78
Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor BAB IV B A B HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisis Model Ekonometrik Dalam kajian ini model yang dirumuskan adalah model linear persamaan simultan, dengan metode pendugaan two stage least squares method (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil kajian yang telah diperoleh dimulai dengan penyajian persamaan perilakunya (structural behavior) berdasarkan besaran dan tanda (magnitude and sign), koefisien determinasi (R²), statistik t dan F. 4.3.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Ekonometrika Hasil pendugaan dalam penelitian ini cukup baik sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasi (R²) dari masing-masing persamaan perilaku, yaitu berkisar antara 0,04 sampai 0,96. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada dalam persamaan perilaku mampu menjelaskan dengan baik peubah endogen (endogenous variable) kecuali untuk persamaan penyerapan tenaga kerja di sektor pertambangan (TKY2), dan output sektor pertanian (Y10 dimana nilai R 2 = 0,04 dan R 2 = 0,27 secara berturut-turut. Besaran nilai statistik uji F umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 1,239 sampai 1468,343, yang berarti variasi peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama setidaknya terdapat satu variabel mampu menjelaskan dengan baik variasi variabel endogennya, pada taraf α = 1 persen dan 5 persen. Dilihat dari besaran nilai Ffitung, hanya persamaan penyerapam tenaga kerja di sektor pertambangan (TKY2) yang relatif kurang menjelaskan variasi variabel endogen. Hal ini lebih disebabkan data pertambangan baik produksi maupun tenaga kerja lebih banyak menggunakan proxy. Namun dilihat dari aspek economics apriori seluruh persamaan struktural dimana parameter dan tanda relatif sesuai dengan harapan dan logis secara teori, tetapi jika dilihat dari aspek first order (kriteria statistik) relatif bervariasi, sebagai variabel penjelas signifikan dan ada yang tidak signifikan pada level tertentu. Berikut ini dijelaskan hasil estimasi dari masing-masing blok. Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - bappenas.go.id · 4.3.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Ekonometrika ... variasi variabel endogennya, ... Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa jumlah tenaga

  • Upload
    ngonga

  • View
    219

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

BAB IV B A B

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Analisis Model Ekonometrik

Dalam kajian ini model yang dirumuskan adalah model linear persamaan simultan, dengan metode pendugaan two stage least squares method (2SLS). Pada bagian ini akan dijelaskan hasil kajian yang telah diperoleh dimulai dengan penyajian persamaan perilakunya (structural behavior) berdasarkan besaran dan tanda (magnitude and sign), koefisien determinasi (R²), statistik t dan F.

4.3.1 Keragaan Umum Hasil Pendugaan Model Ekonometrika

Hasil pendugaan dalam penelitian ini cukup baik sebagaimana terlihat dari nilai koefisien determinasi (R²) dari masing-masing persamaan perilaku, yaitu berkisar antara 0,04 sampai 0,96. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada dalam persamaan perilaku mampu menjelaskan dengan baik peubah endogen (endogenous variable) kecuali untuk persamaan penyerapan tenaga kerja di sektor pertambangan (TKY2), dan output sektor pertanian (Y10 dimana nilai R2 = 0,04 dan R2 = 0,27 secara berturut-turut. Besaran nilai statistik uji F umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 1,239 sampai 1468,343, yang berarti variasi peubah-peubah penjelas dalam setiap persamaan perilaku secara bersama-sama setidaknya terdapat satu variabel mampu menjelaskan dengan baik variasi variabel endogennya, pada taraf α = 1 persen dan 5 persen. Dilihat dari besaran nilai Ffitung, hanya persamaan penyerapam tenaga kerja di sektor pertambangan (TKY2) yang relatif kurang menjelaskan variasi variabel endogen. Hal ini lebih disebabkan data pertambangan baik produksi maupun tenaga kerja lebih banyak menggunakan proxy. Namun dilihat dari aspek economics apriori seluruh persamaan struktural dimana parameter dan tanda relatif sesuai dengan harapan dan logis secara teori, tetapi jika dilihat dari aspek first order (kriteria statistik) relatif bervariasi, sebagai variabel penjelas signifikan dan ada yang tidak signifikan pada level tertentu. Berikut ini dijelaskan hasil estimasi dari masing-masing blok.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 48

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

4.3.2 Hasil Estimasi Blok Output

Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model, dengan cara menyesuaikan variabel penjelas di beberapa persamaan perilaku, maka akhirnya diperoleh model pengeluaran pemerintah Indonesia yang terdiri dari beberapa persamaan perilaku. Berikut ini akan dijelaskan hasil estimasi blok persamaan output.

Tabel 4.1. Hasil Pendugaan Persamaan PDRB Sektor Pertanian

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitungProb >

|T| Label INTERCEP 13548572 1569815 8.631 0.0001 Intercept WGY1 -18.803822 3.067256 -6.131 0.0001 Upah Sektor Pertanian ISY1 7.526073 3.255225 2.312 0.0219 Inv Swa di Pertanian IDY1 14.167571 6.811838 2.080 0.0390 Inv Gov di Pertanian BBJ_P 0.007898 0.003668 2.153 0.0327 Belanja barang dan Jasa BMD_P 0.004138 0.001895 2.184 0.0303 Belanja Modal

R2 = 0.2794; Prob > F = 0.0001

Pada Tabel 4.1 hasil estimasi secara nasional dapat diketahui bahwa seluruh variabel variabel penjelas signifikan pada taraf 5 persen. Tingkat upah di sektor pertanian berpengaruh secara negatif terhadap output sektor pertanian dan responnya elastis, yaitu 1,1187 (Lihat Tabel 4.2), hal ini menunjukkan bahwa, perubahan upah disektor pertanian naik 1 persen, cateris paribus, akan menyebabkan output PDRB pertanian turun sebesar 1,1187 persen. Tingkat investasi, baik swasta maupun pemeritah, memberikan pengaruh positif terhadap output pertanian dan signifikan secara statistik. Namun, respon output pertanian terhadap perubahan kedua variabel investasi adalah tidak elastis (inelastic), yaitu 0,07 dan 0,10 secara berturut-turut (Lihat Tabel 4.2). Hal yang sama juga terlihat pada variabel belanja modal dan belanja barang dan jasa. Belanja ini siginifikan secara statistik tetapi respon output sektor pertanian terhadap perubahan belanja tersebut adalah tidak elastis. Respon output pertanian terhadap perubahan masing-masing variabel berdasarkan wilayah ditampilkan pada Tabel 4.2 berikut ini.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 49

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.2. Elastisitas PDRB Sektor Pertanian Berdasarkan Region

REGION WGY1 ISY1 IDY1 BMD_P BBJ_P Indonesia -1.1187 0.07470 0.10544 0.1453 0.1106 NAD -1.3788 0.01107 0.18401 0.5583 0.0708 Sumatera Utara -0.4850 0.02596 0.03855 0.0487 0.0328 Sumatera Barat -1.3822 0.02851 0.14895 0.0479 0.0625 Riau -1.0608 0.23796 0.08908 0.2465 0.1092 Jambi -2.5868 0.07137 0.13612 0.1223 0.0564 Sumatera Selatan -0.9637 0.01669 0.08596 0.1417 0.0669 Bangka Belitung -5.8877 0.00905 0.07424 0.1789 0.0234 Bengkulu -2.9971 0.04345 0.17217 0.0589 0.0215 Lampung -0.5256 0.01959 0.10843 0.0349 0.0374 Banten -1.2226 0.25835 0.02815 0.1344 0.2458 DKI Jakarta -60.6300 3.59676 8.07522 23.6764 28.5189 Jawa Barat -0.1526 0.06263 0.06955 0.0457 0.070 Jawa Tengah -0.1662 0.02903 0.06615 0.0567 0.0604 DI Yogya -1.7177 0.04196 0.16647 0.0774 0.1131 Jawa Timur -0.1042 0.02546 0.05228 0.0852 0.0506 Kalimantan Barat -2.1753 0.05473 0.09375 0.0404 0.0816 Kalimantan Tengah -2.5552 0.03207 0.08113 0.1396 0.0260 Kalimantan Selatan -2.2214 0.08796 0.10289 0.1156 0.0509 Kalimantan Timur -2.3965 0.10724 0.18480 0.4642 0.2854 Sulawesi Utara -4.0932 0.08827 0.16808 0.0701 0.0362 Gorontalo -11.7341 0.08927 0.24500 0.4070 0.1697 Sulawesi Tengah -1.3886 0.03198 0.08389 0.0144 0.0269 Sulawesi Selatan -0.7245 0.32431 0.14691 0.0417 0.0347 Sulawesi Tenggara -4.0273 0.16517 0.15799 0.1066 0.1057 Bali -1.7401 0.15741 0.08065 0.0753 0.0743 NTB -1.0861 0.01922 0.25695 0.0775 0.0754 NTT -1.4266 0.00993 0.20904 0.0503 0.0576 Maluku -7.7964 0.02240 0.29943 0.1835 0.2473 Maluku Utara -15.3518 0.00000 0.10114 0.2059 0.1671 Papua -5.0872 0.14069 0.28312 0.7713 0.3227

Pada Tabel 4.2. dapat diketahui bahwa hanya respon output pertanian terhadap tingkat upah di sektor pertanian, hampir di seluruh wilayah elastis, kecuali untuk wilayah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Sedangkan perubahan tingkat investasi (swasta dan pemerintah), belanja modal dan belanja barang dan jasa respon output sektor pertanian di seluruh wilayah tidak elastis. Kecuali untuk wilayah DKI Jakarta, respon output sektor pertanian terhadap perubahan tingkat investas dan belanja modal dan belanja barang dan jasa elastis. Tabel 4.3. Hasil Pendugaan Persamaan PDRB Sektor Pertambangan

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitung

Prob > |T| Label

INTERCEP 945378 599885 1.576 0.1168 Intercept TKY2 88.724653 28.4663 3.117 0.0021 Peny. TK di Pertambangan BPG_P 0.000122 0.001204 0.101 0.9196 Belanja Pegawai DT 27535286 1363357 20.197 0.0001 Dummy Tambang

R2 = 0.7021; Prob > F = 0.0001

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 50

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Pada Tabel 4.3 terlihat bahwa jumlah tenaga kerja dan dummy tambang (provinsi yang memiliki sumberdaya tambang terbesar di Indonesia) memberikan pengaruh yang positif terhadap output sektor pertambangan dan signifikan secara statistik. Sedangkan belanja pegawai meskipun tidak siginifikan, namun masih memberikan pengaruh positif terhadap output sektor pertambangan. Secara nasional, respon output sektor pertambangan terhadap perubahan jumlah tenaga kerja dan belanja pegawai adalah tidak elastis, masing-masing adalah 0.2518 dan 0.00236 (Tabel 4.4). Tabel 4.4. menunjukkan bahwa respon output sektor pertambangan di seluruh wilayah terhadap perubahan belanja pegawai adalah tidak elastis, hal ini mengindikasikan bahwa di sektor pertambangan untuk seluruh wilayah sebaiknya belanja pegawai yang digunakan harus dibarengi dengan ketersediaan sumberdaya alam (resources) yang lebih banyak sehingga perekrutan tenaga kerja dengan menambah belanja pegawai menjadi lebih efektif. Berbeda halnya dengan jumlah tenaga kerja di pertambangan terdapat beberapa wilayah yang memberikan responnya elastis. Respon output sektor pertambangan yang elastis terhadap perubahan jumlah tenaga kerja di sektor pertambangan adalah wilayah Bangka Belintung, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Bali, NTT dan Maluku Utara. Hal ini mengindikasikan bahwa di seluruh wilayah tersebut perlu dilakukan peningkatan jumlah tenaga kerja karena akan meningkatkan output lebih besar, dengan asumsi bahwa sumberdaya pertambangan masih tersedia di wilayah tersebut. Tabel 4.4. Elastisitas PDRB Sektor Pertambangan Berdasarkan Region

REGION TKY2 BPG_P Dummy Indonesia 0.2518 0.00236 . NAD 0.0531 0.00007 . Sumatera Utara 0.6762 0.00104 . Sumatera Barat 0.7556 0.00150 . Riau 0.0075 0.00019 . Jambi 0.3074 0.00082 . Sumatera Selatan 0.1440 0.00006 . Bangka Belitung 3.4595 0.00025 . Bengkulu 0.1571 0.00744 . Lampung 0.1252 0.01097 . Banten 36.5276 0.04040 . DKI Jakarta 0.6760 0.17651 . Jawa Barat 0.5273 0.00346 . Jawa Tengah 3.7913 0.00962 . DI Yogya 2.9598 0.15207 . Jawa Timur 1.0686 0.00050 . Kalimantan Barat 7.7431 0.00516 . Kalimantan Tengah 1.6498 0.00395 . Kalimantan Selatan 0.5328 0.00042 .

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 51

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

REGION TKY2 BPG_P Dummy Kalimantan Timur 0.0913 0.00066 . Sulawesi Utara 0.7056 0.00324 . Gorontalo 3.1041 0.23679 . Sulawesi Tengah 1.2474 0.00426 . Sulawesi Selatan 0.1372 0.00197 . Sulawesi Tenggara 0.0927 0.00109 . Bali 4.0675 0.11336 . NTB 0.2975 0.00066 . NTT 1.0966 0.01287 . Maluku 0.6718 0.00940 . Maluku Utara 5.5382 0.00545 . Papua 0.0398 0.00053 .

Tabel 4.5. Hasil Pendugaan Persamaan PDRB Sektor Industri Pengolahan

Parameter Standard tHitung Variable Variable

Estimate Error Prob >

|T| Label

INTERCEP 559893 741008 0.756 0.4509 Intercept TKY3 38.354693 1.34078 28.606 0.0001 Peny. TK di Industri ISY3 0.128149 0.16290 0.787 0.4325 Inv Swa di Industri BMD_P 0.003597 0.00174 2.068 0.0402 Belanja Modal BBJ_P 0.009368 0.00760 1.233 0.2192 Belanja barang dan Jasa BPG_P 0.001387 0.00532 0.261 0.7947 Belanja Pegawai

R2 = 0.8832; Prob > F = 0.0001

Dari Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa seluruh variabel penjelas memberikan dampak yang positif terhadap output sektor Industri, tetapi hanya jumlah tenaga kerja dan belanja modal yang signifikan secara statistik, sedangkan investasi di sektor industri, belanja barang dan jasa dan belanja pegawai tidak signifikan pada taraf 5 persen. Respon output sektor Industri pengolahan terhadap perubahan jumlah tenaga kerja hampir di seluruh wilayah tidak elastis, kecuali untuk Provinsi Lampung, Jawa Tengah, Yogyakarta, Gorontalo, Bali, NTB, NTT dan Maluku (Tabel 4.6). Respon perubahan output Industri pengolahan terhadap perubahan investasi swasta di sektor industri pengolahan tidak elastis di setiap provinsi. Ini menunjukkan bahwa struktur industri di Indonesia lebih banyak penghasil produk-produk kebutuhan rumah tangga, yang dihasilkan oleh industri kecil dan menengah.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 52

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.6. Elastisitas PDRB Sektor Industri Pengolahan Berdasarkan Region

REGION TKY3 ISY3 BMD_P BBJ_P BPG_P Indonesia 0.7711 0.0121 0.0797 0.0827 0.0105 NAD 0.0865 0.0032 0.4388 0.0759 0.0011 Sumatera Utara 0.4988 0.0063 0.0457 0.0421 0.0007 Sumatera Barat 0.5705 0.0086 0.0757 0.1347 0.0044 Riau 0.8763 0.1200 0.3664 0.2214 0.0140 Jambi 0.8792 0.0379 0.2277 0.1433 0.0088 Sumatera Selatan 0.3957 0.0036 0.1346 0.0867 0.0011 Bangka Belitung 0.1838 0.0031 0.1597 0.0285 0.0021 Bengkulu 0.8330 0.0738 0.4903 0.2446 0.0647 Lampung 1.0365 0.0136 0.0975 0.1427 0.0316 Banten 0.8732 0.0092 0.0211 0.0526 0.0009 DKI Jakarta 0.5167 0.0076 0.1503 0.2470 0.0500 Jawa Barat 0.7850 0.0040 0.0123 0.0257 0.0033 Jawa Tengah 1.4673 0.0048 0.0336 0.0488 0.0034 DI Yogya 1.8390 0.0051 0.0866 0.1727 0.0898 Jawa Timur 0.9329 0.0033 0.0484 0.0392 0.0004 Kalimantan Barat 0.6191 0.0063 0.0422 0.1163 0.0035 Kalimantan Tengah 0.7138 0.0438 0.5828 0.1482 0.0089 Kalimantan Selatan 0.7942 0.0296 0.1718 0.1032 0.0052 Kalimantan Timur 0.1061 0.0049 0.0691 0.0579 0.0071 Sulawesi Utara 0.7948 0.0531 0.1592 0.1120 0.0273 Gorontalo 1.8237 0.1561 1.0795 0.6140 0.2348 Sulawesi Tengah 0.4247 0.0568 0.0781 0.1991 0.0125 Sulawesi Selatan 0.4676 0.3080 0.0965 0.1095 0.0162 Sulawesi Tenggara 0.7961 0.1219 0.4179 0.5654 0.0074 Bali 2.5787 0.0369 0.1519 0.2044 0.0881 NTB 3.4525 0.0432 0.4253 0.5646 0.0506 NTT 2.8527 0.1371 1.1563 1.8060 0.1302 Maluku 1.6811 0.0221 1.1380 2.0926 0.0182 Maluku Utara 0.7557 0.0000 0.4107 0.4548 0.0201 Papua 0.7904 0.2030 4.6614 2.6605 0.1822

Pada Tabel 4.6 terlihat bahwa respon perubahan output industri pengolahan terhadap perubahan belanja modal adalah tidak elastis hampir di seluruh provinsi, kecuali Provinsi Gorontalo, NTT, Maluku dan Papua. Respon perubahan industri di empat provinsi tersebut elastis antara lain disebabkan oleh: (1) kurangnya perhatian pemerintah terhadap provinsi tersebut dalam hal pendanaan belanja pelayanan publik, (2) struktur geografi wilayah yang kurang mendukung investasi modal, sedemikian rupa sehingga tambahan belanja modal di provinsi tersebut akan memberikan tambahan output yang lebih besar. Sama halnya dengan belanja barang dan jasa bahwa tidak seluruh provinsi memberikan respon inelastis seperti Porvinsi NTT, Maluku dan Papua. Sedangkan respon perubahan output sektor industri pengolahan terhadap perubahan belanja pagawai menunjukkan tidak elastis di seluruh provinsi Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan belanja pegawai di sektor industri pengolahan tidak efektif, hal ini disebabkan jumlah tenaga kerja yang ada di sektor ini relatif besar.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 53

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.7. Hasil Pendugaan Persamaan PDRB Sektor Listrik Gas dan Air Bersih

Parameter Standard tHitung Variable Variable

Estimate Error Prob >

|T| Label

INTERCEP -119773 59769 -2.004 0.0466 Intercept TKY4 109.053733 6.782068 16.08 0.0001 Peny. TK di LGA ISY4 0.171109 0.280133 0.611 0.5421 Inv Swa di LGA BBJ_P 0.000557 0.000203 2.745 0.0067 Belanja barang dan Jasa

R2 = 0.6809; Prob > F = 0.0001

Tabel 4.7 merupakan hasil estimasi output sektor Listirk, Gas dan Air Bersih (LGA). Hasil estimasi menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja di sektor LGA dan belanja barang dan jasa memberikan pengaruh yang positif terhadap output sektor LGA dan sifgnifikan pada level 5%. Sedangkan investasi swasta di sektor tesebut tidak signifikan. Jika dilihat secara nasional respon output sektor LGA terhadap perubahan jumlah tenaga kerja adalah elastis, sedangkan terhadap perubahan investasi swasta di sektor LGA dan belanja barang dan jasa adalah tidak elastis (Tabel 5.8). Dilihat berdasarkan provinsi, respon output sektor LGA terhadap perubahan jumlah tenaga kerja hampir di seluruh provinsi elastis (umumnya provinsi konflik dan terkena bencana alam seperti NAD, NTT dan lain-lain). Sedangkan provinsi yang relatif ”maju” responnya inelastis, hal ini menunjukkan bahwa sektor LGA telah stabil. Sementara, respon output sektor LGA terhadap perubahan investasi di sektor LGA adalah tidak elastis, hal ini mengindikasikan bahwa sektor LGA lebih banyak dikuasai oleh pemerintah baik di provinsi maupun di daerah. Hal yang sama juga untuk perubahan belanja barang dan jasa hampir di seluruh provinsi responnya tidak elastis, kecuali di Provinsi Maluku dan Papua. Hal ini menunjukkan bahwa outptu LGA masih merupakan barang yang ”mewah” bukan kebutuhan pokok seperti provinsi lainnya. Sehingga peningkatan belanja barang dan jasa satu persen akan meningkatkan output sektor LGA, cateris paribus, sebesar 1,00 persen dan 1,97 persen untuk masing-masing provinsi (Tabel 4.8). Tabel 4.8. Elastisitas PDRB Sektor Listrik Gas dan Air Bersih Berdasarkan Region

REGION TKY4 ISY4 BBJ_P Indonesia 1.0842 0.0212 0.1160 NAD 13.2776 0.0109 0.7375 Sumatera Utara 2.1665 0.0381 0.0750 Sumatera Barat 0.6673 0.0242 0.1012 Riau 0.6059 0.1701 0.5823 Jambi 2.2859 0.0785 0.1800 Sumatera Selatan 3.3686 0.0200 0.2006 Bangka Belitung 2.5159 0.0025 0.0694 Bengkulu 2.2948 0.0818 0.1450 Lampung 3.6384 0.0491 0.3227 Banten 0.2204 0.0161 0.0372

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 54

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 55

REGION TKY4 ISY4 BBJ_P DKI Jakarta 0.8251 0.0157 0.3900 Jawa Barat 0.6616 0.0087 0.0310 Jawa Tengah 1.9124 0.0431 0.1188 DI Yogya 1.6779 0.0176 0.1830 Jawa Timur 1.0372 0.0093 0.0437 Kalimantan Barat 3.1533 0.0772 0.3230 Kalimantan Tengah 0.8836 0.0443 0.2281 Kalimantan Selatan 2.4403 0.0623 0.1691 Kalimantan Timur 1.2558 0.0724 0.5525 Sulawesi Utara 2.2270 0.0495 0.0757 Gorontalo 15.1076 0.0005 0.6153 Sulawesi Tengah 2.3723 0.1116 0.1148 Sulawesi Selatan 0.5602 0.0437 0.0914 Sulawesi Tenggara 0.9627 0.1723 0.4750 Bali 1.9406 0.0629 0.0812 NTB 4.4698 0.0036 0.5021 NTT 11.0703 0.0012 0.4292 Maluku 6.3245 0.0634 1.0058 Maluku Utara 12.4855 0.0000 0.9310 Papua 6.9578 0.1735 1.9716

Tabel 4.9 menyajikan hasil estimasi persamaan output sektor bangunan. Hasil output sektor bangunan dapat diketahui bahwa variabel penjelas jumlah tenaga kerja, investasi pemerintah di sektor bangunan, belanja modal, dan belanja pegawai memberikan pengaruh positif terhadap output sektor bangunan dan signifikan secara statistik pada taraf 1 persen. Sedangkan belanja barang dan jasa tidak signifikan namun masih memberikan pengaruh positif terhadap tambahan output sektor bangunan. Tabel 4.9. Hasil Pendugaan Persamaan PDRB Sektor Bangunan

Parameter Standard tHitung Variable Variable Estimate Error

Prob > |T| Label

INTERCEP -290286 190150 -1.527 0.1287 Intercept TKY5 6.139152 0.807242 7.605 0.0001 Peny. TK di Bangunan IDY5 11.791854 1.478215 7.977 0.0001 Inv Gov di Bangunan BMD_P 0.001615 0.000419 3.857 0.0002 Belanja Modal BBJ_P 0.001208 0.001837 0.658 0.5116 Belanja barang dan Jasa BPG_P 0.008932 0.001298 6.884 0.0001 Belanja Pegawai

R2 = 0.8560; Prob > F = 0.0001

Meskipun hampir seluruh variabel penjelas signifikan secara statistik, namun secara nasional respon output sektor bangunan terhadap perubahan jumlah tenaga kerja di sektor bangunan, investasi pemerintah daerah di sektor bangunan, belanja modal, belanja barang dan jasa dan belanja pegawai adalah tidak elastis. Jika dilihat berdasarkan wilayah, hanya Provinsi Maluku Utara yang responnya elastis terhadap perubahan jumlah teanga kerja. Perubahan investasi pemerintah daerah di provinsi Jambi, Bengkulu, Gorontalo, NTT, Maluku, Maluku Utara dan Papua responnya elastis.

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Respon output sektor bangunan terhadap perubahan belanja modal hanya di Provinsi NAD, Maluku, Maluku Utara dan Papua yang elastis. Sedangkan belanja barang dan jasa hanya di Provinsi Maluku, dan belanja pegawai di Provinsi Yogyakarta, Gorontalo, Bali dan Maluku Utara (Tabel 4.10). Tabel 4.10. Elastisitas PDRB Sektor Bangunan Berdasarkan Region

REGION TKY5 IDY5 BMD_P BBJ_P BPG_P Indonesia 0.2663 0.2834 0.1769 0.0528 0.3330 NAD 0.1171 0.8656 1.1151 0.0554 0.0406 Sumatera Utara 0.2143 0.1974 0.0857 0.0227 0.0190 Sumatera Barat 0.2050 0.5192 0.0935 0.0478 0.0785 Riau 0.2099 0.7077 0.5522 0.0959 0.3021 Jambi 0.4067 1.7474 0.4844 0.0876 0.2681 Sumatera Selatan 0.1533 0.2198 0.1573 0.0291 0.0184 Bangka Belitung 0.2401 0.5834 0.3110 0.0160 0.0572 Bengkulu 0.3291 2.7446 0.3060 0.0439 0.5795 Lampung 0.3248 0.3407 0.1139 0.0479 0.5295 Banten 0.3834 0.2066 0.1883 0.1351 0.1174 DKI Jakarta 0.0266 0.0977 0.1173 0.0554 0.5596 Jawa Barat 0.6624 0.2223 0.0892 0.0535 0.3408 Jawa Tengah 0.7133 0.1572 0.0936 0.0391 0.1367 DI Yogya 0.5483 0.2115 0.0788 0.0451 1.1712 Jawa Timur 0.4966 0.1401 0.1657 0.0386 0.0196 Kalimantan Barat 0.1532 0.4529 0.0540 0.0427 0.0636 Kalimantan Tengah 0.0959 0.9808 0.5235 0.0382 0.1147 Kalimantan Selatan 0.1319 0.5069 0.2201 0.0380 0.0957 Kalimantan Timur 0.1316 0.4652 0.4511 0.1088 0.6636 Sulawesi Utara 0.0931 0.2369 0.0394 0.0080 0.0968 Gorontalo 0.2315 1.7368 0.6460 0.1056 2.0163 Sulawesi Tengah 0.1450 0.7278 0.0399 0.0292 0.0917 Sulawesi Selatan 0.3401 0.6528 0.1289 0.0420 0.3115 Sulawesi Tenggara 0.1228 0.7825 0.1997 0.0777 0.0510 Bali 0.9360 0.7846 0.1650 0.0638 1.3742 NTB 0.3562 0.6862 0.1261 0.0481 0.2154 NTT 0.2211 1.0099 0.1162 0.0522 0.1877 Maluku 0.6158 7.1056 2.0315 1.0735 0.4670 Maluku Utara 1.2068 2.5573 1.8317 0.5829 1.2854 Papua 0.1126 1.3108 1.1053 0.1813 0.6202

Pada Tabel 4.11 ditampilkan hasil estimasi persamaan output sektor perdagangan, dimana diketahui bahwa variabel penjelas seperti jumlah tenaga kerja di sektor perdagangan dan tingkat investasi pemerintah daerah serta belanja modal dan belanja pegawai memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan output sektor perdagangan. Jumlah tenaga kerja dan belanja modal signifikan pada taraf alpha 1 persen. Sedangkan belanja investasi pemerintah daerah dan belanja pegawai tidak sginfikan pada taraf 5 persen, namun masih berdampak positif tehadap output sektor perdagangan. Dilihat secara nasional respon dari keempat variabel tersebut terhadap perubahan output sektor perdagangan adalah inelastis (Tabel 4.12). Sedangkan jika

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 56

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

dilihat berdasarkan Provinsi, respon output sektor perdagangan terhadap perubahan jumlah tenaga kerja bervariasi antara region. Sementara respon output sektor perdagangan terhadap perubahan investasi pemerintah daerah dan belanja pegawai di setiap Provinsi adalah inelastis (Tabel 4.12). Tabel 4.11. Hasil Pendugaan Persamaan PDRB Sektor Perdagangan

Parameter Standard tHitung Variable Variable Estimate Error

Prob > |T| Label

INTERCEP -1166480 440421 -2.649 0.0088 Intercept TKY6 74.947278 2.360044 31.757 0.0001 Peny. TK di Perdagangan IDY6 28.141469 49.883844 0.564 0.5734 Inv Gov di Perdagangan BMD_P 0.005163 0.000996 5.183 0.0001 Belanja Modal BPG_P 0.000941 0.001401 0.672 0.5026 Belanja Pegawai

