BAB IV 2003

Embed Size (px)

Citation preview

60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Responden Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta mempunyai pasien skizofrenia. Penelitian ini menganalisa tentang pengalaman keluarga dalam merawat anggotakeluarga yang mengalami skizofrenia di Wilayah Karisidenan Surakarta. Sampel yang digunakan dalam wawancara mendalam sebanyak 5 orang (R1-R5) yaitu pada keluarga yang anggota keluarganya menderita skizofrenia di Wilayah Karisidenan Surakarta, keluarga klien yang tidak menderita ketulian, keluarga klien bersedia mengikuti jalannya penelitian dari awal sampai akhir dan keluarga klien dapat bekerjasama (kooperatif). Adapun karakteristik responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 4.1 Karakteristik Responden Kode R1 R2 R3 R4 R5 Umur 55 tahun 47 tahun 48 tahun 52 tahun 36 tahun Pekerjaan Swasta Swasta Swasta Swasta Swasta

60 2. Gambaran pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga yang

61

mengalami gangguan jiwa (skizofrenia) Dalam suatu hubungan keluarga tentunya akan sangat menyenangkan jika dapat berkumpul bersama. Tetapi lain halnya apabila kita mengetahui bahwa anak kita mengalami gangguan jiwa. Beberapa orangtua merasa terkejut, bingung, dan pasrah saat mengetahui anaknya mengalami gangguan jiwa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan responden berikut ini. Pernyataan : ...Kami sekeluarga sudah tidak kaget dengan pernyataan itu mbak, karena dari mudanya sudah suka berbuat aneh-aneh(R1) ...Saat itu adik saya (ibuNy.T) bingung mbak antara percaya dan tidak percaya dengan hal tersebut, posisi suami saya sudah tidak ada, apalagi dia sering membuat malu keluarga dan sekarang dia dinyatakan gangguan jiwa. Kami sekeluarga malu mbak dengan kelakuan Ny.T(R2) Saya terkejut sekali mbak saat itu, panik. Karna anak saya saat itu masih berada di tempat kerjanya bengkel di Jakarta(R4) Orangtua saya ya terkejut mbak tapi pasrah mbak, mau gimana lagi 2 saudara saya dinyatakan gangguan jiwa(R5) Keluarga pasien skizofrenia pada umumnya sangat menyayangi anaknya, berusaha memenuhi kebutuhan anak. Akan tetapi, ada orangtua yang merubah sikapnya setelah mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan jiwa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan responden berikut ini.

Pernyataan : ...Bapaknya itu orang sibuk mbak, anak melawan saat dinasehati dan dilarang, karena merasa paling benar. Dengan siapapun anak melawan dan keras kepala. Dan ngeyel pool mbak... Saya saja sampai bingung bagaimana supaya anak itu bisa baikKakak-kakaknya yang lain kaya tapi tidak satupun yang pedulikan dia(R1)

62

Awalnya kami sekeluarga masih bersikap biasa saja mbak, karena kami merasa kasihan tapi lama-lama kami benar-benar menganggap dia sudah gila, karena jengkel juga, Ny.T itu orangnya susah diatur(R2) Saya tidak pernah menganggap anak saya gila, dia hanya frustasi saja karena seseorang Justru kakanya yang selalu memperlakukan adiknya seperti orang gila(R3) Sebenarnya saya sayang pada adik sayaSelama ini saya yang menjaganya. Saya tidak ada perasaan malu dengan kondisinya(R4) Iya mbak, bapak yang dulunya keras dan suka marah-marah sekarang lebih banyak diam (R5) Pada umumnya orangtua khawatir akan peristiwa gangguan jiwa. Mereka tidak pernah menginginkan dan membayangkan bahwa anaknya dinyatakan gangguan jiwa. Sesuai pernyataan berikut ini. Pernyataan : Saya rasa anak itu sudah gila sejak dulu, hanya ibunya saja yang selalu melindunginya(R1) Awalnya kami sekeluarga masih bersikap biasa saja mbak, karena kami merasa kasihan tapi lama-lama kami benar-benar menganggap dia sudah gila, karena jengkel juga, Ny.T itu orangnya susah diatur(R2) Saya tidak pernah menganggap anak saya gila, dia hanya frustasi saja karena seseorang. Anak saya satu-satunya mbak yang saya idam-idamkan dan saya sayangi. Justru kakaknya yang selalu memperlakukan adiknya seperti orang gila.(R3) Sebenarnya saya sayang pada adik saya, dan saya sebagai saudaranya sedih juga melihat kondisi adik saya sekarang ini,mbak... Selama ini saya yang menjaganya. Saya tidak ada perasaan malu dengan kondisinnya(R4) Kami tidak mengira kalau ternyata kakak saya mengalami ganggian jiwa, awalnya kami piker stress biasa (R5) Dengan memperhatikan perilaku anak yang normal, umumnya orang tua pasien skizofrenia ini merasa malu dengan kondisi anak mereka yang dinyatakan gangguan jiwa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan responden berikut ini Pernyataan :.

