Upload
arya-leonhart
View
94
Download
39
Tags:
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Bisnis dan Kewirausaan
Citation preview
ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL
Knowledge transfer through strategic alliance has thrived from years to years and has been perceived very important by practitioners and academics. The reason of this is because, in the era of knowledge-based economy, the demand of knowledge as a factor of production as a source of competitiveness can not be generated internally by company, so it requires cooperation with other firms. Therefore, the main purpose of this paper is to get a descriptive picture about company characteristics that has performed tacit knowledge transfer through international strategic alliance between developed and developing countries from the point of view of developing company as the recipient of knowledge. The study was done for 101 respondents, consisted of CEOs and TMTs of local companies. The result of this study indicates that there is a gap existed between ‘technical skill’ and different management style between developed company as the source of knowledge and developing country as the recipient of knowledge. Eventhough R&D is weak, several local companies have been able to develop new ideas into innovation. Thus, trust becomes a key factor that is very important for the success of knowledge transfer process and to acquire good quality knowledge.
Keywords: Knowledge transfer, Competitiveness, technical skill, management style, trust.
ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN MELALUI ALIANSI STRATEJIK INTERNASIONAL
Pendahuluan
Pengetahuan sebagai komponen utama untuk memperoleh keunggulan daya saing
perusahaan (Hitt, Hoskisson, & Ireland, 2007), telah memperoleh perhatian yang semakin besar
dari para akademisi maupun praktisi (Chiva & Alegre, 2005; Chen, 2006). Berhubung tidak ada
satu perusahaanpun yang dapat memenuhi atau menghasilkan semua pengetahuan yang
dibutuhkan secara mandiri (Dussauge, Garrette, & Mitchell, 2000), maka alih pengetahuan antar
perusahaan melalui aliansi stratejik (Chen, 2006) menjadi penting.9 Dengan mentransfer
(mengalihkan) pengetahuan antar perusahaan, maka keunggulan daya saing yang dibangun dari
pengetahuan dapat dimaksimalkan (Murray, 2003) melalui akses ke sumber daya unik utamanya
pengetahuan yang bersifat tacit (tersembunyi, sulit untuk dikomunikasikan dan diartikulasikan)
(Amit & Schoemaker, 1993).
Penggunaan aliansi stratejik internasional terus meningkat dengan salah satu motivasi
untuk mendapatkan akses pengetahuan (know-how) serta menginternalkan teknologi baru secara
cepat (Lam, 2004). Walaupun popularitasnya terus meningkat, namun tingkat kegagalan aliansi
stratejik juga tinggi hingga 70% dengan outcome yang dikehendaki tidak tercapai (Das & Teng,
2000). Alih pengetahuan internasional khususnya apabila menyangkut mitra dengan latar
belakang budaya yang berbeda merupakan sebuah proses yang kompleks (Yin & Bao, 2006),
dimana keberhasilan atau kegagalan alih pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
karakteristik pengetahuan, karakteristik pengirim pengetahuan, karakteristik penerima
pengetahuan, dan konteks alih pengetahuan (Szulanski, 1996). Sehingga penting untuk mengkaji
berbagai karakteristik perusahaan baik di awal aliansi stratejik maupun selama proses alih
pengetahuan untuk mendapatkan outcome/performance yang dikehendaki.
Namun demikian, sebagian besar penelitian terdahulu hanya meneliti berbagai
karakteristik perusahaan secara terpisah dan terisolasi (Westphal & Shaw, 2005). Padahal,
sebagai suatu proses multi tahap (Inkpen & Dinur, 1998), alih pengetahuan dapat dipahami
9 Bentuk kerjasama selain aliansi stratejik adalah merger dan akuisisi (M&A), namun di luar lingkup penelitian ini.
secara lengkap apabila dilakukan analisis secara komprehensif yang melibatkan anteseden
(struktur), mekanisme (conduct) dan kinerja (outcome) (Becker & Knudsen, 2006, Klint &
Sjoberg, 2003). Selain itu, alih pengetahuan melalui aliansi stratejik umumnya dikaji dari sudut
pandang pemberi dan bukan penerima pengetahuan (Yin & Bao, 2006), dan terpusat pada
perusahaan di negara maju, sehingga aplikasinya di negara berkembang menjadi kurang
diketahui, yang menjadikannya kesenjangan penelitian (Murray, Kotabe, & Zhou, 2005).
Untuk mengatasi kesenjangan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
berbagai karakteristik perusahaan yang melakukan alih pengetahuan tacit melalui aliansi stratejik
internasional antara negara maju dengan negara berkembang dari persepsi negara berkembang
sebagai penerima pengetahuan. Melalui kajian komprehensif, karakteristik perusahaan yang
terdiri dari faktor struktural berupa kecocokan mitra aliansi (partner fit), faktor mekanisme
berupa proses kognitif (interorganizational learning) serta behavioral (relational capital), dan
faktor outcome (kualitas pengetahuan alihan) dianalisis secara deskriptif disamping
menggunakan juga analisis varians dan korelasi. Rangkuman statistik deskriptif dinyatakan
sebagai salah satu bagian terpenting dari laporan setiap hasil penelitian serta dapat digunakan
sebagai masukan dalam proses pengambilan keputusan (Agung, 2004).
Bagian berikut dari artikel ini akan menguraikan karakteristik perusahaan yang
melakukan aliansi stratejik diikuti dengan metode penelitian yang melibatkan 101 perusahaan
lokal sebagai responden yang beraliansi dengan perusahaan asing. Selanjutnya diakhiri dengan
diskusi, kesimpulan, implikasi, keterbatasan dan penelitian lanjutan yang disarankan.
Karakteristik Perusahaan
Karakteristik perusahaan merupakan elemen penting untuk keberhasilan alih pengetahuan
(Reid, Bussiere, & Greenaway, 2001). Berdasarkan telaah literatur (Becker & Knudsen, 2006),
karakteristik perusahaan untuk penelitian ini dapat disarikan menjadi tiga kelompok yaitu:
pertama, faktor struktural meliputi kecocokan mitra (partner fit) (Kale et al., 2000; Sucahyo et
al., 2005) yang terdiri dari komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi dan
kompatibilitas budaya (Parkhe, 1991; Sarkar et al., 2001). Kedua, faktor mekanisme yang
meliputi faktor kognitif berupa pembelajaran terdiri dari learning intent, receptivity, dan
transparansi (Larsson et al., 1998; Hamel, 1991) dan faktor behavioral berupa relational capital
(Kale et al., 2000; Sucahyo et al., 2005) yang terdiri dari kepercayaan (trust), reciprocity,
komunikasi, dan ketertarikan (Sarkar et al., 2001; Muthusamy & White, 2005). Ketiga, kinerja
(outcome) yakni kualitas pengetahuan alihan (quality of knowledge transferred) dengan dimensi
fitness for use dan applicability (Juran, 1992; Dalkir, 2005).
Kecocokan Mitra
Dalam melakukan alih pengetahuan melalui aliansi stratejik, seringkali perusahaan tidak
mempunyai informasi latar belakang yang memadai, serta mengalami ketidaksamaan bahasa dan
ketidaksamaan kepentingan, sehingga membatasi kemampuan untuk mengakses dan membagi
pengetahuan secara signifikan (Carlile, 2004). Perbedaan karakteristik perusahaan akan
membatasi kemampuan perusahaan untuk bekerjasama (Parkhe, 1991), sehingga diperlukan
adanya kecocokan mitra agar dapat terjadi sinergi. Dengan demikian kecocokan karakteristik
perusahaan yang bermitra yang terdiri dari tiga komponen yaitu komplementaritas sumber daya,
kompatibilitas operasi dan kompatibilitas budaya merupakan salah satu faktor penentu sukses
atau gagalnya alih pengetahuan melalui aliansi (Kale et al., 2002).
Komplementaritas sumber daya
Komplementaritas sumber daya merupakan tingkat penggabungan sumber daya yang
unik dan berharga, tidak identik tapi saling melengkapi yang dibawa oleh masing-masing pihak
ke dalam kolaborasi yang tidak mungkin untuk dikembangkan sendiri (Sarkar et al., 2001; Hitt,
Ireland, & Harrison, 2001). Komplementaritas sumber daya menciptakan ketergantungan, yang
mendorong timbulnya komitmen dan interaksi yang tinggi sehingga meningkatkan potensi
pembelajaran antara satu sama lainnya dan menciptakan kondisi menguntungkan untuk
terjadinya alih pengetahuan (Dussauge et al., 2000). Selain itu juga timbul sinergi, yang
meningkatkan core capabilities perusahaan (Murray, 2001) dan masing-masing pihak dapat
mempelajari kapabilitas pihak lain (Hitt et al., 2001).
Kompatibilitas operasi
Kompatibilitas operasi merupakan tingkat kesesuaian dalam operasi perusahaan (Sarkar
et al., 2001). Kompatibilitas operasi menyebabkan mitra aliansi berkooperasi lebih efektif, lebih
komunikatif dan lebih mudah berbagi sumber daya yang dapat meningkatkan kualitas hubungan
(Sarkar et al., 2001) dan kapabilitas (Hitt et al., 2001). Perusahaan dengan kapabilitas teknis
yang kompatibel akan meningkatkan proses pembelajaran antar mitra (Cohen & Levinthal,
1990). Sebaliknya perbedaan keahlian akan menghalangi proses pembelajaran (Crossan &
Inkpen, 1995). Demikian juga perusahaan dengan bisnis yang sama memiliki dasar kompetensi
yang sama, karena menggunakan teknologi serta memenuhi kebutuhan pelanggan yang sama dan
oleh karenanya memiliki dominant logic yang sama, sehingga dapat belajar lebih mudah
(Dussauge & Garrette, 2000).10
Kompatibilitas budaya
Kompatibilitas budaya yang merupakan tingkat kesesuaian dalam budaya perusahaan
akan meningkatkan saling pengertian, kepercayaan antar mitra aliansi (Holtbrugge, 2004),
komitmen dan pertukaran informasi serta berdampak terhadap pembelajaran (Sarkar et al.,
2001). Perusahaan yang memiliki kesamaan dalam budaya organisasi akan memiliki kualitas
hubungan yang lebih baik. Sebaliknya budaya organisasi yang tidak kompatibel akan membawa
hubungan kerja yang kontra-produktif karena objektif yang tidak kompatibel dapat menimbulkan
konflik ataupun kecurigaan dan perselisihan (Sarkar et al., 2001). Kurangnya keahlian atau
kesalahan dalam menginterpretasikan sesuatu disebabkan perbedaan budaya atau kurangnya
pemahaman terhadap lintas budaya antar mitra, akan mengganggu kemampuan pembelajaran dan
pengembangan kepercayaan (Nielsen, 2001).
