21
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Merokok 1. Pengertian Perilaku Merokok Pada hakekatnya merokok adalah meghisap rokok, sedangkan rokok adalah gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas (Poerwadarminta, dan Perwitasari, 2006), sedangkan Aritonang (2006) merokok adalah perilaku yang komplek karena merupakan hasil interaksi dari aspek kognitif, kondisi psikologis dan keadaan fisiologis, sedangkan perilaku sendiri adalah setiap tindakan manusia yang dapat dilihat (Kartono, 2003). Perilaku merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa membakar dan menghisapnya serta dapat menimbulkan asap yang kemudian terhirup oleh orang-orang sekitarnya (Leavy, 2007). Istiqomah (2003) juga menjelaskan bahwa perilaku merokok adalah membakar tembakau kemudian dihisap, baik menggunakan rokok maupun pipa. Temparatur sebatang rokok yang tengah dibakar adalah 90 derajat Celcius untuk ujung rokok yang dibakar, dan 30 derajat Celcius untuk ujung rokok yang terselip di antara bibir perokok (Istiqomah, 2003). Perilaku merokok merupakan tindakan seseorang melakukan kegiatan merokok atau tindakan-tindakan yang dilakukan secara sengaja yang merangsang untuk merokok, serta hasil keputusan seseorang setelah mempertimbangkan tentang baik buruknya rokok (Effendi, 2005). Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku merokok adalah tindakan yang dilakukan sesorang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Merokok 1. Pengertian ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3559/3/BAB II.pdf · hasil diskusi kelompok memberikan motivasi kepada remaja untuk berhenti

  • Upload
    buiphuc

  • View
    230

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Merokok

1. Pengertian Perilaku Merokok

Pada hakekatnya merokok adalah meghisap rokok, sedangkan rokok adalah

gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas (Poerwadarminta,

dan Perwitasari, 2006), sedangkan Aritonang (2006) merokok adalah perilaku yang

komplek karena merupakan hasil interaksi dari aspek kognitif, kondisi psikologis

dan keadaan fisiologis, sedangkan perilaku sendiri adalah setiap tindakan manusia

yang dapat dilihat (Kartono, 2003).

Perilaku merokok adalah sesuatu yang dilakukan seseorang berupa membakar

dan menghisapnya serta dapat menimbulkan asap yang kemudian terhirup oleh

orang-orang sekitarnya (Leavy, 2007). Istiqomah (2003) juga menjelaskan bahwa

perilaku merokok adalah membakar tembakau kemudian dihisap, baik

menggunakan rokok maupun pipa. Temparatur sebatang rokok yang tengah

dibakar adalah 90 derajat Celcius untuk ujung rokok yang dibakar, dan 30 derajat

Celcius untuk ujung rokok yang terselip di antara bibir perokok (Istiqomah, 2003).

Perilaku merokok merupakan tindakan seseorang melakukan kegiatan merokok

atau tindakan-tindakan yang dilakukan secara sengaja yang merangsang untuk

merokok, serta hasil keputusan seseorang setelah mempertimbangkan tentang baik

buruknya rokok (Effendi, 2005). Berdasarkan pengertian di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwa perilaku merokok adalah tindakan yang dilakukan sesorang

2

berupa membakar dan menghisap baik menggunakan rokok atau pipa yang

menimbulkan asap yang kemudian terhirup oleh orang sekitarnya.

2. Aspek-aspek perilaku merokok

Menurut Tomkins (Sarafino, 1998) dalam teori manajemen afek perilaku

merokok terdiri dari 4 aspek. Teori manajemen afek mengacu pada perasaan atau

emosi manusia. Ada delapan afek utama yang mempengaruhi manusia, tiga di

antaranya positif dan lima di antaranya bernada negatif. Afek positif adalah

kegembiraan, kenikmatan, dan kejutan. Afek negatifnya adalah kesusahan,

kemarahan, ketakutan, rasa malu, dan penghinaan. Afek tersebut bisa merupakan

sifat bawaan ataupun berupa proses pembelajaran. Suatu objek atau perilaku

mampu membuat seorang anak atau orang dewasa menangis dalam kesusahan atau

mampu membuatnya tersenyum dalam kenikmatan. Manusia akan memaksimalkan

afek positifnya dan meminimalkan afek negatifnya. Perilaku atau merokok dapat

mengurangi afek negatif dan menimbulkan afek positif. Hal ini bisa dilakukan baik

secara bawaan maupun atas dasar pembelajaran nantinya. Aspek perilaku merokok

menurut Tomkins adalah sebagai berikut:

a. Untuk memperoleh afeksi positif. Dengan merokok individu memperoleh

stimulasi, menimbulkan efek relaksasi dan memberikan kesenangan.

b. Untuk mengurangi afeksi negatif seperti untuk menghilangkan kecemasan

dan ketegangan.

c. Merokok sudah merupakan kebiasaan atau perilaku otomatis yang

dilakukan tanpa disadari.

