Upload
ngoque
View
251
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB III
MASYARAKAT MADE DAN TRADISI SEDEKAH BUMI
Bab ini akan membahas dua hal yaitu masyarakat Made sebagai subjek
penelitian yang melaksanakan tradisi sedekah bumi dan tradisi sedekah bumi itu
sendiri yang dilaksanakan oleh masyarakat Made. Pembahasan mengenai
masyarakat Made meliputi: sejarah masyarakat Made, keadaan geografis,
sosiologis, demografis dan keagamaan masyarakat Made. Pembahasan tersebut
penting sebagai asumsi pijakan untuk menganalisis sejauh mana keadaan-keadaan
yang melingkupi masyarakat Made memengaruhi pemaknaan terhadap tradisi
sedekah bumi. Sedangkan pembahasan tradisi sedekah bumi meliputi: sejarah
tradisi sedekah bumi masyarakat Made, tata cara sedekah bumi masyarakat Made,
tradisi sedekah bumi masyarakat Made dalam konteks modern.
3.1. Masyarakat Made
Masyarakat Made yang dimaksud merujuk pada seklompok warga atau
masyarakat yang secara administratif tinggal di Kelurahan Made, Kecamatan
Sambi Kerep, yang terletak di kawasan Surabaya Barat.
3.1.1. Sejarah dan Asal Usul Desa Made
Kelurahan Made terbentuk dari penyatuan pedukuhan Watulawang,
Ngemplak, dan Made. Kelurahan Made berbatasan dengan Kabupaten
Gresik. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, kampung Made masih terasing
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
dari perkampungan lain di Surabaya, sebab wilayahnya yang berada di
pinggiran kota. Terlebih, akses menuju Made saat itu masih berupa jalan
tanah atau makadam.49 Lebih jauh lagi, Sejarahwan Surabaya, Dukut Imam
Widodo, menceritakan bahwa tempo dulu, Karisidenan Soerabaia
(Surabaya) terdiri dari District (Kecamatan) Soerabaja, District Jabakota,
District Bawean, dan District Gunung Kendeng. Desa Made dulunya masuk
dalam wilayah District Gunung Kendeng, kalau sekarang Lakarsantri.50
Mengenai sejarah dan asal usul Made terdapat beberapa versi.
Pertama, menurut Bambang Sugijarto, selaku Lurah Made tahun 2007,
Kampung Made dulu bernama Tawangsari. Penggunaan nama Made
dilakukan untuk menghormati jasa pejuang revolusi I Made Suganda yang
pernah tinggal di kawasan rawa-rawa di kawasan tersebut. I Made Suganda
begitu karismatis dan mengundang simpati warga. Bahkan, kemudian
sejumlah warga memeluk agama Hindu seperti yang dianut I Made
Suganda. Tidak diketahui secara pasti kapan perubahan nama
kampung/desa itu terjadi. Oleh warga setempat, I Made Suganda mendapat
panggilan akrab Wak Made. Dia digambarkan sangat mewarnai kehidupan
masyarakat di situ. Di antaranya, mampu menata daerah Made yang dulu
gersang menjadi hijau subur. Rumahnya kemudian difungsikan sebagai
punden dan tak pernah sepi dikunjungi warga. Rumah tersebut diberi nama
49 Dedy H Syahrul, “Kelurahan Made, Kampung Bali di Surabaya - Adakan Ritual Bersama, Rukun
meski Beda Agama,” Harian Jawa Pos, 20 September 2007. 50 Dukut Imam Widodo, Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, Buku II, (Surabaya: Dukut Publishing,
2008), 349.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
Punden Singojoyo. Disamping itu, Wak Made juga mengajak masyarakat
sekitarnya hidup rukun, meski berbeda agama.51
Sedikit berbeda dengan versi pertama, bahwa istilah Made memang
berasal dari nama seorang Hindhu yang bernama I Made Suganda, tetapi
versi kedua ini menuturkan bahwa I Made Suganda atau Ida Made Suganda
bukanlah pejuang revolusi kemerdekaan melainkan seseorang yang
menemukan atau membangun kampung Made. Rumah, tempat
persemayaman dan pertapaan Ida Made Suganda, disebut oleh warga sekitar
sebagai Punden Singojoyo. Adapun perjuang revolusi kemerdekaan yang
dimaksud adalah bernama Darmo Sugondo. Pada waktu itu Darmo Sugondo
karena menentang pemerintah kolonial Belanda, dia dikejar-kejar oleh
tentara Belanda. Kemudian Darmo Sugondo bersembunyi dalam Punden
Singojoyo. Konon, Darmo Sugondo saat itu selamat dari kejaran tantara
Belanda karena diselamatkan oleh Ida Made secara ghaib. Walaupun
sejatinya Darmo Sugondo ada di lokasi tersebut, namun para penjajah
kolonial tidak dapat melihatnya.52
Versi ketiga menuturkan bahwa nama “Made” bukanlah berasal dari
Wak Made atau I Made Suganda. Namun “Made” dalam bahasa Jawa Kuno
berarti “di tengah-tengah.” Hal tersebut merujuk pada posisi wilayah Made
pada waktu pembukaannya pertama kali. Dikisahkan dulunya daerah Made
dan sekitarnya adalah alas atau hutan belukar. Lebih kurang 650 hektar
51 Syahrul, “Kelurahan Made,.” 52 “Kampung Made Balinya Surabaya,” Situs AyokeSurabaya.com, diakses Juni 2017,
http://ayokesurabaya.com/home/read/kampung-made-balinya-surabaya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
daerah yang semula alas, dibuka, hingga menjadi desa, namun ketika itu
belum ada yang menghuni melainkan Ingkang Sinuhun (seorang yang
dijunjung/agung – tidak diketahui namanya). Batas selatan semula belukar,
pegunungan sebelah barat hutan yang pernah dihuni bongsone demit
(bangsa jin), bagian utara alas yang hasil tebangan kayunya malang
sungsang dibalut oleh akar beringin, sedangkan di timur sisa tunggak pohon
kesambi yang amat kerep (rapat/dempet), sehingga Ingkang Sinuhun merasa
kecil dihadapan Sang Pencipta Alam yang hutannya telah rampung dibuka
menjadi desa. Karena pohon besar yang disisakan untuk istirahat berada
“ditengah-tengah” daerah perdikan, maka daerah tersebut dinamakan
Made.53
Versi keempat, sebagaimana dituturkan oleh sesepuh masyarakat
Made, yaitu Mbah Seniman atau Mbah Man, bahwa istilah “Made” bukan
berasal dari Bali atau diasosiasikan dengan Bali, tetapi Made adalah
akronim Macan Gedhe (Harimau/Singa Besar) atau Macan Alas Gedhe
(Harimau/Singa dari hutan besar). Hampir sama dengan versi ketiga, bahwa
dulu kala, kawasan Made hanya dihuni satu orang saja, (tidak dijelaskan
siapa namanya), dimana wilayah sekitarnya masih berupa hutan belukar.
