12
Budaya Merantau dan Etos Kerja Suku Minangkabau Suku bangsa Minangkabau terkenal dengan budaya merantaunya. Bagi masyarakat suku bangsa dan penganut budaya Matrilineal Minangkabau, merantau akan berpengaruh kepada status sosial seseorang dalam keluarga, kaum kerabat dan masyarakatnya. Fenomena budaya ini merupakan salah satu faktor pendorong bagi seseorang untuk bermigrasi. 1 Kepergian merantau dari dahulu sampai sekarang merupakan budaya tersendiri bagi masyarakat Minangkabau. Kepergian merantau sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang budaya orang Minangkabau yang menyangkut sistem pewarisan, dimana harta pusaka tidak di peruntukkan untuk anak laki-laki melainkan untuk anak perempuan. Hukum adat Minangkabau yang telah menggariskan hal tersebut di atas, telah mendorong anak laki-laki Minangkabau untuk pergi merantau. Bagi masyarakat Minangkabau merantau mempunyai arti dan kaitan yang berbeda dengan hidup di kampung halaman. Secara kosmologis orang Minangkabau mengenal dua alam. Pertama alam Minangkabau dan kedua alam dan memetik buah, sedangkan alam rantau berfungsi sebagai tempat mencari, menggali ilmu, harta dan kekayaan yang akan ditanam di alam Minangkabau (Usman Pelly, 1984). 1 Hermayulis.Transformasi Nilai-Nilai pada Sistem Kekerabatan Matrilineal Minangkabau dalam Penempatan Masyarakat Minangkabau di Negeri Sembilan Malaysia (Disampaikan dalam seminar antarbangsa pada Temu Sastrawan NUMERA dari tanggal 16-18 Mei 2012).

Budaya Merantau Dan Etos Kerja Suku Minangkabau

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Budaya Merantau Dan Etos Kerja Suku Minangkabau

Budaya Merantau dan Etos Kerja Suku Minangkabau

Suku bangsa Minangkabau terkenal dengan budaya merantaunya. Bagi masyarakat suku

bangsa dan penganut budaya Matrilineal Minangkabau, merantau akan berpengaruh kepada

status sosial seseorang dalam keluarga, kaum kerabat dan masyarakatnya. Fenomena budaya ini

merupakan salah satu faktor pendorong bagi seseorang untuk bermigrasi.1

Kepergian merantau dari dahulu sampai sekarang merupakan budaya tersendiri bagi

masyarakat Minangkabau. Kepergian merantau sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang

budaya orang Minangkabau yang menyangkut sistem pewarisan, dimana harta pusaka tidak di

peruntukkan untuk anak laki-laki melainkan untuk anak perempuan. Hukum adat Minangkabau

yang telah menggariskan hal tersebut di atas, telah mendorong anak laki-laki Minangkabau untuk

pergi merantau.

Bagi masyarakat Minangkabau merantau mempunyai arti dan kaitan yang berbeda

dengan hidup di kampung halaman. Secara kosmologis orang Minangkabau mengenal dua alam.

Pertama alam Minangkabau dan kedua alam dan memetik buah, sedangkan alam rantau

berfungsi sebagai tempat mencari, menggali ilmu, harta dan kekayaan yang akan ditanam di

alam Minangkabau (Usman Pelly, 1984).

Dengan demikian kepergian orang Minangkabau pergi merantau untuk mendapatkan

sesuatu yang akan dibawa pulang ke kampung halaman baik berupa ilmu atau kekayaan. Sebab

itu bagi mereka memperkaya kampung halaman adalah misi yang dibawa oleh orang

Minangkabau ke rantau dan misi ini di sebut sebagai misi budaya dalam konsep merantau. Alam

Minangkabau berfungsi sebagai pusat kehidupan tempat menanam.

Ada berbagai motivasi orang Minangkabau pergi merantau. Dari faktor ekologi, orang

Minangkabau akan cenderung merantau apabila daya dukung alam terhadap penduduk yang

terus bertambah menurun dan melampaui garis keseimbangan. Faktor ekonomi juga menjadi

pendorong bila perimbangan antara sarana kelangsungan hidup dengan jumlah penduduk terus

bertambah sedangkan sarana kelangsungan hidup relatif konstan. Penduduk dengan kemauan

sendiri pergi ke rantau membantu mengendorkan tekanan ekonomi di kampung. Faktor

pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong yang penting untuk pergi merantau,

1 Hermayulis.Transformasi Nilai-Nilai pada Sistem Kekerabatan Matrilineal Minangkabau dalam Penempatan Masyarakat Minangkabau di Negeri Sembilan Malaysia (Disampaikan dalam seminar antarbangsa pada Temu Sastrawan NUMERA dari tanggal 16-18 Mei 2012).

