166
181 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini membahas konteks dan sasaran penelitian berupa objek dan lokasi penelitian yang terkait dengan masalah yang diteliti. Bab ini mengungkap, menjelaskan dan menganalisis hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya. 4. 1 Karakteristik Industri Kreatif yang menjadi Sampel Penelitian Industri kreatif fashion produk tekstil adalah salah satu industri prioritas di dalam roadmap Making Indonesia 4.0yang sudah dicanangkan Presiden Republik Indonesia pada Bulan April 2018 lalu. Industri kreatif fashion adalah salah satu industri unggulan di Propinsi Jawa Barat. Namun demikian terlihat kinerja perusahaan di industri ini tidak konsisten. Penelitian ini menganalisis dan memprediksikan model kinerja perusahaan berbasiskan kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal intelektual dan kinerja inovasi. Berdasarkan perhitungan power analysis dengan menggunakan software G*Power, jumlah sampel minimal penelitian ini adalah 219 buah perusahaan dari 6 kabupaten/kota pemilik sentra pakaian produk tekstil di Jawa Barat yang dipilih dengan teknik sampling kombinasi (cluster, simple random dan accidental). Namun pada akhirnya terkumpul 297 perusahaan, karena dari beberapa daerah seperti Kabupaten Bandung, tingkat partisipasi perusahaan cukup tinggi. Data selengkapnya bisa dilihat tabel berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANmedia.unpad.ac.id/thesis/120430/2015/120430150522_4_3659.pdfGambar 4. 1 Lama Usaha Berdiri beserta Jumlah karyawan Berdasarkan gambar 4.1 di atas,

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

181

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas konteks dan sasaran penelitian berupa objek dan lokasi

penelitian yang terkait dengan masalah yang diteliti. Bab ini mengungkap,

menjelaskan dan menganalisis hasil penelitian dengan menggunakan pendekatan

yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya.

4. 1 Karakteristik Industri Kreatif yang menjadi Sampel Penelitian

Industri kreatif fashion produk tekstil adalah salah satu industri prioritas di

dalam roadmap “Making Indonesia 4.0” yang sudah dicanangkan Presiden

Republik Indonesia pada Bulan April 2018 lalu. Industri kreatif fashion adalah

salah satu industri unggulan di Propinsi Jawa Barat. Namun demikian terlihat

kinerja perusahaan di industri ini tidak konsisten.

Penelitian ini menganalisis dan memprediksikan model kinerja perusahaan

berbasiskan kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal intelektual dan

kinerja inovasi. Berdasarkan perhitungan power analysis dengan menggunakan

software G*Power, jumlah sampel minimal penelitian ini adalah 219 buah

perusahaan dari 6 kabupaten/kota pemilik sentra pakaian produk tekstil di Jawa

Barat yang dipilih dengan teknik sampling kombinasi (cluster, simple random dan

accidental). Namun pada akhirnya terkumpul 297 perusahaan, karena dari

beberapa daerah seperti Kabupaten Bandung, tingkat partisipasi perusahaan cukup

tinggi. Data selengkapnya bisa dilihat tabel berikut:

182

Tabel 4. 1

Jumlah Perusahaan yang Berpartisipasi pada Penelitian

KBLI Produk Pakaian Jadi Kab/ Kota

Jumlah

Sampel

Minimal

Perusahaan

Jumlah

perusahaan

yang

berparti-

sipasi

14111 Pakaian jadi (konveksi)

dari tekstil

1. Kab. Garut 13 20

2. Kab Cirebon 9 16

3. Kab

Tasikmalaya 3 8

4. Kab Bandung

130 199

14131 Perlengkapan pakaian

dari tekstil 16 20

14111 Pakaian jadi (konveksi)

dari tekstil 5. Kota Bandung 27 4

14301 Pakaian jadi rajutan 15 19

14111 Pakaian jadi (konveksi)

dari tekstil

6. Kota

Tasikmalaya 5 11

Jumlah 6 219 297

Sumber: Hasil penelitian

Penelitian ini melibatkan 297 industri kreatif fashion produk tekstil yang

berlokasi di enam kabupaten dan kota terpilih di Jawa Barat yakni Kabupaten

Garut, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kota

Bandung dan Kota Tasikmalaya. Berikut disajikan profil perusahaan yang terlibat

pada penelitian ini.

183

Sumber : Hasil penelitian

Gambar 4. 1 Lama Usaha Berdiri beserta Jumlah karyawan

Berdasarkan gambar 4.1 di atas, mayoritas lama usaha perusahaan yang

terlibat pada penelitian ini adalah 5 tahun atau lebih (73%). Sedangkan

perusahaan yang berusia 3 tahun berjumlah 19%, dan berusia 4 tahun sejumlah

8%. Kemudian, dari total 297 perusahaan, 255 diantaranya merupakan perusahaan

berukuran kecil dengan 5-19 orang karyawan. Sebanyak 41 perusahaan berukuran

menengah dengan 20-99 orang karyawan. Sedangkan satu perusahaan tidak

menjawab.

Sumber : Hasil penelitian

Gambar 4. 2 Pendidikan Terakhir karyawan dan Responden

184

Pada gambar 4.2 di atas terlihat bahwa mayoritas pendidikan terakhir

karyawan pada perusahaan yang terlibat pada penelitian ini berpendidikan

SLTP/sederajat (44%). Diikuti oleh tamatan SD/sederajat/tidak menamatkan

sebanyak 39%. Sisanya adalah berpendidikan SLTA/sederajat sebesar 13%,

D3/D4/S1 sebesar 3% dan tidak menjawab 1%.

Berbeda dengan karyawan, pada gambar 4.2 terlihat bahwa mayoritas

responden justru berpendidikan lebih rendah. Sebesar 36% responden

berpendidikan terakhir SD/sederajat/tidak menamatkan. Diikuti oleh jumlah

tamatan SLTA/sederajat yakni 28%, dan SLTP/derajat sejumlah 24%. Sisanya

berpendidikan lebih tinggi.

Pada gambar 4.3 terlihat bahwa 50% responden menyatakan bahwa

mereka sudah menekuni bisnis yang dijalankan saat ini selama lebih dari 9 tahun.

18% menyatakan bahwa mereka sudah menggeluti bisnis ini selama 5-6 tahun,

11% selama 7-8 tahun, dan sisanya dengan lama pengalaman 4 tahun atau kurang.

Sedangkan usia responden mayoritas 41-50 tahun (38%). Diikuti oleh usia 31-40

tahun (33%), 21-30 tahun (19%), >50 tahun (8%), dan 20 tahun atau kurang (2%).

Sumber : Hasil penelitian

Gambar 4. 3Pengalaman dan Usia Responden

185

4. 2 Deskripsi Kapabilitas Dinamis, Manajemen Pengetahuan, Modal

Intelektual, Kinerja Inovasi dan Kinerja Perusahaan di Industri Kreatif

Fashion Produk Tekstil di Jawa Barat

Berikut ini disajikan tanggapan/persepsi responden atas variabel kapabilitas

dinamis, manajemen pengetahuan, modal intelektual, kinerja inovasi dan kinerja

perusahaan di industri kreatif fashion produk tekstil di Jawa Barat

4.2.1. Kapabilitas Dinamis Industri Kreatif Fashion Produk Tekstil di Jawa

Barat.

Kapabilitas dinamis pada penelitian ini didefinisikan sebagai kemampuan

perusahaan untuk memperbarui sumberdaya yang dimiliki serta proses

pengelolaannya melalui penginderaan atas peluang dan tantangan, membuat

keputusan tepat waktu dan mengimplementasikan perubahan dalam rangka

meningkatkan kinerja perusahaan.

Uraian berikut akan memberikan gambaran distribusi jawaban responden

terkait dengan indikator-indikator kapabilitas dinamis pada setiap dimensi/sub

variabel.

1. Penginderaan strategis

Penginderaan strategis mencerminkan proses untuk mengembangkan peta

kognitif, merasakan dan menginterpretasikan stimulus atau perubahan terkait

referensi untuk secara efektif mencari dan menganalisis informasi dari lingkungan

internal dan eksternal. Penginderaan strategis diukur melalui indikator:

perbandingan usaha dengan perusahaan lain, diskusi tentang permintaan pasar dan

memantau perubahan tren.

186

Berikut ini disajikan tanggapan responden mengenai dimensi/sub variabel

penginderaan strategis:

Tabel 4. 2

Dimensi/Sub Variabel Penginderaan Strategis

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Tidak

pernah)

2

(Hampir

tidak

pernah)

3

(Kadang-

kadang)

4

(Sering)

5

(Sangat

sering) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Perbandingan

usaha dengan

perusahaan lain

(PS1)

41 13,8 39 13,1 142 47,8 60 20,2 15 5,1 3

Diskusi internal

tentang

permintaan pasar

(PS2)

92 31,0 76 25,6 94 31,6 22 7,4 13 4,4 3

Memantau

perubahan tren

(PS3)

58 19,5 50 16,8 121 40,7 55 18,5 13 4,4 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

Informasi tentang tren/kebutuhan pasar hanya berasal dari pemesan/pedagang perantara

atau dengan melihat apa yang tengah diproduksi oleh perusahaan lain yang sejenis.

Perusahaan mengikuti yang dibuat oleh perusahaan sejenis (PS3,PS1).

Perusahaan melakukan aktifitas ATM (amati, tiru dan modifikasi). Pengusaha

menyampaikan ekspektasi produknya kepada karyawan (PS2).

Upaya secara aktif / meluangkan waktu khusus untuk mencari informasi kebutuhan

pasar/tren melalui internet/media sosial belum dilakukan secara khusus, terutama pada

perusahaan dengan usai pengusaha di atas 50 tahun. Kendala yang sering dikemukakan

adalah rendahnya kemampuan penggunaan teknologi digital untuk kepentingan pencarian

tren terkini (PS3).

Sumber: Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa mayoritas responden memberi

penilaian 3 untuk setiap indikator. Hal ini mencerminkan bahwa mayoritas

perusahaan kadang-kadang melakukan perbandingan usaha dengan perusahaan

lain, kadang-kadang melakukan diskusi secara internal tentang permintaan pasar

dan kadang-kadang memantau perubahan tren. Melakukan perbandingan usaha

dengan perusahaan lain memiliki persentase terbesar (47,8%) dibandingkan

187

indikator lain pada nilai modus 3. Sedangkan melakukan diskusi internal tentang

permintaan pasar adalah indikator dengan persentase terendah (31,6%) pada nilai

modus 3. Oleh karena indikator yang paling banyak dipilih rensponden adalah 3,

maka dimensi/sub variabel penginderaan strategis bisa dikatakan cukup tinggi.

Masih terdapat peluang untuk meningkatkan penginderaan strategis agar mencapai

nilai modus 4 dan bahkan 5.

Li and Liu (2014) menyatakan bahwa tujuan akhir yang ingin diraih

perusahaan adalah memperoleh laba melalui penyediaan produk atau jasa yang

dibutuhkan oleh konsumen. Perusahaan harus sensitif terhadap perubahan

lingkungan eksternal dan menemukan peluang pasar baru atau potensi ancaman.

Oleh sebab itu, kapasitas penginderaan strategis adalah kunci perusahaan bertahan

dalam lingkungan bisnis yang terus berubah (Zahra & George, 2002). Melalui

analisis menyeluruh atas lingkungan bisnis dan sumber daya yang dimilikinya,

perusahaan akan memahami dirinya dan pesaing (Li & Liu, 2014). Melalui

perbandingan usaha dengan pesaing, perusahaan akan mampu menilai,

mengembangkan dan mentransformasi kapabilitas organisasi saat ini. Pemahaman

akan apa yang dilakukan perusahaan lain akan menghindarkan perusahaan

menjadi korban kesuksesan masa lalu (Protogerou et al., 2011).

Terkait indikator melakukan perbandingan usaha dengan perusahaan lain

(PS1), berdasarkan hasil wawancara dengan Cepi Andriana, Ketua Koperasi

Industri Rajutan Binong Jati (KIRBI) dan pengolahan data kualitatif kuesioner

dengan responden, terungkap bahwa perbandingan usaha yang dilakukan

perusahaan adalah dengan melihat apa yang diproduksi oleh perusahaan-

188

perusahaan lain. Jika ada yang memproduksi suatu produk, maka yang lain

cenderung mengikuti. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Sekretaris Koperasi

Mitra Tasik di Kabupaten Bandung, bahwa kecenderungan pengusaha di sentra

adalah mengikuti tindakan dan produk dari perusahaan lain.

Pada indikator melakukan diskusi internal tentang permintaan pasar (PS2),

pengusaha mengkomunikasikan ide produk kepada karyawan. Ide baru atau model

baru akan mempengaruhi kecepatan produksi karena menyangkut adanya proses

pembelajaran baru dan kegiatan uji coba oleh karyawan. Oleh sebab itu pengusaha

berkomunikasi secara langsung dengan karyawan terkait harapannya terhadap

produk baru tersebut sekaligus menetapkan lama waktu penyelesaiannya.

Biasanya adalah pengusaha meminta karyawan untuk memproduksi satu jenis

produk contoh. Kemudian pengusaha akan me-review produk tersebut untuk

penyempurnaan. Oleh karena itu, diskusi internal sudah cukup terjadi, meskipun

kadang pendekatannya masih bersifat top down dari pengusaha kepada para

karyawan.

Sedangkan untuk indikator memantau perubahan tren (PS3), diperoleh

informasi bahwa perusahaan memperoleh informasi tren terutama dari produk

yang dibuat oleh pesaing, tren busana artis, permintaan konsumen ataupun

mencari informasi melalui media internet. Bahkan ada pengusaha yang

menyatakan bahwa kunci usahanya masih bisa bertahan adalah karena mampu

memprediksi tren kedepan. Sebagai rule of thumbs adalah bahwa setiap minggu

itu perusahaan harus menghasilkan paling tidak delapan model terbaru. Jika tidak,

maka produk mereka akan kalah di pasaran. Konsumen tidak akan mau membeli

189

barang dengan model yang sama dengan minggu lalu, ataupun model yang sudah

diproduksi lebih dahulu oleh pesaing di pasar. Informasi tersebut kemudian

mereka olah menjadi produk yang diinginkan oleh pemesan atau pedagang

perantara tersebut. Sehingga aktivitas amati, tiru dan modifikasi yang dijalankan.

Upaya secara aktif dan meluangkan waktu mencari informasi kebutuhan

pasar/tren melalui media seperti internet/media sosial belum terlalu tinggi,

terutama pada perusahaan dengan pengusaha berusia di atas 50 tahun. Kendala

yang sering dikemukakan adalah rendahnya kemampuan penggunaan teknologi

digital untuk kepentingan pencarian tren terkini. Artinya adalah bahwa

permasalahannya bukan terletak pada ketersediaan handphone/teknologi

pencarian internet, namun lebih dipengaruhi oleh masih rendahnya kemampuan

pemanfaatan teknologi untuk pencarian informasi yang lebih baru. Sehingga

mereka cenderung memproduksi barang dan model yang relatif tidak banyak

mengalami perubahan dari waktu-kewaktu.

Sedangkan pengusaha yang berusia lebih muda cenderung lebih terbuka

terhadap ide-ide yang datang dari luar. Sebagai contoh, seorang pengusaha di

Sentra Rajut Binong Jati, Kota Bandung menyatakan bahwa dia melakukan

pencarian ide produk dan pemasaran produk melalui internet. Sehingga

perusahaannya menghasilkan syal dan pakaian wanita dari rajutan dengan motif

yang lebih mengikuti perkembangan zaman. Sedangkan orang tuanya yang

menjalankan usaha yang sama, masih memproduksi sweater sebagaimana

diproduksi selama ini. Hal yang sama juga dilakukan oleh salah seorang

190

responden dari daerah Soreang, Kabupaten Bandung. Pengusaha tersebut

menyatakan bahwa ide diperoleh antara lain dari media sosial.

2. Pengambilan keputusan tepat waktu.

Pengambilan keputusan tepat waktu terkait dengan pemenuhan kebutuhan

pasar secara cepat. Kecepatan perusahaan memenuhi harapan pasar diukur

dengan dua indikator yakni: kecepatan penanganan perbedaan pendapat dan

penyelesaian ketidakpuasan pelanggan.

Pernyataan responden tentang pengambilan keputusan tepat waktu

ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4. 3

Dimensi/Sub Variabel Pengambilan Keputusan Tepat Waktu

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

lambat)

2

(Lambat)

3

(Cukup

cepat)

4

(Cepat)

5

(Sangat

cepat)

Mo

dus

F % F % F % F % F %

Kecepatan

penanganan

perbedaan

pendapat (PK1)

3 1,0 57 19,2 168 56,6 58 19,5 11 3,7 3

Penyelesaian

ketidakpuasan

pelanggan (PK2)

4 1,3 16 5,4 154 51,9 91 30,6 32 10,8 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

“kurang memahami penyebab masalah sehingga sering terlambat mengambil keputusan”,

“Kurang komunikasi dengan karyawan”, “ takut resiko” (PK1).

Disamping itu juga diperoleh informasi: “Karyawan lalai/berleha-leha, tidak komit

terhadap produksi”, “karyawan sering menghilang”, “Adanya sistem karyawan tidak tetap

sehingga tingkat keluar masuk perusahaan mereka tinggi” yang berakibat lamanya

penyelesaian ketidakpuasan pelanggan (PK2).

Sumber : Hasil penelitian

191

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai modus jawaban responden

terhadap dua indikator dimensi/sub variabel pengambilan keputusan tepat waktu

adalah 3. Hal ini mencerminkan bahwa secara umum kemampuan perusahaan

menyelesaikan masalah perbedaan pendapat yang mungkin menghambat proses

produksi dan penyelesaian ketidakpuasan pelanggan di industri kreatif fashion

produk tekstil di Jawa Barat cukup cepat. Kecepatan penanganan perbedaan

pendapat memiliki persentase yang lebih dominan (56,6%) dibandingkan

indikator penyelesaian ketidakpuasan pelanggan (51,9%) pada nilai modus 3.

Oleh karena indikator yang paling banyak dipilih rensponden adalah 3, maka

dimensi/sub variabel pengambilan keputusan tepat waktu bisa dikatakan cukup

tinggi.

Dari dua indikator tersebut, jumlah responden yang memberi penilaian 3

terhadap indikator penyelesaian masalah perbedaan pendapat (PK1) lebih banyak

dibanding responden yang memberikan penilaian 3 untuk indikator penyelesaian

ketidakpuasan pelanggan (PK2). Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas

perusahaan lebih mampu secara cepat dalam menangani perbedaan pendapat

dibandingkan menyelesaikan ketidakpuasan pelanggan. Penanganan perbedaan

pendapat (PK1) cukup cepat dilakukan karena pengusaha memegang peranan

sentral di perusahaan. Komunikasi yang terbentuk bersifat top-down. Namun

demikian, penanganan perbedaan pendapat terkadang terkendala tidak

diketahuinya penyebab masalah yang sesungguhnya sehingga membuat

pengambilan keputusan menjadi tertunda, ataupun ketakutan pemilik atau pelaku

usaha mengambil keputusan karena menimbulkan resiko tertentu.

192

Berdasarkan hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa

kecepatan menyelesaian ketidakpuasan pelanggan terkadang masih terhambat

karena kurangnya jumlah karyawan ataupun keterlambatan penyelesaian

pekerjaan oleh karyawan. Pola pengelolaan karyawan dengan pola ikatan kerja

yang bersifat informal/tidak tetap membuat karyawan memiliki komitmen yang

rendah, serta dengan mudah juga berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan

yang lain di dalam sentra. Selain itu, rendahnya komitmen karyawan, terutama

karyawan tidak tetap, dalam menyelesaikan tugasnya sehingga sering

menyebabkan produk tidak selesai tepat waktu adalah juga merupakan hambatan

lain yang dirasakan. Pada kenyataannya di sentra pakaian justru banyak

perusahaan yang mempekerjakan karyawan tidak tetap tersebut yang terdiri atas

warga sekitar tempat usaha. Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat bahwa

masih terdapat ruang untuk meningkatkan kapabilitas pengambilann keputusan

agar mencapai nilai modus 4 dan bahkan 5, jika kendala-kendala yang ada bisa

diatasi.

Keterlambatan perusahaan dalam menangani perbedaan pendapat dan

penyelesaian ketidakpuasan pelanggan bisa menghambat upaya perusahaan untuk

meraih keunggulan. Sebagaimana dinyatakan oleh Eisenhardt and Martin (2000)

bahwa potensi untuk meraih keunggulan bersaing yang berkelanjutan tidak hanya

terkait seberapa mampu perusahaan mengubah sumber daya, namun juga seberapa

cepat mereka melakukannya. Hal ini sejalan dengan semangat kapabilitas dinamis

yang pertama kali dikemukakan oleh Teece et al. (1997) bahwa kapabilitas

193

dinamis terkait dengan kemampuan merekonfigurasi dan mentransformasi sumber

daya sebelum pesaing melakukannya.

3. Implementasi perubahan

Implementasian perubahan adalah kemampuan untuk mengeksekusi dan

mengkoordinasikan keputusan strategis dan perubahan perusahaan, yang

melibatkan beragam proses manajerial dan organisasional, tergantung pada sifat

dari tujuan dan tugas khusus yang dibutuhkan (Harreld, O'Reilly, & Tushman,

2007). Dimensi/sub variabel ini diukur dengan dua indikator yakni melalui

kualitas sistem penghargaan, dan sistem pengendalian karyawan.

Tanggapan responden terkait implementasi perubahan disajikan sebagai

berikut:

Tabel 4. 4

Dimensi/Sub Variabel Implementasi Perubahan

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

tidak

mampu)

2

(Tidak

mampu)

3

(Cukup

mampu)

4

(Mampu)

5

(Sangat

mampu) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Sistem

penghargaan

karyawan (IP1)

4 1,3 23 7,7 172 57,9 87 29,3 11 3,7 3

Sistem

pengendalian

karyawan (IP2)

3 1,0 13 4,4 178 59,9 69 23,2 34 11,4 3

B. Data Kualitatif

Kendala yang sering ditemui: “Kurang sinkronnya keinginan perusahaan dengan karyawan”,

“karyawan tidak mau tahu”, “karyawan sering berpindah pekerjaan”, “karyawan sudah

terbiasa dengan pola kerja yang lama”, “karyawan tidak tetap, susah mencari karyawan

terutama yang memiliki keterampilan”, sehingga sistem tidak terlalu berdampak (IP1,

IP2).

Sumber : Hasil penelitian

194

Data pada tabel di atas terlihat bahwa bahwa nilai modus jawaban

responden terhadap dua indikator dimensi/sub variabel implementasi perubahan

adalah 3. Hal ini mencerminkan bahwa sistem penghargaan dan pengendalian

karyawan cukup mampu memotivasi dan memastikan karyawan mengikuti

ketentuan perusahaan. Sistem pengendalian karyawan memiliki persentase

frekuensi yang lebih besar (59,9%) dibandingkan indikator sistem penghargaan

karyawan (57,9%) pada nilai modus 3. Oleh karena indikator yang paling banyak

dipilih rensponden adalah 3, maka dimensi/sub variabel implementasi perubahan

bisa dikatakan cukup tinggi. Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa masih

terdapat ruang untuk meningkatkan pengimplementasian perubahan agar

mencapai nilai modus 4 dan 5.

Terkait sistem penghargaan karyawan (IP1), wawancara dengan koordinator

kampoeng rajut Binong Jati Kota Bandung dan pemilik usaha pakaian jadi

berbahan denim di daerah Soreang, Kabupaten Bandung, mengungkap informasi

bahwa rata-rata nilai insentif terhadap karyawan antar perusahaan di sentra

industri itu relatif hampir sama yakni basisnya adalah per-penyelesaian pekerjaan.

Menaikkan insentif secara signifikan juga tidak mudah, karena akan berpengaruh

terhadap harga produk yang kurang kompetitif. Menaikkan insentif berarti

menaikkan harga harga pokok produksi dan kenaikan harga pokok produksi akan

menyebabkan harga jual yang juga lebih tinggi dibandingkan pesaing.

Sedangkan terkait sistem pengendalian karyawan (IP2) sudah dimulai

semenjak pengusaha mengkomunikasikan jenis dan model produk yang akan

dibuat kepada karyawan disertai dengan target waktu penyelesaiannya. Sesudah

195

itu karyawan akan diminta membuat satu buah produk contoh untuk diperiksa

kembali oleh pengusaha. Jika dirasakan kualitas produk sudah sesuai harapan,

maka tahap produksi dimulai. Umpan balik dari pengusaha dan karyawan akan

diberikan sepanjang proses produksi.

Pentingnya pengimplementasian perubahan sudah disinggung oleh literatur

terdahulu yang menyatakan bahwa peluang dan tantangan yang ditemui

perusahaan saat ini, berkemungkinan sudah tidak relevan dengan tujuan dan

strategi yang selama ini dikembangkan. Oleh karenanya, perusahaan harus

mampu memodifikasi, menghentikan atau mencari sumberdaya baru dan merubah

model bisnis yang ada agar bisa sejalan dengan kebutuhan saat ini. Perubahan

tersebut akan bisa dilaksanakan jika didukung oleh seluruh elemen organisasi

(Koryak et al., 2015). Artinya, perubahan menuntut keterlibatan seluruh individu

di dalam organisasi (Kelley, Peters, & O'Connor, 2009). Untuk memastikan

keterlibatan karyawan, maka diperlukan sistem penghargaan (Rufaidah & Sutisna,

2015) dan pengendalian terhadap karyawan (Noble, 1999; Li & Liu, 2014).

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa pada umumnya responden

menilai setiap dimensi/sub variabel, dan variabel kapabilitas dinamis berada pada

skala 3 dari skala maksimal 5. Hal tersebut berarti bahwa kapabilitas dinamis

cukup tinggi yang direpresentasikan oleh kondisi bahwa kadang-kadang

perusahaan melakukan penginderaan secara strategis, perusahaan cukup cepat

membuat keputusan dan perusahaan cukup mampu mengimplementasikan

perubahan dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan. Namun demikian,

196

hasil tersebut juga mengindikasikan bahwa masih terdapat ruang untuk

meningkatkan kapabilitas dinamis perusahaan untuk mencapai skala 4 ataupun 5.

Berdasarkan uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa secara umum

kapabilitas dinamis atau kemampuan perusahaan untuk memperbarui sumberdaya

yang dimiliki serta mengelolanya termasuk dalam kategori cukup tinggi. Hal

tersebut ditunjukkan bahwa kadang-kadang perusahaan melakukan penginderaan

strategis, perusahaan cukup cepat dalam pengambilan keputusan dan perusahaan

cukup mampu dalam mengimplementasikan perubahan.

4.2.2. Manajemen Pengetahuan Industri Kreatif Fashion Produk Tekstil di

Jawa Barat

Manajemen pengetahuan merupakan proses untuk memperoleh,

menciptakan, mengembangkan, mensosialisasikan dan menggunakan pengetahuan

untuk menyelesaikan masalah di pekerjaan serta untuk mencapai tujuan

organisasi. Hasil pengolahan nilai rata-rata indikator perdimensi/sub variabel dari

variabel manajemen pengetahuan industri kreatif fashion produk tekstil di Jawa

Barat adalah sebagai berikut:

1. Penciptaan Pengetahuan

Penciptaan pengetahuan meliputi akuisisi pengetahuan secara eksternal dan

melakukan uji coba pengetahuan secara internal berdasarkan pengalaman yang

dimiliki. Penciptaan pengetahuan diukur dengan tiga indikator: menghadiri acara

pelatihan, pencarian informasi dari sumber lainnya dan melakukan uji coba. Hasil

pengolahan jawaban responden terkait dimensi/sub variabel penciptaan

pengetahuan disajikan pada tabel berikut:

197

Tabel 4. 5

Dimensi/Sub Variabel Penciptaan Pengetahuan

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Tidak

pernah)

2

(Hampir

tidak

pernah)

3

(Kadang-

kadang)

4

(Sering)

5

(Sangat

sering) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Menghadiri acara

pelatihan (PP1) 91 30,6 65 21,9 98 33,0 27 9,1 14 4,7 3

Pencarian

informasi dari

sumber lainnya

(PP2)

28 9,4 9 3,0 142 47,8 99 33,3 19 6,4 3

Melakukan uji

coba (PP3) 14 4,7 23 7,7 122 41,1 103 34,7 35 11,8 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

Perusahaan jarang menghadiri pelatihan. Karena tidak memperoleh informasi. Kalaupun

mendapat informasi, perusahaan juga tidak ikut karena: kesibukan produksi, topik yang

kurang relevan, keberlanjutan program yang tidak dirasakan dan pengajar yang dipandang

tidak menguasai lapangan (PP1).

Pencarian informasi terkendala kesibukan sehari-hari karena mengejar target produksi.

Jarang membaca. Disamping itu ada juga yang berpendapat bahwa mereka kurang

menguasai teknologi informasi disamping tidak stabilnya jaringan internet yang dimiliki

sehingga tidak memungkinkan pencaharian informasi secara online (PP2)

Uji coba pembuatan produk atau proses baru di perusahaan terkendala masalah alat dan

teknologi produksi yang rendah (mesin sudah tua dan manual) (PP3).

Sumber : Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel di atas, maka terlihat bahwa nilai modus untuk setiap

indikator dari dimensi/sub variabel penciptaan pengetahuan adalah 3. Hal ini

berarti bahwa secara umum kemampuan perusahaan melakukan akuisisi

pengetahuan eksternal dan melakukan ujicoba secara internal berdasarkan hasil

kombinasi pengetahuan baru dan pengalaman masa lalu tergolong cukup efektif.

Pencarian informasi dari sumber lainnya memiliki persentase terbesar (47,8%)

dibandingkan indikator lain pada nilai modus 3. Sedangkan menghadiri pelatihan

adalah indikator dengan persentase terendah (33,0%) pada nilai modus 3.

198

Penciptaan pengetahuan terkait dengan upaya pengembangan ide-ide baru

melalui interaksi pengetahuan tacit dan explicit manusia (Nonaka, 2007; Durst &

Runar Edvardsson, 2012). Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa penciptaan

pengetahuan terjadi sebagai hasil interaksi sosial. Penciptaan pengetahuan akan

meningkatkan proses, membantu dalam pengidentifikasian peluang dan

mendorong inovasi (Popadiuk & Choo, 2006). Penciptaan pengetahuan bisa

didukung oleh perusahaan melalui pemberian waktu kepada anggota organisasi

untuk melakukan eksperimen (Gupta & Govindarajan, 2000). Pengetahuan tidak

hanya diproduksi secara internal, namun juga dari sumber eksternal. Pada IKM

dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, maka mencari pengetahuan dari

luar organisasi menjadi pilihan yang sering diambil (Egbu, Hari, & Renukappa,

2005).

Hasil wawancara dan pengolahan informasi kualitatif menunjukkan bahwa

memang perusahaan jarang terlibat di pelatihan baik karena tidak memperoleh

informasi, kesibukan di pekerjaan yang tinggi, maupun tidak merasa bahwa topik

dan pengajarnya relevan. Khusus untuk pelatihan yang diselenggarakan

pemerintah, terdapat pandangan responden bahwa pelatihan yang diselenggarakan

tidak jelas keberlanjutannya. Seolah-olah pelatihan hanya menghabiskan anggaran

karena targetnya adalah jumlah peserta yang terlatih, bukan dampak dari

pelatihan. Terkadang topik pelatihan dari pemerintah juga tidak up to date.

Sehingga kemanfaatannya dirasakan rendah. Justru perlatihan ataupun acara

sharing session yang diselenggarakan oleh komunitas dirasa lebih memiliki nilai

199

informasi yang penting. Karena biasanya yang melakukan sharing adalah anggota

yang sudah sukses. Sehingga memberi bukti nyata kepada para peserta.

Sedangkan pencarian informasi dari sumber lainnya (PS2) dilakukan

melalui bermacam media seperti TV, media sosial ataupun informasi langsung

dari konsumen. Terkait indikator melakukan uji coba (PP3), berdasarkan

wawancara diketahui bahwa pengembangan produk di dalam perusahaan

cenderung melalui proses modifikasi atas produk yang sudah ada. Dengan

demikian bahwa aktifitas uji coba adalah sesuatu yang cukup sering dilakukan

perusahaan guna menghasilkan produk yang diinginkan. Uraian tersebut di atas

mengindikasikan bahwa masih terdapat peluang untuk meningkatkan nilai modus

indikator dari 3 menjadi 4, atau 5, jika kendala-kendala yang ada bisa

diselesaikan.

2. Transfer Pengetahuan

Transfer pengetahuan adalah aktifitas mensosialisasikan dan

mendesiminasikan pengetahuan kepada orang lain sehingga bisa dikonfigurasi

ulang oleh pihak lain tersebut. Dimensi/sub variabel ini diukur dengan

menggunakan tiga indikator. Hasil pengolahan atas jawaban responden disajikan

pada tabel berikut ini:

200

Tabel 4. 6

Dimensi/Sub Variabel Transfer Pengetahuan

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Tidak

pernah)

2

(Hampir

tidak

pernah)

3

(Kadang-

kadang)

4

(Sering)

5

(Sangat

sering) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Menggali

pengetahuan

karyawan (TP1)

6 2,0 13 4,4 130 43,8 126 42,4 21 7,1 3

Mendorong

kegiatan berbagi

pengetahuan (TP2)

1 0,3 8 2,7 110 37,0 152 51,2 26 8,8 4

Menggunakan

internet dan media

sosial untuk berbagi

pengetahuan (TP3)

21 7,1 24 8,1 122 41,1 93 31,3 37 12,5 3

B. Data Kualitatif

Terdapat aktifitas komunikasi dua arah dengan karyawan baik secara verbal maupun melalui

media seperti whatsapp (TP1), meskipun belum menyeluruh.

