51
CARA PANDANG DAN PERILAKU MASYARAKAT PESISIR DALAM MENGHADAPI ABRASI: STUDI KASUS PADA KANTONG PEMUKIMAN SEPANJANG PANTAI SARANG REMBANG JAWA TENGAH SUHADI SMA NEGERI 1 PAMOTAN PEMERINTAH KABUPATEN REMBANG DINAS PENDIDIKAN

Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pantai Sarang tempo dulu adalah area perladangan dengan jarak antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter. Namun sekarang bibir pantai itu tidak lagi berpasir, bibir pantai itu telah penuh dengan jebakan, dan indahnya ombak berubah menjadi petanda datangnya marabahaya, yaitu abrasi yang siap memporak-porandakan kantong pemukiman pantai ini. Tidak satupun pohon mangrove yang tersisa, semua dibabat habis diganti dengan pemukiman penduduk dengan pola pemukiman menjorok ke bibir pantai ini. Mereka para nelayan Sarang sungguh sedang diceraikan ikan, dan ada pula yang beralih profesi sebagai penambang pasir laut dengan besar-besaran tanpa sentuhan aturan.

Citation preview

Page 1: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

CARA PANDANG DAN PERILAKU MASYARAKAT PESISIR DALAM MENGHADAPI ABRASI: STUDI KASUS PADA KANTONG PEMUKIMAN SEPANJANG PANTAI SARANG REMBANG JAWA

TENGAH

SUHADI

SMA NEGERI 1 PAMOTAN

PEMERINTAH KABUPATEN REMBANG DINAS PENDIDIKAN

2009

Page 2: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

ABSTRAK

Pantai Sarang tempo dulu adalah area perladangan dengan jarak antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter. Namun sekarang bibir pantai itu tidak lagi berpasir, bibir pantai itu telah penuh dengan jebakan, dan indahnya ombak berubah menjadi petanda datangnya marabahaya, yaitu abrasi yang siap memporak-porandakan kantong pemukiman pantai ini. Tidak satupun pohon mangrove yang tersisa, semua dibabat habis diganti dengan pemukiman penduduk dengan pola pemukiman menjorok ke bibir pantai ini. Mereka para nelayan Sarang sungguh sedang diceraikan ikan, dan ada pula yang beralih profesi sebagai penambang pasir laut dengan besar-besaran tanpa sentuhan aturan.

Penelitian ini mengabarkan temuan tentang bagaimana cara pandang dan perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui diversitas/ keanekaragaman pengetahuan dan perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi. Khususnya sebagai bahan untuk tinjauan kepustakaan tentang tematik ekologi kelautan di kawasan kabuten Rembang Jawa Tengah dan sebagai bahan diskusi para praktisi untuk merumuskan program kebijakan di kawasan pemukiman nelayan, merupakan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian adalah Kecamatan Sarang meliputi desa Kalipang, desa Sarangmeduro, desa Bajingmeduro, desa Karangmangu, desa Sendangmulyo, dan desa Temperak. Data penelitian yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara, pengamatan, dokumentasi. Selanjutnya teknik analisis yang pilih adalah dengan model analisis interaktif deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan sebagai berikut. Nelayan di sepanjang pantai Sarang berpandangan bahwa abrasi adalah suatu hal yang biasa, lazim terjadi, dan mereka telah terbiasa akan abrasi. Menurut mereka, abrasi disebabkan oleh adanya gelombang musiman, ombak besar, angin kencang, dan tidak adanya pengendali. Bagi mereka, abrasi merupakan sesuatu yang menakutkan dan kerapkali membuat mereka gelisah. Walaupun demikian mereka tetap tinggal di bibir pantai. aspek ekonomi merupakan instrument utama akan kenapa mereka tinggal di bibir pantai. sisi lain kegesisahan, mereka telah menemukan kemudahan dalam hal kerja sebagai nelayan. Mereka berpedoman “dimana dia bekerja, di situ dia akan tinggal”, walaupun mereka berkemampuan (materi) untuk pindah rumah.

Membuat tanggul dari karung yang di isi pasir dengan diletakkan di dekat rumah para nelayan, menumpuk karung berisi pasir di tepi-tepi pantai sebagai penahan ombak, pembuatan tanggul dari karung pasir dengan tancapan bambu-bambu sebagai penahannya, membuat tanggul dari batu-batu yang ditahan dengan tancapan bambu, membuat tanggul terbuat dari tumpukan batu besar yang dibentuk menyerupai tebing, dan membiarkan tumbuh-tumbuhan liar hidup di sekitar tepi pantai, merupakan beberapa temuan akan perilaku pengendalian abrasi. Cara pandang perilaku dalam menghadapi abrasi di atas merupakan hasil interaksi dan adaptasi dengan ekologi masyarakat kantong pesisir Sarang ini.

Kiranya mengedepankan pemetaan tata ruang kependudukan di kawasan kantong pemukiman pesisir dan penting kiranya memperhatikan langkah strategis untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah lingkungan, sebagai saran kami, bukan sebuah umpan ekonomi yang siap merusak lingkungan yang dikenal indah ini.

Kata kunci: abrasi, cara pandang, perilaku, ekologi

Page 3: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang bercirikan benua maritim dengan

176 kabupaten dan 30 kota dari sekitar 368 kabupaten dan kota, yang mempunyai wilayah

pesisir dan laut (Sulasdi, 2001; 44). Kondisi ini dapat digunakan sebagai dasar kuat untuk

mengatakan bahwa Indonesia sesungguhnya merupakan negara maritim.

Dalam Sulasdi (2001; 44) memaparkan, selama ini kegiatan ekonomi yang

berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang

didukung Undang-Undang (UU) tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia

usaha terkait. Akibatnya pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung eksploitatif,

tidak efisien, dan tidak berkelanjutan. Ragam faktor yang menyebabkan ketidakefektifan

pengelolaan sumberdaya pesisir ini, antara lain; ambiguitas pemilikan dan penguasaan

sumberdaya, ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan. Tampaknya ambiguitas

pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi. Sumberdaya pesisir

dianggap tanpa pemilik (open access property), tetapi berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dan

UU Pokok Perairan No. 6/1996 dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property).

Namun, ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pemilikan

pribadi (quasi private proverty). Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang

teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat (common property).

Hal senada juga disampaikan Syarief (2001;25) Indonesia adalah negara maritim

dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun ironisnya lebih dari 32 tahun yang lalu

kebijakan pembangunan perikanan kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Implikasi dari tidak adanya prioritas kebijakan pembangunan perikanan tersebut, menurut

Syarief, mengakibatkan sangat minimnya prasarana perikanan di wilayah pesisir, terjadinya

abrasi wilayah pesisir dan pantai, perusakan ekosistem laut dan terumbuh karang, serta

belum optimalnya pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan.

Dalam catatan Mujiano, dkk (2009; 30), disepanjang pantai pantura dapat dilihat

fenomena pemukiman penduduk mengalami perluasan dengan perubahan tanah sawah

atau tegalan menjadi pemukiman, bahkan kawasan rawa-rawa di tepi danau telah berubah

menjadi pemukiman yang penuh dengan limbah industri. Hal senada juga terjadi di darat,

Page 4: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

dimana lahan hutan telah terkonversi sehingga lahan pertanian menyusut. Hal ini terlihat dari

asal kepemilikan lahan rumah tangga saat ini yang sebagian besar bukan berasal dari

pembukaan lahan baru, namun dari warisan dan membeli. Pertumbuhan penduduk yang

terus meningkat berpengaruh terhadap kepemilikan lahan rumah tangga. Haning (2009;30)

menambahkan pada umumnya mereka menempati/tinggal di ruang hunian sempit dengan

tata permukiman tidak teratur. Sebagian lainnya menempati permukiman yang umumnya

berada di atas tanah pantai.