Page 2: Budaya Merantau Dan Etos Kerja Suku Minangkabau

kemudian daya tarik kota yang besar terhadap petani dan pedagang yang sudah tidak mempunyai

tanah lagi, pindah ke kota merupakan pilihan satu-satunya apabila mereka tidak lagi dapat

bertahan terhadap kepahitan hidup di kampung.2

Pada dasarnya motivasi perempuan merantau lebih banyak karena dipaksa kondisi

ekonomi keluarga dan keterbatasan lapangan kerja yang ada di daerahnya. Oleh karena itu apa

yang dipeoleh dirantau lebih banyak dimanfaatkan untuk menghidupi keluarga yang memang

sangat memerlukan.

Dalam masyarakat Minangkabau, merantau merupakan kebiasaan yang dilakukan laki-

laki karena adanya tekanan ekonomi dan budaya. Beban berat yang harus dipikul oleh laki-laki

dalam kedudukanya sebagai ayah dan mamak, menjadi salah satu faktor pendorong laki-laki

merantau. Sedangkan bagi perempuan, harta pusaka kaum yang dikuasainya, menjadikanya lebih

terjamin dari segi ekonomi ketika harus berpisah atau bercerai dari suaminya. Kondisi ini

merupakan idealisme budaya yang dapat menjadi jaminan sosial bagi perempuan.

Berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi yang terjadi di masyarakat

Minangkabau menyebabkan wanita tidak lagi dapat mengandalkan jaminan sosial dari harta

pusaka tingginya. Didorong oleh kondisi ekonomi keluarga, wanita harus ikut bekerja baik ketika

suaminya masih ada atau ketika sudah bercerai atau berpisah dengan suaminya. Hal ini lebih

banyak terjadi pada keluarga yang secara ekonomi lemah. Bekerja bagi masyarakat

Minangkabau nampaknya mempunyai nilai sosial yang tinggi. Masyarakat akan lebih

menghargai laki-laki atau perempuan yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja,

meskipun dalam batas-batas tertentu perempuan mempunyai keterbatasan dalam memilih jenis

pekerjaan dan tempat bekerja.

Pada awalnya perempuan bekerja hanya di lingkungan rumah tangga atau di pasar-pasar

nagari, laki-laki yang bekerja merantau ke luar nagari atau daerah-daerah rantau di luar

nagarinya. Sempitnya lapangan kerja dan semakin mudahnya komunikasi dan transportasi yang

dapat menjangkau ke pelesok nagari merupakan salah satu faktor yang mendorong perempuan

mulai bekerja ke luar nagari. Bekerja ke luar nagari nampaknya menjadi persoalan ketika

perempuan masih terikat dengan kedudukanya sebagai istri dalam keluarga. Akan tetapi ketika

perempuan masih belum beristri atau janda mempunyai keleluasaan dalam menentukan jenis

2 Rosmatul Hikmah.2003.Etos Kerja Pedagang Perantau Minangkabau dalam Perspektif Nilai Budaya Minangkabau (Studi kasus tentang pedagang Minangkabau di Kelurahan Kelapa Tiga Kecamatan Tanjungkarang Kota Bandar Lampung). FKIP UNS, Surakarta.

Page 3: Budaya Merantau Dan Etos Kerja Suku Minangkabau

pekerjaan dan tempat bekerjanya. Bekerja bagi masyarakat Minangkabau nampaknya

mempunyai nilai sosial yang tinggi. Masyarakat akan lebih menghargai laki-laki atau perempuan

yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja, meskipun dalam batas-batas tertentu

perempuan mempunyai keterbatasan dalam memilih jenis pekerjaan dan tempat bekerja.

Kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak merupakan alasan yang sangat dimaklumi

oleh para tokoh adat dan agama untuk membolehkan perempuan keluar rumah atau bekerja ke

luar negri. Dari pandangan agama yang menarik adalah adanya perbedaan pandangan antara

ulama dengan tokoh masyarakat dalam melihat perempuan bekerja ke luar negri. Meskipun dari

segi agama, membenarkan perempuan untuk bekerja tetapi tidak membolehkan perempuan

keluar rumah. Kondisi saat sekarang tidak memungkinkan melarang perempuan untuk bekerja di

luar rumah karena jaman sudah maju dan kita dapat melakukan apa saja.

