Upload
duongliem
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Umum Tempat Penelitian
4.1.1 Profil Sekolah
Nama Sekolah yang digunakan dalam penelitian
ini adalah SMP Negeri 7 Salatiga yang beralamat di
Jalan Setiaki No. 15 Salatiga. Desa/ Kelurahan
Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga. Provinsi
Jawa Tengah. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1987
dengan luas tanah 12,780 m2, kepemilikan tanah
Pemkot Kota Salatiga, dalam naungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan data yang
diperoleh, hasil akreditasi SMP Negeri 7 Salatiga pada
tahun 2012 telah mendapat akreditasi A.
SMP Negeri 7 Salatiga adalah salah satu
Sekolah umum yang menerima siswa regular setiap
tahunnya dengan kuota 224 kursi. Sejak tahun 2011
SMP Negeri 7 Salatiga telah ditunjuk oleh Dinas
Pendidikan kota Salatiga untuk menjalankan program
pendidikan inklusi. Proses pendaftaran yang selama
ini dilakukan adalah orang tua dari siswa datang
langsung ke Sekolah dengan mendaftarkan anaknya
untuk dididik di SMP Negeri 7 Salatiga. Jadi
penerimaan anak berkebutuhan khusus di luar kuota
224 siswa yang pendaftarannya secara online. Untuk
55
menentukan siswa masuk dalam pendidikan inklusi
Sekolah berpedoman pada surat keterangan tanda
tamat belajar yang diperoleh dari Sekolah Dasar
dimana anak pernah belajar. Pihak Sekolah
melakukan sosialisasi penerimaan siswa melalui wali
atau orang tua ketika dilangsungkan pertemuan.
Selain itu beberapa Sekolah Dasar yang menangani
anak berkebutuhan khusus juga sudah mengetahui
bahwa SMP Negeri 7 Salatiga menerima anak
berkebutuhan khusus.
4.1.2 Visi, Misi dan Tujuan SMP Negeri 7 Salatiga
Berdasarkan data lapangan bahwa SMP Negeri
7 Salatiga memiliki Visi “Terwujudnya Insan yang
SIAP (Santun berperilaku, Iman dalam beragama,
menjaga Asri lingkungannya, dan Percaya diri)
BERPRESTASI”. Kemudian selanjutnya dijabarkan
menjadi Misi Sekolah sebagai berikut:
”Menyelenggarakan pendidikan bermutu untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas kompetensi
peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan
yang didukung sarana prasarana pembelajaran,
lingkungan yang asri, dan pelayanan prima”,
dijelaskan sebagai berikut: (1)Menumbuhkan perilaku
warga SMP Negeri 7 Salatiga untuk bersikap santun
56
dalam pergaulan, (2)Menumbuhkan penghayatan dan
pengamalan terhadap ajaran agama yang dianut
sehingga terbentuk siswa yang taqwa dan berahlak
mulia, (3)Menanamkan semangat cinta lingkungan
dan kebersihan dengan pembinaan yang rutin dan
terencana, (4)Menumbuhkan semangat berprestasi
secara intensif kepada seluruh warga SMP Negeri 7
Salatiga.
Adapun yang menjadi tujuan Sekolah antara
lain: 1) Meningkatkan kedisiplinan peserta didik,
pendidik, dan tenaga kependidikan, 2) Meningkatkan
kemampuan menampilkan kebiasaan sopan santun
dan berbudi pekerti sebagai cerminan akhlak mulia
dan iman serta taqwa, 3) Memiliki keyakinan dan
pemahaman dalam menjalankan ajaran agama yang
diyakini dalam kehidupan, 4) Memiliki lingkungan
yang asri, rindang, bersih, dan indah, 5) Meraih
predikat Sekolah Adiwiyata tingkat kota,
6)Meningkatnya kesadaran peserta didik untuk
belajar dengan memanfaatkan lingkungan Sekolah
secara bertanggung jawab, 7) Meningkatkan rasa
percaya diri dan kebanggaan sebagai warga SMP
Negeri 7 Salatiga, 8) Meningkatkan rata-rata nilai
kelulusan peserta didik, 9) Meningkatkan prestasi
57
akademik maupun non akademik peserta didik,
pendidik, dan tenaga kependidikan.
4.2 Hasil Penelitian
Berdasarkan data dan informasi yang berhasil
dikumpulkan, maka untuk langkah selanjutnya
peneliti melakukan pendeskripsian dan analisis
dokumen yaitu Permendiknas No 70 Tahun 2009 guna
menjawab permasalahan penelitian yang telah
dirumuskan tentang bagaimana desain, instalasi,
proses dan produk dalam pelaksanaan program
pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga.
4.2.1 Evaluasi Desain
4.2.1.1 Permendiknas No 70 Tahun 2009
Berdasarkan acuan dari Permendiknas No 70
Tahun 2009 menyatakan bahwa tujuan dari
pendidikan inklusi memberikan kesempatan yang
sama kepada semua siswa baik yang normal maupun
yang memiliki kebutuhan khusus agar memperoleh
pendidikan yang sama dan memenuhi kebutuhan
siswa, selain itu menghindari terjadinya diskriminasi.
Pada tahap penyelengaraan pendidikan inklusi
peserta didik di Sekolah inklusi terdiri atas anak
normal dan siswa berkebutuhan khusus, dimana
58
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, mental,
sosial, emosional, atau memiliki potensi kecerdasan
atau bakat istimewa.
Dalam merumuskan assesmen sangat penting
dilakukan untuk mengetahui kondisi anak
berkebutuhan khusus yang meliputi aspek potensi,
kompetensi dan karakteristik peserta didik dalam
rangka penentuan program pendidikan inklusi untuk
mengembangkan semua potensi yang dimilikinya.
Tahap penyelenggaraan program pendidikan
inklusi kurikulum merupakan panduan untuk
meyelenggarakan program pendidikan inklusi dimana
Sekolah memodifikasi kurikulum sesuai kebutuhan
dan kemampuan peserta didik sesuai dengan
kecerdasan, bakat, minat dan potensinya.
Dalam pemenuhan SDM pada Sekolah yang
menyelenggarakan program pendidikan inklusi
terdapat guru kelas, guru mata pelajaran dan guru
pembimbing khusus (GPK) yang saling bekerjasama.
Pemerintah kabupaten/kota harus berperan dalam
menyediakan paling tidak minimal 1 GPK disetiap
Sekolah, serta menyediakan program peningkatan
kompetensi agar program pendidikan inklusi berjalan
sesuai dengan harapan.
59
Pada tahap rencana pembelajaran disesuaikan
dengan karakteristik siswa dan guru harus mampu
memilih metode yang tepat dengan karakteristik siswa
tersebut. Penilaian dalam proses pembelajaran
disesuaikan dengan kurikulum yang telah
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan siswa, namun
tetap mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pemenuhan sarana prasarana yang dibutuhkan
oleh anak berkebutuhan khusus harus asksesibilitas
yang dapat membantu kemudahan mobilitas dan
tidak membahayakan anak berkebutuhan khusus,
dimana dengan adanya sarana prasarana ini akan
memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam
proses pembelajaran dan memaksimalkan guru dalam
pengajaran. Hal ini dilakukan agar impementasi
program pendidikan inklusi dapat berjalan dengan
baik.
Pembiayaan dalam penyelenggaraan pendidikan
pada Sekolah inklusif menjadi tanggung jawab
bersama antara Pemerintah, Masyarakat dan
orangtua. Biaya yang ada dialokasikan untuk
berbagai keperluan seperti assesmen, modifikasi
kurikulum, media, metode, insentif bagi tenaga yang
terlibat, pengadaan sarana dan prasarana,
60
pemberdayaan peran serta masyarakat dan
pelaksanaan KBM.
Pada hakekatnya pendidikan inklusi yang telah
diselenggarakan di Sekolah menjadi tanggung jawab
bersama antara Sekolah, masyarakat dan pemerintah.
Oleh sebab itu, para pembina dan pelaksana
pendidikan harus memberdayakan masyarakat agar
berpartisipasi dan berperan dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusi.
4.2.1.2 Desain Program Pendidikan Inklusi di
Sekolah
Hasil evaluasi dalam tahap desain mencakup
rencana secara umum tentang tujuan
penyelenggaraan, peserta didik, sistem assesmen
pembelajaran, kurikulum, tenaga pendidik, rencana
pembelajaran, sarana dan prasarana, pembiayaan,
dan dukungan masyarakat:
1. Tujuan Penyelenggaraan Program Pendidikan
Inklusi
Dalam tahap ini peneliti melakukan wawancara
terhadap Kepala Sekolah SMP N 7 Salatiga, Guru
Mulok selaku GPK, dan Guru BK selaku GPK. Adapun
hasil wawancara terhadap narasumber tersebut
adalah sebagai berikut:
61
“Sesuai dengan program pemerintah, bahwa tujuan
adanya program pendidikan inklusi adalah supaya anak inklusi bisa bersosialisasi dengan teman-
temannya yang normal”. (Wawancara dengan
Kepala Sekolah, 27 November 2017).
Hal tersebut juga senada dengan yang
disampaikan oleh guru Mulok selaku GPK, yang
menyatakan bahwa:
“Tujuan pendidikan inklusi ialah supaya anak
berkebutuhan khusus dapat bersosialisasi dengan teman sebaya, namun jika tidak memungkinkan
intinya bisa mandiri atau bisa mengurus dirinya
sendiri”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Kemudian pendapat yang sama juga disampaikan
oleh guru BK selaku GPK, yang mengatakan bahwa:
“Pengakuan untuk keberadaan anak-anak inklusi,
supaya mereka sama dengan anak-anak lain, mendapatkan hak pendidikan yang sama juga,
supaya mereka juga mempunyai kehidupan sosial
yang tidak berbeda dengan yang lain juga”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15
November 2017).
Berdasarkan hasil wawancara dapat dipahami
bahwa tujuan dengan adanya program pendidikan
inklusi adalah supaya anak berkebutuhan khusus
dapat bersosialisasi dengan anak normal, kemudian
adanya pengakuan untuk keberadaan anak
berkebutuhan khusus baik yang memiliki kebutuhan
khusus, cerdas istimewa dan bakat istimewa. Hal ini
memungkinkan agar siswa bisa mandiri,
62
mendapatkan hak pendidikan dan mempunyai
kehidupan sosial yang tidak berbeda dengan yang
lainnya.
Hasil wawancara diatas dipertegas dengan
melakukan observasi dapat dilihat bahwa anak
berkebutuhan khusus baik berkebutuhan khusus,
cerdas istimewa dan bakat istimewa diikutsertakan
dengan para anak normal dalam kegiatan
pembelajaran dikelas. Kegiatan ini berjalan dengan
baik dan pihak Sekolah sudah menjelaskan kepada
para guru dan murid bahwa Sekolah mendapat
penunjukkan dari Dinas pendidikan untuk
menyelenggarakan program pendidikan inklusi.
Hasil wawancara dan observasi diatas diperkuat
dengan dokumen Surat Keputusan Kepala Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Salatiga
Nomor: 420/0241-U/101 tentang Sekolah dasar dan
Sekolah menengah pertama penyelenggara
pendidikan inklusif dan CI-BI kota salatiga tahun
2012 (data terlampir).
2. Peserta Didik Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusi
Dari data yang diperoleh peneliti di lapangan, anak
berkebutuhan khusus yang terdapat di Sekolah
antara lain anak yang mengalami keterlambatan
63
belajar (slow learner). Pernyataan ini sesuai dengan
penjelasan yang diungkapkan oleh Kepala Sekolah
dalam hasil wawancara sebagai berikut:
“Peserta didik yang tergolong inklusi di Sekolah ini
adalah siswa yang mengalami keterlambatan dalam belajar (slow learner). Hal ini kami ketahui
berdasarkan surat keterangan dari SD yang
mengatakan bahwa siswa tersebut inklusi”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November
2017).
Kemudian hasil wawancara yang dilakukan
terhadap guru Mulok selaku GPK juga mengatakan
pendapat yang sama:
“Anak berkebutuhan khusus yang terdapat di SMP
Negeri 7 Salatiga merupakan siswa yang mengalami
keterlambatan belajar (slow learner). Pada saat
daftar masuk terdapat 9 siswa yang tergolong anak berkebutuhan khusus, kelas 7 ada 5, kelas 8 ada 2
dan kelas 9 ada 2”. (Wawancara dengan guru Mulok
selaku GPK, 18 November 2017).