Kawasan pesisir telah menjadi kantong pemukiman. Menurut Dahuri (1998;61)

wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia serta tempat

berlangsung berbagai macam kegiatan pembangunan. Konsentrasi kehidupan manusia dan

berbagai kegiatan pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi

yang kuat diantaranya; wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling produktif di bumi,

wilayah pesisir menyediakan kemudahan bagi berbagai kegiatan, dan wilayah pesisir

memiliki pesona yang menarik bagi obyek wisata. Hal tersebut menyebabkan kawasan

pesisir di dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks

sehingga menjadi rusak.

Tampak bahwa di atas terdapat beberapa hal yang menyebabkan fenomena

abrasi, mulai dari: model pengelolaan sumber daya alam/laut (state property, open access

property, common property, dan quasi private property); perilaku eksploitasi laut oleh

pemerintah, adat, asing, dan nelayan; pola akses pembangunan nasional terpusat, termasuk

di pantura; kawasan pantai menjadi kantong pemukiman dengan ditandai terjadinya ledakan

pertumbuhan pendudukan; dan perilaku eksploitasi kawasan pantai dengan cara alih fungsi

lahan untuk industri dan perumahan masa kini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan-rumusan masalah dapat diajukan

sebagai berikut:

- Indonesia sebagai Negara maritime/ kepulauan;

- hidup di kawasan pantai terkena abrasi telah berlangsung;

- penguatan penduduk kawasan pantai adalah suatu keniscahyaan, sebagai solusi

jangka panjang, termasuk solusi jangka pendek; dan

Page 5: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

- memanusiakan manusia (penduduk kawasan pantai), bukan mengutamakan proyek

nasional.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, pertanyaan yang di-angkat dalam

penelitian ini yaitu;

1. bagaimana cara pandang masyarakat pesisir perihal pengetahuan tentang fenomena

abrasi? dan,

2. bagaimana perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan;

1. mengetahui diversitas/ keanekaragaman pengetahuan tentang fenomena abrasi

pada masyarakat pesisir, dan

2. mengetahui diversitas/ keanekaragaman perilaku masyarakat pesisir dalam

berinteraksi dengan fenomena abrasi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat dari sisi akademik dan praktik sebagai

berikut;

1. sebagai bahan untuk kajian kepustakaan tentang tematik ekologi kelautan di

kawasan Kabuten Rembang Provinsi Jawa Tengah, dan

2. sebagai bahan diskusi para praktisi untuk merumuskan program kebijakan di

kawasan pemukiman nelayan.

Page 6: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem daratan dan

lautan, yang saling berinteraksi dan membentuk suatu kondisi lingkungan ekologis yang unik

(Dahuri et al.;1996). Wilayah pesisir sampai saat belum ada definisi yang baku, namun

demikian terdapat kesepakatan umum di dunia, bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah

peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line) maka

wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis

pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai (cross shore).

Dahuri menambahkan, definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia

adalah wilayah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi

bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut

seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah

pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di

daerah daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena

kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976

di dalam Sinurat RM, 2000). Dari definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu

pengertian bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis dan mempunyai

kekayaan habitat yang sangat beragam di darat dan di laut serta saling berintegrasi antara

habitat tersebut.

Pada suatu ekstrim, batas wilayah pesisir dapat meliputi suatu kawasan yang

luas mulai dari batas lautan terluar ZEE sampai daratan yang masih dipengaruhi oleh iklim

laut. Pada ekstrim lainnya, suatu wilayah pesisir hanya meliputi suatu kawasan

peralihan antara ekosistem daratan yang sangat sempit yaitu dari garis rata-rata pasang

tertinggi sampai 200 meter ke arah laut meliputi garis pantai pada saat rata-rata pasang

terendah. Untuk kepentingan pengelolaan, batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir

dapat ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan (planning zone) dan

batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day to

day management). Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerat

daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan

Page 7: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilayah pesisir dan

lautan, sehingga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan.

Sementara itu menurut Bengen (2002), definsi wilayah pesisir memberikan suatu

pengertian bahwa ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan ekosistem yang

dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi

antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga

merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.

Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak

merugikan terhadap ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

B. Karakteristik, Kelompok, dan Pola Hidup Masyarakat Pesisir Indonesia

Perilaku ekonomi masyarakat nelayan berupa upaya atau kegiatan yang dilakukan

oleh nelayan dan keluarganya dalam menentukan berbagai kebutuhan (perilaku produksi)

dan kegiatan penggunaan berbagai jenis barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup

(perilaku konsumsi). (Biki, 2001;20).

Samori (2001;51) menambahkan dalam aktivitas kenelayanan mereka selalu

berpedoman pada aturan-aturan adat yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan adat

tersebut dijadikan sebagai pedoman dan tata cara tertentu terhadap lingkungan sosial

maupun lingkungan alam. Dengan demikian segala perilaku atau pola-pola adaptasi yang

berhubungan dengan proses penangkapan ikan, distribusi, dan konsumsi hasil tangkapan,

didasarkan pada norma-norma adat yang tercermin di dalam mitos. Kenyataan ini

memberikan identitas kepada pendukung dari kebudayaan masyarakat pesisir pantai, dan

merupakan nilai-nilai, yang telah diwariskan dan disosialisasikan dari leluhur mereka.

Dalam kerangka pemikiran Geertz tentang kebudayaan, manusia sebagai makhluk

sosial dan berbudaya yang menanggapi setiap proses kehidupannya dalam bentuk pola-

pola tingkah laku sesuai dengan kebudayaan yang dimilikinya. Sehingga dalam suatu

proses adaptasi, manusia selalu menggunakan kebudayaannya guna merespon perubahan-

perubahan yang terjadi. Menurut pemikirannya pula, kebudayaan paling baik dilihat sebagai

seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol atau rencana-rencana, resep-resep, aturan-

aturan, instruksi-instruksi, untuk mengatur tingkah laku manusia (Geertz, 1992:55).

Dalam kajian kelompok sosial masyarakat nelayan, menurut Syarief (2001;25)

habitat pesisir terdapat ragam kelompok kehidupan masyarakat nelayan diantaranya:

Page 8: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

a) Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata

pencaharian utamanya adalah menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam

dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional.

Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis kapal/peralatan yang digunakan dan

jangkauan wilayah tangkapannya.

b) Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt pesisir yang bekerja

disekitar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-

ikan hasil tangkapan baik melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang

yang selanjutnya dijual ke masyarakat sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal.

Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah kelompok masyarakat pesisir perempuan.

c) Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak

dijumpai dalam kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari

kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal

atau peralatan yang memadai untuk usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai

buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal juragan dengan penghasilan yang

minim.

d) Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat

nelayan buruh.

C. Abrasi/ Pengikisan Pantai

Di bawah ini  paparan abrasi dari Pustekkom Depdiknas (2007). Abrasi yang

terjadi terus menerus akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Kerusakan akibat abrasi itu

menyebabkan terkikisnya daratan dan semakin luas lautan gerusan air. Abrasi adalah suatu

proses perubahan bentuk pantai atau erosi pantai yang disebabkan oleh gelombang laut,

arus laut dan pasang surut laut. Abrasi yang terjadi terus menerus akan menimbulkan

kerusakan lingkungan.

Abrasi dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia. Proses terjadinya

abrasi karena faktor alam disebabkan oleh  angin  yang bertiup di atas lautan yang

menimbulkan gelombang dan arus laut sehingga mempunyai kekuatan untuk mengikis

daerah pantai. Gelombang yang tiba di pantai dapat menggetarkan tanah atau batuan  yang

lama kelamaan akan terlepas dari daratan.

Page 9: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Abrasi terjadi ketika angin yang bergerak di laut menimbulkan gelombang dan arus

menuju pantai. Arus dan angin tersebut lama kelamaan menggerus pinggir pantai.