Orang tersebut memiliki binatang peliharaan Singo dan Macan Gedhe
(Singa dan Harimau). Orang tersebut dan Singa-nya bertapa dan membuat
petilasan, yang kemudian dikenal sengan Singojoyo atau Mbah Singojoyo,
53 “Histori Made,” Situs desomade.blogspot.co.id., diakses Juni 2017,
http://desomade.blogspot.co.id
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
sedangkan Macan bertugas menjaganya. Sampai suatu ketika, hutan besar
(alas gedhe) di kawasan selatan rusak dan Macan pergi ke hutan tersebut
(alas gedhe). Lama berselang, suatu hari Macan akhirnya kembali ke
tempatnya, sehingga disebut Macan Alas Gedhe, dari situlah nama Made
terbentuk. Mbah Singojoyo itulah yang kemudian dinisbatkan sebagai
pendiri kampung Made.54
Perihal cerita tentang pejuang revolusi kemerdekaan yang bernama
Darmo Sugondo, Mbah Man menunjukkan dokumen sejarah singkatnya
yang beliau tanda tangani. Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa
mengenai tokoh pejuang Alamarhum Bapak Darmo Sugondo memang dulu
ada, beliau bernama asli Kamin, yang berasal dari Desa Banjar Melati,
Karang Pilang, Surabaya. Beliau ditemani tiga orang tokoh Desa Made,
yaitu Almarhum Bapak Seno, yang tidak lain adalah Bapak Mbah Seniman,
Bapak Jemblang dan Bapak Blandong. Keempat orang tersebut mempunyai
cita-cita agar warga mendapat keadilan dan kemakmuran. Pada saat itu
masih masa revolusi kemerdekaan, bangsa Indonesia termasuk warga Made
masih belum sejahtera dan penjajahan Belanda masih menghantui. Mereka
meninggalkan kisah sejarah bangunan Tugu Wukiro Tawu atau Punden
Singojoyo. Sampai sekarang bangunan tersebut sudah direnovasi yang
keempat kali tahun 1975 dan yang kelima tahun 2014. Almarhum Bapak
54 Mbah Seniman/Mbah Man, diwawancarai oleh Peneliti, 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
Sugondo pindah ke Jakarta melanjutkan tugasnya dan tak lama kemudian
meninggal dunia tanggan 12 Desember 1959.55
Versi kelima adalah hasil studi dari Bayu Dwi Nurwicaksono yang
mengeksplorasi nilai budaya dalam tradisi lisan Rupa Bumi di Desa Made
tahun 2013, menjelaskan keberadaan cerita rakyat asal mula Desa Made.
Dalam cerita tersebut terdapat tokoh utama yaitu Singojoyo, ia yang paling
banyak diceritakan baik pada saat sosoknya masih ada dalam dunia nyata
maupun saat sosoknya telah tiada. Latar tempat yang digunakan dalam ceita
adalah Alas (Hutan) Gunung Liwang-Liwung, yang dianggap merupakan
cikal bakal Desa Made, dengan latar waktu masa-masa penjajahan Belanda
empat abad silam. Singojoyo merupakan tokoh yang babat alas Gunung
Liwang-Liwung untuk membuka Desa Made. Punden Singojoyo
merupakan petilasan Mbah Joyo sebelum akhirnya menghilang secara
misteirus. Tempat Mbah Joyo biasa bertapa yang berada di bawah pohon
besar jika dilihat terus menerus menunjukkan guratan-guratan yang
membentuk wajah Singo (Harimau/Singa).56
Keseluruhan versi asal usul Kampung Made di atas lebih kurang
terdapat kesamaan cerita, yang intinya menunjukkan bahwa berdirinya
Kampung Made diawali dari adanya orang atau mungkin sekelompok orang
yang membuka lahan hutan sebagai tempat tinggal yang lambat laun
55 Dokumen Mbah Seniman berjudul, “Sejarah Singkat Desa Made Mengenai Tokoh Pejuang 45
dan Bangunan Punden.” 56 Bayu Dwi Nurwicaksono, “Eksplorasi Nilai Budaya dan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan
Lokal dalam Tradisi Lisan Rupa Bumi dan Ancangan Revitalisasinya Melalui Implementasi
Kurikulum 2013 dan Program Agrowisata,” (Thesis, Universitas Pendidikan Indonesia, 2013).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
menjadi pedukuhan dan pedesaan. Berbagai versi tersebut menunjukkan
adanya cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun di masyarakat
Made. Sebagaimana cerita rakyat pada umumnya, yang terkadang ada
beberapa versi, perbedaan nama tokoh, atau penyebutan tempat, dan
sebainya, tetapi inti ceritanya sama. Tidak ada bukti atau penyeldidikan
sejarah secara mendalam mengenai berdirinya Kampung Made. Sehingga
cerita-ceirta rakyat tersebut cenderung diterima dan dianggap sebagai
kebenaran bagi masyarakat Made.
Dari cerita rakyat itu setidaknya menggambarkan cara pandang dan
kepercayaan masyarakat Made terhadap asal-usul wilayahnya. Cerita rakyat
dan kepercayaan tersebut merupakan mitos, dan Punden Singojoyo sebagai
pusat dari cerita tersebut adalah tempat yang sakral. Sebagaimana dijelaskan
oleh Kuntowijoyo, bahwa orang Jawa (tradisional) tunduk pada alam,
mereka melihat alam sebagai kenyataan yang serba dahsyat, tak terjangkau
dan menguasai manusia. Karenanya kebudayaan Jawa penuh dengan
mitologisasi (memitoskan), sakralisasi (mengeramatkan) dan mistifikasi
(memandang segala sesuatu sebagai misteri). Mitologisasi dan sakralisasi
dapat ditemukan pada orang, tempat, waktu dan peristiwa.57 Dengan
demikian masyarakat Made yang menjadi bagian dari masyarakat Jawa
tidak terepas dari upaya mitologisasi dan sakralisasi terhadap Punden
Singojoyo dan Mbah Singojoyo atau I Made Suganda.
57 Kuntowijoyo, Esai-Esai Budaya dan Politik, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas,
(Bandung: Mizan, 2002), 108.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
3.1.2. Kondisi Geografis, Sosiologis dan Demografis
Kelurahan Made terletak di Kecamatan Sambikerep, termasuk
wilayah geografis Kota Surabaya yang merupakan bagian dari Wilayah
Surabaya Barat, dengan ketinggian ± 12 meter diatas permukaan laut. Luas
wilayah Kelurahan Made adalah 4,47 Km2 dengan jarak ke kecamatan ±2
Km. 58 Secara keseluruhan di Kecamatan Sambikerep, curah hujan rata-rata
per bulan adalah 209,4 mm dengan rata-rata hari hujan per bulan adalah 17
hari, rata-rata temperatur adalah 28,7 derajat celcius.59 Adapun batas-batas
administratif Kelurahan Made adalah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Bringin Kecamatan
Sambikerep;
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Lakarsantri;
c. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Sambikerep,
Kecamatan Sambikerep;
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik.
