49
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kecamatan Cakranegara Pulau Lombok adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah Timur Pulau Bali tepatnya pada 8º12’-9º11’LS, dan antara 115º44’-116º40’BT. Secara ukuran, pulau Lombok hanya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan Pulau Bali yaitu sekitar ± 47.000 km 2 . Kedua pulau dipisahkan oleh sebuah selat dalam, termasuk yang terdalam, yang bernama Selat Lombok . Di sebelah Timur, Pulau Lombok berbatasan dengan Pulau Sumbawa yang dipisahkan oleh selat Sape. Pulau Lombok dan Sumbawa bersatu dalam tingkat administrasi TK.I yaitu Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sebelah utara Lombok berbatasan dengan Laut Jawa dan sebelah selatannya adalah Lautan Hindia. Mataram sebagai salah satu Kota di Propinsi Nusa Tenggara Barat, letaknya diapit antara kabupaten Lombok Barat dan Selat Lombok. Letaknya antara 08 o 33’ dan 08 o

Bab IV Gambaran Umum

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab IV Gambaran Umum

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Kecamatan Cakranegara

Pulau Lombok adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah Timur Pulau

Bali tepatnya pada 8º12’-9º11’LS, dan antara 115º44’-116º40’BT. Secara ukuran,

pulau Lombok hanya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan Pulau Bali yaitu

sekitar ± 47.000 km2. Kedua pulau dipisahkan oleh sebuah selat dalam, termasuk

yang terdalam, yang bernama Selat Lombok . Di sebelah Timur, Pulau Lombok

berbatasan dengan Pulau Sumbawa yang dipisahkan oleh selat Sape. Pulau

Lombok dan Sumbawa bersatu dalam tingkat administrasi TK.I yaitu Propinsi

Nusa Tenggara Barat. Sebelah utara Lombok berbatasan dengan Laut Jawa dan

sebelah selatannya adalah Lautan Hindia.

Mataram sebagai salah satu Kota di Propinsi Nusa Tenggara Barat,

letaknya diapit antara kabupaten Lombok Barat dan Selat Lombok. Letaknya

antara 08o 33’ dan 08o 38’ Lintang Selatan dan antara 116o 04’ - 116o 10’ Bujur

Timur. Luas wilayah kota Mataram adalah 61,30 km2, yang terbagi dalam 6

kecamatan. Kecamatan terluas adalah Selaparang yaitu sebesar 10,7653 Km2,

disusul Kecamatan Mataram dengan luas wilayah 10,7647 km2, sedangkan

wilayah terkecil adalah Kecamatan Ampenan dengan luas 9,4600 km2.

Berdasarkan data yang ada di BPS Propinsi NTB tahun 2010, jumlah

penduduk Mataram tercatat 402.843 jiwa. Jumlah penduduk perempuan lebih

besar dibandingkan jumlah penduduk perempuan, ditunjukkan oleh rasio jenis

Page 2: Bab IV Gambaran Umum

kelamin (rasio jumlah penduduk laki-laki terhadap jumlah penduduk perempuan),

sebesar 98 persen. Penduduk Mataram belum menyebar secara merata di seluruh

wilayah Mataram. Umumnya, penduduk banyak menumpuk di kecamatan

Ampenan. Secara rata-rata, kepadatan penduduk Mataram tercatat sebesar 6.572

jiwa setiapkilometer persegi, dan wilayah terpadat yaitu kecamatan Ampenan

yang memiliki tingkat kepadatan 8.328 orang setiap kilometer persegi.

Kehidupan beragama yang harmonis sangat didambakan masyarakat. Hal

ini terlihat dari tempat-tempat peribadatan yang ada di sekitar warga, seperti

mesjid, gereja, dan lainnya. Banyaknya tempat peribadatan di Mataram pada

tahun 2010, mencapai 738 buah, yang terdiri dari sebanyak 597 masjid, langgar

dan musholla, sebanyak 123 pura dan sisanya berupa gereja, vihara dan kelenteng.

Cakranegara merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota Mataram,

terletak antara Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Lombok Barat dan Kecamatan

Selaparang. Letaknya antara 1160 7” - 1160 8” Bujur Timur dan 80 34” - 8035”

Lintang Selatan. Kecamatan Cakranegara terdiri dari 10 (sepuluh) Kelurahan

dengan luas wilayah 9.67 km2 yaitu Kelurahan Cakranegara Barat, Kelurahan

Cilinaya, Kelurahan Sapta Marga, Kelurahan Mayura, Kelurahan Cakranegara

Timur, Kelurahan Cakranegara Selatan, Kelurahan Cakranegara Selatan Baru,

Kelurahan Karang Taliwang, Kelurahan Cakranegara Utara dan Kelurahan

Sayang-Sayang. Kelurahan terluas adalah Sayang-Sayang yang merupakan

ibukota Kecamatan Cakranegara, sedangkan yang memiliki luas wilayah paling

kecil adalah Kelurahan Cakranegara Barat. Semua wilayah Cakranegara

merupakan daerah bukan pantai dengar rata-rata curah hujannya 152.75 mm per

Page 3: Bab IV Gambaran Umum

bulan (Cakranegara dalam Angka, 2010:2). Kecamatan Cakranegara merupakan

sentra bisnis di Kota Mataram atau bahkan di Nusa Tenggara Barat sehingga

jalan-jalan utamanya dipenuhi oleh pusat pertokoan dan merupakan daerah yang

sangat sibuk setiap harinya.

Selengkapnya data tentang banyaknya Lingkungan, Rukun Warga (RW)

dan Rukun Tetangga (RT) adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1. Jumlah Lingkungan, RW Dan RT Menurut Kelurahan di Kecamatan Cakranegara Tahun 2009

Kelurahan Lingkungan

Rukun

Warga

(RW)

Rukun

Tetangga

(RT)

1. Cakranegara Barat 9 - 32

2. Cilinaya 10 - 35

3. Sapta Marga 7 - 31

4. Mayura 7 - 30

5. Cakranegara Timur 8 - 25

6. Cakranegara Selatan 10 - 35

7. Cakranegara Selatan Baru 5 - 24

8. Karang Taliwang 3 - 26

9. Cakranegara Utara 4 - 21

10. Sayang-Sayang 8 - 36

Jumlah 71 - 295

Sumber : Kecamatan Cakranegara Dalam Angka 2008/2009

Page 4: Bab IV Gambaran Umum

Penduduk Kecamatan Cakranegara sebagian besar beragama Islam,

menyusul agama Hindu, Agama. Budha dan agama Kristen/Katolik. Selanjutnya

dipaparkan data tentang jumlah pemeluk agama di Kecamatan Cakranegara

sebagai berikut :

Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Menurut Agama dan Kelurahan di Kecamatan Cakranegara Tahun 2009

