Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BUNGA RAMPAI
PSIKOLOGI
DALAM MANAJEMEN SDM
DAN
PENGEMBANGAN ORGANISASI
ii
BUNGA RAMPAI
PSIKOLOGI DALAM MANAJEMEN SDM DAN
PENGEMBANGAN ORGANISASI
Editor:
Ferlita Sari & Wustari L. H. Mangundjaya
SWASCITA 2016
iv
BUNGA RAMPAI PSIKOLOGI DALAM MANAJEMEN SDM DAN PENGEMBANGAN ORGANISASI
Editor: Ferlita Sari, Wustari L. Mangundjaya. @2016, Swascita, Jakarta Hak Cipta dilindungi undang-undang Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Swasthi Adi Cita ISBN: 978-602-98886-6-9
Penerbit: PT Swasthi Adi Cita Cover Design: Riyan Tamara Lay Out: PT Radani Tunas Bangsa & PT Swasthi Adi Cita Penerbit: Jl. Malaka Merah 2 No. 8 Pondok Kopi, Duren Sawit Jakarta Timur, 13460 Telp. 021-8602184 Lay Out: PT Radani Tunas Bangsa Plaza 5 Pondok Indah Blok D-18 Jl. Margaguna – Jakarta 12310 Telp. +62-21-726 6651/36 www.radani.co.id
Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, baik sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari Penerbit.
v
KATA PENGANTAR
Buku Bunga Rampai Psikologi dalam Manajemen SDM
dan Pengembangan Organisasi ini diterbitkan untuk
memperingati Ulang Tahun Pertama IOC (Industrial
Organizational Club), adalah merupakan buku rangkuman
dari artikel hasil presentasi dan diskusi berdasarkan forum
Sharing Learning & Networking (SLN), yang telah dilakukan
sejak bulan Februari 2016 sampai dengan bulan November
2016. Buku rangkuman hasil SLN ini rencananya akan
diterbitkan setiap tahun dengan tema dan topik bahasan yang
berbeda-beda.
Untuk memperkaya bahan dari setiap topik, maka
dalam buku ini pada setiap bab akan terdiri dari 3 (tiga)
bagian, yaitu: 1) Artikel yang telah dibahas pada forum SLN;
2) Contoh kasus mengenai topik bahasan, yang merupakan
best practices dari para praktisi psikologi industri dan
organisasi, baik pada organisasi profit maupun organisasi
non-profit; dan 3) Konsep, teori dan pendekatan yang
mendasari topik bahasan.
Seperti disampaikan di atas, buku ini adalah
merupakan edisi perdana yang diharapkan dapat diterbitkan
pula edisi-edisi selanjutnya. Untuk itu, dengan persiapan
yang sangat singkat, buku ini tentunya tidak luput dari
berbagai kekurangan, dan kami sangat berterima kasih bila
pembaca dapat memberikan umpan balik untuk membuat
buku ini menjadi lebih baik. Terlepas dari adanya
kekurangan, kami berharap semoga buku ini dapat sedikit
memberikan kontribusi pada pengembangan Psikologi
vi
Industri dan Organisasi di Indonesia, serta dapat digunakan
bagi mahasiswa, pebisnis dan akademisi. Kami juga berharap,
untuk edisi mendatang semakin banyak dari para anggota
IOC yang ikut berpartisipasi pada penulisan buku.
Jakarta, 17 Desember 2016
Pengurus IOC
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa, buku Bunga Rampai Psikologi dalam Manajemen
SDM dan Pengembangan Organisasi dapat diterbitkan sesuai
dengan rencana, dan dalam waktu yang sangat singkat pada
proses penulisannya. Hal ini tidak terlepas dari peran serta
seluruh pemangku kepentingan, baik anggota IOC (Industrial
and Organizational Club) selaku editor dan penulis, sponsor
yang membantu dalam pembuatan lay out, desain serta
semua perusahaan yang terlibat pada waktu presentasi pada
forum SLN (Sharing, Learning, Networking) IOC.
Pada kesempatan ini pertama-tama kami ingin
mengucapkan terima kasih pada Ibu Ferlita dan Ibu Wustari
L. H. Mangundjaya yang telah menyempatkan waktu dan
tenaga untuk menjadi editor buku ini, serta dengan sabar
menagih artikel dari para penulis. Tanpa adanya kontribusi
dari beliau berdua maka buku ini tidak akan selesai sesuai
dengan rencana. Selain itu, ucapan terima kasih ingin kami
sampaikan pada Ibu Ria Sulistyawati yang membantu dalam
pembuatan lay out dan desain buku ini, serta untuk PT
Swasthi Adi Cita khususnya Bapak Hanartono yang telah
membantu mengedit dan menyelaraskan buku ini. Terima
kasih juga kami sampaikan kepada Bapak Riyan Tamara yang
telah mendesain berbagai poster kegiatan SLN dan cover
buku ini.
viii
Buku ini juga tidak akan selesai tanpa adanya
kontribusi dari para pembicara pada waktu SLN, yaitu: Bapak
Effendi Ibnoe, Ibu Ripy Mangkoesoebroto, Bapak Yunus
Triyonggo, Bapak Joris de Fretes, Bapak P.M. Susbandono,
Bapak Isdar Andre Marwan, Bapak Arbono Lasmahadi, Ibu
Niken Ardiyanti, Ibu Andayani Budi Lestari, Ibu Mira
Anggraini, dan Bapak Naufal Mahfudz, untuk itu kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu pembicara
SLN. Pada kesempatan ini pula, ucapan terima kasih kami
sampaikan pada para kontributor tulisan ini, yang
merupakan anggota IOC yang telah memberikan waktu dan
tenaganya dalam penyelesaian buku ini, mereka adalah: Ibu
Tuti Indrawati, Bapak Sulistijono, Bapak Handriatno Waseso,
Ibu Aldira Gusana Meyer, Bapak Irwan Dewanto, Ibu Yodi
Donatrin, Bapak Sandi Kartasasmita, Ibu Rostiana, Bapak
Achmad Basari, Ibu Wustari L. H. Mangundjaya, Ibu Maya Sita,
Ibu Eka Shinta, Ibu Maharsi Anindyajati, dan Bapak Fajar
Wibisono.
Ucapan terima kasih yang dalam juga kami sampaikan
pada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Ibu Dr.
Tjut Rifameutia Umar Ali, M.A., Psikolog, yang telah berkenan
untuk menulis kata sambutan pada buku ini. Terima kasih
yang tulus juga kami sampaikan pada seluruh sponsor pada
acara Ulang Tahun IOC sekaligus peluncuran buku ini yaitu:
Bank Bukopin, khususnya Bapak Hari Wurianto dan Ibu
Maya Sita; PT Frisian Flag, khususnya pada Ibu Sri Megawati
dan Ibu Ningsih; BPJS Kesehatan, khususnya Ibu Andayani
Budi Lestari; BPJS Ketenagakerjaan, khususnya Bapak
Naufal Mahfudz; PT Semen Padang, khususnya Bapak Benny
ix
Wendry dan Ibu Endang Persitarini; PT Intipesan,
khususnya Bapak Kus Heryuwono; serta PT Radani Tunas
Bangsa khususnya Ibu Hanny Muchtar Darta; serta berbagai
kontributor lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu
persatu. Dukungan dari Ibu dan Bapak semua sangat
berperan atas terlaksananya penerbitan buku ini.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan pada
seluruh panitia dan pengurus Anniversary IOC yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu, serta seluruh anggota IOC
yang dengan penuh antusias mendukung kegiatan ini dengan
sepenuh hati. Tanpa adanya partisipasi, kontribusi, dan
bantuan dari semua anggota IOC, mustahil rasanya buku ini
akan selesai sesuai dengan rencana. Bersama dan bersatu kita
bisa.
Jakarta, 17 Desember 2016.
Pengurus IOC
xi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL..................................... xiii
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
GLOBALISASI ............................................................................................... 7
Globalisasi: Tantangan dan Peluang ............................................ 9
Globalisasi: Tantangan dan Kiat Mengatasinya ................... 17
Globalisasi dan Psikologi: Tantangan dan Peluang ............ 23
PERILAKU DIGITAL: Sebuah Tantangan ...................................... 31
Transformasi Digital di Indosat Ooredoo ............................... 33
How We Survive in Digital Era ..................................................... 43
Deteksi Dini Stres Melalui Analisis Media Sosial ................. 53
KOMPETENSI DAN STANDAR KOMPETENSI ............................. 61
Standar Kompetensi Praktisi MSDM di Indonesia .............. 63
Pengukuran Kompetensi dan Dampaknya ............................ 73
Sebuah Tinjauan Teoritis Tentang Kompetensi .................. 79
HRBP SEBAGAI PENDEKATAN MANAJEMEN ............................ 87
Human Resources Business Partner (HRBP) .......................... 89
HRBP: Apa Itu? ................................................................................ 101
HR Transformation di Unilever Indonesia ........................... 111
HRBP: Suatu Tinjauan Psikologis ............................................ 119
EMPLOYEE ENGAGEMENT DI TEMPAT KERJA ....................... 127
Employee Well-being dan Employee Engagement ............ 129
xii
Motivation, Engagement and Well-being .............................. 135
Well-being dan Engagement: Tinjauan Psikologis ........... 145
PSIKOLOGI DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL ....................... 157
Peran Psikologi dalam Hubungan Industrial ..................... 159
Psikologi Dalam Penanganan Perselisihan ......................... 173
Pengelolaan Konflik Dalam Hubungan Industrial ........... 183
MEMBANGUN TIM GENERASI MILENIAL ................................. 193
Generasi Y: Bagaimana Mengelola Strategi ........................ 195
Generasi Y: Pengelolaan di Danone ........................................ 209
Generasi Y: Suatu Pendekatan Psikologis ........................... 219
TRANSFORMASI & PERUBAHAN ORGANISASI ...................... 227
Transformasi BPJS Kesehatan .................................................. 229
Transformasi BPJS Ketenagakerjaan ..................................... 241
Transformasi dari A ke Z ............................................................ 255
Perubahan dan Pengembangan Organisasi ........................ 267
PENUTUP ................................................................................................. 279
GLOSARIUM ............................................................................................ 281
PROFIL PENULIS dan EDITOR ....................................................... 289
xiii
DAFTAR GAMBAR DAN DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Pemetaan Kompetensi RMCS ...................................... 66
Gambar 2: Konten SKKNI MSDM ..................................................... 67
Gambar 3: Strategi Pengembangan Kompetensi ...................... 70
Gambar 4: Development Model .......................................................... 71
Gambar 5: Thinking Preference ...................................................... 138
Gambar 6: Nilai Engagement Karyawan .................................... 139
Gambar 7: Identity Compass ............................................................ 140
Gambar 8: Identity Compass Karyawan A .................................. 141
Gambar 9: Nilai Engagement Karyawan A ................................ 141
Gambar 10: Nilai Engagement Karyawan B ............................. 142
Gambar 11: Identity Compass Karyawan C ............................... 143
Gambar 12: Force-Field Analysis .................................................... 271
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Reaksi Eksklusionari dan Reaksi Integratif ............... 27
Tabel 2: Model Perubahan .................................................................. 37
Tabel 3: Komposisi Fungsi Dasar/Unit Kompetensi ............... 69
Tabel 4: Primary Mechanism ........................................................... 262
Tabel 5: Secondary Mechanism ...................................................... 263
1
PENDAHULUAN
2
Pengantar
Psikologi adalah suatu ilmu yang mempelajari
mengenai perilaku manusia. Bila hal ini dihubungkan dengan
industri dan organisasi, maka psikologi adalah suatu ilmu
yang mempelajari mengenai perilaku manusia dalam dunia
bisnis, industri dan organisasi. Buku ini adalah merupakan
kumpulan dari berbagai artikel mengenai manajemen
sumber daya manusia dan pengembangan organisasi yang
dilihat serta dianalisis tidak hanya dari perspektif
manajemen dan bisnis, tetapi juga dari sudut ilmu psikologi.
Artikel yang terdapat dalam buku ini adalah mengacu pada
pembahasan yang dilakukan pada forum SLN (Sharing,
Learning dan Networking) yang dilakukan secara rutin oleh
IOC (Industrial & Organizational Club) yaitu merupakan
Perkumpulan Praktisi Psikologi yang bergerak di bidang
industri, manajemen sumber daya manusia, dan
pengembangan organisasi.
Topik Bahasan.
Dalam buku ini dibahas pula konsep teori yang
mendasari analisis secara psikologis dan manajemen, serta
kasus-kasus yang terkait. yaitu:
Mengenai globalisasi, tantangan dan peluang, bahasannya
meliputi apa yang dihadapi praktisi sumber daya manusia
dan organisasi, dan juga individu pada umumnya pada era
globalisasi. Globalisasi pada umumnya ditandai dengan
adanya kondisi VUCA (Vulnerability, Uncertainty,
Complexity and Ambiguity) yang membuat individu dan
organisasi harus dapat menyiasatinya, karena adanya
globalisasi akan mengakibatkan kondisi yang tidak jelas
3
yang akan dapat memunculkan ketidak nyamanan dan
stres pada diri individu. Salah satu persyaratan dan kiat
yang dibahas mengenai globalisasi, adalah diperlukannya
pemahaman sikap, pengetahuan dan keterampilan
mengenai perkembangan teknologi, khususnya
digitalisasi.
Bahasan berikutnya adalah mengenai Perilaku Digital
(Digital Behavior), yaitu bagaimana organisasi melakukan
transformasi menjadi organisasi digital, dan bagaimana
mempersiapkan diri untuk menghadapi era digitalisasi.
Bahasan selanjutnya adalah mengenai kondisi lingkungan
yang berubah secara terus-menerus yang membuat
organisasi memerlukan karyawan yang kompeten dalam
mengerjakan tugas-tugasnya untuk dapat bersaing.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, adanya uraian
mengenai persyaratan kompetensi dan perlu dimilikinya
Standarisasi Kompetensi Karyawan Nasional Indonesia
(SKKNI).
Selanjutnya dibahas mengenai perubahan dan persaingan
yang semakin ketat di era globalisasi, juga menuntut
penanganan sumber daya manusia dengan cara yang
berbeda. Para praktisi yang menangani sumber daya
manusia di organisasinya tidak lagi hanya berperan
sebagai seorang administrator, ataupun sebagai ahli di
bidang sumber daya manusia, tetapi juga harus berperan
sebagai sahabat karyawan (employee champion) maupun
sebagai agen perubahan (change agent). Untuk dapat
berperan secara optimal, maka praktisi sumber daya
manusia harus mampu berperan sebagai Human Resource
4
Business Partner, dengan perkataan lain harus dapat
berperan sebagai mitra bisnis yang strategis dalam
mengenbangkan sumber daya manusia dan perusahaan.
Bahasan berikut adalah mengenai lingkungan organisasi
yang selalu berubah termasuk persaingan. Organisasi
untuk tetap eksis bahkan berkembang secara optimal,
maka dibahas mengenai karyawan yang loyal, serta
memiliki kelekatan yang tinggi terhadap organisasi
(employee engagement). Untuk itu, berbagai cara
dilakukan dalam rangka mengembangkan kelekatan
karyawan tersebut, antara lain dengan memberikan
berbagai hal yang akan memunculkan kesejahteraan
karyawan (employee well-being), baik sejahtera secara
fisik maupun mental. Dengan adanya karyawan yang
merasa sejahtera, maka diharapkan karyawan akan
bekerja dengan lebih gembira, dan akan memiliki
kelekatan terhadap organisasi yang pada akhirnya akan
memberikan kemampuan terbaik yang mereka miliki.
Diskusi mengenai penerapan best practice di organisasi,
maupun konsep psikologis, dan kasus yang ada di
organisasi.
Bahasan berikutnya adalah mengenai praktisi manajemen
sumber daya manusia yang harus mampu mengelola
karyawan dengan baik. Dengan adanya kebebasan
berserikat, dan menyuarakan pendapat, maka karyawan
juga lebih berani mengekspresikan keinginan mereka.
Selain itu. Para praktisi manajemen sumber daya manusia
dituntut untuk mampu menjalin hubungan industrial yang
baik. Dalam hal ini, dibahas juga penerapan konsep dan
5
pendekatan psikologi dalam menjalin hubungan
industrial.
Bahasan selanjutnya mengenai situasi kondisi dan
lingkungan di masa yang akan datang tidak hanya diwarnai
oleh kondisi persaingan yang ketat serta perubahan yang
terus menerus, tetapi juga di warnai oleh karakteristik
karyawan yang berbeda. Mayoritas karyawan yang bekerja
di organisasi tidak akan lama lagi akan diwarnai oleh
Generasi Millineum (Generasi Y), dimana generasi ini
memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan
generasi-generasi sebelumnya. Untuk itu, diperlukan
pemahaman mengenai karakteristik dari Generasi Y serta
kiat-kiat untuk dapat membuat mereka menjadi karyawan
yang loyal, tangguh dan kompeten. Sebagai penutup, topik
yang dibahas pada buku ini adalah Transformasi
Organisasi, yaitu mengenai bagaimana sebuah organisasi
berubah dan apa saja tantangan yang dihadapi serta kiat-
kiat yang digunakan untuk mencapai tujuan perubahan.
Selain itu, pada bagian ini dibahas pula dengan hasil riset
yang membuktikan bahwa tidak semua program
perubahan organisasi dapat berlangsung dengan mulus
dan optimal.
Buku ini adalah edisi perdana Perkumpulan Praktisi
Psikologi Organisasi dan Industri atau biasa disebut IOC
(Industrial and Organizational Club) yang diharapkan akan
dapat dibuat setiap tahun secara kontinyu yang merupakan
kumpulan artikel hasil dari forum komunikasi Sharing,
Learning dan Networking.
---ooOoo---
6
Halaman ini sengaja dikosongkan
7
Globalisasi
8
9
Globalisasi:
Tantangan dan Peluang
Disampaikan pada Sharing Learning & Networking 1,
Februari 2016
Dipresentasikan oleh:
Effendi Ibnoe
Ditulis oleh:
Wustari L. H. Mangundjaya
10
Pengantar
Globalisasi mempengaruhi kondisi dunia, industri
maupun karakteristik individu. Pada saat ini dunia dapat
dikatakan berada pada kondisi yang disebut dengan VUCA
(Volatility-Uncertainty-Complexity-Ambiguity), atau dapat
dikatakan sebagai dunia yang penuh ketidak pastian,
kompleks, tidak jelas, sangat mudah berubah dan tidak stabil.
Selain adanya karakteristik VUCA, terdapat pula karakteristik
lain yaitu: batasan geografi akan sirna, manusia akan
berkumpul dan berkerja di kota-kota besar, dan kota-kota
besar itu akan menjadi banyak, tumbuh setiap tahun, serta
terdapat kemajuan dunia Teknologi Informasi termasuk
didalamnya digitalisasi. Dengan perkataan lain digitalisasi
tidak terelakkan.
Kondisi ini menuntut adanya berbagai perubahan baik
pada diri individu maupun pada berbagai organisasi dalam
rangka menghadapi karakteristik globalisasi. Selain itu, peran
Manajemen Sumber Daya Manusia atau ada yang
menyebutnya sebagai Human Capital atau Human Energy
sangat penting. Dalam hal ini pemimpin atau manajemen SDM
harus mampu mengembangkan SDM yang terdapat di
organisasinya seoptimal mungkin.
Kiat-kiat Menghadapi Globalisasi
Secara umum, untuk menghadapi globalisasi terdapat
kiat-kiat yang dapat dilakukan baik oleh manajemen/
pemimpin SDM maupun individu/karyawan.
A. Kiat-kiat yang dapat dilakukan oleh manajemen SDM.
Untuk menghadapi kondisi globalisasi, maka seorang
pemimpin manajemen Sumber Daya manusia harus
11
menjadi pendorong (driver) dalam pengembangan SDM,
termasuk, didalamnya melakukan transformasi mengenai
fungs-fungsi SDM, yang juga dituangkan kedalam
tindakan strategis (strategic actions), antara lain sebagai
berikut:
1) Implementasi konsep 4E.
Konsep 4E yang dinyatakan oleh Jack Welch (2004,
2005), menyatakan bahwa seorang pemimpin yang
baik harus dapat menerapkan 4E yang terdiri dari: a)
Energy, yaitu adanya energi yang kuat, serta semangat
yang tinggi dalam melakukan tugas-tugasnya, b)
Energized, yaitu pemimpin harus mampu
memunculkan inovasi pada bawahannya dengan cara
memberdayakan mereka, tetapi tetap mengambil
risiko bila terjadi kegagalan, c) Edge, yaitu adanya
kepercayaan diri untuk mengambil keputusan dan
menyatakan ya atau tidak atas sesuatu hal, d)
Execution, adalah eksekusi atau implementasi dari
perencanaan yang telah dibuat. Dalam hal ini, proses
eksekusi adalah penting, karena ini merupakan
tindakan nyata. Manajemen harus memiliki
keberanian mengambil keputusan dan melakukan
eksekusi dengan baik yang disertai dengan tindakan
yang tepat.
2) Memiliki Visi dan Misi.
Setiap perusahaan harus mempunyai Visi & Misi
perusahaan secara keseluruhan, tetapi divisi SDM
harus mempunyai visi sendiri.
12
Dalam hal ini visi dari manajemen SDM adalah
membangun talenta, serta mengembangkan budaya
dan kapabilitas organisasi.
3) Memberikan pengaruh nyata pada bisnis.
Dalam hal ini, pemimpin atau manajemen SDM harus
dapat memberikan pengaruh dan memberikan
kontribusi pada bisnis secara nyata. Perencanaan
harus dapat diimplementasikan pada kegiatan nyata,
yang dapat dilihat dan diukur dampaknya pada bisnis
secara keseluruhan.
4) Meningkatkan daya saing para tenaga kerja didalam
perusahaan.
Pemimpin dan manajemen SDM harus mengupayakan
supaya para tenaga kerja/karyawan yang ada di
organisasi dapat berkembang secara optimal,
sehingga daya saing mereka akan lebih meningkat.
Caranya antara lain dengan memberikan Coaching,
Training, Mentoring maupun konseling bagi karyawan
serta melakukan pemberdayaan secara optimal.
5) Manajemen SDM secara aktif harus membantu proses
internalisasi nilai-nilai budaya organisasi.
Nilai-nilai dan budaya organisasi penting tidak hanya
bagi organisasi tetapi juga bagi para karyawan, karena
nilai-nilai dan budaya organisasi adalah merupakan
penuntun sikap dan perilaku karyawan.
6) Setiap pemimpin di perusahaan perlu
mentransformasikan dirinya menjadi Master Talenta
(Talent Masters).
13
Manajemen talenta, dalam arti mengelola talenta yang
dimiliki oleh karyawan maupun mengembangkan
secara optimal karyawan yang memiliki talenta yang
tinggi adalah merupakan tugas dari seorang
pemimpin. Terkait dengan hal ini, seorang Master
Talenta (Talent Masters) harus secara mumpuni dalam
menerapkan “The Five Pillars of Talent Management”,
yaitu: a) Identifikasi talenta yang memiliki potensi
yang tinggi, misalnya dengan melihat track-record
kinerja, maupun menggunakan berbagai asesmen
karyawan, b) Membuat program kaderisasi dan
pengembangannya secara rapi, terutama untuk posisi-
posisi kunci atau kritikal, c) Melakukan program-
program pengembangan kepemimpinan, d)
Menerapkan atau bertingkah laku sesuai dengan nilai-
nilai organisasi, e) Melakukan berbagai program yang
sifatnya adalah mempertahankan pegawai (retention
program), misalnya: melakukan kegiatan Coffee
Morning with the CEO, Informal Chat with CHEO,
Town hall meetings, dan berbagai kegiatan lainnya.
B. Kiat-kiat individu menghadapi globalisasi.
Untuk menghadapi tantangan globalisasi, maka setiap
orang harus dapat memiliki karakteristik dan
melakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Menguasai bahasa Asing.
Bila dimungkinkan tidak hanya satu bahasa asing,
Penguasaan bahasa asing adalah merupakan suatu
keharusan pada masa globalisasi, seorang karyawan
paling sedikit hars menguasai bahasa Inggris, dan bila
14
dimungkinkan menguasai 1 (satu) bahasa asing
lainnya, misalnya bahasa Mandarin atau bahasa
Jepang.
2) Memiliki rasa percaya diri.
Setiap individu/karyawan harus memiliki percaya diri
untuk berada setara dengan pemimpinnya, dengan
para pemimpin bisnis lainnya, sehingga dapat setara
dan diperhitungkan oleh para pengambil keputusan.
3) Mau belajar dan mengembangkan diri.
Setiap orang untuk dapat maju dan berkembang, maka
ia harus mau dan mampu mengembangkan diri,
dengan cara mau mempelajari hal-hal baru. Salah satu
hal yang harus dipelajari disini adalah digitalisasi.
Digitalisasi pada masa globalisasi adalah sangat
penting dan kemampuannya menjadi salah satu
kemampuan kiritis yang harus dimiliki seseorang.
4) Memiliki keterampilan kepekaan sosial (social
sensitivity skills).
Keterampilan membangun jejaring sangat diperlukan,
karena semua hal selalu dimulai dengan manusia,
untuk itu keterampilan yang mempunya nilai yang
tinggi dan diperlukan dimasa mendatang adalah
keterampilan kepekaan sosial (Social Sensitivity skills).
Peran Psikologi
Salah satu keuntungan yang dimiliki oleh psikolog
maupun para praktisi yang memiliki latar belakang psikologi
adalah luwesnya hubungan interpersonal dan secara umum
memiliki kematangan emosi (EQ) yang baik. Apalagi sesuai
dengan pembahasan sebelumnya yang menyatakan bahwa
15
salah satu keterampilan yang perlu dimiliki adalah
keterampilan kepekaan sosial, sehingga dengan adanya
kematangan emosi diharapkan mampu membantu para
praktisi yang memiliki latar belakang psikologi untuk
membangun jejaring dan membagun hubungan interpersonal
yang baik dengan orang lain.
Penutup
Dalam menghadapi era globalisasi yang yang belum
jelas karakteristik, serta kompleksitasnya dan penuh
ketidakpastian, maka setiap organisasi dan setiap individu
harus mampu mengembangkan diri secara optimal utuk
menghadapi era tersebut. Dalam hal ini, seseorang harus
dapat berkompetisi dengan orang lain, tetapi disisi lain,
kolaborasi juga menjadi hal yang penting. Terkait dengan hal
ini, pemimpin dalam manajemen SDM harus mampu
membangun nilai-nilai, budaya organisasi dan dalam waktu
yang sama juga merubah mindset individu untuk mampu
menghadapi tantangan dan perubahan.
Daftar Pustaka
Welch, J & Welch, S (2005), Winning.
Welch, J. (2004). What makes a good leader?,
http://www.whatmakesagoodleader.com/ Jack-Welch.html.
16
Halaman ini sengaja dikosongkan
17
Globalisasi: Tantangan dan
Kiat Mengatasinya
(Studi kasus pada sebuah perusahaan kontraktor XYZ)
18
Menghadapi era globalisasi banyak organisasi yang
mulai menyiasatinya dengan mempersiapkan para karyawan
untuk dapat menghadapi persaingan yang ada. Mulai dengan
membangun kompetensi karyawan yang dapat mendukung
visi dan misi organisasi terkait dengan tantangan globalisasi
hingga program pengembangan kompetensi yang dapat
mendukung kesiapan karyawan dalam menghadapi
persaingan yang ada.
Pada pembahasan kali ini, saya akan mengambil
contoh bagaimana salah satu perusahaan kontraktor yang
ada di Indonesia mulai mempersiapkan karyawannya agar
mampu menjawab tantangan yang ada di era globalisasi ini.
Perusahaan ini adalah perusahaan konstruksi yang berskala
ineternasional, dalam arti telah memperoleh proyek-proyek
yang berasal dari mancanegara dan dikerjakan di
mancanegara.
Persiapan Menuju Era Globalisasi
PT XYZ memiliki standar prosedur operasi (SOP) yang
sudah baku dan efektif. Pada SOP tersebut dituliskan proses
yang ada sejak melakukan proses rekrutmen hingga
pengembangan pegawai, semua ini akan mengacu pada
standar yang sudah ditetapkan. Bila dibandingkan pada
periode sebelumnya, maka yang sebelumnya nilai TOEFL
tidak menjadi acuan standar proses seleksi sejak ditetapkan
menjadi Perusahaan yang ‘go international’ maka nilai TOEFL
minimum 550 menjadi salah satu kualifikasi yang ditetapkan
untuk diterima sebagai karyawan. Artinya kemampuan
berbahasa Inggris menjadi salah satu kualifikasi untuk dapat
bersaing secara international. Sebagai perusahaan yang
19
bergerak di bidang konstruksi, sebagian besar karyawan di
rekrut dari berbagai pergtruan tinggi negeri di Indonesia,
dimana latar belakang mereka juga sebagaian besar berasal
dari daerah atau kota kecil. Mampu berbahasa Inggris
menjadi salah satu tantangan yang yang cukup besar. Banyak
karyawan yang merasa tidak siap saat akan ditugaskan di luar
negeri karena perusahaan memenangkan tender. Untuk
mengatasi ini mau tidak mau Departemen HR perlu
menyiasatinya agar karyawan merasa lebih siap dan percaya
diri. Ketrbatasan kemapuan dalam berbahas Inggris biasanya
menjadi isu yang paling sering muncul, karena keterbatasan
ini bisa membuat mereka kurang percaya diri dan membuat
mereka cenderung menghindar untuk berkomunikasi. Hal ini
mengakbitkan perusahaan sering berada di pihak yang
dirugikan bila ada perbedaan pendapat dalam penyelesaian
tugas.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka selain
menetapkan standar penguasaan TOEFL bagi karyawan baru,
Departemen HR perlu juga mempersiapkan program-
program yang dapat menstimulasi mereka untukbisa lebih
fasih dalam berbahasa Inggris. Lebih lanjut, ditetapkan juga
aturan yang mengharuskan setiap karyawan untuk
berbahasa Inggris pada hari Jum’at dan mendatangkan
seorang guru Bahasa Inggris yang berkeliling dari satu divisi
ke divisi lain mengajak para karyawan untuk berkomunikasi.
Pendekatan ini diharapkan mampu melatih spontitas
karyawan dalam berbahasa Inggris.
Mengingat atasan memiliki peran yang penting untuk
membangun kepercayaan diri karyawan, maka para atasan
20
perlu dipersiapkan untuk memilki keterampilan dalam
mengembangkan bawahan. Salah satu program yang
disepakati manajemen (dalam hal ini di prakarsai oleh
Direktur HR) untuk diterapkan serentak dengan segera
adalah pelatihan Coaching dan Mentoring. Seluruh tingkat
Manager dan GM harus mengikutinya, agar mereka sebagai
atasan memilki keterampilan untuk mengenal kemampuan
bawahan dan tahu cara-cara dalam mengarahkannya.
Dampak langsung yang dirasakan dari proses pelatihan ini
adalah atasan terbiasa untuk berkomunikasi dengan
bawahan terutama terkait dengan kinerja. Atasan menjadi
memilki panduan dalam membicarakan kinerja kepada
bawahan untuk mencapai perkembangan yang optimal
terkait dengan potensi dan peluang yang ada.
Dalam komunikasi dengan bawahan atasan juga
memilki kesempatan untuk mensosialisasikan visi misi
organisasi secara langsung kepada tim kerjanya. Salah satu
materi program pengembangan keterampilan Coaching
mentoring yang diberikan kepada para Manager adalah
bagaimana mengenal Tipe Kepribadian berdasarkan Myers
Briggs Type Indicator (MBTI). Dalam prakteknya hal ini akan
memudahkan para atasan untuk mengenal bawahan secara
pribadi sehinga memudahkan dalam berkomunikasi. Kunci
keberhasilan dalam poses Coaching dan Mentoring adalah
komunikasi yang efektif. Dengan mengenal Tipe Pribadi
atasan bisa mengenal gaya komunikasi yang paling tepat
untuk digunakan dalam menghadapi masing-masing
bawahannya. Atasan juga menjadi lebih peka terhadap
kondisi bawahan. Keterampilan para atasan mengenal orang
21
lain juga bisa ditularkan secara langsung kepada bawahan
pada sesi Coaching & Mentoring.
Disamping itu, untuk mempersiapkan karyawan
beradaptasi dengan tuntutan budaya yang berbeda jika
mereka ditempatkan di proyek-proyek yang berada di luar
negeri, maka perusahaan mendatangkan nara sumber yang
memiliki kompetensi untuk berbagi pengetahuan mengenai
‘lintas budaya’. Kegiatan ini bertujuan supaya masing-masing
karyawan yang ditempatkan memilki gambaran yang lebih
jelas dan mampu mempersiapkan diri sesuai kebutuhan
masing-masing. Tim HR juga mempersiapkan buku saku
mengenai berbagai tips/kiat-kiat yang diberikan kepada
masing-masing karyawan sesuai negara tujuan masing-
masing.
Selain itu, yang lebih penting juga adalah adanya
persiapan mengenai kematangan diri seseorang,
kemandirian dan kompetensi, yang akan mempengaruhi rasa
percaya diri para karyawan dalam melaksanakan tugas-
tugasnya di luar negeri, yang meenuntut kompetensi yang
berbeda dari apa yang telah dimiliki oleh para karyawan bila
mereka ditempatkan di dalam negeri.
Kasus tersebut diatas menunjukkan bahwa pada era
globalisasi, disukai maupun tidak disukai, karyawan dan
organisasi harus siap dalam menghadapinya, beragai hal yang
dapat dilakukan dalam usaha mempersiapkan hal tersebut,
dan dalam hal ini dukungan dari manajemen puncak sangat
penting bagi keberhasilan persiapan menghadapi globalisasi.
---ooOoo---
22
23
Globalisasi dan Psikologi:
Tantangan dan Peluang
(Suatu Tinjauan Psikologis)
Oleh:
Wustari L. H. Mangundjaya
24
Pengantar
Globalisasi mempengaruhi berbagai hal antara lain
sikap kerja; hubungan interpersonal; gaya bekerja; nilai-nilai;
karakteristik kepribadian seseorang atau masyarakat; tata
nilai di organisasi, masyarakat dan bangsa. Pada saat ini
hampir tiap hari merupakan hari global, setiap kemajuan
merupakan kemajuan dunia, setiap permasalahan
merupakan permasalahan dunia (Belokar, 2013). Sementara
itu, globalisasi yang merupakan suatu proses interaksi dan
integrasi dari manusia, perusahaan, dan pemerintahan dari
berbagai bangsa (Leung, Qiu dan Chiu, 2013), tidak dapat
berhenti dan merupakan kekuatan yang besar yang
berdampak tidak hanya pada kehidupan sehari-hari, tetapi
juga pada hubungan internasional. Salah satu faktor utama
dari globalisasi adalah yang berhubungan dengan budaya.
Sementara itu, perilaku global (global behavior) adalah suatu
perilaku dari seseorang atau kelompok yang akan
mempercepat proses globalisasi. Perilaku tersebut bertujuan
untuk menciptakan perilaku global (Belokar, 2013). Disisi
lain, dengan adanya globalisasi akan memunculkan kondisi
VUCA (Volatily, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity), yaitu
adanya ketidakjelasan dan ketidakpastian yang dapat
memunculkan perasaan cemas.
Dampak Globalisasi
Globalisasi dapat memberikan dampak positif atau
negatif, dampak tersebut antara lain adalah:
1. Globalisasi akan berdampak pada berkembangnya
warganegara global (global citizen), yaitu dimana individu
memiliki rasa memiliki terhadap budaya dunia, termasuk
25
di dalamnya kesadaran akan peristiwa, praktek dan gaya
berkomunikasi, dan berbagai informasi yang menjadi
bagian dari budaya global. Bersamaan dengan adanya
identitas global, individu melanjutkan identitas lokal yang
dimilikinya berdasarkan kondisi lokal, tradisi dan budaya
di lingkungan (Arnett, 2002).
2. Globalisasi akan mempengaruhi secara langsung maupun
tidak langsung pada berbagai area kehidupan manusia,
salah satunya adalah karakteristik dari cara kerja
seseorang yang dengan adanya globalisasi sangat
terpengaruh oleh perkembangan teknologi dan
restrukturisasi organisasi (Arnett, 2002).
3. Dengan adanya globalisasi, karakteristik pekerjaan akan
berubah, dan hal ini akan menyebabkan pekerja menjadi
tidak berhubungan secara sosial dan berjuang untuk
dapat mencari arti/nilai dari kehidupannya masing-
masing (Blustein, 2006). Individu dalam hal ini, akan
menjadi individualistis dan memunculkan suatu perasaan
tidak memiliki hubungan dengan yang lain.
Konsekwensi Psikologis dari Globalisasi
Menurut Arnett (2002), konsewensi psikologis utama
dari globalisasi adalah hadirnya transformasi dalam
identitas, dalam arti bagaimana seseorang melihat dirinya
sendiri dalam hubungannya dengan orang lain dan
lingkungan sosial. Dalam hal ini terdapat 4 (empat) isu yang
terkait dengan globalisasi, yaitu:
1) Identitas dua-budaya (bi-cultural identity).
Salah satu konsekwensi psikologis dari globalisasi adalah
adanya identitas dua-budaya, dalam arti sebagian dari
26
identitas seseorang berakar dari budaya lokal, dan
sebagian lainnya adalah berdasarkan atas adanya
kesadaran terhadap hubungannya dengan budaya global.
2) Kebingungan identitas (identity confusion).
Dengan adanya globalisasi, sebagian orang khususnya
para generasi muda memiliki kebingungan mengenai
identitasnya. Hal ini disebabkan oleh karena dengan
berubahnya budaya lokal, maka sebagian generasi muda
di rumahnya masing-masing akan mengalami budaya
yang bukan berakar dari budaya lokal dan juga bukan dari
budaya global.
3) Budaya yang dipilih sendiri (self-selected culture).
Yaitu seseorang yang memilih budayanya sendiri, yang
tidak hanya budaya lokal atau budaya global.
4) Eksplorasi identitas (identity exploration).
Pada masa globalisasi, kegiatan melakukan eksplorasi
terhadap identitas, baik eksplorasi mengenai pekerjaan
dan cinta, memperbesar rentang usia yang tergabung di
dalamnya, sehingga tidak hanya mereka yang berusia 10
sampai dengan 18 tahun, tetapi semakin besar, yaitu pada
rentang 18 sampai dengan 25 tahun. Terkait dengan hal
ini, terlihat bahwa ekonomi global adalah cenderung
berdasarkan atas teknologikal dan informasi, sehingga
latar belakang pendidikan pada para generasi muda
menjadi lebih tinggi.
Sikap Terhadap Globalisasi
Salah satu pertanyaan utama adalah bagaimana
seseorang mengevaluasi konsekwensi dari adanya
globalisasi. Hasil penelitian Kashima dkk (2011, 2012),
27
menunjukkan bahwa globalisasi berdampak positif pada
kompetensi seorang, dan memberikan dampak negatif pada
kehangatan emosi seseorang. Dengan perkataan lain,
meskipun dengan adanya globalisasi, maka terdapat
pengembangan aspek ekonomis (pendapatan) pada diri
sesorang, tetapi disisi lain akan dapat mengganggu hubungan
interpersonal, serta cenderung orang akan menjadi kurang
hangat dalam hubungannya dengan orang lain.
Secara umum terdapat 2 (dua) respon psikologis
terhadap globalisasi (Leung, Qiu & Chiu, 2013), yaitu reaksi
eksklusionary (exclusionary reactions) dan reaksi integratif
(integrative reactions) yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1: Reaksi ekslusionari dan reaksi integratif.
Reaksi Ekslusionary (Exclusionary Reactions)
Reaksi Integratif (Integrative Reactions)
Reaksi emosional berupa rasa takut terhadap kontaminasi budaya
Reaksi yang berorientasi terhadap tujuan dan pemecahan masalah
Cepat, spontan
Lambat, berusaha, berhati-hati.
Persepsi mengenai budaya globalisasi adalah ancaman budaya.
Persepsi mengenai budaya global adalah sumber budaya.
Tingginya keinginan untuk menjadi terkenal
Rendahnya keinginan untuk menjadi terkenal
Pengaruh negatif antar-budaya: rasa iri, takut, marah, rasa jijik, dan kasihan
Pengaruh positif antar-budaya: mengagumi
Reaksi perilaku ekslusionary: isolasi, penolakan, agresi
Reaksi perilaku inklusinary: penerimaan, integrasi, sintesis
28
Reaksi Ekslusionary (Exclusionary Reactions)
Reaksi Integratif (Integrative Reactions)
Menekankan akan kebutuhan untuk mempertahankan peninggalan budaya Kebutuhan akan pengetahuan.
Menekankan pada mindset pembelajaran budaya Kebutuhan akan jawaban yang tepat dan konsensus budaya.
Sumber: Chiu dkk (2011), Toward a social psychology of globalization, Journal of Social Sciences.
Dari Tabel 1 di atas terlihat perbedaan yang jelas
mengenai sikap dan reaksi seseorang terhadap globalisasi,
sehingga hal ini juga akan mempengaruhi perilaku mereka
terhadap kehidupan sehari-hari maupun pekerjaan.
Penutup
Globalisasi merupakan salah satu tantangan utama
pada pengembangan psikologis dari seseorang di abad ke-21.
Sebagai konsekwensi dari globalisasi, terlihat bahwa
tantangan dalam membangun identitas adalah jauh lebih
tinggi dibandingkan pada masa lalu (Arnett, 2002). Identitas
menjadi salah satu fokus sentral dan cenderung merupakan
hasil dari kreasi dan re-kreasi secara kontinyu. Selain itu pula,
masalah budaya dalam arti adanya budaya global, membuat
setiap individu dan organisasi harus menjadi lebih peka dan
toleran terhadap perbedaan. Untuk itu, pemahaman
wawasan lintas budaya perlu lebih diperkuat.
Daftar Pustaka
Arnett, J. J. (2002). The psychology of globalization. American
Psychologist, 57, 774-783.
Belokar, K. A. (2013). Global psychology. Indian Journal of
Health and Wellbeing, 4(3), 679-680.
29
Chiu dkk (2011). Toward a social psychology of globalization,
Journal of Social Sciences, 67, 663-676.
Kashima, Y. dkk (2011). Folk theory of social change. Asian
Journal of Social Psychology, 12, 227-246.
Leung, A., Qiu, L. & Chiu, C. (2013). Psychological Science of
Globalization. Oxford Handbook.
---oooOoo---
30
Halaman ini sengaja dikosongkan
31
PERILAKU DIGITAL:
Sebuah Tantangan
32
33
Transformasi Digital
di Indosat Ooredoo
(Disampaikan pada Forum Sharing, Learning dan Networking
IOC, 19 Maret 2016)
Oleh:
Ripy Mangkoesoebroto
34
Digital. Digital business. Digital Transformation.
Di saat dunia kerja di Indonesia sibuk membahas
pentingnya standarisasi pekerjaan serta dasar pengetahuan
dan ketrampilan yang diperlukan untuk berkinerja, dunia
bergerak dan sudah memasuki era digital. Teknologi digital
menjadikan perubahan bergerak sangat cepat. Tuntutan
pasar pun jadinya mengunggulkan hal yang mudah, cepat,
dan personalized. Selain itu, mulai terkoneksinya informasi
dari beragam titik data dengan adanya Internet of Things, juga
memunculkan fenomena baru yaitu sharing economy. Salah
satu contoh perubahan teknologi yang berdampak terhadap
dunia telekomunikasi adalah munculnya produk-produk
layanan berbasis data seperti video-call dengan berbagai
saluran, Instagram, whattsap, dan lainnya. Produk-produk
Over The Top (OTT) ini sudah pasti akan menggantikan
produk-produk telekomunikasi tradisional seperti sms dan
telepon tradisional bahkan layanan jasa tradisional seperti
iklan, logistik, dan lainnya. Whattsap hanya perlu waktu dua
35
tahun untuk mencapai tingkat produktivitas sms yang
terbentuk dalam kurun dua dekade (The Economist, 2015).
Alibaba Group sama halnya seperti Uber dan AirBnB, mereka
adalah perusahaan digital yang tidak memiliki asetnya
sendiri (taksi, inventaris barang, property) namun merajai
bisnis dibidangnya. Indonesia tidak ketinggalan dalam hal ini,
bahkan merupakan pusat dimana komunikasi melalui
platform digital dilakukan. Saat ini diperkirakan jumlah
netizen (sebutan untuk pengguna internet) Indonesia
mencapai 150 juta di tahun 2016, Negara Indonesia dengan
pengguna twitter ketiga teraktif di dunia ini otomatis menjadi
target bisnis di dunia digital.
Beragam perusahaan dan bidang bisnis menyerukan
pentingnya persiapan menghadapi era digital ini padahal
disrupsi sudah terjadi. Sektor teknologi, media dan
entertainment serta bidang retail berada dipusat disrupsi
digital atau digital vortex (Global Center for Digital Business
Transformation, 2015). Perusahaan yang bergerak di sektor-
sektor ini tentu harus segera mengulas ulang dampak
teknologi serta gaya hidup serta pola interaksi dengan
pelanggan terhadap visi, misi dan strategi bisnis yang ada.
Dalam realita, secara umum perusahaan atau organisasi
merupakan kumpulan resmi (atau dilegalkan) dari seseorang
atau sekelompok orang yang berkegiatan melakukan
produksi atau memberikan jasa kepada pihak lain dengan
tujuan komersial. Sering diacu sebagai salah satu sumber
daya, manusia lah yang menjadi penyelamat, pelaku atau
kebalikannya sebagai korban dan sumber kehancuran
perusahaan atau organisasi tempat dia berada.
36
Pertanyaannya adalah seberapa siap manusia di dalam
organisasi tersebut untuk menyelami era digital dan
mengatasi bahkan melakukan disrupsi digital? Apa yang
dilakukan untuk mengantisipasi dan menguasai kerja di era
baru ini?
Indosat Ooredoo: Perjalanan menjadi perusahaan
telekomunikasi digital terkemuka
Kondisi yang serupa juga dialami oleh PT. Indosat,
Tbk, perusahaan telekomunikasi kedua terbesar di Indonesia
yang beraspirasi menjadi perusahaan telekomunikasi digital
terkemuka di negara ini. Di tahun 2013, fokus bisnis masih
memprioritaskan bagaimana pemasukan melalui
konektivitas suara dan sms dapat ditingkatkan. Pola kerja dan
interaksi yang terjadi di dalam perusahaan juga masih
mengikuti model tradisional dengan banyaknya fungsi-fungsi
yang terpisah dan berjenjang. Lebih dari 80% karyawan
merupakan generasi X, generasi yang mulai mengalami
adanya perubahan teknologi tetapi belum secara otomatis
menguasai medan digital. Indosat Ooredoo menyadari
dampak perubahan teknologi yang semakin lama semakin
cepat serta bagaimana teknologi ke depan termasuk Internet
of Things (IOT) dapat menjadi ancaman sekaligus juga
kesempatan mengembangkan bisnis. Oleh karena itu, pihak
manajemen puncak segera mengkaji ulang visi, misi, strategi
serta nilai-nilai utama perusahaan.
Manajemen puncak juga menyadari bahwa dalam
beragam perubahan ini kunci keberhasilan berada ditangan
pelaku utama yaitu jajaran karyawan sebagai sumber
penggerak bisnis. Oleh karena itu, kajian ulang terhadap
37
proses bisnis, bagaimana interaksi antar lapisan dan fungsi
serta pola kerja menjadi salah satu fokus perubahan di
Indosat Ooredoo, dibawah pengelolaan Group Transformasi
Budaya.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memetakan
area-area perubahan yang memiliki dampak terhadap
kemampuan perusahaan beradaptasi di era digital. Dalam
mengelola perubahan yang perlu dilakukan, selain pemetaan,
perusahaan selalu mengacu kepada konsep-konsep
transformasi budaya dan pengelolaan perubahan (change
management) untuk memastikan bahwa proses yang terjadi
dilakukan secara efektif dan berkesinambungan. Selain itu,
Indosat Ooredoo juga mengacu kepada model perubahan
perusahaan yang diusung oleh Carolyne Taylor (2005) bahwa
perubahan hanya secara efektif terjadi bila secara
keseluruhan tiga elemen yaitu Behavior, System, Symbol
diselaraskan.