3

d. Merokok karena ketergantungan psikologis (adiksi) terhadap rokok untuk

mengatur keadaan emosi positif dan emosi negatifnya

Aspek-aspek perilaku merokok menurut (Aritonang, 2007 ) :

a. Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari, fungsi merokok

ditunjukkan dengan perasaan yang dialami si perokok, seperti

perasaan yang positif maupun perasaan negatif.

b. Intensitas merokok, Smet (1994) mengklasifikasikan perokok berdasarkan

banyaknya rokok yang dihisap, yaitu perokok berat yang menghisap lebih

dari 15 batang rokok dalam sehari, perokok sedang yang menghisap 5-14

batang rokok dalam sehari, perokok ringan yang menghisap 1-4 batang

rokok dalam sehari

c. Tempat Merokok , ,individu yang melakukan aktivitas merokok dimana

saja, bahkan di ruangan yang dilarang untuk merokok menunjukkan bahwa

perilaku merokoknya sangat tinggi.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku merokok

dapat diamati melalui perilaku yang ditimbulkan. Aspek-aspek perilaku merokok

menurut Tomkins (Sarafino,1998), meliputi memperoleh afeksi positif, mengurangi

afeksi negatif, kebiasaan atau perilaku otomatis yang dilakukan tanpa disadari, dan

ketergantungan psikologis (adiksi) untuk mengatur keadaan emosi positif dan

emosi negatif. Aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang (2007) adalah

fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari, intensitas merokok, dan tempat

merokok. Dari aspek-aspek yang ada peneliti menggunakan aspek dari Tomkins

(dalam Safarino, 1998) . Hal ini karena aspek-aspek tersebut dinilai paling tepat

4

untuk mengukur perilaku merokok pada remaja. Aspek tersebut menjabarkan

perilaku merokok secara terperinci dengan contoh gejala yang dialami dari setiap

aspek yang diteliti. Semakin banyak aspek perilaku yang muncul maka semakin

tinggi perilaku merokok.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok

Komalasari dan Helmi (2000) mengemukakan alasan mengapa remaja

merokok, antara lain:

1) Faktor Diri (Internal)

Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin

melepaskan diri dari rasa sakit dan kebosanan. Merokok juga memberi image

bahwa merokok dapan menunjukkan kejantanan (kebanggan diri) dan

menunjukkan kedewasaan. Individu juga merokok dengan alasan sebagai alat

menghilangkan stres. Remaja mulai merokok berkaitan dengan adanya krisis

psikososial yang dialami pada perkembangannya yaitu pada masa ketika mereka

sedang mencari jati dirinya.

2) Faktor Lingkungan (Eksternal)

Menurut Soetjiningsih (dalam Komalasari & Helmi, 2004), faktor-faktor

yang berpengaruh terhadap perilaku merokok remaja adalah keluarga atau orang

tua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok.

a. Orang tua

Pada masa remaja, remaja mulai berjuang melepas ketergantungan

terhadap orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat

diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Pada masa ini hubungan keluarga

5

yang dulu sangat erat sekarang tampak terpecah. Orang tua sangat berperan

pada masa remaja, salah satunya pola asuh keluarga akan sangat berpengaruh

pada perilaku remaja. Pola asuh keluarga yang kurang baik akan

menimbulkan perilaku yang menyimpang seperti merokok.

b. Teman sebaya

Pengaruh kelompok sebaya terhadap perilaku merokok remaja dapat

melalui peer sosialization, dengan arah pengaruh berasal dari kelompok

sebaya, artinya ketika remaja bergabung dengan kelompok sebayanya maka

seorang remaja akan dituntut untuk berprilaku sama dengan kelompoknya,

sesuai dengan norma yang dikembangkan oleh kelompok tersebut. Remaja

pada umumnya bergaul dengan sesama mereka, karakterisktik persahabatan

remaja dipengaruhi oleh kesamaan : usia, jenis kelamin dan ras. Kesamaan

dalam menggunakan obat-obatan, merokok sangat berpengaruh kuat dalam

pemilihan teman.