Lebih lanjut, pendapat yang sama juga dipertegas
oleh guru BK selaku GPK yang menyatakan bahwa:
“Di SMP Negeri 7 Salatiga ada 9 anak berkebutuhan
khusus disini dan termasuk dalam klasifikasi siswa
yang mengalami keterlambatan belajar (slow learner)”, sebenarnya ada beberapa siswa yang
mendaftar yang kami lihat seperti siswa yang
berkebutuhan khusus tetapi belum kami
komunikasikan sama orangtua mereka dan belum kami adakan tes. (Wawancara dengan guru BK
selaku GPK, 15 November 2017).
64
Kesimpulan dari hasil wawancara diatas, di
Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga memiliki anak
berkebutuhan khusus dengan klasifikasi mengalami
keterlambatan belajar (slow learner) yang terdapat 9
ABK. Keadaan anak berkebutuhan khusus diketahui
berdasarkan surat keterangan dari Sekolah Dasar
sebelumnya. Dalam hal ini guru juga merasakan
adanya anak normal yang mendaftar, pada saat
proses pembelajaran siswa tersebut seperti memiliki
kebutuhan khusus tetapi guru belum
mengkomunikasikan terhadap orangtua siswa dan
belum mengadakan tes.
3. Sistem Assesmen Pembelajaran Dalam Program
Pendidikan Inklusi
Berdasarkan data yang peneliti dapat dari hasil
wawancara mengenai rencana secara umum
mengenai sistem assesmen pembelajaran, Kepala
Sekolah menyatakan bahwa:
“Sistem assesmen pembelajaran dilakukan sesuai dengan kurikulum yang ada. Penilaian untuk anak
berkebutuhan khusus masih disamakan dengan
penilaian anak normal lainnya”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).
Lebih lanjut, hasil wawancara mengenai rencana
secara umum tentang sistem assesmen pembelajaran
guru Mulok selaku GPK menyatakan bahwa:
“Sementara ini kami masih menggunakan standar
kurikulum nasional dalam tahap pembelajaran,
65
maka untuk tahap penilaian bagi anak
berkebutuhan khusus juga masih sama dengan anak normal”. (Wawancara dengan guru Mulok
selaku GPK, 18 November 2017).
Hasil wawancara dengan guru BK selaku GPK,
pendapat mengenai rencana secara umum dalam
sistem assesmen pembelajaran menyatakan bahwa:
“Standar penilaian untuk anak berkebutuhan khusus berbeda, tapi kami belum mengkhusus
kan, satu contoh pada waktu tes, mereka masih
ikut tes sama-sama dan soalnya sama, hanya nanti kalau mereka mendapatkan hasil dengan format
masih sama dengan anak normal, penilaian
diserahkan ke Pak Sudio, karena mereka khusus,
pokoknya mereka sebatas tuntas saja. Ya kasaran nya kami tutup mata untuk nilai mereka yang
penting tuntas”. (Wawancara dengan guru BK
selaku GPK, 15 November 2017).
Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan
bahwa rencana secara umum dalam sistem assesmen
pembelajaran pada bagian rencana dalam tahap
penilaian bagi anak berkebutuhan khusus masih
disamakan dengan anak normal.
4. Kurikulum Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusi
Melalui data yang telah diperoleh peneliti di
lapangan, hasil wawancara terhadap Kepala Sekolah
tentang rencana secara umum dalam komponen
kurikulum yaitu sebagai berikut:
“Dalam penyelenggaraan program pendidikan
inklusi ini, Sekolah menggunakan standar kurikulum nasional kemudian melakukan
66
modifikasi kurikulum berdasarkan kebutuhan
siswa”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27November 2017).
Sedangkan pendapat terhadap guru Mulok selaku
GPK mengenai rencana secara umum dalam
komponen kurikulum sebagai berikut:
“Untuk kurikulum kami masih menggunakan
kurikulum nasional, sedang kami usahakan untuk mengembangkan kurikulum tapi belum maksimal
dan kalau untuk rencana program khusus bagi
anak berkebutuhan khusus ada kami buat, pada saat mengajarkan tentang keterampilan yaitu pada
hari sabtu, tetapi untuk pembelajaran di kelas tetap
mengikuti proses pembelajaran seperti anak normal
pada umumnya”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Hal sama dengan guru Mulok juga diungkapkan
oleh guru BK selaku GPK yang mengatakan bahwa:
“Mengenai kurikulum Sekolah masih
menggunakan kurikulum nasional. Untuk pengembangan kurikulumnya kami belum, tapi
program kerja tetap kami buat. Misalkan tentang
apa yang ingin kami sampaikan pada saat proses pembelajaran khusus bagi anak berkebutuhan
khusus saja yaitu khusus hari sabtu diberikan
pembelajaran khusus tentang keterampilan”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15
November 2017).
Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat
disimpulkan bahwa Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga
menggunakan kurikulum nasional, untuk tahap
rencana secara umum dalam pengembangan
kurikulum sedang diusahakan hal ini ditandai dengan
67
adanya rencana program tahunan layanan inklusi
(data terlampir) bagi anak berkebutuhan khusus
dalam pembelajaran yaitu tentang pembelajaran
keterampilan. Namun dalam rencana pembelajaran di
kelas anak berkebutuhan khusus masih disamakan
seperti anak normal.
5. Tenaga Pendidik Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusi
Melalui hasil wawancara yang dilakukan peneliti
tentang rencana secara umum dalam komponen
peserta didik dengan Kepala Sekolah SMP Negeri 7
Salatiga. Berikut hasil wawancara tersebut:
“Tenaga pendidik dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi terdapat 2 GPK dan sudah
mendapatkan SK dari Dinas pendidikan yang
ditunjuk untuk menangani anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 28
November 2017).
Hal tersebut juga senada dengan hasil wawancara
yang dilakukan dengan guru Mulok selaku GPK yang
menyatakan bahwa:
“Dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusi kami yang ditunjuk untuk menjadi GPK bagi
anak berkebutuhan khusus yaitu saya (Bapak
Sudio) dan Ibu Retno, atas dasar ini juga kami mendapatkan SK dari Dinas terkait
penyelenggaraan program pendidikan inklusi”.
(Wawancara guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Pendapat di atas juga sama dan diperkuat dengan
pendapat guru BK selaku GPK, mengatakan bahwa:
68
“Untuk pelaksanaan program pendidikan inklusi di
Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga saya (Ibu Retno) dan pak Sudio di tunjuk sebagai GPK dan kami sudah
mendapatkan SK dari Dinas terkait dengan
penyelenggaraan program pendidikan inklusi. Dalam hal ini pak Sudio bertugas untuk mengurusi
program, saya berkaitan dengan lapangan”.
(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15
November 2017).
Dari beberapa hasil wawancara diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa di SMP Negeri 7 Salatiga terdapat
2 GPK yang ditunjuk untuk menangani anak
berkebutuhan khusus dan telah mendapatkan SK
(datar terlampir) dari Dinas terkait tentang
penyelenggaraan program pendidikan inklusi, hal ini
juga diperkuat dengan adanya data dokumentasi
mengenai Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota
Salatiga Nomor: 424/0014/401 tentang Guru
Pembimbing Khusus (GPK) Pendidikan Inklusif dan
Cerdas Istimewa Bakat Istimewa (CIBI) tahun 2017
Kota Salatiga (data terlampir).
6. Rencana Pembelajaran Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusi
Pada tahap evaluasi dalam rencana secara umum
tentang kegiatan pembelajaran, peneliti melakukan
wawancara kepada Kepala Sekolah, hasil wawancara
sebagai berikut:
“Pada saat rencana pembelajaran dikelas anak
berkebutuhan khusus disamakan dengan anak
69
normal, metode pembelajaran belum dimodifikasi
untuk memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus juga”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah,
28 November 2017).
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh guru
Mulok selaku GPK dari hasil wawancaranya ialah:
“Untuk rencana pembelajaran dikelas anak berkebutuhan khusus juga sama seperti anak
normal, mereka belajar bersama dan mendapatkan
materi, penilaian yang sama. Rencana
pembelajaran dibuat hanya untuk mengembangkan keterampilan sebagai pelajaran
tambahan untuk mereka diadakan pada hari
sabtu”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Berkaitan dengan hal tersebut, pendapat yang
sama dipertegas oleh guru BK selaku GPK
menyatakan bahwa:
“Belum adanya rencana pembelajaran. Saat ini anak berkebutuhan khusus masih disamakan
seperti anak normal, hal ini dikarenakan guru
merangkap pekerjaan diSekolah hingga sulit mengatur waktu untuk membuat rencana maupun
metode pembelajaran yang dimodifikasi dengan
adanya anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Melalui hasil wawancara diatas dapat disimpulkan
bahwa belum adanya perencanaan dalam kegiatan
pembelajaran masih menggunakan metode secara
umum, metode belum adanya modifikasi untuk
mempertimbangkan anak berkebutuhan khusus.
Sehingga anak berkebutuhan khusus masih
70
disamakan dengan anak normal. Khusus untuk anak
berkebutuhan khusus rencana dalam kegiatan
pembelajaran tambahan dilakukan pada hari sabtu
dengan memberikan pembelajaran keterampilan.
7. Sarana dan Prasarana Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusi
Mengenai rencana umum tentang komponen
sarana dan prasarana, Berdasarkan data dari hasil
wawancara yang diungkapkan oleh Kepala Sekolah
dapat diketahui sebagai berikut:
“Untuk memenuhi sarana dan prasarana karena di
SMP Negeri 7 ini hanya terdapat anak
berkebutuhan khusus yang slow learner maka
rencana pemenuhan sarananya tidak ada secara khusus dan untuk ruangan kami sementara
menggunakan ruangan perpustakaan. Hasil karya
dari anak berkebutuhan khusus kami simpan pada ruangan guru BK”. (Wawancara dengan Kepala
Sekolah, 27 November 2017).
Pendapat tersebut juga diungkapkan oleh guru
Mulok selaku GPK mengenai rencana umum tentang
komponen sarana dan prasarana mengatakan bahwa:
“Dalam pemenuhan sarana dan prasarana dirasa
belum memadai, karena jika dilihat toilet khusus
untuk anak berkebutuhan khusus juga belum ada, kursi roda yang disediakan untuk anak
berkebutuhan khusus belum ada, keramik untuk
anak tunanetra juga belum ada. Untuk hal ini kita sifatnya hanya menunggu dari Dinas saja”.
(Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18
November 2017).
71
Selanjutnya penjelasan dari guru BK selaku GPK
mengenai rencana umum tentang pemenuhan sarana
dan prasarana adalah sebagai berikut:
“Belum kami ajukan pada awal tahun, tetapi jika
kami perlu baru kami ajukan itu pun kami ambil dari dana BOS, karena memang tidak dari awal
kami membuat program kerjanya secara khusus.
Pada saat kami membuat program kerja tetapi kami juga sedang mempunyai tugas yang lain yaitu tugas
inti, jadi sering kali kami mundur. Berhubung
sarana prasarana ini bersifatnya incidental, maka untuk sarana prasarana yang ada kami
manfaatkan”. (Wawancara dengan guru BK selaku
GPK, 15 November 2017).
Dari hasil wawancara diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam rencana umum dalam
pemenuhan sarana dan prasarana untuk anak
berkebutuhan khusus belum memadai. Hal ini
dibuktikan belum adanya rencana dalam pemenuhan
ruang khusus untuk pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus, belum adanya alat bantu untuk
mendukung anak berkebutuhan khusus dalam belajar,
pembiayaan hanya diambilkan dari dana BOS dan
pemerintah juga belum terlalu merespon dengan
memperhatikan dalam pelaksanaan program
pendidikan inklusi di Sekolah.
72
8. Rencana Pembiayaan Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusi
Berdasarkan hasil data yang di dapat oleh peneliti
di lapangan, mengenai rencana umum tentang
pembiayaan, hasil wawancara dengan Kepala Sekolah
sebagai berikut:
“Selama ini belum ada biaya khusus untuk
pelaksanaan program pendidikan inklusi, sedangkan dalam pelaksanaan membutuhkan
pembiayaan. Maka dari itu diambilkan dari dana
BOS, karena sumber dana untuk Sekolah hanya dari dana BOS”. (Wawancara dengan Kepala
Sekolah, 27 November 2017).
Hasil wawancara dari guru Mulok selaku GPK
mengenai rencana umum tentang pembiayaan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
“Dalam pemenuhan pembiayaan, Sekolah sudah
pernah ada usaha dengan mengajukan proposal
pembiayaan kepada Dinas, namun hingga saat ini belum mendapat respon. Sedangkan program
pendidikan inklusi harus dilaksanakan, dan
pelaksanaannya membutuhkan pembiayaan. Maka dari itu untuk pembiayaan diambilkan dari dana
BOS”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK,
18 November 2017). Hal senada juga dijelaskan oleh guru BK selaku
guru GPK, penjelasan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
“Pembiyaan untuk pelaksanaan program
pendidikan inklusi selama ini belum adanya
dukungan dari Dinas. Oleh sebab itu jika ada
kebutuhan untuk melayani dan memenuhi kebutuhan belajar anak berkebutuhan khusus
73
diambilkan dari dana BOS”. (Wawancara dengan
guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Berdasarkan hasil wawancara diatas dapat
disimpulkan bahwa rencana dalam pembiayaan
untuk program pendidikan inklusi belum ada
dukungan dari Dinas, agar program dapat terlaksana
dengan baik maka pihak Sekolah mengambil dana
BOS.