Tabel 2: Model Perubahan
Sumber: Taylor, 2005
38
Di tahap awal dari perjalanan transformasi ini,
langkah terpenting adalah menimbulkan kesadaran tentang
perubahan yang tengah terjadi baik di bidang teknologi,
perilaku konsumen, kompetisi dan dunia kerja secara umum
maupun khusus di bidang telekomunikasi. Beragam kegiatan
seperti studi banding, berbagi informasi, diskusi lintas fungsi,
dan salah satu yang paling berdampak adalah simulasi
kehidupan digital mulai dilakukan dari jajaran paling senior
di perusahaan. Fakta yang muncul adalah hampir semua
pemimpin adalah generasi X yang belum tentu sanggup dan
mau menjadi Digital Migrants.
Kondisi ini merupakan satu ancaman bagi
kelangsungan perusahaan. Bagaimana Indosat Ooredoo akan
menjadi perusahaan telekomunikasi terkemuka bila jajaran
pimpinan dan karyawannya tidak menguasai bahkan tidak
menjalankan kehidupan dengan gaya digital? Bagaimana
Indosat Ooredoo akan menjual gaya hidup digital bila para
pelaku bisnisnya tidak mengerti produk digital yang menjadi
pesaing atau kesempatan bisnis serta para generasi Y, digital
natives, yang menjadi sasaran bisnis? Selain itu, semua fungsi
diwajibkan sedikitnya sekali setahun untuk berjualan atau
bertemu dengan pelanggan langsung agar mendapatkan
umpan balik atas apa yang perlu diperbaiki secara internal
agar dapat secara optimal memberikan servis dan produk
terbaik.
Transformasi yang Dilakukan
Berangkat dari kesadaran dan fakta-fakta yang
didapatkan di lapangan, semua kegiatan internal yang terkait
dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan mengenai dunia
39
digital serta bagaimana dapat mengambil kesempatan
berkembang. Apakah kesadaran atas pentingnya mengerti
dan menguasai pola hidup digital sudah cukup untuk
mengambil kesempatan bisnis di era digital ini? Terlepas dari
munculnya kesadaran tersebut, ternyata masih banyak
hambatan dalam perubahan pola pikir, pola kerja dan pola
interaksi antar manusia. Adanya kesenjangan komunikasi
antar jenjang serta antar fungsi dilihat menjadi salah satu
sebab utama.
Untuk mengatasi hal tersebut, kajian menyeluruh dan
perubahan atas struktur dan proses bisnis dilakukan agar
lebih berfokus kepada pelanggan sebagai prioritas,
pengurangan jenjang serta dimunculkannya kelompok-
kelompok proyek strategis yang terdiri dari anggota lintas
fungsi. Interaksi antar jenjang juga lakukan secara lebih
dinamis, dimulai dari jajaran puncak, di mana kesempatan
berkomunikasi informal diadakan secara lebih intensif
seperti townhall, skip-level meetings, Bincang Orang Maju
(BOM), forum komersil, forum HR, dan beragam kegiatan
lintas fungsi. Bahkan kegiatan pembinaan kelompok (team
building) pun dirancang mengikuti pola berpikir tetentu
untuk membiasakan berkarya menggunakan pola pikir
design digital.
Perubahan paling menarik terjadi saat lingkungan
kantor ikut diubah secara fisik. Secara bertahap lantai-lantai
gedung Indosat Ooredoo dirombak menjadi ruang kerja yang
terbuka serta tanpa ruang duduk permanen. Dibongkarnya
ruangan-ruangan para pemimpin menuntut adanya
perubahan perilaku dan sikap para pengguna ruang agar
40
lebih transparan, toleran dan inklusif dalam bekerja.
Kesenjangan antara atasan dan bawahan, serta antar
departemen berkurang sehingga keputusan lebih cepat
dilakukan dan kerja menjadi lebih efektif. Berkurangnya
ruang tertutup juga mengurangi kesempatan orang berdalih
sibuk beraktifitas tetapi tidak efektif dalam bekerja. Dampak
signifikan lainnya adalah meningkatnya daya Tarik Indosat
Ooredoo bagi kandidat generasi Y untuk bergabung, satu
faktor penting bagi perkembangan kolam talenta yang akan
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan di
masa mendatang.
Secara sistem, perubahan paling signifikan adalah
pada sistem manajemen kinerja yang diubah agar semakin
erat mengacu kepada Key Performance Indicator (KPI)
perusahaan serta memasukkan unsur umpan balik pemangku
kepentingan. Perubahan dilakukan dengan malkukan proses
komunikasi yang intensif terkait dengan proses pengkajian
dan perubahan target serta KPI, serta bagaimana
keterkaitannya terhadap manajemen reward serta talenta.
KPI yang jelas terbukti membantu memacu kinerja yang lebih
baik serta obyektivitas atasan dalam menilai tiap individu.
Selanjutnya, mengacu kepada kejelasan KPI, beragam inisiatif
seperti pengelolaan kerja fleksibel di mana kebijakan i-work -
karyawan dapat bekerja di luar lokasi kantor serta dengan
jam bebas dapat dilakukan juga. Perubahan manajemen
kinerja serta beragam inisiatif yang mengacu kepada
pencapaian KPI secara kelanjutan masih mengalami
perubahan agar semakin mudah dengan menggunakan
teknologi digital dan mobile.
41
Digital or Die!
Pemaparan ini hanya dapat menggambarkan secara
sekilas atas perubahan serta proses yang terjadi di belakang
layar di PT Indosat, TBk. Pada akhirnya semua perubahan
hanya dapat berdampak bila dilaksanakan secara terpadu
dan berkesinambungan. Digital touch points yang berperan
dalam pola hidup digital, dari bangun tidur, belajar, berkarya,
bersosialisasi, sampai tidur lagi secara terus menerus harus
dibiasakan menjadi gaya hidup seluruh karyawan dan
bermula dari jajaran puncak. Dengan demikian, jajaran
sumber daya manusia akan lebih mudah mengantisipasi
perubahan yang akan terjadi di era digital ini. Pada akhirnya,
pilihan yang ada hanyalah berubah dan menguasai pola pikir,
karya, hidup digital atau siapa pun akan terpinggirkan di era
digital ini.
Daftar Pustaka
Taylor, C. (2005). Walking the talk, building a culture for
success. Random House: USA.
The Economist (2015). Global Center for Digital Business
Transformation.
---ooOoo---
42
Halaman ini sengaja dikosongkan
43
How We Survive in Digital Era
Oleh:
Sulistijono
44
Masih jelas teringat dalam benak saya ketika saya
masih mengetik alamat dan ucapan lebaran maupun tahun
baru di kartu ucapan kepada para relasi kerja kami dan
menitipkan kartu-kartu ucapan tersebut ke bagian
pengiriman surat di kantor dan di tahun berikutnya sudah
tidak ada tradisi tersebut karena sudah tergantikan oleh
ucapan elektronik melalui layanan pesan singkat (SMS)
telepon selular. Pastinya ini tidak hanya saya saja yang
mengalami, tentunya jutaan orang pengguna telepon selular
akan melakukan hal yang sama dengan apa yang saya
lakukan. Jadi terbayang juga bagaimana nasib PT POS yang
saat itu mendominasi bisnis jasa pengiriman surat. Mungkin
badai bisnis tengah dialami dengan hebat disekitar tahun
1999-2000 an karena adanya pergeseran perilaku pelanggan
dalam hal pengiriman pesan.
Itu yang terjadi dulu.. bagaimana dengan sekarang?
Saya rasa lebih luar biasa lagi. Pada era digital dimana
terdapat perubahan/pergeseran dari industri tradisional ke
industri modern yang berbasis teknologi informasi, pepatah
yang mengatakan bahwa pelanggan adalah raja semakin
terasa kebenarannya. Fenomena transportasi online seperti
Gojek, Grab dan sejenisnya menguatkan kalimat sakti
tersebut. Ya benar pelanggan memang raja. Bagaimana tidak
raja, melalui aplikasi transportasi online ini, pelayanan
dilakukan secara personal, pelanggan tahu harga yang harus
dia bayar dan pelanggan bisa membatalkan kalau tidak sesuai
harapan. Fenomena ini hampir sama dengan Uber dan Airbnb
dimana mobil pribadi dan tempat tinggal pribadi yang jadi
obyeknya. Kesamaan dari ketiga bisnis di atas adalah adanya
45
pembagian ekonomi antara pemilik obyek (motor, mobil,
rumah/kamar) dengan pihak yang membutuhkan (user).
Aplikasi yang mempertemukan mereka. Peran aplikasi ini
sedemikian kuatnya sehingga dengan aplikasi tersebut
seakan-akan setiap orang menjadi terhubung satu sama lain.
Media sosial menjadi pintu pembuka dari berkembangnya
harapan pelanggan terhadap penyedia jasa layanan yang
berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Penyediaan jasa
transportasi (pembelian tiket), pelayanan masyarakat
(aplikasi Qlue di DKI Jakarta), pemantauan kesehatan
individu juga saat ini dapat dilakukan melalui aplikasi online.
Harapan pelanggan terhadap pelayananan begitu cepat dan
pelaku bisnis yang tidak menyesuaikan diri dan berubah
pastinya akan ditinggal oleh pelanggannya.
Dari kondisi di atas pelaku bisnis perlu melakukan
redefinisi terhadap konsep pengembangan bisnisnya. Penulis
buku bernama Jason Jennings & Laurence Haughton di tahun
2002 menulis buku berjudul It’s not the BIG that eat the
SMALL it’s the FAST that eat that SLOW. Pada kondisi saat ini
judul pada buku tersebut menjadi sangat relevan. Kecepatan
menjadi faktor utama dalam menentukan keberhasilan suatu
pelaku bisnis. Kecepatan apa saja yang diharapkan? Jason
Jennings & Laurence Haughton menyebutkan adanya 4
kecepatan yang ditempatkan sebagai hal yang sifatnya
kompetitif dalam bisnis yaitu, berpikir cepat, pengambilan
keputusan yang cepat, masuk ke pasar lebih cepat
dibandingkan pesaing dan tetap mempertahankan kecepatan
tersebut.
46
Prinsip-prinsip kecepatan di atas sepertinya sangat
dipahami oleh Samsung yang saat ini dikenal dengan
kecepatannya dalam inovasi. Samsung di industri
telekomunikasi dinilai cepat dalam melakukan perubahan
atau inovasi produk. Bahkan ketika adanya produknya yang
gagal (Samsung Galaxy Note 7) tidak serta merta mengubah
pandangan orang bahwa Samsung merupakan perusahaan
yang aktif berinovasi (bagaimana Samsung juga mampu
mengalahkan Sony di industri elektroniknya).
Selain faktor kecepatan, fokus pada kebutuhan
pelanggan juga menjadi pola pikir yang harus dimiliki para
pelaku usaha. Dari beberapa sumber yang penulis baca,
terciptanya Gojek berawal dari obrolan sang pendiri, Nadiem
Makarim, dengan seorang pengemudi ojek tentang kesulitan
mereka dalam mendapatkan penumpang. Berdasarkan
obrolan dengan pengemudi ojek tersebut diketahui bahwa
waktu kosong yang dimiliki pengemudi dalam sehari sekitar
60-70% artinya sebagian besar waktunya hanya menunggu
penumpang yang di sekitarnya membutuhkan angkutan ojek.
Pihak penumpang terkadang menjadi pihak yang ‘dikalahkan’
dari aspek harga yang sudah dipatok oleh pengemudi ojek.
Aplikasi gojek kemudian hadir untuk menjembatani
kebutuhan kedua pihak tersebut. Bagaimana dengan cerita
Uber? Konon kabarnya ide munculnya aplikasi Uber tercipta
ketika pencipta aplikasi uber ini tengah membawa mobil
untuk menghadiri suatu acara dan kesulitan dalam mencari
tempat parkir mobil. Pada saat itulah dia berangan-angan
adanya suatu bidang usaha penyewaan mobil hanya untuk
47
rute dan waktu yang terbatas dengan menggunakan mobil
pribadi.
Kedua contoh di atas menggambarkan bagaimana ide
terobosan bisnis ini muncul untuk menjawab dan
memberikan solusi dari kesulitan yang dihadapi pelanggan.
Salah satu ide baru yang belum dapat sepenuhnya diterapkan
di Indonesia karena adanya peraturan dan perundangan
adalah inovasi pembiayaan keuangan dengan menggunakan
teknologi sebagai basisnya. Ide ini muncul untuk
mendekatkan pihak yang memiliki dana lebih dan bersedia
dipinjamkan serta pihak yang membutuhkan/memerlukan
dana. Aplikasi ini akan mempertemukan kedua belah pihak
tersebut. Aplikasi ini nantinya memberikan solusi secara
cepat untuk pelanggan yang tidak hanya membantu
pembayaran akan tetapi peminjaman dana, pembelian
saham, perencanaan keuangan, riset keuangan, serta
transaksi yang biasa dilakukan oleh perbankan saat ini.
Contoh yang terakhir ini akan sangat memudahkan kita
sebagai pelanggan (sekali lagi pelanggan adalah raja) dan
pemerintah dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan juga tengah
menggodok aturan main dari industri ini.
Selain faktor kecepatan dan fokus pada kebutuhan
pelanggan, hal lain yang perlu dimiliki pelaku usaha adalah
karakteristik kelincahan (agility) dan kolaborasi. Kelincahan
ini berkaitan erat dengan kedua hal diatas, adaptif dalam
menerima perubahan dan cepat melakukan penyesuaian.
Kolaborasi disini adalah bagaimana pelaku usaha aktif
bekerja sama dengan dalam menangkap peluang usaha di era
digital ini. Pada masa sekarang dimana belanja online menjadi
48
begitu pesatnya maka peluang yang sangat besar untuk
industri jasa pengiriman barang untuk berkolaborasi dengan
penyedia produk online. Model kolaborasi ini juga saat ini
dirasakan sekali oleh pelaku industri telekomunikasi dengan
industri digital. Para operator selular saat ini berlomba
dengan perusahaan pemula penyedia konten (content
provider) untuk mempertahankan pelanggannya melalui
konten-konten menarik melalui telepon selular yang
dimilikinya. Kolaborasi juga dilakukan oleh IKEA untuk
produk perangkat dapur (kitchen set) bersama dengan
pelanggannya. Produk ini dibuat dengan model yang
dikehendaki oleh pelanggan yang akan membeli.
Sikap dan Kompetensi yang diperlukan di Era Digital
Bagaimana dengan individu-individu dalam
organisasi? Individu dalam organisasi sudah pasti akan
menjadi pihak yang harus mau berubah dalam perilakunya.
Individu merupakan pelaku utama dalam organisasi dan
individu yang akan membentuk bagaimana organisasi itu
akan terlihat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada
pelaku bisnis di industri telekomunikasi terbesar di
Indonesia, melalui serangkaian diskusi kelompok yang
terfokus, terdapat sikap-sikap (attitude) yang dapat
menunjang tingkat keberlanjutan dalam menghadapi
tantangan di era digital saat ini. Sikap-sikap tersebut adalah
Global Thinking, Customer Fokus, Business Acumen, Execution
Focus, Agile Thinking, Innovation, Networking & Data
Analytics.
49
Berpikir Global (Global Thinking).
Digambarkan sebagai kemampuan untuk memahami proses
secara terintegrasi dan mampu mengintegrasikan beberapa
sumber informasi untuk mendapatkan suatu gambaran yang
komprehensif. Kemampuan ini akan mengarahkan pemikiran
kita menjauhi konsep silo atau hanya mengfokuskan pada
fungsi yang ditekuni saja. Pada peran dalam organisasi,
kemampuan ini akan mengarahkan orang untuk
mengeluarkan output yang dapat di gunakan sebagai input
yang baik pada proses berikutnya. Tiap individu akan
memperhatikan kualitas hasilnya karena memahami dampak
yang diakibatkan dari apa yang dihasilkannya.
Fokus Terhadap Pelanggan (Customer Focus).
Digambarkan sebagai pemahaman bahwa kebutuhan
pelanggan (baik internal maupun eksternal organisasi)
menjadi landasan utama bagi kita dalam memberikan produk
atau layanan yang kita hasilkan. Pemahaman ini lebih
mengarahkan pikiran kita untuk melihat dari sisi pelanggan
yang akan menggunakan produk atau layanan yang kita
berikan. Apakah produk dan layanan tersebut memberikan
nilai lebih buat pelanggan, memberikan solusi dari
permasalahan yang dihadapi, mempermudah bagi pelanggan
dalam melakukan berbagai kepentingannya dan sebagainyal.
Pemahaman ini juga akan membawa kita untuk
mengeluarkan hasil yang lebih baik dari produk atau layanan
yang ada.
Ketajaman Berpikir (Business Acumen).
Digambarkan sebagai kemampuan dalam memahami
bisnis atau bidang yang dijalani, selalu mengikuti
50
perkembangan tren terbaru yang terjadi diluar organisasi
atau global, kemampuan melihat kebutuhan pasar pada
bidang bisnis yang dijalani, dan mampu melihat peluang
berdasarkan apa yang terjadi di luar organisasi maupun
berdasarkan kemampuan yang dimiliki organisasi.
Kemampuan ini akan membuat kita untuk dapat melakukan
tindakan antisipasi maupun tindakan terobosan yang baru
berdasarkan analisa internal maupun eksternal organisasi/
unit. Selalu memperbaharui informasi melalui membaca,
mengamati, diskusi, mencoba adalah upaya yang dapat
dilakukan individu untuk meningkatkan kemampuan
business acumennya.
Fokus Terhadap Eksekusi (Execution Focus).
Digambarkan sebagai sikap konsistensi yang dimiliki
tiap individu untuk menyusun perencanaan berdasarkan ide
yang ditangkap, menyusun tindakan nyata berdasarkan
perencanaan tersebut dan melakukan evaluasi serta tindakan
perbaikan dari hasil yang telah diperoleh.
Lincah (Agile).
Digambarkan sebagai sikap yang lincah/cepat
beradaptasi terkait dengan menghadapi atau menggunakan
teknologi baru, melakukan hal baru dengan cara yang
berbeda, keinginan untuk meng-eksplore dan nyaman
dengan perubahan yang terjadi. Agility ini membawa individu
menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah menghadapi
satu kondisi.
51
Inovasi (Innovation).
Digambarkan sebagai dimilikinya pemikiran yang out
of the box, berani mencoba hal baru, mencoba menemukan
pendekatan baru dalam penyelesaian masalah maupun
menjalankan bisnis. Pemahaman ini akan mendorong
individu untuk selalu menciptakan hal-hal baru. Sebagaimana
definisi inovasi dalam Blue Ocean Strategy, inovasi dapat
dikategorikan dalam beberapa tipe yaitu penciptaan produk
atau layanan baru, ide dalam menggantikan (Replace) sesuai
dengan benda lain yang memiliki kesamaan fungsi,
melakukan simplifikasi sehingga terjadi efisiensi, melakukan
perbaikan terhadap produk maupun layanan yang ada
(Improve) serta menciptakan hal baru melalui penggabungan
2 hal yang berbeda (Combine). Individu yang senantiasa
berpikir inovatif akan memberikan dampak adanya
perbaikan dilingkup pekerjaan yang ditanganinya.
Jejaring (Networking).
Digambarkan sebagai kemampuan untuk membangun
dan membina hubungan dengan pihak lain, mengembangkan
hubungan yang saling menguntungkan dan memberikan nilai
tambah. Kemampuan membangun hubungan ini menjadi
sedemikian penting dengan adanya tuntutan organisasi yang
harus berkolaborasi dengan organisasi lain dalam upaya
menangkap peluang yang ada.
Pemahaman (Data Analytics).
Digambarkan sebagai pemahaman dalam
menempatkan data sebagai basis dalam proses pengambilan
keputusan dan dalam tahapan yang lebih tinggi adalah
menggunakan data dalam menyusun prediksi dan
52
mendapatkan insight-insight dalam melihat fenomena yang
ada dan untuk menentukan langkah atau tindakan
antisipatifnya. Di perusahaan Google terdapat posisi Vice
President People Analytics & Compensation, posisi ini bertugas
untuk menyusun kesisteman terkait pengelolaan karyawan
berdasarkan data yang dikumpulkan dan ditarik
pembelajarannya. Penggambaran fungsi posisi ini sangat
mencerminkan aspek analisa data ini.
Kedelapan hal tersebut diyakini dapat menjadi
pendorong bagi organisasi untuk dapat menjadi organisasi
yang memiliki sifat cepat, focus pada pelanggan dan
kolaborasi. Yang menjadi tantangan buat praktisi manajemen
sumber daya manusia adalah bagaimana kedelapan hal di
atas dapat ditanamkan kedalam karyawan secara efektif. Pola
pengembangan manusia mungkin juga memerlukan
pendekatan yang berbeda dan lebih menyentuh area
personal. Hal ini dapat kita diskusikan dalam tulisan
selanjutnya.
Daftar Pustaka
Frank, D. (2005). A roadmap for the digital enterprise, six key
element to enable the Digital Enterprise. Principal
Digital Enterprise Solutions, Global Consulting
Practice.
Jennings, J. & Haughton, L. (2002). It’s not the BIG that eat the
SMALL it’s the FAST that eat that SLOW.
Lai, Jung-Yu & Ong, Chorng-Shyong (2009). Assessing and
Managing employees for embracing change: A multiple-
item scale to measure employee readiness for e-
business.
53
Deteksi Dini Stres
Melalui Analisis Media Sosial
54
Pengantar
Hampir semua orang setuju bahwa salah satu
terobosan teknologi yang paling signifikan selama 10-15
tahun terakhir adalah teknologi komunikasi dan informasi
berbasis digital platform atau yang akrab disebut dengan
internet. Keberadaan teknologi ini dan produk-produknya
sangat mempengaruhi dan telah mengubah banyak pola
kehidupan masyarakat dunia. Perubahan perilaku ini
mencakup ranah pribadi, sosial, politik dan kepentingan
publik yang lebih luas. Hal yang terakhir adalah, di awal
November 2016, kita mendengar bahwa pemilihan presiden
Amerika Serikat ke 46 dimenangkan oleh kandidat yang
dipandang piawai dalam mengandalkan media sosial di
internet untuk mempengaruhi para pemilih. Sebelumnya, kita
juga menjadi saksi perubahan politik di beberapa negara
timur tengah pada kurun waktu tahun 2010-2012 yang
diawali dengan interaksi sejumlah warga di media sosial dan
berujung pada aksi massa menggulingkan pemerintah yang
berkuasa saat itu.
Media Sosial dan Perubahan Perilaku Sosial
Fenomena yang dijelaskan di atas termasuk fenomena
yang tergolong makro. Bagaimana dengan tataran mikro atau
interaksi sehari-hari antar pribadi? Sejumlah pakar
menemukan bahwa media sosial telah mengubah sejumlah
perilaku sosial kita. Ada yang berpandangan pesimis, meski
tetap berbasis data, bahwa teknologi ini membuat banyak
orang menjadi terasing dari dunia sosial nyata. Meskipun
demikian, ada juga yang merasa bahwa media sosial
membantu banyak orang untuk mengasah keterampilan
55
berinteraksi yang sulit dilakukan di dunia nyata. Bagaimana
pun, media sosial juga telah memberikan ruang baru untuk
ekspresi diri bagi orang-orang di berbagai belahan dunia.
Fenomena semacam itu terjadi secara global dan menjadi
tren hampir disemua negara yang penggunaan media
sosialnya tinggi.
Di Indonesia, kita juga semakin sering mengalami
sendiri betapa linimasa media sosial dipenuhi berbagai
macam konten yang diproduksi penggunanya. Konten-
konten tersebut menjejali akun Facebook, Twitter, Instagram
dan aplikasi messenger kita dengan informasi yang melimpah.
Isinya sangat variatif, dari mulai sekedar informasi tentang
kekesalan seorang teman di tengah kemacetan sampai berita-
berita kesehatan, politik, dan sebagainya. Kualitas
informasinya pun macam-macam. Dari mulai yang tergolong
akurat, plintiran fakta sampai yang sama sekali tidak berbasis
fakta. Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi minat
para pengguna media sosial dan aplikasi penyampai pesan
untuk merespons informasi-informasi tersebut. Respons
yang dimaksud dapat berupa membuat dan mengirimkan,
meneruskan pesan yang diperoleh, atau mengkritisinya dan
mendiskusikannya.
Gambaran indikatif di atas tentu tidak terlepas dari
pertumbuhan penggunaan internet di tingkat dunia, kawasan
dan dalam negeri. Sungguhpun sampai tahun 2016 penetrasi
penggunaan internet baru 34% dari total jumlah penduduk,
penetrasi ini bila dikonversi ke jumlah penduduk maka kita
mendapati angka sekitar 78 juta penduduk. Jumlah yang
sangat besar. Angka ini masih akan terus bertambah
56
mengingat pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia
diperkirakan sebesar kurang lebih 6% per tahun dengan
asumsi laju pembangunan infrastruktur Internet tidak
berubah dari kondisi sekarang. Bila pemerintah yang
berkuasa mengadakan percepatan pembangunan
infrastruktur Internet, maka boleh jadi tingkat
pertumbuhannya lebih dari 6%.
Di sisi lain, penggunaan media sosial pun mengalami
tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 10% per tahun,
setidaknya terhitung dari 2014. Saat ini, diperkirakan ada
sekitar 25% penduduk Indonesia yang memiliki akses ke
media sosial. Dengan pertumbuhan tersebut, maka dapat
diproyeksikan dalam 5-10 tahun ke depan, internet,
khususnya media sosial akan menjadi fitur kunci dalam
kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Ini juga diperkuat
dengan fakta bahwa saat ini, orang Indonesia diduga kuat
menghabiskan waktu sebanyak rata-rata tiga jam di media
sosial per hari dengan salah satu kegiatan utama
pemutakhiran status (status update).
Mengapa pemutakhiran status media sosial menjadi
kegiatan utama? Salah satu sebabnya adalah karena
pengungkapan emosi, sebuah kebutuhan alami manusia,
menjadi salah satu perilaku yang terfasilitasi dengan adanya
media sosial. Orang akan lebih merasa bebas menyampaikan
isi hatinya di akun media sosial yang ia miliki. Pada konteks
interaksi langsung dengan orang lain, pihak-pihak yang
terlibat biasanya akan saling mengirimkan sinyal-sinyal
nonverbal yang sedikit banyak mempengaruhi persepsi
tentang seberapa bebas mereka bisa berekspresi
57
dipercakapan. Kita cenderung mempertimbangkan reaksi
lawan bicara yang terlihat dari bahasa tubuh dan ekspresi
wajahnya saat hendak menyampaikan sesuatu. Reaksi-reaksi
tersebut dapat memacu kita untuk berkomunikasi secara
terbuka atau malah menghambatnya. Hambatan tercipta
karena kita khawatir respons emosional orang lain yang tidak
dapat kita kendalikan, sebagai contoh, kita takut lawan bicara
marah. Hal ini tidak tidak terjadi dalam konteks posting di
media sosial. Dengan demikian, orang akan merasa lebih
bebas mengungkapkan emosi-emosinya karena tidak ada
sinyal non-verbal yang menghambat ekspresinya.
Walau peluang untuk lebih bebas berekspresi di media
sosial ada, bukan berarti peluang tersebut selalu digunakan.
Beberapa pengguna mungkin justru menuliskan status
terkini yang mengesankan diri mereka baik-baik saja
meskipun nyatanya tidak demikian. Meskipun demikian,
karena mengeluarkan atau memventilasi emosi adalah
kebutuhan alami, biasanya sebagian besar posting seseorang
benar-benar refleksi dari apa yang dipikirkan dan dirasakan.
Meskipun begitu, untuk menafsirkan emosi di balik isi status
media sosial seseorang, kita perlu menelaah lebih dari satu
status, bukan hanya satu-dua posting saja.
Pengungkapan emosi yang lebih jujur sebagaimana
disebut di atas membuka peluang untuk mempelajari dan
mendeteksi tingkat stres pengguna media sosial. Sejumlah
peneliti telah mengungkapkan dalam studi mereka bahwa
untuk memahami tingkat stres, isi posting seseorang di media
sosial dapat dijadikan petunjuk awal. Bahkan, indikasi
keberadaan depresi juga dapat muncul dalam status media
58
sosial seseorang. Di tataran yang lebih umum, stres memang
dapat dideteksi dari rangkaian teks yang dibuat seseorang
atau dari ucapan-ucapannya.
Deteksi Stres Melalui Status di Media Sosial
Bagaimana stres bisa dideteksi lewat status media
sosial? Sejumlah ahli telah merancang metode untuk
mendeteksi tanda-tanda stres dari teks yang diunggah ke
media sosial. Metode tersebut ada yang berbasis teknologi
digital, menggunakan aplikasi software komputer dan ada
juga yang dilakukan secara manual, misalnya menggunakan
konsep Analisis Sentimen untuk membedah teks yang dibuat
oleh seseorang. Konsep tersebut membagi nuansa emosional
teks menjadi dua golongan yaitu teks yang menunjukkan
adanya stres dan teks yang menunjukkan relaksasi dari si
pembuat teks. Konsep ini kemudian digunakan untuk melihat
stres level pengguna social media. Thelwal (2016) membagi
teks atau kata-kata yang menunjukkan stres dalam
pembagian berikut ini:
a) Kata-kata yang menunjukkan stres.
b) Kata-kata yang menggambarkan stressor (sesuatu yang
dapat menimbulkan respon stress).
c) Perasaan negatif
Terdapat kata-kata yang menunjukkan relaksasi yang
diklasifikasi sebagai berikut:
1) Kata-kata yang menunjukkan keadaan perasaan yang
rileks atau tenang.
2) Kata-kata yang menunjukkan proses relaksasi
3) Perasaan positif.
59
Thelwal (2016) juga memberikan referensi untuk
menganalisis tingkat stres secara online di tautan
http://sentistrength.wlv.ac.uk/TensiStrength.html. Sarana
online tersebut dapat digunakan dengan mudah untuk
melihat tingkat stress dan tingkat relaksasi dari sebuah
posting di media sosial hanya dengan menuliskan teks terkait.
Meskipun sarana ini amat mudah digunakan, penting untuk
berhati-hati dalam menganalisis tingkat stres seseorang.
Seperti telah disebutkan di atas, perlu melihat lebih dari satu
atau beberapa status untuk dapat mengetahui kondisi stres
seseorang melalui pesan-pesan yang dia unggah di media
sosial.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya manusia,
sesuai dengan tujuan tulisan ini dibuat, mendeteksi stres
karyawan sejak awal memiliki banyak manfaat. Perusahaan
dapat memberikan dukungan yang diperlukan agar
karyawan tidak terjebak pada tingkat stres yang terlanjur
tinggi dan sulit untuk dipulihkan. Manajemen SDM juga bisa
melihat pola kolektif dari stres yang ada pada para karyawan
untuk bisa memberikan masukan dan intervensi untuk
menurunkan tingkat stres mereka, bila diperlukan.
Di sisi lain, untuk tidak menimbulkan kesan
manajemen SDM memata-matai media sosial karyawan,
upaya pemantauan tingkat stres perlu dilakukan secara hati-
hati dan dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi serta
persetujuan karyawan berbasis kode etik praktek
manajemen SDM dan psikologi. Perusahaan perlu meminta
karyawan untuk secara sukarela mengikutkan diri mereka
dalam program-program pengelolaan stres yang di dalamnya
60
termasuk program pemantauan tingkat stres melalui media
sosial. Karyawan juga dapat melakukan pemantauan tingkat
stres mereka sendiri dan melaporkannya pada manajemen
SDM secara sukarela di saat mereka membutuhkan dukungan
mengatasi stres yang sudah tak bisa diatasi sendiri.
Daftar Pustaka
Beeman, C. (2016). Does Social Media Interfere with the
Capacity to Make Reasoned Arguments? In C. G. Prado
(Ed) Social Media and Your Brain: Web-Based
Communication Is Changing How We Think and Express
Ourselves. Santa Barbara, California: Praeger.
Kemp, S. (2016). We are social’s compendium of global digital,
social, and mobile data, Trends, and Statistics;
Lin, Huijie dkk (2016). What does social media say about your
stress. Proceedings of the Twenty-Fifth International
Joint Conference on Artificial Intelligence (IJCAI-16).
Thelwal, M. (2016). http://sentistrength.wlv.ac.uk/
TensiStrength.html.
---ooOoo---
61
Kompetensi Dan Standar
Kompetensi
62
63
Standar Kompetensi Praktisi MSDM
di Indonesia
(Disampaikan pada Forum Sharing, Learning dan Networking
IOC, 23 April 2016)
64
Pengantar
Pengelola dan penanggung jawab SDM di sebuah
organisasi memiliki peran yang sangat penting. Di tangan
merekalah kualitas sumber daya manusia di dalam organisasi
dapat berkembang pesat yang kemudian berdampak
terhadap pencapaian organisasi atau sebaliknya. Para
praktisi SDM ini semakin memiliki fungsi yang strategis dan
dipandang penting oleh organisasi baik swasta maupun
pemerintahan. Meskipun organisasi memiliki sistem dan
proses kerja yang sangat baik, sarana dan prasarana yang
lebih dari sekadar cukup, namun jika kualitas sumber daya
manusianya tidak ditangani dengan profesional oleh para
pengelola SDM maka hal-hal yang sudah baik itu menjadi sia-
sia. Saat ini terdapat sekitar 3 jutaan praktisi SDM diseluruh
Indonesia menurut perkiraan Lembaga Sertifikasi profesi
MSDM Indonesia, tentunya dengan standar kamampuan yang
beragam. Meskipun demikian, semua organisasi baik itu
perusahaan swasta, pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), maupun organisasi non profit lainnya menaruh
harapan yang besar terhadap para praktisi SDM ini yaitu
mengembangkan kualitas sumber daya manusia mereka
semaksimal mungkin. Dengan peran yang semakin krusial
maka para praktisi SDM dituntut untuk terus
mengembangkan kompetensi mereka. Untuk itu diperlukan
program pengembangan yang terstruktur, efektif, efisien dan
berkesinambungan. Standar kompetensi praktisi SDM
diperlukan sebagai pedoman dalam melakukan
pengembangan yang terarah. Standar kompetensi ini dapat
pula digunakan untuk mengetahui gap kompetensi yang
65
perlu dipenuhi saat ini oleh praktisi SDM. Berdasarkan gap
kompetensi tersebut kemudian dapat disusun program
pelatihan dan pengembangan berbasis kompetensi, sehingga
pada waktunya kompetensi yang efektif dapat dimiliki para
praktisi SDM diberbagai organisasi. Untuk itulah kemudian
dibuat Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
bidang Manajemen Sumber Daya Manusia yang selanjutnya
akan disebut SKKNI MSDM.
Proses Penyusunan Standar Kerja Kompetensi Nasional
Indonesia (SKKNI) Bidang MSDM
SKKNI MSDM tertuang dalam Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 307 tahun 2014,
ditanda-tangani pada tanggal 9 September 2014 oleh Bapak
Muhaimin Iskandar yang kala itu menjabat sebagai Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dokumen ini dapat diunduh
melalui https://www.pmsm-indonesia.com atau http://jdih.
kemnaker.go.id/ atau yunus.triyonggo.wordpress.com.
Dokumen setebal 487 halaman ini disarankan untuk tidak
diprint out namun cukup disimpan dalam bentuk soft file dan
dibaca dan dipelajari secara bertahap. Membaca SKKNI
MSDM mesti mengerti kerangka besarnya sehingga
memudahkan dalam pemahamannya. Secara garis besar
SKKNI MSDM dikemas dengan kerangka seperti tampak
dalam gambar berikut:
Penyusunan SKKNI MSDM diawali dengan penetapan
apa Tujuan Utamanya, lalu diuraikan apa saja Fungsi
Kuncinya, dilanjutkan dengan apa Fungsi Utamanya dan
ditetapkan apa saja Fungsi Dasarnya. Fungsi dasar inilah yang
66
kemudian kita kenal dengan Unit Kompetensi. Setiap Unit
kompetensi diuraikan atas beberapa Elemen dan masing-
masing elemen ditetapkan apa saja Kriteria Unjuk Kerja
(KUK) nya. Didalam pengukuran kompetensi berikutnya
perlu juga ditetapkan Indikator Unjuk Kerja (IUK) nya.
Selanjutnya di setiap Unit Kompetensi akan diuraikan secara
lebih detail apa saja batasan variabel dan panduan
penilaiannya.
Gambar 1: Pemetaan Kompetensi RMCS
Sedangkan untuk memudahkan memahami konten
SKKNI MSDM, teman-teman cukup melihat gambar di bawah
ini:
67
Gambar 2: Konten SKKNI MSDM
Menjadi praktisi MSDM di Indonesia yang kompeten
dipersyaratkan oleh SKKNI MSDM, menguasai 8 prasyarat
dasar generik (soft competencies). Seorang praktisi MSDM
yang kompeten memiliki integritas dalam mempraktekan
fungsi-fungsi MSDM di tempat kerja, menunjukkan sikap
kerjasama dengan semua pihak dalam organisasi, memiliki
kemampuan berkomunikasi yang efektif, selalu
mengutamakan kepuasan pelanggannya, mampu
menjalankan fungsi konsultasi baik ke bawah-atas-sejajar,
memiliki pemahaman bisnis yang lengkap, menunjukkan jiwa
kepemimpinan yang efektif, dan mampu menjalin relasi
dengan semua pemangku kepentingan dalam organisasi. Ke
delapan prasyarat dasar generik ini merupakan hasil dari
kajian selama proses penyusunan SKKNI MSDM yang lalu
dengan referensi dari SHRM, CIPD, dan buku The Handbook of
68
Competency Mapping karya Seema Sanghi. Selain prasyarat
dasar generik, seorang praktisi MSDM di Indonesia dituntut
untuk menguasai Bahasa Indonesia melalui Uji Kemahiran
Berbahasa Indonesia (UKBI) dengan minimal skor level
unggul yaitu 525. Uji dapat dilakukan melalui online dengan
mengakses ke website Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa http://badanbahasa.kemdikbud.go.id.
Selanjutnya masuk Bab II berisikan kompetensi teknis
praktisi MSDM yang dikemas dalam 9 klaster seperti yang
ditampilkan dalam gambar di atas meliputi:
1. Strategi dan Perencanaan Pengelolaan SDM
2. Pengadaan SDM
3. Pengembangan Organisasi
4. Pembelajaran dan Pengembangan
5. Manajemen Talenta
6. Pengelolaan Karir
7. Pengelolaan Kinerja dan Remunerasi
8. Hubungan Industrial
9. Layanan Administrasi dan SIstem Informasi Pekerja
Secara lebih lengkap komposisi Fungsi Kompetensi
beserta elemen dan KUK nya dapat dlihat pada tabulasi di
bawah ini:
69
Tabel 3: Komposisi fungsi dasar/unit kompetensi
Setelah memiliki standar kompetensi tersebut lalu
apakah yang bisa kita lakukan agar memberikan dampak
nyata terhadap peningkatan kompetensi praktisi MSDM di
seluruh wilayah Indonesia sehingga dapat menjadikan SDM
Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.
Pendekatan strategis dalam ekselerasi peningkatan
kompetensi praktisi MSDM dapat diilustrasikan dengan
Gambar 3 di bawah ini mengenai strategi pengembangan
kompetensi. Landasan hukum dari strategi ini adalah
Kepmenakertrans nomor 307 tahun 2014 yaitu SKKNI
MSDM, Kepmenakertrans nomor 346 tahun 2014 yaitu
SKKNI Hubungan Industrial, dan Kepmenaker nomor 435
tahun 2015 yaitu Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
bidang MSDM.
70
Gambar 3: Strategi Pengembangan Kompetensi
Model Pengembangan Kompetensi Bidang MSDM
Untuk menggerakkan program peningkatan
kompetensi diperlukan adanya Lembaga Diklat Profesi (LDP)
dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bidang MSDM. LDP
mempersiapkan kurikulum, silabus, dan modul pelatihan
berbasis kompetensi, sedangkan LSP menyiapkan skema
sertifikasi dan materi uji kompetensi serta asesor
bersertifikasi untuk menjalankan proses sertifikasi profesi.
Kedua lembaga ini mendasarkan pada SKKNI MSDM di dalam
pengembangan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam
menjalankan fungsinya.
Saat ini ada beberapa LDP yang sudah menjalankan
program2 pelatihan MSDM berbasis kompetensi, salah
satunya adalah IndHRI (Indonesia Human Resources Institute)
71
sedangkan yang sudah mendapatkan lisensi BNSP untuk uji
sertifikasi kompetensi adalag LSP MSDM Indonesia.
Diharapkan kedepannya akan semakin banyak
terbentuknya LDP dan LSP di seluruh wilayah Indonesia,
sehingga proses peningkatan kompetensi praktisi MSDM
dapat terjadi dan terbuka di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk itu, mari para praktisi Manajemen SDM untuk bersatu
padu untuk memajukan dunia MSDM di Indonesia dan
mengambil peran aktif dalam model tersebut di atas sesuai
dengan penguasaan bidangnya masing-masing.
Sementara itu, untuk memperkokoh gerakan
peningkatan kompetensi praktisi MSDM di Indonesia, saya
mencoba untuk merancang modelnya seperti tampak di
gambar berikut ini:
Gambar 4: Development Model.
72
Diperlukan 3 percepatan berdasarkan wawancara dan
FGD yang melibatkan 16 Pakar MSDM yaitu percepatan
program pelatihan MSDM berbasis kompetensi, pendirian
LSP bidang profesi MSDM, dan penyusunan kurikulum
pendidikan tinggi berbasis SKKNI.
Penutup
Adalah menjadi tanggung jawab para praktisi MSDM
di seluruh Indonesia untuk menjadi kompeten dan
memastikan SDM di bawah binaannya menjadi SDM yang
berkualitas dan berdaya saing. Mari mengambil peran dalam
kancah mengejar ketertinggalan ini, minimal memastikan
kita dan anak buah kita kompeten di bidangnya. Sebagai
praktisi MSDM kita berpeluang besar untuk mengubah arah
bangsa dan negeri ini menjadi semakin baik dan berdaya
saing.
---ooOoo---
73
`
Pengukuran Kompetensi dan
dampaknya
(Studi kasus pada sebuah NGO di Indonesia)
Oleh:
Wustari L. H. Mangundjaya
74
Permasalahan kompetensi, dalam arti apakah
seseorang dianggap memiliki kompetensi atau tidak,
bagaimana cara mengukurnya, dan bagaimana hal ini
berdampak pada berbagai kebijakan manajemen SDM, telah
menjadi salah satu diskusi yang sering dibahas di sebuah
organisasi. Diskusi tersebut tidak hanya di organisasi yang
sifatnya profit, tetapi juga pada organisasi yang bersifat
nirlaba. Di bawah ini dibahas mengenai salah satu kasus
mengenai kompetensi yang terdapat di salah sebuah
organisasi nirlaba terkemuka di Indonesia.
Organisasi XYZ adalah sebuah organisasi nirlaba yang
bergerak di bidang pelestarian lingkungan, khususnya
program pelestarian lingkungan dan pemberdayaan
masyarakat. Organisasi XYZ ini memiliki mitra Lembaga
Swadaya Masyarakat (NGO) di berbagai daerah. Dana untuk
melaksanakan kegiatan pada umumnya diperoleh dari
lembaga asing yang bertujuan untuk melestarikan
lingkungan hidup dan memberdayakan masyarakat.
Berdasarkan jenis dan sifat pekerjaannya, hal ini menuntut
adanya kompetensi yang spesifik. Sementara itu, para
karyawan yang bekerja di NGO tidak hanya mereka yang
sudah memiliki pengalaman di bidangnya (karena pernah
bekerja di NGO lain, dengan jenis pekerjaan yang kurang lebih
lama), atau memiliki latar nelakang pendidikan yang sesuai,
tetapi juga mereka yang memiliki latar belakang pengalaman
kerja di swasta dengan latar belakang yang kurang sesuai,
tetapi memiliki minat dan passion yang tinggi terhadap
pelestarian lingkungan hidup dan pemberdayaan
masyarakat.
75
Secara umum iklim organisasi pada Organisasi XYZ
cukup kondusif dan penuh kekeluargaan, hubungan
interpersonal dan komunikasi antar karyawan juga cukup
baik, khususnya bila berhubungan dengan aspek hubungan
interpersonal dan bersifat pribadi. Meskipun demikian, pada
saat menentukan imbal jasa, remunerasi serta manajemen
kinerja, masalah kompetensi seringkali menjadi salah satu
bahan diskusi. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah si A
memang kompeten dalam menjalankan tugas-tugasnya?
Mengapa dia bisa diterima untuk posisi tersebut padahal
pengalaman kerjanya tidak ada? Mengapa gajinya sama atau
lebih tinggi dari apa yang saya terima? Pertanyaan-
pertanyaan tersebut akhirnya membuat kondisi iklim
organisasi menjadi kurang kondusif, meskipun jumlah
karyawan yang ada relatif tidak banyak.
Memperhatikan dan menyadari kondisi yang ada,
serta dengan pemahaman bahwa diperlukan adanya suatu
standar kompetensi tertentu dari setiap pekerjaan yang ada
di Organisasi XYZ, maka Manajemen Organisasi XYZ meminta
jasa dari Konsultan Manajemen SDM dan Pengembangan
Organisasi untuk membuat suatu Model Kompetensi, dengan
berlandaskan pada sistem Competency Based Human
Resource Management (CBHRM) atau Manajemen SDM
berbasis Kompetensi. Selanjutnya, Gugus Tugas (Task Force)
dibentuk yang merupakan tim perumus yang akan bekerja
bersama dengan tim konsultan.
Langkah pertama adalah melakukan wawancara dan
melakukan Focussed Group Discussion (FGD) mengenai
kompetensi yang diperlukan. Kegiatan awalnya yaitu
76
menganalisis kompetensi dasar (basic/core competency),
yaitu kompetensi inti yang harus dimiliki oleh setiap anggota
organisasi/karyawan pada semua tingkatan atau level
jabatan. Dari berbagai tingkatan tersebut dibedakan oleh
persyaratan dari masing-masing kepemilikan kompetensi
(Spencer & Spencer, 1993; Spencer dkk, 1994) Kompetensi
tersebut dijabarkan berdasarkan kategori Pengetahuan
(Knowledge), Keterampilan (Skills) dan Sikap (Attitudes).
Setelah kompetensi inti tersusun, kemudian beralih pada
penyusunan Kompetensi Managerial, yaitu kompetensi yang
dipersyaratkan bagi seseorang yang menduduki posisi
pemimpin, dalam arti memiliki bawahan langsung. Dengan
demikian tidak semua karyawan perlu memiliki kompetensi
yang dipersyaratkan pada pemegang jabatan. Kompetensi
yang ketiga adalah Kompetensi Fungsional (Functional
Competency), yaitu kompetensi spesifik yang dipersyaratkan
bagi setiap jabatan/posisi. Setelah memperoleh pengetahuan
3 (tiga) jenis kompetensi tersebut, maka kemudian dilakukan
konfirmasi berdasarkan FGD dan wawancara terhadap para
perwakilan karyawan dan manajemen. Pada proses
konfirmasi tersebut, semua pemangku kepentingan
khususnya Direksi harus terlibat. Pernah terjadi salah
seorang Direksi merasa tidak terlibat dalam pembuatan
kompetensi, karena pada waktu beberapa kali melakukan
FGD dan wawancara Direksi tersebut berhalangan karena
sedang di luar negeri atau di luar kota. Untuk mengakomodir
hal tersebut, sebelum disepakati dan dikonfirmasi bahwa
kompetensi tersebut yang diperlukan, maka dilakukan FGD
sekali lagi dan dilanjutkan dengan wawancara.
77
Setelah model kompetensi disetujui bersama, langkah
kedua adalah melakukan asesmen bagi para pemegang
jabatan dengan menggunakan pendekatan Assemen 360
derajad, yaitu melibatkan atasan, diri sendiri, rekan kerja,
bawahan, dan pelanggan (internal dan eksternal). Salah satu
hal yang perlu diantisipasi dalam kegiatan ini adalah
diperolehnya perbedaan penilaian yang mencolok dari
masing-masing penilai, sehingga dibentuk Komite Penilaian,
yang didalamnya terdapat pula Manajer HRD (Human
Resource Development) yang akan mengatasi adanya konflik
yang disebabkan karena adanya perbedaan penilaian.