c. Iklan rokok

Banyaknya iklan rokok di media cetak, elektronik, dan media luar ruang

telah mendorong rasa ingin tahu remaja tentang produk rokok. Iklan rokok

mempunyai tujuan mensponsori hiburan bukan untuk menjual rokok, dengan

tujuan untuk mengumpulkan kalangan muda yang belum merokok untuk

mencoba merokok dan setelah mencoba merokok akan terus berkelanjutan

sampai ketagihan.

6

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok menurut Smet (1994) sebagai

berikut :

1. Lingkungan Sosial

Faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi perilaku merokok seperti teman

sebaya, saudaea, orang tua, dan media massa. Faktor yang terpenting yaitu tekanan

dari teman sebaya berpengaruh sebesar (46%) tetapi pengaruh anggota atau saudara

merupakan faktor penentu kedua sebesar (23%) dan orang tua sebesar (14%).

Lingkungan yang mendukung atau penerima perilaku merokok akan menyebabkan

seseorang untuk mempertahankan perilaku merokoknya. Demikian sebaliknya

lingkungan yang tidak menerima perilaku merokok akan merubah pandangan

seseorang tentang rokok.

2. Variabel Demografi

Faktor ini meliputi usia dan jenis kelamin. Semakin muda seseorang mulai

merokok maka semakin besar kemungkinan untuk merokok dikemudian hari. Jenis

kelamin juga berpengaruh pada perilaku merokok. Pada mulanya merokok hanya

dilakukan oleh sebagian kaum pria, namun seiring perkembangan zaman wanita

juga ambil bagian dalam hal perilaku merokok. Dan di indonesia jenis kelamin

merupakan faktor terpenting dalam faktor sosial.

3. Faktor Sosial-budaya

Kebiasaan budaya, kelas sosial dan tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku

merokok seseorang.

7

Faktor-faktor perilaku merokok menurut Komalasari dan Helmi (2000) adalah

Faktor internal dan faktor eksternal yang meliputi orang tua, teman sebaya, dan

iklan rokok. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok

menurut Smet (1994) adalah social environtment, demographic variable, dan socio-

cultural factors. Berdasarkan faktor-faktor yang dikemukakan tersebut penelit i

memfokuskan pada faktor teman sebaya dari Komalasari dan Helmi (2000) yang

memberikan pengaruh terhadap perilaku merokok remaja , karena faktor yang

dikemukakan oleh Komalasari dan Helmi (2000) lebih spesifik.

Hal tersebut didukung oleh penelitian Smet (1994) yang mengatakan bahwa

teman sebaya memberikan pengaruh lebih besar yaitu 46% terhadap perilaku

merokok remaja. Selain itu Teman sebaya merupakan faktor yang sangat

berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja (Laursen, 2007). Ketika

remaja bergabung dengan kelompok sebayanya maka remaja akan dituntut untuk

berprilaku sama dengan kelompoknya, sesuai dengan norma yang dikembangkan

oleh kelompok tersebut (Komalasari dan Helmi, 2000).

4. Upaya-upaya menurunkan perilaku merokok pada remaja

1) Pelatihan Manajemen diri dengan pendekatan choice theory (Mariyati,2014)

Pelatihan manajemen diri memberikan manfaat kepada remaja mengena i

bagaimana remaja dapat melakukan suatu perencanaan, pengorganisasian dan

pengawasan tentang dirinya sendiri dalam melakukan tindakan yang lebih positif,

aktif dan produktif. Penerapan choice theory melalui adanya pelatihan manajemen

diri memberikan keterampilan pada siswa untuk lebih aktif dalam bertanggung

jawab atas apa yang menjadi pilihannya. Remaja akan mencoba untuk melakukan

8

perencanaan dan mengorganisasikan serta melakukan pengawasan dalam

menentukan pilihan dirinya dan bertanggung jawab terkait dirinya sebagai seorang

siswa yang harus mampu berperilaku secara aktif dan produktif sesuai dengan

sasaran dan tujuan yang telah dibuat.

