu, penyakit ini telah di terapi dengan kemoterapi, interferon, dan transplantasi
sumsum tulang, walaupun targeted therapy telah diperkenalkan pada awal abad 21 secara
radikal telah merubah manajemen dari Chronic Myeloid Leukemia (CML). Chronic myeloid
leukemia disebut juga sebagai chronic granulocytic leukemia, adalah gangguan
myeloproliferasi yang ditandai oleh peningkatan proliferasi dari granulosit tanpa
menghilangnya kemampuan granulosit untuk berdiferensiasi. Pada pemeriksaan darah tepi
dijumpai peningkatan jumlah granulosit dan adanya sel-sel imatur termasuk sel blast.
Chronic myeloid leukemia jarang terjadi pada anak-anak, hanya 2-3% dari semua jenis
leukemia pada anak-anak. Umumnya pada penderita chronic myeloid leukemia, dijumpai
splenomegali pada pemeriksaan fisik, yang mana hal ini berkolerasi dengan jumlah granulosit
pada pemerikasaan darah tepi. Hepatomegali juga dapat dijumpai sebagai bagian dari
hematopoiesis extramedullary yang terjadi di limfa. Kemudian dijumpai demam, nyeri sendi,
anemia dan pendarahan. Dalam perjalanan penyakitnya, Chronic myeloid leukemia dibagi
menjadi 3 fase, yaitu: fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blast. Pada umumnya, saat
pertama kali diagnosis ditegakkan, pasien masih dalam fase kronik, bahkan seringkali
diagnosis leukemia mieloid kronik ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan pra-
operasi, dimana ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala infeksi. 4
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi chronic myeloblatic leukemia (CML)
2. Mengetahui epidemiologi chronic myeloblatic leukemia (CML)
3. Mengetahui etiologi chronic myeloblatic leukemia (CML)
4. Mengetahui patofisiologi chronic myeloblatic leukemia (CML)
5. Mengetahui diagnosis chronic myeloblatic leukemia (CML)1
6. Mengetahui diagnosis banding chronic myeloblatic leukemia (CML)
7. Mengetahui terapi chronic myeloblatic leukemia (CML)
BAB II
ISI
2
2.1 Definisi Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
Chronic myeloblatic leukemia (CML) atau leukemia myeloid kronik (LMK) merupakan
leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemia berasal dari
transformasi sel induk myeloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari
pluripotent stem cell dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif
(myeloroliferative disorders). Nama lain untuk leukemia mieoloid kronik adalah:
(1) Chronic myelogenous leukemia (CML)
(2) Chronic myelotic leukemia (CML)
CML terdiri atas enam jenis leukemia, yaitu:
(1) Leukemia mieloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (chronic granulocytic leukemia,
CGL)
(2) Leukemia mieloid kronik, Ph negatif (CML, Ph-)
(3) Juvenile chronic myeloid leukemia
(4) Chronic neutrophilic leukemia
(5) Eosinophilic leukemia
(6) Chronic myelomonocytic leukemia (CMML)
Tetapi sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML, Ph+.3
2.2 Epidemiologi Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
CML mengenai orang dewasa antara 25 – 60 tahun, merupakan 15 – 20 % dari seluruh
kasus leukemia dan merupakan leukemia kronik yang paling sering dijumpai di Indonesia,
sedangkan di Negara Barat leukemia kronik lebih banyak di jumpai dalam bentuk CLL.
Adapun insiden CML di Negara Barat sebesar 1 – 1,4/100.000/tahun. Umumnya CML
mengenai usia pertengahan dengan puncak umur 40 – 50 tahun. Pada anak – anak dapat
dijumpai bentuk juvenile CML.3
2.3 Etiologi Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
Selama beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah membuat kemajuan besar dalam
memahami bagaimana perubahan tertentu dalam DNA dapat menyebabkan sel-sel sumsum
tulang normal menjadi sel-sel leukemia.