Gelombang di sepanjang pantai menggetarkan tanah seperti gempa kecil. Kekuatan

gelombang terbesar terjadi pada waktu terjadi badai sehingga dapat mempercepat

terjadinya proses abrasi.

Selain faktor alam, abrasi juga disebabkan oleh faktor manusia, misalnya 

penambangan pasir. Penambangan pasir sangat berperan banyak terhadap abrasi pantai,

baik di daerah tempat penambangan pasir maupun di daerah sekitarnya karena terkurasnya

pasir laut akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan dan arah arus laut yang

menghantam pantai.

Dampak negatif yang diakibatkan oleh abrasi antara lain: penyusutan lebar pantai

sehingga menyempitnya lahan bagi penduduk yang tinggal di pinggir pantai; kerusakan

hutan bakau di sepanjang pantai, karena terpaan ombak yang didorong angin kencang

begitu besar; dan kehilangan tempat berkumpulnya ikan ikan perairan pantai karena

terkikisnya hutan bakau

Ada beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya abrasi,

diantaranya yaitu dengan penanaman kembali hutan bakau, pelarangan penggalian pasir

pantai, pembuatan pemecah gelombang, dan pelestarian terumbu karang.

Page 10: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu data yang dianalisis di dalamnya

berbentuk deskriptif dan tidak berupa angka-angka seperti halnya pada penelitian kuantitatif

(Bogdan dan Tylor dalam Moleong, 2002:3). Pendekatan penelitian yang digunakan adalah

studi kasus, yaitu suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan dan menginterpretasi

suatu kasus dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar

(Salim, 2001:89).

Dalam melakukan penelitian di lapangan menggunakan desain prosedur penelitian.

Adapun desain prosedur penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan yaitu tahap

pralapangan, tahap pekerjaan dan tahap analisis data. Kegiatan dalam tahap pra lapangan

diantaranya; menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus

perijinan, menjajaki dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan,

menyiapkan perlengkapan penelitian, dan hal tentang etika penelitian. Tahap kedua

merupakan pekerjaan lapangan meliputi tiga bagian, yaitu; memahami latar penelitian dan

persiapan diri, memasuki lapangan, dan berperan serta mengumpulkan data. Selanjutnya

tahap analisis data meliputi pengkajian konsep dasar, menemukan dan merumuskan tema

utama.

Penelitian dilakukan pada enam desa di Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang

Provinsi Jawa Tengah, yaitu desa Kalipang, desa Sarangmeduro, desa Bajingmeduro, desa

Karangmangu, desa Sendangmulyo, dan desa Temperak.

Page 11: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Gambar 1. Peta Kecamatan Sarang dan beberapa daerah sekitarnya. (Doc: Amagery © 2009 TerraMetrick Map Data © 2009 AND, Tele Atlas Europa. Diunduh pada tanggal 30 Juni 2009 di web google map)

Data penelitian utama yang digunakan adalah data primer. Data sekunder juga

digunakan, namun hanya sebagai pembanding. Hal ini dilakukan karena permasalahan yang

diangkat dalam penelitian ini, sepengetahuan penulis belum pernah dimuat di jurnal ilmiah.

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, pengamatan, dan

studi pustaka terdahulu. Dalam hal pengumpulan data utama dengan cara wawancara

dilakukan langsung dengan para nelayan yang bertempat tinggal di kawasan sekitar bibir

pantai kecamatan Sarang. Sesekali data hasil wawacara dari para nelaya tersebut penulis

cross check dengan Perangkat Desa, Staf Kantor Kecamatan Sarang, dan warga sekitar.

Selanjutnya dalam hal pengumpulan data sekunder, penulis melakukan searching di dunia

maya, dokumen kependudukan dan Data Laporan Peristiwa yang tersedia di Kantor

Kecamatan Sarang.

Keabsahan data pada penelitian ini digunakan teknik triangulasi. Menurut Moleong

(2004;178) teknik triangulasi digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data dengan cara

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data. Teknik triangulasi yang digunakan terdiri dari lima tahap. Tahap

pertama, membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara dari informan.

Tahap kedua, membandingkan apa yang dikatakan informan pendukung dengan apa yang

dikatakan oleh informan utama. Tahap ketiga, membandingkan apa yang dikatakan oleh

informan saat penelitian. Pada tahap keempat, membandingkan keadaan dan perspektif

informan dengan konsep-konsep atau kerangka teoritis dari para ahli. Selanjutnya tahap

kelima, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang terkait.

Teknik analisis yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah model analisis

interaktif deskriptif. Selanjutnya dalam melakukan analisis dilakukan beberapa tahapan yaitu

tahap pengumpulan data, tahap reduksi data, tahap penyajian data, dan terakhir tahap

penarikan kesimpulan atau verifikasi. Adapun ketiga alur di atas, bila digambarkan dengan

skema adalah sebagai berikut;

Page 12: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Komponen-komponen Analisa Data Model Interaktif (Miles &Huberman , 2000:20)

Reduksi DataPenyajian

Data

Penafsiran Verifikasi & Kesimpulan

PengumpulanData

Gambar 2. Komponen-komponen Analisa Data Model Interaktif (Miles dan Huberman, 2000:20)

Reduksi DataPenyajian

Data

Penafsiran Verifikasi & Kesimpulan

PengumpulanData

Page 13: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Secara administratif Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang terbagi dalam 23

desa. Dua puluh tiga desa tersebut adalah desa Lodankulon, Lodanwetan, Bonjor,

Tawangrejo, Sampung, Baturno, Babaktulung, Nglojo, Jambangan, Pelang, Gilis,

Gunungmulyo, Gonggang, Sumbermulyo, Kalipang, Dadapmulyo, Sendangmulyo,

Banowan, Temperak, Karangmangu, Bajingjowo, Bajingmeduro, dan Sarangmeduro

(Kantor Kecamatan Sarang, 2009, Peta Lokasi).

Gambar 3. Peta Kecamatan Sarang (Doc. Hasil Foto Ulang Tim Peneliti SMA Pamotan)

Dua puluh tiga desa se-Kecamatan Sarang berdasarkan hasil pengamatan

terdapat 6 desa yang memiliki pantai yaitu desa Temperak, Sarangmeduro,

Karangmangu, Bajingmeduro, Sendangmulyo, dan Kalipang. Dalam tahun 2007 hingga

2009, tercatat 1 kali abrasi di Temperak, 6 kali di Karangmangu, 3 kali di Sendangmulyo,

5 kali di Kalipang. Sedangkan abrasi di desa Sarangmeduro dan Bajingmeduro tidak

tersedia laporan tertulis. Berdasarkan tahun kejadian, tercatat sepuluh kali dalam tahun

2007, lima kali abrasi dalam tahun 2008, dan satu kali dalam tahun 2009.

Dalam tahun 2007, terlaporkan sebab-sebab abrasi diantaranya; abrasi laut

musim barat, abrasi laut musim timur, ombak besar, arus deras pada bulan Mei hingga

Juli, angin kencang dan arus deras, dan abrasi laut dengan gelombang pasang. Dalam

tahun berikutnya terlaporkan sebab-sebab abrasi adalah sebagai berikut; abrasi laut

Page 14: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

musim barat dan abrasi laut musim timur. Kemudian pada awal tahun 2009, abrasi laut

musim barat.

Dampak abrasi tahun 2007 mengakibatkan dua puluh rumah warga rusak, tujuh

rumah warga rusak berat, satu kandang ternak rusak, jalan desa rusak 200 meter

dengan lebar 2,5 meter, hancunya jalan (aspal) desa 600 meter, 8 bidang tanah menjadi

lautan, perahu hanyut dan tenggelam, dan enam rumah warga roboh serta hanyut di

telan ombak. Selanjutnya tahun 2008 akibat abrasi; 12 rumah rusak kemudian pindah

rumah, 2 rumah hanyut, 32 rumah rusak berat, 8 rumah rusak ringgan, tiga belas rumah

rusak, satu rumah roboh. Sedangkan tahun 2009 hanya tercatat sekali kejadian abrasi

yang mengakibatkan tiga rumah rusak ringan.