2) Program peduli dan psikoedukasi pada remaja merokok (Rohmadani, 2016)

Psikoedukasi memberikan pengetahuan pada remaja tentang bahaya dan

dampak buruk rokok bagi kesehatan serta upaya yang dilakukan untuk menghindar i

rokok. Remaja disadarkan agar lebih mencintai dirinya sendiri dengan cara

berusaha menjaga kesehatan tubuhnya dengan menghindari rokok

3) Konseling kelompok pada remaja (Rosiana,2006)

Konseling kelompok memberikan materi diskusi tentang bahaya rokok bagi

remaja. Remaja diberi untuk saling bertukar pikiran dan mengemukakan pendapat

masing-masing tentang materi bahaya rokok dan perilaku merokok yang mereka

alami. melalui dinamika kelompok yang tercipta, remaja dapat memiliki pandangan

dari sudut pandang lain dalam menilai dirinya sendiri. Kekuatan dan masukan dari

hasil diskusi kelompok memberikan motivasi kepada remaja untuk berhenti

merokok.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat tiga upaya

dalam menurunkan perilaku merokok remaja diantaranya dengan pelatihan

manajemen diri melalui pendekatan choice theory (Mariyati, 2014), program peduli

diri dan psikoedukasi (Rohmadani, 2006), dan konseling kelompok remaja

(Rosiana, 2006). Dari ketiga upaya tersebut peneliti memilih pelatihan manajemen

diri sebagai upaya untuk menurunkan perilaku merokok remaja. Pelatihan akan

9

memberikan pengetahuan , kemampuan, dan keterampilan atau sikap yang relat if

baru bagi peserta pelatihan dan hasilnya dapat diaplikasikan dengan menerapkan

hasil pelatihan di kehidupan sehari-hari, sehingga individu mendapatkan

produktivitas kinerja yang maksimal dalam setiap tugas.

B. Pelatihan Manajemen Diri

1. Pengertian Pelatihan Manajemen Diri

Pelatihan adalah serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningka tkan

keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupu perubahan sikap individu.

Artinya pelatihan adalah proses sistematik dalam pembentukan sikap, kemampuan,

keahlian, pengetahuan, dan perilaku spesifik dalam rangka mengubah perilaku yang

sesuai dengan tujuan dan maksud dilakukannya kegiatan (Simamora, 2001).

Hardjana (2001) mengatakan pelatihan adalah kegiatan yang dirancang untuk

meningkatkan kinerja pekerja dalam pekerjaan yang diserahkan kepadanya.

Pelatihan tersebut dilakukan secara sistematis menurut prosedur serta metode yang

dirancang sesuai tujuan.

Wheelen (dalam Wulandari, 2005) menjelaskan bahwa pelatihan adalah salah

satu metode untuk mendidik seseorang sehingga menguasi kemampuan-

kemampuan yang diperlukan untuk lebih efektif dalam melakukan aktivitas.

Individu yang telah mengikuti pelatihan akan dituntut dapat berlatih mengena i

materi yang di sampaikan dalam pelatihan. Pelatihan merupakan salah satu metode

yang cukup efektif untuk mengembangkan sumber daya manusia (Parcek dalam

Harjana, 2001). Menurut Thana (2001) menandaskan bahwa metode pelatihan saat

10

ini telah menjadi sarana pendidikan yang penting, karena pendidikan tidaklah cukup

dengan mengubah pengetahuan semata, melainkan juga harus merubah aspek lain

seperti keterampilan, keyakinan, orientasi serta pengalaman lapangan dengan

mengubah metode, suasana dan waktu.

Pelatihan mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap melaksanakan

suatu pekerjaan yang berhubungan dengan tugas tertentu. Pelatihan merupakan

upaya sistematis untuk mengembangkan sumber daya manusia, baik individu

maupun kelompok. Pelatihan juga bermanfaat untuk menanggulangi permasalahan

yang muncul dalam kehidupan manusia. Pelatihan merupakan sekumpulan kegiatan

yang bertujuan untuk memperbaiki pengetahuan dan skill individu, dengan

berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut bisa diprakttekan dalam

kehidupan sehari-hari (Ridha dalam Huda ,2004)

Menurut Harjana (2001) bahwa pelatihan memiliki prinsip yang harus

diperhatikan antara lain :

1. Belajar dari pengalaman yaitu menggunakan pengetahuan, pengalaman yang

diperoleh dalam pelatihan untuk dikembangkan.