Sehingga Kelurahan Made terletak di kawasan pinggiran Surabaya yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Gresik. Berikut penampakan
wilayah Kelurahan Made berdasarkan citra satelit dari google map:
58 BPS Kota Surabaya, Kecamatan Sambikerep dalam Angka tahun 2016, (Surabaya: BPSKota
Surabaya, 2016), 1-2. 59 Ibid., 3-5.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
Berdasarkan peta di atas dan observasi di lapangan, diketahui bahwa
Kelurahan Made berdekatan dengan kawasan elit Surabaya, yaitu
Perumahan Citra Raya atau Citraland. Kawasan Citraland memang sangat
luas, tidak hanya mencakup sebagian wilayah Kelurahan Made tetapi juga
beberapa kelurahan lain diskeitarnya, seperti Kelurahan Sambikerep,
Lakarsantri, Lontar, dan Lidah Kulon. Selain terdapat perumahan mewah
dengan jalan dan taman yang rindang, juga terdapat berbagai pertokoan,
perkantoran, rumah sakit, sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai dengan
Gambar 3.1. – Peta Citra Satelit Kelurahan Made dari Google Map
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
perguruan tinggi yaitu Universitas Ciputra, termasuk juga sarana hiburan,
seperti Ciputra Waterpark, yang lokasinya tidak jauh dari Kantor Kelurahan
Made. Sehingga secara sosiologis terdapat pemandangan yang cukup
mencolok di Kelurahan Made, di satu sisi terdapat kawasan perumahan elit
dengan berbagai sarana dan prasarananya, di sisi lain terdapat suasan
perkampungan.
Secara administratif internal, Kelurahan Made terbagi dalam 8
Rukun Warga (RW) dengan 29 Rukun Tetangga (RT). Berdasarkan data di
Kecamatan Sambikerep tahun 2015, jumlah penduduk Kelurahan Made
adalah 8158 dengan kepadatan penduduk 1825 Jiwa/Km2, dengan jenis
kelamin laki-laki sejumlah 4289 dan perempuan sejumlah 3288.60
Mayoritas penduduk Made adalah suku Jawa, sebagian kecil adalah suku
Madura. Mbah Seniman dan keluarganya merupakan suku Madura yang
sudah turun temurun tinggal di kampung Made.61
Secara tingkat ekonomi atau kesejahteraan, masih cukup banyak
terdapat Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I di Kelurahan
Made. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat ekonomi masyarakat Made
adalah menengah ke bawah. Data dari BPS Kota Surabaya menunjukkan
bahwa jumlah keluarga Pra Sejahtera di Kelurahan Made adalah 110, dan
Keluarga Sejahtera Tingkat I adalah 172.62 Dari total 1885 keluarga,
60 BPS Kota Surabaya, Kecamatan Sambikerep., 16-18. 61 Mbah Seniman, Wawancara dengan Peneliti, Juni 2017. 62 BPS Kota Surabaya, Kecamatan Sambikerep., 54.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
terdapat 196 kepala keluarga di Kelurahan made yang tidak bekerja, dan
167 kepala keluarga perempuan.63
Aktivitas perekonomian penduduk Made, sebagian besar adalah
pekerja, banyak di antaranya bekerja di PT. Citraland, termasuk Pak Sadi,
putra dari Mbah Seniman.64 Kemudian juga ada yang berprofesi sebagai
petani/peternak, pedagang, dan lain-lain. Di Kelurahan Made juga tidak
terdapat bank, terdapat satu buah restoran atau rumah makan, dan dua
minimarket/supermarket.65 Banyaknya lahan yang kemudian dibeli
pengembang dan dialihfungsikan menjadi perumahan dan apartemen,
membuat aktivitas pertanian di Kelurahan Made semakin berkurang tiap
tahunnya.
Mbah Seniman menuturkan bahwa sekitar tahun 1970-an wilayah
Made masih didominasi pertanian, saat itu hanya satu orang saja yang
memiliki sepeda motor. Hal tersebut menunjukkan tingkat ekonomi yang
masih sangat rendah. Namun tidak lama pengembang masuk, mulai
membeli lahan warga, dan melakukan pembangunan. Sebagian
menggunakan jasa warga Made. Mereka yang semula bertani karena tidak
ada lahan juga ada kebutuhan tenaga pembangunan, kemudian beralih
profesi. Sehingga lama kelamaan masyarakat Made menjadi makmur.
Ketika ada proyek perluasan kota Surabaya di tahun 1990-an, membuat
Made semakin kelihatan maju. Dan di tahun 2000-an Made sudah bukan
63 Ibid., 55-56 64 Pak Sadi bin Seniman, Wawancara oleh Peneliti, Juni 2017. 65 BPS Kota Surabaya, Kecamatan Sambikerep., 62-63.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
sebuah desa lagi yang terpencil, tetapi Made adalah kota (menjadi bagian
dari Kota Surabaya).66
Saat ini aktivitas pertanian di Kelurahan Made memang masih ada,
tetapi sistemnya adalah sawah tadah hujan, tidak melalui pengairan/irigasi,
dengan luas lahan kurang lebih 211,85 Ha, dengan catatan sebagian besar
lahan tersebut bukan lahannya warga, tetapi lahan milik pengembang yang
dimanfaatkan sebagai pertanian. Di Kelurahan Made juga terdapat
Gabungan Kelompok Tani Made Bersinar (Gapoktan Made Bersinar) yang
merupakan gabungan kelompok tani, beranggotakan sekitar 563 penduduk
Kelurahan Made dan melaksanakan kegiatan pertanian/bercocok tanam di
lahan persawahan maupun lahan pekarangan. Tanaman yang dikembangkan
oleh Gapoktan Made Bersinar adalah tanaman holtikultura seperti cabe,
tomat, jagung dan tanaman sayuran lainnya.
Pemerintah Kota Surabaya sejak tahun 2009, berupaya menerapkan
urban farming di Kelurahan Made. Hal tersebut dilakukan untuk
meningkatkan perekonomian warga dan memanfaatkan lahan-lahan yang
tidak/masih belum digunakan, meskipun jumlahnya terbatas. Menurut
Kepala Dinas Pertanian Kota Surabaya tahun 2010, Syamsul Arifin,
menjelaskan bahwa kegiatan ini mampu menarik perhatian dan antusias
warga. Warga kota bahu membahu mulai dari pembelian bibit, mananam
hingga pada tahap pemasaran, Karena danyak dampak positif yang dapat
dirasakan warga seperti meningkatnya penghasilan dan hasil kebun juga
66 Mbah Saniman, Wawancara dengan Peneliti, Juni 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
makin beragam. Beberapa komoditi pertanian produksi tanaman
hortikultura yang disiapkan untuk masyarakat, antara lain pare hijau, pare
welut, kacang panjang, gambas, lodrong, terong, sawi cabut, kangkung
cabut, bayam cabut, tomat, daun seruni/kenikir, kemangi, daun ketela
pohon, terong lalap, krai, mentimun, ketela pohon, jagung sayur, ubi jalar
dan cabai merah.67
Studi dari Renny Ratna Dewi dan Eko Budi Santoso terkait arahan
program urban farming di Kelurahan Made menunjukkan bahwa
masyarakat Kelurahan Made hingga saat ini masih menerapkan sistem
pertanian tradisional dengan memanfaatkan lahan-lahan tidur milik
developer sebagai media tanam. Hal itu tentunya tidak akan berjalan dalam
jangka waktu yang cukup lama karena lahan-lahan tersebut akan beralih
fungsi menjadi lahan perumahan yang akan berimbas pada ketersediaan
lahan yang semakin terbatas dan berdampak pada aktivitas pertanian di