Langkah selanjutnya adalah menyelaraskan model
kompetensi dengan berbagai kebijakan manajemen HRD
lainnya, antara lain: kebijakan remunerasi, imbal jasa,
pelatihan, manajemen kinerja, serta berbagai kebijakan
manajemen SDM lain yang terkait. Pada proses ini, hal yang
juga berpotensi untuk terjadinya argumentasi dan konflik
adalah pada waktu menghubungkan dengan remunerasi,
apalagi setelah adanya asesmen mengenai kompetensi yang
dimiliki oleh para karyawan. Pada proses ini pendekatan
personal, tatap muka, dan diskusi dengan berbagai pihak
diperlukan untuk mencapai kemufakatan bersama.
Pada akhirnya model kompetensi yang dirancang
bersama tersebut setelah dipetakan tersebut selesai, maka
konsultan menyarankan untuk melakukan evaluasi setiap
tahun mengenai persyaratan, penjabaran serta penilaian
kompetensi pada karyawan untuk dapat menjaga akurasi
penilaian serta menjaga iklim organisasi yang kondusif.
Suksesnya pembuatan model kompetensi tersebut tidak
78
lepas dari kerjasama antara manajemen organisasi, gugus
tugas, dan tim konsultan. Sistem manajemen SDM berbasis
kompetensi (CBHRM) secara umum dapat membantu untuk
mengetahui dan menilai serta mengukur kompetensi yang
dipersyaratkan serta dimiliki oleh setiap pekerja. Diharapkan
dengan adanya program SKKNI (Standarisasi Kompetensi
Kerja Naional Indonesia) akan semakin dapat membantu
mengukur dan menilai kompetensi seseorang secara lebih
akurat dan obyektif.
Daftar Pustaka
Spencer L. M. & Spencer S. M. (1993). Competence at Work:
Models for Superior Performance. New York: John
Wiley & Sons, Inc. Wang, Chongming.
Spencer, L. M., McClelland, D. C., & Spencer, S. (1994).
Competency assessment methods: History and state of
the art. Boston: Hay-McBey Research Press.
---ooOoo---
79
Sebuah Tinjauan Teoritis
Tentang Kompetensi
Oleh:
Aldira Gusana Meyer
80
Pengantar
Terdapat banyak definisi mengenai kompetensi yang
diajukan oleh banyak ahli. Salah satu definisi yang
dikemukakan oleh Shermon (2004) adalah kompetensi
sebagai karakter dasar seseorang yang memungkinkan
dirinya untuk bisa melakukan kinerja yang luar biasa dalam
pekerjaan, peran, maupun situasi yang dihadapi. Jika
demikian, maka untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam
suatu organisasi karakter dasar ini menjadi sangat
dibutuhkan, terutama untuk menghasilkan kinerja yang luar
biasa. Untuk lebih memahami kompetensi, mari kita gunakan
kata ‘kompeten’ untuk menggambarkan seseorang. Bapak A
merupakan seorang yang kompeten dalam melaksanakan
tugasnya sebagai seorang pemimpin.
Apa yang dimaksud dengan kompeten?
Kompeten adalah suatu terminologi singkat untuk
menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
a) Bapak A menujukkan beberapa atau salah satu dari
gabungan berbagai karakteristik individu seperti
pengetahuan, keterampilan, dan karakteristik dasar
individu lainnya. Karakterisitik dasar individu dapat
dijelaskan melalui emosi, kepribadian, sikap, motivasi
ataupun kapasitas intelijensi.
b) Perilaku dan kinerja Bapak A dapat di pengaruhi dan di
prediksi melalui perilaku dan kinerjanya. Kinerjanya
dapat menggambarkan karakteristik dasar individu.
c) Perilaku dan kinerja Bapak A digolongkan sebagai sesuatu
yang unggul. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengukuran
81
terhadap perilaku dan kinerjanya dengan menggunakan
suatu standar atau kriteria tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dibayangkan betapa
kompetensi menjadi sesuatu yang sangat terkait dengan
‘keunggulan’ seseorang atau dalam terminologi bisnis adalah
Sistem Pengelolaan Talenta (Talent Management System.)
Talent Management System atau Sistem Pengelolaan
Talenta adalah salah satu hal penting dalam kesuksesan
organisasi mengelola bisnisnya. Keterkaitan antara nilai,
budaya dan strategi bisnis organisasi akan sangat
dipengaruhi oleh kepiawaian organisasi tersebut dalam
mengelola sumber daya manusia yang ada di dalamnya.
Pentingnya Kompetensi Bagi Pemimpin di Organisasi
Pemimpin menjadi aspek penting dalam
menggerakkan semua sumberdaya yang ada dalam
organisasi untuk pencapaian target dan kinerja yang
diharapkan. Jika pada masa lalu banyak orang yang
berpendapat bahwa kepemimpinan adalah aspek yang
dibawa sejak lahir, maka sepertinya pandangan tersebut
terus mengalami pergeseran hingga saat ini. Saat ini, diskusi-
diskusi mengenai kepemimpinan tampaknya lebih banyak
dikaitkan dengan bagaimana membuat karyawan yang ada di
organisasi memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin
dan siap menerima estafet kepemimpinan dari generasi
sebelumnya.
Berbicara mengenai kemampuan untuk menjadi
pemimpin tentunya bukan lagi bicara mengenai karisma,
bakat ataupun aspek-aspek yang sifatnya bawaan. Berbicara
82
mengenai peningkatan kemampuan kepemimpinan berarti
berbicara tentang suatu hal yang dapat terus dikembangkan
melalui berbagai intervensi pengembangan. Hal inilah yang
kemudian kita sebut dengan pengembangan kompetensi
kepemimpinan.
Untuk dapat mencapai target organisasi jelas
dibutuhkan sekumpulan kompetensi tertentu pada diri
pemimpin di dalam organisasi tersebut. Hasil penelitian DDI
pada tahun 2015 menyatakan bahwa 3 (tiga) hal utama yang
menghambat pengelolaan kinerja yang efektif adalah :
1. Tingkat ketrampilan pimpinan dalam sesi Coaching yang
bermakna dan berkelanjutan.
2. Kemampuan pimpinan untuk membedakan tingkat
kinerja yang baik dan tingkat kinerja yang membutuhkan
umpan balik.
3. Kecenderungan pimpinan untuk melakukan 2 (dua) sesi
penting dalam setahun, yaitu sesi menetapkan target
kerja (setting goals) dan membahas kinerja (reviewing
performance).
Ketiga hambatan diatas menunjukkan pentingnya
kompetensi pimpinan dalam membantu mengarahkan
kinerja tim dan pencapaian target organisasi secara
menyeluruh.
Karakteristik Kompetensi
Menggunakan penjelasan dari Spencer & Spencer (1993),
karakteristik kompetensi mencakup 5 (lima) tipe, yaitu:
1) Motif (Motives)
Motif merupakan pikiran atau keinginan individu yang
secara konsisten mendorong munculnya tingkah laku
83
tertentu untuk suatu tujuan. Motif akan mengarahkan dan
menyeleksi sikap individu menjadi suatu tindakan agar
dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Seorang
pimpinan yang memiliki motif berprestasi akan
mengarahkan dirinya untuk mencapai prestasi yang
ditargetkan, sehingga akan melakukan pekerjaannya
dengan penuh tanggung jawab (Spencer & Spencer,
1993).
2) Konsep diri (Self-concept)
Konsep diri merupakan keyakinan individu terhadap
sifat, nilai, dan citra diri yang dapat memprediksikan
tingkah laku yang ditampilkan individu dalam suatu
situasi. Seorang pimpinan yang mempunyai konsep diri
positif akan mampu menampilkan tingkah laku yang
menunjukkan kepemimpinannya pada anak buah nya
(Spencer & Spencer, 1993).
3) Ciri-ciri (Traits)
Ciri-ciri (traits) merupakan karakteristik kepribadian dan
respon yang konsisten muncul pada situasi tertentu.
Pengendalian emosi diri merupakan salah satu traits yang
harus dimiliki oleh seorang pimpinan.
4) Keterampilan (Skill)
Ketrampilan dibagi menjadi 2 jenis, yaitu ketrampilan
fisik dan ketrampilan mental. Ketrampilan fisik adalah
kemampuan individu untuk menampilkan pekerjaan
melalui perilaku nyata, sedangkan ketrampilan mental
atau kognitif adalah kemampuan individu yang berkaitan
dengan kemampuan analitis dan konseptual atau
pengetahuan teknis yang harus dimiliki seseorang dalam
84
menyelesaikan tugas dalam pekerjaan. Pimpinan yang
efektif perlu memiliki kemampuan mengorganisasi serta
merencanakan tugas, target yang telah ditetapkan
organisasi. Ia juga harus mampu melakukan komunikasi
interpersonal terkait pengarahan rencana kerja kepada
timnya dan ketika secara khusus memberikan umpan
balik kinerja dalam rangka pengembangan karyawan.
5) Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan informasi yang perlu diketahui
dan dikuasai oleh individu untuk mencapai sasaran
pekerjaan sesuai dengan bidangnya. Pimpinan perlu
diberikan pengetahuan mengenai cara pemberian umpan
balik yang efektif kepada bawahannya. Selain itu,
pimpinan juga perlu memiliki pengetahuan mengenai
peran dan tanggung jawab nya sebagai seorang atasan
yang dapat mempengaruhi kompetensi yang dimilikinya
Spencer & Spencer, 1993).
Beberapa aplikasi penggunaan kompetensi dalam
organisasi untuk bertahan dalam dinamika dan persaingan
bisnis adalah :
a. Mendapatkan Talenta (Talent Acquisition) – kompetensi
digunakan dalam pemetaan talenta organisasi yang
dimulai dari tahap rekrutmen hingga penempatan yang
paling sesuai.
b. Pembelajaran dan Pengembangan (Learning &
Development) – kompetensi digunakan menetapkan
perilaku spesifik yang menjadi target pengembangan
karyawan.
85
c. Perencanaan Suksesi (Succession Planning) – memberikan
pemahaman yang sama dan jelas mengenai kebutuhan
organisasi dalam perencanaan dan pengelolaam talent
pool.
d. Manajemen Kinerja (Performance Management) –
pimpinan akan memiliki bahasa yang sama saat
mengelola kinerja dengan adanya kompetensi standar
dalam organisasi tersebut.
Intervensi Terhadap Kompetensi
Tidak mudah melakukan intervensi terhadap
kompetensi seseorang, terutama terhadap aspek-aspek
kompetensi yang sudah melekat dalam diri seseorang
personal attributes seperti kepribadian, ciri-ciri dan
kapasitas kognitif. Hal yang bisa dilakukan adalah
menyesuaikan jenis intervensi dengan aspek kompetensi
yang ingin diubah.
Terhadap personal attributes, intervensi dapat di
lakukan melalui beberapa cara seperti sesi Coaching dan sesi
pemberian umpan balik. Pada sesi-sesi tersebut perlu
dikomunikasikan hal-hal apa saja yang sekiranya perlu
diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh keduabelah pihak. Sesi
tersebut diharapkan dapat memberikan insipirasi dan
motivasi bagi karyawan sehingga kinerja meningkat. Dalam
hal ini, untuk kompetensi yang terkait ketrampilan fisik dan
mental, intervensi dapat berupa pembelajaran atau pelatihan,
penugasan, maupun sesi Coaching secara berkala.
Pembelajaran atau pelatihan dapat dilakukan
langsung pada praktek kerja atau diberikan dalam sesi-sesi di
kelas. Pentingnya untuk melakukan pemantauan atas hasil
86
pembelajaran atau pelatihan secara seksama dengan alat
ukur yang dipersepsikan secara standar oleh keseluruhan
organisasi.
Penutup
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
kompetensi merupakan aspek kritikal dalam suatu organisasi
dalam menghadapi dinamika dan persaingan bisnis.
Penetapan dan pengelolaan kompetensi individu secara
efektif akan dapat membantu organisasi menjaga
keberlanjutannya dalam situasi ekonomi dan bisnis masa
depan.
Daftar Pustaka
Shermon, G. (2004). Competency based human resource
management: A strategic resource for competency
mapping, assessment and development centres. Tata
Mc-Graw Hill.
Spencer L. M. & Spencer S. M. (1993). Competence at work:
Models for superior performance. New York: John Wiley
& Sons, Inc. Wang, Chongming.
---ooOoo---
87
HRBP SEBAGAI
PENDEKATAN MANAJEMEN
88
89
Human Resources Business
Partnership (HRBP)
(Disampaikan pada Forum Sharing, Learning dan Networking
IOC, 21 May 2016)
90
Pengantar
Dalam sambutannya di kongres International
Telecommunication Union di Budva, Montenegro tahun 2009,
Dave Ulrich, Professor Business and Management dari
University of Michigan mengatakan bahwa untuk memahami
masa lalu kita dapat membaca berbagai jurnal, untuk
memahami masa kini, dengan jujur dan serius kita perlu
bercermin, dan untuk memahami masa yang akan datang,
maka kita harus menguji mimpi-mimpi kita. Dalam hal ini,
bagi pemimpin organisasi dan para profesional, mimpi adalah
visi, misi atau apapun yang menggambarkan aspirasi yang
menunjukkan apa yang akan kita lakukan dan capai, serta
kemana kita akan pergi. Demikian juga dengan para praktisi
di bidang sumber daya manusia (SDM). Mimpi-mimpi itu
berakar pada tantangan-tantangan bisnis pada saat ini, dan
bagaimana kita harus meresponnya. Mimpi ini juga termasuk
aspirasi yang perlu dimiliki sebagai seorang praktisi di bidang
SDM yang profesional.
Visi Bidang SDM di Masa Depan
Dunia bisnis saat ini sudah sangat berkembang
mengikuti perkembangan teknologi yang menciptakan
kemudahan dalam mengakses (accessibility), kemungkinan
dapat terlihat (visibility) dan konektivitas (connectivity). Hal
ini membuat dunia terasa semakin kecil, perubahan terjadi
sangat cepat dan keterbukaan informasi menjadi salah satu
ciri utama dari perubahan ini. Konsumen menjadi lebih
tersegmentasi, lebih cerewet terhadap hal-hal kecil, lebih
kritis dan memiliki tuntutan yang tinggi. Investor menjadi
lebih mudah menyesuaikan diri, dan memberi perhatian lebih
91
kepada sesuatu yang sifatnya tidak terlihat (intangible)
bukan sekadar pencapaian finansial. Karyawan
merepresentasikan meningkatnya keberagaman latar
belakang demografi; tidak hanya ras dan gender, tetapi juga
pilihan-pilihan pribadi dan orientasi kerja. Bagaimana
dengan pesaing? Kompetisi ditandai oleh bermunculannya
pemain-pemain global dan para pelaku inovasi kelas
rumahan. Dengan konteks bisnis yang berubah dengan pesat,
harapan terhadap para praktisi bidang SDM inipun menjadi
semakin besar. Saat ini banyak pimpinan perusahaan yang
kecewa terhadap praktisi SDM karena mereka gagal
merepons perubahan yang terjadi begitu cepat dan gagal
menangkap peluang-peluang yang ditimbulkan oleh
tantangan-tantangan bisnis saat ini.
Para eksekutif perusahaan mengharapkan praktisi
bidang SDM, sebagai bagian dari organisasi, memberikan
kontribusi dan nilai tambah, khususnya dalam dunia bisnis
yang terus berkembang. Melalui survey, para eksekutif
perusahaan mengharapkan praktisi bidang SDM dapat
berfungsi dan berkontribusi dengan berfokus pada:
1. Talenta (Talent): menyiapkan dan mempertahankan
pekerja berbakat (talent) yang baik.
2. Perubahan (Change): memastikan bahwa organisasi
berubah dan beradaptasi dengan perkembangan.
3. Tata Kelola (Governance) : membangun proses tata kelola
yang menjamin kerahasiaan.
4. Tidak tampak (Intangibles): mengidentifikasi dan
memberi intangible value kepada investor.
92
5. Kepemimpinan (Leadership): memastikan kesiapan
kepemimpinan generasi penerus dalam perusahaan.
6. Eksekusi (Execution): memastikan bahwa strategi
perusahaan berjalan sesuai rencana.
7. Globalisasi (Globalization): menyesuaikan praktik bidang
SDM di organisasi dengan praktik bidang SDM kelas
dunia.
8. Manajemen Kinerja (Performance Management):
mendorong kinerja dan hasil di seluruh bagian
perusahaan.
9. Komunikasi (Communication): belajar untuk berbagi
informasi dengan semua orang di dalam maupun di luar
perusahaan.
10. Transformasi SDM (HR Transformation): membuat peta
transformasi fungsi bidang SDM dari layanan administrasi
tradisional menjadi lebih strategis.
Menciptakan Nilai
Lebih dari pada harapan para eksekutif di atas, kata
kunci dari sambutan Ulrich (2006) adalah mereka yang
menjadi praktisi pada bidang SDM harus mampu
memberikan nilai tambah dan keunggulan kompetitif bagi
bisnis perusahaan. Para praktisi bidang SDM harus
menggeser fokus perhatiannya dari yang pada umumnya
lebih banyak mengurusi administrasi menjadi fokus kepada
strategi dan bagaimana memberikan hasil yang berdampak
pada bisnis. Karena dengan fokus kepada strategi dan
memberikan hasil yang berdampak pada bisnis, maka mereka
akan mampu memberikan nilai positif bagi bisnis.
93
Seringkali para praktisi bidang SDM mengeluarkan
kebijakan atau prosedur tanpa mempertimbangkan apakah
kebijakan dan prosedur itu menunjang bisnis atau malah
sebaliknya. Seringkali para eksekutif perusahaan mengeluh
karena proses yang diciptakan oleh para praktisi SDM
cenderung kaku atau kurang fleksibel dalam mengikuti
perkembangan bisnis. Seringkali mereka juga kurang
akomodatif terhadap perubahan konteks bisnis.
Dalam kasus ini Ulrich (1997,2005) mengomentari
bahwa para praktisi bidang SDM ini sedang membangun HR
Business bukan berproses menjadi Business Partner.
Kita juga sering mendengar jargon bahwa praktisi
bidang SDM harus tahu dan memahami bisnis perusahaan,
namun bagaimana caranya dan bagaimana aktualisasinya
dalam berbagai kegiatan, ini yang menjadi tugas besar dari
para praktisi di bidang ini.
HR sebagai Business Partner
Mendefinisikan praktisi bidang SDM sebagai Business
Partner secara sederhana adalah bagaimana mengaitkan
berbagai aktivitas bidang sumber daya manusia secara
langsung dengan strategi bisnis dan berbagai faktor
lingkungan yang berkaitan dengan strategi itu.
Meskipun telah dicetuskan sekitar 15 tahun yang lalu,
namun hingga saat ini belum dirasakan ada istilah yang pas
dalam bahasa Indonesia untuk mengistilahkan hal ini.
Sehingga untuk selanjutnya dalam artikel ini saya akan
menyebutnya sebagai HRBP (Human Resources Business
Partner).
94
Prinsip SDM sebagai Mitra Bisnis (Business Partner)
Beberapa prinsip yang harus diketahui dan disadari
oleh praktisi SDM sebagai Business Partner adalah:
1) Strategi SDM harus berakar kepada strategi bisnis, tidak
boleh berdiri sendiri.
2) Manajemen SDM bukanlah hanya bagaimana membuat
berbagai program SDM, tetapi yang jauh lebih penting
adalah bagaimana hubungannya dengan strategi bisnis.
3) Departemen SDM harus dipahami sebagai bagian dari
organisasi yang mengantisipasi perubahan dan
memahami apa yang perlu dilakukan untuk merespons
perubahan.
4) Praktisi bidang SDM harus mengambil peran sebagai
penyuara yang vokal bagi kepentingan-kepentingan
karyawan sehingga meminimalkan konflik ketika
keputusan-keputusan bisnis harus dilakukan.
5) Efektivitas kegiatan SDM bergantung kepada seberapa
jauh kemampuan untuk tetap fokus kepada masalah-
masalah karyawan, bukan kepada pribadi-pribadi.
6) Praktisi SDM harus menyadari bahwa belajar
berkesinambungan dan peningkatan kompetensi adalah
esensial untuk dapat berkontribusi secara efektif.
4 Peran Praktisi Bidang Sumber Daya Manusia
Menurut Ulrich (1997) terdapat 4 (empat) peran
praktisi bidang SDM yang harus dijalankan agar mereka
dapat menjalankan peran strategis dalam bisnis perusahaan,
yaitu peran sebagai:
95
1. Ahli Fungsional (Functional Expert), membantu
perusahaan melakukan efisiensi biaya operasional dari
sisi pengelolaan sumber daya manusia.
2. Sahabat Pekerja (Employee Champion), membantu
perusahaan untuk mengelola berbagai kebutuhan
karyawan. Dari kebutuhan yang sederhana hingga
pengembangan karir yang sangat kompleks.
3. Agen Perubahan (Change Agent), membantu
perusahaan untuk beradaptasi terhadap berbagai
perubahan.
4. Mitra Bisnis (Business Partner), membantu perusahaan
untuk mencapai target bisnis.
Peran sebagai Ahli Fungsional (Functional Expert) dan
sahabat pekerja (Employee Champion) sudah banyak
dijalankan oleh para praktisi bidang SDM dalam perusahaan
sebagai tugas utama departemen SDM. Meskipun demikian,
untuk meningkatkan peran yang lebih strategis, sebagai Agen
Perubahan (Change Agent) dan Mitra Bisnis (Business
Partner), maka perlu dilakukan transformasi mulai dari cara
pikir, organisasi, kompetensi, pendekatan dan hubungan
dengan departemen lain hingga hasil-hasil utama bidang
sumber daya manusia.
Tantangan bagi Praktisi Bidang Sumber Daya Manusia
Beberapa tantangan yang dihadapi oleh praktisi
bidang SDM dalam upaya mengukuhkan peran sebagai Mitra
Bisnis (Business Partner) dapat ditelaah dengan
mengevaluasi beberapa pertanyaan di bawah ini:
a) Talenta (Talent): Apakah perusahaan sudah atraktif
dalam menarik, memotivasi dan mempertahankan
96
karyawan yang berprestasi dan berkomitmen tinggi?
Praktisi bidang SDM perlu melakukan evaluasi secara
berkala dalam hal apa perusahaan atraktif dan mampu
mempertahankan top talents,
b) Kecepatan (Speed): Apakah praktisi bidang SDM mampu
melakukan perubahan yang penting dengan cepat? Para
praktisi bidang SDM harus sangat memahami dinamika
yang sedang terjadi dalam organisasi dan kemudian
meresponsnya
c) Berbagi Cara Berfikir (Share Mindset): Apakah
perusahaan sudah baik dalam meyakinkan karyawan dan
pelanggan sehingga mereka mempunyai gambaran yang
positif tentang perusahaan? Praktisi bidang SDM
diharapkan dapat memfasilitasi komunikasi antara
manajemen dengan karyawan dalam dalam masalah-
masalah penting
d) Akuntabilitas (Accountability): Apakah perusahaan
sudah baik dalam menerapkan disiplin yang
menghasilkan kinerja yang tinggi? Praktisi bidang SDM
mempunyai tugas dan tanggung jawab membangun sistim
penilaian kinerja yang baik dan sistim imbalan yang
memotivasi
e) Kolaborasi (Collaboration): Apakah perusahaan sudah
baik dalam hal bekerja lintas organisasi untuk mencapai
tingkat efisiensi dan keuntungan yang optimal? Praktisi
SDM dituntut untuk sensitif terhadap hubungan dan kerja
sama antar unit organisasi dalam perusahaan untuk
menghasilkan produktivitas kerja yang optimal
97
f) Pembelajaran (Learning): Apakah perusahaan sudah
baik dalam hal menggalang dan menggerakan idea-idea
yang berdampak yang tinggi? Praktisi SDM dapat memulai
inisiatif untuk menciptakan sistim penggalangannya,
misalnya dengan Knowledge Management
g) Kepemimpinan (Leadership): Apakah perusahaan
sudah baik dalam mengikat pemimpin yang mencapai
hasil yang baik dengan cara yang baik. Praktisi dan
manajemen SDM bertanggung jawab untuk menciptakan
pemimpin generasi berikut?
h) Koneksi Pelanggan (Customer Connection): Apakah
perusahaan sudah baik dalam membangun hubungan dan
kepercayaan pelanggan? Praktisi dan manajemen SDM
dapat mengambil inisiatif untuk mempromosikan
karyawan menjadi brand ambassador
i) Inovasi (Innovation): Apakah perusahaan sudah baik
dalam menciptakan proses, sistem atau prosedur yang
baru yang lebih efisien dan produktif. Seberapa jauh
praktisi bidang SDM dapat turut berkontribusi dalam
inovasi?
j) Kesatuan Strategik (Strategic Unity): Apakah
perusahaan sudah baik dalam mengartikulasikan dan
mengkomunikasikan strategi bisnisnya? Semakin luas
karyawan mengetahui dan memahami strategi
perusahaan, maka diharapkan semakin tinggi komitmen
mereka.
k) Efisiensi (Efficiency): Apakah perusahaan sudah baik
dalam mengelola biaya operasi perusahaan?
98
Tantangan-tantangan di atas sangat jelas mendorong
para praktisi bidang SDM untuk keluar dari pekerjaan-
pekerjaan administratif, dan kemudian memperhatikan
banyak persoalan yang lebih memberikan nilai tambah bagi
perusahaan. Meskipun demikian, untuk dapat melakukan
peran aktif ini, praktisi SDM harus hadir di semua unit
organisasi untuk dapat memahami apa yang sedang dan akan
terjadi, sehingga tidak sulit untuk berpartisipasi dan
berkontribusi. Hal ini penting karena terlalu sibuk dengan
urusan internal, sebagai praktisi SDM kita seringkali gagap
ketika diajak diskusi tentang sales, produk atau produksi; dan
bisnis secara keseluruhan.
Implementasi
Saat ini banyak perusahaan yang mengubah nama
jabatan HR Manajer atau HRD Manajer menjadi HRBP.
Meskipun demikian, ruang lingkup pekerjaannya tidak
berubah. Hal ini tidak salah, tetapi seyogyanya yang diubah
adalah cara pikir dan cara pandang terhadap peran praktisi
SDM nya terlebih dahulu. Pada tahun 2002, setelah
mempelajari berbagai tulisan tentang HR Value Creation dan
HR Transformation, Excelcomindo Pratama (sekarang XL
Axiata) memutuskan untuk melakukan perubahan organisasi
SDM dengan tujuan lebih meningkatkan pelayanan kepada
unit-unit organisasi secara lebih aktif. Keputusannya
dibentuklah unit Human Resource Business Partner yang
dipimpin oleh seorang pejabat setingkat General Manajer
beranggotakan 5 orang HRBP dengan kualifikasi jabatan
setingkat Manajer, 2 orang direkrut dari internal dan 3 orang
direkrut dari luar perusahaan. Ruang lingkup kerja mereka
99
adalah: a) manajemen kinerja (performance management), b)
manajemen talenta (talent management), c) pengembangan
organisasi (organization development).
Sementara itu, pelatihan (training), hubungan
karyawan (employee relations) dan remunerasi
(remuneration) ditangani oleh unit organisasi terpisah.
Dalam prakteknya sehari-hari HRBP berfungsi sebagai HR
Consultant bagi para Direktur, Vice President dan General
Manajer khusus untuk berbagai hal yang berkaitan dengan
ketiga ruang lingkup di atas.
Pada prakteknya, setiap praktisi HRBP menangani 1
atau lebih direktorat, tergantung kepada besarnya jumlah
karyawan di direktorat. Mereka selalu hadir dalam rapat
bulanan di direktorat yang menjadi area tanggung jawab
mereka untuk mengetahui program-program yang sedang
dan akan dilaksanakan. Secara rutin mereka juga melakukan
pertemuan dengan para pimpinan di direktorat untuk
membahas implementasi program dan dukungan (support)
yang dapat dilakukan oleh praktisi SDM, juga membahas
kinerja karyawan, pengembangan karir dan berbagai
masalah organisasi.
Mengapa perlu ada pembatasan ruang lingkup?
Terdapat pembatasan ruang lingkup yaitu a)
manajemen kinerja (performance management), b)
manajemen talenta (talent management) dan c)
pengembangan organisasi (organization development)
tersebut? Alasannya adalah, ketiga ruang lingkup penting
tersebut di atas dalam penanganannya membutuhkan:
pengetahuan dan keahlian khusus, perhatian yang spesifik
100
dan berbeda untuk setiap direktorat, dan perhatian yang
berkesinambungan. Dalam organisasi yang besar dan luas
manajemen kinerja (performance management) atau
manajemen talenta (talent management) kurang efektif bila
ditangani secara terpusat oleh satu unit saja, sementara bila
dipecah menjadi 2 unit organisasi juga terlalu mahal.
Hasilnya, peran HRBP sangat dirasakan manfaatnya oleh
semua unit organisasi dalam menangani berbagai tantangan
organisasi dan masalah-masalah manusia yang mereka
hadapi, bahkan ketergantungan mereka kepada HRBP sangat
besar. Dalam hal ini, yang penting SDM selalu hadir di tengah
mereka dan di tengah bisnis perusahaan, bukan lagi dipinggir
sebagai fungsi pendukung.
Daftar Pustaka
Ulrich, D. (1997). Human Resource Champions, Harvard
Business School Press.
Ulrich, D. & Broch Bank, W. (2005). The HR Value Propositions,
Harvard Business Review.
---ooOoo---
101
Human Resources Business Partner:
Apa Itu?
(Disampaikan pada Forum Sharing, Learning dan Networking
IOC, 21 May 2016)
Oleh:
P.M. Susbandono
102
Pengantar
Seorang teman yang kebetulan mempunyai halaman
rumah yang luas, mengeluh tentang tukang-kebun yang
bertugas merawat lahannya. Keinginan tuan dan nyonya
rumah tentang bagaimana halamannya yang luas ingin ditata,
ternyata sulit dipahami oleh si Mamang. “Padahal, saya tak
minta yang sesuatu yang rumit”, demikian ujar sang Tuan.
“Halaman depan dan samping sebelah timur, dibuat taman
yang asri, halaman samping barat khusus untuk tanaman
buah-buahan dan apotik hidup sedangkan halaman belakang
untuk arena bermain dan santai keluarga”. Dalam hal ini,
meskipun sudah ada permintaan tersebut, tetapi hal yang
dilakukan Mamang memang menjadi berantakan tak karuan.
Pohon mangga ditanam di depan rumah, bunga
bougenville ditaruh di belakang dan daun sirih sengaja
dirambatkan di bagian belakang, persis di depan kolam ikan
hias. Mendengar keluh kesah itu, diam-diam saya bisa
memahami kejengkelannya. Dari satu sisi, Mamang dapat
disebut sebagai “melawan perintah sang majikan”. Dalam
bahasa yang sedikit ilmiah, Ia disebut sebagai “tidak
kooperatif dan supportif”, dan kalau meminjam istilah dari
“Sang Guru HR”, Dave Ulrich (1997, 2005), Mamang disebut
sebagai tidak mampu menerjemahkan, apalagi mendukung,
visi, misi dan strategi bisnis dari pemilik saham (shareholder).
HRBP: Mengapa Harus Ada
Kasus serupa terjadi juga di banyak (sekali) organisasi
atau perusahaan. Itu yang dilihat selama ini, mengapa sering
ada “pertikaian” yang tak kunjung usai antara manajemen
puncak dengan versus pimpinan bidang SDM. Sang pimpinan
103
SDM atau apa pun sebutan yang berlaku di sebuah organisasi,
dianggap membandel atau berkeras tidak mau melakukan
apa yang digadang-gadang atasannya.
Manajemen puncak, yang biasanya direpresentasikan
oleh BOD, sering mengeluh tentang bagian SDM di bawah
sana, yang disebut “gagal paham” tentang apa yang
digagasnya terhadap cita-cita bisnis usahanya. Visi, misi dan
strategi perusahaan di satu sisi melawan konsep-konsep
baku SDM, di sisi yang berbeda acap kali tidak sinkron atau
malah bertolak belakang, baik secara konsep mau pun
implementasi. Sang pemimpin SDM biasanya berpegang
teguh dengan konsep pengelolaan SDM yang ilmiah dan hasil
dari teori-teori canggih ahlinya, minus bayangan akan
kemana dan bagaimana roda perusahaan akan digulirkan di
masa depan. Di sisi yang berlawanan, BOD menganggap
bahwa tujuan bisnis yang dijanjikan mereka kepada pemilik
modal harus dipegang teguh untuk ditepati hasilnya, apapun
dan berapapun ongkos yang harus dibayar, termasuk harus
melakukan pengingkaran akan konsep SDM yang
direkomendasikan oleh bagian SDM.
Lahirnya HRBP
Setahu saya, konsep HRBP belum banyak dipakai oleh
perusahaan-perusahaan di Indonesia. Kalau pun ada, itu
belum terlalu lama. Saya menggagas dan melahirkan konsep
HRBP di tempat saya bekerja, baru sekitar 15 tahun lalu.
Meski demikian, perjalanan ke depan untuk menerapkan
konsep ini, belum terlalu mulus. Biasanya, mudah
membuatnya, namun sulit memeliharanya. Beberapa teman
yang pernah melahirkan HRBP di tempatnya bekerja,
104
kabarnya mati suri setelah 2-3 tahun berjalan, dan mati
sesungguhnya setelah 5 tahun.
Gejala yang sempat saya amati adalah kurang atau
bahkan tidak tersedianya orang yang mampu mengemban
tugas yang berat namun mulia ini. Coba simak, apa
persyaratan agar seorang HRBP dapat menjalankan fungsi
dan perannya dengan pas.
HR business partners are HR professionals who work
closely with an organization’s senior leaders in order to develop
an HR agenda that closely supports the overall aims of the
organization. The process of alignment is known as HR business
partnering and may involve the HR business partner sitting on
the board of directors or working closely with the board of
directors and C-suite. HR business partners are often the most
senior HR professionals within the department, with experience
of putting points across to senior leaders on a regular basis.
Bapak HRBP, Dave Ulrich (1997) menyatakan bahwa
untuk menjadi praktisi HRBP yang efektif diperlukan hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, ia harus seseorang yang berpengalaman dan
kompeten di bidang SDM. Seorang praktisi HRBP harus
bersikap profesional dan tahu persis fungsi dan peran SDM
dalam bisnis yang sedang digeluti.
Kedua, ia haruslah seseorang yang menguasai dan
berpengalaman (tidak hanya tahu) akan visi, misi dan strategi
bisnis perusahaan. Dalam tingkat tertentu, seorang praktisi
HRBP harus tahu bagaimana bisnis dijalankan dan bagaimana
perusahaan beroperasi.
105
Ketiga, seorang praktisi HRBP haruslah mempunyai
hubungan yang dekat dan dapat berkomunikasi dengan BOD
dan shareholder. Mampu mengkomunikasikan ide,
pandangan dan konsep SDM dengan bahasa awam dan seiring
dengan konsep bisnis mereka.
Keempat, mengenal budaya dan perilaku organisasi serta
ciri-ciri anggota-anggota perusahaan.
Kelima, mampu menjadi penghubung antara strategi bisnis
milik perusahaan, dengan seluruh fungsi managemen yang
ada, seperti; keuangan, teknikal, operasi, pemasaran,
hubungan eksternal, teknologi informasi, dan sebagainya,
dengan menggunakan bahasa dari masing-masing fungsi
tersebut ditambah dengan nuansa SDM yang kental.
Satu hal harus dicatat, bahwa misi dan terutama
strategi bisnis yang hidup dalam kekinian, adalah sesuatu
yang bergerak setiap saat. Strategi bergerak berubah dalam
setiap periode waktu yang singkat. Kita tidak sedang hidup di
dalam kapal pesiar Titanic, yang besar, megah, laut yang
tenang, angin sepoi-sepoi, dengan awak kapal yang terlatih
dengan sempurna. Kita sedang hidup dalam suasana
berarung jeram di arus yang bisa berubah setiap saat, cuaca
yang berganti setiap detik, angin yang berubah arah setiap
tarikan nafas kita dan kondisi geografi yang tak mungkin
diduga sebelumnya.
Itu menambah berat beban seorang praktisi HRBP
yang dituntut mempunyai kemampuan beradaptasi dan
fleksibilitas yang tidak hanya tinggi tetapi juga harus tangkas
dan tahan banting.
106
Lalu Bagaimana?
Dari uraian di atas dapat kita bayangkan beratnya
persyaratan untuk menjadi seorang praktisi HRBP yang
efektif. Ia dituntut berpikir, bekerja dan bersikap bak
setengah dewa. Dave Ulrich (1997) telah mencoba
merumuskan bagaimana hidup sebagai seorang HRBP masa
kini. HRBP harus memenuhi 4 fungsi sebagai berikut:
1. Menguasai Bidangnya, semua konsep SDM yang sudah
begitu banyak dirumuskan oleh para ahli, harus
dijalankan seperti yang seharusnya. Teori baku SDM, dari
A sampai Z, terimplementasi dengan sempurna.
2. Sahabat para Pekerja, praktisi SDM harus membuat
seluruh pekerja menjadi nyaman dan aman dalam
bekerja. Semua hak pekerja diberikan seluruhnya tanpa
kecuali. Kewajiban pekerja disampaikan dengan benar
dan ikut mendukung manajer fungsi untuk
mengembangkan pekerja (people development) , sampai
batas kemampuan dan potensi maksimalnya.
3. Mitra Bisnis, mendukung pemegang saham, BOD dan
seluruh manajer fungsional dalam mewujudkan misi dan
target bisnis dengan strategi yang telah ditentukan dan
disepakati bersama.
4. Agen Perubahan, selalu menjadi garda terdepan dalam
setiap perubahan yang terjadi. SDM adalah lokomotif
perubahan, bahkan sering menjadi penggagas atas
perubahan itu sendiri.
Saya cenderung mengurutkan fungsi di atas, dari
nomer 1 sampai 4, secara sekuensial. Apabila anda sedang
diminta untuk membangun sebuah Departemen SDM yang
107
baru, mulailah merintis dari nomer 1 (menguasai bidangnya),
baru berturut-turut meningkatkan ke nomer 2 (sahabat para
pekerja), nomer 3 (mitra bisnis) dan nomer 4 (agen
perubahan).
Fungsi pertama dan kedua, mayoritas telah dipahami
oleh para praktisi HRBP di Indonesia, sementara fungsi ketiga
dan keempat, menjadi tantangan tersendiri untuk
mewujudkannya.
Apa yang Terjadi di Industri Minyak dan Gas?
Tantangan utama yang dihadapi oleh praktisi HRBP
adalah terpenuhinya kualifikasi bagi seorang praktisi HRBP
dan akseptabilitasnya. Itu semua adalah faktor internal yang
masih dapat diatasi dengan cara mencari dan
mengembangkan dari dalam (grow from within) atau mencari
dari luar (external recruitment).
Meskipun demikian, faktor eksternal yang (sangat)
sulit diatasi adalah berubahnya kondisi bisnis dengan sangat
cepat. Industri yang paling pas untuk dijadikan contoh kasus,
adalah minyak dan gas bumi (oil and gas). Diketahui secara
umum bahwa harga komiditas minyak berfluktuasi sangat
cepat. Dalam hal ini, ketika 2 tahun yang lalu harga minyak
dunia masih bertengger pada angka diatas USD 100/barrel,
maka dalam waktu 6-9 bulan kemudian, ia anjlog menjadi
kisaran hanya sepertiga sampai setengahnya. Dalam 5 tahun
terakhir, harga minyak turun menjadi hanya 35%-nya. Dalam
3 tahun turun menjadi hanya 40%-nya. Hal ini jelas membuat
strategi para praktisi HRBP dalam membuat program-
program jangka panjang, menengah dan pendek berubah
total. Harga bisa terombang-ambing dalam hitungan hari.
108
Pengembangan sumber daya manusia mengikuti kegaduhan
harga minyak (baca: bisnis) dengan relatif linier.
Bila hari ini organisasi berani membajak tenaga ahli
petro-technical dengan harga selangit yang aduhai, minggu
depan, praktisi HRBP harus memutar otak bagaimana
melepas para tenaga ahli ini dengan se-elegan mungkin. Bila
hari ini program pelatihan menjadi primadona, maka bulan
depan HRBP harus menjadwal-ulang seluruh kegiatan itu
hanya menjadi 10-25% nya saja. Bila hari ini anggaran berada
dalam puncak hitungan, semester depan pisau pemotong
anggaran menjadi sangat sering digunakan. Asumsi
keekonomian proyek berubah sama sekali dan struktur
organisasi mengikuti kaidah efisiensi dengan cara
perampingan yang drastis dan dramatis.
Sebagai praktsi SDM yang harus menari dengan irama
bisnis, kenyataan ini jelas bukan hal yang mudah. HRBP,
sekali lagi, dituntut fungsinya sebagai “mitra bisnis” dan
“agen perubahan” yang piawai. Daya adaptasi dan fleksibitas
yang (sangat) tinggi menjadi persyaratan utama untuk
suksesnya peran praktisi HRBP dalam mendukung tujuan
organisasi.
Penutup
Fungsi manajemen SDM dan strategi bisnis
perusahaan, jelas bukan merupakan 2 hal yang terpisah.
Dalam banyak hal, ia beririsan dan seringkali saling tumpang
tindih. Program SDM yang sama sekali terpisah dengan
strategi bisnis membuat ia seolah berada di awang-awang
dan tidak membumi. Pada akhirnya, hasilnya tidak akan
digunakan oleh organisasi. Ini yang disebut sebagai sia-sia
109
atau mubazir. Itulah mengapa Ulrich (1997) menekankan
pentingnya sumber daya manusia yang bernuansa bisnis,
atau bisnis yang berlatar-belakang sumber daya manusia.
Sejumlah kriteria untuk menjadi HRBP dirumuskan agar ia
mampu menjadi jembatan antara bisnis dan pekerja,
sekaligus mendukung semua fungsi managemen yang ada.
Tanda-tanda para praktisi bidang SDM sudah menjadi
“mitra bisnis” sangat mudah. Coba jawab pertanyaan ini,
sejauh mana fungsi SDM dilibatkan dalam keputusan
manajemen yang strategis? Semakin sering ia dilibatkan,
maka dapat dikatakan bahwa fungsi SDM sebagai “mitra
bisnis” dan “agen perubahan” sudah terjawab. Bila semakin
jarang, maka jangan kecewa apabila SDM – atau apa pun nama
fungsi itu – hanya cukup memenuhi kedua fungsi pertama
dan kedua, yaitu menguasai bidangnya dan menjadi sahabat
para pekerja.
Daftar Pustaka
Ulrich, D. (1997). The Human Resource Champion. Harvard
Business Review.
---ooOoo---
110
Halaman ini sengaja dikosongkan
111
HUMAN RESOURCE TRANSFORMATION
DI UNILEVER INDONESIA
Oleh:
Irwan Dewanto
112
Ketika hampir 20 tahun yang lalu Dave Ulrich (1997)
menerbitkan buku nya yang sangat berdampak di dunia
manajemen SDM hingga saat ini yang berjudul “HR Champion:
The Next Agenda for Adding Value and Delivering Results
(Harvard Business School Press, 1997)”, para praktisi bidang
SDM di seluruh dunia berlomba-lomba untuk mengadopsi
seluruh atau sebagian dari teori-teori yang ada di buku
tersebut di perusahaannya masing-masing.
Buku tersebut mengubah paradigma para praktisi
SDM dari yang semula berorientasi pada proses menjadi lebih
berorientasi pada hasil. Selain itu, buku ini juga memberikan
tantangan kepada mereka terkait dengan bagaimana para
praktisi bidang SDM tersebut bisa memberikan nilai tambah
yang dapat diukur secara bisnis melalui kinerja keuangan;
bagaimana fungsi bidang SDM di sebuah perusahaan bisa
berubah dari hal-hal yang sifatnya administratif menjadi ke
hal-hal yang sifatnya lebih strategis yakni sebagai business
partners melalui sebuah perubahan desain organisasi
didalam bidang SDM itu sendiri; dan bagaimana manajer lini
menjadi pendukug karyawan (people champions) yang
merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap semua
kebutuhan pengelolaan manusia di dalam timnya sendiri.
Unilever Global juga termasuk pihak yang merasa
perlu melakukan perubahan yang terinspirasi oleh tulisan
Dave Ulrich tersebut melalui sebuah inisiatif global yang
bernama “HRT/HR Transformation” yang mulai diterapkan di
Unilever Indonesia pada tahun 2005. Secara organisasi,
bidang SDM berubah bentuk dari organisasi yang berbasis
fungsi dan geografi menjadi 3 pilar utama yaitu:
113
1) Pelayanan SDM (HR Service) yang menangani semua
transaksi-transaksi administrasi karyawan.
2) Tim Ahli (Expertise Team) yang menjadi center of
excellence di pengembangan kepemimpinan dan reward.
3) HRBP yang melekat di masing-masing unit bisnis.
Selain 3 pilar utama tersebut terdapat juga organisasi
General Affairs dan Security yang mendukung operasional
perusahaan. Salah satu latar belakang perubahan organisasi
tersebut adalah untuk membebaskan HRBP dari beban
transaksi administratif sehinggal bisa lebih fokus untuk
memberikan nilai tambah ke bisnis.
Perubahan organisasi mendasar tersebut menuntut
perubahan pola pikir baik dari dalam tim praktisi bidang SDM
itu sendiri maupun dari seluruh pemangku kepentingan di
perusahaan. Perubahan pola pikir inilah yang sampai
sekarang masih berjalan dengan segala dinamikanya yang
akan saya bahas dengan urutan sebagai berikut:
a. Tahap Implementasi awal.
b. Tantangan-tantangan yang dihadapi.
c. Langkah-langkah yang dilakukan.
d. Kondisi saat ini.
e. Pelajaran yang bisa diambil.
A. Tahap Implementasi Awal
Pada saat inisiatif ini mulai diberlakukan di Indonesia,
proses edukasi terhadap tim internal HR dan manajer lini
dilakukan secara bersamaan. Beberapa orang kunci dari
masing-masing fungsi direkrut sebagai agen perubahan.
Serangkaian aktivasi dalam rangka mengkampanyekan
114
perubahan dan menciptakan kegairahan terhadap perubahan
ini dilakukan.
B. Tantangan yang Dihadapi
1) Tantangan dari pihak di luar bidang SDM.
Reaksi pertama yang banyak muncul dari para
manajer lini di semua level adalah pendapat bahwa
dengan memberikan tanggung jawab untuk
pengelolaan karyawan kepada mereka, berarti bidang
SDM melemparkan tugas tradisionalnya selama ini
kepada manajer lini. Hal ini membuat rasa percaya dan
hubungan baik yang selama ini terbina diantara
praktisi bidang SDM dan Manaajer Lini menjadi sedikit
terganggu.
2) Tantangan dari Internal Tim Bidang SDM.
Tantangan yang justru tidak banyak diantisipasi
adalah keengganan untuk berubah dari internal tim
bidang SDM itu sendiri. Selama ini para praktisi bidang
SDM tampaknya sudah merasa nyaman berada di
kondisi yang tidak memiliki indikator kinerja utama
(key performance indicator) yang bisa diukur. Dengan
perubahan ini, para praktisi SDM harus lebih fokus
untuk memberikan nilai tambah ke bisnis yang berarti
juga harus adanya kompetensi ataupun keahlian baru
yang harus dikuasai. Business Acumen salah satunya,
adalah sebuah keahlian atau kompetensi yang pada
saat itu dirasa bukan hal yang wajib dimiliki oleh
seorang praktisi bidang SDM yang akan menjadi
HRBP.
115
C. Langkah-langkah yang Dilakukan
1) Penyesuaian terhadap proses bisnis.
Prosedur kerja yang baru tercipta setelah perubahan
ini disesuaikan dengan praktek dan budaya yang ada
di Indonesia. Prosedur kerja itu termasuk tugas dan
fungsi ketiga pilar dari HRT tersebut, dan juga proses
di dalam bidang SDM itu sendiri yang sekarang
melibatkan para manajer lini dari mulai merekrut
karyawan sampai dengan melakukan proses
pemutusan hubungan kerja.
2) Mengelola pemangku kepentingan (stakeholders).
Perubahan organisasi bidang SDM yang disertai
dengan perubahan fungsi dan prosedur kerja tersebut
menuntut usaha yang lebih dari para manajer lini serta
penguasaan keterampilan atau kompetensi yang
selama ini kurang dikuasai oleh para manajer lini.