Pembelajaran
Pembelajaran antar organisasi pada dasarnya merupakan alih pengetahuan dari satu
perusahaan ke perusahaan lain (Hitt, Lee, & Yucel, 2002; Muthusamy & White, 2005) atau
definisi lain berupa proses penciptaan pengetahuan secara bersama-sama melalui interaksi antar
perusahaan (Larsson et al., 1998; Lubatkin, Florin, & Lane, 2001). Pengetahuan yang dialihkan
dapat berbentuk pengetahuan eksplisit, pengetahuan tacit atau keduanya. Pembelajaran selain
10 Dominant Logic merupakan mindset atau konseptualisasi bisnis yang menjadi alat administratif untuk
memenuhi sasaran (goal) dan membuat keputusan bisnis (Prahalad & Bettis, 1986).
menghasilkan private benefit juga menghasilkan common benefit (Khanna et al., 1998; Inkpen,
2000). Apabila pada transfer pengetahuan yang ada membutuhkan mitra untuk berlaku sebagai
”teacher atau expert”, maka pada penciptaan pengetahuan baru secara bersama, para mitra
bertindak sebagai co-reseacher atau co-inventor (Lubatkin et al., 2001). Dimensi pembelajaran
antar perusahaan terdiri dari learning intent, transparansi dan receptivity (Hamel, 1991; Larsson
et al., 1998).
Learning intent.
Dalam konteks pembelajaran melalui aliansi stratejik, learning intent (Hamel, 1991)
merupakan hasrat (desire) dan kemauan (will) untuk belajar serta menginternalisasikan keahlian
dan kompetensi mitra atau belajar dari lingkungan yang kolaboratif (Simonin, 2004). Dengan
demikian learning intent merupakan kecenderungan untuk melihat kolaborasi sebagai peluang
pembelajaran sehingga menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.
Learning intent akan mempengaruhi komitmen dan alokasi sumberdaya terhadap proses
pembelajaran dan khususnya akan mempengaruhi putusan untuk mengawali mekanisme
pembelajaran (Inkpen, 2000a) dengan memperhitungkan sifat kompetitif dan kooperatif kegiatan
pembelajaran antar perusahaan (Wu & Cavusgil, 2006). Sehingga apabila perusahaan
menganggap pengetahuan yang dimiliki mitra aliansinya menarik atau bernilai tinggi, hal
tersebut yang mendorong keinginan (learning intent) perusahaan untuk mempelajarinya (Inkpen,
2000b; Pak & Park, 2004).
Receptivity.
Hamel (1991) memperkenalkan konsep receptivity sebagai kapasitas organisasi untuk
belajar dari mitra aliansi, dan bersama-sama dengan intent (desire to learn) dan transparansi
(learning opportunity) merupakan dogma dalam proses pembelajaran. Receptivity berkenaan
dengan motivasi dan kemampuan untuk menyerap kecakapan (skill) atau pengetahuan yang
dikemukakan oleh mitra. Dengan kata lain organisasi harus mempunyai kapasitas untuk
menyerap input untuk menghasilkan output (Tsai, 2001). Dalam studinya, Lyles & Salk (1996)
mengamati bahwa kapasitas pembelajaran (diukur dengan fleksibilitas joint venture, kreativitas
dan pengetahuan tentang pegawai) mempengaruhi secara signifikan tingkat akuisisi pengetahuan.
Perusahaan dapat meningkatkan receptivity pembelajaran dengan cara memaksimalkan jumlah
akses potensial ke dalam perusahaan mitra, mengkaji bahasa mitra, melakukan benchmarking
terhadap keahlian mitra, dan melakukan kesetaraan dalam fasilitas dan peralatan (Doz & Hamel,
1998).
Transparansi.
Transparansi merupakan tingkat keterbukaan perusahaan terhadap mitra sehingga
menentukan potensi mitra terhadap pembelajaran dan peluangnya (Hamel, 1991). Transparansi
penting, karena tanpa peluang untuk mengamati perbedaan (discrepancy) keahlian mitra, maka
tidak ada insentif untuk pembelajaran. Transparansi juga merupakan kesiapan membuka diri
terhadap pengujian menerima umpan balik (feedback) (Popper & Lipshitz, 2000) dimana
komunikasi secara terbuka dan jujur diperlukan (Nielsen, 2001). Sebuah perusahaan akan lebih
mudah belajar dari mitra aliansi apabila tingkat keterbukaan atau transparansi tinggi (Hamel,
1991; Doz & Hamel, 1998). Ketidaktransparansian akan mengakibatkan semakin besarnya
ambiguity dan secara langsung menghalangi alih pengetahuan (Simonin, 2004). Terdapat
paradoks di satu sisi perusahaan harus transparan terhadap pengetahuan yang dialihkan agar
aliansi berhasil, namun di sisi lain perusahaan mempertahankan keunggulan kompetitifnya
apabila pesaing tidak dapat mengakuisisi kapabilitas yang merupakan basis keunggulan
perusahaannya (Amit & Schoemaker, 1993).
Relational Capital
Kale et al. (2000) mendefinisikan relational capital sebagai tingkat saling percaya
(mutual trust), hormat (respect) dan bersahabat (friendship) antara anggota aliansi. Relational
capital yang kuat akan melahirkan interaksi yang kuat, yang memfasilitasi pertukaran dan
transfer informasi dan know-how antar mitra aliansi, dan akan mengekang perilaku oportunis dari
mitra aliansi yang secara sepihak menyerap atau mencuri informasi atau know-how yang dimiliki
mitra lainnya. Relational capital memberikan akses pengetahuan serta motivasi bagi mitra untuk
melakukan pembelajaran (Nahapiet, Gratton, & Rocha, 2005) serta saling bertukar informasi dan
know-how (Kale et al., 2000). Tiga aspek kunci relational capital yaitu mutual trust yang
merupakan tingkat kepercayaan (confidence) satu pihak terhadap integritas pihak lain, mutual
commitment yaitu tingkatan dimana kedua pihak bersedia menanamkan sumberdaya masing-
masing dalam aliansi dan information exchange yang merupakan komunikasi formal maupun
informal (Sarkar et al., 2001). Gelfand et al. (2006) menambahkan mutual attraction yang
terbentuk apabila mitra aliansi mengembangkan saling ketertarikan satu sama lainnya. Dengan
merangkum dimensi relational capital kedua penelitian terdahulu, maka elemen berikut ini yaitu
kepercayaan (trust), reciprocity (mutual commitment), komunikasi (information exchange), dan
ketertarikan (attraction) diasumsikan merupakan dimensi relational capital.
Kepercayaan
Agar alih pengetahuan melalui aliansi berjalan lancar, dibutuhkan adanya saling percaya
(Davenport & Prusak, 1998). Satu pihak akan berkenan membagi pengetahuannya kepada pihak
lain apabila memiliki kepercayaan (Davenport & Prusak, 1998) dan alih pengetahuan akan lebih
berhasil dengan adanya kepercayaan antar kedua pihak (Ford, 2002). Kepercayaan sedemikian
pentingnya untuk pertukaran hubungan (relational exchange) sehingga dianggap sebagai kriteria
sentral kemitraan stratejik (Mohr & Spekman, 1994). Menurut Ring & Van de Ven (1992), dua
definisi yang berbeda terhadap kepercayaan sering digunakan dalam literatur yaitu keyakinan
(confidence) atas ekspektasi satu pihak dan confidence pihak tersebut terhadap goodwill pihak
lain. Dengan adanya kepercayaan maka diharapkan mitra aliansi cenderung tidak melakukan
tindakan oportunis. Dengan kata lain kepercayaan antar mitra aliansi merupakan sebuah
ekspektasi bahwa mitra akan bertindak/berlaku secara jujur (Hamel, 1991; Inkpen & Currall,
2004).
Reciprocity
Reciprocity atau saling berkomitmen dalam sebuah pertukaran (exchange)
dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban moral (moral obligation) satu pihak untuk
memberikan kepuasan kepada pihak lain (Muthusamy & White, 2005). Sebuah komitmen
bersama untuk bekerjasama adalah kritikal (Doz & Hamel, 1998), dan komitmen tersebut harus
dimiliki oleh seluruh jajaran perusahaan. Komitmen perlu untuk membina hubungan jangka
panjang agar mitra membatasi kehendaknya mencari alternatif lain ataupun komitmen jangka
pendek untuk memperkuat hubungan jangka panjang. Adanya komitmen bersama yang kuat
dapat menghindari terjadinya konflik antar anggota aliansi, sehingga kestabilan dan kontinuitas
aliansi stratejik dapat terpelihara (Soetjipto, 2003). Keterlibatan pimpinan puncak dalam aliansi
menunjukkan bahwa perusahaan memandang penting hubungan antar mitra dan menggalakkan
tumbuhnya perilaku timbal balik dengan mitra (Yoshino & Rangan, 1995).