Setiap sel manusia mengandung 23 pasang kromosom. Sebagian besar kasus CML mulai
ketika proses " swapping " bahan kromosom ( DNA ) terjadi antara kromosom 9 dan 22 3
selama pembelahan sel. Bagian dari kromosom 9 pergi ke 22 dan sebagian 22 pergi ke 9. Hal
ini dikenal sebagai translokasi dan memunculkan 22 kromosom yang lebih pendek dari
normal. Ini kromosom yang abnormal baru ini dikenal sebagai kromosom Philadelphia.
Kromosom Philadelphia ditemukan dalam sel-sel leukemia pada hampir semua pasien dengan
CML.
Ada sangat sedikit faktor risiko CML yang diketahui untuk kebanyakan kasus, tidak ada
penyebab pasti yang ditemukan. Berikut ini beberapa faktor risiko CML.
(1) Paparan radiasi dosis tinggi
Menjadi terkena radiasi dosis tinggi (seperti menjadi selamat dari ledakan bom atom
atau kecelakaan reaktor nuklir ) merupakan satu-satunya faktor risiko lingkungan
untuk chronic myeloid leukemia (CML).
(2) Usia dan jenis kelamin
Risiko terkena CML meningkat sesuai pertambahan usia. CML sedikit lebih umum
terjadi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi tidak diketahui alasannya.
Tidak ada faktor risiko lain yang terbukti untuk CML. Risiko terkena CML tampaknya
tidak akan dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, diet, paparan bahan kimia, atau infeksi.
Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi keturunan.5
2.4 Patofisiologi Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
CML merupakan salah satu tipe leukemia yang ditandai dengan peningkatan mielopiesis
dan kromosom philadelphia. Insidensi CML pada orang dewasa menempati urutan kedua
terbanyak dari semua jenis leukemia. yang berkaitan dengan translokasi kromosom resiprok
lengan panjang kromosom 22 ke kromosom lain (pada umumnya kromosom 9). Kromosom
ini disebut sebagai kromosom Philadelphia. Patofisiologi CML pada orang normal, tubuh
mempunyai tiga jenis sel darah yang matur, sebagai berikut.
(1) Sel darah merah, yang berfunsi untuk mengangkut O2 masuk ke dalam tubuh dan
mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh keluar lewat paru-paru.
(2) Sel darah putih, yang berfungsi untuk melawan infeksi dan sebagai pertahanan
tubuh.
(3) Trombosit, yang befungsi untuk mengontrol faktor pembekuan di dalam darah
Sel-sel darah yang belum menjadi matur (matang) disebut sel-sel induk (stem cells)
dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa di dalam sumsum tulang dan kemudian
4
bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah. Darah yang mengalir melalui pembuluh-
pembuluh darah dan jantung disebut peripheral blood. Tetapi pada orang dengan
Chronic Myelogenous Leukemia (CML), proses terbentuknya sel darah terutama sel darah
putih disumsum tulang mengalami kelainan atau mutasi. Hal ini disebabkan karena
kromosom 9 dan kromosom 22. Jenis gangguan pada system hematopoietic yang total dan
terkait dengan sumsum tulang dan pembuluh limfe ditandai dengan tidak terkendalinya
poliferasi dari leukemi dan prosedurnya. Sejumlah besar sel pertama menggumpal pada
tempat asalnya (granulosit dalam sumsum tulang, limfosit di dalam limfe node) dan
menyebar ke organ hematopoetik dan berlanjut ke organ yang lebih besar ( spenomegali,
hematomegali). Poliferasi dari satu jenis sel sering mengganggu produksi normal sel
hematopoetik lainnya dan mengarah ke pengembangan/pembelahan sel yang cepat dan
sitopenias (penurunan jumlah). Pembelahan dari sel darah putih mengakibatkan menurunnya
immunocompetence dengan meningkatnya kemungkinan terjadi infeksi.