R2 = 0.9045; Prob > F = 0.0001

Tabel 4.12. Elastisitas PDRB Sektor Perdagangan Berdasarkan Region

REGION TKY6 IDY6 BMD_P BPG_P Indonesia 0.9523 0.0053 0.1612 0.0100 NAD 0.4726 0.0200 1.0618 0.0013 Sumatera Utara 0.8473 0.0030 0.0874 0.0006 Sumatera Barat 0.7229 0.0065 0.0807 0.0022 Riau 1.3316 0.0042 0.7037 0.0127 Jambi 0.8849 0.0061 0.2851 0.0052 Sumatera Selatan 0.8322 0.0056 0.2751 0.0011 Bangka Belitung 1.0141 0.0027 0.3555 0.0022 Bengkulu 0.6550 0.0107 0.1449 0.0091 Lampung 1.3116 0.0058 0.1192 0.0183 Banten 1.3220 0.0003 0.0872 0.0018 DKI Jakarta 0.7580 0.0136 0.1819 0.0286 Jawa Barat 1.0849 0.0008 0.0442 0.0056 Jawa Tengah 1.3925 0.0007 0.0715 0.0034 DI Yogya 2.3139 0.0018 0.0947 0.0464 Jawa Timur 0.6917 0.0012 0.0732 0.0003 Kalimantan Barat 0.7672 0.0033 0.0579 0.0023 Kalimantan Tengah 0.4048 0.0051 0.4259 0.0031 Kalimantan Selatan 0.9736 0.0070 0.2662 0.0038 Kalimantan Timur 0.6840 0.0024 0.6059 0.0294 Sulawesi Utara 1.2506 0.0076 0.1351 0.0110 Gorontalo 1.6027 0.0114 1.0548 0.1085 Sulawesi Tengah 0.8172 0.0087 0.0638 0.0048 Sulawesi Selatan 1.1816 0.0062 0.1255 0.0100 Sulawesi Tenggara 0.4368 0.0074 0.3216 0.0027 Bali 1.9861 0.0011 0.0671 0.0184 NTB 1.4416 0.0140 0.1990 0.0112 NTT 0.8839 0.0902 0.1809 0.0096 Maluku 0.5421 0.0082 0.3342 0.0025 Maluku Utara 0.8087 0.0054 0.3920 0.0091 Papua 1.1765 0.0285 3.2191 0.0595

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 57

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.13 merupakan hasil estimasi persamaan output sektor transportasi, yang menunjukkan bahwa seluruh variabel penjelas seperti jumlah tenaga kerja di sektor transportasi, investasi pemerintah di sektor transportasi, belanja modal, belanja barang dan jasa dan belaja pegawai memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan output sektor transportasi dan signifikan secara statistik pada taraf 1 persen, dimana seluruh explanatory variables mampu menjelaskan variabel endogennya (output sektor perdagangan) sebesar 93 persen, sedangkan 7 persen lagi dijelaskan faktor lain diluar model. Tabel 4.13. Hasil Pendugaan Persamaan PDRB Sektor Transportasi

Parameter Standard Variable Variable

Estimate Error tHitung

Prob > |T| Label

INTERCEP 163412 102687 1.591 0.1133 Intercept TKY7 27.339254 1.244322 21.971 0.0001 Peny. TK di Transportasi IDY7 1.992223 0.552599 3.605 0.0004 Inv Gov di Transportasi BMD_P 0.000849 0.000235 3.610 0.0004 Belanja Modal BBJ_P 0.003291 0.00105 3.136 0.0020 Belanja barang dan Jasa BPG_P 0.003264 0.000722 4.519 0.0001 Belanja Pegawai

R2 = 0.9304; Prob > F = 0.0001

Meskipun signifikan secara statistik, namun respon output sektor transportasi secara nasional, terhadap perubahan seluruh explanatory variables adalah tidak elastis. Begitu juga dilihat berdasarkan wilayah, respon output sektor trasportasi tdiak elastis, kecuali di Provinsi Jawa Tengah, NTT, Maluku dan Maluku Utara responnya adalah elastis terhadap perubahan jumlah tenaga kerja. Sedangkan respon output sektor transportasi terhadap perubahan investasi pemerintah di sektor transportasi, belanja modal, belanja barang dan jasa serta belanja pegawai adalah tidak elastis di seluruh provinsi (Tabel 4.14). Tabel 4.14. Elastisitas PDRB Sektor Transportasi Berdasarkan Region

REGION TKY7 IDY7 BMD_P BBJ_P BPG_P Indonesia 0.5624 0.0507 0.0853 0.1319 0.1116 NAD 0.3941 0.1233 0.5545 0.1428 0.0140 Sumatera Utara 0.5919 0.0172 0.0357 0.0488 0.0055 Sumatera Barat 0.3507 0.0294 0.0200 0.0529 0.0117 Riau 0.7412 0.0788 0.3293 0.2962 0.1252 Jambi 0.4002 0.0684 0.0975 0.0913 0.0375 Sumatera Selatan 0.6363 0.0687 0.1568 0.1502 0.0127 Bangka Belitung 1.0066 0.0635 0.2736 0.0728 0.0350 Bengkulu 0.2860 0.1178 0.0557 0.0414 0.0733 Lampung 0.6980 0.0504 0.0538 0.1172 0.1739 Banten 0.5426 0.0037 0.0322 0.1197 0.0140 DKI Jakarta 0.2593 0.0419 0.0916 0.2241 0.3037 Jawa Barat 0.9045 0.0581 0.0318 0.0988 0.0844 Jawa Tengah 1.0371 0.0535 0.0531 0.1148 0.0539 DI Yogya 0.4763 0.0359 0.0336 0.0997 0.3471 Jawa Timur 0.6490 0.0167 0.0588 0.0709 0.0048 Kalimantan Barat 0.5201 0.0440 0.0311 0.1275 0.0255

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 58

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

REGION TKY7 IDY7 BMD_P BBJ_P BPG_P Kalimantan Tengah 0.2170 0.0952 0.1614 0.0611 0.0246 Kalimantan Selatan 0.3050 0.0387 0.0704 0.0629 0.0213 Kalimantan Timur 0.2730 0.0922 0.1685 0.2104 0.1723 Sulawesi Utara 0.4255 0.1077 0.0271 0.0284 0.0464 Gorontalo 0.7875 0.0920 0.2732 0.2313 0.5927 Sulawesi Tengah 0.5410 0.1291 0.0200 0.0759 0.0320 Sulawesi Selatan 0.5780 0.0703 0.0439 0.0742 0.0737 Sulawesi Tenggara 0.6718 0.1568 0.1183 0.2383 0.0210 Bali 0.5590 0.0640 0.0324 0.0649 0.1874 NTB 0.7109 0.0446 0.0617 0.1219 0.0732 NTT 1.1267 0.1672 0.0716 0.1666 0.0804 Maluku 1.0571 0.3497 0.1524 0.4173 0.0244 Maluku Utara 1.0305 0.0748 0.2192 0.3613 0.1069 Papua 0.5916 0.3175 0.6954 0.5909 0.2712

Tabel 4.15. Hasil Pendugaan Persamaan PDRB Sektor Lembaga Keuangan dan Jasa Perusahaan

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitungProb >

|T| Label INTERCEP -1867922 597260 -3.127 0.0021 Intercept TKY8 74.54334 12.95497 5.754 0.0001 Peny. TK di Lemb. Keuagan ISY8 5.512177 4.362878 1.263 0.2081 Inv Swa di Lemb. Keuagan BMD_P 0.002522 0.001412 1.786 0.0759 Belanja Modal BPG_P 0.029856 0.001893 15.774 0.0001 Belanja Pegawai

R2 = 0.8193; Prob > F = 0.0001

Tabel 4.15 menunjukkan hasil estimasi persamaan output sektor lembaga keuangan dan jasa perusahaan. Perubahan jumlah tanaga kerja di sektor itu sendiri, dan variabel pegawai memberikan pengaruh positif terhadap output sektor keuangan dan siginifikan secara statisitik pada taraf 1 persen, sementara variabel belanja modal signifikan pada taraf 5 persen, sedangkan variabel investasi swasta di sektor keuangan tesebut tidak signifikan. Namun, secara nasional, respon output sektor kuangan terhadap perubahan ketiga variabel tersebut adalah inelastis. Respon output sektor keuangan terhadap perubahan jumlah tenaga kerja menurut provinsi menunjukkan ada yang elastis dan ada yang tidak elastis. Sedangkan respon perubahan investasi swasta di sektor keuangan seluruh provinsi ternyata inelastis (Tabel 4.16).

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 59

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.16. Elastisitas PDRB Sektor Lembaga Keuangan dan Jasa Perusahaan Berdasarkan Region

REGION TKY8 ISY8 BMD_P BPG_P Indonesia 0.5656 0.0327 0.1668 0.6718 NAD 1.2432 0.0201 6.8617 0.5348 Sumatera Utara 0.9812 0.0176 0.1308 0.0621 Sumatera Barat 0.8658 0.0016 0.1431 0.2572 Riau 5.5132 0.5340 2.0128 2.3568 Jambi 1.3464 0.1885 0.6493 0.7689 Sumatera Selatan 0.5571 0.0262 0.4624 0.1155 Bangka Belitung 0.7126 0.0001 0.7057 0.2778 Bengkulu 1.2063 0.0012 0.3054 1.2379 Lampung 0.3873 0.0354 0.1897 1.8875 Banten 5.3917 0.1497 0.3342 0.4459 DKI Jakarta 0.1644 0.0065 0.0579 0.5906 Jawa Barat 1.6240 0.0489 0.1282 1.0478 Jawa Tengah 1.3793 0.0324 0.2060 0.6442 DI Yogya 1.0277 0.0054 0.1018 3.2387 Jawa Timur 1.0031 0.0201 0.1958 0.0495 Kalimantan Barat 0.3268 0.0007 0.1282 0.3231 Kalimantan Tengah 0.1954 0.0532 1.6733 0.7849 Kalimantan Selatan 0.6892 0.0304 0.5217 0.4852 Kalimantan Timur 0.8347 0.1283 0.9294 2.9255 Sulawesi Utara 0.6867 0.0501 0.1337 0.7038 Gorontalo 0.9582 0.8092 0.9431 6.2988 Sulawesi Tengah 1.0815 0.1613 0.0881 0.4331 Sulawesi Selatan 1.0872 0.7151 0.1806 0.9335 Sulawesi Tenggara 0.5099 0.0719 0.5676 0.3098 Bali 1.1261 0.0265 0.1392 2.4811 NTB 1.4169 0.0754 0.3272 1.1960 NTT 2.5741 0.2755 0.4447 1.5373 Maluku 1.3931 0.0001 0.7106 0.3496 Maluku Utara 5.7179 0.0000 1.3849 2.0796 Papua 2.1286 0.8829 5.9507 7.1448

Pada Tabel 4.16, dapat diketahui bahwa respon output sektor keuangan terhadap perubahan belanja modal adalah elastsi terutama di Provinsi NAD, Riau, Kalimantan Tengah, Maluku Utara dan Papua. Penambahan input (belanja modal) di daerah tersebut akan memberikan output yang lebih besar dari kenaikan inputnya. Sedangkan respon output sektor keuangan terhadap perubahan belanja pegawai yang elastis terdapat pada Provinsi Riau, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Yogyakarta, Kalimantan Timur, Gorontalo, Bali, NTB, NTT, Maluku Utara dan Papua. Hal ini menegaskan bahwa peningkatan belanja baik modal maupun pegawai perlu dilakukan untuk provinsi yang memiliki elastisitas produksi lebih besar dari satu (η > 1). Tabel 4.17. memuat hasil estimasi persamaan output sektor jasa yang menunjukkan bahwa variabel penjelas seperti jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor jasa, investasi pemerintah di sektor jasa dan belanja modal dan belaja pegawai berpengaruh positif

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 60

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

dan secara statisitk berbeda nyata dengan pada taraf 1 persen. Sementara, variabel belanja barang dan jasa signifikan pada taraf 10 persen. Namun, respon output sektor jasa terhadap persentase perubahan variabel tersebut adalah inelastis baik dilihat secara nasional maupun berdasarkan region.

Tabel 4.17. Hasil Pendugaan Persamaan PDRB Sektor Jasa-Jasa

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitungProb >

|T| Label INTERCEP -205341 153277 -1.34 0.1821 Intercept TKY9 10.788275 0.384727 28.041 0.0001 Peny. TK di Jasa-Jasa IDY9 2.514267 0.214523 11.72 0.0001 Inv Gov di Jasa-Jasa BMD_P 0.000846 0.000358 2.362 0.0193 Belanja Modal BBJ_P 0.002468 0.001541 1.601 0.1111 Belanja barang dan Jasa BPG_P 0.007132 0.001081 6.6 0.0001 Belanja Pegawai

R2 = 0.9470; Prob > F = 0.0001

Jika dilihat berdasarkan provinsi, respon output sektor di jasa terhadap perubahan jumlah tenaga kerja di sektor tersebut adalah elastis terutama pada Provinsi Jambi, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Gorontalo, NTB dan Maluku Utara (Tabel 4.18).

Tabel 4.18. Elastisitas PDRB Sektor Jasa-Jasa Berdasarkan Region

REGION TKY9 IDY9 BMD_P BBJ_P BPG_P Indonesia 0.6753 0.0990 0.0540 0.0629 0.1552 NAD 0.5486 0.0824 0.2403 0.0466 0.0134 Sumatera Utara 0.6254 0.0529 0.0284 0.0293 0.0096 Sumatera Barat 0.4598 0.0470 0.0140 0.0280 0.0180 Riau 0.6684 0.0662 0.2037 0.1379 0.1699 Jambi 1.0343 0.1203 0.0819 0.0577 0.0691 Sumatera Selatan 0.6413 0.0657 0.0773 0.0557 0.0138 Bangka Belitung 0.8100 0.2806 0.1646 0.0330 0.0462 Bengkulu 0.8033 0.1578 0.0297 0.0166 0.0857 Lampung 0.9152 0.0896 0.0364 0.0598 0.2585 Banten 1.5276 0.0539 0.0598 0.1673 0.0569 DKI Jakarta 0.2334 0.1938 0.0525 0.0967 0.3819 Jawa Barat 0.8358 0.0535 0.0167 0.0391 0.0974 Jawa Tengah 1.0761 0.0428 0.0260 0.0423 0.0579 DI Yogya 0.8675 0.0931 0.0177 0.0395 0.4005 Jawa Timur 0.7620 0.0383 0.0382 0.0347 0.0069 Kalimantan Barat 0.6826 0.0977 0.0227 0.0700 0.0407 Kalimantan Tengah 0.5075 0.0862 0.1132 0.0323 0.0378 Kalimantan Selatan 0.8073 0.1331 0.0688 0.0463 0.0456 Kalimantan Timur 1.0671 0.1406 0.3636 0.3419 0.8157 Sulawesi Utara 0.5356 0.1133 0.0183 0.0144 0.0685 Gorontalo 1.2789 0.3827 0.1553 0.0990 0.7394 Sulawesi Tengah 0.6869 0.1212 0.0087 0.0248 0.0304 Sulawesi Selatan 0.7859 0.0826 0.0257 0.0326 0.0946 Sulawesi Tenggara 0.7990 0.2290 0.0576 0.0873 0.0224 Bali 0.8233 0.0494 0.0245 0.0369 0.3106 NTB 1.1266 0.1087 0.0405 0.0603 0.1056

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 61

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

REGION TKY9 IDY9 BMD_P BBJ_P BPG_P NTT 0.6762 0.1314 0.0206 0.0360 0.0507 Maluku 0.8153 0.4226 0.0684 0.1409 0.0240 Maluku Utara 2.1171 0.2828 0.1899 0.2356 0.2032 Papua 0.8231 0.1695 0.4059 0.2596 0.3473

4.3.3 Hasil Estimasi Blok Tenaga Kerja

Permintaan akan tenaga kerja merupakan fungsi dari upah tenaga kerja, jumlah output dan faktor lain seperti intevensi pemerintah. Berikut ini diuraikan hasil estimasi blok permintaan tenaga kerja di masing-masing sektor. Tabel 4.19. Hasil Pendugaan Persamaan Penyerapan TK di Sektor Pertanian

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitungProb >

|T| Label INTERCEP -45323 24596 -1.843 0.0671 Intercept WGY1 -0.178553 0.043656 -4.09 0.0001 Upah Sektor Pertanian Y10 0.041543 0.000958 43.344 0.0001 PRDB Sektor Pertanian BPG_P 0.000121 0.00003021 4.018 0.0001 Belanja Pegawai

R2 = 0.9273; Prob > F = 0.0001

Tabel 5.19 menampilkan hasil estimasi penyerapan tenaga kerja (permintaan tenaga kerja) di sektor pertanian. Hasil estimasi menunjukkan bahwa upah di tingkat sektor pertanian berpengaruh negatif terhadap permintaan teanga kerja dan secara statistik berbeda nyata dengan nol pada taraf 1 persen. Sama halnya dengan jumlah output di sektor pertanian dan belanja pegawai berbeda nyata dengan nol dengan arah yang positif. Dengan kata lain, peningkatan jumlah output dan belanja pegawai akan meningkatkan permintaan akan tenaga kerja di sektor pertanian. Namun, secara nasional, respon permintaan tenaga kerja hanya elastis terhadap perubahan jumlah output sektor pertanian. Sedangkan, respon permintaan tenaga kerja terhadap tingkat upah dan belanja pegawai adalah tidak elastis (Tabel 4.20). Tabel 4.20. Elastisitas Penyerapan TK di Sektor Pertanian Berdasarkan Region

REGION WGY1 Y10 BPG_P Indonesia -0.3972 1.5535 0.0542 NAD -1.1716 3.7177 0.0097 Sumatera Utara -0.2129 1.9207 0.0026 Sumatera Barat -0.5548 1.7562 0.0090 Riau -0.7030 2.8993 0.0499 Jambi -1.0691 1.8081 0.0156 Sumatera Selatan -0.4313 1.9580 0.0041 Bangka Belitung -5.6057 4.1655 0.0175 Bengkulu -1.8800 2.7444 0.0391 Lampung -0.2611 2.1730 0.0450 Banten -0.5319 1.9033 0.0204 DKI Jakarta -37.3616 2.6960 38.8732

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 62

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

REGION WGY1 Y10 BPG_P Jawa Barat -0.0356 1.0198 0.0228 Jawa Tengah -0.0366 0.9623 0.0102 DI Yogya -0.9983 2.5427 0.3737 Jawa Timur -0.0239 1.0044 0.0013 Kalimantan Barat -1.4868 2.9902 0.0182 Kalimantan Tengah -3.4584 5.9216 0.0231 Kalimantan Selatan -1.3759 2.7097 0.0174 Kalimantan Timur -3.0382 5.5466 0.4835 Sulawesi Utara -1.4003 1.4968 0.0329 Gorontalo -4.3510 1.6223 0.2631 Sulawesi Tengah -1.1624 3.6622 0.0155 Sulawesi Selatan -0.8731 5.2721 0.0677 Sulawesi Tenggara -9.2158 10.0114 0.0348 Bali -1.1905 2.9933 0.2396 NTB -0.2299 0.9262 0.0157 NTT -2.3590 7.2342 0.0751 Maluku -5.4308 3.0475 0.0164 Maluku Utara -8.3342 2.3751 0.0438 Papua -7.7441 6.6600 0.3680

Pada Tabel 4.20 dapat diketahui elastisitas penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian terhadap perubahan tingkat upah bervariasi di antara provinsi, ada yang menunjukkan responnya elastis dan ada yang tidak elastis. Respon permintaan tenaga kerja yang paling tinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta, kemudian diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Papua. Hal ini disebabkan sektor pertanian di provinsi bukanlah sektor kunci sehingga kenaikan tingkat upah akan direspon dengan penurunan jumlah output yang lebih besar dari kenaikan peningkatan jumlah input (upah).

Dari hasil estimasi permintaan tenaga kerja di sektor pertambangan yang ditampilkan pada Tabel 4.21 menunjukan bahwa seluruh explanatory variables tidak ada yang signifikan secara statistik pada taraf 5 persen. Namun, hasil estimasi ini masih logis dilihat dari kriteira apriori ekonomi karena tingkat upah memberikan pengaruh negatif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor pertambangan. Sedangkan variabel output sektor pertambangan, investasi pemerintah, investasi swasta, belanja modal, dan belanja barang dan jasa memberikan pengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor pertambangan. Secara nasional juga terlihat bahwa elastisitas permintaan tenaga kerja di sektor pertambangan terhadap perubahan explanatory variables adalah tidak elastis. Namun dilihat berdasarkan region, masih ada provinsi yang memberikan respon yang elastis (Tabel 4.22).

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 63

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.21. Hasil Pendugaan Persamaan Penyerapan TK di Sektor Pertambangan Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitungProb >

|T| Label INTERCEP 13015.00 4108.045 3.168 0.0018 Intercept WGY2 -0.002094 0.005195 -0.403 0.6874 Upah Sektor Pertambangan Y20 0.000251 0.000233 1.078 0.2824 PRDB Sektor Pertambangan ISY2 0.010340 0.023850 0.434 0.6651 Inv Swa di Pertambangan IDY2 0.041882 0.285933 0.146 0.8837 Inv Gov di Pertambangan BMD_P 0.0000004 0.000005 0.077 0.9390 Belanja Modal BBJ_P 0.0000105 0.000008 1.387 0.1672 Belanja barang dan Jasa

R2 = 0.0412; Prob > F = 0.2888

Penyerapan tenaga kerja di sektor pertambangan terhadap perubahan tingkat upah adalah elastis terutama untuk Provinsi Bengkulu, Lampung, Gorontalo, Sulawesi Tenggara dan Maluku. Dengan demikian, langkah mengurangi pengangguran atau meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertambangan di daerah tersebut perlu dilakukan degan menurunkan tingkat upah. Penurunan tingkat upah akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di provinsi. Perubahan tingkat output sektor pertambangan hampir diseluruh wilayah inelastis kecuali untuk Provinsi Riau. Tabel 4.22. Elastisitas Penyerapan TK di Sektor Pertambangan Berdasarkan Region

REGION WGY2 Y20 ISY2 IDY2 BMD_P BBJ_P Indonesia -0.1257 0.0886 0.0182 0.0025 0.0071 0.0845 NAD -0.2897 0.4195 0.0036 0.0017 0.0493 0.0973 Sumatera Utara -0.2197 0.0330 0.0341 0.0006 0.0099 0.1038 Sumatera Barat -0.1937 0.0295 0.0056 0.0010 0.0034 0.0688 Riau -0.6136 2.9626 0.2477 0.0008 0.0664 0.4583 Jambi -0.2155 0.0725 0.0202 0.0013 0.0069 0.0497 Sumatera Selatan -0.0519 0.1548 0.0026 0.0001 0.0049 0.0359 Bangka Belitung -0.0452 0.0064 0.0002 0.0000 0.0006 0.0012 Bengkulu -5.0527 0.1419 0.0926 0.0243 0.0358 0.2038 Lampung -1.3622 0.1781 0.1034 0.0024 0.0270 0.4503 Banten -0.0841 0.0006 0.0172 0.0000 0.0025 0.0723 DKI Jakarta -0.2469 0.0330 0.0844 0.0769 0.0783 1.4689 Jawa Barat -0.0351 0.0423 0.0156 0.0044 0.0025 0.0586 Jawa Tengah -0.0335 0.0059 0.0079 0.0007 0.0025 0.0412 DI Yogya -0.3308 0.0075 0.0032 0.0022 0.0049 0.1125 Jawa Timur -0.0284 0.0209 0.0073 0.0000 0.0057 0.0523 Kalimantan Barat -0.0598 0.0029 0.0016 0.0003 0.0008 0.0254 Kalimantan Tengah -0.7411 0.0135 0.0195 0.0023 0.0156 0.0453 Kalimantan Selatan -0.0731 0.0418 0.0048 0.0005 0.0026 0.0179 Kalimantan Timur -0.0882 0.2443 0.0108 0.0002 0.0071 0.0679 Sulawesi Utara -0.2846 0.0316 0.0120 0.0007 0.0027 0.0214 Gorontalo -2.3924 0.0072 0.1116 0.0000 0.0350 0.2270 Sulawesi Tengah -0.3089 0.0179 0.0328 0.0034 0.0021 0.0619 Sulawesi Selatan -0.6667 0.1625 0.4183 0.0005 0.0085 0.1104 Sulawesi Tenggara -5.2610 0.2404 0.5558 0.0020 0.0660 1.0194 Bali -0.2555 0.0055 0.0161 0.0005 0.0048 0.0736 NTB -0.1245 0.0749 0.0025 0.0007 0.0019 0.0281 NTT -0.6160 0.0203 0.0271 0.0011 0.0104 0.1854

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 64

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Maluku -7.5386 0.0332 0.0429 0.0004 0.0871 1.8285 Maluku Utara -0.2425 0.0040 0.0000 0.0000 0.0020 0.0254 Papua -0.4424 0.5595 0.0278 0.0008 0.0338 0.2202

Respon permintaan tenaga kerja di sektor pertambangan terhadap perubahan investasi pemerintah dan investasi swasta di sektor pertambangan adalah tidak elastis di seluruh wilayah provinsi. Begitu juga halnya dengan pengeluaran belanja untuk modal. Namun, respon permintaan tenaga kerja terhadap perubahan pengeluaran belanja barang dan jasa masih elastis terutama untuk Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Sulawesi Tenggara dan Provinsi Maluku (Tabel 4.22). Fungsi permintaan tenaga kerja di sektor industri pengolahan hanya ditentukan oleh upah sektor industri dan tingkat output industri (Tabel 4.23). Hal ini ditunjukkan oleh kedua variabel tersebut yang berbeda nyata dengan nol pada taraf 1 persen. Respon permintaan tenaga kerja di sektor industri terhadap perubahan tingkat upah hampir di seluruh provinsi adalah elastis, kecuali untuk Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa di daerah tersebut tenaga kerja relatif tersedia dalam jumlah yang besar. Sedangkan respon permintaan tenaga kerja di sektor industri terhadap perubahan tingkat output sektor industri juga relatif elastis di beberapa provinsi, kecuali untuk Provinsi Jambi, Lampung, Yogyakarta, Jawa Tengah, Gorontalo, Bali, NTT, NTB dan Maluku (Lihat Tabel 4.24). Tabel 4.23. Hasil Pendugaan Persamaan Penyerapan TK di Sektor Industri

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitung Prob > |T| Label

INTERCEP 256325 42169 6.078 0.0001 Intercept WGY3 -0.436048 0.060218 -7.241 0.0001 Upah Sektor Industri Y30 0.022873 0.000625 36.604 0.0001 PRDB Sektor Industri

R2 = 0.8837; Prob > F = 0.2888 Tabel 4.24. Elastisitas Penyerapan TK di Sektor Industri Berdasarkan Region

REGION WGY3 Y30 Indonesia -1.1366 1.1376 NAD -17.4602 10.1444 Sumatera Utara -1.1125 1.7587 Sumatera Barat -5.4444 1.5377 Riau -2.7366 1.0012 Jambi -8.4300 0.9978 Sumatera Selatan -3.5509 2.2172 Bangka Belitung -29.6871 4.7738 Bengkulu -52.4271 1.0531 Lampung -1.9778 0.8463 Banten -0.6094 1.0047 DKI Jakarta -0.7132 1.6980

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 65

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

REGION WGY3 Y30 Jawa Barat -0.1471 1.1176 Jawa Tengah -0.1243 0.5979 DI Yogya -1.6866 0.4770 Jawa Timur -0.1570 0.9403 Kalimantan Barat -4.2660 1.4171 Kalimantan Tengah -17.8132 1.2291 Kalimantan Selatan -4.9090 1.1046 Kalimantan Timur -4.9487 8.2722 Sulawesi Utara -16.5358 1.1037 Gorontalo -20.1437 0.4810 Sulawesi Tengah -29.7604 2.0657 Sulawesi Selatan -4.9750 1.8762 Sulawesi Tenggara -15.8700 1.1020 Bali -1.8462 0.3402 NTB -3.8087 0.2541 NTT -20.0901 0.3075 Maluku -47.1393 0.5218 Maluku Utara -62.1248 1.1609 Papua -50.0684 1.1098

Hasil estimasi permintaan tenaga kerja di sektor LGA (Tabel 4.25) menunjukkan bahwa seluruh variabel upah berhubungan terbalik terhadap penyerapan tenaga kerja dan tidak signifikan secara statisitik pada taraf 5 persen. Tingkat output sektor LGA masih mampu untuk menyerap tenaga kerja dan ini signifikan pada taraf 1 persen, sedangkan belanja modal hanya sginigikan pada level 5 persen. Sementara tingkat investasi pemerintah daerah di sektor LGA tidak siginifikan, namun masih memberikan pengaruh positif terahdap peningkatan permintaan tenaga kerja. Secara nasional, respon permintaan tenaga kerja di sektor LGA terhadap perubahan tingkat upah, tingkat output sektor LGA, investasi pemerintah daerah, dan belanja modal adalah adalah inelastis. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor LGA tidak dapat dijadikan sebagai suatu sektor yang dapat mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia umumnya. Tabel 4.25. Hasil Pendugaan Persamaan Penyerapan TK di Sektor LGA