Kelurahan Islam Kristen/

Katolik

Hindu Buddh

a/

Lainny

a

Jumlah

1 2 3 4 5 6

1. Cakranegara Barat 3.608 340 2.503 405 6.406

2. Cilinaya 1.736 300 2.346 692 5.074

3. Sapta Marga 1.225 402 4.281 375 6.253

4. Mayura 2.032 192 2.756 354 5.334

5. Cakranegara Timur 844 255 2.327 330 3.756

6. Cakranegara Selatan

3.155 14 3.048 6 6.223

7. Cakranegara Selatan Baru

4.553 133 1.945 53 6.664

8. Karang Taliwang 3.975 15 1.444 19 5.453

9. Cakranegara Utara 1.494 32 3.693 51 5.270

10. Sayang-Sayang 7.092 - 58 - 7.150

Jumlah 29.694 1.683 23.951 - 57.613

Sumber : Kantor Kecamatan Cakranegara

Masing-masing pemeluk agama di Kecamatan Cakranegara memiliki

Page 5: Bab IV Gambaran Umum

sarana ibadah yang permanent. Adapun jumlah sarana ibadah tersebut dapat

dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 4.3. Jumlah Sarana Ibadah Menurut Kelurahan di Kecamatan Cakranegara Tahun 2009

Kelurahan Masjid Langgar Gereja Pura Wihara

1. Cakranegara Barat 4 6 - 3 1

2. Cilinaya 1 1 1 10 -

3. Sapta Marga 1 1 - 11 -

4. Mayura 2 1 1 4 -

5. Cakranegara Timur 1 1 1 8 1

6. Cakranegara Selatan 3 6 - 9 1

7. Cakranegara Selatan Baru

2 3 - 3 -

8. Karang Taliwang 2 6 - 5 -

9. Cakranegara Utara 1 3 - 12 -

10. Sayang-Sayang 6 18 - - -

Jumlah 23 46 3 65 3

Sumber : Kantor Kecamatan Cakranegara

Pura Meru sebagai lokasi penelitian ini, terletak di wilayah Kelurahan

Cakranegara Timur tepatnya berada di jalan Pejanggik yang merupakan jalan

utama yang menghubungkan Kota Mataram dengan Kabupaten Lombok Tengah

dan Kabupaten Lombok Timur. Diseberang utara Pura Meru, terdapat lokasi

Taman Mayura yang menjadi satu komplek dengan Pura Klepug yang mata airnya

digunakan sebagai temapat untuk mensucikan Pratima yang akan digunakan

menjelang upacara Piodalan di Pura Meru, dan Puri Pamotan tempat tinggal

Page 6: Bab IV Gambaran Umum

keturunan Raja Cakranegara.

Gambar 4.1. Peta Kelurahan Cakranegara Timur

Gambar 4.2. Pura Meru Dilihat dari Udara

4.2 Sejarah dan Eksistensi Komunitas Hindu Bali Lombok di Cakranegara

Dari buku Kupu-Kupu Kuning dan Bali Pada Abad XIX dapat dirangkum

sejarah Cakranegara sebagai berikut :

Page 7: Bab IV Gambaran Umum

Pada masa pemerintahan Dalem Watu Renggong (abad XV), kerajaan

Gelgel di pulau Bali mengalami puncak kebesaran. Daerah kekuasaannya sampai

di luar pulau Bali meliputi : Lombok, Sumbawa, dan Blambangan. Setelah Dalem

Watu Renggong meninggal, ia digantikan oleh dua orang putranya yang belum

dewasa, yaitu yang sulung bernama I Dewa Pemayun, kemudian setelah di angkat

menjadi raja bergelar Dalem Bekung dan yang lebih kecil bernama I Dewa Anom

Saganing, bergelar Dalem Saganing. Karena umurnya masih muda, dalam

menyelenggarakan pemerintahannya, mereka di dampingi oleh lima orang yaitu : I

Dewa Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, dan I

Dewa Pasedangan. Mereka adalah putra dari I Dewa Tegal Besung, adik dari

Dalem Watu Renggong. Jabatan patih agung pada saat itu di pegang oleh I Gusti

Arya Batanjeruk, dan semua kebijakan pemerintahan ada di tangan patih agung

Batanjeruk. Situasi seperti ini lama kelamaan menimbulkan ketidak puasan

dikalangan pejabat kerajaan. Tampaknya gelagat Batanjeruk untuk mengambil

alih kekuasaan dari tangan kedua raja yang masih muda itu telah di ketahui oleh

penasehat raja Dang Hyang Astapaka. Penasehat raja ini telah menasehati

Batanjeruk agar tidak melakukan hal yang membahayakan, karena pengikut raja

cukup kuat. Namun, nasehat Dang Hyang Astapaka itu tidak di hiraukan oleh

Batanjeruk sehingga ia meninggalkan istana kerajaan Gelgel menuju kesebuah

desa bernama Budakeling yang terletak di daerah Karangasem Bali.

Pada tahun 1556, terjadilah kekacauan di kerajaan Gelgel. Patih Agung

Batanjeruk dan salah seorang pendamping raja yaitu I Dewa Anggungan

mengadakan perebutan kekuasaan. Pasukan kerajaan Gelgel dapat melumpuhkan

Page 8: Bab IV Gambaran Umum

pasukan Batanjeruk. Akhirnya Batanjeruk melarikan diri ke Desa Bungaya, masih

dalam wilayah Karangasem dan ditempat itulah ia di bunuh oleh pasukan Gelgel

pada tahun 1556 istri dan anak angkatnya yang bernama I Gusti Oka dapat

menyelamatkan diri, mengungsi dikediaman Dang Hyang Astapaka di

Budakeling, sedangkan para keluarga lainnya ada yang menetap di Batuaya

Karangasem. Setelah berlangsung beberapa lama dari meninggalnya Batanjeruk, I

Dewa Karangamla tertarik kepada janda Batanjeruk yang pada saat itu tinggal di

kediaman Dang Hyang Astapaka. Ia ingin meminang sang janda, namun atas

nasehat Dang Hyang Astapaka kepada sang janda agar mengajukan suatu syarat

yaitu setelah perkawinannya berlangsung agar I Dewa Karangamla mau

mengangkat putranya menjadi penguasa di Karangasem. I Dewa Karangamla

setuju. Akhirnya putra yang bernama I Gusti Oka dapat berkuasa di Kerajaan

Karangasem dan mulai saat itulah kekuasaan di Kerajaan karangasem di pegang

oleh dinasti Batanjeruk.

I Gusti Oka atau di kenal juga dengan sebutan pangeran Oka mempunyai

tiga orang istri. Salah satu putranya dari istri yang tertua melanjutkan

pemerintahan di kerajaan Karangasem yang bernama I Gusti Anglurah Ketut

Karang, disebutkan sebagai raja Karangasem ke III. Kerajaan Karangasem ke III

inilah mulai tanpak pengaturan wilayah kerajaan, yaitu dengan didirikan puri

Amlaraja yang kemudian bernama Puri Klodan.

Ketika I Gusti Anglurah Ketut karang mengalami masa pemerintahannya,

ia menyerahkan kekuasaan kepada ketiga putranya yang laki-laki untuk

memerintah bersama-sama. Sistim pemerintahan secara kolektif seperti ini

Page 9: Bab IV Gambaran Umum

merupakan hal yang lazim berlaku di kalangan kerajaan Karangasem Bali, di

bawah pemerintahan merekalah kerajaan Karangasem Bali semakin menanjak.