Sementara para tokoh masyarakat tetap memandang bahwa dari segi agama perempuan

tetap dilarang untuk bekerja ke luar negri, tetapi dapat memaklumi apabila dalam kondisi

ekonomi yang sangat mendesak perempuan harus bekerja ke luar negri. Perempuan di wajibkan

didalam rumah, tetapi saat ini tidak dapat seperti itu, karena kebutuhan manusia itu banyak sekali

oleh sebab itu manusia harus bekerja dan mencari lapangan pekerjaan untuk dapat memenuhi

kebutuhannya. Dalam kondisi yang demikian perempuan dapat dimaklumi untuk ikut bekerja

mencari nafkah meskipun harus ke luar negri.3

Suatu nilai budaya dapat tercermin pada sikap dan tindakan manusia dalam kehidupan

sehari-hari, misalnya etos kerja pedagang perantau Minangkabau dalam bekerja yang dapat

dilihat pada sikap dan tindakan sehari-hari dalam melakukan setiap pekerjaannya. Etos kerja

pedagang perantau Minangkabau merupakan perwujudan dari sikap pedagang yang menganut

nilai budaya Minangkabau.

Salah satu wujud kebudayaan Minangkabau adalah adat istiadat Minangkabau yang

dimiliki segenap masyarakat dan merupakan penghubung kemasyarakatan sehingga dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau sangat berhubungan dengan aturan-aturan dalam

adat. Tingkat paling abstrak dari adat istiadat adalah nilai budaya. Nilai-nilai budaya

3 Rinaldy Ekaputra, Dwiyati Hanandini.2010.Kajian Jender terhadap Kontribusi Perantau Perempuan Suku Minangkabau Bagi Keluarga di Kampung Asal (Artikel Ilmiah). Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Andalas.

Page 4: Budaya Merantau Dan Etos Kerja Suku Minangkabau

Minangkabau merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran masyarakatnya yang dianggap

berharga atau bernilai dalam hidup, fungsinya memberi arah dan orientasi pada masyarakat.

Nilai budaya Minangkabau diakui mempunyai nilai positif yang dapat menuntun

masyarakatnya dalam memenuhi keperluan dan kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain nilai

budaya Minangkabau akan mempengaruhi etos kerja masyarakatnya. Untuk memenuhi

kebutuhan dan keperluan hidup manusia harus bekerja. Pekerjaan menjadi pedagang umumnya

lebih disukai orang Minang di perantauan. Masyarakat Minangkabau memiliki suatu pola

migrasi yang unik, dimana masyarakatnya suka merantau.

Masyarakat Minangkabau terkenal keras mempertahankan adatnya mereka tetap

mempertahankan nilai-nilai budaya mereka walaupun mereka berada ditempat lain. Nilai-nilai

budaya dalam masyarakat Minangkabau di warisi secara lisan dan turun temurun banyak

terkandung di dalam ungkapan-ungkapan yang berfungsi memberi arah dan orientasi kepada

pedagang Minangkabau sehingga mempunyai nilai positif yang dapat menuntun pedagang dalam

bersikap dan bertindak sehingga mencerminkan etos kerja yang positif.

Dalam kegiatan berdagang nilai-nilai budaya Minangkabau yang telah lama hidup dalam

alam pikiran masyarakat Minangkabau akan mempengaruhi etos kerja pedagang perantau

Minangkabau. Dengan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi etos kerja pedagang diharapkan

dapat membuat keberhasilan usaha dagang mereka sehingga dapat meningkatkan kehidupan

sosial ekonomi mereka menjadi lebih baik.

Fenomena Merantaunya Perempuan Suku Minang

Page 5: Budaya Merantau Dan Etos Kerja Suku Minangkabau

Fenomena di mana wanita Minangkabau merantau bukanlah suatu hal yang aneh lagi.

Artinya merantau tidak lagi terbatas pada laki-laki dan wanita yang turut dengan suaminya, tetapi

juga dilakukan oleh wanita yang masih single.

Sebab:

Proses merantau menurut Naim (1984:228) disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: faktor

ekologi dan geografis, faktor ekonomi dan faktor pendidikan. Selain faktor-faktor itu, proses

merantau pada suku bangsa Minangkabau juga didorong oleh nilai budayanya (Pelly, 1988:19).