Tercatat kurugian akibat abrasi; tedapat 134 juta rupiah jumlah kerugian dalam

tahun 2007. Pada tahun yang sama terdapat dua kali kejadian abrasi yang tidak

tersediakan data kerugiannya. Pada tahun 2008, tercacat kerugian sebesar 316,33 juta

rupiah dengan satu kali kejadian abrasi, juga tidak menyediakan data kerugiannya.

Kemudian pada awal tahun 2009 terjadi abrasi dengan taksiran jumlah kerugian sebesar

5 juta rupiah.

B. Abrasi di Kecamatan Sarang

1. Abrasi Pantai Karangmangu

Masyarakat pantai tanpa pesisir lagi, itulah kesan saat memasuki kawasan

kantong pemukiman Karangmangu. Dahulu wilayah pesisirnya luas ( 50 meter dari

pemukiman penduduk). Pesisir dengan hamparan pasir putih itu, seiring dengan

bertambahnya penduduk, berubah menjadi kantong pemukiman. Pada keadaan air

laut surut saja, jarak rumah penduduk dengan air laut berkisar satu meter.

Page 15: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Gambar 4. Kodisi Pemukiman Bibir Pantai yang tidak Berpantai (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Dikawasan ini pula berdiri pusat komplek pondok pesantren terbesar di

kabupaten Rembang dengan jangkauan santrinya dari semua wilayah di Indonesia.

Gambar. Komplek Pondok Pesantren di Karangmangu, Sarang Rembang (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Dekatnya jarak rumah dengan air laut menyebabkan arus ombak air laut

merusak sepanjang rumah yang letaknya di bibir pantai. Setiap tahun dapat

dipastikan terdapat rumah warga rusak. Menurut warga setempat, dalam setiap

tahunnya kurang lebih sepuluh rumah warga rusak ringan hingga roboh. Akibat

abrasi, mereka kehilangan materi dan energi yang cukup besar.

Menurut masyarakat setempat, ombak besar dari arah barat terjadi saat

bulan Januari dan Februari. Ombak besar dari arah timur terjadi di bulan April dan

Mei dengan disertai angin kencang. Meskipun abrasi sering merusak dan

Page 16: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

merobohkan rumah warga, mereka tetap saja bertahan hidup di bibir pantai. Mereka

berpandangan bahwa tinggal di bibir pantai akan mempermudah mereka dalam

melangsungkan pekerjaannya sebagai nelayan. Mayoritas penduduk Karangmangu

bermata pencaharian sebagai nelayan.

Lonjakan penduduk di Karangmangu relatif tinggi dan cepat, baik dari

penduduk pribumi maupun dari penduduk pendatang. Mungkin saja dari

penduduknya enggan menerapkan program KB (Keluarga Berencana). Akibatnya

dari lonjakan penduduk tersebut, pemukiman Karangmangu menjadi padat. Jarak

rumah penduduk dengan pantai kira-kira satu sampai dengan dua meter. Akibat dari

jarak rumah dengan pantai hanya beberapa meter saja, kemungkinan setiap

tahunnya terdapat rumah roboh. Warga desa Karangmangu berpedoman “dimana

dia bekerja, di situ dia akan tinggal”, walaupun mereka berkemampuan (materi)

untuk pindah rumah.

Jika rumah hunian rusak atau roboh karena abrasi, mereka benahi tanpa

berfikir pindah. Warga berupaya menanggulangi abrasi dengan cara membuat

tanggul dari karung pasir serta membuat tanggul dari batu-batuan besar. Tanggul

yang mereka buat dibangun di sepanjang pesisir desa Karangmangu. Namun tidak

sedikit dari tanggul tersebut rusak akibat hantaman ombak besar.

Penduduk desa Karangmangu beranggapan bahwa abrasi adalah hal biasa

yang lazim terjadi di daerah pantai dan tidak merupakan suatu bencana. Abrasi

menurut pandangan warga setempat tidak lagi menjadi momok yang menakutkan,

walaupun pada kenyataannya rumah mereka sering rusak dan roboh.

Untuk menghadapi abrasi, dilakukan pengendalian abrasi secara manual dan

sederhana yaitu dengan membuat tanggul dari batu-batu yang ditahan dengan

tancapan bambu. Sedangkan pemerintah telah membuat tanggul penahan ombak

untuk mengendalikan terjadinya abrasi. Hingga saat ini proyek tanggul pemecah

ombak tersebut belum selesai. Masyarakat menaruh harap kepada pemerintah untuk

mengentaskan masalah abrasi di desa Karangmangu agar mereka dapat hidup

tenang dan sejahtera.

Page 17: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Gambar 5. Perilaku Pengendalian Abasi Secara Manual Proyek Swadaya (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

2. Abrasi Pantai Sarangmeduro

Saat memasuki pantai di desa Sarang Meduro, kita disuguhkan tanggul

sepanjang bibir pantai sebagai pengendali ombak. Abrasi di Sarangmeduro telah

merusak dan merobahkan rumah warga.

Gambar 6. Perilaku Pengendalian Abrasi Pemecah Ombak di Desa Sarang Meduro (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai nelayan dengan pola

membangun rumah di atas tanah milik Negara yaitu disepanjang pesisir. Ketiadaan

dana telah memacu mereka menempati kawasan pesisir sebagai tempat tinggal.

Pilihan tersebut mengakibatkan jarak antara rumah mereka dengan laut lebih dekat.

Pengakuan dari penduduk setempat, jika warga disediakan lahan untuk tempat

Page 18: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

tinggal dan diberi bantuan material mendirikan rumah, mereka akan bersiap untuk

pindah dari wilayah pesisir.

Abrasi menurut warga disebabkan gelombang musiman, ombak besar, angin

kencang, dan tidak tersedia pengendali. Gelombang yang bersifat merusak yaitu

gelombang barat yang terjadi pada bulan Januari dan Februari, serta gelombang

timur di bulan April dan Mei.

Abrasi menurut warga setempat merupakan hal yang menakutkan karena

abrasi (pengikisan daratan oleh air laut) menyebabkan rumah warga rusak dan

roboh. Walaupun pemerintah telah berupaya mengendalikan abrasi dengan tanggul

untuk pemecah ombak dan penahan ombak, tetap saja abrasi masih terjadi. Warga

juga berpandangan, lama-kelamaan abrasi akan merusak tanggul-tanggul yang ada.

Pemukiman penduduk di tepi pantai Sarangmeduro cukup padat. Tanah

untuk mendirikan rumahnya berstatus tanah Negara dan tanpa sertifikat. Mereka

tatap bertahan hidup di bibir pantai, menurut pengakuan mereka, dengan tinggal di

dekat pantai akan mempermudah bekerja di laut.

Gambar 7. Kawasan Pemukiman di Sarang Meduro yang Terkena Abrasi (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Bekerja di laut tampaknya menjadi pilihan utama. Pendidikan formal warga

desa Sarangmeduro lebih dinomorduakan dan mereka lebih suka bekerja sebagai

nelayan dibandingkan sekolah. Kegiatan kesehariannya yaitu; menangkap ikan,

mengasap ikan, menjual ikan ke pasar dan tengkulak.

Page 19: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Pengendalian abrasi yang dilakukan warga setempat berupa pembuatan

tanggul dari karung pasir dan tancapan bambu-bambu sebagai penahannya. Dengan

cara tersebut mereka rasa dapat menahan ombak yang setiap saat datang. Mereka

berharap agra pemerintah berperan membantu meningkatkan pengendalian abrasi

dalam jangka panjang.