9. Dukungan Masyarakat Penyelenggaraan
Program Pendidikan Inklusi
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala
Sekolah mengenai dukungan masyarakat dalam
penyelenggaraan program pendidikan inklusi adalah
sebagai berikut:
“Selama ini orang tua anak berkebutuhan khusus mendukung dalam pelaksanaan program
pendidikan inklusi di Sekolah. untuk komite belum
kami sampaikan. Beberapa instansi yang dapat
membantu untuk menangani anak berkebutuhan khusus juga sudah terjalin kerja sama”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November
2017).
Wawancara lebih lanjut, diungkapkan oleh guru
Mulok selaku GPK mengatakan bahwa:
“Selama ini orang tua anak berkebutuhan khusus
mendukung dengan adanya program pendidikan
inklusi. Selain itu ada beberapa instansi yang dapat mendukung program pendidikan inklusi, namun
dalam pelaksanaan belum maksimal”. (Wawancara
dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
74
Hasil wawancara terhadap guru BK selaku GPK
mengatakan bahwa:
“Untuk kerjasama dengan orangtua anak
berkebutuhan khusus kami rasa sudah lumayan baik. Bekerjasama dengan rumah sakit paru ini ada
psikolognya. RSUD, UKSW, klinik konseling
diselasar juga”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan
bahwa orangtua siswa sudah mendukung
pelaksanaan program pendidikan inklusi dan sudah
bekerjasama dengan beberapa instansi namun dalam
penanganan anak berkebutuhan khusus ini belum
maksimal.
75
4.2.1.3 Kesenjangan antara Permendiknas No 70
Tahun 2009 dengan yang terjadi di Sekolah
Tabel 4.1
Kesenjangan Pada Tahap Desain No Komponen Standar
Permendiknas Kinerja
SMP N 7 Salatiga Kesenjangan
1 Tujuan Memberikan kesempatan, tidak ada
diskriminasi
Bersosialisasi dengan sesama, mendapat hak
pendidikan yang sama
Tidak ada kesenjangan
2 Peserta didik Anak normal dan anak berkebutuhan khusus di Sekolah yang sama
Anak normal dan anak berkebutuhan khusus belajar di Sekolah Formal
Tidak ada kesenjangan
3 Assesmen Penilaian Khusus bagi
anak berkebutuhan khusus
Belum ada rencana
penilaian khusus bagi anak berkebutuhan khusus
Terdapat kesenjangan
4 Kurikulum Modifikasi kurikulum bagi Sekolah yang memiliki anak berkebutuhan khusus
Belum ada rencana modifikasi kurikulum bagi anak berkebutuhan
khusus
Terdapat Kesenjangan
5 Tenaga
Pendidik
Memiliki
kompetensi untuk menangani anak berkebutuhan khusus
Guru masih
mengalami kesulitan dalam menangani anak berkebutuhan khusus
Terdapat
kesenjangan
6 Rencana Kegiatan Pembelajaran
Pembelajaran harus dikembangkan
menyesuaikan kebutuhan siswa
Belum ada rencana pembelajaran
yang dikembangkan dan masih menggunakan metode umum
Terdapat kesenjangan
7 Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana harus memenuhi kebutuhan siswa, terutama
untuk anak berkebutuhan khusus
Sarana dan prasarana untuk kebutuhan anak berkebutuhan khusus masih
kurang memadai
Terdapat kesenjangan
76
8 Pembiayaan Mendapat
dukungan dari pemerintah,
masyarakat dan orangtua
Menggunakan
dana BOS dan sebagian dana
dari orangtua anak berkebutuhan khusus
Terdapat
kesenjangan
9 Dukungan Masyarakat
Program pendidikan inklusi menjadi tanggung jawab bersama (Pemerintah,
masyarakat dan instansi)
Hanya mendapat dukungan dari sebagian orangtua anak berkebutuhan khusus dan
beberapa instansi, namun belum maksimal
Terdapat kesenjangan
Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & SMPN 7 Salatiga
4.2.2 Evaluasi instalasi
4.2.2.1 Permendiknas No 70 Tahun 2009
Dalam rencana pelaksanaan program
pendidikan inklusi, Sekolah menerima anak normal
dan anak berkebutuhan khusus. Untuk mendeteksi
keadaan siswa yang mendaftar perlu dilakukan tes
masuk, baik tes tertulis maupun tes psikologi.
Sedangkan anak berkebutuhan khusus yang
dimaksud yaitu siswa yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, sosial atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa dapat diterima di
Sekolah. Siswa yang berkategori inklusi yaitu
tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban
belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi
korban penyalahgunaan narkoba, obat-obatan
77
terlarang dan zat aditif lainnya, serta peserta didik
yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Sistem assesmen pembelajaran dirancang
untuk mengetahui kondisi siswa yang meliputi aspek
kompetensi, potensi dan karakteristik siswa agar
semua potensi yang dimiliki siswa dapat berkembang
secara maksimal. Assesmen dirancang sebagai dasar
perencanaan pembelajaran individual, sebagai dasar
evaluasi dan monitoring, serta sebagai dasar
pengalihtanganan (referal).
Kurikulum Sekolah yang menyelenggarakan
program pendidikan inklusi dirancang berdasarkan
standar nasional namun dilakukan modifikasi sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan siswa yang
sesuai dengan kecerdasan, bakat, minat dan potensi.
Adapun kurikulum memiliki 3 jenis yaitu kurikulum
standar nasional; dimana anak normal dan anak
berkebutuhan khusus yang memiliki potensi
kecerdasan rerata dan diatas rerata, kurikulum
akomodatif dibawah standar nasional; anak
berkebutuhan khusus memiliki potensi kecerdasan
dibawah rerata, sedangkan kurikulum akomodatif
diatas standar nasional; anak berkebutuhan khusus
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
78
Dalam rancangan penyediaan SDM pemerintah
menjamin dengan menyediakan tenaga pendidik yang
mampu menangani anak berkebutuhan khusus dan
pemerintah menyediakan program peningkatan
kompetensi bagi guru. Melalui penyelenggaraan
program-program P4TK, LPMP, PT (Perguruan Tinggi),
KKG, KKS, KKPS, MGMP, MKS, MPS, Lembaga
pendidikan dan pelatihan di lingkungan pemerintah
daerah.
Pada rancangan pembelajaran dalam program
pendidikan inklusi guru harus mengembangkan
perangkat mengajar dengan mempertimbangkan
perbedaan individu, penyusunan perangkat
pembelajaran, mempertimbangkan hasil assesmen
dan masukan untuk melibatkan pihak-pihak terkait
seperti: GPK, psikolog, dokter dan orangtua. Siswa
yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa
menggunakan kurikulum akomodatif sesuai dengan
karakteristik dan potensinya.
Sarana dan prasarana pemerintah dan
masyarakat harus memberikan bantuan professional
pada Sekolah penyelenggara program pendidikan
inklusi. Sarana dan prasarana secara umum sama
dengan Sekolah lainnya, namun pada Sekolah yang
memiliki program inklusi harus menyediakan sarana
79
dan prasarana yang aksesibel, sehingga anak
berkebutuhan khusus mampu mengikuti
pembelajaran dengan baik.
Dalam rancangan pembiayaan pelaksanaan
program inklusi seharusnya menjadi tanggung jawab
bersama antara pemerintah, masyarakat dan
orangtua. Karena penyelenggaraan pendidikan
merupakan tanggung jawab bersama, maka dalam
pembiayaan harus ditanggung bersama-sama juga.
Pada rencana pelaksanaan program pendidikan
inklusi, dukungan masyarakat juga berperan penting.
Masyarakat dapat berkontribusi dalam
merencanakan, menyediakan tenaga ahli, membantu
mengambil keputusan yang tepat bagi
terselenggaranya program, membantu memberikan
evaluasi, membantu dalam pendanaan, memberikan
pengawasan dalam pelaksanaan dan membantu
dalam menyalurkan lulusan.
4.2.2.2 Instalasi Program Pendidikan Inklusi di
Sekolah
Evaluasi tahap instalasi mencakup rencana
pelaksanaan bagi peserta didik, sistem assesmen
pembelajaran, kurikulum, tenaga pendidik,
rancangan pembelajaran, sarana dan prasarana,
pembiayaan, dan dukungan masyarakat:
80
1. Peserta Didik Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusi
Berdasarkan data yang peneliti peroleh tentang
rencana pelaksanaan dalam penerimaan peserta didik
inklusi, hasil wawancara dengan Kepala Sekolah yang
menyatakan bahwa:
“Sekolah menerima anak berkebutuhan khusus
dengan adanya surat keterangan dari Sekolah sebelumnya, anak berkebutuhan khusus yang
Sekolah di SMP Negeri 7 Salatiga ini termasuk siswa
dengan memiliki keterlambatan belajar (slow learner). Dalam proses penerimaan peserta didik
yang mendaftar belum kami buat rancangan untuk
adanya tes”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).
Hal ini juga senada dengan yang disampaikan oleh
guru Mulok selaku GPK SMP negeri 7 Salatiga, yang
menyatakan bahwa:
“Untuk proses penerimaan peserta didik kami belum adanya rancangan untuk mengadakan tes
karena penerimaan peserta didik kami secara
online, untuk kami mengetahui bahwa peserta
didik adalah anak berkebutuhan khusus kami mendapat surat keterangan dari Sekolah Dasar dan
itu diluar kuota yang telah kami tentukan khusus
bagi anak normal. Anak berkebutuhan khusus yang ada disini itu siswa yang mengalami
keterlambatan belajar (slow learner) dan itu ada 9
siswa”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Pendapat diatas diperkuat oleh guru BK selaku
GPK yang mengatakan bahwa:
81
“Kalau kami menerima anak berkebutuhan khusus
itu berdasarkan assesmen yang kami terima dari Sekolah Dasar sebelumnya. Anak berkebutuhan
khusus saat ini ada 9 siswa yang masuk catatan
anak berkebutuhan khusus dengan identifikasi mengalami keterlambatan belajar (slow learner)”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15
November 2017).
Dengan beberapa hasil wawancara diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa di SMP Negeri 7 Salatiga
tidak adanya tes yang di rancang saat peserta didik
mendaftar. Khusus bagi anak berkebutuhan khusus
yang mendaftar diluar kuota yang ditentukan dengan
adanya surat keterangan dari Sekolah Dasar, di
Sekolah terdapat 9 siswa yang mengalami
keterlambatan belajar (slow learner).
2. Sistem Assesmen Pembelajaran Program
Pendidikan Inklusi
Melalui data yang di peroleh peneliti tentang
rencana pelaksanaan untuk penilaian, hasil
wawancara dengan Kepala Sekolah menyatakan
bahwa:
“dalam rencana pelaksanaan penilaian bagi anak
berkebutuhan khusus sesuai dengan kurikulum yang digunakan, selama ini untuk penilaian bagi
anak berkebutuhan khusus sedikit dibedakan
dengan anak normal”. (Wawancara dengan Kepala
Sekolah, 27 November 2017).
Selanjutnya hasil wawancara dengan guru Mulok
selaku GPK juga mengatakan sebagai berikut:
82
“Belum adanya rencana pelaksanaan untuk
penilaian khusus bagi anak berkebutuhan khusus, sementara ini kami samakan dengan anak normal
untuk hasil penilaian dan format juga sama. Pada
saat pembelajaran keterampilan saja kami melakukan penilaian secara berbeda yaitu
memberikan penilaian dengan mendeskripsikan
berdasarkan perkembangan anak”. (Wawancara
dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Kemudian melakukan wawancara tentang rencana
pelaksanaan untuk penilaian bagi anak berkebutuhan
khusus, guru BK selaku GPK mengungkapkan bahwa:
“Adanya rancangan standar penilaian untuk anak berkebutuhan khusus, tapi kami belum
mengkhususkan, satu contoh pada waktu tes,
mereka masih ikut tes sama-sama dan soalnya sama. Hanya kalau untuk penilaian diserahkan
kepada Bapak Sudio karena harus adanya
kekhususan intinya sebatas tuntas saja. Untuk rapotnya bagi anak berkebutuhan khusus
harusnya berbeda, tapi untuk kemarin masih
sama. Kami sudah merencanakan untuk kami bedakan, tapi belum kami lakukan”. (Wawancara
dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan
mengenai rencana pelaksanaan dalam assesmen
pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus belum
adanya rencana ataupun rancangan penilaian khusus
yang berbeda untuk anak berkebutuhan khusus.