Parameter Standard Variable Variable

Estimate Error tHitung

Prob > |T| Label

INTERCEP 1676.5137 823.8277 2.035 0.0434 Intercept WGY4 -0.000532 0.000960 -0.554 0.5805 Upah Sektor LGA Y40 0.006486 0.000388 16.710 0.0001 PRDB Sektor LGA IDY4 0.003864 0.005625 0.687 0.4930 Inv Gov di LGA BMD_P 0.000002 0.000001 1.940 0.0539 Belanja Modal

R2 = 0.6596; Prob > F = 0.0001

Dilihat berdasarkan region, respon permintaan tenaga kerja terhadap tingkat upah adalah inelastis hampir di seluruh provinsi, kecuali untuk Provinsi Bengkulu dan Sulawesi Tenggara (Tabel 4.26). Sedangkan perubahan tingkat investasi pemerintah hanya elastis

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 66

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Banten, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, sementara perubahan tingkat belanja modal, hanya Provinsi Riau yang elastis. Secara umum dapat dijelaskan bahwa ketidakelastisan ini disebabkan karean sektor LGA lebih dikuasai oleh pemerihtah. Tabel 4.26. Elastisitas Penyerapan TK di Sektor LGA Berdasarkan Region

REGION WGY4 Y40 IDY4 BMD_P Indonesia -0.0693 0.6524 0.0176 0.0877 NAD -0.0796 0.0533 0.0085 0.2733 Sumatera Utara -0.0313 0.3265 0.0169 0.0320 Sumatera Barat -0.1815 1.0599 0.0531 0.0725 Riau -0.5751 1.1674 0.0305 1.3534 Jambi -0.2689 0.3094 0.0065 0.1065 Sumatera Selatan -0.0657 0.2100 0.0868 0.0787 Bangka Belitung -0.3296 0.2811 0.0056 0.1314 Bengkulu -1.0176 0.3082 0.0158 0.1078 Lampung -0.0813 0.1944 0.0038 0.0516 Banten -0.1050 3.2090 0.0013 0.0575 DKI Jakarta -0.0315 0.8572 0.0273 0.2447 Jawa Barat -0.0133 1.0691 0.0030 0.0191 Jawa Tengah -0.0167 0.3698 0.0224 0.0364 DI Yogya -0.1573 0.4215 0.0050 0.0465 Jawa Timur -0.0088 0.6819 0.0070 0.0442 Kalimantan Barat -0.0914 0.2243 0.0136 0.0316 Kalimantan Tengah -0.9178 0.8004 0.0269 0.8641 Kalimantan Selatan -0.1517 0.2898 0.0143 0.0982 Kalimantan Timur -0.1702 0.5632 0.0866 0.4462 Sulawesi Utara -0.2083 0.3176 0.0338 0.0411 Gorontalo -0.1709 0.0468 0.0038 0.0609 Sulawesi Tengah -0.1517 0.2982 0.0128 0.0162 Sulawesi Selatan -0.1984 1.2625 0.1370 0.1223 Sulawesi Tenggara -1.1150 0.7347 0.0348 0.3103 Bali -0.0921 0.3645 0.0118 0.0265 NTB -0.1400 0.1582 0.0019 0.0720 NTT -0.1121 0.0639 0.0055 0.0211 Maluku -0.3475 0.1118 0.0442 0.0736 Maluku Utara -0.4046 0.0567 0.0000 0.0573 Papua -0.2948 0.1017 0.0330 0.4224

Tabel 4.27. Hasil Pendugaan Persamaan Penyerapan TK di Sektor Bangunan

Parameter Standard tHitung Variable Variable Estimate Error

Prob > |T| Label

INTERCEP 277879 46934 5.921 0.0001 Intercept WGY5 -0.323234 0.066288 -4.876 0.0001 Upah Sektor Bangunan Y50 0.019836 0.002964 6.692 0.0001 PRDB Sektor Bangunan ISY5 0.231352 0.120942 1.913 0.0574 Inv Swa di Bangunan

R2 = 0.2706; Prob > F = 0.0001

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 67

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Hasil estimasi permintaan tenaga kerja di sektor Bangunan ditampilkan pada Tabel 4.27. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa tngkat upah berhubungan terbalik dengan tingkat penyerapan tenaga kerja dan signifikan pada taraf 1 persen. Sedangkan tingkat output sektor bangunan dan investasi swasta berhubungan searah terhadap permintaan tenaga kerja dan secara statitisik variabel output sektor bangunan signifikan pada taraf 1 persen dan investasi swasta signifikan pada taraf 5 persen. Secara nasional elastisitas permintaan tenaga kerja di sektor bangunan terhadap perubahan tingkat upah adalah elastis, sedangkan tingkat output sektor bangunan dan investasi swasta di sektor ini adalah inelastis (Tabel 4.28). Tabel 4.28. Elastisitas Penyerapan TK di Sektor Bangunan Berdasarkan Region

REGION WGY5 Y50 ISY5 Indonesia -2.0251 0.4572 0.0861 NAD -8.1247 1.0396 0.0139 Sumatera Utara -1.3421 0.5683 0.0878 Sumatera Barat -5.7015 0.5940 0.0416 Riau -3.9011 0.5801 0.2711 Jambi -9.6305 0.2994 0.1764 Sumatera Selatan -2.8058 0.7945 0.0327 Bangka Belitung -15.5122 0.5071 0.0306 Bengkulu -19.0729 0.3701 0.1522 Lampung -2.1809 0.3749 0.0862 Banten -3.0502 0.3177 0.1733 DKI Jakarta -3.1701 4.5787 0.2685 Jawa Barat -0.3140 0.1839 0.0505 Jawa Tengah -0.2220 0.1707 0.0251 DI Yogya -1.6082 0.2221 0.0061 Jawa Timur -0.2699 0.2452 0.0244 Kalimantan Barat -5.7560 0.7949 0.0514 Kalimantan Tengah -30.2036 1.2698 0.3284 Kalimantan Selatan -9.9810 0.9230 0.1070 Kalimantan Timur -5.7971 0.9253 0.3071 Sulawesi Utara -9.5009 1.3078 0.0797 Gorontalo -34.5016 0.5261 0.4538 Sulawesi Tengah -11.8365 0.8396 0.2410 Sulawesi Selatan -2.5838 0.3580 0.8537 Sulawesi Tenggara -19.7393 0.9918 0.9342 Bali -2.0576 0.1301 0.0423 NTB -2.9135 0.3419 0.0156 NTT -6.4612 0.5509 0.0717 Maluku -81.8964 0.1978 0.1135 Maluku Utara -46.4565 0.1009 0.0000 Papua -24.2410 1.0817 0.4658

Permintaan tenaga kerja sektor bangunan terhadap perubahan tingkat upah adalah elastis hampir di seluruh wilayah, kecuali untuk Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa tenaga kerja di provinsi tersebut cukup tersedia sehingga perubahan tingkat upah tidak memberikan dampak yang berarti bagi

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 68

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

penurunan jumlah tenaga kerja. Elastisitas permintaan tenaga kerja di sektor bangunan terhadap perubahan tingkat output di sektor bangunan adalah inelastis hampir di seluruh provinsi, kecuali untuk Provinsi NAD, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara dan Provinsi Papua. Hal ini mengindikasikan bahwa infrastruktur dan pemukiman di Provinsi NAD dan Papua umumnya merupakan barang yang mewah. Permintaan pemukiman untuk perumahan dan perkantoran di DKI Jakarta relatif tinggi sehingg responnya elastisitas permintaan tenaga kerja adalah elastistis (Tabel 4.28). Estimasi persamaan permintaan tenaga kerja di sektor perdagangan ditampilkan pada Tabel 4.29. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel tingkat upah di sektor perdagangan berhubungan negatif terhadap tingkat upah tetapi tidak signifikan secara statistik. Begitu juga halnya dengan investasi swasta, tetapi mempunyai hubungan searah terhadap penyerapan tenaga kerja. Pengaruh tingkat output adalah positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan secara statistik signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen. Tabel 4.29. Hasil Pendugaan Persamaan Penyerapan TK di Sektor Perdagangan

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitungProb >

|T| Label INTERCEP 21406 10928 1.959 0.0517 Intercept WGY6 -0.017872 0.01441 -1.240 0.2166 Upah Sektor Perdagangan Y60 0.011467 0.00032 35.822 0.0001 PRDB Sektor Perdagangan ISY6 0.044644 0.05224 0.855 0.3939 Inv Swa di Perdagangan

R2 = 0.8887; Prob > F = 0.0001

Dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2), hasil estimasi menunjukkan bahwa variasi dari variabel endogen mampu dijelaskan oleh variabel penjelas hanya sebesar 88,87 persen, tetapi secara secara keseluruhan variabel output sektor pertambangan adalah signifikan pada taraf 1 persen. Secara nasional terlihat bahwa elastisitas permintaan tenaga kerja di sektor perdagangan terhadap perubahan tingkat upah, output sektor perdagangan dan investasi swasta adalah inelastis (Tabel 4.30). Tabel 2.30. Elastisitas Penyerapan TK di Sektor Perdagangan Berdasarkan Region

REGION WGY6 Y60 ISY6 Indonesia -0.1040 0.9025 0.0155 NAD -0.3733 1.8186 0.0030 Sumatera Utara -0.0775 1.0143 0.0122 Sumatera Barat -0.2797 1.1889 0.0074 Riau -0.1570 0.6454 0.0512 Jambi -0.5396 0.9713 0.0356 Sumatera Selatan -0.1767 1.0327 0.0081 Bangka Belitung -1.3404 0.8475 0.0039 Bengkulu -1.0467 1.3121 0.0243

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 69

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

REGION WGY6 Y60 ISY6 Lampung -0.1410 0.6553 0.0133 Banten -0.0875 0.6501 0.0182 DKI Jakarta -0.0318 1.1339 0.0097 Jawa Barat -0.0213 0.7922 0.0105 Jawa Tengah -0.0195 0.6172 0.0053 DI Yogya -0.1077 0.3714 0.0027 Jawa Timur -0.0191 1.2426 0.0057 Kalimantan Barat -0.2487 1.1202 0.0122 Kalimantan Tengah -1.1524 2.1232 0.0371 Kalimantan Selatan -0.3354 0.8827 0.0197 Kalimantan Timur -0.2686 1.2565 0.0516 Sulawesi Utara -0.5762 0.6872 0.0181 Gorontalo -1.3625 0.5363 0.0991 Sulawesi Tengah -0.6331 1.0517 0.0433 Sulawesi Selatan -0.1508 0.7273 0.1581 Sulawesi Tenggara -1.1387 1.9675 0.2545 Bali -0.0841 0.4327 0.0092 NTB -0.2578 0.5962 0.0065 NTT -0.5481 0.9723 0.0241 Maluku -2.0505 1.5855 0.0122 Maluku Utara -2.5448 1.0628 0.0000 Papua -1.0312 0.7305 0.1230

Dari Tabel 4.30 juga dapat diketahui bahwa permintaan tenaga kerja terhadap perubahan tingkat upah adalah inelastis hampir di seluruh provinsi, kecuali Provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Sedangkan respon investasi swasta di sektor perdagangan hanya elastis di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Papua.

Elastisitas permintaan tenaga kerja di sektor perdagangan terhadap perubahan output bervariasi antarregion. Sedangkan pengeluaran investasi swasta di sektor perdagangan adalah inelastis di seluruh provinsi Indonesia (Tabel 4.30). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat investasi pemerintah tidak efektif dalam penyerapan tenaga kerja di sektor perdagangan. Pada Tabel 4.31 diketahui bahwa fungsi permintaan tenaga kerja merupakan fungsi dari tingkat upah, tingkat output di sektor transportasi dan tingkat investasi di sektor trasportasi. Tingkat upah berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga kerja sedangkan tingkat output sektor transportasi dan investasi memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan permintaan tenaga kerja di sektor transportasi. Namun, secara nasional respon permintaan tenaga kerja terhadap ketiga variable tersebut adalah inelastis (Tabel 4.32). Namun, dilihat berdasarkan wilayah, respon permintaan tenaga kerja sektor transportasi terhadap perubahan tingkat upah umumnya bervariasi

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 70

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

antarregion seperti halnya perubahan tingkat output. Sedangkan perubahan tingkat investasi menunjukkan inelastis di seluruh provinsi. Tabel 4.31. Hasil Pendugaan Persamaan Penyerapan TK di Sektor Transportasi

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitungProb >

|T| Label INTERCEP 52771 12838.00 4.111 0.0001 Intercept WGY7 -0.058994 0.015624 -3.776 0.0002 Upah Sektor Transportasi Y70 0.017377 0.000955 18.203 0.0001 PRDB Sektor Transportasi ISY7 0.054609 0.024289 2.248 0.0258 Inv Swa di Transportasi

R2 = 0.6882; Prob > F = 0.0001

Tabel 4.32. Elastisitas Penyerapan TK di Sektor Transportasi Berdasarkan Region

REGION WGY7 Y70 ISY7 Indonesia -0.8232 0.8448 0.0666 NAD -2.3535 1.2055 0.0166 Sumatera Utara -0.3576 0.8026 0.0405 Sumatera Barat -1.2448 1.3548 0.0227 Riau -1.1393 0.6409 0.2828 Jambi -3.7976 1.1870 0.1271 Sumatera Selatan -1.2424 0.7466 0.0229 Bangka Belitung -5.2844 0.4720 0.0129 Bengkulu -8.1208 1.6609 0.1100 Lampung -0.9623 0.6806 0.0654 Banten -0.6727 0.8756 0.0827 DKI Jakarta -0.3736 1.8320 0.0614 Jawa Barat -0.1676 0.5252 0.0465 Jawa Tengah -0.1710 0.4581 0.0274 DI Yogya -1.8483 0.9974 0.0223 Jawa Timur -0.1387 0.7320 0.0234 Kalimantan Barat -1.5629 0.9134 0.0481 Kalimantan Tengah -8.7997 2.1889 0.1751 Kalimantan Selatan -2.6149 1.5574 0.1074 Kalimantan Timur -1.7693 1.7399 0.1573 Sulawesi Utara -2.5069 1.1165 0.0559 Gorontalo -8.2348 0.6032 0.0843 Sulawesi Tengah -2.8264 0.8782 0.0754 Sulawesi Selatan -0.9543 0.8220 0.4582 Sulawesi Tenggara -3.4501 0.7071 0.3920 Bali -1.3094 0.8498 0.0730 NTB -1.4336 0.6683 0.0143 NTT -1.4107 0.4217 0.0139 Maluku -4.6025 0.4494 0.0181 Maluku Utara -8.4917 0.4610 0.0000 Papua -4.8314 0.8030 0.1599

Tabel 4.33 merupakan hasil estimasi persamaan permintaan tenaga kerja di sektor keuangan dan jasa perusahaan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa tingkat output berpengaruh nyata terhadap peningkatan permintaan tenaga kerja pada taraf

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 71

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

kepercayaan 99 persen. Sedangkan variabel upah berhubungan negatif terhadap permintaan tenaga kerja dan signifikan pada taraf alpha 10 persen. Di samping variabel tersebut, pengeluaran belanja barang dan jasa juga dapat berhubungan positif terhadap permintaan tenga kerja signifikan pada taraf 5 persen, sedangkan investasi pemerintah hanya tidak berbeda nyata dengan nol terhadap permintaan tenaga kerja.

Tabel 4.33. Hasil Pendugaan Persamaan Penyerapan TK di Sektor Lembaga Keuangan dan Jasa Perusahaan

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitungProb >

|T| Label INTERCEP 32280 7602.52 4.246 0.0001 Intercept WGY8 -0.010934 0.00629 -1.739 0.0838 Upah Sektor Lemb. Keuagan Y80 0.001518 0.00046 3.326 0.0011 PRDB Sektor Lemb. Keuagan IDY8 2.729139 3.97508 0.687 0.4933 Inv Gov di Lemb. Keuagan BBJ_P 0.0000457 0.00002 1.993 0.0478 Belanja barang dan Jasa

R2 = 0.4208; Prob > F = 0.0001

Permintaan tenaga kerja seperti yang ditampilkan pada Tabel 4.34 menunjukkan bahwa secara nasional perubahan variabel penjelas adalah inelastis. Namun, dilihat berdasarkan wilayah, respon permintaan tenaga kerja sektor keuangan dan jasa perusahaan terhadap perubahan tingkat upah umumnya bervariasi antarprovinsi. Tabel 4.34. Elastisitas Penyerapan TK di Sektor Lembaga Keuangan dan Jasa Perusahaan

Berdasarkan Region

REGION WGY8 Y80 IDY8 BBJ_P Indonesia -0.3755 0.2001 0.0218 0.1586 NAD -2.6215 0.0910 0.0702 0.4945 Sumatera Utara -0.1899 0.1154 0.0029 0.0635 Sumatera Barat -0.9238 0.1307 0.0142 0.1524 Riau -0.1759 0.0205 0.0023 0.1143 Jambi -1.6952 0.0841 0.0158 0.1572 Sumatera Selatan -1.2606 0.2032 0.1750 0.2769 Bangka Belitung -4.1849 0.1588 0.1225 0.0917 Bengkulu -2.6741 0.0938 0.0380 0.0654 Lampung -2.1099 0.2922 0.3582 0.3712 Banten -0.1624 0.0210 0.0038 0.0802 DKI Jakarta -0.0933 0.6884 0.0377 0.2996 Jawa Barat -0.0901 0.0697 0.0017 0.0854 Jawa Tengah -0.1125 0.0821 0.0257 0.1124 DI Yogya -0.4280 0.1101 0.0195 0.1023 Jawa Timur -0.0638 0.1128 0.0023 0.0820 Kalimantan Barat -3.8210 0.3463 0.0176 0.5598 Kalimantan Tengah -13.8746 0.5794 0.4764 1.1282 Kalimantan Selatan -2.0822 0.1642 0.0148 0.2356 Kalimantan Timur -0.7384 0.1356 0.0071 0.4840 Sulawesi Utara -1.9917 0.1648 0.0045 0.0710 Gorontalo -5.2575 0.1181 0.1769 0.2900 Sulawesi Tengah -1.7493 0.1047 0.0305 0.1076

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 72

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Sulawesi Selatan -0.4136 0.1041 0.0029 0.0977 Sulawesi Tenggara -3.8838 0.2220 0.1199 0.7803 Bali -0.4431 0.1005 0.0383 0.0862 NTB -0.8724 0.0799 0.1255 0.1589 NTT -0.9695 0.0440 0.0536 0.1398 Maluku -5.1072 0.0812 0.0251 0.4860 Maluku Utara -2.3427 0.0198 0.0627 0.1390 Papua -2.2157 0.0532 0.0577 0.8267

Hal yang sama juga terjadi dalam perubahan tingkat output terhadap investasi pemerintah daerah di sektor keuangan dan jasa perusahaan adalah inelastis untuk seluruh provinsi. Sedangkan pengeluaran untuk belanja barang dan jasa juga hampir inelastis di setiap provinsi kecuali untuk Provinsi Kalimantan Tengah. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa dalam rangka pengurangan pengangguran di Provinsi Kalimantan Tengah, peningkatan pengeluaran belanja barang dan jasa masih efektif dalam merekrut tenaga kerja di sektor keuangan dan jasa perusahaan (Lihat Tabel 4.34). Tabel 4.35. Hasil Pendugaan Persamaan Penyerapan TK di Sektor Jasa-Jasa

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitung Prob > |T| Label

INTERCEP 471167 89377 5.272 0.0001 Intercept WGY9 -0.43969 0.09523 -4.617 0.0001 Upah Sektor Jasa-Jasa Y90 0.04011 0.00260 15.426 0.0001 PRDB Sektor Jasa-Jasa ISY9 0.51324 0.19035 2.696 0.0077 Inv Swa di Jasa-Jasa

R2 = 0.6809; Prob > F = 0.0001

Tabel 4.36. Elastisitas Penyerapan TK di Sektor Jasa-Jasa Berdasarkan Region

REGION WGY9 Y90 ISY9 Indonesia -1.4264 0.6407 0.0840 NAD -2.3652 0.7887 0.0089 Sumatera Utara -0.8689 0.6919 0.0577 Sumatera Barat -2.2212 0.9410 0.0424 Riau -2.1931 0.6473 0.4430 Jambi -3.8628 0.4183 0.1102 Sumatera Selatan -1.8566 0.6746 0.0381 Bangka Belitung -10.9829 0.5341 0.0025 Bengkulu -6.2129 0.5386 0.0585 Lampung -1.8005 0.4728 0.0634 Banten -1.2130 0.2832 0.1787 DKI Jakarta -0.6074 1.8540 0.0826 Jawa Barat -0.2637 0.5176 0.0684 Jawa Tengah -0.2478 0.4021 0.0261 DI Yogya -1.5973 0.4987 0.0352 Jawa Timur -0.2318 0.5678 0.0389 Kalimantan Barat -3.1470 0.6338 0.1341 Kalimantan Tengah -7.2525 0.8526 0.0788 Kalimantan Selatan -2.9569 0.5360 0.1394 Kalimantan Timur -2.7749 0.4055 0.1874

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 73

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

REGION WGY9 Y90 ISY9 Sulawesi Utara -4.8413 0.8078 0.0932 Gorontalo -9.9931 0.3383 0.1122 Sulawesi Tengah -4.1457 0.6299 0.0661 Sulawesi Selatan -1.5425 0.5505 0.2698 Sulawesi Tenggara -6.0486 0.5415 0.3311 Bali -1.8748 0.5255 0.1912 NTB -2.0717 0.3841 0.0166 NTT -3.3117 0.6398 0.0210 Maluku -10.2969 0.5307 0.0285 Maluku Utara -14.6634 0.2044 0.0000 Papua -6.7696 0.5256 0.2803

Hasil estimasi persamaan permintaan tenaga kerja di sektor jasa ditampilkan pada Tabel 4.35. Pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa estimasi persamaan baik tingkat upah, output dan investasi di sektor jasa berpengaruh nyata terhadap peningkatan permintaan tenaga kerja di sektor jasa pada taraf kepercayaan 99 persen. Namun, secara nasional permintaan tenaga kerja adalah elastis hanya untuk variabel perubahan tingkat upah, sedangkan tingkat output dan investasi di sektor jasa adalah inelastis (Tabel 4.36). Lebih lanjut dapat diketahui bahwa elastisitas permintaan tenaga kerja di sektor jasa terhadap perubahan tingkat upah di provinsi adalah elastis untuk seluruh provinsi, kecuali Provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini antara lain disebabkan oleh tersedianya jumlah tenaga kerja yang relatif besar dan strutkur industri di provinsi tersebut lebih kepada sektor jasa. Dengan demikian, peningkatan upah di daerah tersebut tidak terlalu berdampak besar terhadap penurunan jumlah permintaan tenaga kerja.

4.3.4 Hasil Estimasi Blok Pengangguran

Tinggi rendahnya tingkat pengganguran daerah sangat bervariasi tergantung pada kekayaan sumberdaya alam, produksi, investasi, dan tersedianya belanja untuk pegawai dan supply tenaga kerja. Jumlah pengganguran merupakan selisih antara jumlah angkatan kerja dikurangi dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja di berbagai sektor ekonomi. Dalam kajian ini pengangguran dibedakan berdasarkan pengangguran di perkotaan dan pengangguran di daerah perdesaan. Hasil estimasi jumlah pengangguran di perkotaan disajikan pada Tabel 4.37 berikut ini.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 74

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.37. Hasil Pendugaan Persamaan Pengangguran di Perkotaan Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

thitungProb >

|T| Label INTERCEP -58070 19509 -2.977 0.0033 Intercept GDP -0.000003 0.000287 -0.011 0.9914 Produk Regional Bruto ISY3 0.003773 0.001535 2.458 0.0150 Inv Swa di Industri BPG_P 0.000056 0.000027 2.057 0.0412 Belanja Pegawai UMP 0.133483 0.049097 2.719 0.0072 Upah Minimum Provinsi POP1 53.89693 3.467597 15.543 0.0001 Populasi Perkotaan

R2 = 0.9324; Prob > F = 0.0001

Pada Tabel 4.37 dapat diketahui bahwa jumlah pengangguran di perkotaan sangat tergantung total GDP, tingkat investasi swasta di sektor industri, pengeluran belanja pegawai, upah minimum Provinsi dan jumlah penduduk di daerah perkotaan. Besarnya GDP berhubugan terbalik terhadap pengangguran di perkotaan, meskipun secara statistik tidak signifikan pada taraf alpha 5 persen. Yang menarik adalah investasi swasta berhubungan positif terhadap pengangguran dan signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen. Hal ini berarti bahwa investasi swasta di sektor industri tidak secara otomatis akan mengurangi pengangguran di perkotaan karena struktur industri di perkotaan lebih padat modal (capital intensive). Tabel 4.38. Elastisitas Penggangguran Perkotaan Berdasarkan Region

REGION GDP ISY3 BPG_P UMP POP1 Indonesia -0.0009 0.0277 0.0330 0.3045 0.9891 NAD -0.0021 0.0133 0.0064 0.9520 0.8478 Sumatera Utara -0.0008 0.0117 0.0018 0.2014 0.9268 Sumatera Barat -0.0010 0.0116 0.0083 0.6745 0.9282 Riau -0.0017 0.1769 0.0284 0.3935 0.9085 Jambi -0.0014 0.0713 0.0228 1.8011 1.5644 Sumatera Selatan -0.0010 0.0059 0.0025 0.3370 0.8836 Bangka Belitung -0.0012 0.0089 0.0080 2.7225 1.2297 Bengkulu -0.0007 0.0202 0.0244 1.6610 0.9876 Lampung -0.0010 0.0177 0.0568 0.5260 1.0278 Banten -0.0006 0.0249 0.0034 0.1918 0.8772 DKI Jakarta -0.0015 0.0185 0.1692 0.1383 0.8386 Jawa Barat -0.0006 0.0094 0.0107 0.0348 0.8509 Jawa Tengah -0.0007 0.0101 0.0099 0.0721 1.2359 DI Yogya -0.0007 0.0052 0.1244 0.6192 1.4818 Jawa Timur -0.0010 0.0092 0.0015 0.0519 1.1663 Kalimantan Barat -0.0012 0.0153 0.0116 0.8764 1.0250 Kalimantan Tengah -0.0019 0.0729 0.0205 2.6980 1.4307 Kalimantan Selatan -0.0011 0.0469 0.0114 0.9393 0.4333 Kalimantan Timur -0.0039 0.0718 0.1442 0.8790 0.8927 Sulawesi Utara -0.0009 0.0381 0.0270 1.5087 3.3587 Gorontalo -0.0005 0.0692 0.1435 3.9785 6.7411 Sulawesi Tengah -0.0017 0.0653 0.0198 2.5344 2.2859 Sulawesi Selatan -0.0006 0.2343 0.0170 0.2946 0.0716 Sulawesi Tenggara -0.0009 0.0856 0.0072 2.0382 0.9119 Bali -0.0011 0.0361 0.1190 0.9242 1.6500

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 75

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

NTB -0.0007 0.0116 0.0187 0.6952 1.2302 NTT -0.0006 0.0130 0.0170 0.9861 0.7749 Maluku -0.0004 0.0043 0.0049 2.1534 0.8081 Maluku Utara -0.0004 0.0000 0.0167 2.8048 0.6637 Papua -0.0016 0.0661 0.0819 1.8102 0.7600

Penerapan upah minimum provinsi berdampak terhadap pengangguran. Hal ini dapat jelaskan bahwa ketika buruh memperjuangkan kesejahteraan pekerja melalui peningkatan upah minimum secara langsung perusahaan tidak akan meningkatkan permintaan tenaga kerja. Peningkatan upah minimum tersebut akan mengarah pada peningkatan jumlah pengangguran di perkotaan. Hal yang sama juga akan terjadi apabila jumlah penduduk perkotaan meningkat, cateris paribus, maka tingkat pengangguran juga akan mengalmi peningkatan. Dapat disebutkan bahwa tingkat pengangguran di perkotaan dapat dikurangi jika diiringi dengan kenaikan produksi.

Secara nasional respon pengangguran di perkotaan terhadap perubahan GDP, investasi swasta dan pengeluaran dan belanja pegawai adalah inelastis. Respon pengangguran di perkotaan terhadap perubahan upah minimum provinsi dan jumlah penduduk (Tabel 4.38). Dilihat berdasarkan wilayah, respon pengangguran di perkotaan terhadap perubahan GDP, investasi swasta dan pengeluaran belanja pegawai juga inelastis untuk seluruh provinsi. Respon pengangguran terhadap perubahan upah minimum provinsi secara umum adalah inelastis, kecuali beberapa provinsi seperti Provinsi Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Respon pengangguran di perkotaan terhadap jumlah penduduk relatif bervariasi antarprovinsi (Tabel 4.38).

Berbeda halnya dengan hasil estimasi persamaan pengangguran di perdesaan yang ditampilkan pada Tabel 4.39. Dari Tabel 4.39 dapat diketahui bahwa pengangguran di daerah perdesaan sangat dipengaruhi oleh tingkat output (GDP) dan secara statistik signifikan pada taraf alpah 5 persen. Tingkat pengangguran di perdesaan juga dipengaruhi oleh investasi pemerintah di sektor pertanian dan pengeluaran belanja pegawai. Artinya bahwa semakin tinggi tingkat investasi pemerintah di sektor pertanian dan pengeluaran belanja untuk pegawai, maka tingkat pengangguran di perdesaan akan semakin kecil dan kedua vaiabel ini signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen.