3. Abrasi Pantai Bajingmeduro

Sepanjang pantai di desa Bajingmeduro terlihat padat penduduk dengan pola

pemukiman yang tampak melebar ke bibir pantai. Desa yang berdekatan dengan

desa Sarangmeduro dan Karangmangu ini nyaris tidak memiliki wilayah pesisir.

Pada saat berkunjung di pemukiman pantai desa ini, telah terdapat tanggul penahan

ombak hancur karena ombak besar.

Gambar 8. Masjid sebagai Fasilitas Ibadah Umat Islam Di Bajing Meduro Dibangun di Dekat Bibir Pantai (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Sebelum adanya tanggul penahan ombak dari pemerintah, abrasi di desa

Bajingmeduro telah merusak dan merobohkan rumah warga. Abrasi itu telah

memaksa warga kehilangan harta benda. Minimnya ketersediaan lahan untuk pindah

rumah, terpaksa mereka tinggal di daerah pesisir. Mereka sebenarnya tahu jika

tanah tersebut milik Negara dan berkonsekwensi hal yang komplek. Namun mereka

tetap bersikukuh untuk tinggal di wilayah pesisir.

Para nelayan Bajingmeduro biasanya menangkap ikan dengan

menggunakan alat yang disebut kursin. Kursin adalah alat penangkap yang mampu

Page 20: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

tangkap ikan dari berbagai ukuran. Saat ditanya tentang kondisi ikan di laut, mereka

menjawab sering kesulitan saat menangkap ikan.

Gambar 9. Perilaku Pengasapan Ikan Laut di Bibir Pantai dan Jenis Pekerjaan Perempuan Nelayan Bajing Meduro (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Warga desa Bajingmeduro berpandangan, abrasi merupakan hal yang biasa

namun menjadi momok yang selalu membuat warga rugi harta dan benda. Dengan

swadaya warga setempat, mereka berusaha mengendalikan obak dengan cara

menumpuk karung pasir di tepi-tepi pantai sebagai penahan ombak.

Mayoritas warga Bajingmeduro bermata pencaharian nelayan. Saat

wawancara dengan nelayan yang usianya separuh baya menyampaikan bahwa

tanpa sekolah mereka tetap bisa hidup dengan bekerja sebagai nelayan. Dalam hal

pekerjaan dan tempat tinggal, pada umumnya warga Bajingmeduro berpandangan

bahwa hidup di daerah pesisir akan memudahkan mereka dalam bekerja karena

lebih dekat dengan laut sebagai tempat bekerjanya. Mereka juga beranggapan

bahwa banyak anak banyak rezeki.

Saat ini terdapat tanggul penahan ombak dari proyek pemerintah. Ketakutan

warga Bajingmeduro agak terkurangi di banding ketakutan pada tahun-tahun

sebelumnya. Selain itu warga setempat aktif membuat tanggul swadaya dari batu

besar dan tumpukan karung berisi pasir. Pembangunan tanggul swadaya

dimaksudkan agar air laut tidak menerjang perumahan mereka. Dengan adanya

Page 21: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

tanggul buatan tersebut, harapan penduduk, abrasi tidak akan merusak rumah

mereka lagi, sehingga mereka bisa hidup tenang.

Gambar 10. Keseharian Para Nelayan Desa Bajingeduro saat Memperbaiki Kusin/ Pukat, saat tidak Melaut (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

4. Abrasi Pantai Sendangmulyo

Semenjak pembuatan pemecah atau penangkis gelombang di pantai desa

Sendangmulyo, pengikisan daratan oleh air laut dapat terkendali. Sebelum adanya

pemecah gelombang, banyak rumah penduduk yang rusak dan hanyut karena

terjangan ombak besar akibat abrasi. Menurut penuturan warga, lebih dari 15 rumah

rusak/ roboh rusak karena terjangan ombak.

Menurut warga, bibir pantai Sendangmulyo pada saat dulu merupakan

sebuah hamparan pekarangan. Namun saat ini terlihat pemukiman penduduk

semakin padat, hal ini disebabkan bertambahnya penduduk pendatang dan

penduduk asli desa tersebut. Walaupun daerah pesisir adalah milik negara, mereka

tetap saja bersikukuh tinggal di tepi pantai, sekalipun berupa tanah tanpa sertifikat.

Hal itu dipengaruhi oleh dekatnya tempat mereka bekerja sebagai nelayan. Sebelum

padatnya pemukiman penduduk di desa Sendangmulyo, dahulu di wilayah pesisir

terdapat pepohonan sejenis mangrove yang berfungsi sebagai pengendali ombak

besar. Namun sekarang tidak ada satupun pohon mangrove yang tersisa, semua

dibabat habis diganti dengan pemukiman penduduk.

Page 22: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Mereka sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, baik sebagai

nelayan tangkap, nelayan pengumpul, maupun buruh nelayan. Bagi nelayan tangkap

mereka hanya menggunakan peralatan yang sederhana untuk menangkap ikan.

Gambar 11. Suasana pada Sore Hari di Bibir Pantai Sendangmulyo (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Pemerintah dan penduduk mengupayakan agar abrasi tidak menghancurkan

rumah lagi dengan cara membangun tanggul-tanggul buatan dari tumpukan batu

besar dan pemecah gelombang. Pembuatan tanggul-tanggul tersebut dimaksudkan

sebagai penghalang air laut yang akan sampai ke perumahan. Sedangkan pemecah

gelombang berfungsi sebagai penghalau gelombang. Gelombang yang datang dari

laut pada mulanya besar, dengan tanggul pemecah gelombang, gelombang tersebut

akan lebih kecil.

Gambar 12. Tanggul pengendali ombak di Pantai Desa Sendangmulyo (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Page 23: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Abrasi di Sendangmulyo diharapkan tidak merusak rumah warga lagi, sehingga

warga akan hidup lebih tenang dan sejahtera.

5. Abrasi Pantai Temperak

Temperak merupakan desa di kabupaten Rembang yang letaknya di

kawasan pantai paling ujung timur. Temperak adalah desa yang letaknya

diperbatasan wilayah timur antara Jawa tengah dan Jawa timur, tepatnya perbatasan

antara kabupaten Rembang dengan kabupaten Tuban. Menurut warga setempat,

telah terjadi abrasi pada saat angin dari arah barat pada bulan Januari dan Februari.

Abrasi juga terjadi para saat gelombang timur yaitu terjadi pada bulan Maret dan

April.

Menurut warga, dahulu pantai Temperak merupakan area perladangan

dengan jarak antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter. Pesisir pantai

yang luas itu digunakan warga untuk area perladangan. Kepadatan penduduk di

desa Temperak kian-waktu kian-meningkat. Meningkatnya populasi dari penduduk

asli desa tersebut dan kedatangan penduduk dari luar desa Temperak. Perumahan

penduduk yang semakin berdekat-dekatan mendorong tindakan alih-fungsi pesisir

menjadi lahan pemukiman. Di dekat bibir pantai Temperak digunakan juga industri

ikan asin dan industri galang kapal nelayan.

Warga desa Temperak telah lama mengeluh karena telah lama belangsung

penambangan pasir laut. Penambangan pasir liar yang dilakukan tiap hari dan terus

menerus mencapai ratusan truck. Penambangan pasir laut tersebut dilakukan

beberapa gelintir warga setempat. Pasir laut tersebut dijual di luar desa Temperak

untuk bahan material bangunan. Menurut staf kantor desa Temperak, yang

melakukan penambangan pasir laut adalah orang-orang yang memiliki akses politik

di daerah setempat.

Abrasi telah terjadi disepanjang pesisir pantai desa Temperak. Berdasarkan

pengamatan dilapangan, jarak antara perumahan dengan laut kira-kira 10 meter.

Pada saat gelombang pasang, ombak laut sering masuk di perumahan warga.

Menurut pandangan warga, abrasi yang terjadi di desa Temperak dianggap suatu

Page 24: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

fenomena yang biasa dan tidak dianggap suatu bencana yang akan berdampak

pada kehidupannya yang akan datang.