Kendala:

ketidakpedulian karyawan akan informasi baru dan enggan menerima informasi baru tersebut.

Pendidikan karyawan rendah sehingga sulit diberi pemahaman (TP1,TP2).

Pengetahuan pengusaha juga tidak banyak, relatif sama dengan karyawan (TP1, TP3)

Tidak semua informasi bisa dibagi, karena karyawan bisa berkhianat. Ketakutan bahwa

karyawan akan melakukan penjiplakan, untuk kemudian menjadi pesaing atau pindah ke

perusahaan lain dengan membawa informasi tersebut (TP1, TP2, TP3).

“Tidak semua karyawan menggunakan android” (TP3).

Sumber : Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai modus untuk indikator

menggali pengetahuan karyawan (TP1) dan menggunakan internet dan media

sosial untuk berbagi pengetahuan (TP3) adalah 3. Sedangkan nilai modus untuk

indikator mendorong kegiatan berbagi pengetahuan (TP2) adalah 4. Hal ini

mencerminkan bahwa mayoritas perusahaan kadang-kadang menggali

pengetahuan karyawan dan menggunakan internet dan media sosial untuk berbagi

pengetahuan. Sedangkan kegiatan mendorong aktivitas berbagi pengetahuan

sering dilakukan. Oleh karena indikator yang paling banyak dipilih rensponden

201

adalah 3, maka dimensi/sub variabel transfer pengetahuan bisa dikatakan cukup

efektif.

Berbeda dengan perusahaan besar, maka pada IKM aktifitas diskusi dan

berbagi pengetahuan tidak bersifat formal (Desouza & Awazu, 2006). Pada IKM,

struktur organisasi pendek, budaya terbuka yang mendukung transfer pengetahuan

dan mendorong kolaborasi (Hamdam & Damirchi, 2011). Maka kebanyakan IKM

menggunakan pendekatan tidak terstruktur dalam menjalankan aktivitas

pembelajaran. Kegiatan berbagi pengetahuan mungkin terjadi di koridor (Yew

Wong & Aspinwall, 2004) ataupun di acara pesta anggota organisasi (Durst &

Wilhelm, 2012). Namun demikian, pelaku usaha atau manajer IKM terkadang

juga menyimpan aliran pengetahuan agar tidak mengalir keluar perusahaan.

Sehingga mereka menutup pintu transfer pengetahuan dari pemilik kepada

karyawan (Durst & Runar Edvardsson, 2012).

Hal ini terkonfirmasi dari hasil pengolahan data kualitatif kuesioner.

Pengusaha mengatakan bahwa tidak semua informasi yang bisa ditransfer kepada

karyawan. Salah satu alasannya adalah ketakutan bahwa karyawan bisa

berkhianat. Karyawan melakukan penjiplakan, kemudian menjadi pesaing atau

pindah ke perusahaan lain. Sehingga isu kepercayaan juga mempengaruhi transfer

pengetahuan di IKM. Sebagaimana dinyatakan Durst and Runar Edvardsson

(2012) bahwa aktifitas berbagi pengetahuan memerlukan waktu khusus dan

menyangkut masalah kepercayaan.

Jika dibandingkan lebih jauh, indikator menggunakan internet dan media

sosial untuk berbagi pengetahuan (TP3) adalah indikator dengan frekuensi

202

perusahaan yang menjawab paling sedikit (41,1%) untuk nilai modus 3.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa keberadaan

teknologi whatsapp mempermudah komunikasi antar karyawan. Sehingga alur

komunikasi sekarang tidak harus melalui pengusaha, namun bisa terjadi antar

karyawan. Pengusaha merasa bahwa kecenderungan seperti ini menguntungkan

mereka. Namun demikian, terdapat juga pengusaha ataupun karyawan yang belum

menggunakan alat komunikasi yang sudah berbasis internet, ataupun sudah

menggunakan namun masih kesulitan dalam pengoperasiannya. Terutama hal

tersebut terjadi pada pengusaha/karyawan dengan usia kurang lebih 50 tahun ke

atas. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh Tapscott (2008)

bahwa generasi Baby Boomers (kelahiran tahun sebelum 1965) dan Generasi X

(kelahiran antara 1965-1976) bukanlah generasi yang tidak mampu menggunakan

teknologi, namun demikian kemampuan mereka beradaptasi terhadap

perkembangan dan memanfaatkan teknologi tersebut tidaklah sebaik generasi

sesudahnya yaitu Generasi Y (kelahiran antara 1977-1997), Generasi Z (kelahiran

1998-2010) dan generasi Alpha (kelahiran 2011 dan sesudahnya). Generasi yang

lebih muda juga lebih mampu melakukan kegiatan yang bersifat multitasking dan

mengeksplorasi teknologi lebih dari sekedar alat komunikasi. Berdasarkan

pengelompokan tersebut, maka Baby Boomers dan Generasi X kelahiran 1965-

1969 sudah memasuki usia 50 tahun atau lebih pada tahun 2019 ini. Bahkan

sekitar 8% pengusaha yang menjadi responden pada penelitian ini berusia 50

tahun atau lebih (lihat gambar 4.3). Oleh karena itu, tentu menjadi tantangan

tersendiri bagi mereka untuk melakukan transfer pengetahuan dengan bantuan

203

teknologi. Namun jika kendala tersebut bisa diatasi, maka masih terdapat peluang

untuk meningkatkan nilai modus menjadi 4 atau 5.

3. Aplikasi Pengetahuan

Aplikasi pengetahuan adalah pemanfaatan pengetahuan guna meningkatkan

kompetensi perusahaan. Melalui aplikasi pengetahuan perusahaan bisa mendorong

penciptaan produk baru, perubahan strategi, perubahan perilaku, penyelesaian

masalah dan menciptakan efisiensi. Dimensi/sub variabel aplikasi pengetahuan

diukur dengan menggunakan tiga dimensi/sub variabel: pengetahuan dari

kesalahan masa lalu, pengetahuan untuk menyelesaikan masalah dan menciptakan

penghematan. Hasil pengukuran disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4. 7

Dimensi/Sub Variabel Aplikasi pengetahuan

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah)

2

(Rendah)

3

(Cukup

tinggi)

4

(Tinggi)

5

(Sangat

tinggi) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Pengetahuan dari

kesalahan masa

lalu (AP1)

3 1,0 57 19,2 159 53,5 50 16,8 26 8,8 3

Pengalaman masa

lalu untuk

penyelesaian

masalah (AP2)

5 1,7 31 10,4 166 55,9 69 23,2 26 8,8 3

Pengetahuan

masa lalu untuk

menciptakan

penghematan

(AP3)

4 1,3 31 10,4 153 51,5 84 28,3 25 8,4 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

Pengetahuan dan pengalaman masa lalu tidak mudah diaplikasikan begitu saja, karena

terkendala modal, teknologi/ peralatan produksi dan kemampuan sumberdaya manusia

(AP1, AP2, AP3).

Terkadang perusahaan sudah fokus dengan model dan pengetahuan yang ada, sehingga

melupakan informasi baru (AP1, AP2, AP3).

Sistem yang ada di perusahaan tidak mendukung penerapan informasi baru yang

diperoleh (AP1, AP2, AP3).

Sumber : Hasil Penelitian

204

Tabel di atas memberikan informasi bahwa nilai modus dimensi/sub

variabel aplikasi pengetahuan adalah 3. Hal ini berarti kemampuan mayoritas

perusahaan memanfaatkan pengetahuan dari kesalahan masa lalu, menggunakan

pengalaman masa lalu untuk menyelesaikan masalah saat ini, ataupun

menggunakan pengalaman masa lalu untuk menciptakan penghematan biaya saat

ini cukup efektif. Penggunaan pengalaman masa lalu untuk penyelesaian masalah

(AP2) memiliki persentase terbesar (55,9%) dibandingkan indikator lain pada

nilai modus 3. Sedangkan penggunaan pengetahuan masa lalu untuk menciptakan

penghematan (AP3) adalah indikator dengan persentase terendah (33,0%) pada

nilai modus 3.

Pengaplikasian pengetahuan tergantung dari daya serap dan pemahaman

karyawan tentang kapan dibutuhkan pengetahuan tersebut dan dimana

pengetahuan tersebut bisa diperoleh (Szulanski, 2003 di dalam Wee & Chua,

2013). Bahkan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa teknologi untuk

menyimpan pengetahuan hanyalah alat semata. Hal yang paling tetaplah

pengetahuan yang ada di pikiran pelaku usaha (Yew Wong & Aspinwall, 2004;

Zhang & Sundaresan, 2010).

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan beberapa pengusaha

diperoleh informasi bahwa kecenderungan umum yang terjadi pada industri

fashion produk tekstil adalah gaji karyawan dan biaya listrik yang cenderung terus

naik, sementara harga bahan baku yang berfluktuasi seiring dengan turun-naiknya

nilai tukar rupiah terhadap dollar. Kondisi itu menyebabkan harga pokok produk

cenderung terus naik. Sementara itu kondisi persaingan sangat ketat, siklus mode

205

yang pendek, produk gampang ditiru, entry barrier yang rendah, dan harga pasar

yang sudah terbentuk. Akibatnya adalah margin yang dinikmati perusahaan juga

berfluktuasi. Penghematan biaya dari sisi biaya listrik dan bahan baku berada

diluar kontrol perusahaan. Tekanan dari permintaan kenaikan gaji disiasati dengan

memberikan benefit lain kepada karyawan, seperti: pemberian pinjaman (cash

bon), bantuan berobat keluarga, biaya sunat anak dan membangun suasana

kekeluargaan melalui komunikasi intensif. Sedangkan harga bahan baku yang

mahal disiasati dengan membeli bahan baku substitusi dengan kualitas yang

hampir sama, namun dengan harga yang lebih murah. Sehingga harga jual produk

tetap kompetitif dengan margin yang relatif besar.

Kendala yang sering ditemui dalam pengaplikasian pengetahuan adalah

keterbatasan sumber daya perusahaan baik modal, peralatan produksi, metode

kerja maupun sumber daya manusia. Budaya dan cara kerja yang selama ini sudah

turun temurun juga menjadi penghalang untuk mengaplikasikan pengetahuan

baru. Berdasarkan wawancara dengan pelaku usaha di Sentra Rajut Binong Jati,

Kota Bandung, diperoleh informasi bahwa banyak pelaku usaha yang sudah

merasa nyaman dengan produk dan cara kerja yang selama ini menguntungkan.

Padahal produk yang ada saat ini sudah semakin tergerus produk impor ataupun

tidak kompetitif seiring kenaikan harga bahan baku. Oleh sebab itu diperlukan

pembaharuan cara berfikir bagi perusahaan di industri kreatif fashion akan

pentingnya pengaplikasian pengetahuan berdasarkan pengelaaman masa lalu

untuk memperbaiki kondisi saat ini, maupun masa mendatang. Kedepannya, tentu

206

masih terdapat ruang untuk meningkatkan nilai modus 3 menjadi 4 atau 5, jika

kendala-kendala di atas bisa diatasi.

Cohen and Levinthal (1989) menyatakan perusahaan perlu mengenali nilai

dari suatu informasi, mengasimilasinya dan kemudian mengaplikasikannya untuk

tujuan komersial. Hal ini mereka sebut sebagai daya serap (absorptive capacity).

Terdapat dua penghalang absorptive capacity yang efektif (Cohen & Levinthal,

1990; Zahra & George, 2002). Penghalang pertama adalah karakteristik

pengetahuan eksternal yang ada. Sedangkan penghalang yang kedua adalah

sumber daya internal perusahaan seperti pengetahuan, keterampilan, pengalaman

dan kemampuan belajar (Cohen & Levinthal, 1990).

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa pada umumnya responden

menilai setiap dimensi/sub variabel, dan variabel manajemen pengetahuan berada

pada skala 3 dari skala maksimal 5. Artinya menurut pendapat mayoritas

responden bahwa kadang-kadang perusahaan melakukan penciptaan pengetahuan,

kadang-kadang melakukan transfer pengetahuan dan aplikasi pengetahuan cukup

tinggi. Oleh sebab itu, masih terdapat ruang untuk meningkatkan kualitas

manajemen pengetahuan untuk mencapai skala 4 ataupun 5.

Berdasarkan uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa secara umum

manajemen pengetahuan termasuk dalam kategori cukup efektif. Hal tersebut

ditunjukkan bahwa kadang-kadang perusahaan melakukan pencaharian informasi

dan melakukan uji coba, mendorong aktivitas sosialisasi pengetahuan pada orang

lain dan cukup tinggi dalam mengaplikasikan pengetahuan.

207

4.2.3. Modal Intelektual Industri Kreatif Fashion Produk Tekstil di Jawa

Barat.

Modal Intelektual adalah sekumpulan sumber daya tidak berwujud yang

dimiliki oleh perusahaan yang memiliki potensi untuk mendukung upaya

perusahaan mencapai kinerja yang tinggi. Hasil pengolahan nilai modus indikator

perdimensi/sub variabel dari variabel modal intelektual industri kreatif fashion

produk tekstil di Jawa Barat adalah sebagai berikut:

1. Modal Manusia

Modal manusia merupakan kombinasi pengetahuan, keterampilan, pengalaman

serta perilaku yang melekat pada karyawan, termasuk kemampuannya

menghasilkan pengetahuan baru bagi perusahaan. Modal manusia merupakan

bagian paling penting dari modal intelektual (Delgado-Verde et al., 2016).

Apalagi di industri kreatif yang menyandarkan kreasi produknya dari kreatifitas,

keterampilan dan bakat manusia. Manusia adalah pemilik kreatifitas, keterampilan

dan bakat, yang kemudian menjadi masukan untuk proses kreatif yang terjadi

sehingga menghasilkan produk/layanan.

Tanggapan responden terkait modal manusia disajikan pada tabel berikut:

208

Tabel 4. 8

Dimensi/Sub Variabel Modal Manusia

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah/

tidak

pernah)

2

(Rendah/

hampir

tidak

pernah)

3

(Cukup

tinggi/

Kadang-

kadang)

4

(Tinggi/

Sering)

5

(Sangat

tinggi/

Sangat

sering)

Mo

dus

F % F % F % F % F %

Pengalaman

karyawan (MM1) 3 1,0 17 5,7 210 70,7 53 17,8 14 4,7 3

Keterampilan

karyawan

(MM2) 3 1,0 13 4,4 223 75,1 49 16,5 9 3,0 3

Pendekatan baru

dalam pemecahan

masalah

(MM3) 2 0,7 10 3,4 154 51,9 115 38,7 16 5,4 3

Kemampuan

menangani

persoalan tidak

terduga (MM4) 1 0,3 53 17,8 171 57,6 59 19,9 13 4,4 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

Karyawan berpendidikan formal rendah, namun pengalaman kerja cukup tinggi. Karyawan

cenderung mudah berpindah keperusahaan lain yang menawarkan insentif yang lebih tinggi

(MM1)

Keterampilan karyawan monoton (terampil dipekerjaan saat ini, namun terbatas untuk model

baru). Sementara permintaan produk terus berubah, variasi produk dari pesaing banyak dan

produk mudah ditiru. Karyawan cenderung enggan jika harus berganti-ganti model produk

karena harus mempelajari kembali karena waktu pengerjaan barang menjadi panjang.

Sementara mereka dibayar per-pekerjaan yang dilakukan. Pengusaha juga ditarget waktu

karena berjualan ke pasar tradisional pada hari Senin, Kamis dan Jumat. Setiap minggu ada

tuntutan membawa model baru. Motivasi dan minat karyawan mempelajari keterampilan

baru masih rendah. Etos kerja rendah (MM2)

Permintaan pasar yang dinamis menuntut kreatifitas dan kejelian menangkap peluang

(MM3), meskipun terkadang tidak selalu berhasil ataupun ketakutan menanggung resiko

(MM4)

Sumber: Hasil Penelitian

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai modus setiap indikator pada

dimensi/sub variabel modal manusia bernilai 3. Hal ini berarti bahwa pengalaman

dan keterampilan karyawan cukup tinggi, kadang-kadang perusahaan

menggunakan pendekatan baru dalam pemecahan masalah, dan kemampuan

perusahaan menangani persoalan tidak terduga cukup tinggi. Diantara empat

209

indikator dimensi/sub variabel modal manusia, maka indikator “keterampilan

karyawan (MM2)” memiliki nilai persentase frekuensi paling tinggi (75,1%)

untuk nilai modus 3. Oleh karena indikator yang paling banyak dipilih rensponden

adalah 3, maka dimensi/sub variabel modal manusia bisa dikatakan cukup tinggi.

Berdasarkan pengolahan profil responden pada gambar 4.2. diperoleh

informasi bahwa mayoritas pendidikan formal karyawan adalah SLTP (39%).

Hasil wawancara juga menunjukkan demikian. Namun demikian, pengalaman dan

keterampilan informal mereka dipekerjaan dipandang cukup tinggi oleh responden

(MM1 = 70,7% dan MM2 = 75,1%).

Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa memang ketika

merekrut karyawan pun, perusahaan cenderung mencari karyawan yang sudah

cukup berpengalaman dan memiliki keterampilan teknis sesuai kebutuhan

pekerjaan. Sehingga karyawan bisa langsung bekerja dan tidak menghabiskan

banyak waktu untuk belajar. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman dan

keterampilan yang bersifat informal dipersepsikan sebagai hal yang penting bagi

perusahaan ketika melakukan perekrutan karyawan. Sedangkan Mayoritas

pengusaha, sebagaimana bisa dilihat pada gambar 4.2, berpendidikan SD/sederajat

(36%). Namun dengan pengalaman mayoritas (50%) responden yang sudah 5

tahun atau lebih di bisnis yang dijalani saat ini (lihat gambar 4.3), maka

pengusaha cukup banyak memperoleh pengetahuan dari pengalaman bisnis

mereka tersebut.

Dari hasil wawancara mendalam juga diperoleh informasi bahwa

meskipun keterampilan karyawan cukup tinggi, namun keterampilan tersebut

210

cenderung monoton (terampil dipekerjaan saat ini, namun terbatas untuk model-

model baru). Sementara permintaan dari sisi konsumen cenderung bervariasi dari

waktu ke waktu. Karyawan cenderung enggan jika harus berganti-ganti model

produk. Mempelajari model baru berarti waktu pengerjaan produk menjadi lebih

lama. Sementara mereka dibayar per-potong yang diselesaikan. Pengusaha juga

ditarget waktu karena berjualan ke pasar tradisional pada hari Senin dan Kamis

(Pasar Tanah Abang), serta Jumat (Pasar Tegalgubug). Setiap minggu harus

membawa model baru, sesuai tuntutan pasar. Sehingga, membuat model baru

tidak hanya menjadi beban bagi karyawan, namun juga berarti kehilangan peluang

penjualan bagi pengusaha jika karyawan bekerja terlalu lama.

Indikator pendekatan baru dalam pemecahan masalah (MM3) adalah

indikator dengan nilai persentase frekuensi yang paling rendah (51,9%) dibanding

indikator lainnya pada nilai modus 3. Padahal, permintaan pasar yang dinamis

menuntut kreatifitas dan kejelian menangkap peluang. Kemampuan menghasilkan

pendekatan baru dalam pemecahan masalah adalah salah satu perilaku yang

mengindikasikan kreatifitas improvisasional yakni percampuran antara intuisi dan

spontanitas yang menghasilkan pengetahuan yang terimprovisasi (Vera,

Nemanich, Vélez-Castrillón, & Werner, 2016). Kreatifitas improvisasional

bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba, namun merupakan kapasitas belajar yang

bisa dikelola oleh organisasi (Cunha, Neves, Clegg, & Rego, 2015). Oleh karena

itu, kemampuan ini masih bisa ditingkatkan pada industri kreatif fashion produk

tekstil di Jawa Barat.

211

Sedangkan terkait indikator kemampuan menangani persoalan tidak

terduga (MM4) menunjukkan bahwa kemampuan perusahaan di industri kreatif

fashion produk tekstil cukup tinggi dalam menghadapi situasi yang tidak terduga

sebelumnya. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, diperoleh informasi bahwa

perusahaan di sentra industri sebahagian besar adalah usaha turun-temurun

keluarga. Kulturnya adalah bahwa perusahaan cenderung bekerja dengan cara

kerja yang juga diturunkan oleh orang tuanya kepada generasi berikutnya.

Sehingga yang terbentuk adalah budaya yang sudah nyaman dengan apa yang

sudah dimiliki dan apa yang sudah mereka prediksikan. Oleh karena itu ada

perusahaan yang menjadi gagap pada saat situasi tidak sesuai dengan harapan

mereka. Terkadang respon yang diberikan tidak selalu berhasil. Sehingga

memunculkan ketakutan atas kemungkinan resiko yang terjadi. Olah karena itu,

kemampuan untuk secara spontan mampu menangani persoalan yang tidak

terduga di dalam organisasi perlu ditingkatkan lebih lanjut. Dengan demikian,

nilai modus 3 pada indikator-indikator modal manusia bisa ditingkatkan menjadi

4 atau 5.

2. Modal Struktural

Modal struktural merupakan akumulasi pengetahuan yang tersimpan

dalam organisasi dalam bentuk database, proceeding, paten, lisensi, merek,

manual dan struktur organisasi dan sebagainya. Modal struktural merupakan

modal intelektual yang akan tetap tinggal di dalam organisasi meskipun individu

sudah meninggalkan organisasi. Pada penelitian ini modal struktural diukur

212

dengan dua indikator yakni: pembuatan prosedur tertulis (MS1) dan dokumentasi

informasi (MS2)

Tanggapan responden terkait modal struktural disajikan pada tabel

berikut:

Tabel 4. 9

Dimensi/Sub Variabel Modal Struktural

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Tidak

ada / tidak

pernah)

2

(Sedikit /

hampir

tidak

pernah)

3

(Cukup

banyak /

Kadang-

kadang)

4

(Banyak /

Sering)

5

(Sangat

banyak /

Sangat

sering)

Mo

dus

F % F % F % F % F %

Prosedur tertulis

(MS1) 65 21,9 113 38,0 76 25,6 29 9,8 14 4,7 2

Dokumentasi

informasi (MS2) 43 14,5 58 19,5 145 48,8 41 13,8 10 3,4 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

Secara khusus belum meluangkan waktu untuk membuat prosedur tertulis ataupun

mendokumentasikan informasi yang diperoleh. Alasan yang sering dikemukakan adalah “lupa

untuk mendokumentasikan”, “malas”, “tidak ada waktu”, “tidak tahu caranya”, “tidak punya

peralatan untuk mendokumentasikan”. Namun ada juga sebahagian yang sudah menyusun

catatan sederhana di papan tulis ataupun yang disebar melalui whatsapp, sehingga bisa menjadi

pedoman karyawan. Umumnya prosedur kerja disampaikan melalui komunikasi verbal dan

sifatnya informal. Pada perusahaan dengan jumlah karyawan yang banyak, maka sudah mulai

ada pencatatan informasi yang disimpan dalam komputer kerja pengusaha (MS1 dan

MS2).

Sumber: Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel di atas, maka bisa dilihat bahwa pada dimensi/sub

variabel modal struktural, indikator prosedur tertulis (MS1) memiliki nilai modus

2 dan indikator dokumentasi informasi (MS2) memiliki nilai modus 3. Hal ini

berarti bahwa pembuatan prosedur tertulis sedikit. Perusahaan kadang-kadang

melakukan pencatatan informasi. Namun kalau dilihat lebih jauh berdasarkan

dimensi/sub variabelnya, mayoritas responden yang memilih nilai modus 3 (145

orang) lebih banyak daripada yang memilih nilai 2 (113 orang). Dengan demikian,

213

bisa dikatakan bahwa dimensi/sub variabelnya modal struktural tergolong cukup

tinggi. Tentu saja, nilai modus dimensi/sub variabel ini masih berpeluang untuk

ditingkatkan jika kendala-kendala yang ada bisa diperbaiki.

Modal struktural tercipta saat pengetahuan menjadi milik organisasi

(Edvinsson, 1997). Modal struktural bisa dilihat sebagai peralatan dan arsitektur

yang diselenggarakan oleh organisasi untuk mempertahankan dan membagi

pengetahuan keseluruh aktivitas bisnis (Cabrita & Bontis, 2008). Individu di

dalam organisasi tidak akan pernah mencapai potensi tertingginya jika sistem dan

prosedur organisasi kurang mendukung (Bontis, Crossan, & Hulland, 2002).

Dengan demikian, modal struktural berperan sebagai infrastruktur bagi modal

manusia (Chen, Lai, & Wen, 2006).

Indikator pembuatan prosedur tertulis memiliki nilai modus paling rendah

dibandingkan indikator lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang

ada di perusahaan masih bersifat tacit (melekat pada pikiran pengusaha) atau

belum banyak yang didokumentasikan kedalam bentuk tertulis. Berdasarkan hasil

wawancara mendalam dan pengolahan data kualitatif kuesioner diperoleh

informasi bahwa kesadaran untuk membuat prosedur tertulis di perusahaan masih

rendah karena perusahaan belum melihat manfaat / belum merasa butuh untuk

melakukannya, atau bahkan tidak tahu bagaimana membuat sebuah prosedur

tertulis. Disamping itu juga ada yang menyatakan bahwa kondisi kerja di dalam

perusahaan mereka sangat dinamis, mengikuti permintaan pasar yang cenderung

terus berubah. Sehingga catatan prosedur tertulis kadang tidak bisa mengikuti

dinamika perubahan pekerjaan yang demikian cepat. Komunikasi verbal secara

214

langsung antara pengusaha dan karyawan lebih sering dilakukan dibandingkan

membuat prosedur kerja tertulis.

Jikapun sudah membuat catatan, maka bisanya bentuknya sangat

sederhana seperti pada papan tulis yang dipajang ditempat kerja. Isinya adalah

petunjuk-petunjuk umum yang harus diperhatikan karyawan terkait pekerjaan dan

target yang harus dicapai. Fungsinya sebagai informasi kepada karyawan dan

sekaligus alat kontrol pekerjaan oleh pengusaha. Disamping itu ada juga

pengusaha yang mengandalkan penggunaan media komunikasi whatsapp untuk

menginformasikan perintah kerja kepada karyawan dengan pertimbangan lebih

mudah disebar dan ditelusuri kembali jika dibutuhan.

Lebih jauh, sistem dokumentasi informasi lain seperti pencatatan

informasi keuangan masih jarang dilakukan oleh pengusaha. Jikapun ada,

bentuknya sangat sederhana dan bahkan ada yang hanya mengandalkan insting

semata. Ada juga pengusaha yang pernah mendapat pelatihan dari lembaga

pemerintah terkait penggunaan software pencatatan keuangan. Namun pengusaha

merasa bahwa software tersebut sangat rumit dan tidak fleksibel sehingga tidak

pernah digunakan. Namun demikian, pada perusahaan dengan jumlah karyawan

yang mulai berkembang, maka sudah mulai ada pencatatan informasi yang

disimpan dalam komputer kerja pengusaha.

Pada penelitian ini, mayoritas perusahaan (255 buah perusahaan)

tergolong usaha kecil dengan 5-19 orang karyawan (lihat gambar 4.1). Sehingga

kondisi tersebut cukup menjelaskan penyebab minimnya pencatatan yang

dilakukan perusahaan, dan terpusatnya pengetahuan yang bersifat tacit pada

215

pengusaha. Namun seiring dengan pertumbuhan usaha, maka perusahaan mau

tidak mau harus membuat catatan tertulis agar fokus pengusaha bisa kepada hal-

hal lain yang lebih bersifat stratejik. Ditambah lagi, sebagaimana bisa dilihat pada

gambar 4.1, 73% lama usaha perusahaan yang menjadi sampel berkisar sekitar 5

tahun atau lebih. Sehingga kecenderungan kedepannya dengan semakin

berkembangnya perusahaan, maka kebutuhan untuk membuat catatan tertulis

semakin penting.

Hal ini sejalan dengan apa yang pernah disampaikan oleh Daft (2007)

bahwa pada IKM, pengawasan langsung ditangani pemilik usaha dengan aturan

formal yang minim. IKM memiliki struktur yang pendek, gaya manajemen yang

dinamis, informal dan tidak birokratis (Durst & Runar Edvardsson, 2012).

Sehingga pengetahuan dalam bentuk tertulis sangat minim. Umumnya

pengetahuan tersimpan dalam bentuk tacit sehingga melekat pada pemikiran

pengusaha atau karyawan inti (Durst & Runar Edvardsson, 2012; Wee & Chua,

2013).

Dibandingkan perusahaan besar, IKM sangat jarang berinvestasi pada

sistem informasi dan komunikasi yang canggih karena dibatasi oleh sumber daya

yang mereka miliki (Baptista Nunes, Annansingh, Eaglestone, & Wakefield,

2006). Banyak IKM yang masih menggunakan metode pencatatan sederhana atau

melakukan penyimpanan informasi pada hard drive komputer (Egbu et al., 2005).

Penyimpanan pengetahuan dan informasi yang relevan dengan kebutuhan

digunakan untuk mencegah kesalahan dikemudian hari, karena menjadi pedoman

216

kerja oleh karyawan. Dokumen tersebut dibuat dan divalidasi oleh pengusaha

untuk menjaga keakuratannya (Wong & Aspinwall, 2005).

3. Modal Relasional

Modal relasional terkait dengan hubungan perusahaan dengan pihak

ekternal perusahaan seperti stakeholder, konsumen, pemasok dan lain sebagainya.

Modal relasional diukur dengan menggunakan empat indikator yakni : kemitraan

dengan pasar dan komersial, sektor publik dan asosiasi/komunitas, serta jumlah

informasi yang diperoleh dari kemitraan. Jawaban responden terkait modal

relasional disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 4. 10

Dimensi/Sub Variabel Modal Relasional

C. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah/

tidak

pernah)

2

(Rendah/

hampir

tidak

pernah)

3

(Cukup

tinggi)

4

(Tinggi)

5

(Sangat

tinggi) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Kemitraan

dengan pasar dan

komersial (MR1)

41 13,8 39 13,1 142 47,8 60 20,2 15 5,1 3

Kemitraan

dengan sektor

publik (MR2)

92 31,0 76 25,6 94 31,6 22 7,4 13 4,4 3

Kemitraan

dengan asosiasi/

komunitas (MR3)

58 19,5 50 16,8 121 40,7 55 18,5 13 4,4 3

Jumlah informasi

(MR4) 27 9,1 91 30,6 142 47,8 21 7,1 15 5,1 3

D. Data Kualitatif

Kendala :

“kurang bersosialisasi/ berkomunikasi dengan pihak lain”, “kurang punya jaringan”, “tidak

percaya dengan mitra”, “takut terjadi penjiplakan oleh mitra”, trauma karena “penipuan oleh

mitra, transaksi non tunai / cek kosong, barang dibawa kabur”, “sering salah paham dengan

mitra”, “sering salah persepsi” dan “tidak tahu bagaimana cara memulainya” (MR1, MR2,

MR3, MR4)

Sumber: Hasil penelitian

217

Dari tabel di atas terlihat bahwa bahwa nilai modus tiap indikator pada

dimensi/sub variabel modal relasional adalah 3. Hal ini mencerminkan bahwa

secara umum hubungan yang dibangun oleh perusahaan dengan pihak eksternal,

beserta pengetahuan yang mereka peroleh dari hubungan yang terbangun tersebut

termasuk kategori cukup tinggi. Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa nilai

persentase frekuensi tertinggi pada nilai modus 3 adalah kemitraan dengan dengan

pasar dan komersial (MR1) dengan nilai 47,8% dan jumlah informasi (MR4) yang

diperoleh dengan nilai juga 47,8%. Hal ini berarti bahwa kerjasama dengan mitra

pasar komersial, terutama dengan konsumen cukup tinggi, dan jumlah informasi

yang diperoleh juga cukup tinggi. Namun kemitraan dengan sektor publik (MR2)

memiliki nilai persentase frekuensi terendah yakni 31,6%. Hal ini berarti

perusahaan tidak terlalu banyak terlibat kerjasama dengan sektor publik seperti

lembaga pemerintah ataupun perguruan tinggi. Oleh karena indikator yang paling

banyak dipilih rensponden adalah 3, maka dimensi/sub variabel modal relasional

bisa dikatakan cukup tinggi.

Martín-de Castro (2015) menyatakan bahwa modal relasional memegang

peranan sangat penting bagi perusahaan karena modal relasional berfungsi untuk

menghubungkan pihak-pihak yang berbeda. Hubungan dengan pihak luar

terutama sekali sangat penting bagi IKM. Berbeda dengan perusahaan besar yang

secara tradisional mengandalkan kapabilitas internalnya untuk melakukan inovasi,

pada IKM hal tersebut tidak semudah itu dilaksanakan. IKM dibatasi oleh

keterbatasan sumberdaya terutama keuangan dan modal manusia. Meskipun

strukturnya kecil dan lebih fleksibel terhadap perubahan, namun IKM

218

membutuhkan hubungan dengan pihak luar agar bisa memenuhi keterbatasan

sumber daya yang mereka miliki (Iturrioz et al., 2015).

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan pengolahan data kualitatif

kuesioner diketahui bahwa kemitraan dengan pasar dan komersial yang jamak

dilakukan adalah dalam bentuk perjanjian/kontrak penyediaan produk dengan

konsumen tertentu. Perusahaan menjadi pemasok barang terhadap konsumen

tersebut.