2. Melibatkan emosi dan budi yaitu peserta tidak hanya memberikan informas i

dan pengetahuan tetapi sedapat mungkin pelatihan dapat menyentuh hati,

perasaan dan emosi untuk mengelola perilakunya.

3. Kebersamaan dan kerja sama yaitu pelatihan agar sukses membutuhkan kerja

sama dan kebersamaan tim dan peserta.

11

4. Melihat dan menemukan sendiri relevansi pelatihan, yaitu dengan setiap sesi

akan terdapat proses belajar, pengetahuan, informasi, kecakapan dan

keterampilan sehingga peserta dpat mengerti relevansi pelatihan dengan

sendirinya.

Sebelum dilakukan pelatihan, diperlukan suatu metode atau cara agar tujuan

dari pelatihan dapat tercapat (Harjana, 2001). Metode atau cara pelatihan itu antara

lain:

1. Metode Awal

Meliputi metode perkenalan dan metode pemanasan. Tujuan dan metode ini

sebagai sarana membantu peserta agar mengenal satu sama lain termasuk dengan

fasilitator serta membangkitkan minat peserta terhadap pelatihan.

2. Metode Tengah

Meliputi pengelolaan pelatihan baik untuk menyampaikan keseluruhan materi

pelatihan maupun untuk setiap sesi pelatihan. Metode tengah ini dibagi menjadi

tiga, yaitu : sesi informatif (untuk menyampaikan informasi, pengetahuan, data,

fakta, dan pemikiran melalu pengajaran, bacaan dan diskusi). Sesi pertisipasi

eksperiensial (memberikan kemungkinan kepada peserta untuk ikut mengalami apa

saja yang dilakukan dalam pelatihan. Bentuknya dapat berupa pertemuan, latihan

simulasi maupun demonstrasi). Sesi eksperensial (memungkinkan peserta untuk

terlibat penuh berdarakan pengalaman yang telah dimilihi sebelumnya guna

mempelajari sesuatu. Bentuknya dapat berupa penugasan, dan latihan kepekaan).

12

3. Metode Akhir

Tujuannya untuk menyimpulkan pelatihan dan evaluasi. Penyimpulan

pelatihan merupakan uraian singkat seluruh kegiatan pelatihan, semua sesi dalam

pelatihan yang telah dikelola bersama, kemungkinan-kemungkinan tindak lanjut

dari peserta. Evaluasi merupakan cara untuk mengumpulkan bahan yang akan

dianalisis dan disimpulkan guna melihat segala sesuatu yang terjadi dalam pelatihan

dan pengaruh bagi pesertanya.

Sedangkan manajemen diri merupakan salah satu cara untuk mengatur perilaku

dalam sebuah organisasi melalui suatu mekanisme aplikasi kontrol luar untuk

mempengaruhi individu ke arah tujuan organisasi. Manajemen diri merupakan

usaha individu untuk menggunakan kontrol termasuk aspek pembuatan keputusan

dan perilaku (Frayne& Geringer, 2000).

Teori kognisi sosial mengungkapkan bahwa manusia mampu untuk

mengontrol perilakunya sendiri. Menurut Bandura (Hergenhahn&Olson, 2008),

perilaku manusia sebagian besar adalah perilaku yang diatur sendiri (self regulation

behavior). Orang memiliki kemampuan untuk meregulasi diri dengan memonitor

perilakunya dan mengevaluasinya dengan cara membandingkan dengan tujuan

pribadinya. Bandura (1994) mengemukakan bahwa prinsip regulasi diri

dikembangkan menjadi teknik manajemen diri.

Frayne dan Geringer (dalam Budiyani & Martaniah, 2011) megungkapkan

bahwa manajemen diri mendasarkan pada teori sosial kognitif sosial. Teori ini

menyatakan bahwa kognitif seseorang, perilaku dan lingkungan saling

mempengaruhi secara resiprokal. Sehingga, orang dapat merespon secara secara

13

proaktif maupun reaktif terhadap pengaruh eksternal dan pengaruh eksternal

terhadap dirinya dapat diubah sebagai hasil respon individual. Dengan demikian

manusia mampu untuk mengontrol perilakunya atau keputusannya. Selanjutnya

Frayne dan Gerenger (1992) mengatakan bahwa hal tersebut disebut kontrol diri

atau manajemen diri, sehingga manajemen diri diartikan sebagai usaha individu

untuk mengontrol perilakunya.

