Upload
aicassiopeiaia-faychan
View
146
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Budaya Merantau dan Etos Kerja Suku Minangkabau
Suku bangsa Minangkabau terkenal dengan budaya merantaunya. Bagi masyarakat suku
bangsa dan penganut budaya Matrilineal Minangkabau, merantau akan berpengaruh kepada
status sosial seseorang dalam keluarga, kaum kerabat dan masyarakatnya. Fenomena budaya ini
merupakan salah satu faktor pendorong bagi seseorang untuk bermigrasi.1
Kepergian merantau dari dahulu sampai sekarang merupakan budaya tersendiri bagi
masyarakat Minangkabau. Kepergian merantau sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang
budaya orang Minangkabau yang menyangkut sistem pewarisan, dimana harta pusaka tidak di
peruntukkan untuk anak laki-laki melainkan untuk anak perempuan. Hukum adat Minangkabau
yang telah menggariskan hal tersebut di atas, telah mendorong anak laki-laki Minangkabau untuk
pergi merantau.
Bagi masyarakat Minangkabau merantau mempunyai arti dan kaitan yang berbeda
dengan hidup di kampung halaman. Secara kosmologis orang Minangkabau mengenal dua alam.
Pertama alam Minangkabau dan kedua alam dan memetik buah, sedangkan alam rantau
berfungsi sebagai tempat mencari, menggali ilmu, harta dan kekayaan yang akan ditanam di
alam Minangkabau (Usman Pelly, 1984).
Dengan demikian kepergian orang Minangkabau pergi merantau untuk mendapatkan
sesuatu yang akan dibawa pulang ke kampung halaman baik berupa ilmu atau kekayaan. Sebab
itu bagi mereka memperkaya kampung halaman adalah misi yang dibawa oleh orang
Minangkabau ke rantau dan misi ini di sebut sebagai misi budaya dalam konsep merantau. Alam
Minangkabau berfungsi sebagai pusat kehidupan tempat menanam.
Ada berbagai motivasi orang Minangkabau pergi merantau. Dari faktor ekologi, orang
Minangkabau akan cenderung merantau apabila daya dukung alam terhadap penduduk yang
terus bertambah menurun dan melampaui garis keseimbangan. Faktor ekonomi juga menjadi
pendorong bila perimbangan antara sarana kelangsungan hidup dengan jumlah penduduk terus
bertambah sedangkan sarana kelangsungan hidup relatif konstan. Penduduk dengan kemauan
sendiri pergi ke rantau membantu mengendorkan tekanan ekonomi di kampung. Faktor
pendidikan merupakan salah satu faktor pendorong yang penting untuk pergi merantau,
1 Hermayulis.Transformasi Nilai-Nilai pada Sistem Kekerabatan Matrilineal Minangkabau dalam Penempatan Masyarakat Minangkabau di Negeri Sembilan Malaysia (Disampaikan dalam seminar antarbangsa pada Temu Sastrawan NUMERA dari tanggal 16-18 Mei 2012).
kemudian daya tarik kota yang besar terhadap petani dan pedagang yang sudah tidak mempunyai
tanah lagi, pindah ke kota merupakan pilihan satu-satunya apabila mereka tidak lagi dapat
bertahan terhadap kepahitan hidup di kampung.2
Pada dasarnya motivasi perempuan merantau lebih banyak karena dipaksa kondisi
ekonomi keluarga dan keterbatasan lapangan kerja yang ada di daerahnya. Oleh karena itu apa
yang dipeoleh dirantau lebih banyak dimanfaatkan untuk menghidupi keluarga yang memang
sangat memerlukan.
Dalam masyarakat Minangkabau, merantau merupakan kebiasaan yang dilakukan laki-
laki karena adanya tekanan ekonomi dan budaya. Beban berat yang harus dipikul oleh laki-laki
dalam kedudukanya sebagai ayah dan mamak, menjadi salah satu faktor pendorong laki-laki
merantau. Sedangkan bagi perempuan, harta pusaka kaum yang dikuasainya, menjadikanya lebih
terjamin dari segi ekonomi ketika harus berpisah atau bercerai dari suaminya. Kondisi ini
merupakan idealisme budaya yang dapat menjadi jaminan sosial bagi perempuan.
Berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi yang terjadi di masyarakat
Minangkabau menyebabkan wanita tidak lagi dapat mengandalkan jaminan sosial dari harta
pusaka tingginya. Didorong oleh kondisi ekonomi keluarga, wanita harus ikut bekerja baik ketika
suaminya masih ada atau ketika sudah bercerai atau berpisah dengan suaminya. Hal ini lebih
banyak terjadi pada keluarga yang secara ekonomi lemah. Bekerja bagi masyarakat
Minangkabau nampaknya mempunyai nilai sosial yang tinggi. Masyarakat akan lebih
menghargai laki-laki atau perempuan yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja,
meskipun dalam batas-batas tertentu perempuan mempunyai keterbatasan dalam memilih jenis
pekerjaan dan tempat bekerja.
Pada awalnya perempuan bekerja hanya di lingkungan rumah tangga atau di pasar-pasar
nagari, laki-laki yang bekerja merantau ke luar nagari atau daerah-daerah rantau di luar
nagarinya. Sempitnya lapangan kerja dan semakin mudahnya komunikasi dan transportasi yang
dapat menjangkau ke pelesok nagari merupakan salah satu faktor yang mendorong perempuan
mulai bekerja ke luar nagari. Bekerja ke luar nagari nampaknya menjadi persoalan ketika
perempuan masih terikat dengan kedudukanya sebagai istri dalam keluarga. Akan tetapi ketika
perempuan masih belum beristri atau janda mempunyai keleluasaan dalam menentukan jenis
2 Rosmatul Hikmah.2003.Etos Kerja Pedagang Perantau Minangkabau dalam Perspektif Nilai Budaya Minangkabau (Studi kasus tentang pedagang Minangkabau di Kelurahan Kelapa Tiga Kecamatan Tanjungkarang Kota Bandar Lampung). FKIP UNS, Surakarta.
pekerjaan dan tempat bekerjanya. Bekerja bagi masyarakat Minangkabau nampaknya
mempunyai nilai sosial yang tinggi. Masyarakat akan lebih menghargai laki-laki atau perempuan
yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja, meskipun dalam batas-batas tertentu
perempuan mempunyai keterbatasan dalam memilih jenis pekerjaan dan tempat bekerja.
Kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak merupakan alasan yang sangat dimaklumi
oleh para tokoh adat dan agama untuk membolehkan perempuan keluar rumah atau bekerja ke
luar negri. Dari pandangan agama yang menarik adalah adanya perbedaan pandangan antara
ulama dengan tokoh masyarakat dalam melihat perempuan bekerja ke luar negri. Meskipun dari
segi agama, membenarkan perempuan untuk bekerja tetapi tidak membolehkan perempuan
keluar rumah. Kondisi saat sekarang tidak memungkinkan melarang perempuan untuk bekerja di
luar rumah karena jaman sudah maju dan kita dapat melakukan apa saja.
Sementara para tokoh masyarakat tetap memandang bahwa dari segi agama perempuan
tetap dilarang untuk bekerja ke luar negri, tetapi dapat memaklumi apabila dalam kondisi
ekonomi yang sangat mendesak perempuan harus bekerja ke luar negri. Perempuan di wajibkan
didalam rumah, tetapi saat ini tidak dapat seperti itu, karena kebutuhan manusia itu banyak sekali
oleh sebab itu manusia harus bekerja dan mencari lapangan pekerjaan untuk dapat memenuhi
kebutuhannya. Dalam kondisi yang demikian perempuan dapat dimaklumi untuk ikut bekerja
mencari nafkah meskipun harus ke luar negri.3
Suatu nilai budaya dapat tercermin pada sikap dan tindakan manusia dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya etos kerja pedagang perantau Minangkabau dalam bekerja yang dapat
dilihat pada sikap dan tindakan sehari-hari dalam melakukan setiap pekerjaannya. Etos kerja
pedagang perantau Minangkabau merupakan perwujudan dari sikap pedagang yang menganut
nilai budaya Minangkabau.