83
3. Kurikulum Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusi
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
mengenai rencana pelaksanaan untuk pengembangan
kurikulum, Kepala Sekolah mengungkapkan bahwa:
“Kurikulum yang digunakan selama ini
menggunakan kurikulum nasional yang
dikembangkan walaupun belum begitu sempurna tapi sudah ada usaha dari kami, isi rancangan
kurikulum tersebut melihat kebutuhan dan
kemampuan dari anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November
2017).
Hal tersebut berbeda dengan yang diungkapkan
oleh guru Mulok selaku GPK, menyatakan bahwa:
“Jika ditanya mengenai pengembangan dengan memodifikasi kurikulum jujur kami masih banyak
mengalami kendala untuk mengembangkan
kurikulum tersebut karena kami masih banyak sekali tugas lainnya yang harus kami buat, maka
jika ditanya mengenai modifikasi kurikulum kami
masih belum ada, hanya kami memang sudah
memiliki rancangan pembelajaran itupun khusus untuk pembelajaran keterampilan saja”.
(Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18
November 2017).
Hal ini senada dengan guru Mulok selaku GPK juga
diungkapkan oleh guru BK selaku GPK, sebagai
berikut:
“Untuk pengembangan kurikulum kami belum, tapi
program kerja tetap kami buat. Misalkan apa yang ingin kami sampaikan, ada sih sebenarnya
pengembangan dari SLB yang kami sempat punya
dan kami memfotocopy, itu kami kembangkan di sini. Entah itu pas atau tidak yang jelas kami
84
berusaha, tapi karena kami juga masih banyak
binggung dalam penerapannya akhirnya kami kembali seperti biasanya”. (Wawancara dengan
guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Untuk hasil wawancara yang telah diuraikan
diatas, dapat diberi penjelasan bahwa Sekolah belum
melakukan rencana pelaksanaan mengembangkan
kurikulum yang dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan anak berkebutuhan khusus, namun GPK
sudah membuat rencana pembelajaran tentang
keterampilan khusus untuk anak berkebutuhan
khusus. Hal ini didukung dengan data dokumen
tentang program layanan (data terlampir).
4. Tenaga Pendidik Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusi
Berdasarkan data yang peneliti peroleh di
lapangan, melalui hasil wawancara terhadap Kepala
Sekolah menyatakan bahwa:
“Peran Dinas untuk meningkatkan kompetensi
tenaga pendidik bagi anak berkebutuhan khusus
pernah diikutkan pada kegiatan seminar-seminar
dan beberapa kali adanya pelatihan-pelatihan”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November
2017).
Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh guru
Mulok selaku GPK yang menyatakan bahwa:
“Saya pribadi pernah ikut pada kegiatan pelatihan
di Surabaya dan beberapa kali juga saya (Bapak Sudio) bersama ibu Retno mengikuti seminar di
Solo, kami juga pernah ikut tes uji kompetensi
namun karena kami tergolong baru dalam
85
penerapan program ini dan bekal kami juga belum
begitu banyak jadi ya kami rasa nilai kami sebatas cukup”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku
GPK, 18 November 2017).
Lebih lanjut mengenai pendapat diatas diperkuat
oleh guru BK selaku GPK yang mengatakan bahwa:
“Kami pernah ikut pelatihan, pada saat itu kami di latih di Solo untuk saya (Ibu Retno) dan Bapak
Sudio beberapa hari di sana, selesai kami pelatihan
itu, beberapa waktu kemudian kami uji kompetensi
di Salatiga. Ada sekitar 20 orang atau lebih sesalatiga. Kami juga ada nilai, Cuma nilainya
menurut kami masih belum memuaskan karena
masih tahap baru, terus belajarnya juga harusnya sudah sekian tahun, tapi kami hanya belajar dalam
waktu yang singkat atau cuma beberapa hari saja”.
(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Melalui beberapa hasil wawancara diatas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa dalam peningkatan
kompetensi guru, Dinas sudah memberikan beberapa
kali sosialisasi melalui seminar. Namun, guru masih
merasa kurang untuk bekal tentang pendidikan
inklusi.
5. Rancangan Pembelajaran Program Pendidikan
Inklusi
Melalui hasil wawancara yang dilakukan terhadap
Kepala Sekolah tentang rencangan pembelajaran,
Kepala Sekolah menyatakan bahwa:
“Rancangan pembelajaran bagi anak berkebutuhan
khusus secara menyeluruh belum dibuat, tetapi khusus untuk pembelajaran keterampilan sudah
86
ada dan digunakan saat GPK mengajar untuk
mengembangkan keterampilan anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27
November 2017).
Hal tersebut juga sama dengan pendapat dari guru
Mulok selaku GPK yang mengungkapkan bahwa:
“Terkhusus untuk rancangan pembelajaran kami
belum ada, untuk pembelajaran keterampilan saja yang ada kami buat. Bukan untuk kami jadikan
suatu alasan tapi memang kami mengemban
banyak sekali tugas lainnya serta kami juga belum
terlalu mengerti dalam membuat rancangan program untuk pelaksanaan program pendidikan
inklusi jadi kami belum bisa membuatnya untuk
rancangan secara penuh”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Selanjutnya pendapat dari guru BK selaku GPK
memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Mengenai rancangan pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus karena Sekolah merupakan Sekolah umum dan pengetahuan pemahaman kami
tentang inklusi masih kurang maka belum ada
secara menyeluruh kami buat rancangan pembelajaran. Kami membuat rancangan
pembelajaran khusus untuk kegiatan pembelajaran
keterampilan saja”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Penjelasan dari hasil wawancara diatas dapat
disimpulkan bahwa untuk rancangan pembelajaran
belum ada modifikasi kurikulum untuk memenuhi
kebutuhan seluruh siswa terutama untuk mengcover
anak berkebutuhan khusus. Namun rancangan
pembelajaran tambahan untuk bekal anak
87
berkebutuhan khusus dengan memberikan pelajaran
tentang keterampilan.
6. Sarana dan Prasarana Penyelenggaraan Program
Pendidikan Inklusi
Berdasarkan data yang peneliti dapat, hasil
wawancara dengan Kepala Sekolah mengungkapkan
bahwa:
“Sekolah memiliki sarana dan prasarana secara umum, tapi untuk sarana dan prasarana secara
khusus kami belum bisa menyediakan. Untuk
penyediaan sarana bagi anak berkebutuhan khusus saat membutuhkan baru kami penuhi”.
(Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November
2017).
Hal senada juga diungkapkan oleh guru Mulok
selaku GPK yang mengatakan:
“Sarana dan Prasarana yang kami perlukan untuk
anak berkebutuhan khusus kami ajukan apabila
memang kami butuhkan saat mengajarkan tentang keterampilan bagi anak berkebutuhan khusus, ya
memang untuk saat ini kami memang merasa
masih sangat minimnya sarana dan prasarana untuk bisa memenuhi kebutuhan anak
berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan guru
Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Lebih lanjut pendapat dari guru BK selaku GPK juga
mengatakan bahwa:
“Belum kami ajukan pada awal tahun, tetapi jika kami perlu baru kami ajukan dan kami ambil dari
dana BOS. Berhubung Sarana prasarana ini
bersifatnya incidental, maka untuk sarana prasarana yang ada kami manfaat kan sesuai
dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus”.
88
(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15
November 2017).
Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan
bahwa rencana pelaksanaan untuk penyediaan
sarana dan prasarana secara umum sudah terpenuhi,
namun untuk memberikan pelayanan bagi anak
berkebutuhan khusus masih belum memadai.
Penyediaan sarana dan prasarana diadakan ketika
anak berkebutuhan khusus membutuhkan, dan
pemenuhannya menggunakan dana BOS.
7. Pembiayaan Program Pendidikan Inklusi
Pembiayaan merupakan faktor penting dalam
pelaksanaan kegiatan di Sekolah membutuhkan
biaya. Mengenai rencana pelaksanaan tentang
pembiayaan dalam program pendidikan inklusi dapat
diketahui hasil wawancara dengan Kepala Sekolah
sebagai berikut:
“Pembiayaan kami ambil dari dana BOS, disaat diperlukan untuk proses pembelajaran dan sesuai
dengan kebutuhan siswa kami gunakan dana
tersebut”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 27 November 2017).
Hal tersebut juga sama dengan yang diungkapkan
oleh guru Mulok selaku GPK, sebagai berikut:
“Masalah pembiayaan kami ambil dari dana BOS
untuk mengajarkan tentang keterampilan. Kami
sudah mengajukan kepada Dinas untuk pemenuhan sarana dan prasarana tapi belum
89
mendapat respon secara penuh”. (Wawancara
dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh guru
BK selaku GPK yang mengatakan bahwa:
“Belum ada biaya khusus untuk program
pendidikan inklusi. Untuk masalah biaya tetap kami minta ke Sekolahan dari anggaran Sekolah
yaitu dana BOS, tapi biaya khusus untuk inklusi
itu belum ada, jadi untuk anggaran pendidikan.
Dinas bantuannya berupa pelatihan pengembangan kami”. (Wawancara dengan guru BK
selaku GPK, 15 November 2017).
Kesimpulan dari wawancara mengenai rencana
pelaksanaan dalam pembiayaan program pendidikan
inklusi diambilkan dari dana BOS. Karena pengajuan
dana ke Dinas belum mendapat respon. Sedangkan
untuk dukungan dari orangtua anak berkebutuhan
khusus, tidak semua mendukung dalam pembiayaan,
hanya sebagian kecil yang berkenan membantu untuk
kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
8. Dukungan Masyarakat Penyelenggaran Program
Pendidikan Inklusi
Pada rencana pelaksanaan program pendidikan
inklusi, dukungan masyarakat juga berperan penting.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap Kepala
Sekolah mengungkapkan bahwa:
“Orangtua siswa mendukung dalam rencana
pelaksanaan program pendidikan inklusi yang
dibuat oleh Sekolah misal untuk pemenuhan dana
90
apabila memang dibutuhkan dalam pelaksanaan
pembelajaran. Sekolah juga menjalin kerjasama dengan beberapa instansi seperti pihak rumah
sakit PARU, RSUD, UKSW, klinik konseling
pendidikan inklusi diselasar untuk menangani anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara dengan
Kepala Sekolah, 27 November 2017).
Hal senada juga diungkapkan oleh guru Mulok
selaku GPK yang menyatakan sebagai berikut:
“Selama ini orang tua anak berkebutuhan khusus
mendukung dengan adanya program pendidikan
inklusi, karena dengan program ini anaknya mendapat pendidikan yang sama dengan siswa
lainnya. Namun terkadang ada beberapa orang tua
anak berkebutuhan khusus yang susah diajak berkerja sama dengan Sekolah, dengan alasan
malu dan beralasan banyak kesibukan. Selain itu
ada beberapa instansi yang dapat mendukung program pendidikan inklusi, namun dalam
pelaksanaan belum maksimal”. (Wawancara
dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Lebih lanjut hal yang sama dengan pendapat diatas
guru BK juga mengatakan bahwa:
“Untuk kerjasama dengan orangtua anak
berkebutuhan khusus kami ada pertemuan rutin, setiap 2 bulan sekali ketemu untuk membicarakan
permasalahan dan perkembangan anak serta jika
membutuhkan sesuatu kami dibantu oleh orangtua
anak berkebutuhan khusus. Bekerjasama dengan rumah sakit paru ini ada psikolognya. RSUD,
UKSW, klinik konseling diselasar”. (Wawancara
dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Hasil wawancara mengenai dukungan masyarakat
dapat disimpulkan bahwa sebagian orangtua anak
berkebutuhan khusus mendukung dengan adanya
program pendidikan inklusi, namun sebagian lain
91
merasa malu dengan keadaan anaknya, sehingga
Sekolah sulit melakukan pertemuan dan diskusi
dengan orangtua wali. Beberapa instansi seperti
rumah sakit paru, RSUD, UKSW, klinik konseling
diselasar juga membantu dalam pelayanan anak
berkebutuhan khusus, namun dalam
pelaksanaannya belum maksimal.