Sedangkan variabel tingkat upah minimum dan jumlah angkatan tenaga kerja memberikan dampak positif terhadap pengangguran di perdesaan. Dengan kata lain bahwa ketika tingkat upah mininum meningkat, jumlah pengangguran di perdesaan akan mengalami kenaikan meskipun responnya inelastis. Kenaikan jumlah angkatan kerja juga akan berdampak pada meningkattnya jumlah pengangguran di perdesaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi masalah pengangguran di

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 76

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

perdesaan dapat dilakukan dengan peningkatan investasi pemerintah di sektor pertanian.

Tabel 4.39. Hasil Pendugaan Persamaan Pengangguran di Perdesaan

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

thitungProb >

|T| Label INTERCEP -10439 20840 -0.501 0.6171 Intercept GDP -0.000659 0.000295 -2.235 0.0267 Produk Regional Bruto IDY1 -0.207243 0.067861 -3.054 0.0026 Inv Gov di Pertanian BPG_P -0.000079 0.000029 -2.759 0.0064 Belanja Pegawai UMP 0.124079 0.051395 2.414 0.0168 Upah Minimum Provinsi LF 0.110018 0.007049 15.608 0.0001 Angkatan Kerja

R2 = 0.9049; Prob > F = 0.0001

Secara nasional dapat diketahui bahwa respon pengangguran di perdesaan terhadap perubahan GDP, invetasi pemerintah di sektor pertanian dan pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai, dan upah minimum provinsi bersifat inelastis. Sedangkan respon pengangguran di perdesaan terhadap perubahan jumlah angkatan kerja adalah elastis (Tabel 4.40). selain itu, respon pengangguran di perdesaan di setiap provinsi adalah inelastis terhadap perubahan GDP, investasi pemerintah dan pengeluaran belanja pegawai. Sedangkan respon tingkat upah minimum provinsi terhadap pengangguran di nperdesaan bervariasi antardaerah. Respon yang elastis terjadi di Provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bali, Maluku Utara, Maluku dan Papua. Sementara respon pengangguran di perdesaan terhadap jumlah angkatan kerja adalah elastis hanya di Provinsi Riau, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Bali.

Tabel 4.40. Elastisitas Penggangguran Perdesaan Berdasarkan Region

REGION GDP IDY1 BPG_P UMP LF Indonesia -0.2397 -0.0914 -0.0562 0.3423 1.1218 NAD -0.2807 -0.2158 -0.0057 0.5534 0.6310 Sumatera Utara -0.2084 -0.0471 -0.0031 0.2274 0.9762 Sumatera Barat -0.1473 -0.1197 -0.0077 0.4118 0.6995 Riau -0.4422 -0.1359 -0.0488 0.4456 1.0109 Jambi -0.1624 -0.1517 -0.0179 0.9302 0.8717 Sumatera Selatan -0.2460 -0.0901 -0.0041 0.3719 0.8536 Bangka Belitung -0.5271 -0.2140 -0.0225 5.0270 2.1249 Bengkulu -0.1539 -0.2337 -0.0360 1.6100 0.8440 Lampung -0.1044 -0.1082 -0.0384 0.2344 0.6220 Banten -0.1569 -0.0091 -0.0064 0.2370 0.9965 DKI Jakarta . . . . . Jawa Barat -0.1633 -0.0350 -0.0208 0.0448 1.0462 Jawa Tengah -0.1527 -0.0487 -0.0145 0.0692 1.3504 DI Yogya -0.4271 -0.3098 -0.5082 1.6672 3.3402 Jawa Timur -0.2461 -0.0530 -0.0024 0.0546 1.4020

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 77

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

REGION GDP IDY1 BPG_P UMP LF Kalimantan Barat -0.1686 -0.0903 -0.0109 0.5439 0.7436 Kalimantan Tengah -0.2966 -0.2375 -0.0212 1.8467 0.8282 Kalimantan Selatan -0.2507 -0.1507 -0.0175 0.9484 1.0432 Kalimantan Timur -1.5797 -0.4372 -0.3832 1.5394 1.7740 Sulawesi Utara -0.1410 -0.1126 -0.0274 1.0081 0.7438 Gorontalo -0.0494 -0.0838 -0.1031 1.8828 0.5265 Sulawesi Tengah -0.1571 -0.1314 -0.0123 1.0364 0.7054 Sulawesi Selatan -0.0815 -0.0923 -0.0150 0.1709 0.4473 Sulawesi Tenggara -0.1008 -0.1325 -0.0054 1.0103 0.4776 Bali -0.4036 -0.1593 -0.2938 1.5031 2.8624 NTB -0.1175 -0.1784 -0.0218 0.5335 0.9145 NTT -0.1353 -0.2720 -0.0251 0.9586 0.8100 Maluku -0.0724 -0.1687 -0.0056 1.6211 0.5526 Maluku Utara -0.0585 -0.0470 -0.0159 1.7606 0.5678 Papua -0.3648 -0.3384 -0.1227 1.7879 0.7519

4.3.5 Hasil Estimasi Blok Kemiskinan

Persamaan blok kemiskinan didisagregasi berdasarkan lokasi, yaitu daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Tabel 4.41 menampilkan hasil estimasi persamaan kemiskinan di perkotaan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa tingkat output (GDP) berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di daerah perkotaan namun secara statsitsik tidak signifikan pada taraf 5 persen. Selain output, tingkat upah di sektor jasa juga berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di perkotaan dan secara statistik siginifikan pada taraf 1 persen. Investasi pemerintah dan swasta di sektor jasa berhubungan negatif terhadap jumlah kemiskinan di perkotaan. Dengan kata lain bahwa semakin besar investasi swasta dan pemerintah di sektor jasa, jumlah kemiskinan di perkotaan akan semakin kecil. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap kemiskinan dalam arti bahwa kenaikan jumlah penduduk, cateris paribus, kemiskinan juga mengalami peningkatan. Variabel ini secara statistik signifikan pada taraf 1 persen.

Tabel 4.41. Hasil Pendugaan Persamaan Kemiskinan di Perkotaan

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

thitungProb >

|T| Label INTERCEP 178.72020 87.131644 2.051 0.0418 Intercept GDP -0.0000004 0.0000004 -0.944 0.3465 Produk Regional Bruto WGY9 -0.0002660 0.0000912 -2.917 0.0040 Upah Sektor Jasa-Jasa ISY9 -0.0002340 0.0001750 -1.340 0.1821 Inv Swa di Jasa-Jasa IDY9 -0.0000060 0.0000285 -0.210 0.8341 Inv Gov di Jasa-Jasa POP 0.0676140 0.0027130 24.922 0.0001 Jumlah Penduduk

R2 = 0.9254; Prob > F = 0.0001

Secara nasional dapat diketahui bahwa respon kemiskinan di perkotaaan terhadap variabel penjelas adalah inelastis kecuali untuk variabel jumlah penduduk. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan jumlah variabel penjelas 1 persen, cateris paribus, maka variabel kemiskinan berkurang dari 1 persen. Sedangkan kenaikan variabel jumlah

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 78

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

penduduk sebesar 1 persen akan meningkatkan jumlah kemiskinan di perkotaan lebih besar dari 1 persen (lihat Tabel 4.42).

Tabel 4.42. Elastisitas Kemiskinan Perkotaan Berdasarkan Region

REGION GDP WGY9 ISY9 IDY9 POP Indonesia -0.0510 -0.6228 -0.0276 -0.0027 1.2383 NAD -0.0928 -1.5245 -0.0043 -0.0041 1.3299 Sumatera Utara -0.0516 -0.3678 -0.0184 -0.0015 1.3428 Sumatera Barat -0.0659 -1.6352 -0.0235 -0.0032 1.9185 Riau -0.2095 -1.6722 -0.2546 -0.0032 2.5031 Jambi -0.0336 -1.7934 -0.0386 -0.0023 1.3067 Sumatera Selatan -0.0404 -0.4902 -0.0076 -0.0011 1.0420 Bangka Belitung -0.0570 -3.9312 -0.0007 -0.0053 1.3001 Bengkulu -0.0233 -2.6561 -0.0188 -0.0036 1.1142 Lampung -0.0324 -0.6363 -0.0169 -0.0015 1.4507 Banten -0.0532 -0.5954 -0.0661 -0.0007 1.5390 DKI Jakarta -0.3452 -0.8168 -0.0837 -0.0473 1.9259 Jawa Barat -0.0366 -0.0884 -0.0173 -0.0009 1.0661 Jawa Tengah -0.0221 -0.0808 -0.0064 -0.0006 0.9419 DI Yogya -0.0188 -0.6479 -0.0108 -0.0018 0.6742 Jawa Timur -0.0394 -0.0833 -0.0105 -0.0008 1.0584 Kalimantan Barat -0.0597 -1.7036 -0.0547 -0.0033 1.9000 Kalimantan Tengah -0.1556 -9.0873 -0.0744 -0.0090 4.0163 Kalimantan Selatan -0.1259 -3.8470 -0.1367 -0.0091 2.4414 Kalimantan Timur -0.3866 -2.8535 -0.1452 -0.0057 2.3211 Sulawesi Utara -0.0951 -5.8638 -0.0850 -0.0109 11.4207 Gorontalo -0.0152 -4.5868 -0.0388 -0.0058 3.9322 Sulawesi Tengah -0.0570 -3.5028 -0.0421 -0.0063 2.0146 Sulawesi Selatan -0.0696 -1.3765 -0.1815 -0.0040 0.3057 Sulawesi Tenggara -0.0701 -6.8034 -0.2807 -0.0137 3.2936 Bali -0.0887 -2.6900 -0.2067 -0.0037 2.6217 NTB -0.0123 -0.4238 -0.0026 -0.0008 0.6080 NTT -0.0294 -2.0205 -0.0097 -0.0050 2.2895 Maluku -0.0212 -4.8459 -0.0101 -0.0103 1.4828 Maluku Utara -0.0321 -11.1887 0.0000 -0.0043 2.3125 Papua -0.1631 -7.3795 -0.2303 -0.0095 3.0425

Dari Tabel 4.42 diketahui bahwa respon kemiskinan perkotaan terhadap perubahan GDP, investasi pemerintah dan swasta di sektor jasa adalah inelastis di seluruh provinsi. Sedangkan respon kemiskinan di perkotaan terhadap perubahan tingkat upah di sektor jasa relatif bervariasi antarprovinsi dan secara umum responnya elastis, kecuali Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung dan di daerah Jawa pada umumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa di provinsi tersebut sektor jasa merupakan salah satu sektor kunci. Sementara respon terhadap perubahan jumlah penduduk adalah elastis, kecuali Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat.

Hasil estimasi persamaan kemiskinan perdesaan ditampilkan pada Tabel 4.43 yang menunjukkan bahwa variabel GDP, tingkat upah di sektor pertanian dan tingkat investasi

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 79

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

di sektor pertanian berpengaruh negatif terhadap kemiskinan di perdesaan. Namun ketiga variabel tersebut secara statistik tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen. Sedangkan belanja pegawai signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen. Jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap kemiskinan di perdesaan dan signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen. Namun, respon kemiskinan di perdesaan terhadap perubahan explanatory variables adalah inelastis secara nasional.

Tabel 4.43. Hasil Pendugaan Persamaan Kemiskinan di Perdesaan

Parameter Standard thitung Variable Variable

Estimate Error Prob >

|T| Label INTERCEP 157.206156 122.034370 1.288 0.1994 Intercept GDP -0.00000063 0.00000192 -0.326 0.7448 Produk Regional Bruto WGY1 -0.00005849 0.00022300 -0.263 0.7932 Upah Sektor Pertanian ISY1 -0.00000666 0.00021600 -0.031 0.9754 Inv Swa di Pertanian BPG_P -0.00000050 0.00000023 -2.171 0.0313 Belanja Pegawai POP 0.11656300 0.01108800 10.513 0.0001 Jumlah Penduduk

R2 = 0.8121; Prob > F = 0.0001

Tabel 4.44. Elastisitas Kemiskinan Perdesaan Berdasarkan Region

REGION GDP WGY1 ISY1 BPG_P POP Indonesia -0.0356 -0.0323 -0.0006 -0.0557 0.9432 NAD -0.0295 -0.0381 -0.0001 -0.0040 0.4621 Sumatera Utara -0.0444 -0.0283 -0.0004 -0.0045 1.2624 Sumatera Barat -0.0456 -0.0772 -0.0005 -0.0159 1.4508 Riau -0.0928 -0.0761 -0.0049 -0.0684 1.2106 Jambi -0.0276 -0.1099 -0.0009 -0.0203 1.1729 Sumatera Selatan -0.0303 -0.0279 -0.0001 -0.0034 0.8540 Bangka Belitung -0.0806 -0.5815 -0.0003 -0.0230 2.0058 Bengkulu -0.0147 -0.0869 -0.0004 -0.0229 0.7664 Lampung -0.0121 -0.0137 -0.0001 -0.0298 0.5933 Banten -0.0521 -0.0295 -0.0018 -0.0143 1.6464 DKI Jakarta . . . . . Jawa Barat -0.0485 -0.0051 -0.0006 -0.0413 1.5434 Jawa Tengah -0.0174 -0.0031 -0.0002 -0.0110 0.8075 DI Yogya -0.0238 -0.0400 -0.0003 -0.1894 0.9348 Jawa Timur -0.0271 -0.0026 -0.0002 -0.0018 0.7948 Kalimantan Barat -0.0241 -0.0671 -0.0005 -0.0104 0.8367 Kalimantan Tengah -0.0437 -0.2471 -0.0009 -0.0209 1.2320 Kalimantan Selatan -0.0540 -0.1572 -0.0018 -0.0251 1.1442 Kalimantan Timur -0.2259 -0.1818 -0.0023 -0.3659 1.4812 Sulawesi Utara -0.0396 -0.1726 -0.0011 -0.0514 5.1932 Gorontalo -0.0050 -0.0917 -0.0002 -0.0701 1.4243 Sulawesi Tengah -0.0143 -0.0442 -0.0003 -0.0075 0.5502 Sulawesi Selatan -0.0199 -0.0249 -0.0032 -0.0244 0.0953 Sulawesi Tenggara -0.0108 -0.0809 -0.0009 -0.0039 0.5527 Bali -0.0850 -0.1623 -0.0042 -0.4132 2.7430 NTB -0.0136 -0.0196 -0.0001 -0.0168 0.7321 NTT -0.0049 -0.0152 0.0000 -0.0061 0.4195

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 80

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

REGION GDP WGY1 ISY1 BPG_P POP Maluku -0.0043 -0.0581 0.0000 -0.0022 0.3263 Maluku Utara -0.0151 -0.4120 0.0000 -0.0274 1.1864 Papua -0.0141 -0.0525 -0.0004 -0.0316 0.2863

Elastisitas kemiskinan terhadap perubahan GDP adalah inelatis untuk seluruh provinsi. Hal ini disebabkan peningkatan GDP tidak tersebar dan dinikmati secara merata oleh seluruh kelompok masyarakat. Elastisitas kemiskinan perdesaan terhadap upah sektor pertanian adalah inelatis untuk seluruh provinsi. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh provinsi masih mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan usaha utama. Begitu juga dengan tingkat investasi pemerintah di sektor pertanian, respon kemiskinan adalah inelastis karena sektor pertanian masih menjadi lapangan usaha utama bagi masyarakat perdesaan yang tidak beroreantasi kepada pasar, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Pengeluaran belanja pegawai memberikan pengaruh negatif terhadap kemiskinan. Kenaikan belanja pegawai, cateris paribus, akan menurunkan kemiskinan perdesaan. Namun, pola hubungan tersebut bersifat inelastis untuk seluruh provinsi. Respon kemiskian perdesaan terhadap perubahan jumlah penduduk ternyata bervariasi antarprovinsi. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mengurangi kemiskinan perlu memperhitungkan kebijakan di bidang kependudukan dan kesejahteraan keluarga (lihat Tabel 4.44).

4.3.6 Hasil Estimasi Blok Fiskal

Blok fiskal daerah dibagi dalam dua kelompok, yaitu blok penerimaan daerah dan blok pengeluaran daerah. Penerimaan daerah merupakan penjumlah dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan pendapatan lainnya yang sah. Dalam kajian ini hanya dua variabel digunakan sebagai persamaan perilaku, yaitu penerimaan pajak dan dana alokasi umum. Hasil estimasi persamaan penerimaan pajak ditampilkan pada Tabel 4.45, sedangkan elastisitas penerimaan pajak ditampilkan pada Tabel 4.46. Tabel 4.45. Hasil Pendugaan Persamaan Penerimaan dari Pajak

Parameter Standard Variable Variable Estimate Error

tHitung Prob > |T| Label

INTERCEP -380929364 75818393 -5.024 0.0001 Intercept GDP 10.071588 0.395714 25.452 0.0001 Produk Regional Bruto UPAH 440.303521 104.894531 4.198 0.0001 Upah Rata-Rata

R2 = 0.7907; Prob > F = 0.0001

Pada Tabel 4.45 dapat diketahui bahwa GDP sebagai proxy kemajuan ekonomi dan besarnya tingkat upah berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak dan berbeda nyata dengan nol pada taraf kepercayaan 99 persen. Artinya bahwa semakin besar

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 81

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

output (GDP) nasional, cateris paribus, maka penerimaan pajak akan semakin besar. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat upah bahwa semakin besar upah yang diterima, penerimaan pajak juga semakin besar. Hal ini disebabkan kenaikan upah akan meningkatkan pajak penghasil sebagai komponen dari penerimaan pajak pemerintah.

Respon penerimaan pajak terhadap perubahan GDP secara nasional adalah inelastis, sedangkan respon terhadap perubahan tingkat upah adalah elastis. Berdasarkan provinsi, respon penerimaan pajak ini terhadap perubahan kedua variabel tersebut bervariasi antarprovinsi (Tabel 4.46). Respon penerimaan pajak adalah elastis terhadap perubahan tingkat perekonomian (GDP) hampir di seluruh provinsi, kecuali Provinsi Jambi, DKI Jakarta, Yogyakarta, Gorontalo dan Bali. Sedangkan respon penerimaan pajak terhadap upah bervariasi antarprovinsi. Respon penerimaan pajak terhadap tingkat upah yang paling besar adalah Provinsi Maluku Utara, Maluku dan Gorontalo. Tabel 4.46. Elastisitas Penerimaan Pajak Berdasarkan Region

REGION GDP UPAH Indonesia 1.2305 0.7104 NAD 4.3061 3.4261 Sumatera Utara 1.2735 0.4315 Sumatera Barat 1.5984 1.6834 Riau 1.9905 0.8926 Jambi 0.7790 1.8686 Sumatera Selatan 1.5333 0.8616 Bangka Belitung 1.5085 5.9389 Bengkulu 1.1288 5.2667 Lampung 1.4610 1.1158 Banten 1.0384 0.6191 DKI Jakarta 0.6904 0.0979 Jawa Barat 1.4887 0.1721 Jawa Tengah 1.1503 0.1720 DI Yogya 0.7963 1.1961 Jawa Timur 1.5844 0.1457 Kalimantan Barat 1.4547 1.9623 Kalimantan Tengah 2.1568 6.3264 Kalimantan Selatan 1.1380 1.7080 Kalimantan Timur 2.7199 1.1652 Sulawesi Utara 1.5055 4.0428 Gorontalo 0.9348 13.1749 Sulawesi Tengah 1.5183 3.8589 Sulawesi Selatan 1.4009 1.2160 Sulawesi Tenggara 1.5735 7.0309 Bali 0.6535 0.9871 NTB 1.8675 2.5094 NTT 2.1853 6.7490 Maluku 1.4233 15.1625 Maluku Utara 2.2128 35.4062 Papua 2.3900 5.4069

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 82

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

4.3.7 Hasil Simulasi Kebijakan

Simulasi kebijakan bertujuan untuk menganalisis dampak berbagai alternatif kebijakan dengan cara mengubah nilai variabel atau nilai peubah. Sebelum melakukan simulasi kebijakan, langkah awal yang perlu dilakukan adalah validasi model untuk melihat kesesuaian nilai dugaan dengan nilai aktual masing-masing peubah endogen (Pindyck dan Rubinfield, 1991). Model belanja pengeluaran pemerintah dalam penelitian ini diuji dengan suatu simulasi dasar untuk sampel pengamatan periode 2000-2005. Validasi statisik yang digunakan adalah statistik proporsi bias (UM), proporsi regresi (UR), proporsi distribusi (UD) dan statistik Theil’s inequality coefficient (U) untuk mengevaluasi kemampuan model dalam melakukan simulasi historis dan peramalan (historical and ex-ante simulation). Pada dasarnya, nilai RMSE, RMSPE dan U-Theil’s yang makin kecil, dan nilai nilai R² yang makin besar menunjukkan bahwa pendugaan model semakin baik. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1 dan 0. Nilai U=0 menunjukkan bahwa pendugaan model sempurna, dan nilai U =1 menegaskan bahwa pendugaan model naif. Tabel 4.47 menyajikan hasil validasi model belanja pengeluran pemerintah Indonesia. Dari Tabel 4.47 tersebut dapat diketahui bahwa dari 29 persamaan di dalam model ternyata 15 persamaan memiliki nilai U-Theil’s lebih kecil dari 0.3 (U = 0,3), 10 persamaan memiliki nilai U-Theil’s lebih kecil dari 0.5 (U = 0,5), dan 4 persamaan lagi memiliki nilai U lebih besar 0,50. Meskipun 5 persamaan tesebut memiliki nilai U-Theil lebih besar 0,5, namun pendugaan parameter tidak terjadi bias sistematik. Hal ini terlihat dari nilai UM lebih dari 0,20. Dengan demikian model ini secara keseluruhan cukup baik untuk digunakan sebagai model pendugaan. Oleh karena itu, model struktural yang telah dirumuskan juga dapat digunakan untuk simulasi alternatif kebijakan. Tabel 4.47. Hasil Validasi Model Ekonometrika

Corr Bias Reg Dist Var Covar Variable (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)

U

Y10 0.5160 0.0060 0.0060 0.9880 0.2320 0.7620 0.3620 Y20 0.8330 0.0000 0.0020 0.9980 0.0690 0.9310 0.2621 Y30 0.3510 0.0000 0.6600 0.3400 0.1670 0.8330 0.5536 Y40 0.4370 0.0000 0.0780 0.9220 0.1030 0.8970 0.4762 Y50 0.8950 0.0000 0.0120 0.9880 0.0160 0.9840 0.2020 Y60 0.6140 0.0000 0.4140 0.5860 0.0730 0.9270 0.4017 Y70 0.8200 0.0000 0.1820 0.8180 0.0200 0.9800 0.2503 Y80 0.8840 0.0000 0.0020 0.9980 0.0420 0.9580 0.2348 Y90 0.8340 0.0000 0.2100 0.7900 0.0370 0.9630 0.2483 GDP 0.7110 0.0000 0.3090 0.6910 0.0460 0.9540 0.3229 TKY1 0.5350 0.0060 0.0160 0.9790 0.1760 0.8180 0.4269 TKY2 0.1510 0.0000 0.0030 0.9970 0.6390 0.3610 0.4753 TKY3 0.3540 0.0000 0.6960 0.3040 0.2050 0.7950 0.5732

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 83

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Corr Bias Reg Dist Var Covar Variable (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)

U

TKY4 0.3950 0.0000 0.0780 0.9220 0.1240 0.8760 0.4586 TKY5 0.3460 0.0000 0.0300 0.9700 0.2630 0.7370 0.5017 TKY6 0.5120 0.0000 0.4450 0.5550 0.0600 0.9400 0.4382 TKY7 0.4670 0.0000 0.2200 0.7800 0.0040 0.9960 0.4167 TKY8 0.5760 0.0000 0.0030 0.9970 0.2120 0.7880 0.3958 TKY9 0.4980 0.0000 0.1960 0.8040 0.0060 0.9940 0.3941 UNE1 0.9660 0.0000 0.0000 1.0000 0.0170 0.9830 0.1120 UNE2 0.9430 0.0000 0.1120 0.8880 0.0300 0.9700 0.1446 UNEM 0.9610 0.0000 0.0190 0.9810 0.0000 1.0000 0.1167 POV1 0.9610 0.0000 0.0040 0.9960 0.0060 0.9940 0.1215 POV2 0.8970 0.0000 0.0020 0.9980 0.0350 0.9650 0.1850 RTAX 0.8450 0.0000 0.1550 0.8450 0.0160 0.9840 0.2502 PAD 0.8850 0.0030 0.1310 0.8660 0.0170 0.9800 0.2150

Kajian ini menggunakan simulasi kebijakan historis untuk mengetahui dampak suatu kebijakan fiskal terhadap perubahan kondisi ekonomi wilayah pada periode 2000-2005. Selain itu, kajian ini juga melakukan simulasi kebijakan untuk peramalan dampak kebijakan fiskal terhadap perubahan kondisi ekonomi wilayah pada periode 2006-2010.

1. Simulasi Kebijakan Fiskal Periode 2000-2005

Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif terhadap masing-masing variabel endogen dan dapat juga tidak mempunyai dampak terhadap variabel endogen lainnya. Simulasi yang dilakukan dalam penelitian adalah selain peningkatan belanja modal pemerintah daerah, kenaikan belanja barang dan jasa, dan kenaikan belanja pegawai masing-masing sebesar 5 persen, juga akan dilakukan simulasi kombinasi kebijakan untuk menetapkan pertumbuhan PDRB nasional sebesar 5 persen.

Simulasi Dampak Kenaikan Belanja Modal Sebesar 5 Persen Terhadap Perekonomian Wilayah

Tabel 4.48 menyajikan hasil simulasi kebijakan peningkatan belanja modal sebesar 5 persen dari belanja modal pemeirntah nyata yang terjadi dalam periode 2000-2005. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal sebesar 5 persen secara umum akan berdampak positif terhadap keniakan PDRB di seluruh provinsi, kecuali Provinsi Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku Utara, masing-masing turun sebesar 4,43 persen, 2,12 persen dan 0,49 persen. Peningkatan PDRB terbesar sebagai akibat dari kenaikan belanja modal ini adalah Provinsi Papua dan Kalimantan Barat, sedangkan secara nasional hanya mengalami peningkatan sebesar 2,32 persen.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 84

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Peningkatan PDRB tersebut akan berdampak pada peningkatan jumlah permintaan tenaga kerja di masing-masing sektor dengan peningkatan yang bervariasi. Berdasarkan permintaan tenaga kerja sektoral, peningkatan PDRB umumnya akan berdampak pada peningkatan permintaan tenaga kerja hampir seluruh sektor, kecuali untuk sektor Industri di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

Seiring dengan peningkatan jumlah permintaan tenaga kerja di masing-masing sektor yang selanjutnya berdampak pada pengurangan total pengangguran di seluruh provinsi, total pengangguran secara nasional akan menurun sebesar 0,26 persen. Dengan kata lain, kenaikan belanja modal akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor yang ditandai dengan penurunan tingkat pengangguran baik di perdesaan maupun perkotaan. Peningkatan belanja modal tersebut juga akan menurunkan jumlah penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan. Kenaikan belanja modal ini memberikan dampak positif terhadap keuangan daerah yang ditandai dengan kenaikan pendapatan asli daerah, kecuali untuk provinsi Sumatera Barat, Jambi dan Provinsi Maluku Utara (lihat Tabel 4.48). Simulasi Dampak Kenaikan Belanja Barang dan Jasa Sebesar 5 Persen Terhadap Perekonomian Wilayah

Hasil simulasi dampak kenaikan belanja barang dan jasa sebesar 5 persen terhadap perekonomian wilayah dapat dilihat pada Tabel 6.3. Kenaikan belanja barang dan jasa memberikan dampak positif terhadap kinerja output sektoral sehingga mendorong pertumbuhan PDRB sebesar 1,26 persen. Kenaikan PDRB terbesar terjadi di Provinsi Papua dan Kalimantan Barat, yaitu masing-masing sebesar 15,05 persen dan 10,52.

Kenaikan belanja barang dan jasa ini juga mendorong penyerapan tenaga di masing-masing sektor. Sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar adalah sektor industri. Dilihat berdasarkan wilayah, dampak kenaikan belanja barang dan jasa tersebut bervariasi antarprovinsi. Kenaikan belanja barang dan jasa di beberapa provinsi ternyata memberi dampak negatif khususnya sektor industri di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantar Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Provinsi Papua. Peningkatan PDRB di masing-maisng sektor tersebut akan menyebabkan peningkatan permintaan tenaga kerja di masing-masing sektor.

Dilihat secara nasional, meskipun peningkatan belanja barang dan jasa tidak berdampak pada perubahan jumlah pengangguran di perkotaan, tetapi pengangguran di perdesaan masih mengalami penurunan sebesar 0,27 persen.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 85

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Peningkatan belanja barang dan jasa berdampak pada penurunan jumlah orang miskin baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Skenario kebijakan ini juga akan memberikan dampak yang postif terhadap kinerja fiskal daerah yang digambarkan melalui kenaikan kenaikan penerimaan pajak dan peningkatan pendapatan asli daerah (Tabel 4.49). Simulasi Dampak Kenaikan Belanja Pegawai Sebesar 5 Persen Terhadap Perekonomian Wilayah

Skenario peningkatan belanja pegawai sebesar 5 persen akan menyebabkan kenaikan PDRB secara nasional sebesar 0,78. Hampir seluruh provinsi mengalami peningkatan PDRB kecuali Provinsi Kalimantran Tengah, Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Provinsi yang mengalami peningkatan PDRB paling besar adalah Provinsi Papua dan Provinsi DKI Jakarta, masing-masing sebesar 5,67 persen dan 1,75 persen.