Kelurahan Made. Alih fungsi lahan tersebut tentunya akan berimbas pada
ketersediaan lahan yang semakin sedikit dan berdampak pada aktivitas
pertanian di Kelurahan Made. Menanggapi hal tersebut, maka perlu adanya
dorongan dari pemerintah untuk membantu masyarakat dalam
meningkatkan efektivitas kegiatan pertanian perkotaan di wilayah tersebut
dengan cara mengembangkan beberapa metode pertanian modern yang
cocok untuk masyarakat Kelurahan Made agar masyarakat siap dalam
67 “Antusias Warga di Panen Raya Kelurahan Made,” Situs Surabaya.go.id., 13-03-2010,
http://www.surabaya.go.id/pelayanan%20publik/441-antusias-warga-di-panen-raya-kelurahan-
made
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
menghadapi tantangan perkotaan di masa yang akan datang terkait dengan
keterbatasan lahan serta daya saing sektor pertanian kedepannya.68
Sementara studi dari Lilik Wahyu Athariyanto menyimpulkan
bahwa penyelenggaraan urban farming di Kelurahan Made dapat dikatakan
cukup berhasil. Hal ini ditandai dengan menurunnya jumlah angka
kemiskinan dan telah terdapat komoditas perdagangan hasil pertanian di
Kelurahan Made. Para petani di Kelurahan Made telah mampu memasarkan
produknya di pasaran dan mendapatkan manfaat finansial dari hasil
penjualan produk hasil pertanian. Tetapi, dalam proses penyelenggaraan
urban farming di Kelurahan Made, terdapat banyak kekurangan yang
bersifat konseptual yang harus dibenahi. Seperti terkait permasalahan
bagaimana Pemerintah Kota Surabaya menjamin keberlangsungan
pelaksanaan urban farming. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya suatu
aturan hukum yang jelas yang menjamin dan melindungi kegiatan pertanian
kota (urban farming) di Kota Surabaya.69
Dari data-data di atas dapat diketahui bahwa masyarakat Made
secara geografis, mulanya merupakan kawasan pertanian, tetapi dalam
perkembangan karena lahannya telah banyak dibeli oleh pengembang maka
kawasan pertaniannya menjadi jauh berkurang. Namun usaha-usaha untuk
mempertahankan dan mengembangkan pertanian masyarakat Made terus
68 Renny Ratna Dewi dan Eko Budi Santoso, “Arahan Peningkatan Pengelolaan Program Urban
Farming di Kelurahan Made Kecamatan Sambikerep Surabaya,” Perencanaan Wilayah dan Kota,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) (t.t.). 69 Lilik Wahyu Athariyanto, IMPLEMENTASI PROGRAM URBAN FARMING DI
KELURAHAN MADE KECAMATAN SAMBIKEREP KOTA SURABAYA, Jurnal Mahasiswa
Unesa (t.t.)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
dilakukan dan didukung oleh Pemerintah Kota Surabaya melalui program
urban farming dengan corak holtikultura. Sehingga saat ini, pertanian masih
menjadi profesi sebagian masyarakat Made, meski tidak lagi dominan
seperti dulu. Secara demografis, wilayah Made adalah wilayah yang cukup
padat, sekalipun tidak sepadat wilayah di tengah kota. Hal tersebut sebagai
implikasi dari perkembangan Made yang saat ini sudah menunjukkan
nuansa kota, terlebih terdapat perumahan elit, berbagai perkantoran dan
tempat hiburan yang modern di sekitar wilayah Made. Secara sosial
ekonomi, sekalipun telah terdapat kemajuan, namun sebagian besar
masyarakat Made masih masuk dalam kategori Keluarga Pra Sejahtera dan
Keluarga Sejahtera Tingkat I. Secara sosio kultural masyarakat Made
termasuk dalam sub kultur masyarakat Jawa.
3.1.3. Keberagaman Agama dan Kerukunan
Kebanyakan warga Made memeluk Islam. Hanya segelintir yang
beragama Hindu. Bahkan, kini tinggal tujuh keluarga yang menganut Hindu.
Menurut Samsari, warga yang rumahnya tak jauh dari Punden Singojoyo,
masyarakat sering menggunakan Punden Singojoyo untuk berdoa bersama
khususnya setiap malam Jumat Kliwon. Ritualnya campuran agama Hindu
dan Islam. Tapi, doa-doanya, menggunakan ajaran Islam seperti doa
tahlilan. Sedangkan perlengkapan doanya mirip yang biasa disiapkan umat
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
Hindu untuk sesaji, seperti membawa sesajen, dupa, bunga pancawarna, dan
macam-macam makanan.70
Melihat corak keagamaan masyarakat Made, sekalipun mayoritas
Islam, namun praktik-praktik keagamaan yang dijalankan masih kental
dengan nuansa sinkretis. Mengacu pada pembagian sub kultural agama Jawa
oleh Geertz,71 dapat diidentifikasi sebagian masyarakat Made adalah
Abangan atau Islam Abangan. Sistem keagamaan tersebut merupakan
integrasi yang berimbang antara unsur-unsur animisme sebagai warisan
leluhur atau nenek moyang orang Jawa, pengaruh Hindhu dan pengaruh
Islam, sebuah sinkretisme dasar orang Jawa yang merupakan tradisi
sebenarnya masyarakat Jawa.72 Islam Abangan berarti pula merujuk pada
praktik-praktik Islam yang tidak serigid dan seketat sebagaimana kelompok
kultural lain yang disebut Santri, namun secara identitas mereka menyadari
sebagai orang Islam, mengucapkan syahadat, turut berpuasa,
bersedekah/zakat, melakukan salat, dan sebagainya. Namun tetap tidak
meninggalkan kepercayaan terhadap arwah leluhur, para Nabi, para
malaikat, dan waliyullah yang dipandang memiliki kekuatan magis dan
mampu menjadi penyelamat dan perantara doa kepada Allah SWT.
Walaupun juga terdapat kelompok masyarakat Muslim Made yang lebih taat
dan dekat dengan praktik kultural kelompok Santri, tetapi hal tersebut tidak
dominan. Hal tersebut sebagai imbas dari perkembangan wilayah Made
70 Syahrul, “Kelurahan Made,.” 71 Geertz, Agama Jawa. 72 Ibid., xxx.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
sendiri dan interaksi dengan kultur perkotaan yang membawa pada
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pemurnian ajaran Islam dari
berbagai kelompok keagamaan yang tumbuh di Kota Surabaya.
Ciri utama lainnya yang juga terdapat dalam masyarakat Made
adalah tradisi situal slametan atau kenduren, yang menjadi pusat seluruh
sistem keagamaan orang Jawa. Slametan hampir dapat digunakan untuk
merespon keseluruhan dinamika hidup, seperti kelahiran, kematian,
pernikahan, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, panen raya,
kesembuhan dari sakit, dan sebagainya.73 Praktik Sedekah Bumi merupakan
salah satu bentuk ritual slametan atas keberhasilan panen warga Made,
sebagai sebuah tradisi yang terus dipertahankan hingga kini, sekalipun
pertanian tidak lagi menjadi mata pencaharian kebanyakan warga Made.
Di tengah keragaman agama dan praktik kultural keagamaan
masyarakat Made, sikap tolerasni dan kerjasama terjada di Made, sehingga
kehidupan masyarakat dapat berjalan rukun dan harmonis. Mbah Seniman
menuturkan bahwa kerukunan umat beragama di Kelurahan Made selama
ini berjalan apa adanya dan tidak pernah timbul perselisihan antarumat.