Diagnosis CML dapat ditegakkan dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang
khas,terdapat pada kromosom 22 yang abnormal. Terjadinya translokasi t(9;22)(q34;q11)
antarakromosom 9 dan 22. Hal ini diakibatkan dari proses protoonkogen Abelson (ABL) di
kromosom9 dipindahkan pada gen Break Cluster Region (BCR) di kromosom 22 dan
sebaliknya, bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9.
CML juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel mieloid. Namun banyak sel
normal dibandingkan bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. CML jarang
menyerang individu dibawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan AML (Leukemia
Meiloblastik Akut). Tetapi tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukan tanpa gejala
selama bertahun-tahun, peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa
membesar.6
2.5 Diagnosis Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
2.5.1 Gambaran Klinis Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)5
Gambaran klinis dari penyakit Chronic Myeloblatic Leukemia antara lain:
(1) Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, misalnya
penurunan berat badan, anoreksia, kelelahan, atau keringat malam. Hal ini
berhubungan dengan adanya proliferasi sel-sel leukemia.
(2) Adanya splenomegali yang dialami oleh 95% penderita dan seringkali bersifat
masif. Hal ini nantinya akan menimbulkan keluhan seperti rasa tidak nyaman
pada bagian abdominal, nyeri, atau gangguan pencernaan. Hepatomegali juga
ditemukan, akan tetapi hanya pada sekitar 45% penderita.
(3) Gambaran anemia meliputi pucat, dispnea, dan takikardi.
(4) Terjadinya memar, epistaksis, menorrhagia, atau perdarahan dari bagian tubuh
lain akibat fungsi trombosit yang abnormal.
(5) Gout atau gangguan ginjal akibat hiperurikemia. Hal ini disebabkan oleh
pemecahan purin yang berlebihan.
(6) Gangguan penglihatan dan priapismus yang merupakan gejala leukositosis,
akan tetapi gejala jarang terjadi. Gejala ini baru terjadi apabila jumlah leukosit
pada pasien tersebut sangat tinggi.
(7) Sekitar 50% dari pasien CML baru didiagnosis setelah dilakukan pemeriksaan
darah (CBC) secara rutin karena sifat penyakit yang asimtomatik.3
Selain itu, pada fase transformasi akut atau fase akselerasi, gejala klinis yang
terjadi terdiri atas:
(1) Perubahan terjadi pelan-pelan dengan prodromal selama 6 bulan, yang disebut
sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, seperti: demam, lelah, nyeri
tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi
menurun, leukositosis meningkat dan trombosit menurun dan akhirnya
menjadi gambaran leukemia akut.
(2) Pada sekitar sepertiga penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa
didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis).
Tanpa pengobatan yang adekuat penderita sering meninggal dalam kurung
waktu 1-2 bulan.1
2.5.2 Kelainan Laboratorium Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
Pada kasus Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) dijumpai kelainan
laboratorium berikut :
6
(1) Complete Blood Count (CBC) dan Apusan Darah Tepi
Hb normal atau sedikit turun. Jumlah platelet normal atau naik. Jumlah
granulosit matang dan belum matur meningkat. Jumlahnya 50.000 –
20.000/microliter. Granulosit matur, metamyelosit, myelosit, promyelosit
dan beberapa sel blast dapat ditemukan dan jumlahnya naik di sirkulasi
Pada Sel darah putih ditemukan basophil meningkat lebih dari
50/microliter. Aktivitas Leukosit alkaline phospat menurun. Beberapa
pasien CML terdapat impressive eosinophilia , walau tidak spesifik pada
CML.
(2) Sumsum tulang
Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Komponen paling banyak
adalah netrofil dan mielosit. Sel blast kutrang dari30 persen. Megakaryosit
normal atau meningkat .
(3) Cytogenetic test
Ditemukan Philadelphia (ph1) chromosome pada 95 persen kasus.