1. Minangkabau adalah daerah yang terpencil di luar pusat perdagangan dan politik

sehingga orang luar tidak mungkin mendatangi Minangkabau. Sebagai akibatnya, suku

bangsa Minangkabaulah yang harus keluar. Selain itu, Minangkabau adalah daerah yang

subur yang sangat cocok untuk daerah pertanian, tetapi karena tingkat pertumbuhan

penduduk yang cukup tinggi, tanah tersebut tidak cukup untuk memenuhi semua

kebutuhan hidup penduduknya. Oleh karena itu, merantau menjadi salah satu jalan

keluarnya.

2. Di mana keadaan ekonomi di kampung tidak lagi sanggup menahan mereka, sedangkan

dari luar faktor penarik yang disebabkan oleh pembangunan juga bertambah kuat.

3. Faktor pendidikan telah terbukti menjadi faktor pendorong yang mampu mendorong yang

lainnya untuk ikut merantau, karena setiap pelajar yang pergi merantau membukakan

jalan bagi pelajar berikutnya untuk melakukan hal yang sama. Cerita-cerita tentang

kemajuan dan keberhasilan yang terdengar dalam pencapaian pendidikan oleh para

pelajar ini di rantau mendorong yang mudamuda untuk mengikuti jejak langkahnya. Para

lulusan yang mudamuda ini biasanya tidak kembali ke kampung, tetapi sebaliknya

menetap di rantau. Bahkan banyak di antaranya yang kemudian menjadi orang orang-

orang penting. Hal ini sudah cukup untuk membangkitkan keinginan anak-anak muda

Minangkabau yang masih di kampung untuk mengikuti jejak langkahnya.

Hal itu tertuang dalam pepatah berikut:Karatau madang di huluBabuah babungo alunMarantau bujang dahuluDi rumah baguno balun

Page 6: Budaya Merantau Dan Etos Kerja Suku Minangkabau

(Karatau madang di huluBerbuah berbunga belumMerantau bujang dahuluDi rumah berguna belum)

Bagi suku bangsa Minangkabau, seseorang belum dianggap dewasa dan berguna bagi

kampungnya jika ia belum merantau. Merantau dianggap sebagai masa “inisiasi” (masa

peralihan) kedewasaannya, sekaligus untuk memperlihatkan bahwa dirinya mampu menunaikan

misi budaya di rantau. Mereka menganggap proses kedewasaan tidak akan sempurna apabila

tidak melalui masa inisiasi di rantau. Gadang di kampuang (besar di kampung) adalah besar

yang dibesarkan orang, sedangkan besar di rantau adalah besar seorang diri atau gadang surang.

Dengan demikian, ilmu dan pengalaman di rantau dilihat sebagai kelengkapan mutlak untuk

mengukur kedewasaan seseorang.

Berkembanganya pendidikan di Minangkabau dapat dikatakan sebagai keberuntungan

(net gain) bagi wanita Minangkabau karena pendidikan tersebut memberikan dia kesempatan

untuk berkembang lebih banyak di atas status sosial ekonominya yang sudah terjamin menurut

adat, fungsi wanita Minangkabau tidak hanya sebagai “limpapeh rumah nan gadang”, tetapi

kesempatan yang ada menarik sebagian kaum wanita untuk terjun ke bidang professional, baik di

alam Minangkabau itu sendiri, maupun di luar Minangkabau.

Pada dasarnya motivasi perempuan merantau lebih banyak karena dipaksa kondisi

ekonomi keluarga dan keterbatasan lapangan kerja yang ada di daerahnya. Oleh karena itu apa

yang dipeoleh dirantau lebih banyak dimanfaatkan untuk menghidupi keluarga yang memang

sangat memerlukan. Kiriman remitan dari para migran pekerja mempunyai dampak positif bagi

rumah tangga perdesaan dan ekonomi perdesaan (Oberai dan Singh, 1980)

Akibat:

Dahulu wanita Minangkabau dijuluki “limpapeh rumah nan gadang” yang banyak

dituntut di dalam rumah gadang. Sekarang wanita Minangkabau tidak lagi hanya di dalam rumah

gadang atau berfungsi sebagai isteri, tetapi jauh di luar rumah gadang. Dunia yang dimasuki

wanita tidak lagi sebatas sebagai isteri (sektor domestik) tetapi juga dunia bisnis, pendidikan,

kesehatan, jurnalistik dan bermacam-macam kegiatan lainnya (sektor publik). Pekerjaan yang

dimasuki wanita tidak lagi memperhitungkan gender. Hal demikian jika masih dalam nuansa

Page 7: Budaya Merantau Dan Etos Kerja Suku Minangkabau

yang bersifat positif tidak masalah. Malah ada pendidikan yang seharusnya dimasuki laki-laki

juga digandrungi oleh wanita.