Terkait kemitraan dengan sektor publik seperti lembaga pemerintah,

banyak perusahaan yang tidak melakukannya karena merasa bahwa program

pemerintah sering tidak berkesinambungan. Kegiatan yang dilakukan dipandang

hanya untuk sekedar menghabiskan anggaran sehingga kemanfaatan yang

dirasakan kecil. Program juga sering tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.

Sebagai contoh, perusahaan pernah meminta pemerintah melakukan

pendampingan dalam bentuk pelatihan tentang metode penjualan online melalui

media facebook. Namun pendampingan tersebut baru dilakukan oleh pemerintah

pada dua tahun berikutnya, sehingga relevansinya hilang. Contoh lain adalah

dinas perindustrian dan perdagangan sering meminta agar perusahaan menjalin

kerjasama dengan pengusaha luar negeri. Atas inisiatif sendiri, perusahaan

melalui koordinator sentra industri mengundang pengusaha dari Malaysia untuk

datang ke Indonesia untuk melakukan business matching. Sesudah didatangkan,

namun pemerintah seolah berlepas tangan terkait administrasi perizinan dan lain

sebagainya. Sehingga perusahaan merasa bahwa pemerintah terkadang hanya

melakukan lips service semata.

219

Namun ada juga responden yang menyatakan bahwa mereka merasa tidak

punya waktu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh

instansi pemerintah karena kesibukan mengejar target produksi. Terdapat juga

nada pesimis bahwa yang diajak terlibat pada kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah adalah pengusaha yang dekat dengan pemerintah saja. Sehingga

peluang untuk ikut serta sangat minim.

Lebih jauh, kemitraan dengan komunitas/asosiasi (MR3) biasanya

berbentuk berbagi informasi tentang produk dan peluang usaha. Kendala yang

sering muncul terkait masalah kemitraan adalah bahwa perusahaan merasa masih

sangat sibuk dengan urusan produski sehingga kurang bersosialisasi dengan pihak

lain/kurang punya jaringan. Disamping itu terdapat juga kendala ketidakpercayaan

terdahap mitra karena berpeluang terjadinya penjiplakan oleh mitra ataupun

penipuan oleh mitra. Ada juga responden yang mengalami trauma karena pernah

ditipu oleh mitra dan merasa sulit membangun kesamaan pemahaman dengan

mitra. Disamping itu juga terdapat kendala bahwa perusahaan tidak memiliki

pengtahuan cara untuk membangun kemitraan dengan pihak lain. Berdasarkan

uraian di atas, bisa dilihat bahwa masih terdapat peluang untuk meningkatkan

nilai modus dari 3 menjadi 4 atau 5 jika kendala yang ditemui bisa diselesaikan.

4. Modal kewirausahaan

Modal kewirausahaan terkait dengan kompetensi dan komitmen

kewirausahaan anggota organisasi yang ditunjukkan oleh perilaku berani

mengambil resiko, mengambil keputusan secara tegas, dan kemampuan

220

mengidentifikasi peluang bisnis baru. Hasil pengolahan data deskriptif terkait

modal kewirausahaan ditunjukkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. 11

Dimensi/Sub Variabel Modal kewirausahaan

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah)

2

(Rendah)

3

(Cukup

tinggi)

4

(Tinggi)

5

(Sangat

tinggi) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Keberanian

mengambil risiko

(MK1)

5 1,7 49 16,5 166 55,9 56 18,9 21 7,1 3

Kemampuan

mengambil

keputusan secara

tegas (MK2)

5 1,7 29 9,8 188 63,3 57 19,2 18 6,1 3

Kemampuan

mengidentifikasi

peluang bisnis

baru (MK3)

1 0,3 37 12,5 145 48,8 80 26,9 34 11,4 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

terdapat kekhawatiran terutama terkait: “barang yang terlanjut dibuat dan distok tidak laku,

sehingga rugi”, “khawatir sudah membuat barang, namun variasi produk berubah, sehingga

model sudah tidak relevan” (MK1, MK2).

Sumber : Hasil Penelitian

Dari tabel di atas terlihat bahwa bahwa mayoritas nilai modus tiap

indikator pada dimensi/sub variabel modal kewirausahaan adalah 3. Sehingga

dimensi/sub variabel modal kewiraiusahan termasuk kategori cukup tinggi. Hal ini

dicerminkan dari indikator keberanian mengambil resiko (MK1), kemampuan

mengambil keputusan secara tegas (MK2), dan kemampuan mengidentifikasi

peluang bisnis baru (MK3) tergolong cukup tinggi. Nilai persentase frekuensi

tertinggi pada nilai modus 3 adalah kemampuan mengambil keputusan secara

tegas (MK2) dengan nilai 63,3%. Sedangkan nilai persentase frekuensi terendah

221

pada nilai modus 3 adalah kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis baru

(MK3) dengan nilai 48,8%.

Modal kewirausahaan dihasilkan oleh budaya organisasi yang mendukung

perilaku kewirausahaan (Inkinen et al., 2017). Secara tersirat modal

kewirausahaan terkait dengan modal manusia, karena sebagaimana dinyatakan

oleh Stevenson and Jarillo (1990) bahwa individu adalah pihak yang melakukan

aktifitas kewirausahaan.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa

perusahaan cukup mampu mengambil keputusan secara tegas (MK2) karena pada

IKM pengambilan keputusan masih bersifat top down. Namun demikian memang

masih terdapat kekhawatiran bahwa keputusan yang diambil salah karena bisa

menimbulkan resiko kerugian (MK1). Apalagi pada IKM yang kemampuan

permodalan masih terbatas, sehingga kesalahan pengambilan keputusan bisa

mengakibatkan kegagalan perusahaan untuk memperleh tingkat pengembalian

yang optimal atas investasi yang sudah dilakukan.

Sedangkan pengidentifikasian peluang bisnis baru (MK3) selama ini

dilakukan melalui observasi terhadap kecenderungan pasar. Contohnya adalah

banyak perusahan yang saat ini menggeluti bisnis pakaian gamis karena terjadi

penurunan penjualan pakaian dari bahan denim/jeans dan juga pakaian anak-anak.

Hal tersebut terjadi karena membanjirnya produk dari Tiongkok dengan harga

yang murah. Sementara bahan baku pakaian/tekstil dalam negeri tidak mampu

bersaing karena komponen utamanya yakni kapas merupakan barang impor yang

sangat sensitif terhadap naik-turunnya nilai tukar Rupiah ke Dollar Amerika

222

Serikat. Perusahaan yang sebelumnya membuat pakain dari jeans atau pakaian

anak banyak yang beralih ke pakaian gamis.

Namun meskipun kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis baru

cukup tinggi, responden menyatakan bahwa mereka masih merasakan

kekhawatiran bahwa produk yang dibuat tidak laku dipasaran sehingga beresiko

mengalami kerugian (MK1). Sehingga hal itu yang terkadang menghalangi

mereka untuk mengambil keputusan secara cepat terkait peluang bisnis yang ada

(MK2). Kedepan, masih berpeluang untuk meningkatkan nilai modus 3 pada

indikator modal kewirausahan menjadi 4 atau 5, jika kendala yang ada bisa

diatasi.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa mayoritas responden memberi

nilai 3 dari skala maksimal 5 untuk setiap dimensi/sub variabel dari variabel

modal intelektual. Sehingga bisa disimpulkan bahwa secara umum variabel modal

intelektual termasuk dalam kategori cukup tinggi. Artinya menurut pendapat

mayoritas responden bahwa modal intelektual, modal struktural, modal relasional

dan modal kewirausahaan perusahaan cukup tinggi. Oleh karena itu, masih

terdapat ruang untuk meningkatkan kualitas modal intelektual untuk mencapai

skala yang lebih tinggi yakni 4 ataupun 5.

4.2.4. Kinerja Inovasi Industri Kreatif Fashion Produk Tekstil di Jawa

Barat

Kinerja inovasi adalah hasil akhir dari aktivitas pengembangan dan

implementasi produk, metode penciptaan, pemasaran dan pengelolaan organisasi,

yang bersifat baru atau yang mengalami perubahan secara signifikan bagi

223

perusahaan, meskipun belum tentu baru bagi pasar. Hasil pengolahan jawaban

responden terkait variabel kinerja inovasi, disajikan per dimensi/sub variabel

sebagai berikut:

1. Inovasi produk dan estetika

Inovasi produk dan estetika adalah pengenalan barang yang secara

signifikan menggunakan bahan baku yang baru atau memiliki nilai estetika yang

mampu memberikan nilai tambah meskipun secara fungsional tidak jauh

mengalami perubahan. Dimensi/sub variabel ini diukur dengan menggunakan tiga

indikator sebagaimana bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4. 12

Dimensi/Sub Variabel Inovasi Produk dan Estetika

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah)

2

(Rendah)

3

(Cukup

tinggi)

4

(Tinggi)

5

(Sangat

tinggi) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Penggunaan

bahan baku baru

(IPE1)

5 1,7 35 11,8 203 68,4 31 10,4 23 7,7 3

Variasi tampilan

produk baru

(IPE2)

11 3,7 39 13,1 170 57,2 64 21,5 13 4,4 3

Desain unik yang

dihasilkan (IPE3) 4 1,3 42 14,1 168 56,6 52 17,5 30 10,1 3

B. Data Kualitatif

Kendala :

Harga bahan baku yang mahal dan susah didapat, modal terbatas, peralatan produksi yang

masih manual dan model yang selalu berubah sehingga susah diikuti (IPE1, IPE2,

IPE3).

Kurangnya ide dan kreatifitas baik karyawan maupun pengusaha dalam menciptakan

produk baru. Sementara perusahaan juga tidak memiliki designer khusus. Sehingga

perusahaan agak susah menciptakan variasi. Jikapun berani berspekulasi, bahan baku susah

didapat dan ada kemungkinan gagal di pasaran (IPE1, IPE2, IPE3).

Sumber : Hasil Penelitian

224

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai modus setiap indikator dari

dimensi/sub variabel inovasi produk dan estetika adalah 3. Oleh karena itu

dimensi/sub variabel inovasi produk dan estetika bisa dikategorikan cukup tinggi.

Mayoritas responden memandang penggunaan bahan baku baru, variasi tampilan

produk baru, dan desain unik yang dihasilkan adalah cukup tinggi. Berdasarkan

tabel di atas juga bisa dilihat bahwa indikator dengan persentase frekuensi

tertinggi untuk nilai modus 3 adalah penggunaan bahan baku baru (IPE1) sebesar

68,4%. Sedangkan indikator dengan persentase frekuensi paling rendah untuk

nilai modus 3 adalah desain unik yang dihasilkan (IPE3) sebesar 56,6%.

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa secara umum industri kreatif

lebih inovatif dibanding industri lainnya (Protogerou et al., 2016). Sebagai contoh

penelitian Müller et al. (2009) menunjukkan bahwa industri kreatif di Austria

lebih banyak menghasilkan inovasi produk dibanding industri lainnya. Demikian

juga Lee and Rodríguez-Pose (2014) dengan menggunakan data di Inggris

menemukan bahwa industri kreatif lebih inovatif dibanding industri lainnya dalam

hal inovasi produk. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Protogerou et al.

(2016) bahwa industri kreatif melebihi tingkat keinovasian industri lainnya dalam

hal inovasi produk dan penelitian pengembangan. Namun tidak dalam hal inovasi

proses dan organisasi.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa

menurut responden, inovasi yang sering dilaksanakan di dalam perusahaan adalah

inovasi produk dan estetika dibanding jenis inovasi lainnya. Bahkan inovasi

produk yang terus menerus dipandang sebagai kunci kelangsungan usaha.

225

Persaingan pasar yang ketat dengan siklus mode yang pendek menuntut

perusahaan untuk terus menerus menghasilkan produk baru dengan variasi dan

keunikan tertentu. Bahkan ada rule of thumb dari responden bahwa paling tidak

perusahaan harus membawa delapan mode baru setiap minggunya ke pasar, jika

ingin terdepan dalam persaingan. Meskipun indikator penggunaan bahan baku

baru (IPE1) adalah yang memiliki persentase frekuensi tertinggi untuk nilai

modus 3, inovasi produk dan estetika sering masih sering terkendala oleh: harga

bahan baku yang mahal, bahan baku yang susah didapat dan yang modal terbatas.

Sedangkan variasi tampilan produk baru (IPE2) dan desain unik yang dihasilkan

(IPE3) terkendala peralatan produksi yang masih manual dan mode yang selalu

berubah sehingga susah diikuti. Disamping itu juga kurangnya ide dan kreatifitas

baik karyawan maupun pengusaha dalam menciptakan produk baru. Sementara

perusahaan juga tidak memiliki designer khusus. Kedepannya jika kendala yang

ada bisa diatasi, maka nilai modus 3 tersebut berpeluang ditingkatkan lagi menjadi

4 atau 5.

2. Inovasi Proses

Inovasi proses merupakan penggunaan metode produksi baru termasuk

metode distribusinya yang baru bagi perusahaan, meskipun tidak baru bagi pasar.

Inovasi proses diukur dengan menggunakan tiga indikator yakni metode produksi

baru, peralatan produksi baru dan metode logistik/distribusi/ pengiriman produk

baru. Hasil pengolahan jawaban responden terkait hal ini disajikan sebagai

berikut:

226

Tabel 4. 13

Dimensi/Sub Variabel Inovasi Proses

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah)

2

(Rendah)

3

(Cukup

tinggi)

4

(Tinggi)

5

(Sangat

tinggi) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Metode produksi

baru (IPros1) 3 1,0 68 22,9 151 50,8 45 15,2 30 10,1 3

Peralatan

produksi baru

(IPros2)

4 1,3 105 35,4 126 42,4 51 17,2 11 3,7 3

Metode

logistik/distribusi

/ pengiriman

produk baru

(IPros3)

7 2,4 72 24,2 149 50,2 54 18,2 15 5,1 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

Perusahaan sudah terbiasa dengan metode yang turun temurun/kultur produksi yang turun

temurun (IPros1).

Peralatan produksi terbatas, masih manual dan sudah tua. Karyawan tidak terbiasa jika

pakai peralatan baru (IPros2).

Ada resiko kegagalan jika pakai cara baru. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman

tentang bagaimana mengubah metode produksi (IPros1, IPros3).

Sumber : Hasil Penelitian

Tabel di atas menyajikan informasi tentang nilai modus setiap indikator

dari dimensi/sub variabel inovasi proses adalah 3. Oleh sebab itu bisa dikatakan

bahwa dimensi/sub variabel inovasi proses termasuk kategori cukup tinggi. Hal

itu dicerminkan dari indikator penggunaan metode produksi baru, peralatan

produksi baru, metode logistik/ distribusi/ pengiriman produk baru yang cukup

tinggi. Berdasarkan tabel di atas, maka bisa dilihat bahwa indikator dengan nilai

persentase frekuensi tertinggi pada nilai modus 3 adalah metode produksi baru

(IPros1) sebesar 50,8%. Diikuti oleh nilai persentase frekuensi Metode

logistik/distribusi/ pengiriman produk baru (IPros3) dan Peralatan produksi baru

(IPros2), masing-masing sebesar 50,2% dan 42,4%.

227

Perusahaan masih merasakan kendala bahwa perusahaan sudah terbiasa

dengan metode /kultur produksi yang turun temurun, sehingga tidak mudah untuk

diubah. Disamping itu juga takut resiko kegagalan jika memakai metode produksi

yang baru. Padahal dengan kondisi modal yang terbatas, harapan perusahaan

adalah bisa menjual stok barangnya secara cepat agar bisa menjadi membiayai

proses produksi selanjutnya. Diperoleh juga informasi bahwa perusahaan merasa

tidak memiliki pengetahuan bagaimana cara untuk mengubah metode produksi

baru. Perusahaan menyadari bahwa pengubahan metode produksi bisa menjadi

jawaban agar mampu menciptakan efisiensi, nilai tambah produk ataupun

kecepatan berproduksi. Namun perusahaan tidak memiliki pengetahuan terkait apa

dan bagaimana untuk mewujudkan hal tersebut.

Indikator yang paling rendah nilai persentase frekuensi pada nilai 3 adalah

penggunaan peralatan produksi yang baru (IPros2). Berdasarkan wawancara

mendalam dan pengolahan data kualitatif kuesioner diperoleh informasi bahwa

peralatan yang sudah usang dan masih manual sebagai salah satu permasalahan

yang mereka hadapi. Kondisi itu menghambat perbaikan produk ataupun proses

yang diinginkan oleh perusahaan. Dengan demikian, keterbatasan teknologi

ataupun peralatan kerja adalah salah satu hambatan yang dirasakan oleh

perusahaan pada industri kreatif fashion produk tekstil yang menjadi sampel pada

penelitian ini. Nilai modus 3 tersebut, berkemungkinan masih bisa ditingkatkan

menjadi 4 atau 5 jika kendala yang ada diperbaiki.

228

Menurut Müller et al. (2009), inovasi di industri kreatif berkontribusi

terhadap perekenomian. Baik itu inovasi dalam bentuk penyediaan produk kepada

konsumen maupun dalam bentuk teknologi, prosedur dan rutinitas didalam bisnis

yang bisa meningkatkan efisiensi dan kualitas output perusahaan / inovasi proses.

Dengan demikian, inovasi proses berkaitan erat dengan bagaimana cara yang

ditempuh industri kreatif dalam rangka menghasilkan produk yang dibutuhkan

oleh konsumen. Pada inovasi proses, isu penggunaan teknologi sangatlah penting

karena perubahan proses bisnis menuntut perubahan metode produksi atau sistem

informasi pemprosesan.

3. Inovasi pemasaran

Inovasi pemasaran terkait dengan penggunaan metode pemasaran yang baru

bagi perusahaan meskipun tidak harus baru bagi pasar. Inovasi pemasaran diukur

dengan menggunakan empat indikator yakni: desain/kemasan baru, penempatan

produk di saluran penjualan baru, media atau teknik promosi baru dan metode

penetapan harga baru.

Pengolahan atas jawaban responden terkait inovasi pemasaran disajikan

pada tabel berikut ini:

229

Tabel 4. 14

Dimensi/Sub Variabel Inovasi Pemasaran

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah)

2

(Rendah)

3

(Cukup

tinggi)

4

(Tinggi)

5

(Sangat

tinggi) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Kemasan baru

(IPM1) 15 5,1 58 19,5 163 54,9 31 10,4 30 10,1 3

Metode

penempatan

produk di saluran

penjualan baru

(IPM2)

16 5,4 75 25,3 159 53,5 28 9,4 19 6,4 3

Media atau

teknik promosi

baru (IPM3)

46 15,5 87 29,3 100 33,7 31 10,4 32 10,8 3

Metode

penetapan harga

(IPM4)

17 5,7 78 26,3 144 48,5 48 16,2 10 3,4 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

Kurang ide dan pengetahuan tentang cara pemasaran. Kurang paham cara pemasaran baru

(IPM1,IPM2, IPM3).

Tidak punya tim dan armada pemasaran dan alat transportasi sendiri (IPM2).

Mengharapkan pameran dan bergantung pada event yang diadakan pemerintah (IPM3)

Kurangnya kemampuan melakukan pemasaran online. Pasar tergerus persaingan online.

Kurang promosi. Tempat yang kurang memadai untuk pemasaran (IPM3).

Pasar yang semakin sempit, biaya produksi tinggi dan harga jual sangat bersaing

(IPM4).

Sumber: Hasil penelitian

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa nilai modus setiap indikator pada

dimensi/sub variabel inovasi pemasaran adalah 3. Dengan demikian inovasi

pemasaran bisa dikategorikan cukup tinggi. Hal dicerminkan dari penggunaan

kemasan baru, metode penempatan produk di saluran penjualan baru, media atau

teknik promosi baru, dan metode penetapan harga yang cukup tinggi. Indikator

inovasi pemasaran yang paling rendah nilai persentase frekuensinya adalah

penggunaan media atau teknik promosi baru (IPM3) sebesar 33,7%. Indikator

230

yang paling tinggi persentase frekuensinya adalah penggunaan desain/ kemasan

baru (IPM1) sebesar 54,9%.

Müller et al. (2009) menyatakan bahwa inovasi pemasaran akan membantu

industri kreatif untuk membedakan dirinya dari pesaing dan akan membuat diri

mereka lebih menarik bagi industri lain untuk diajak bekerjasama. Karena output

dari industri kreatif bisa menjadi input bagi industri lainnya. Disamping itu,

praktik pemasaran baru bisa juga memainkan peran penting bagi kinerja

perusahaan. Praktek pemasaran sangat penting bagi kesuksesan produk baru. Riset

pasar dan hubungan dengan konsumen akan berpengaruh bagi inovasi produk dan

proses melalui inovasi yang dibutuhkan konsumen (OECD, 2005).

Hasil wawancara mendalam dan pengolahan data kualitatif kuesioner

mendapatkan informasi bahwa selama ini perusahaan cenderung tidak terlalu

agresif dalam menggunakan media atau teknik pemasaran baru. Pemasaran

terutama dengan melakukan penjualan secara langsung ke pasar-pasar tradisional

Tanah Abang di Jakarta (setiap senin dan kamis) atau Pasar Tegalgubug di

Cirebon (hari jumat). Ada juga yang mengandalkan pameran yang diadakan oleh

pemerintah.

Sedangkan penggunaan internet untuk melakukan pemasaran sebagai ciri

revolusi industri 4.0 belum terlalu marak dilakukan. Alasan yang dikemukakan

adalah belum punya pengetahuan tentang online marketing atau akses internet

tidak memadai. Terutama pada pengusaha yang berusia 50 tahun ke atas,

kecenderungan kemampuan penggunaan teknologi jauh lebih rendah dari yang

231

berusia muda. Pada penelitian ini, 8% responden berusia 50 tahun atau lebih (lihat

gambar 4.3).

Lebih jauh, perusahaan yang menjadi sampel juga menyatakan bahwa

mereka belum mempunyai tenaga marketing sendiri yang mengelola penjualan

online. Sementara pengusaha dan karyawan lain sibuk mengejar target produksi.

Namun ada juga responden yang menyatakan bahwa perusahaan mereka memang

diposisikan sebagai feeder bagi para pedagang online. Sehingga mereka sengaja

tidak mau masuk ke perdagangan online karena ingin menjaga kepercayaan dan

pasar dari para pedagang online tersebut. Sehingga pilihan untuk melakukan

perdagangan online adalah sebuah keputusan yang diambil dengan sengaja,

disesuaikan dengan business model yang dijalankan.

Penelitian ini juga memperoleh informasi bahwa tempat usaha mereka yang

kurang memadai untuk pemasaran juga menjadi salah satu kendala dari sisi

pemasaran. Berdasarkan hasil observasi peneliti ke daerah sentra pakaian di

Binong Jati dan Cigondewah (Kota Bandung), Soreang, Kutawaringin dan Kopo

(Kabupaten Bandung), Bayongbong (Kabupaten Garut) dan Tegalgubug

(Kabupaten Cirebon), memang terlihat bahwa sarana dan prasarana yang kurang

memadai untuk menjadi tempat pemasaran. Jalanan yang relatif sempit dan

berlubang untuk dilewati kendaraan roda empat. Sehingga cukup menyulitkan jika

ada pembeli yang datang langsung ke sentra industri untuk mencari produk yang

diinginkan. Nilai modus 3 pada penelitian ini tentu masih berpeluang untuk

ditingkatkan menjadi 4 atau 5, jika hambatan yang ada bisa diselesaikan.

232

4. Inovasi organisasi

Inovasi organisasi terkait dengan pengaturan baru terkait tempat kerja dan

hubungan dengan pihak eksternal yang selama ini belum pernah dilakukan oleh

perusahaan. Inovasi organisasi diukur dengan menggunakan indikator: pengaturan

tanggung jawab dan pengambilan keputusan, serta pengaturan hubungan

eksternal. Hasil pengolahan data kusioner disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4. 15

Dimensi/Sub Variabel Inovasi Organisasi

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah)

2

(Rendah)

3

(Cukup

tinggi)

4

(Tinggi)

5

(Sangat

tinggi) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Pengaturan

tanggung jawab

dan pengambilan

keputusan

(IO1)

31 10,4 85 28,6 145 48,8 25 8,4 11 3,7 3

Pengaturan

hubungan

eksternal

(IO2)

44 14,8 113 38,0 107 36,0 22 7,4 11 3,7 2

B. Data Kualitatif

Kendala:

Pola pengurusan usaha / iklim pengelolaan usaha yang sudah turun temurun dan sulit

dirubah. Sudah merasa nyaman dengan pola selama ini (IO1).

Menggunakan pola penggunaan karyawan tidak tetap sehingga sulit menerapkan pola baru

(IO1).

Tidak punya mitra yang sesuai (IO2).

Sumber: Hasil penelitian

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai modus dari indikator

pengaturan tanggung jawab dan pengambilan keputusan (IO1) adalah 3.

Sedangkan nilai modus dari indikator pengaturan hubungan eksternal (IO2)

adalah 2. Hal ini berarti pengambilan keputusan (IO1) cukup tinggi. Sedangkan

pengaturan hubungan eksternal (IO2) adalah rendah. Namun secara umum,

233

frekuensi responden yang memberi penilaian 3 (145 kali) jauh lebih banyak

dibanding yang memberi penilaian 2 (113 kali). Sehingga karena mayoritas

responden memilih 3, maka bisa dikakatan bahwa inovasi organisasi tergolong

cukup tinggi.

Inovasi di tempat kerja meliputi implementasi metode baru untuk

mendistribusikan tanggung jawab dan pengambilan keputusan diantara karyawan.

Metode organisasi baru terkait hubungan eksternal meliputi implementasi cara

membangun hubungan baru dengan pihak eksternal, misalnya dengan

membangun kolaborasi dengan perusahaan lain atau pelanggan, metode baru

dalam mengintegrasikan pemasok, atau melakukan outsourcing (OECD, 2005).

Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang mengungkapkan bahwa

perusahaan tidak terlalu banyak membangun pola hubungan baru dengan pihak

eksternal dalam tiga tahun terakhir. Alasan yang dikemukakan adalah belum

bertemu mitra yang sesuai atau terlalu sibuk dengan kegiatan produksi sehingga

belum memikirkan tentang hal ini. Ada juga responden yang menyatakan bahwa

mereka punya pengalaman buruk berhubungan dengan pihak eksternal seperti

penipuan yang dilakukan oleh pihak eksternal.

Sedangkan pengaturan tanggung jawab dan pengambilan keputusan (IO1)

sudah cukup tinggi yakni berupa pemberian kesempatan kepada karyawan untuk

mengambil keputusan sesuai tanggung jawab mereka. Namun demikian,

perusahaan tidak bisa terlalu memberi kelonggaran mengingat pola pengurusan

usaha / iklim pengelolaan usaha yang sudah turun-temurun dan sulit dirubah

dimana semua keputusan bersifat top down dari pelaku usaha. Pada umumnya

234

perusahaan sudah merasa nyaman dengan pola selama ini. Disamping itu

perusahaan juga mempekerjakan karyawan tidak tetap dimana karyawan bisa

dengan berpindah pekerjaan, sehingga perusahaan tidak bisa begitu saja

memberikan kebebasan untuk mengatur tanggung jawab dan pengambilan

keputusan sendiri kepada karyawan.

Sedangkan pengaturan hubungan eksternal dalam tiga tahun terakhir ini

termasuk kategori rendah karena perusahaan tidak banyak menggunakan metode

baru dalam mengatur hubungan eksternal. Nilai modus 2 dan 3 pada penelitian ini

tentu masih berpeluang ditingkatkan jika kendala-kendala yang suudah dijelaskan

di atas bisa diperbaiki.

Berdasarkan uraian per indikator dan per dimensi/sub variabel di atas,

terlihat bahwa pada umumnya responden menilai kinerja inovasi berada pada

skala 3 dari skala maksimal 5. Artinya menurut pendapat mayoritas responden

bahwa kinerja inovasi tergolong cukup tinggi. Masih terdapat ruang untuk

meningkatkan kinerja inovasi untuk mencapai skala yang lebih tinggi yakni 4

ataupun 5.

4.2.5. Kinerja Perusahaan Industri Kreatif Fashion Produk Tekstil di Jawa

Barat

Kinerja perusahaan adalah hasil akhir dari aktivitas yang dilakukan oleh

perusahaan dalam waktu tertentu, yang diukur dengan menggunakan standar-

standar tertentu. Pengolahan data yang dikumpulkan melalui kuesioner disajikan

per dimensi/sub variabel sebagai berikut:

235

1. Pelanggan

Dimensi/sub variabel pelanggan terkait dengan sejauhmana perusahaan

mampu meningkatkan jumlah pelanggan dan memenuhi kepuasan pelanggan.

Hasil pengolahan data untuk dimensi/sub variabel ini disajikan sebagai berikut:

Tabel 4. 16

Dimensi/Sub Variabel Pelanggan

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah)

2

(Rendah)

3

(Cukup

tinggi)

4

(Tinggi)

5

(Sangat

tinggi) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Pertumbuhan

pelanggan (Pel1) 4 1,3 32 10,8 201 67,7 40 13,5 20 6,7 3

Kepuasan

pelanggan (Pel2) 1 0,3 9 3,0 183 61,6 62 20,9 42 14,1 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

Adanya anggapan bahwa “kalau sudah ada pelanggan bagus kenapa harus mencari lagi?

Satu saja cukup asal bisa memenuhi”, “harus punya banyak modal untuk melakukan hal

ini”. Harga bahan baku naik. karyawan kurang kreatif. Tidak berani berspekulasi. Selera

pasar cepat berubah, barang dari luar negeri banyak (Pel1, Pel1 ).

Sumber: Hasil penelitian

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa nilai modus setiap indikator dari

dimensi/sub variabel pelanggan adalah 3. Hal ini berarti dimensi/sub variabel

pelanggan cukup tinggi.

Perusahaan yang memiliki fokus pelanggan yang kuat, tidak hanya

mengalahkan pesaing mereka dalam jangka panjang melalui pemenuhan kepuasan

pelanggan secara konsisten, namun juga akan dapat meningkatkan laba

perusahaan dalam jangka waktu yang pendek (Best, 2014). Dengan demikian,

pemenuhan harapan pelanggan akan berdampak bagi kesehatan finansial

perusahaan sekaligus bisa menjadi keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.

236

Diantara dua indikator dimensi/sub variabel pelanggan, nilai persentase

frekuensi pertumbuhan pelanggan (Pel1) untuk nilai modus 3 sebesar 67,7%, lebih

besar dibandingkan kepuasan pelanggan (Pel2) sebesar 61,6%. Berdasarkan hasil

wawancara diperoleh informasi bahwa upaya mengejar pertumbuhan dan

kepuasan pelanggan terhalang masalah-masalah seperti: kurang modal, harga

bahan baku yang selalu naik, karyawan kurang kreatif, ketidakberanian

berspekulasi, selera pasar cepat berubah dan maraknya barang impor dari luar

negeri. Nilai modus 3 di atas, tentu masih berpeluang ditingkatkan jika kendala

yang ditemui bisa diselesaikan.

2. Keuangan

Dimensi/sub variabel keuangan terkait dengan capaian kinerja perusahaan

dalam hal pertumbuhan penjualan, penghematan biaya dan pertumbuhan laba.

Hasil pengolahan data kuesioner disajikan pada tabel berikut ini:

237

Tabel 4. 17

Dimensi/Sub Variabel Keuangan

A. Data Kuantitatif

Indikator

1

(Sangat

rendah)

2

(Rendah)

3

(Cukup

tinggi)

4

(Tinggi)

5

(Sangat

tinggi) Mo

dus

F % F % F % F % F %

Pertumbuhan

penjualan (Keu1) 2 0,7 22 7,4 208 70,0 52 17,5 13 4,4 3

Penghematan

biaya (Keu2) 4 1,3 56 18,9 172 57,9 54 18,2 11 3,7 3

Pertumbuhan

laba (Keu3) 4 1,3 47 15,8 191 64,3 41 13,8 14 4,7 3

B. Data Kualitatif

Kendala:

Banyaknya pesaing dengan harga yang relatif sama dan bahkan harga di bawah harga

standar. Sehingga harga jual dengan harga produksi tidak seimbang. Model yang relatif

sama. Maraknya produk luar negeri. Belum melakukan pemasaran online/kurangnya

melakukan pemasaran (Keu1).

Harga bahan baku, biaya listrik dan gaji karyawan yang terus naik. Jika harga bahan pokok

ditekan, maka produk kurang berkualitas (Keu2).

Karyawan yang keluar dan masuk mempengaruhi produksi dan penjualan, sehingga juga

mempengaruhi laba (Keu1, Keu3).

Sumber: Hasil penelitian

Dari tabel di atas terlihat bahwa nilai modus setiap indikator pada

dimensi/sub variabel keuangan adalah 3. Hal ini berarti bahwa dimensi/sub

variabel keuangan tergolong cukup tinggi. Hal tersebut mencerminkan bahwa

pertumbuhan penjualan, penghematan biaya dan pertumbuhan laba tergolong

cukup tinggi.

Menurut Niven (2006), menghasilkan laba adalah tujuan perusahaan yang

berorientasi bisnis. Kinerja keuangan memberi petunjuk apakah strategi dan

implementasinya memberi kontribusi terhadap laba perusahaan atau tidak.

Melalui indikator keuangan, maka upaya yang dilakukan perusahaan seperti

memenuhi harapan konsumen melalui serangkaian aktivitas untuk menghasilkan

238

beragam produk, perbaikan proses, metode pemasaran dan pengelolaan

organisasi, akan bisa dinilai kontribusinya terhadap tujuan perusahaan.