Kanfer (dalam Budiyani & Martaniah, 2011) mengemukakan bahwa untuk

memahami kerangka kerja manajemen diri perlu memperhatikan proses psikologis

yang terjadi dalam regulasi diri (self regulation). Proses regulasi diri bekerja

melalui tiga tahap yaitu (a) mengamati perilakunya sendiri, penyebab-penyebabnya

dan akibat-akibatnya (self observation), (b) menilai atau membandingkan

perilakunya dengan standar atau penilaian diri (self evaluation), (c) memberikan

reaksi terhadap dirinya sendiri (self reaction) atau disebut dengan penguatan diri

(self reinforcement). Berdasarkan tahap-tahap regulasi diri selanjutnya

dikembangkan teknik manajemen diri yang melibatkan asesmen diri (self

assesmen), penetapan tujuan (goal setting), pemantauan diri (self monitoring),

evaluasi diri (self evaluation), dan written contract (penandatangan kontrak).

Manajemen diri dapat dilihat sebagai sebuah perilaku dan strategi kognit if

yang membantu individu dalam menyusun lingkungannya, membangun motivas i

diri, dan memfasilitasi perilaku yang tepat untuk pencapaian suatu standar

performansi. (Manz, 1986 ; Frayne & Geringer, 2000). Individu yang memilik i

manajemen diri yang efektif akan dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai. Hal

tersebut dikarenakan individu yang memiliki manajemen diri yang efektif akan

14

mampu memaksimalkan potensi dalam dirinya baik itu dalam maupun dari luar

dirinya. Sebaliknya apabila individu tidak memiliki manajemen diri yang efektif

maka ia tidak mampu memaksimalkan potensi yang ada dalam diri maupun diluar

dirinya sehingga tujuan tidak tercapai. (Frayne & Geringer, 2000).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelatihan manajemen diri

adalah salah satu cara yang digunakan untuk mengontrol perilaku seseorang dengan

memberikan pengetahuan dan keterampilan berupa asesmen diri (self assesment),

penetapan tujuan (goal setting), pemantauan diri (self monitoring), evaluasi diri

(self evaluation), dan written contract (penandatangan kontrak).

Konsep pelatihan manajemen diri yang digunakan dalam penelitian ini

mengacu pada aspek manajemen diri yang dikemukakan oleh Frayne & Geringer

(2000) meliputi asesmen diri (self assesment), penentuan tujuan (Goal Setting),

Monitoring diri, evaluasi diri, dan penulisan kontrak, yang dapat diuraikan sebagai

berikut :

1) Asesmmen diri (Self Assesment)

Pada tahap ini lebih menekankan pada interpretasi individu dengan cara

pengumpulan data atau infromasi tentang bagaimana individu dapat melihat dirinya

sama dengan apa yang dilihat orang lain pada dirinya. Indikator yang diharapkan

muncul pada sesi ini adalah individu mampu mengamati dan mencatat perilaku

yang akan diubah sehingga mengetahui kapan, mengapa, dimana, dibawah kondisi

seperti apa perilaku tersebut terjadi. Hal ini akan membantu individu lebih

15

menyadari apa yang terjadi sehingga dapat memetakan dan menetapkan perilaku

mana yang akan diubah.

2) Penentuan tujuan (goal setting)

Sesi penentuan tujuan lebih menekankan pada pembentukan tujuan yang

sifatnya jangka pendek atau jangka panjang untuk mengubah perilaku. Tujuan dari

sesi ini peserta diharapkan mengetahui dan memahami karakteristik tujuan yang

efektif, memahami konsep SMART dalam goal setting, dan dapat membuat tujuan

sesuai dengan konsep goal setting. Indikator yang diharapkan muncul pada sesi ini

adalah peserta mengetahui dan memahami tentang tujuan yang efektif dalam

mengubah perilaku. Peserta memahami konsep SMART dalam goal setting dan

mampu merumuskan dan menyusun tujuan yang akan dicapai.

3) Monitoring diri (self monitoring)

Pada sesi ini peserta diajari untuk memantau atau memonitor perilakunya

dengan membuat jadwal perencanaan aktivitas-aktivitas harian dalam satu minggu,

membuat daftar-daftar yang harus dikerjakan berkaitan dengan aktivitas yang

dilakukan. Tujuan dari sesi ini agar peserta dapat merasakan pengalaman langsung

dari pelaksanaan manajemen diri serta memanfaatkan waktu dengan baik guna

mencapai tujuan.