Posisi wanita yang pada akhirnya menjadi lemah. Status kedudukan wanita yang

semula tinggi dan sentral sifatnya makin lama makin berkurang karena sumber ekonomi tidak

lagi semata-mata dari harta pusaka yang diwarisi, namun telah bergantung pada pendapatan

suami (ayah).

Makin seringnya perkawinan campuran (amalgamation) antara anggota masyarakat

Minangkabau dengan orang-orang di luar daerah ini, yang mungkin dulunya terbatas pada laki-

laki di Minangkabau dengan wanita di daerah lain. Keadaan yang demikian tentu saja akan

membawa pengaruh langsung pada kehidupan wanita Minangkabau tetapi di sini kita terlalu

banyak terinjak pada hipotesa-hipotesa yang memerlukan perhatian lebih lanjut (Alfian dan

Anwar, 1983: 152-153).

Arus modernisasi dari Barat di samping bersifat positif juga membawa dampak negatif.

Banyak ekses-ekses yang ditimbulkan dari pengaruh budaya Barat (globalisasi) yang merusak

tatanan kehidupan terutama wanita Minangkabau. Pergeseran nilai-nilai yang dianut oleh wanita

Minangkabau menyebabkan terjadinya penyakit masyarakat (pekat), falsafah adat yang selama

ini memberikan tuntunan tidak lagi diindahkan. Wanita yang ideal menurut falsafah

Minangkabau yang berbunyai: Limpapeh rumah nan gadan, acang-acang dalam nagari, muluik

manih kucindan murah, rang kampuang sayang kasadonyo, tidak lagi ditemukan.

Wanita yang ada sekarang tidak lagi seperti pantun di atas. Limpapeh rumah nan gadang

tidak lagi ditemukan, malahan ada yang mengatakan posisi wanita dan “rumah nan gadang

pindah ke labuah gadang”. Hal ini mengandung konotasi wanita Minangkabau berada di luar

rumah gadang atau di jalan raya sehingga kecantikannya dapat dinikmati oleh banyak orang.

Gejala yang lebih menyedihkan dan memprihatinkan banyaknya wanita Minangkabau masuk

‘dunia hitam’ (prostitusi). Berdasarkan data Depsos Sumatera Barat sejak tahun 1981-2001

terdapat sebanyak 798 orang WTS yang dibina, 60% di antaranya adalah wanita Minangkabau.

Hal ini sangat memprihatinkan dan memperlihatkan kemerosotan moral wanita Minangkabau

(Gayatri, 2001: 9-10).

Pembinaan terhadap perilaku wanita demikian telah dilakukan tetapi tetap saja dunia

hitam itu tidak ditinggalkan. Banyak alasan kenapa mereka terjun ke dunia itu di antaranya

desakan ekonomi, kerawanan sosial budaya, bujuk rayu, broken home, ditinggal suami dan

Page 8: Budaya Merantau Dan Etos Kerja Suku Minangkabau

alasan-alasan lain. Apapun persoalan dan penyebab, dunia yang mereka masuki semua tidak

terlepas dari kemerosotan akhlak dan moral dalam masyarakat Minangkabau. Fungsi wanita

sebagai “ramoramo yang tabang dari anjuang ke pangka, dapua jo biliak” tidak lagi terlihat.

Wanita menurut falsafat ini hanya beraktifitas dari rumah gadang, kamar dan dapur (sektor

domestik). Hal ini tidak sesuai lagi dengan tuntuntan zaman dan juga koridor itu pun tidak terlalu

mengikat. Akibat luasnya aktivitas wanita membawa dampak terhadap dekadensi moral dari

masyarakat, karena wanita adalah tiang dari suatu keluarga dan masyarakat.

Rujukan:

Dewi, Inneke Rahma dan Ermansyah. 2007. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)

(Studi Deskripsi tentang Fungsi Organisasi Sosial Suku Bangsa Minangkabau di Kota

Medan). Jurnal Harmoni Sosial, Volume I, No. 2, hlm. 96-108.

Erianjoni. 2014. Pergeseran Citra Wanita Minangkabau: Dari Konsepsi Idela-Tradisional ke

Realitas. Jurnal Ilmiah Kajian Gender, hlm. 225-234.