Dari tabel di atas terlihat bahwa pertumbuhan penjualan (Keu1) adalah

indikator dengan persentase frekuensi tertinggi pada nilai modus 3 yakni 70,0%.

Sedangkan penghematan biaya (Keu2) adalah indikator dengan persentase

frekuensi terkecil yaitu sebesar 57,9%. Dari hasil wawancara mendalam dan

pengolahan data kualitatif kuesioner diperoleh informasi bahwa pertumbuhan

penjualan terkendala banyaknya pesaing dengan harga yang relatif sama atau

bahkan dengan harga yang di bawah standar. Sehingga harga jual dengan harga

produksi tidak seimbang. Disamping itu model pakaian yang dihasilkan yang

relatif sama dengan barang yang dijual di pasaran. Persaingan produk juga

semakin diperketat oleh kenyataan bahwa banyak produk luar negeri yang beredar

di pasar. Sementara dari sisi perusahaan, banyak yang belum melakukan kegiatan

pemasaran secara aktif baik konvensional maupun online. Perusahaan cenderung

menjual produk melalui saluran-saluran penjualan tradisional sebagaimana

kebiasaan selama ini.

Pada sisi penghematan biaya terdapat kendala berupa harga bahan baku,

biaya listrik, dan upah karyawan yang cenderung naik. Akibatnya adalah harga

jual yang juga terus naik. Jika dilakukan efisiensi pada harga pokok produksi,

maka kecenderungan yang terjadi adalah kualitas produk menjadi tertekan. Oleh

karena hambatan pada sisi penjualan dan semakin meningkatnya harga pokok,

maka pertumbuhan laba juga mengalami hambatan. Jika perusahaan bisa

239

menyelesaikan kendala-kendala tersebut, tentu saja nilai modus 3 tersebut di atas

masih bisa ditingkatkan lebih jauh.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa pada umumnya responden

menilai setiap dimensi/sub variabel kinerja perusahaan sebagai cukup tinggi. Oleh

sebab itu bisa dikatakan bahwa variabel kinerja perusahaan termasuk cukup

tinggi. Masih terdapat ruang untuk meningkatkan kinerja perusahaan untuk

mencapai skala yang lebih tinggi yakni 4 ataupun 5 yang berarti tinggi atau sangat

tinggi.

4. 3 Pengujian Hipotesis

Dalam penelitian ini terdapat lima hipotesis penelitian yaitu :

1. Kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan mempengaruhi modal

intelektual baik secara simultan maupun parsial di industri kreatif fashion

produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.

2. Kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan modal intelektual

mempengaruhi kinerja inovasi baik secara simultan maupun parsial di industri

kreatif fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.

3. Kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal intelektual dan kinerja

inovasi mempengaruhi kinerja perusahaan baik secara simultan maupun

parsial di industri kreatif fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.

4. Kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan mempengaruhi kinerja

inovasi melalui modal intelektual baik secara simultan maupun parsial di

industri kreatif fashion produk tekstil di Provinsi Jawa Barat.

240

5. Kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan modal intelektual

mempengaruhi kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi baik secara

simultan maupun parsial di industri kreatif fashion produk tekstil di Provinsi

Jawa Barat.

Untuk menguji hipotesis tersebut, peneliti menggunakan teknik analisis

Structural Equation Modeling dengan model order kedua (second order) melalui

pendekatan variance based atau lebih dikenal dengan Partial Least Square (PLS).

Model order kedua berarti bahwa model penelitian terdiri dari dua level

abstraksi/konstruk, yaitu abstraksi/konstruk level pertama (first order) dan

abstraksi/konstruk level kedua (second order) (Hair, Hult, Ringle, & Sarstedt,

2017). Pada model order kedua, pengukuran outer model dilakukan dua tahapan,

yakni: 1.) pengukuran dari manifest/indikator ke abstraksi level pertama, dan 2.)

pengukuran dari abstraksi level pertama ke abstraksi level kedua. Pengukuran

abstraksi level pertama dan kedua dalam penelitian ini bersifat reflektif-reflektif,

yang berarti bahwa indikator merefleksikan dimensi/sub variabel, dan dimensi/sub

variabel merefleksikan variabel.

Model reflektif adalah model yang menyatakan perubahan indikator

merupakan respon dari perubahan variabel yang diukur. Berikut akan dibahas

model pengukuran dan model struktural penelitian.

4.3.1. Pengukuran/Outer Model

Analisis model pengukuran bertujuan untuk menguji apakah dimensi/sub

variabel dan indikator yang digunakan untuk mengukur variabel laten valid dan

241

reliabel, sekaligus mengidentifikasi dimensi/sub variabel dan indikator mana yang

paling berkaitan dengan variabel laten penelitian. Informasi ini sangat diperlukan

dalam upaya mengalisis lebih jauh setiap variabel penelitian. Karena dalam

analisis lanjutan, hanya perlu diperhatikan dimensi/sub variabel dan indiktor mana

yang secara statistik memiliki kaitan erat dengan variabel latennya.

Diagram jalur lengkap penelitian ini disajikan pada gambar 4.4. Hasil

bootstrapping dengan SmartPLS 3.2.8 yang dipakai pada penelitian ini disajikan

pada lampiran 5. Sedangkan koefisien korelasi variabel laten disajikan pada

lampiran 6.

242

Sumber: Hasil penelitian

Gambar 4. 4 Diagram Jalur Lengkap

243

4.4.1.1. Pengukuran Kapabilitas Dinamis

Variabel laten kapabilitas dinamis diukur menggunakan tiga dimensi/sub

variabel yaitu dimensi/sub variabel penginderaan strategis, pengambilan

keputusan dan implementasi perubahan. Setiap dimensi/sub variabel diukur lagi

dengan menggunakan beberapa indikator. Analisis validitas konvergen,

reliabilitas dan validitas diskriminan dari setiap indikator dalam mengukur

dimensi/sub variabel, dan setiap dimensi/sub variabel dalam mengukur variabel

kapabilitas dinamis dijelaskan di bawah ini.

Tabel 4. 18

Validitas Konvergen dan Reliabilitas

Konstruk Kapabilitas Dinamis Order Pertama Dimensi/

Sub

Variabel

Indikator Loading

Factor Std Dev t-stat CR AVE

Pengindera-

an strategis

Perbandingan usaha

dengan perusahaan

lain (PS1)

0,805 0,031 26,361

0,834 0,626 Diskusi tentang

permintaan pasar

(PS2)

0,799 0,030 26,316

Memantau perubahan

tren (PS3)

0,769 0,043 17,683

Pengambil-

an

keputusan

Kecepatan penanganan

perbedaan pendapat

(PK1)

0,754 0,049 15,356

0,790 0,653

Penyelesaian ketidak-

puasan pelanggan

(PK2)

0,859 0,023 37,411

Implemen-

tasi

perubahan

Sistem penghargaan

karyawan (IP1)

0,917 0,016 59,092

0,907 0,829

Sistem pengendalian

karyawan (IP2)

0,904 0,016 55,094

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5 dan AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

Kesimpulan 1: Semua indikator memenuhi uji validitas konvergen

Kesimpulan 2: Semua indikator memenuhi uji reliabilitas

Kesimpulan 3: Semua indikator berpengaruh signifikan terhadap dimensi/sub

variabel

Sumber: Hasil penelitian

244

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa semua indikator ini memiliki

koefisien validitas (loading factor) yang lebih besar dari 0,5, AVE juga lebih

besar dari pada 0,5, dengan nilai t-statistik atau t-statistik lebih besar dari nilai t-

tabel 1,960. Sehingga disimpulkan semua indikator memenuhi validitas

konvergen. Disamping itu, nilai composite reliability (CR) juga di atas 0,6,

sehingga bisa dikatakan bahwa setiap indikator reliabel.

Dari ketiga indikator dimensi/sub variabel penginderaan strategis, indikator

yang paling dominan dalam mengukur dimensi/sub variabel penginderaan

strategis adalah indikator melakukan perbandingan usaha dengan perusahaan lain

(PS1) yang ditunjukkan melalui nilai loading factor yang terbesar (0,805). Hasil

ini menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap dimensi/sub variabel

penginderaan strategis lebih terkait dengan melakukan perbandingan usaha

dengan perusahaan lain.

Pada dimensi/sub variabel pengambilan keputusan, dari dua indikator yang

ada, maka yang paling dominan dalam mengukur dimensi/sub variabel

pengambilan keputusan adalah lama waktu dihabiskan untuk menyelesaikan

masalah ketidakpuasan pelanggan (PK2) sebesar 0,859. Indikator ini adalah

indikator yang paling mampu menggambarkan dimensi/sub variabel pengambilan

keputusan.

Dimensi/sub variabel implementasi perubahan diukur menggunakan dua

indikator. Dari kedua indikator, maka indikator yang paling dominan dalam

mengukur dimensi/sub variabel implementasi perubahan adalah indikator

kemampuan sistem penghargaan/insentif untuk memotivasi karyawan mengikuti

245

ketentuan yang berlaku (IP1) sebesar 0,917. Hasil ini menunjukkan bahwa

persepsi responden terhadap dimensi/sub variabel implementasi perubahan lebih

terkait dengan kemampuan sistem penghargaan/insentif untuk memotivasi

karyawan mengikuti ketentuan yang berlaku. Artinya bahwa perusahaan

memperoleh kapabilitas dinamis berdasarkan implementasi perubahan tercermin

dari adanya sistem penghargaan yang diberikan kepada karyawan untuk

berperilaku sesuai dengan harapan pemilik usaha.

Tabel 4. 19

Validitas Diskriminan Konstruk Kapabilitas Dinamis Order Pertama

Dimensi/

Sub

Variabel

Indikator Penginderaan

Strategis

Pengambilan

Keputusan

Implementasi

Perubahan

Penginderaan

strategis

Perbandingan

usaha dengan

perusahaan lain

(PS1)

0,805 0,301 0,266

Diskusi tentang

permintaan

pasar (PS2)

0,799 0,399 0,284

Memantau

perubahan tren

(PS3)

0,769 0,391 0,216

Pengambilan

keputusan

Kecepatan

penanganan

perbedaan

pendapat (PK1)

0,339 0,754 0,269

Penyelesaian

ketidakpuasan

pelanggan

(PK2)

0,401 0,859 0,483

Implementasi

perubahan

Sistem

penghargaan

karyawan (IP1)

0,324 0,464 0,917

Sistem

pengendalian

karyawan (IP2)

0,264 0,406 0,904

• Kriteria : Setiap blok indikator memiliki loading lebih tinggi untuk setiap variabel

laten yang diukur dibandingkan dengan indikator untuk variabel laten

lainnya

• Kesimpulan: Semua indikator memenuhi uji validitas diskriminan

Sumber : Hasil Penelitian

246

Pada tabel di atas terlihat bahwa setiap blok indikator memiliki loading

lebih tinggi untuk setiap variabel laten yang diukur dibandingkan dengan

indikator untuk variabel laten lainnya. Sehingga semua indikator memenuhi uji

validitas diskriminan.

Tabel berikutnya menyajikan hasil perhitungan validitas konvergen dan

reliabilitas order kedua dari variabel kapabilitas dinamis.

Tabel 4. 20

Validitas Konvergen dan Reliabilitas

Konstruk Kapabilitas Dinamis Order Kedua

Dimensi/Sub Variabel Loading

Factor

Standar

Deviasi

t-

statistik AVE CR

Penginderaan strategis 0,773 0,037 21,064

0,782 0,825 Pengambilan keputusan 0,786 0,029 27,561

Implementasi perubahan 0,786 0,025 32,087

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5; AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

• Kesimpulan 1: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji validitas konvergen

• Kesimpulan 2: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji reliabilitas

• Kesimpulan 3: Semua dimensi/sub variabel berpengaruh signifikan terhadap variabel

Sumber : Hasil penelitian

Seperti yang telah dijelaskan, variabel laten kapabilitas dinamis diukur

secara reflektif menggunakan tiga dimensi/sub variabel yaitu dimensi/sub variabel

penginderaan strategis, pengambilan keputusan tepat waktu dan implementasi

perubahan. Dilihat dari loading factor sebagaimana disajikan tabel di atas, semua

dimensi/sub variabel ini dapat dinyatakan valid dalam mengukur variabel laten

kapabilitas dinamis dengan koefisien yang lebih besar dari 0,50, nilai AVE di atas

0,5, pada tingkat signifikansi t-statistik lebih besar dibanding t-tabel=1,960.

Sehingga dengan melihat statistik ini dapat disimpulkan bahwa ketiga dimensi/sub

variabel ini memiliki validitas konvergen dalam mengukur variabel kapabilitas

247

dinamis. Pada di atas juga bisa dilihat bahwa composite reliability lebih besar dari

0,6. Sehingga ketiga dimensi/sub variabel variabel kapabilitas dinamis bisa

dikatakan memenuhi syarat kehandalan/reliable.

Dari ketiga dimensi/sub variabel tersebut di atas, dimensi/sub variabel

yang paling dominan dalam mengukur variabel kapabilitas dinamis adalah

dimensi/sub variabel pengambilan keputusan dan implementasi perubahan dengan

loading factor sama-sama mencapai 0,786. Nilai loading factor yang tinggi

mengisyaratkan bahwa terdapat korelasi yang cukup baik antara dimensi/sub

variabel dengan variabel yang diukurnya.

Sedangkan validitas diskriminan tahap kedua dari variabel kapabilitas

dinamis disajikan sebagai berikut:

Tabel 4. 21

Validitas Diskriminan Konstruk Kapabilitas Dinamis Order Kedua

Dimensi/Sub Variabel Penginderaan

Strategis

Pengambilan

Keputusan

Implementasi

Perubahan

Penginderaan Strategis 0,791

Pengambilan Keputusan 0,460 0,808

Implementasi Perubahan 0,324 0,478 0,911

Kriteria : Nilai kriteria Fornell and Larcker/akar kuadrat dari AVE (diagonal hitam) >

nilai korelasi antar variabel laten

Kesimpulan: Instrumen penelitian memenuhi validitas diskriminan

Sumber : Hasil penelitian

Tabel di atas memperlihatkan bahwa nilai kriteria fornell and larcker atau

akar kuadrat AVE (diagonal) lebih besar dibandingkan nilai korelasi antar

variabel latin lainnya, Hal ini menunjukkan bahwa ketiga dimensi/sub variabel

memenuhi unsur validitas diskriminan dalam mengukur variabel kapabilitas

dinamis.

248

4.4.1.2. Pengukuran Manajemen Pengetahuan

Manajemen pengetahuan dalam penelitian ini diukur menggunakan tiga

dimensi/sub variabel yaitu penciptaan, transfer dan aplikasi pengetahuan. Setiap

dimensi/sub variabel diukur menggunakan beberapa indikator.

Tabel 4. 22

Validitas Konvergen dan Reliabilitas

Konstruk Manajemen Pengetahuan Order Pertama

Dimensi/

Sub

Variabel

Indikator

Load-

ing

Factor

Std Dev t-stat CR

AVE

Penciptaan

pengeta-

huan

Menghadiri acara

pelatihan (PP1) 0,715 0,038 19,013

0,844 0,645

Pencarian informasi

dari sumber lainnya

(PP2) 0,874 0,017 50,385

Melakukan uji coba

(PP3) 0,812 0,021 38,330

Tranfer

pengeta-

huan

Menggali

pengetahuan

karyawan (TP1) 0,830 0,021 39,790

0,862 0,675

Mendorong

kegiatan berbagi

pengetahuan (TP2) 0,841 0,018 47,520

Menggunakan

internet dan media

sosial untuk berbagi

pengetahuan (TP3) 0,792 0,025 31,158

Aplikasi

pengeta-

huan

Pengetahuan dari

kesalahan masa lalu

(AP1) 0,803 0,029 27,633

0,859 0,672

Pengalaman masa

lalu untuk

penyelesaian

masalah (AP2) 0,881 0,024 36,650

Pengetahuan masa

lalu untuk

menciptakan

penghematan (AP3) 0,770 0,044 17,626

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5 dan AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

Kesimpulan 1: Semua indikator memenuhi uji validitas konvergen

Kesimpulan 2: Semua indikator memenuhi uji reliabilitas

Kesimpulan 3: Semua indikator berpengaruh signifikan terhadap dimensi/sub

variabel

Sumber : Hasil penelitian

249

Variabel manajemen pengetahuan diukur dengan menggunakan tiga

dimensi/sub variabel dan sembilan indikator. Pada tabel di atas bisa dilihat bahwa

semua indikator memiliki loading factor dan nilai AVE yang lebih besar dari

0,50. Disamping itu, nilai t-statistik juga lebih besar dari nilai t-tabel 1,960

sehingga dapat disimpulkan semua indikator memiliki validitas konvergen.

Dimensi/sub variabel pertama yang digunakan untuk mengukur variabel

manajemen pengetahuan adalah dimensi/sub variabel penciptaan pengetahuan.

Dimensi/sub variabel ini memiliki tiga indikator. Dari ketiga indikator ini,

dimensi/sub variabel yang paling mampu mengukur dimensi/sub variabel

penciptaan pengetahuan adalah indikator melakukan pencarian informasi dari

sumber lainnya (PP2) dengan koefisein loading factor 0,874. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa perubahan dalam dimensi/sub variabel penciptaan

pengetahuan akan lebih tercermin dari adanya perubahan dalam indikator ini.

Dimensi/sub variabel transfer pengetahuan diukur menggunakan tiga

indikator. Dari ketiga indikator ini, terlihat bahwa indikator mendorong antar

karyawan untuk saling berbagi pengetahuan (TP2) merupakan indikator paling

dominan dalam mengukur dimensi/sub variabel transfer pengetahuan dengan

loading factor 0,841.

Selanjutnya dimensi/sub variabel ketiga yang digunakan untuk mengukur

variabel laten manajemen pengetahuan adalah dimensi/sub variabel aplikasi

pengetahuan. Dari ketiga indikator, maka yang paling dominan dalam mengukur

dimensi/sub variabel aplikasi pengetahuan adalah menggunakan pengalaman

masa lalu untuk menyelesaikan masalah yang ditemui saat ini (AP2) dengan

250

loading faktor sebesar 0,881. Hasil ini menunjukkan bahwa persepsi responden

terhadap dimensi/sub variabel aplikasi pengetahuan lebih dominan terkait dengan

persepsinya terhadap kemampuan perusahaan menggunakan pengalaman masa

lalu untuk menyelesaikan masalah saat ini.

Hasil pengukuran validitas diskriminan order pertama dari variabel

manajemen pengetahuan disajikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 4. 23

Validitas Diskriminan Konstruk Manajemen Pengetahuan Order Pertama

Dimensi/Sub

Variabel Indikator

Penciptaan

pengetahuan

Transfer

pengetahuan

Aplikasi

pengetahuan

Penciptaan

pengetahuan

Menghadiri acara

pelatihan (PP1) 0,715 0,411 0,286

Pencarian informasi

dari sumber lainnya

(PP2)

0,874 0,569 0,378

Melakukan uji coba

(PP3) 0,812 0,587 0,457

Transfer

pengetahuan

Menggali pengetahuan

karyawan (TP1) 0,508 0,830 0,309

Mendorong kegiatan

berbagi pengetahuan

(TP2)

0,500 0,841 0,461

Menggunakan internet

dan media sosial untuk

berbagi pengetahuan

(TP3)

0,609 0,792 0,400

Aplikasi

pengetahuan

Pengetahuan dari

kesalahan masa lalu

(AP1)

0,372 0,357 0,803

Pengalaman masa lalu

untuk penyelesaian

masalah (AP2)

0,406 0,373 0,881

Pengetahuan masa lalu

untuk menciptakan

penghematan (AP3)

0,380 0,443 0,770

• Kriteria : Setiap blok indikator memiliki loading lebih tinggi untuk setiap variabel laten

yang diukur dibandingkan dengan indikator untuk variabel laten lainnya

• Kesimpulan: Semua indikator memenuhi uji validitas diskriminan

Sumber : Hasil penelitian

251

Pada tabel di atas terlihat bahwa ketiga indikator juga memiliki validitas

diskriminan yang baik yang ditunjukkan bahwa nilai loading block indikator

setiap variabel laten yang diukur lebih besar dibandingkan loading block indikator

setiap variabel laten lainnya. Hal ini berarti indikator-indikator memenuhi unsur

validitas diskriminan.

Hasil pengukuran validitas konvergen dan reliabilitas tahap kedua dari

variabel manajemen pengetahuan, maka disajikan sebagai berikut:

Tabel 4. 24

Validitas Konvergen dan Reliabilitas Konstruk Manajemen Pengetahuan

Order Kedua

Dimensi/Sub Variabel Loading

Factor

Standar

Deviasi

t-

statistik AVE CR

Penciptaan pengetahuan 0,862 0,02 42,327 0,831 0,871

Transfer pengetahuan 0,865 0,02 43,225

Aplikasi pengetahuan 0,765 0,033 23,167

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5; AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

• Kesimpulan 1: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji validitas konvergen

• Kesimpulan 2: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji reliabilitas

• Kesimpulan 3: Semua dimensi/sub variabel berpengaruh signifikan terhadap variabel

Sumber: Hasil penelitian

Tabel di atas menyajikan data bahwa ketiga dimensi/sub variabel dari

variabel manajemen pengetahuan memiliki loading factor dan nilai AVE yang

lebih besar dari 0,5 dengan nilai t-statistik lebih besar dari nilai t-tabel=1,960.

Sehingga dapat disimpulkan ketiga dimensi/sub variabel ini memiliki validitas

konvergen dalam mengukur variabel laten manajemen pengetahuan. Ketiga

dimensi/sub variabel ini juga memiliki koefisien reliabilitas yang lebih besar dari

batas minimumnya. Hal ini terlihat dari composite reliability yang lebih besar dari

252

0,6. Sehingga dapat disimpulkan ketiga dimensi/sub variabel ini juga dinyatakan

reliabel dalam mengukur variabel laten manajemen pengetahuan.

Dari ketiga dimensi/sub variabel ini, maka yang paling dominan dalam

mengukur variabel laten manajemen pengetahuan adalah dimensi/sub variabel

transfer pengetahuan sebesar 0,865. Ini menunjukkan bahwa perubahan-

perubahan dalam variabel manajemen pengetahuan akan lebih tercermin dari

perubahan dimensi/sub variabel transfer pengetahuan. Selain itu hasil ini juga

menggambarkan bahwa persepsi responden terhadap manajemen pengetahuan

berkaitan erat dengan persepsi responden terhadap transfer pengetahuan. Artinya

bahwa upaya perusahaan dalam manajemen pengetahuan lebih kuat tercermin dari

upaya menyerap pengetahuan karyawan dan mendorong antar karyawan untuk

saling berbagi pengetahuan. Hal ini sejalan dengan apa yang sudah disampaikan

oleh Kogut and Zander (1992) bahwa kemampuan perusahaan untuk terus belajar

tergantung kepada transfer dan integrasi informasi, pengetahuan dan ide yang

dikeluarkan oleh anggota organisasi.

253

Tabel 4. 25

Validitas Diskriminan Konstruk Manajemen Pengetahuan Order Kedua

Dimensi/Sub

Variabel

Penciptaan

pengetahuan

Transfer

pengetahuan

Aplikasi

pengetahuan

Penciptaan

pengetahuan 0,803

Transfer pengetahuan 0,658 0,821

Aplikasi pengetahuan 0,472 0,478 0,820

Kriteria : Nilai kriteria Fornell and Larcker/akar kuadrat dari AVE (diagonal hitam) >

nilai korelasi antar variabel laten

Kesimpulan: Instrumen penelitian memenuhi validitas diskriminan

Sumber: Hasil penelitian

Tabel di atas memberikan informasi terkait nilai kriteria Fornell and

Larcker atau akar kuadrat dari AVE yang lebih besar dari nilai korelasi antar

variabel laten. Sehingga dimensi-dimensi/sub variabel manajemen pengetahuan

memiliki validitas diskriminan dalam mengukur variabelnya.

4.4.1.3. Pengukuran Modal Intelektual

Variabel penelitian modal intelektual diukur menggunakan empat

dimensi/sub variabel yaitu modal manusia, modal struktural, modal relasional dan

modal kewirausahaan. Pengukuran validitas konvergen order pertama disajikan

pada tabel berikut:

254

Tabel 4. 26

Validitas Konvergen dan Reliabilitas

Konstruk Modal Intelektual Order Pertama Dimensi/

Sub

Variabel

Indikator Load-ing

Factor Std Dev t-stat CR AVE

Modal

manusia

Pengalaman

karyawan (MM1) 0,804 0,032 25,100

0,854 0,594

Keterampilan

karyawan

(MM2)

0,796 0,033 23,928

Pendekatan baru

dalam pemecahan

masalah

(MM3)

0,723 0,043 16,763

Kemampuan

menangani

persoalan tidak

terduga (MM4)

0,757 0,042 17,856

Modal

struktural

Prosedur tertulis

(MSI1) 0,848 0,019 45,098

0,810 0,681 Dokumentasi

informasi (MSI2) 0,801 0,030 26,894

Modal

relasional

Kemitraan dengan

pasar dan

komersial (MRI1)

0,694 0,042 16,561

0,869 0,626

Kemitraan dengan

sektor publik

(MRI2)

0,828 0,025 33,810

Kemitraan dengan

asosiasi/komunitas

(MRI3)

0,845 0,021 40,778

Jumlah informasi

(MRI4) 0,789 0,029 26,833

Modal

kewirausaha

an

Keberanian

mengambil risiko

(MK1)

0,873 0,018 49,433

0,862 0,675

Kemampuan

mengambil

keputusan secara

tegas (MK2)

0,820 0,033 24,629

Kemampuan

mengidentifikasi

peluang bisnis baru

(MK3)

0,770 0,034 22,742

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5 dan AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

Kesimpulan 1: Semua indikator memenuhi uji validitas konvergen

Kesimpulan 2: Semua indikator memenuhi uji reliabilitas

Kesimpulan 3: Semua indikator berpengaruh signifikan terhadap dimensi/sub

variabel

Sumber : Hasil penelitian

255

Variabel modal intelektual diukur dengan 4 dimensi/sub variabel dan 13

indikator. Pada tabel di atas terlihat bahwa semua indikator tersebut memiliki

loading factor yang lebih besar dari batas minimum dari loading factor untuk

menyatakan indikator tersebut valid, yakni 0,5. Nilai AVE di atas 0,5. Terlihat

juga bahwa nilai t-statistik lebih besar dari nilai t-tabel=1,960. Sehingga

berdasarkan kriteria ini dapat disimpulkan semua indikator/item yang digunakan

untuk mengukur setiap dimensi/sub variabel dari variabel modal intelektual sudah

memenuhi uji validitas konvergen.

Indikator yang memiliki kaitan paling erat dengan dimensi/sub variabel

modal manusia adalah indikator pengalaman karyawan (MM1) dengan loading

factor mencapai 0,804. Sedangkan indikator dengan loading factor yang paling

rendah adalah sering tidaknya perusahaan mencoba pendekatan baru dalam

pemecahan masalah (MM3) dengan loading factor 0,723. Korelasi indikator

tersebut dengan dimensi/sub variabel yang diukurnya baik dan bernilai signifikan.

Hasil ini memberikan gambaran bahwa persepsi responden terhadap aspek modal

manusia sangat terkait dengan kualitas pengalaman yang dimiliki karyawan.

Selanjutnya, pada dimensi/sub variabel modal struktural, indikator yang

memiliki besar loading factor yang paling besar adalah pembuatan prosedur

tertulis sebagai pedoman bekerja karyawan (MS1), yakni 0,848. Hasil ini

memberikan gambaran bahwa persepsi responden terhadap modal struktural

memiliki kaitan erat dengan adanya prosedur tertulis bagi karyawan.

Sedangkan pada dimensi/sub variabel modal relasional, indikator yang

paling mampu mengukur dimensi/sub variabel modal relasional adalah indikator

256

menjalin kemitraan dengan asosiasi/komunitas (MR3) dengan loading factor

sebesar 0,845. Ini menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap modal relasi

terkait dengan sejauh mana mereka mampu membangun relasi dengan asosiasi

atau komunitas. Sedangkan indikator yang paling lemah dalam mengukur

dimensi/sub variabel modal relasional adalah menjalin kemitraan dengan pasar

komersial (pesaing, konsumen, konsultan, pemasok bahan baku dan komponen,

perusahaan software komputer dan laboratorium komersial).

Pada dimensi/sub variabel modal kewirausahaan, indikator yang paling

mampu mengukur dimensi/sub variabel modal kewirausahaan adalah indikator

keberanian mengambil resiko (MK1) dengan loading factor sebesar 0,873. Ini

menujukkan bahwa persepsi responden terhadap modal kewirausahaan terkait

dengan sejauh mana mereka mampu mengambil resiko.

Selanjutnya dilakukan penilaian validitas diskriminan setiap indikator

dalam menilai dimensi/sub variabel.

257

Tabel 4. 27

Validitas Diskriminan Konstruk Modal Intelektual Order Pertama

Dimensi/

Sub

Variabel

Indikator Modal

manusia

Modal

struktural

Modal

relasional

Modal

kewirausa-

haan

Modal

manusia

Pengalaman karyawan

(MM1) 0,804 0,422 0,337 0,501

Keterampilan karyawan

(MM2) 0,796 0,365 0,238 0,425

Pendekatan baru dalam

pemecahan masalah

(MM3)

0,723 0,303 0,300 0,483

Kemampuan menangani

persoalan tidak terduga

(MM4)

0,757 0,465 0,311 0,467

Modal

struktural

Prosedur tertulis (MSI1) 0,502 0,848 0,495 0,467

Dokumentasi informasi

(MSI2) 0,325 0,801 0,519 0,409

Modal

relasional

Kemitraan dengan pasar

dan komersial (MRI1) 0,295 0,389 0,694 0,192

Kemitraan dengan

sektor publik (MRI2) 0,227 0,553 0,828 0,252

Kemitraan dengan

asosiasi/komunitas

(MRI3)

0,375 0,508 0,845 0,282

Jumlah informasi

(MRI4) 0,320 0,481 0,789 0,369

Modal

kewirausaha

an

Keberanian mengambil

risiko (MK1) 0,564 0,447 0,322 0,873

Kemampuan

mengambil keputusan

secara tegas (MK2)

0,460 0,453 0,234 0,820

Kemampuan

mengidentifikasi

peluang bisnis baru

(MK3)

0,473 0,413 0,304 0,770

• Kriteria : Setiap blok indikator memiliki loading lebih tinggi untuk setiap variabel laten yang

diukur dibandingkan dengan indikator untuk variabel laten lainnya

• Kesimpulan: Semua indikator memenuhi uji validitas diskriminan

Sumber : Hasil penelitian

Hasil perhitungan sebagaimana tabel di atas menunjukkan bahwa setiap

blok indikator memiliki loading lebih tinggi untuk setiap variabel laten yang

258

diukur dibandingkan dengan indikator untuk variabel laten lainnya. Dengan

demikian setiap indikator juga sudah memenuhi persyaratan validitas diskriminan.

Selanjutnya dilakukan pengukuran validitas konvergen dan reliabilitas

tahap kedua:

Tabel 4. 28

Validitas Konvergen dan Reliabilitas

Konstruk Modal Intelektual Order Kedua

Dimensi/Sub Variabel Loading

Factor

Standar

Deviasi

t-

statistik AVE CR

Modal manusia 0,812 0,03 27,115

0,788

0,868

Modal struktural 0,797 0,028 28,892

Modal relasional 0,755 0,047 16,121

Modal kewirausahaan 0,789 0,026 30,484

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5; AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

• Kesimpulan 1: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji validitas konvergen

• Kesimpulan 2: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji reliabilitas

• Kesimpulan 3: Semua dimensi/sub variabel berpengaruh signifikan terhadap variabel

Sumber : Hasil penelitian

Hasil analisis yang disajikan pada tabel di atas memberikan nilai loading

factor atau koefisien validitas lebih besar dari 0,50 dan nilai t-statistik lebih besar

dari nilai t-tabel=1,960. Disamping itu nilai AVE lebih besar dari 0,5. Sehingga

dapat disimpulkan semua dimensi/sub variabel memenuhi uji validitas konvergen

dalam mengukur variabel laten modal intelektual. Kemudian keempat dimensi/sub

variabel ini memberikan koefisien reliabilitas / CR yang lebih besar dari batas

minimumnya yakni 0,6. Sehingga instrumen memenuhi persyaratan uji

reliabilitas.

Tabel di atas juga menginformasikan bahwa dimensi/sub variabel yang

paling dominan dalam mengukur variabel laten modal intelektual adalah

259

dimensi/sub variabel modal manusia sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi

responden terhadap modal intelektual perusahaan terkait erat dengan persepsi

responden terhadap modal manusia. Artinya bahwa baik buruknya modal

intelektual terlihat jelas dari sejauh mana modal manusianya.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Baker (1992) di dalam Hsu and Fang

(2009) bahwa modal manusia yang berkualitas merupakan faktor yang paling

penting pada era knowledge based economy. Pfeffer (1994) di dalam Hsu and

Fang (2009) dan Joeliaty (2012) menekankan bahwa cara perusahaan

mempertahankan dan melatih sumber daya manusianya merupakan strategi

bersaing paling penting pada konteks ekonomi berbasis pengetahuan.