Beberapa faktor penting yang menyebabkan kalangan kerajaan Karangasem Bali

semakin meluas : Pertama, kerajaan Gelgel sebagai pusat pemerintahan di Bali

yang pada masa pemerintahan Dalem Dimade mengalami kemerosotan. Banyak

wilayah kekuasaannya di luar Bali mengembangkan diri, sedangkan situasi di

dalam negeri terpecah belah. Kedua, situasi politik di Bali antara tahun 1650-1686

memberikan kesempatan kepada kerajaan-kerajaan yang sebelumnya menjadi

taklukkan (vazal), membebaskan diri dari kekuasaan raja tertinggi (sesuhunan)

yang kerajaannya pindah dari Gelgel ke Klungkung. Kerajaan Karangasem di Bali

mengembangkan kekuasaannya ke arah timur yaitu Pulau Lombok pada tahun

1691, dan membantu kerajaan Buleleng menaklukkan Blambangan pada tahun

1697. Ketiga, kekuatan spiritual yang bersumber pada kualitas Supernatural

seorang pemimpin, merupakan tipe-tipe kekuasaan yang kharismatik, yaitu

kepercayaan yang mengembangkan ketentuan raja sebagai Dewa. Hal ini

merupakan suatu keunikan yang dimiliki oleh ketentuan raja-raja di kerajaan

Karangasem sehingga dapat membawa kerajaan Karangasem ke puncak

kebesarannya, dan menjadikan sebuah kerajaan yang terkuat, terutama di Bali dan

Lombok.

Selama masa pemerintahan Raja Karangasem ke IV (sekitar tahun 1680-

1705) yang di perintah oleh tiga orang bersaudara itu, tidak banyak hal yang di

ketahui kecuali penaklukan atas pulau Lombok yang dipimpin oleh I Gusti

Anglurah Ketut Karangasem.

Page 10: Bab IV Gambaran Umum

Seperti telah disebutkan di atas, pada masa pemerintahan raja

Karangasem ke IV, yang di perintah oleh tiga orang bersaudara yaitu I Gusti

Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti

Anglurah Ketut Karangasem telah berhasil meluaskan kekuasaan ke pulau

Lombok pada tahun 1691. De Graaf berpendapat bahwa jatuhnya kerajaan Gelgel

hampir bersamaan dengan bangkitnya kerajaan Karangasem Bali dan dikuasainya

pulau Lombok. situasi politik di pulau Lombok pada saat itu juga memberikan

peluang besar kepada kerajaan Karangasem di Bali untuk menanamkan

kekuasaannya di pulau ini.

Hubungan politik antara Bali dan Lombok di lanjutkan oleh kerajaan

Karangasem di Bali dengan dua kerajaan besar yang ada di pulau Lombok pada

abad XVII, yaitu kerajaan Selaparang di Lombok Timur sebagai kerajaan Pesisir,

dan kerajaan Pejanggih di Lombok Tengah sebagai kerajaan Pedalaman.

Hubungan ini dimulai ketika kedua kerajaan tersebut, menjalani kekacauan

sehingga situasi itu dimanfaatkan oleh kerajaan Karangasem di Bali untuk

mengadakan intervensi.

Ada beberapa versi tentang munculnya kerajaan-kerajaan Hindu Bali yang

ada di pulau Lombok, antara lain :

Versi Pertama, menurut Babad Lombok intervensi ini bermula dari adanya

konflik antara Patih Banjar Getas dengan raja Selaparang. Raja Selaparang

mengutus patih Banjar Getas pergi ke Bali untuk mencari kijang putih (mayang

putih) yang dipakai sebagai obat. Setelah patih Banjar Getas pergi ke Bali, raja

menyuruh panggil istri Banjar Getas, yang bernama Dyah Candra Kusuma ke

Page 11: Bab IV Gambaran Umum

Istana untuk di peristri. Setelah patih Banjar Getas kembali, ia sadar bahwa

dirinya telah ditipu. Karena itulah ia berontak terhadap raja Selaparang dan minta

bantuan kepada kerajaan Karangasem di Bali. akhirnya kerajaan Selaparang dan

Pejanggik dapat di taklukkan oleh kerajaan Karangasem Bali. Versi Kedua,

menurut Babad Selaparang di sebutkan bahwa raja Selaparang minta bantuan raja

Banjarmasin sehingga akhirnya patih Banjar Getas melarikan diri ke kerajaan

Pejanggik. Karena kecerdasannya ia di anggkat menjadi adipati oleh raja

Pejanggik Pemban Mas Meraja Kusuma. Hal ini menyebabkan hubungan

Selaparang dan Pejanggik menjadi retak. Ketika patih Banjar Getas mengabdi di

kerajaan Pejanggik, terjadilah perselisihan antara patih Banjar Getas dengan istri

yang keduanya, bernama Dene Bini Lala Junti, sehingga pada akhirnya diusir.

Dengan hati yang sedih ia pergi ke hutan Memelak (sebelah utara kota Praya

sekarang), kemudian dari tempat itu ia berlayar ke pulau Bali. Setelah ia sampai di

Karangasem Bali, ia menceritakan kepada raja Karangasem tentang kekalahannya

melawan raja Selaparang, dan memohon bantuan raja Karangasem. sejak itulah

kerajaan Karangasem berangsur-angsur menaklukkan kerajaan di pulau Lombok.

Versi Ketiga, sumber lain menyebutkan bahwa ketika raja Pejanggik mengutus

Arya Banjar Getas pergi menghadap raja Klungkung dan Karangasem di Bali, raja

Pejanggik jatuh cinta kepada istri Arya Banjar Getas yang bernama Dene Bini

Lala Junti. Sekembalinya dari pulau Bali Arya Banjar Getas mendengar cerita

tentang istrinya itu, sehingga timbul keinginan untuk menantang raja Pejanggik,

sesudah ia kalah menghadapi kekuatan laskar Pejanggik, ia minta bantuan kepada

raja Karangasem di Bali. itulah sebabnya kerajaan Karangasem mengadakan

Page 12: Bab IV Gambaran Umum

hubungan politik dengan kerajaan Pejanggik di Lombok. Hubungan ini di

perkirakan mulai tahun 1691.

Versi Keempat, dalam Pelelintih Sira Arya Getas di sebutkan bahwa pada

masa pemerintahan raja Sri Kresna Kepakisan, raja ini mengutus Arya Getas

menyerang raja Selaparang di pulau Lombok. Berkat keberanian dan

ketangkasannya, kerajaan Selaparang dapat di taklukkan, dan Arya Getas di suruh

menetap di Praya Lombok Tengah

Sumber itu juga menyebutkan bahwa Arya Getas berputra tiga orang laki-

laki, yaitu I Gusti Ngurah Praya, I Gusti Warung Getas, dan I Gusti Mangedeb

We Anyar. Setelah berselang empat keturunan, yaitu pada masa pemerintahan

Dalem Dimade di Bali (tahun 1621-1651), salah seorang keturunan Arya getas

hanyut di laut dan terdampar di Lombok Timur dekat Pringgabaya. Anak yang

hanyut itu kemudian dipelihara oleh Datu Pejanggik dan diberi nama Raden

Banjar, karena di perkirakan anak tersebut adalah anak seorang pelaut dari

Banjarmasin. Sesudah Raden Banjar menanjak dewasa, ia terkenal dengan nama

panggilan Banjar Getas dan berkat jasa-jasanya ia diberi gelar Raden Kertapati. Ia

kawin dengan Dende Mas Kuning, putri yang amat cantik, yang menyebabkan

raja Pejanggik ingin memperistrinya, tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab

timbulnya perselisihan antara Banjar Getas dengan raja Pejanggik sehingga minta

bantuan kerajaan Karangasem di Bali. Pada saat itu raja I Gusti Anglurah Ketut

Karangasem memimpin langsung keberangkatannya ke pulau Lombok. Banjar

Getas yang juga di kenal dengan julukan Dipating Laga segera menyambut

kedatangan pasukan Karangasem dan menceritakan mengenai dirinya, bahwa ia

Page 13: Bab IV Gambaran Umum

adalah keturunan Arya Gajah Para dari Tianyar Karangasem Bali. Situasi menjadi

terbalik, pasukan kerajaan Karangasem memihak kepada Dipating Laga melawan

Pejanggik, dan berakhir dengan kekalahan di pihak Pejanggik. Mulai saat itu

kekuasaan Karangasem melebarkan sayapnya ke pulau Lombok.