Masyarakat Made yang mayoritas muslim sangat toleran terhadap warga
lain yang menganut Hindu. Bahkan, sering antara umat Muslim dan Hindhu
mengadakan pertemuan bersama. Dia sendiri dulunya merupakan penganut
Islam. Pada tahun 1981, ayahnya yang bernama Seno Seniman berpindah
73 Ibid., 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
ke agama Hindu. Dari situlah kemudian Seniman dan anggota keluarga yang
lain mengikuti jejak orang tuanya, menganut Hindu.74
Namun uniknya, di lingkungan keluarga Mbah Seniman sendiri
tidak semuanya menganut agama Hindhu. Beliau memberikan kebebasan
terhadap putra-putranya. Sebagian putranya ada yang tetap memeluk
Hindhu, sebagian yang lain memeluk Islam. Salah satu putranya memeluk
agama Islam. Dan hal tersebut tidak pernah dipersoalkan oleh Mbah
Seniman.75
Studi dari Titien Diah S dari Universitas Airlangga yang berjudul
The Harmony of Living in Plurality: The Cultural Heritage of Kampung
Made in Surabaya, menunjukkan bahwa di Kampung Made memang
terdapat perbedaan nilai-nilai namun sekaligus juga nilai-nilai yang
universal. Perbedaan dan persamaan nilai-nilai dalam masyarakat Made
mengantarkan dan menginspirasi mereka untuk dapat hidup berdampingan
secara harmonis di tengah keragaman/pluralitas komunitas.76
Dari data-data di atas menunjukkan bahwa masyarakat Made
sekalipun secara nominal mayoritas muslim, tetapi memiliki orientasi kultur
keagamaan yang beragam. Terdapat sebagian kecil komunitas Hindhu di
masyarakat Made. Secara keseluruhan keragaman atau pluralitas tersebut
menjadi salah satu ciri masyarakat Made yang dapat hidup rukun dan
berdampingan.
74 Syahrul, “Kelurahan Made,.” 75 Sadi bin Seniman, Wawancara oleh Peneliti, Juni 2017. 76 Titien Diah S, “The Harmony of Living in Plurality: The Cultural Heritage of Kampung Made in
Surabaya,” (tt.).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
3.2. Tradisi Sedekah Bumi Masyarakat Made
3.2.1. Asal Mula dan Perkembangan Tradisi Sedekah Bumi Masyarakat
Made
Berdasarkan penuturan Mbah Seniman, selaku sesepuh dan Ketua
Adat Kampung Made, tradisi sedekah bumi masyarakat Made telah
berlangsung lama, turun trmurun dari nenek moyang masyarakat Made.
Beliau yang lahir tahun 1933 menceritakan bahwa sejak masa kecilnya telah
mengikuti tradisi ritua sedekah bumi masyarakat Made. Ketika ditanya
sejak kapan tradisi itu berlangsung? Mbah Man tidak tahu persis, beliau
mengatakan, “Sejak Mbah Man mangan uyah, wis ono tradisi sedekah bumi
nang Made” (Sejak Mbah Man makan garam, sudah ada tradisi sedekah
bumi di kampung Made),77 dan dari dulu sudah seperti itu diselenggarakan
di Punden Singojoyo. Istilah mangan uyah atau makan garam maksudnya
adalah hanya makan nasi dan garam saja tanpa sayur dan lauk pauk. Hal
tersebut menggambarkan kualitas hidup atau kemiskinan yang menjadi
gejala umum masyarakat Jawa saat itu, salah satunya sebagai akibat dari
penjajahan Belanda. Di lain kesempatan, Mbah Seniman secara tegas
menuturkan bahwa sedekah bumi sudah menjadi tradisi, adat, mulai zaman
nenek moyang, untuk mendoakan agar desa aman, tentram dan ini sejarah.78
77 Mbah Seniman, Wawancara dengan Peneliti, Juni 2017. 78 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
Artinya sebagai sebuah warisan sejarah, tradisi Sedekah Bumi masyarakat
Made tidak boleh dilupakan apalagi sampai dihilangkan.
Sebagai sebuah tradisi, ritual sedekah bumi tidak lepas dari
musyawarah persetujuan warga, besar kecilnya upacara adat untuk sedekah
bumi yang dilaksanakan menurut keadaan hasil panen.
Apabila hasil bumi dirasakan baik upacara adat sedekah bumi dimeriahkan
memakai ritual, gending-gending: Giro Taloen, Srunenan, Iling-Iling, Tari
Remo, serta Jula-Juli, dengan tumpengan ikannya ayam panggang serta
kesenian Okol (permainan gulat model anak desa), terkadang malamnya
disusul pagelaran Wayang Kulit, atau Ludruk. Tetapi ketika hasil bumi
menurun upacara adat untuk sedekah bumi tetap dilaksanakan namun
sederhana saja, tumpengan tapi tidak memakai kesenian.79
Menurut Ketua Peguyuban Sosial Kelurahan Made, Muhammad
Nasyik Fahmi, ritual ruwat bumi atau sedekah bumi merupakan bagian dari
budaya yang berkembang dalam masyarakat Made. Tradisi tersebut
sebenarnya dilakukan sejak zaman nenek moyang. Dia tak memungkiri
bahwa tradisi itu mirip prosesi ritual ajaran dalam Hindhu. Lebih lanjut,
Nasyik Fahmi menceritakan bahwa ritual tersebut pernah terhenti pada
2001. Namun, selang tiga tahun, ketika terjadi bencana alam tsunami di
Aceh, tradisi itu dilanjutkan, tujuannya adalah untuk memohon keselamatan
kepada Allah SWT.80
79 http://desomade.blogspot.co.id 80 Syahrul, “Kelurahan Made,.”
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
Dari pemaparan data di atas, tidak diketahui secara pasti bagaimana
asal mula tradisi sedekah bumi masyarakat Made. Penjelasan umum yang
didapatkan dari berbagai pihak adalah bahwa kegiatan tersbut berasal dari
nenek moyang masyarakat Made. Tetapi siapa dan bagaimana nenek
moyang masyarakat Made mengawali tradisi sedekah bumi tidak diketahui
secara pasti. Hal tersebut sebenarnya sejalan dengan tradisi slametan
masyarakat Jawa yang dianggap sebagai warisan nenek moyang. Slametan
yang menjadi ritual inti masyarakat Jawa bersumberkan kepada
kepercayaan adanya makhluk-makhluk halus yang bisa mengganggu
manusia.81 Ketika agama Hindhu-Budha dan Islam masuk ke Jawa, tradisi
slametan tetap dipertahankan sengan berbagai modifikasi atau sinkretis
dengan praktek keagamaan yang mempengaruhinya. Sebagai contoh dalam
hal doa, kerap kali orang Islam Jawa (abangan) yang melakukan slametan
menggunakan doa-doa berbahasa Arab atau membaca bacaan bahasa arab
seperti surah Yasin, tahlil, dan sejenisnya. Maka wajar pula jika masyarakat
Made pada hari ini yang merupakan sub kultur masyarakat Jawa, mayoritas
beragama Islam, dengan corak kultur abangan percaya bahwa sedekah bumi
adalah warisan nenek moyangnya.