Komunikasi
Komunikasi dapat didefinisikan secara luas sebagai berbagi (sharing) informasi yang
berarti dan tepat waktu antar perusahaan baik secara formal maupun informal (Sarkar et al.,
2001; Yao & Murphy, 2005). Komunikasi memungkinkan satu pihak mempelajari
kespesifikasian pihak lain, mengembangkan sikap saling pengertian (Young-Ybarra & Wiersma,
1999) serta sangat penting untuk keberhasilan aliansi stratejik internasional (Wahyuni, 2003).
Terdapat tiga aspek penting komunikasi yang akan meningkatkan hubungan (relationship) antar
mitra yaitu aspek kualitas informasi (termasuk di dalamnya aspek keakurasian, ketepatan waktu,
keabsahan dan kredibilitas dari informasi yang dipertukarkan), aspek pertukaran informasi secara
efektif yang akan meningkatkan nilai informasi tersebut dan pada akhirnya meningkatkan
kepercayaan serta komitmen dan mengurangi potensi terjadinya konflik, dan peran serta
keterlibatan mitra dalam penyusunan perencanaan dan sasaran aliansi (Kauser & Shaw, 2004).
Ketertarikan
Ketertarikan (attraction) dapat didefinisikan sebagai tingkatan sejauh mana satu pihak
memandang pihak lain mempunyai daya tarik profesional dalam hal kemampuan untuk
memberikan keuntungan ekonomi yang tinggi, akses kedalam sumberdaya yang utama dan
kompatibilitas sosial (Harris, O’Malley & Patterson, 2003). Ketertarikan menjadi landasan untuk
interaksi ke depan (Jacobs, 1991). Ketertarikan merupakan persyaratan awal untuk terjadinya
interaksi dan selanjutnya menentukan apakah kedua pihak termotivasi untuk memelihara
hubungan tersebut (Harris et al., 2003). Menurut Blau (1964), terjalinnya mutual attraction
merupakan kekuatan yang merangsang para pihak untuk berinteraksi.
Kualitas Pengetahuan Alihan
Paradigma knowledge-based view menekankan pentingnya pengelolaan pengetahuan
sebagai upaya perusahaan untuk meningkatkan keunggulan daya saing, dengan alih pengetahuan
menjadi faktor yang kritikal baik untuk keberhasilan maupun keunggulan daya saing perusahaan.
Davenport & Prusak (1998) mengatakan bahwa alih pengetahuan baru bernilai apabila alih
pengetahuan membawa beberapa perubahan perilaku, atau pengembangan ide yang
menghasilkan perilaku baru dan digunakan. Dengan adanya perilaku yang membawa perubahan,
serta digunakan berarti alih pengetahuan harus menghasilkan suatu pengetahuan yang
berkualitas. Kualitas pengetahuan merupakan isu yang signifikan untuk pemecahan masalah
(problem solving) dan pembuatan keputusan (decision making). Menurut Dalkir (2005) kualitas
pengetahuan meliputi akurasi, pemahaman (understandability), aksesibilitas, keterkinian dan
kredibilitas. Dari definisi tersebut, untuk keperluan penelitian ini, maka kualitas pengetahuan
yang dialihkan mempunyai dua dimensi yaitu tingkat kecocokan penggunaan (fitness for use)
serta tingkat aplikasi (applicability).
Fitness for use
Berangkat dari Dalkir (2005) dan Juran (1992), fitness for use dalam penelitian ini
didefinisikan sebagai tingkat kecocokan pengetahuan yang meliputi tingkat akurasi,
understandability, aksesibilitas, kredibilitas dan pengkodifikasian. Pengetahuan dikatakan
memiliki keakurasian apabila pernyataan, kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan
berdasarkan informasi/pengetahuan yang relevan dan sesuai (Pawson et al., 2003).
Understandability artinya dapat dipahami secara jelas, bermakna dan tidak mendua. Aksesibilitas
artinya pengetahuan menjadi sumber daya perusahaan yang berharga hanya apabila dapat
diakses. Selain itu nilainya meningkat sejalan dengan tingkat aksesibilitasnya (De Pablos, 2004).
Kredibilitas artinya dapat dipercaya dan kodifikasi artinya dapat didokumentasikan.
Pengkodifikasian penting untuk menterjemahkan pengetahuan ke dalam bentuk eksplisit agar
memudahkan penyebaran (Dalkir, 2005) dan menjadikannya memori organisasi yang dapat
diakses (Daghfous, 2004).
Applicability
Pengetahuan yang dialihkan baru akan bernilai apabila dapat diaplikasikan sebagaimana
dikatakan oleh Alavi & Leidner (2001) bahwa aspek penting dalam pengelolaan pengetahuan
adalah mengalihkan pengetahuan ke lokasi yang membutuhkan dan dapat digunakan.
Keberhasilan alih pengetahuan bukan terbatas apabila pengetahuan tersebut telah terkirim tapi
tingkat aplikasinya. Pengetahuan bisa saja diakses dan diasimilasikan namun tidak diaplikasikan,
karena beberapa hal seperti tidak mempercayai sumber pengetahuan tersebut, kurangnya waktu
atau peluang menggunakan pengetahuan tersebut, atau menghindari risiko (Alavi & Leidner,
2001). Kogut & Zander (1995) mengatakan bahwa alih teknologi berhasil apabila penerima
pengetahuan menerapkan teknik baru produksi. Perusahaan belajar dari aliansi apabila
pengetahuan tersebut dapat diinternalisasikan dan diaplikasikan di luar kegiatan aliansi yang
berjalan (Harrison et al., 2001).
Metode Penelitian
Populasi dan Sampel
Target populasi penelitian ini adalah perusahaan lokal dalam sektor industri berbasis
pengetahuan (knowledge-intensive industry) yang melakukan aliansi stratejik dengan perusahaan
asing. Termasuk dalam sektor industri berbasis pengetahuan adalah industri farmasi, kimia,
elektronik, telekomunikasi, otomotif dan perminyakan. Sebagai responden dipilih para eksekutif
puncak dari perusahaan lokal. Sebagaimana Hambrick & Mason (1984) menyatakan bahwa
outcome organisasi baik berupa strategi maupun efektivitas dapat direfleksikan dari persepsi
eksekutif (manager) puncaknya. Demikian juga kualitas informasi dari eksekutif puncak cukup
kaya untuk membangun teori (Tsang, 2002), disamping juga sebagai pembuat keputusan utama
yang menentukan orientasi stratejik perusahaan (Lohrke, Kreiser & Weaver, 2006).
Metode pemilihan sampel dilakukan dengan menerapkan metode pemilihan sukarela atau
”convenient sampling” (Agung, 2004). Hal ini dilakukan mengingat tidak mudah untuk
mendapatkan data primer dari para eksekutif puncak yang pada umumnya sangat sibuk dan
mempunyai waktu yang terbatas. Selain itu juga dilakukan random sampling dengan memilih
perusahaan yang terdaftar dalam Standard Trade & Industry Directory of Indonesia 2004.
Variabel Penelitian dan Pengukuran
Dalam penelitian ini terdapat 12 (dua belas) karakteristik perusahaan yang merupakan
variabel laten berdasarkan himpunan variabel terukur (indikator) seperti disajikan dalam tabel 1.
Kedua belas variabel tersebut terdiri dari komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi,
kompatibilitas budaya, learning intent, receptivity, transparansi, kepercayaan, reciprocity,
komunikasi, ketertarikan, fitness for use dan applicability. Kedua belas variabel tersebut
membentuk empat variabel laten utama yaitu kecocokan mitra, pembelajaran, relational capital
dan kualitas pengetahuan alihan (tabel 1). Sesuai Agung (2004), berhubung penelitian ini
menggunakan variabel berukuran subjektif, dan untuk mempersingkat waktu maka sebagai alat
ukur untuk variabel yang telah ada pengukurannya, dimanfaatkan kuesioner yang telah
dikembangkan oleh para peneliti/ilmuwan lain dengan modifikasi seperlunya sesuai substansi.
Selanjutnya, variabel berukuran subjektif tersebut diukur oleh responden yang kebetulan
terpilih dalam bentuk persepsi terhadap himpunan pernyataan berskala Likert dengan alternatif
jawaban 1 sampai dengan 6, sehingga para responden dapat diklasifikasi secara tepat menjadi
dua kelompok (Agung, 2004). Namun tidak semua instrumen yang dikembangkan oleh peneliti
terdahulu tersedia untuk penelitian ini, sehingga instrumen baru untuk fitness for use dan
applicability dikembangkan sendiri berdasarkan literatur yang ada.
Untuk itu dihitung skor rerata berdasarkan masing-masing himpunan variabel terukur
yang dipakai sebagai nilai/ukuran dari variabel laten yang bersangkutan (contoh: skor
komplementaritas sumber daya dihitung berdasarkan skor rerata dari variabel terukur yang terdiri
dari lima pertanyaan). Berdasarkan skor masing-masing variabel, dipakai nilai batas (cut-off
point) 4 dari rentang 1 sampai 6, sehingga perusahan yang memberi nilai variabel laten lebih
kecil dari 4, dinyatakan sebagai memberikan jawaban ”tidak” terhadap variabel laten tersebut.
Tabel 1. Rangkuman Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel Laten Variabel Laten Indikator Referensi U t a m a
Komplementaritas sumber daya
Lima pertanyaan mencakup tingkat komplementaritas sumberdaya seperti tingkat perbedaan, sinergi dan saling menguntungkan.
Sarkar et al. (2001)
KecocokanMitra
Kompatibilitas operasi
Lima pertanyaan mencakup tingkat kompatibilitas operasi seperti tingkat kemampuan teknis, prosedur organisasi, gaya manajemen dan mekanisme operasi.
Sarkar et al. (2001)
Kompatibilitas budaya
Lima pertanyaan mencakup tingkat kompatibilitas budaya seperti nilai, norma, filosofi, tujuan dan visi perusahaan.
Sarkar et al. (2001)
Learning intent
Lima pertanyaan mencakup seberapa besar tekad, peluang pembelajaran dan sarana pengembangan ide baru.