Sedangkan validitas diskriminan tahap kedua dari variabel modal

intelektual disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 4. 29

Validitas Diskriminan Konstruk Model Intelektual Order Kedua

Dimensi/Sub

Variabel

Modal

Manusia

Modal

Struktural

Modal

Relasional

Modal

Kewirausahaan

Modal Manusia 0,771

Modal Struktural 0,507 0,825

Modal Relasional 0,387 0,613 0,791

Modal

Kewirausahaan 0,610 0,532 0,351 0,822

Kriteria : Nilai kriteria Fornell and Larcker/akar kuadrat dari AVE (diagonal hitam)

> nilai korelasi antar variabel laten

Kesimpulan: Instrumen penelitian memenuhi validitas diskriminan

Sumber : Hasil penelitian

Pada tabel di atas terlihat bahwa nilai kriteria Fornell and Larcker atau

akar kuadrat AVE lebih besar dari pada nilai korelasi antar variabel laten.

Sehingga semua dimensi/sub variabel memenuhi unsur validitas diskriminan.

260

4.4.1.4. Pengukuran Kinerja Inovasi

Kinerja inovasi diukur menggunakan empat dimensi/sub variabel: inovasi

produk dan estetika, proses, pemasaran dan organisasi. Hasil analisis model

pengukuran disajikan dibawah ini.

Tabel 4. 30

Validitas Konvergen dan Reliabilitas

Konstruk Kinerja Inovasi Order Pertama Dimensi/

Sub

Variabel

Indikator Loading

Factor

Std

Dev t-stat CR

AVE

Inovasi

Produk dan

Estetika

Penggunaan bahan baku

baru (IPE1)

0,725 0,034 21,324

0,813 0,593 Variasi tampilan produk

baru (IPE2)

0,744 0,050 14,773

Desain unik yang

dihasilkan (IPE3)

0,836 0,024 34,898

Inovasi

Proses

Metode produksi baru

(IPros1)

0,831 0,025 32,718

0,879 0,708 Peralatan produksi baru

(IPros2)

0,865 0,024 35,963

Metode logistik/distribusi/

pengiriman produk baru

(IPros3)

0,829 0,025 32,714

Inovasi

Pemasaran

Desain/ kemasan baru

(IPM1)

0,721 0,037 19,606

0,855 0,599

Metode penempatan

produk di saluran

penjualan baru (IPM2)

0,652 0,054 12,114

Media atau teknik promosi

baru (IPM3)

0,851 0,017 49,965

Metode penetapan harga

(IPM4)

0,853 0,027 31,939

Inovasi

organisasi

Pengaturan tanggung

jawab dan pengambilan

keputusan

(IO1)

0,862 0,022 40,062

0,852 0,743

Pengaturan hubungan

eksternal

(IO2)

0,862 0,020 42,324

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5 dan AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

Kesimpulan 1: Semua indikator memenuhi uji validitas konvergen

Kesimpulan 2: Semua indikator memenuhi uji reliabilitas

Kesimpulan 3: Semua indikator berpengaruh signifikan terhadap dimensi/sub

variabel

Sumber : Hasil Penelitian

261

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa kinerja inovasi diukur dengan

menggunakan 12 indikator. Seluruh indikator memiliki nilai loading factor dan

nilai AVE di atas 0,5, pada t-statistik lebih besar daripada 1,960. Sehingga seluruh

indikator memenuhi persyaratan uji validitas konvergen.

Pada tabel indikator yang paling dominan dalam merefleksikan

dimensi/sub variabel inovasi produk dan estetika adalah jumlah desain unik

produk yang dibuat sendiri (IPE3) dengan nilai loading factor 0,836. Hasil ini

menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap inovasi produk dan estetika

lebih terkait kemampuan perusahaan menghasilkan produk dari hasil karya

sendiri. Artinya bahwa produk dan estetika yang berhasil tercermin dari capaian

perusahaan membuat desain unik secara internal.

Pada inovasi proses, indikator yang paling dominan dalam merefleksikan

dimensi/sub variabel inovasi proses adalah penggunaan peralatan produksi yang

baru (IPros2) dengan nilai loading factor 0,865. Hasil ini menunjukkan bahwa

persepsi responden terhadap inovasi proses adalah lebih terkait dengan peralatan

produksi baru. Artinya bahwa inovasi proses yang berhasil yang berhasil

tercermin dari penggunaan peralatan produksi yang baru. Hal ini sesuai dengan

apa yang pernah disampaikan oleh OECD (2005) bahwa inovasi proses terkait

dengan inovasi teknologi. Artinya inovasi proses akan menjadi lebih berhasil

sesuai yang ditentukan jika didukung oleh teknologi yang memadai.

Untuk inovasi pemasaran, indikator yang paling dominan adalah

penetapan harga barang baru (IPem4) dengan nilai loading factor 0,853. Artinya

262

bahwa inovasi pemasaran yang berhasil tercermin dari penggunaan penetapan

harga baru dan penggunaan media atau teknik pemasaran baru.

Sedangkan pada inovasi organisasi, kedua indikator memiliki nilai loading

factor yang sama yakni 0,862 sehingga tidak ada yang lebih dominan. Artinya

bahwa inovasi organisasi yang berhasil tercermin dari pemberian insentif yang

memotivasi karyawan dan sistem pengendalian karyawan.

Tabel 4. 31

Validitas Diskriminan Konstruk Kinerja Inovasi Order Pertama Dimensi/

Sub

Variabel

Indikator

Inovasi

Produk dan

Estetika

Inovasi

Proses

Inovasi

Pemasaran

Inovasi

organisasi

Inovasi

Produk dan

Estetika

Penggunaan bahan baku

baru (IPE1) 0,725 0,479 0,448 0,444

Variasi tampilan produk

baru (IPE2) 0,744 0,392 0,470 0,337

Desain unik yang

dihasilkan (IPE3) 0,836 0,565 0,593 0,369

Inovasi

Proses

Metode produksi baru

(IPros1) 0,547 0,831 0,478 0,354

Peralatan produksi baru

(IPros2) 0,530 0,865 0,614 0,471

Metode

logistik/distribusi/

pengiriman produk baru

(IPros3)

0,510 0,829 0,588 0,440

Inovasi

Pemasaran

Desain/ kemasan baru

(IPM1) 0,519 0,519 0,721 0,423

Metode penempatan

produk di saluran

penjualan baru (IPM2)

0,480 0,498 0,652 0,572

Media atau teknik

promosi baru (IPM3) 0,504 0,532 0,851 0,558

Metode penetapan harga

(IPM4) 0,535 0,518 0,853 0,571

Inovasi

organisasi

Pengaturan tanggung

jawab dan pengambilan

keputusan

(IO1)

0,393 0,462 0,593 0,862

Pengaturan hubungan

eksternal

(IO2)

0,463 0,405 0,593 0,862

• Kriteria : Setiap blok indikator memiliki loading lebih tinggi untuk setiap variabel laten

yang diukur dibandingkan dengan indikator untuk variabel laten lainnya

• Kesimpulan: Semua indikator memenuhi uji validitas diskriminan

Sumber : Hasil penelitian

263

Disamping itu, berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa nilai loading block

indikator setiap variabel laten yang diukur lebih besar daripada loading block

indikator setiap variabel laten lainnya sehingga indikator memenuhi unsur

validitas diskriminan.

Tabel 4. 32

Validitas Konvergen dan Reliabilitas Konstruk Kinerja Inovasi

Order Kedua

Dimensi/Sub Variabel Loading

Factor

Standar

Deviasi

t-

statistik AVE CR

Inovasi Produk dan Estetika 0,824 0,024 34,067 0,670

0,905

Inovasi Proses 0,848 0,022 39,260

Inovasi Pemasaran 0,915 0,011 84,528

Inovasi organisasi 0,764 0,03 25,082

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5; AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

• Kesimpulan 1: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji validitas konvergen

• Kesimpulan 2: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji reliabilitas

• Kesimpulan 3: Semua dimensi/sub variabel berpengaruh signifikan terhadap variabel

Sumber : Hasil penelitian

Pada tabel di atas terlihat bahwa kinerja inovasi diukur dengan

menggunakan 4 dimensi/sub variabel. Nilai loading factor keempat dimensi/sub

variabel tersebut lebih besar dari 0,5 pada tingkat t-statistik lebih tinggi

dibandingkan t-tabel pada tingkat 1,960. Nilai AVE juga lebih besar dari 0,5. Hal

ini mengindikasikan bahwa semua dimensi/sub variabel memenuhi unsur validitas

konvergen dalam mengukur variabel kinerja inovasi. Disamping itu nilai

composite reliability lebih besar darpada 0,6. Sehingga bisa dianggap bahwa

semua dimensi/sub variabel memiliki unsur kehandalan dalam mengukur variabel

kinerja inovasi.

264

Diantara keempat dimensi/sub variabel tersebut, terlihat bahwa inovasi

pemasaran lebih dominan dibandingkan inovasi lainnya yang ditunjukkan dengan

nilai loading factor yang paling besar yakni 0,915. Hal ini mengindikasikan

bahwa keberhasilan inovasi dipersepsikan oleh responden lebih dipengaruhi oleh

keberhasilan dalam melakukan inovasi pemasaran.

Validitas diskriminan tahap kedua dari variabel kinerja inovasi disajikan

pada tabel berikut:

Tabel 4. 33

Validitas Diskriminan Konstruk Kinerja Inovasi Order Kedua

Dimensi/Sub Variabel

Inovasi

Produk dan

Estetika

Inovasi

Proses

Inovasi

Pemasaran

Inovasi

organisasi

Inovasi Produk dan Estetika 0,770

Inovasi Proses 0,628 0,842

Inovasi Pemasaran 0,658 0,668 0,774

Inovasi organisasi 0,497 0,503 0,688 0,862

Kriteria : Nilai kriteria Fornell and Larcker/akar kuadrat dari AVE (diagonal hitam) >

nilai korelasi antar variabel laten

Kesimpulan: Instrumen penelitian memenuhi validitas diskriminan

Sumber : Hasil penelitian

Sedangkan pada tabel di atas terlihat bahwa nilai akar kuadrat AVE atau

nilai kriteria Fornell and Larcker lebih besar dari nilai korelasi antar variabel

sehingga dimensi/sub variabel memenuhi unsur validitas diskriminan.

4.4.1.5. Pengukuran Kinerja Perusahaan

Analisis model pengukuran untuk setiap dimensi/sub variabel dari variabel

kinerja perusahaan disajikan di bawah ini :

265

Tabel 4. 34

Validitas Konvergen dan Reliabilitas

Konstruk Kinerja Perusahaan Order Pertama

Sumber : Hasil penelitian

Variabel kinerja perusahaan diukur dengan menggunakan lima indikator.

Kelima indikator tersebut memiliki nilai loading factor dan AVE di atas 0,5 pada

t-statistik yang lebih besar dibandingkan t-tabel 1,960. Hal ini berarti bahwa

semua indikator memiliki validitas konvergen dalam mengukur dimensi/sub

variabel.

Pada dimensi/sub variabel pelanggan, terlihat bahwa nilai loading factor

pertumbuhan jumlah pelanggan memiliki loading factor yang lebih besar. Hal ini

berarti bahwa indikator tersebut lebih kuat dalam mempengaruhi perubahan nilai

dimensi/sub variabel pelanggan. Sedangkan pada dimensi/sub variabel keuangan,

pertumbuhan penjualan memberikan nilai loading factor yang lebih besar

dibandingkan indikator lainnya. Hal ini berarti bahwa penjualan dipersepsikan

Dimensi/Sub

Variabel Indikator

Load-ing

Factor Std Dev t-stat CR

AVE

Pelanggan

Pertumbuhan

pelanggan (Pel1)

0,894 0,011 80,204

0,851 0,742

Kepuasan

pelanggan (Pel2)

0,827 0,029 28,511

Keuangan

Pertumbuhan

penjualan (Keu1)

0,859 0,021 40,086

0,835 0,630 Penghematan biaya

(Keu2)

0,657 0,070 9,381

Pertumbuhan laba

(Keu3)

0,850 0,029 28,861

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5 dan AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

Kesimpulan 1: Semua indikator memenuhi uji validitas konvergen

Kesimpulan 2: Semua indikator memenuhi uji reliabilitas

Kesimpulan 3: Semua indikator berpengaruh signifikan terhadap dimensi/sub

variabel

266

oleh pelanggan sebagai ukuran dimensi/sub variabel keuangan yang paling

berpengaruh.

Tabel 4. 35

Validitas Diskriminan Konstruk Kinerja Perusahaan Order Pertama

Dimensi/Sub

Variabel Indikator Pelanggan Keuangan

Pelanggan

Pertumbuhan pelanggan

(Pel1) 0,894 0,661

Kepuasan pelanggan

(Pel2) 0,827 0,413

Keuangan

Pertumbuhan penjualan

(Keu1) 0,651 0,859

Penghematan biaya

(Keu2) 0,373 0,657

Pertumbuhan laba

(Keu3) 0,460 0,850

• Kriteria : Setiap blok indikator memiliki loading lebih tinggi untuk setiap variabel

laten yang diukur dibandingkan dengan indikator untuk variabel

laten lainnya

• Kesimpulan: Semua indikator memenuhi uji validitas diskriminan

Sumber : Hasil penelitian

Pada tabel di atas terlihat bahwa loading block indikator setiap variabel laten yang

diukur lebih besar daripada loading block indikator setiap variabel laten lainnya,

sehingga indikator-indikator tersebut juga memenuhi unsur validitas diskriminan

dalam mengukur dimensi-dimensi/sub variabelnya.

Validitas konvergen tahap kedua dari variabel kinerja perusahaan disajikan

sebagai berikut:

267

Tabel 4. 36

Validitas Konvergen dan Reliabilitas

Konstruk Kinerja Perusahaan Order Kedua

Dimensi/Sub Variabel Loading

Factor

Standar

Deviasi

t-

statistik AVE CR

Pelanggan 0,881 0,015 57,229 0,904 0,899

Keuangan 0,926 0,013 73,380

Kriteria:

o Validitas konvergen: Loading Factor > 0,5; AVE>0,5

o Reliabilitas : CR>0,6

o Signifikansi: t-statistik/hitung > t- tabel=1,960

• Kesimpulan 1: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji validitas konvergen

• Kesimpulan 2: Semua dimensi/sub variabel memenuhi uji reliabilitas

• Kesimpulan 3: Semua dimensi/sub variabel berpengaruh signifikan terhadap variabel

Sumber : Hasil penelitian

Seperti yang telah disampaikan, untuk mengukur kinerja perusahaan

menggunakan dua dimensi/sub variabel. Kedua dimensi/sub variabel,

sebagaimana disajikan pada tabel di atas, memiliki nilai loading factor besar dari

0,5, t-statistik yang lebih besar pada t-tabel 1,960 dan nilai AVE di atas 0,5. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa semua dimensi/sub variabel memiliki validitas

konvergen dalam mengukur variabel kinerja perusahaan. Nilai composite

reliability lebih besar dari 0,6 mengindikasikan bahwa dimensi/sub variabel

memiliki kehandalan yang baik.

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa dimensi/sub variabel keuangan

memiliki kaitan yang paling erat dengan kinerja perusahaan. Hal ini berarti bahwa

persepsi responden terhadap kinerja perusahaan yang berhasil adalah pada

keberhasilan pada aspek keuangan. Hal ini tidak heran karena keuangan

merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh perusahaan yang berorientasi

profit (Kaplan & Norton, 1992).

268

Tabel 4. 37

Validitas Diskriminan Konstruk Kinerja Perusahaan Order Kedua

Dimensi/Sub Variabel Pelanggan Keuangan

Pelanggan 0,861

Keuangan 0,637 0,794

Kriteria : Nilai kriteria Fornell and Larcker/akar kuadrat dari AVE (diagonal hitam)

> nilai korelasi antar variabel laten

Kesimpulan: Instrumen penelitian memenuhi validitas diskriminan

Sumber : Hasil Penelitian

Sedangkan pada tabel terlihat bahwa nilai akar kuadrat AVE atau kriteria

Fornell and Larcker lebih besar dibandingkan nilai korelasi antar variabel laten,

sehingga dimensi/sub variabel penelitian memenuhi uji validitas diskriminan.

4.3.2. Pengukuran Inner Model

Sebagaimana dijelaskan oleh Hair et al. (2017) bahwa pengukuran model

struktural / inner model meliputi: 1.) uji kolinearitas antar konstruk, 2.) meninjau

nilai R2 (variasi nilai variabel endogen yang disebabkan oleh variabel eksogen

tertentu), 3.) melihat nilai effect size f2 (kekuatan pengaruh variabel eksogen

terhadap variabel endogen), 4.) menilai predictive relevance Q2 (kemampuan

model dalam memprediksi konstruk endogen), dan 5.) melihat besarnya koefisien

jalur strukturalnya.

Model struktural penelitian ini adalah sebagai berikut:

269

η1

ξ 1

ξ2

η3η2 0,4960,434

0,233

0,189

0,368

0,6740,422

0,442

0,723

0,032

0,719

-0,278

-0,028

Sumber : Hasil Penelitian

Gambar 4. 5 Model struktural penelitian

Diagram jalur penelitian ini dapat dituliskan dalam persamaan struktural

sebagai berikut:

• η1= 0,032ξ1 + 0,723 ξ2

• η2= 0,233ξ1 + 0,189 ξ2 + 0,434η1

• η3= 0,368ξ1 - 0,278ξ2 - 0,028 η1 + 0,496η2

dengan :

1 : Kapabilitas dinamis

ξ2: Manajemen pengetahuan

1: Modal intelektual

2: Kinerja inovasi

3: Kinerja perusahaan

Terhadap model struktural penelitian ini dilakukan uji kolinieritas untuk

melihat nilai korelasi antar variabel independen. Nilai korelasi yang tinggi akan

menyulitkan penilaian spesifik atas besarnya pengaruh variabel independen

tertentu terhadap variabel dependen (Hair, Black, Babin, & Anderson, 2013).

270

Koliniearitas terjadi jika nilai tolerance ≤ 0,2 dan VIF ≥ 5 (Hair Jr et al., 2016).

Pengujian dilakukan berdasarkan sub-sub model dengan mempergunakan SPSS

22. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4. 38

Pengukuran Kolinieritas Model Struktural

Sub Model

Hasil Uji

Keterangan

Variabel independen: KD dan MP

Variabel dependen: MI

KD - Tolerance: 0,499

KD - VIF : 2,00

MP - Tolerance: 0,499

MP - VIF : 2,00

Tidak terdapat

kolinieritas

Variabel independen:

KD, MP dan MI

Variabel dependen: KI

KD - Tolerance: 0,499

KD - VIF : 2,00

MP - Tolerance: 0,309

MP - VIF : 3,24

MI - Tolerance: 0,445

MI - VIF : 2,25

Tidak terdapat

multikolinieritas

Variabel independen:

KD, MP dan KI

Variabel dependen: KP

KD - Tolerance: 0,482

KD - VIF : 2,07

MP - Tolerance: 0,386

MP - VIF : 2,59

KI - Tolerance: 0,517

KI - VIF : 1,93

Tidak terdapat

multikolinieritas

Standar: Tidak terdapat kolinieritas / multikolinieritas jika nilai tolerance > 0,2

dan VIF < 5

Sumber : Hasil Penelitian

Hasil pengujian koefisien korelasi antara kapabilitas dinamis dan manajemen

pengetahuan pada penelitian ini menghasilkan nilai 0,730 (lihat lampiran 6). Nilai

koefisien korelasi berkisar dari -1 sampai 1. Hasil perhitungan semakin mendekati

1 maka berarti semakin erat korelasi antara dua varabiel. Antara variabel

kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan terdapat korelasi yang positif

sebesar 73%. Ghozali (2006) menyatakan bahwa koefisien korelasi dibawah 90%

mengindikasikan tidak terdapatnya kolinieritas antar variabel independen. Oleh

271

karena koefisien korelasi KD dan MP adalah sebesar 73%, maka bisa dikatakan

bahwa antara dua variabel tersebut tidak terjadi kolinieritas.

Selanjutnya dilakukan uji kecocokan model dengan mempergunakan Stone-

Geisser's Q2 / model's predictive relevance (Stone, 1974; Geisser, 1975). Metode

Stone-Geisser's Q2 lebih baik dibandingkan metode pengukuran kecocokan model

yang lain seperti Goodness of Fit (GoF) (Tenenhaus, Amato, & Esposito Vinzi,

2004; Tenenhaus, Vinzi, Chatelin, & Lauro, 2005), karena GoF tidak mampu

membedakan antara model yang valid dan tidak valid (Henseler et al., 2012).

Sehingga dalam penggunaan PLS, tidak disarankan untuk menggunakan GoF

(Hair et al., 2017).

Pada penelitian ini nilai Stone-Geisser's Q2 / model's predictive relevance

diukur dengan menggunakan metode Blindfolding - cross-validated redundancy,

yang dibangun berdasarkan estimasi model jalur, baik model struktural (skor

konstruk anteseden) dan model pengukuran (konstruk endogen yang menjadi

target) dari data yang diprediksi. Jika hasil kalkulasi menunjukkan bahwa nilai Q2

lebih besar dari nol, maka berarti model memiliki kemampuan memprediksi

konstruk endogen, atau variabel independen mampu memprediksi variabel

independen. Sedangkan nilai Q2 lebih kecil dari nol menandakan kurang

terdapatnya predictive relevance (Hair Jr et al., 2016).

Hasil kalkulasi Blindfolding - cross-validated redundancy dirangkumkan

sebagai berikut:

272

Tabel 4. 39

Rangkuman Pengujian Predictive Relevance Model Jalur

Independen Variabel Q2 Standar Keterangan

Modal Intelektual 0,201

Q2 > 0

Terdapat

predictive

relevance Kinerja Inovasi 0,274

Kinerja Perusahaan 0,161 Sumber : Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa nilai Q2 dari masing-masing variabel

eksogen lebih besar dari pada 0 (nol) sehingga bisa disimpulkan bahwa variabel

eksogen pada model penelitian mampu memprediksi variabel endogen.

Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis.

4.3.2.1. Pengaruh Kapabilitas Dinamis dan Manajemen Pengetahuan

Terhadap Modal Intelektual Baik Secara Simultan Maupun Parsial

di Industri Kreatif Fashion Produk Tekstil di Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan model struktural penelitian ini, maka hipotesis ke-1 dapat

digambarkan sebagai berikut:

η1

ξ 1

ξ2

0,442

0,723

0,032

0,730

Sumber : Hasil penelitian

Gambar 4. 6 Model struktural hipotesis 1 pengaruh

kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan

terhadap modal intelektual

273

Model struktural di atas dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai

berikut :

1 =0,0321 + 0,7232

dengan : 1 : Kapabilitas dinamis

2: Manajemen pengetahuan

1: Modal intelektual

Sebelum menjelaskan hasil sub model pertama, terlebih dahulu dilakukan

pengujian hipotesis untuk membuktikan bahwa ada pengaruh dari kapabilitas

dinamis dan manajemen pengetahuan terhadap modal intelektual baik secara

simultan maupun parsial di industri kreatif fashion produk tekstil Jabar. Hipotesis

ini terdiri atas tiga sub hipotesis, yakni : a) pengaruh kapabilitas dinamis dan

manajemen pengetahuan secara simultan terhadap modal intelektual, b) pengaruh

kapabilitas dinamis terhadap modal intelektual, c) pengaruh manajemen

pengetahuan terhadap modal intelektual.

Hipotesis Simultan

H0: γ11 = γ21 =0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis dan manajemen

pengetahuan secara simultan terhadap modal intelektual

H1: γ11 = γ21 0 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis dan manajemen

pengetahuan secara simultan terhadap modal intelektual

Untuk menguji hipotesis ini digunakan statistik uji F sebagai berikut :

274

𝐹 = 𝑅2 𝑘⁄

(1 − 𝑅2) (𝑛 − 𝑘 − 1)⁄

Untuk sub model pertama ini terdapat dua variabel penyebab yaitu variabel

kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan, sehingga k=2 dengan ukuran

sampel n=297. Selanjutnya koefisien determinasi R2 diperoleh dari proses

perhitungan sebesar 0,558 sehingga diperoleh perhitungan statistik uji F sebagai

berikut :

F = 0,558 2⁄

(1 − 0,558) (297 − 2 − 1)⁄

F = 0,279

(0,442) (294)⁄

F = 0,279

0,0015

F = 186

Kriteria uji untuk menyatakan tolak hipotesis nol jika nilai F hitung lebih

besar dari nilai F tabel, pada tingkat signifikansi 5% dengan derajat bebas

pembilang v1 = 2, dan derajat bebas penyebut v2 = 294. Jika terjadi sebaliknya

maka hipotesis nol diterima.

Dari perhitungan diperoleh nilai F1 = 186 > F-tabel = 3,00 sehingga dapat

disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dengan kata lain terdapat pengaruh

signifikan variabel kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan secara

simultan terhadap modal intelektual.

Tabel berikut menyajikan rangkuman hasil pengujian hipotesis 1 pengaruh

simultan:

275

Tabel 4. 40

Rangkuman hasil uji Hipotesis 1 Pengaruh Simultan

Hipotesis R2 F Hitung Keterangan

Kapabilitas Dinamis

dan Manajemen

Pengetahuan →

Modal Intelektual

0,558 186* Tolak H0

*Signifikan pada α=0,05 (F-tabel = 3,00)

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa perubahan-perubahan kapabilitas

dinamis dan manajemen pengetahuan pada industri kreatif fashion produk tekstil

di Jawa Barat secara simultan berpengaruh terhadap perubahan modal intelektual

sebesar 55,8%. Dengan kata lain, variasi pada modal intelektual yang dapat

dijelaskan oleh variasi pada kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan

secara bersama-sama adalah sebesar 55,8%. Sisanya, sebesar 44,2% perubahan

yang terjadi pada modal intelektual disebabkan oleh perubahan pada variabel lain

di luar penelitian ini.

Setelah terbukti terdapat pengaruh simultan, selanjutnya dilakukan

pengujian hipotesis parsial untuk membuktikan bahwa ada pengaruh dari masing-

masing variabel, yakni kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan terhadap

modal intelektual.

Hipotesis Parsial

H0: 11=0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap modal

intelektual

H1: 110 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap modal intelektual

276

H0: 12=0 Tidak terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap modal

intelektual

H1: 120 Terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap modal

intelektual

Untuk menguji hipotesis di atas digunakan statistik uji t sebagai berikut :

𝑡𝑖 = 𝛾𝑖𝑗

𝑠𝑒(𝛾𝑖𝑗); 𝑖, 𝑗 = 1,2

Kriteria pengujian hipotesis adalah tolak hipotesis nol yang menyatakan

tidak ada pengaruh dari kapabilitas dinamis terhadap variabel modal intelektual

dan manajemen pengetahuan jika nilai t-statistik lebih besar dibandingkan dengan

nilai t-tabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas df=296 yaitu sebesar

1,960.

Hasil pengujian di atas bisa dirangkumkan sebagai berikut:

Tabel 4. 41

Rangkuman pengaruh kapabilitas dinamis dan

manajemen pengetahuan secara parsial terhadap modal intelektual

Pengaruh Sampel

Asli (O)

Rata-rata

Sampel

(M)

Standar

Deviasi

(STDEV)

t-statistik

(O/STDV)

R2 Ket.

Kapabilitas dinamis →

Modal Intelektual 0,032 0,039 0,081 0,397 0,018 Terima H0

Manajemen pengetahuan →

Modal Intelektual 0,723 0,718 0,065 11,153 0,540 Tolak H0

Sumber : Hasil Penelitian

Dari hasil perhitungan diperoleh informasi, nilai t-statistik untuk pengaruh

kapabilitas dinamis terhadap modal intelektual sebesar 0,397. Sedangkan nilai t-

tabel adalah sebesar 1,960. Hasil perhitungan menunjukkan nilai t-statistik

277

pengaruh kapabilitas dinamis terhadap modal intelektual lebih kecil daripada nilai

t-tabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima, atau dengan

kata lain tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari kapabilitas dinamis

terhadap modal intelektual.

Sedangkan nilai t-statistik untuk pengaruh manajemen pengetahuan

terhadap modal intelektual sebesar 11,153. Hasil ini lebih besar daripada nilai t-

tabel 1,960, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak, atau

dengan kata lain pengaruh manajemen pengetahuan terhadap modal

intelektual adalah signifikan. Pengaruh yang diberikan oleh manajemen

pengetahuan adalah pengaruh positif yang artinya semakin efektif manajemen

pengetahuan maka akan berdampak positif terhadap semakin meningkatnya modal

intelektual di industri kreatif fashion produk tekstil Jawa Barat.

Besar pengaruh yang diberikan oleh manajemen pengetahuan terhadap

modal intelektual mencapai 72,3%. Sisanya sebesar 27,7% dipengaruhi oleh

variabel lainnya. Keragaman modal intelektual yang bisa dijelaskan oleh

manajemen pengetahuan adalah 54%. Sedangkan 46% keragaman pada modal

intelektual disebabkan oleh variabel lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa kualitas modal intelektual secara dominan

dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan dalam penciptaan pengetahuan (PP),

transfer pengetahuan (TP) dan aplikasi pengetahuan (AP). Terutama sekali

dimensi/sub variabel PP (0,862) dan TP (0,865) yang memberikan pengaruh yang

lebih besar dibandingkan AP (0,765).

278

Hal ini dikonfirmasi melalui wawancara mendalam dengan para pelaku

usaha industri fashion produk tekstil. Berdasarkan wawancara terungkap

informasi bahwa pada saat perusahaan memperoleh informasi tertentu terkait

barang yang akan dan sedang diproduksi, pengusaha yang mengajak karyawannya

untuk saling bertukar pengetahuan. Sehingga ide yang diperoleh pengusaha tidak

hanya berasal dari eksternal perusahaan, namun juga berasal dari internal

perusahaan. Pada saat yang sama, karyawan juga memperoleh pengetahuan baru

dari pengusaha. Hal ini menjadi sangat berarti bagi peningkatan kualitas modal

manusia. Apalagi dari hasil pengolahan data deskriptif pada gambar 4.2, terlihat

bahwa mayoritas pendidikan akhir karyawan adalah SD/sederajat (39%) dan

SLTP/sederajat (44%).

Penelitian ini sejalan dengan Zahra and George (2002) yang menyatakan

bahwa pengetahuan harus ditransfer, didifusikan dan diserap oleh seluruh elemen

dalam organisasi. Transfer pengetahuan berkontribusi terhadap penciptaan

pengetahuan baru yang kemudian menfasilitasi akumulasi modal manusia.

Apalagi pendidikan terakhir karyawan pada perusahaan yang menjadi responden

penelitian ini adalah SLTP/sederajat sebesar 44%. Kemudian diikuti oleh yang

berpendidikan SD/sederajat atau tidak menamatkan pendidikan sebesar 39% (lihat

gambar 4.2). Sehingga transfer pengetahuan akan memperkaya pengetahuan

karyawan.

Disamping itu, kombinasi pengetahuan individu akan memperkaya modal

struktural. Pengetahuan yang dikodifikasi kedalam bentuk tertulis akan menjadi

279

modal struktural yang akan tetap tersimpan di dalam organisasi meskipun ada

karyawan yang mengundurkan diri.

Aktifitas akuisisi pengetahuan akan membangun modal relasional karena

komunikasi yang intens terjadi dengan pemangku kepentingan seperti pelanggan,

pemasok maupun pesaing di sentra industri. Transfer pengetahuan juga akan

membawa pengaruh positif terhadap modal relasional pada saat terjadi terjalin

komunikasi pengetahuan antara organisasi dengan stakeholder-nya (misal:

konsumen, pemasok, anggota komunitas/asosiasi, perusahaan lain di sentra

industri). Semakin kuat hubungan organisasi dengan stakeholder-nya, maka

jumlah dan kualitas pengetahuan yang diperoleh juga akan semakin bagus

(Dahiyat & Al–Zu'bi, 2012). Dengan demikian, sebagaimana dinyatakan oleh

Vale et al. (2016) bahwa pengetahuan kolektif itu tidak hanya terjadi pada level

mikro (internal perusahaan), namun juga pada level meso (antar perusahaan).

Transfer pengetahuan juga akan mempengaruhi modal kewirausahaan

melalui peningkatan kemampuan menyelesaikan masalah dengan pendekatan baru

berdasarkan pengetahuan baru yang diperoleh. Pengetahuan baru yang diperoleh

tersebut akan mendukung modal kewirausahaan dalam bentuk kemampuan

perusahaan mengambil keputusan dan menghadapi situasi yang tidak menentu

dengan lebih baik.

Dengan demikian, hasil pengujian hipotesis 1 ini sejalan dengan apa yang

sudah pernah disampaikan di dalam literatur bahwa manajemen pengetahuan

berpengaruh terhadap modal intelektual (Seleim & Khalil, 2011; Kianto et al.,

2014). Artinya dengan semakin efektifnya manajemen pengetahuan, maka akan

280

semakin berpengaruh terhadap modal manusia, modal struktural, modal relasional

dan modal kewirausahaan.