Di Jawa, sedekah bumi umum dilakukan di masyarakat agraris untuk
mensyukuri hasil pertanian yang didapatkan. Upacara sedekah bumi
dipersembahkan kepada penguasa pertanian, dewi kesuburan yaitu Dewi
Sri. Karena pengaruh Islam, tradisi tersbut tetap dilakukan hanya arahnya
81 Geertz., Agama Jawa., 7.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
bukan lagi kepercayaan kepada Dewi Sri, tetapi kepercayaan dan rasa
syukur kepada Allah SWT. Mulanya ritual sedekah bumi masyarakat Made
seiring dengan sistem hidup pertanian yang melingkupinya, sehingga juga
awalnya diarahkan wujud syukur kepada Dewi Sri, setelah pengaruh Islam
diarahkan kepada Allah SWT. Namun yang menjadi khas di masyarakat
Made adalah prosesi sedekah bumi dikaitkan dengan rasa
terimakasih/syukur kepada Mbah Singojoyo yang dianggap sebagai pendiri
Kampung Made. Indikasinya adalah kegiatan sedekah bumi selalu di
dilaksanakan di Punden Singojoyo, yang dianggap sebagai makam dan
petilasan Mbah Singojoyo. Sehingga sekalipun masyarakat Made modern
hari ini telah kehilangan sebagaian besar lahan pertanian karena telah
berubah menjadi perumahan, sedekah bumi tetap dilakukan dalam rangka
mengucap syukur dan mohon keselamatan kepada Mbah Singojoyo sebagai
sosok yang dianggap memiliki kekuatan magis di Kampung Made.
Masyarakat Made sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya
percaya terhadp keberadaan makhluk halus, baik itu berupa memedi
(makhluk halus yang menakut-nakuti), lelembut (makhluk halus yang
menyebabkan kesurupan), tuyul (makhluk halus yang karib), demit
(makhluk halus yang menghuni suatu tempat) dan danyang (makhluk halus
pelindung).82 Dalam konteks masyarakat Made. Mbah Singojoyo yang telah
meninggal, roh/arwahnya dipercaya tetap ada dan menjadi pelindung
masyarakat Made, sehingga dapat dikategorikan sebagai danyang. Geertz
82 Ibid., 9-23.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
menjelaskan bahwa beberapa danyang memang dianggap arwah dari tokoh-
tokoh sejarah yang sudah meninggal seperti pendiri desa atau orang yang
pertama kali membabat lahan untuk desa. Danyang menetap di suatu tempat
yang disebut punden dan merespon permintaan tolong warga yang
membutuhkan dengan imbalan menerima janji akan slametan.83 Dengan
demikian terdapat proses pengkeramatan dan mitologisasi terhadap tokoh
Mbah Singojoyo dengan Pundennya, salah satunya adalah dengan
melakukan ritual bersama seluruh masyarakat Made, yaitu sedekah bumi,
sebagai ritual slametan yang diarahkan untuk danyang Mbah Singojoyo.
Oleh karenanya Mbah Seniman selalu menyebut bahwa acara sedekah bumi
adalah hari rayanya masyarkat Made, bahkan lebih meriah daripada hari
raya Idul Fitri. Di situ semua masyarakat Made bertemu, berkumpul,
membawa tumpeng dan berbagai sajian lainnya dan berdoa bersama di
Punden Singojoyo. Punden Singojoyo menjadi pusat dalam ritual sedekah
bumi masyarakat Made.
Dalam perkembangannya sejak tahun 2009, tradisi sedekah bumi
mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Kota Surabaya melalui
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Pada tahun 2011, dalam
rangka mengenalkan tradisi sedekah bumi dan menjadi daya tarik wisata
kultural Surabaya, menggelar serangkaian acara sedekah bumi masyarakat
Made di Taman Bungkul. Taman Bungkul dipilih sebagai pagelaran karena
dinilai strategis dan rame pengunjung. Selain itu, pagelaran budaya ini
83 Ibid., 23-24.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
untuk mengurangi kegiatan negatif yang selama ini diprotes oleh kalangan
kiai NU, seperti tempat mesum dan acara musik yang seringkali
mengganggu kekhusyukan peziarah ke Makam Sunan Bungkul yang ada di
dalam Taman Bungkul. Pagelaran ini baru pertamakali diangkat oleh
Disbudpar. Kepala Bidang Rekreasi dan Hiburan Umum (RHU) Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya, Agus Purnomo,
mengatakan, bahwa dengan adanya kegiatan budaya di Taman Bungkul
tersebut tentunya diharapkan bisa menarik wisatawan domestik dan
mancanegara. Pihaknya akan memperlihatkan ritual ini, mulai dari potong
tumpeng hingga acara lokal, seperti kesenian okol.84
Namun acara sedekah bumi di Taman Bungkul mendapat tanggapan
dari Direktur Surabaya Heritage, Fredy H Istanto. Fredy mengatakan bahwa
penampilan atraksi sedekah bumi warga Made di Taman Bungkul, tidak ada
gregetnya. Karena tidak diadakan di lokasi aslinya, kalau digelar disana
lebih terasa atmosfer/suasana ritual sedekah bumi. Hal tersebut penting,
sebab dengan dilaksanakan di tempat asalnya atau di perkampungan
sehingga nuansa yang didapatkan lebih asli dan bisa dijual. Sementara kalau
dipindah ke tempat netral, konteksnya bisa tidak kena.85 Oleh karenanya
dalam penyelenggaraan selanjutnya, sedekah bumi masyarakat Made
diselenggarakan di Kampung Made yang dipusatkan di Punden Singojoyo.
84 Taman Bungkul Surabaya Terpilih Jadi Tempat Sedekah Bumi (untuk warga made) 85 Surabaya.go.id. news
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
Adanya perkembangan perhatian Pemerintah Kota Surabaya untuk
turut menjaga dan melestarikan tradisi sedekah bumi masyarakat Made
menunjukkan adanya pihak luar masyarakat Made yang menginginkan agar
kegiatan tersebut terus dipertahankan. Sebagai pihak luar, Pemerintah Kota
Surabaya tentu melihat acara sedekah bumi masyarakat Made bukan sebagai
suatu kegiatan ritual, tetapi lebih kepada sisi ekonomi dan kebudayaan.
Diharapkan dengan keterlibatan Pemerintah Kota Surabaya dalam
melaksanakan tradisi sedekah bumi masyarakat tidak hanya
mempertahankan tradisi, tetapi sekaligus menarik wisatawan domestik
maupun luar negeri untuk datang ke Surabaya meramaikan acara sedekah
bumi.