Simonin (2004); Wu & Cavusgil (2006)
Pembelajaran
Receptivity
Lima pertanyaan mencakup tingkat karyawan yang terlatih, latar belakang akademis, program pendidikan dan komitmen.
Simonin (2004); Pak & Park (2004)
Transparansi
Lima pertanyaan mencakup tingkat keterbukaan dalam hal informasi teknis/pemasaran/strategis serta komunikasi di lini karyawan.
Norman (2002)
Kepercayaan
Lima pertanyaan mencakup tingkat kepercayaan terhadap pengambilan keputusan, perjanjian dan ketrampilan teknologi.
Norman (2002); Aulakh et al. (1996);
Mohr & Spekman (1994)
Relational capital
Reciprocity
Komunikasi
Lima pertanyaan mencakup komitmen terhadap keberhasilan, investasi, upaya serta kepedulian terhadap aliansi.
Lima pertanyaan mencakup frekwensi bertukar informasi, bertatap muka secara informal, dan ketepatan waktu.
Muthusamy & White (2005)
Young-Ybarra & Wiersema (1999); Paulraj & Chen
(2005)
Ketertarikan
Lima pertanyaan yang merefleksikan keakraban, hubungan profesionalisme, saling mengisi dan hormat.
Jacobs (1991); Soetjipto(2002)
Kualitas pengetahuan
Fitness for use
Lima pertanyaan mencakup tingkat akurasi, pemahaman, aksesibilitas, kredibilitas dan pendokumentasian.
Dalkir (2005); Norman(2002)
alihan Applicability Enam pertanyaan mencakup tingkat aplikasi sertapeningkatan kualitas produksi/SDM/ R&D, kinerja bisnis dan pengembangan ide baru.
Simonin (2004)
Sebelum dilakukan pengukuran ke lapangan dilakukan terlebih dahulu pre-test agar
diketahui sejauh mana kuesioner tersebut dapat diterima serta dimengerti dengan jelas, dan
dipastikan tidak ada permasalahan dalam hal terminologi atau interpretasi terhadap kuesioner
(Yli-Renko et al., 2001; Thietart et al., 2001). Cronbach’s α bervariasi dari nilai tertinggi 0.8802
untuk fitness for use hingga nilai terendah 0.7217 untuk komplementaritas sumber daya.
Proses Pengumpulan Data
Dari 441 perusahaan yang dikirim kuesioner, yang mengembalikan sebanyak 110
perusahaan dan yang valid sebanyak 101 responden terdiri dari sektor industri farmasi (15),
kimia (19), elektronik (24), telekomunikasi (13), otomotif (8) dan perminyakan (22) sehingga
memberikan 23% response rate. Sebagian besar responden (89.1%) merupakan bagian dari TMT
(Top Management Team) yaitu CEO, Vice President, Direktur atau General Manager. Mereka
telah terlibat secara langsung dengan aliansi yang diteliti untuk jangka waktu rata-rata sembilan
tahun, sehingga cukup mempunyai keahlian berkaitan dengan kerjasama tersebut. Ukuran
perusahaan menunjukkan bahwa sekitar 30.7% responden mempekerjakan kurang dari 100 orang
dan 30.7% responden mempekerjakan antara 100 hingga 500 orang. Sisanya sekitar 38.6%
mempunyai karyawan lebih dari 500 orang. Periode aliansi yang dilakukan kurang dari 5 tahun
sebanyak 20.5 % dan lebih dari 10 tahun sebanyak 48.9%. Mayoritas mitra asing aliansi berasal
dari Asia (khususnya Jepang, Korea, China, Singapura) (41.6%) diikuti oleh Amerika (29.7%),
Eropa (19.8%) dan Australia (2%).
Metode Analisis Data
Metode analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menyajikan rangkuman statistik
dalam bentuk tabulasi, berdasarkan kelompok-kelompok variabel yang terpilih (Agung, 2004).
Rangkuman hasil analisis tersebut menyajikan rerata (mean), standar deviasi (S.D), nilai
minimum, nilai maksimum, dan frekuensi untuk kedua belas variabel laten. Selain analisis
deskriptif dilakukan juga analisis varians untuk menguji hipotesis tentang perbedaan rerata kedua
belas variabel laten antar ketiga negara mitra aliansi (Amerika, Eropa dan Asia11) dan analisis
korelasi bivariat untuk mempelajari pengaruh linier dari masing-masing variabel laten terhadap
variabel laten lainnya.
Hasil Penelitian
Selanjutnya analisis deskriptif serta uji hipotesis antar negara mitra dilakukan untuk
mengkaji karakteristik perusahaan yang melakukan aliansi melalui dimensi kecocokan mitra,
pembelajaran, relational capital dan kualitas pengetahuan alihan.
Analisis Berdasarkan Dimensi Kecocokan Mitra
Tabel 2 menyajikan rangkuman statistik untuk ketiga dimensi kecocokan mitra
(komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi dan kompatibilitas budaya) dan
pengujian hipotesis tentang perbedaan parameter rerata antar ketiga negara mitra aliansi.
Tabel 2. Perbedaan Rerata Dimensi Kecocokan Mitra
Negara Asal Mitra Aliansi Frekuensi
Variabel Amerika Eropa Asia F Sig. Min Maks ≥ 4
(N= 30) (N=20) (N=42) (%)
Komplementaritas Mean*) 5.240 5.200 5.129 .386 .681 3.6 6.0 98
sumber daya S.D .6021 .4634 .5316
Kompatibilitas Mean*) 4.393 4.290 4.262 .277 .758 2.2 5.8 67
operasi S.D .7017 .8620 .7305
Sig. .466 .891
Kompatibilitas Mean*) 5.087 5.100 5.005 .206 .814 3.0 6.0 94
budaya S.D .6678 .6207 .6574
Sig. .601 .593
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel.
11 Negara Australia diabaikan karena ukuran sampel yang hanya dua, sementara ukuran sampel sebaiknya ≥
5 (Agung, 2006).
Skor Frequency PercentCumulative
PercentSkor Frequency Percent
CumulatiPercen
1 2 2.0 2.0 1 2 2.0 2.02 14 13.9 15.8 2 16 15.8 17.8
3 22 21.8 37.6 3 26 25.7 43.6
4 28 27.7 65.3 4 32 31.7 75.2
5 29 28.7 94.1 5 23 22.8 98.0
6 6 5.9 100.0 6 2 2.0 100.0
Total 101 100.0 Total 101 100.0
Untuk ketiga dimensi kecocokan mitra, walaupun terlihat rerata (mean) skor yang
berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.681; 0.758; 0.814
semuanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan.
Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.392;
0.466; 0.601) dan Eropa (p = 0.629; 0.891; 0.593) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan
dengan rerata skor Asia. Namun demikian statistik deskriptif kompatibilitas operasi
memperlihatkan frekuensi yang hanya 67% (skor ≥ 4) (tabel 3), dengan dua butir pernyataan
yang mempunyai skor rata-rata kurang dari empat yaitu technical skill dengan rata-rata 3.85
(37.6% dengan skor <4) dan management style dengan rata-rata 3.63 (43.6% dengan skor <4)
sebagaimana disajikan pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Kompatibilitas Operasi
a. Technical Skill1 b. Management Style2
ve t
1 Mean = 3.85
2 Mean = 3.63
Analisis Berdasarkan Dimensi Pembelajaran
Tabel 4 menyajikan rangkuman statistik untuk ketiga dimensi pembelajaran (learning
intent, receptivity, dan transparansi) dan pengujian hipotesis antar ketiga negara mitra aliansi.
Tabel 4. Perbedaan Rerata Dimensi Pembelajaran
Negara Asal Mitra Aliansi Frekuensi
Variabel Amerika Eropa Asia F Sig. Min Maks. ≥ 4
( N = 30 ) ( N = 20 ) ( N = 42 ) ( % )
Learning Mean*) 5.280 5.170 5.157 .498 .609 3.4 6.0 96
Intent S.D .5108 .5322 .5562
Receptivity Mean*) 5.200 4.940 4.814 1.291 .280 3.0 6.0 96
S.D .4909 .6621 .5196
Sig. .118 .398
Transparansi Mean*) 4.647 4.540 4.438 .650 .524 2.4 6.0 82
S.D .7385 .7570 .7905
Sig. .258 .626
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel.
Untuk ketiga dimensi kecocokan mitra, walaupun terlihat rerata (mean) skor yang
berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.609; 0.280; 0.524
semuanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan.
Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.341;
0.118; 0.258) dan Eropa (p = 0.930; 0.398; 0.626) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan
dengan rerata skor Asia.
Analisis Berdasarkan Dimensi Relational Capital
Tabel 5 menyajikan rangkuman statistik untuk keempat dimensi relational capital
(kepercayaan, reciprocity, komunikasi dan ketertarikan) dan pengujian hipotesis antar ketiga
negara mitra aliansi.
Tabel 5. Perbedaan Rerata Dimensi Relational Capital
Negara Asal Mitra Aliansi FrekuensiVariabel Amerika Eropa Asia F Sig Min Maks. ≥ 4
( N = 30 ) ( N = 20 ) ( N = 42 ) ( % ) Kepercayaan Mean*) 5.187 5.040 4.829 2.548 .084 3.2 6.0 96
S.D .6301 .6636 .7048
Reciprocity Mean*) 5.153 4.850 5.143 1.912 .154 3.2 6.0 94
S.D .5818 .7536 .5324
Sig. .942 .077
Komunikasi Mean*) 4.767 4.610 4.771 .526 .593 2.6 6.0 94
S.D .6172 .5999 .6209
Sig. .974 .337
Ketertarikan Mean*) 5.100 4.930 5.071 .557 .575 3.4 6.0 96
S.D .6074 .6530 .5352
Sig. .839 .377
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel.