Skenario peningkatan belanja pegawai sebesar 5 juga akan berdampak pada peningkatan permintaan tenaga kerja hampir di seluruh sektor, kecuali sektor industri di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Penurunan permintaan tenaga kerja di provinsi tersebut antara lain disebabkan oleh turunnya output PDRB sektor industri seperti yang terlihat pada Tabel 4.50.

Pada Tabel 4.50. dapat dilihat bahwa selain memberi dampak positif terhadap PDRB, kenaikan belanja pegawai juga dapat menurunkan jumlah pengangguran di perdesaan, meskipun pengangguran di perkotaan meningkat. Namun secara keseluruhan, tingkat pengangguran di setiap provinsi mengalami penurunan dengan besaran yang bervariasi.

Seknario kebijakan ini juga akan memberikan dampak yang postif terhadap penanggulangan kemiskinan. Hal ini terlihat dari penurunan jumlah orang miskin baik di perkotaan maupun perdesaan. Di samping dapat menurunkan jumlah penduduk miskin, peningkatan belanja pegawai tersebut berdampak baik terhadap kinerja fiskal daerah terlihat dari kenaikan penerimaan dari pajak, pendapatan asli daerah, kecuali untuk Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara dan Maluku Utara (lihat Tabel 4.50).

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 86

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.48. Dampak Kenaikan Belanja Modal Sebesar 5 Persen Terhadap Kinerja Perekonomian Wilayah

No Label Nasnal NAD Sumut Smbar Riau Jambi Smsel Babel Bengkl Lampg Banten

1 PDRB Sektor Pertanian 1.28 3.06 1.33 0.63 2.50 0.63 1.33 0.16 0.16 0.37 0.56 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.01 0.01 0.02 0.01 0.00 0.01 0.02 0.00 0.00 0.01 0.01 3 PDRB Sektor Industri 3.25 8.04 2.63 -2.31 -10.64 -2.31 4.83 0.89 0.89 0.41 -1.96 4 PDRB Sektor LGA 1.62 3.87 1.38 1.65 2.49 1.65 1.53 1.33 1.33 0.98 0.89 5 PDRB Sektor Bangunan 1.01 2.65 1.17 0.82 1.74 0.82 1.68 0.25 0.25 0.41 1.54 6 PDRB Sektor Perdagangan 5.73 5.32 6.58 15.94 5.29 15.94 6.24 -6.61 -6.61 7.27 9.57 7 PDRB Sektor Transportasi 0.81 2.89 0.90 0.75 1.52 0.75 1.27 0.20 0.20 0.32 0.66 8 PDRB Sektor L Keuangan 0.94 5.43 3.19 3.50 1.94 3.50 4.74 2.83 2.83 0.47 1.72 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.48 2.55 0.49 0.37 0.95 0.37 0.69 0.17 0.17 0.17 0.30

10 Prod. Dom. Regional Bruto 2.32 3.80 2.56 5.21 3.85 5.21 3.31 0.71 0.71 0.65 4.92 11 Peny. TK di Pertanian 1.92 4.15 2.49 1.24 3.77 1.24 2.01 0.24 0.24 0.48 0.71 12 Peny. TK di Pertambangan 0.04 0.09 0.03 0.02 0.06 0.02 0.04 0.01 0.01 0.02 0.01 13 Peny. TK di Industri 3.69 9.58 2.80 -1.70 -5.94 -1.70 5.75 0.92 0.92 0.37 -1.38 14 Peny. TK di LGA 1.51 3.52 1.27 1.05 2.49 1.05 1.36 0.52 0.52 0.76 0.88 15 Peny. TK di Bangunan 0.46 1.50 0.38 0.21 1.34 0.21 0.54 0.04 0.04 0.10 0.48 16 Peny. TK di Perdagangan 5.17 5.19 5.77 8.92 5.08 8.92 5.61 40.84 40.84 5.04 7.36 17 Peny. TK di Transportasi 0.69 2.83 0.67 0.58 1.31 0.58 1.03 0.12 0.12 0.22 0.57 18 Peny. TK di L Keuagan 0.19 0.91 0.20 0.10 0.42 0.10 0.27 0.03 0.03 0.08 0.12 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.31 1.81 0.26 0.17 0.56 0.17 0.35 0.08 0.08 0.09 0.15 20 Pengangguran di Kota 0.00 -0.03 0.00 0.00 -0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21 Pengangguran di Desa -0.57 -37.80 -0.27 -0.48 -2.27 -0.48 -0.79 -0.29 -0.29 -0.39 -0.17 22 Total Pengangguran -0.26 -5.04 -0.12 -0.32 -0.82 -0.32 -0.37 -0.23 -0.23 -0.19 -0.08 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.12 -1.61 -0.05 -0.15 -0.50 -0.15 -0.12 -0.20 -0.20 -0.04 -0.05 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.08 -0.59 -0.07 -0.06 -0.28 -0.06 -0.08 -0.03 -0.03 -0.03 0.00 25 Penerimaan dari Pajak 2.85 4.04 3.64 -12.89 4.05 -12.89 5.04 2.21 2.21 0.92 11.22 26 Pendapatan Asli Daerah 2.36 3.95 3.19 -97.57 3.66 -97.57 3.39 1.75 1.75 0.84 9.74

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 87

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.48. (Lanjutan)

No Label Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut

1 PDRB Sektor Pertanian 4.34 0.79 0.97 0.23 1.68 0.67 4.21 1.23 3.68 0.37 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.09 0.02 0.03 0.00 0.06 0.00 0.02 0.01 0.00 0.00 3 PDRB Sektor Industri 2.38 1.70 1.02 0.25 2.27 -1.16 -1.04 -11.34 -3.93 -0.44 4 PDRB Sektor LGA 1.57 1.08 1.14 0.76 1.99 0.55 2.27 1.66 2.04 0.78 5 PDRB Sektor Bangunan 0.73 0.58 0.93 0.21 2.02 0.43 2.04 1.19 1.45 0.60 6 PDRB Sektor Perdagangan 4.22 4.41 4.98 10.56 5.04 -11.23 11.94 10.28 5.35 -2.49 7 PDRB Sektor Transportasi 0.68 0.46 0.68 0.21 1.43 0.29 6.36 0.95 1.24 0.35 8 PDRB Sektor L. Keuangan 0.41 0.49 1.00 0.15 2.93 -6.79 4.08 4.63 1.14 2.65 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.34 0.25 0.40 0.09 0.85 0.18 3.33 0.42 0.89 0.50

10 Prod. Dom. Regional Bruto 2.07 1.47 1.45 0.38 2.70 8.26 -4.43 4.54 4.67 -2.12 11 Peny. TK di Pertanian 4.58 0.87 1.10 0.28 1.86 -3.38 -2.87 6.16 7.93 1.54 12 Peny. TK di Pertambangan 0.13 0.04 0.05 0.01 0.10 0.01 0.03 0.02 0.06 0.01 13 Peny. TK di Industri 2.55 1.81 0.97 0.22 2.25 -0.85 -0.86 -5.50 -2.84 -0.36 14 Peny. TK di LGA 1.86 1.16 1.18 0.55 2.08 0.43 1.60 1.24 2.08 0.43 15 Peny. TK di Bangunan 0.81 0.29 0.34 0.06 0.84 0.13 1.17 0.32 1.52 0.17 16 Peny. TK di Perdagangan 4.18 4.02 4.57 5.15 4.86 -2.71 9.59 7.61 5.15 -3.05 17 Peny. TK di Transportasi 0.68 0.40 0.54 0.17 1.18 0.20 -2.71 0.77 1.26 0.30 18 Peny. TK di L. Keuangan 0.23 0.15 0.19 0.03 0.45 0.07 0.16 0.15 0.36 0.05 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.32 0.16 0.23 0.05 0.50 0.09 2.41 0.20 0.67 0.33 20 Pengangguran di Kota 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.01 0.00 -0.01 0.00 21 Pengangguran di Desa 0.00 -0.11 -0.15 -0.32 -0.31 -0.17 -0.75 -0.52 -4.27 -0.14 22 Total Pengangguran -0.98 -0.05 -0.08 -0.11 -0.15 -0.11 -0.54 -0.41 -1.49 -0.05 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.97 0.00 -0.05 -0.06 -0.04 -0.04 -1.24 -0.29 -1.17 -0.02 24 Kemiskinan di Perdesaan 0.00 -0.02 -0.03 -0.04 -0.05 -0.02 -0.14 -0.10 -0.49 0.00 25 Penerimaan dari Pajak 2.08 1.70 1.75 0.50 3.10 -3.33 -4.03 15.09 4.66 -1.16 26 Pendapatan Asli Daerah 1.75 1.49 1.47 0.47 2.40 1.18 -4.34 7.92 3.71 -1.33

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 88

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.48. (Lanjutan)

No Label Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Malut Papua

1 PDRB Sektor Pertanian 0.27 0.08 0.40 0.54 0.37 0.24 0.19 0.29 0.50 5.03 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.00 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.04 3 PDRB Sektor Industri 0.22 0.19 0.85 0.30 0.51 0.37 0.32 -1.32 -0.16 -2.93 4 PDRB Sektor LGA 0.91 0.24 0.92 1.01 0.94 0.88 0.95 0.74 1.03 2.90 5 PDRB Sektor Bangunan 0.44 0.14 0.43 0.68 0.34 0.38 0.27 -11.82 -1.74 2.44 6 PDRB Sektor Perdagangan 6.30 -5.35 2.61 4.45 26.44 9.35 6.11 -11.74 -2.69 5.91 7 PDRB Sektor Transportasi 0.30 0.08 0.32 0.31 0.35 0.31 0.20 0.32 0.31 2.40 8 PDRB Sektor L. Keuangan 0.65 3.17 0.50 2.23 0.26 0.92 0.96 -1.74 -11.93 2.22 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.14 0.08 0.26 0.32 0.14 0.15 0.18 0.39 3.90 1.87

10 Prod. Dom. Regional Bruto 0.41 0.25 0.88 0.59 0.70 0.57 0.48 4.31 -0.49 57.04 11 Peny. TK di Pertanian 0.39 0.11 0.53 1.91 0.53 0.29 0.26 0.54 -1.84 -0.17 12 Peny. TK di Pertambangan 0.01 0.00 0.02 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.09 13 Peny. TK di Industri 0.20 0.17 0.87 0.28 0.48 0.34 0.30 -0.96 -0.13 -2.26 14 Peny. TK di LGA 0.56 0.18 0.78 0.70 0.72 0.63 0.55 0.48 0.50 2.71 15 Peny. TK di Bangunan 0.07 0.02 0.12 0.12 0.15 0.08 0.05 -0.38 -0.41 -2.65 16 Peny. TK di Perdagangan 3.47 4.67 2.12 2.94 10.09 5.14 3.34 35.31 -3.82 5.67 17 Peny. TK di Transportasi 0.19 0.05 0.21 0.20 0.32 0.20 0.12 0.24 0.21 4.87 18 Peny. TK di L Keuangan 0.04 0.02 0.09 0.05 0.05 0.05 0.04 0.05 0.04 0.43 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.06 0.03 0.14 0.16 0.08 0.07 0.09 0.21 0.91 -1.54 20 Pengangguran di Kota 0.00 0.00 0.00 -0.01 0.00 0.00 0.00 -0.02 0.02 -0.01 21 Pengangguran di Desa -2.45 -0.11 -0.35 -0.93 -0.26 -0.35 -0.48 -0.31 -0.16 -2.40 22 Total Pengangguran -0.19 -0.06 -0.23 -0.54 -0.12 -0.16 -0.26 -0.27 -0.17 -1.37 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.07 -0.04 0.23 -0.73 -0.09 -0.05 -0.04 0.79 0.19 1.83 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.03 -0.01 -0.18 -0.05 -0.05 -0.03 -0.02 -0.04 -0.04 -0.43 25 Penerimaan dari Pajak 0.55 0.46 1.05 0.70 0.88 0.92 0.65 -9.51 -0.41 18.48 26 Pendapatan Asli Daerah 0.55 0.42 0.91 0.66 0.72 0.83 0.58 26.57 -0.41 15.00

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 89

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.49. Dampak Kenaikan Belanja Barang dan Jasa Sebesar 5 Persen Terhadap Kinerja Perekonomian Wiilayah Indonesia

No Label Nasnal NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Babel Bengkl Lampg Banten

1 PDRB Sektor Pertanian 0.27 0.11 0.25 0.08 0.30 0.08 0.17 0.02 0.02 0.11 0.28 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.11 0.01 0.20 0.06 0.03 0.06 0.16 0.01 0.01 0.12 0.33 3 PDRB Sektor Industri 3.37 1.39 2.42 -1.45 -6.43 -1.45 3.11 0.44 0.44 0.60 -4.88 4 PDRB Sektor LGA 1.98 0.79 1.50 1.22 1.77 1.22 1.16 0.78 0.78 1.68 2.60 5 PDRB Sektor Bangunan 0.30 0.13 0.31 0.15 0.30 0.15 0.31 0.04 0.04 0.17 1.10 6 PDRB Sektor Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7 PDRB Sektor Transportasi 1.26 0.74 1.23 0.70 1.37 0.70 1.22 0.15 0.15 0.70 2.45 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 0.51 0.49 1.52 1.14 0.61 1.14 1.58 0.73 0.73 0.36 2.23 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.55 0.49 0.50 0.26 0.64 0.26 0.50 0.10 0.10 0.28 0.84

10 Prod. Dom. Regional Bruto 1.12 0.30 1.09 1.51 1.08 1.51 0.99 0.16 0.16 0.44 5.68 11 Peny. TK di Pertanian 0.40 0.14 0.46 0.16 0.46 0.16 0.26 0.02 0.02 0.14 0.36 12 Peny. TK di Pertambangan 0.43 0.18 0.36 0.11 0.41 0.11 0.30 0.02 0.02 0.23 0.58 13 Peny. TK di Industri 3.84 1.66 2.58 -1.07 -3.59 -1.07 3.70 0.46 0.46 0.55 -3.46 14 Peny. TK di LGA 1.30 0.50 0.98 0.56 1.25 0.56 0.73 0.23 0.23 0.93 1.83 15 Peny. TK di Bangunan 0.14 0.07 0.10 0.04 0.23 0.04 0.10 0.01 0.01 0.04 0.35 16 Peny. TK di Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 17 Peny. TK di Transportasi 1.06 0.73 0.91 0.55 1.18 0.55 0.99 0.09 0.09 0.48 2.13 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.89 0.72 0.83 0.29 1.16 0.29 0.79 0.07 0.07 0.50 1.38 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.36 0.35 0.27 0.12 0.38 0.12 0.26 0.04 0.04 0.15 0.42 20 Pengangguran di Kota 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21 Pengangguran di Desa -0.27 -3.03 -0.11 -0.14 -0.64 -0.14 -0.23 -0.07 -0.07 -0.26 -0.20 22 Total Pengangguran -0.12 -0.40 -0.05 -0.09 -0.23 -0.09 -0.11 -0.05 -0.05 -0.13 -0.10 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.06 -0.13 -0.02 -0.04 -0.14 -0.04 -0.04 -0.05 -0.05 -0.03 -0.06 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.04 -0.05 -0.07 -0.02 -0.08 -0.02 -0.03 -0.01 -0.01 -0.02 0.00 25 Penerimaan dari Pajak 1.37 0.32 1.55 -3.75 1.13 -3.75 1.50 0.51 0.51 0.62 12.94 26 Pendapatan Asli Daerah 1.13 0.32 1.36 -28.38 1.02 -28.38 1.01 0.40 0.40 0.57 11.24

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 90

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.49. (Lanjutan)

No Label Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut

1 PDRB Sektor Pertanian 1.43 0.33 0.28 0.09 0.27 0.37 0.22 0.15 0.62 0.05 2 PDRB Sektor Pertambangan 1.64 0.54 0.45 0.10 0.55 0.13 0.05 0.08 0.03 0.03 3 PDRB Sektor Industri 3.91 3.55 1.48 0.49 1.84 -3.19 -0.26 -6.81 -3.30 -0.31 4 PDRB Sektor LGA 3.04 2.65 1.94 1.79 1.89 1.79 0.68 1.17 2.02 0.65 5 PDRB Sektor Bangunan 0.34 0.35 0.39 0.12 0.47 0.34 0.15 0.21 0.35 0.12 6 PDRB Sektor Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7 PDRB Sektor Transportasi 1.67 1.44 1.47 0.63 1.73 1.17 2.41 0.85 1.55 0.36 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 0.35 0.53 0.75 0.15 1.23 -9.69 0.54 1.44 0.50 0.97 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.63 0.59 0.65 0.19 0.77 0.56 0.95 0.28 0.84 0.40

10 Prod. Dom. Regional Bruto 1.58 1.42 0.97 0.35 1.01 10.52 -0.52 1.26 1.81 -0.69 11 Peny. TK di Pertanian 1.51 0.36 0.32 0.11 0.30 -1.87 -0.15 0.74 1.34 0.22 12 Peny. TK di Pertambangan 2.44 0.92 0.78 0.18 0.93 0.24 0.08 0.14 0.56 0.05 13 Peny. TK di Industri 4.20 3.77 1.41 0.45 1.83 -2.34 -0.22 -3.30 -2.38 -0.25 14 Peny. TK di LGA 2.54 2.03 1.44 0.92 1.40 1.00 0.33 0.64 1.45 0.24 15 Peny. TK di Bangunan 0.38 0.17 0.14 0.04 0.19 0.10 0.09 0.06 0.37 0.03 16 Peny. TK di Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -2.71 0.00 0.00 0.00 0.00 17 Peny. TK di Transportasi 1.66 1.23 1.17 0.51 1.42 0.83 -1.03 0.68 1.58 0.31 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 1.75 1.49 1.27 0.32 1.66 0.84 0.19 0.39 1.39 0.16 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.59 0.38 0.38 0.11 0.45 0.27 0.69 0.14 0.63 0.26 20 Pengangguran di Kota 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.01 0.00 21 Pengangguran di Desa 0.00 -0.10 -0.10 -0.29 -0.12 -0.21 -0.09 -0.14 -1.66 -0.05 22 Total Pengangguran -0.74 -0.05 -0.05 -0.10 -0.06 -0.14 -0.06 -0.11 -0.58 -0.02 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.73 0.00 -0.05 -0.05 0.00 -0.06 -0.15 -0.08 -0.45 -0.01 24 Kemiskinan di Perdesaan 0.00 -0.02 -0.03 -0.03 0.00 -0.03 -0.02 -0.03 -0.19 0.00 25 Penerimaan dari Pajak 1.58 1.64 1.18 0.46 1.16 -4.24 -0.47 4.19 1.81 -0.38 26 Pendapatan Asli Daerah 1.33 1.44 0.99 0.44 0.90 1.51 -0.51 2.20 1.44 -0.44

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 91

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.49. (Lanjutan)

No Label Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Malut Papua

1 PDRB Sektor Pertanian 0.03 0.04 0.09 0.15 0.10 0.06 0.06 0.11 0.11 0.58 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.03 0.03 0.12 0.08 0.09 0.08 0.06 0.08 0.04 0.29 3 PDRB Sektor Industri 0.13 0.47 0.97 0.41 0.68 0.49 0.51 -2.43 -0.17 -1.67 4 PDRB Sektor LGA 0.61 0.73 1.23 1.60 1.48 1.37 1.75 1.61 1.34 1.94 5 PDRB Sektor Bangunan 0.07 0.10 0.14 0.26 0.13 0.15 0.12 -6.24 -0.55 0.40 6 PDRB Sektor Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7 PDRB Sektor Transportasi 0.26 0.32 0.55 0.63 0.70 0.62 0.45 0.87 0.51 2.04 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 0.19 4.18 0.29 1.56 0.18 0.63 0.78 -1.66 -6.85 0.66 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.09 0.22 0.33 0.49 0.21 0.22 0.32 0.80 4.84 1.25

10 Prod. Dom. Regional Bruto 0.11 0.29 0.46 0.37 0.43 0.35 0.34 3.67 -0.25 15.05 11 Peny. TK di Pertanian 0.04 0.06 0.12 0.52 0.14 0.08 0.08 0.20 -0.41 -0.35 12 Peny. TK di Pertambangan 0.05 0.06 0.22 0.15 0.17 0.15 0.12 0.14 0.07 0.53 13 Peny. TK di Industri 0.11 0.45 0.99 0.37 0.64 0.45 0.47 -1.77 -0.15 -1.29 14 Peny. TK di LGA 0.26 0.36 0.74 0.77 0.79 0.70 0.72 0.75 0.45 1.28 15 Peny. TK di Bangunan 0.01 0.02 0.04 0.05 0.06 0.03 0.02 -0.20 -0.13 -0.43 16 Peny. TK di Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 17 Peny. TK di Transportasi 0.16 0.20 0.35 0.39 0.65 0.39 0.28 0.64 0.34 4.13 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.11 0.18 0.45 0.33 0.32 0.33 0.27 0.47 0.18 1.11 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.04 0.10 0.18 0.24 0.11 0.10 0.16 0.43 1.13 -0.98 20 Pengangguran di Kota 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.02 0.02 0.00 21 Pengangguran di Desa -0.63 -0.13 -0.18 -0.58 -0.16 -0.22 -0.35 -0.26 -0.08 -0.63 22 Total Pengangguran -0.05 -0.07 -0.12 -0.34 -0.08 -0.10 -0.19 -0.23 -0.09 -0.36 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.02 -0.05 0.12 -0.46 -0.06 -0.03 -0.03 0.67 0.10 0.48 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.01 -0.01 -0.09 -0.03 -0.03 -0.02 -0.01 -0.04 -0.02 -0.11 25 Penerimaan dari Pajak 0.15 0.55 0.55 0.44 0.55 0.56 0.47 -8.09 -0.21 4.87 26 Pendapatan Asli Daerah 0.14 0.50 0.48 0.41 0.45 0.51 0.42 22.59 -0.21 3.96

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 92

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.50. Dampak Kenaikan Belanja Pegawai Sebesar 5 Persen Terhadap Perekonomian Wilayah Indonesia

No Label Nasnal NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Babel Bengkl Lampg Banten

1 PDRB Sektor Pertanian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.01 3 PDRB Sektor Industri 0.43 0.02 0.04 -0.09 -0.41 -0.09 0.04 0.12 0.12 0.13 -0.09 4 PDRB Sektor LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 PDRB Sektor Bangunan 1.90 0.10 0.26 0.46 0.95 0.46 0.20 0.48 0.48 1.89 0.96 6 PDRB Sektor Perdagangan 0.36 0.01 0.05 0.29 0.10 0.29 0.02 -0.41 -0.41 1.11 0.20 7 PDRB Sektor Transportasi 1.06 0.07 0.14 0.29 0.58 0.29 0.10 0.26 0.26 1.04 0.29 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 3.79 0.42 1.52 4.15 2.27 4.15 1.18 11.46 11.46 4.71 2.30 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 1.37 0.14 0.17 0.31 0.79 0.31 0.12 0.50 0.50 1.21 0.29

10 Prod. Dom. Regional Bruto 0.78 0.02 0.10 0.51 0.37 0.51 0.07 0.24 0.24 0.53 0.54 11 Peny. TK di Pertanian 0.24 0.01 0.04 0.05 0.14 0.05 0.02 0.03 0.03 0.15 0.03 12 Peny. TK di Pertambangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13 Peny. TK di Industri 0.48 0.02 0.04 -0.07 -0.23 -0.07 0.05 0.12 0.12 0.12 -0.06 14 Peny. TK di LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15 Peny. TK di Bangunan 0.87 0.05 0.08 0.11 0.73 0.11 0.06 0.08 0.08 0.47 0.30 16 Peny. TK di Perdagangan 0.32 0.01 0.04 0.16 0.09 0.16 0.02 2.56 2.56 0.77 0.15 17 Peny. TK di Transportasi 0.90 0.07 0.10 0.23 0.50 0.23 0.08 0.16 0.16 0.72 0.25 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.76 0.07 0.09 0.11 0.49 0.11 0.07 0.13 0.13 0.74 0.16 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.88 0.10 0.09 0.14 0.47 0.14 0.06 0.23 0.23 0.65 0.14 20 Pengangguran di Kota 0.16 0.04 0.01 0.10 0.13 0.10 0.02 0.38 0.38 0.32 0.02 21 Pengangguran di Desa -0.47 -0.61 -0.03 -0.12 -0.55 -0.12 -0.04 -0.24 -0.24 -0.79 -0.05 22 Total Pengangguran -0.12 -0.05 -0.01 -0.05 -0.11 -0.05 -0.01 -0.11 -0.11 -0.22 -0.01 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.04 -0.01 0.00 -0.02 -0.05 -0.02 0.00 -0.07 -0.07 -0.03 -0.01 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.31 -0.04 -0.07 -0.07 -0.29 -0.07 -0.02 -0.10 -0.10 -0.26 0.00 25 Penerimaan dari Pajak 0.95 0.03 0.14 -1.26 0.39 -1.26 0.10 0.74 0.74 0.75 1.24 26 Pendapatan Asli Daerah 0.79 0.03 0.13 -9.57 0.36 -9.57 0.07 0.59 0.59 0.69 1.08

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 93

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.50. (Lanjutan)

No Label Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut 1 PDRB Sektor Pertanian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.29 0.06 0.03 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 3 PDRB Sektor Industri 0.79 0.45 0.10 0.25 0.02 -0.10 -0.02 -0.34 -0.40 -0.07 4 PDRB Sektor LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 PDRB Sektor Bangunan 3.47 2.23 1.36 3.13 0.24 0.51 0.45 0.52 2.13 1.48 6 PDRB Sektor Perdagangan 0.66 0.56 0.24 5.17 0.02 -0.44 0.09 0.15 0.26 -0.20 7 PDRB Sektor Transportasi 2.26 1.23 0.69 2.19 0.12 0.23 0.97 0.29 1.27 0.59 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 4.21 4.02 3.11 4.73 0.74 -17.12 1.91 4.31 3.59 13.94 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 2.50 1.47 0.89 1.94 0.15 0.32 1.11 0.27 2.00 1.88

10 Prod. Dom. Regional Bruto 1.75 1.00 0.37 0.99 0.06 1.72 -0.17 0.35 1.22 -0.93 11 Peny. TK di Pertanian 1.46 0.22 0.11 0.28 0.01 -0.27 -0.04 0.18 0.78 0.25 12 Peny. TK di Pertambangan 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13 Peny. TK di Industri 0.85 0.48 0.10 0.23 0.02 -0.07 -0.01 -0.17 -0.29 -0.06 14 Peny. TK di LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15 Peny. TK di Bangunan 3.87 1.11 0.50 0.92 0.10 0.16 0.26 0.14 2.24 0.42 16 Peny. TK di Perdagangan 0.66 0.51 0.22 2.52 0.02 -1.35 0.07 0.11 0.25 -0.24 17 Peny. TK di Transportasi 2.26 1.05 0.55 1.79 0.10 0.16 -0.42 0.23 1.29 0.51 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 2.37 1.27 0.60 1.10 0.11 0.17 0.07 0.14 1.14 0.25 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 2.33 0.95 0.52 1.13 0.09 0.16 0.80 0.14 1.51 1.23 20 Pengangguran di Kota 0.80 0.06 0.04 0.45 0.01 0.07 0.08 0.16 0.62 0.04 21 Pengangguran di Desa 0.00 -0.18 -0.10 -2.10 -0.02 -0.09 -0.07 -0.10 -2.77 -0.15 22 Total Pengangguran -1.18 -0.05 -0.03 -0.41 0.00 -0.03 -0.03 -0.05 -0.56 -0.03 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.82 0.00 -0.05 -0.15 0.00 -0.01 -0.05 -0.02 -0.30 -0.01 24 Kemiskinan di Perdesaan 0.00 -0.16 -0.08 -1.04 0.00 -0.05 -0.06 -0.08 -1.41 -0.09 25 Penerimaan dari Pajak 1.76 1.15 0.45 1.32 0.06 -0.70 -0.15 1.16 1.21 -0.51 26 Pendapatan Asli Daerah 1.48 1.01 0.38 1.25 0.05 0.25 -0.16 0.61 0.97 -0.58

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 94

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.50. (Lanjutan)

No Label Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Malut Papua

1 PDRB Sektor Pertanian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.01 0.00 0.02 0.00 0.03 0.01 0.00 0.00 0.00 0.02 3 PDRB Sektor Industri 0.05 0.03 0.14 0.01 0.29 0.04 0.04 -0.02 -0.01 -0.11 4 PDRB Sektor LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 PDRB Sektor Bangunan 1.38 0.32 1.04 0.17 2.86 0.65 0.44 -2.72 -1.22 1.37 6 PDRB Sektor Perdagangan 0.65 -0.40 0.21 0.04 7.26 0.53 0.33 -0.09 -0.06 0.11 7 PDRB Sektor Transportasi 0.66 0.14 0.54 0.06 2.02 0.37 0.22 0.05 0.15 0.94 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 4.34 15.58 2.57 1.21 4.63 3.36 3.34 -0.86 -17.92 2.67 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.65 0.26 0.97 0.13 1.74 0.38 0.44 0.14 4.17 0.22