Versi Kelima, menurut Babad Banjar Getas disebutkan bahwa Banjar

Getas adalah seorang pengembara yang berasal dari Majapahit Jawa Timur.

Menurut babad ini, ia adalah keturunan Prabu Kaisari. Ia melarikan diri ke

Lombok beserta 40 orang pengiring, karena ia merasa malu tidak dapat memenuhi

titah rajanya, yaitu Kencana Wungu, untuk membunuh Menak Jingga. Setelah

berbagai pengalaman yang di alaminya di kerajaan Selaparang, akhirnya ia

menghambakan diri di kerajaan Pejanggik, pada raja Dewa Mas Panji. Berkat

kepandaiannya ia sangat berpengaruh di kerajaan Pejanggik sehingga

menimbulkan ke kekhawatiran para pembesar kerajaan. Inilah yang menyebabkan

kerajaan Pejanggik minta bantuan kepada kerajaan Karangasem di Bali untuk

membunuh Banjar Getas. Ternyata kemudian raja Karangasem Bali memihak

kepada Banjar Getas melawan kerajaan Pejanggik. Setelah Pejanggik dapat

ditaklukkan, raja Karangasem dan Banjar Getas membagi wilayah kekuasaan di

pulau Lombok, karajaan Karangasem Bali menguasai Lombok di bagian Barat,

sedangkan Banjar Getas mendapat wilayah Lombok di bagian tengah dan timur.

Pada wilayah kekuasaan kerajaan Karangasem Bali di pulau Lombok bagian

barat, telah berdiri beberapa kerajaan-kerajaan kecil di bawah penguasa-penguasa

bangsawan Karangasem Bali. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut antara lain :

kerajaan Pagesangan, kerajaan Kediri, kerajaan Sengkongo`, kerajaan Pagutan,

Page 14: Bab IV Gambaran Umum

kerajaan Mataram, dan kerajaan Singasari. Setelah adanya penaklukan terhadap

pulau Lombok pada tahun 1691 sampai tahun 1740, di lokasi kerajaan yang

dahulunya disebut Singasari inilah diganti namanya menjadi kerajaan Karangasem

Sasak, dan kerajaan ini akan menjadi cikal bakal kerajaan Cakranegara.

Pada tahun 1740 itu diperkirakan seluruh Lombok sudah dapat di kuasai oleh

kerajaan karangasem Bali, pendapat ini diperkuat oleh suatu informasi yang

menyebutkan bahwa di beberapa daerah seperti Pejanggik, Purwa, dan Langko

diharuskan membayar upeti dengan uang, daerah Sokong dan Bayan di kenakan

upeti kapas, sedangkan daearah Praya, dan Batu Kliang di kenakan upeti darah

(upeti getih) yaitu tidak membayar upeti dalam bentuk material melainkan apabila

terjadi perang mereka harus membantu. Hal tersebut diperkirakan sudah

berlangsung sejak tahun 1740.

Dibawah pemerintahan Karangasem Bali, kekuatan politik bukan lagi

berada di Lombok Timur, melainkan di pusatkan di Lombok Barat. Pada tahun

1741 raja Karangasem Bali menempatkan seorang penguasa I Gusti Wayan Tegeh

yang berkedudukan di Tanjungkarang (sebelah selatan Ampenan sekarang atau

berada disebelah barat kerajaan Pagesangan). Pada masa pemerintahannya ia

berhasil memperkuat kedudukan Karangasem Sasak di pulau Lombok. di bawah

perlindungan kerajaan Karangasem Bali, ia melakukan kegiatan dalam bidang

perpajakan dan perdagangan. Setelah ia meninggal pada tahun 1775, ia digantikan

oleh kedua putranya, yaitu I Gusti Made Karang yang di sebut dengan nama I

Gusti Ngurah Made berdiam di Tanjungkarang, dan I Gusti Ketut Karang

bertempat tinggal di Pagesangan. Kematian I Wayan Tegeh ternyata menimbulkan

Page 15: Bab IV Gambaran Umum

perpecahan, karena pengganti-penggantinya itu saling berebut kekuasaan. Konflik

ini masih berlangsung sampai permulaan abad XIX dan bersamaan dengan

munculnya dua kerajaan kecil lainnya yaitu kerajaan Sakra di Lombok Timur, dan

kerajaan Kopang ada di Lombok Tengah.

Sejak meninggalnya I Gusti Wayan Tegeh pada tahun 1775,

Tanjungkarang tidak lagi memegang peranan penting dan digantikan oleh

munculnya kerajaan Karangasem sasak yang sejak tahun 1720 telah berada di

bawah pemerintahan I Gusti Anglurah Made Karangasem, Dewata di Pesaren

Anyar Bali. Tidak banyak yang dapat di ketahui tentang kegiatannya, namun

dalam struktur pemerintahan kerajaan Karangasem Sasak di Lombok ia

menempati status yang paling tinggi yaitu sebagai wakil (koordinator) kerajaan

Karangasem di pulau Bali. pada saat itu raja Mataram berstatus sebagai Patih,

sedangkan raja-raja kecil lainnya seperti kerajaan Pagutan, Pagesangan,

Sengkongo`, dan kerajaan Kediri memiliki status sebagai manca. Semua penguasa

di masing-masing kerajaan itu masih mempunyai hubungan kekeluargaan. Untuk

menjaga persatuan dan kesatuan diantara mereka, maka pada tahun 1720 kerajaan

Karangasem Sasak di Lombok membangun sebuah pura yang megah sebagai

tempat persembahyangan, yaitu pura Meru di Cakranegara Lombok sekarang.

Raja I Gusti Anglurah Made Karangasem yang kemudian setelah

meninggal di sebut Dewata di Karangasem Sasak, mempunyai dua orang istri dan

sepuluh orang anak. Diantara anaknya itu ada yang bernama Ratu Ngurah Made

Karangasem, yang menggantikannya sebagai raja di kerajaan Karangasem Sasak.

Dia kawin dengan saudara sepupunya yaitu putri dari raja Karangasem Bali,

Page 16: Bab IV Gambaran Umum

bernama I Gusti Ayu Agung. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Karangasem

Sasak kekuasaannya semakin besar, beberapa kerajaan kecil seperti kerajaan

Sengkongo`, dan kerajaan Kediri pada tahun 1804 ada dibawah kekuasaannya.

Kerajaan Karangasem Sasak Lombok yang dipimpin oleh Ratu Ngurah Made

Karangasem ternyata keadaannya makin kuat dan mapan. Oleh karena itu

berusaha melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Karangasem di pulau Bali.