Dari rangkuman statistik tersebut, untuk kepercayaan, Amerika mempunyai rerata skor
tertinggi dan Asia terendah. Berdasarkan statistik uji F (p = 0.084) perbedaan rerata skor antara
ketiga negara mitra aliansi tidak signifikan. Tetapi, berdasarkan statistik uji-t, rerata skor
Amerika (p= 0.028) mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia sedangkan
rerata skor Eropa (p = 0.250) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor
Asia.
Selanjutnya, untuk ketiga dimensi lainnya (reciprocity, komunikasi, ketertarikan),
walaupun terlihat rerata (mean) skor yang berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan
statistik uji F (p = 0.154; 0.575; 0.593 semuanya > 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga
negara asal mitra aliansi tidak signifikan. Demikian juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan
parameter rerata skor Amerika (p = 0.942; 0.839; 0.974) dan Eropa (p = 0.077; 0.377; 0.337)
tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia.
Analisis Berdasarkan Dimensi Kualitas Pengetahuan Alihan
Tabel 6 menyajikan rangkuman statistik untuk kedua dimensi kualitas pengetahuan alihan
(fitness for use dan applicability) dan pengujian hipotesis antar ketiga negara mitra aliansi.
Tabel 6. Perbedaan Rerata Dimensi Kualitas Pengetahuan Alihan
Negara Asal Mitra Aliansi
Variabel Amerika Eropa Asia Frekuensi
(N= 30) (N=20) (N=42) F Sig. Min Max ≥ 4
(%)
Fitness for Mean*) 4.567 4.320 4.352 1.170 .315 2.0 6.0 80
Use S.D .6305 .6437 .6982
Applicability Mean*) 4.410 4.295 4.219 .585 .559 2.0 5.5 75
S.D .6493 .9350 .6940
Sig. .283 .706
*) Nilai mean diperoleh dengan merata-ratakan skor total kuesioner untuk masing-masing variabel
Untuk kedua dimensi kualitas pengetahuan alihan, walaupun terdapat rerata skor yang
berbeda antar ketiga negara mitra, namun berdasarkan statistik uji F (p = 0.315; 0.559 keduanya
> 0.05) perbedaan rerata skor antara ketiga negara asal mitra aliansi tidak signifikan. Demikian
juga berdasarkan statistik uji-t disimpulkan parameter rerata skor Amerika (p = 0.181; 0.283) dan
Eropa (p = 0.858; 0.706) tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan rerata skor Asia.
Selanjutnya, statistik deskriptif applicability menunjukkan frekuensi yang hanya 75%
(skor ≥ 4) (tabel 6), dengan satu butir pernyataan yang menyangkut R&D mempunyai skor
rata-rata 3.96 (32.7% dengan skor <4) (tabel 7a). Butir pernyataan lain yang perlu mendapat
perhatian adalah kemampuan untuk melakukan ide/produk baru (79.1% > 3) (tabel 7b).
Tabel 7. Kemampuan Menerapkan Pengetahuan Alihan
pada R&D dan Ide/Produk Baru
a. R&D1 b. Ide/Produk Baru2
Skor Frequency PercentCumulative
PercentSkor Frequency Percent
Cumulative
Percent
1 1 1.0 1.0 1 3 3.0 3.0
2 10 9.9 10.9 2 6 5.9 8.9
3 22 21.8 32.7 3 12 11.9 20.8
4 30 29.7 62.4 4 36 35.6 56.4
5 35 34.7 97.0 5 40 39.6 96.0
6 3 3.0 100.0 6 4 4.0 100.0
Total 101 100.0 Total 101 100.0
1Mean = 3.96
2 Mean = 4.15
Analisis Korelasi Bivariat
Korelasi Pearson.
Sebelum melakukan analisis deskriptif, pertama-tama diperiksa korelasi Pearson
(bivariat) antar seluruh dimensi dari variabel karakteristik perusahaan yang terdiri dari
komplementaritas sumber daya, kompatibilitas operasi, kompatibilias budaya, kepercayaan,
reciprocity, komunikasi, ketertarikan, learning intent, receptivity, transparansi, fitness for use
dan applicability sebagaimana disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Matriks Korelasi Pearsona
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1. Komplemen.
Sumber daya
2. Kompatibilitas
Operasi.250(*)
.012
3. Kompatibilitas
Budaya.434(**) .556(**)
.000 .000
4. Kepercayaan .358(**) .317(**) .633(**)
.000 .001 .000
5. Reciprocity .442(**) .337(**) .592(**) .548(**)
.000 .001 .000 .000
6. Komunikasi .391(**) .342(**) .624(**) .519(**) .621(**)
.000 .000 .000 .000 .000
7. Ketertarikan .439(**) .430(**) .701(**) .662(**) .664(**) .686(**)
.000 .000 .000 .000 .000 .000
8. Learning
Intent.289(**) .312(**) .337(**) .440(**) .381(**) .295(**) .502(**)
.003 .001 .001 .000 .000 .003 .000
9. Receptivity .363(**) .502(**) .448(**) .384(**) .424(**) .343(**) .345(**) .301(**)
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .002
10. Transparansi .371(**) .447(**) .563(**) .663(**) .430(**) .540(**) .628(**) .490(**) .444(**)
.000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000
11. Fit for Use .343(**) .399(**) .329(**) .452(**) .288(**) .347(**) .487(**) .554(**) .379(**) .636(**)
.000 .000 .001 .000 .003 .000 .000 .000 .000 .000
12. Applicability .191 .312(**) .246(*) .344(**) .107 .189 .298(**) .401(**) .336(**) .522(**) .628(**)
.056 .001 .013 .000 .287 .058 .003 .000 .001 .000 .000
a n = 101, tingkat signifikansi tertera di bawah korelasi
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan hasil analisis dalam Tabel 8 dapat disimpulkan bahwa hampir setiap pasangan
variabel mempunyai koefisien korelasi positif yang signifikan pada α = 0.01 dan 0.05.
Diskusi
Memiliki sumber daya yang saling digabungkan ataupun saling dipertukarkan serta
bersifat komplementaritas dipandang penting oleh perusahaan Indonesia sebagai negara
berkembang yang melakukan aliansi. Artinya perusahaan melakukan link alliance dengan tujuan
utama mencapai sinergi antar mitra dalam penciptaan nilai dan bukan untuk mencapai skala
ekonomi.12 Hal ini mendukung penelitian Shenkar & Li (1999) yang menyimpulkan bahwa
perusahaan lokal dalam beraliansi, cenderung memilih mitra asing dengan pengetahuan yang
bersifat komplementer. Dengan penggabungan sumber daya komplementer tersebut maka
perusahaan lokal dapat memperoleh keunggulan daya saing (Harrison et al., 2001).
Namun demikian penelitian ini mengindikasikan kalau kompatibilitas operasi masih
rendah, terlihat adanya kesenjangan kemampuan teknis (technical skill) yang cukup besar dan
gaya manajemen perusahaan yang berbeda. Walau telah banyak mengalami perubahan, gaya
manajemen lokal bersifat konvensional seperti pengutamaan hirarkhi, otoritas, pengutamaan
keluarga/teman, dan lebih banyak menggunakan intuisi (Widjaja & Yip, 2000). Dalam hal
kompatibilitas budaya perusahaan, walaupun mitra aliansi mempunyai tujuan dan sasaran
individu yang berbeda, terhadap aliansi kedua belah pihak mempunyai sasaran dan tujuan yang
kompatibel sehingga konflik kepentingan dapat terhindarkan. Hal ini menerangkan mengapa
sebagian besar aliansi telah berlangsung relatif lama (lebih dari 5 tahun). Apabila sasaran dan
tujuan tidak kompatibel, maka konflik akan muncul disebabkan oleh perbenturan kepentingan
yang menimbulkan oportunistik dan kurangnya kepercayaan (Sivadas & Dwyer, 2000).
Berkaitan dengan pembelajaran, penelitian ini mengindikasikan kalau perusahaan
Indonesia umumnya mempunyai motivasi dan hasrat (learning intent) yang kuat untuk
mempelajari pengetahuan mitra asing. Sejalan dengan praktik bisnis negara Barat yang lebih
menekankan pengetahuan eksplisit melalui kecakapan analisis dan bentuk konkrit presentasi
visual dan lisan seperti dokumen, manual, dan database komputer (Nonaka & Takeuchi, 1995),
12 Dussage, Garrette & Mitchell (2000) membagi bentuk aliansi menjadi dua macam, pertama yang disebutnya dengan link alliance dan yang kedua adalah scale alliance. Pada link alliance, perusahaan yang bermitra saling mengkombinasikan sumber daya dan keahlian yang berbeda dan bersifat komplementer. Sedangkan pada scale alliance, perusahaan yang bermitra menyumbangkan sumber daya yang sama. Dengan demikian, link alliance memberikan potensi serta peluang lebih besar terhadap pembelajaran dibandingkan scale alliance.
dijumpai hasrat belajar dengan mitra Amerika lebih tinggi dibandingkan dengan mitra Asia
(Tabel 5). Prosedur, manual dan percakapan yang umumnya berbahasa Inggris dengan mitra
Amerika, nampaknya lebih memudahkan bagi perusahaan lokal, dibandingkan umpamanya
dengan manual ataupun signal lain yang berbahasa Jepang, Korea atau China.