Gambar 13. Pemukiman Warga Nelayan Desa Temperak yang Berada di Bibir Pantai (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Abrasi yang terjadi di desa Temperak ini, menurut warga setempat

disebabkan oleh penambangan pasir secara perorangan tanpa batas, angin kencang

yang membawa ombak besar dan gelombang musiman. Pengakuan warga,

terjangan ombak besar akibat abrasi sangat merugikan masyarakat setempat, baik

materi’il maupun spiritual. Abrasi sendiri menurut warga sekitar merupakan hal yang

lazim terjadi, karena setiap tahunnya pasti akan terjadi, dan mereka telah terbiasa

akan hal tersebut. Kebiasaan mereka terhadap terjadinya abrasi membuat mereka

mudah beradaptasi. Mereka tetap bertahan hidup walaupun sering terkena abrasi.

Page 25: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Gambar 14. Proses Perawatan Perahu Kecil Nelayan Temperak dengan Cara di Lukis Pola Menarik untuk Penyemangat Kerja (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan,

2009)

Dalam hal menanggulangi abrasi, warga sekitar yang berada di tepi

melakukan cara manual maupun alami. Secara menual mereka membuat tanggul

dari batuan-batuan yang diberi tancapan bambu sebagai penahannya. Sedangkan

secara alami mereka membiarkan tumbuh-tumbuhan liar hidup disekitar tepi pantai.

Beberapa pepohonnan yang dibiarkan hidup diantaranya pohon waru, katang,

weduri, dan lain-lain untuk menahan terjadinya abrasi. Dalam mengendalikan abrasi,

warga Temperak membangun tanggul dari anyaman bambu dan ditutup

menggunakan pohon katang (sejenis pohon berakar yang dahannya merambat)

serta membangun tanggul dari tumpukan batu. Abrasi yang ditanggulangi dengan

menggunakan tanggul diharapkan Abrasi tidak akan merusak rumah lagi sampai

kehidupannya yang akan mendatang.

Gambar 15. Pohon Katang yang Dibiarkan secara Alami untuk Tanggul Hidup saat Abrasi (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Warga desa Temperak berharap akan adanya peran dan bantuan

pemerintah baik moral maupun material yang bisa meringankan beban mereka

dalam meghadapi abrasi yang terjadi setiap tahunnya.

6. Abrasi Pantai Kalipang

Jika Karangmangu merupakan kawasan pantai tanpa pesisir, Kalipang

sebaliknya, merupakan kawasan yang masih memiliki sudut pandang pantai yang

Page 26: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

relative luas akan pesisir, walupun di salah satu ujung pantai desa ini juga tedapat

rumah-rumah di bibir pantai. Wilayah Kecamatan Sarang yang berpantai dan terletak

paling barat adalah desa Kalipang. Desa ini dulunya sering terjadi abrasi yang

meluluh-lantakkan beberapa rumah warga sekitar tepi pantai. Tetapi setelah dibuat

tanggul dari tumpukan batu-batu besar untuk menahan ombak, sekarang tidak lagi

terjadi rumah roboh.

Gambar 16. Bibir Pantai Kalipang yang Tampak Ekosistik (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Abrasi sendiri menurut warga setempat merupakan sesuatu yang

menakutkan. Karena abrasi selain akan membuat mereka kehilangan rumah, juga

akan kehilangan harta benda yang mereka miliki. Desa yang pemukiman

penduduknya relatif dekat dengan pantai, mayoritas penduduknya tidak bermata

pencaharian sebagai nelayan, melainkan sebagai petani.

Saat ini terlihat tetumbuhan di tepi pantai untuk pengendalian abrasi secara

alami. Terlihat pula masyarakat relatif tidak mendirikan rumah di tepian pantai.

Dengan pemukiman penduduk di desa kalipang yang tidak begitu padat,

rata-rata diantara mereka memiliki tanah yang cukup luas. Rumah satu dengan

rumah lainnya tidak berdempet-dempetan. Di desa ini telah berdiri industri galangan

kapal nelayan ukuran besar.

Page 27: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Gambar 17. Industri Galangan Kapal di Kalipang (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Menurut penduduk Kalipang, abrasi disebabkan oleh gelombang musiman

ombak besar, dan angin besar. Mereka menganal dua macam gelombang musiman

yaitu gelombang barat yang terjadi pada bulan Januari dan Februari dan gelombang

timur yang terjadi pada bulan April dan Mei. Datangnya ombak besar dapat

mengekibatkan rusaknya apapun yang ada di depanya, termasuk rumah.

Selanjutnya abrasi yang disebabkan angina besar menurut mereka, karena angin

besar dapat mempengaruhi gerakan ombak dan membawa ombak yang besar, dan

ombak tersebut akan mempengaruhi terjadinya abrasi.

Dalam menanggulangi abrasi warga desa Kalipang, telah dibuatkan tanggul

progam pemerintah. Tanggul tersebut terbuat dari tumpukan batu besar yang

menyerupai tebing. Dengan demikian ombak tidak sampai ke perumahan.

Page 28: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Gambar 18. Proyek Tanggul Pemerintah untuk Penahan Ombak (Doc. Tim Peneliti SMA Pamotan, 2009)

Pola hidup warga desa Kalipang terlihat sederhana. Dengan mata pencaharian

penduduk kalipang sebagian besar sebagai petani, walaupun perumahan mereka dekat

dengan laut. Penduduk di ini tampak belum padat, terlihat perumahan mereka masih

jarang yang berada bibir pantai. Pesisir di desa Kalipang dijadikan sebagai industri

galangan kapal. Baik kapal yang berukuran besar maupun kecil. Jarak antara

perumahan desa Kalipang dengan laut lumayan jauh, kira-kira 20 m, namun tidak

menutup kemungkinan abrasi di desa kalipang akan menerjang di perumahan warga

lagi. Abrasi telah tertanggulangi dengan tanggul program pemerintah. Warga desa

berharap ombak tidak merusak rumah dan menimbulkan bencana lagi. Dengan demikian

harapan warga desa setempat dapat menjalani hidup tentram dan sejahtera serta tidak

akan memiliki rasa kekhawatiran terhadap abrasi, terwujud.

C. Mengenal Sepanjang Bibir Pantai Sarang Rembang

Bagaimana kondisi di sepanjang bibir pantai kecamatan Sarang kabupaten

Rembang, pada bagian ini akan mengulas hal tersebut. Ulasan ini memuat enam kondisi

pantai Sarang, diantaranya; pantai Karangmangu, pantai Sarangmeduro, pantai

Bajingmeduro, pantai Temperak, pantai Sarangmeduro, pantai Sendangmulyo, dan

pantai Kalipang.

Masyarakat pantai tanpa pesisir lagi, itulah kesan saat memasuki kawasan

pemukiman di bibir pantai Karangmangu. Dikawasan ini pula berdiri pusat komplek

Page 29: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

pondok pesantren terbesar di kabupaten Rembang. Dekatnya jarak rumah dengan air

laut menyebabkan arus ombak air laut merusak sepanjang rumah yang letaknya di bibir

pantai. Lonjakan penduduk relatif tinggi dan cepat, baik dari penduduk pribumi maupun

dari penduduk pendatang.

Saat memasuki pantai di desa Sarangmeduro, kita akan disuguhkan tanggul

sepanjang bibir pantai sebagai pengendali ombak/ gelombang. Sebagian besar dari

mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakatnya lebih suka bekerja

sebagai nelayan. Pola membangun rumah cenderung di atas tanah milik Negara yaitu

disepanjang pesisir. Pemukiman penduduk di tepi pantai Sarangmeduro cukup padat.

Penangkapan ikan, pengasapan ikan hasil melaut, transaksi jual beli dengan menjual di

pasar dan tengkulak, merupakan keseharian warga Sarangmedur. Di desa ini juga

terdapat industri galang kapal tangkap ikan dengan ukuran besar, sedang dan kecil.