10 Prod. Dom. Regional Bruto 0.23 0.10 0.38 0.03 1.03 0.17 0.14 0.18 -0.06 5.67 11 Peny. TK di Pertanian 0.08 0.02 0.08 0.03 0.30 0.03 0.03 0.01 -0.09 -0.52 12 Peny. TK di Pertambangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13 Peny. TK di Industri 0.04 0.03 0.15 0.00 0.28 0.04 0.03 -0.02 -0.01 -0.09 14 Peny. TK di LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15 Peny. TK di Bangunan 0.23 0.05 0.28 0.03 1.28 0.13 0.08 -0.09 -0.29 -1.49 16 Peny. TK di Perdagangan 0.36 0.35 0.17 0.03 2.77 0.29 0.18 0.26 -0.09 0.10 17 Peny. TK di Transportasi 0.42 0.08 0.35 0.03 1.87 0.24 0.13 0.04 0.10 1.89 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.30 0.08 0.44 0.03 0.92 0.20 0.13 0.02 0.06 0.51 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.30 0.12 0.53 0.06 0.96 0.18 0.22 0.07 0.98 -1.32 20 Pengangguran di Kota 0.12 0.06 0.31 0.07 0.36 0.09 0.17 0.08 -0.28 0.33 21 Pengangguran di Desa -3.39 -0.11 -0.37 -0.10 -0.94 -0.26 -0.34 -0.03 -0.05 -0.59 22 Total Pengangguran -0.15 -0.03 -0.14 -0.04 -0.26 -0.07 -0.11 -0.01 -0.03 -0.19 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.04 -0.02 0.10 -0.03 -0.13 -0.01 -0.01 0.03 0.02 0.18 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.21 -0.05 -0.85 -0.03 -0.74 -0.10 -0.07 -0.02 -0.05 -0.47 25 Penerimaan dari Pajak 0.31 0.19 0.45 0.03 1.29 0.28 0.18 -0.39 -0.05 1.84 26 Pendapatan Asli Daerah 0.30 0.17 0.39 0.03 1.06 0.25 0.17 1.08 -0.05 1.49

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 95

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

2. Simulasi Peramalan Kebijakan Fiskal Periode 2006-2010 Sebelum melakukan peramalan (forecasting) terhadap peubah endogen, maka terlebih dahulu dilakukan peramalan terhadap peubah eksogen. Untuk memperoleh nilai peubah eksogen, kajian ini menggunakan metode model kecenderungan linier dan konstan trend linier. Selanjutnya setelah mendapatkan nilai peubah eksogen, dilakukan peramalan terhadap perkembangan peubah-peubah endogen dengan menggunakan model pengeluaran pemerintah yang telah dibangun sebelumnya. Tahap berikutnya adalah melakukan simulasi peramalan kebijakan periode 2006-2010 dengan skenario sebagai berikut:

1. Simulasi kebijakan peningkatan belanja modal sebesar 5 persen terhadap perekonomian wilayah;

2. Simulasi kebijakan peningkatan belanja barang dan jasa sebesar 5 persen terhadap perekonomian wilayah;

3. Simulasi kebijakan peningkatan belanja pegawai sebesar 5 persen terhadap perekonomian wilayah;

4. Simulasi kebijakan penetapan target pertumbuhan PDRB nasional sebesar 5 persen.

Simulasi Kebijakan Peningkatan Belanja Modal Sebesar 5 Persen

Simulasi peramalan kebijakan peningkatan belanja modal sebesar 5 persen secara nasional berdampak terhadap pertumbuhan PDRB sebesar 2,85 persen, dan hampir seluruh output sektoral mengalami peningkatan. Peningkatan output sektoral tertinggi di sektor indusstri, yaitu sebesar 6,38 persen. Peningkatan output sektoral ini selanjutnya mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja di setiap sektor. Permintaan tenaga kerja juga yang terbesar terjadi di sektor industri. Peningkatan jumlah permintaan tenaga kerja tersebut selanjutnya berdampak pada pengurangan total pengangguran selama periode 2006-2010 sebesar 0,33 persen. Peningkatan belanja modal tersebut berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan, masing-masing sebesar 0,22 persen dan 0,15 persen. Kenaikan belanja modal juga memberikan dampak positif terhadap terhadap fiskal daerah yang ditandai dengan kenaikan penerimaan pajak dan pendapatan asli daerah (lihat Tabel 4.51). Jika dilihat berdasarkan provinsi, Tabel 4.51. menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan belanja modal sebesar 5 persen secara umum akan berdampak pada peningkatan PDRB hampir di seluruh provinsi, kecuali Provinsi Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Maluku dan Maluku Utara.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 96

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Peningkatan PDRB tersebut juga akan berdampak pada peningkatan permintaan tenaga kerja hampir di seluruh sektor, kecuali sektor industri di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, Maluku Utara, dan provinsi Papua. Peningkatan permintaan tenaga kerja di masing-masing sektor selanjutnya berdampak pada pengurangan total pengangguran di seluruh provinsi. Peningkatan belanja modal secara langsung akan menurunkan jumlah penduduk miskin, baik di perkotaan maupun perdesaan, hampir di seluruh provinsi. Selain itu, peningkatan belanaj modal juga memberikan dampak positif terhadap kinerja fiskal daerah yang ditandai dengan kenaikan penerimaan pajak dan pendapatan asli daerah, kecuali Provinsi Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, Maluku, dan Maluku Utara (lihat Tabel 4.51). Simulasi Kebijakan Peningkatan Belanja Barang dan Jasa Sebesar 5 Persen

Simulasi kebijakan dengan menaikkan belanja barang dan jasa sebesar 5 persen memberi dampak positif terhadap kinerja output sektoral sehingga mendorong pertumbuhan PDRB sebesar 2,13 persen. Output sektoral yang mengalami peningkatan paling besar adalah sektor industri. Permintaan tenaga kerja yang terbesar juga terjadi pada sektor industri. Dampak kebijakan tersebut tidak berpengaruh terhadap pengangguran di perkotaan, tetapi di perdesaan menurun sebesar 0,56 persen.

Dampak kenaikkan belanja modal ini akan menurunkan jumlah orang miskin baik di perkotaan maupun perdesaan masing-masing sebesar 0,17 persen dan 0,12 persen. Skenario kebijakan ini juga akan memberi dampak yang positif terhadap kinerja fiskal daerah yang digambarkan melalui kenaikan kenaikan penerimaan pajak dan peningkatan pendapatan asli daerah (Table 4.52). Berdasarkan provinsi, hasil simulasi kebijakan peningkatan belanja barang dan jasa sebesar 5 persen akan memberi dampak positif terhadap kinerja output sektoral, kecuali untuk beberapa provinsi khususnya di sektor industri dan lembaga keuangan. Permintaan tenaga kerja di sektor tersebut juga akan mengalami penurunan. Simulasi kebijakan tersebut juga akan berdampak pada penurunan total pengurangan di seluruh provinsi.

Simulasi kebijakan peningkatan belanja barang dan jasa akan berdampak pada pengurangan jumlah orang miskin perkotaan dan perdesaan di seluruh provinsi. Selain itu, kebijakan tersebut juga akan memperbaiki kinerja fiskal daerah berupa kenaikan

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 97

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

penerimaan pajak dan peningkatan pendapatan asli daerah, kecuali Provinsi Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, Maluku dan Maluku Utara (Table 4.52).

Simulasi Kebijakan Peningkatan Belanja Pegawai Sebesar 5 Persen Simulasi kebijakan peningkatan belanja pegawai sebesar 5 persen pada periode 2006-2010 akan menyebabkan kenaikan PDRB secara nasional sebesar 1,62 persen. Sektor yang paling mendapat manfaat dari kebijakan ini adalah sektor keuangan, dan bangunan. PDRB seluruh provinsi meningkat kecuali Provinsi Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Maluku dan Maluku Utara. Peningkatan belanja pegawai sebesar 5 juga akan berdampak pada peningkatan permintaan tenaga kerja di seluruh sektor sehingga total pengangguran berkurang sebesar 0,28 persen. Pengurangan total pengangguran selanjutnya akan dapat mengurangi jumlah orang miskin di perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 0,17 persen dan 0,84 persen. Selain itu, peningkatan belanja pegawai tersebut berdampak baik terhadap kinerja fiskal daerah, terlihat dari kenaikan penerimaan pajak dan pendapatan asli daerah. Pada Tabel 4.53. dapat dilihat hasil simulasi kenaikan belanja pegawai periode 2006-2007. Selain memberi dampak positif terhadap PDRB, total pengangguran dan tingkat kemiskinan, kebijakan tersebut juga akan memberi dampak postif terhadap kinerja fiskal daerah terlihat dari kenaikan penerimaan dari pajak, pendapatan asli daerah, kecuali Provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Maluku dan Maluku Utara.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 98

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.51. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Belanja Modal Sebesar 5 Persen Terhadap Perekonomian Wilayah

No Label Nasional NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Babel Bengkulu Lampung Banten

1 PDRB Sektor Pertanian 2.22 4.02 1.95 0.86 2.56 1.89 2.68 3.45 0.36 0.37 1.11 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.02 0.02 0.02 0.01 0.01 0.02 0.05 0.02 0.00 0.00 0.02 3 PDRB Sektor Industri 6.38 8.87 -5.19 -0.35 7.00 -20.97 19.69 -0.72 -0.14 0.61 -4.27 4 PDRB Sektor LGA 1.53 4.40 1.20 1.14 1.74 5.54 2.91 6.80 -1.12 0.58 0.70 5 PDRB Sektor Bangunan 0.97 3.93 1.62 2.10 1.46 1.74 2.74 -15.85 0.32 0.13 1.89 6 PDRB Sektor Perdagangan 5.49 5.13 7.03 50.89 5.13 11.90 5.69 -9.71 -2.79 -7.80 6.05 7 PDRB Sektor Transportasi 0.79 4.17 1.36 0.99 1.07 1.25 2.14 2.47 0.36 0.14 0.97 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 0.60 4.51 2.55 -6.36 0.94 2.15 3.38 7.39 0.46 0.08 1.51 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.52 4.68 0.56 0.89 0.81 1.19 1.33 0.97 0.20 0.07 0.36

10 Prod. Dom. Regional Bruto 2.85 5.11 7.08 -1.24 2.87 6.47 5.45 -2.17 -0.51 0.52 4.78 11 Peny. TK di Pertanian 3.33 4.43 4.76 1.83 3.18 7.14 4.04 -6.85 1.37 0.69 1.44 12 Peny. TK di Pertambangan 0.06 0.30 0.04 0.02 0.07 0.04 0.09 0.04 0.01 0.01 0.04 13 Peny. TK di Industri 11.36 10.51 -3.33 -0.30 12.19 -8.15 89.78 -0.61 -0.12 0.64 -2.40 14 Peny. TK di LGA 1.70 4.37 1.30 1.03 2.06 3.77 2.77 3.27 -8.58 0.50 0.88 15 Peny. TK di Bangunan 1.07 3.29 1.59 -0.46 9.19 1.28 1.48 -0.46 0.08 0.06 1.14 16 Peny. TK di Perdagangan 5.26 5.10 6.46 24.07 5.01 10.48 5.50 -8.25 -3.60 -13.35 5.58 17 Peny. TK di Transportasi 0.79 4.84 1.61 1.43 1.05 1.14 2.01 2.82 0.33 0.13 1.79 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.22 1.56 0.27 0.51 0.33 0.21 0.46 0.27 0.03 0.02 0.17 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.43 5.79 0.32 0.71 0.66 0.77 0.78 0.48 0.11 0.05 0.20 20 Pengangguran di Kota 0.00 -0.03 0.00 0.00 -0.01 0.00 -0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 21 Pengangguran di Desa -0.75 40.53 -0.24 -0.18 -1.97 -0.62 -1.29 -0.44 -0.11 -0.15 -0.33 22 Total Pengangguran -0.33 -7.66 -0.12 -0.11 -0.72 -0.35 -0.63 -0.30 -0.08 -0.07 -0.15 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.22 -3.15 -0.07 -0.11 -0.67 -0.51 -0.34 -1.26 -0.26 -0.02 -0.12 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.15 -1.32 -0.06 -0.05 -0.40 -0.14 -0.22 -0.23 -0.03 -0.02 -0.08 25 Penerimaan dari Pajak 2.30 4.82 4.57 -2.04 2.37 3.03 4.74 -4.14 -0.70 0.55 2.99 26 Pendapatan Asli Daerah 1.85 4.70 3.63 -3.35 2.19 2.51 2.75 -37.02 -0.86 0.47 2.88

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 99

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.51. (Lanjutan)

No Label Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut

1 PDRB Sektor Pertanian 15.14 0.57 0.51 0.45 0.90 0.90 5.47 -19.81 4.96 -6.34 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.11 0.02 0.01 0.01 0.03 0.01 0.04 0.01 0.01 0.00 3 PDRB Sektor Industri 1.71 0.70 0.47 0.72 0.97 -0.53 -2.04 -1.03 1.93 -0.31 4 PDRB Sektor LGA 1.31 0.38 0.36 1.18 0.59 0.71 5.97 1.55 2.61 1.11 5 PDRB Sektor Bangunan 0.63 0.19 0.26 0.26 1.06 0.85 24.26 1.77 1.30 0.51 6 PDRB Sektor Perdagangan 4.19 3.30 4.70 6.17 5.42 16.64 7.79 31.70 5.24 -0.61 7 PDRB Sektor Transportasi 0.57 0.16 0.20 0.22 0.49 0.51 1.14 1.30 1.37 0.32 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 0.32 0.11 0.17 0.15 1.03 -0.57 6.82 1.56 0.76 0.34 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.34 0.09 0.13 0.15 0.31 0.28 -1.88 0.46 0.85 -1.74

10 Prod. Dom. Regional Bruto 1.79 0.62 0.62 0.73 1.36 -2.48 -13.22 -4.83 2.24 -1.17 11 Peny. TK di Pertanian 15.22 0.55 0.55 0.51 1.00 5.37 -15.29 -1.15 6.96 -0.36 12 Peny. TK di Pertambangan 0.14 0.02 0.02 0.01 0.04 0.01 0.09 0.02 0.11 0.01 13 Peny. TK di Industri 1.78 0.76 0.47 0.71 1.00 -0.43 -1.65 -0.83 1.86 -0.26 14 Peny. TK di LGA 1.64 0.49 0.44 1.13 0.74 0.69 4.23 1.32 2.80 0.63 15 Peny. TK di Bangunan 0.80 0.16 0.15 0.13 0.63 0.35 -0.50 6.03 3.78 -6.10 16 Peny. TK di Perdagangan 4.18 3.09 4.16 5.03 5.10 9.54 7.53 19.07 5.20 7.57 17 Peny. TK di Transportasi 0.59 0.15 0.18 0.18 0.46 0.46 0.72 2.03 1.59 0.35 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.20 0.05 0.06 0.05 0.14 -0.14 0.62 0.11 0.50 0.04 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.35 0.07 0.09 0.12 0.19 0.14 -0.64 0.25 0.82 -0.19 20 Pengangguran di Kota -0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.01 0.00 -0.01 0.00 21 Pengangguran di Desa 0.00 -0.08 -0.06 -0.52 -0.14 -0.20 -1.24 -0.26 7.74 -0.08 22 Total Pengangguran -3.62 -0.04 -0.03 -0.17 -0.07 -0.12 -0.76 -0.18 -2.90 -0.03 23 Kemiskinan di Perkotaan -12.29 -0.04 -0.05 -0.24 -0.04 -0.11 1.19 -0.53 474.12 -0.02 24 Kemiskinan di Perdesaan 0.00 0.00 -0.03 -0.10 -0.02 -0.04 -0.34 -0.10 -10.21 0.00 25 Penerimaan dari Pajak 1.72 0.60 0.64 0.67 1.36 -23.26 13.01 9.47 1.90 2.38 26 Pendapatan Asli Daerah 1.52 0.54 0.55 0.63 0.79 0.33 10.67 5.47 1.67 1.56

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 100

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.51. (Lanjutan)

No Label Gorontl Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Malut Papua

1 PDRB Sektor Pertanian 0.38 0.13 0.30 1.16 0.22 0.06 0.27 1.31 -11.75 3.90 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.04 3 PDRB Sektor Industri 0.58 0.94 -0.46 1.13 -5.87 17.92 0.48 -0.11 -0.06 -6.13 4 PDRB Sektor LGA 4.75 0.26 0.48 1.16 0.47 0.44 -2.95 1.08 2.04 1.63 5 PDRB Sektor Bangunan 0.56 0.62 0.25 1.08 0.13 0.10 0.43 0.99 -0.54 1.98 6 PDRB Sektor Perdagangan 13.27 -1.11 2.38 5.34 3.63 -1.20 -18.11 -12.82 -4.54 6.28 7 PDRB Sektor Transportasi 0.27 -0.90 0.16 0.53 0.17 0.06 0.28 0.28 -3.83 2.24 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 0.23 -0.55 0.16 1.63 0.08 0.14 0.78 -0.68 3.47 0.98 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.21 1.28 0.18 -16.12 0.05 0.04 0.43 -0.32 0.42 3.54

10 Prod. Dom. Regional Bruto 0.76 1.10 2.81 1.67 0.58 0.35 0.75 -0.34 -0.17 8.98 11 Peny. TK di Pertanian 0.51 0.22 0.49 3.32 0.29 0.07 0.36 -0.77 -0.37 11.04 12 Peny. TK di Pertambangan 0.01 0.00 0.01 0.02 0.01 0.00 0.01 0.01 0.01 0.08 13 Peny. TK di Industri 0.54 1.06 -0.35 1.14 -2.00 4.23 0.46 -0.10 -0.05 -3.67 14 Peny. TK di LGA 1.64 0.22 0.43 1.15 0.47 0.22 14.94 0.78 0.77 1.86 15 Peny. TK di Bangunan 0.93 0.28 0.20 0.24 0.07 0.03 0.15 0.22 -0.06 -0.64 16 Peny. TK di Perdagangan 7.23 -1.29 1.80 4.35 2.55 -1.72 0.83 2.47 -8.74 6.17 17 Peny. TK di Transportasi 0.19 -0.17 0.12 0.41 0.20 0.04 0.20 0.22 -0.39 -3.82 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.04 0.04 0.04 0.10 0.03 0.01 0.06 0.16 0.05 0.30 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.13 1.00 0.15 -0.78 0.03 0.02 0.35 -0.11 0.19 -1.27 20 Pengangguran di Kota 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.01 21 Pengangguran di Desa -0.46 -0.07 -0.08 -0.59 -0.14 -0.04 -0.28 -0.10 -0.08 -1.71 22 Total Pengangguran -0.13 -0.04 -0.05 -0.33 -0.06 -0.02 -0.14 -0.07 -0.06 -0.78 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.11 -0.11 0.09 0.36 -0.22 -0.01 -0.06 0.15 -0.18 0.84 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.05 -0.02 -0.10 -0.13 -0.04 -0.01 -0.03 -0.04 -0.03 -0.48 25 Penerimaan dari Pajak 0.76 0.51 0.92 1.06 0.46 0.39 0.51 -0.57 -0.23 3.01 26 Pendapatan Asli Daerah 0.75 0.44 0.60 0.93 0.44 0.28 0.45 -0.79 -0.23 2.81

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 101

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.52. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Belanja Barang dan Jasa Sebesar 5 Persen Terhadap Perekonomian Wilayah

No Label Nasional NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Babel Bengkl Lampg Banten

1 PDRB Sektor Pertanian 0.72 0.11 0.49 0.29 0.71 0.25 0.23 0.08 0.10 0.39 0.83 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.28 0.03 0.33 0.20 0.08 0.13 0.25 0.03 0.05 0.24 0.98

3 PDRB Sektor Industri 10.31 1.26 -6.46 -0.60 9.63 -

13.69 8.33 -0.09 -0.20 3.20 -15.79 4 PDRB Sektor LGA 2.91 0.73 1.76 2.29 2.82 4.25 1.45 0.95 -1.85 3.61 3.06 5 PDRB Sektor Bangunan 0.45 0.16 0.58 1.03 0.58 0.33 0.33 -0.54 0.13 0.20 2.01 6 PDRB Sektor Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7 PDRB Sektor Transportasi 1.89 0.88 2.52 2.51 2.19 1.22 1.35 0.43 0.75 1.11 5.32

8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 0.50 0.33 1.64 -5.61 0.67 0.73 0.74 0.45 0.33 0.21 2.90

9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.93 0.74 0.78 1.70 1.25 0.87 0.63 0.13 0.32 0.42 1.49 10 Prod. Dom. Regional Bruto 2.13 0.33 4.07 -0.97 1.83 1.95 1.07 -0.12 -0.33 1.28 8.16 11 Peny. TK di Pertanian 1.08 0.13 1.19 0.63 0.88 0.94 0.34 -0.16 0.38 0.73 1.07 12 Peny. TK di Pertambangan 1.01 0.49 0.59 0.36 1.11 0.24 0.44 0.05 0.10 0.44 1.56 13 Peny. TK di Industri 18.36 1.49 -4.14 -0.51 16.77 -5.32 37.96 -0.07 -0.17 3.38 -8.89 14 Peny. TK di LGA 2.29 0.51 1.34 1.45 2.36 2.02 0.98 0.35 -9.97 2.22 2.70 15 Peny. TK di Bangunan 0.50 0.13 0.57 -0.23 3.63 0.24 0.18 -0.02 0.03 0.09 1.21 16 Peny. TK di Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 17 Peny. TK di Transportasi 1.90 1.02 2.99 3.63 2.16 1.11 1.26 0.49 0.69 1.03 9.87 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 1.61 1.01 1.55 4.02 2.11 0.63 0.89 0.14 0.22 0.57 2.88 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.78 0.92 0.45 1.36 1.02 0.56 0.37 0.06 0.17 0.30 0.83 20 Pengangguran di Kota 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21 Pengangguran di Desa -0.56 2.65 -0.14 -0.14 -1.25 -0.19 -0.25 -0.02 -0.07 -0.37 -0.57 22 Total Pengangguran -0.24 -0.50 -0.07 -0.09 -0.46 -0.11 -0.12 -0.02 -0.05 -0.16 -0.26 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.17 -0.21 -0.04 -0.09 -0.43 -0.15 -0.07 -0.07 -0.17 -0.05 -0.21 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.12 -0.09 -0.06 -0.04 -0.26 -0.04 -0.04 -0.01 -0.02 -0.04 -0.16 25 Penerimaan dari Pajak 1.72 0.32 2.62 -1.61 1.51 0.92 0.93 -0.23 -0.45 1.33 5.11 26 Pendapatan Asli Daerah 1.38 0.31 2.09 -2.63 1.39 0.76 0.54 -2.03 -0.56 1.14 4.92

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 102

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.52. (Lanjutan)

No Label Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut

1 PDRB Sektor Pertanian 6.88 0.89 0.67 0.29 0.88 0.64 0.21 -4.63 0.58 -1.41 2 PDRB Sektor Pertambangan 2.72 1.37 0.90 0.33 1.42 0.32 0.09 0.15 0.05 0.04 3 PDRB Sektor Industri 3.86 5.49 3.10 2.34 4.72 -1.88 -0.39 -1.20 1.12 -0.34 4 PDRB Sektor LGA 3.48 3.47 2.76 4.51 3.38 2.92 1.33 2.12 1.78 1.44 5 PDRB Sektor Bangunan 0.41 0.44 0.50 0.24 1.48 0.86 1.32 0.59 0.22 0.16 6 PDRB Sektor Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -8.46 7 PDRB Sektor Transportasi 1.93 1.85 1.99 1.05 3.53 2.66 0.32 2.25 1.18 0.53 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 0.38 0.43 0.58 0.24 2.61 -1.04 0.67 0.94 0.23 0.20 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.87 0.78 0.94 0.54 1.68 1.10 -0.40 0.60 0.55 -2.16

10 Prod. Dom. Regional Bruto 1.87 2.23 1.87 1.10 3.05 -4.04 -1.16 -2.60 0.60 -0.60 11 Peny. TK di Pertanian 6.92 0.86 0.73 0.34 0.98 3.80 -0.58 -0.27 0.81 -0.08 12 Peny. TK di Pertambangan 3.61 2.14 1.48 0.60 2.10 0.56 0.20 0.27 0.74 0.07 13 Peny. TK di Industri 4.02 5.91 3.05 2.32 4.89 -1.53 -0.31 -0.97 1.08 -0.28 14 Peny. TK di LGA 3.09 3.19 2.40 3.01 3.01 2.05 0.67 1.26 1.35 0.57 15 Peny. TK di Bangunan 0.52 0.37 0.28 0.12 0.88 0.35 -0.03 2.02 0.63 -1.90 16 Peny. TK di Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 17 Peny. TK di Transportasi 1.98 1.71 1.79 0.86 3.31 2.41 0.20 3.51 1.38 0.59 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 2.02 1.88 1.79 0.83 3.21 -2.28 0.54 0.58 1.34 0.22 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.88 0.59 0.68 0.44 1.05 0.57 -0.13 0.32 0.53 -0.23 20 Pengangguran di Kota -0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21 Pengangguran di Desa 0.00 -0.30 -0.19 -0.78 -0.31 -0.32 -0.11 -0.14 2.07 -0.04 22 Total Pengangguran -3.78 -0.13 -0.10 -0.25 -0.16 -0.20 -0.07 -0.10 -0.78 -0.02 23 Kemiskinan di Perkotaan -12.84 -0.08 -0.05 -0.37 -0.08 -0.19 0.10 -0.29 126.98 -0.01 24 Kemiskinan di Perdesaan 0.00 -0.05 -0.05 -0.15 -0.07 -0.07 -0.03 -0.05 -2.74 0.00 25 Penerimaan dari Pajak 1.80 2.17 1.92 1.01 3.07 -37.85 1.14 5.09 0.51 1.22 26 Pendapatan Asli Daerah 1.59 1.93 1.67 0.94 1.78 0.53 0.93 2.94 0.45 0.80

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 103

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.52. (Lanjutan)

No Label Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Malut Papua

1 PDRB Sektor Pertanian 0.08 0.05 0.25 0.63 0.17 0.13 0.14 1.21 -3.23 1.34 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.07 0.04 0.24 0.37 0.17 0.15 0.14 0.20 0.05 0.87 3 PDRB Sektor Industri 0.64 1.74 -1.94 3.05 -21.75 25.01 1.18 -0.53 -0.08 -10.48 4 PDRB Sektor LGA 6.15 0.58 2.38 3.66 2.04 5.39 -8.47 5.87 3.28 3.28 5 PDRB Sektor Bangunan 0.18 0.33 0.30 0.84 0.13 0.29 0.30 1.32 -0.21 0.97 6 PDRB Sektor Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7 PDRB Sektor Transportasi 0.44 -2.50 1.01 2.14 0.93 0.92 1.03 1.90 -7.78 5.71 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 0.13 -0.53 0.35 2.27 0.14 0.77 0.99 -1.63 2.46 0.87 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 0.25 2.66 0.84 -48.71 0.20 0.44 1.18 -1.63 0.64 6.77

10 Prod. Dom. Regional Bruto 0.39 0.94 5.50 2.09 0.99 1.69 0.84 -0.72 -0.10 7.09 11 Peny. TK di Pertanian 0.11 0.08 0.42 1.80 0.22 0.15 0.18 -0.72 -0.10 3.80 12 Peny. TK di Pertambangan 0.13 0.07 0.44 0.66 0.31 0.27 0.25 0.36 0.09 1.49 13 Peny. TK di Industri 0.60 1.96 -1.47 3.08 -7.42 6.58 1.12 -0.45 -0.07 -6.28 14 Peny. TK di LGA 1.50 0.34 1.56 2.61 1.47 2.20 30.37 2.85 0.83 2.64 15 Peny. TK di Bangunan 0.30 0.15 0.24 0.19 0.08 0.09 0.10 0.29 -0.02 -0.32 16 Peny. TK di Perdagangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 17 Peny. TK di Transportasi 0.30 -0.46 0.74 1.64 1.11 0.61 0.74 1.53 -0.78 -9.72 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.23 0.31 0.84 1.19 0.46 0.73 0.75 3.30 0.28 2.34 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.16 2.06 0.72 -2.36 0.12 0.23 0.97 -0.55 0.29 -2.43 20 Pengangguran di Kota 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 21 Pengangguran di Desa -0.23 -0.06 -0.15 -0.74 -0.24 -0.18 -0.32 -0.22 -0.05 -1.35 22 Total Pengangguran -0.07 -0.03 -0.11 -0.41 -0.10 -0.09 -0.16 -0.16 -0.04 -0.62 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.06 -0.09 0.18 0.45 -0.38 -0.05 -0.07 0.31 -0.12 0.66 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.03 -0.01 -0.21 -0.16 -0.06 -0.03 -0.03 -0.09 -0.02 -0.38 25 Penerimaan dari Pajak 0.39 0.44 1.81 1.32 0.79 1.90 0.57 -1.21 -0.15 2.38 26 Pendapatan Asli Daerah 0.38 0.37 1.17 1.16 0.76 1.34 0.51 -1.68 -0.15 2.22

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 104

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.53. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Belanja Pegawai Sebesar 5 Persen Terhadap Perekonomian Wilayah

No Label Nasional NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Babel Bengkl Lampg Banten