Terkait tidak signifikannya pengaruh kapabilitas dinamis terhadap modal

intelektual, hasil uji hipotesis 1 ini tidak mendukung pendapat terdahulu yang

memposisikan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan sebagai output dari

kapabilitas dinamis (Lihat: Ambrosini & Bowman, 2009; Koryak et al., 2015;

Battisti & Deakins, 2017). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa

kemampuan perusahaan melakukan penginderaan strategis, mengambil keputusan

tepat waktu dan mengimplementasikan perubahan tidak serta merta mampu

memperbarui modal intelektual yang dimiliki oleh perusahaan. Merujuk pada

konstruk modal intelektual pada penelitian ini bahwa modal intelektual

didefinisikan sebagai sekumpulan pengetahuan yang melekat pada manusia,

organisasi, relasional, serta perilaku kewirausahaan yang memiliki potensi untuk

mendukung upaya perusahaan mencapai kinerja tinggi, maka temuan penelitian

ini tidak menemukan kapabilitas dinamis sebagai predikator/aktivitas yang

mampu membangun sekumpulan pengetahuan pengetahuan tersebut.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa hasil pemantauan perubahan tren

dan pengidentifikasian praktek bisnis oleh pesaing, dimana prosesnya memiliki

keterkaitan erat dengan proses akuisisi pengetahuan (Zahra & George, 2002;

Zahra et al., 2006), tidak serta merta mampu diolah penjadi pengetahuan kolektif

di dalam organisasi. Ada bahagian ide dan pengetahuan tersimpan di dalam

bentuk tacit knowledge pengusaha atau sekelompok orang saja. Pengetahuan yang

tidak tersebar, tidak akan banyak berpengaruh terhadap peningkatan kualitas

281

modal manusia, struktural dan kewirausahaan secara menyeluruh di dalam

organisasi.

Demikian juga dengan kemampuan untuk melakukan pengambilan

keputusan tepat waktu yang umumnya berada pada level individual pengusaha,

tidak mampu diintegrasikan secara kolektif menjadi kemampuan pada level

organisasi. Dengan kata lain, kemampuan individual tersebut tidak berhasil

dirubah menjadi kompetensi organisasi, disamping juga tidak mampu

memperbarui dan memperluas kompetensi organisasi saat ini

Demikian juga dengan proses dan sistem (disimbolkan dengan

dimensi/sub variabel pengimplementasian perubahan) yang diciptakan dan

ditujukan untuk membangun keselarasan antara perilaku karyawan dengan sasaran

organisasi, tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan modal intelektual.

Kondisi ini diduga juga tidak terlepas dari karakteristik perusahaan yang terlibat

dalam penelitian ini yakni pendidikan responden yang mayoritas SD/sederajat

atau tidak menamatkan pendidikan formal (37%) (lihat gambar 4.2 pendidikan

terakhir responden). Pendidikan formal yang rendah identik dengan kecerdasan

yang rendah dan kinerja yang juga rendah (Imas Soemaryani, Hilmiana, & Sipa

Paujiah, 2016). Pendidikan formal yang rendah tentunya juga mempengaruhi

kemampuan untuk mengubah pengetahuan individu menjadi pengetahuan kolektif

di dalam organisasi juga rendah.

Hal ini sesuai dengan kondisi yang pernah disampaikan oleh (Teece,

2012; Koryak et al., 2015) bahwa pada IKM, masih terdapat kondisi dimana

pengetahuan dan keterampilan terpusat pada pengusaha ataupun sekelompok

282

orang saja. Padahal, perolehan ataupun penciptaan pengetahuan baru tidak akan

berpengaruh terhadap kinerja superior jika tidak disebarkan kepada anggota

organisasi lainnya (Alavi & Leidner, 2001). Artinya modal intelektual sebagai

stok dari pengetahuan kolektif organisasi (Stewart, 1997) tidak akan menjadi

tinggi, jika tidak terdapat transfer pengetahuan di dalam organisasi (Ramadan et

al., 2017).

4.3.2.2. Pengaruh Kapabilitas Dinamis, Manajemen Pengetahuan dan

Modal intelektual terhadap Kinerja Inovasi Baik Secara Simultan

Maupun Parsial di Industri Kreatif Fashion Produk Tekstil di

Provinsi Jawa Barat.

Sub model berikutnya menunjukkan model pengaruh kapabilitas dinamis,

manajemen pengetahuan dan modal intelektual terhadap kinerja inovasi baik

secara simultan maupun parsial:

η1

ξ 1

ξ2

η20,434

0,233

0,189

0,421

Sumber : Hasil penelitian

Gambar 4. 7 Model Struktural Hipotesis 2 Pengaruh Kapabilitas Dinamis,

Manajemen Pengetahuan dan Modal Intelektual Terhadap Kinerja Inovasi

Baik Secara Simultan Maupun Parsial

283

Model struktural di atas dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut

: 2 =0,2331+ 0,1892 + 0,4341

dengan : 2 : kinerja inovasi

1 : kapabilitas dinamis

2 : manajemen pengetahuan

2 : modal intelektual

Sebelum menginterpretasikan hasil sub model ini, terlebih dahulu

dilakukan pengujian hipotesis untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya terdapat

pengaruh signifikan dari variabel kapabilitas dinamis dan manajemen

pengetahuan terhadap kinerja inovasi baik secara simultan maupun parsial.

Hipotesis 2 ini terdiri atas 4 sub hipotesis, yakni : a) pengaruh kapabilitas dinamis

manajemen pengetahuan dan modal intelektual secara simultan terhadap kinerja

inovasi, b) pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja inovasi, c) pengaruh

manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi, c) pengaruh modal intelektual

terhadap kinerja inovasi.

Hipotesis Simultan

H0: γ21 : γ22 : β21 =0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan dan modal intelektual secara simultan

terhadap kinerja inovasi.

H1: γ21 : γ22 : β21 ≠0 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan dan modal intelektual secara simultan

terhadap kinerja inovasi.

284

Pengujuan hipotesis simultan menggunakan statistik uji F sebagai berikut :

𝐹 = 𝑅2 𝑘⁄

(1 − 𝑅2) (𝑛 − 𝑘 − 1)⁄

Pada sub model ini terdapat tiga variabel penyebab yaitu variabel kapabilitas

dinamis, manajemen pengetahuan dan modal intelektual sehingga k=3 dengan

ukuran sampel n=297. Selanjutnya koefisien determinasi R2 diperoleh dari proses

perhitungan sebesar 0,578 sehingga diperoleh perhitungan statistik uji F sebagai

berikut :

F = 0,578 3⁄

(1 − 0,578) (297 − 3 − 1)⁄

F = 0,192

0,421 293⁄

F = 0,192

0,0015

F = 128

Kriteria uji untuk menyatakan tolak hipotesis nol jika nilai F hitung lebih

besar dari nilai F tabel pada tingkat signifikansi 5% dengan derajat bebas

pembilang v1 = 3, dan derajat bebas penyebut v2 = 293. Jika terjadi sebaliknya

maka hipotesis nol tidak dapat ditolak.

Dari perhitungan diperoleh nilai F = 128 > F-tabel = 2,60 sehingga dapat

disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak. Dengan kata lain terdapat pengaruh

signifikan variabel kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan modal

intelektual secara simultan terhadap kinerja inovasi.

285

Tabel berikut menyajikan rangkuman hasil pengujian hipotesis 2 pengaruh

simultan:

Tabel 4. 42

Rangkuman hasil uji Hipotesis 2 Pengaruh Simultan

Hipotesis R2 F Hitung Keterangan

Kapabilitas Dinamis,

Manajemen

Pengetahuan dan

Modal Intelektual →

Kinerja Inovasi

0,578 128* Tolak H0

*Signifikan pada α=0,05 (F-tabel = 2,60)

Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis parsial untuk membuktikan

bahwa ada pengaruh dari masing-masing variabel, yakni kapabilitas dinamis,

manajemen pengetahuan dan modal intelektual terhadap kinerja inovasi secara

parsial dilakukan pengujian sebagai berikut :

Hipotesis Uji Parsial

H0: γ21=0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

inovasi

H1: γ210 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja inovasi

H0: γ22=0 Tidak terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap

kinerja inovasi

H1: γ220 Terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

inovasi

H0: β21=0 Tidak terdapat pengaruh modal intelektual terhadap kinerja

inovasi

H1: β210 Terdapat pengaruh modal intelektual terhadap kinerja inovasi

286

Untuk menguji hipotesis di atas digunakan statistik uji t sebagai berikut :

𝑡 = 𝛾𝑖𝑗

𝑠𝑒(𝛾𝑖𝑗) ; 𝑖, 𝑗 = 1,2

dan

𝑡 = �̂�𝑖𝑗

𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗) ; 𝑖, 𝑗 = 1,2

Kriteria pengujian hipotesis adalah tolak hipotesis nol yang menyatakan

tidak ada pengaruh baik dari variabel kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan dan modal intelektual secara parsial terhadap kinerja inovasi jika

nilai t-statistik lebih besar dibandingkan dengan nilai t tabel=1,960 pada tingkat

signifikansi 5% dan derajat bebas df=294.

Hasil pengujian parsial dirangkumkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4. 43

Rangkuman Pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan

modal intelektual secara parsial terhadap kinerja inovasi

Pengaruh

Sampel

Asli

(O)

Rata-

rata

Sampel

(M)

Standar

Deviasi

(STDEV)

t-statistik

(O/STDEV) R2 Ket

Kapabilitas

dinamis →

Kinerja inovasi

0,233 0,228 0,080 2,924 0,143 Tolak H0

Manajemen

pengetahuan →

Kinerja Inovasi

0,189 0,192 0,080 2,368 0,129 Tolak H0

Modal

intelektual →

Kinerja Inovasi

0,434 0,434 0,068 6,349 0,306 Tolak H0

Sumber : Hasil Penelitian

287

Dari hasil perhitungan diperoleh informasi, nilai t-statistik untuk pengaruh

kapabilitas dinamis terhadap kinerja inovasi sebesar 2,924. Sedangkan nilai t-tabel

adalah sebesar 1,960. Hasil tersebut menunjukkan nilai t-statistik pengaruh

kapabilitas dinamis terhadap kinerja inovasi lebih besar daripada nilai t-tabel.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak, atau dengan kata lain

terdapat pengaruh yang signifikan dari kapabilitas dinamis terhadap kinerja

inovasi.

Sedangkan untuk pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

inovasi diperoleh nilai t-statistik sebesar 2,368. Mengingat nilai t-tabel adalah

sebesar 1,960, maka disimpulkan bahwa nilai t-statistik pengaruh manajemen

pengetahuan terhadap kinerja inovasi lebih besar daripada nilai t-tabel. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak, atau dengan kata lain terdapat

pengaruh yang signifikan dari manajemen pengetahuan terhadap kinerja

inovasi.

Nilai t-statistik untuk pengaruh modal intelektual terhadap kinerja inovasi

sebesar 6,349. Sedangkan nilai t-tabel adalah sebesar 1,960. Hasil perhitungan

menunjukkan nilai t-statistik pengaruh modal intelektual terhadap kinerja inovasi

lebih besar daripada nilai t-tabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis

nol ditolak, atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang signifikan dari

modal intelektual terhadap kinerja inovasi.

Untuk bisa mengkategorikan besaran pengaruh variabel eksogen terhadap

variabel endogen apakah termasuk pengaruh yang lemah, sedang ataukah kuat,

dapat dilakukan kategorisasi berdasarkan nilai effect sized f2. Melalui Software

288

SmartPLS 3.2.8, nilai f2 dihasilkan melalui proses penghitungan PLS Algorithm,

dengan hasil sebagai berikut: 1) f2 pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

inovasi = 0,060, 2.) f2 pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi

= 0,025, 3.) f2 pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi = 0,197.

Merujuk pada Henseler, Ringle, and Sinkovics (2009) bahwa nilai f2 sebesar 0,02

menunjukkan besaran pengaruh kecil, nilai f2 sebesar 0,15 menunjukkan besaran

pengaruh menengah, dan nilai f2 sebesar 0,35 menunjukkan besaran pengaruh

besar, maka besaran pengaruh kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan

terhadap kinerja inovasi termasuk kategori kecil. Sedangkan pengaruh modal

intelektual terhadap kinerja inovasi termasuk kategori menengah.

Berdasarkan pengujian hipotesis di atas dapat disimpulkan bahwa variabel

kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan modal intelektual berpengaruh

signifikan terhadap kinerja inovasi industri kreatif fashion produk tekstil baik

secara simultan maupun parsial. Pengaruh yang diberikan oleh ketiga variabel

adalah pengaruh positif yang artinya semakin tinggi kapabilitas dinamis, semakin

efektif pelaksanaan manajemen pengetahuan, dan semakin tinggi modal

intelektual, maka kinerja inovasi akan menjadi tinggi. Pengaruh yang diberikan

oleh kapabilitas dinamis terhadap kinerja inovasi mencapai 23,3%. Pengaruh

manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi mencapai 18,9%. Pengaruh

modal intelektual terhadap kinerja inovasi mencapai 43,4%. Keragaman pada

kinerja inovasi yang bisa dijelaskan oleh keragaman kapabilitas dinamis,

manajemen pengetahuan dan modal intelektual adalah masing-masingnya: 14,3%,

289

12,9% dan 30,6%. Dengan demikian, keragaman pada kinerja inovasi yang

terbesar berasal dari keragaman yang terjadi pada modal intelektual.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa

melakukan inovasi, terutama inovasi produk dan estetika, adalah salah satu

tuntutan yang harus terus-menerus dipenuhi oleh responden dalam rangka

mempertahankan kinerja perusahaan mereka. Sebagaimana dinyatakan

sebelumnya, salah seorang pengusaha menyatakan bahwa mereka harus

menciptakan delapan mode produk baru dalam seminggu. Ide terkait penciptaan

produk itu adalah melalui identifikasi tren pakaian yang sedang marak, pakaian

artis, permintaan konsumen, produk pesaing ataupun dari sumber-sumber lainnya.

Ide tersebut yang kemudian dikomunikasikan kepada karyawan untuk dibuatkan

satu model produk sebagai contoh awal sebelum benar-benar diproduksi. Aktifitas

tersebut mencerminkan dimensi/sub variabel penginderaan strategis pada variabel

kapabilitas dinamis, dimensi/sub variabel penciptaan pengetahuan pada variabel

manajemen pengetahuan, serta dimensi/sub variabel modal manusia pada variabel

modal intelektual. Oleh karena ide terkadang diperoleh dari hasil interaksi dengan

pihak lain, maka sekaligus aktivitas tersebut di atas mencerminkan dimensi/sub

variabel modal relasional.

Contoh produk kemudian akan dinilai dan diberi umpan balik oleh

pengusaha. Hal ini mencerminkan proses transfer pengetahuan. Lalu produk

dibuat sesuai dengan spesifikasi yang sudah disepakati dengan metode kerja yang

juga disepakatai. Aktifitas ini mencerminkan dimensi/sub variabel aplikasi

290

pengetahuan pada variabel manajemen pengetahuan dan dimensi/sub variabel

modal kewirausahaan pada variabel modal intelektual.

Temuan penelitian ini menjelaskan bahwa kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan dan modal intelektual merupakan faktor penting dalam upaya

meningkatkan kinerja inovasi pada industri kreatif fashion. Hasil temuan ini

sejalan dengan penelitian terdahulu bahwa terdapat hubungan positif antara

kapabilitas dinamis dengan kinerja inovasi. Penelitian oleh Hsu and Sabherwal

(2012) pada perusahaan manufaktur di Taiwan menunjukkan bahwa kapabilitas

dinamis secara signifikan dan positif mempengaruhi kinerja inovasi. Penelitian

lain dari Palacios et al. (2009) dan Lee et al. (2013) juga mengungkapkan bahwa

manajemen pengetahuan berpengaruh positif terhadap kinerja inovasi. Hasil

pengujian hipotesis 2 ini juga sejalan dengan hasil penelitian Hussinki et al.

(2017) dan Kianto et al. (2017) bahwa modal intelektual secara positif dan

signifikan mempengaruhi kinerja inovasi.

4.3.2.3. Pengaruh Kapabilitas Dinamis, Manajemen Pengetahuan, Modal

Intelektual dan Kinerja Inovasi Terhadap Kinerja Perusahaan

Baik Secara Simultan Maupun Parsial di Industri Kreatif Fashion

Produk Tekstil di Provinsi Jawa Barat.

Sub model berikutnya menunjukkan model pengaruh kapabilitas dinamis,

manajemen pengetahuan, modal intelektual dan kinerja inovasi terhadap kinerja

perusahaan baik secara simultan maupun parsial yang dapat digambarkan sebagai

berikut :

291

η1

ξ 1

ξ2

η3η2 0,496

0,368

0,673

-0,278

-0,028

Sumber : Hasil penelitian

Gambar 4. 8 Model Struktural Hipotesis 3 Pengaruh Kapabilitas Dinamis,

Manajemen Pengetahuan, Modal Intelektual dan Kinerja Inovasi terhadap

Kinerja Perusahaan Baik Secara Simultan Maupun Parsial

Model struktural di atas dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut :

3 =0,3681 - 0,2782 - 0,0281 + 0,4962

dengan : 3: kinerja perusahaan

1 : kapabilitas dinamis

2: manajemen pengetahuan

1: modal intelektual

2: kinerja inovasi

Sebelum menginterpretasikan hasil sub tersebut di atas, terlebih dahulu

dilakukan pengujian hipotesis untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya ada

pengaruh signifikan dari variabel kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan,

292

modal intelektual dan kinerja inovasi terhadap kinerja perusahaan baik secara

simultan maupun parsial. Hipotesis 3 ini terdiri atas lima sub hipotesis, yakni : a)

pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal intelektual dan

kinerja inovasi secara simultan terhadap kinerja perusahaan, b) pengaruh

kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan, c) pengaruh manajemen

pengetahuan terhadap kinerja perusahaan, d) pengaruh modal intelektual terhadap

kinerja perusahaan, dan e) pengaruh kinerja inovasi terhadap kinerja perusahaan.

Hipotesis Simultan

H0: γ31 : γ32 : β31 : β32 =0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis,

manajemen pengetahuan, modal intelektual dan kinerja

inovasi secara simultan terhadap kinerja perusahaan.

H1: γ31 : γ32 : β31 : β32 0 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan, modal intelektual dan kinerja inovasi

secara simultan terhadap kinerja perusahaan.

Pengujian hipotesis tersebut menggunakan statistik uji F sebagai berikut :

𝐹 = 𝑅2 𝑘⁄

(1 − 𝑅2) (𝑛 − 𝑘 − 1)⁄

Pada sub model ini terdapat empat variabel penyebab yaitu variabel kapabilitas

dinamis, manajemen pengetahuan, modal intelektual dan kinerja inovasi sehingga

k=4 dengan ukuran sampel n=297. Selanjutnya koefisien determinasi R2 diperoleh

293

dari proses perhitungan sebesar 0,326 sehingga diperoleh perhitungan statistik uji

F sebagai berikut :

F = 0,326 4⁄

(1 − 0,326) (297 − 4 − 1)⁄

F = 0,081

(0,673) (292)⁄

F = 0,081

0,02

F = 4,05

Kriteria uji untuk menyatakan tolak hipotesis nol jika nilai F hitung lebih

besar dari nilai F tabel pada tingkat signifikansi 5% dengan derajat bebas

pembilang v1 = 4, dan derajat bebas penyebut v2 = 292. Jika terjadi sebaliknya

maka hipotesis nol diterima.

Dari perhitungan diperoleh nilai F = 4,05 > F-tabel = 2,37 sehingga dapat

disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dengan kata lain terdapat pengaruh

signifikan variabel kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal

intelektual dan kinerja inovasi secara simultan terhadap kinerja

perusahaan.

Tabel berikut menyajikan rangkuman hasil pengujian hipotesis 3 pengaruh

simultan:

294

Tabel 4. 44

Rangkuman hasil uji Hipotesis 3 Pengaruh Simultan

Hipotesis R2 F Hitung Keterangan

Kapabilitas Dinamis, Manajemen Pengetahuan,

Modal Intelektual dan Kinerja Inovasi →

Kinerja Perusahaan

0,326 4.05 * Tolak H0

*Signifikan pada α=0,05 (F-tabel = 2,37)

Hasil pengujian hipotesis 3 untuk pengaruh simultan menunjukkan bahwa

perubahan-perubahan kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal

intelektual dan kinerja inovasi pada industri kreatif fashion produk tekstil di Jawa

Barat secara simultan berpengaruh terhadap perubahan kinerja perusahaan sebesar

32,6%. Dengan kata lain, variasi pada kinerja perusahaan yang dapat dijelaskan

oleh variasi pada kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal intelektual

dan kinerja inovasi secara bersama-sama adalah sebesar 32,6%. Sisanya, sebesar

67,3% variasi yang terjadi pada kinerja perusahaan disebabkan oleh perubahan

pada variabel lain di luar penelitian ini.

Kemudian dilakukan pengujian hipotesis parsial untuk membuktikan

bahwa ada pengaruh dari masing-masing variabel: kapabilitas dinamis,

manajemen pengetahuan, modal intelektual dan kinerja inovasi terhadap kinerja

perusahaan secara parsial dilakukan pengujian sebagai berikut :

Hipotesis Uji Parsial

H0: γ31=0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

perusahaan

295

H1: γ310 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

perusahaan

H0: γ32=0 Tidak terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap

kinerja perusahaan

H1: γ320 Terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

perusahaan

H0: β31=0 Tidak terdapat pengaruh modal intelektual terhadap kinerja

perusahaan

H1: β310 Terdapat pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan

H0: β32=0 Tidak terdapat pengaruh kinerja inovasi terhadap kinerja

perusahaan

H1: β320 Terdapat pengaruh kinerja inovasi terhadap kinerja perusahaan

Untuk menguji hipotesis di atas digunakan statistik uji t sebagai berikut :

𝑡 = 𝛾𝑖𝑗

𝑠𝑒(𝛾𝑖𝑗) ; 𝑖, 𝑗 = 1,2,3

dan

𝑡 = �̂�𝑖𝑗

𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗) ; 𝑖, 𝑗 = 1,2,3

Kriteria pengujian hipotesis adalah tolak hipotesis nol yang menyatakan

tidak ada pengaruh baik dari variabel kapabilitas dinamis dan manajemen

pengetahuan secara parsial terhadap kinerja inovasi jika nilai t-statistik lebih besar

296

dibandingkan dengan nilai t tabel=1,960 pada tingkat signifikansi 5% dan derajat

bebas df=293.

Hasil pengujian parsial dan simultan dirangkumkan dalam tabel sebagai

berikut:

Tabel 4. 45

Rangkuman Pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal

intgelektual dan kinerja inovasi secara parsial terhadap kinerja perusahaan

Pengaruh Sampel

Asli (O)

Rata-rata

Sampel

(M)

Standar

Deviasi

(STDEV)

t-statistik

(O/STDEV) R2 Ket

Kapabilitas

dinamis →

Kinerja

perusahaan

0,368 0,374 0,092 3,988 0,167 Tolak H0

Manajemen

pengetahuan →

Kinerja

perusahaan

-0,278 -0,278 0,096 2,891 -0,085 Terima

H0

Modal

intelektual →

Kinerja

perusahaan

-0,028 -0,035 0,098 0,285 -0,009 Terima

H0

Kinerja Inovasi

→ Kinerja

perusahaan

0,496 0,493 0,087 5,680 0,253 Tolak H0

Sumber : Hasil Penelitian

Dari hasil perhitungan diperoleh informasi, nilai t-statistik untuk pengaruh

kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan sebesar 3,988. Sedangkan nilai t-

tabel adalah sebesar 1,960. Hasil perhitungan menunjukkan nilai t-statistik

pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan lebih besar daripada

nilai t-tabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak, atau

dengan kata lain terdapat pengaruh yang signifikan dari kapabilitas dinamis

terhadap kinerja perusahaan.

297

Pengaruh yang diberikan oleh kapabilitas dinamis adalah pengaruh positif

yang artinya semakin tinggi kapabilitas dinamis, maka akan berdampak positif

terhadap semakin meningkatnya kinerja perusahaan pada industri kreatif fashion

produk tekstil Jawa Barat. Besar pengaruh yang diberikan oleh kapabilitas

dinamis terhadap kinerja perusahaan mencapai 36,8%. Sedangkan perubahan-

perubahan pada kinerja perusahaan dapat dijelaskan oleh kapabilitas dinamis

sebesar 29%. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja perusahaan dipengaruhi oleh

kemampuan perusahaan dalam melakukan penginderaan strategis (PS),

pengambilan keputusan (PK) dan pengimplementasian perubahan (PP).

Dengan demikian, bisa dilihat bahwa sangat penting bagi perusahaan

untuk melihat kecenderungan perubahan di lingkungan bisnis. Sehingga

perusahaan bisa mengetahui arah perubahan yang dikehendaki. Sekaligus,

perusahaan bisa merespon kebutuhan perubahan tersebut dengan mengambil

keputusan tepat waktu dan memastikan keselarasan internal antara upaya

pencapain tujuan perusahaan dengan sistem pengelolaan karyawan yang

dibangun. Temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa kesemua hal tersebut

di atas berpengaruh secara positif terhadap kinerja perusahaan.

Hasil pengujian hipotesis 3 parsial bahwa kapabilitas dinamis

mempengaruhi kinerja perusahaan di industri kreatif fashion produk tekstil di

Provinsi Jawa Barat, mendukung hasil meta-analysis yang dilakukan oleh

Fainshmidt et al. (2016) yang menemukan bahwa kapabilitas dinamis secara

langsung mempengaruhi kinerja perusahaan. Penelitian tersebut menyatakan

bahwa saat sampling yang dipilih sudah tepat dan metodologi yang dipilih akurat,

298

maka penelitian empiris selama ini konsisten menunjukkan pengaruh positif

kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan. Dengan demikian, pernyataan

peneliti tersebut mengimplikasikan juga bahwa sampling dan metodologi yang

digunakan penelitian ini juga sudah tepat dan akurat karena menghasilkan temuan

yang sama.

Temuan tersebut juga mendukung hasil penelitian Chien and Tsai (2012)

di industri restoran yang menunjukkan pengaruh positif kapabilitas dinamis

terhadap kinerja restoran. Oleh sebab itu Chien and Tsai (2012) berargumen

bahwa perusahaan harus mengembangkan mekanisme pembelajaran secara

internal yang bisa mendukung kemampuan perusahaan itu sendiri untuk

melakukan kapabilitas dinamis.

Bahkan lebih jauh lagi, temuan penelitian ini juga membuktikan bahwa

pengaruh positif kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan dapat terjadi

pada industri yang tidak memiliki dinamisme teknologi yang tinggi. Industri

fashion adalah technology receiver industry (Pavitt, 1984), sehingga bisa

digolongkan sebagai industri yang tidak mengalami dinamisme teknologi yang

tinggi. Beberapa penelitian terdahulu menyatakan bahwa pengaruh kapabilitas

dinamis terhadap kinerja perusahaan akan lebih terlihat pada perusahaan yang

memiliki perubahan teknologi yang tinggi. Fainshmidt et al. (2016) berpendapat

bahwa klaim kapabilitas dinamis lebih tepat digunakan pada industri dengan

dinamisme teknologi yang tinggi tidaklah selalu tepat. Justru pada perusahaan

dengan perubahan teknologi tinggi, first mover memiliki kemungkinan untuk

menghadapi kegagalan. Oleh karena invesatasi teknologi membutuhkan biaya,

299

maka kegagalan akan berpengaruh besar terhadap kinerja perusahaan. Dengan

demikian, perubahan teknologi yang difasilitasi oleh kapabilitas dinamis tidak

akan selalu berhubungan positif dengan kinerja perusahaan. Namun tidak

demikian halnya dengan perusahaan dengan dinamisme teknologi yang rendah.

Karena faktor teknologi tidak banyak berubah, maka kinerja perusahaan bisa

difasilitasi oleh perubahan kapabilitas dinamis. Sehingga pengaruh kapabilitas

dinamis terhadap kinerja perusahaan pada industri dengan dinamisme teknologi

rendah bersifat lebih pasti.

Sedangkan nilai t-statistik untuk pengaruh manajemen pengetahuan

terhadap kinerja perusahaan sebesar 2,891. Hasil ini lebih besar daripada nilai t-

tabel 1,960. Jika kita hanya merujuk pada perbandingan nilai t-statistik yang lebih

besar dibandingkan nilai t-tabel, maka bisa dikatakan bahwa hipotesis nol ditolak,

atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang signifikan dari manajemen

pengetahuan terhadap kinerja perusahaan. Namun demikian, hasil perhitungan

tersebut juga menunjukkan bahwa pengaruh manajemen pengetahuan terhadap

kinerja kinerja perusahaan bernilai negatif, sebagaimana terlihat pada nilai sampel

asli (O)). Artinya bahwa penerapan manajemen pengetahuan akan menyebabkan

kinerja perusahaan menurun. Padahal secara teori, pengaruh manajemen

pengetahuan terhadap kinerja perusahaan semestinya bersifat positif.

Perbedaan arah pengaruh antara teori dengan hasil pengujian hipotesis

mengindikasikan bahwa pada pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen terdapat variabel lain yang berperan sebagai mediator

(Hair et al., 2017).

300

Disamping itu, nilai R2 yang bernilai negatif juga mengindikasikan

bahwa tidak terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

perusahaan. Menurut Dachlan (2014), koefisien determinasi untuk lebih dari 1

prediktor bisa dihitung dengan persamaan

𝑅2 = ∑ 𝛽𝑝𝑦

𝑚

𝑝=1

. 𝑟𝑝𝑦

dimana :

R = koefisien determinasi,

m = banyaknya predikator,

βp =koefisien pengaruh variabel independen ke-p terhadap variabel dependen y,

r = koefisien korelasi antara variabel independen ke-p dan variabel dependen y.

Hasil pengolahan data sebagaimana disajikan pada tabel 4.46 menemukan

bahwa nilai koefisien pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

perusahaan bernilai negatif sebesar -0,278 (lihat kolom sampel asli (O)),

sedangkan r bernilai positif sebesar 0,308 (lihat lampiran 6). Sehingga secara

matematis nilai koefisien determinasi juga akan bernilai negatif sebesar -0,278 x

0,308 = -0,085. Namun mengingat rule of thumb bahwa koefisien determinasi

semestinya berada pada rentang nilai 0 sampai dengan 1 (Hair et al., 2017), maka

disimpulkan bahwa pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

perusahaan tidak signifikan.

301

Berpedoman pada paradigma penelitian ini, maka diduga bahwa kinerja

inovasi berperan sebagai mediator penuh pengaruh manajemen pengetahuan

terhadap kinerja perusahaan secara penuh. Sehingga menyebabkan pengaruh

manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan menjadi tidak signifikan.

Pembuktiannya dilakukan pada pengujian hipotesis ke-5.

Dari tabel di atas juga terlihat informasi, nilai t-statistik untuk pengaruh

langsung modal intelektual terhadap kinerja perusahaan adalah sebesar 0,285.

Sedangkan nilai t-tabel adalah sebesar 1,960. Hasil perhitungan menunjukkan

nilai t-statistik pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan lebih kecil

daripada nilai t-tabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima,

atau dengan kata lain tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari modal

intelektual terhadap kinerja perusahaan. Mengingat arah pengaruh dari modal

intelektual terhadap kinerja perusahaan adalah negatif, sementara secara teoritis

seharusnya adalah positif, maka diduga terdapat variabel lain memediasi secara

penuh pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan tersebut.

Berpedoman kepada paradigma penelitian, maka diduga kinerja inovasi

memerankan full mediation pada pengaruh modal intelektual terhadap kinerja

perusahaan. Pembuktian lebih lanjut akan dilakukan pada pengujian hipotesis ke-

5.

Sementara itu, nilai t-statistik untuk pengaruh kinerja inovasi terhadap

kinerja perusahaan sebesar 5,680. Sedangkan nilai t-tabel adalah sebesar 1,960.

Hasil perhitungan menunjukkan nilai t-statistik pengaruh kinerja inovasi terhadap

kinerja perusahaan lebih besar daripada nilai t-tabel. Sehingga dapat disimpulkan

302

bahwa hipotesis nol ditolak, atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang

signifikan dari kinerja inovasi terhadap kinerja perusahaan.

Besar pengaruh yang diberikan oleh kinerja inovasi terhadap kinerja

perusahaan mencapai 49,6%. Sisanya sebesar 50,4% dipengaruhi oleh variabel

lainnya. Keragaman kinerja perusahaan yang bisa dijelaskan oleh kinerja inovasi

adalah 25,3%. Sedangkan 74,7% keragaman pada kinerja perusahaan disebabkan

oleh variabel lainnya.

Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa kinerja inovasi berperan

penting bagi pencapaian kinerja perusahaan. Berdasarkan wawancara, diketahui

bahwa pengusaha/pelaku usaha sudah cukup menyadari bahwa mereka harus terus

berinovasi karena umur produk yang sangat singkat. Jika barang yang dijual ke

pasar sudah ketinggalan mode, maka perusahaan akan mengalami kesulitan dalam

melakukan penjualan dan memperoleh laba atas produk yang mereka pasarkan.

Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Alegre and Chiva (2013) yang

menunjukkan pengaruh positif dan signifikan kinerja inovasi terhadap

pertumbuhan dan profitabilitas perusahaan. Penelitian ini juga sejalan dengan

penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa kinerja inovasi mempengaruhi

kinerja keuangan perusahaan (Han et al., 1998; Chapman, 2006; Jansen et al.,

2006; Hull & Rothenberg, 2008).

303

4.3.2.4. Pengaruh Kapabilitas Dinamis dan Manajemen Pengetahuan

Terhadap Kinerja Inovasi Melalui Modal Intelektual Baik Secara

Simultan Maupun Parsial di Industri kreatif fashion produk tekstil

di Provinsi Jawa Barat.

Sub model ini dapat digambarkan sebagai berikut :

η1

ξ 1

ξ2

η20,434

0,6930,442

0,723

0,032

Sumber : Hasil penelitian

Gambar 4. 9 Model Struktural hipotesis 4 pengaruh kapabilitas dinamis dan

manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi melalui modal intelektual

Hipotesis 4 terdiri atas tiga sub hipotesis: a) Pengaruh kapabilitas dinamis

dan manajemen pengetahuan secara simultan terhadap kinerja inovasi melalui

modal intelektual, b) Pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja inovasi

melalui modal intelektual, c) Pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

inovasi melalui modal intelektual.