Sementara itu melihat kekuasaan dari raja Karangasem Sasak, yang dapat

menguasai seluruh Lombok. I Gusti Lanang Paguyangan (raja Karangasem di Bali

pada waktu itu) berusaha menjatuhkan kerajaan Karangasem Sasak Lombok

dengan jalan membesar-besarkan berita bahwa perkawinan raja Karangasem

Sasak dengan I Gusti Ayu Agung tidak sah. Hal ini dipakai alasan dalam

membujuk raja Mataram Lombok I Gusti Ngurah Ketut Karangasem agar mau

menyerang kerajaan Karangasem Sasak.

Pada tahun 1835 raja Karangasem Sasak Ratu Ngurah Made Karangasem

meninggal, kemudian digantikan oleh putranya Ratu Gusti Ngurah Panji yang

kemudian bergelar I Gusti Ngurah Made Karangasem, dibawah pemerintahannya

konflik antara kerajaan Karangasem Sasak dengan kerajaan Mataram semakin

tajam, oleh adanya campur tangan dua orang pedagang asing yaitu Mads Lange

dari Denmark dan George Morgan King dari Inggris. Mads Lange menjalankan

usahanya di pelabuhan Tanjungkarang sedangkan King di pelabuhan Ampenan..

kedua pedagang ini diijinkan oleh raja kerajaan Karangasem Sasak untuk

menjalankan usahanya. George Morgan King berambisi sekali untuk mendapatkan

monopoli perdagangan di Lombok, sehingga menimbulkan konflik dengan

Page 17: Bab IV Gambaran Umum

syahbandar Cina di Ampenan. Akhirnya pada tahun 1836 dia diusir dari Ampenan

oleh raja Karangasem Sasak sehingga ia pindah ke Kuta Bali. Di Kuta ia tinggal

hanya beberapa bulan saja, kemudian dia datang lagi ke Ampenan dan minta

perlindungan raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut Karangasem. Rupanya pedagang

asing itu memanfaatkan sekali situasi konflik antara dua kerajaan tersebut untuk

meraih keuntungan, terutama dalam perdagangan senjata, mesiu, dan alat-alat

perang lainnya.

Pada bulan Januari 1838 pecahlah perang antara kerajaan Karangasem

Sasak melawan kerajaan Mataram. Perang itu meletus di sebabkan oleh pertikaian

masalah air antara desa Kateng (wilayah Lombok Tengah bagian selatan) yang

ada di bawah kekuasaan kerajaan Karangasem sasak dengan desa Penujak (juga

wilayah Lombok Tengah bagian selatan) yang berada di bawah kekuasaan

kerajaan Mataram. Raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut Karangasem menyatakan

perang karena kerajaan Karangasem Sasak mengambil desa Penujak dan daerah

sekitarnya ke dalam wilayahnya.

Pada mulanya Karangasem Sasak lebih kuat di banding dengan Mataram,

namun kemudian keadaannya menjadi berubah kerajaan Mataram berangsur-

angsur bertambah kuat berkat datangnya bantuan dari Karangasem di Bali.

Demikian juga King membantu Mataram dengan kapalnya mengangkut senjata

yang dibeli dari Singapura dan pasukan sekitar sepuluh ribu orang yang

didatangkan dari Karangasem

Akhirnya pada pertengahan tahun 1838 raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut

Karangasem tewas. Pasukan Mataram terus mengepung istana kerajaan

Page 18: Bab IV Gambaran Umum

Karangasem Sasak sehingga raja Karangasem Sasak I Gusti Ngurah Made

Karangasem melakukan perang habis-habisan, yaitu puputan bersama lebih

kurang tiga ratus orang termasuk keluarganya, kecuali dua orang anaknya laki-laki

berumur 10 tahun dapat di selamatkan. Setelah kerajaan Mataram menang

melawan kerajaan Karangasem Sasak, raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut

Karangasem langsung menggantikan ayahnya yang gugur dan mengangkat Ida

Ratu menjadi raja di Karangasem Sasak dengan gelar I Gusti Ngurah Made

Karangasem.

Menjelang akhir tahun 1838 raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut

Karangasem memindahkan ibukota kerajaannya ke wilayah kerajaan Karangasem

Sasak Lombok, kemudian beberapa tahun kemudian bekas ibukota Karangasem

Sasak selesai dibina, dan tahun 1866 diganti namanya menjadi kerajaan

Cakranegara. Cakra menurut bahasa sansekerta berarti lingkaran atau bundaran,

dan Negara adalah kota, hunian, atau negeri. Jadi Cakranegara berarti kota hunian

yang bundar melingkar.

Masa dari tahun 1866 sampai 1900 pemerintahan Cakranegara tumbuh

subur dan makmur walaupun pada waktu itu ada beberapa kekacauan seperti

terjadi perselisihan-perselisihan antara masyarakat Hindu dengan masyarakat asli

(suku Sasak), dilanjutkan dengan datangnya ekspedisi Belanda tahun 1894 mulai

ada campurtangan Belanda, hal ini tidak terlalu berpengaruh terhadap

perkembangan kota Cakranegara.

Masa dari tahun 1900 sampai 1945 (masa kebangkitan Nasional), pada

masa ini terjadi dualisme pemerintahan. Pemerintahan Hindu berpusat di

Page 19: Bab IV Gambaran Umum

Cakranegara, sedangkan pemerintahan Belanda berpusat di pertengahan antara

Mataram dengan Ampenan. Belanda mulai mengarahkan usahanya bagi

pembangunan ekonomi, dengan cara dibangunnya beberapa sarana dan prasarana

pemerintahan seperti gedung kantor (kantor assisten residen, kontrolir, distrik),

pasar, perumahan, dan jalan raya.

Pada masa ini sudah mulai diperhatikan tentang pengembangan wilayah,

tidak saja pengembangan dari segi fisik namun dari segi lainnya seperti :

pendidikan , ekonomi, dan sosial budaya. dengan berkembangnya sistem

pendidikan modern pengaruh kekuatan Eropa mulai menyerap secara berangsur-

angsur terutama wilayah Ampenan, sedikit berpengauh di wilayah Mataram dan

Cakranegara. dengan dibangunnya sebuah HIS, beberapa buah volkschool dan

vervolgschool di tiap-tiap ibukota kedistrikan.

Jika sebelum kekuasaan Belanda datang di pulau Lombok ini hampir

seluruh orang Sasak maupun orang Hindu menumpu kehidupannya dari hasil

pertanian. Pada masa kedudukan Belanda hubungan dengan dunia luar cukup

baik, hal ini terbukti oleh adanya kedatangan bangsa-bangsa lainnya seperti Cina

dan Arab, berdatangan menginjak ke Pulau Lombok ini melalui pelabuhan

Ampenan. Dan akhirnya di kota Ampenan inilah mulai berkembang pusat

perdagangan sebagai benteng perekonomian bagi bangsa Belanda dan lambat laun

mengarah ke Mataram dan akhirnya ke Cakranegara.

Masa dari tahun 1945 sampai 1959. pada masa ini pergantian

kepemimpinan pemerintahan di pulau Lombok. Untuk Lombok timur oleh Mamiq

Padelah, Lombok tengah Lalu Srinata, dan Lombok barat I Gusti Ngurah berpusat

Page 20: Bab IV Gambaran Umum

di Cakranegara. pada tahun 1950, masuk wilayah republik Indonesia dan

terbentuknya pemerintahan daerah tingkat I Nusa Tenggara Barat berpusat di

Mataram, tentang perpindahan ibukota pemerintahan ke wilayah Mataram tidak

dijelaskan secara rinci.