1 PRDB Sektor Pertanian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2 PRDB Sektor Pertambangan 0.03 0.00 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.00 0.01 0.08 0.01 3 PRDB Sektor Industri 1.43 0.02 -0.19 -0.03 0.83 -1.11 0.21 -0.01 -0.05 1.15 -0.11 4 PRDB Sektor LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 PRDB Sektor Bangunan 3.11 0.10 0.85 2.24 2.49 1.32 0.42 -4.27 1.56 3.60 0.70 6 PRDB Sektor Perdagangan 0.58 0.00 0.12 1.79 0.29 0.30 0.03 -0.09 -0.44 -7.01 0.07 7 PRDB Sektor Transportasi 1.76 0.07 0.50 0.73 1.27 0.66 0.23 0.46 1.21 2.67 0.25 8 PRDB Sektor Lemb. Keuagan 4.11 0.24 2.86 -14.51 3.44 3.49 1.11 4.26 4.73 4.52 1.20 9 PRDB Sektor Jasa-Jasa 2.52 0.18 0.45 1.44 2.11 1.37 0.31 0.40 1.49 2.95 0.20

10 Prod. Dom. Regional Bruto 1.62 0.02 0.66 -0.23 0.87 0.87 0.15 -0.10 -0.43 2.53 0.31 11 Peny. TK di Pertanian 0.71 0.01 0.17 0.13 0.36 0.36 0.04 -0.12 0.44 1.26 0.04 12 Peny. TK di Pertambangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13 Peny. TK di Industri 2.54 0.02 -0.12 -0.02 1.45 -0.43 0.96 -0.01 -0.04 1.22 -0.06 14 Peny. TK di LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15 Peny. TK di Bangunan 3.44 0.08 0.83 -0.49 15.70 0.97 0.23 -0.12 0.37 1.66 0.42 16 Peny. TK di Perdagangan 0.56 0.00 0.11 0.85 0.28 0.26 0.03 -0.07 -0.57 -12.00 0.07 17 Peny. TK di Transportasi 1.76 0.08 0.59 1.06 1.25 0.60 0.21 0.53 1.11 2.49 0.46 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 1.50 0.09 0.30 1.17 1.23 0.34 0.15 0.16 0.34 1.37 0.13 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 2.11 0.22 0.26 1.16 1.72 0.89 0.18 0.20 0.79 2.08 0.11 20 Pengangguran di Kota 0.34 0.03 0.02 0.06 0.36 0.11 0.03 0.05 0.22 0.60 0.02 21 Pengangguran di Desa -1.06 0.45 -0.05 -0.09 -1.49 -0.21 -0.09 -0.05 -0.24 -1.81 -0.05 22 Total Pengangguran -0.27 -0.05 -0.02 -0.03 -0.31 -0.07 -0.02 -0.02 -0.10 -0.46 -0.01 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.13 -0.01 -0.01 -0.02 -0.20 -0.07 -0.01 -0.06 -0.23 -0.10 -0.01 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.96 -0.06 -0.06 -0.10 -1.34 -0.21 -0.07 -0.12 -0.32 -0.88 -0.08 25 Penerimaan dari Pajak 1.31 0.02 0.42 -0.39 0.72 0.41 0.13 -0.20 -0.60 2.64 0.20 26 Pendapatan Asli Daerah 1.05 0.02 0.34 -0.63 0.66 0.34 0.07 -1.77 -0.73 2.27 0.19

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 105

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.53. (Lanjutan)

No Label Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut

1 PRDB Sektor Pertanian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2 PRDB Sektor Pertambangan 0.46 0.21 0.10 0.09 0.01 0.00 0.01 0.01 0.01 0.02 3 PRDB Sektor Industri 0.74 0.96 0.39 0.75 0.05 -0.01 -0.03 -0.06 0.36 -0.18 4 PRDB Sektor LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 PRDB Sektor Bangunan 3.89 3.79 3.10 3.90 0.71 0.21 5.01 1.37 3.44 4.21 6 PRDB Sektor Perdagangan 0.85 2.12 1.82 3.07 0.12 0.14 0.05 0.81 0.46 -12.69 7 PRDB Sektor Transportasi 2.46 2.16 1.67 2.27 0.23 0.09 0.16 0.70 2.52 1.85 8 PRDB Sektor Lemb. Keuagan 4.30 4.46 4.26 4.68 1.48 -0.31 3.01 2.59 4.29 6.08 9 PRDB Sektor Jasa-Jasa 3.25 2.64 2.28 3.38 0.31 0.11 -0.59 0.54 3.43 -22.11

10 Prod. Dom. Regional Bruto 1.96 2.13 1.29 1.95 0.16 -0.11 -0.48 -0.66 1.05 -1.73 11 Peny. TK di Pertanian 6.27 0.72 0.43 0.51 0.04 0.09 -0.21 -0.06 1.23 -0.20 12 Peny. TK di Pertambangan 0.01 0.01 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 13 Peny. TK di Industri 0.77 1.03 0.38 0.75 0.05 -0.01 -0.02 -0.05 0.34 -0.15 14 Peny. TK di LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15 Peny. TK di Bangunan 4.97 3.18 1.78 2.00 0.42 0.09 -0.10 4.69 10.01 -50.39 16 Peny. TK di Perdagangan 0.85 1.99 1.61 2.50 0.11 0.08 0.05 0.49 0.45 2.08 17 Peny. TK di Transportasi 2.53 2.00 1.50 1.85 0.21 0.08 0.10 1.09 2.94 2.04 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 2.58 2.20 1.50 1.79 0.21 -0.07 0.28 0.18 2.86 0.76 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 3.29 1.99 1.67 2.75 0.20 0.05 -0.20 0.29 3.30 -2.37 20 Pengangguran di Kota 1.53 0.23 0.14 0.68 0.02 0.02 0.07 0.08 1.04 0.09 21 Pengangguran di Desa 0.00 -0.72 -0.33 -3.45 -0.04 -0.02 -0.11 -0.09 9.06 -0.28 22 Total Pengangguran -5.68 -0.18 -0.10 -0.64 -0.01 -0.01 -0.04 -0.04 -1.95 -0.07 23 Kemiskinan di Perkotaan -13.46 -0.08 -0.05 -0.65 0.00 -0.01 0.04 -0.07 3.16 -0.02 24 Kemiskinan di Perdesaan 0.00 -0.63 -0.32 -3.01 -0.05 -0.02 -0.14 -0.15 -7.67 -0.18 25 Penerimaan dari Pajak 1.89 2.08 1.32 1.79 0.16 -1.03 0.48 1.30 0.89 3.51 26 Pendapatan Asli Daerah 1.67 1.85 1.15 1.67 0.09 0.01 0.39 0.75 0.78 2.30

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 106

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.53. (Lanjutan)

No Label Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Malut Papua

1 PRDB Sektor Pertanian 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2 PRDB Sektor Pertambangan 0.04 0.00 0.04 0.00 0.08 0.02 0.01 0.00 0.00 0.05 3 PRDB Sektor Industri 0.34 0.04 -0.35 0.01 -12.30 9.91 0.11 -0.01 -0.01 -0.73 4 PRDB Sektor LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5 PRDB Sektor Bangunan 4.80 0.40 2.70 0.15 3.81 1.84 1.47 0.63 -1.07 3.37 6 PRDB Sektor Perdagangan 3.71 -0.02 0.86 0.02 3.60 -0.76 -2.03 -0.27 -0.30 0.35 7 PRDB Sektor Transportasi 1.58 -0.41 1.23 0.05 3.54 0.79 0.67 0.12 -5.26 2.66 8 PRDB Sektor Lemb. Keuagan 4.15 -0.76 3.78 0.49 4.83 5.81 5.69 -0.92 14.71 3.57 9 PRDB Sektor Jasa-Jasa 2.66 1.26 2.97 -3.44 2.25 1.09 2.23 -0.30 1.26 9.19

10 Prod. Dom. Regional Bruto 1.14 0.13 5.47 0.04 3.09 1.19 0.45 -0.04 -0.06 2.71 11 Peny. TK di Pertanian 0.29 0.01 0.36 0.03 0.59 0.09 0.08 -0.03 -0.05 1.26 12 Peny. TK di Pertambangan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 0.00 0.00 0.01 13 Peny. TK di Industri 0.32 0.05 -0.27 0.01 -4.19 3.68 0.11 0.00 -0.01 -0.44 14 Peny. TK di LGA 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15 Peny. TK di Bangunan 7.94 0.18 2.19 0.03 2.21 0.55 0.50 0.14 -0.13 -1.09 16 Peny. TK di Perdagangan 2.02 -0.03 0.65 0.02 2.53 -1.09 0.42 0.94 -0.57 0.35 17 Peny. TK di Transportasi 1.09 -0.08 0.90 0.04 4.22 0.52 0.48 0.10 -0.53 -4.53 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.81 0.05 1.01 0.03 1.77 0.62 0.48 0.20 0.19 1.09 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 1.70 0.99 2.55 -0.17 1.34 0.56 1.83 -0.10 0.57 -3.29 20 Pengangguran di Kota 0.29 0.01 0.37 0.02 0.59 0.13 0.18 0.03 0.11 0.46 21 Pengangguran di Desa -1.73 -0.02 -0.38 -0.04 -1.85 -0.32 -0.42 -0.03 -0.07 -1.29 22 Total Pengangguran -0.28 -0.01 -0.15 -0.01 -0.46 -0.09 -0.12 -0.01 -0.03 -0.34 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.17 -0.01 0.17 0.01 -1.19 -0.04 -0.04 0.02 -0.06 0.25 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.84 -0.02 -2.24 -0.03 -2.14 -0.26 -0.19 -0.05 -0.13 -1.59 25 Penerimaan dari Pajak 1.15 0.06 1.80 0.03 2.45 1.34 0.30 -0.06 -0.08 0.91 26 Pendapatan Asli Daerah 1.13 0.05 1.17 0.02 2.37 0.94 0.27 -0.09 -0.08 0.85

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 107

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Simulasi Kebijakan Penetapan Target Pertumbuhan PDRB Nasional Sebesar 5 Persen

Dari hasil simulasi diketahui bahwa target pertumbuhan PDRB sebesar 5 persen dapat dicapai dengan meningkatkan belanja modal sebesar 5 persen, belanja barang dan jasa sebesar 3,5 persen dan belanja pegawai sebesar 2,0 persen. Dengan skenario kombinasi kebijakan tersebut, PDRB secara nasional akan meningkat sebesar 5 persen. Namun, besaran pertumbuhan PDRB tersebut menurut provinsi bervariasi. Beberapa provinsi menunjukkan penurunan PDRB antara lain Provinsi Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Maluku dan Maluku Utara.

Berdasarkan provinsi, penetapan target pertumbuhan PDRB sebesar 5 persen tersebut akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja hampir seluruh sektor, kecuali sektor industri di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh turunnya PDRB sektor industri di provinsi tersebut (Tabel 4.54). Secara nasional, penetapan target pertumbuhan PDRB akan menyebabkan tingkat pengangguran di perkotaan meningkat, sedangkan tingkat pengangguran di perdesaan mengalami penurunan dengan jumlah yang lebih besar dari peningkatan pengangguran di perkotaan. Dengan kata lain, kebijakan ini masih dapat menurunkan total pengangguran nasional sebesar 0,61 persen. Alternatif kebijakan ini juga akan memberi dampak postif terhadap pengurangan angka kemiskinan di perkotaan dan perdesaan (lihat Tabel 4.54).

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 108

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.54. Hasil Simulasi Kebijakan Peningkatan Belanja Modal Sebesar 5 Persen, Belanja Barang dan Jasa Sebesar 3,5 Persen dan Belanja Pegawai Sebesar 2 Persen Terhadap Perekonomian Wilayah.

No Label Nasional NAD Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Babel Bengkl Lampung Banten

1 PDRB Sektor Pertanian 2.72 4.10 2.30 1.06 3.05 2.07 2.84 3.51 0.43 0.64 1.69 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.23 0.04 0.26 0.15 0.06 0.11 0.23 0.04 0.04 0.20 0.71 3 PDRB Sektor Industri 14.20 9.76 -9.79 -0.78 14.10 -31.02 25.61 -0.78 -0.30 3.33 -15.37 4 PDRB Sektor LGA 3.57 4.91 2.44 2.74 3.71 8.52 3.92 7.46 -2.41 3.11 2.85 5 PDRB Sektor Bangunan 2.59 4.08 2.38 3.76 2.90 2.52 3.15 -18.02 1.07 1.78 3.59 6 PDRB Sektor Perdagangan 5.73 5.13 7.08 51.64 5.25 12.03 5.70 -9.75 -2.97 -10.74 6.08 7 PDRB Sektor Transportasi 2.85 4.82 3.33 3.05 3.14 2.38 3.18 2.96 1.40 2.04 4.80 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 2.68 4.84 4.89 -16.39 2.85 4.13 4.36 9.50 2.68 2.12 4.05 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 2.23 5.27 1.29 2.68 2.57 2.37 1.91 1.23 1.05 1.60 1.49

10 Prod. Dom. Regional Bruto 5.01 5.35 10.21 -2.02 4.52 8.20 6.26 -2.29 -0.92 2.48 10.62 11 Peny. TK di Pertanian 4.38 4.52 5.67 2.33 3.94 7.95 4.30 -7.02 1.82 1.73 2.20 12 Peny. TK di Pertambangan 0.77 0.65 0.45 0.27 0.85 0.20 0.39 0.07 0.07 0.31 1.13 13 Peny. TK di Industri 25.28 11.56 -6.28 -0.66 24.54 -12.06 116.76 -0.67 -0.26 3.52 -8.65 14 Peny. TK di LGA 3.30 4.73 2.24 2.05 3.72 5.17 3.44 3.51 -15.56 2.08 2.77 15 Peny. TK di Bangunan 2.86 3.42 2.34 -0.83 18.32 1.86 1.70 -0.52 0.26 0.82 2.17 16 Peny. TK di Perdagangan 5.49 5.10 6.51 24.43 5.12 10.59 5.51 -8.28 -3.84 -18.39 5.61 17 Peny. TK di Transportasi 2.85 5.58 3.96 4.42 3.09 2.17 2.98 3.40 1.28 1.90 8.90 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 1.97 2.30 1.49 3.83 2.33 0.79 1.15 0.43 0.33 1.00 2.24 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 1.87 6.52 0.74 2.15 2.10 1.54 1.12 0.60 0.56 1.13 0.83 20 Pengangguran di Kota 0.14 -0.02 0.01 0.02 0.14 0.04 0.01 0.02 0.09 0.25 0.01 21 Pengangguran di Desa -1.58 42.58 -0.35 -0.32 -3.47 -0.84 -1.50 -0.48 -0.27 -1.17 -0.75 22 Total Pengangguran -0.61 -8.03 -0.17 -0.19 -1.18 -0.45 -0.73 -0.32 -0.15 -0.37 -0.35 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.39 -3.30 -0.10 -0.18 -1.06 -0.64 -0.38 -1.34 -0.48 -0.10 -0.27 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.64 -1.40 -0.13 -0.12 -1.14 -0.26 -0.28 -0.28 -0.18 -0.41 -0.16 25 Penerimaan dari Pajak 4.06 5.05 6.58 -3.32 3.73 3.85 5.44 -4.38 -1.27 2.58 6.64 26 Pendapatan Asli Daerah 3.26 4.93 5.24 -5.46 3.44 3.19 3.16 -39.18 -1.55 2.22 6.41

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 109

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.54. (Lanjutan)

No Label Jakarta Jabar Jateng DIY Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut

1 PRDB Sektor Pertanian 19.96 1.19 0.98 0.66 1.51 1.35 5.62 -23.05 5.36 -7.33 2 PRDB Sektor Pertambangan 2.20 1.06 0.69 0.28 1.02 0.23 0.11 0.12 0.04 0.04 3 PRDB Sektor Industri 4.72 4.94 2.80 2.67 4.29 -1.86 -2.32 -1.89 2.87 -0.62 4 PRDB Sektor LGA 3.75 2.81 2.29 4.34 2.96 2.75 6.90 3.03 3.86 2.12 5 PRDB Sektor Bangunan 2.55 2.09 1.91 2.07 2.40 1.53 27.29 2.77 2.89 2.39 6 PRDB Sektor Perdagangan 4.55 4.20 5.46 7.46 5.47 16.70 7.81 32.04 5.43 0.00 7 PRDB Sektor Transportasi 2.96 2.37 2.30 1.90 3.05 2.41 1.43 3.17 3.25 1.46 8 PRDB Sektor Lemb. Keuagan 2.39 2.28 2.36 2.28 3.48 -1.43 8.55 3.30 2.72 3.03 9 PRDB Sektor Jasa-Jasa 2.32 1.74 1.74 1.94 1.62 1.09 -2.41 1.11 2.68 -12.54

10 Prod. Dom. Regional Bruto 3.92 3.07 2.47 2.32 3.56 -5.36 -14.23 -6.93 3.11 -2.31 11 Peny. TK di Pertanian 22.69 1.46 1.24 0.96 1.70 8.07 -15.78 -1.36 8.04 -0.51 12 Peny. TK di Pertambangan 2.67 1.53 1.05 0.44 1.51 0.41 0.23 0.21 0.63 0.06 13 Peny. TK di Industri 4.92 5.33 2.76 2.65 4.44 -1.50 -1.88 -1.53 2.77 -0.52 14 Peny. TK di LGA 3.81 2.72 2.13 3.23 2.85 2.14 4.69 2.20 3.75 1.04 15 Peny. TK di Bangunan 3.26 1.75 1.10 1.06 1.42 0.63 -0.56 9.41 8.42 -28.57 16 Peny. TK di Perdagangan 4.54 3.92 4.84 6.08 5.15 9.58 7.55 19.28 5.39 8.45 17 Peny. TK di Transportasi 3.04 2.19 2.06 1.55 2.86 2.18 0.91 4.95 3.79 1.62 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 2.69 2.29 1.95 1.39 2.48 -1.76 1.11 0.59 2.64 0.51 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 2.35 1.31 1.27 1.58 1.01 0.57 -0.82 0.59 2.58 -1.34 20 Pengangguran di Kota 0.63 0.10 0.06 0.28 0.01 0.00 0.02 0.03 0.42 0.04 21 Pengangguran di Desa 0.00 -0.59 -0.34 -2.51 -0.37 -0.43 -1.36 -0.40 12.99 -0.22 22 Total Pengangguran -8.65 -0.20 -0.14 -0.61 -0.19 -0.27 -0.82 -0.26 -4.26 -0.07 23 Kemiskinan di Perkotaan -26.93 -0.12 -0.09 -0.77 -0.08 -0.25 1.28 -0.76 20.02 -0.03 24 Kemiskinan di Perdesaan 0.00 -0.33 -0.18 -1.47 -0.09 -0.10 -0.42 -0.20 -34.22 -0.09 25 Penerimaan dari Pajak 3.77 3.00 2.54 2.13 3.58 -50.19 14.01 13.57 2.63 4.70 26 Pendapatan Asli Daerah 3.35 2.67 2.20 1.99 2.07 0.71 11.49 7.85 2.31 3.08

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 110

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.54. (Lanjutan)

No Label Gorontalo Sulteng Sulsel Sultra Bali NTB NTT Maluku Malut Papua

1 PDRB Sektor Pertanian 0.44 0.17 0.48 1.60 0.34 0.15 0.37 2.16 -14.01 4.83 2 PDRB Sektor Pertambangan 0.07 0.03 0.19 0.28 0.16 0.11 0.11 0.14 0.04 0.67 3 PDRB Sektor Industri 1.17 2.18 -1.96 3.27 -26.26 28.74 1.36 -0.49 -0.12 -13.77 4 PDRB Sektor LGA 9.06 0.67 2.14 3.72 1.90 4.21 -8.88 5.18 4.34 3.93 5 PDRB Sektor Bangunan 2.70 1.02 1.59 1.73 1.82 1.07 1.27 2.18 -1.14 4.08 6 PDRB Sektor Perdagangan 14.83 -1.12 2.75 5.35 5.15 -1.52 -18.96 -12.93 -4.66 6.43 7 PDRB Sektor Transportasi 1.24 -2.82 1.38 2.05 2.31 1.04 1.28 1.66 -11.48 7.36 8 PDRB Sektor Lemb. Keuagan 2.06 -1.24 1.99 3.42 2.21 3.12 3.87 -2.21 11.37 3.09 9 PDRB Sektor Jasa-Jasa 1.50 3.67 2.01 -51.66 1.14 0.80 2.19 -1.59 1.39 12.14

10 Prod. Dom. Regional Bruto 1.50 1.81 8.96 3.15 2.58 2.03 1.53 -0.85 -0.27 15.09 11 Peny. TK di Pertanian 0.71 0.28 0.94 4.60 0.69 0.22 0.52 -1.29 -0.46 14.23 12 Peny. TK di Pertambangan 0.10 0.05 0.32 0.49 0.22 0.19 0.19 0.26 0.07 1.12 13 Peny. TK di Industri 1.10 2.46 -1.48 3.30 -8.95 14.93 1.29 -0.42 -0.11 -8.25 14 Peny. TK di LGA 2.64 0.43 1.54 3.01 1.51 1.81 36.20 2.75 1.34 3.70 15 Peny. TK di Bangunan 4.48 0.46 1.29 0.38 1.06 0.32 0.43 0.48 -0.13 -1.32 16 Peny. TK di Perdagangan 8.08 -1.30 2.08 4.36 3.61 -2.18 3.93 2.90 -8.98 6.32 17 Peny. TK di Transportasi 0.86 -0.52 1.01 1.58 2.75 0.68 0.93 1.34 -1.15 -12.53 18 Peny. TK di Lemb. Keuagan 0.55 0.28 1.05 0.94 1.10 0.79 0.79 2.56 0.32 2.40 19 Peny. TK di Jasa-Jasa 0.96 2.85 1.73 -2.50 0.68 0.41 1.80 -0.53 0.63 -4.35 20 Pengangguran di Kota 0.12 0.00 0.16 0.00 0.25 0.05 0.07 0.01 0.04 0.18 21 Pengangguran di Desa -1.35 -0.12 -0.34 -1.12 -1.09 -0.30 -0.69 -0.27 -0.14 -3.19 22 Total Pengangguran -0.30 -0.06 -0.19 -0.62 -0.33 -0.12 -0.30 -0.19 -0.11 -1.36 23 Kemiskinan di Perkotaan -0.22 -0.18 0.29 0.68 -0.99 -0.06 -0.13 0.37 -0.29 1.40 24 Kemiskinan di Perdesaan -0.42 -0.03 -1.19 -0.25 -0.98 -0.14 -0.13 -0.13 -0.11 -1.41 25 Penerimaan dari Pajak 1.52 0.85 2.95 1.99 2.04 2.28 1.03 -1.44 -0.37 5.06 26 Pendapatan Asli Daerah 1.50 0.72 1.91 1.75 1.97 1.61 0.92 -2.00 -0.37 4.72

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 111

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

4.2 Hasil Analisis Model CGE

Berdasarkan hasil runing model CGE, simulasi kebijakan peningkatan investasi swasta dan investasi pemerintah dapat menunjukkan perbedaan kinerja ekonomi makro sebelum dan setelah adanya kebijakan. Respon kebijakan akan dilihat pada beberapa variabel endogen seperti output, harga output, tenaga kerja dan pendapatan. Hasil simulasi juga menunjukkan dampak kebijakan terhadap perubahan pendapatan dan distribusi pendapatan kelompok rumahtangga yang berbeda. Simulasi kebijakan juga berdampak terhadap perubahan variabel ekonomi makro dari sisi pengeluaran dan penerimaan PDB. Masing-masing dampak kebijakan akan dilihat pada level nasional dan masing-masing provinsi sesuai dengan sampel terpilih.

Dampak peningkatan investasi pemerintah dan swasta akan dilihat dari perubahan produktivitas. Oleh karena itu, kajian ini selanjutnya akan menggunakan simulasi peningkatan produktivitas pada masing-masing sektor dengan membedakan besaran shock untuk masing-masing sektor pada investasi pemerintah (simulasi 1) dan swasta (simulasi 2). Besaran masing-masing shock pada simulasi 1 dan 2 dapat dilihat pada Tabel 2.4 sebelumnya.

Peningkatan investasi di tingkat nasional yang ditunjukkan oleh peningkatan produktivitas akan mengakibatkan perubahan kondisi ekonomi makro baik di tingkat nasional maupun regional. Sub bab ini menganalisis secara rinci dampak ekonomi makro di tingkat nasional dan regional serta dampaknya terhadap distribusi pendapatan

4.2.1 Dampak Peningkatan Investasi Swasta dan Pemerintah terhadap Performa Ekonomi Makro di Tingkat Nasional

Hasil simulasi peningkatan investasi pemerintah dan swasta terhadap keragaan ekonomi makro pada tingkat nasional terlihat pada Tabel 4.55. Kinerja ekonomi makro setelah simulasi kebijakan akan dianalisis baik dari sisi pengeluaran maupun pendapatan PDB. Dari sisi pengeluaran PDB, variabel-variabel ekonomi makro meliputi konsumsi pemerintah dan swasta, pembentukan modal, ekspor dan impor. Sementara, dari sisi penerimaan PDB, variabel yang dianalisis adalah tingkat pengembalian lahan, tingkat pengembalian modal dan upah. Dari Tabel 4.55 terlihat bahwa peningkatan produktivitas yang diikuti oleh peningkatan investasi dari sisi pemerintah akan menyebabkan peningkatan PDB riil nasional naik sebesar 3,47 persen untuk 10 tahun ke depan (simulasi 1). Peningkatan PDB riil pada simulasi 1 dipengaruhi antara lain oleh peningkatan perubahan stok (1,74 persen), neraca perdagangan (4,28 persen), konsumsi rumah tangga (1,01 persen) dan pengeluaran pemerintah (1,01 persen). Hal yang sama juga terjadi jika peningkatan investasi dilakukan

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 112

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

pada sektor-sektor yang digerakkan oleh pihak swasta, maka dampak simulasi juga menunjukkan peningkatan pada GDP riil sebesar 1,78 persen. Hal ini menunjukkan jika peningkatan produktivitas akibat peningkatan investasi, baik swasta maupun pemerintah tetap terjadi dengan tingkat yang sama selama sepuluh tahun, kondisi perekonomian Indonesia akan semakin membaik. Tabel 4.55. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap

Indikator Ekonomi Makro (Perubahan Persentase)

Uraian Simbol Simulasi 1 Simulasi 2 Neraca Perdagangan delB 4.28 3.45 Devaluasi Riil p0realdev 5.24 1.84 Harga Investasi Agregat p2tot_i -12.81 -5.08 Indek Harga Konsumen p3tot -3.10 -0.61 Upah Riil Rata-Rata realwage -0.98 -0.98 PDB riil dari Sisi Pengeluaran x0gdpexp 3.47 1.78 Volume Impor x0imp_c -3.00 -1.87 Konsumsi Riil Rumah Tangga x3tot 1.01 0.41 Volume Ekspor x4tot 8.71 8.05 Permintaan Pemerintah Riil Agregat x5tot 1.01 0.41 Perubahan Stok x6tot 1.74 2.22

Keterangan: Simulasi 1: Peningkatan investasi pemerintah Simulasi 2: Peningkatan investasi swasta Apabila dilihat dampaknya terhadap variabel harga, peningkatan produktivitas pada seluruh simulasi mengakibatkan penurunan harga. Ini terlihat dari turunnya harga investasi sebesar 12,81 persen (pemerintah) dan 5,08 persen (swasta) yang mengakibatkan terjadinya deflasi yang ditunjukkan dari penurunan indeks harga konsumen sebesar -3,10 persen pada simulasi 1 dan -0,61 persen pada simulasi 2. Peningkatan produktivitas mendorong sebagian besar sektor untuk berlaku efisien sehingga mampu menghasilkan barang yang lebih murah. Pada gilirannya, hampir seluruh harga menjadi lebih murah dengan adanya investasi sehingga konsumsi masyarakat akan meningkat. Hal ini disebabkan penurunan upah riil rata-rata (-0,98 persen) masih lebih kecil dari penurunan indeks harga konsumen. Turunnya indeks harga konsumen yang juga mencerminkan turunnya harga-harga produk menyebabkan produk Indonesia lebih kompetitif di pasar internasional. Hal ini ditunjukkan dengan nilai neraca perdagangan yang positif, peningkatan volume ekspor dan penurunan volume impor. Kekuatan posisi ekspor Indonesia juga didukung dengan adanya devaluasi mata uang rupiah terhadap dollar Amerika.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 113

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

4.2.2 Dampak Peningkatan Investasi Swasta dan Pemerintah terhadap Performa Ekonomi Makro di Tingkat Regional

Dampak peningkatan investasi pemerintah dan swasta terhadap ekonomi masing-masing daerah ditunjukkan pada Tabel 4.56 dan Tabel 4.57. Dari Tabel 4.56 terlihat bahwa dampak yang ditimbulkan pada kedua simulasi terhadap pendapatan regional (PDRB) di masing-masing daerah pilihan kajian, sedang Tabel 4.57 menunjukkan dampak terhadap total upah di masing-masing wilayah. Peningkatan investasi, baik investasi pemerintah maupun investasi swasta, secara umum akan memberikan dampak positif peningkatan produktivitas di seluruh wilayah. Provinsi yang mendapat dampak terbesar adalah Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara dengan peningkatan sebesar 4,24 persen dan 3,18 persen secara berturut-turut. Dampak terbesar akan dirasakan pada provinsi ini karena share investasi di provinsi ini terbesar dibanding provinsi lain di Indonesia. Kontribusi PDRB sangat tergantung pada nilai investasi (share) masing-masing wilayah. Dampak paling besar akan terjadi pada simulasi 1 dengan dilakukan shock terhadap produktivitas investasi pemerintah di seluruh sektor. Sama halnya dengan dampak investasi pemerintah, peningkatan investasi swasta melalui peningkatan produktivitas di seluruh sektor hampir memberikan kontribusi yang positif kecuali Provinsi Sulawesi Utara yang mengalami penurunan PDRB sebesar -1,66 persen. Penurunan PDRB ini menunjukkan bahwa besaran peningkatan produktivitas sebagai injeksi dalam perekonomian belum mampu memberikan pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Utara karena tingkat inveastasi yang ditunjukkan oleh peningkatan produktivitas pemerintah dan swasta belum mampu menutupi nilai depresiasinya untuk 10 tahun ke depan.