Sepanjang pantai di desa Bajingmeduro terlihat padat penduduk dengan pola

pemukiman yang tampak melebar ke bibir pantai. Abrasi telah merusak dan sering

merobohkan rumah warga dan memaksa warga kehilangan harta bendanya. Minimnya

ketersediaan lahan untuk pindah rumah, terpaksa mereka tinggal di daerah pesisir. Para

nelayan Bajingmeduro biasanya menangkap ikan dengan menggunakan alat yang

disebut kursin para nelayan sering kesulitan saat menangkap ikan.

Pada saat dahulu pantai Sendangmulyo adalah sebuah hamparan pekarangan

yang sangat luas, namun terlihat padat rumahnya seiring dengan bertambahnya

penduduk pendatang dan penduduk asli desa tersebut. Sebelum padatnya pemukiman

penduduk di desa Sendangmulyo, dahulu di wilayah pesisir terdapat pepohonan sejenis

mangrove yang berfungsi sebagai pengendali ombak besar. Namun sekarang tidak ada

satupun pohon mangrove yang tersisa, semua dibabat habis diganti dengan pemukiman

penduduk.

Temperak merupakan desa di kabupaten Rembang yang letaknya di kawasan

pantai paling ujung timur. Temperak adalah desa yang letaknya diperbatasan wilayah

timur antara Jawa tengah dan Jawa timur, tepatnya perbatasan antara kabupaten

Rembang dengan kabupaten Tuban. Dahulu, pantai Temperak merupakan area

perladangan dengan jarak antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter.

Page 30: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Pesisir pantai yang luas itu digunakan warga untuk area perladangan. Perumahan

penduduk yang semakin berdekat-dekatan mendorong tindakan alih-fungsi pesisir

menjadi lahan pemukiman. Ditempat inilah berjalannya eksplorasi penambangan pasir

laut dengan besar-besaran. Kepadatan penduduk di desa Temperak kian-waktu kian-

meningkat. Meningkatnya populasi dari penduduk asli desa tersebut dan kedatangan

penduduk dari luar desa Temperak.

Pantai Kalipang merupakan kawasan yang masih memiliki sudut pandang pantai

yang relatif luas akan pesisir, walupun di salah satu ujung pantai desa ini juga tedapat

rumah-rumah di bibir pantai. Saat ini disepanjang pantai telah dibutkan tanggul dari

tumpukan batu-batu besar untuk menahan ombak. Di bibir pantai Kalipang berdiri inilah

industri galangan kapal nelayan ukuran besar. Desa yang pemukiman penduduknya

relatif dekat dengan pantai, dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian

petani.

D. Cara Pandang Masyarakat Pesisir Sarang Tentang Abrasi

Bagaimana cara pandang masyarakat pesisir di kawasan timur pantai Rembang,

tepatnya di kecamatan Sarang, perihal pengetahuan tentang fenomena abrasi,

selanjutnya akan di jawab pada bagian berikut ini.

Masyarakat Sarang mengenal dua macam gelombang musiman yaitu

gelombang barat dan gelombang timur. Gelombang barat (wayah baratan) terjadi pada

bulan Januari dan Februari. Selanjutnya gelombang timur (wayah timuran) terjadi pada

bulan April dan Mei. Pada waktu-waktu tersebutlah ombak datang setiap saat datang

dengan tidak pernah di sangka namun merusak rumah mereka, dan menghilangkan

harta benda-nya.

Abrasi dianggap suatu hal yang biasa, dan tidak merupakan suatu bencana

besar seperti semburan lumpur lapindo atau sejenis gempa bumi. Abrasi merupakan hal

yang lazim terjadi, karena setiap tahunnya pasti akan terjadi, dan mereka telah terbiasa

akan hal tersebut. Menurut mereka, abrasi disebabkan oleh adanya gelombang

musiman, ombak besar, angin kencang, dan tidak adanya pengendalian ombak secara

alami seperti penanaman tumbuhan bakau. Abrasi menurut mereka juga disebabkan

Page 31: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

oleh penambangan pasir secara perorangan tanpa batas. Abrasi sendiri menurut warga

setempat merupakan sesuatu yang menakutkan yang membuat mereka gelisah karena

sewaktu-waktu datang tanpa sepengetahuan.

Walaupun demikian mereka tetap tinggal di bibir pantai. Dengan tinggal di bibir

pantai akan mempermudah mereka dalam menjalankan pekerjaannya sebagai nelayan.

Mereka berpedoman “dimana dia bekerja, di situ dia akan tinggal”, walaupun mereka

berkemampuan (materi) untuk pindah rumah. Mereka juga beranggapan bahwa banyak

anak banyak rezeki.

Dalam hal pandangan akan pengedalian abrasi, mereka tahu bahwa bahwa

pembuatan tanggul-tanggul sebagai penghalang air laut yang akan sampai ke

perumahan. Dengan membuat pemecah gelombang, berfungsi sebagai penghalau

gelombang. Menurut mereka gelombang yang datang dari laut pada mulanya besar,

dengan tanggul pemecah gelombang, gelombang tersebut akan lebih kecil. Namun

mereka juga tahu bahwa lama-kelamaan abrasi akan merusak tanggul-tanggul, sehingga

tidak ada penahan ombak lagi.

Berdasarkan hasil penelitian di atas tentang pandangan masyarakat pesisir

tentang abrasi, menurut pandangan penulis, cara pandang tersebut di atas merupakan

hasil adaptasi antara masyarakat dengan lingkungannya atau yang sering di sebut

dengan cara pandang ekologi. Cara pandang ekologi adalah segala pengetahuan yang

dimiliki suatu masyarakat bersumber dari lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat akan

bagaimana masyarakat mengenal tanda abrasi, kapan dan berapa besar abrasi terjadi,

dan bagaimana pula mengendalikan abrasi dengan cara alami.

Namun dalam beradaptasi, masyarakat nelayan telah berhadapan dengan cara

pandang fungsi yang tentan konflik. Hal ini dapat dilihat bagaimana nelayan mendirikan

rumah di saat tidak memiliki lahan, bagaimana nelayan memenuhi kebutuhan sehari-hari

saat ikan tangkapannya mulai sulit, dan bagaimana para nelayan bertindak dalam

pemenuhan kebutuhan ekonominya yang tanpa disadari telah mengundang abrasi itu

sendiri, contohnya adalah penambangan pasir laut dan pembabatan tetumbuhan di bibir

pantai.

Page 32: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

Menurut penulis, cara pandang di atas merupakan hasil pikiran masyarakat yang

harus dihormati. Dengan sikap tersebut, keaneka-ragaman akan pengetahuan untuk

mengelola sumber daya pantai/ laut dapat dimulai dari sini. Di sisi lain, menurut penulis

juga terdapat masalah di balik cara pandang di atas, yaitu masalah kependudukan dan

perilaku untuk mencapai rasa aman dan nyaman.

E. Perilaku Masyarakat Pesisir Sarang dalam Menghadapi Abrasi

Bagaimana perilaku masyarakat pesisir dalam berinteraksi dengan fenomena

abrasi, tepatnya di kecamatan Sarang, perihal pengetahuan tentang fenomena abrasi,

selanjutnya akan di jawab pada bagian berikut ini.

Nelayan sarang dalam berinteraksi dengan fenomena abrasi telah menghasilkan

keragaman perilaku pengendalian abrasi. Keragaman perilaku pengendalian abrasi

tersebut dapat dilihat yaitu; membuat tanggul dari karung yang di isi pasir dengan

diletakkan di dekat rumah para nelayan, menumpuk karung berisi pasir di tepi-tepi pantai

sebagai penahan ombak, pembuatan tanggul dari karung pasir dengan tancapan

bambu-bambu sebagai penahannya, membuat tanggul dari batu-batu yang ditahan

dengan tancapan bambu, membuat tanggul terbuat dari tumpukan batu besar yang

dibentuk menyerupai tebing, dan membiarkan tumbuh-tumbuhan liar hidup di sekitar tepi

pantai. Jika perilaku pengendalian abrasi tersebut tetap diterjang ombak, maka rumah

para nelayan yang mereka tempati rusak ataupun roboh karena abrasi, secepatnya

mereka benahi tanpa berfikir pindah.