Salah satu wujud kebudayaan Minangkabau adalah adat istiadat Minangkabau yang
dimiliki segenap masyarakat dan merupakan penghubung kemasyarakatan sehingga dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau sangat berhubungan dengan aturan-aturan dalam
adat. Tingkat paling abstrak dari adat istiadat adalah nilai budaya. Nilai-nilai budaya
3 Rinaldy Ekaputra, Dwiyati Hanandini.2010.Kajian Jender terhadap Kontribusi Perantau Perempuan Suku Minangkabau Bagi Keluarga di Kampung Asal (Artikel Ilmiah). Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Andalas.
Minangkabau merupakan konsep yang hidup dalam alam pikiran masyarakatnya yang dianggap
berharga atau bernilai dalam hidup, fungsinya memberi arah dan orientasi pada masyarakat.
Nilai budaya Minangkabau diakui mempunyai nilai positif yang dapat menuntun
masyarakatnya dalam memenuhi keperluan dan kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain nilai
budaya Minangkabau akan mempengaruhi etos kerja masyarakatnya. Untuk memenuhi
kebutuhan dan keperluan hidup manusia harus bekerja. Pekerjaan menjadi pedagang umumnya
lebih disukai orang Minang di perantauan. Masyarakat Minangkabau memiliki suatu pola
migrasi yang unik, dimana masyarakatnya suka merantau.
Masyarakat Minangkabau terkenal keras mempertahankan adatnya mereka tetap
mempertahankan nilai-nilai budaya mereka walaupun mereka berada ditempat lain. Nilai-nilai
budaya dalam masyarakat Minangkabau di warisi secara lisan dan turun temurun banyak
terkandung di dalam ungkapan-ungkapan yang berfungsi memberi arah dan orientasi kepada
pedagang Minangkabau sehingga mempunyai nilai positif yang dapat menuntun pedagang dalam
bersikap dan bertindak sehingga mencerminkan etos kerja yang positif.
Dalam kegiatan berdagang nilai-nilai budaya Minangkabau yang telah lama hidup dalam
alam pikiran masyarakat Minangkabau akan mempengaruhi etos kerja pedagang perantau
Minangkabau. Dengan nilai-nilai budaya yang mempengaruhi etos kerja pedagang diharapkan
dapat membuat keberhasilan usaha dagang mereka sehingga dapat meningkatkan kehidupan
sosial ekonomi mereka menjadi lebih baik.
Fenomena Merantaunya Perempuan Suku Minang
Fenomena di mana wanita Minangkabau merantau bukanlah suatu hal yang aneh lagi.
Artinya merantau tidak lagi terbatas pada laki-laki dan wanita yang turut dengan suaminya, tetapi
juga dilakukan oleh wanita yang masih single.
Sebab:
Proses merantau menurut Naim (1984:228) disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: faktor
ekologi dan geografis, faktor ekonomi dan faktor pendidikan. Selain faktor-faktor itu, proses
merantau pada suku bangsa Minangkabau juga didorong oleh nilai budayanya (Pelly, 1988:19).
1. Minangkabau adalah daerah yang terpencil di luar pusat perdagangan dan politik
sehingga orang luar tidak mungkin mendatangi Minangkabau. Sebagai akibatnya, suku
bangsa Minangkabaulah yang harus keluar. Selain itu, Minangkabau adalah daerah yang
subur yang sangat cocok untuk daerah pertanian, tetapi karena tingkat pertumbuhan
penduduk yang cukup tinggi, tanah tersebut tidak cukup untuk memenuhi semua
kebutuhan hidup penduduknya. Oleh karena itu, merantau menjadi salah satu jalan
keluarnya.
2. Di mana keadaan ekonomi di kampung tidak lagi sanggup menahan mereka, sedangkan
dari luar faktor penarik yang disebabkan oleh pembangunan juga bertambah kuat.