63

...Sebenarnya saya juga malu dan jengkel dengan Tn.S mbak tapi mau bagaimana lagi kasihan juga melhat keadaannya. Saya pribadi tidak sanggup jika harus merawatnya...(R1) ...Kami malu mbak Ibunya sampai pergi ke Jakarta dan tidak mau bertemu lagi dengan Ny.S...(R2) Saya sedih sekali mbak melihat kondisi anak saya seperti itu Tidak mbak, saya tidak malu(R3) Sebenarnya saya sayang pada adik saya, dan saya sebagai saudaranya sedih juga melihat kondisi adik saya sekarang ini,mbak... Selama ini saya yang menjaganya. Saya tidak ada perasaan malu dengan kondisinya(R4) Malu, karena anak saya dianggap gila oleh tetanggadan di olok-olok terus(R5) Secara umum orangtua yang mengetahui anaknya mengalami gangguan jiwa terkadang merasa kesal. Tindakan yang dirasa cukup untuk memberi pelajaran pun sering kali dilakukan orangtua, seperti dipasung, ditali, dikunci di kamar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan responden berikut ini. Pernyataan : Selama ini yang saya kenal Tn.S orang yang sangat susah diatur. Selama sakit, awalnya keluarga merawatnya sendiiri di rumah, tapi tidak lama kemudian, akhirnya Tn.S diantarkan ke RSJD Surakarta oleh polisi karena warga kesal dengan sikap dan tingkah lakunya yang meresahkan, karena sering membuat keributan di lingkungan rumah. Saat pertama Tn.S masuk RSJD, anggota keluarga masih rajin memperhatikan dan menjenguknya di RSJD. Akan tetapi, karena setelah keluar dari RSJD sikapnya semakin menjadi dan membabi buta, diantaranya Tn.S menyiksa istri dan anaknya dan membuat kekacauan di lingkungannya. Pada akhirnya Tn.S dibawa kembali ke RSJD Surakarta oleh petugas kepolisian yang dipanggil salah satu warga. Dan sejak saat itu tidak ada lagi keluarga yang simpati dan peduli terhadap kondisi Tn.S kecuali istri dan satu kakak pertamanya. Kedua orangtuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, sedangkan saudara-saudaranya tidak ada yang memperdulikannya. Dulu waktu masih kecil si S sering dikunci di almari oleh bapaknya, tapi ibunya yang selalu membelanya. (R1) Saat itu baru timbul gejala pada Ny.T. Ny.T tinggal bersama ibu dan adikadiknya di rumah ini. Sebenarnya ibu orang yang penyayang terutama pada