4.2.2.3 Kesenjangan antara Permendiknas No 70
Tahun 2009 dengan yang terjadi di Sekolah
Tabel 4.2
Kesenjangan Pada Tahap Instalasi No Komponen Standar
Permendiknas Kinerja
SMP N 7 Salatiga Kesenjangan
1 Peserta didik Sekolah menerima anak normal dan ABK. Untuk mendeteksi
dilakukan tes masuk
Sekolah menerima anak normal dan ABK. Tidak ada tes yang di rancang saat
penerimaan peserta didik
Terdapat kesenjangan
2 Assesmen pembelajaran
Assesmen dilakukan untuk mengetahui kondisi ABK meliputi aspek
kompetensi, potensi dan karakteristik
siswa
Belum adanya rencana pelaksanaan dalam assesmen pembelajaran
terkhusus untuk ABK
Terdapat kesenjangan
3 Kurikulum Kurikulum dirancang berdasarkan standar nasional dengan dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kemampuan
siswa
Belum adanya rencana pelaksanaan untuk modifikasi kurikulum, hanya adanya rencana program layanan tentang keterampilan bagi
ABK
Terdapat kesenjangan
4 Tenaga pendidik
Pemerintah menyediakan
Dinas hanya menunjuk 2 GPK
Terdapat kesenjangan
92
SDM dan
meningkatkan kompetensi nya
dan untuk
meningkatkan kompetensi guru
dan GPK masih minim
5 Rancangan pembelajaran
Rencana pembelajaran dikembangkan dengan mempertimbangkan perbedaan individu
Belum adanya rencana pelaksanaan metode pembelajaran bagi ABK dan belum mempertimbangkan perbedaan
individu
Terdapat kesenjangan
6 Sarana dan prasarana
Sarpras harus bersifat aksesibel, sehingga ABK dapat belajar dengan baik
Belum adanya rencana pelaksanaan untuk penyediaan sarpras bersifat aksesibel sehingga guru mengalami kendala saat mengajar
Terdapat kesenjangan
7 Pembiayaan Pembiayaan harus ditanggaung bersama antara pemerintah, masyarakat dan orangtua
Rencana pelaksanaan program mengenai pembiayaan hanya diambil dari dana BOS dan dukungan biaya dari sebagian orangtua ABK
Terdapat ksesnjangan
8 Dukungan masyarakat
Masyarakat harus
membantu dalam merencanakan menyediakan tenaga ahli,
mengambil keputusan, memberikan evaluasi, membantu pendanaan, dan menyalurkan lulusan
Belum mendapat dukungan penuh
dalam rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi, kemudian
masih menjadi problematis juga dalam menyalurkan lulusan ABK
Terdapat kesenjangan
Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & SMPN 7 Salatiga
93
4.2.3 Evaluasi Proses
4.2.3.1 Permendiknas No 70 Tahun 2009
Proses kegiatan belajar ABK dilakukan
bersama-sama dengan anak normal lainnya.
Seharusnya anak berkebutuhan khusus memperoleh
layanan khusus dari guru atau GPK, sehingga ABK
dapat mengikuti pembelajaran di kelas dan ABK tidak
terlalu mengalami kesulitan dalam mengikuti
pembelajaran.
Dalam proses kegiatan mengajar, guru kelas
melakukan pembelajaran secara umum dengan
menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan siswa. Sedangkan GPK berperan sebagai
pendamping dalam hal mengarahkan dan
membimbing anak berkebutuhan khusus agar dapat
mengikuti dan berpartisipasi dalam proses
pembelajaran.
Proses kegiatan pembelajaran diorganisasikan
sesuai kebutuhan siswa dengan setting kelas inklusif.
Guru menyampaikan pembelajaran sesuai dengan
standar proses dengan menggunakan strategi yang
variatif dan PAKEM sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan peserta didik. Media pembelajaran juga
disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, guru
juga memberikan tugas-tugas dan lembar kerja siswa
94
sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta
didik. Guru melakukan proses penilaian dan hasil
pembelajaran harus beragam dan berkesinambungan
sesuai dengan kondisi siswa.
Dalam penyediaan sarana dan prasarana yang
digunakan untuk proses pembelajaran sesuai dengan
Sekolah pada umumnya, namun harus disediakan
sarana dan prasarana khusus yang bersifat aksesibel
yang dapat membantu dan memudahkan anak
berkebutuhan khusus dalam mengikuti
pembelajaran.
Masyarakat harus berperan serta dalam
penyelenggaraan program pendidikan inklusi, karena
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama. Maka
masyarakat harus ikut berperan dalam perencanaan,
penyediaan tenaga ahli, mengambil keputusan,
pelaksanaan pembelajaran, pendanaan, pengawasan,
penyaluran lulusan melalui komite Sekolah, dewan
pendidikan dan forum-forum pemerhati pendidikan
inklusi.
4.2.3.2 Proses Program Pendidikan Inklusi di
Sekolah
Evaluasi pada tahap proses menekankan pada
kegiatan belajar siswa, kegiatan mengajar pendidik,
proses kegiatan pembelajaran, sarana dan prasarana,
95
dukungan masyarakat. Agar pelaksanaan program
pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga dapat
mencapai tujuan, maka pelaksanaan harus sesuai
dengan Permendiknas No 70 Tahun 2009 yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
1. Kegiatan Belajar Siswa
Pada saat dilakukan wawancara dengan Kepala
Sekolah tentang proses kegiatan belajar siswa,
narasumber menyatakan sebagai berikut:
“ABK mengikuti pembelajaran yang sama dengan siswa lainnya, namun pada hari tertentu anak
berkebutuhan khusus mengikuti pembelajaran
khusus seperti pembelajaran keterampilan untuk
mengembangkan diri, pengembangan karakter dan pembimbingan khusus”. (Wawancara dengan
Kepala Sekolah 27 November 2017).
Hal ini juga diungkapkan oleh guru Mulok selaku
GPK yang mengatakan:
“Di Sekolah ABK tetap mengikuti pembelajaran yang sama dengan anak normal, hanya untuk hari
sabtu mereka kami ambil untuk kami ajarkan
tetang keterampilan dan kami memberikan bimbingan khusus”. (Wawancara dengan guru
Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
Guru BK selaku GPK juga mengatakan sebagai
berikut:
“Proses kegiatan belajar siswa tetap sama dengan anak normal pada umumnya, karena memang kami
belum memiliki modifikasi kurikulum bagi Sekolah
yang melaksanakan program pendidikan inklusi.
Hal ini terjadi karena kami masih mengalami kesulitan dalam memodifikasi kurikulum dan kami
96
mengalami keterbatasan waktu, karena memiliki
beban tugas yang lain juga di Sekolah”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
proses kegiatan belajar ABK masih disamakan
dengan anak normal lainnya. Terkadang anak
berkebutuhan khusus mengalami kesulitan karena
kurikulum belum dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan siswa.
2. Kegiatan Mengajar Pendidik
Dari hasil wawancara dengan Kepala Sekolah
didapat penjelasan mengenai proses kegiatan
mengajar peserta didik sebagai berikut:
“Selama ini guru kelas mengajar sesuai dengan
mata pelajaran yang menjadi bidangnya masing-
masing, guru kelas harus bisa memaklumi dengan adanya keberadaan anak berkebutuhan khusus.
Jika ada kendala yang dihadapi guru mengenai
anak berkebutuhan khusus, maka guru langsung berkonsultasi kepada GPK”. (Wawancara dengan
Kepala Sekolah, 27 November 2017).
Sedangkan guru Mulok selaku GPK mengatakan
sebagai berikut:
“Pada saat guru mata pelajaran mengajar, materi yang diajarkan tetap sama dengan anak normal.
Pada saat penilaian diserahkan kepada kami selaku
GPK, tapi jika diminta untuk mendampingi anak berkebutuhan khusus di kelas memang kami
belum bisa sepenuhnya karena kami juga memiliki
jam mengajar pelajaran pada bidang kami masing-
masing”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November 2017).
97
Dalam wawancara juga guru BK selaku GPK
menjelaskan sebagai berikut:
“Guru kelas masih mengajar sesuai dengan
kurikulum nasional dan materi yang diberikan pada anak berkebutuhan khusus sama dengan
anak normal, untuk pendampingan dari kami
dikelas memang belum bisa kami lakukan hanya paling kalau anak berkebutuhan khusus
mengalami permasalahan mengenai pembelajaran
maka kami panggil untuk kami bimbing secara
intens. Kami juga membuat buku khusus untuk di isi oleh guru bidang studi lain, namun sebagian
besar guru terkadang kurang berkenan mengisi
buku tersebut. Padahal buku itu sangat penting bagi kami untuk melihat Bagaimana kondisi dan
perkembangan anak berkebutuhan khusus”.
(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Dari hasil wawancara yang telah dipaparkan
diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
dalam pelaksanaan pembelajaran guru mengajar
dibidang studi masing-masing, guru memberikan
materi pembelajaran juga secara umum karena belum
didesain dengan mempertimbangkan adanya anak
berkebutuhan khusus. Dalam penilaian untuk anak
berkebutuhan khusus guru mata pelajaran
menyerahkan kepada guru-guru GPK, namun guru
GPK belum mampu untuk mendampingi secara
penuh anak berkebutuhan khusus sehingga anak
berkebutuhan khusus masih mengalami kesulitan.
98
3. Proses Kegiatan Pembelajaran
Pada evaluasi tahap instalasi pada komponen
proses kegiatan pembelajaran, Kepala Sekolah
menjelaskan seperti dibawah ini:
“Pada saat kegiatan pembelajaran dikelas anak berkebutuhan khusus mengikuti anak normal pada
umumnya dan dalam proses belajar mengajar guru
mata pelajaran harus bisa memahami anak berkebutuhan khusus dengan adanya keterbatasan
yang mereka miliki, karena untuk sebelumnya juga
telah kita beri pemahaman bahwa adanya anak berkebutuhan khusus di Sekolah. Terkhusus hari
sabtu saja anak berkebutuhan khusus diberikan
pembelajaran khusus untuk mengembangkan keterampilan yang mereka miliki”. (Wawancara
dengan Kepala Sekolah, 28 November 2017).
Hal senada juga diungkapkan oleh guru Mulok
selaku GPK dari hasil wawancara bahwa:
“Untuk kegiatan pembelajaran dikelas anak
berkebutuhan khusus juga sama seperti anak normal, mereka belajar bersama dan mendapatkan
materi, penilaian yang sama. Hanya terkhusus
untuk mengembangkan keterampilan sebagai pelajaran tambahan untuk mereka diadakan pada
hari sabtu”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku
GPK, 18 November 2017).
Berkaitan dengan hal tersebut, diperkuat oleh guru
BK selaku GPK mengatakan:
“Dalam proses pembelajaran kami hanya
memberikan materi, satu contoh sebenarnya bukan
suatu pembiaran tetapi kami memaklumkan, karena kemampuan mereka memang sampai di
situ, sehingga pada waktu bapak/ ibu guru
mengajar, misalkan melihat mereka seperti sedikit
tidak bisa, ada pemakluman seperti itu. Pada saat kegiatan pembelajaran anak berkebutuhan khusus
99
belajar sama seperti anak normal, pada waktu di
luar anak berkebutuhan khusus hanya mendapat sedikit dari kami, misal dalam 1 minggu 6 hari,
mereka hanya dapat waktu 1 hari selama 1 minggu
dari kami yaitu pada hari sabtu untuk mendapatkan pembelajaran khusus untuk
mengembangkan keterampilan mereka”.
(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15
November 2017).
Melalui hasil wawancara diatas, kesimpulan dari
proses kegiatan pembelajaran dalam pelaksanaan
program pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga
yaitu pada saat pembelajaran dikelas anak
berkebutuhan khusus mengikuti dan mendapatkan
materi yang sama dengan anak normal dan bagi guru
mata pelajaran harus dapat memaklumi dengan
adanya keberadaan anak berkebutuhan khusus.
Hanya pada hari sabtu anak berkebutuhan khusus
mendapatkan pembelajaran khusus untuk
mengembangkan keterampilan.
4. Sarana dan Prasarana
Saat wawancara tentang sarana dan prasarana,
Kepala Sekolah memberikan penjelasan seperti
dibawah ini:
“Sarana dan prasarana yang digunakan diSekolah dalam pembelajaran anak berkebutuhan khusus
diperoleh dari Sekolah dengan diambil dari dana
BOS dan terkadang mendapat bantuan dari orangtua anak berkebutuhan khusus”. (Wawancara
dengan Kepala Sekolah, 28 November 2017).
100
Hal yang sama diungkapkan oleh guru Mulok
selaku GPK memberi penjelasan seperti dibawah ini:
“Untuk pemenuhan sarana dan prasarana yang
digunakan dalam proses pembelajaran disediakan
ketika akan digunakan, dan untuk melengkapi sarana yang diperlukan diambil dari dana BOS”.
(Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18
November 2017).