Berikutnya faktor receptivity penting, sebagaimana dinyatakan oleh Leonard-Barton
(1995) dan Gooderham & Nordhaug (2003) kapasitas untuk menerima akan menentukan tingkat
kapasitas perusahaan dalam mengakuisisi pengetahuan.13 Kemampuan menyerap pengetahuan
yang dialihkan terindikasi cukup tinggi, terlihat mitra lokal memiliki banyak karyawan yang
terlatih, berlatar belakang akademis, serta aktif menyelenggarakan berbagai program pendidikan
dan pelatihan dan menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Selanjutnya dalam penelitian
ini terlihat mitra asing cukup transparan sehingga meningkatkan peluang pembelajaran mitra
lokal. Mitra Amerika terindikasi lebih transparan dari mitra asing lainnya sebagaimana Park &
Ungson (2001) menyatakan Amerika diketahui bersifat lebih transparan dibandingkan Jepang
atau Korea. Uniknya separuh dari mitra lokal yang menyatakan mitra asing tidak transparan,
telah beraliansi lebih dari 5 tahun dan dengan kinerja keuangan perusahaan yang rendah. Sesuai
teori resource dependency, maka berlangsungnya aliansi hingga sedemikian lamanya
kemungkinan disebabkan adanya saling ketergantungan terhadap sumber daya masing-masing.
Berkaitan dengan tingkat kepercayaan (trust), mitra lokal yakin mitra asing akan
mematuhi kerjasama yang telah disepakati (artinya tidak akan bertindak oportunistik) serta yakin
bahwa kebijakan/tindakan mitra asing serta teknologi yang dialihkan akan membawa manfaat
bagi perusahaan. Berdasarkan penelitian terdahulu di industri perminyakan, juga didapati
perusahaan Indonesia mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap mitra asing.
(Alamsyah et al., 2006). Namun kepercayaan terhadap mitra Asia lebih rendah dibandingkan
dengan mitra Amerika (lihat Tabel 6). Pengetahuan dari negara Amerika lebih bersifat eksplisit,
dengan manual, standard operating procedure, visi serta objektif yang jelas (Takeuchi &
Nonaka, 2004; Burrows et al., 2005). Hal tersebut berakibat perilaku oportunistik dapat
13 Leonard-Barton (1995) dan Gooderham & Nordhaug (2003) membagi empat kapasitas (in-transfer capacity)perusahaan dalam mengakuisisi pengetahuan yang terdiri dari level 1 sampai dengan level 4.
dihindarkan karena sesuatunya jelas serta mudah dipahami bahkan tanpa kontrak sekalipun, yang
berdampak tingginya tingkat kepercayaan kepada mitra dari Amerika.
Sebaliknya pengetahuan dari Asia lebih bersifat tacit (Takeuchi & Nonaka, 2004),
sehingga peluang untuk bertindak oportunistik cukup besar. Untuk mengatasinya perlu ada
kontrak yang jelas. Namun dengan keterbatasan manusia (bounded rationality), tidak mungkin
membuat kontrak yang sangat lengkap (Williamson, 2001) sehingga perlunya monitoring atau
kontrol yang lebih ketat. Hal ini yang menyebabkan tingkat kepercayaan perusahaan lokal
terhadap negara Asia lebih rendah dibandingkan Amerika. Karena apabila perusahaan melihat
adanya perilaku oportunis dari mitra, persepsi tersebut akan menurunkan tingkat kepercayaan
(Young-Ybarra & Wiersema, 1999).
Hal di atas juga dapat diterangkan melalui pembagian masyarakat dunia menjadi
individualist dan collectivist (Hofstede, 1991). Termasuk dalam masyarakat individualist
umumnya Amerika dan Eropa. Sedangkan Asia yang dalam penelitian ini diwakili oleh Jepang,
Korea dan China merupakan masyarakat collectivist (Hofstede, 1991), dimana masyarakat
kolektif mempunyai perilaku yang kurang percaya terhadap kelompok di luar anggota kelompok
mereka sendiri (Zaheer & Zaheer, 2006). Hal ini membuat hubungan saling percaya dengan
mitra luar menjadi lebih sulit. Sebaliknya Amerika yang merupakan masyarakat individu lebih
mudah membina saling percaya dengan mitra luarnya (Huff & Kelley, 2003). Faktor lain yang
cukup beralasan adalah pendapat umum di masyarakat kalau orang kulit putih (Amerika)
dianggap jauh lebih mampu dari orang kulit berwarna (Asia) yang menyebabkan tingkat
kepercayaan yang tinggi terhadap orang Barat. Temuan ini mendukung penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa tingkat kepercayaan terhadap Jepang (Holtbrugge, 2004), Asia (Zaheer &
Zaheer, 2006) serta China dan Korea rendah (Anonymous, 2006).
Reciprocity atau saling berkomitmen menjadi persyaratan dasar untuk keberhasilan
aliansi (Aulakh et al., 1996), sebagaimana juga perusahaan Indonesia memandang mitra asing
(dan mitra lokal itu sendiri) memiliki komitmen yang tinggi terhadap kelangsungan serta
keberhasilan aliansi. Komitmen yang tinggi ini akan menghindari terjadinya konflik dan
kontinuitas aliansi terjaga (Soetjipto, 2003), yang juga merupakan salah satu alasan dapat
berlangsung lamanya aliansi perusahaan Indonesia dengan mitra asingnya. Komunikasi intensif
dalam industri berbasis pengetahuan sangat diperlukan mengingat pengetahuan yang umumnya
cukup kompleks, spesifik dan tacit, melalui kontak personal, tatap muka dan informal (Yao &
Murphy, 2005). Dalam hal ini, umumnya perusahaan Indonesia menjalin komunikasi yang baik
dengan mitra asingnya. Meskipun menurut teori social exchange tingkat dan kualitas komunikasi
antar mitra aliansi berhubungan positif dengan tingkat kepercayaan (Young-Ybarra & Wiersma,
1999), namun penelitian ini mengindikasikan tingkat komunikasi justru lebih tinggi dengan mitra
Asia dibandingkan dengan mitra negara Amerika. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sifat
Asia (contoh Jepang) yang lebih suka berdiskusi (Park & Ungson, 2001) dan lebih sering
melakukan interaksi (Nonaka & Takeuchi, 1995).
Ketertarikan merupakan kekuatan yang akan merangsang orang untuk berinteraksi (Blau,
1964) dan menentukan apakah kedua pihak termotivasi untuk memelihara hubungan (Harris,
O’Malley & Patterson, 2003). Adanya ketertarikan tersebut membuat perusahaan Indonesia
menjalin hubungan yang akrab dan bersifat profesional serta hormat terhadap mitra asingnya,
sekaligus mendukung asumsi penelitian ini bahwa hubungan perusahaan Indonesia dengan mitra
asingnya dalam hal pengalihan teknologi adalah hubungan lebih bersifat teacher-student.
Berkaitan dengan kualitas pengetahuan alihan, terindikasi tidak semua pengetahuan yang
dialihkan tersebut cocok (fit for use). Hal ini diduga karena technological know-how yang
dialihkan bersifat tacit, sementara kemampuan sebagian mitra lokal masih terbatas pada
pengetahuan eksplisit. Jadi pengetahuan tacit tersebut belum bisa diserap ataupun dimanfaatkan
seluruhnya, sebagaimana dinyatakan oleh Akyuz (2003) bahwa umumnya alih pengetahuan ke
negara berkembang terbatas pada tahap perakitan saja. Meskipun pengetahuan teknologi
umumnya sarat dengan kompleksitas, spesifisitas dan tacit, namun kemampuan negara
berkembang dalam alih teknologi sebagaimana studi Gooderham & Nordhaug (2003) dan
Leonard-Barton (1995) pada umumnya masih sebatas eksplisit saja (level 1 atau level 2).
Dalam hal penerapan pengetahuan yang dialihkan (applicability), teridentifikasi banyak
perusahaan Indonesia yang belum mampu meningkatkan kualitas R&D (lihat Tabel 8a). Hal ini
terjadi karena adanya kesenjangan yang cukup besar dalam kemampuan teknis sebagaimana
temuan dalam penelitian ini, dan pada lingkup yang lebih luas, kemampuan negara berkembang
termasuk Indonesia masih rendah untuk menerima pengetahuan bersifat tacit, dan belum mampu
untuk mencapai tingkat 3 atau 4 sebagaimana tingkat kemampuan alih pengetahuan dari
Leonard-Barton (1995). Namun demikian, terdapat juga mitra lokal (Tabel 8b) yang telah
mampu mengembangkan ide/produk baru, yang mencerminkan kemampuan melakukan inovasi.
Jadi, walaupun pada umumnya negara berkembang baru terbatas pada level 1 dalam kemampuan
alih pengetahuannya (Gooderham & Nordhaug, 2003), namun berdasarkan temuan penelitian ini,
terdapat perusahaan-perusahaan yang telah mampu mencapai level 2 menuju ke level 3.14
Kesimpulan
Sebagaimana yang lazim dilakukan oleh kerjasama aliansi antar negara berkembang
dengan negara maju (Shenkar & Li, 1999), perusahaan Indonesia lebih memilih melakukan
aliansi yang bersifat link alliances dengan tujuan mencapai sinergi. Namun terdapat kesenjangan
kemampuan teknis yang cukup besar antara karyawan lokal dengan mitra asing. Demikian juga
terdapat gaya manajemen yang berbeda. Berdasarkan kelompok perusahaan yang diobservasi,
perusahaan Indonesia memandang mitra asing dari Amerika sebagai mitra yang paling dapat
dipercaya, sebaliknya tingkat kepercayaan terhadap mitra dari negara Asia lebih rendah.
Walaupun merupakan negara berkembang yang kemampuan alih pengetahuan tacit masih
terbatas, sebagaimana terlihat R&D yang masih lemah, namun sebagian perusahaan Indonesia
telah mampu meningkatkan kapabilitasnya dalam melakukan inovasi.
Implikasi
Penelitian ini memberikan implikasi teoritis pentingnya mengkaji berbagai karakteristik
perusahaan yang melakukan aliansi stratejik yaitu kecocokan mitra (struktur), pembelajaran dan
relational capital (proses) serta kualitas pengetahuan alihan (outcome) secara bersama-sama.
Temuan ini memperkuat penelitian Taylor (2005) yang mencoba mengkaji mana yang lebih
penting struktur atau proses aliansi dalam pencapaian kinerja perusahaan.