64

anak-anaknya. Ya, selalu berusaha memberikan yang terbaik. Gimana ya mbak yang namanya orangtua kan ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya. Akantetapi, saya tidak habis pikir dengan Ny.T itu, pribadinya berubah saat kenal dengan laki-laki seorang sopir becak. Ny.T mulai memberontak dan mengacau saat dinasehati, bahkan tidak mau nurut lagi dengan ibu yang selama ini sudah merawatnya. Lama kelamaan sikapnya tidak bisa ditolerir, lalu kami putuskan untuk mengantarnya ke RSJD Surakarta. Semenjak itu ibu dan adik-adiknya pindah ke Jakarta karena merasa malu dengan kondidi Ny.T dan belum pernah pulang sampai sekarang. Jadi selama ini perawatan Ny.T dipercayakan pada RSJD(R2) H Pernah dirawat di Puri Waluyo selama 14 hari, setelah pulang Sdr.H tidak mau minum obatnya dan ortu tidak memeriksakan secara rutin karena tidak ada biaya (tidak kontrol). Lalu tidak lama (sekitar satu minggu) penyakitnya kambuh lagi dan semakin parah. Sdr.H di rumah sendiri saat orangtua bekerja, rumah saya kumci dari luar karena takut dia pergi. Selama anak saya H di rumah sendiri, sering menyalakan semua barang-barang elektronik di rumah,seperti TV, radio, komputer. Saya usahakan segala cara untuk kesembuhan anak saya mbak... Karena kami (bapak dan ibu) merasa kurang bisa merawat dan mengerti maksud anak saya akhirnya kami putuskan membawanya ke RSJD Surakarta,kami juga masih harus bekerja untuk membiayai pengobatannya, jadi orangtua tidak punya waktu banyak untuk menjaga Sdr,H. Akan tetapi, kami rajin mengunjungi Sdr.H selama dirawat di RS, kami buat jadwal kunjungan,satu minggu 2 sampai 3 kali kunjungan. Saya (bapak) kasihan mbak melihat anak saya tiba-tiba sakit seperti itu, rasanya hancur hati saya, anak saya satu-satunya sakit semacam itu(R3) Dulu memang sebelum Ny.S menikah beliau sering ngobrol dengan kami (saya dan kakaknya),rapi setelah menikah Ny.S ikut dengan suami merantau. Dan setahu saya, adik saya Ny.S dari mulai timbul grjala sampai sakit parah waktu itu masih tinggal dengan suaminya, dan sempat masuk rumah sakit jiwa di daerah perantauannya sana. Tapi Ny.S kabur dari RSJ dan pulang ke rumah ini, saya terkejut saat Ny.S sampai di rumah karena setahu saya kan beliau bersama suami. Selama di rumah klien dipasung karena ditinggal bekerja. Lalu tidak lama tinggal di rumah, karena kami tidak tahu cara menanganinya, Ny.S tidak bisa diajak komunikasi, ngomong sendiri, saat pasungan dilepas Ny.S sibuk sendiri, sampai bersih-bersih pun berkali-kali kadang mengamuk dan tetangga sudah mulai mengganggapnya sebagai orang gila akhirnya kami putuskan untuk membawanya ke RSJD Surakarta(R4) Sebenarnya selain kakak saya Tn.B ada satu lagi yang menderita sakit yang sama, namun kndisinya sudah cukup baik dibanding Tn.B. Selama sakit hanya saya yang merawat dan memperduikannya, bapak dan ibu orangnya keras. Mereka mengganggap bahwa Tn.B gila jadi ya memperlakukannya juga seperti orang gila. Bapak saya tidak mengerti anak-anaknya karena beliau sibuk mencari nafkah. Selama sebelum sakit pun Sdr.B banyak diam dan takut

65

pada orangtua, jarang tidur dirumah itu mbak. Saya sering merasa kasihan dengan kondisi kakak saya Tn.B karena orangtua keras jadi Tn.B merasa lebih baik diam dan cenderung menarik diri dalam keluarga.. dulu bapak yang mengantarkan Tn.B ke RSJD Surakarta dan saya yang ditugasi untuk menjenguknya. Setelah Tn.B masuk RSJD kami sering mencemaskan keadaannya, berharap Tn.B cepat sembuh... kami menyerahkan Tn.B ke RSJD dengan harapan dia mendapatkan perawatan yang tepat... Kalau pas kambuh ya dicencang di dalam rumah supaya tidak pergi kemana-mana, karena kalau waktu kambuh ketahuan tetangga orangtua malu(R5) B. Pembahasan Hasil Penelitian Pentingnya pengalaman keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchanan, 1982, hlm. 171). Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu di dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat. Kedua, jika keluarga dipandang sebagai satu sistem, maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota dapat mempengaruhi seluruh sistem. Sebaliknya, disfungsi keluarga dapat pula merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan pada anggota. Ketiga, berbagai pelayanan kesehatan jiwa bukan tempat klien seumur hidup tetapi hanya fasilitas yang membantu klien dan keluarga mengembangkan kemampuan dalam mencegah terjadi masalah, menanggulangi berbagai masalah san mempertahankan keadaan adaptif.