Pendapat tersebut diperkuat oleh guru BK selaku
GPK sebagai berikut:
“Sejak dari awal tahun Sekolah belum mengajukan
dana untuk pemenuhan kebutuhan anak
berkebutuhan khusus, pengajuan dilakukan ketika ada siswa yang membutuhkan sarana dan
prasarana. Sehingga ketika siswa membutuhkan
segera peralatan untuk belajar, Sekolah mengambil
dari dana BOS. Pemenuhan kebutuhan belajar siswa seperti alat membatik, melukis dan alat-alat
yang digunakan untuk melatih keterampilan”.
(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Dari hasil wawancara yang diuraikan diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa sarana dan prasarana
untuk pemenuhan kebutuhan anak berkebutuhan
khusus diambil dari dana BOS. Peralatan yang
digunakan juga yang bersifat incidental maka dalam
pemenuhannya menunggu siswa membutuhkan baru
berusaha untuk dipenuhi.
5. Dukungan Masyarakat
Berdasarkan data dari hasil wawancara dengan
Kepala Sekolah mengatakan bahwa:
101
“Dalam pelaksanaan program pendidikan inklusi
Sekolah mendapatkan dukungan dari sebagian orangtua anak berkebutuhan khusus yang siap
untuk membantu kebutuhan siswa di Sekolah.
Sekolah belum mendapatkan dukungan dari komite Sekolah, karena Sekolah baru akam
menyampaikan pada saat pertemuan paguyuban
mendatang. Selama ini kami juga menjalin kerja
sama dengan beberapa instansi yang membantu perkembangan anak berkebutuhan khusus”.
(Wawancara dengan Kepala Sekolah, 28 November
2017).
Hal senada diungkapkan oleh guru Mulok selaku
GPK seperti berikut:
“Mengenai pelaksanaan program pendidikan inklusi, sebagian orang tua anak berkebutuhan
khusus mendukung dan berperan serta dalam
kegiatan yang kami adakan untuk meningkatkan kemampuan anak berkebutuhan khusus. Sekolah
juga menjalin kerja sama dengan beberapa instansi
seperti rumah sakit paru, rumah sakit umum, klinik UKSW, klinik konseling selasar dan Dinas”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18
November 2017).
Guru BK selaku GPK juga memberikan penjelasan
sebagai berikut:
“Dukungan dari orang tua sudah baik untuk
pelaksanaan program pendidikan inklusi, namun
hanya sebagian orang tua siswa yang mau ikut
berperan serta. Sebagian lain orang tua anak berkebutuhan khusus sulit diajak komunikasi
dengan alasan malu dengan kondisi anaknya,
sehingga kami harus mendatangi rumah mereka jika sudah beberapa kali dipanggil tidak berkenan
datang. Komite memang belum kami beritahu
mengenai program pendidikan inklusi ini, karena kami rasa masih mampu dalam pengelolaannya
tetapi rencana akan kami sampaikan pada saat ada
kegiatan pertemuan paguyuban. Untuk penanganan anak berkebutuhan khusus kami juga
102
ada menjalin kerjasama dengan beberapa instansi”.
(Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15 November 2017).
Dari hasil wawancara diatas, dapat simpulkan
bahwa program pendidikan inklusi ini
mendapatkan dukungan dari sebagian orang tua
anak berkebutuhan khusus, namun sebagian
masih sulit untuk diajak bekerja sama. Adanya
dukungan dari beberapa instansi yang
membantu perkembangan ABK namun belum
berjalan dengan maksimal. Komite belum diajak
bekerja sama, karena dirasa Kepala Sekolah dan
GPK masih sanggup untuk menangai ABK.
4.2.3.2 Kesenjangan antara Permendiknas No 70
Tahun 2009 dengan yang terjadi di Sekolah
Tabel 4.3
Kesenjangan Pada Tahap Proses No Komponen Standar
Permendiknas Kinerja
SMP N 7 Salatiga Kesenjangan
1 Kegiatan
belajar siswa
ABK belajar
bersama anak normal dan memperoleh layanan khusus dari guru GPK
ABK dan anak
normal belajar bersama. Terkadang ABK mengalami kesulitan karena tidak mendapatkan layanan khusus saat proses pembelajaran berlangsung
Terdapat
kesenjangan
2 Kegiatan mengajar guru
Guru kelas menerapkan
Guru memberikan
Terdapat kesenjangan
103
pembelajaran
sesuai kebutuhan
siswa GPK mendampingi anak berkebutuhan khusus
materi
pembelajaran secara umum
dan belum didesain dengan mempertimbangkan adanya ABK GPK belum bisa sepenuhnya melakukan pendampingan terhadap ABK
3 Kegiatan
pembelajaran
Kegiatan
pembelajaran harus sesuai kebutuhan siswa dengan setting kelas inklusi Menggunakan strategi variatif dan PAKEM
sesuai karakteristik kebutuhan siswa Guru melakukan proses penilaian dan hasil belajar secara beragam
dan berkesinambungan sesuai dengan kondisi siswa
ABK mendapat
dan mengikuti materi yang sama dengan anak normal. Guru dapat memaklumi dengan adanya
ABK tapi kurang mendapat perhatian khusus dari guru Proses penilaian diserahkan pada GPK dan hasil penilaian belum dibedakan
dengan anak normal.
Terdapat
kesenjangan
4 Sarana dan prasarana
Penyediaan sarana dan
prasarana secara umum, namun harus disediakan secara khusus yang bersifat aksesibel untuk ABK
Pemenuhan sarana dan
prasarana diambil dari dana BOS saat perlu baru diajukan
Terdapat kesenjangan
5 Dukungan masyarakat
Berperan dalam perencanaan, penyediaan tenaga ahli, mengambil
keputusan, pelaksanaan pembelajaran,
Mendapat dukungan dari sebagian orangtua ABK Menjalin
kerjasama dengan instansi, namun belum
Terdapat kesenjangan
104
pendanaan,
pengawasan, penyaluran
lulusan melalui komite Sekolah, dewan pendidikan dan forum-forum pemerhati pendidikan inklusi
maksimal.
Komite belum mengetahui
tentang adanya program pendidikan inklusi karena kepela Sekolah belum menyampaikan
Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & SMPN 7 Salatiga
4.2.2 Evaluasi Produk
4.2.2.1 Permendiknas No 70 Tahun 2009
ABK menyelesaikan pendidikan berdasarkan
kurikulum yang dikembangkan oleh Sekolah dibawah
standar nasional pendidikan dengan mendapatkan
surat tanda tamat belajar yang blangkonya
dikeluarkan oleh Sekolah, untuk menentukan
kenaikan kelas juga berdasarkan standar Sekolah
serta penilaian untuk rapot siswa berbeda dengan
anak normal. Selain itu untuk anak berkebutuhan
khusus dapat melanjutkan ketingkat pendidikan yang
lebih tinggi ke Sekolah yang menerapkan program
pendidikan inklusi juga dengan bantuan surat
keterangan dan ijazah dari Sekolah sebelumnya.
105
4.2.2.2 Produk Program Pendidikan Inklusi di
Sekolah
Melalui wawancara terhadap Kepala Sekolah
tentang hasil dari pelaksanaan program pendidikan
inklusi, narasumber mengungkapkan bahwa:
“Saat adanya program ini yang telah kami
laksanakan memang belum ada lulusan anak
berkebutuhan khusus, baru ada lulusan tahun depan dengan mengikuti ujian Sekolah nanti untuk
ijazahnya kami Sekolah yang mengeluarkan
kemudian mendapat cap dari Dinas. Untuk sistem kenaikan anak berkebutuhan khusus setiap tahun
pasti naik dan tidak pernah tinggal kelas namun
untuk rapot khusus anak berkebutuhan khusus masih sama dengan anak normal, karena aturan
tersebut dibuat terkhusus bagi anak berkebutuhan
khusus”. (Wawancara dengan Kepala Sekolah, 28
November 2017).
Hasil wawancara juga diungkapkan oleh guru
Mulok selaku GPK yang mengatakan:
“Mengenai kenaikan kelas khusus bagi anak
berkebutuhan khusus tetap dinaikkan tapi
penilaian untuk rapot siswa saat ini masih sama dengan anak normal. Lulusan anak berkebutuhan
khusus untuk saat ini belum ada, akan adanya
lulusan anak berkebutuhan khusus pada tahun ajaran berikutnya. Anak berkebutuhan khusus
tidak bisa diikutkan pada ujian nasional tetapi
hanya mengikuti ujian Sekolah”. (Wawancara dengan guru Mulok selaku GPK, 18 November
2017).
Guru BK selaku GPK juga mengatakan demikian:
“Khusus bagi anak berkebutuhan khusus tidak ada
tinggal kelas dan harus tetap dinaikkan. Sekolah
menetapkan bagi anak berkebutuhan khusus harus tetap mendapatkan wajib belajar dan tidak
106
ada kata tidak naik kelas, penilaian rapot untuk
anak berkebutuhan khusus masih kami sama dengan anak normal. Anak berkebutuhan khusus
tidak diikutkan pada UN hanya mengikuti tes saja
dan ujian Sekolah, serta tetap mendapatkan surat keterangan lulus dan ijazah yang blangko nya
berbeda. Sesuatu yang masih menjadi dilematis
bagi kami, untuk kedepannya nanti siswa bisa
melanjutkan ke SMA mana masih menjadi sesuatu yang belum diketahui untuk saat ini, karena pada
saat ini SMA & SMK sudah ikut provinsi, Dinas juga
kemarin masih belum bisa memberikan kepastian”. (Wawancara dengan guru BK selaku GPK, 15
November 2017).
Melalui hasil wawancara diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa terkhusus bagi anak
berkebutuhan khusus dalam tahap kenaikan kelas
tetap dinaikkan. Anak berkebutuhan khusus
mengikuti ujian Sekolah dan tetap mendapatkan
ijazah yang blangkonya dikeluarkan oleh Sekolah,
namun hal yang menjadi kebimbangan Sekolah
adalah bagaimana anak berkebutuhan khusus dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
107
4.2.2.3 Kesenjangan antara Permendiknas No 70
Tahun 2009 dengan yang terjadi di
Sekolah
Tabel 4.4
Kesenjangan Pada Tahap Produk
No Komponen Standar Permendiknas
Kinerja SMP N 7 Salatiga
Kesenjangan
1 Hasil belajar
Kenaikan kelas berdasarkan standar Sekolah
Anak berkebutuhan khusus tetap naik kelas dan tidak ada kata tinggal kelas
Tidak ada kesenjangan
2 Rapot Penilaian untuk rapot bagi anak berkebutuhan khusus berbeda
dengan anak normal
Penilaian untuk rapot anak berkebutuhan khusus masih
sama dengan anak normal
Terdapat kesenjangan
3 Ujian Anak berkebutuhan khusus mengikuti ujian Sekolah
Anak berkebutuhan khusus mengikuti ujian Sekolah
Belum ada anak berkebutuhan khusus yang mengikuti ujian Sekolah
4 Ijazah Anak berkebutuhan
khusus mendapatkan ijazah dari Sekolah
Anak berkebutuhan
khusus mendapatkan ijazah berupa surat tanda tamat belajar yang blangkonya dikeluarkan Sekolah
Tidak ada kesenjangan
5 Lulusan Anak berkebutuhan
khusus yang lulus Sekolah mendapat surat keterangan dan ijazah untuk melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi
Belum adanya lulusan anak
berkebutuhan khusus dan masih menjadi problematis bagi Sekolah tentang kelanjutan anak berkebutuhan khusus pada jenjang lebih tinggi
Belum ada lulusan
Sumber: Permendiknas No 70 Tahun 2009 & SMPN 7 Salatiga
108
4.3 Pembahasan
4.3.1 Evaluasi Desain Pelaksanaan Program
Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga
Berdasarkan hasil penelitian, evaluasi desain
dalam program pendidikan inklusi ini meliputi dasar
adanya rencana secara umum tentang tujuan
penyelenggaraan program, peserta didik, sistem
assesmen pembelajaran, kurikulum, tenaga pendidik,
rencana kegiatan pembelajaran, saran dan prasarana,
pembiayaan dan dukungan masyarakat. Dokumen
yang digunakan sebagai acuan dalam rencana
pelaksanaan program pendidikan inklusi dalam
penelitian ini adalah Permendiknas No 70 tahun 2009.
Berdasarkan acuan dari permendiknas no 70
tahun 2009 dan rencana pelaksanaan program
pendidikan inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga harus
mencakup tujuan penyelenggaraan program yang
menjelaskan bahwa pendidikan inklusi memberikan
kesempatan kepada seluruh peserta didik untuk
belajar bersama sehingga tidak adanya diskriminasi.