Sedangkan 5-10% pasien CML ditemukan pH negative
(4) Pemeriksaan polymerase chain reaction
Mendeteksi adanya chimeric protein bcr-abl
(5) Vitamin b12 serum dan b12 binding capacity meningkat
(6) Kadar asam urat meningkat
2.6 Diagnosis Banding Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
Diagnosis banding Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) adalah sebagai berikut.
7
(1) CML fase kronik : leukemia mielomonostik kronik, trombositosis essensial,
netrofilik kronik.
(2) CML fase krisis blas : leukemia mieloblastik akut, sindrom mielodisplasia.8
2.7 Terapi Chronic Myeloblatic Leukemia (CML)
Terapi untuk Chronic Myeloblatic Leukemia (CML) meliputi hal berikut.
(1) Allopurinol
Terapi pada pasien yang mengalami Hiperurikemia diberikan dengan dengan dosis
300mg/hari per oral dan hidrasi sebelum dan selama terapi untuk mengendalikan
hiperurikemia dan hiperurikosuria. Dapat diberikan secara intravena pada pasien
yang intoleran oral. Perlu pengawasan dalam pemberian untuk mencegah toksisitas.9
(2) Hydroxyurea (Hydrea)
Merupakan terapi yang efektif bila dibandingkan dengan pengobatan yang lain
(busulfan, melfanan (alkeran) dan krolambusil. Adapun efek mielosupresif masih
berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Dosis
diberikan 30/kgBB/hari sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila
leukosit >300.000/mm3, dosis dapat ditinggikan sampai maksimal 2.5 g/hari,
sebaliknya bila leukosit <8.000/mm3 atau trombosit <100.000/mm3 penggunaanya
dapat dihentikan terlebih dahulu. Interaksi obat dapat terjadi apabila digunakan
bersamaan dengan fluorouracil yang menyebabkan neurotoksitaksis. Pemantauan
kadar Hb, Leukosit, Trombosit, fungsi hati dan ginjal diperlukan dalam penggunaan
hydrea tersebut
(3) Busulfan (Myeleran)
Termasuk dalam golongan alkil yang sangat kuat dan bekerja pada progenitor cell.
Dosis yang diberikan 4-8mg/hari per oral dan dapat dinaikkan sampai 12mg/hari,
apabila leukosit antara 10-20.000/mm3 dan mulai diberikan setelah leukosit
>50.000/mm3 Bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian busulfan disertai
dengan alupurinol dan hidrasi. Busulfan sangat kontraindikasi pada wanita hamil
serta dapat menyebabkan fibrosis paru dan supresi sumsum tulang yang
berkepanjangan. Terjadi interaksi obat yang dapat meningkatkan efek busulfan
apabila diberikan dengan asetaminofen, siklofosfamid, dan intrakonazol.
(4) Imatinib Mesylate
8
Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas
tirosin kinase dari fusi gen BCR-ABL dan mengurangi kromosom Ph. Baik
diberikan secara per oral karena diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung. Untuk
fase kronik diberikan dosis 400mg/hari setelah makan dan dapat ditingkatkan sampai
600mg/hari mencapai respon hematologi. Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas,
dapat langsung diberikan 800mg/hari. Dosis harus diturunkan apabila terjadi
neutropenia berat (<500/mm3) atau thrombositopenia berat (<50.000/mm3) atau
peningkatan SGOT/SGPT dan bilirubin. Imatinib Mesylate tidak boleh diberikan
pada wanita hamil, dapat timbul hipersensitivitas walaupun sangat jarang, mual dan
muntah. Efek imatinib mesylate meningkat apabila ada interaksi obat dengan
ketokonazol, simvastatin, dan fenintoin.