66

Keempat, dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah (Sullinger, 1988). Dari keempat pernyataan di atas disimpulkan bahwa keluarga berperan penting dalam peristiwa terjadinya gangguan jiwa dan proses penyesuaian kembali setiap klien. Oleh karena itu, peran serta keluarga dalam proses pemulihan dan pencegahan kambuh kembali klien gangguan jiwa sangat diperlukan. Pada kenyataan, banyak sekali klien di rumah sakit jiwa jarang dikunjungi keluarga. Akibatnya keluarga tidak mengikuti proses perawatan klien dan kesan yang ada pada keluarga hanyalah perilaku klien sewaktu dibawa ke rumah sakit. Dipihak lain, tim kesehatan jiwa di rumah sakit merasa bertanggung jawab terhadap upaya penyembuhan klien dan jarang melibatkan keluarga. Setelah sembuh, pihak rumah sakit memulangkan klien ke lingkungan keluarga dan umumnya beberapa hari, minggu atau bulan di rumah, klien kembali dirawat dengan alasan perilaku klien yang tidak dapat diterima oleh keluarga dan lingkungan. Melalui pengkajian ditemukan keluhan klien selama di rumah yaitu tidak diperkenankan keluar rumah, setiap ada tamu dilarang keluar kamar dan gerak-gerik klien diawasi dengan sikap curiga. Dari uraian di atas dapat diyakini bahwa keluarga mempunyai tanggung jawab yang penting dalam proses perawatan di rumah sakit, persiapan pulang dan perawatan di rumah agar adaptasi klien berjalan dengan baik. Kualitas dan efektifitas peran serta keluarga yang memadai akan membantu proses pemulihan kesehatan klien sehingga status

67

kesehatan klien meningkat. Makalah ini akan memfokuskan uraian tentang gangguan jiwa kronik, peran serta keluarga dalam asuhan keperawatannya dan fasilitas yang dapat dikembangkan untuk mempertahankan klien tetap berada di lingkungan keluarga dan masyarakat. Perkembangan anak yang semakin matang dan dewasa akan menambah kedewasaan dan kemampuannya dalam bersosialisasi dengan lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya, karena banyaknya berinteraksi dengan lingkungan keluarga dan sekitarnya maka pengetahuan keluarga tentang perkembangan anak semakin berkembang menjadi baik (Stuart & Gail, 2007). Keluarga khususnya orang tua mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta memberi contoh bimbingan kepada anak-anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan akhirnya dapat menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Gunarsa, 2002). Keluarga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan yang tinggal bersama dan makan dari satu dapur yang tidak terbatas pada orang-orang yang mempunyai hubungan darah saja, atau seseorang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan yang mengurus keperluan hidupnya sendiri. Pengertian keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Departemen Kesehatan RI, 1998).

68

Lingkungan merupakan suatu tempat dimana seseorang itu beriteraksi dengan orang lain dan di lingkunganlah seseorang dapat terpengaruh dengan stresor-stresor yang dapat menimbulkan terjadinya stres, sehingga faktor lingkungan yang tidak mendukung dapat pula mempengaruhi terjadinya seseorang mengalami gangguan jiwa dengan tipe skizofrenia katatonik. Faktor lingkungan tersebut juga dapat mempengaruhi terjadinya stres, dimana stres merupakan faktor pencetus terjadinya gangguan jiwa. Sistem mekanisme koping yang tidak baik yang tidak mendukung merupakan penyebab yang dominan terhadap terjadinya gangguan jiwa, mekanisme koping tersebut ada yang adaptif dan ada yang mal adaptif. Hal tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia katatonik. Selain faktor lingkungan, stres dan mekanisme koping tersebut di atas faktor keturunan juga sangat berpengaruh besar terhadap terjadinya skizofrenia, jika dilihat dari susunan genetiknya. Jadi pada intinya meskipun pola asuh permisif itu bisa menyebabkan terjadinya skizofrenia katatonik, faktor-faktor lain juga mendukung terjadinya skizofrenia selain faktor pola asuh. Disamping pola asuh yang dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia ada faktor-faktor lain diantaranya faktor predisposisi, psikologis dan presipitasi yang menjadi penyebab utama (Stuart dan Gail W, 2007). Dampak yang ditimbulkan dari gangguan jiwa; (1) aktifitas Hidup Seharian (ADL), klien dengan gangguan jiwa kronis tidak mampu melakukan fungsi dasar secara mandiri, misalnya kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi. Klien seperti ini tentu akan ditolak oleh keluarga dan masyarakat.