Masa dari tahun 1959 sampai 1965 (daerah tingkat II Lombok Barat

dengan bupati pertama Lalu Anggrat, BA). Pada masa ini pusat pemerintahan

tidak lagi di Cakranegara, melainkan di Mataram, oleh sebab itu kebijakan

pemerintah pada masa ini lebih banyak mengambil tindakan yang strategis dan

mendasar dibidang pemerintahan untuk kota Mataram khususnya, dan menghapus

struktur birokrasi pemerintahan wilayah kepunggawaan orang Bali,

(kepunggawaan Cakranegara) diganti dengan kedistrikan Cakranegara yang tidak

lagi khusus membawahi seluruh permukiman masyarakat Hindu-Bali. Kedudukan

kedistrikan Cakranegara disamakan dengan kedistrikan lainnya yang mempunyai

satu wilayah pemerintahan berdasarkan teritorial.

Masa dari tahun 1965 sampai 1972 (daerah tingkat II Lombok Barat

dengan bupati kedua Drs. Sa`id). Pada masa ini sistem pemerintahan kedistrikan

yang di bentuk oleh Lalu Angrat, BA dihapus karena mempunyai nuansa “negara

di dalam negara” dan diganti dengan pemerintahan Kecamatan.

Sejak dari tahun 1972 sampai sekarang, kota Cakranegara yang dahulunya

merupakan ibukota pemerintahan terbesar di pulau ini, kini berubah menjadi

sebuah kota kecamatan, di bawah kodya Mataram. Hal ini sedikit berpengaruh

terhadap penentuan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan

wilayahnya dan eksistensi komunitas Hindu Bali Lombok yang semula menjadi

Page 21: Bab IV Gambaran Umum

kelompok yang dominan di wilayah tersebut. Komunitas ini tidak lagi menjadi

komunitas penguasa, melainkan berstatus sama dengan kelompok masyarakat lain

sebagai warga kota Mataram. Dengan perubahan tersebut, banyak kewenangan-

kewenangan penentuan kebijakan yang tidak lagi dapat dijalankan dan mereka

harus beradaptasi dengan keadaan sebagai salah satu bagian dari bentuk struktur

yang baru. Keadaan ini berimbas juga kepada masalah eksistensi tempat suci dan

situs-situs bersejarah yang semula adalah milik komunal komunitas Hindu Bali

Lombok di Cakranegara. Sebagai contoh adalah Taman Mayura yang semula

adalah taman milik kerajaan kemudian berubah fungsi menjadi taman publik yang

dikelola oleh Pemerintah Kota Mataram. Status ini terkadang mengabaikan

keberadaan Pura Klepug dan Pura Jagatnatha yang merupakan tempat suci bagi

komunitas Hindu Bali di Cakranegara. Terkadang mereka harus rela berbagi

tempat dengan anggota masyarakat lainnya yang mengadakan kegiatan lain pada

saat mereka sedang mengadakan kegiatan keagamaan. Peneliti menemukan pada

saat berlangsungnya akan diadakannyaUsaba Pura Meru tepatnya pada saat

melasti di Pura Klepug Mayura tanggal 11 Oktober 2011, kelompok masyarakat

lain mengadakan konser band Heavy Metal di lokasi yang bersebelahan.

4.3. Struktur Pura Meru

Simbolisme merupakan ciri-ciri universal yang hakiki dari semua

kebudayaan Agama. Peradaban tergantung pada kemampuan manusia untuk

menggunakan dan menciptakan simbol-simbol;….(Tatt, 1996:20). Demikian pula

dengan Pura Meru yang merupakan symbol yang diciptakan dalam tatanan

Page 22: Bab IV Gambaran Umum

masyarakat Bali-Lombok sebagai indikasi kemajuan budayanya dan sekaligus

sebagai pengejawantahan dari makna-makna tertentu yang hendak disampaikan.

Bentuk esensial pura Bali modern dinilai oleh para ahli sebagai hasil karya

orisinal penduduk asli, dihitung dari masa kebudayaan neolitik manusia pelayar

Malayo-Polinesian, yang berimigrasi ke Bali dari daratan Asia Tenggara antara

tahun 2500 sampai 1000 Sebelum Masehi (Bandem dan deBoer, 2004:2).

Menurut ahli arkeologi Belanda, Stutterheim, pura-pura itu dikelilingi tembok

untuk memisahkan areal yang disucikan, dan terdapat sebidang pelataran yang

didasari dengan batu untuk menandai tempat tarian sakral di depan pelinggih,

tempat suci para dewa (Bandem dan deBoer, 2004:3). Pada dasarnya komunitas

Hindu Bali Lombok membangun pura dengan konsep yang sama dengan tanah

asalnya di Bali, hanya saja dapat ditemui beberapa perbedaan yang kemungkinan

besar terjadi karena adanya tuntutan untuk beradaptasi di lingkungan yang

berbeda dengan di Bali. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dengan tidak

diadaptasinya konsep kahyangan tiga secara lengkap dan ditemuinya penataan

yang bersifat lebih inklusif atau terbuka bagi berbagai kalangan. Ciri inklusive

dalam masyarakat Hindu di Lombok diperkuat oleh suatu realitas bahwa

banyaknya tradisi ritus dan konstruksi Pura di Lombok yang mengawinkan

konsep Agama Hindu dengan paham agama lain.

Untuk menganalisis simbol yang ingin ditampilkan dengan keberadaan

Pura Meru Cakranegara, kita tidak bisa tidak harus menengok pada kosmologi

Hindu yang selalu dijadikan dasar oleh orang Hindu Bali dalam membangun

tempat suci. Kosmologi Hindu ini sangat berguna untuk dijadikan sebagai

Page 23: Bab IV Gambaran Umum

panduan dalam menginterpretasi makna pembangunan tempat suci Hindu seperti

juga Pura.

Sedyawati (2007:60 ) meyatakan bahwa telah diketahui dari sumber-

sumber Jawa dan Bali bahwa candi atau pura dianggap tidak hanya penting

sebagai struktur visual dari alam semesta, tapi juga dianggap sebagai perwakilan

hidup dari kosmos (It is known from Javanese and Balinese data that temples

seem to be considered not only important as structural visual simbols of the

universe, but they are also regarded as a living presentation of cosmos).

Kosmos dalam Hindu terbagi secara vertical dan horizontal. Pembagian

secara vertical utamanya mengacu pada pembagian kosmos menjadi beberapa

loka dan patala. Umumnya, secara vertical kosmos dibagi menjadi Bhur Loka,

Bhuwah loka, dan Svah atau Svar loka. Beberapa sumber seperti Mahanirwana

Tantra (terjemahan Ketut Nila, 1997) menyebutkan ada tujuh bagian loka yaitu

dari atas ke bawah berturut-turut : Bhuh Loka (di bawah lengkung bumi) tempat

Neraka loka berada, Bhur Loka (lengkung bumi), Bhuwar Loka (dari atas

lengkung bumi sampai garis edar matahari, disebut juga antariksa yang

merupakan tempat tinggal para siddha dan dewayoni), Swah Loka (dari garis edar

matahari sampai garis edar bintang kutub) di sinilah letak Swarga loka, lalu

berturut-turut diatasnya adalah Satya Loka, Tapa Loka, dan Janar Loka yang

ketiganya disebut alam Mahar Loka. Ke arah bawah kosmos dibagi menjadi tujuh

bagian yaitu :Sutala, Witala, Tala-Tala, Mahatala, Rasatala, Atala, dan Patala

yang merupakan tempat hidup para naga. Di bagian terbawah sebagai penyangga

adalah Wisnu sebagai Sesa atau Ananta.