(5) Interferon alfa
Berbeda dengan imatinib mesylate, interferon alfa tidak menghambat ekspresi gen
BCR-ABL namun mampu mengurangi kromosom Ph pada dosis 5 juta IU/m2/hari
setelah 12 bulan terapi. Namun saat ini sudah tersedia sediaan pegylated interferon,
sehingga pemberian cukup sekali seminggu. Diperlukan premedikasi dengan
analgesik dan antipiretik untuk mencegah atau mengurangi efek samping berupa
flue-like syndrome. Efek toksik interferon meningkat bila berinteraksi dengan
teofilin, simetidin, vinblastine, zidovudin. Pemberian pada pasien usia, gangguan
fungsi hati dan ginjal berat perlu mendapatkan pengawasan. Dosis harus dikurangi
apabila leukosit <5.000/mm3 dan trombosit <50.000/mm3
(6) Allogeneic Hemapoetic Stem Cell Transplantation
Allogeneic Hemapoetic Stem Cell Transplantation merupakan terapi leukemia
mieloid kronik (CML) yang bersifat definitif. Transplantasi dilakukan sebelum usia
50 dari saudara kandung yang memiliki HLA (Human Leucocyte Antigen) yang
cocok.8
2.8 Prognosis Leukemia Mieloid Kronik (CML)
9
Sebuah study dilakukan di Karachi, Pakistan terhadap 176 pasien dengan median umur
39 tahun yang terdiagnosa leukemia myeloblastik kronis selama 6 tahun. Pada akhir study
sebanyak 33 (19%) pasien meninggal. Pasien dalam keadaan kronis ditemukan pada 102
(58.4%), 35 (20%) kasus menjadi leukemia akut, 22 (12.5%) pasien pada fase akselerasi dan
fase blast pada 19 (10.7%) kasus. Perkembangan penyakit merupakan penyebab utama
kematian yang terlihat pada 29 (16.4%) kasus.10
Study pada leukemia myeloblastik fase akselerasi dilakukan pada 87 pasien untuk
membandingkan efektivitas penggunaan imatinib dengan transplantasi allogeneic
hematopoietic stem cell (AHSC). Delapan puluh tujuh pasien menerima terapi imatinib dan
menunjukkan respon hematologi pada 74 (85.1%) pasien. Respon sumsum tulang terlihat
pada 5 (5.7% pasien), 4 (4.6%) pasien kembali pada fase kronis. Follow-up selama 9 tahun
menunjukkan sebanyak 53 (60%) pasien masih hidup. Terapi dengan transplantasi AHSC
pada 45 pasien menunjukkan angka kematian 15% pada akhir follow up.11 CML dapat
disembuhkan melalui transplantasi sumsum tulang allogenik selama fase stabil.12
BAB III
RINGKASAN
Chronic myeloblatic leukemia (CML) atau leukemia myeloid kronik (LMK) merupakan
leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemia berasal dari
transformasi sel induk myeloid. Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak
umur 40 – 50 tahun. Pada anak – anak dapat dijumpai bentuk juvenile CML. Adapun faktor
risiko CML adalah paparan radiasi dosis tinggi, usia, dan jenis kelamin. Insidensi CML pada
orang dewasa menempati urutan kedua terbanyak dari semua jenis leukemia. yang berkaitan
dengan translokasi kromosom resiprok lengan panjang kromosom 22 ke kromosom lain (pada
umumnya kromosom 9). Kromosom ini disebut sebagai kromosom Philadelphia. Gambaran
klinis CML berupa Gejala-gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme, adanya
spenomegali, pucat, dispnea, takikardi, gangguan ginjal serta gangguan penglihatan. Kelainan
10
laboratorium dapat dilihat dari hasil CBC (>25000/microliter), apusan darah tepi, Special
Stains, Marrow Aspirate and Biopsy, dan Chromosomal Studies. Fase perjalanan CML adalah
fase kronik dan fase kritis blas. Terapi untuk CML meliputi Allopurinol, Hydroxyurea
(Hydrea), Busulfan (Myeleran), Imatinib Mesylate, Interferon alfa, serta Allogeneic
Hemapoetic Stem Cell Transplantation. CML dapat disembuhkan melalui transplantasi
sumsum tulang allogenik selama fase stabil
11