Kesenjangan technical skill antara mitra lokal dengan mitra asing akan mempengaruhi
tingkat pembelajaran, khususnya kemampuan untuk menyerap pengetahuan yang dialihkan, dan
14 Hal ini tentunya didukung oleh upaya pemerintah Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dengan meningkatkan investasi barang modal dan teknologi tinggi serta lebih terbuka terhadap masuknya investasi asing dan pekerja asing untuk bekerja pada perusahaan lokal (Widjaja & Yip, 2000).
berdampak terhadap kualitas pengetahuan alihan. Untuk mengatasi hal tersebut, selain merekrut
karyawan muda yang berpendidikan akademis, perlu pula pengrekruitan senior staff yang
berkualitas. Karyawan yang potensial haruslah diberikan berbagai pendidikan tambahan atau
pelatihan. Di samping itu diupayakan mengurangi turnover karyawan khususnya yang telah
terlatih. Selain itu penting sejak awal sebelum melakukan aliansi untuk memeriksa secara
seksama kecocokan mitra (melakukan due dilligence) yaitu komplementaritas sumber daya,
kompatibilitas operasi, dan kompatibilitas budaya. Kecocokan mitra ini sangat berguna untuk
mengatasi ataupun mengurangi berbagai permasalahan seperti perselisihan/kesalahpahaman yang
mungkin timbul dalam perjalanan aliansi seperti sasaran (goal) yang bertentangan.
Penelitian ini menunjukkan pentingnya memelihara kepercayaan dengan mitra aliansi
sebagai faktor keberhasilan. Kepercayaan akan berfungsi untuk mengurangi transaction cost
antara lain dengan mengurangi kontrol serta penulisan kontrak yang sangat rinci, dan akan dapat
mencegah tindakan untuk kepentingan diri sendiri (opportunis). Dengan adanya saling percaya,
iklim pembelajaran akan menjadi kondusif dan efektif. Melalui kepercayaan, mitra asing akan
bersedia untuk mengalihkan dan berbagi pengetahuan tanpa ada kekhawatiran terhadap tindakan
opportunis. Berhubung kepercayaan dibangun melalui interaksi dengan mitra secara terus
menerus, maka penting di awal aliansi untuk memilih mitra yang mempunyai reputasi baik.
Dengan adanya kepercayaan, maka transparansi mitra asing akan meningkat sehingga
meningkatkan peluang pembelajaran mitra lokal. Tanpa adanya transparansi dari mitra asing
(ataupun tingkat transparansi rendah), sulit bagi mitra lokal untuk mendapatkan akses
kepengetahuan. Perusahaan yang mempunyai kepercayaan terhadap mitranya akan lebih
transparan. Hal ini didasari tidak adanya kekhawatiran bahwa mitra akan bertindak oportunis,
sehingga mitra asing akan lebih berkenan untuk membagi pengetahuan terutama yang bersifat
tacit mengingat pengetahuan tacit hanya dapat dialihkan melalui interaksi serta hubungan yang
harmonis. Disamping itu juga terdapat kondisi reciprocal, kalau mitra asing lebih transparan
maka mitra lokal juga akan semakin lebih percaya kepada mitra asingnya yang telah bersedia
memberikan akses sedemikian luas ke dalam pengetahuannya. Dengan demikian, sebagaimana
Cohen & Prusak (2001) menyebutnya kepercayaan membangun kepercayaan.
Keterbatasan dan Penelitian Mendatang
Keterbatasan penelitian ini adalah bersifat nodal dengan hanya mengkaji sisi mitra lokal
(satu arah) dan tidak mengkaji secara dyadic (dua arah) untuk mendapatkan pandangan mitra
asing terhadap aliansi. Selain itu, kuesioner yang dalam penelitian ini hanya menggunakan
persepsi satu responden untuk setiap perusahaan yang terdiri dari CEO atau TMT (top
management team), bisa menimbulkan resiko bias terhadap persepsi tersebut. Oleh karenanya,
untuk penelitian mendatang penelitian bersifat dua arah (dyadic) perlu dilakukan agar dapat
dikaji persepsi kedua belah pihak yang melakukan aliansi, serta menggunakan responden pada
tingkat yang lebih rendah dan yang terlibat langsung dengan kegiatan alih pengetahuan serta
aliansi, dengan jumlah lebih dari satu untuk setiap perusahaan agar didapatkan hasil yang lebih
relevan dan mengurangi resiko bias.
Daftar Pustaka
Agung, I. G. N. (2004), Manajemen penulisan skripsi, tesis dan disertasi: Kiat-kiat untuk mempersingkat waktu penulisan karya ilmiah yang bermutu, Bahan kuliah S3 Universitas Indonesia.
Agung, I. G. N. (2006), Statistika penerapan model rerata-sel multivariat dan model ekonometri dengan SPSS. Yayasan SAD Satria Bhakti, Jakarta.
Akyuz, Y. (2003), Developing Countries and World Trade, Unctad, Switzerland.
Alamsyah, C., Supratikno, H., & Wijanto, S. H. (2006), Peranan ambiguity dalam proses alih pengetahuan melalui aliansi stratejik: Studi empiris di Indonesia, Journal Ekonomi & Bisnis Indonesia, 21(2), 156-174.
Alavi, M., & Leidner, D. E. (2001), Review: Knowledge management and knowledge management systems: Conceptual foundations and research issues, MIS Quarterly, 25(1), 107-136.
Amit, R., & Schoemaker, P. J. H. (1993), Strategic assets and organizational rent, StrategicManagement Journal, 14, 33-46.
Anonymous. (2006), Trust across border, PRweek, 9(14).
Aulakh, P. S., Kotabe, M., & Sahay, A. (1996), Trust and performance in cross-border marketing partnerships: A behavioral approach, Journal of International Business Studies, 27(5),1005-1032.
Becker, M. C., & Knudsen, M. P. (2006), Intra and inter-organizational knowledge transfer processes: identifying the missing links, DRUID Working Paper No. 06-32.
Blau, P. M. (1964), Exchange and power in social life, New York: John Wiley & Sons, Inc.
Burrows, G. R., Drummond, D. L., & Martinsons, M. G. (2005), Knowledge management inChina, Communication of the ACM, 48(4), 73-76.
Carlile, P. R. (2004), Transferring, translating, and transforming: An integrative framework for managing knowledge across boundaries, Organization Science, 15(5), 555-568.
Chen, L - Y. (2006), Effect of knowledge sharing to organizational marketing effectiveness in large accounting firms that are strategically aligned, Journal of American Academy of Business, Cambridge, 9(1), 176-182.
Chiva, R., & Alegre, J. (2005), Organizational learning and organizational knowledge. Towards the integration of two approaches, Management Learning, 36(1), 49-68.
Cohen, W. M., & Levinthal, D. A. (1990), Absorptive capacity: A new perspective on learning and innovation, Administrative Science Quarterly, 35(1), 128-152.
Cohen, D., & Prusak, L. (2001), In good company: How social capital makes organizations work, Boston: Harvard Business School Press.
Crossan, M. M., & Inkpen, A. C. (1995), The subtle art of learning through alliances, BusinessQuarterly Winter, 69-78.
Daghfous, A. (2004), Knowledge management as an organizational innovation: An absorptive capacity perspective and a case study, International Journal Innovation and Learning, 1(4), 409-422.
Dalkir, K. (2005), Knowledge management in theory and practice, Burlington, USA: ElsevierButterworth-Heinemann.
Davenport, T. H., & Prusak, L. (1998), Working knowledge, How organizations manage what they know, Boston: Harvard Business School Press.
De Pablos, P. O. (2004), Knowledge flow transfers in multinational corporations: knowledge properties and implications for management, Journal of Knowledge Management, 8(6), 105-116.
Doz, Y. L., & Hamel, G. (1998), Alliance advantage: The art of creating value through partnering, Harvard Business School Press.
Dussauge, P., Garrette, B., & Mitchell, W. (2000), Learning from competing partners: Outcomes and durations of scale and link alliances in Europe, North America and Asia, Strategic Management Journal, 21(2), 99-126.
Ford, D. P. (2002), Trust and Knowledge Management.H tt p :// bus i n e ss.qu ee nsu , ca / kb e / c onso r ti u m 2002 / T r us t AndK M .pd f .
Gelfand, M. J., Major, V. S., Raver, J. L., Nishii, L. H., & O’Brien, K. (2006), Negotiating relationally: The dynamics of the relational self in negotiations, Academy of Management Review, 31(2), 427-451.
Gooderham, P. N., & Nordhaug, O. (2003), International management: Cross-BoundaryChallenges, USA: Blackwell Publishing.
Hambrick, D. C., & Mason, P. A. (1984), Upper echelons: The organization as a reflection of its top managers, Academy of Management Review, 9(2), 193-206.
Hamel, G. (1991), Competition for competence and inter partner learning within international strategic alliances, Strategic Management Journal, 12, 83-103.
Harris, L. C., O’Malley, L., & Patterson, M. (2003), Professional interaction: exploring the concept of attraction, Marketing Theory, 3(1), 9-36.
Harrison, J. S., Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., & Ireland, R. D. (2001), Resource complementarity in business combinations: extending the logic to organizational alliances, Journal of Management, 27, 679-690.
Hitt, M. A., Hoskisson, R. E., & Ireland, R. D. (2007), Management of strategy, concepts and cases, China: Thomson South-Western.
Hitt, M. A., Ireland, R. D., & Harrison, J. S. (2001), Mergers and acquitions: a value creating or value destroying strategy? In Hitt, M.A., Freeman, R. E., & Harrison, J. S (Ed.), Blackwell Handbook of Strategic Management, Oxford, U.K.: Blackwell Pubishers, 384-408.
Hitt, M. A., Lee, H., & Yucel, E. (2002), The importance of social capital to the management of multinational enterprises: relational networks among Asian and Western firms, Asia Pacific Journal of Management, 19, 353-372.