Page 24: Bab IV Gambaran Umum

Secara horizontal, kosmos menurut Hindu dibagi menjadi delapan arah

angin yang dijaga oleh masing-masing dewa yang disebut astadikpala. Dengan

Siwa sebagai sumbu yang berada di tengah sehingga dewa-dewa itu berjumlah

sembilan, dikenal konsep Navasanga. Sedyawati (2007:58) menduga penempatan

dewa-dewa dalam konfigurasi ini dimaksudkan untuk menyimbolkan fungsi

kelompok dewa tersebut sebagai penjaga atau penyeimbang alam semesta (It may

then mean that the placement of the gods in such a configuration was meant to

symbolize the function of the group of gods as guardian and stabilizer of the

universe).

Struktur dan kultur ruang-hidup melalui internalisasi dan eksternalisasi

makna dan nilai-nilai arah penjuru angin, sebagaimana dipahami melalui

pengideran lebih lanjut melahirkan konsep natah (Triguna, dalam Anom, 2009:

v), atau halaman yang dalam pengertian ini bermakna lebih luas daripada

pengertian “halaman” dalam Bahasa Indonesia. Natah mencakup tidak hanya

ruang kosong yang tidak terisi bangunan namun juga termasuk pembagian-

pembagian ruang.

Konsep natah ini, lanjut Triguna, mewarisi pemahaman bahwa ruang

hidup itu bersifat sacral dan profane sehingga melahirkan rasa takut dan pesona

terhadap alam dan hal-hal fisikal lainnya yang kemudian berpengaruh terhadap

ideology dan world view orang Bali, yakni cara orang Bali menciptakan,

memandang dan memelihara dunia. Pada prinsipnya ideology dan pandangan-

dunia ini menjadi kerangka landasan bagi pembentukan pengetahuan, sikap, dan

perilaku orang Bali terhadap ruang-hidup.

Page 25: Bab IV Gambaran Umum

Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan

purbakala kini di Jawa) merupakan simbol dari kosmos atau alam surga

(kahyangan)….Surga merupakan tempat berkuasanya kekuatan-kekuatan tertinggi

yang mengatur alam dan kehidupan manusia. Surga atau kahyangan digambarkan

berada di puncak gunung Mahāmeru, oleh karena itu gambaran candi atau pura

merupakan replika dari gunung Mahāmeru tersebut (Titib, 2004:295).

Salah satu nosi India yang paling penting diadopsi oleh pemimpin-

pemimpin Asia Tenggara adalah konsep mandala yang diterjemahkan oleh

Wolters ke dalam lingkaran raja-raja (Wolters, dalam Nordholt, 2009:12).

Dalam usahanya mempersatukan berbagai dimensi system politik colonial

di Asia Tenggara ke dalam satu ‘totalitas’ konseptual, S.J Tambiah telah

menunjukkan bahwa pola dasar yang sama, yakni mandala, muncul berulang di

beberapa tataran; pola ini ditemukan dalam tataran kosmologi, geografi, politik,

pemerintahan, dan ekonomi (Nordholt, 2009:14).

Gambar 4. Pura Meru dan sanggar

Page 26: Bab IV Gambaran Umum

Meru adalah salah satu jenis tempat pemujaan untuk Istadewata, bhatara-

bhatari yang melambangkan gunung Mahameru. Landasan filosofis dan meru

adalah berlatar belakang pada anggapan adanya gunung suci sebagai stana para

dewa dan roh suci leluhur. Untuk kepentingan pemujaan akhirnya gunung suci itu

dibuatkan berbentuk replika (tiruan) berbentuk bangunan yang dinamai candi,

prasada dan meru.

Pura Meru dibagi ke dalam tiga Mandala yaitu jaba sisi, jaba tengah, dan

jeroan Pura. Terminologi lain yang digunakan oleh masyarakat adalah dengan

penyebutan yang Nista Mandala, Madya Mandala, Utama Mandala. Nista

Mandala Pura Meru memiliki sedikit perbedaan dengan umumnya Pura yang

lain, pada bagian ini ada yang disebut dengan jaba pura yang tidak disekat oleh

tembok penyengker dengan nista mandala namun hanya diletakkan di dataran

yang lebih rendah.

Madya Mandala dipisahkan dengan nista mandala oleh tembok pembatas

dengan tiga pintu sebagai akses. Pintu yang paling besar terletak di tengah,

sedangkan pintu di sudut kiri dan kanan tembok berukuran lebih kecil. Pada

bagian ini hanya terdapat dua bale yang berfungsi sebagai tempat sangkep para

krama Pura Meru pada saat-saat tertentu. Dua bale ini mengapit pintu masuk

tengah yang berukuran paling besar dari madya ke utama mandala. Bangunan

bale ini dikenal dengan nama beruga sekutus (bale-bale dengan delapan pilar

penopang). Bangunan ini digunakan untuk mengadakan musyawarah.

"Yang dimusyawarahkan biasanya tentang pemeliharaan dan perbaikan pura." ( Wawancara dengan Putu Suasta, 11 Nopember 2011)

Page 27: Bab IV Gambaran Umum

Memasuki area ketiga terdapat satu bangunan sederhana, dua buah beruga,

tiga pura utama, dan 29 buah sanggar. Bangunan yang sederhana itu berfungsi

untuk meletakkan gamelan saat sedang mengadakan perayaan keagamaan. Dua

buah beruga digunakan untuk pedande (pemuka agama) dan untuk meletakkan

sesajen. Pedande akan memimpin doa-doa saat perayaan keagamaan. Tiga puluh

tiga buah pura pemaksan masing-masing mewakili wilayah yang terdapat di

sekitar Cakranegara.

Kompleks Pura Meru terdiri dari Pura Brahma, Siwa dan Wisnu. Tiga pura

utama beratap susun 9 dan susun 11, untuk Pura Siwa. Setiap pura utama

mewakili gunung yang tertinggi dan disucikan dari tiga pulau. Pura Brahma

mewakili Gunung Agung di Bali, Pura Siwa mewakili Gunung Rinjani di

Lombok, dan Pura Wisnu mewakili Semeru di Jawa. Selain itu, saat perayaan

piodalan setiap pura akan dihias menggunakan kain ynag warnanya memiliki

makna. Pura Brahma menggunakan warna merah yang berarti api, simbol dari

umat hindu yang meninggal dunia lalu dikremasi menggunakan api dari Dewa

Brahma. Pura Siwa menggunakan kain warna putih yang berarti air yang

mensucikan, abu hasil kremasi akan dilarung ke laut. Pura Siwa juga memiliki

atap yang paling tinggi, ini mewakili wilayah Lombok bahkan dunia yang

sebagian besarnya merupakan laut. Pura Wisnu hitam yang berarti malam dan

kegelapan.