3.2.2. Tujuan Sedekah Bumi Masyarakat Made
Mbah Seniman menuturkan bahwa sedekah bumi adalah ritual
tahunan masyarakat Made. Sedekah bumi dilakukan dalam rangka untuk
bersyukur kepada Tuhan dan menghindarkan masyarakat Made dari
bencana (alam). Bagi masyarakat Made, bumi adalah kehidupan, sebab
bumi dibutuhkan untuk kehidupan, oleh karenanya harus dihargai dan
dijaga. Ritual sedekah bumi adalah simbol untuk menghargai bumi.86 Di
lain kesempatan, Mbah Seniman menuturkan bahwa sesaji yang digunakan
dalam sedekah bumi merupakan simbol permohonan keselamatan
masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Inti ruwatan atau sedekah bumi
86 Mbah Seniman, Wawancara oleh Peneiti, Juni 2017
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
adalah untuk menghindarkan masyarakat Made dari bencana sekaligus
sebagai bentuk perseduluran (persaudaraan) antarwarga.87
Lebih lanjut menurut Mbah Seniman, keadaan bumi (alam sekitar)
sekarang sudah berbeda dengan dulu. Menurut pengalaman beliau, sampai
dengan sekitar sebelum tahun 1960an, seandainya diumpakan 100% air
hujan turun ke bumi, maka seperempatnya (25%) kembali ke laut, dan tiga
perempatnya (75%) turun ke bumi meresap ke dalam tanah karena sawah-
sawah masih ada, semua penampung air masih ada, akhirnya terjadi sejuk
luar biasa. Tapi sekarang terbalik, 75% air hujan ke laut dan 25% turun ke
bawah (tanah) tetapi tidak bisa karena ada tegel, aspal jalan, bangunan yang
bermacam-macam, dan sebagainya. Akhirnya yang terjadi adalah orang
merasa kepanasan (hawa panas luar biasa). Inilah akibat manusia tidak
menghargai bumi/alam. Manusia bersifat kurang (selalu merasa kurang dan
tidak pernah puas). Alam dirusak, sekarang akibatnya dapat dirasakan
apabila musim panas, panasnya luar biasa, jika musim hujan dinginnya luar
biasa. Berbagai penyakit juga muncul, beliau menyatakan tidak heran
dengan fenomena tersebut, karena itu adalah kesalahan manusia sendiri
yang tidak menghargai alam. Manusia kini hidup bercampur besi-besi, batu-
batu, buatan manusia sendiri (seperti gedung-gedung berkaca, bangunan-
bangunan, dan lain-lain), dan lupa dengan bumi (tanah/alam).88
87 Surabaya.go.id. 88 Mbah Seniman, Wawancara dengan Peneliti, Juni 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
Dari pemaparan data di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan ritual
sedekah bumi masyarakat Made adalah sebagai berikut:
a) Memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat
Made serta agar terhindar dari bencana, sebagian masyarakat yang
percaya terhadap roh/arwah Mbah Singojoyo maka permohonan
keselamatan tidak hanya ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi
juga kepada arwah Mbah Singojoyo selaku pelindung masyarakat
Made.
b) Mengingatkan masyarakat secara umum dan masyarakat Made
khususnya untuk menghargai bumi (alam), sebab bumi adalah
kehidupan.
c) Sebagai sarana untuk membangun persaudaraan dan kerukunan
antarwarga Made, oleh karenanya kegiatan ini dianggap sebagai hari
raya-nya masyarakat Made.
3.2.3. Tata Cara dan Makna Sedekah Bumi Masyarakat Made
Upacara sedekah bumi Masyarakat Made dipusatkan di Punden
Singojoyo yang bertempat di Gg. Made Njeroe (sekarang Made Barat) jarak
dari Pendopo Agung (Balai Kelurahan) kira-kira 300 meter. Kegiatan
sedekah bumi diawali dengan pengadaan rapat akbar. Seluruh penduduk
dari berbagai kalangan membahas bersama waktu ruwat bumi. Termasuk
elemen dari pemerintah, tokoh agama, dan perwakilan keluarga hadir.
Warga wajib berkumpul di Balai Agung (sekarang Balai Kelurahan).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
Upacara adat ini tiap-tiap tahun selalu diadakan setelah musim
panen/musim kemarau (kira-kira bulan Agustus) pada hari libur atau hari
Minggu.89
Setelah hari H dipastikan, disusunlah rangkaian acara upacara.
Mbah Seniman (Wak Man) menjelaskan bahwa yang pokok dalam acara
sedekah bumi adalah nasi tumpeng raksasa yang dibuat bersama. Ada yang
menyiapkan nasi, sayur-mayur, lauk-pauk, dan berbagai hal lainnya. Ritual
diadakan sehari semalam tersebut juga menampilkan hiburan seperti ludruk
serta wayang kulit. Cerita yang diangkat dalam wayang kulit adalah cerita
yang bertema kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa terhadap makhluknya.
Upacara ditutup dengan doa bersama yang dipimpin tokoh-tokoh agama,
baik dari agama Hindu maupun Islam, yang intinya, memanjatkan doa
keselamatan dan keamanan bagi masyarakat Made.90 Ratusan tumpeng
yang terkumpul setelah dibacakan doa kemudian dibagikan lagi beramai-
ramai kepada masyarakat.91
Tak hanya itu, kegiatan sedekah bumi juga diramaikan dengan
lomba menghias dengan aneka hasil bumi, kemudian dikirab keliling
kampung. Dalam kegiatan tersebut, Mbah Seniman atau Mbah Man, selaku
sesepuh kampung Made menjelaskan terkait ritual sedekah bumi, sejarah
serta pesan-pesan moral uantuk penerus dikampung Made. Beliau berpesan
agar anak-anak muda dapat meneruskan budaya masyarakat yang sudah
89 desomadeblogspot 90 Ibid. 91 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
turun temurun ini dengan baik. Setelah acara "rebutan" hasil bumi,
dilanjutkan dengan pagelaran budaya kuda lumping dan reog, siang hari
dilanjutkan dengan "gulat tradisional" yang disebut okol, serta pagelaran
wayang kulit.92
Okol adalah gulat tradisional khas masyarakat Made. Okol berbeda
dengan acara gulat bebas, sebab tidak pakai otot, tetapi menggunakan teknik
membanting khusus, sehingga belum tentu yang lebih besar menjadi
pemenang. Dalam adu okol peserta dinyatakan kalah apabila sudah jatuh
terpelanting ke tanah. Peserta adu okol harus mematuhi sejumlah aturan.
Mereka harus membuka baju (kecuali perempuan), tidak boleh memukul,
menggigit, meninju lawan, serta diharuskan membuka semua asesoris
seperti cincin, gelang, dan lain-lain.93
Asal mula kesenian okol diceritakan bahwa ketika itu waktu
kemarau panjang terjadi di Made. Di saat air hujan yang sejak lama
ditunggu-tunggu oleh warga Made dan sekitarnya turun membasahi bumi,
sungguh luar biasa kegembiraan hati warga Made seluruhnya sehingga
hampir tidak bisa digambarkan. Di kala anak-anak gembala sedang
memberi makan ternak mereka, seketika meloncat-loncat sambil
menggendong teman mereka bergantian, begitulah setelah jatuh dan bangun
lagi saking gembiranya hampir tidak merasakan capek. Di saat itu pula
luapan kegembiraan anak-anak desa sesama temannya mengadakan dolanan
92 http://ayokesurabaya.com/home/read/kampung-made-balinya-surabaya 93 Adu Okol di Sedekah Bumi, Jawa Pos 31 Oktober 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
adu kekuatan yang dinamakan okol, selain kekuatan dolanan ini juga penuh
dengan siasat, maka dari dalam pemainan okol, orang yang bertubuh besar
belum tentu menang. Sementara itu para orang tua mereka tidak pernah
melarang dengan adanya permainan tersebut, bahkan untuk melestarikan
dolanan bocah yang disebut okol ini diberikan wadah bersamaan dengan
acara ritual tahunan tegal deso atau sedekah bumi sampai dengan hari ini.94
Dalam wawancaranya dengan peneliti, Mbah Seniman menuturkan
bahwa dalam tata cara sedekah bumi masyarakat Made, hal yang pasti harus
ada dan tidak bisa dirubah adalah Tumpeng atau Gunungan. Sementara
kegiatan lain seperti kesenian wayang kulit, okol, tayub, ludruk, dan
sebagainya hanyalah tambahan saja. Artinya kegiatan-kegiatan tersebut
tidak harus ada dalam ritual sedekah bumi masyarakat Made dan hanya
bersifat untuk menyemarakkan serangkaian acara sedekah bumi masyarakat
Made.95 Tumpeng merupakan nasi lengkap dengan berbagai lauk pauk,
sayur mayur dan lain-lainnya, yang ditata sedemikian rupa sehingga
menyerupai bentuk gunung, oleh karenanya disebut pula gunungan.