Sasaran peserta didik inklusi adalah anak
berkebutuhan khusus untuk dapat secara bersama-
sama dengan anak normal di Sekolah regular. Sistem
assesmen pembelajaran seharusnya dilakukan
penilaian khusus bagi ABK karena kemampuan ABK
109
berbeda dengan anak normal namun pelaksanaan
assesemen di Sekolah masih disamakan dengan anak
normal padahal ABK memiliki kemampuan yang
berbeda, Maftuhatin (2014: 209) mengatakan bahwa
penilaian harus disesuaikan dengan kondisi anak
termasuk siswa berkebutuhan khusus.
Sekolah yang menyelenggarakan program
pendidikan inklusi seharusnya ada rencana secara
umum dalam memodifikasi kurikulum untuk
menyesuaikan kondisi siswa yang termasuk
didalamnya siswa berkebutuhan khusus, namun
dalam pelaksanaan pembelajaran guru masih
menggunakan kurikulum secara umum. Kurikulum
yang digunakan untuk program pendidikan inklusi
seharusnya berdasarkan pada standar nasional
pendidikan dan dimodifikasi sesuai dengan
kebutuhan, perkembangan dan karakteristik peserta
didik (Ilahi, 2013; 171, Kemendikbud, 2013: 42,
Tarmansyah, 2007: 145). Namun di Sekolah sudah
mulai ada rencana modifikasi dengan adanya
pembelajaran khusus tentang keterampilan, yang
digunakan untuk membekali ABK untuk
mendapatkan hidup yang layak.
Tenaga pendidik dalam penyelenggaraan
program pendidikan inklusi seharusnya memiliki
110
kompetensi untuk menangani ABK, namun yang
terjadi dilapangan guru masih merasa kurang mampu
menangani ABK, padahal ABK membutuhkan
perhatian dan layanan khusus agar pembelajaran
dapat terlaksana dengan baik. Pendapat ini didukung
juga dengan (Kemendikbud, 2012: 43, Kustawan,
2012: 73) Sekolah yang menyelenggarakan program
pendidikan inklusi harus memenuhi standar
kualifikasi yang telah ditentukan dan guru harus
memiliki kompetensi dalam menangani anak
berkebutuhan khusus.
Rencana secara umum dalam kegiatan
pembelajaran harus dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan siswa dengan memodifikasi materi,
metode, pendekatan, media dan tehnik pembelajaran,
tetapi hal ini berbeda dengan yang terjadi di Sekolah
yaitu guru masih menggunakan materi, metode,
pendekatan, media dan teknik secara umum belum
mempertimbangkan adanya keberadaan dan kondisi
siswa. Seharusnya guru berperan untuk menciptakan
lingkungan belajar yang menarik dan menyenangkan
bagi semua anak. Kelas yang inklusi dapat diartikan
sebagai suatu tempat belajar yang menyenangkan dan
merangsang anak untuk belajar (Maftuhatin, 2014:
208).
111
Sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
program pendidikan inklusi berdasarkan
Permendiknas No 70 Tahun 2009 harus bersifat
aksesibel, sehingga anak berkebutuhan khusus dapat
belajar dengan baik. Sedangkan Sekolah SMP Negeri
7 Salatiga untuk rencana secara umum dalam
pemenuhan sarana dan prasarana belum bersifat
aksesibel dan masih kurang memadai, sehingga
terkadang guru mengalami kendala saat mengajar.
Penelitian Sari (2012) dengan judul “Pelaksanaan
Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan
Payakumbuh” mengatakan bahwa sarana dan
prasarana adalah salah satu faktor penting dalam
penentu keberhasilan program inklusi.
Permendiknas No 70 Tahun 2009 mengenai
pembiayaan harus ditanggung bersama antara
pemerintah, masyarakat dan orangtua. Namun di
Sekolah mengenai rencana secara umum tentang
pembiayaan hanya diambil dari dana BOS dan
mendapat sebagian dukungan orangtua anak
berkebutuhan khusus. Dukungan masyarakat dalam
program pendidikan inklusi menjadi tanggung jawab
bersama (pemerintah, masyarakat dan beberapa
instansi).
112
Dari hasil penelitian tahapan evaluasi desain
terdapat kesenjangan antara permendiknas No 70
Tahun 2009 dengan pelaksanaan yang terjadi di
Sekolah. Kesenjangan tersebut diantaranya pada
rencana umum tentang sistem assesmen
pembelajaran belum adanya rencana umum dalam
penilaian khusus untuk anak berkebutuhan khusus.
Sekolah masih menggunakan kurikulum nasional dan
belum ada rencana secara umum dalam modifikasi
kurikulum. Tenaga pendidik belum memiliki
kompetensi yang tepat untuk menangani ABK.
Rencana pembelajaran belum dikembangkan
sehingga metode pemebelajaran masih secara umum
dan belum ada rencana umum dalam metode
pembelajaran khusus untuk ABK. Rencana secara
umum tentang pemenuhan sarana dan prasarana
penyediaannya kurang memadai untuk pemenuhan
kebutuhan ABK di Sekolah. Rencana umum mengenai
pembiayaan Sekolah hanya menggunakan sebagian
dana dari orangtua ABK dan dana BOS. Serta hanya
mendapat dukungan dari sebagian orangtua ABK dan
beberapa instansi, namun belum maksimal dalam
penanganan ABK.
113
4.3.2 Evaluasi Instalasi Pelaksanaan Program
Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga
Evaluasi instalasi dalam pelaksanaan program
pendidikan inklusi ini meliputi dasar adanya rencana
pelaksanaan tentang peserta didik, sistem assesmen
pembelajaran, kurikulum, tenaga pendidik,
rancangan kegiatan pembelajaran, saran dan
prasarana, pembiayaan dan dukungan masyarakat.
Dokumen yang digunakan sebagai acuan dalam
rencana pelaksanaan program pendidikan inklusi
dalam penelitian ini adalah Permendiknas No 70
tahun 2009.
Peserta didik dalam acuan Permendiknas No 70
Tahun 2009 mengenai rancangan dalam tahap
instalasi harusnya Sekolah menerima anak normal
dan ABK, untuk penerimaan peserta didik baru
dilakukan identifikasi agar dapat mendeteksi siswa
dilakukan tes. Untuk Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga
menerima anak normal dan ABK, tetapi untuk
penerimaan peserta didik baru belum ada rencana
pelaksanaan yaitu tidak ada tes masuk Sekolah.
Belum ada rencana pelaksanaan dalam sistem
assesmen pembelajaran, di Sekolah sebaiknya
dirancang untuk mengetahui kondisi siswa yang
meliputi aspek kompetensi, potensi dan karaketeristik
114
siswa. Di Sekolah belum adanya rancangan assesmen
pembelajaran bagi ABK.
Berdasarkan Permendiknas No 70 Tahun 2009
dalam komponen kurikulum seharusnya dirancang
berdasarkan standar nasional dengan dilakukan
modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan siswa terkhusus juga untuk ABK.
Keadaan yang sesungguhnya di Sekolah SMP Negeri 7
Salatiga menggunakan kurikulum nasional dan belum
membuat rancangan untuk memodifikasi kurikulum
tersebut. Pada saat ini Sekolah hanya membuat
program layanan tentang keterampilan bagi ABK.
Seharusnya untuk rencana pelaksanaan program
pendidikan inklusi modifikasi kurikulum dilakukan
untuk menyederhanakan kurikulum pada realitas
yang komplek, selain itu rencana pelaksanaan dalam
memoodifikasi kurikulum dilakukan untuk
memfokuskan pada praktek pembelajaran. Adapun
tim pengembang kurikulum terdiri dari Kepala
Sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru
pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain
yang terkait (Ilahi, 2013; 171, Kemendikbud, 2013:
42, Tarmansyah, 2007: 145).
Acuan Permendiknas No 70 Tahum 2009
menyatakan pemerintah menyediakan SDM yang
115
sudah memiliki kompetensi sesuai dengan
keahliannya untuk menangani ABK dan
meningkatkan kompetensinya dengan memberikan
pelatihan-pelatihan, seminar dan workshop tentang
pendidikan inklusi. Kenyataan yang terjadi di Sekolah
dimana Dinas hanya menunjuk 2 GPK untuk
menangani 9 ABK sedangkan guru tersebut
merupakan guru mata pelajaran dan belum memiliki
keahlian untuk menangani ABK. Peran guru kelas dan
guru mata pelajaran masih sangat kurang kesadaran
untuk mau membantu, dalam hal peningkatan
kompetensi guru dan GPK juga masih sangat kurang.
Seharusnya Sekolah yang menyelenggarakan program
pendidikan inklusi guru harus memiliki standar
kualifikasi yang telah ditentukan dan memiliki
kompetensi dalam menangani ABK, serta guru yang
berperan meliputi guru kelas, guru mata pelajaran
dan GPK (Kemendikbud, 2012: 43, Kustawan, 2012:
73).
Acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009
tentang rencana pelaksanaan kegiatan pembelajaran
dikembangkan dengan mempertimbangkan
perbedaan individu bagi ABK. Sekolah SMP Negeri 7
Salatiga belum memiliki rencana pelaksanaan dalam
kegiatan pembelajaran yang dikembangkan secara
116
menyeluruh, yang ada hanya rencana pembelajaran
tentang keterampilan. Padahal seharusnya Sekolah
menyusun rancangan pembelajaran pada saat akan
menerapkan program pendidikan inklusi pada awal
akan dijalankan program. Hal ini didukung dengan
pendapat (Maftuhatin, 2014: 208) mengatakan
terlaksananya proses pembelajaran yang ramah
didasarkan oleh rencana pelaksanaan program yang
terencana.
Ketersediaan sarana dan prasarana
penyelenggaraan program pendidikan inklusi
seharusnya mendukung dan memenuhi kebutuhan
siswa termasuk kebutuhan ABK. Hal ini ditujukan
agar anak berkebutuhan khusus mampu mengikuti
pembelajaran yang diselenggarakan. Pada
kenyataannya di Sekolah mengenai rencana
pelaksanaan dalam penyediaan sarana dan prasarana
secara umum sudah cukup namun untuk menunjang
kebutuhan ABK masih kurang memadai. Hal ini
terjadi karena dalam pemenuhannya menunggu saat
siswa membutuhkan saja, sehingga ABK tidak
terlayani dengan baik. Padahal temuan dari penelitian
Sari (2012) dengan judul “Pelaksanaan Inklusi di
Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan
Payakumbuh” bahwa sarana dan prasarana adalah
117
salah satu faktor penting dalam penentu keberhasilan
program inklusi. Sehingga guru-guru dan Kepala
Sekolah harus bertanggung jawab dalam penyediaan
faktor pendukung dan proses pelaksanaan agar
program inklusi dapat berjalan dengan baik. Sekolah
SMP Negeri 7 Salatiga sudah berusaha untuk
memenuhi sarana dan prasarana yang dapat
mencover ABK, sedangkan dalam temuan Sari tidak
terlaksana dengan baik. Maka seharusnya Sekolah
yang melaksanakan program pendidikan inklusi
hendaknya menyediakan sarana dan prasarana yang
memadai dan dapat menjamin kebutuhan peserta
didik agar proses pembelajaran dapat dilakukan
dengan baik khususnya bagi anak berkebutuhan
khusus (Kustawan, 2012: 80).
Pembiayaan dan dukungan masyarakat dalam
penyelenggaraan program pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama baik pemerintah,
masyarakat dan instansi. Namun pemerintah kurang
peduli dengan proses pelaksanaannya, mengenai hal
pembiayaan pun ketika Sekolah mengajukan dana
untuk kebutuhan anak berkebutuhan khusus
pemerintah belum merespon. Masyarakat dan
beberapa intansi yang membantu penyelenggaraan
program pendidikan inklusi belum maksimal.
118
Sehingga untuk pembiayaannya Sekolah harus
mengambil dari dana BOS yang sesungguhnya masih
sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan siswa
terutama ABK. Keuangan dan peran masyarakat
merupakan faktor penting bagi terlaksana program
pendidikan inklusi di Sekolah (Kartikha, 2016).
Tahapan evaluasi instalasi terdapat
kesenjangan yang muncul yaitu tidak ada tes pada
saat penerimaaan peserta didik. Dalam sistem
assesemen pembelajaran belum adanya rencana
pelaksanaan dalam penilaian khusus bagi anak
berkebutuhan khusus. Kurikulum belum adanya
rencana modifikasi sesuai dengan kondisi dan
keadaan anak berkebutuhan khusus, hanya ada
rancangan program tahunan layanan inklusi bagi
anak berkebutuhan khusus yaitu tentang
pembelajaran keterampilan. Penyediaan SDM dari
Dinas menyediakan 2 GPK bagi ABK dan mengenai
peningkatan kompetensi guru masih minim.