69

Oleh karena itu klien perlu mengikuti program latihan perawatan mandiri, yang disebut program rehabilitasi untuk mempelajari dan mengembangkan ketrampilan hidup sendiri. (2) Hubungan Interpersonal, klien yang lama dirawat di rumah sakit jiwa digambarkan sebagai individu yang apatis, menarik diri, terisolasi dari teman-teman dan keluarga serta memiliki ketrampilan interpersonal yang minimal. Keadaan ini merupakan proses adaptasi klien terhadap lingkungan kehidupan yang kaku dan stimulus yang kurang. Klien yang aktif dalam kegiatan sosial, cenderung tidak kronis, kawin, bekerja dan berfungsi baik dalam masyarakat (Minkoff, dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1991, hlm. 932). (3) Sumber Koping, Isolasi sosial, kurangnya sistem pendukung dan adanya gangguan fungsi pada klien, menyebabkan kurangnya kesempatan manggunakan koping untuk

menghadapi stress. Akibatnya, koping klien akan melemah dan tidak ada penambahan koping baru sehingga klien tidak dapat berespon secara adaptif dalam menghadapi stress dan mudah masuk ke dalam keadaan krisis. (4) Kebutuhan terapi yang lama, klien disebut gangguan jiwa kronis jika ia dirawat di rumah sakit satu periode selama enam bulan terus-menerus dalam lima tahun atau dua kali atau lebih di rawat di rumah sakit dalam satu tahun (Stuart dan Sundeen, 1991, hlm. 932). Faktor yang membantu klien tetap di masyarakat (keluarga) adalah pengobatan dan program aftercare. (5) Harga Diri Rendah, klien gangguan jiwa kronis mempunyai harga diri yang rendah khususnya dalam hal identitas dan perilaku. Klien menganggap dirinya tidak

70

mampu untuk mengatasi kekurangannya, tidak ingin melakukan sesuatu untuk menghindari kegagalan (takut gagal) dan tidak berani mencapai sukses. Klien gangguan jiwa mempunyai pengalaman gagal yang berulang. Ia tidak dapat memenuhi harapannya sendiri maupun harapan teman, keluarga ataupun masyarakat. Ia memandang suatu pengalaman baru sebagai sumber kegagalan bukan kesempatan untuk sukses. Keadaan ini tidak dapat memotivasi klien untuk mencoba pengalaman baru dan membuat klien semakin kronis. Situasi ini akan bertambah berat jika lingkungan mengecilkan klien, misalnya mengatakan ia pasti tidak bisa melakukannya. Kekuatan adalah kemampuan, keterampilan atau interes yang dimiliki dan pernah digunakan klien pada waktu yang lalu. Kekuatan yang pernah dimiliki klien perlu distimulasi kembali untuk meningkatkan fungsi klien sedapat mungkin. Faktor yang mempengaruhi kekambuhan; Klien dengan diagnosis skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50 persen pada tahun pertama, 70 persen pada tahun kedua (Sullinger, 1988) dan 100 persen pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit (Carson dan Ross, 1987). Dirawat kembali di rumah sakit sering tidak diperlukan, karena alasan umum untuk dirawat ulang adalah ketidakmampuan klien dan keluarga menangani masalah di rumah. Klien dan keluarga perlu mempunyai pengetahuan untuk mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi di rumah.

71

Dari wawancara dengan keluarga ditemukan bahwa keluarga tidak mengetahui bagaimana cara menangani perilaku klien, seperti: menarik diri, tidak aktif, penampilan yang tidak serasi dan komunikasi yang terhambat. Keluarga juga tidak mengetahui apa yang masih dapat diharapkan dari klien.

Sullinger (1988) mengidentifikasi 4 faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, yaitu: 1. Klien Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat dengan teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Hasil penelitian menunjukkan 25 persen sampai 50 persen klien yang pulang dari rumah sakit jiwa tidak memakan obat secara teratur (Appleton, 1982, dikutip oleh Sullinger, 1988). Klien kronis, khususnya skizofrenia sukar mengikuti aturan makan obat karena adanya gangguan realitas dan ketidakmampuan mengambil keputusan. Di rumah sakit perawat bertanggung jawab dalam pemberian atau pemantauan pemberian obat, di rumah tugas perawat digantikan oleh keluarga. Klien umumnya disalahkan. Dengan

keterbatasan klien, dapatkah kita harapkan ia melaksanakan makan obat teratur tanpa pemantauan dari keluarga atau perawat? Apakah usaha untuk meningkatkan tanggung jawab klien memakan obat yang teratur? 2. Dokter