3. Faktor pendidikan telah terbukti menjadi faktor pendorong yang mampu mendorong yang
lainnya untuk ikut merantau, karena setiap pelajar yang pergi merantau membukakan
jalan bagi pelajar berikutnya untuk melakukan hal yang sama. Cerita-cerita tentang
kemajuan dan keberhasilan yang terdengar dalam pencapaian pendidikan oleh para
pelajar ini di rantau mendorong yang mudamuda untuk mengikuti jejak langkahnya. Para
lulusan yang mudamuda ini biasanya tidak kembali ke kampung, tetapi sebaliknya
menetap di rantau. Bahkan banyak di antaranya yang kemudian menjadi orang orang-
orang penting. Hal ini sudah cukup untuk membangkitkan keinginan anak-anak muda
Minangkabau yang masih di kampung untuk mengikuti jejak langkahnya.
Hal itu tertuang dalam pepatah berikut:Karatau madang di huluBabuah babungo alunMarantau bujang dahuluDi rumah baguno balun
(Karatau madang di huluBerbuah berbunga belumMerantau bujang dahuluDi rumah berguna belum)
Bagi suku bangsa Minangkabau, seseorang belum dianggap dewasa dan berguna bagi
kampungnya jika ia belum merantau. Merantau dianggap sebagai masa “inisiasi” (masa
peralihan) kedewasaannya, sekaligus untuk memperlihatkan bahwa dirinya mampu menunaikan
misi budaya di rantau. Mereka menganggap proses kedewasaan tidak akan sempurna apabila
tidak melalui masa inisiasi di rantau. Gadang di kampuang (besar di kampung) adalah besar
yang dibesarkan orang, sedangkan besar di rantau adalah besar seorang diri atau gadang surang.
Dengan demikian, ilmu dan pengalaman di rantau dilihat sebagai kelengkapan mutlak untuk
mengukur kedewasaan seseorang.
Berkembanganya pendidikan di Minangkabau dapat dikatakan sebagai keberuntungan
(net gain) bagi wanita Minangkabau karena pendidikan tersebut memberikan dia kesempatan
untuk berkembang lebih banyak di atas status sosial ekonominya yang sudah terjamin menurut
adat, fungsi wanita Minangkabau tidak hanya sebagai “limpapeh rumah nan gadang”, tetapi
kesempatan yang ada menarik sebagian kaum wanita untuk terjun ke bidang professional, baik di
alam Minangkabau itu sendiri, maupun di luar Minangkabau.
Pada dasarnya motivasi perempuan merantau lebih banyak karena dipaksa kondisi
ekonomi keluarga dan keterbatasan lapangan kerja yang ada di daerahnya. Oleh karena itu apa
yang dipeoleh dirantau lebih banyak dimanfaatkan untuk menghidupi keluarga yang memang
sangat memerlukan. Kiriman remitan dari para migran pekerja mempunyai dampak positif bagi
rumah tangga perdesaan dan ekonomi perdesaan (Oberai dan Singh, 1980)
Akibat:
Dahulu wanita Minangkabau dijuluki “limpapeh rumah nan gadang” yang banyak
dituntut di dalam rumah gadang. Sekarang wanita Minangkabau tidak lagi hanya di dalam rumah
gadang atau berfungsi sebagai isteri, tetapi jauh di luar rumah gadang. Dunia yang dimasuki
wanita tidak lagi sebatas sebagai isteri (sektor domestik) tetapi juga dunia bisnis, pendidikan,
kesehatan, jurnalistik dan bermacam-macam kegiatan lainnya (sektor publik). Pekerjaan yang
dimasuki wanita tidak lagi memperhitungkan gender. Hal demikian jika masih dalam nuansa
yang bersifat positif tidak masalah. Malah ada pendidikan yang seharusnya dimasuki laki-laki
juga digandrungi oleh wanita.