Proses sosialisasi di semua level dan unit bisnis
dilakukan secara marathon dalam rangka
menjelaskan latar belakang perubahan dan tujuannya.
3) Proses edukasi bagi para manajer lini.
Proses edukasi ini dilakukan secara bertahap dalam
rangka pengkondisian dan untuk memastikan tidak
ada proses yang terlewat. Proses penyapihan ini
terjadi secara individual di masing-masing unit bisnis
tergantung kepada tingkat kematangan dari para lini
manajer dan juga ketegasan dan kesungguhan dari
masing-masing HRBP di unit bisnis tersebut. Dua hal
ini adalah faktor penting yang mempengaruhi
keberhasilan HRT di unit bisnis tersebut.
116
D. Kondisi Saat Ini
Sebelas tahun berjalannya HRT di Unilever Indonesia,
memiliki agenda untuk pengelolaan tim sudah menjadi
kebiasaan yang dimiliki oleh para manajer lini.
Keterampilan untuk melakukan wawancara, coaching,
mengatasi percakapan yang sulit, dan hubungan
industrial sudah menjadi keterampilan yang wajib
dimiliki oleh para manajer lini. Bahkan kemampuan-
kemampuan tersebut yang sering menjadi pembeda
dalam kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh para
manajer lini tersebut.
E. Pelajaran yang Bisa Diambil
1) Manajemen perubahan yang lebih tepat.
Seperti layaknya sebuah perubahan yang harus
melalui fase Forming-Norming-Storming-Performing,
maka HRT ini membutuhkan waktu dan sumber daya
yang harus secara berdedikasi diberikan untuk
mengawal perubahan ini di tingkat korporasi, bukan
hanya diserahkan ke masing-masing HRBP.
2) Pendekatan yang inside-out.
Proses edukasi ditahap awal yang sangat menekankan
kepada sosialisasi prosedur kerja yang baru ke para
manajer lini, dan bukan fokus kepada bagaimana
mendapatkan kesepakatan dan dukungan dari
internal tim SDM sendiri, membuat keseluruhan
proses pengelolaan perubahan berjalan kurang
efektif. Masing-masing HRBP perlu dilengkapi dengan
keterampilan untuk mengelola konflik yang mungkin
saja dihadapi dengan para manajer lini atau juga
117
kemampuan untuk mengatasi dan rasa tidak nyaman
karena harus menguasai sejumlah keterampilan baru.
3) Penerapan yang konsisten.
Kurangnya kesepakatan dan dukungan serta tips bagi
para HRBP untuk melakukan perubahan ini, membuat
penerapan di masing-masing unit bisnis menjadi tidak
sama. Hal ini bisa jadi akan saling meniadakan satu
sama lain, tidak bisa menciptakan efek bola salju
seperti yang diharapkan pada awalnya. Kurangnya
pemimpin yang menjadi contoh dalam hal mengadopsi
prosedur kerja baru dari tingkat manajemen puncak
juga menjadi faktor yang menentukan, karena
bagaimana pun juga sebuah perubahan kebiasaan dan
budaya idealnya dimulai dari atas ke bawah (top
down), bukan sebaliknya.
4) Diadakannya proses penyegaran secara efektif dan
berkala.
Pengurangan dari manajer lini, baik karena
pengunduran diri, promosi, maupun pensiun,
menimbulkan serangkaian pergantian manajer lini
baru yang belum pernah mendapatkan sosialisasi
mengenai peran manajer lini dalam fungsinya sebagai
pengelola sumber daya manusia di unit yang
dipimpinnya, termasuk tips dalam melakukan
komunikasi dengan karyawan/ tim didalam sistem.
Selain itu pergantian atau pembaruan sistem
menyebabkan para manajer lini yang lama juga
membutuhkan sesi penyegaran. Sesi penyegaran ini
118
harus dilakukan disiplin dan jika perlu dilengkapi
dengan buku panduan praktis yang telah diperbarui.
Daftar Pustaka
Ulrich, D. & Brockbank, W. (1997). The HR Value Proposition,
Harvard Business Review.
---ooOoo---
119
HRBP:
Suatu Tinjauan Psikologis
Oleh:
Yodi Donatrin
120
Pengantar
Salah satu hakikat sebuah organisasi adalah adanya
manusia manusia yang menggerakkan bisnis usaha itu untuk
mencapai satu tujuan. Dalam hal ini tujuan dari sebuah bisnis
adalah menghasilkan keuntungan. Berdasarkan pengamatan
dan seiring dengan berjalannya perubahan gerak ekonomi
tradisional, lokal maupun global, sangat dibutuhkan
pengelolaan sumber daya yang terkait dalam perilaku usaha,
dengan tujuan perilaku usaha tersebut mencapai keuntungan
maksimal.
Aspek pengelolaan sumber daya manusia ini
mengalami beberapa periode transformasi. Sejak yang
awalnya lebih berfokus pada administrasi pengelolaan
sumber daya manusia, atau yang dulu kita kenal dengan
personalia, kemudian berkembang menjadi pengembangan
sumber daya manusia. Dalam hal ini, ketika berfungsi sebagai
bagian pengembangan sumber daya manusia (HRD), bagian
HRD kemudian dilihat sebagai pihak yang aktif untuk
memikirkan pengembangan seluruh karyawan agar dapat
memaksimalkan potensinya untuk mencapai tujuan
organisasi. Pada transformasi selanjutnya, kita mengenal
istilah Human Capital, dimana pada kondisi ini sumber daya
manusia dilihat sebagai modal penting yang menggerakkan
bisnis. Bagian sumber daya manusia tidak lagi dilihat sebagai
fungsi pendukung, melainkan ditempatkan sebagai mitra
strategis dalam berbisnis atau yang sering kita kenal dengan
sebutan Human Resources Business Partner (HRBP).
Pada tulisan ini, pembahasan adalah berdasarkan dari
sisi kacamata pengalaman dan pemahaman pribadi selama
121
berkarir di dunia kerja sebagai praktisi Human Resources,
baik di usaha yang berkapasitas lokal maupun global,
sekaligus sebagai praktisi Human Resources yang berlatar
belakang pendidikan Psikologi Terapan Sumber Daya
Manusia.
Pengertian HRBP
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita memahami
kata dari Human Resources Business Partner. Selanjutnya
secara singkat akan ditulis sebagai HRBP.
HRBP adalah praktisi sumber daya manusia yang
bekerja dengan para pemimpin senior yang membantu
mengembangkan aktivitas bisnis dan mendukung pencapaian
target-target bisnis organisasi tersebut. Adapun tingkatan
seorang praktisi HRBP bisa di tingkat unit usaha, di tingkatan
departemen atau di jajaran direktorat sebagai mitra strategis.
Istilah HRBP dipopularisasikan oleh seorang
akademika dan konsultan kelas dunia dunia, David Ulrich
(1997). Ia adalah seorang manajemen guru yang banyak
mempengaruhi cara pandang dan bagaimana menjalankan
pengelolaan sumber daya manusia dekade belakangan ini.
Mari kita melihat strategi pendekatan David Ulrich
Model dalam pengelolaan SDM. Pendekatan Dave sudah
banyak dilakukan oleh praktisi sumber daya manusia di
Indonesia, namun seringkali semua itu diluar kesadaran kita
sebagai pengelola SDM, baik sebagai pekerja atau pelaku
usaha yang bergerak mengarah pada mencari keuntungan
secara eknomi dan perilaku. Empat peran strategis seorang
pengelola sumber daya manusia yang dipopulerkan oleh
122
David Ulrich (1997) dalam strategi pengelolaan sumber daya
manusia:
1. Sebagai mitra strategis dalam berbisnis (HRBP).
2. Sebagai agen perubahan (change agent).
3. Sebagai ahli di bidang administrasi (administration
expert).
4. Seran sebagai penasehat bagi karyawan (employee
advocate).
Peran Praktisi Sumber Daya Manusia Sebagai Mitra
Strategis Dalam Berbisnis (HRBP)
Dalam hal ini praktisi HRBP berperan membangun
kemitraan yang strategis dan hubungan yang berdedikasi
kepada pihak-pihak internal organisasi dan sebagai titik
kontak utama untuk hal hal yang terkait pelayanan sumber
daya manusia dalam organisasi. Selain itu, praktisi HRBP juga
berpengaruh positif dalam merancang struktur organisasi
dan mengidentifikasi talenta yang dibutuhkan dalam setiap
sel di struktur organisasi untuk meningkatkan produktifitas
dan aktivitas usaha.
Praktisi HRBP membantu memastikan setiap proses
kerja di dalam organisasi mampu berkontribusi terhadap
produktifitas dan peningkatan pendapatan usaha. Sebagai
mitra strategis, praktisi HRBP diharapkan mampu
memberikan umpan balik yang obyektif kepada pihak
internal untuk digunakan dalam meningkatkan prosedur,
layanan, proses dan system kerja menuju efektivitas
organisasi. Dalam situasi konflik di unit bisnis, praktisi HRBP
juga diharapkan mampu memfasilitasi pertemuan untuk
menyelesaikan konflik secara setara dan berimbang. Untuk
123
itu seorang praktisi HRBP tidak hanya harus memiliki
kompetensi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya
manusia, namun juga perlu memiliki analisa dan wawasan
bisnis yang memadai, pengetahuan mengenai hubungan
industrial serta mampu mengambil keputusan secara cepat
dan tepat.
Peran Strategis Praktisi Sumber Daya Manusia Sebagai Agen Perubahan (Change Agent)
Peran strategis kedua yang disampaikan oleh David
Ulrich (1997) adalah praktisi sumber daya manusia sebagai
agen perubahan (change agent) Disini, praktisi SDM aktif
berpartisipasi dalam tim manajemen perubahan dan
mengambil tanggung jawab untuk mengkomunikasikan
dalam perubahan internal agar mendapat kepercayaan dari
karyawan. Praktisi SDM diharapkan dapat mengarahkan
inisiatif untuk mempersiapkan karyawan menghadapi
organisasi dalam sistim yang berubah.
Peran HR sebagai agen perubahan juga merencanakan
komunikasi internal dan intervensi struktural agar program-
program perubahan terkait peningkatan usaha mudah
dipahami dan dapat dicapai. Masih dalam kerangka
perubahan, praktisi SDM juga berperan dalam merencanakan
pelatihan bagi karyawan dan membantu mereka untuk
memperoleh ketrampilan dan kompetensi baru yang
diperlukan dalam perubahan peran maupun tanggung jawab
yang terjadi di organisasi.
124
Peran Strategis Praktisi SDM Sebagai Ahli Administrasi (Administration Expert)
Sebelum tahun 1990-an, pemilik usaha atau pimpinan
perusahaan lebih banyak mengharapkan praktisi sumber
daya menusia hanya sebagai pelaksana ahli yang
menjalankan fungsi administrasi ketenagakerjaan. Tidak
dilihat sama sekali peran seorang praktisi SDM sebagai Mitra
berusaha (bisnis partner). Saat ini HR Model berdasarkan
David Ulrich (1997) peran personalia dan administrasi
tersebut tidak hilang, tetapi menjadi lebih luas dan strategis
sifatnya.
Peran strategis praktisi SDM sebagai ahli administrasi
(Administration Expert), merupakan peran praktisi SDM yang
memastikan adanya keahlian yang mumpuni dalam
Administrasi, dan menjaga proses transaksi yang akurat.
Dengan demikian praktisi SDM dapat dipercaya dalam
mejalankan peran dan tanggung jawabnya.
Dalam kaitannya dengan peran ini, praktisi SDM perlu
memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hukum
perburuhan, bagaimana melakukan negosiasi strategis dalam
hubungan industrial, bagaimana langkah strategis dalam
menghadapi konflik hubungan industrial yang rumit,
bagaimana menjaga kerahasian data karyawan, pimpinan
organisasi dan pemilik beserta keluarga, serta bagaimana
menjaga kepatuhan atas regulasi regulasi ketenagakerjaan.
Sebagai ahli di bidang administrasi penting pula untuk
mendalami dan mengimplementasi sistem teknologi
informasi (human resources information system ‒ HRIS)
termutakhir sehingga kendala kendala keakuratan data dan
125
durasi pendataan yang lama dan tidak konsisten dan
dilakukan secara manual dan tradisional dapat digantikan
dengan sistem yang akurat.
Peran Strategis Praktisi SDM Sebagai Penasehat Karyawan (Employee Advocate)
Peran strategis berikutnya adalah praktisi SDM
berperan sebagai penasehat karyawan merupakan peran
penting bagi praktisi SDM untuk bermitra dengan divisi lain.
Praktisi SDM harus mampu mewakili pekerja terutama dalam
menjaga tingkat minat para pekerja dari tingkat pelaksana
sampai dengan tingkat pengambilan keputusan, dan dengan
tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan karyawan
dengan kepentingan organisasi.
Untuk ini praktisi SDM dapat melaksanakan secara
regular survey dan aktivitas aktivitas intervensi, seperti
survey pendapat karyawan, aktivitas pembentukan tim (team
building), dan kegiatan mentoring maupun coaching. Proses
ini penting sebagai pemasukan data akurat atas pendapat
pekerja.
Sebagai Employee Champion, diharapkan praktisis
SDM dapat menjadi penengah antara karyawan dan
manjemen untuk kepentingan kedua belah pihak. HR
diharapkan berinisiatif mengarahkan bagaimana pekerja
meningkatkan pengalamannya melalui proses kerja agar
memiliki kemampuan yang terus terasah sehingga menjadi
ahli di bidangnya. Di sisi lain, manajemen perlu menyiapkan
program yang tepat untuk memberikan kesempatan
mengembangkan diri, meningkatkan karir, beralih profesi
126
yang lebih menantang dan proses peningkatan jenjang karir
dalam organisasi.
Penutup
Dengan mengaplikasikan empat peran strategis
praktisi SDM yang diinspirasi dari David Ulrich, praktisi HR
akan memposisikan diri sebagai mitra strategis dalam bisnis
sehingga proses pengambilan keputusan bisnis yang strategis
juga perlu melibatkan praktisi HRBP. Hal ini sejalan dengan
transformasi Model Human Resources dari David Ulrich &
Brockbank (1997) ini, para praktisi HRBP perlu secara aktif
mengembangkan kompetensi di berbagai bidang seperti,
keuangan, pengelolaan pendapatan, produktifitas, penjualan,
pemasaran, bahkan untuk hal-hal yang terkait dengan
teknologi informasi.
Daftar Pustaka
Ulrich, D. & Brockbank, W. (1997). The HR Value Proposition,
Harvard Business Review.
---ooOoo---
127
Employee Engagement di
Tempat Kerja
128
129
Employee Well-being
dan
Employee Engagement
(Disampaikan pada Forum Sharing, Learning dan Networking
IOC, 23 Juli 2016)
Oleh:
Isdar Andre Marwan
130
Pengantar
Employee Engagement tetap merupakan topik yang
penting bagi banyak pimpinan puncak perusahaan besar di
dunia. Employee engagement adalah sebuah kondisi
emosional dimana seorang karyawan merasa bergairah,
energik, dan berkomitmen pada pekerjaannya. Hal ini akan
membuat karyawan bekerja dengan sepenuh hati, pikiran,
jiwa dan raganya. Dalam penelitian AON Hewitt, terbukti
bahwa setiap kenaikan 5% dari skor employee engagement
akan meningkatkan pendapatan perusahaan 3% di tahun
berikutnya.
Pada penelitian AON yang lainnya mereka
menemukan bahwa perusahaan terbaik dalam hal employee
engagement menghasilkan total shareholder return yang lebih
baik secara signifikan, yaitu 57% lebih baik dibandingkan
perusahaan lainnya. Karyawan yang memiliki keterikatan/
kelekatan (engagement) yang tinggi akan bekerja lebih dari
yang diminta, tidak heran jika hal ini akan meningkatkan
produktivitas karyawan. Secara akumulatif hal ini akan
bermuara pada peningkatan produktivitas perusahaan.
Perusahaan yang lebih produktif juga akan mendorong
melajunya keuntungan perusahaan. Hasil-hasil riset inilah
yang menjadikan employee engagement menjadi penting bagi
para pemimpin puncak perusahaan. Dengan pemahaman
bahwa employee engagement adalah sesuatu yang penting,
maka banyak riset lanjutan yang dilakukan untuk
menemukan apa yang dapat meningkatkan employee
engagement. Sebuah lembaga konsultan atau penelitian
lainnya, Tower Watson menemukan bahwa salah satu faktor
131
terpenting untuk meningkatkan employee engagement adalah
employee well-being.
Kesejahteraan Karyawan (Employee Well-being)
Employee Well-being merupakan suatu keadaan
dimana karyawan merasa bahagia bekerja di dalam
perusahaan. Rasa bahagia ini mereka nilai berdasarkan
pandangan mereka, perasaan, dan persepsi terhadap
pekerjaan dan juga perusahaannya. Satu hal yang penting
mengenai employee well-being adalah seberapa besar
karyawan percaya bahwa pemimpin senior perusahaan
betul-betul peduli terhadap kesejahteraan atau well-being
mereka. Meskipun demikian, hasil survey membuktikan
bahwa hanya sekitar 39% karyawan yang berpikir bahwa
pemimpin senior mereka betul-betul peduli pada mereka.
Dalam diskusi mengenai employee well-being banyak
orang akan merujuk pada hasil kerja Jim Harter dari Gallup
yang mengungkapkan 5 dimensi penting pada well-being
seseorang, yaitu:
1) Tujuan (purpose), menyukai apa yang dikerjakan setiap
hari dan termotivasi untuk mencapai tujuan;
2) Sosial (social), mempunyai hubungan yang mendukung
dan cinta dalam hidupnya;
3) Finansial (financial), mengelola ekonomi yang dapat
mengurangi stress dan meningkatkan rasa aman;
4) Masyarakat (community), mencintai lingkungan tempat
tinggal, merasa aman dan bangga terhadap komunitas;
5) Kondisi Fisik (physical), memiliki kesehatan yang baik dan
mampu menyelesaikan pekerjaan setiap hari.
132
Studi Kasus: Manulife Indonesia
Studi kasus bisa memberi gambaran praktis pada kita
bagaimana sebuah perusahaan membangun dan
mengimplentasikan employee well-being programnya.
Manulife Indonesia, salah satu The Best Company to Work for
in Asia, akan menjadi studi kasus kita. Di Manulife Indonesia,
filosofi employee well-beingnya adalah adanya 6 pilar yaitu
physical well-being, financial well-being, emotional well-being,
social well-being, work life balance dan enabling work. Untuk
gambaran yang lebih detil dibawah ini akan dibahas setiap
pilar satu per satu dengan contoh-contoh programnya.
Kesejahteraan Fisik (Physical Well-being) terdiri atas:
a. Pengecekan kesehatan secara berkala untuk seluruh staf.
b. Bincang-bincang kesehatan (health talk) dengan
menghadirkan dokter untuk berbicara pada staf tentang
topik kesehatan.
c. Potongan harga untuk melakukan olahraga di salah satu
pusat olahraga di Jakarta.
Kesejahteraan Finansial (Financial well-being) terdiri atas:
a. Memberikan pelatihan financial literacy pada staf.
b. Memberi potongan harga untuk produk-produk Manulife.
c. Memberi insentif pada staf yang membeli polis dan rekasa
dana secara on-line.
Keseimbangan Kehidupan dan Kerja (Work Life Balance)
terdiri atas:
a. Menerapkan jam kerja yang fleksibel.
b. Bekerja dari rumah (akan segera diimplementasikan).
133
c. Memberi staf cuti di hari ulang tahun (birthday leave) satu
hari dalam setahun.
d. Mengkaji ulang kebijakan cuti dan menyesuaikan jumlah
hari cuti untuk staf.
Memfasilitasi Pekerjaan (Enabling Work) terdiri atas:
a. Menyediakan fasilitas penitipan anak (day care) untuk
anak-anak staf pada masa lebaran.
b. Merenovasi ruang menyusui.
c. Menyediakan potongan harga untuk staf membeli polis
dan potongan harga untuk membeli makanan di restoran-
restoran yang ada di gedung Manulife Indonesia.
Kesejahteraan Emosional (Emotional Well-being) terdiri atas:
a. Menyiapkan kesejahteraan untuk staf dengan Work Life
Coaching atau Employee Assistance Program.
b. Seminar well-being untuk karyawan mengenai positive
thinking, thriving through change, dan lain-lain.
Kesejahteraan Sosial (Social Well-being) terdiri atas:
a. Nonton bersama-sama staf (Movie Night).
b. Jalan-jalan pagi dan senam bersama seluruh staf.
c. Membentuk wadah untuk setiap minat yang diinginkan
(futsal, paduan suara, fotografi, yoga, book club, movie
club, band, muay thai, memancing, bulutangkis, basket,
dan lain-lain).
---ooOoo---
134
Halaman ini sengaja dikosongkan
135
Motivation, Engagement
and Well-being
Oleh:
Sandi Kartasasmita
136
Saat ini, sudah banyak orang yang mulai menyadari
bahwa motivasi itu tidak dapat lagi berdiri sendiri. Motivasi
memang baik dan memiliki kekuatan tersendiri untuk
membuat seseorang (dalam hal ini karyawan) mau
melakukan sesuatu yang sesuai dengan tujuan perusahaan.
Seperti yang telah dipahami bersama bahwa motivasi ada
yang sifatnya internal dan ada pula yang eksternal. Motivasi
eksternal yang paling mudah dikenali adalah pemberian upah
yang tinggi. Meskipun demikian, terkadang banyak
perusahaan tetap mengalami kendala dalam menghadapi
karyawannya. Gaji sudah tinggi dibandingkan perusahaan
lain, namun produktifitas tetap saja rendah. Apakah karena
karyawannya memiliki kompetensi kerja yang kurang?
Setelah dipelajari lagi, ditemukan hasil bahwa
kompetensi karyawan berada pada kategori lebih baik dari
perusahaan kompetitor, lalu apa penyebabnya? Terkadang
hal yang dilupakan adalah motivasi internal. Motivasi internal
adalah dorongan yang datang dari dalam diri karyawan untuk
menghasilkan karya (produktif) dan bukan sekadar
menerima gaji. Dalam hal ini, jika kita mengamati motivasi
pada diri seseorang kita akan dapat melihat bagaimana
seseorang tergerak dan memiliki perasaan akan apa yang ia
kerjakan.
Motivasi internal dapat dipercaya bisa memberikan
dampak yang cukup besar terhadap keberhasilan pekerjaan.
Meskipun demikian, saat motivasi itu berubah menjadi
engagement, maka akan memberikan hasil yang lebih besar
lagi untuk perusahaan.
137
Jika kita bicara mengenai engagement tentunya
banyak teori yang dapat dipakai sebagai rujukan. Walaupun
demikian, terdapat sebuah konsep sederhana mengenai
engagement, yaitu: Engagement yang tinggi adalah
merupakan hasil dari: Keamanan kerja + Melakukan
pekerjaan yang secara signifikan sesuai dengan
minatnya + Kesempatan untuk berkembang + Rekan
kerja yang kooperatif dan memberikan dukungan + Gaji
yang baik.
Hal yang akan menjadi pembahasan selanjutnya
adalah bukan sekadar seberapa tinggi engagement karyawan
tersebut, tetapi juga perlu dipertimbangkan bagaimana
kualitas engagementnya. Menjadi menarik apabila membahas
engagement yang tinggi dibahas pula bagaimana Thinking
Preference-nya. Dalam pendekatan Thinking Preference
terdapat 4 bidang engagement, yaitu:
Mengundurkan diri (Resigned) adalah saat keinginan
untuk engagement rendah bertemu dengan kualitas
engagement juga rendah. Saat dua hal ini bertemu, yang
terjadi adalah karyawan tersebut akan cenderung memiliki
kemungkinan besar untuk keluar dari perusahaan.
Penghancuran (Destructive), adalah dimana terdapat
kondisi engagement kepada perusahaan tinggi, namun
kualitasnya rendah. Hal ini akan membuat pekerja menjadi
berkompetisi dengan sesama pekerja, bukan untuk
meningkatkan produktivitas, namun lebih kearah ingin
memperlihatkan siapa yang terhebat diantara mereka
dengan segala cara.
138
Semangat yang rendah, tidak termotivasi (Inert), adalah
satu keadaan dimana engagement pekerja kepada
perusahaan rendah namun kualitas engagement tinggi. Bila
hal ini terjadi, maka yang akan terjadi adalah hanya
melakukan pekerjaan rutin sesuai dengan keinginan
perusahaan, namun sulit untuk menerima adanya
perubahaan.
Produktif (Productive), adalah kondisi yang ideal karena
keinginan untuk engagement dan kualitas engagement nya
berada pada posisi sama-sama tinggi. Kondisi ini akan
menghasilkan pekerja yang memiliki tujuan dan akan meraih
tujuan sesuai dengan tujuan perusahaan.
Keempat bidang engagement tersebut di atas dapat
dilihat pada Gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5: Thinking Preference
Contoh Kasus Penerapan Thinking Preference
Dengan menggabungkan antara motivasi dengan
engagement ini, maka akan didapatkan hasil yang sangat baik
untuk perusahaan. Berikut ini akan dibahas contoh kasus dari
sebuah perusahaan multinasional yang sudah berdiri
139
semenjak tahun 2003, dengan jumlah karyawan lebih dari
200 orang. Perusahaan ini memiliki budaya kerja yang sangat
baik, Keamanan kerja merupakan yang sangat diperhatikan
dengan rinci (K3 dijalankan dengan baik). Setiap karyawan
merasa bahwa hubungan antar karyawan seperti saudara.
Saat perusahaan membuat perusahaan baru, apabila ada
karyawan yang memiliki kompetensi baik maka akan
diberikan kesempatan untuk memegang tampuk pimpinan di
perusahaan baru tersebut. Selain itu mereka juga
mendapatkan penghasilan di atas Upah Minimum Regional
daerah. Sehingga bila mengikuti perhitungan tersebut,
sepertinya setiap karyawan akan memiliki engagement yang
tinggi.
Pada dasarnya terdapat banyak cara untuk dapat
mengukur produktifitas kerja, motivasi maupun engagement
seseorang. Meskipun demikian. dalam tulisan ini digunakan
Identity Compass® sebagai tools untuk melihat Thinking
Preference karyawannya. Alat ukur ini diciptakan oleh Arne
Maus (2011), seorang Management trainer and coach dalam
berbagai perusahaan. Berikut ini adalah contoh kasus yang
menggunakan Identity compass ®.
Gambar 6: Engagement
140
Gambar 7: Identity Compass
Karyawan A
A adalah karyawan dengan posisi manager. A sudah
bekerja 2 tahun lebih di perusahaan ini. A pindah ke
perusahaan ini karena ingin dekat dengan istri (sebelumnya
A dan istri tinggal beda kota). Selama menjalankan tugas, A
merasa bahwa ia senang bekerja di perusahaan ini. Namun,
bila melihat dari Thinking Preference nya, terlihat bahwa
terdapat saat ini A masih merasa intensitas engagement
dengan perusahaan masih rendah, namun kualitas
engagementnya tinggi. Hal ini menandakan bahwa pada
dasarnya A menerima tujuan perusahaan dengan senang. A
memiliki rasa aman yang tinggi dalam menjalankan
pekerjaan rutinitas. Ada rasa persatuan dan perasaan kuat
untuk pertahanan diri. Akibatnya muncul resistensi terhadap
141
kreativitas dan resistensi terhadap orang lain yang memiliki
pendapat berbeda.
Gambar 8: Identity compass Karyawan A
Gambar 9: Nilai engagement Karyawan A
Karyawan B
B adalah seorang karyawati yang menjabat sebagai
Bussines Support Manager. B sudah bekerja lebih dari 5 tahun
di perusahaan ini. Sebagai Manager, B memang
142
memperlihatkan produktifitas kerja yang baik. Ketika tingkat
engagement tinggi dan kualitasnya juga tinggi, B akan
menyelaraskan diri dengan tujuan organisasi. Ia akan
mengejar tujuan-tujuan ini dengan efektif. Muncul kreativitas
dalam penyelesaian masalah dan kegembiraan tertentu
dalam diri B saat bekerja. B memiliki tingkat kepuasan kerja
yang tinggi dan merasakan kesenangan dalam pekerjaan.
Gambar 10: Nilai engagement Karyawan B
Karyawan C
C adalah seorang karyawan yang memiliki kompetensi
jauh di atas rata-rata karyawan pada levelnya. Walaupun
berstatus karyawan kompetensinya diakui, bahkan beberapa
kali diminta untuk memberikan bantuan teknis mengenai
mesin ke beberapa Negara. Melaluikompetensi yang dimiliki
oleh C tersebut, maka produktifitas kerjanya terlihat tinggi.
Walaupun demikian, hal yang cukup aneh adalah keinginan
untuk mengundurkan diri juga tinggi. Apabila diperhatikan
dengan seksama, maka saat tingkat engagement rendah dan
pada saat yang sama kualitas engagement nya juga rendah,
maka kemungkinan besar terjadi ketidakpedulian terhadap
tujuan organisasi. Terjadi sinisme dalam diri C terhadap
pihak manajemen. Secara keseluruhan, C melihat organisasi
143
sedang jatuh, dan hampir tidak ada engagement lagi sama
sekali. Terdapat kemungkinan C sebagai karyawan dengan
performa terbaik sedang mencari pekerjaan baru.
Gambar 11: Identity compass Karyawan C
Melihat tiga kasus dalam perusahaan yang sama, dapat
terlihat bahwa organisasi berupaya memberikan yang
terbaik sesuai dengan teori engagement. Namun, karena pola
berpikir setiap orang berbeda satu dengan yang lain, maka
hasil akhirpun menjadi berbeda. Dua karyawan (A dan B)
tidak memiliki keinginan untuk mengundurkan diri bahkan
menikmati kondisi pekerjaannya, sedangkan C sudah mulai
mencari alternatif pekerjaan di perusahaan yang lain.
Setelah melihat kondisi yang berbeda-beda dari ketiga
karyawan di perusahaan tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa engagement seseorang dengan perusahaan bukan
hanya dapat terjadi melalui penghargaaan (reward) eksternal
144
saja. Penghargaan memang penting, namun, bila hanya
memperhatikan penghargaan dan tidak terdapat kesesuain
pola pikir antara karyawan dengan perusahaan, maka tidak
heran banyak karyawan kompeten dengan penghargaan yang
baik menjadi tidak produktif malah cenderung
mengundurkan diri dan yang terparah adalah melakukan
tindakan destruktif dari dalam. Oleh karena itu, ada baiknya
Thinking preference dari masing-masing karyawan
diperhatikan, terutama pada tingkat manajeman puncak.
Daftar Pustaka
Maus, H. A. (2011). Forget about motivation: Focus on
productive engagement. Charlotte, North Carolina:
Kona Publishing.
---ooOoo---
145
Well-Being dan Engagement:
Tinjauan Psikologis
Oleh:
Rostiana
146
Pengantar
Era globalisasi dewasa ini sarat dengan segala fasilitas
maupun tantangan, apalagi dengan hadirnya teknologi
modern yang ternyata dapat mengubah pandangan manusia
terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, kalau pada awalnya
pekerjaan dimaknai sebatas kewajiban, namun kini dengan
hadirnya berbagai fasilitas tanpa keterbatasan ruang dan
waktu, hubungan antara manusia dengan pekerjaan ternyata
menciptakan suatu fenomena yang sangat menarik untuk
dikaji.
Hubungan tersebut tidak lagi hanya melibatkan
pemenuhan terhadap kebutuhan sandang, pangan atau papan
saja, namun menuntut adanya engagement yang melibatkan
aspek kognitif dan afektif, bahkan sampai penghayatan
spiritual. Bagaimana perusahaan dapat menimbulkan
engagement yang mendalam dalam bekerja? Pertanyaan
tersebut akan dibahas dalam tulisan ini dengan melibatkan
suatu konstruk psikologis yang sangat lekat dengan harkat
kemanusian yaitu well-being. Di bawah ini akan diuraikan
mengapa well-being penting peranannya dalam dunia kerja
sehingga orang dapat merasa engage dalam melakukan
tugas-tugasnya dan bekerja dapat menjadi aktivitas yang
memanusiakan setiap orang.
Well-being dan Perannya Dalam Bekerja
Istilah well-being seringkali digunakan secara
bergantian dengan istilah kebahagiaan (happiness). Sebagian
orang berpendapat bahwa konsep well-being berarti
kesejahteraan psikologis, sementara happiness diartikan
dengan ‘rasa bahagia’. Pemaknaan ini menjadikan istilah well-
147
being memiliki lingkup pengertian yang lebih luas
dibandingkan dengan kebahagiaan yang sekadar
menandakan emosi senang. Padahal, kalau menilik sejarah
kebahagiaan sebenarnya kedua istilah tersebut dapat
dikatakan memiliki makna yang sama. Hal ini dapat kita lihat
pertama kali melalui pertanyaan mendasar dari Socrates,
“Manusia hidup di dunia ini harus seperti apa?” (Mc Mahon,
2006). Berdasarkan pertanyaan tersebut, muncullah konsep
yang disebut eudaimonia dan hedonia. Eudaimonia adalah
jawaban yang diungkapkan oleh Aristoteles (Mc Mahon,
2006) yang berarti hidup di dunia itu harus eu (baik) dan
daimon (memiliki spirit). Oleh Cloninger (2004), istilah
eudaimonia diartikan sebagai well-being atau kebahagiaan
(happiness) yang dapat diraih melalui aktualisasi potensi
positif. Sedangkan istilah hedonia datang dari Epicurus
(Compton, 2005) dengan garden philosophy nya yang
mengungkapkan bahwa hidup di dunia harus bahagia dan
kebahagiaan dapat diraih melalui kesenangan serta terbebas
dari rasa sakit. Jika meninjau perbedaan makna eudaimonia
dan hedonia, tampaknya memunculkan perbedaan
pemaknaan terhadap istilah well-being dan kebahagiaan
meskipun makna kedua istilah tersebut pada dasarnya sama.
Tampaknya istilah kebahagiaan lebih dianggap bernuansa
afektif dan sering diartikan sebagai rasa senang, sementara
istilah well-being dipandang lebih representatif untuk
menjelaskan makna kebahagiaan yang lebih luas.
Mengapa well-being penting dalam bekerja?
Lyubomirsky, King, dan Diener (2002) membuktikan bahwa
well-being mendahului kesuksesan. Jadi sebenarnya sebelum
148
meraih kesuksesan, lebih utama meraih kebahagiaan dulu
sehingga kesuksesannya lebih langgeng. Berikutnya juga
terbukti bahwa pekerja yang bahagia memeroleh penghasilan
lebih tinggi dari pekerja yang kurang bahagia karena mereka
lebih produktif (Diener & Diener, 2008). Terkait dengan
perilaku organisasi, Rego, Ribeiro, Cubha, dan Jesuino (2011)
membuktikan bahwa well-being dapat memediasi
pembentukan komitmen afektif terhadap perusahaan.
Rostiana (2011) juga membuktikan bahwa kebahagiaan
integratif dapat memunculkan komitmen dan perilaku
individu yang melebihi tuntutan perannya atau yang lebih
dikenal dengan organizational citizenship behavior (OCB).
Komitmen dan OCB merupakan perilaku kerja yang sangat
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas. Selain itu
Keyes & Moe (2004) membuktikan bahwa karyawan yang
bahagia dapat meningkatkan profitabilitas dan loyalitas
pelanggan serta menurunkan tingkat turnover, bahkan dapat
mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Pada intinya dapat
dinyatakan bahwa well-being menciptakan perilaku kerja
positif sehingga menghasilkan kinerja yang optimal.
Well-being dan Engagement dalam Bekerja
Kalau well-being diperlukan dalam bekerja,
bagaimana sebenarnya well-being berfungsi dalam
organisasi? Dewasa ini setiap perusahaan secara konsisten
menghadapi tekanan globalisasi yang mengharuskan
manajemen senantiasa berusaha meningkatkan
produktivitas agar dapat memenangkan kompetisi. Tidak
jarang kondisi tersebut menghasilkan tingkat turnover yang
tinggi, atau setidaknya stres kerja yang meningkat. Akibatnya,
149
meskipun laba yang diperoleh meningkat namun resiko yang
yang perlu ditanggung juga besar akibat stres maupun
turnover.
Dalam rangka menghadapi situasi tersebut, para
akademisi melakukan berbagai riset dan salah satunya,
Diener (2009), mengungkapkan temuan yang kemudian
terbukti dapat mengurangi resiko tersebut. Melalui konsep
Subjective Well-being (SWB), Diener (2009) mengungkapkan
bahwa SWB adalah ilmu pengetahuan tentang kebahagiaan,
mencakup evaluasi kognitif terhadap kepuasan hidup secara
umum maupun terhadap ranah kehidupan yang lebih khusus
(misalnya kepuasan kerja) dan evaluasi afektif yang
mencakup emosi positif dan negatif. Lebih lanjut Diener
membuktikan bahwa kepuasan kerja ataupun emosi positif
dapat mendorong para pekerja untuk lebih menyukai
pekerjaan mereka sehingga semangat bekerja menjadi lebih
tinggi dan stres kerja menurun.
Terkait dengan semangat kerja, psikologi positif
mempromosikan suatu konsep motivasi yang memungkinkan
keterlibatan individu secara mendalam terhadap tugas
maupun tempatnya bekerja. Konsep tersebut dikenal dengan
istilah engagement yang kemudian menjadi kunci
pembahasan kinerja dewasa ini.
Pada saat kita melakukan pembahasan terhadap
engagement, maka terlihat adanya pengertian engagement
yang berbeda antara akademisi dan praktisi. Istilah
engagement yang dianut oleh para praktisi lebih berorientasi
pada organizational engagement. Institut Gallup memotori
pengukuran dan penerapannya dengan mengusung istilah
150
employee engagement yang membahas seberapa jauh
karyawan merasa terikat dengan tempatnya bekerja.
Sementara itu, akademisi, dalam hal ini diawali oleh
riset dari Bakker dan Schaufeli (2004) lebih membahas
engagement terhadap tugas/pekerjaan, dengan mengukur
seberapa jauh setiap karyawan memiliki semangat kerja
(vigor); kebermaknaan tugas (dedication) dan khusyu’
(absorption) dalam menunaikan tugasnya. Kendati
orientasinya berbeda, kedua jenis engagement tersebut
nyatanya dibutuhkan oleh setiap perusahaan. Jika hanya
berorientasi pada work engagement saja, akan sulit
mempertahankan para karyawan yang tergolong berbakat.
Sebaliknya, jika hanya berorientasi pada organisasi saja, sulit
mencapai produktivitas yang tinggi. Oleh karena itu istilah
engagement belum lama ini dimaknai secara lebih
komperehensif oleh Lewis, Donaldson-Feilder, dan Tharani
(2011) dengan mengungkapkan bahwa engagement
mencakup pikiran, perasaan dan tindakan di tempat kerja
yang berbasis komitmen terhadap nilai-nilai organisasi.
Engagement seperti itu menimbulkan tantangan pada
manajemen sumber daya manusia dewasa ini, yaitu
bagaimana mengembangkan engagement yang kuat terhadap
tugas berbasis nilai-nilai organisasi.
Jika mengacu pada model engagement dari Bakker &
Schaufeli (2004), keduanya mengungkapkan bahwa
engagement dapat dikembangkan melalui dua sumber yaitu
sumber daya pekerjaan (job resources) dan sumber daya
personal (personal resources). Dalam hal ini well-being
merupakan salah satu sumber dari personal resources.
151
Dengan begitu well-being dapat dijadikan salah satu proyek
yang mendasar dalam mengembangkan sumber daya
manusia, khususnya terkait dengan engagement.
Di sisi lain, Robertson dan Cooper (2009) mengusung
tema full engagement yang mencerminkan adanya well-being
dan kesediaan karyawan untuk melakukan komitmen dan
melakukan sesuatu melebihi perannya (organizational citizen
behavior). Pendapat Bakker dan Schaufeli (2004) serta
Robertson dan Cooper (2009) pada dasarnya
memperlihatkan bahwa hubungan antara well-being dan
engagement sangat erat sehingga dapat dikatakan bahwa
engagement mencerminkan well-being atau merupakan
ekspresi well-being. Dengan demikian usaha meningkatkan
well-being akan seiring-sejalan dengan peningkatan
engagement.
Meningkatkan well-being untuk memperkuat engagement
Tantangan manajemen sumber daya manusia saat ini
tampaknya tidak hanya terkait dengan kompetisi yang
semakin ketat, namun juga dengan teknologi yang semakin
canggih sehingga inovasi menjadi mutlak dalam setiap
program. Meskipun demikian, hal ini tidak berhenti disitu,
kondisi perekonomian, sosial, politik bahkan jarak dan
kemacetan lalu lintas pun menjadi masalah yang patut
dipertimbangkan. Belum lagi karakteristik karyawan yang
muda usia dengan segala keunikannya yang kadang
memerlukan pendekatan khusus sehingga banyak aspek yang
perlu dikelola dalam menyusun strategi manajemen sumber
152
daya manusia, khususnya terkait dengan well-being dan
engagement.
Faragher (dalam Robertson Cooper, 2010)
mengungkapkan bahwa ada 8 aspek yang perlu dikelola
untuk meningkatkan well-being & engagement yaitu:
1. Hubungan kerja (work relationships).
2. Keseimbangan antara pekerjaan dan aspek hidup yang
lain (work life balance).
3. Kelebihan beban kerja (work overload).
4. Keamanan dalam bekerja (job security).
5. Kontrol/Otonomi (autonomy).
6. Komunikasi dan sumber daya (communication &
resources).
7. Gaji dan manfaat yang diterima (pay & benefit).
8. Kepuasan dalam bekerja (job satisfaction).
Semua aspek tersebut dapat dikelola melalui 3 strategi
yaitu:
1) Komposisi (Composition).
Misalnya dengan mengubah komposisi gugus tugas
melalui proses asesmen, penempatan kembali atau
redeployment. Perubahan diharapkan dapat menciptakan
suasana dan tantangan baru yang menuntut perubahan
cara pandang karyawan.
2) Pengembangan (Development.)
Setelah mengubah komposisi, karyawan dapat
dikembangkan melalui coaching, pelatihan, magang
(internship), pengayaan tugas (job enrichment) dan
perluasan tugas (enlargement) atau aktivitas
pengembangan lainnya.
153
3) Rekayasa Situasional (Situational engineering).
Pada intinya melakukan perubahan yang lebih mendasar
terkait dengan manajemen, seperti perubahan strategi
kepemimpinan, perubahan sistem imbalan, melakukan ,
dan lain-lain.
Berbagai perubahan tersebut pada dasarnya
mengupayakan partisipasi yang lebih banyak dan lebih
mendalam dari setiap karyawan dalam pelaksanaan tugasnya
agar mereka merasa diberdayakan sehingga lebih engage
dengan pekerjaannya. Sementara itu engagement terhadap
organisasi dapat dilakukan melalui program yang sifatnya
nonformal seperti employee gathering; kegiatan sosial;
kegiatan olah raga; kegiatan keagamaan dan yang oaling
penting adalah upaya menginternalisasikan nilai-nilai
perusahaan secara berkesinambungan.
Kesimpulan
Well-being dan engagement merupakan suatu
kesatuan konsep yang membawa manusia untuk lebih
mencintai pekerjaan dan tempat kerjanya. Konsep tersebut
diperlukan mengingat bekerja merupakan aktivitas sentral
kehidupan manusia dewasa dalam rangka memenuhi
kebutuhan sesuai dengan harkat kemanusiaannya. Dengan
mempertimbangkan kondisi global yang sarat dengan
tantangan namun juga dipenuhi oleh fasilitas teknologi
canggih, maka bekerja tidak lagi dapat dilakoni dengan hanya
berbekal kewajiban semata. Untuk itu engagement
diperlukan dan dalam rangka memelihara engagement, maka
well-being patut diperjuangkan. Dalam hal ini perusahaan
perlu memberdayakan karyawannya secara aktif melalui
154
berbagai aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan mereka
serta mengukuhkan potensi dan kompetensinya sehingga
peningkatan produktivitas lebih langgeng karena
karyawannya bekerja dengan bahagia.
Daftar Pustaka
Cloninger, C. R. (2004). Feeling good – The science of well-
being. NY: The Oxford University Press.
Diener, E. (2009). The science of well-being: The collected
works of Ed Diener. Social Indicators Research Series,
37. Dordrecht, The Netherlands: Springer.
Diener, E. & Biswas-Diener, R. (2008). Happiness: Unlocking
the mysteries of psychological wealth. Malden, MA:
Wiley/Blackwell.
Keyes, C. L. M. & Moe, J. L. M. (2004). The measurement and
utility of adult subjective well being. In Lopez & Snyder
(editors). Positive Psychological Assessment.
Washington: APA.
Lewis, T., Donaldson-Feilder, E., Tharani, T. (2011).
Management competencies for enhancing employee
engagement. research insight. London: Chartered
Institute of Personnel and Development.
Lyubomirsky, S., King, L., & Diener, E. (2005). The benefits of
frequent positive affect: Does happiness lead to
success? Psychological Bulletin, 131, 803–855.
McMahon, D. M. (2006). Happiness: A history. New York: Grove
Press.
155
Rego, A., Ribeiro, N., Cunha, P. M. E., & Jesuino, J. C. (2011).
How happiness media tes the organizational
virtuousness and affective commitment relationship.
Journal of Business Research, 64(5), 524-532.
Robertson, I. T., Cooper, C. L. (2009). Full engagement: The
integration of employee engagement and
psychological well-being. Leadership & Organization
Development Journal, 31(4), 324-336.
Rostiana (2011). Pengaruh kebahagiaan integratif terhadap
komitmen organisasional dan perilaku kewargaan
organisasional. Disertasi, Bandung: Universitas
Padjadjaran. Tidak dipublikasikan.
Schaufeli, W. B. & Bakker, A. B. (2004). Job demands, job
resources, and their relationship with burnout and
engagement: A multi-sample study. Journal of
Organizational Behaviour, 25, 293–315.
---ooOoo---
156
Halaman ini sengaja dikosongkan
157
Psikologi dalam Hubungan
Industrial
158
159
Peran Psikologi dalam Hubungan
Industrial
Disampaikan pada Forum Sharing, Learning dan Networking
IOC, 27 Agustus 2016
Oleh:
Arbono Lasmahadi
160
Pengantar
Dunia usaha di Indonesia saat ini menghadapi
tantangan yang semakin kompleks dibandingkan dengan
periode-periode sebelumnya. Tantangan tersebut tidak saja
berupa persaingan usaha yang lebih ketat, tetapi juga
tantangan untuk dapat membangun lingkungan kerja yang
damai di tengah euforia tumbuhnya kebebasan berekspresi
dan berpendapat di dunia kerja. Di samping itu, kebebasan
memperoleh informasi melalui dunia maya, membuat para
pekerja mempunyai akses informasi yang tidak terbatas
mengenai ketentuan-ketentuan di bidang ketenagakerjaan.
Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah para pekerja
sangat mungkin menjadi lebih memahami hak dan
kewajibannya di perusahaan tempatnya bekerja. Hal ini
menjadi tantangan tersendiri bagi pihak pengelola
perusahaan untuk dapat menyelaraskan antara kepentingan
usaha, kemampuan perusahaan dan kebutuhan para
pekerjanya.
Dunia industri yang damai (Industrial Peace) dan Hubungan Industrial
Dunia industri yang damai (industrial peace) adalah
lingkungan yang memberikan ketenangan bekerja dan
ketenangan berusaha. Lingkungan kerja yang damai terkait
secara langsung dengan pengelolaan hubungan industrial di
perusahaan. Bagaimana lingkungan kerja yang damai dapat
tercipta? Menurut Suwarto (2003), beberapa kondisi yang
dapat membantu terciptanya lingkungan kerja yang damai
adalah seperti berikut:
1) Hak dan kewajiban para pihak terjamin dan dilaksanakan.
161
2) Apabila terjadi perselisihan dapat diselesaikan secara
internal oleh kedua belah pihak.
3) Mogok dan larangan bekerja (lock out) tidak digunakan
untuk memaksakan kehendak.
Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan hubungan
industrial? Mengapa hubungan industrial diperlukan? Dan
mengapa hal tersebut harus dipahami dengan baik, sehingga
bisa dikelola secara efektif? Menurut Suwarto (2003),
hubungan industrial adalah pengaturan hak dan kewajiban
bagi para pihak yang terlibat di dalam proses produksi secara
kolektif. Para pihak yang dimaksud disini adalah pengusaha
atau wakil pengusaha, pekerja, perwakilan pekerja, serikat
pekerja dan otoritas di bidang ketenaga-kerjaan. Sedangkan
menurut Bennet (1997), hubungan industrial adalah sebuah
sistem peraturan, praktek-praktek dan konvesi-konvensi
yang berhubungan dengan perundingan, pencegahan, dan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Selanjutnya Bennet (1997) mengungkapkan bahwa
hubungan industrial ini dapat dilihat sebagai kebijakan-
kebijakan untuk meningkatkan kerjasama di antara
manajemen dan para pekerja, mengawasi keluhan-keluhan
pekerja dan meminimalisir konflik. Dengan demikian
hubungan industrial pada dasarnya membahas:
1. Hak dan kewajiban para pihak, khususnya pengusaha/
pengelola perusahaan, pekerja dan perwakilan pekerja.
2. Pengelolaan hak dan kewajiban dilakukan melalui
kebijakan, peraturan atau perjanjian kerja.
3. Pengelolaan keluh kesah karyawan.
162
4. Perselisihan yang terjadi di antara para pihak dan cara
pencegahan dan penyelesaiannya.
5. Perundingan antara pengusaha/manajemen dan wakil
pekerja.
Berdasarkan penyampaian Suwarto (2003) mengenai
hubungan industrial, terlihat bahwa hubungan industrial
yang baik diperlukan, karena hal ini dapat mendukung
peningkatan kinerja perusahaan dalam bentuk peningkatan
produktifitas serta kesejahteraan pekerja dan pengusaha
secara adil. Hubungan industrial perlu dipahami dengan baik
oleh para pihak yang terlibat karena:
1) Mencegah terjadinya perselisihan antara pengusaha/
manajemen dan pekerja atau serikat pekerja.
2) Menghemat biaya pengeloaan sumber daya manusia.
3) Meningkatkan kepuasan kerja dan produktifitas kerja.
4) Menciptakan lingkungan kerja yang damai, yang
mendukung bisnis dan sasaran perusahaan.
Pelaksanaan hubungan industrial di Indonesia
mengacu kepada sejumlah undang-undang, yang menjadi
payung hukum bagi para pihak yang terkait dalam mengelola
kegiatan-kegiatan di bidang ketenaga-kerjaan, khususnya
hubungan industrial, seperti berikut ini:
1. Undang-Undang No.1 Tahun 1970 Tentang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja.
2. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek.
3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
4. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
163
5. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
6. Undang-undang No 40 tahun 2004 Tentang sistim
Jaminan Kesehatan Nasional.
7. Undang-Undang No 24 Tahun 2011 Tentang BPJS.
Pendekatan Dalam Membangun Hubungan Industrial
Dalam membangun hubungan industrial dikenal
beberapa pendekatan yang penggunaannya oleh pengusaha
atau pimpinan perusahaan antara lain dipengaruhi oleh hal-
hal berikut:
1. Kepemilikan perusahaan.
Kepemilikan perusahaan disini antara lain: perusahaan
swasta, baik yang sudah terbuka atau masih tertutup,
perusahaan milik sekelompok orang atau milik keluarga,
atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
2. Pola kepemimpinan.
Pola kememimpinan adalah gaya seorang pimpinan
perusahaan dalam mengelola jalannya roda organisasi
dan/atau dalam mengelola anggota timnya. Misalnya gaya
kepemimpinan yang transformasional, transaksional, atau
non-transaksional (Laissez Faire).
3. Hubungan antara pengusaha/manajemen dengan pekerja.
Maksud hubungan di sini adalah formal atau tidak
formalnya pola komunikasi antara pemilik perusahaan
atau pemimpin perusahaan dengan para pekerja. Selain itu
yang diharapkan dari hubungan tersebut di atas adalah
kedekatan (proximity) interaksi sosial antara pemilik
perusahaan/pemimpin perusahaan dengan para
karyawan.
164
Pendekatan dalam hubungan industrial
Menurut Bennet (1997), pendekatan-pendekatan
dalam hubungan industrial yang dimaksud adalah
Unitarianisme, Pluralisme dan Marksisme.
1) Unitarianisme (Kesatuan dan Kebersamaan).
Hubungan industrial dibangun berdasarkan prinsip bahwa
manajemen dan karyawan merupakan sebuah kesatuan
yang di dalamnya terdapat saling kerjasama, kerjasama
kelompok, dan berbagi tujuan bersama. Hak manajemen
untuk mengelola dapat diterima, karena tidak ada istilah
“mereka” dan “kami” diantara perusahaan dan
karyawannya.
Serikat Pekerja dianggap sebagai pesaing terhadap
komitmen dan kerjasama karyawan terhadap perusahaan.
Konflik dianggap sebagai sebuah penyimpangan
sementara yang terjadi karena manajemen yang buruk,
karyawan yang tidak sesuai dengan organisasi atau
kegiatan serikat pekerja.
2) Pluralisme (Konsesi dan Kompromi).
Hubungan industrial dibangun berdasarkan prinsip bahwa
organisasi merupakan koalisi dari kepentingan-
kepentingan yang bersaing di dalamnya. Fungsi
manajemen adalah sebagai penengah diantara kelompok-
kelompok kepentingan yang ada.
Serikat Pekerja dianggap sebagai perwakilan yang
sah dari kepentingan-kepentingan karyawan.
Konflik dianggap sebagai sebuah hal yang wajar dan tidak
dapat terhindarkan. Agar terjadi stabilitas dalam
165
hubungan industrial, maka perlu adanya konsesi dan
kompromi diantara manajemen dan serikat pekerja.
3) Marxisme (Adversarial – Pertentangan).
Hubungan industrial dibangun berdasarkan prinsip bahwa
manajemen dan karyawan merupakan pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan yang berlawanan, yang
munculnya karena adanya pertentangan kelas.
Serikat Pekerja dilihat baik sebagai reaksi logis
terhadap eksploitasi kapitalis maupun sebagai bagian dari
sebuah proses politik untuk mencapai perubahan yang
fundamental. Konflik muncul bukan hanya karena ada
kepentingan-kepentingan yang bersaing, tetapi karena
terjadinya pembagian di dalam masyarakat antara pemilik
modal produksi dan para pekerja.
Sebagian besar (kalau tidak ingin dikatakan semua)
pengusaha/pimpinan perusahaan di Indonesia mengadopsi
pendekatan unitarianisme atau pluralisme dalam mengelola
hubungan industrial di perusahaannya masing-masing.
Sedangkan pendekatan pluralisme dan marxisme, lebih
banyak diadopsi oleh serikat pekerja.
Psikologi dan Hubungan Industrial
Dalam mengelola hubungan industrial di Indonesia,
ada beberapa topik utama yang seringkali membutuhkan
penanganan yang komprehensif agar tidak menjadi
penghambat terciptanya lingkungan kerja yang damai. Topik-
topik yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Syarat-syarat kerja, perjanjian kerja (PKWTT/PKWT)
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama.
2. Pengupahan.
166
3. Organisasi pekerja, organisasi pengusaha.
4. Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama (PKB).
5. Pemogokan.
6. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Jika kita melihat topik utama seperti tersebut di atas,
dan juga pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam
mengelola hubungan industrial, semuanya terkait dengan
interaksi sosial antara para pimpinan perusahaan atau
manajemen dengan para pekerja atau serikat pekerja. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dalam pengelolaan
hubungan industrial berbicara tentang ketentuan-ketentuan
dan/atau praktek-praktek yang diterapkan untuk mengatur
interaksi sosial antara manusia yang berada di dalam lingkup
perusahaan. Hal ini ikut mendukung pertumbuhan bisnis dan
menciptakan kepuasan kerja para para pekerja.
Dengan penjelasan di atas, sebenarnya pengelolaan
hubungan industrial di perusahaan, sejatinya menjadi ranah
Psikologi untuk berperan di dalamnya. Disamping aspek-
aspek hukumnya yang kental, aspek manusianya, dalam hal
ini perilakunya, juga tidaklah dapat diabaikan. Disamping itu,
aspek-aspek hukum dan aspek-aspek psikologis harus saling
mendukung dan melengkapi. Aspek-aspek hukum menjadi
latar belakang (background) dan aspek-aspek psikologis
menjadi latar depan (foreground). Lalu, sejauh mana
psikologi atau praktisi psikologi dapat mengambil peran di
dalam pengelolaan hubungan industrial?
Dimensi dalam hubungan industrial
Dalam hubungan industrial ada 4 dimensi yang
penting untuk dikelola, yakni:
167
1) Manusia.
Pada dimensi ini kita berbicara mengenai para pihak yang
terlibat di dalam hubungan industrial, khususnya
pengusaha/pimpinan perusahaan dan para pekerja.
2) Sistem.
Dalam kaitannya dengan sistem, banyak dibahas
ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban
para pihak di dalam hubungan industrial, yaitu pengusaha
atau pimpinan perusahaan, para pekerja, dan organisasi
pengusaha atau organisasi pekerja.
3) Proses.
Pada dimensi ini kita berbicara mengenai cara
berkomunikasi diantara para pihak, munculnya perbedaan
pandangan/konflik dan cara penyelesaian konflik diantara
mereka.
4) Organisasi.
Pada dimensi ini dibahas mengenai pengelompokan para
pihak sesuai dengan kepentingan masing-masing untuk
membantu mereka dalam menjalankan perannya dalam
pengelolaan hubungan industrial, yaitu: Serikat pekerja
dan organisasi pengusaha.
Empat (4) dimensi tersebut di atas pada dasarnya
menempatkan manusia sebagai titik sentral di dalam
pengelolaan hubungan industrial. Dengan demikian psikologi
dapat mengambil peran yang lebih aktif, sehingga
pengelolaan hubungan industrial di perusahaan menjadi
lebih efektif.
168
Peran Psikologi dalam Menyelesaikan Masalah dalam Hubungan Industrial
Dalam kenyataannya, berdasarkan pengalaman
selama ini, peran psikologi dalam pengelolaan hubungan
industrial di perusahaan masih perlu ditingkatkan. Tidak
sedikit masalah ketenagakerjaan yang muncul lebih
disebabkan oleh hal-hal yang tidak semata-mata substansi
aturan ketenagakerjaan, tetapi lebih banyak karena
perbedaan penafsiran, maupun ketidakkonsistenan antara
perjanjian kerja yang disepakati dan pelaksanaannya.
Dalam perspektif psikologi masalah tersebut bisa saja
terjadi karena saat perjanjian kerja dibuat, proses
komunikasi yang terjadi tidak efektif, atau terjadi perbedaan
persepsi antara para pihak tentang pemahaman dan
pelaksanaan isi perjanjian kerja. Disamping itu, dalam
penanganan masalah yang muncul, tidak jarang para pihak
terkait kurang mempertimbangkan aspek-aspek psikologis
dan/atau dampak psikologis yang muncul bila penanganan
masalah tidak dilakukan secara efektif. Mereka lebih
cenderung mengedepankan ketentuan perundangan, sebagai
metode utama dalam penyelesaian masalah-masalah di
bidang hubungan industrial, dibandingkan pendekatan
psikologis. Bisa jadi karena mereka tidak yakin atau karena
mereka tidak paham bahwa pendekatan psikologis mampu
membuat proses penyelesaian masalah menjadi lebih efektif
dibandingkan hanya dengan pendekatan legal semata. Tentu
saja hal ini tidak jarang membuat masalah-masalah yang
sejatinya bisa diselesaikan di tingkat bipartit, akhirnya harus
bermuara di Pengadilan Hubungan Industrial, yang tentu saja
169
memakan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih mahal.
Hal yang lebih memprihatinkan, bisa dikatakan tidak ada
pihak yang menang dalam perselisihan tersebut. Pihak
perusahaan harus membayar lebih banyak, dan menyediakan
sumber daya manusia serta waktu ekstra untuk
menyelesaikan masalah ini. Sementara itu, pihak karyawan
baru akan mendapatkan kepastian haknya setelah melalui
proses penyelesaian yang cukup lama. Belum lagi kalau
kemudian masalah tersebut menjadi bahan liputan media
yang dapat menurunkan kredibilitas perusahaan di mata
publik.
Psikologi bisa berperan lebih baik dalam pengelolaan
hubungan industrial, diantaranya melalui teori-teori
psikologi yang dapat diaplikasikan, baik pada tahapan
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun evaluasi.
Teori motivasi, komitmen sosial, kontrak psikologis, dan teori
belajar dapat digunakan saat menyusun sebuah perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, maupun perjanjian kerja
bersama. Teori belajar, pemberian penghargaan dan
hukuman, dan/atau social justice theory dapat digunakan
untuk mendorong tumbuhnya lingkungan industrial yang
damai.
Teori konflik, teori persuasi, dan/atau negosiasi dapat
digunakan saat berupaya melakukan pemutusan hubungan
kerja, perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama,
dan/atau penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Teori motivasi, teori pembentukan kelompok, dan teori
konflik dapat digunakan untuk memahami tumbuhnya
organisasi pekerja di perusahaan. Dan masih banyak lagi,
170
teori-teori psikologi yang dapat diaplikasikan dalam
pengelolaan hubungan industrial.
Peran Utama Psikologi dalam Pengelolaan Hubungan Industrial
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang peran
psikologi dalam mengelola hubungan industrial, dapat
disimpulkan setidaknya terdapat 4 macam peran utama
psikologi dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan
hubungan industrial di perusahaan, yaitu:
1. Pencegahan (Preventif): Pendekatan psikologi digunakan
secara proaktif untuk membangun kepercayaan diantara
para pihak sehingga mencegah terjadinya perselisihan
hubungan industrial.
2. Fasilitasi (Fasilitatif): Pendekatan psikologi digunakan
secara proaktif untuk meningkatkan proses komunikasi
dan kerjasama diantara para pihak sehingga memberikan
hasil kerja yang optimal dalam pengelolaan hubungan
industrial.
3. Penyelesaian masalah (Kuratif): Pendekatan psikologi
digunakan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dan
memperbaiki dampak negatif yang muncul dalam
hubungan diantara para pihak sehingga tidak
berkelanjutan.
4. Pendidikan (Edukatif): Pendekatan psikologi digunakan
untuk memahami peristiwa-peristiwa (positif/negatif)
yang terjadi dalam hubungan para pihak, agar diambil nilai
pembelajaran darinya, sehingga penerapannya bisa
menjadi lebih baik di masa yang akan datang.
171
Selanjutnya, para praktisi sumber daya manusia yang
berlatar belakang pendidikan psikologi lebuh diharapkan
untuk lebih banyak terlibat di dalam pengelolaan hubungan
industrial di perusahaan. Hal ini disebabkan karena dengan
ilmu psikologi akan banyak membantu perusahaan dalam
meningkatkan efektivitas pengelolaan hubungan industrial di
perusahaan, yang pada akhirnya berkontribusi pada
terciptanya lingkungan kerja yang damai. Meskipun
demikian, mereka tetap harus memiliki pemahaman yang
baik tentang ketentuan-ketentuan di bidang ketenagakerjaan,
sebagai salah satu kompetensi utama di bidang pengelolaan
hubungan industrial.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengesampingkan
pendekatan legal dalam pengelolaan hubungan industrial di
perusahaan, tetapi justru mendorong agar pendekatan legal
dapat dikombinasikan dengan pendekatan psikologi agar
baik proses maupun hasilnya menjadi lebih efektif.
Daftar Pustaka
Bennet, R. (1997). Employee Relation. 2nd Edition. Financial
Times Publishing.
Suwarto (2003). Hubungan Industrial Dalam Praktek.
Asosiasi Hubungan Industrial Indonesia
Undang-undang No.1 Tahun 1970 Tentang Kesehatan dan
Keselamatan Kerja.
Undang-undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek.
Undang-undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
172
Undang-undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
Undang-undang No. 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan
Kesehatan Nasional.
Undang-undang No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS.
---ooOoo---
173
Psikologi dalam Penanganan
Perselisihan
Studi Kasus pada Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit
Oleh:
Achmad Basari
174
Gambaran Umum Perusahaan
Kasus yang akan dijadikan kajian kali ini adalah
sebuah perusahaan yang berdiri Agustus 2007 dengan
mengelola 6 (enam) anak perusahaan perkebunan.
Perusahaan-perusahaan tersebut diakuisisi dari perusahaan
perkebunan Malaysia. Total luas area perkebunan adalah
72.000 hektar dengan luas tertanam 52.000 hektar dengan 4
buah pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS). Lokasi tersebar
di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dengan rata-rata
waktu tempuh 2,5-4 jam dari bandara komersial terdekat.
Struktur organisasi Bagian Sumber Daya Manusia di
perusahaan ini disebut Divisi HRD berada di bawah Direktur
Keuangan dan dikepalai oleh seorang Kepala Divisi (Kadiv).
Saat ini pelaksana tugas Kepala Divisi HRD adalah Kepala
Departemen Personalia yang sekaligus merangkap sebagai
Kepala Departemen Hubungan Industrial. Di masing-masing
anak perusahaan, penanggung-jawab hubungan industrial
adalah Kepala Bagian Personalia (setingkat Asisten Manager).
Kepala Bagian Personalia secara fungsional melapor kepada
Kepala Departemen Personalia Kantor Pusat (Holding). Setiap
perkebunan yang dikelola oleh anak perusahaan memiliki
luas antara 3.000–17.000 hektar dipimpin oleh seorang
General Manager. Saat ini keseluruhan tenaga kerja
berjumlah 8.632 orang yang hampir seluruhnya tinggal di
perumahan yang disediakan perusahaan. Selain itu terdapat
warga sekitar yang tinggal di perkampungan sekitar kebun.
Pencegahan Perselisihan dalam Hubungan Industrial
Pendekatan teori kebutuhan berjenjang menurut
Abraham Maslow dapat digunakan untuk melakukan
175
asesmen dan analisis dini permasalahan karyawan. Data
menunjukkan bahwa 80% sumber perselisihan hubungan
industrial adalah menyangkut hal-hal yang terkait dengan
kebutuhan yang diungkapkan oleh Maslow ini. Untuk dapat
mengetahui apa yang menjadi kebutuhan karyawan, Divisi
HRD dapat menggunakan beberapa metode. Metode
wawancara dan kunjungan langsung merupakan metode
yang sangat valid namun dengan cakupan yang terbatas.
Disisi lain, diskusi kelompok melalui LKS Bipartit atau forum
paguyuban bisa menjangkau kelompok lebih luas namun
tidak sedalam wawancara. Adakalanya pula metode survey
digunakan. Survey dapat menjangkau kelompok yang lebih
luas dengan tingkat kedalamaan yang terbatas. Setiap metode
tentunya mempunyai keunggulan dan keterbatasan masing-
masing.
Dari hasil pencarian data di lapangan, potensi
permasalahan biasanya muncul disebabkan oleh:
1. Karyawan tidak memahami kebijakan perusahaan.
2. Karyawan tidak memahami peraturan ketenaga-kerjaan.
3. Karyawan tidak mendapatkan informasi mengenai
kemajuan dan kelanjutan dari program yang telah
dilakukan perusahaan.
4. Karyawan belum mendapatkan informasi mengenai
komitmen perusahaan terhadap permasalahan
pemenuhan kebutuhan karyawan.
Untuk itu, langkah-langkah pencegahan potensi
perselisihan dapat menggunakan tahapan sebagai berikut:
1. Penjelasan dan sosialisasi mengenai aturan
ketenagakerjaan dan kebijakan perusahaan terutama
176
yang berkaitan langsung dengan hak dan kewajiban
karyawan.
2. Penjelasan mengenai langkah yang telah diupayakan oleh
perusahaan dalam memenuhi hak-hak karyawan serta
meningkatkan kesejahteraan karyawan.
3. Penyampaian komitmen perusahaan dalam memenuhi
hak-hak karyawan serta meningkatkan kesejahteraan
karyawan.
Dalam pencegahan perselisihan hubungan industrial,
pendekatan personal dan pendekatan kelompok dijalankan
secara simultan karena keduanya dapat saling melengkapi.
Setiap karyawan memiliki kebutuhan dan keinginan untuk
didengarkan dan dipahami permasalahannya. Dalam konteks
hubungan industrial di perusahaan ini, Divisi HRD berperan
sebagai konselor sehingga permasalahan hubungan
industrial dapat dicegah. Pendekatan personal dan konseling
ini terbukti sukses menyelesaikan permasalahan hubungan
industrial sehingga tidak berlanjut menjadi perselisihan.
Pendekatan kelompok diperlukan karena perilaku karyawan
juga dipengaruhi oleh kelompok. Divisi HRD dapat
mengembangkan kelompok-kelompok yang konstruktif yang
ada di dalam perusahaan sehingga kelompok-kelompok
karyawan itu dapat membantu Divisi HRD menangani
permasalahan dan mencegah perselisihan hubungan
industrial.
Penyelesaian Perselisihan dalam Hubungan Industrial
Bentuk-bentuk perselisihan dalam Hubungan
Industrial menurut UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenaga-
kerjaan meliputi:
177
1. Perselisihan hak.
2. Pemutusan hubungan kerja (PHK).
3. Perselisihan serikat pekerja.
Perselisihan Hak
Perselisihan hak selain bersifat normatif, ada yang
tidak bersifat normatif. Perselisihan yang sifatnya normatif
adalah perselisihan yang penyelesaiannya diatur dalam
undang-undang seperti upah, jaminan sosial, waktu kerja
lembur, perlindungan keselamatan kerja, tunjangan, serta
kompensasi. Terkait dengan hak yang bersifat normatif,
Divisi HRD harus mendorong agar manajemen melaksanakan
seluruhnya tanpa kecuali. Apabila perusahaan telah
memenuhi hak karyawan yang bersifat normatif namun
perselisihan tetap terjadi maka setidaknya posisi perusahaan
akan kuat dan terlindungi oleh peraturan. Untuk itu,
kalaupun terjadi perselisihan maka dipastikan perselisihan
itu tidak bersifat normatif, sehingga perusahaan dapat
mempertimbangkan apakah akan memenuhinya atau tidak
dengan mempertimbangkan dengan kemampuan dan
rencana perusahaan.
Perselisihan yang tidak bersifat normatif misalnya
kenaikan upah untuk yang gajinya sudah di atas UMP, bonus,
insentif, hak untuk mendapat pelatihan dan pengembangan
dan lain-lain. Di perusahaan perkebunan ini, perselisihan hak
yang tidak bersifat normatif yang terjadi biasanya terkait
dengan rumah dinas, kendaraan dinas, perabot rumah
tangga, pinjaman kendaraan, dan sebagainya. Dalam hal ini,
untuk penyelesaian perselisihan yang tidak bersifat normatif
ini biasanya diatur di dalam aturan perusahaan sendiri.
178
Penanganan perselisihan hak yang bersifat normatif
dapat menggunakan media sebagai berikut:
1. Perundingan bipartit.
2. Perundingan tripartit (mediasi).
3. Penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI).
Dalam hal ini yang harus diwaspadai adalah
penanganan perselisihan hak yang bersifat normatif dapat
berpotensi menimbulkan pemogokan karyawan. Selama
periode 2012-2016 perselisihan yang diselesaikan melalui
perundingan bipartit adalah 70% dan 30% terselesaikan di
tingkat tripartit (mediasi). Tidak ada perselisihan yang harus
diselesaikan di tingkat pengadilan hubungan industrial (PHI).
Tingkat keberhasilan penyelesaian melalui perundingan baik
bipartit atau tripartit karena perusahaan menganut prinsip
kejujuran, transparansi, komitment dan keadilan dalam
setiap perundingan. Dengan prinsip tersebut di atas
karyawan akan memahami apabila perusahaan kesulitan
memenuhi sebagian hak yang bersifat normatif tersebut.
Karyawan juga sebaiknya dilibatkan aktif dalam memberikan
solusi dan merencanakan pemenuhan hak karyawan yang
bersifat normatif tersebut.
Pemutusan Hubungan Kerja
Menurut undang-undang, semua pihak wajib
menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
PHK yang dengan serta merta seperti; pengunduran diri,
meninggal, pensiun, sakit menahun adalah PHK yang tidak
dapat dihindari atau dicegah. Fokus Divisi HRD adalah
penanganan PHK yang dikarenakan pelanggaran peraturan,
179
PHK karena karyawan melakukan tindak pidana dan PHK
karena karyawan tidak cakap bekerja. Untuk itu Divisi HRD
harus mendorong perusahaan agar:
1) Memastikan karyawan kompeten.
2) Memastikan karyawan memahami aturan, nilai dan
budaya perusahaan.
3) Memastikan hak karyawan terpenuhi.
Meskipun demikian, apabila tetap terjadi PHK maka
Divisi HRD perlu memastikan langkah-langkah agar PHK
tidak berdampak negatif secara psikologis. PHK yang
berdampak negatif bagi karyawan yang terkena PHK dapat
berkembang menjadi permasalahan baru yang merugikan
perusahaan, misalnya: ancaman pemogokan, permasalahan
sosial, dan permasalahan hukum. Untuk itu Divisi HRD harus
memastikan hal-hal sebagai berikut:
1) Melakukan tahapan-tahapan sesuai peraturan.
2) Memenuhi hak-hak masing-masing pihak.
3) Memberikan konseling dalam hal membantu karyawan
yang di PHK untuk merencanakan kehidupan selanjutnya
pasca PHK.
Praktisi bidang HRD juga harus memberikan umpan
balik yang bersifat membangun atau konstruktif dan
mengembangkan diri karyawan yang mengalami PHK.
Konseling juga bertujuan mempersiapkan mental,
mengurangi kecemasan dan mengangkat kembali
kepercayaan diri karyawan.
Langkah-langkah di atas bukan hanya efektif
mengatasi perselisihan akibat PHK, tetapi juga berdampak
memberikan citra positif terhadap Divisi HRD. Divisi HRD
180
bukan hanya dianggap kepanjangan tangan perusahaan,
tetapi dipersepsikan sebagai pihak yang netral, dan peduli
serta sensitif terhadap permasalahan karyawan.
Perselisihan Serikat Kerja
Perselisihan dapat terjadi antar serikat pekerja dan
antara serikat pekerja dengan perusahaan. Menurut UU
nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, perusahaan
tidak boleh menghalang-halangi pekerja dalam membentuk
serikat pekerja, walaupun serikat pekerja tidak wajib ada.
Adanya serikat pekerja yang berjumlah lebih dari satu akan
berpotensi menimbulkan perselisihan antar serikat pekerja.
Serikat pekerja yang berafiliasi dengan federasi serikat
pekerja juga berpotensi menimbulkan perselisihan dengan
perusahaan. Untuk itu, apabila karyawan bermaksud
membentuk serikat pekerja, maka bentuk serikat pekerja
tingkat perusahaan (serikat pekerja mandiri) yang tidak
berafiliasi dengan federasi serikat pekerja adalah alternatif
terbaik. Divisi HRD dapat bekerja sama dengan pihak ketiga
(Dinas Ketenagakerjaan atau konsultan) untuk membangun
kompetensi pengurus serikat pekerja. Dengan demikian
pengurus serikat pekerja akan memahami fungsi serikat
pekerja dan bertindak sesuai aturan yang berlaku. Apabila
perusahaan dan pengurus serikat pekerja memahami fungsi
masing-masing dan bertindak sesuai aturan yang ada maka
penyelesaian perselisihan antar serikat pekerja atau antara
serikat pekerja dengan perusahaan akan mudah diselesaikan.
Penutup
Pendekatan psikologis terbukti berperan penting
dalam pencegahan maupun penyelesaian perselisihan
181
hubungan industrial di perusahaan perkebunan. Hal itu
kemungkinan besar juga terjadi di perusahaan dengan bidang
usaha yang lain. Untuk itu penting bagi manajemen
perusahaan, karyawan dan terutama praktisi HRD untuk
menyadari pentingnya pendekatan psikologis ini. Dengan
pendekatan psikologis diharapkan penanganan
permasalahan hubungan industrial menjadi lebih humanis
dan beradab.
Daftar Pustaka
UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
---ooOoo---
182
Halaman ini sengaja dikosongkan
183
Pengelolaan Konflik dalam
Hubungan Industrial:
Sebuah Tinjauan Psikologis
Oleh:
Maya Sita Darlina
184
Pengantar
Salah satu kunci dari terciptanya perusahaan yang
kokoh dan solid adalah adanya sinergi yang tepat antara
karyawan dan perusahaan. Untuk itu, ketika masing-masing
pihak telah saling memahami kontribusi, hak dan
kewajibannya di perusahaan, maka tujuan perusahaan akan
lebih mudah untuk dicapai. Sinergi muncul karena adanya
interaksi dinamis yang positif antara perusahaan dan
karyawan untuk bersama-sama meningkatkan produktivitas.
Dinamika interaksi terjadi karena masing-masing
pihak yaitu perusahaan dan karyawan memiliki hak dan
kewajiban yang pada kenyataannya bisa tidak seiring dan
sejalan. Sebagai contoh, perusahaan memiliki keterbatasan
dalam menetapkan remunerasi tetapi di sisi lain karyawan
mengharapkan remunerasi yang lebih dari yang sudah
diterimanya. Dengan demikian, dinamika interaksi yang ada
tentunya harus dikelola agar tidak berdampak negatif dalam
upaya menciptakan sinergi yang tepat dan hubungan
industrial yang harmonis antara karyawan dan perusahaan.
Pengertian Hubungan Industrial
Hubungan industrial menurut Suwarto (2003) adalah
pengaturan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terlibat
di dalam proses produksi secara kolektif. Mengacu pada
rumusan di atas maka pengelolaan hubungan industrial atau
pengelolaan hak dan kewajiban dari dua pihak yaitu
karyawan dan perusahaan menjadi tema sentral untuk
mendukung proses kerja guna pencapaian target perusahaan.
Pengelolaan hubungan industrial yang baik akan mendorong
terciptanya hubungan industrial yang harmonis dimana pada
185
kondisi tersebutlah proses kerja yang ada dapat mendorong
terciptanya pencapaian produktivitas perusahaan.
Salah satu yang dibahas dalam konteks hubungan
industrial adalah pengaturan hak dan kewajiban para pihak
(perusahaan dan karyawan). Dalam konteks hubungan
industrial maka koridor tentang penjelasan hak dan
kewajiban karyawan dan perusahaan dituangkan dalam
seperangkat sistem yang disebut perjanjian kerja bersama
(PKB). Berbicara mengenai hak dan kewajiban maka menjadi
hal yang wajar bila hak yang dimiliki satu pihak pada satu saat
akan dinilai tidak sejalan oleh pihak lain. Dengan demikian,
bisa jadi proses perumusan PKB menjadi sangat berpotensi
memunculkan konflik kepentingan antara perusahaan dan
karyawan. Konflik dalam perumusan PKB yang terjadi antara
perusahaan dan karyawan penting untuk diselesaikan karena
hasil yang ditunggu atas proses tersebut adalah kesepakatan
dari para pihak atas hak dan kewajiban masing-masing pihak
yang nantinya akan dijadikan acuan dalam proses kerja.
Pemahaman yang memadai mengenai pengelolaan konflik
dua pihak antara karyawan dan perusahaan saat perumusan
PKB maupun dalam proses pengelolaan hubungan industrial
sangat diperlukan untuk dapat menciptakan hubungan
industrial yang harmonis. Hal tersebut akan mendukung
pencapaian target perusahaan.
Lima Cara Pengelolaan Konflik Hubungan Industrial
Robbin (1998) menjelaskan bahwa konflik dimulai
ketika satu pihak beranggapan bahwa pihak lain telah secara
negatif memengaruhi atau berpotensi memengaruhi secara
negatif hal yang menjadi perhatian pihak lain. Dari paparan
186
Robbin (1998) tersebut, maka jelaslah perbedaan pandangan
atau kepentingan sudah dapat dikategorikan sebagai suatu
konflik. Thomas (1992, dalam Robbin 1998) mengemukakan
bahwa dalam penyelesaian konflik dapat dikelompokkan
dalam lima cara yaitu: bersaing (competing), bekerjasama
(collaborating), berkompromi (compromising), menghindar
(avoiding), dan menyesuaikan (accomodating). Penjelasan
dari cara pengelolalan konflik tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut (Munandar, 2001):
1. Bersaing ialah hasrat untuk memuaskan kepentingannya
sendiri tanpa memperhatikan dampak terhadap pihak lain
yang menjadi lawannya dalam konflik. Dalam kondisi ini
dikatakan bahwa pihak-pihak yang berkonflik memiliki
derajat assertiveness yang tinggi, dan derajat
cooperativeness yang rendah. Situasi ini juga dinamakan
sebagai situasi menang-kalah (win-lose).
2. Bekerjasama ialah pihak-pihak yang konflik masing-
masing berhasrat untuk memuaskan kepentingan pihak
lainnya (derajat assertiveness dan cooperativeness tinggi).
Situasi ini dinamakan juga situasi menang-menang (win-
win).
3. Berkompromi ialah satu situasi dimana masing-masing
pihak yang bersengketa bersedia untuk mengorbankan
sesuatu (assertiveness dan cooperativeness sedang). Situasi
ini dinamakan kalah-kalah (lose-lose), karena ada yang
dikorbankan.
4. Menghindar adalah hasrat untuk mengundurkan diri dari
situasi konflik atau menekan konflik, tidak mau
bersengketa (assertiveness dan cooperativeness rendah).
187
5. Menyesuaikan ialah adanya satu pihak yang konflik
bersedia untuk meletakkan kepentingan pihak lain lebih
tinggi dari kepentingannya (assertiveness rendah,
cooperativeness tinggi). Situasinya satu pihak mengalah
atau memenangkan pihak lawan.
Cara-cara di atas merefleksikan intensi untuk
menyelesaikan konflik (Munandar, 2001). Dengan demikian
Munandar (2001) menambahkan bahwa intensi untuk
menyelesaikan konflik dapat diwujudkan ke dalam berbagai
teknik penyelesaian konflik.
Teknik Penyelesaian Konflik
Teknik penyelesaian konflik dapat pula merujuk
pendapat Schein (1990), yaitu sebagai berikut:
1) Menemukan musuh bersama.
Konflik digeser ke tingkat yang lebih tinggi, tidak saja
untuk kepentingan kelompoknya. Sebagai contoh, pihak
karyawan dan perusahaan memikirkan kontribusi
masing-masing untuk membawa perusahaan menjadi
perusahaan yang lebih produktif di industri sejenis;
dibandingkan masing-masing kelompok bersikukuh
hanya mencapai kepentingan kelompoknya.
2) Membawa pimpinan atau sub kelompoknya masing-
masing ke dalam suatu interaksi.
Masing-masing kelompok menunjuk delegasi dan
memberikan kewenangan kepada perwakilannya untuk
melakukan perundingan guna mencapai kesepakatan.
Sebagai contoh, pada kegiatan peninjauan kembali PKB,
maka serikat pekerja menunjuk perwakilannya untuk
berunding dengan perwakilan perusahaan.
188
3) Menemukan tujuan yang sama.
Merumuskan tujuan yang meliputi kepentingan seluruh
pihak dapat menjadi salah satu solusi untuk
menyelesaikan konflik kepentingan yang ada. Sebagai
contoh, dalam berdiskusi terkait pemberian sanksi bagi
karyawan yang melanggar, maka dapat disepakati tujuan
bersamanya adalah untuk meningkatkan produktivitas
perusahaan sehingga dapat berdampak pada peningkatan
kesejahteraan karyawan. Dalam hal ini, bukan tujuan satu
kelompok yang difokuskan tetapi tujuan kedua belah
pihak yang harus diutamakan.
4) Pelatihan antar kelompok dengan menggunakan metode
“Experiential Inter Group Training”.
Pada pelatihan ini, kelompok yang bersaing dikumpulkan
dan diminta untuk mengkaji perilakunya masing-masing.
Selanjutnya, perilaku ini dibahas dalam kelompok
sehingga bila terdapat persepsi yang keliru dapat
diminimalkan dan kemudian dapat disepakati bentuk
hubungan selanjutnya antara kedua belah pihak. Untuk
menciptakan hubungan industrial yang harmonis maka
karyawan dapat dimintakan masukannya atas hal-hal
yang harus diperbaiki oleh perusahaan dan pada saat
yang bersamaan perusahaan menyampaikan kondisi yang
ada dan kondisi yang diharapkan, dan kemudian disusun
kesepakatan bersama.
5) Menggunakan teknik pemecahan masalah (problem
solving).
Berdasarkan Munandar (2001) bahwa teknik pemecahan
masalah juga dapat dipakai untuk menyelesaikan konflik
189
kepentingan. Pertemuan tatap muka antara perusahaan
dan karyawan yang sedang berkonflik dilakukan untuk
tujuan menemukenali masalah dan memecahkannya
dalam diskusi terbuka. Sebagai contoh, ketika sebuah
konflik terjadi saat dilakukan proses pemutusan
hubungan kerja. Dalam hal ini perusahaan menjelaskan
kronologis dan keputusannya dan pihak karyawan
memberikan pendapat berdasarkan opini atau
keyakinannya. Penyelesaiannya kemudian didiskusikan
dengan merujuk pada ketentuan perusahaan yang sudah
disepakati bersama, yaitu antara lain Perjanjian Kerja
Bersama (PKB).
6) Teknik pengadaan sumber yang lebih banyak.
Solusi ini merupakan solusi penambahan sumber, fasilitas
yang dituntut dari perusahaan kepada karyawan.
Misalnya ketika ada permintaan penyediaan fasilitas
kantin yang memadai dari karyawan dan diselesaikan
dengan penyediaan fasilitas kantin yang memadai oleh
perusahaan.
7) Teknik pelunakan (smoothing).
Suatu metode yang berusaha mengurangi arti perbedaan
dan menekankan pada kepentingan bersama dari pihak
yang bersengketa. Dalam hal ini, perusahaan dan
karyawan tidak berfokus pada perbedaan pendapatnya
tetapi menemukan kesamaan tujuan antara perusahaan
dan karyawan.
8) Teknik perintah otoritatif.
Suatu metode dimana manajemen menggunakan otoritas
formalnya untuk menyelesaikan konflik dan
190
mengkomunikasikan keinginannya kepada pihak yang
berkonflik. Sebagai contoh, dalam memberikan keputusan
untuk melakukan PHK karena kondisi perusahaan tidak
memungkinkan lagi, maka perusahaan menggunakan
otoritas formalnya untuk menyampaikan kondisi tersebut
berikut paket penyelesaian yang dapat diberikan oleh
perusahaan kepada pihak terkait.
9) Teknik mengubah perilaku manusia.
Suatu metode untuk mengubah perilaku manusia
misalnya kemudian diadakan pelatihan. Untuk
menyelesaikan konflik yang ada antara atasan dan
bawahan maka perusahaan mengirimkan kedua belah
pihak untuk mengikuti pelatihan terkait topik yang
disengketakan.
10) Teknik mengubah perilaku struktural.
Suatu metode yang mengubah struktur formal organisasi
dan pola interaksi dari pihak yang berkonflik melalui
rancang ulang dari pekerjaan (job redesign), pemindahan,
pembentukan kedudukan dengan tugas koordinasi, dan
sebagainya. Pada saat atasan menghadapi konflik dengan
bawahannya karena beban tugas yang berlebih maka
atasan mengatasinya dengan penyediaan aplikasi yang
relevan untuk membantu penyelesaian tugasnya.
Dari keseluruhan paparan di atas, maka diharapkan
pemahaman terkait konflik berdasarkan kajian psikologis
dan bagaimana pengelolaannya dapat menjadikan masukan
bermanfaat untuk menciptakan hubungan industrial yang
harmonis. Dengan demikian melalui hubungan industrial
191
yang harmonis perusahaan dapat meningkatkan
produktivitas yang telah ditetapkan.
Daftar Pustaka
Munandar, A. S. (2001). Psikologi industri dan organisasi.
Depok: Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Robbins, S. P. (1998). Organizational behavior: Concepts,
controversies, applications (8th ed.). Upper Sadlle
River, NJ: Prentice-Hall.
Schein, E. H. (1990). Organizational psychology (3rd ed.). New
Jersey: Prentice-Hall.
---ooOoo---
192
Halaman ini sengaja dikosongkan
193
Membangun Tim
Generasi Milenial
194
195
Generasi Y: Bagaimana Mengelola Strategi
(Disampaikan pada Forum Sharing, Learning dan Networking
IOC, 17 September 2016)
Oleh: Niken Ardiyanti
196
Pengantar
Tahukah Anda apa yang dimaksudkan dengan
Generasi Y? Mengapa kita perlu memahami mengenai
Generasi Y? Apa kaitannya Generasi Y dengan strategi dan
dinamika dalam produktivitas kerja di perusahaan/
organisasi? Sepertinya masih banyak lagi pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan baik oleh pihak manajemen dalam
perusahaan maupun para pemimpin yang saat ini banyak
berinteraksi dengan generasi yang diidentifikasi sebagai
Generasi Y ini.
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas,
mari kita telaah beberapa pengelompokan generasi
berdasarkan karakteristik demografis dan aspek sosio-
ekonomi yang berbeda. Secara lebih jelas dalam pembagian
generasi dikenal adanya teori pembabakan (generation gap).
Indonesia dalam hal ini mengacu pada teori pembabakan
Amerika, yaitu: Perang Dunia I, Perang Dunia II dan era
milenium. Sedangkan Inggris tidak mengenal adanya teori
pembabakan.
Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat mengalami
masa–masa paling sulit baik dari aspek ekonomi maupun
sosialnya. Generasi yang terlahir di era ini yaitu antara tahun
1940 – 1960 dikenal dengan nama Generasi Baby Boomers.
Mereka lahir ketika periode masa perang baru saja usai.
Setelah Generasi Boomers, generasi berikutnya adalah
197
Generasi X (antara tahun 1961–1981). Periode ini merupakan
generasi kedua dari Generasi Boomers, di mana
kehidupannya relatif lebih mapan dan secara sosial ekonomi
mendapatkan kenyamanan dari usaha yang telah dilakukan
oleh generasi sebelumnya. Setelah Generasi X, maka pada
tahun 1982–2002 lahirlah Generasi Y atau lebih dikenal
secara umum dengan Generasi Millenial, karena mereka
terlahir pada masa milenium (awal tahun 2000). Jika kita
perhatikan, perbedaan generasi ini berlangsung setiap 20
tahun sekali.
Pada tahun awal 2005, Generasi Y sudah mulai berada
pada usia produktif dan memasuki pasar tenaga kerja. Di saat
inilah terjadinya peristiwa unik di organisasi, yakni
organisasi memiliki populasi demografi yang terdiri atas tiga
rentang usia generasi yang berbeda. Generasi Baby Boomers,
X dan Y, secara bersamaan berada di dalam piramida
organisasi perusahaan/lembaga.
Melalui tulisan ini kita akan melihat bagaimana teori
mampu menjelaskan fakta yang terjadi di organisasi saat ini
untuk kemudian digunakan sebagai strategi dalam mengelola
perbedaan generasi ini agar menjadi fungsi yang kolaboratif
dan produktif.
Karakteristik Tiap Generasi
Karakteristik demografis dan sosio–ekonomi dari
setiap generasi direpresentasikan dalam bentuk cara
198
berpikir, gaya hidup, semangat, pengaruh lingkungan dan
kekuatan dari generasi itu sendiri. Hal-hal ini kemudian
membentuk suatu pola perilaku yang relatif serupa karena
adanya kesamaan era dimana populasi tersebut berinteraksi
(cohort). Keseluruhan karakteristik tersebut membentuk
pola perilaku sebagai fungsi adaptasi antara individu itu
sendiri dengan lingkungan. Kurt Lewin (1933) menjelaskan
bahwa perilaku merupakan hasil dari fungsi interaksi antara
diri individu dengan lingkungan sebagai ruang hidup yang
memberikan pengaruh secara interaktif.
Dalam fungsi matematis, penjelasan di atas
digambarkan sebagai berikut:
Keterangan:
f = fungsi S = self/diri sendiri E = external/lingkungan sosial
Perilaku merupakan sebuah fungsi yang tidak
terpisahkan antara situasi/konteks (peristiwa dimana
tingkah laku terjadi) yang terjadi secara menyeluruh (dimana
bagian-bagian komponennya terpisah-pisah) dan konkrit
(nyata dapat dijelaskan secara detil).
Konsep dasar Lewin (dalam Robbins, 2010) mengenai
psikologi medan atau psikologi lapangan dalam kaitannya
dengan perbedaan generasi saat ini dirasakan sangat
Perilaku = f(S, E)
199
dominan terjadi. Hal ini tampak melalui berbagai gejala
psikologis dan sosiologis yang terjadi, antara lain terlihat
pada paparan gaya hidup yang tampak di sosial media pada
anak anak dan remaja (Twitter, Facebook, Instagram,
Linkedln, dll), konflik interaksi yang terjadi di perusahaan
baik antara sesama rekan kerja atau atasan dengan bawahan
di antara generasi yang berbeda- hingga permasalahan dalam
skala nasional yang meliputi permasalahan antar kelompok.
Hal ini kemudian dapat mempengaruhi proses koordinasi
kerja dan pada akhirnya berdampak pada pencapaian kinerja
organisasi. Dengan adanya perbedaan generasi
memungkinkan munculnya perbedaan persepsi yang pada
akhirnya akan mempengaruhi gaya komunikasi, sehingga
seringkali terdapat perbedaan yang berujung pada konflik
antar pribadi dan berpengaruh hingga di unit kerja, bahkan
pada tingkat institusi. Masing–masing pribadi dari Generasi
Baby Boomers, X, dan Y memiliki karakteristik khas yang
berbeda satu sama lainnya.
Karakteristik Generasi Y berbeda dengan karakteristik
yang ditampilkan generasi sebelumnya, khususnya pada
antusiasme/motivasi, orientasi bekerja dan sikap kerja.
Generasi Baby Boomers lebih berfokus pada proses,
sedangkan Generasi Y cenderung fokus pada hasil. Proses,
erat kaitannya dengan tata krama, hirarki dan senioritas.
Sedangkan hasil, lebih dominan berorientasi pada kualitas
200
dan kuantitas. Inilah letak perbedaan yang cukup mendasar
diantara sekian banyak perbedaan yang seringkali
mengemuka ketika dilakukan diskusi yang membahas
mengenai kinerja Generasi Y selama hampir 5 (lima) tahun
terakhir ini.
Persepsi yang dimiliki Generasi millenial terhadap
pekerjaan juga mungkin berbeda dibandingkan persepsi dari
generasi sebelumnya. Di bawah ini adalah hasil survey dari
Bagian Penelitian dan Pengembangan Kompas (yang diolah
oleh BPS, 2015) terhadap Generasi Y, sebagai berikut:
1) Tujuan Bekerja.
Pada Generasi Y bekerja lebih bertujuan pada kinerja
bisnis dan kepuasan dirinya sebagai karyawan, bukan lagi
bekerja disebabkan karena status seperti pada Generasi
Boomers.
2) Kepemimpinan.
Kepemimpinan mereka lebih berfokus kepada orang
(people). Kepemimpinan dipersepsi sebagai bagian
menyeluruh dari fungsi organisasi sekaligus individu yang
menjadi pemimpinnya. Keduanya dilihat sebagai satu
kesatuan dan tidak terpisahkan.
3) Ciri Pemimpin Ideal.
Ciri pemimpin ideal versi Generasi Y adalah pemimpin
yang berpikir strategis, bisa menjadi inspirasi, memiliki
keterampilan interpersonal yang unggul, memiliki visi,
201
bersemangat, memiliki antusiasme dan ketegasan.
Pemimpin yang egaliter lebih disukai, daripada pemimpin
yang bergaya aristokrat/ otoritarian. Generasi Millenial
lebih banyak merekrut pekerja berdasarkan atribut
kecakapan pribadi mereka dan generasi ini memiliki
keinginan kuat untuk menjalankan bisnis pribadi, bukan
berstatus sebagai karyawan.
Data demografis menunjukkan jumlah populasi
Generasi Y semakin signifikan pada sensus penduduk
Indonesia di tahun 2010, dan terus mengalami peningkatan
secara eksponensial. Hasil sensus penduduk di tahun 2010
yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik mendeskripsikan
penyebaran Generasi Millenial dibandingkan dengan
populasi kedua generasi lainnya (Generasi Baby Boomers dan
Generasi X), sebagai berikut: 43,3% penyebaran di kota dan
36,7% penyebaran di perdesaan
Dari data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
prosentase jumlah populasi Generasi Millenial hingga saat ini
sudah melampaui prosentase jumlah kedua populasi generasi
lainnya.