72

Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neurolepatik yang lama dapat menimbulkan efek samping tardive dyskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. Dokter yang memberi resep diharapkan tetap waspada mengidentifikasi dosis terapeutik yang dapat mencegah kambuh dan efek samping. 3. Penanggung Jawab Klien (case manager) Setelah klien pulang ke rumah maka perawat Puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah. Penanggung jawab kasus mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu dengan klien; sehingga dapat mengidentifikasi gejala dini dan segera mengambil tindakan. (Herz dan Melville, 1980, dikutip oleh Sullinger, 1988) mengkaji beberapa gejala kambuh yang diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu: nervous, tidak nafsu makan, sukar konsentrasi, sukar tidur, depresi, tidak ada minat dan menarik diri. 4. Keluarga Penelitian yang sama di Inggris (Vaugh, 1976) dan Amerika Serikat (Snyder, 1981) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, banyak melibatkan diri dengan klien) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan. Hasilnya, 57 persen kembali dirawat dari keluarga yang ekspresi emosi tinggi dan 17 persen kembali dirawat dari keluarga ekspresi emosi yang rendah (Vaugh dan

73

Snyder). Terapi keluarga dapat diberikan untuk menurunkan ekspresi emosi. Hal lain, klien mudah dipengaruhi oleh stres yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian, kecelakaan). Dengan terapi keluarga, klien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress. PERAN SERTA KELUARGA DALAM PERAWATAN KLIEN

GANGGUAN JIWA Dampak negatif dari perawatan di rumah sakit, mendorong

dicanangkannya pelayanan kesehatan jiwa masyarakat (community based service) yaitu mempertahankan klien sedapat mungkin di masyarakat. Hal ini mungkin dilakukan melalui integrasi kesehatan jiwa masyarakat di Puskesmas. Jika tidak mungkin dipertahankan maka Puskesmas merujuk klien ke rumah sakit. Dengan demikian maka rentang asuhan keperawatan adalah dari pelayanan di masyarakat sampai pelayanan di rumah sakit dan sebaliknya. Dengan kata lain pelayanan secara terus menerus pada setiap keadaan klien yang mungkin berfluktuasi disepanjang rentang sehat-sakit. Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Umumnya, keluarga merupakan bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Oleh karena itu asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan klien tetapi bertujuan untuk

74

mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan dalam keluarga tersebut. Perawat membantu keluarga agar mampu melakukan lima tugas kesehatan yaitu: (Bailion dan Malaya, 1978). 1. Mengenal masalah kesehatan. 2. Membuat keputusan tindakan kesehatan. 3. Memberi perawatan pada anggota keluarga. 4. Menciptakan lingkungan keluarga yang sehat. 5. Menggunakan sumber yang ada dalam masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat dicegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilaku maladaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal. PERAWATAN KLIEN DI RUMAH SAKIT Rencana keperawatan klien di rumah sakit meliputi: 1. Rencana tindakan yang dilakukan selama klien dirawat. 2. Persiapan pulang. 3. Rencana perawatan di rumah.

75

Keluarga dan klien perlu dilibatkan pada semua rencana keperawatan agar dapat menggantikan peran perawat sewaktu pulang ke rumah. Perawatan di rumah sakit Pada awal klien dirawat, perawat hendaknya melakukan kontrak hubungan dengan klein dan keluarga. Keluarga mengetahui peran dan tanggung jawabnya dalam proses keperawatan yang direncanakan melalui kontrak yang telah disepakati. Hubungan saling percaya antara perawat dan klien merupakan dasar utama untuk membantu klien mengungkapkan dan mengenal perasaannya, mengidentifikasi kebutuhan dan masalahnya, mencari alternatif pemecahan masalah, melaksanakan alternatif yang dipilih serta mengevaluasi hasilnya. Proses ini harus dilalui oleh klien dan keluarga agar dimasa yang akan datang (di rumah) keluarga dapat membantu klien dengan cara yang sama. Pelibatan keluarga dalam perawatan di rumah sakit hanya dapat dicapai dengan menggunakan proses keperawatan. Apakah klien yang pulang dari rumah sakit sudah melalui proses perawatan yang tepat? Apakah keluarga sudah dilibatkan dalam asuhan klien? Banyak klien yang jarang dikunjungi oleh keluarga bahkan ada keluarga yang datang ke rumah sakit hanya untuk urusan administrasi. Akibatnya, keluarga tidak mempunyai pengetahuan tentang masalah klien dan cara penanganannya. Tindakan keperawatan terhadap keluarga antara lain: 1. Menyertakan keluarga dalam rencana keperawatan klien.