304

Hipotesis Simultan

H0: γ11 : γ12 : β21=0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan dan modal intelektual secara simultan terhadap

kinerja inovasi melalui modal intelektual.

H1: γ11 : γ12 : β21 0 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan dan modal intelektual secara simultan terhadap

kinerja inovasi melalui modal intelektual.

Hipotesis ini menggunakan statistik uji F sebagai berikut :

𝐹 = 𝑅2 𝑘⁄

(1 − 𝑅2) (𝑛 − 𝑘 − 1)⁄

Perhitungan statistik uji F sebagai berikut :

F = 0,318 2⁄

(1 − 0,318) (297 − 2 − 1)⁄

F = 0,159

(0,682) (294)⁄

F = 0,159

0,02

F = 7,95

Kriteria uji untuk menyatakan tolak hipotesis nol jika nilai F hitung lebih

besar dari nilai F tabel pada tingkat signifikansi 5% dengan derajat bebas

pembilang v1 = 2, dan derajat bebas penyebut v2 = 294. Jika terjadi sebaliknya

maka hipotesis nol diterima.

305

Dari perhitungan diperoleh nilai F = 7,95 > F-tabel = 3,00 sehingga dapat

disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dengan kata lain terdapat pengaruh

signifikan variabel kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan secara

simultan terhadap kinerja inovasi melalui modal intelektual.

Tabel berikut menyajikan rangkuman hasil pengujian hipotesis 5 pengaruh

simultan:

Tabel 4. 46

Rangkuman hasil uji Hipotesis 4 Pengaruh Simultan

Hipotesis R2 F Hitung Keterangan

Kapabilitas Dinamis dan Manajemen

Pengetahuan → Modal Intelektual →

Kinerja Inovasi

0,318 7,95* Tolak H0

*Signifikan pada α=0,05 (F-tabel = 3,00)

Hasil pengujian hipotesis 4 untuk pengaruh simultan menunjukkan bahwa

perubahan-perubahan kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan pada

industri kreatif fashion produk tekstil di Jawa Barat secara simultan berpengaruh

terhadap perubahan kinerja inovasi melalui modal intelektual sebesar 31,8%.

Dengan kata lain, variasi pada kinerja inovasi yang dapat dijelaskan oleh variasi

pada kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan secara bersama-sama

melalui modal intelektual adalah sebesar 31,8%. Sisanya, sebesar 68,2%

perubahan yang terjadi pada kinerja inovasi disebabkan oleh perubahan pada

variabel lain.

306

Hipotesis Parsial

H0: γ11: 21=0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap

kinerja inovasi melalui modal intelektual

H1: γ11::21 0 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

inovasi melalui modal intelektual

H1: γ12:21 =0 Tidak terdapat pengaruh manajemen pengetahuan

terhadap kinerja inovasi melalui modal intelektual

H1: γ12:21 0 Terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap

kinerja inovasi melalui modal intelektual

Untuk menguji hipotesis di atas digunakan statistik uji t sebagai berikut :

𝑡𝑖 = 𝛾𝑖𝑗�̂�𝑖𝑗

𝑠𝑒(𝛾𝑖𝑗�̂�𝑖𝑗); 𝑖, 𝑗 = 1,2

Dimana:

se(𝛾𝑖𝑗�̂�𝑖𝑗) = √𝛾𝑖𝑗

2 (𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗))2

+ �̂�𝑖𝑗2 (𝑠𝑒(𝛾𝑖𝑗))

2

+ (𝑠𝑒(𝛾𝑖𝑗))2

(𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗))2

Kriteria pengujian hipotesis adalah tolak hipotesis nol yang menyatakan

tidak ada pengaruh dari kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan terhadap

kinerja inovasi melalui modal intelektual jika nilai t-statistik lebih besar

dibandingkan dengan nilai t-tabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas

df=296 yaitu sebesar 1,960.

307

Dari hasil pengolahan, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4. 47

Rekapitulasi pengaruh kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan

terhadap kinerja inovasi melalui modal intelektual

Pengaruh Sampel

Asli (O)

Rata-rata

Sampel

(M)

Standar

Deviasi

(STDEV)

t-statistik

(O/STDEV) Ket

Kapabilitas

Dinamis Modal

intelektual

Kinerja inovasi

0,014 0,016 0,035 0,395 Terima H0

Manajemen

Pengetahuan

Modal intelektual

Kinerja inovasi

0,314 0,312 0,060 5,231 Tolak Ho

Sumber : Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel di atas diperoleh informasi bahwa nilai t-statistik untuk

pengaruh variabel kapabilitas dinamis terhadap kinerja inovasi melalui modal

intelektual sebesar 0,395. Nilai t-statistik tersebut jauh lebih kecil dari nilai t-

tabel sebesar 1,960. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol diterima,

atau dengan kata lain tidak terdapat pengaruh signifikan dari kapabilitas

dinamis terhadap kinerja inovasi melalui modal intelektual.

Hasil pengujian hipotesis di atas memberikan informasi bahwa modal

intelektual tidak memediasi pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

inovasi. Sebagaimana dijelaskan pada pengujian hipotesis 1, hal ini terjadi karena

kepemilikan atas informasi/pengetahuan baru tidak serta merta akan membuat

perusahaan berkinerja superior (Alavi & Leidner, 2001). Melainkan pengetahuan

itu harus didesiminasikan di dalam perusahaan agar mampu mendorong

peningkatan stok pengetahuan yang tersimpan dalam modal intelektual.

308

Kecenderungan pada IKM adalah pengetahuan tersimpan mengelompok pada

pengusaha atau orang tertentu (Teece, 2012; Koryak et al., 2015). Sehingga

pengetahuan pengetahuan baru yang diperoleh dari aktivitas penginderaan

strategis tidak serta merta mampu memperbarui modal intelektual di dalam

perusahaan.

Sedangkan nilai t-statistik untuk pengaruh manajemen pengetahuan

terhadap kinerja inovasi melalui modal intelektual adalah 5,231. Nilai ini lebih

besar daripada t-tabel yakni 1,960. Berdasarkan hal tersebut dikatakan bahwa

hipotesis nol ditolak, atau dengan kata lain terdapat pengaruh signifikan dari

manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi melalui modal intelektual.

Besar pengaruh yang diberikan oleh manajemen pengetahuan terhadap

kinerja inovasi melalui modal intelektual mencapai 31,4%. Sisanya sebesar 68,6%

dipengaruhi oleh variabel lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja inovasi

dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan dalam melakukan penciptaan

pengetahuan (PP), transfer pengetahuan (TP), dan aplikasi pengetahuan (AP),

sehingga kemudian berpengaruh terhadap modal manusia (MM), modal struktural

(MS), modal relasional (MR) dan modal kewirausahaan (MK).

Selanjutnya, penelitian ini melakukan pengujian jenis mediasi yang

dijalankan oleh manajemen pengetahuan tersebut berdasarkan konsep Baron and

Kenny (1986) yaitu mediasi penuh (full mediation) atau mediasi parsial (partial

mediation). Penelitian ini menggunakan tiga tahapan tes mediasi sebagaimana

disarankan oleh Baron and Kenny (1986). Berdasarkan hasil bootstrapping sub

309

model dengan menggunakan software SmartPLS 3.2.8 diperoleh data seperti

disajikan pada tabel berikut:

Tabel 4. 48

Rangkuman Hasil Pengujian Mediasi Modal Intelektual pada Pengaruh

Manajemen Pengetahuan terhadap Kinerja Inovasi.

Pengaruh Sampel Asli

(O)

Rata-rata

Sampel (M)

Standar

Deviasi

(STDEV)

t-statistik

(|O/STDEV|)

Manajemen Pengetahuan

→ Modal Intelektual 0,746 0,747 0,033 22,784

Manajemen pengetahuan

→ Kinerja Inovasi 0,685 0,686 0,038 17,896

Manajemen pengetahuan

→ Kinerja Inovasi

(setelah Modal Intelektual

ditambahkan ke dalam

model)

0,353 0,353 0,055 6,367

Sumber : Hasil penelitian

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa:

1. Terdapat pengaruh signifikan manajemen pengetahuan terhadap modal

intelektual (t-statistik = 22,784)

2. Terdapat pengaruh signifikan manajemen pengetahuan terhadap

kinerja inovasi (t-statistik = 17,896)

3. Setelah mengikutsertakan modal intelektual ke dalam model, tingkat

signifikansi pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

inovasi menurun dari t-statistik = 17,896 menjadi t-statistik = 6,367.

Penurunan signifikansi pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen saat variabel mediasi dimasukkan ke dalam model

penelitian menandakan telah terjadi mediasi secara parsial.

310

Bisa disimpulkan bahwa modal intelektual memediasi secara parsial

pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi.

Besar pengaruh variabel modal intelektual dalam hubungan manajemen

pengetahuan terhjadap kinerja inovasi bisa dilihat dari nilai VAF dengan

persamaan :

𝑉𝐴𝐹 = 𝑃1 𝑥 𝑃23

(𝑃1 𝑋 𝑃2) + 𝑃3

Berdasarkan pengolahan PLS algorithm melalui software smartPLS 3.2.8

diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4. 49

Pengujian Mediasi Modal Intelektual pada Pengaruh Manajemen

Pengetahuan terhadap Kinerja Inovasi

Pengaruh Langsung Koefisien

Manajemen pengetahuan -> Modal Intelektual (P1) 0,748

Modal Intelektual -> Kinerja Inovasi (P2) 0,446

Manajemen Pengetahuan -> Kinerja Inovasi (P3) 0,353 Sumber : Hasil penelitian

𝑉𝐴𝐹 = 0,748 𝑥 0,446

(0,748 𝑥 0,446) + 0,353= 0,485 = 48,5%

Nilai VAF = 48,5%, yang berada pada kisaran 20% ≤ nilai VAF ≤ 80%,

menunjukkan terjadinya mediasi parsial. Dari total pengaruh manajemen

pengetahuan terhadap kinerja inovasi, sebanyak 48,5% dipengaruhi secara tidak

311

langsung melalui modal intelektual. Sedangkan 51,5% kinerja inovasi dipengaruhi

secara langsung oleh manajemen pengetahuan.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan diperoleh

keterangan bahwa inovasi adalah sebuah proses kolektif karena tidak hanya

bersumberkan dari ide atau komando pengusaha, namun inovasi juga memerlukan

kontribusi dari karyawan. Oleh karena itu dalam menciptakan inovasi, pengusaha

membangun komunikasi dua arah dimana pengusaha menyampaikan harapannya

dan kemudian mendapat usulan atau masukan dari karyawan. Dengan demikian,

transfer informasi/pengetahuan menjadi sangat penting bagi pengembangan modal

intelektual, terutama modal manusia dan modal kewirausahaan dalam rangka

menghasilkan produk baru. Disamping itu, interaksi antara perusahaan dan

stakeholder akan menyebabkan perusahaan memperoleh pengetahuan baru dan

berpengaruh terhadap modal relasional di dalam perusahaan. Pengetahuan-

pengetahuan baru tersebutlah yang diwujudkan dalam bentuk inovasi baru di

dalam perusahaan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat di atas, Marr et al. (2003)

menyatakan bahwa manajemen pengetahuan bisa dipandang sebagai proses dan

aktivitas manajemen yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan efektifitas

penciptaan dan mempertahankan modal intelektual. Shih et al. (2010) dan

Gholamhossein et al. (2014) berargumen bahwa manajemen pengetahuan sebagai

aliran pengetahuan dan keterampilan manajemen yang diarahkan secara sistematis

untuk menciptakan pengetahuan, yang bisa dikembangkan dan direstrukturisasi

312

menjadi modal intelektual. Selanjutnya, modal manusia akan mempengaruhi

kinerja inovasi di dalam perusahaan (Kianto et al., 2017).

Temuan pada uji hipotesis 4 ini tidak mendukung hasil studi terdahulu

oleh Wendra, Sule, Joeliaty, and Azis (2019) yang menunjukkan bahwa modal

intelektual secara parsial memediasi pengaruh kapabilitas dinamis terhadap

kinerja inovasi. Meskipun dengan obyek penelitian yang sama, namun penelitian

ini menghasilkan temuan yang berbeda dengan penelitian tersebut yakni modal

intelektual tidak memediasi pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

inovasi. Hal ini terjadi karena penelitian ini membangun sebuah model dengan

melibatkan lima variabel, yakni: kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan,

modal intelektual, kinerja inovasi dan kinerja perusahaan. Sedangkan penelitian

Wendra et al. (2019) tersebut menguji keterkaitan antara tiga variabel dalam

sebuah model, yakni: kapabilitas dinamis, modal intelektual dan kinerja inovasi.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sedemikian besarnya pengaruh

manajemen pengetahuan terhadap modal intelektual, sehingga pengaruh

kapabilitas dinamis terhadap modal intelektual seolah tertutupi/menjadi tidak

signifikan. Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa manajemen

pengetahuan memiliki kemampuan yang lebih besar dibandingkan kapabilitas

dinamis dalam memperbarui modal intelektual perusahaan.

313

4.3.2.5. Pengaruh Kapabilitas Dinamis, Manajemen Pengetahuan dan

Modal Intelektual Terhadap Kinerja Perusahaan melalui Kinerja

Inovasi Baik Secara Simultan Maupun Parsial di Industri Kreatif

Fashion di Provinsi Jawa Barat.

Sub model untuk hipotesis 5 ini bisa digambarkan sebagai berikut:

η1

ξ 1

ξ2

η3η2 0,4960,434

0,233

0,189

0,7460,421

Sumber : Hasil penelitian

Gambar 4. 10 Model Struktural Hipotesis 5 Pengaruh Kapabilitas Dinamis,

Manajemen Pengetahuan dan Modal Intelektual Terhadap Kinerja

Perusahaan melalui Kinerja Inovasi

Hipotesis ini terdiri atas 4 sub hipotesis yakni: a) pengaruh kapabilitas

dinamis, manajemen pengetahuan dan modal intelektual terhadap kinerja

perusahaan secara simultan melalui kinerja inovasi, b) pengaruh kapabilitas

dinamis terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi, c) pengaruh

manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi, d)

pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi.

314

Hipotesis Simultan

H0: γ21 : γ22 : β32=0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan dan modal intelektual secara simultan terhadap

kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi

H1: γ21 : γ22 : β320 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan dan modal intelektual secara simultan terhadap

kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi

Pengujian hipotesis ini menggunakan statistik uji F sebagai berikut :

𝐹 = 𝑅2 𝑘⁄

(1 − 𝑅2) (𝑛 − 𝑘 − 1)⁄

Perhitungan statistik uji F sebagai berikut :

F = 0,425 3⁄

(1 − 0,425) (297 − 3 − 1)⁄

F = 0,142

0,575 293⁄

F = 0,142

0,002

F = 71

Kriteria uji untuk menyatakan tolak hipotesis nol jika nilai F hitung lebih

besar dari nilai F tabel pada tingkat signifikansi 5% dengan derajat bebas

pembilang v1 = 3, dan derajat bebas penyebut v2 = 293. Jika terjadi sebaliknya

maka hipotesis nol diterima.

315

Dari perhitungan diperoleh nilai F = 71 > F-tabel = 3,00 sehingga dapat

disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak dengan kata lain terdapat pengaruh

signifikan variabel kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan modal

intelektual secara simultan terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja

inovasi.

Tabel berikut menyajikan rangkuman hasil pengujian hipotesis 5 pengaruh

simultan:

Tabel 4. 50

Rangkuman hasil uji Hipotesis 5 Pengaruh Simultan

Hipotesis R2 F Hitung Keterangan

Kapabilitas Dinamis, Manajemen

Pengetahuan dan Modal Intelektual →

Kinerja Inovasi → Kinerja Perusahaan

0,425 71* Tolak H0

*Signifikan pada α=0,05 (F-tabel = 2,60)

Hasil pengujian hipotesis 5 untuk pengaruh simultan menunjukkan bahwa

perubahan-perubahan kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan modal

intelektual pada industri kreatif fashion produk tekstil di Jawa Barat secara

simultan berpengaruh terhadap perubahan kinerja perusahaan melalui kinerja

inovasi sebesar 42,5%. Dengan kata lain, variasi pada kinerja perusahaan yang

dapat dijelaskan oleh variasi pada kapabilitas dinamis dan manajemen

pengetahuan secara bersama-sama melalui kinerja inovasi adalah sebesar 42,5%.

Sisanya, sebesar 57,5% perubahan yang terjadi pada kinerja perusahaan melalui

kinerja inovasi disebabkan oleh perubahan pada variabel lain yang tidak diteliti.

316

Hipotesis Parsial

H0: 21 : β32 =0 Tidak terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap

kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi

H1: 21 : β32 0 Terdapat pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

perusahaan melalui kinerja inovasi

H0: 22 : β32 =0 Tidak terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap

kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi

H1: 22 : β32 0 Terdapat pengaruh manajemen pengetahuan terhadap

kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi

H0: β21 : β32 =0 Tidak terdapat pengaruh modal intelektual terhadap kinerja

perusahaan melalui kinerja inovasi

H1: β21: β32 0 Terdapat pengaruh modal intelektual terhadap kinerja

perusahaan melalui kinerja inovasi

Untuk menguji hipotesis di atas digunakan statistik uji t sebagai berikut :

𝑡𝑖 = 𝛾𝑖𝑗�̂�𝑖𝑗

𝑠𝑒(𝛾𝑖𝑗�̂�𝑖𝑗); 𝑖, 𝑗 = 1,2,3

Dimana:

se(𝛾𝑖𝑗�̂�𝑖𝑗) = √𝛾𝑖𝑗2 (𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗))

2+ �̂�𝑖𝑗

2 (𝑠𝑒(𝛾𝑖𝑗))2

+ (𝑠𝑒(𝛾𝑖𝑗))2

(𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗))2

dan

317

𝑡𝑖 = �̂�𝑖𝑗�̂�𝑖𝑗

𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗�̂�𝑖𝑗); 𝑖, 𝑗 = 1,2,3

Dimana:

se(�̂�𝑖𝑗�̂�𝑖𝑗) = √�̂�𝑖𝑗2 (𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗))

2+ �̂�𝑖𝑗

2 (𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗))2

+ (𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗))2

(𝑠𝑒(�̂�𝑖𝑗))2

Kriteria pengujian hipotesis adalah tolak hipotesis nol yang menyatakan

tidak ada pengaruh dari kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan terhadap

kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi jika nilai t-statistik lebih besar

dibandingkan dengan nilai t-tabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas

df=296 yaitu sebesar 1,960.

Hasil pengolahan data adalah sebagai berikut:

Tabel 4. 51

Rekapitulasi pengaruh kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan dan

modal intelektual terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi

Pengaruh

Sampel

Asli (O)

Rata-rata

Sampel

(M)

Standar

Deviasi

(STDEV)

t-statistik

(|O/STDEV|)

Ket

Kapabilitas Dinamis

Kinerja inovasi

Kinerja perusahaan

0,116 0,110 0,039 2,993 Tolak H0

Manajemen pengetahuan

Kinerja inovasi

Kinerja perusahaan

0,094 0,095 0,044 2,134 Tolak H0

Modal intelektual

Kinerja inovasi

Kinerja perusahaan

0,215 0,216 0,058 3,683 Tolak H0

Sumber : Hasil penelitian

Nilai t-statistik total pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

perusahaan melalui kinerja inovasi adalah sebesar 2,993. Nilai tersebut lebih besar

318

dari nilai t-tabel sebesar 1,960. Sehingga hipotesis nol ditolak, atau pengaruh

kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi

signifikan.

Sedangkan nilai t-statistik total pengaruh manajemen pengetahuan

terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi adalah sebesar 2,134. Nilai

tersebut lebih besar dari nilai t-tabel sebesar 1,960. Dengan demikian hipotesis

nol ditolak, atau pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

perusahaan melalui kinerja inovasi signifikan.

Nilai t-statistik untuk pengaruh modal intelektual terhadap kinerja

perusahaan melalui kinerja inovasi adalah sebesar 3,683. Oleh karena nilai t-tabel

adalah sebesar 1,960, maka terlihat bahwa nilai t-statistik pengaruh modal

intelektual terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi lebih besar

daripada nilai t-tabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis nol ditolak,

atau dengan kata lain terdapat pengaruh yang signifikan dari modal

intelektual terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi.

Besar pengaruh yang diberikan oleh kapabilitas dinamis terhadap kinerja

perusahaan melalui kinerja inovasi mencapai 11,6%. Besar pengaruh yang

diberikan oleh manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan melalui

kinerja inovasi mencapai 9,4%. Sedangkan besar pengaruh yang diberikan oleh

modal intelektual terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi mencapai

21,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh modal intelektual terhadap kinerja

perusahaan melalui kinerja inovasi adalah lebih dominan dibandingkan pengaruh

kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan

319

melalui kinerja inovasi. Dengan kata lain kinerja perusahaan secara dominan

dipengaruhi oleh kemampuan modal manusia, modal struktural, modal relasional

dan modal kewirausahaan melalui kinerja inovasi.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa kinerja inovasi berperan sebagai

mediasi baik bagi kapabilitas dinamis, maupun manajemen pengetahuan dan

modal intelektual, dalam mempengaruhi kinerja perusahaan. Selanjutnya

penelitian ini menguji jenis mediasi yang dijalankan oleh kinerja inovasi

berdasarkan konsep Baron and Kenny (1986) yaitu mediasi penuh (full mediation)

atau mediasi parsial (partial mediation). Pengujian peran mediasi kinerja inovasi

pada pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan dengan

menggunakan tiga tahapan tes mediasi Baron and Kenny (1986), disajikan pada

tabel berikut:

Tabel 4. 52

Rangkuman Hasil Pengujian Mediasi Kinerja Inovasi pada Pengaruh

Kapabilitas Dinamis terhadap Kinerja Perusahaan.

Pengaruh Sampel

Asli (O)

Rata-

rata

Sampel

(M)

Standar

Deviasi

(STDEV)

t-statistik

(|O/STDEV|)

Kapabilitas Dinamis -> Kinerja

Inovasi 0,610 0,606 0,044 13,818

Kapabilitas Dinamis -> Kinerja

Perusahaan 0,450 0,455 0,066 6,799

Kapabilitas Dinamis -> Kinerja

Perusahaan (setelah Kinerja Inovasi

ditambahkan ke dalam model)

0,222 0,231 0,086 2,567

Sumber : Hasil penelitian

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa:

1. Terdapat pengaruh signifikan kapabilitas dinamis terhadap kinerja inovasi

(t-statistik = 13,818)

320

2. Terdapat pengaruh signifikan kapabilitas dinamis terhadap kinerja

perusahaan (t-statistik = 6,799).

3. Setelah mengikutsertakan kinerja inovasi ke dalam model, tingkat

signifikansi pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan

menurun dari t-statistik = 6,799 menjadi t-statistik = 2,567. Penurunan

signifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen

saat variabel mediasi dimasukkan ke dalam model penelitian menandakan

telah terjadi mediasi secara parsial.

Oleh sebab itu, bisa disimpulkan bahwa kinerja inovasi memediasi secara

parsial pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan.

Sedangkan persentase pengaruh variabel kinerja inovasi dalam memediasi

pengaruh kapabilitas dinamis terhadap kinerja inovasi bisa dilihat dari nilai VAF

dengan persamaan :

𝑉𝐴𝐹 = 𝑃1 𝑥 𝑃2

(𝑃1 𝑋 𝑃2) + 𝑃3

Berdasarkan pengolahan PLS algorithm melalui software smartPLS 3.2.8

diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4. 53

Pengujian Mediasi Kinerja Inovasi pada Pengaruh Kapabilitas Dinamis

terhadap Kinerja Perusahaan

Pengaruh Langsung Koefisien

Kapabilitas Dinamis -> Kinerja Inovasi (P1) 0,613

Kinerja Inovasi -> Kinerja Perusahaan (P2) 0,379

Kapabilitas Dinamis -> Kinerja Perusahaan (P3) 0,222 Sumber : Hasil penelitian

321

𝑉𝐴𝐹 = 0,613 𝑥 0,379

(0,613 𝑥 0,379) + 0,222= 0,511 = 51,1%

Nilai VAF = 51,1%, atau berada pada kisaran 20% ≤ nilai VAF ≤ 80%,

menunjukkan terjadinya mediasi parsial. Sebanyak 51,1% kinerja perusahaan bisa

dijelaskan oleh pengaruh tidak langsung kapabilitas dinamis melalui kinerja

inovasi. Sedangkan 48,9% kinerja perusahaan dipengaruhi secara langsung oleh

kapabilitas dinamis.

Wawancara mendalam yang dilakukan dengan informan menunjukkan

bahwa kinerja inovasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan melihat

peluang yang ada di lingkungan eksternalnya. Kemudian peluang tersebut

dieksploitasi melalui pengerahan sumber daya agar bergerak sesuai keinginan

perusahaan. Hasil eksploitasi peluang akan menghasilkan inovasi yang bernilai

tambah yang mampu mendorong kinerja perusahaan yang lebih baik di pasaran.

Hal yang disampaikan oleh informan tersebut menggambarkan aktifitas

penginderaan strategis yang dilakukan perusahaan dalam rangka melihat peluang

bisnis yang ada. Peluang tersebut akan diwujudkan menjadi produk melalui

dimensi/sub variabel implementasi perubahan. Hasilnya adalah inovasi baru yang

berkontribusi bagi kinerja perusahaan.

Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian Zhou, Zhou, Feng, and

Jiang (2017) di Cina yang menemukan bahwa inovasi memediasi pengaruh

kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan. Penelitian lain dari Alegre and

Chiva (2013) yang juga menunjukkan peranan kinerja inovasi sebagai mediator.

322

Melalui penelitian di industri kreatif keramik di Italia dan Spanyol, mereka

menemukan bahwa kinerja inovasi memediasi hubungan antara variabel orientasi

kewirausahaan dengan kinerja perusahaan.

Sedangkan pengujian full atau partial mediation kinerja inovasi pada

pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan dengan

menggunakan pendekatan tiga langkah dari Baron and Kenny (1986)

dirangkumkan pada tabel berikut ini:

Tabel 4. 54

Rangkuman Hasil Pengujian Mediasi Kinerja Inovasi pada Pengaruh

Manajemen Pengetahuan terhadap Kinerja Perusahaan.

Sampel Asli

(O)

Rata-rata

Sampel

(M)

Standar

Deviasi

(STDEV)

t-statistik

(|O/STDEV|)

Manajemen Pengetahuan →

Kinerja inovasi 0,685 0,684 0,037 18,284

Manajemen Pengetahuan →

Kinerja Perusahaan 0,308 0,307 0,068 4,524

Manajemen Pengetahuan →

Kinerja Perusahaan (setelah

Kinerja Inovasi ditambahkan ke

dalam model)

-0,077 -0,080 0,081 0,955

Sumber : Hasil penelitian

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa:

1. Terdapat pengaruh signifikan manajemen pengetahuan terhadap kinerja

inovasi (t-statistik = 18,284).

2. Terdapat pengaruh signifikan manajemen pengetahuan terhadap kinerja

perusahaan (t-statistik = 4,524).

3. Setelah mengikutsertakan kinerja inovasi ke dalam model, pengaruh

manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan mengalami perubahan

323

nilai signifikansi dari t-statistik = 4,524 menjadi tidak signifikan / t-statistik =

0,955. Hilangnya signifikansi pengaruh variabel independen terhadap variabel

dependen saat variabel mediasi dimasukkan ke dalam model penelitian

menandakan telah terjadi mediasi secara penuh.

Bisa disimpulkan bahwa kinerja inovasi memediasi secara penuh pengaruh

manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan.

Besar pengaruh variabel kinerja inovasi dalam hubungan manajemen

pengetahuan terhadap kinerja perusahaan bisa dilihat dari nilai VAF dengan

persamaan :

𝑉𝐴𝐹 = 𝑃1 𝑥 𝑃2

(𝑃1 𝑋 𝑃2) + 𝑃3

Berdasarkan pengolahan PLS algorithm melalui software smartPLS 3.2.8

diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4. 55

Pengujian Mediasi Kinerja Inovasi pada Pengaruh Manajemen Pengetahuan

terhadap Kinerja Perusahaan

Pengaruh Langsung Koefisien

Manajemen pengetahuan -> Kinerja Inovasi (P1) 0,638

Kinerja Inovasi -> Kinerja Perusahaan (P2) 0,565

Manajemen Pengetahuan -> Kinerja Perusahaan (P3) -0,077 Sumber : Hasil penelitian

𝑉𝐴𝐹 = 0,638 𝑥 0,565

(0,638 𝑥 0,565) − 0,077= 1,272 = 127,2%

Nilai VAF = 127,2% menunjukkan terjadinya mediasi penuh oleh kinerja inovasi

pada pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan.

324

Sebagaimana dinyatakan oleh Hair Jr et al. (2016) bahwa jika nilai VAF > 100%,

maka terjadi mediasi penuh, dan besaran pengaruh mediasi tidak bisa

diinterpretasikan

Temuan ini menunjukkan bahwa variasi manajemen pengetahuan akan

mempengaruhi variasi kinerja inovasi, dan selanjutnya akan berimplikasi pada

variasi kinerja perusahaan. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang pernah

disampaikan oleh Hair et al. (2013) bahwa pada saat terjadi mediasi penuh,

variabel eksogen kehilangan kekuatannya untuk mempengaruhi variabel endogen,

kecuali melalui sebuah mediasi.

Terkait hubungan manajemen pengetahuan, kinerja inovasi dan kinerja

perusahaan, penelitian Suwarsi (2014) menunjukkan bahwa manajemen

pengetahuan hanya bisa meningkatkan pertumbuhan perusahaan jika terdapat

inovasi di dalam perusahaan. Dengan kata lain, manajemen pengetahuan tidak

dapat secara langsung mempengaruhi kierja perusahaan, melainkan melalui

kinerja inovasi. Hal tersebut mendukung apa yang pernah disampaikan oleh

Darroch (2005) bahwa manajemen pengetahuan tidak secara langsung

berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Namun manajemen pengetahuan

berpengaruh terhadap kinerja inovasi. Oleh karena itu manajemen pengetahuan

diduga mempengaruhi kinerja perusahaan melalui media kinerja inovasi. Pendapat

ini didukung oleh Byukusenge and Munene (2017) yang menemukan bahwa

kinerja inovasi memediasi pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja

perusahaan di usaha kecil dan menengah (UKM). Sedangkan penelitian dalam

industri pendidikan yang dilakukan oleh Joeliaty (2012) menunjukkan bahwa

325

pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja program study sangat kecil

atau hampir tidak signifikan, melainkan melalui keunggulan bersaing. Hal ini

mempertegas bahwa manajemen pengetahuan tidak secara langsung bisa

mempengaruhi kinerja perusahaan melainkan perlu dimediasi oleh variabel lain

seperti kinerja inovasi. Pendapat-pendapat tersebut di atas sejalan dengan

pandangan para pendukung KBV yang mempostulatkan bahwa saat pengetahuan

dikelola dengan efektif, maka manajemen pengetahuan akan menciptakan

kapabilitas unik yang akan mampu berkontribusi terhadap kinerja perusahaan

melalui inovasi (Grant, 1996; Leal-Rodríguez, Leal-Millán, Roldán-Salgueiro, &

Ortega-Gutiérrez, 2013).

Temuan penelitian ini sekaligus membantah pernyataan Muthuveloo et al.

(2017) bahwa manajemen pengetahuan secara langsung berpengaruh terhadap

kinerja perusahaan. Lebih spesifik lagi di IKM, temuan pada penelitian ini juga

bertentangan hasil penelitian Gholami et al. (2013) bahwa manajemen

pengetahuan mempengaruhi kinerja perusahaan secara langsung.

Peran full mediation yang dijalankan oleh kinerja inovasi dalam

pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi di atas sekaligus

juga menjelaskan temuan pada pengujian hipotesis 4 sebelumnya yang

menunjukkan bahwa manajemen pengetahuan berpengaruh negatif

terhadap kinerja inovasi. Dengan demikian, temuan tersebut sejalan dengan

pendapat Hair et al. (2017) bahwa terdapatnya perbedaan arah pengaruh antara

teori dengan hasil pengujian hipotesis menandakan terdapatnya mediator lain

dalam hubungan tersebut.

326

Sedangkan untuk mengetahui jenis mediasi yang diperankan oleh kinerja

inovasi pada pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan, full

mediation atau partial mediation, maka dilakukan uji mediasi sesuai langkah yang

disarankan oleh Baron and Kenny (1986). Hasil pengujian dirangkumkan sebagai

berikut:

Tabel 4. 56

Rangkuman Hasil Pengujian Mediasi Kinerja Inovasi pada Pengaruh

Modal Intelektual terhadap Kinerja Perusahaan.

Sampel

Asli (O)

Rata-rata

Sampel

(M)

Standar

Deviasi

(STDEV)

t-statistik

(|O/STDEV|)

Modal Intelektual → Kinerja

inovasi 0.707 0,707 0,043 16,455

Modal Intelektual → Kinerja

Perusahaan 0,317 0,313 0,074 4,284

Modal Intelektual→ Kinerja

Perusahaan (setelah Kinerja

Inovasi ditambahkan ke dalam

model)

-0,081 -0,084 0,081 0,994

Sumber : Hasil penelitian

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa:

1. Terdapat pengaruh signifikan modal intelektual terhadap kinerja inovasi (t-

statistik = 16,455).