Tantangan dalam Mengelola Generasi Y
Tantangan bagi manajemen di perusahaan saat ini
adalah bagaimana mengkolaborasikan berbagai karakteristik
dari masing-masing generasi ini. Untuk dapat membuat
kolaborasi yang cantik, manajemen diharapkan dapat lebih
202
memberi perhatian pada karakteristik positif dari masing-
masing generasi dan tidak mempertentangkan aspek
negatifnya, untuk kemudian diselaraskan dengan
karakteristik organisasi. Hal ini penting untuk dapat
menciptakan dinamika kelompok multi-generasi yang
memberikan pengaruh positif terhadap perusahaan. Pada
tataran ideal hal ini terlihat mudah dan sederhana. Namun
pada kenyataannya, fakta yang ditemui di organisasi/
lembaga/perusahaan saat ini memang cukup menantang.
Fakta-fakta tersebut adalah sebagai berikut:
1. Proses rekrutmen di era padat karya (pada periode
pemerintahan orde baru) yang tidak dilaksanakan secara
rutin, menyebabkan perbedaan kesenjangan generasi
(generation gap) yang sangat besar dalam piramida
organisasi (zero growth).
2. Proses pendidikan dan pelatihan (diklat) yang tidak
berlangsung secara terstruktur berakibat pada
terhambatnya proses pengembangan (kaderisasi).
3. Ketiadaan kaderisasi sebagai bagian dari pengembangan
karyawan, menyebabkan proses suksesi pun menjadi
terhambat.
4. Terjadinya miskoordinasi antara lapisan dalam piramida
organsiasi, antara lain disebabkan gaya komunikasi
(bahasa eksplisit – persepsi implisit, senioritas, birokrasi)
yang berbeda.
203
5. Belum adanya manajemen sistem pengembangan SDM
yang terstruktur terkait dengan sistem pengelolaan
manajemen SDM berbasis kompetensi, rekrutmen dan
seleksi, pendidikan dan pengembangan, manajemen
kinerja, manajemen karier, dan manajemen remunerasi.
Fenomena lain yang banyak dialami saat ini dan tidak
bisa dianggap sepele, diantaranya adalah fakta bahwa
generasi milenial mudah untuk berpindah pekerjaan. Hal-hal
yang menjadi sebab mereka mengundurkan diri antara lain:
1) Konflik dengan atasan langsung/atasan tidak langsung
(non-substantif).
2) Ketidakjelasan arah dalam sistem karir.
3) Ketiadaan sistem manajemen kinerja yang objektif.
4) Ketidakjelasan dalam pengembangan diri.
5) Tidak mendapatkan arahan dari manajemen (faktanya
atasan seringkali lebih berperan sebagai boss, padahal
mereka berharap atasan menjadi mentor).
6) Budaya perusahaan/organisasi didominasi pada aspek
implisit/kebijaksanaan, daripada aspek eksplisit, seperti
SOP dan aturan baku lainnya.
7) Organisasi masih terfokus pada aspek proses yang hirarkis
sifatnya (pengendalian, stabilitas, senioritas), daripada
organisasi dengan orientasi pada hasil (pengendalian,
tingkat kepercayaan, pendampingan).
(diolah dari beberapa sumber, 2016).
204
Untuk mengatasi hal-hal tersebut di atas, perlu
dirancang sebuah strategi untuk meningkatkan daya saing
organisasi/perusahaan sehingga mampu memenangkan hati
karyawan maupun customer di usia produktif sebagai bagian
menyeluruh dari generasi millenial.
Strategi Mengelola Generasi Y
Dalam penelitian yang dilakukan Saba (2006) dalam jurnal
Managerial Psychology yang berjudul Antecedents and
Consequences of Employee Engagement, disebutkan bahwa
strategi memotivasi Generasi Y dapat dilakukan melalui dua
hal, yakni:
a. Membuat sistem yang terstruktur, yang merupakan peran
dari organisasi.
b. Melibatkan (engagement) generasi Y dalam proses
organisasi, hal ini hanya dapat diupayakan melalui
keselarasan antara nilai–nilai organisasi dengan budaya
organisasi, sistem pengembangan SDM dan sistem karir
yang komprehensif.
Adapun secara lebih rinci, hal-hal yang diperlukan
dalam mengelola Generasi Y adalah sebagai berikut:
1) Kejelasan dalam proses onboarding karyawan.
Onboarding karyawan adalah suatu proses yang
memungkinkan seorang karyawan menyesuaikan diri
dengan peran barunya di perusahaan dengan cepat dan
lancar. Intinya adalah membuat karyawan baru merasa
205
disambut di perusahaan dan siap menjalankan peran
mereka. Generasi Y membutuhkan kejelasan dalam hal
seperti proses rekrutmen dan seleksi, masa percobaan,
pengangkatan hingga promosi dan jenjang karir ke
depannya.
2) Mengembangkan dan menyediakan budaya kerja yang
bersifat kolaboratif.
3) Memastikan nilai–nilai otonomi (autonomy) dan
kepercayaan (trust) sebagai bagian terintegrasi dari
pernyataan visi, misi, nilai-nilai serta budaya organisasi.
Dengan memahami strategi mengelola Generasi Y,
maka organisasi/perusahaan dapat melakukan upaya–upaya
untuk mempertahankan sumber daya manusia unggulannya
di generasi tersebut, dengan cara:
1. Menciptakan suasana kerja berbasis perbaikan terus
menerus (continuous improvement) Generasi Y perlu
diberikan kesempatan berekspresi kreativitas dan inovasi,
daripada dikekang dan dibatasi. Jika terlalu banyak
batasan, maka mereka bisa menjadi demotivasi dan
mematikan semangatnya.
2. Membangun suatu forum komunikasi dan diskusi
interaktif secara efisien dalam suasana saling percaya dan
penuh komitmen. Generasi Y membutuhkan umpan balik
terkait dengan kinerjanya dan tidak mudah menerima
206
begitu saja satu perintah. Mereka seringkali bertanya
‘mengapa?’
3. Memberikan pelatihan mengenai pemberian umpan balik
yang efektif kepada para atasan dalam kerangka
pengelolaan Generasi Y, yang bertujuan untuk memiliki
pemahaman karakteristik dan perbedaan dalam proses
pengelolaan Generasi Y.
Penutup
Generasi Y, saat ini sudah pasti telah mengisi profil
bonus demografi dan merupakan tenaga kerja produktif di
Indonesia. Generasi Y-lah yang akan menentukan kiprah alur
produktivitas kinerja organisasi, dan mereka mulai dapat kita
jumpai di berbagai tingkatan. Tidak hanya berada di tingkat
staf pelaksana, mereka juga menjabat sebagai manajemen lini
(supervisory), manajemen madya (manager dan senior
manager), bahkan berpotensi sebagai pemegang keputusan
(manajemen puncak – board of directors/C levels). Untuk itu
disarankan kepada pihak manajemen agar melakukan
antisipasi dan menuangkan rencananya dalam rencana
strategis perusahaan sehingga menjadi dasar implementasi
perencanaan sumber daya manusia di perusahaan, mulai dari
proses rekrutmen dan seleksi, pelatihan dan pengembangan,
manajemen kinerja, hingga sistem remunerasi yang
mendukung operasionalisasi kerja perusahaan.
207
Dengan pengelolaan yang tepat organisasi/
perusahaan tidak hanya mendapatkan profit yang maksimal,
namun juga mendapatkan manfaat jangka panjang berbentuk
kolaborasi tim ungulan yang solid yang pada akhirnya
meningkatkan daya saing perusahaan/lembaga maupun
organisasi. Untuk mengantisipasi kesenjangan yang terjadi,
perlu diberikan pembekalan di dalam proses koordinasi
lintas unit di internal perusahaan, melalui proses
pengembangan coaching, conseling & mentoring. Proses
pengembangan karyawan oleh internal manajemen
dilakukan bertujuan untuk mencapai produktivitas kerja
organisasi yang optimal, khususnya antisipasi bersama dalam
kerangka persiapan menghadapi Persaingan di Pasar
Ekonomi Terbuka ASEAN.
Daftar Pustaka
Robbins, S (2010), Organizational Behavior, McGraw Hill.
Saba, T. (2006) Antecedents and Consequences of Employee
Engagement, Managerial Psychology.
---ooOoo---
208
Halaman ini sengaja dikosongkan
209
Generasi Y:
Pengelolaan di Danone
Studi di Sebuah Perusahaan Consumer Goods
Oleh:
Eka Shinta
210
Pengantar
Industri consumer goods adalah salah satu industri
yang sangat dinamis karena pelaku dalam industri ini harus
mampu mengikuti perkembangan selera dan preferensi
pasar yang tentunya dipengaruhi oleh perilaku konsumen.
Industri ini potensial untuk terus bertumbuh karena jumlah
manusia yang terus bertambah, akan tetapi di sisi lain
persaingan pada industri ini juga menjadi sangat ketat. Salah
satu tantangan yang dihadapi perusahaan saat ini adalah
bagaimana menarik dan mendapatkan sumber daya manusia
yang berbakat dan berkualitas di pasar. Kadang perusahaan
consumer good harus memberikan kompensasi dan manfaat
diatas harga pasar untuk mendapatkan talenta yang terbaik.
Itupun tanpa jaminan bahwa mereka akan bertahan lama di
perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, group perusahaan Danone sangat
menekankan pentingnya program percepatan pengembang-
an talenta yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan melalui
program management trainee. Pencarian bibit tenaga kerja
yang baru saja lulus dari perguruan tinggi yang direkrut ini
masuk dalam kategori Generasi Y atau sekarang sering
disebut dengan Generasi Millennial, yaitu tenaga kerja yang
lahir antara tahun 1980 sampai 2000. Diprediksikan pada
tahun 2025, Generasi Y akan mendominasi tenaga kerja
profesional dengan proyeksi 3 dari 4 pekerja adalah Generasi
Y.
Strategi Jitu Untuk Mengelola Generasi Y
Karyawan yang memiliki kinerja tinggi akan bekerja
dengan efisien dan berpikir strategis jika mereka termotivasi,
211
bersemangat dan berdedikasi. Untuk itu pengelolaan talenta
yang tepat menjadi hal yang sangat penting. Dalam proses
pengelolaan talenta, khususnya Generasi Y, secara umum
dapat dibagi dalam tiga tahapan ini, yaitu menarik talenta
(attracting talent), mengembangkan talenta (developing
talent) dan mempertahankan talenta (retaining talent).
Menarik Talenta (attracting talent)
Beberapa program yang dilakukan oleh Danone dalam
rangka menarik talenta adalah sebagai berikut:
1) Program employer branding.
Dalam employer branding kita perkenalkan misi
perusahaan sebagai healthy nutrition company. Danone
juga menerapkan kebijakan dual Key Performance
Indicator (KPI), yaitu kinerja perusahaan dilihat dari
keberhasilan pencapaian target keuangan dan juga target
tanggung jawab sosialnya baik kepada komunitas di dalam
perusahaan maupun di masyarakat secara umum. Sebuah
hasil penelitian di tahun 2008 menyebutkan bahwa 88%
Generasi Y mencari perusahaan yang mempunyai
tanggung jawab sosial yang sesuai dengan keinginan
mereka dan 86% akan keluar jika nilai-nilai perusahaan
tidak sama dengan niai-nilai mereka. Di Danone, sebagian
keuntungan perusahaan dikembalikan kepada komunitas
sekitar, dengan program seperti beli 1 dapat 10, Danone
mempunyai program bulan sukarelawan untuk karyawan
melakukan kegiatan sosial di masyarakat.
Kegiatan aktivasi employer branding mulai intensif
dengan pengelolaan kegiatan yang dilakukan sendiri oleh
pekerja Generasi Y, mulai dari mengelola website
212
komunikasi www.dancommunity.com. Website ini diguna-
kan sebagai media komunikasi bagi komunitas yang
tertarik dengan Danone. Dalam media komunikasi ini
anggota komunitas bisa berinteraksi dengan Danone dan
juga Danoners (sebutan untuk karyawan yang bekerja di
Danone). Dalam hal ini mereka yang tergolong Generasi Y
membuat materi materi komunikasi kreatif dan
melakukan beberapa kegiatan kopi darat sehingga anggota
komunitas ini terus bertambah jumlahnya.
2) Program Kampus.
Danone memiliki beberapa program kampus yang
menciptakan kedekatan Danone dengan lingkungan
kampus dan lulusan perguruan tinggi agar mereka lebih
mengenal Danone. Program Kampus yang diselenggarakan
seperti:
a) DYSE (Danone Young Social Entrepreneur), sebuah
kompetisi bisnis sosial bergengsi dimana setiap kampus
bisa mengirimkan delegasinya. Pemenang dari DYSE ini
akan mendapat hadiah uang untuk tambahan modal
serta kesempatan untuk studi banding melihat kegiatan
bisnis sosial di luar negeri. Hal ini diharapkan akan
membantu mahasiswa untuk dapat membuat bisnis
sosialnya bertahan (sustain).
b) Link and Match, adalah kegiatan magang (internship)
terprogram untuk pabrik-pabrik Danone group.
Lulusan dari program magang ini akan mendapatkan
prioritas untuk bergabung sebagai Management Trainee
Star Program (MT Star Program).
213
c) MT Star adalah program Management Trainee untuk
group Danone Indonesia. Setiap tahun Danone
merekrut rata-rata 70-80 orang management trainee
dengan lama program 1 sampai 2 tahun.
d) Campus Guest Lecture, adalah program dimana pihak
manajemen Danone dapat berperan sebagai pembicara
tamu untuk memberikan materi kuliah yang bersifat
aplikasi bisnis.
3) Program rekrutmen on-line
Sejak tahun lalu hampir semua proses seleksi untuk
lulusan muda sudah tidak menggunakan media kertas
(paperless) tetapi lebih mengoptimalkan media digital.
Hampir semua proses mulai dari pengiriman aplikasi, test
dan pengumuman hasil seleksi dilakukan secara online. CV
yang masukpun tidak terbatas hanya dengan CV yang
sifatnya konvensional, tetapi juga diberikan kesempatan
untuk menyampaikan video CV.
Mengembangkan Talenta (Developing Talent)
Untuk mengembangkan talenta para Generasi Y di
Danone diberikan kebebasan untuk Melakukan eksplorasi
pengembangan dirinya dengan fasilitas program yang
disediakan perusahaan. Mereka dapat mendiskusikan
rencana pengembangan diri mereka dengan atasannya.
Aktivitas diskusi pengembangan ini dirasakan tepat karena
motivasi dalam bekerja pada Generasi Y banyak disebabkan
adanya sesuatu yang menantang untuk mereka menangkan.
Mereka seperti haus tantangan. Hal ini sesuai dengan strategi
pengembangan di Danone yang merujuk kepada:
214
a. 60% on the job, termasuk penugasan di fungsi yang
sesuai minat, terlibat dalam proyek multi fungsi atau
bahkan antar negara, rotasi pekerjaan.
b. 20% networking, pengadaan acara pertemuan
perkumpulan management trainee dengan pihak
manajemen, atau pertemuan dengan coach dan mentor
ataupun dengan ahli-ahli dari luar
c. 10% classroom, seperti program induksi, pengembangan
kepemimpinan dan pengetahuan mendasar (keterampil-
an presentasi, project management)
d. 10% e-learning, para Generasi Y bisa belajar tentang apa
yang mereka minati terkait pengetahuan, proses bisnis,
pengalaman keberhasilan dari kantor Danone seluruh
dunia, kapan saja dan di mana saja.
Mempertahankan Talenta
Studi yang dilakukan oleh Samantha dari Walden
University menyimpulkan bahwa generasi Y ini menyatakan
minatnya untuk memiliki fleksibilitas kerja/hidup dalam
lingkungan kerja yang menarik, dan mendorong
pengembangan keterampilan profesional. Mereka mencari
atasan yang terbuka, mengakui kinerja mereka dan
memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi tantangan
baru.
1) Gaya Kepemimpinan.
Semua pemimpin di Danone harus melewati program
kepemimpinan Danone yang menekankan perilaku
kepemimpinan berorientasi kedepan (visionary, terbuka
akan perubahan), mampu membangun hubungan yang
produktif, bertanggung jawab dan bisa memberikan nilai
215
tambah, memberdayakan dan mengembangkan tim dan
penuh kesadaran diri untuk menjaga keseimbangan hidup.
Danone meyakini standar gaya kepemimpinan ini
sesuai dengan budaya perusahaan dan membuat para
pemimpin mampu mengelola multi generasi untuk
menciptakan tim dengan kinera yang tinggi. Hal ini juga
diharapkan sesuai dengan kebutuhan Generasi Y yang
mengharapkan adanya umpan balik yang terbuka, jujur
dari atasan, dan senang bekerja dalam lingkungan yang
memberdayakan.
2) Pengembangan Karir
Generasi Y adalah generasi tidak mudah terpuaskan dan
mereka memiliki kecenderungan menjadi generasi yang
ingin serba cepat (instant). Oleh karena itu pengembangan
karir yang dilakukan perlu dirancang untuk tidak melulu
yang bersifat vertical tetapi juga dapat bersifat horizontal
agar membuat mereka selalu bergerak untuk
mendapatkan tantangan baru. Di Danone untuk generasi Y,
paling lama dalam 2 tahun mereka sudah harus dibuat
untuk tidak diam di posisinya. Karena Danone di Indonesia
terdiri dari berbagai macam perusahaan, fleksibilitas
pergerakan karir menjadi cukup luas. Selain itu,
perusahaan juga cukup berani bereksperimen dan
memberikan kesempatan dan waktu untuk menempatkan
tenaga kerja yang minim pengalaman di fungsi barunya
supaya selalu ada angin segar dengan perspektif yang
berbeda di fungsi tersebut.
216
3) Gaya Hidup.
Suasana tempat kerja atau kantor yang agile dan fleksibel
adalah suatu cara untuk membuat Generasi Y tetap
berkarya di satu perusahaan. Ada beberapa praktek yang
dilakukan di Danone, misalnya: Jam kerja yang fleksibel,
dan lounge atau ruang istirahat dengan berbagai alat
musik, permainan, buku, dan pojok makanan sehat,
kegiatan olahraga yang beragam, dukungan keanggotaan
di pusat kebugaran, dukungan terhadap hobi karyawan,
Bulan sukarelawan karyawan (employee CSR), Employee
town hall dengan gaya yang informal, pemanfaatan Dunia
digital dalam kerja: penggunaan workplace facebook,
webex, chat dan lain-lain.
Investasi yang Berkelanjutan
Upaya Danone untuk terus menerus untuk
menjadikan perusahaan ini sebagai tempat bertumbuh yang
hebat (great place to grow) dan mengajak generasi Y untuk
berkontribusi dalam dunia yang lebih sehat (contribute to a
healthier world) ternyata telah berhasil menarik perhatian
para lulusan muda perguruan tinggi dan juga membuat
mereka senang berkarya di Danone. Hal ini terindikasikan
dengan jumlah pelamar yang bertambah setiap tahunnya
(jumlah pelamar di tahun 2016 adalah 3 x jumlah pelamar
tahun 2012), persentase peserta management trainee yang
mengundurkan diri menurun setiap tahunnya (angka turn
over tahun 2015 menjadi seperempat kali dari angka turn
over tahun 2012). Angka turn over harus dijaga agar target
sepertiga dari posisi manager yang kosong dapat diisi oleh
tenaga kerja dari program management trainee dapat
217
tercapai. Untuk itu program management trainee juga terus
diperluas jangkauannya dan terintegrasi dengan program
global. Para pejabat pengelola talenta juga diambil dari para
lulusan management trainee yang sebagian besar adalah
Generasi Y agar terus dapat menyesuaikan dengan kebutuhan
dan aspirasi mereka.
Bagi Danone, program management trainee adalah
investasi yang besar untuk menjaga suplai pemimpin masa
depan yang sesuai dengan misi dan nilai-nilai Danone,
tentunya dalam rangka memastikan perwujudan visi 2020.
Danone percaya bahwa mempersiapkan perusahaan untuk
mengakomodasi Generasi Y adalah kunci dalam
mendapatkan pemimpin yang handal dan berbakat dalam
dunia consumer good pada era tahun 2020 nanti.
---ooOoo---
218
Halaman ini sengaja dikosongkan
219
Generasi Y:
Suatu Pendekatan Psikologis
Oleh: Maharsi Anindyajati
220
Pengantar
Generasi Y atau juga dapat disebut sebagai generasi
millenial, merupakan generasi yang lahir setelah Generasi X
dan menjelang milenium ketiga. Dari berbagai literatur
terdapat perbedaan mengenai tahun lahir Generasi Y ini, akan
tetapi kebanyakan literatur menetapkan bahwa generasi ini
lahir antara tahun 1980–2000. Kelompok Generasi Y di setiap
negara pada dasarnya memiliki karakteristik yang berbeda,
tergantung kondisi sosial ekonomi, politik, budaya, dan latar
belakang sejarah di negara tempat ia dibesarkan. Akan tetapi
karena globalisasi, evolusi teknologi, perkembangan media
sosial, westernisasi, dan cepatnya perubahan terjadi, maka
kelompok Generasi Y secara universal lebih memiliki
kemiripan antara satu dengan lainnya, dibandingkan dengan
generasi-generasi sebelumnya (Stein, 2013; Zemke, Raines, &
Filipczak, 2013).
Digital Native Sebagai Karakteristik Utama pada
Generasi Y
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Erickson dan
Bevins (2011) di delapan negara, yaitu Amerika, Brazil, China,
India, Inggris, Jerman, Rusia, dan Saudi Arabia, terdapat
beberapa kesamaan dan perbedaan karakteristik yang
dimiliki oleh Generasi Y didelapan negara tersebut. Satu
karakteristik yang selalu muncul pada tiap generasi ini di
semua negara yang diteliti adalah digital native. Istilah digital
native diperkenalkan pada tahun 2001 oleh Marc Prensky,
seorang ahli pendidikan Amerika. Digital native merupakan
gambaran seseorang yang sejak kelahirannya telah terpapar
gencarnya perkembangan teknologi, seperti perkembangan
221
komputer, internet, video games, telepon seluler, dan
sebagainya yang terkait dengan teknologi. Hal ini tidak dapat
dipungkiri karena Generasi Y ini adalah generasi pertama
yang lahir dan tumbuh di era digital. Zemke, Raines dan
Filipczak (2013) menyatakan bahwa dua pertiga dari
Generasi Y telah menggunakan komputer sebelum mereka
berusia 5 (lima) tahun.
Menurut Prensky (2001), salah satu konsekuensi
ekstrem dari perkembangan teknologi adalah pada cara
Generasi Y berpikir dan memproses informasi, yang berbeda
dengan generasi sebelumnya. Generasi Y terbiasa untuk
menerima informasi secara cepat dan melakukan beberapa
kegiatan secara bersamaan. Jika generasi sebelumnya harus
mencari sumber bacaan di perpustakaan, maka Generasi Y
cukup berselancar di dunia maya untuk mendapatkan
berbagai sumber referensi yang mereka inginkan. Hanya
dengan mengetik kata kunci, maka sejumlah data yang
dibutuhkan tersaji dengan cepat. Bandingkan dengan upaya
yang harus dikerahkan oleh para generasi sebelumnya untuk
mencari sebuah data. Tidak mengherankan apabila mereka
menjadi kurang sabar untuk mendapatkan yang mereka
inginkan dan menginginkan hasil yang bersifat segera dari
upaya yang telah mereka lakukan.
Para Generasi Y berinteraksi dan terkoneksi 24 jam 7
hari dengan temannya, orang tuanya, informasi, dan dunia
hiburan, tetapi hampir seluruhnya melalui layar. Mereka
dapat terlihat duduk bersebelahan atau bersamaan, namun
masing-masing terpaku pada layar telepon selulernya. 70%
dari mereka memeriksa telepon selulernya setiap jam dan
222
banyak yang mengalami gejala “pocket-vibration syndrome” .
Menurut Larry Rosen, profesor di bidang psikologi dari
California State University, “pocket-vibration syndrome”
adalah sebuah kondisi dimana seseorang merasakan adanya
getaran dari ponsel, yang mungkin disimpan di saku atau tas,
dan mengecek telepon seluler untuk memastikan apakah
benar terdapat pesan masuk atau hanya getaran semu saja.
Perilaku ini dilakukan untuk mengurangi rasa cemas.
Individu akan merasa cemas apabila ia tidak sering mengecek
telepon seluler mereka.
Kehadiran media sosial menggeser kendala untuk
terkoneksi dengan individu dari berbagai belahan dunia.
Generasi Y tumbuh pada masa dimana sangat mudah
mendapatkan sahabat pena dari suku, ras, dan
kewarganegaraan manapun. Media sosial membuat mereka
unggul dalam menjalin jejaring dan memandang dunia secara
global. Kondisi ini membentuk mereka untuk lebih toleran
terhadap perbedaan dibanding generasi sebelumnya. Akan
tetapi, media sosial pun dapat menyebabkan mereka ingin
senantiasa mendapatkan perhatian dan berupaya melakukan
berbagai hal agar mencapai ketenaran. Mereka berulang kali
merasakan ponsel mereka bergetar dan mengecek ponsel
mereka karena berasumsi ada yang memberikan komentar
atau menyukai status terkini mereka di media sosial. Media
sosial juga menyebabkan penggunanya menampilkan
kehidupan mereka secara berlebihan. Mereka memberikan
sejumlah besar informasi pribadi dan ingin menciptakan
karakter tertentu di dunia maya yang identik dengan
kesuksesan, meski di dunia nyata keadaannya mungkin jauh
223
berbeda. Pengguna media sosial sibuk mengunggah
mengenai liburan, aktivitas di waktu luang, pekerjaan, dan
kegiatan mereka lainnya. Hal ini menurut Keith Campbell,
profesor di bidang Psikologi dari University of Georgia,
menyebabkan meningkatnya narsisme di kalangan Generasi Y
(Stein, 2013; Zemke, Raines, & Filipczak, 2013).
Dampak Pola Asuh Orangtua terhadap Generasi Y
Selain faktor pesatnya perkembangan teknologi, pola
asuh orangtua turut menyumbang pembentukan karakter
para generasi Y. Zemke, Raines dan Filipczak (2013)
mengungkapkan bahwa Generasi Y rata-rata dibesarkan
dengan pola asuh yang lebih ramah dan lembut dibanding
generasi sebelumnya. Memukul anak dianggap sebagai
bentuk penyiksaan terhadap anak, orangtua dianjurkan
untuk bernegosiasi dengan anak-anak dalam tiap
pengambilan tindakan. Hubungan antara orangtua dan anak
menjadi lebih egaliter dan kurang bersifat hirarkis. Banyak
yang berperan sebagai sahabat bagi anaknya, yaitu memberi
nasihat, mendukung, dan membantu.
Apabila para Generasi X terbiasa melakukan berbagai
aktivitas secara mandiri, tidak demikian halnya dengan
Generasi Y. Orangtua dari Generasi Y mendampingi anak-
anaknya melakukan berbagai aktivitasnya. Anak adalah pusat
perhatian keluarga. Selain karena keadaan lingkungan yang
makin mengancam dan kehadiran anak yang memang sangat
diharapkan di tengah keluarga, para orangtua dari Generasi Y
ini pun cenderung bersikap protektif dan terobsesi dengan
keselamatan anaknya. Sebagai contoh, pada Generasi X
adalah hal yang jamak ketika mereka mendaftar sekolah atau
224
kuliah secara mandiri. Pada saat melamar kerja, mereka
datang sendiri ke tempat tes seleksi berlangsung. Namun saat
ini, akan banyak kita temukan para Generasi Y datang
melamar kerja dan menjalani proses seleksi kerja dengan
ditemani oleh kedua orangtuanya, bahkan para orangtuanya
rela menunggu berjam-jam hingga tes seleksi berakhir.
Generasi Y tumbuh di lingkungan dimana ia mendapat
perhatian dari orang tua dan para guru, mereka senantiasa
diyakinkan bahwa mereka istimewa dan memiliki arti bagi
lingkungannya. Orangtua dari Generasi Y rata-rata memiliki
tipe helicopter parents, orangtua yang senantiasa berada di
sekeliling anaknya, tidak hanya sekedar memastikan
keselamatan anaknya, namun juga agar anak mereka
mendapatkan setiap kesempatan dan keuntungan tertentu.
Perlakuan orangtua yang seperti ini di satu sisi
membentuk karakter mereka menjadi sosok yang optimis,
yakin bahwa masa depan yang cerah dan kesuksesan akan
mereka raih. Mereka juga memiliki harga diri (self-esteem)
yang tinggi dan mempunyai heroic spirit, menilai dirinya
membawa perubahan dan berjasa bagi lingkungannya.
Dibesarkan dalam kesetaraan, membuat mereka asertif
dalam mengutarakan pendapat dan menuntut keadilan dalam
perlakuan. Di sisi lain, berkurangnya makna hirarki bagi
mereka dan kecenderungan melihat siapapun dalam posisi
setara membuat mereka sering dicap kurang santun dalam
bersikap terhadap pihak yang lebih senior. Ditambah lagi
dengan rasa percaya diri yang cenderung terlalu tinggi
membuat mereka mendapatkan gelar “big head small body”
karena terlihat merasa paling tahu akan segala hal meski
225
pengalaman mereka belum banyak. Kendali kuat dari
orangtua mendorong mereka untuk kurang mandiri dalam
bertindak, namun juga tidak suka apabila dibatasi dengan
aturan.
Penutup
Suka tidak suka, mau tidak mau, patut diakui bahwa
para Generasi Y harus dipersiapkan untuk menerima tongkat
estafet. Sama seperti generasi sebelumnya, mereka pun
memiliki karakter positif sekaligus negatif. Janganlah
terjebak pada mitos mengenai karakter Generasi Y, namun
lihatlah pada fakta mengenai karakter mereka. Optimalkan
kecanggihan mereka menggunakan teknologi, berikan
harapan yang positif, dan bersama-sama melakukan
tindakan, maka itu adalah formula untuk bekerja sukses
bersama Generasi Y. Dengan memahami bagaimana kondisi
sebuah generasi lahir dan berkembang akan membantu kita
memahami mengenai karakter generasi tersebut. Seperti
yang dikatakan oleh Napoleon Bonaparte, “If you want to
know how a man thinks, imagine the world when they were
young.”
Daftar Pustaka
Erickson, T. & Bevins, T. (2011). http://tammyerickson.com/
publications/White_Paper/generations-and-
geography. Retrieved October 31, 2016, from
http://tammyerickson.com:
http://tammyerickson.com.
Prensky, M. (2001). Digital Natives, Digital Immigrants. MCB
University Press, 9(5), 1-6.
226
Rosen, L. (2013, May 7). https://www.psychologytoday.
com/blog/rewired-the-psychology-
technology/201305/phantom-pocket-vibration-
syndrome. Retrieved Oct 31, 2016, from
http://www.psychologytoday.com:
http://www.psychologytoday.com
Stein, J. (2013, May 20). http://time.com/247/millennials-
the-me-me-me-generation/. Retrieved October 31,
2016, from http://time.com: http://time.com
Zemke, R., Raines, C., & Filipczak, B. (2013). Generations at
work: Managing the clash of boomers, Gen Xers, and Gen
Yers in the workplace. New York: Amacom.
---ooOoo---
227
Transformasi & Perubahan
Organisasi
228
229
Transformasi BPJS Kesehatan
Disampaikan pada Forum Sharing, Learning dan Networking
IOC, 15 Oktober 2016
Dipresentasikan oleh:
Andayani Budi Lestari
Mira Anggraini
Disunting Oleh:
Wustari L. Mangundjaya
230
Pengantar
BPJS Kesehatan memiliki peran, tanggung jawab dan
tuntutan yang cukup besar karena memegang mandat
konstitusi mengenai jaminan sosial dan kesehatan bagi
seluruh bangsa Indonesia. Hal ini membuat BPJS Kesehatan
perlu melakukan transformasi yang cukup besar. BPJS
Kesehatan adalah merupakan transformasi dari ASKES
menjadi BPJS Kesehatan, hal ini memerlukan berbagai
transformasi baik secara struktural, maupun secara kultural
dalam Pengelolaan SDM. Berdasarkan atas landasan hukum
bahwa“Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum,…” (Pembukaan UUD 1945
alinea 4) dan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat...,” (Pasal 34 UUD 1945 ayat 2), maupun
UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, serta UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial hal ini membuat BPJS
Kesehatan memiliki peran dan tanggung jawab yang besar
dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Untuk itu, dengan peran dan tanggung jawab yang
besar, khususnya sejak tahun 2014 dimana terdapat
perubahan yang cukup besar dari ASKES menjadi BPJS
Kesehatan, maka BPJS Kesehatan dituntut untuk melakukan
transformasi diberbagai bidang.
Sistem pembiayaan kesehatan
Terdapat berbagai cara dan sistem pembiayaan
kesehatan bagi masyarakat antara lain sebagai berikut
(Mukti, 2008):
231
1) Layanan Kesehatan Nasional (National Health Service).
Pembiayaan kesehatan dibiayai langsung oleh negara,
bersifat semesta dan wajib dimana pajak sebagai sumber
pendapatan utama (non-contributory scheme, fully
funded). Contoh: Inggris, Malaysia, Kanada, Perancis.
2) Asuransi Kesehatan Sosial (Social Health Insurance).
Pembiayaan kesehatan dibiayai oleh pemberi kerja &
pekerja dan dikelola oleh pengelola dana asuransi non-
profit (baik milik swasta maupun pemerintah)
(contributory scheme, partially funded) (UU 40 SJSN).
Penduduk miskin biasanya dibiayai oleh pemerintah.
Contoh: Jerman, Korea, Taiwan, Filipina.
3) Asuransi Swasta (Private Insurance).
Pembiayaan kesehatan diserahkan pada mekanisme
pasar, dimana pekerja atau pemberi kerja membeli
produk kepada asuransi swasta sebagai pilar utama.
Contoh: Amerika (managed healthcare system). Sumber:
Health Financing Revisited – Worldbank.
4) Sistem Indonesia (sebelum 2014).
Mixed System (Pajak, Anggaran Pemerintah, Asuransi
Sosial, Asuransi Komersial, Out Of Pocket , Jaminan
Perusahaan.
Pada saat ini di Indonesia yang digunakan adalah Mixed
system, yang telah digunakan sejak sebelum tahun 2014.
Transformasi Askes menjadi BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan
program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014,
dengan memiliki rencana strategis 5 tahun kedepan yang
cukup menantang.
232
Tantangan dan Capaian BPJS Kesehatan
BPJS memiliki tantangan yang sangat besar yaitu
sebagai berikut: a) bila pada tahun 2014 mulai beroperasi,
maka diharapkan pada tahun 2019 akan terdapat
kesinambungan operasional; b) bila pada tahun 2014
terdapat 121,6 juta peserta (49% populasi), maka pada tahun
2019 diperkirakan terdapat 257 juta peserta (100%
populasi); c) bila pada tahun 2014 manfaat medis standar dan
manfaat non-medis sesuai kelas rawat, maka pada tahun
2019 manfaat medis dan non-medis adalah standar; d) pada
tahun 2014 terdaat kontrak dengan fasilitas kesehatan, maka
pada tahun 2019 jumlah fasilitas kesehatan cukup memadai;
e) Pada tahun 2014 Indeks kepuasan peserta adalah 75%,
maka pada tahun 2019 diperkirakan indeks kepuasan peserta
85%; dan f) Pada tahun 2014 Indeks kepuasan mengenai
fasilitas kesehatan adalah 65%, maka pada tahun 2019 indeks
kepuasan fasilitas kesehatan adalah 80%.
Semetara itu, capaian saat ini (pada tahun 2016), telah
mengelola dana sebesar Rp.44.399.545.735.510 (per 31
Agusus 2016), yang merupakan lebih dari 4 kali dana yang
dikelola pada saat menjadi BUMN (ASKES), dan jumlah
peserta saat ini 169.379.801 jiwa (per 7 Oktober 2016) yang
merupakan lebih dari 10 kali jumlah peserta (16.137.133
jiwa) pada saat menjadi BUMN (ASKES).
Peta Strategi dan Indikator Kinerja Utama (IKU) BPJS Kesehatan
Untuk dapat melakukan pengukuran apakah BPJS
Kesehatan telah memenuhi apa yang menjadi target dan
sasaran organisasi yang telah ditetapkan, maka BPJS
233
Kesehatan menentukan peta strategi dan indikator kinerja
utama 2014-2019, yang terbagi sebagai berikut:
1. Pemangku Kepentingan.
Indikatornya adalah: a) Terwujudnya Jaminan Kesehatan
Nasional Berkualitas bagi seluruh penduduk Indonesia,
yang tercermin dari: 1. jumlah peserta, 2. tingkat
kepuasan peserta, dan 3. pencitraan organisasi; dan b)
Meningkatnya Pengelolaan Keuangan yang Sehat dan
Akuntabel, termasuk didalamnya: 1. Rasio Solvabilitas,
dan 2. Opini Auditor Eksternal.
2. Proses Bisnis Internal.
Indikatornya adalah: a) Meningkatkan Manajemen
Pemasaran dan Kepesertaan, termasuk didalamnya 1.
Jumlah rekrutmen peserta baru, 2. Kepatuhan pendaftaran
pemberi kerja, 3. Jumlah Kerjasama Strategis; b)
Meningkatkan Manajemen Iuran, termasuk didalamnya
kegiatan untuk 1. Pertumbuhan Pendapatan iuran, dan 2.
peningkatan total pendapatan yang diterima; dan c)
Meningkatkan Manajemen Manfaat dan Fasilitas
Kesehatan, termasuk didalamnya: 1. Kegiatan peningkatan
fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan pihak-pihak
lain, 2. Peningkatan Indeks kualitas pelayanan oleh
fasilitas kesehatan, dan 3. Rasio biaya pelayanan terhadap
iuran.
3. Pembelajaran dan Pertumbuhan
Indikatornya adalah: a) Meningkatkan Utilisasi Teknologi
Informasi, termasuk didalamnya meningkatkan 1. Tingkat
Layanan TI dan 2. Progress Otomasi Proses Bisnis; b)
Meningkatkan Meningkatkan Produktivitas SDM, termasuk
234
didalamnya meningkatan 1. Persentase SDM yang
kompeten dan 2. Indeks Opini Pegawai; c) Meningkatkan
Kapabilitas Organisasi, termasuk didalamnya
meningkatkan: 1. Tingkat Kesiapan untuk berubah
(Readiness to Change). 2. Skor Tata Kelola Organisasi yang
Baik, 3. Tingkat Pemenuhan Infrastruktur, 4. Mitigasi
Risiko; e) Benefit-cost ratio Penelitian dan
Pengembangan; dan f) Presentase usulan Strategis yang
Disetujui Pemerintah.
Target Perubahan Organisasi BPJS Kesehatan
Perubahan organisasi BPJS Kesehatan di fokuskan
pada 3 area, yaitu:
1) Manusia (People).
Dalam hal ini fokus perubahan organisasi pada manusia
adalah dengan cara: a) Mengimplementasikan tata nilai
organisasi sebagai budaya kerja, b) Menjalankan proses
dan mekanisme kerja secara efektif dan efisien, dan c)
Menghilangkan budaya dan perilaku kerja non-produktif.
2) Proses.
Di dalam proses perubahan yang termasuk kedalam
proses, maka fokusnya adalah a) Membangun struktur
organisasi dan perangkatnya selaras dengan startegi
organisasi, dan b) Membangun bisnis proses dan
mekanisme yang efktif dan efisien.
3) Peralatan (Tools).
Dalam hal peralatan yang digunakan untuk melakukan
transformasi, adalah membangun sistem teknologi
informasi dan teknologi komunikasi untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi proses dan mekanisme kerja.
235
Termasuk pula didalamnya kebijakan dan strategi
manajemen.
Roadmap Manajemen Perubahan BPJS Kesehatan
Untuk menuju transformasi yang optimal, maka BPJS
menggunakan roadmap dalam mengelola perubahan sebagai
berikut:
1. Menciptakan iklim perubahan organisasi.
Menciptakan iklim perubahan organisasi dilakukan pada
tahun 2014 sampai dengan tahun 2016, dengan aktivitas
sebagai berikut:
a) Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya
perubahan organisasi.
b) Membentuk tim perubahan organisasi (unit kerja
terkait, change leader & change agent).
c) Menyusun roadmap dan rencana aksi perubahan
organisasi.
d) Mulai mengkomunikasikan perubahan organisasi.
2. Mendorong keterlibatan seluruh lini organisasi dalam
proses perubahan organisasi. Fokus kegiatan mendoron
keterlibatan seluruh lini organisasi dalam proses
perubahan organisasi, dilakukan sejak tahun 2016 sampai
dengan tahun 2018, dengan aktivitas sebagai berikut:
a) Komunikasi perubahan organiasi secara lebih intensif.
b) Pemberdayaan change leader dan change agent
revolusi mental.
c) Penambahan KPI-KPI (Key performance Indicator-
Indikator Keberhasilan Revolusi Mental) perubahan
yang bersifat jangkapendek namun menantang.
236
3. Mengimplementasikan menjaga kesinambungan
perubahan organisasi. Fokus kegiatan ini dilakukan sejak
tahun 2018 sampai dengan tahun 2019, dengan aktivitas
sebagai berikut:
a) Memastikan perubahan cara berpikir, cara berkerja,
dan cara berbisnis telah terjadi dan kerlenajutan.
b) Memastikan bahwa seluruh sistem kerja telah selaras
dengan perubahan organisasi.
Tata nilai organisasi BPJS Kesehatan
Pada saat ini nilai-nilai yang dijadikan pedoman oleh
insan BPJS Kesehatan adalah sebagai berikut:
1) Integritas.
Merupakan prinsip dalam menjalankan setiap tugas dan
tanggungjawab melalui keselarasan berpikir, berkata dan
berperilaku sesuai keadaan sebenarnya.
2) Profesional.
Merupakan karakter dalam menjalankan tugas dengan
kesungguhan, sesuai kompetensi dan tanggungjawab
yang diberikan.
3) Pelayanan Prima.
Merupakan tekad dalam memperikan pelayanan terbaik
dengan ikhlas kepada seluruh peserta.
4) Efisiensi Operasional.
Merupakan upaya untuk mencapai kinerja optimal
melalui perencanaan yang tepat dan penggunaan
anggaran yang rasional sesuai kebutuhan.
237
Pernyataan Makna:
“Kami yakin, dengan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa kami
dapat mencapai cakupan semesta sebagai warisan untuk
Indonesia yang lebih baik”.
10 Perilaku Utama duta BPJS Kesehatan
Untuk dapat menanamkan nilai-nilai yang dimiliki
oleh BPJS Kesehatan, maka hal ini dituangkan kepada 10
perilaku utama, yaitu sebagai berikut:
1. Mendahulukan kepentingan organisasi di atas
kepentingan individu/kelompok.
2. Selaras antara pikiran, ucapan dan tindakan.
3. Berani mengakui dan mempertanggungjawabkan
kesalahan.
4. Meningkatkan kompetensi secara berkesinambungan.
5. Mengutamakan kualitas proses dan hasil kerja.
6. Berpikir positif dan mau menyesuaikan diri terhadap
perubahan.
7. Bersikap proaktif terhadap kebutuhan peserta.
8. Berempati dan sabar dalam melayani peserta.
9. Merencanakan anggaran berdasarkan prioritas
kebutuhan.
10. Hemat dan rasional dalam penggunaan anggaran.
Dengan adanya 10 acuan perilaku tersebut, maka
seluruh komponen BPJS Kesehatan (baik karyawan maupun
manajemen) akan selalu berusaha menampilkan perilakunya
sesuai dengan acuan yang ada.
238
Pelaku Internalisasi Tata nilai Organisasi
Untuk dapat melakukan internalisasi tata nilai
organisasi, maka hal ini perlu didukung oleh para pelaku
dengan perannya masing-masing, yaitu:
1) Arsitek Perubahan (Change Architect).
Arsitek perubahan terdiri atas para Direksi BPJS
Kesehatan.
2) Pemimpin perubahan (Change Leader).
Para pemimpin perubahan terdiri dari: a) Kepala Grup dan
b) Kepala Divisi Regional.
3) Agen Perubahan (Change agent / the champ).
Para agen perubahan terdiri dari Duta BPJS Kesehatan
yang terpilih pada masing-masing unit kerja.
Aktivitas Internalisasi Tata nilai Organisasi
Dalam usaha untuk melakukan internalisasi tata nilai
organisasi pada seluruh pegawai, maka berbagai aktivitas
dilakukan antara lain dengan cara: Melaksanakan briefing
setiap pagi, yang diawali dengan menyanyikan Hymne/Mars
BPJS Kesehatan, dilanjutkan dengan pembacaan yel-yel Tata
Nilai Revolusi Mental, Berdoa bersama, Pembacaan Arahan
Direktur Utama, dan berbagi (Sharing) mengenai
Issue/koordinasi.
Penutup
Transformasi BPJS Kesehatan telah dimulai sejak
tahun 2014, berbagai capaian telah diperoleh dengan hasil
yang menggembirakan. Meskipun demikian, BPJS masih
memiliki berbagai tantangan yang tinggi, banyak hal yang
masih harus ditingkatkan dan dikembangkan, khususnya
dalam usaha untuk mencapai rencana strategis yang telah
239
ditentukan sampai dengan tahun 2019, serta tuntutan dari
pemangku kepentingan yang semakin tinggi. Untuk itu,
manajemen BPJS Kesehatan berusaha menciptakan berbagai
terobosan baru dalam usaha untuk memenuhi tuntutan
tersebut.
Daftar Pustaka
Ali, M. G. (2008). Sistem Jaminan Kesehatan.
---ooOoo---
240
241
Transformasi BPJS Ketenagakerjaan
Disampaikan pada Forum Sharing, Learning dan Networking
IOC, 19 November 2016
Oleh:
Naufal Mahfudz
242
Pengantar
Tujuan dibentuknya suatu negara oleh para
pendirinya hampir dipastikan adalah untuk mewujudkan
sebuah negara yang sejahtera (welfare state). Negara yang
dapat menyejahterakan seluruh rakyatnya dalam semua sisi
kehidupan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga
didirikan oleh para pendirinya menjadi sebuah negara yang
sejahtera. Hal ini ditegaskan dalam rumusan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945.
UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 yang berbunyi: “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Kemudian UU
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), menyebabkan keberadaan dan peran PT Jamsostek
(Persero) yang kemudian menjadi BPJS Ketenagakerjaan
menjadi semakin penting dan strategis. Terlebih lagi dengan
ditetapkannya UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, PT Jamsostek (Persero)
berubah menjadi sebuah Badan Hukum Publik, yang tetap
menyelenggarakan program jaminan sosial bagi tenaga kerja,
dengan nama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan.
Transformasi atau perubahan dilakukan oleh suatu
organisasi/perusahaan ketika tuntutan lingkungan
membutuhkannya. Tuntutan lingkungan dapat disebabkan
oleh beberapa alasan, antara lain perubahan selera
konsumen, peralihan kepemilikan dan perubahan iklim
bisnis. Selera konsumen akan suatu produk dapat berubah
243
ketika ada produk baru yang muncul dan mampu memenuhi
kebutuhan konsumen. Demikian pula kepemilikan atas suatu
organisasi, biasanya menuntut adanya perubahan atas
manajemen yang dapat juga berakibat akan adanya
perubahan proses bisnis. Penerapan suatu peraturan
perundang-undangan juga dapat mengakibatkan adanya
perubahan iklim bisnis yang harus dihadapi organisasi.
Kondisi BPJS Ketenagakerjaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011,
PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS
Ketenagakerjaan. Perubahan perundang-undangan yang
mengatur perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan yang
sebelumnya diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992, mengharuskan transformasi
dilakukan. Program yang diselenggarakan, cakupan
kepesertaan, dan pendekatan pelayanan, membutuhkan
perubahan proses bisnis untuk mengantisipasi perubahan-
perubahan tersebut.