Posisi wanita yang pada akhirnya menjadi lemah. Status kedudukan wanita yang
semula tinggi dan sentral sifatnya makin lama makin berkurang karena sumber ekonomi tidak
lagi semata-mata dari harta pusaka yang diwarisi, namun telah bergantung pada pendapatan
suami (ayah).
Makin seringnya perkawinan campuran (amalgamation) antara anggota masyarakat
Minangkabau dengan orang-orang di luar daerah ini, yang mungkin dulunya terbatas pada laki-
laki di Minangkabau dengan wanita di daerah lain. Keadaan yang demikian tentu saja akan
membawa pengaruh langsung pada kehidupan wanita Minangkabau tetapi di sini kita terlalu
banyak terinjak pada hipotesa-hipotesa yang memerlukan perhatian lebih lanjut (Alfian dan
Anwar, 1983: 152-153).
Arus modernisasi dari Barat di samping bersifat positif juga membawa dampak negatif.
Banyak ekses-ekses yang ditimbulkan dari pengaruh budaya Barat (globalisasi) yang merusak
tatanan kehidupan terutama wanita Minangkabau. Pergeseran nilai-nilai yang dianut oleh wanita
Minangkabau menyebabkan terjadinya penyakit masyarakat (pekat), falsafah adat yang selama
ini memberikan tuntunan tidak lagi diindahkan. Wanita yang ideal menurut falsafah
Minangkabau yang berbunyai: Limpapeh rumah nan gadan, acang-acang dalam nagari, muluik
manih kucindan murah, rang kampuang sayang kasadonyo, tidak lagi ditemukan.
Wanita yang ada sekarang tidak lagi seperti pantun di atas. Limpapeh rumah nan gadang
tidak lagi ditemukan, malahan ada yang mengatakan posisi wanita dan “rumah nan gadang
pindah ke labuah gadang”. Hal ini mengandung konotasi wanita Minangkabau berada di luar
rumah gadang atau di jalan raya sehingga kecantikannya dapat dinikmati oleh banyak orang.
Gejala yang lebih menyedihkan dan memprihatinkan banyaknya wanita Minangkabau masuk
‘dunia hitam’ (prostitusi). Berdasarkan data Depsos Sumatera Barat sejak tahun 1981-2001
terdapat sebanyak 798 orang WTS yang dibina, 60% di antaranya adalah wanita Minangkabau.
Hal ini sangat memprihatinkan dan memperlihatkan kemerosotan moral wanita Minangkabau
(Gayatri, 2001: 9-10).
Pembinaan terhadap perilaku wanita demikian telah dilakukan tetapi tetap saja dunia
hitam itu tidak ditinggalkan. Banyak alasan kenapa mereka terjun ke dunia itu di antaranya
desakan ekonomi, kerawanan sosial budaya, bujuk rayu, broken home, ditinggal suami dan
alasan-alasan lain. Apapun persoalan dan penyebab, dunia yang mereka masuki semua tidak
terlepas dari kemerosotan akhlak dan moral dalam masyarakat Minangkabau. Fungsi wanita
sebagai “ramoramo yang tabang dari anjuang ke pangka, dapua jo biliak” tidak lagi terlihat.
Wanita menurut falsafat ini hanya beraktifitas dari rumah gadang, kamar dan dapur (sektor
domestik). Hal ini tidak sesuai lagi dengan tuntuntan zaman dan juga koridor itu pun tidak terlalu
mengikat. Akibat luasnya aktivitas wanita membawa dampak terhadap dekadensi moral dari
masyarakat, karena wanita adalah tiang dari suatu keluarga dan masyarakat.
Rujukan:
Dewi, Inneke Rahma dan Ermansyah. 2007. Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)
(Studi Deskripsi tentang Fungsi Organisasi Sosial Suku Bangsa Minangkabau di Kota
Medan). Jurnal Harmoni Sosial, Volume I, No. 2, hlm. 96-108.
Erianjoni. 2014. Pergeseran Citra Wanita Minangkabau: Dari Konsepsi Idela-Tradisional ke
Realitas. Jurnal Ilmiah Kajian Gender, hlm. 225-234.