Tabel 4.56. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap PDRB Daerah (Perubahan Persentase)

No Wilayah Simulasi 1 Simulasi 2 1 Sumatera Utara 3.18 0.87 2 Sumatera Selatan 2.12 1.27 3 Jawa Barat 2.32 2.10 4 Jawa Timur 2.10 0.34 5 Kalimantan Barat 2.74 0.65 6 Kalimantan Timur 0.77 2.20 7 Sulawesi Utara 1.34 -1.66 8 Sulawesi Selatan 4.24 0.47 9 Lainnya 1.89 0.81

Keterangan: Simulasi 1: Peningkatan investasi pemerintah Simulasi 2: Peningkatan investasi swasta Meski sebagian besar provinsi terpilih mengalami peningkatan PDRB, namun upah riil di masing-masing daerah mengalami penurunan akibat kebijakan peningkatan investasi

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 114

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

yang didorong oleh peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas berhasil mendorong efisiensi di seluruh daerah sehingga dapat menghasilkan output dengan tingkat harga yang lebih rendah untuk 10 tahun ke depan. Hasil ini terlihat pada Tabel 4,57 yang menunjukkan nilai negatif di kedua simulasi kecuali untuk provinsi Jawa Barat di simulasi ke 2. Penurunan upah riil berkisar antara -2,73 persen hingga -8,49 persen untuk simulasi 1 dan bernilai berkisar -0,76 hingga sampai -5,09 persen untuk simulasi 2. Provinsi Sulawesi Utara menerima dampak penurunan upah terbesar dibanding provinsi lainnya. Penurunan tingkat upah riil ini tidak memberikan dampak yang besar terhadap daya beli karena secara nasional penurunan indeks harga konsumen lebih besar dibanding penurunan tingkat upah riil. Tabel 4.57 Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap Upah Riil

di Masing-Masing Daerah (Perubahan Persentase)

No Wilayah Simulasi 1 Simulasi 2 1 Sumatera Utara -2.81 -1.26 2 Sumatera Selatan -3.89 -2.35 3 Jawa Barat -2.77 0.12 4 Jawa Timur -4.80 -2.37 5 Kalimantan Barat -3.74 -1.80 6 Kalimantan Timur -3.03 -0.76 7 Sulawesi Utara -8.49 -5.09 8 Sulawesi Selatan -2.73 -2.25 9 Lainnya -4.43 -1.76

Keterangan: Simulasi 1: Peningkatan investasi pemerintah Simulasi 2: Peningkatan investasi swasta 4.2.3 Dampak Peningkatan Investasi Swasta dan Pemerintah terhadap Keragaan Mikroekonomi dan

Distribusi Pendapatan

Bagian ini membahas dampak simulasi kebijakan peningkatan investasi swasta dan pemerintah terhadap kinerja ekonomi mikro di tingkat nasional. Variabel ekonomi mikro yang akan digunakan meliputi variabel output sektoral, harga di masing-masing sektor, dan distribusi pendapatan. Model yang masih top down dan keterbatasan ketersediaan data hingga di level terendah mengakibatkan sulit didapatkan dampak simulasi kebijakan terhadap variabel-variabel tersebut. Pada Tabel 4.58 ditunjukkan hasil simulasi kebijakan peningkatan investasi pemerintah (Simulasi 1) dan swasta (Simulasi 2) terhadap output di masing-masing sektor pada tingkat nasional.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 115

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Tabel 4.58 Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap Output Sektoral (Perubahan Persentase)

No Sektor Simulasi 1 Simulasi 2

1 Padi 4.26 0.88 2 Tanaman bahan makanan lainnya 5.89 0.23 3 Kelapa sawit 4.62 1.91 4 Tanaman perkebunan 14.32 1.39 5 Peternakan dan hasil-hasilnya 4.74 0.69 6 Kehutanan 5.45 -0.68 7 Perikanan 7.88 0.48 8 Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya -0.36 1.34 9 Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 0.27 3.80

10 Industri makanan minuman dan tembakau 4.60 2.14 11 Ikan Olahan 5.69 4.20 12 Minyak Sawit 4.10 3.53 13 Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 3.51 5.89 14 Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya 3.41 3.04 15 Industri kertas dan barang dari cetakan 1.47 2.71

16 Industri pupuk, kimia dan barang dari karet dan mineral bukan logam 3.26 5.39

17 Pengilangan minyak bumi -0.19 1.95 18 Industri semen -4.08 -0.13 19 Industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi -1.13 1.11 20 Industri barang dari logam -5.06 -2.91 21 Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 2.81 3.24 22 Industri lainnya 3.11 3.59 23 Listrik, gas dan air bersih 0.75 0.79 24 Bangunan -8.01 -11.10 25 Perdagangan 1.22 1.04 26 Hotel dan Restoran 2.09 1.89 27 Angkutan darat 1.93 0.87 28 Angkutan Air 4.98 0.35 29 Angkutan Udara 11.58 0.62 30 Komunikasi 0.83 0.08 31 Lembaga keuangan 0.62 0.66 32 Pemerintahan umum dan pertahanan 1.29 0.51 33 Jasa-jasa lainnya 2.49 0.29

Keterangan: Simulasi 1: Peningkatan investasi pemerintah Simulasi 2: Peningkatan investasi swasta Secara umum, peningkatan investasi swasta dan pemerintah yang ditimbulkan dari peningkatan produktivitas akan mengakibatkan peningkatan output di seluruh sektor. Hal ini menunjukkan pentingnya investasi untuk mendukung peningkatan output. Hanya pada sektor-sektor tertentu peningkatan output tidak terjadi. Untuk simulasi 1, sektor-sektor yang mengalami penurunan output adalah pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya, pengilangan minyak bumi, industri semen, industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi, industri barang dari logam dan bangunan. Hal ini mengindikasikan terjadi peningkatan produktivitas (peningkatan penawaran) di sektor-sektor tersebut lebih kecil dibanding dengan penurunan permintaan. Penurunan permintaan dapat dilihat dari adanya penurunan pendapatan riil masyarakat dan

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 116

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

konsumsi riil produk tersebut. Sedangkan pada simulasi 2, dimana terjadi peningkatan investasi swasta dengan meningkatkan produktivitas masing-masing sektor, penurunan output terjadi pada sektor-sektor kehutanan, industri semen, industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi, dan bangunan. Alasan yang sama dapat menjelaskan penurunan output di sektor tersebut. Pada Tabel 4.59 menunjukkan hasil simulasi kebijakan peningkatan investasi pemerintah dan swasta terhadap harga di masing-masing sektor. Secara umum, peningkatan investasi swasta dan pemerintah mengakibatkan penurunan harga di seluruh sektor pada simulasi 1 sedangkan pada simulasi 2 pengecualiaan terhadap sektor pertanian pada umumnya. Penurunan tingkat harga lebih disebabkan masing-masing sektor akan semakin efisien jika dilakukan injeksi peningkatan produktivitas. Efisiensi akan membawa pada penurunan harga output yang dihasilkan di masing-masing sektor. Sedangkan naiknya harga pada sektor pertanian pada simulasi 2 di atas mengindikasikan bahwa besarnya produktivitas belum mampu mengurangi biaya produksi dan harga.

Tabel 4.59. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap Tingkat

Harga di Masing-Masing Sektor (Perubahan Persentase)

No Sektor Simulasi 1 Simulasi 2 1 Padi -12.20 1.10 2 Tanaman bahan makanan lainnya -10.43 0.24 3 Kelapa sawit -11.61 0.46 4 Tanaman perkebunan -4.10 0.12 5 Peternakan dan hasil-hasilnya -9.99 -0.80 6 Kehutanan -11.16 -1.06 7 Perikanan -6.00 0.23 8 Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya -2.69 -6.09 9 Pertambangan minyak, gas dan panas bumi -0.01 -0.37

10 Industri makanan minuman dan tembakau -2.69 -1.13 11 Ikan Olahan -0.78 -0.64 12 Minyak Sawit -0.45 -0.52 13 Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki -0.23 -0.41 14 Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya -0.36 -0.31 15 Industri kertas dan barang dari cetakan -0.13 -0.26 16 Industri pupuk, kimia dan barang dari karet dan mineral bukan logam -0.54 -0.79 17 Pengilangan minyak bumi -0.04 -0.20 18 Industri semen -3.29 -3.43 19 Industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi -1.84 -2.97 20 Industri barang dari logam -2.77 -3.08 21 Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya -0.20 -1.01 22 Industri lainnya -0.42 -0.97 23 Listrik, gas dan air bersih -4.82 -0.42 24 Bangunan -16.55 -6.49 25 Perdagangan -1.77 -1.98 26 Hotel dan Restoran -2.55 -1.30 27 Angkutan darat -3.39 0.23 28 Angkutan Air -1.08 -0.17 29 Angkutan Udara -2.24 -0.13

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 117

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

No Sektor Simulasi 1 Simulasi 2 30 Komunikasi -3.81 0.31 31 Lembaga keuangan -0.22 0.18 32 Pemerintahan umum dan pertahanan -6.14 -0.92 33 Jasa-jasa lainnya -5.44 -0.20

Keterangan: Simulasi 1: Peningkatan investasi pemerintah Simulasi 2: Peningkatan investasi swasta

Dampak simulasi kebijakan terhadap performa distribusi pendapatan rumah tangga berguna untuk mengetahui kelompok rumahtangga mana saja menerima dampak positif atau negatif akibat kebijakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.60.

Tabel 4.60. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap Distribusi Pendapatan Nominal dan Riil Rumah Tangga di Tingkat Nasional (Perubahan Persentase)

Nominal Riil No Rumah Tangga Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 1 Simulasi 2 1 rural1 -3.08 -0.84 0.02 -0.23 2 rural2 -2.65 -0.64 0.45 -0.03 3 rural3 -2.51 -0.52 0.59 0.09 4 rural4 -2.14 -0.22 0.96 0.39 5 rural5 -1.89 -0.07 1.21 0.54 6 rural6 -2.29 -0.35 0.81 0.26 7 rural7 -1.38 0.29 1.72 0.90 8 urban1 -2.41 -0.44 0.69 0.17 9 urban2 -2.40 -0.23 0.70 0.38

10 urban3 -1.31 0.37 1.79 0.98 Keterangan: Simulasi 1: Peningkatan investasi pemerintah Simulasi 2: Peningkatan investasi swasta

Pada Tabel 4.60. terlihat bahwa secara umum peningkatan investasi swasta dan pemerintah mengakibatkan pendapatan rumah tangga secara nominal menurun. Namun, pendapatan rumah tangga secara riil mengalami peningkatan yang relatif kecil. Besaran perubahan penurunan distribusi pendapatan secara nominal berkisar antara -1,31 dan -3,08 persen untuk simulasi 1 dan antara -0,07 dan -0,84 persen pada simulasi 2. Sedangkan secara riil, perubahan distribusi pendapatan meningkat antara 0,02 dan 1,79 persen, kecuali untuk rural1 dan rural2 mengalami penurunan pendapatan riil pada simulasi 2. Dampak paling kecil dirasakan pada rumah tangga dengan pendapatan terkecil baik di perdesaan maupun perkotaan. Sebaliknya, peningkatan pendapatan paling besar akan terjadi pada rumahtangga pada golongan dengan pendapatan tertinggi di perdesaan (rural7) dan perkotaan (urban3).

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 118

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Dampak simulasi kebijakan terhadap tenaga kerja di masing-masing sektor akan diuraikan dengan melihat hasilnya pada Tabel 4.61. Secara umum, peningkatan investasi pemerintah maupun swasta mengakibatkan peningkatan jumlah tenaga kerja di sebagian besar sektor. Dampak dari peningkatan investasi pemerintah tersebut, yang memberikan kenaikan permintaan tenaga kerja yang paling besar adalah sektor tanaman perkebunan, yang merupakan sektor padat tenaga kerja. Dengan adanya pertumbuhan tenaga kerja yang dimasukkan pada model recursive dynamic, penawaran tenaga kerja akan meningkat lebih tinggi dibanding peningkatan permintaannya. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan upah riil. Namun, terdapat sektor-sektor yang melakukan penurunan penggunaan tenaga kerja. Pada simulasi 1, sektor-sektor dimana penyerapan tenaga kerjanya menurun adalah sektor padi, kelapa sawit, peternakan dan hasil-hasilnya, indutri semen, industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi, industri barang dari logam, listrik, gas dan air bersih, bangunan dan sektor pemerintahan umum dan pertahanan. Sedang pada simulasi 2 sektor-sektor yang penyerapan tenaga kerjanya menurun adalah sektor pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lain, industri semen, industri barang dari logam, bangunan dan perdagangan. Pada sektor-sektor tersebut, penurunan permintaan tenaga kerjanya terjadi karena peningkatan produktivitas yang terjadi menyebabkan sektor tersebut lebih efisien dalam menggunakan tenaga kerja. Pengurangan permintaan tenaga kerja yang terjadi lebih besar dari peningkatan penawaran tenaga kerja akibat meningkatnya trend tenaga kerja pada model recursive dynamic.

Tabel 4.61. Hasil Simulasi Peningkatan Investasi Pemerintah dan Swasta terhadap Tenaga

Kerja Sektoral di Masing-Masing Sektor (Perubahan Persentase)

No Sektor Simulasi 1 Simulasi 2

1 Padi -2.43 2.71 2 Tanaman bahan makanan lainnya 0.07 1.62 3 Kelapa sawit -1.75 3.64 4 Tanaman perkebunan 12.45 2.80 5 Peternakan dan hasil-hasilnya -1.40 1.62 6 Kehutanan -0.77 0.01 7 Perikanan 4.61 1.96 8 Pertambangan batu bara, biji logam dan penggalian lainnya 0.71 -2.36 9 Pertambangan minyak, gas dan panas bumi 2.34 2.92

10 Industri makanan minuman dan tembakau 9.44 2.44 11 Ikan Olahan 11.03 6.16 12 Minyak Sawit 8.56 4.82 13 Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki 6.30 7.44 14 Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya 9.22 5.03 15 Industri kertas dan barang dari cetakan 4.40 4.16 16 Industri pupuk, kimia dan barang dari karet dan mineral bukan logam 5.82 6.64 17 Pengilangan minyak bumi 1.99 2.91 18 Industri semen -4.55 -0.96

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 119

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

No Sektor Simulasi 1 Simulasi 2

19 Industri dasar besi dan baja dan logam dasar bukan besi -0.07 0.97 20 Industri barang dari logam -5.75 -4.86 21 Industri alat angkutan, mesin dan peralatannya 5.62 3.98 22 Industri lainnya 5.92 4.39 23 Listrik, gas dan air bersih -1.68 2.46 24 Bangunan -25.47 -18.45 25 Perdagangan 2.30 -0.24 26 Hotel dan Restoran 3.41 1.81 27 Angkutan darat 2.23 2.57 28 Angkutan Air 7.85 1.34 29 Angkutan Udara 13.04 1.62 30 Komunikasi 0.39 0.98 31 Lembaga keuangan 2.46 0.99 32 Pemerintahan umum dan pertahanan -1.41 0.54 33 Jasa-jasa lainnya 0.26 0.99

Keterangan: Simulasi 1: Peningkatan investasi pemerintah Simulasi 2: Peningkatan investasi swasta 4.3 Pembahasan

Sub bab ini membahas mengenai keterkaitan hasil analisis berdasarkan model CGE dan model ekonometrika. Pendekatan analisis kedua model tersebut diharapkan dapat saling melengkapi untuk mengasilkan suatu konsep dan model perencanaan lintas wilayah dan lintas sektor.

4.3.1 Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Model perencanaan lintas wilayah dan lintas sektor yang dimaksud adalah suatu model yang dapat dijadikan perangkat analisis perencanaan pembangunan wilayah untuk menjawab pertanyaan mengenai: (1) wilayah mana (batasan wilayah dalam kajian ini adalah provinsi) yang akan menjadi skala prioritas pembangunan; (2) sektor apa saja yang akan menjadi basis pertumbuhan ekonomi di wilayah bersangkutan; (3) bagaimana komposisi pengeluaran pemerintah pada sektor dan wilayah tersebut yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, serta mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Terkait dengan perencanaan pembangunan wilayah, salah satu isu pokok adalah kegiatan investasi yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta serta dampaknya terhadap indikator ekonomi makro dan distribusi pendapatan. Mengingat pentingnya peran investasi di suatu wilayah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan menjamin pemerataan hasil pembangunan menurut masing-masing daerah, maka di era otonomi daerah dan desentraliasai fiskal ini peningkatan aktivitas penanaman modal di daerah harus ditangani secara serius. Di samping itu, keberhasilan pembangunan

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 120

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

ekonomi tidak hanya ditentukan oleh kegiatan investasi di daerah, tetapi juga oleh investasi pemerintah pusat melalui alokasi dana dekonsentrasi dan kebijakan lain yang terkait dengan penciptaan iklim investasi. Untuk kepentingan tersebut, kajian ini menggunakan pendekatan analisis model CGE sebagai salah satu perangkat untuk menyusun model perencanaan lintas wilayah dan lintas sektor. Dalam kaitannya dengan kebijakan fiskal, kajian ini juga menggunakan pendekatan simulasi model ekonometrika untuk menganalisis dampak pengeluaran pemerintah yang terdiri dari 3 komponen, yaitu belanja modal, belanja barang dan jasa, belanja pegawai khususnya yang terkait langsung dengan pelayanan publik terhadap indikator ekonomi makro serta pengangguran dan kemiskinan. Berdasarkan hasil analisis model ekonometrika telah diperoleh besaran elastisitas berdasarkan wilayah dan sektor. Wilayah yang dimaksud adalah 30 provinsi dari 33 provinsi yang ada (kecuali provinsi Sulawesi Barat, Irian Jaya Barat, dan Kepulauan Riau). Adapun cakupan sektor mengacu pada 9 sektor PDRB yaitu: (1) Pertanian, (2) Pertambangan; (3) Industri Pengolahan; (4) Listrik Gas dan Air; (5) Bangunan; (6) Perdagangan; (7) Transportasi; (8) Lembaga Keuangan dan (9) Jasa. Besaran nilai elastisitas menunjukan pengaruh (perubahan nilai) variabel eksogen terhadap variabel endogen jika variabel endogen naik 1 persen dalam kondisi cateris paribus. Nilai elastisitas yang kurang dari 1 dianggap tidak elastis (inelastic) sedangkan nilai elastisitas yang lebih dari 1 adalah elastis. Dampak jenis pengeluaran pemerintah pusat terhadap output sektoral pada level provinsi yang memiliki nilai elastisitas lebih besar dari 1 dapat dilihat pada Tabel 4.62 berikut ini.

Tabel 4.62. Respon Pengeluaran Pemerintah Pusat terhadap Output Sektoral yang Memiliki Nilai Elastisitas Lebih Besar Dari 1

Output Sektoral Jenis Pengeluaran Pemerintah

Wilayah/Provinsi

1. Pertanian Belanja Modal - Belanja Barang dan Jasa - 2. Pertambangan - - 3. Industri Pengolahan Belanja Modal Gorontalo, NTT, Maluku, Papua Belanja Barang dan Jasa NTT, Maluku dan Papua 4. Listrik Gas dan Air Belanja Barang dan Jasa Maluku dan Papua 5. Bangunan Belanja Modal NAD, Maluku, Maluku Utara, Papua Belanja Barang dan Jasa Maluku Belanja Pegawai DIY, Gorontalo, Bali, Maluku Utara 6. Perdagangan Belanja Modal NAD, Gorontalo, Papua 7. Transportasi - -

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 121

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Output Sektoral Jenis Pengeluaran Wilayah/Provinsi Pemerintah

8. Lembaga Keuangan Belanja Modal Riau, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Papua

Belanja Pegawai Riau, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, DIY, Kalimantan Timur, Gorontalo, Bali, NTB, NTT, Maluku Utara, Papua

9. Jasa - - Berdasarkan Tabel 4.62 dapat disimpulkan bahwa kebijakan kenaikan pengeluaran pemerintah perlu memperhitungkan prioritas sektor, komposisi pengeluaran/belanja pemerintah pusat, dan provinsi. Hal ini dapat dipahami karena peningkatan belanja pemerintah sebesar 1 persen akan mendorong kenaikan nilai output sektoral lebih dari 1 persen pada provinsi-provinsi sebagaimana Tabel 4.58. Sedangkan kenaikan output daerah lain kurang dari 1 persen (nilai elastisitas < 1). Pengeluaran pemerintah merupakan injeksi terhadap perekonomian yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Namun, data empiris dapat menunjukkan respon terhadap output sektoral tidak elastis. Mengacu pada hasil simulasi model ekonometrika, peningkatan belanja modal, belanja barang dan jasa, serta belanja pegawai sebesar 5 persen lebih tinggi dari rata-rata yang telah diterapkan pada periode 2000-2005 secara keseluruhan berdampak positif terhadap output sektor, penurunan jumlah pengangguran dan kimiskinan, serta kinerja fiskal daerah. Skenario peningkatan belanja pegawai sebesar 5 persen tidak menyebabkan kenaikan output sektor khususnya sektor pertanian dan sektor listrik, gas dan air baik tingkat nasional maupun wilayah. Dalam kajian ini, belanja modal, belanja pegawai serta belanja barang dan jasa merupakan kategori belanja pelayanan publik. Pembangunan suatu wilayah tidak bisa terlepas dari upaya meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja bagi masyarakat daerah. Di samping itu, dalam penentuan alokasi pengeluaran pemerintah pusat yang ditujukan untuk pembangunan di daerah secara efektif dan optimal, pemerintah daerah dan masyarakat harus secara bersama-sama merancang pembangunan ekonomia daerah. Upaya itu termasuk optimasi pengelolaan sumberdaya yang ada seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Pada akhirnya, hasil pembangunan di wilayah dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat manakala terjadi peningkatan jumlah lapangan kerja, peningkatan jumlah penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan pemerataan pendapatan masyarakat serta pengurangan jumlah kemiskinan di daerah. Hasil simulasi model ekometrika pada kajian ini juga mengarah pada tinggginya penyerapan tenaga kerja di masing-masing sektor, pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Dengan

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 122

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

demikian dapat dipahami bahwa pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk belanja pelayanan publik berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Berdasarkan hasil simulasi model ekonometrika, alternatif penetapan target pertumbuhan PDRB sebesar 5 persen, akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di hampir seluruh sektor, kecuali untuk sektor industri khususnya di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu, Banten, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, Maluku Utara dan provinsi Papua. Penurunan ini antara lain disebabkan oleh turunnya PDRB sektor industri di masing-masing provinsi. Secara nasional penetapan target pertumbuhan PDRB akan menyebabkan tingkat pengangguran di perkotaan meningkat, sedangkan tingkat pengangguran di perdesaan mengalami penurunan dengan jumlah yang lebih besar dari peningkatan pengangguran di perkotaan, sehingga alternatif kebiakan ini masih dapat menurunkan total pengangguran nasional sebesar 0.61 persen. Alternatif kebijakan ini juga akan memberikan dampak postif terhadap penanggulangan kemiskinan, hal ini terlihat dari penurunan jumlah orang miskin baik di daerah perkotaan maupun di daerah perdesaan.

Selanjutnya, terdapat fenomena yang menarik bahwa ketika simulasi kebijakan kenaikan belanja pemerintah sebesar 5 persen akan menaikan produksi di tingkat nasional dan tingkat wilayah, tetapi dampak peningkatan GDP di tingkat regional (provinsi) sangat bervariasi bahkan fluktuasinya sangat tajam. Hal ini mengindikasikan bahwa hasil simulasi kebijakan kenaikan belanja pemerintah tersebut ada indikasi memiliki pengaruh positif terhadap kesenjangan antarwilayah. Untuk itu, pemerintah harus campur tangan dengan menerapkan kebijakan fiskal yang efektif dan mampu mengurangi kesenjangan antarwilayah. Instrumen kebijakan yang dapat digunakan adalah pajak, pengeluaran pemerintah dan pembayaran transfer. Terkait dengan dengan kegiatan investasi, dalam kajian ini juga mengembangkan model CGE. Berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa dampak peningkatan produktivitas yang mengakibatkan peningkatan investasi dari sisi pemerintah menyebabkan peningkatan pendapatan domestik bruto (PDB) riil nasional sebesar 3,47 persen untuk 10 tahun ke depan sedangkan untuk investasi swasta berdampak pada penigkatan PDB rill sebesar 1,78 persen. Hal ini berarti bahwa jika peningkatan produktivitas akibat investasi (swasta dan pemerintah) tetap terjadi dengan tingkat yang sama selama 10 tahun akan berdampak pada kondisi perekonomian yang semakin membaik. Peningkatan produktivitas juga mendorong sebagian besar sektor untuk berlaku efisien sehingga mampu menghasilkan barang yang murah. Terkait dengan variabel harga, dampak peningkatan produktivitas pada seluruh simulasi mengakibatkan penurunan harga-harga dan pada gilirannya konsumsi masyarakat akan meningkat karena penuruan upah riil rata-rata masih lebih kecil dari penurunan idesks harga konsumen.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 123

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

Pada tingkat regional, secara umum hasil simulasi model CGE-IR mengenai peningkatan investasi (swsta dan pemerintah) melalui peningkatan produktivitas berdampak positif terhadap PDRB di seluruh wilayah kajian. Adapun dampak terbesar secara berturut-turut adalah Provinsi Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Pada kedua daerah tersebut, jika dilihat dari hasil analisis elastisitas PDRB sektoral dalam kajian model ekonometrika diperoleh data sebagai berikut. Tebel 4.63. Nilai elastisitas PDRB Sektoral terhadap Investasi

Nilai Elastisitas Investasi Sulawesi Selatan Sumatera Utara Uraian

Swasta Pemerintah Swasta Pemerintah PDRB Sektor Pertanian 0.32431 0.14691 0.02596 0.03855

PDRB Sektor Industri Pengolahan 0.3080 Tidak dikaji 0.0063 Tidak dikaji

PDRB Sektor LGA 0.0437 Tidak dikaji 0.0381 Tidak dikaji PDRB Sektor Bangunan Tidak dikaji 0.6528 Tidak dikaji 0.1974 PDRB Sektor Perdagangan Tidak dikaji 0.0062 Tidak dikaji 0.0030 PDRB Sektor Transportasi Tidak dikaji 0.0703 Tidak dikaji 0.0172

PDRB Sektor Lembaga Keuangan 0.7151 Tidak dikaji 0.0176 Tidak dikaji

PDRB Sektor Jasa Tidak dikaji 0.0826 Tidak dikaji 0.0529 Berdasarkan tabel di atas, secara keseluruhan pengaruh investasi di masing-masing sektor berdampak positif terdadap nilai PDRB pada sektor bersangkutan, meskipun berdasarkan besaran nilai elastisitas tergolong tidak elastis (nilai elastisitas < 1). Nilai elastisitas tersebut menunjukan besarnya pengaruh perubahan prosentase nilai PDRB sebesar nilai elastisitas, jika nilai investasi naik 1 persen dalam kondisi cateris paribus. Dengan membandingkan kedua wilayah tersebut, pengaruh investasi terhadap PDRB sektoral paling besar terjadi di Provinsi Sulawesi Selatan artinya hasil analisis dengan model ekonometrik dan model CGE dapat dikatakan identik. Dari hasil simulasi model CGE-IR, meskipun PDRB dihampir seluruh daerah terpilih mengalami peningkatan, namun upah riil di masing-masing daerah mengalami penurunan. Penurunan tingkat upah riil tidak memberikan dampak besar terhadap daya beli karena secara nasional penurunan indeks harga konsumen lebih besar dibanding penurunan tingkat upah riil. Selanjutnya, hasil simulasi peningkatan investasi pemerintah dan swasta terhadap output subsektor ternyata tidak mengakibatkan peningkatan output pada sektor-sektor tertentu. Hal ini mengindikasikan terjadinya peningkatan produktivitas di sektor tersebut. Dampak peningkatan investasi secara umum mengakibatkan peningkatan jumlah tenaga kerja. Dari hasil simulasi model CGE-IR, dampak dari peningkatan investasi

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 124

Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor

pemerintah terhadap peningkatan permintaan tenaga kerja yang paling besar di subsektor tanaman perkebunan. Sedangkan hasil simulasi model ekonometrika menunjukkan bahwa dampak kenaikan belanja modal terhadap penyerapan tenaga kerja paling besar secara berturut-turut terjadi di sektor perdagangan, industri pengolahan dan pertanian.

Direktorat Kewilayahan I, Bappenas 125