Seperti halnya madya mandala, utama mandala memiliki tiga akses

dengan pintu berukuran paling besar terletak di tengah dan di pojok kiri dan kanan

pintu yang lebih kecil. Utama Mandala memiliki satu akses lagi berupa pintu

Page 28: Bab IV Gambaran Umum

berukuran kecil yang menuju ke area belakang Pura Meru. Di utama mandala

berdiri tiga buah Meru di kelilingi oleh 29 sanggar masing-masing 13 buah di

sebelah utara menghadap selatan dan 16 buah di belakang bangunan Meru di sisi

barat timur menghadap ke barat. Sanggar-sanggar inilah yang di-among oleh

umat Hindu Bali penduduk Cakranegara. Masing-masing sanggar merupakan

linggih bthara yang berbeda-beda yang di-sungsung oleh masing-masing wilayah.

Jro Mangku Drana menyatakan bahwa masing-masing wilayah menyungsung

bthara yang diperintahkan oleh Raja.

“Seperti saya dari Karang Sampalan. Penglingsir-penglingsir saya dahulu diperintahkan oleh Anak Agung untuk nyungsung bthara gunung agung. Ada yang diperintahkan untuk nyungsung bthara Basuki dan lain-lainnya. Pokoknya semua bthara yang ada di Bali, plus Bthara Gunung Rinjani.”(Wawancara dengan Jro Mangku Drana, 9 September 2011).

Dengan adanya perintah tersebut maka masing-masing pemaksan di

wilayah Cakranegara me-nyungsung satu atau bahkan dua bthara sesuai dengan

yang ditunjuk oleh Raja. Bthara-bthara inilah yang kemudian dikumpulkan setiap

acara pujawali Pura Meru pada hitungan purnama kapat setiap tahunnya.

Tiga buah Meru terdiri dari sebuah Meru ber-tumpang sebelas diapit oleh

dua buah Meru bertumpang Sembilan. Meru yang bertumpang sebelas adalah

milik raja Cakranegara, sedangkan dua buah Meru lainnya di-among oleh

keluarga patih dari Puri Kelodan dan warga brahmana. Keseluruhan bangunan

tersebut berjumlah 32 buah dilengkapi dengan sebuah sanggar agung sehingga

genap berjumlah 33. Angka 33 dalam kosmologi Hindu berkaitan dengan jumlah

dewa yang terdiri dari 11 Wasi, 11 Rudra, dan 11………………..(sumber)

4.4. Lokasi yang Berkaitan dengan Pura Meru

Page 29: Bab IV Gambaran Umum

4.4.1. Pura Klepug Mayura

Gambar 4. Pancuran Kepala Naga di Pura Klepug Mayura

Taman Mayura yang dibangun oleh AA Gede Ngurah Karang Asem pada

1744. Taman memiliki kolam memesona yang mengelilingi sebuah istana megah

di tengah pulau. Taman ini awalnya disebut“Klepug” yang diambil dari suara

gemuruh “klepug-klepug” berasal dari mata air di kolam. Setelah renovasi tahun

1886, taman ini disebut Mayura, dari bahasa Sansekerta yaitu burung Merak.

Dikatakan bahwa, di sekitar kolam dulu terdapat banyak burung merak yang

berburu ular. Pengaruh Hindu dan Islam pada istana tersebut diilustrasikan dalam

bentuk patung-patung.

Pura Klepug terletak di dalam kompleks Taman Mayura Cakranegara di

tepi timur telaga besar. Pura ini memiliki sebuah gedong dengan atap ber-tumpang

tiga. Pura Klepug di lengkapi dengan 20 buah pancuran dengan motif naga yang

Page 30: Bab IV Gambaran Umum

difungsikan sebagai tempat penyucian jempana sebelum acara pujawali di Pura

Meru. Jro Mangku Drana menengarai Pura Klepug sebagai pelinggih Dewa

Wisnu karena berhubungan dengan air (Wawancara dengan Jro Mangku Drana, 9

September 2011). Dalam simbol agama Hindu, naga diartikan

sebagai………………..

Pura Klepug juga dikunjungi terlebih dahulu untuk matur pioning tiga hari

sebelum dilaksanakannya pujawali di Pura Meru. Matur pioning dilaksanakan

oleh Pemangku dari salah satu Pengamong Sanggar yang dituakan disertai oleh

beberapa panitia pujawali. Matur pioning menurut informan Jro Mangku Drana

dimaksudkan untuk memberitahukan kepada Bthara yang melinggih di Pura

Klepug bahwa upacara Pujawali di Pura Meru akan segera dilaksanakan.

Sejak jaman dahulu, sumber mata air di Pura Klepug yang digunakan

untuk menyucikan jempana dialirkan langsung dari daerah Lingsar, tepatnya di

mata air Sarasuta yang oleh umat Hindu Bali di Lombok diyakini kesuciannya.

Selama beberapa tahun aliran air suci Lingsar ke Pura Klepug sempat terputus

karena salurannya dipotong oleh penduduk Dusun Onor Lingsar untuk memenuhi

kebutuhan airnya. Selama itu air untuk menyucikan jempana didapat dari sumur

bor yang dibangun di kompleks Mayura. Berkat adanya program revitalisasi

pengairan oleh Pemda NTB, saluran yang terputus dapat dikembalikan lagi seperti

semula sehingga sejak pujawali tahun 2011 jempana dapat disucikan kembali

dengan menggunakan air dari Lingsar. Keadaan ini tidak diketahui oleh

masyarakat Cakranegara secara luas, namun hanya diketahui oleh beberapa tokoh

Page 31: Bab IV Gambaran Umum

saja yang tampaknya memandang masalah tersebut dapat menjadi pemicu konflik

antar agama sehingga dirahasiakan.

4.4.2. Pura Tangun Desa Pajang

Sesuai dengan namanya, masyarakat Cakranegara meyakini bahwa Pura

Tangun Desa adalah Pura yang terletak di wilayah terluar dari Cakranegara pada

masanya. Hal ini menjadi masuk akal karena bila dilihat dari posisinya Pura ini

terletak di sebelah Timur Kali Ning. Sungai atau gunung atau kontur geografis

lainnya seringkali digunakan sebagai batas teritorial dalam tata wilayah jaman

dahulu yang menekankan pada batas-batas geografis sebagai patokannya. Melihat

posisinya, kemungkinan besar Kali Ning adalah batas wilayah Kerajaan

Cakranegara dan Kerajaan Mataram.

4.4.3. Pura Segara Ampenan

Pura Segara terletak di tepi pantai Ampenan dekat dengan pelabuhan

Ampenan lama yang dahulunya merupakan pintu gerbang yang menghubungkan

Lombok dengan Bali. Dari Pura ini, pada waktu pandangan tidak terhalang oleh

mendung di cakrawala, dapat dilihat dengan jelas sosok Gunung Agung di

kejauhan sebagai Gunung yang disucikan oleh umat Hindu Bali.

Persembahyangan di Pura Segara dilakukan dalam rangka mendhak Ida

Bthara Kabeh yang diyakini rauh dari Bali ke Lombok. Hal ini merupakan

symbol bahwa umat Hindu Bali di Lombok tidak merupakan asal usulnya sebagai

orang Bali dan sebuah pengakuan bahwa agama atau pun budaya yang dimilikinya

berasal dari Bali. Persembahyangan ini dilakukan pada………………