76

2. Menjelaskan pola perilaku klien dan cara penanganannya. 3. Membantu keluarga berperilaku terapeutik, yang dapat menolong pemecahan masalah klien. 4. Mengadakan pertemuan antar keluarga klien: diskusi, membagi

pengalaman, mengantisipasi masalah klien. 5. Melakukan terapi-keluarga. 6. Menganjurkan kunjungan keluarga yang teratur. Persiapan pulang Perawatan di rumah sakit akan bermakna jika dilanjutkan dengan perawatan di rumah. Untuk itu, selama di rumah sakit perlu dilakukan persiapan pulang. Persiapan pulang dilakukan sesegera mungkin setelah dirawat serta diintegrasikan di dalam proses keperawatan. Jadi, persiapan pulang bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau sehari sebelum klien pulang. Persiapan atau rencana pulang bertujuan untuk (Jipp dan Sims, 1986): 1. Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial. 2. Meningkatkan kemandirian klien dan keluarga. 3. Melaksanakan rentang perawatan antara rumah sakit dan masyarakat. 4. Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap.

77

Tindakan keperawatan yang perlu dilakukan sebelum membuat rencana klien pulang adalah sebagai berikut: pengkajian faktor yang mempengaruhi rencana persiapan pulang (gambar 1). Dari informasi yang didapat, diidentifikasi masalah yang berkaitan dengan keadaan klien, kemudian dibuat rencana keperawatan yang bertujuan mengatasi masalah tersebut. Beberapa tindakan keperawatan yang dapat dilakukan dalam persiapan pulang adalah: 1. Pendidikan (edukasi, reedukasi, reorientasi). Youssef (1987) menemukan penurunan angka kambuh pada klien dan keluarga yang mengikuti program pendidikan. Pendidikan kesehatan ini ditujukan pula untuk mencegah atau mengurangi dampak gangguan jiwa bagi klien. Program pendidikan yang dapat dilakukan adalah: a. Ketrampilan khusus: ADL, perilaku adaptif, aturan makan obat, penataan rumah tangga, identifikasi gejala kambuh, pemecahan masalah. b. Ketrampilan umum: komunikasi efektif, ekspresi emosi yang konstruktif, relaksasi, pengelolaan stress (stress management). 2. Program pulang bertahap Setelah klien mempunyai kemampuan dan ketrampilan mandiri maka klien dapat mengikuti program pulang bertahap. Tujuannya adalah melatih

78

klien kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Klien, keluarga dan jika perlu masyarakat dipersiapkan, antara lain apa yang harus dilakukan klien di rumah, apa yang harus dilakukan keluarga untuk membantu adaptasi. Kegiatan yang dilakukan klien dan keluarga di rumah dapat dibuatkan daftar dan dievaluasi keberhasilannya sebagai data untuk rencana berikutnya. Lamanya pulang (cuti) ditentukan secara bertahap, misalnya dimulai dengan satu kali seminggu (week end leave), ditingkatkan dua minggu sekali, kemudian cuti 1 minggu. 3. Rujukan Integrasi kesehatan jiwa di Puskesmas sebaiknya mempunyai hubungan langsung dengan rumah sakit. Perawat komuniti (Puskesmas) sebaiknya mangetahui perkembangan klien di rumah sakit dan berperan serta dalam membuat rencana pulang. Perawatan di rumah Setelah klien pulang ke rumah, sebaiknya klien melakukan perawatan lanjutan pada Puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program integrasi kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai ruang perawatan. Perawat, klien dan keluarga bekerja sama untuk membantu proses adaptasi klien di dalam keluarga dan masyarakat.