Pengalihan penyelenggaraan Program Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (JPK) kepada BPJS Kesehatan dan
penambahan penyelenggaraan program Jaminan Pensiun
(JP), mengakibatkan perlunya reposisi karyawan yang
sebelumnya memiliki kapabilitas medis ke program jaminan
lainnya. Adanya program Jaminan Pensiun mengharuskan
penambahan kompetensi karyawan untuk memahami
konsep penyelenggaraan jaminan sosial program pensiun.
Perluasan cakupan kepesertaan program jaminan sosial
ketenagakerjaan kepada seluruh tenaga kerja di Indonesia
menuntut tersedianya kantor-kantor cabang pelayanan di
244
seluruh Kabupaten/Kota. Penambahan jumlah kantor sudah
pasti berimbas pada relokasi karyawan atau penambahan
jumlah karyawan yang akan memberikan pelayanan.
Pendekatan pelayanan dari product driven ke service
excellent driven membutuhkan karyawan-karyawan yang
memiliki kompetensi, etika dan nilai-nilai budaya yang
dibutuhkan pelanggan. BPJS Ketenagakerjaan tidak dapat
hanya mengandalkan peraturan perundang-undangan untuk
memaksa perusahaan-perusahaan menjadi peserta program
BPJS Ketenagakerjaan. Namun akan lebih efektif apabila
pelayanan yang unggul dan kebutuhan perusahaan dan
tenaga kerja menjadi faktor yang mendorong pengusaha dan
atau tenaga kerja menjadi peserta.
Menjadi BPJS Ketenagekerjaan merupakan tonggak
sejarah penting bagi PT Jamsostek (Persero) untuk secara
terus menerus memberikan perlindungan bagi seluruh
tenaga kerja di Indonesia. Menciptakan satu tekad baru
menjadi Jembatan Menuju Kesejahteraan Pekerja merupakan
suatu janji yang harus diwujudkan setelah menjadi BPJS
Ketenagakerjaan. Keberadaan dan kehadiran badan ini
semakin terasa manfaatnya, tidak hanya bagi pengusaha dan
pekerja, tetapi juga bagi negara dan masyarakat. Peningkatan
manfaat program terus diupayakan. Kualitas pelayanan juga
terus disempurnakan. Seluruh upaya itu dilakukan untuk
semakin memantapkan dirinya sebagai Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang terpercaya, bersahabat dan
unggul dalam operasional dan pelayanan.
Menyadari besarnya tanggung jawab tersebut, BPJS
Ketenagakerjaan terus meningkatkan kompetensi di seluruh
245
lini pelayanan seraya mengembangkan berbagai program
dan manfaat yang langsung dapat dinikmati oleh pekerja dan
keluarganya. Seluruh program jaminan sosial tersebut telah
dirancang untuk memberikan perlindungan dasar yang
memenuhi kebutuhan minimal tenaga kerja dan keluarganya,
yang diharapkan juga dapat memberikan kepastian bagi tetap
berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga
sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang
hilang akibat risiko sosial. Kini dengan sistem
penyelenggaraan yang semakin maju, program-program
jaminan sosial tidak hanya memberikan manfaat kepada
pekerja dan pemberi kerja saja, tetapi juga memberikan
kontribusi penting bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi
bangsa dan memelihara kesejahteraan masyarakat Indonesia.
BPJS Ketenagakerjaan saat ini memiliki 11 Kantor
Wilayah, 121 Kantor Cabang dan 203 Kantor Cabang Perintis
yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Keberadaan kantor-kantor di daerah merupakan
bagian dari upaya meningkatkan perlindungan dan
pelayanan jaminan sosial kepada seluruh masyarakat
Indonesia. Upaya ini diperkuat dengan jumlah seluruh
karyawan sebanyak 4.467 orang per bulan April 2016.
Transformasi PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS
Ketenagakerjaan diiringi dengan semangat untuk
memberikan pelayanan yang lebih baik kepada peserta dan
calon peserta program jaminan sosial tenaga kerja di
Indonesia. Transformasi yang dilakukan juga disertai dengan
keinginan yang kuat dari manajemen PT Jamsostek (Persero)
246
untuk menciptakan organisasi yang jauh lebih baik dari yang
sebelumnya.
Walaupun transformasi merupakan sebuah tuntutan
dari disahkannya UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang hanya
menjadi salah satu pemicu terjadinya transformasi. Di
belakang itu, sejatinya PT Jamsostek (Persero) memang telah
memiliki kemauan yang sangat kuat untuk melakukan
perubahan. Perubahan dari Badan Usaha Milik Negara yang
profit oriented menjadi Badan Hukum Publik yang service
excellent oriented.
Visi, Misi, dan Tata Nilai
Visi (vision), misi (mission) dan tata nilai (values)
merupakan pondasi sekaligus alat melakukan perubahan
bagi sebuah organisasi. BPJS Ketenagakerjaan dengan peran
barunya sebagai badan hukum publik perlu memiliki arah
yang jelas agar tujuannya dapat tercapai. Untuk itu BPJS
Ketenagakerjaan perlu merumuskan ulang tentang visi yang
dituju, misi yang diemban, dan tata nilai yang diyakini dan
diimplementasikan.
Visi
Visi merupakan cita-cita atau mimpi, hal yang ingin
diwujudkan oleh sebuah organisasi. Visi adalah what the
organization want to be. Ingin menjadi apa BPJS
Ketenagakerjaan di masa depan. Visi yang hendak
diwujudkan BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2021 yaitu:
“Menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kebanggaan
bangsa yang amanah, bertata kelola baik, serta unggul dalam
operasional dan pelayanan.”
247
Misi
Misi merupakan tugas yang diemban oleh sebuah
organisasi, atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misi
adalah what we want to have or what we must to do. Misi BPJS
Ketenagakerjaan yaitu: Melalui Program Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan BPJS ketenagakerjaan berkomitmen untuk:
a) Melindungi dan menyejahterakan seluruh pekerja dan
keluarganya.
b) Meningkatkan produktivitas dan daya saing pekerja.
c) Mendukung pembangunan dan kemandirian perekonomi-
an nasional.
Tata Nilai
Untuk mewujudkan visi dan misi BPJS Ketenagakerja-
an, disusun tata nilai budaya organisasi yang menjadi
pedoman, penyaring tentang baik atau buruk dalam
berperilaku, beraktivitas, dan bekerja sehari-hari oleh
seluruh insan BPJS Ketenagakerjaan. Tata nilai budaya ini
juga selaras dengan nilai-nilai revolusi mental yang telah
dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia.
Tata nilai budaya BPJS Ketenagakerjaan adalah
sebagai berikut :
a) Ekselen: Insan BPJS Ketenagakerjaan selalu bersikap
profesional, inovatif, dan bersungguh-sungguh dalam
mengupayakan hasil terbaik untuk memberikan manfaat
serta nilai tambah bagi organisasi dan lingkungan.
b) Teladan: Insan BPJS Ketenagakerjaan senantiasa memulai
dari dirinya sendiri untuk berperilaku sesuai dengan
norma, etika dan peraturan yang berlaku sehingga dapat
menjadi contoh (role model) bagi lingkungan sekitarnya.
248
c) Harmoni: Insan BPJS Ketenagakerjaan mampu
membangun kerjasama, keselarasan dan mengutamakan
keberhasilan bersama.
d) Integritas: Insan BPJS Ketenagakerjaan senantiasa dapat
menjaga amanah, jujur, satu dalam kata dan perbuatan,
dapat dipercaya, serta berkomitmen untuk patuh pada
norma, etika, dan peraturan yang berlaku.
e) Kepedulian: Insan BPJS Ketenagakerjaan senantiasa peduli
pada peserta, lingkungan kerja, dan organisasi sehingga
ikut merasa bertanggung jawab dan secara tulus
berpartisipasi aktif untuk membawa kemajuan organisasi.
f) Antusias: Insan BPJS Ketenagakerjaan senantiasa bekerja
dengan sukacita, proaktif, serta bersemangat dalam
melaksanakan pekerjaan.
Program BPJS Ketenagakerjaan
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial, program yang diselenggarakan oleh BPJS
Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
1. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
2. Jaminan Kematian (JK).
3. Jaminan Hari Tua (JHT).
4. Jaminan Pensiun (JP).
Program Jaminan Sosial merupakan program
perlindungan yang bersifat dasar bagi tenaga kerja yang
bertujuan untuk menjamin adanya keamanan dan kepastian
terhadap risiko-risiko sosial ekonomi, dan merupakan sarana
penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan
249
keluarganya akibat dari terjadinya risiko-risiko sosial, sesuai
dengan program-program yang diamanatkan oleh Undang-
Undang. Sehingga cakupan perlindungan diberikan kepada
semua tenaga kerja baik pekerja Penerima Upah (PU)
maupun pekerja Bukan Penerima Upah (BPU).
Jaminan Kecelakaan Kerja
BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) untuk menanggulangi
hilangnya sebagian atau seluruh penghasilan karena sakit,
cacat atau kematian yang disebabkan oleh kecelakaan kerja,
baik fisik maupun mental. Jaminan itu mencakup kompensasi
dan rehabilitasi jika pekerja mengalami kecelakaan pada saat
mulai berangkat kerja sampai kembali ke rumah atau
menderita penyakit berhubungan dengan pekerjaan.
Jaminan Kematian
Jaminan Kematian (JK) diperuntukkan bagi ahli waris
tenaga kerja peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan
yang meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja. JK
diperuntukkan untuk membantu meringankan beban
keluarga dalam bentuk biaya pemakaman dan uang santunan.
Program ini bukan hanya meringankan ahli waris peserta,
melainkan juga tidak membebani pekerja semasa hidupnya
karena iuran JK ditanggung oleh pengusaha atau pemberi
kerja.
Jaminan Hari Tua
Program Jaminan Hari Tua (JHT) merupakan program
penghimpunan dana yang ditujukan sebagai simpanan yang
dapat dipergunakan oleh peserta, terutama bila penghasilan
250
yang bersangkutan terhenti karena berbagai sebab, seperti
meninggal dunia, cacat total tetap, atau telah memasuki usia
pensiun. JHT dikelola dengan pendekatan tabungan wajib
yang dibiayai dari iuran yang dibayarkan oleh setiap tenaga
kerja dan pengusaha/pemberi kerja. Iuran tersebut dikaitkan
dengan tingkat upah yang dibayarkan oleh pengusaha.
Jaminan Pensiun
Jaminan Pensiun (JP) adalah program jaminan sosial
ketenagakerjaan yang bertujuan untuk mempertahankan
derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli
warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta
memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau
meninggal dunia. Manfaat pensiun adalah sejumlah uang
yang dibayarkan setiap bulan kepada peserta yang memasuki
usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau kepada ahli
waris bagi peserta yang meninggal dunia.
Sektor Jasa Konstruksi
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi
perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan
pekerjaan konstruksi dan layanan konsultasi pengawasan
pekerjaan konstruksi. Kepesertaan dari Jasa Konstruksi
diantaranya adalah Pemberi Kerja selain penyelenggara
negara pada skala usaha besar, menengah, kecil dan mikro
yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi yang
mempekerjakan pekerja harian lepas, borongan, dan
perjanjian kerja waktu tertentu, wajib mendaftarkan
pekerjanya dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
dan Jaminan Kematian (JK).
251
Bukan Penerima Upah
Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) adalah pekerja
yang melakukan kegiatan atau usaha ekonomi secara mandiri
untuk memperoleh penghasilan dari kegiatan atau usahanya
tersebut yang meliputi: pemberi kerja, pekerja di luar
hubungan kerja atau pekerja mandiri dan pekerja yang tidak
termasuk pekerja di luar hubungan kerja yang bukan
menerima upah, seperti tukang ojek, supir angkot, pedagang
keliling, dokter, pengacara/advokat, artis, dan lain-lain.
Kinerja Operasional
Indikator terpenting keberhasilan transformasi
sebuah organisasi adalah proses perubahan tersebut harus
berdampak pada peningkatan kinerja organisasi tersebut.
Pemanfaatan human capital dalam menciptakan intangible
asset organisasi berupa budaya berkinerja tinggi,
kepemimpinan, teknologi, proses bisnis dan organisasi yang
efektif, harus mampu menghasilkan nilai berupa pencapaian
sasaran-sasaran organisasi.
Setelah proses transformasi, BPJS Ketenagakerjaan
mampu menunjukkan peningkatan kinerja operasional yang
mengagumkan. Penambahan perusahaan peserta pada tahun
2015 mencapai 118,82% dibandingkan pada tahun 2014.
Demikian juga penerimaan iuran tahun 2015 yang meningkat
lebih dari 25% dalam dibandingkan tahun sebelumnya.
Cakupan Kepesertaan
Selama tahun 2015 pertumbuhan kepesertaan BPJS
Ketenagakerjaan dibandingkan tahun 2014 untuk
kepesertaan aktif tumbuh 37,03% atau meningkat dari
216.293 perusahaan menjadi 296.791 perusahaan, dengan
252
penambahan 120.328 perusahaan baru yang mendaftar.
Sedangkan tenaga kerja aktif tumbuh 14,79% dibandingkan
tahun sebelumnya atau meningkat 16,79 juta orang menjadi
19,28 juta orang.
Penerimaan Iuran
Di tahun 2015 penerimaan iuran juga meningkat. Jika
tahun 2014 penerimaan iuran mencapai Rp 28.721 Milyar,
maka tahun 2015 meningkat menjadi Rp 36.129 Milyar atau
tumbuh 25,79%.
Dana Investasi
Secara keseluruhan total dana investasi yang dikelola
BPJS Ketenagakerjaan tumbuh 10,50% atau meningkat dari
tahun 2014 sebesar Rp 186.964 Milyar menjadi Rp 206.587
Milyar di tahun 2015.
Produktivitas Karyawan
Pada periode transformasi, produktivitas karyawan
BPJS Ketenagakerjaan juga menunjukkan peningkatan
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun
penambahan karyawan baru selama 3 (tiga) tahun terakhir
cukup signifikan, yaitu mencapai lebih dari 25% karyawan.
Kepuasan Pelanggan
Penambahan jumlah karyawan dirasakan sebagai hal
yang sangat dibutuhkan oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk
mengelola penambahan cakupan kepesertaan, penerimaan
iuran, pelayanan kepada peserta dan pengelolaan dana
investasi. Selain itu, penambahan karyawan berdampak pula
pada pertumbuhan tingkat kepuasan pelanggan. Hal ini
menggambarkan adanya perbaikan pelayanan yang
253
dilakukan oleh badan. Tingkat kepuasan pelanggan
meningkat dari 86% pada tahun 2014 menjadi 90,20% pada
tahun 2015 atau tumbuh 4,02%.
Penutup
BPJS Ketenagakerjaan saat ini masih dalam proses
perubahan. Adanya perubahan status dan misi menjadi
organisasi yang berorientasi tidak mencari keuntungan atau
profit dan layanannya mencakup seluruh lapisan masyarakat,
maka membuat organisasi harus tetap melakukan berbagai
perubahan dalam usaha mencapai visi, misi dan tujuan
organisasi.
---ooOoo---
254
Halaman ini sengaja dikosongkan
255
Transformasi dari A ke Z
panta rhei kai uden menei, (Herakleitos, 540-480 SM)
Oleh:
Fajar Wibisono
256
Apa itu Transformasi?
Transformasi adalah hal yang sangat lekat menempel
pada keseharian kehidupan kita. Segala sesuatu hal dalam
kehidupan mengalami transformasi. Kalau tak percaya,
lihatlah smartphone ‒ ya smartphone bukan lagi sekadar
telepon selular ‒ atau laptop yang digunakan untuk menulis
dan membaca, tentu sudah jauh mengalami perubahan
bentuk, fungsi, dan kapabilitasnya.
Transformasi adalah kata serapan yang berasal dari
Bahasa Inggris, to transform yang memiliki 2 kata dasar
yakni trans (berubah atau berpindah) dan form (bentuk),
yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan
sebagai nomina (kata benda) yang bermakna perubahan
bentuk/rupa, sifat, fungsi, dan sebagainya. Kata ini erat juga
dangan kata mentransformasikan sebuah verbal yang
bermakna mengubah atau mengalihkan rupa (bentuk/rupa,
sifat, dan sebagainya).
Berdasarkan pembahasan tersebut, jelas bahwa
transformasi adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan
dalam kehidupan. Banyak dilakukan atau terjadi namun
tanpa disadari, dengan paparan yang sangat luas dari
individu, kelompok, organisasi, bangsa. Dalam cakupan
profesi mulai dari sahabat-sahabat saya para pemasok loakan
yang “mentransformasikan” barang yang sudah dibuang/tak
berguna mejadi berguna kembali dan bernilai ekonomis
sampai para konsultan manajemen, serta professional,
maupun pimpinan perusahaan, bahkan pimpinan negara dan
ulama yang berupaya keras untuk mentransformasikan umat
agar berakhlak lebih baik lagi.
257
Mengingat betapa lekatnya transformasi dalam
kehidupan siapa saja, dimana saja dan kapan saja, tulisan
singkat berikut ini akan membahas sendi-sendi dasar yang
melekat pada makhluk transformasi tersebut.
Berbagai Skenario Dalam Melakukan Transformasi
Secara umum ada 4 skenario yang dapat kita gunakan
dalam melakukan transformasi baik dalam skala individu
maupun organisasi.
1) Skenario Normatif- Reedukatif.
Strategi ini didasarkan pada pendekatan bahwa pada saat
melakukan transformasi yang menjadi pusat kepentingan
ialah persoalan mengenai bagaimana individu memahami
permasalahan. Masalah transformasi bukan perkara
mengisi (supplying) sikap, keterampilan, nilai-nilai, dan
hubungan manusia namun lebih pada bagaimana individu
dapat menerima perubahan dan mengadopsi sistem nilai
yang baru. Oleh karenanya individu perlu mengalami
reedukasi mengenai hal-hal yang menjadi norma baru.
Proses induction merupakan salah satu upaya
mentransformasikan nilai-nilai individu agar selaras
dengan nilai-nilai perusahaan. Tujuan utama pendekatan
ini adalah adanya perubahan sikap, perasaan, dan pola
tindakan melalui proses reedukasi.
2) Skenario Rasional-Empiris.
Strategi ini didasarkan pada asumsi bahwa pada dasarnya
manusia itu adalah rasional dalam mengikuti berbagai
kepentingan dirinya. Sehingga untuk melakukan
transformasi perlu dipaparkan sejumlah fakta-fakta dan
hal-hal empiris yang mendukung mengapa proses
258
transformasi tersebut harus dilakukan. Sebagai contohnya,
perusahaan menemukan alasan mendasar yang secara
logis menjadi alasan tak tertolak mengapa proses
transformasi harus dilakukan oleh individu. Bila mengacu
pada contoh komunitas investasi yang disebut diatas,
dipaparkanlah berapa rerata besaran inflasi selama 40
tahun ini, dingatkan pula secara empiris bahwa ketika
kuliah tahun 90-an harga nasi goreng di kampus maupun
nasi goreng tek-tek sepiring adalah Rp 1.000 dan sekarang
sudah menjadi Rp 12.000. Tak lupa pula teh botol yang
bentuk botol jumlah isi dan rasanya masih sama kini tidak
Rp 200 lagi tetapi sudah Rp 5.000 serta berbagai fakta dan
hal empiris lainnya yang tak terbantahkan. Tujuan
skenario ini adalah terjadinya perubahan pengetahuan
melalui informasi dan dasar pemikiran intelektual yang
mendorong orang untuk melakukan proses transformasi.
3) Skenario Power-Coercive.
Skenario ini menekankan pada pendekatan bahwa
manusia akan mengikuti keinginan pihak lain yang mereka
lihat memiliki kekuasaan lebih besar. Penulis mengalami
langsung proses transformasi dengan pendekatan jenis ini,
yakni ketika pertama kali sampai di GOR SOEROTO AKMIL
Magelang, dengan panggilan nomor calon taruna yang
dijawab: “Ya Pak …!” dan langsung mendapat respon:
“Plaaaak” (tamparan) dan diminta kalau dipanggil harus
menjawab: ”SIAP……!!!” dan ketika ditanya: ”Mengerti
kamu..?” masih dijawab : “Mengerti….Pak” tidak lupa juga
melayang hadiah “plaaaak….”. Maka sedetik kemudian
perilaku penulis pun langsung berubah menjawab: “Siap”
259
dan “Mohon ijin” yang langsung diikuti oleh seluruh
antrian dibelakang penulis (penulis menjadi “korban”
karena dipanggil pertama dan melakukan kesalahan).
Tujuan pendekatan ini adalah perubahan orientasi dan
kemauan untuk mengikuti arah transformasi. Pendekatan
ini menggunakan kekuatan dan paksaan dari pihak yang
memiliki kekuasaan besar.
4) Skenario Lingkungan-Adaptif.
Pendekatan ini menekankan pada perubahan lingkungan
sedemikian rupa sehingga perilaku individu akan
beradaptasi mengikutinya. Contoh paling nyata adalah
penggunaan e-money pada PT KAI, parkir di stasiun kereta
api, TransJakarta, beberapa gerbang masuk toll dan masih
banyak lagi.
Individu mau tidak mau, suka tidak suka akan terpaksa
beradaptasi terhadap berbagai kondisi tersebut. Tujuan
pendekatan ini adalah membawa orang bertransformasi dari
suatu kondisi menuju kondisi lainnya dengan proses
adaptasi.
Menciptakan Pengalaman Dalam Proses Transformasi
Kita sudah paham berbagai skenario untuk melakukan
proses transformasi. Pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana memulai dalam skala individu. Bagian ini akan
memaparkan sebuah pendekatan yang didasarkan pada teori
Kurt Lewin tentang perubahan (unfreeze – moving – refreeze).
Salah satu cara paling efektif dalam melakukan
transformasi adalah dengan menciptakan berbagai
pengalaman baru yang selaras dengan tujuan transformasi
pada tingkatan individu.
260
Pengalaman positif yang konsisten akan mengubah
nilai dan keyakinan seseorang akan sesuatu, semakin intens
dan konsisten pengalaman tersebut maka akan semakin
mudah nilai keyakinan baru tersebut menggantikan nilai dan
keyakinan lama. Contohnya bila kita memiliki stigma tertentu
tentang si A yang selalu datang terlambat, tetapi dalam 20
hari ini dia selalu datang on time maka kita memiliki
keyakinan bahwa si A sekarang sudah berubah.
Nilai dan keyakinan kita atas sesuatu akan menjadi
penggerak perilaku kita. Semisal dengan contoh si A tersebut
dengan keyakinan baru kita tentang si A maka sekarang
perilaku kita terhadapnya menjadi berubah. Sekarang kita
dapat lebih mengandalkan si A untuk berbagai pekerjaan
karena memiliki keyakinan bahwa si A telah berubah. Jadi
keyakinan kita akan menggerakkan perilaku kita.
Pada saat hasi interaksi dengan A (melalui perilaku
kita yang lebih mengandalkan si A) berbuah hasil-hasil yang
positif secara konsisten, maka hal ini akan memperkuat
pengalaman positif kita terhadap si A dan dengan semakin
banyak dan konsistennya pengalaman positif kita maka akan
semakin kuat nilai dan keyakinan kita bahwa si A benar-
benar sudah beruban dan seterusnya. Terjadilah “lingkaran
malaikat” dimana siklus berputar terus.
Oleh karenanya dalam melakukan proses
transformasi, manajemen dan change agent memiliki
peranan sangat penting. Manajemen dan change agent
hendaknya dapat fokus pada usaha untuk menggulirkan
pengalaman yang positif secara konsisten. Usaha ini akan
261
jauh lebih mudah bila dilakukan melalui penerapan program
transformasi secara sistematis dan intensif.
Menegakkan Pilar-Pilar Aktivitas dan Jalur Dalam Melakukan Transformasi
Seorang pakar kepemimpinan dan budaya yaitu Prof.
Edgar Schein (2004) memperkenalkan 2 buah mekanisme
penting dalam mengelola perubahan dimana mekanisme
utama yang perlu menjadi fokus adalah pentingnya peran
pimpinan sebagai Role Model. Hal ini berguna bagi para
pemimpin perubahan dan agen perubahan untuk
menciptakan pengalaman positif yang konsisten
sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Tepatnya hal-hal apa
saja yang sebaiknya dilakukan oleh pimpinan dan agen
perubahan dalam keseharian ketika berinteraksi dengan
individu yang menjadi subjek transformasi.
Schein (2004) menjabarkan perilaku-perilaku spesifik
apa saja yang perlu dijalankan oleh pimpinan agar proses
perubahan dapat dikelola secara baik. Sejauh mana dalam
menjalankan perilaku-perilaku yang merupakan bagian dari
primary mechanism maupun secondary mechanism
pemimpin menaruh perhatiannya. Dalam mengelola sebuah
tranformasi organisasi yang baik kedua mechanism tersebut
harus benar-benar dikelola dengan cermat dan terintegrasi.
262
Tabel 4: Primary Mechanism.
Primary Mechanism (Mekanisme Utama)
1. Merupakan mekanisme utama dalam mengelola perubahan.
2. Menekankan pentingnya peran pimpinan sebagai role model:
Perilaku-perilaku penting pimpinan yang perlu menjadi fokus dan dijalankan secara konsisten.
a. Hal-hal apa saja yang menjadi perhatiannya, diukur/ dinilai dan dimonitor dari waktu ke waktu.
b. Bagaimana pimpinan merespons terhadap hal-hal penting/ kritikal , menyelesaikan masalah/ mengatasi krisis
c. Bagaimana pimpinan mengalokasikan sumber daya (finansial, SDM, tenaga, waktu).
d. Sebagai panutan, dalam mengajarkan dan melakukan coaching (untuk perbaikan kinerja dan perilaku).
e. Bagaimana pimpinan mengalokasikan rewards (memberikan recognition, apresiasi) dan status.
f. Bagaimana pimpinan merekrut, menseleksi, mempromosikan dan memberhentikan pegawai.
263
Tabel 5: Secondary Mechanism.
Secondary Mechanism (Mekanisme Pendukung)
Merupakan
mekanisme
pendukung untuk
menunjang
keberhasilan
penerapan
mekanisme utama.
a. Desain dan struktur
organisasi
b. Sistem dan prosedur
organisasi
c. Ritual-ritual organisasi
d. Desain fisik gedung, ruang
kerja
e. Cerita-cerita mengenai
peristiwa dan orang-orang
penting
f. Pernyataan-pernyataan
formal falsafah, nilai-nilai
perusahaan , anggaran
dasar organisasi.
Butir-butir dalam primary maupun secondary
mechanisms¸ dapat menjadi pokok-pokok perhatian bagi para
pemimpin perubahan maupun agen perubahan yang sedang
menjalankan proses transformasi organisasi.
Dalam bukunya “Walking the Talk, creating a culture
for success’, Carolyn Taylor (2005) juga menekankan
pentingnya role model dalam proses transformasi dan 3 pilar
utama dalam menggulirkan transformasi yakni: Behavior,
Symbol, dan System yang menunjang proses transformasi
berkesinambungan dan secara praktis dapat dilakukan dalam
keseharian.
264
Pada dasarnya kedua ahli, Schein (2004) dan Taylor
(2005) adalah sejalan, dimana yang merupakan pilar
Behavior pada Taylor (2005) sebetulnya setara dengan 6
butir isi dari primary mechanism pada Schein (2004), dan
pilar Symbol setara dengan 3 bagian akhir pada secondary
mechanism-nya Schein (200) adalah butir 4, 5, 6, sedangkan
System setara dengan butir 1,2, dan 3 pada secondary
mechanism Schein (2004).
Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa salah satu
kunci dasar dalam kesuksesan proses transformasi pada
tingkat individu adalah dengan menciptakan pengalaman
yang positif dan konsisten terhadap transformasi. Tinjauan
Schein (2004) dan Taylor (2005) memandu kita secara lebih
spesifik mengenai aspek-aspek atau mekanisme apa saja yang
harus kita bangun dan jaga dalam keseharian kita
berinteraksi selama proses transformasi berlangsung.
Membuat perubahan bertahan (make change stick) pada Proses Transformasi yang Berkelanjutan
Titik kritis dalam menggulirkan proses transformasi
adalah ketika proses transformasi mulai membuahkan hasil.
Pada tahapan ini organisasi perlu berhati-hati agar tidak
menjadi terlena dan cepat puas. Berbagai upaya harus terus
dilakukan oleh organisasi agar pencapaian tersebut tetap
“melekat” sekaligus keterampilan organisasi untuk
melakukan proses transformasi dapat berlangsung terus
untuk membawa berbagai terobosan dan kemajuan pada
pencapaian bisnis organisasi.
Pengamatan penulis terhadap beberapa perusahaan di
Indonesia yang mampu untuk melakukan transformasi
265
secara berkesinambungan adalah dengan mengadakan
program-program transformasi yang menyenangkan, mudah
dipahami, dan berdampak bagi organisasi. Umumnya
program-program transformasi yang berkesinambungan
tersebut memiliki wilayah pada: (1) penciptaan suasana kerja
yang lebih kondusif, (2) Menciptakan nilai tambah bagi
organisasi, dan (3) menunjang pencapaian target bisnis (baik
KPI individu maupun organisasi). Umumnya bila ada
program yang menyasar pada salah satu atau bahkan ketiga
domain tersebut dan dikemas secara menarik pula maka
proses transformasi yang dilakukan umumnya akan dapat
berjalan baik.
Satu hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam
menggulirkan program-program terkait transformasi adalah
adalanya proses pemantauan (monitoring) dan evaluasi yang
baik dengan ditunjang oleh system penguartan
(reinforcement) yang baik pula. Pemantauan harus dilakukan
untuk dapat memeriksa sejauh mana kemajuan individu,
kelompok (unit kerja), atau organisasi telah sejalan dengan
rencana transformasi. Sistem pemantauan harus dapat
dikembangkan sedemikian rupa sehingga setidaknya
memenuhi kaidah: sederhana, mudah, dapat dilakukan
dengan keterampilan yang rendah, dan dalam prosesnya
tidak menganggu pekerjaan.
Evaluasi hendaknya dapat dilakukan juga dengan
segera, sehingga setiap unit kerja akan mendapatkan umpan
balik segera untuk ditindaklanjuti, juga cukup spesifik
sehingga dapat membuat rencana atau tindakan
perbaikannya. Selain itu, kegiatan untuk mengembangkan
266
mekanisme penguatan, yakni konsekuensi baik positif
maupun negatif atas pencapaian terhadap proses
transformasi di tiap unit kerja, juga diperlukan. Sistem atau
mekanisme penguatan juga dapat dilakukan dengan berbagai
cara yang menyenangkan, melibatkan, namun juga tetap
berdampak. Berdasarkan proses tersebut, maka program
transformasi yang juga ditunjang oleh mekanisme finansial
dan penguatan yang baik, akan dapat menunjang
keberhasilan sebuah proses transformasi.
Kesimpulan Umum
Kutipan Herakleitos, panta rhei kai uden menei pada
awal tulisan ini bermakna "semuanya mengalir dan tidak ada
sesuatupun yang tinggal tetap." Dalam hal ini, hanya
ketidakkekalanlah yang kekal. Untuk itu, perubahahan
merupakan sebuah kepastian. Barang siapa tidak berubah
akan tertinggal dan mungkin saja akan meratapinya. Oleh
karenanya transformasi adalah suatu hal yang alamiah.
Dalam hal ini, kita harus selalu melakukan “hijrah” (tentunya
ke tempat/kondisi yang lebih baik) dalam kehidupan, dan
urusan ini tidak akan pernah selesai.
Daftar Pustaka
Schein, E. H. (2004). Organizational Culture and Leadership,
3rd Edition. USA: Jossey & Bass.
Taylor, C. (2005). Walking the talk, building a culture for
success. USA: Random House.
---ooOoo---
267
Perubahan dan Pengembangan Organisasi
Oleh:
Wustari L. H. Mangundjaya
268
Pengantar
Perubahan merupakan suatu proses yang terjadi pada
setiap aspek kehidupan termasuk organisasi. Persaingan
global, teknologi informasi baru, krisis ekonomi global,
strategi politik baru, dan tren konsumsi yang berkembang
pesat adalah stimulan untuk perubahan organisasi. Untuk itu,
dalam usaha menjadi tetap kompetitif, organisasi harus
mampu melakukan perubahan terus-menerus, memiliki
strategi yang tepat untuk menghadapi perubahan yang
terjadi sehingga organisasi mampu untuk hidup
keberlanjutan sepanjang waktu. Perubahan yang terjadi di
dalam organisasi bukanlah semata-mata perubahan dari
organisasinya, melainkan termasuk orang-orang di
dalamnya. Hal fisik seperti gedung, teknologi, dan produk
memang dapat dirubah, meskipun demikian ketika organisasi
benar-benar ingin berubah maka orang-orang di dalamnya
juga harus merubah cara mereka berperilaku (Balogun &
Hailey, 2008). Dengan perkataan lain, sebagus-bagusnya
suatu perubahan organisasi dalam bentuk prosedur, strategi,
atau perubahan fisik lainnya tetapi bila tidak diikuti dengan
perubahan pada sikap dan perilaku manusianya maka
perubahan organisasi akan menjadi kurang optimal.
Definisi Perubahan dan pengembangan Organisasi
Jones (2007) menyatakan bahwa perubahan
organisasi adalah proses dimana organisasi bergerak dari
keadaan saat ini menuju keadaan yang diinginkan agar dapat
meningkatkan efektivitas organisasi. Sedangkan, Cawsey,
Deszca, dan Ingols (2012), menyatakan bahwa perubahan
organisasi adalah merupakan alterasi perencanaan dari
269
komponen organisasi untuk meningkatkan efektivitas
organisasi.
Prinsip Psikologi dalam perubahan dan pengembangan organisasi
Berdasarkan hasil observasi praktek di lapangan
maupun hasil riset mengenai perubahan dan pengembangan
organisasi, mengenai prinsip psikologi yang digunaka dalam
perubahan dan pengembagan organisasi, maka diperoleh
hasil sebagai berikut:
1) Sebagus-bagusnya suatu proses perubahan, tetapi bila
tidak didukung oleh manusia maka perubahan tersebut
akan menjadi kurang optimal, bahkan dapat mengalami
kegagalan. Hal ini antara lain terlihat pada hasil riset yang
menunjukkan bahwa 50% sampai dengen 70% program
perubahan yang dilakukan oleh organisasi tidak berhasil
secara optimal (Beer & Nohria, 2000; Cope, 2003; Burns,
2004).
2) Perubahan adalah sesuatu yang kurang menyenangkan
bagi manusia, sehingga penolakan pada perubahan adalah
suatu hal yang lumrah. Hal ini disebabkan karena banyak
faktor, antara lain karena faktor perubahan itu sendiri,
faktor organisasi maupun karena faktor manusianya
3) Pada umumnya seseorang akan menanyakan sebagai
berikut: Apa yang saya peroleh bila saya mengikuti
perubahan organisasi (What’s in it for me?)
4) Penolakan perubahan dapat disebabkan karena: a)
kurang pengetahuan mengenai pentingnya dilakukan
suatu perubahan; b) kurang memiliki keterampilan dalam
menghadapi perubahan yang ada; dan c) kurang memiliki
270
kemauan untuk berubah. Tantangan yang paling sulit
dalam mengelola suatu perubahan organisasi adalah
dalam hal mengatasi penolakan yang disebabkan karena
sikap (tidak memiliki kemauan untuk berubah).
5) Dalam mencapai perubahan organisasi, kesiapan individu
untuk berubah tidak cukup, tetapi juga diperlukan
komitmen untuk perubahan dari para karyawan.
6) Terdapat berbagai faktor baik yang berasal dari individu
maupun yang berasal dari lingkungan organisasi yang
mempengaruhi komitmen untuk perubahan.
7) Beberapa variabel yang berpengaruh pada komitmen
untuk perubahan antara adalah pemimpin dengan
kepemimpinannya; kepercayaan pada organisasi dan rasa
berdaya psikologis (psychological empowerment).
8) Penguatan diperlukan untuk dapat menginternalisasi
perubahan organisasi yang dilakukan.
Teori Perubahan organisasi
Terdapat berbagai teori mengenai perubahan
organisasi, salah sattu diantaranya adalah yang dikemukan
oleh Kurt Lewin (Mangundjaya, 2016a) yang terkenal dengan
Teori Analisis kekuatan di lapangan (force field analysis).
Teori Analisis kekuatan di lapangan adalah teori yang
diajukan oleh Kurt Lewin (1947 dalam Mangundjaya 2016a),
yang menyatakan bahwa setiap perubahan, memiliki 2 (dua)
faktor, yaitu: a) faktor yang mendukung (driving force), yang
merupakan dorongan yang mengarahkan organisasi pada
sebuah perubahan, atau keadaan baru, dan b) faktor
penghambat (restraining force), yang merupakan suatu
271
dorongan yang membuat organisasi untuk berbertahan pada
keadaan sekarang (status quo).
Sumber: Lewin dalam Mangundjaya, 2016a.
Gambar 12: Force-Field Analysis.
TAHAPAN MENGELOLA PERUBAHAN
Selain berbagai teori mengenai perubahan organisasi,
terdapat pula beberapa pendekatan dalam mengelola
perubahan, salah satunya adalah tahapan perubahan
organisasi yang disampaikan oleh Kotter (2007), yang
menyatakan bahwa terdapat 8 tahapan dalam mengelola
perubahan, yaitu sebagai berikut:
a. Menciptakan Urgensi.
Untuk membuat perubahan berhasil, maka hal ini harus
didukung oleh seluruh anggota organisasi. Dalam arti
pemimpin perubahan harus berusaha untuk menciptakan
bahwa seluruh anggota organisasi menginginkan
272
perubahan tersebut. Hal ini akan dapat memotivasi semua
orang untuk terlibat pada perubahan. Meskipun demikian,
hal ini tidak mudah dilakukan, manajemen dan mitra
perubahan harus dapat menerangkan apa yang terjadi di
organisasi dan di luar organisasi, serta mulai membahas
mengenai perlunya dilakukan perubahan.
b. Membentuk Koalisi yang kuat.
Meyakinkan anggota organisasi bahwa perubahan yang
akan dilakukan adalah penting dan suatu kegiatan yang
diperlukan. Hal ini harus diikuti dengan kepemimpinan
yang kuat, dan dukungan dari orang-orang yang
berpengaruh di perubahan. Dalam hal ini, mengelola
perubahan saja tidak cukup, tetapi juga harus dapat
memimpin kelompok orang kuat yang dapat mendukung
perubahan, terdiri anggota organisasi yang mewakili dari
berbagai unit kerja, dan tugasnya mempengaruhi orang
lain.
c. Menciptakan visi perubahan.
Untuk dapat menciptakan perubahan yang berhasil, maka
perubahan harus memiliki visi. Visi yang jelas akan dapat
membantu setiap orang untuk memahami mengapa
perubahan perlu dilakukan.
d. Mengkomunikasikan visi.
Untuk dapat mendukung suatu perubahan, pegawai harus
dapat memahami perubahan. Untuk itu manajemen dan
mitra perubahan harus mampu mensosialisasikan dan
mengkomunikasikan sesering mungkin mengenai
perubahan organisasi, sehingga orang akan dapat
mengingatnya, menjelaskan dan mendemonstrasikan apa
273
yang ingin dilakukan oleh para anggota organisasi perlu
dilakukan.
e. Menghilangkan hambatan.
Untuk memuluskan perubahan organisasi, maka
manajemen harus membuat struktur dari perubahan yang
akan dilakukan, dan mengidentifikasi apa kira-kira yang
akan menjadi kendala dari perubahan, serta berusaha
untuk menghilangkan hambatan tersebut.
f. Menciptakan tujuan jangka pendek.
Berdasarkan penelitian, dinyatakan bahwa tidak ada yang
lebih memotivasi seseorang dari keberhasilan. Untuk itu,
ciptakan tujuan atau sasaran jangka pendek, jangan
langsung membuat jangka panjang, karena sasaran jangka
pendek akan dapat cepat tercapai, dan setiap keberhasilan
akan memotivasi dan meningkatkan semangat tim.
g. Membangun perubahan.
Kotter (2007) menyatakan bahwa perubahan seringkali
mengalami kegagalan bila kemenangan/keberhasilan di
umumkan terlalu awal. Dengan perkataan lain, perubahan
adalah perlu waktu. Perubahan cepat hanya merupakan
suatu awal dari apa yang harus dilakukan untuk mencapai
perubahan jangka panjang. Untuk mencapai hal tersebut
maka peningkatan program perubahan harus dilakukan.
Dalam hal ini setiap keberhasilan merupakan kesempatan
untuk membangun apa yang benar dan apa yang harus
ditingkatkan. Mengaitkan perubahan dengan budaya
organisasi. Sebagai tahap terakhir, untuk dapat membuat
perubahan melekat, maka hal tersebut harus menjadi
bagian dari organisasi. Untuk itu, perubahan harus
274
dihubungkan dengan nilai-nilai organisasi, yang
diungkapkan pada perilaku sehari-hari.
Penelitian Mengenai Perubahan Organisasi
Berbagai penelitian mengenai perubahan organisasi
telah dilakukan di manca negara maupun di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Mangundjaya (2013)
menunjukkan bahwa komitmen terhadap organisasi
memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap sikap
seseorang terhadap perubahan organisasi. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi komitmen seseorang
terhadap organisasi, maka ia akan semakin menunjukkan
sikap positifnya terhadap perubahan organisasi. Selain itu,
penelitian Mangundjaya (2014b) juga menunjukkan bahwa
pelibatan kerja (employee engagement) memiliki pengaruh
yang positif dan signifikan terhadap sikap positif seseorang
terhadap perubahan organisasi. Dengan perkataan lain, dapat
dikatakan bahwa semakin tinggi pelibatan kerja seseorang
maka semakin tinggi pula sikap positif yang ditampilkannya
terhadap perubahan organisasi.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Mangundjaya
(2012b), pada organisasi yang bergerak di lembaga keuangan
dan perbankan, tampak bahwa komitmen organisasi
memberikan kontribusi yang positif dan signifikan terhadap
kesiapan individu untuk berubah. Dengan kata lain, semakin
tinggi komitmen organisasi yang dimiliki oleh seseorang,
maka akan diikuti oleh peningkatan kesiapan individu untuk
berubah.
Hasil penelitian selanjutnya juga menunjukkan bahwa
keterikatan anggota organisasi (employee engagement)
275
memiliki kontribusi positif dan signifikan terhadap kesiapan
individu untuk berubah (Mangundjaya, 2012b). Dengan kata
lain, semakin tinggi keterikatan anggota organisasi
seseorang, hal ini akan diikuti oleh peningkatan kesiapannya
untuk berubah. Sementara itu, hasil penelitian Lizar,
Mangundjaya, dan Rachmawan (2015) menunjukkan bahwa
psychological capital memiliki kontribusi positif dan
signifikan terhadap kesiapan individu untuk berubah.
Dengan perkataan lain, semakin tinggi psychological capital
yang dimiliki oleh seseorang, maka akan diikuti oleh
peningkatan kesiapan individu untuk berubah.
Lebih lanjut, berdasarkan penelitian di Indonesia yang
dilakukan oleh Mangundjaya dari tahun 2012 sampai dengan
tahun 2016, menunjukkan hasil bahwa faktor-faktor sebagai
berikut: a) kesiapan individu untuk berubah (Mangundjaya,
2012a, 2013b); b) Kepercayaan pada organisasi
(Mangundjaya, 2014a, 2015a); c) komitmen organisasi
(Mangundjaya, 2013a); d) keterikatan pegawai (employee
engagement) (Mangundjaya, 2014b), d) rasa berdaya
psikologis (psychological empowerment) (Mangundjaya
2014c, 2015a) kepuasan kerja anggota organisasi
(Mangundjaya, 2015, Wulandari, Mangundjaya dan Utoyo,
2015), memiliki pengaruh positif dan signifikan pada
komitmen terhadap perubahan. Disisi lain, kepemimpinan,
dalam hal ini kepemimpinan perubahan tidak memiliki
pengaruh langsung yang signifikan terhadap komitmen untuk
perubahan, melainkan memerlukan perantara/moderator
(Mangundjaya, 2013 b, 2016b; Mangundjaya dkk, 2015).
276
Daftar Pustaka
Balogun, J. & Hailey, H. V. (2008). Exploring Strategic Change.
UK: Prentice Hall, 3rd Edition.
Beer, M. & Nohria, N. (2000). Cracking the code of change.
Harvard Business Review (May-June), 133-141.
Burns, B. (2004). Managing Change: A Strategic approach to
organizational dynamics. Harlow: Financial Times
Prentice Hall.
Cawsey, T. F., Deszca, G., & Ingols, C. (2012). Organizational
change: An action-oriented toolkit. Sage, Los Angeles,
USA.
Cope, J. (2003). Entrepreneurial learning and critical
reflection: Discontinous events as triggers for higher-
level learning. Management Learning, 34, 429-50.
Jones, G. R. (2007). Organizational theory, design and change.
Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall.
Kotter, J. P. (2007). Leading change: Why transformation
efforts fail. Harvard Business Review.
Lizar, A. A., Mangundjaya, W. L., Rachmawan, W. (2015). The
role of psychological capital and psychological
empowerment on individual readiness for change, The
Journal of Developing Areas, Special Issue on Kuala
Lumpur Conference, August 2014, 49(5), 343-352.
Mangundjaya, W (2012). Are organizational commitment and
employee engagement important in achieving
individual readinessfor change? Jurnal Humanitas,
Volume Agustus 2012.
277
Mangundjaya, W. L. H. (2013a) Organizational commitment’s
profile during the transformation and its relation to
employee commitment to change (a study at oil
company in Indonesia during large-scale
organizational change). Conference Proceedings
INBAM (International Business and Management),
June 17-19, 2013, Lisbon, Portugal.
Mangundjaya, W. L. H. (2013b). The role of leadership &
readiness for change to commitment to change.
Romanian Economic and Business Review, Special Issue
1, 192-197, Romanian American University.
Mangundjaya, W. L. H. (2014a). The role of communication,
trust and justice in commitment to change. Conference
Proceedings International Conference on Business
management and Corporate Social responsibility
(ICBMCSR), February 14-15, 2014, Batam, Indonesia.
Mangundjaya, W. L. H. (2014b). The role of employee
engagement on the commitment to change (during
large-scale organizational change in Indonesia).
International Journal of Multidisciplinary Thought,
(IJMT), 04(01), 375-384, University Publications.net.
Mangundjaya, W. L. H. (2014c). Psychological empowerment
and organizational task environment in commitment
to change, International Journal of Business and
Management, 2(2), 119-126.
Mangundjaya, W. L. H. (2015a). People or trust in building
commitment to change? The Journal of Developing
Areas, Special Issue on Kuala Lumpur Conference,
August 2014, 49(5), 67-78.
278
Mangundjaya, W., Utoyo, D. B., & Wulandari, P. (2015). The
role of leadership & employee’s condition on reaction
to organizational change. Procedia, Social and
Behaviorial Sciences, Elsevier, 172, 471-478.
Mangundjaya, W. L. H. (2016a). Psikologi dalam perubahan
organisasi. Swascita: Jakarta.
Mangundjaya, W. L. (2016b). Pengaruh kepemimpinan
perubahan terhadap komitmen afektif untuk
perubahan melalui kepercayaan pada organisasi dan
rasa berdaya psikologis. Disertasi Doktor, Fakultas
Psikologi, program studi Psikologi, Program Pasca
Sarjana, Universitas Indonesia. Publikasi terbatas.
Wulandari, P., Mangundjaya, W., & Utoyo, D. B. (2015). Is job
satisfaction a moderator or mediator on the
relationship between change leadership and
committment to change? Procedia, Social and
Behaviorial Sciences, Elsevier, 172, 104-111.
---ooOoo---
279
PENUTUP
Dunia terus berubah, globalisasi membuat kondisi saat
ini menjadi berubah, begitu pula tuntutannya, sehingga untuk
dapat tetap eksis serta berkembang, maka organisasi dan
anggota organisasi atau individu juga harus menyesuaikan
diri dengan tuntutan lingkungan. Salah satu ciri dari
globalisasi adalah terdapatnya ketidakjelasan di berbagai hal
yang dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman pada
anggota organisasi. Untuk itu, para praktisi Psikologi Industri
dan Organisasi harus dapat mengantisipasi mengenai hal ini,
serta berusaha mencari berbagai cara untuk mengatasinya.