Rancangan pembelajaran masih bersifat umum,
belum di rancang metode, media, materi atau bahan
ajar yang sesuai dengan pendekatan program inklusi
terkhusus dapat mencakup anak berkebutuhan
khusus.
119
Komponen Sarana dan prasarana belum adanya
rencana pelaksanaan yang aksesibel untuk ABK dan
masih kurang memadai untuk kebutuhan ABK,
sehingga guru mengalami kendala saat mengajar.
Mengenai komponen pembiayaan hanya mendapat
dari dana BOS dan sebagian dari orangtua ABK belum
adanya bantuan dari pihak lainnya terutama dari
Dinas, Sekolah sudah mengajukan proposal namun
belum mendapat respon. Pada komponen dukungan
masyarakat Sekolah hanya mendapat dukungan dari
orangtua anak berkebutuhan khusus dan beberapa
instansi tetapi masih kurang maksimal.
4.3.3 Evaluasi Proses Pelaksanaan Program
Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga
Pada tahap evaluasi proses, menekankan pada
proses kegiatan belajar siswa, kegiatan mengajar
guru, kegiatan pembelajaran, sarana dan prasarana,
serta dukungan masyarakat.
Dalam Permendiknas No 70 Tahun 2009
kegiatan belajar ABK dilakukan bersama-sama
dengan anak normal agar memperoleh pendidikan
yang sama, namun dalam pelaksanaannya ABK
seringkali mengalami kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena guru belum memodifikasi
120
metode pembelajaran yang mempertimbangkan
kondisi ABK. Meskipun mendapat pendidikan yang
sama harusnya ABK mendapat layanan khusus dari
guru dan GPK karena kondisi anak berkebutuhan
khusus yang berbeda dengan anak normal.
Seharusnya dalam pembelajaran seorang guru harus
memahami setiap anak didiknya yang memiliki
keunikan, kemampuan, minat, kebutuhan dan
karaketristik yang berbeda-beda, kemudian
dipadukan metode yang dirancang dengan
mempertimbangkan kondisi ABK (Maftuhatin, 2014:
208).
Pada proses pelaksanaan kegiatan mengajar
guru dalam acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009
guru kelas menerapkan pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan siswa dan dapat memberikan metode
pembelajaran yang berbeda terhadap ABK sesuai
dengan karakteristik ABK. Serta GPK mendampingi
ABK pada saat pembelajaran. Namun pada
kenyataannya di Sekolah guru-guru belum sepakat
atau sehati untuk memberikan perhatian kepada para
siswa peserta pendidikan inklusi. Guru juga tidak
membedakan kurikulum dan materi atau bahan ajar
secara terstruktur yang bisa mencover kondisi ABK.
Kendala lain yang dialami, guru GPK masih kesulitan
121
untuk mendapatkan penilaian deskriptif mengenai
perkembangan anak berkebutuhan khusus dari para
guru kelas sebab ada beberapa guru yang merasa
keberatan karena sudah mengemban banyak tugas
lainnya. Padahal (Yusuf, 2014: 14) menjelaskan
bahwa pendidik harus bisa menyesuaikan kebutuhan
dan karakteristik siswa. Artinya Jika belum semua
guru memberikan perhatian kepada anak
berkebutuhan khusus maka program ini jelas belum
berjalan dengan baik, karena anak berkebutuhan
khusus membutuhkan penanganan dan perhatian
khusus agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik
dan anak berkebutuhan khusus dapat mengikuti
pembelajaran dengan baik. Penelitian Mitiku (2014)
dengan judul “Challenges and Oppourtunities to
Implement Inclusive Education” juga menemukan
kurangnya kesadaran, komitmen dan kerjasama
pendidik dalam pelaksanaan program pendidikan
inklusi. Sedangkan yang ditemukan peneliti di
Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga sudah ada kesadaran
dari guru untuk melaksanakan program pendidikan
inklusi, hanya terkadang guru mengalami kesulitan
untuk menangani anak berkebutuhan khusus karena
belum sesuai kualifikasi kompetensinya.
122
Berdasarkan acuan dari Permendiknas No 70
Tahun 2009 dalam kegiatan pembelajaran pada
pelaksanaan program pendidikan inklusi harus sesuai
dengan kebutuhan siswa dengan setting kelas inklusi,
kemudian guru menggunakan strategi variatif dan
PAKEM sesuai karaketeristik kebutuhan siswa, serta
guru seharusnya melakukan proses penilaian hasil
belajar secara beragam dan berkesinambungan sesuai
dengan kondisi siswa. Sedangkan di Sekolah dalam
kegiatan pembelajaran anak berkebutuhan khusus
mengikuti dan mendapatkan materi yang sama
dengan anak normal, dalam hal pemakluman guru
harus memaklumi dengan adanya anak
berkebutuhan khusus tapi tidak dapat memberikan
perhatian secara khusus. Proses penilaian dari hasil
belajar anak berkebutuhan khusus juga masih
disamakan dengan anak normal. Padahal dalam
Direktorat PPK-LK (2011: 11) untuk mengoptimalkan
layanan pendidikan di Sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif, dalam pengelolaannya perlu
memperhatikan penerapan sistem manajemennya
berbasis Sekolah dalam perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengoordinasian,
pengawasan dan pengevaluasian, baik yang berkaitan
123
dengan peserta didik, kurikulum, ketenagaan, sarana
dan prasarana serta penataan lingkungan.
Mengenai sarana dan prasarana dalam
pelaksanaan program pendidikan inklusi seharusnya
ada penyediaan secara umum dan ada juga secara
khusus yang bersifat aksesibel untuk anak
berkebutuhan khusus. Hal ini juga diungkapkan oleh
penelitian Sari (2012) dengan judul “Pelaksanaan
Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan
Payakumbuh” bahwa sarana dan prasarana adalah
salah satu faktor penting dalam penentu keberhasilan
program inklusi. Namun Sekolah SMP Negeri 7
Salatiga dalam pemenuhan sarana dan prasarananya
masih mengalami kendala karena hanya mendapat
dukungan dari sebagian orangtua siswa dan dana
BOS, maka sarana dan prasarana yang ada masih
terbatas dan masih belum aksesibel untuk ABK.
Sekolah telah melakukan pengajuan proposal kepada
Dinas untuk pengadaan dana akan tetapi belum
mendapat respon. Padahal terdapat penjelasan yang
mengatakan bagi Sekolah yang melaksanakan
program pendidikan inklusi hendaknya menyediakan
sarana dan prasarana yang memadai dan dapat
menjamin kebutuhan peserta didik, sehingga proses
124
pembelajaran berjalan dengan baik khususnya bagi
anak berkebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 80).
Berdasarkan acuan dari Permendiknas No 70
Tahun 2009 menyatakan perlu adanya dukungan dari
pemerintah, masyarakat dan instansi terkait dalam
proses pelaksanaan program pendidikan inklusi yang
dapat berperan dalam perencanaan, penyediaan
tenaga ahli, mengambil keputusan, pelaksanaan
pembelajaran, pendanaan, pengawasan, penyaluran
lulusan. Sedangkan untuk dukungan masyarakat di
Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga telah mendapat
dukungan dari sebagian orangtua ABKdan menjalin
kerjasama dengan beberapa instansi namun belum
maksimal. Mengenai penyelenggaraan program
pendidikan inklusi Kepala Sekolah belum
menyampaikan kepada Komite. Padahal untuk
berjalannya sebuah program harus adanya kerjasama
yang baik antara Sekolah dengan Pemerintah,
masyarakat, dan instansi untuk mewujudkan
program secara maksimal. Hal ini juga didukung
dengan penelitian sebelumnya oleh Mitiku, dkk (2014)
dengan judul “Challenges and Opportunities to
Implement Inclusive Education” yang mengatakan pada
implementasi penuh dari pendidikan inklusi harus
ada kerjasama yang kuat antar pemangku
125
kepentingan, LSM, dan badan-badan yang
bersangkutan untuk mewujudkan perjalanan menuju
pendidikan inklusi.
Kesenjangan yang terjadi pada tahapan evaluasi
proses adalah pada kegiatan belajar siswa, ABK masih
mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran
karena siswa tidak mendapatkan layanan khusus saat
proses pembelajaran berlangsung. Pada kegiatan
mengajar guru masih menggunakan materi atau
bahan ajar secara umum dan belum didesain dengan
mempertimbangkan adanya ABK dan GPK belum bisa
sepenuhnya melakukan pendampingan terhadap
ABK. Saat kegiatan pembelajaran ABK dalam proses
pembelajaran masih mengikuti dan mendapatkan
materi yang sama dengan anak normal, guru
memaklumi adanya ABK tapi tidak untuk
dikembangkan, serta untuk proses penilaian bagi ABK
juga masih disamakan dengan anak normal.
Penyediaan sarana dan prasarana hanya diambil dari
dana BOS saat diperlukan baru diajukan. Dukungan
masyarakat hanya sebagian dari orangtua ABK dan
menjalin kerjasama dengan instansi, namun belum
maksimal. Mengenai program pendidikan inklusi
komite masih belum disampaikan oleh Kepala
Sekolah.
126
4.3.4 Evaluasi Produk Pelaksanaan Program
Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 7 Salatiga
Evaluasi pada tahap produk terhadap hasil
pelaksanaan program pendidikan inklusi di SMP
Negeri 7 Salatiga meliputi hasil belajar, rapot, ujian,
ijazah dan lulusan ABK.
Berdasarkan acuan dari permendiknas No 70
Tahun 2009 untuk hasil belajar ABK pada setiap
kenaikan kelas berdasarkan standar nasional, sejalan
dengan pemahaman ini Sekolah membuat penetapan
berdasarkan peraturan yang ada dan khusus bagi
ABK tidak akan pernah tinggal kelas. Hal ini juga
didukung dengan (Ilahi, 2013: 25) mengatakan
pendidikan inklusi dimaknai sabagai bentuk
reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti
diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan
kesempatan, keadilan dan perluasan akses bagi
semua, serta mengubah pandangan sikap masyarakat
terhadap anak berkebutuhan khusus. Didukung
dengan penelitian yang dilakukan oleh Lukitasari
(2017) hasil penelitian menunjukkan bahwa
impelementasi kebijakan pendidikan inklusi di kota
Salatiga dinilai baik dengan pencapaian 65%, terlihat
dari meningkatnya jumlah peserta didik ABK dan
127
kurangnya diskriminasi terhadap siswa ABK. Serta
hasil penelitian di Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga
menambahkan dengan adanya GPK ABK dapat
terlayani secara khusus.
Melalui acuan Permendiknas No 70 Tahun 2009
dalam komponen penilaian bagi ABK juga dibedakan
dengan anak normal, sehingga hasil belajar berupa
rapot ABK seharusnya terkhusus atau berbeda
dengan anak normal. Akan tetapi pada kenyataannya
di Sekolah hasil belajar penilaian rapot ABK masih
disamakan dengan anak normal. ABK mendapatkan
ijazah berupa surat tanda tamat belajar dari Sekolah.
Dalam rencana pelaksanaan yang telah dirancang
Sekolah, dimana ABK mendapatkan ijazah berupa
surat tanda tamat belajar yang blangkonya
dikeluarkan oleh Sekolah dengan mendapat cap dari
Dinas.
Lulusan peserta didik seharusnya ABK
mendapat surat keterangan dan ijazah untuk
melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi. Pada saat
ini Sekolah SMP Negeri 7 Salatiga belum adanya
lulusan mengenai ABK, namun pernah diungkapkan
oleh pihak Sekolah yang mengatakan bahwa apabila
saat adanya lulusan ABK kedepannya akan menjadi
sebuah problematis bagi Sekolah untuk memberikan
128
rekomendasi dan kepastian bagi siswa untuk dapat
melanjutkan pada tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, hal ini dikarenakan SMA atau SMK sudah
mengikuti aturan Provinsi. Namun Sekolah merasa
dengan adanya ABK yang Sekolah di SMP Negeri 7
Salatiga pada saat siswa lulus mereka mendapatkan
persamaan hak memperoleh pendidikan yang sama
dengan anak normal, dapat mengembangkan
kecerdasan sosial, emosional dan moral terhadap
lingkungan sekitar. Pendapat ini didukung juga
dengan manfaat program pendidikan inklusi menurut
Lab PAUD Inklusi Fakutas Psikologi UGM yaitu ABK
dapat mengembangkan kecerdasan emosional,
memiliki kesempatan belajar secara langsung, nyata
serta objektif.
Terdapat kesenjangan pada tahapan evaluasi
produk antara lain pada komponen hasil belajar
dalam penilaian rapot bagi ABK masih disamakan
dengan anak normal.