79

Perawat dapat membuat kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan aftercare di Puskesmas. Contoh jadwal kunjungan rumah: Minggu pertama Minggu kedua Minggu ketiga Minggu keempat = 2 kali per hari = 1 kali per hari = 3 kali per minggu = 2 kali per minggu = 1 kali per minggu

Bulan kedua s/d 6 bulan Selanjutnya Contoh jadwal aftercare Bulan pertama Bulan kedua Bulan ketiga Selanjutnya

= 1 kali per bulan

= 2 kali per bulan, ditemani keluarga = 2 kali per bulan, diantar ke kendaraan = 2 kali per bulan, sendiri = 1 kali per bulan, sendiri

Jadwal kunjungan rumah dan aftercare dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan klien. Perawat membantu klien menyesuaikan diri di lingkungan keluarga, dalam hal sosialisasi, perawatan mandiri dan kemampuan memecahkan masalah. Perawat dapat memantau dan mengidentifikasi gejala kambuh dan segera melakukan tindakan sehingga dapat dicegah perawatan kembali di rumah sakit. FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DI MASYARAKAT

80

Penanggung jawab utama pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat adalah unit integrasi kesehatan jiwa di Puskesmas. Fasilitas ini perlu dibantu oleh unit pelayanan lain dapat pemerintah, swasta atau sukarela, seperti: latihan kerja, half way house, cottage, group home, klinik krisis, hot line service, persatuan orang tua dan teman klien. BALAI LATIHAN KERJA (BLK) Program rehabilitasi yang telah dilakukan klien di rumah sakit perlu dilanjutkan setelah klien pulang ke rumah. Dalam rencana pulang, identifikasi fasilitas BLK yang ada di daerah tempat tinggal klien telah dilakukan sehingga rujukan dapat dilaksanakan. Penyaluran tenaga kerja klien dapat dilakukan melalui kerjasama dengan departemen tenaga kerja. HALF HOUSE, COTTAGE, GROUP HOME Fasilitas perumahan yang dapat digunakan klien sebagai tempat tinggal peralihan dari rumah sakit ke keluarga perlu pula dikembangkan. Petugas di perumahan ini hanya sebagai motivator dan fasilitator. KLINIK KRISIS Pelayanan 24 jam diperlukan untuk segera memberikan pelayanan pada keadaan kritis, sehingga setiap saat keluarga memerlukan dapat segera dilayani tanpa perlu langsung dirawat di rumah sakit jiwa. Petugas di klinik kritis dapat menentukan apakah klien perlu dirawat di rumah sakit atau cukup mendapatkan perawatan rumah yang intensif. HOT LINE SERVICE

81

Pelayanan gratis melalui telepon. Pelayanan ini diperlukan pada keadaan darurat, misalnya klien yang ingin bunuh diri, klien amuk. Klien, keluarga dan masyarakat dapat mengungkapkan masalah, mendapatkan informasi yang diperlukan tanpa memberitahu identitas. SISTEM PENDUKUNG Persatuan keluraga klien dan klien, teman klien atau kelompok masyarakat tertentu yang berminat dalam kesehatan jiwa merupakan system pendukung klien. Kelompok dapat membuat pertemuan yang teratur, mendiskusikan masalah yang dihadapi klien serta mencari pemecahan yang terbaik. Tukar pengalaman dalam merawat klien merupakan proses belajar yang baik yang dapat diselenggarakan kelompok. Selain itu, kelompok dapat mengadakan pertemuan ilmiah baik untuk keluarga klien maupun masyarakar luas. Semua pelayanan dan asuhan dilaksanakan secara terpadu dengan berbagai disiplin lain dalam tim kesehatan jiwa: dokter, psikiater, perawat, pekerja sosial, terapis okupasi, psikolog, keluarga dan masyarakat.

C. Keterbatasan Penelitian 1. Referensi penelitian terdahulu Kurangnya referensi yang berkaitan tentang penelitian kualitatif baik buku maupun skripsi yang menggunakan metode penelitian kualitatif. 2. Acuan Landasan Teori

82

Beberapa teori pola asuh, belum banyak memberikan kontribusi terhadap pengasuhan pada pasien skizofrenia Pola-pola asuh yang ada masih terbatas dalam pengasuhan anak dalam keluarga secara umum. Kurangnya referensi yang berkaitan tentang penelitian kualitatif baik buku maupun skripsi yang menggunakan metode penelitian kualitatif. 3. Sulitnya menggali jawaban dari responden tentang pola asuh keluarga

yang diterapkan kepada anak karena ini menyangkut hak pribadi bagi seseorang. 4. Diperlukan kesabaran ekstra untuk dapat melakukan pendekatan kepada responden untuk dapat diwawancarai