Hofstede, G. (1991), Cultures and organizations: software of the mind, London, McGraw-Hill.
Holtbrugge, D. (2004), Management of international strategic business cooperation: Situational conditions, performance criteria and success factor, Thunderbird International Business Review.
Huff, L., & Kelley, L. (2003), Levels of organizational trust in individualist versus collectivist societies: A seven-nation study, Organization Science, 14(1), 81-90.
Inkpen, A. C. (2000a), A note on the dynamic of learning alliances: competition, cooperation and relative scope, Strategic Management Journal, 21(7), 775-779.
Inkpen, A. C. (2000b), Learning through Joint Venture: A framework of knowledge acquisition,Journal of Management Studies, 37(7), 1019-1043.
Inkpen, A. C., & Currall, S. C. (2004), The coevolution of trust, control, and learning in joint ventures, Organization Science, 15(5), 586-599.
Inkpen, A. C., & Dinur, A. (1998a), Knowledge management processes and international joint ventures, Organization Science, 9(4), 454-468.
Jacobs, R. S. (1991), Understanding marketing relationships: The role of self - disclosure reciprocity in buyer - seller interactions, Doctoral Dissertation, Arizona State University, 1991. Juran, J. M. (1992), Juran on quality by design, New York: The Free Press.
Kale, P., Dyer, J. H., & Singh, H. (2002), Alliance capability, stock market response, and long- term alliance success: The role of the alliance function, Strategic Management Journal, 23, 747-767.
Kale, P., Singh, H., & Perlmutter, H. (2000), Learning and protection of proprietary assets in strategic alliances: Building relational capital, Strategic Management Journal, 21, 217-237.
Kauser, S., & Shaw, V. (2004), The influence of behavioral and organizational characteristics on the strategic alliances, International Marketing Review, 21(1), 17-52.
Khanna, T., Gulati, R., & Nohria, N. (1998), The dynamics of learning alliances: Competition, cooperation, and relative scope, Strategic Management Journal, 19(3), 193-210.
Klint, M. B. & Sjoberg, U. (2003), Towards a comprehensive SCP-model for analyzing strategic neworks/alliances, International Journal of Physical Distribution & Logistics Management,33(5), 408-426.
Kogut, B., & Zander, U. (1995), Knowledge, market failure and the multinational enterprise: Areply , Journal of International Business Studies, 26(2), 417-426.
Lam, M. D. (2004), Why alliances fail, Pharmaceutical Executive, 24(6), 56-66.
Larsson, R., Bengtsson, L., Henriksson, K., & Sparks, J. (1998), The interorganizational learning dilemma: Collective knowledge development in strategic alliances, Organization Science, 9(3),286-301.
Leonard-Barton, D. (1995), Wellsprings of knowledge, Building and sustaining the sources of innovation, Boston: Harvard Business School Press.
Lubatkin, M., Florin, J., & Lane, P. (2001), Learning together and apart: A model of reciprocal interfirm learning, Human Relations, 54(10), 1353-1382.
Lyles, M. A., & Salk, J. E. (1996), Knowledge acquisition from foreign partners in international joint ventures: An empirical examination in the Hungarian context, Journal of International Business Studies, 27(5), 877-904.
Mohr, J., & Spekman, R. (1994), Characteristics of partnership success: partnership attributes, communication behavior, and conflict resolution techniques, Strategic Management Journal, 15,135-152.
Murray, J. Y. (2001), Strategic alliance-based global sourcing strategy for competitive advantage: A conceptual framework and research propositions, Journal of International Marketing, 9(4), 30-58.
Murray, S. R. (2003), A quantitative examination to determine if knowledge sharing activities given the appropriate media richness, lead to knowledge transfer and if implementation factors influence the use of these knowledge sharing activities, Doctoral dissertation, Mississippi State University.
Muthusamy, S. K., & White, K. M. (2005), Learning and knowledge transfer in strategic alliances: a social exchange view, Organization Studies, 26(3), 415-441.
Nahapiet, J., Gratton, L., & Rocha, H. O. (2005), Knowledge and relationships: when cooperation is the norm, European Management Review, 2, 3-14.
Nielsen, B. B. (2001), Trust and learning in international strategic alliances, Working Paper 8. Nonaka, I., & Takeuchi, H. (1995), The knowledge-creating company, New York: Oxford University Press, Inc.
Norman, P. M. (2002), Protecting knowledge in strategic alliances: Resource and relational characteristics, Jurnal of High Technology Management Research, 13, 177-202.
Pak, Y. S., & Park, Y. (2004), A framework of knowledge transfer in cross-border joint ventures: An empirical test of the Korean context, Management International Review, 44, 417-434.
Park, S. H., & Ungson, G. R. (2001), Interfirm rivalry and managerial complexity: A conceptual framework of alliance failure, Organization Science, 12(1), 37-53.
Parkhe, A. (1991), Interfirm diversity, organizational learning, and longevity in global strategic alliances, Journal of International Business Studies, 22, 579-601.
Paulraj, A., & Chen, I. J. (2005), Strategic supply management and dyadic quality performance: A path analytical model, Journal of Supply Chain Management, 41(3), 4-18.
Popper, M., & Lipshitz, R. (2000), Organizational learning: mechanisms, culture, and feasibility,Management Learning, 31(2), 181-196.
Pawson, R., Boaz, A., Grayson, L., Long, A., & Barnes, C. (2003), Types and quality of knowledge in social care, UK: The Policy Press.
Prahalad, C. K., & Bettis, R. A. (1986), The dominant logic: A new linkage between diversity and performance, Strategic Management Journal, 7(6), 485-501.
Reid, D., Bussiere, D., & Greenaway, K. (2001), Alliance formation issues for knowledge-based enterprises, International Journal of Management Reviews, 3(1), 79-100.
Ring & Van de Ven. (1992), Structuring cooperative relationships between organizations,Strategic Management Journal, 13(7), 483-498.
Sarkar, M. B., Echambadi, R., Cavusgil, S. T., & Aulakh, P. S. (2001), The influence of complementarity, compatibility, and relationship capital on alliance performance, Academy of Marketing Science Journal, 29(4), 358-373.
Saxton, T. (1997), The effects of partner and the relationship characteristics on alliance outcomes, Academy of Management Journal, 40: 443-461.
Shenkar, O., & Li, J. (1999), Knowledge search in international coperative ventures,Organization Science, 10(2), 134-143.
Simonin, B. L. (2004), An empirical investigation of the process of knowledge transfer in international strategic alliances, Journal of International Business Studies, 35, 407-428.
Sivadas, E., & Dwyer, F. R. (2000), An examination of organizational factors influencing new product success in internal and alliance-based processes, Journal of Marketing, 64(1), 31-49.
Soetjipto, B. W. (2003), The dynamics of power in strategic alliances, Dalam kumpulan artikel mata kuliah organization theory, S3 Universitas Indonesia.
Soetjipto, B. W. (2002), Downward influence in leader-member relationships, Doctoral dissertation, Cleveland State University.
Sucahyo, D., Scheela, W., & Huseini, M. (2005), Do strategic alliances sustain competitiveness for pharmaceutical firms in Asia? Jurnal Manajemen Indonesia, II (1), 29-47.
Szulanski, G. (1996), Exploring internal stickiness: impediments to the transfer of best practice within the firm, Strategic Management Journal, 17, 27-43.
Takeuchi, H., & Nonaka, I. (2004), Knowledge creation and dialectics. In Takeuchi, H., & Nonaka, I (Ed.), Hitotsubashi on knowledge management, USA: John Wiley & Sons.
Thietart, R. (2001), Doing management research. A comprehensive guide, London, UK: SAGE Publication Ltd.
Tsai, W. (2001), Knowledge transfer in intraorganizational networks: effect of network position and absorptive capacity on business unit innovation and performance, Academy of Management Journal, 44(5), 996-1004.
Tsang, E. W. K. (2002b), Sharing international joint venturing experience: a study of some key determinants, Management International Review, 42, 183-205.
Wahyuni, S. (2003), Strategic alliance development. A study on alliances between competing firms, Doctoral dissertation Rijksuniversiteit Groningen.
Westphal, T. G., & Shaw, V. (2005), Knowledge transfers in acquisitions – An exploratory study and model, Management International Review, 2, 75 -100.
Widjaja, A., & Yip, G. S. (2000), Indonesia- finding ways to take off. In Yip, G. S (Ed.), Asian advantage, Key strategies for winning in the Asia-Pacific region, UK: Perseus Books.
Williamson, O.E. (2001), Transaction-cost economics: the governance of contractual relations. In Buckley, P. J., & Michie, J (Ed.), Firms organizations and contracts, UK: Oxford University Press.
Wu, F., & Cavusgil, S. T. (2006), Organizational learning, commitment, and joint value creation in interfirm relationships, Journal of Business Research, 59, 81-89.
Yao, Y., & Murphy, L. (2005), A state-transition approach to application service provider client- vendor relationship development, Database for Advances in Information Systems, 36(3), 8-25.
Yin, E., & Bao, Y. (2006), The acquisition of tacit knowledge in China: An empirical analysis of the ‘supplier-side individual level’ and ‘recepient-side’ factors, Management International Review, 46(3), 327-348.
Yli-Renko, H., Autio, E., & Sapienza, H. J. (2001), Social capital, knowledge acquisition, and knowledge exploitation in young technology-based firms, Strategic Management Journal,22(6/7), 587-613.
Yoshino, M. Y., & Rangan, U. S. (1995), Strategic alliances: An entrepreneurial approach to globalization, Boston: Harvard Business School Press.
Young-Ybarra & Wiersma. (1999), Strategic flexibility in information technology alliances: The influence of transaction cost economics and social exchange theory, Organization Science,10(4), 439-459.
Zaheer, S., & Zaheer, A. (2006), Trust across borders, Journal of International Business Studies,37, 21-9.