2. Terdapat pengaruh signifikan modal intelektual terhadap kinerja perusahaan

(t-statistik = 4,284).

3. Setelah mengikutsertakan kinerja inovasi ke dalam model, pengaruh modal

intelektual terhadap kinerja perusahaan menjadi tidak signifikan (t-statistik =

0,994). Hilangnya signifikansi pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen saat variabel mediasi dimasukkan ke dalam model

penelitian menandakan telah terjadi mediasi secara penuh.

327

Bisa disimpulkan bahwa kinerja inovasi memediasi secara penuh pengaruh

modal intelektual terhadap kinerja perusahaan.

Besar pengaruh variabel kinerja inovasi dalam hubungan manajemen

pengetahuan terhadap kinerja perusahaan bisa dilihat dari nilai VAF dengan

persamaan :

𝑉𝐴𝐹 = 𝑃1 𝑥 𝑃2

(𝑃1 𝑋 𝑃2) + 𝑃3

Berdasarkan pengolahan PLS algorithm melalui software smartPLS 3.2.8

diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4. 57

Pengujian Mediasi Kinerja Inovasi pada Pengaruh Modal Intelektual

terhadap Kinerja Perusahaan

Pengaruh Langsung Koefisien

Modal Intelektual -> Kinerja Inovasi (P1) 0,706

Kinerja Inovasi -> Kinerja Perusahaan (P2) 0,568

Modal Intelektual -> Kinerja Perusahaan (P3) -0,081

Sumber : Hasil penelitian

𝑉𝐴𝐹 = 0,706 𝑥 0,568

(0,706 𝑥 0,568) − 0,081= 125,3%

Nilai VAF = 125,3% menunjukkan terjadinya mediasi penuh oleh kinerja inovasi

pada pengaruh modal intelektual terhadap kinerja perusahaan. Sebagaimana

dinyatakan oleh Hair Jr et al. (2016) bahwa jika nilai VAF > 100%, maka terjadi

mediasi penuh, dan besaran pengaruh mediasi tidak bisa diinterpretasikan

Temuan ini menunjukkan bahwa variasi modal intelektual akan

mempengaruhi variasi kinerja inovasi, dan selanjutnya akan berimplikasi pada

328

variasi kinerja perusahaan. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang pernah

disampaikan oleh Hair et al. (2013) bahwa pada saat terjadi mediasi penuh,

variabel eksogen kehilangan kekuatannya untuk mempengaruhi variabel endogen,

kecuali melalui sebuah mediasi.

Hasil pengolahan data untuk hipotesis 5 ini sekaligus membantah temuan

terdahulu yang menunjukkan bahwa elemen modal intelektual berpengaruh

terhadap kinerja perusahaan (Lihat: Aramburu & Sáenz, 2011; Campbell et al.,

2012; Hsu & Wang, 2012; Wang et al., 2014; Francesca Maria et al., 2015;

Andreeva & Garanina, 2016; Smriti & Das, 2017).

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis 1 sampai 5, maka diringkaskan

hasilnya sebagai berikut:

Tabel 4. 58

Ringkasan Pengujian Hipotesis Lanjutan Tabel 4.58

Hipo-

tesis

Pengaruh Nilai

uji F

t-

statistik Keterangan

1.a

Kapabilitas dinamis dan manajemen

pengetahuan terhadap modal

intelektual secara simultan

186 - Mendukung

1.b Kapabilitas dinamis terhadap modal

intelektual secara parsial - 0,397 Tidak mendukung

1.c Manajemen pengetahuan terhadap

modal intelektual secara parsial - 11,153

Mendukung

2.a

Kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan dan modal intelektual

terhadap kinerja inovasi secara

simultan

128 - Mendukung

2.b Kapabilitas dinamis terhadap kinerja

inovasi secara parsial - 2,924

Mendukung

2.c Manajemen pengetahuan terhadap

kinerja inovasi secara parsial - 2,368

Mendukung

2.d Modal intelektual terhadap kinerja

inovasi secara parsial - 0,434

Mendukung

3.a Kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan, modal intelektual dan

kinerja inovasi terhadap kinerja

perusahaan secara simultan

4,05 - Mendukung

329

Lanjutan Tabel 4.58

Hipo-

tesis

Pengaruh Nilai

uji F

t-

statistik Keterangan

3.b Kapabilitas dinamis terhadap kinerja

perusahaan secara parsial - 3,988

Mendukung

3.c Manajemen pengetahuan terhadap

kinerja perusahaan secara parsial - 2,891 Tdk mendukung

3.d Modal intelektual terhadap kinerja

perusahaan secara parsial - 0,285 Tidak mendukung

3.e Kinerja inovasi terhadap kinerja

perusahaan secara parsial - 5,680 Mendukung

4.a Kapabilitas dinamis dan manajemen

pengetahuan terhadap kinerja inovasi

secara simultan melalui modal

intelektual

7,95 - Mendukung

4.b Kapabilitas dinamis terhadap kinerja

inovasi secara parsial melalui modal

intelektual

- 0,395 Tidak mendukung

4.c Manajemen pengetahuan terhadap

kinerja inovasi secara parsial melalui

modal intelektual

- 5,231 Mendukung

5.a Kapabilitas dinamis, manajemen

pengetahuan, dan modal intelektual

terhadap kinerja perusahaan secara

simultan melalui kinerja inovasi

71 - Mendukung

5.b Kapabilitas dinamis terhadap kinerja

perusahaan secara parsial melalui

kinerja inovasi

- 2,993 Mendukung

5.c Manajemen pengetahuan terhadap

kinerja perusahaan secara parsial

melalui kinerja inovasi

- 2,134 Mendukung

5.d Modal intelektual terhadap kinerja

perusahaan secara parsial melalui

kinerja inovasi

- 3,683 Mendukung

Sumber: Hasil penelitian

Berdasarkan uraian hasil penelitian di atas, maka model temuan penelitian

ini dapat digambarkan sebagai berikut:

330

Modal

Intelektual

Kapabilitas

Dinamis

Mana-

jemen

Penge-

tahuan

Kinerja

Perusahaan

Kinerja

Inovasi73%

Pengaruh tidak langsung

Pengaruh langsung

Penginderaan

Strategis

Pengambilan

keputusan

Pengimple-

mentasian

perubahan

Penciptaan

pengetahuan

Transfer

pengetahuan

Aplikasi

pengetahuan

36,8%

23,3%

77,3%

78,6%

78,6%

86,2%

86,5%

76,5%

9,4%

31,4%72,3%

11,6%

43,4% 49,6%

Sumber: Hasil penelitian

Gambar 4. 11 Model Temuan Penelitian

Temuan penelitian menunjukkan bahwa:

1. Manajemen pengetahuan memiliki pengaruh signifikan langsung sebesar

72,3% terhadap modal intelektual. Sedangkan pengaruh langsung kapabilitas

dinamis terhadap modal intelektual tidak bernilai signifikan.

2. Modal intelektual (43,4%) memiliki pengaruh signifikan langsung yang lebih

besar dibandingkan pengaruh signifikan langsung kapabilitas dinamis

(23,3%) dan manajemen pengetahuan (18,9%) terhadap kinerja inovasi.

3. Kinerja inovasi memiliki pengaruh signifikan langsung (49,6%) lebih besar

dibandingkan pengaruh signifikan langsung kapabilitas dinamis (36,8%)

terhadap kinerja perusahaan. Sedangkan pengaruh langsung manajemen

pengetahuan terhadap kinerja perusahaan tidak signifikan.

331

4. Manajemen pengetahuan memiliki pengaruh signifikan tidak langsung

sebesar 31,4% terhadap kinerja inovasi melalui modal intelektual. Sedangkan

kapabilitas dinamis tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja

inovasi melalui modal intelektual.

5. Kapabilitas dinamis memiliki pengaruh tidak langsung signifikan yang lebih

besar terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi (11,6%)

dibandingkan pengaruh tidak langsung signifikan manajemen pengetahuan

terhadap kinerja perusahaan melalui kinerja inovasi (9,4%).

Diperoleh juga temuan bahwa pengaruh total (pengaruh langsung ditambah

pengaruh tidak langsung) terbesar terhadap kinerja inovasi diperoleh dari

manajemen pengetahuan (18,9% + 31,40% = 50,3%), diikuti oleh pengaruh

modal intelektual (43,4%) dan kapabilitas dinamis (23,2%). Sedangkan pengaruh

total terbesar terhadap kinerja perusahaan diperoleh dari kinerja inovasi (49,6%),

diikuti oleh kapabilitas dinamis (11,6% + 36,8% = 48,4%) dan manajemen

pengetahuan (9,4%).

Disamping itu, temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa antara

kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan terdapat korelasi positif sebesar

73%. Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pada kapabilitas dinamis akan diikuti

oleh perubahan pada manajemen pengetahuan dengan arah yang sama.

Terdapatnya korelasi antara dua variabel ini karena sebagaimana dinyatakan oleh

Easterby-Smith and Prieto (2008) bahwa pada keduanya ada area yang beririsan,

meskipun juga ada area yang berdiri sendiri. Area yang digunakan oleh penelitian

ini untuk membangun konstruk beserta pengukurannya adalah area yang berdiri

332

sendiri. Oleh karena perbedaan itu jugalah, maka kemudian temuan penelitian ini

menunjukkan hasil pengaruh yang berbeda antara kapabilitas dinamis dan

manajemen pengetahuan terhadap modal intelektual. Kapabilitas dinamis secara

parsial tidak berpengaruh terhadap modal intelektual. Sebaliknya manajemen

pengetahuan secara signifikan mempengaruhi modal intelektual.

4. 4 Novelty

Berdasarkan temuan penelitian di atas, maka terungkap novelty pada

penelitian ini berupa sebuah model untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Gambar 4. 12 Model Kinerja Perusahaan berbasiskan Manajemen

Pengetahuan, Kapabilitas Dinamis, Modal Intelektual dan Kinerja Inovasi

Model yang menjadi novelty pada penelitian ini mengungkapkan bahwa

peningkatan kinerja perusahaan harus ditopang oleh pembangunan manajemen

Kapabilitas

Dinamis

- Penginderaan

Strategis

- Pengambilan

keputusan

tepat waktu

- Pengimple-

mentasian

perubahan

Kinerja

Perusahaan

- Pelanggan

- Keuangan

Kinerja

Inovasi

- Produk dan

Estetika

- Proses

- Pemasaran

- Organisasi

Modal

Intelektual

- Manusia

- Struktural

- Relasional

- Kewira-

usahaan

Manajemen

Pengetahuan

- Penciptaan - Transfer - Aplikasi

333

pengetahuan yang bisa memperbarui modal intelektual, kapabilitas dinamis serta

mendorong terciptanya kinerja inovasi di dalam perusahaan.

Penelitian ini berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan bahwa teori

manajemen sumber daya manusia stratejik sebagai bagian dari teori manajemen

sumber daya manusia dan ilmu manajemen dapat dijadikan sebagai grand theory

yang dibangun dari beberapa middle range theory, yaitu: resource based view,

knowledge based view, dynamic capabilities dan performance management.

Kemudian middle range theory tersebut diturunkan lebih jauh ke dalam bentuk

applied theory: kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, modal intelektual,

kinerja inovasi dan kinerja perusahaan, yang dipakai untuk membangun kerangka

hubungan antar variabel berdasarkan fenomena dan kajian literatur terdahulu.

Berdasarkan kerangka tersebut dapat diperoleh kebenarannya bahwa modal

intelektual adalah mediasi manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi.

Selain itu kinerja inovasi adalah variabel mediasi atas kapabilitas dinamis dan

manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan pada industri kreatif fashion

produk tekstil.

Hasil temuan ini bermanfaat bagi perusahaan bahwa dalam rangka

meningkatkan kinerja perusahaan, diperlukan inovasi baik dari sisi produk dan

estetika, proses, pemasaran maupun organisasi. Kinerja inovasi perusahaan akan

dapat dicapai jika perusahaan memiliki modal intelektual yang berkualitas yang

selalu diperbarui oleh proses manajemen pengetahuan yang dilakukan. Disamping

itu, perlu juga bagi perusahaan untuk mengembangkan kapabilitas dinamis

mereka karena berpengaruh secara langsung terhadap kinerja inovasi.

334

Lebih jauh lagi, temuan penelitian ini secara konseptual dan metodologi

berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Secara konseptual dapat

diuraikan sebagai berikut:

a. Kapabilitas dinamis / dynamic capability (DC) yang merupakan applied

sekaligus middle range theory pada penelitian ini memiliki korelasi dengan

manajemen pengetahuan yang bersumber dari knowledge based view (KBV)

theory. Manajemen pengetahuan mempengaruhi modal intelektual yang

berakar dari resources based view (RBV), dan knowledge based view (KBV)

theory. Kapabilitas dinamis, manajemen pengetahuan, dan modal intelektual

berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja

inovasi dan kinerja perusahaan. Dengan demikian, temuan pada penelitian ini

mampu menjelaskan mekanisme RBV, KBV dan DC dalam mempengaruhi

kinerja inovasi dan kinerja perusahaan. Hal tersebut menjadi novelty pada

penelitian ini karena penelitian terdahulu dengan topik yang sama cenderung

berjalan secara secara paralel dan parsial.

b. Pada penelitian ini ditemukan bahwa modal intelektual merupakan output dari

manajemen pengetahuan. Disamping itu, modal intelektual juga menjadi

anteseden bagi kinerja inovasi. Hasil uji mediasi menunjukkan bahwa modal

intelektual memediasi secara parsial pengaruh manajemen pengetahuan

terhadap kinerja inovasi. Dengan demikian, penelitian ini berhasil

membuktikan prediksi sebelumnya bahwa manajemen pengetahuan bersifat

memperbarui modal intelektual, sekaligus modal intelektual menjadi mediasi

antara manajemen pengetahuan dengan kinerja inovasi. Sifat prediktif temuan

335

ini menjadi novelty pada penelitian ini, berbeda dengan pembahasan pada

literatur-literatur sebelumnya.

Sedangkan secara metodologi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Obyek penelitian ini adalah industri kecil dan menengah / IKM di industri

kreatif fashion produk tekstil. Obyek penelitian ini berbeda dengan penelitian

terdahulu dengan topik yang relatif sama di industri manufaktur, perbankkan,

fast-food (makanan cepat saji), tourism (pariwisata), dan high-tech industry.

b. Penelitian ini menggunakan dua dimensi/sub variabel yang berbeda dengan

penelitian terdahulu yakni dimensi/sub variabel modal kewirausahaan pada

variabel modal intelektual, dan dimensi / sub variabel produk dan estetika

pada variabel kinerja inovasi, serta indikator yang disesuaikan untuk setiap

dimensi/sub variabelnya.

c. Temuan penelitian ini adalah hasil olahan dengan menggunakan teknik

analisis variance based structural equation modeling (SEM) atau lebih

dikenal dengan istilah Partial Least Square (PLS). Hal ini tentu saja berbeda

dengan penelitian terdahulu dengan menggunakan teknik covariance based

structural equation modeling (SEM) ataupun regresi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, terlihat bahwa konsep dan metodologi pada

penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Sehingga peneliti

berkeyakinan bahwa penelitian ini adalah sebuah invention.

Sesuai dengan salah satu hallmark of scientific research/ciri penelitian

ilmiah yakni generazibility/bisa diperluas (Sekaran & Bougie, 2013; Ferdinand,

2014), maka model temuan penelitian ini bisa diperluas pada perusahaan lain di

336

industri fashion produk tekstil dengan catatan bahwa populasi bersifat homogen:

berada dalam lingkungan yang terus berubah/dinamis, mengandalkan pencapaian

tujuan melalui pemanfaatan sumberdaya yang tidak berwujud yakni ilmu

pengetahuan, terdapat tuntutan untuk terus berinovasi, dan menghadapi fenomena

yang relatif sama dengan penelitian ini. Penelitian ini menggunakan teknik

analisis Partial Least Square dimana salah satu kekuatannya adalah metode

bersifat robust atau kebal yang berarti bahwa parameter model tidak akan banyak

berubah ketika sampel baru diambil dari total populasi (Geladi & Kowalski,

1986). Sehingga perluasan penggunaan model temuan penelitian pada populasi

yang homogen masih bisa diterima secara ilmiah dan hasilnya tidak akan banyak

mengalami perubahan. Dengan demikian, generalisasi model pada populasi yang

berbeda akan berbenturan dengan metodologi penelitian ilmiah.

4. 5 Implikasi penelitian

Penelitian ini telah mengungkapkan mekanisme kapabilitas dinamis dan

manajemen pengetahuan mempengaruhi kinerja perusahaan baik secara langsung

maupun melalui modal intelektual dan kinerja inovasi. Berdasarkan hasil

penelitian ini, maka disarikan dua implikasi penelitian yakni secara teoritis dan

secara praktis.

4.5.1. Implikasi Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini setidaknya memiliki 6 (enam) implikasi.

Pertama, penelitian ini mengintegrasikan beberapa middle range theories

yakni: resource based view, knowledge based view, dynamic capabilities dan

performance management sebagai dasar pembangunan paradigma penelitian.

337

Pendekatan ini memiliki kebaruan di dalam lingkup grand theory manajemen

sumber daya manusia stratejik karena literatur terdahulu umumnya membahas

keterkaitan antara middle range theories tersebut secara paralel dan parsial.

Padahal kalau dilihat dari perkembangan ilmu pengetahuan, kelahiran KBV dan

DC tidak bisa dipisahkan dari RBV, sehingga memiliki keterkaitan antara satu

dengan lainnya. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dengan

mempertimbangkan teori-teori yang saling terkait dalam satu kerangka penelitian,

maka akan diperoleh pemahaman yang lengkap bagaimana mekanisme teori

tentang sumberdaya, pengetahuan, kapabilitas serta kinerja, bekerja di dalam

lingkup teori manajemen sumber daya manusia stratejik. Pendekatan serupa bisa

dipakai untuk penelitian dibidang manajemen sumber daya manusia

stratejik di masa mendatang.

Kedua, hasil penelitian ini menunjukkan peran mediasi modal

intelektual pada hubungan manajemen pengetahuan terhadap kinerja

inovasi di industri kreatif fashion produk tekstil. Meskipun pada penelitian

terdahulu di berbagai industri, seperti teknologi informasi, perbankkan,

manufaktur, fast food dan pariwisata, dinyatakan bahwa sumber daya

pengetahuan (modal intelektual) berperan sebagai variabel independen bagi

manajemen pengetahuan, namun pada penelitian ini terlihat bahwa modal

intelektual juga bisa dilihat sebagai output yang bisa diperbarui dan ditingkatkan

kualitasnya oleh manajemen pengetahuan, selanjutnya berdampak terhadap

kinerja inovasi di perusahaan. Dengan demikian, temuan penelitian ini mampu

menjelaskan mekanisme hubungan antara manajemen pengetahuan dan kinerja

338

inovasi. Temuan ini merupakan suatu kebaruan pada teori manajemen

sumber daya manusia stratejik. Sejauh pengetahuan peneliti, belum ada

penelitian terdahulu yang secara konseptual dan empiris menunjukkan bagaimana

modal intelektual sebagai sebuah stok pengetahuan menjembatani pengaruh

manajemen pengetahuan terhadap kinerja inovasi. Terkecuali kajian konseptual

dari Kianto et al. (2014) dengan konstruk yang sedikit berbeda yakni manajemen

pengetahuan, modal intelektual dan kinerja perusahaan, bukan konstruk

manajemen pengetahuan, modal intelektual dan kinerja inovasi sebagaimana

digunakan pada penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian yang akan datang

bisa menggunakan konstruk modal intelektual sebagai mediasi manajemen

pengetahuan dan kinerja inovasi.

Ketiga, penelitian ini juga mengungkapkan peran mediasi kinerja

inovasi pada hubungan kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan,

dan hubungan manajemen pengetahuan terhadap kinerja perusahaan.

Penelitian ini memperkuat penelitian terdahulu oleh Zhou et al. (2017) dan Alegre

and Chiva (2013) bahwa kinerja inovasi memediasi pengaruh kapabilitas dinamis

terhadap kinerja perusahaan. Penelitian ini juga semakin menegaskan temuan

penelitian terdahulu oleh Darroch (2005) pada multi industri di New Zealand,

Suwarsi (2016) pada BUMN sektor energi Indonesia, dan Byukusenge and

Munene (2017) di sektor usaha kecil dan menengah di Rwanda, bahwa

manajemen pengetahuan tidak bisa secara langsung mempengaruhi kinerja

perusahaan melainkan melalui kinerja inovasi. Dengan demikian, temuan ini

menunjukkan konsistensi konstruk kinerja inovasi sebagai mediasi antara

339

kapabilitas dinamis dan manajemen pengetahuan terhadap kinerja

perusahaan.

Keempat, penelitian ini dilakukan di industri tradisional / technology

receiver industry yaitu di industri kreatif fashion produk tekstil, berukuran

kecil dan menengah di negara berkembang, Indonesia. Hal ini jauh berbeda

dengan penelitian terdahulu yang umumnya dilakukan di industri manufaktur

besar atau industri berteknologi tinggi, berukuran besar di negara maju. Hasil

penelitian ini telah tervalidasi untuk konteks industri tersebut di atas di Indonesia.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa variabel yang dipakai pada penelitian ini

bisa diterapkan pada industri yang tidak memiliki dinamisme teknologi yang

tinggi. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dengan topik sejenis bisa

dilakukan di industri manufaktur besar, berteknologi tinggi, ataupun di

industri tradisional, baik di negara maju ataupun negara berkembang.

Kelima, penelitian ini menggunakan alat ukur dengan mengadaptasi

indikator penelitian terdahulu dan disesuaikan dengan konteks industri yang

menjadi studi kasus. Dengan demikian, indikator dan konstruk yang

digunakan pada penelitian ini mampu menggambarkan konteks industri

yang diuji. Secara statistik indikator penelitian ini juga sudah teruji nilai

reliabilitasnya. Sehingga indikator dan konstruk tersebut memenuhi unsur

validitas dan reliabilitas yang bisa digunakan sebagai acuan untuk penelitian

dengan topik yang sama di industri sejenis di masa yang akan datang.

Keenam, berbeda dengan penelitian terdahulu yang umumnya

menggunakan strcutural equation modeling atau regresion analysis, penelitian

340

ini menggunakan partial least square (PLS) sebagai alat analisis yang

dikombinasikan dengan teknik power analysis untuk penentuan jumlah

sampel. Salah satu kelebihan PLS adalah karena metode ini bersifat lebih robust

atau kebal, yang artinya parameter model tidak banyak berubah ketika sampel

baru diambil dari total populasi (Geladi & Kowalski, 1986). Sedangkan teknik

power analysis memiliki kelebihan karena secara statistik mampu melepaskan

peneliti dari kesalahan tipe I (menolak hipotesis nol yang seharusnya diterima),

dan tipe 2 (menerima hipotesis nol yang seharusnya ditolak), serta tidak terikat

jumlah populasi. Metode ini cocok dipakai pada penelitian yang menghadapi

situasi dimana populasi yang tersebar luas, sampling frame tidak tersedia/tidak

akurat, dan diperkirakan membangun sampling frame akan memakan biaya tinggi

dengan waktu yang lama. Oleh karena itu, penggunaan PLS dikombinasikan

dengan teknik power analysis yang dipakai penelitian ini bisa menjadi

referensi bagi penelitian selanjutnya dengan kondisi lingkungan dan usaha

yang relatif serupa.

Kedepannya, penelitian lanjutan diperlukan untuk lebih memperluas

pemahaman terhadap topik yang dibahas pada penelitian ini. Beberapa rancangan

penelitian lanjutan di masa yang akan datang :

1. Hasil penelitian ini menunjukkan nilai R2 untuk konstruk modal intelektual

adalah 55,8%, R2 kinerja inovasi adalah 57,8% dan R2 kinerja perusahaan

adalah 32,6%. Hal ini berarti bahwa variasi pada: modal intelektual sebesar

44,2%, kinerja inovasi sebesar 42,2% dan kinerja perusahaan sebesar 67,4%

dipengaruhi oleh variasi pada variabel lain di luar penelitian ini. Penelitian

341

terdahulu mengungkapkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yang

mempengaruhi modal intelektual seperti: pembelajaran organisasi (Liu,

2017a), sistem manajemen SDM (Wang & Chen, 2013; Kianto et al., 2017)

dan budaya organisasi (Gupta, Massa, & Azzopardi, 2016). Penelitian

terdahulu juga mengungkapkan beberapa variabel yang mempengaruhi

kinerja inovasi, seperti: kreativitas dan strategi pembelajaran (Valaei,

Rezaei, & Ismail, 2017), budaya nasional (Prim, Filho, Zamur, & Di Serio,

2017), strategi inovasi (Jajja, Kannan, Brah, & Hassan, 2017), kepemimpinan

kewirausahaan (Fontana & Musa, 2017), kapabilitas ambidekteritas (Zhou,

Lu, & Chang, 2016), konfigurasi model bisnis (Taran, Nielsen, Montemari,

Thomsen, & Paolone, 2016) dan identitas perusahaan (Staub, Kaynak, &

Gok, 2016). Selain itu, literatur juga mengungkapkan variabel-variabel

yang mempengaruhi kinerja perusahaan: orientasi pasar (Beneke,

Blampied, Dewar, & Soriano, 2016), dan gaya kepemimpinan (Sethibe &

Steyn, 2015). Sementara berdasarkan wawancara, beberapa variabel lain

yang diduga juga mempengaruhi modal intelektual adalah: kemampuan

belajar karyawan, gaya manajerial dan kepercayaan pemilik usaha. Variabel

lain yang diduga mempengaruhi kinerja inovasi adalah: harga dan

ketersediaan bahan baku, ketersediaan modal dan peralatan kerja.

Sedangkan variabel lain yang dinyatakan mempengaruhi kinerja

perusahaan seperti perizinan pemerintah, lokasi usaha dan kemampuan

pemasaran.

Namun demikian, apakah variabel-variabel tersebut di atas secara empiris dan

342

signifikan benar-benar mempengaruhi modal intelektual, kinerja inovasi dan

kinerja perusahaan? Maka diperlukan penelitian lanjutan untuk

membuktikannya.

2. Penelitian ini menggunakan pemilik/pelaku usaha/direktur/manajer

perusahaan sebagai sumber informasi primer. Penelitian berikutnya perlu juga

menggali informasi dari sumber lainnya seperti : karyawan ataupun

pelanggan sehingga bisa memberikan gambaran yang lebih komprehensif

terhadap praktek-praktek ataupun capaian setiap variabel dalam penelitian ini

3. Penelitian ini bersifat cross sectional. Besar kemungkinan bahwa pengaruh

antar variabel tidak terjadi secara cepat, misalnya pengaruh kapabilitas

dinamis terhadap modal intelektual. Sehingga pendekatan cross sectional

menghilangkan nilai pengaruh yang mungkin sebenarnya ada dalam rentang

waktu tertentu. Penelitian dengan pendekatan time series mungkin akan

menghasilkan temuan yang berbeda terkait pengaruh kapabilitas dinamis

terhadap modal intelektual tersebut.

4. Penelitian selanjutnya menggunakan alat ukur yang lebih disempurnakan

dengan menghilangkan skala sedang/cukup untuk menghindari

kecenderungan responden memilih nilai tengah. Disamping itu, jumlah

dimensi/sub variabel dan indikator disusun secara lebih komprehensif

sehingga bisa memperluas pemahaman terhadap topik yang dibahas ini.

4.5.2. Implikasi Praktek

Hasil penelitian ini bisa memberi kemanfaatan bagi peningkatan kinerja

perusahaan pada industri kreatif fashion produk tekstil. Perusahaan yang ingin

343

meningkatkan kinerja usaha mereka sebaiknya memulai dengan upaya penciptaan

pengetahuan dan transfer pengetahuan sebagai dimensi/sub variabel dari

manajemen pengetahuan. Hal itu dilakukan dengan mencari dan mempelajari

pengetahuan yang berasal dari luar perusahaan, kemudian mengkombinasikannya

dengan pengetahuan yang sudah dimiliki secara selama ini dan melakukan uji

coba pembuatan produk atau proses kerja baru berdasarkan pemanfaatan

pengetahuan baru yang dimiliki. Pengetahuan yang sudah dimiliki tersebut perlu

ditransfer kepada seluruh karyawan agar tercipta pengetahuan kolektif yang akan

mendorong terciptanya inovasi baru di perusahaan. Sebagai contoh, untuk

menghasilkan model pakaian baru, maka perusahaan perlu mencari ide dan

pengetahuan baru tentang kecenderungan mode saat ini serta proses

pembuatannya. Selanjutnya perusahaan melakukan uji coba pembuatan produk

secara mandiri. Ketika perusahaan sudah memiliki prototype produk dan memiliki

pengetahuan proses pembuatannya, maka pengetahuan tersebut perlu disebarkan

kepada seluruh karyawan agar mengetahui hasil seperti apa yang harus mereka

capai. Penciptaan dan penyebaran pengetahuan sangat penting untuk dapat

meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kreatifitas sumber daya manusia

yang dimiliki, agar mereka bisa menghasilkan barang, proses pembuatan, cara

pemasaran dan pengelolaan sistem perusahaan yang baru. Sehingga kebaruan

tersebut bisa membedakan perusahaan dengan kompetitor mereka dan menncapai

peningkatan kinerja perusahaan.

Namun demikian, kinerja perusahaan tidak hanya dapat ditingkatkan

melalui kinerja inovasi yang berdasarkan manajemen pengetahuan melalui modal

344

intelektual semata, namun juga tetap perlu memperhatikan kapabilitas dinamis.

Peningkatan kinerja inovasi juga secara dominan didorong oleh kapabilitas

dinamis. Dalam hal ini perusahaan dituntut untuk terus menerus melakukan

analisis perkembangan selera konsumen, aksi pesaing, kebijakan pemasok dan

seterusnya. Perusahaan juga perlu terus belajar tentang bagaimana agar dapat

menyelesaikan perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan secara tepat

waktu, dan menyelesaikan masalah ketidakpuasan pelanggan secara cepat. Selain

itu, perusahaan juga perlu menciptakan sistem penghargaan/insentif untuk dapat

memotivasi karyawan, serta membangun sistem pengendalian untuk memastikan

karyawan mengikuti ketentuan perusahaan.

Mengingat tantangan terkini adalah munculnya era revolusi industri 4.0,

serta tren kedepan dimana munculnya society 5.0, yang sama-sama menggunakan

teknologi jaringan / internet sebagai backbond-nya, maka industri kreatif fashion

produk tekstil perlu dipersiapkan untuk bisa masuk kedalam era tersebut dengan

sebaik-baiknya. Apalagi pemerintah juga sudah mencanangkan bahwa industri

pakaian / fashion adalah salah satu industri prioritas dalam roadmap Indonesia

memasuki industri 4.0. Namun pada kenyataannya, berdasarkan penelitian ini

terlihat bahwa IKM fashion produk tekstil memiliki aksesibilitas yang terbatas

terhadap ICT (information, communication and technology). Disamping itu

kapabilitas IKM dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi juga

masih terbatas, terutama sekali yang tergolong sebagai generasi Baby Boomers.

Oleh karena itu maka pemerintah selaku stakeholders (pemangku kepentingan)

perlu mengambil langkah-langkah untuk mempersiapkan IKM baik secara

345

aksesibilitas teknologi, maupun kapabilitas manusia di IKM untuk memanfaatkan

teknologi. Stakeholders yang dimaksud dalam hal ini adalah Kementerian

Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Perindustrian dan lembaga

vertikalnya di pusat dan daerah selaku pembina UKM/IKM, termasuk juga Badan

ekonomi kreatif (Bekraf) selaku badan pembina dan pengembang industri kreatif.

Beberapa program yang disarankan oleh penelitian ini untuk ditindaklanjuti oleh

pemangku kepentingan tersebut antara lain:

1. Membangun infrastruktur ICT ataupun memberi kemudahan akses

pembiayaan untuk melakukan investasi pada ICT di sentra-sentra industri

fashion produk tekstil di Jawa Barat.

2. Memberikan pelatihan peningkatan kapabilitas sumber daya manusia dalam

pemanfaatan ICT dalam hal: 1.) membangun akses terhadap pemasok bahan

baku nasional/regional ataupun global, 2.) membangun jaringan / network

dengan komunitas, lembaga riset/perguruan tinggi, konsumen dan pesaing, 3.)

mencari ide / memprediksi tren ke depan, 4.) membuat perencanaan bisnis, 5.)

sharing pengetahuan secara online, 6.) menyimpan pengetahuan ke cloud, 6.)

membuat desain produk berbasis teknologi digital, 7.) produksi berbasis

teknologi, 9.) mendesain merek/packaging produk secara digital, 10).

melakukan strategi marketing digital, 11). melakukan penjualan produk ke

online market place.

Tentu saja tidak semua IKM membutuhkan ke-11 jenis pelatihan yang

disebutkan di atas, karena akan sangat tergantung pada model bisnis yang

dijalankan. Pada perusahaan yang menjalankan bisnisnya sebagai pemasok

346

tetap kepada perusahaan retail besar / konsumen tetap lainnya, ataupun

menjadi feeder bagi pedagang online, maka mereka mungkin tidak

memerlukan pelatihan strategi marketing online, melainkan pelatihan tentang

teknik produksi. IKM yang sudah berbasis ekspor mungkin sudah tidak

memerlukan lagi pelatihan mendesain merek/packaging produk, melainkan

pelatihan melakukan strategi marketing digital.