Menurut penulis, perilaku masyarakat nelayan Sarang dalam berinteraksi dengan

abrasi perlu dihormati. Perilaku tersebut di atas merupakan hasil dari pengetahuan yang

dimiliki bersama, dan sekaligus sebagai cermin dari berapa kemampuan ekonomi yang

dimilikinya. Hal ini dapat dapat dilihat tentang seberapa besar mereka memiliki finansial/

uang untuk membuat tanggul dari batu-batu besar yang ditanam, karena datangnya batu

di kawasan pesisir telah melalui transaksi kegiatan ekonomi di luar sana.

Hingga saat ini, pemerintah masih dalam proses pembuatan tanggul penahan

dan pemecah ombak, namun disisi lain, abrasi setiap waktu datang seperti yang

diungkapan nelayan Sarang seperti yang terulas di atas.

Page 33: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

BAB V

KESIMPULAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil simpulan sebagai

berikut ini;

1. Pantai Sarang tempo dulu adalah area perladangan dengan jarak

antara perumahan dengan laut yaitu kira-kira 50 meter. Namun sekarang bibir

pantai itu tidak lagi berpasir, bibir pantai yang penuh dengan jebakan, dan

indahnya ombak berubah menjadi petanda datangnya marabahaya, yaitu abrasi.

Tidak ada satupun pohon mangrove yang tersisa, semua dibabat habis diganti

dengan pemukiman penduduk dengan pola pemukiman di bibir pantai. Para

nelayan Sarang sedang diceraikan ikan, dan ada pula yang beralih profesi

sebagai penambang pasir laut dengan besar-besaran.

2. Nelayan di sepanjang pantai Sarang berpandangan bahwa abrasi

adalah suatu hal yang biasa, lazim terjadi, dan mereka telah terbiasa akan

abrasi. Abrasi disebabkan oleh adanya gelombang musiman, ombak besar,

angin kencang, dan tidak adanya pengendali. Bagi mereka, abrasi merupakan

sesuatu yang menakutkan dan membuat mereka gelisah. Walaupun demikian

mereka tetap tinggal di bibir pantai. Dengan tinggal di bibir pantai akan

mempermudah mereka dalam menjalankan pekerjaannya sebagai nelayan.

Mereka berpedoman “dimana dia bekerja, di situ dia akan tinggal”, walaupun

mereka berkemampuan (materi) untuk pindah rumah. Mereka juga beranggapan

bahwa banyak anak banyak rezeki.

3. Perilaku pengendalian abrasi nelayan di sepanjang pantai Sarang

dapat dilihat yaitu; membuat tanggul dari karung yang di isi pasir dengan

diletakkan di dekat rumah para nelayan, menumpuk karung berisi pasir di tepi-

tepi pantai sebagai penahan ombak, pembuatan tanggul dari karung pasir

dengan tancapan bambu-bambu sebagai penahannya, membuat tanggul dari

batu-batu yang ditahan dengan tancapan bambu, membuat tanggul terbuat dari

Page 34: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

tumpukan batu besar yang dibentuk menyerupai tebing, dan membiarkan

tumbuh-tumbuhan liar hidup di sekitar tepi pantai.

B. Saran

Penelitian ini hanya bermaksud untuk mengabarkan akan cara pandang dan

perilaku masyarakat pesisir laut bagian timur Rembang, yaitu Sarang. Berdasarkan hasil

temuan di atas, menurut penulis terdapat beberapa masalah yang cukup penting untuk

diperhatikan, baik dalam sudut pandang akademik maupun pratik. Memberi saran akan

fenomena abrasi adalah komplek. Seperti yang diulas pada bab I bahwa fenomena

abrasi tidak hanya dipengaruhi dari satu atau dua faktor, terlebih abrasi telah berinteraksi

dengan masyarakat nelayan. Pada kesempatan ini penulis hanya memberikan isu

akademik dan praktik yang dianggap untuk diperhatikan perihal tentang abrasi: pertama;

penting kiranya mengedepankan pemetaan tata ruang kependudukan di kawasan

kantong pemukiman pesisir, kedua; penting kiranya memperhatikan langkah strategis

untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah lingkungan, bukan sebaliknya,

sebuah umpan ekonomi yang merusak lingkungan.

Page 35: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, Rokhmin. 1998. Kebutuhan Riset Untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Dalam Jurnal pesisir dan lautan: Volume 1, No. 2, 1998. hal: 61

Dahuri et al., 1996; Brown, 1997

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu, 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.

Miles, Mathew B. dan Huberman. 2000. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru (terjemahan: Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta: UI Press.

Moleong, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mujiyani, at al. Penduduk, lingkungan, dan Kemiskinan: Kasus di Minahasa dan Lombok Timur. Dalam http://www.ppk.lipi.go.id/informasi/penelitian/ Dpenelitian_detil2.asp?Vnomo=108. Diunduh pada tanggal 30 Juni 2009.

Rugaya. 2001. Perilaku Ekonomi Masyarakat Nelayan Pulau-Pulai Kecil Di Wilayah Kota Manado. Pemda Kota Manado. Lingkungan Hidup

Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Sosial: Pemikiran Norman K. Denzin dan Egon Guba dan Penerapannya. Yogyakarta. PT. Tiara Wacana.

Samori, Agus. 2001. Peran Tabu dan Sasi dalam Aktifitas Kenelayanan. FISIP. IJPTUNCEN

Syarief, Efrizal. 2001. Pembangunan Kelautan Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Dalam Sumber: Majalah PP\Th 2001\Edisi-25

Tim. 2009. Analisis Kelembagaan Ekonomi yang Dibutuhkan Masyarakat Nelayan di Provinsi Sulawesi Selatan. Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam http://www.smecda.com/kajian/files/kjdaerah/Sulsel_1.htm. Diunduh pada tanggal 30 Juni 2009.

Tim. 2006. Mobilitas Penduduk. Dalam Jurnal Kependudukan Indonesia Vol. I No. 1, 2006

UNESCO. 1993. COASTS : Managing Complex Systems. UNESCO Environment and Developmetn Briefs. Diunduh pada tanggal 30 Juni 2009.

Southern Cross University, 1997. Coastal Tourism: A Manual for Sustainable Development. Department of the Environment. Camberra. Diunduh pada tanggal 30 Juni 2009.

Sulasdi, Widyo Nugroho. 2001. Aspek Geodetik Dalam Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Laut Secara Terpadu. Dalam Jurnal Surveying dan Geodesi, Vol.XI, No.1, Januari 2001 ; hal: 44

Page 36: Cara Pandang Dan Perilaku Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi Abrasi

LAMPIRAN DAFTAR DAN BIODATA INFORMAN/ RESPONDEN

Masrikhin Sukarmi 45 th 29 th Desa Kalipang Bajingmeduro

Kartini

Sukarti 41 th 38 th Desa Kalipang Bajingmeduro

Tidak tersedia Nama Tidak tersedia Umur Karangmangu Alamat

Edi Sarwono Khasanah 47 th 33 th Desa Karangmangu

Bajingmeduro

Mahfudho Shohibul 59 th 40 th Desa Karangmangu

Sarangmeduro

Tidak tersedia Tidak tersediaTidak tersedia Tidak tersediaKarangmangu Sarangmeduro

Jamil Tidak tersedia56 th Tidak tersediaDesa Temperak Sarangmeduro

Syifak Kamsir 50 th 41 th Desa Temperak Desa Temperak

Tarmuji

Maskup 40 th 47 thDesa Temperak Desa Temperak