Gunungan dalam bentuk lain juga bisa berupa berbagai hasil bumi mulai
dari jenis sayur mayur seperti terong, kacang panjang, tomat, wortel, kubis,
dan lain-lain, juga jenis buah-buahan seperti pisang, jeruk, mangga, apel,
dan lain-lain yang ditata sedemikian rupa menyerupai bentuk gunung.
94 Desomade.blogspot. 95 Mbah Seniman, Wawancara dengan Peneliti, Juni 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
Mbah Seniman menjelaskan, “Opoo tumpeng kok bentuk’e gunung?
(kenapa tumpeng bentuknya gunung?),” “Karena gunung adalah simbol
kehidupan, simbol bumi, yang merupakan kebutuhan manusia.”96 Hal ini
sejalan dengan latar belakang dan tujuan sedekah bumi Masyarakat Made
di atas, yaitu selain untuk mohon pertolongan dan keselamatan bagi warga
Made, juga untuk mengingatkan masyarakat untuk menjaga bumi/alam,
karena bumi/alam adalah kebutuhan manusia. Dalam hal ini, tumpeng yang
berupa gunungan mewakili simbol tersebut.
Mbah Seniman juga menjelaskan selain tumpeng yang isi pokoknya
adalah nasi, juga perlu didampingi ayam yang telah disembelih. Sehingga
pasti ada ayam potong selain nasi tumpeng. Mbah Man menjelaskan, “Mesti
potong pithik, opo maknane? (Mesti potong ayam, apa maknanya?),”
“Pithik potong, maksude iku simbol, sing dipotong sifatnya, sifate pithik,
(Potong ayam maksudnya adalah sebagai simbol, yang dipotong adalah
sifatnya ayam).” Di antara sifatnya adalah, “Pithik (ayam) ketika
dikumpulkan selalu tidak aman, tarung terus (bertengkar terus), sifatnya
pithik (ayam) ini yang dipotong. Jangan sampai manusia menggunakan
sifatnya pithik (ayam). Ketika manusia dikumpulkan harus aman, kalau
sampai tarung (bertengkar, konflik) berarti keliru.”97 Hal ini juga sejalan
dengan tujuan sedekah bumi, dimana salah satunya adalah untuk
membangun persaudaraan dan kerukunan warga Made. Potong ayam adalah
96 Ibid. 97 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
simbol agar warga Made memotong atau membuang sifat-sifat seperti ayam
yang ada pada dirinya, sehingga bisa tercipta kehidupan yang harmonis di
masyarakat Made.
Dalam penentuan waktu sedekah bumi masyarakat Made, Mbah
Man menuturkan bahwa tiap tahunnya tidak ada waktu khusus pelaksanaan
sedekah bumi, semuanya tergantung hasil musyawarah warga, termasuk
dengan pihak pemerintah. Tetapi umumnya kegiatan sedekah bumi
dilaksanakan dua atau tiga bulan setelah Hari Raya Idul Fitri.98 Dulu
memang sedekah bumi dilaksanakan setelah musim panen padi, karena
orientasinya juga untuk rasa syukur keberhasilan panen. Tetapi saat ini,
karena pertanian tidak lagi dominan di masyarakat Made, maka tidak
mungkin mengikuti siklus tersebut. Sehingga penetapan waktunya
dilaksanakan melalui musywarah warga, dengan panduan waktu setelah
Hari Raya Idul Fitri.
Ketika Pemerintah Kota Surabaya turut dalam pelestarian kegiatan
sedekah bumi masyarakat Made maka format acara selalu dibuat semarak
dengan beraneka ragam kegiatan. Tanpa mengurangi acara inti dalam ritual
sedekah bumi yaitu penyajian tumpeng dan doa bersama di Punden
Singojoyo. Hal ini karena bagi Pemerintah Kota, kegiatan tersebut tidak
hanya untuk melestarikan kebudayaan tetapi juga untuk menarik minta
wisatawan ke Surabaya. Sebagaimana dalam acara sedekah bumi
masyarakat Made yang digelar bulan Oktober 2015, beragam rangkaian
98 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
acara akan di gelar untuk menyemarakkan acara Sedekah Bumi Surabaya
ini, yaitu:
1) Arak-arakan dan Kirab Tumpeng yang akan di arak dari Balai
Kelurahan Made hingga Punden Singoyudan. (08.30 wib)
2) Ruwatan Bumi yang akan di lakukan di Punden Singoyudan. (09.00 -
12.00 wib)
3) Atraksi Reog yang akan di lakukan di Punden Singoyudan. (12.00 -
13.00 wib)
4) Atraksi Gulat Okol yang akan di lakukan di Punden Singoyudan. (13.00
- selesai)
Acara ini akan di selenggarakan mulai pukul 08.30 sampai selesai.
Pemerintah Kota bahkan gencar mensosialisasikan acara tersebut melalui
berbagai media, sebagaimana dalam pamflet berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
Dari serangkaian data di atas dapat disimpulkan bahwa tata cara dan makna
sedekah bumi di masyarakat Made terdiri atas berikut:
1) Secara tempat dilaksanakan di Punden Mbah Singojoyo, sebagai tempat
yang dipandang keramat dan petilasan Mbah Singojoyo, pendiri Made;
2) Secara waktu, untuk saat ini tidak ada waktu khusus, atau menggunakan
pitungan, perhitungan hari dalam kultur Jawa. Tetapi waktu ditetapkan
Gambar 3.2. – Poster Promosi Acara Sedekah Bumi Desa Made oleh Pemerintah Kota Surabaya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
berdasarkan musyawarah yang melibatkan sesepuh desa, warga dan
pemerintah;
3) Secara acara, terdapat acara inti dan non inti. Acara inti adalah sesajian
tumpeng dan gelar doa bersam di Punden Mbah Singojoyo. Acara non
inti atau bersifat tambahan di antaranya adalah okol, pagelaran wayang
kulit, reog, dan berbagai atraksi kesenian lainnya;
4) Sesaji berupa tumpeng (gunungan), terbuat dari nasi dan berbagai lauk
pauk dan sayur pelengkapnya, yang utama adalah ayam potong. Warga
menyiapkan tumpeng dan membawanya ke Punden Singojoyo;
5) Tumpeng atau gunungan merupakan simbol kehidupan dan kebutuhan
manusia, supaya manusia ingat dan menghargai bumi sebagai
kebutuhannya. Sedangkan potong ayam, merupakan simbol agar
manusia membuang sifat-sifat buruknya sebagaimana ayam, supaya
bisa hidup rukun;
6) Acara-acara tambahan seperti okol, wayang kulit, dan lain-lain
merupakan bentuk atraksi kesenian yang tidak hanya untuk
menyemarakkan acara sedekah bumi tetapi juga agar warga dapat
bertemu, berkumpul dan terhibur, sehingga dapat meningkatkan
kerukunan dan persaudaraan antarwarga.