Globalisasi juga menuntut adanya penguasaan digital
dari organisasi dan anggotanya. Tanpa menguasai hal ini
sudah pasti akan menjadi tertinggal. Selain itu, adanya
standarisasi kompetensi pada setiap profesi dapat
memperjelas pengukuran dan persyaratan. Disamping itu
pula, dengan adanya tuntutan lingkungan yang terus
berubah, maka pengelolaan SDM di organisasi juga turut
berubah, dan Manajemen SDM dalam hal ini harus berperan
sebagai sahabat karyawan sekaligus sebagai agen perubahan.
Fungsi Manajemen SDM juga berubah, yaitu harus mampu
berperan sebagai HRBP (Human Resources Business Partner)
atau yang disebut sebagai Manajemen SDM sebagai Mitra
Bisnis.
280
Manusia merupakan faktor penting dalam organisasi,
untuk itu agar karyawan atau anggota organisasi memiliki
kelekatan pada organisasi (employee engagement), maka
organisasi harus mampu membuat sejahtera para
karyawannya (employee well-being). Bila terjadi masalah
terkait dengan hubungan industrial, maka organisasi perlu
menanganinya dengan segera melalui pendekatan psikologis.
Begitu juga halnya dengan manajemen SDM di masa
mendatang yang harus dapat mengenali karakteristik
karyawannya, termasuk juga memahami generasi milenial
dengan baik, dan organisasi juga harus dapat melakukan
berbagai perubahan/transformasi organisasi dalam upaya
menyesuaikan diri dan memenuhi tuntutan lingkungan yang
terus berubah.
---ooOoo---
281
GLOSARIUM
Agile: Sikap yang lincah/cepat dalam beradaptasi terkait dengan
menghadapi atau menggunakan teknologi baru,
melakukan hal baru dengan cara yang berbeda, dan
keinginan untuk mengeksplore dengan perubahan yang
terjadi.
Basic/Core Competency (Kompetensi Dasar/Inti): Kompetensi
inti yang harus dimiliki oleh setiap anggota
organisasi/karyawan pada semua tingkatan atau level
jabatan.
Business Acumen: Pemahaman mengenai bisnis atau bidang yang
dijalani, dan selalu mengikuti perkembangan tren terbaru
yang terjadi di luar organisasi atau global.
Change Agent (Agen Perubahan): Seseorang yang membantu
organisasi atau perusahaan agar karyawannya dapat
beradaptasi terhadap berbagai perubahan.
Competition (Bersaing): Hasrat untuk memuaskan
kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan dampak
terhadap pihak lain yang menjadi lawannya dalam
konflik.
Compromise (Berkompromi): Situasi dimana masing-masing
pihak yang bersengketa bersedia untuk mengorbankan
sesuatu untuk memperoleh situasi yang diterima bersama.
Consumer Goods Industry: Salah satu industri yang sangat
dinamis karena pelaku dalam industri ini harus mampu
mengikuti perkembangan selera dan preferensi pasar yang
tentunya dipengaruhi oleh perilaku konsumen.
282
Curative (Penyelesaian masalah): Pendekatan psikologis yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dan
memperbaiki dampak negatif yang muncul dalam
hubungan diantara para pihak.
Customer Focus: Pemahaman bahwa kebutuhan pelanggan (baik
internal maupun eksternal) menjadi landasan utama dalam
memberikan layanan produk atau jasa.
Data Analytics: Pemahaman dalam menempatkan data sebagai
basis dalam proses pengambilan keputusan dan dalam
tahapan yang lebih tinggi.
Efficiency: Upaya untuk mencapai kinerja optimal melalui
perencanaan yang tepat dan penggunaan anggaran yang
rasional.
Employee Champion (Sahabat Pekerja): Salah satu peran
manajemen sumber daya manusia untuk membantu
organisasi dalam mengelola berbagai kebutuhan
karyawannya.
Employee engagement: Kondisi emosional dimana seorang
karyawan merasa bergairah, energik, dan berkomitmen
pada pekerjaannya.
Employee Well-Being: Kondisi yang menggambarkan
kesejahteraan secara psikologis, sosial, dan fisik/materi
karyawan, serta menggambarkan suatu keadaan dimana
karyawan merasa bahagia bekerja di dalam perusahaan.
Energy: Semangat dalam melakukan tugas.
Energized: Adanya perasaan berdaya dan antusias dalam
melakukan tugas, dalam hal ini pemimpin harus mampu
memunculkan inovasi pada bawahannya dengan cara
memberdayakan para karyawannya.
283
Excellence: Sikap profesional, inovatif, dan bersungguh-sungguh
dalam mengupayakan hasil terbaik untuk memberikan
manfaat serta nilai tambah bagi organisasi dan
lingkungan.
Execution (Eksekusi): Menerapkan dari rencana yang telah dibuat
dan memastikan bahwa strategi perusahaan berjalan
sesuai rencana.
Execution Focus: Sikap konsistensi untuk menyusun rencana
berdasarkan ide yang ditangkap, menyusun tindakan
nyata berdasarkan rencana tersebut, dan melakukan
evaluasi serta tindakan perbaikan dari hasil yang telah
diperoleh.
Fasilitative (Fasilitatif): Pendekatan psikologis yang digunakan
secara proaktif untuk meningkatkan proses komunikasi
dan kerjasama diantara para pihak sehingga memberikan
hasil kerja yang optimal dalam pengelolaan hubungan
industrial.
Functional Competency (Kompetensi Fungsional): Kompetensi
spesifik yang dipersyaratkan bagi setiap jabatan/posisi.
Functional Expert (Ahli Fungsional): Seseorang yang fungsinya
membantu perusahaan melakukan efisiensi biaya
operasional dari sisi pengelolaan sumber daya manusia.
Global Behavior (Perilaku Global): Perilaku dari seseorang atau
kelompok yang tujuannya menyesuaikan dengan tuntutan
globalisasi.
Global Thinking: Kemampuan untuk berfikir dan memahami
proses serta mengintegrasikan beberapa sumber informasi
untuk mendapatkan suatu gambaran yang komprehensif.
284
Harmony: Membangun kerjasama, keselarasan dan
mengutamakan keberhasilan bersama.
Hubungan Industrial: Peraturan, praktek-praktek dan konvensi-
konvensi yang berhubungan dengan perundingan,
pencegahan, dan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, serta merupakan pengaturan hak dan kewajiban
bagi pihak-pihak yang terlibat di dalam proses produksi
secara kolektif.
Human Resources Business Partner: Praktisi sumber daya
manusia yang bekerja dengan para pemimpin senior yang
membantu mengembangkan aktivitas bisnis dan
mendukung pencapaian target-target bisnis organisasi
tersebut.
Induction Process (Proses Induksi): Suatu kegiatan dari
manajemen sumber daya manusia untuk
mensosialisasikan nilai-nilai individu agar selaras dengan
nilai-nilai perusahaan.
Industrial Peace: Lingkungan yang memberikan ketenangan
dalam bekerja dan ketenangan dalam berusaha.
Innovation: Pemikiran yang out of the box, berani mencoba hal
baru, mencoba menemukan pendekatan baru dalam
penyelesaian masalah maupun menjalankan bisnis.
Integrity (Integritas): Prinsip dalam menjalankan setiap tugas dan
tanggungjawab melalui keselarasan berpikir, berkata dan
berperilaku sesuai keadaan sebenarnya. Suatu sikap dan
perilaku seseorang yang dicerminkan kedalam dapat
menjaga amanah, jujur, satu dalam kata dan perbuatan,
dapat dipercaya, serta berkomitmen untuk patuh pada
norma, etika, dan peraturan yang berlaku.
285
Jaminan Pensiun (JP): Program jaminan sosial ketenagakerjaan
yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan
yang layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya dengan
memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia
pensiun, mengalami cacat tetap, atau meninggal dunia.
Managerial Competency (Kompetensi Manajerial): Kompetensi
yang dipersyaratkan bagi seseorang yang menduduki
posisi pemimpin, yaitu memiliki bawahan langsung.
Marxisme (Adversarial–Pertentangan): Hubungan industrial
dibangun berdasarkan prinsip bahwa manajemen dan
karyawan merupakan pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan yang berlawanan, yang muncul karena
adanya pertentangan kelas.
Menghindar: Hasrat untuk mengundurkan diri dari situasi konflik
atau menekan konflik, tidak mau bersengketa.
Menyesuaikan: Adanya satu pihak yang konflik bersedia untuk
meletakkan kepentingan pihak lain lebih tinggi dari
kepentingannya.
Mission (Misi): Tugas yang diemban oleh sebuah organisasi, atau
alasan dibentuknya suatu organisasi.
Motives (Motif): Merupakan pikiran atau keinginan individu yang
secara konsisten mendorong munculnya tingkah laku
tertentu untuk suatu tujuan.
National Health Service (NHS): Program pembiayaan kesehatan
dibiayai langsung oleh negara, bersifat semesta dan wajib
dimana pajak sebagai sumber pendapatan utama.
Networking: Kegiatan untuk membangun dan membina
hubungan dengan pihak lain, yang saling menguntungkan
dan memberikan nilai tambah.
286
Onboarding Karyawan: Suatu proses yang memungkinkan
seorang karyawan menyesuaikan diri dengan peran
barunya di organisasi dengan cepat dan lancar.
Organizational Change (Perubahan Organisasi): Proses dimana
organisasi bergerak dari keadaan saat ini menuju keadaan
yang diinginkan.
Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU): Pekerja yang melakukan
kegiatan atau usaha ekonomi secara mandiri untuk
memperoleh penghasilan dari kegiatan atau usahanya.
Performance Management (Manajemen Kinerja): Suatu proses
pengelolaan kinerja dan mendorong peningkatan kinerja
di seluruh bagian organisasi.
Pluralisme: Hubungan industrial dibangun berdasarkan prinsip
bahwa organisasi merupakan koalisi dari kepentingan-
kepentingan yang bersaing di dalamnya.
Preventive (Pencegahan): Pendekatan psikologis yang digunakan
secara proaktif untuk membangun kepercayaan diantara
berbagai pihak sehingga dapat mencegah terjadinya
berbagai kondisi yang kurang menyenangkan.
Private Insurance: Pembiayaan kesehatan diserahkan pada
mekanisme pasar, dimana pekerja atau pemberi kerja
membeli produk kepada asuransi swasta sebagai pilar
utama.
Professional (Profesional): Suatu karakter seseorang dimana
dalam menjalankan tugasnya diwarnai dengan
kesungguhan, sesuai kompetensi dan tanggung jawabnya.
Program Jaminan Hari Tua (JHT): Program penghimpunan dana
yang ditujukan sebagai simpanan yang dapat
dipergunakan oleh peserta, terutama bila penghasilan
yang bersangkutan terhenti karena berbagai sebab, seperti
287
meninggal dunia, cacat total tetap, atau telah memasuki
usia pensiun.
Restraining force (Faktor penghambat): Suatu dorongan yang
membuat organisasi untuk berbertahan pada keadaan
sekarang (status quo).
Self-concept (Konsep diri): Keyakinan individu terhadap sifat,
nilai, dan citra diri yang dapat memprediksikan tingkah
laku yang ditampilkan individu dalam suatu situasi.
Self-selected Culture (Budaya yang dipilih sendiri): Budaya yang
dipilih oleh seseorang yang tidak semata-mata budaya
lokal atau budaya global.
Service Excellence (Pelayanan Prima): Suatu tekad dan usaha
dalam memberikan pelayanan terbaik dengan ikhlas
kepada siapa saja.
Social Health Insurance (SHI): Pembiayaan kesehatan dibiayai
oleh pemberi kerja dan pekerja dan dikelola oleh
pengelola dana asuransi non-profit.
Succession Planning (Perencanaan suksesi): Memberikan
pemahaman yang sama dan jelas mengenai kebutuhan
organisasi dalam perencanaan dan pengelolaan talent
pool.
Subjective well-being: Ilmu pengetahuan tentang kebahagiaan,
mencakup evaluasi kognitif terhadap kepuasan hidup
secara umum maupun yang lebih khusus (misalnya
kepuasan kerja) dan evaluasi afektif yang mencakup
emosi positif dan negatif.
Smoothing (Teknik Pelunakan): Suatu cara yang tujuannya
berusaha untuk mengurangi perbedaan dan menekankan
pada kepentingan bersama dari pihak yang bersengketa.
288
Talent Acquisition (Mendapatkan Talenta): Suatu kegiatan dan
kompetensi untuk mencari talenta termasuk pemetaan
talenta organisasi yang dimulai dari tahap rekrutmen
hingga penempatan yang paling sesuai.
Teknik Perintah Otoritatif: Suatu pendekatan manajemen dimana
mereka menggunakan otoritas formalnya untuk
menyelesaikan konflik dan mengkomunikasikan
keinginannya kepada pihak yang berkonflik.
Traits (Ciri): Karakteristik kepribadian dan respon yang konsisten
muncul dari seseorang pada situasi tertentu.
Unitarianisme (Kesatuan dan Kebersamaan): Kondisi hubungan
industrial dibangun berdasarkan prinsip bahwa
manajemen dan karyawan merupakan sebuah kesatuan
yang di dalamnya terdapat saling kerjasama dan berbagi
tujuan bersama.
---ooOoo---
289
PROFIL PENULIS DAN EDITOR
Achmad Basari, S.Psi, seorang
Sarjana Psikologi yang terjun sebagai
praktisi Sumber Daya Manusia (SDM)
dan Hubungan Industrial (HI) sejak
2003 sampai sekarang. Selama
berkecimpung di bidang SDM berbagai
fungsi pernah dijalaninya yang
membuatnya cenderung menjadi generalist. Sebagai praktisi
beliau memiliki pendekatan unik karena lebih banyak terjun
ke lapangan dan intens berinteraksi dengan unit kerja lain di
institusi dimana bertugas. Baginya, berinteraksi langsung
dengan seluruh stakeholder menjadikannya praktisi SDM &
IR yang tidak hanya jitu dalam strategi dan perencanaan,
tetapi juga handal dalam implementasi dan eksekusi.
Sejak lulus dari Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia tahun 2003 berbagai bidang industri yang pernah
ditanganinya antara lain: jasa keuangan, telekomunikasi,
konstruksi dan manufaktur, pelayaran dan industri agro.
Selain aktif di asosiasi praktisi SDM IOC dan asosiasi HRD
Industri Perkebunan (Plantation Human Capital
Association/PHCA). Achmad juga menjadi anggota LSP
(lembaga Sertifikasi Profesi Hubungan Industrial) APINDO.
Saat ini Achmad Basari menjabat sebagai Personnel &
Industrial Relaton Dept. Head, merangkap care taker HR Div.
Head di sebuah Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang
berkantor pusat di Jakarta. Untuk terhubung dengan Achmad
silakan kontak [email protected]
290
Dra. Aldira Gusana Meyer, M.Si,
Psikolog, lulus sebagai Psikolog dari
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
pada tahun 1993, dan meneruskan
pendidikan pasca sarjananya di bidang
Knowledge Management & Human Capital
pada Fakultas dan Universitas yang sama di tahun 2012.
Aldira mempunyai pengalaman lebih dari 10 tahun
sebagai praktisi SDM. Ia memulai karirnya sebagai Staf di bidang
HRD di Bank Niaga Jakarta, bergabung di PT Sempati Air dan
selanjutnya menjadi Manager HRD & Training pada sebuah Joint
Venture yang bergerak di bidang pembiayaan, PT PRIMUS
Financial Services. Sejak tahun 2001 ia bergabung dengan PT
Daya Dimensi Indonesia sebagai Senior Konsultan. Salah satu
bidang keahlian Aldira adalah mengembangkan tools dan
metode Assessment Center. Ia dipercaya untuk menangani
perusahaan-perusahaan nasional dan multi nasional yang ingin
mengetahui dan mengembangkan potensi karyawannya melalui
metode assessment center ini. Selain sebagai Senior Konsultan ia
juga menjadi tenaga pengajar tidak tetap untuk S2 bidang
Psikologi Industri & Organisasi di Fakultas Psikologi UI. Untuk
terhubung dengan Aldira, silakan kontak
291
Andayani Budi Lestari, S.E., M.M.
AAK, saat ini menjabat sebagai Direktur
Kepesertaan dan Pemasaran BPJS
Kesehatan. Ani panggilan akrabnya
memulai karirnya di PT Askes Cabang
Utama Yogyakarta sejak tahun 1989.
Karirnya di PT Askes kemudian terus menanjak. Ia pernah
dipercaya menjabat sebagai Kepala PT Askes Cabang Pasuruan,
Cabang Utama Yogyakarta, dan Cabang Utama Jakarta Pusat.
Kepemimpinan Andayani juga teruji ketika ia dipercaya
memimpin Divisi Regional IV yang meliputi DKI Jakarta, Banten,
dan Kalimantan Barat juga memimpin Divisi Regional VI untuk
wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Ketika PT Askes
bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan. lulusan Pasca Sarjana
Universitas Atmajaya Yogyakarta ini tetap dipercaya memegang
amanah untuk memimpin Divisi Regional VI. Ibu dari 2 orang
anak ini juga aktif dalam kegiatan organisasi. Ia tercatat sebagai
anggota dan pernah menjabat sebagai sekretaris umum dari
International Federation Profesional and Business Women
Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu ia juga aktif dalam
kegiatan Rotary Club Yogyakarta dan Jakarta dan pernah
memegang beberapa posisi.
292
Drs. Arbono Lasmahadi, M.Si,
Psikolog, adalah seorang praktisi
sumber daya manusia yang memiliki
minat yang besar untuk senantiasa
membagikan pengalamannya di dunia
Pengembangan sumber daya manusia
melalui kegiatan-kegiatan komunitas, pengajaran, pelatihan dan
pengembangan, maupun tulisan-tulisannya yang ditampilkan di
dunia maya. Alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
ini, meyakini bahwa berbagi pengalaman dan pengetahuan akan
menjadi pendorong dirinya untuk terus belajar dan memperbaiki
diri agar tetap dapat berkontribusi bagi kemashlahatan bersama.
Saat ini Bono menjadi Vice President Human Resources di Sintesa
Group, setelah sebelumnya berkiprah sekitar 20 tahun di
perusahaan Multi Nasional Asing. Selain sebagai praktisi SDM,
Bono juga merupakan Dosen Tidak Tetap di Program Pasca
Sarjana Psikologi SDM dan Knowledge Management –
Universitas Indonesia, untuk Mata Kuliah Psikologi Dalam
Hubungan Industrial. Sejak tahun 2000, hingga saat ini, Bono
banyak membuat tulisan lepas yang yang bertema
pengembangan diri, motivasi dan manajemen SDM di dunia
maya. Tulisan-tulisan Bono yang telah banyak mewarnai
sejumlah forum diskusi yang ada di dunia maya, diantaranya
Bernegosiasi di Tempat Kerja, Manajemen SDM Berbasiskan
Kompetensi, Makna Sukses, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk terhubung langsung, Bono dapat dihubungi di
293
Drs. Effendi Ibnoe, M.M.,
Psikolog, sejak masa kuliah di Fakultas
Psikologi UI selalu tertarik dengan
perkembangan sumber daya manusia
Indonesia. Ia memiliki pengalaman lebih
dari 30 tahun di bidang pengembangan
sumber daya manusia di berbagai
perusahaan dan mayoritas adalah
perusahaan kelas dunia seperti International Business Machines
(IBM), Makro Retail, General Electric (GE), Permata Bank,
Standard Chartered Bank, Bakrie Group dan sekarang di PT
Intraco Penta TBK. Saat ini, Effendi menjadi Direktur & Chief
Human Energy Officer (CHEO) di PT Intraco Penta Tbk, dengan
misi yang jelas, melaksanakan transformasi besar besaran sejak
pertengahan 2014, sampai sekarang. Ia dipercaya untuk
mengordinasikan transformasi INTA dari Heavy Equipment Total
Solutions company, menjadi Infrastructure Enterprise. Beberapa
bidang keahlian Effendi adalah: Manajemen Pengembangan
Talenta, Pengembangan Kepemimpinan, Employee
Engagement, Reward System Development, Tata Kelola
Korporasi yang baik dan juga Employee & Industrial Relations.
Effendi lulus dari Psikolog bidang Industri & Organisasi,
Universitas Indonesia dan Pasca Sarjana Magister Management
& Master of Business Administration dari IPMI International
Business School, 2014. Saat ini juga menjadi pengajar di IPMI
untuk kelas Executive MBA, dalam mata kuliah “Knowledge-
based Economy” (KBE). Untuk terhubung dengan Effendi silakan
kontak [email protected]; effendi.ibnoe@intracopenta
.com ; Mobile: +6281514515035.
294
Dra. Eka Shinta, M.M., Psikolog,
adalah seorang praktisi SDM yang
menimba pengalaman sebagai
Manager HR di perusahaan dengan
berbagai bidang industry. Saat ini Eka
berperan sebagai Change Lead dalam
suatu project transformasi di group
perusahaan Danone, MNC yang
bergerak di bidang Consumer Goods.
Lulusan Fakultas Psikologi UI dan Magister Management dari
STM-PPM memulai karir di sebuah perusahaan Operator
Telekomunikasi sebagai Recruitment Supervisor, kemudian
menjadi HR Manager di PT Bluescope Steel Indonesia,
Recruitment & Compensation Benefit di PT Perfetti van Melle
sebelum bergabung dengan PT Nutricia Indonesia (Danone
group) di tahun 2010. Pengalamannya menjalani peran di
berbagai fungsi HR mulai dari fungsi specialist hingga peran
generalist membuatnya dipercaya sebagai Change Lead untuk
mengelola manajemen perubahan dari salah satu proyek
tranformasi besar diperusahaan tempat bekerja saat ini. Untuk
menambah wawasan bisnis, Eka bergabung dengan asosiasi HR
industri terkait maupun profesi seperti: HR FMCG forum, IOC
dan PMSM. Di luar kesibukan pekerjaannya, Eka meluangkan
waktu untuk melakukan perjalanan petualangan secara periodik
di dalam maupun luar negeri, Ia menyukai eksplorasi alam
terbuka ataupun mengenal budaya setempat. Eka senang
menyebut dirinya “travel planner” merencanakan wisata
petualang dengan biaya ekonomis. Untuk terhubung dengan Eka
silakan kontak melalui [email protected] dan
295
Fajar Wibisono, S.Psi, S.E., saat ini
banyak berkecimpung dalam
transformasi organisasi dan people
development dan bekerja sebagai
Senior Bussiness Consultant di
HUMANISGroup. Ia berpengalaman
kerja sebagai HR di ASTRA Group
dengan penugasan di Riau, Kaltim, dan
jakarta. Lulusan Fakultas Psikologi UI
dan Ilmu Manajemen FEUI ini banyak menggunakan pendekatan
eclectic dalam berbagai penugasan konsultasi maupun
pengembangan SDM. Fajar menjadi pengajar mata kuliah
entrepreneurship dan manajemen SDM selama 3 tahun di
Program Pasca Sarjana Universitas Mercu Buana. Sebagai
pembelajar sejati, Fajar mempelajari masalah investasi dan
perencanaan keuangan secara otodidak melalui pengalaman
berbisnis, buku-buku, kursus, maupun forum dunia maya untuk.
Ia aktif sebagai investor logam mulia sejak tahun 1999, juga
obligasi, sukuk, dan reksadana. Enam tahun terakhir Fajar
memperdalam portofolio pada properti dan saham dengan
pendekatan sebagai value investor. Saat ini ia aktif berbisnis on-
line dengan brand koenokini@instagram, yang berfokus pada
transformasi barang-barang yang sudah dibuang atau tidak
digunakan supaya dapat menjadi berguna dan bernilai ekonomis
kembali melalui upcycle maupun recycle yang sejalan dengan
upaya green life style. Untuk terhubung dengan Fajar silakan
kontak [email protected].
296
Dra. Ferlita Sari, M.Si,
Psikolog, ACC, adalah lulusan
Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Saat ini Ferlita berprofesi
sebagai Coach, Trainer dan Senior
Konsultan di bidang sumber daya
manusia. Selain memiliki sertifikasi
sebagai coach dari International Coach
Federation, Ferlita juga memiliki
sertifikasi sebagai Instruktur Utama dari Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP) Indonesia. Di bidang pelatihan, Ferlita
memberikan materi yang terkait dengan Leadership, Self-
Development, dan Communication, juga materi tentang
peningkatan keterampilan praktisi SDM seperti Targeted
Selection Interview, Dimension Analysis Workshop, Training for
Assessor, Coaching and Counseling, dan Value Internalization.
Sebagai Assosiate Senior Konsultan di PT Daya Dimensi
Indonesia, saat ini ia lebih banyak mengembangkan disain dan
tools untuk pengembangan Assessment Center. Ferlita adalah
salah satu pendiri Kubik Coaching, yang merupakan ‘adik
kandung’ dari Kubik Training. Bersama rekan-rekannya di Kubik
Coaching, Ferlita menulis buku Corporate Heroes – Panduan
Melejitkan Kinerja Tim Melalui Kekuatan Coaching (2015) dan
bersama dengan para coach dari Vanaya Institute ia menulis
buku 33 Inspirasi Coaching untuk Indonesia (2015). Untuk
terhubung dengan Ferlita silakan kontak
297
Handriatno Waseso, S.Psi, biasa
disapa dengan Andry telah memiliki
lebih dari 15 tahun pengalaman yang
luas sebagai fasilitator pembelajaran,
trainer untuk soft skill (berfokus pada
kepemimpinan, membangun tim,
efektivitas pribadi, dan manajemen
stres) dan hard skill (berfokus pada
manajemen proyek, perencanaan strategis, dan tanggung jawab
sosial [CSR] perusahaan). Saat ini Andry tergabung di sebuah
perusahaan konsultan program pembangunan bernama
SOLIDARITAS (www.solidaritas.com) sebagai senior associate
consultant yang fokus pada proyek-proyek fasilitasi
pengembangan organisasi pembangunan nasional maupun
internasional yang beroperasi di Indonesia. Andry pernah
melayani berbagai jenis organisasi seperti Indomobil, Telkomsel,
IKEA, Gramedia Group, Universitas Indonesia, Bakrie School of
Management, Universitas Atmajaya, Pemkab, Pemprov dan
Kementerian, UNDP, UNICEF, ICMC , Save the Children, PLAN
Internasional , Provisi Education, Coca Cola Foundation, dan
masih banyak lagi yang lainnya. Andry juga adalah pengamat
sosial yang aktif di twitter. Serial twit-nya nya selalu diupayakan
memberikan sudut pandang baru bagi para followernya tentang
permasalahan sosial di Indonesia. Andry dapat dihubungi di
298
Irwan Dewanto, S.Psi, M.Si, adalah
seorang praktisi SDM yang saat ini
menjabat sebagai HR Director for SC &
Head of IR di PT Unilever Indonesia Tbk.
Lulusan Fakultas Psikologi UGM dan
Magister Psikologi Terapan UI ini melalui
5 tahun pertama dalam karirnya di PT
Astra Otoparts Tbk sebelum kemudian pada tahun 2008 pindah
ke PT Unilever Indonesia Tbk sebagai HRBP Manager for SC di
site Cikarang. Sebelum bertugas di posisi saat ini Irwan juga
sempat menjadi Senior HRBP Manager untuk bagian CD/Sales di
PT Unilever Indonesia Tbk. Beberapa penghargaan pernah
diterimanya selama berkarir di Unilever seperti Chairman Special
Award 2012, Unilever Compass Award 2013, CD VP Award 2014
dan HR VP Award 2015. Selain aktif di IOC dan Apindo Training
Center, Irwan juga aktif di Pengurus Pusat Kadin sebagai Wakil
Komisi Tetap Bidang Pelatihan Tenaga Kerja. Di waktu luang nya,
Irwan juga aktif di komunitas Jakarta Downhill Community,
Honda Big Bike Indonesia, dan MB W205 Community. Untuk
terhubung dengan Irwan silakan kontak melalui
299
Drs. Isdar Andre Marwan,
Psikolog, bergabung dengan
Manulife Indonesia di tahun 2015
sebagai Chief Human Resources
Officer. Selain bertanggung jawab
untuk mengelola dan mengawasi
seluruh aspek Human Resources (HR)
di Manulife Indonesia, Ia juga
merupakan bagian dari tim kepemimpinan HR Asia dan
melakukan kolaborasi erat dengan seluruh bisnis dan fungsi
Manulife Indonesia untuk memastikan people agenda
perusahaan mendukung tercapainya target dan strategi
bisnis perusahaan.
Isdar memiliki pengalaman yang sangat kuat sebagai
praktisi HR yang profesional dengan rekam jejak yang sangat
baik. Sebelum di Manulife Indonesia, ia juga pernah
memegang beberapa jabatan kepemimpinan selama hampir
9 tahun di Bank HSBC, salah satu bank multinasional
terkemuka di Indonesia. Saat itu dia menjabat sebagai Senior
Vice President HR, Head of Generalist, ia bertanggung jawab
untuk memimpin seluruh tim Human Resources Business
Partner (HRBP) di seluruh bisnis dan departemen di dalam
bank.
Psikolog lulusan Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia ini, juga telah menerima beberapa penghargaan
bergengsi seperti HR Asia Pacific Awards di tahun 2013 dan
HR Asia Awards di tahun 2016. Saat ini ia aktif di HR Forum
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia dan Industrial &
Organizational Psychology Club. Untuk terhubung dengan
Isdar silakan kontak di [email protected]
300
Drs. Joris de Fretes, Psikolog, lulus
dari Fakultas Psikologi UI tahun 1978.
Memulai karir di bidang Manajemen
SDM di PT Pupuk Kalimantan Timur
(Persero), pabrik pupuk urea dan
amonia terbesar di dunia ketika itu,
pada tahun 1979 sebagai staf
rekrutmen. Kemudian ia bekerja di beberapa perusahaan
seperti, Dharma Niaga (persero), Indofood Sukses Makmur,
Gobel Dharma Nusantara, Metrodata Electronics, XL Axiata dan
terakhir di Huawei Services. Sebagian pengalaman Joris adalah
membangun manajemen SDM sejak awal dan sebagian lagi
melakukan berbagai perubahan yang mendasar. Joris yang
pernah mendapat kepercayaan menduduki posisi HR Director di
XL Axiata dan Huawei Services, pada tahun 2015 memutuskan
untuk Purna tugas. Kegiatannya saat ini diisi dengan berbagai
acara reuni atau travelling. Selain itu, membaca buku dan
menonton film merupakan pilihannya untuk mengisi waktu.
Membantu beberapa teman yang membutuhkan penataan
manajemen SDM dan berbagi ilmu dan pengalaman dalam
seminar merupakan kegiatan yangdilakukannya untuk tetap
kontak dengan komunitas praktisi SDM dan tentunya hal ini
mendatangkan kepuasan tersendiri bagi Joris. Untuk terhubung
dengan Joris silakan kontak [email protected]
301
Maharsi Anindyajati, S.Psi, M.Si,
akrab disapa Nina, adalah trainer,
konsultan, dan asesor di bidang
manajemen SDM di PPM Manajemen
Jakarta. Pengalamannya sebagai HR
Manager telah menumbuhkan
ketertarikannya terhadap pengelolaan
Generasi Y. Nina seringkali menjadi pembicara pada beberapa
seminar mengenai Generasi Y, seperti 6th Human Capital
National Conference: Gen Y, The Millenials dan seminar bertajuk
Gen Y: Be Friend or Be Behind? Ia pun pernah memberikan
pelatihan mengenai pengelolaan Generasi Y bagi para pimpinan
di berbagai perusahaan. Selain itu, ia juga pernah
mempresentasikan paparannya mengenai asesmen kompetensi
yang didisain khusus untuk para milenial di Assessment Center
International Congress, di Florida, USA. Nina menyelesaikan
pendidikan sarjana dan magister profesi dari Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia. Saat ini, ia adalah kandidat doktor di
bidang Psikologi, Universitas Padjadjaran. Untuk terhubung
dengan Maharsi Anindyajati dapat melalui kontak:
302
Dra. Maya Sita Darlina, M.Si,
Psikolog, adalah alumni dari
Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia yang secara konsisten
mendalami pendidikan di bidang
Psikologi, utamanya Psikologi
Industri dan Organisasi. Bagi Maya
hidupnya semakin bermakna ketika
ia dapat berkontribusi bagi lingkungan sekitar dimanapun ia
berada. Untuk itu pilihannya dalam menekuni pekerjaan di
bidang Pengelolaan Human Capital telah mendukung passionnya
untuk dapat berperan bagi orang lain agar mereka menjadi lebih
baik dari hari ke hari dan tentunya akan mendukung
perkembangan organisasi yang digelutinya. Saat ini Maya Sita
berprofesi sebagai Praktisi Pengelola Human Capital. Berbagai
perubahan dalam cakupan proses Pengelolaan Human Capital
telah diciptakan dan diimplementasikannya untuk mendukung
pengembangan diri karyawan dan organisasi guna mencapai
tujuannya. Dalam rangka mendukung pembaharuan dan
pendalaman kompetensinya, Maya Sita kerap mengikuti
berbagai kegiatan sertifikasi antara lain Employee Engagement
Spesialist, Compensation and Benefit Specialist, Assessor
Profiling, dan lain-lain. Selain itu, keikutsertaannya di berbagai
kegiatan sosial dengan berbagi ilmu psikologi maupun ilmu
praktis SDM lainnya yang dimiliki telah turut menyeimbangkan
hidupnya. Silahkan kontak di [email protected]
untuk terhubung dengan Maya Sita.
303
Dra. Mira Anggraini, M.M., lulus
dari Jurusan Statisika Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam (FMIPA) Universitas Padjadjaran,
tahun 1994 dan memulai karirnya di PT
Askes sejak tahun 1996. Di tahun 1997
ia mengambil program Magister
Manajemen Program Studi Manajemen Aktuaria, Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Karirnya di PT Askes terus
menanjak. Ia pernah dipercaya untuk memimpin Bidang
Pengembangan Produk & Aktuaria dan Bidang Pengembangan
Operasional. Saat PT Askes bertransformasi menjadi BPJS
Kesehatan, Mira dipercaya menjadi Ketua Project Management
Office dan Kepala Grup Manajemen Perubahan BPJS Kesehatan,
Kantor Pusat. Pada tahun 2014 Mira memulai studi doktoralnya
di Program Pascasarjana Ilmu Manajemen, Program Studi
Manajemen Stratejik, Fakultas Ekonomi & Bisnis (FEB)
Universitas Indonesia, Depok. Di tahun yang sama, ia juga
diangkat sebagai Kepala Divisi Regional XIII BPJS Kesehatan,
Serang. Saat ini Mira menjabat sebagai Direktur Umum dan SDM
BPJS Kesehatan.
304
Ir. Naufal Mahfudz, M.M., saat ini menjabat sebagai
Direktur Umum dan SDM, BPJS
Ketenagakerjaan, sejak Februari
2016. Dunia pengembangan
SDM nampaknya bukan bidang
yang baru bagi Naufal. Sejak
tahun 1995, lulusan Fakultas
Sosial Ekonomi Perikanan IPB ini
sudah menekuni bidang pengembangan SDM dan
manajemen di PT Wijaya Karya. Posisi kunci sebagai
Direktur SDM di beberapa perusahaan pernah
dipercayakan kepadanya seperti Direktur SDM dan
Teknologi, Perum LKBN Antara, Direktur Keuangan dan
SDM PT IMQ Multimedia Utama, serta General Manager
of Human Resources, Sony Indonesia. Naufal
menyelesaikan pendidikan Pascasarjana nya di Sekolah
Tinggi Manajemen PPM, Jakarta tahun 1995. Ia saat ini
sedang melanjutkan studi program doktoralnya di Sekolah
Bisnis dan Manajemen IPB. Semangat Naufal untuk
memperkaya pengetahuannya juga terlihat dari berbagai
program sertifikasi yang diikutinya, diantaranya Certified
Assessor of Competency BNSP, Certified Human Capital
Auditor, Certified Pengetahuan Dasar di Bidang Dana
Pensiun, dan masih banyak lagi yang lainnya. Naufal juga
aktif menulis. Buku-buku karyanya yang telah diterbitkan
berjudul Kontroversi May Day dan Gerakan Buruh
Internasional (2013), Kiat Mengelola Mogok Kerja dan
Demo (2012), dan Excellent People Excellent Business,
Pemikiran Strategik Mengenai Human Capital Indonesia
(2007). Untuk terhubung dengan Naufal, silakan kontak
305
Niken Ardiyanti, M.Psi,
Psikolog, adalah lulus pada tahun
2001 dari Universitas Indonesia.
Pada tahun 2006 ia juga
melanjutkan studi di Magister
Profesi Psikolog Fakultas Psikologi
UI. Niken memulai karirnya sebagai
konsultan di Lembaga Manajemen FEUI sejak tahun 2004 hingga
saat ini. Ia memiliki sertifikasi sebagai asesor dari Saville
Holdsworth Limited Indonesia – SHL Indonesia (2002) dan dari
Asesmen Center PT. Bank BNI (Tbk) ( 2002). Saat ini Niken aktif
sebagai Staf Fungsional Peneliti bidang konsentrasi SDM di LMUI
dengan pangkat Senior Peneliti. Selain itu ia juga dipercaya
sebagai Staf Pengajar di Departemen Manajemen FEB UI baik
pada Program Studi (Prodi) Magister Manajemen (MMUI), S1
Reguler maupun S1 Internasional dan S1 Ekstension. Niken aktif
menulis pada Majalah Usahawan Indonesia (LMUI), Rubrik
Kompasiana Koran Tempo dan media cetak nasional lainnya
sejak tahun 2002. Saat ini ia sudah menulis buku yang berjudul
Menuju Pribadi Remaja yang Mandiri (Rakasta Samasta, Jakarta,
2003) dan Peran Penting Konsep Diri dalam Membentuk Track
Record (Salemba Humanika, Jakarta, 2016). Silakan kunjungi
website http://www.nikenardiyanti.com.
306
Ir. PM Susbandono, M.Si,
awalnya tidak bergelut di bidang
sumber daya manusia, tetapi
kemudian ia mempunyai passion yang
dalam di bidang ini. Awal kariernya
dihabiskan di bidang yang lebih “hard”,
seperti SCM, SHE, Operation-Support
dan Produksi, namun akhirnya berlabuh di ranah yang ternyata
lebih dia cintai, yaitu SDM. Lulus dari jurusan Teknik Industri ITB,
bekerja di sebuah perusahaan minyak Amerika dan sempat
ditugaskan di lapangan Riau dan Sumetera Selatan. Setelah
menamatkan S2 di bidang Psikologi SDM, kemudian PM beralih
pengabdian di bidang SDM sampai saat ini. Bidang yang diminati
lainnya adalah menulis. PM menerbitkan 3 buku berisi kumpulan
esai ringan, berjudul : “Anjing Hachiko dan Hilangnya
Kemanusiaan Kita”, “Profesor mBilung dan Godaan
Kepemimpinan”, dan “Mendidik dengan Hati”. PM menjadi
pembicara di berbagai seminar dan pelatihan dalam mau pun
luar negeri, serta dosen tamu di beberapa universitas. Untuk
terhubung dengan PM Susbandono silakan kontak
307
Dra. Ripy R.H. Mangkoesoebroto,
M.Sc, Psikolog, saat ini menjabat
sebagai Chief Human Resources Officer
(CHRO) sejak bergabung dengan Indosat
Ooredoo pada bulan November 2012.
Sebagai CHRO Ripy menangani sumber
daya manusia dan Corporate
Communications. Saat ini Ripy juga menjabat sebagai Presiden
Komisaris IM2. Ia memiliki lebih dari 20 tahun pengalaman kerja
dalam bidang SDM pada perusahaan-perusahaan consumer
goods, farmasi, dan konsultan nasional dan multinasional.
Sebelum bergabung dengan Indosat Ooredoo, Ripy adalah Chief
Human Resources pada AXA Indonesia, bagian dari AXA Group,
salah satu group perusahaan asuransi terbesar di dunia.
Sebelumnya ia menjabat sebagai Direktur SDM pada MSD
Group, yang dimiliki oleh Merck & Co, perusahaan farmasi
terbesar kedua di dunia. Ripy lulus dari fakultas psikologi
Universitas Indonesia, dan meraih gelar MsC. dalam bidang
Education and Training System Design dari University of Twente
di Belanda.Untuk terhubung dengan Ripy silakan kontak
308
Dr. Rostiana, M.Psi, Psikolog,
adalah seorang akademisi psikologi yang
sekaligus berprofesi sebagai praktisi.
Minatnya pada bidang pengembangan
manusia dan organisasi ia jalani melalui
sinkronisasi hasil riset dengan terapan
lapangan. Pendekatan sinkronisasi
ternyata dapat memberikan nuansa yang lebih kaya baik
terhadap bidang pendidikan psikologi maupun bagi para
pengguna jasa di berbagai perusahaan. Secara khusus Rostiana
melakukan riset di bidang Positive Organizational Behavior,
termasuk di dalamnya wellbeing & engagement yang kemudian
dikemas dalam berbagai materi talent management. Secara
khusus ia juga mengembangkan pengukuran kinerja yang
komprehensif mencakup berbagai aspek yang selama ini lepas
dari pengamatan manajemen SDM. Rostiana dapat dikontak
melalui email: [email protected] atau
309
Sandy Kartasasmita, M.Psi,
Psikoterapis, Psikolog, adalah
seorang pendidik yang juga terjun ke
bidang bisnis. Selain menyandang
gelar Psikolog, gelar Psikoterapis pun
dimiliki olehnya dalam bidang
kekhususan Cognitive Behavior
Therapy (CBT). Disamping itu,
beberapa sertifikasi lain juga dimiliki
oleh Past President Asian Psychological Association (APsyA),
seperti Certified Neuro Linguistic Programming (NLP), certified
Emotion Freedom Technique (EFT), certified Hipnotherapi,
certified Ego State Therapy, Certified Identity Compass, Certified
Behavior Analyst (CBA), Certified Master Handwritting Analyst
(CMHA) dan juga Certifed Logosynthesis Practitioner. Beberapa
penelitian yang ia lakukan telah dipublikasikan di berbagai
kongres ilmiah skala Nasional maupun Internasional. Sandy juga
merupakan ketua Alumni Fakultas Psikologi Universitas
Tarumanagara dan pernah menjadi Wakil Dekan Bidang
Akademik periode 2010 - 2014. Sandy mendirikan PT. Meta
Morphosa Utama, satu perusahaan yang memberikan layanan
psikologis khususnya dalam bidang konseling, tes bakat dan
minat, tes kepribadian, tes inteligensi, penerimaan pegawai
penyelenggara dan menyelenggarakan public seminar/
workshop Adapun berbagai training yang diberikan oleh Sandy
antara lain NLP for better life, Coaching and Counseling,
Forgiveness Therapy, Logosynthesis Basic Practitioner dan masih
banyak yang lainnya. Untuk terhubung dengan Sandy, silakan
kontak [email protected]
310
Sulistijono, S.Psi, M.Si, seorang
praktisi pengembangan sumber daya
manusia di industry telekomunikasi
dan memiliki ketertarikan dalam
bidang learning development, training.
Saat ini ia tengah berkecimpung dalam
proyek penyiapan program
pengembangan SDM pada organisasi
yang tengah melakukan transformasi dari telco company
menjadi digital telco company. Dengan latar belakangnya
sebagai Sarjana Psikologi maupun Magister Psikologi dibidang
Psikologi Sumber Daya Manusia dari Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, hal ini membantunya dalam menjalankan
perannya di bidang pelatihan, pembelajaran dan pengembangan
SDM. Untuk terhubung dengan Sulistijono silakan kontak
311
Dra. Tuti Indrawati, M.Si,
Psikolog, telah memiliki pengalaman
lebih dari 30 tahun dalam bidang
konsultansi sumber daya manusia. Ia
bergabung sejak tahun 1985 di Iradat
Konsultan memberikan pengalaman
yang luas dalam memberikan pelayanan
konsultansi meliputi bidang pelatihan dan pengembangan,
seleksi, asesmen, manajemen perubahan, coaching dan
counseling. Tuti memiliki berbagai lisensi antara lain: MBTI
(1994), Personal Analysis (1997), and Emotional Intelligence 6
Seconds USA (2002), Talent Management (Ateneo de Manila
University 2015). Ia menangani berbagai permasalahan di
organisasi dengan latar belakang yang cukup bervariasi seperti
industri telekomunikasi, consumer goods, konstruksi, migas,
lembaga keuangan perbankan dan non-perbankan, berbagai
kementerian dan lembaga pemerintah. dsb. Untuk terhubung
dengan Tuti silakan kontak [email protected]
312
Dr. Wustari L. H. Mangundjaya,
M.Org.Psy,S.E.,Psikolog atau biasa
disapa dengan Iwus adalah Doktor
dalam bidang Psikologi Industri dan
Organisasi dari Universitas Indonesia,
dengan fokusnya dalam bidang
Perubahan Organisasi. Saat ini ia
adalah pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, pada
Bidang Studi Psikologi Industri & Organisasi, sekaligus juga
sebagai Konsultan Manajemen SDM dan Pengembangan
Organisasi di PT Performa Swasthacita. Ia menempuh
pendidikan S1 dan Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Jurusan
Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia,
serta Master of Organizational Psyhology dari University of
Queensland, Brisbane, Australia. Selain itu ia memiliki Diploma
Strategic Human Resources Management dari University of
Ateneo de Manila, Filipina. Tulisannya terdapat di berbagai
Jurnal Nasional dan Internasional. Selain itu, ia juga menerbitkan
buku, antara lain: Organisasi: Struktur, Desain dan Proses;
Pelatihan dan Pengembangan Human Capital, Managing
Diversity, dan Psikologi dalam Perubahan Organisasi. Untuk
menghubungi silakan mengontak ke [email protected].
313
Dra. Yodi Donatrin MPsi,
Psikolog, adalah lulusan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Tahun 2000, Yodi mendalami bidang
Pengelolaan SDM terapan di
Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Yodi berpengalaman
sebagai pimpinan SDM di industri
global dan lokal, serta berpengalaman lebih dari 25 tahun
sebagai direktur SDM antara lain Tetra Pak Indonesia, Ace
Insurance dan Rumah Sakit Pondok Indah Group. Saat ini Yodi
berprofesi sebagai Direktur & Founder of Yodid Consultant dan
Former Director of Human Resources di berbagai industri, untuk
Pengembangan SDM, proyek Merger dan Akuisisi, serta proyek
transformasi organisasi dan pengembangan pengelolaan SDM ke
arah Good Corporate Governance. Sebagai psikolog, Yodi
memiliki sertifikasi test psikologi seperti PRISM, DISC, OPQ dan
Prediktif Indeks. Selain itu Yodi aktif pada komunitas SDM,
SHRM, PMSM Indonesia, HC4US, One HR Indonesia, dan KPHRI.
Ia juga memberikan pengajaran dalam program SDM, salah
satunya adalah program HCDP dari IHRA yang berafiliasi dengan
Universitas Padjadjaran. Untuk terhubung dengan Yodi silakan
kontak [email protected]
314
Dr. Yunus Triyonggo, memiliki
minat untuk mengembangkan
sumber daya manusia sejak ia
bekerja di salah satu perusahaan
multi nasional tahun 1990.
Mengawali karir sebagai
Management Trainee HR hingga
posisi puncak sebagai Head of HR telah dijalaninya di perusahaan
multi nasional dan perusahaan lokal hingga kini. Pada awal 2016
menamatkan studi doktoral di Sekolah Bisnis Institut Pertanian
Bogor sebagai lulusan tercepat dengan nilai terbaik dengan
menghasilkan Model Pengembangan Kompetensi Praktisi
Manajemen Sumber Daya Manusia di Indonesia. Aktif sebagai
Tim Perumus Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
(SKKNI) bidang Manajemen SDM dan sekarang memimpin
Lembaga Diklat Profesi Manajemen SDM. Beliau menulis buku
yang berjudul Standar Kompetensi Praktisi MSDM di Indonesia,
yang dijadikan pedoman dalam penyusunan modul pelatihan
berbasis kompetensi dalam program peningkatan kompetensi
praktisi MSDM di seluruh Indonesia. Saat ini ia menjadi anggota
Dewan Pakar Perhimpunan Manajemen Sumber Daya Manusia
(PMSM) Indonesia, dan juga sebagai Pendiri Lembaga Sertifikasi
Profesi Manajemen Sumber Daya Manusia. Untuk terhubung
dengan Yunus silakan kontak [email protected].