4) Evaluasi diri (self evaluation)

Pada sesi ini peserta melanjutkan mengisi tabel penetapan tujuan jangka

panjang dengan mengisi kolom konsekuensi positif dan negatif. Tujuan dari sesi ini

adalah untuk mengarahkan perilaku untuk pencapaian tujuan dengan strategi

penguatan dan hukuman (Frayne & Geringer, 2000).

16

5) Kominten tujuan (penulisan kontrak)

Tujuan dari sesi ini adalah peserta diharapkan mampu memahami pentingnya

komitmen tujuan dalam proses pencapaian tujuan, menyadari bahwa rencana yang

telah dibuat tergantung pada kekuatan dan kejelasan komitmen sehingga dapat

merealisasikan tujuan yang dibuatnya. Indikator perilaku yang diharapkan muncul

pada sesi ini adalah peserta mengetahui dan memahami pentingnya komitmen

pencapaian tujuan dalam proses pencapaian tujuan, tidak mudah berubah dengan

pengaruh tantangan dan tantangan dari dalam maupun dari luar diri.

Individu dikatakan sudah dapat memanajemen diri apabila terjadi peningkatan

pada kelima aspek manajemen diri menurut Frayne & Geringer (2000) yaitu mampu

untuk melakukan asesmen diri, menentukan tujuan, memonitoring diri ,

mengevaluasi diri, dapat berkomitmen dengan tujuan diwujudkan dengan adanya

kontrak tertulis.

Pelatihan manajemen diri dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan. Pertemuan

pertama pada pelatihan ini diisi dengan pembukaan, ice breaking, sekaligus

perkenalan dan penyampaian materi manajemen diri (definisi, aspek-aspek, dasar

pikiran manajemen diri dan manfaat manajemen diri), pemberian kondisi untuk

berubah dengan tujuan untuk memotivasi subjek untuk berhenti merokok.

Kemudian dilanjutkan dengan pemberian materi dan latihan “Asesmen diri”,

“Penentuan tujuan (goal setting) dengan konsep SMART, “Monitoring diri (self

monitoring)”, “Evaluasi diri”, dan pengisian lembar “Komitmen tujuan (kontrak

tertulis)” dan penutup. Setelah itu, subjek melakukan kegiatan self monitoring di

luar kelas selama tiga hari.

17

Pertemuan kedua dilanjutkan dengan kegiatan evaluasi diisi dengan

mendiskusikan kegiatan self monitoring yang subjek lakukan diluar kelas serta

memberikan feedback kepada subjek. Setelah itu subjek kembali melakukan

kegiatan self monitoring kedua di luar kelas selama tiga hari. Pertemuan ketiga

berisi kegiatan evaluasi lanjutan dengan mendiskusikan kegiatan self monitoring

kedua sekaligus penutupan pelatihan manajemen diri.

C. Pengaruh Pelatihan Manajemen Diri terhadap Perilaku Merokok

Teori kognisi sosial mengungkapkan bahwa manusia mampu untuk

mengontrol perilakunya sendiri. Menurut Bandura (Hergenhahn&Olson, 2008),

perilaku manusia sebagian besar adalah perilaku yang diatur sendiri (self regulation

behavior). Orang memiliki kemampuan untuk meregulasi diri dengan memonitor

perilakunya dan mengevaluasinya dengan cara membandingkan dengan tujuan

pribadinya. Bandura (1994) mengemukakan bahwa prinsip regulasi diri

dikembangkan menjadi teknik manajemen diri.

Frayne dan Geringer (dalam Budiyani & Martaniah, 2011) mengungkapkan

bahwa manajemen diri mendasarkan pada teori sosial kognitif sosial. Teori ini

menyatakan bahwa kognitif seseorang, perilaku dan lingkungan saling

mempengaruhi secara resiprokal. Sehingga, orang dapat merespon secara proaktif

maupun reaktif terhadap pengaruh eksternal dan pengaruh eksternal terhadap

dirinya dapat diubah sebagai hasil respon individual. Dengan demikian manusia

mampu untuk mengontrol perilakunya atau keputusannya. Selanjutnya Frayne dan

Gerenger (1992) mengatakan bahwa hal tersebut disebut kontrol diri atau

18

manajemen diri, sehingga manajemen diri diartikan sebagai usaha individu untuk

mengontrol perilakunya.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dijelaskan bahwa regulasi diri

merupakan teknik dari manajemen diri yang dimana dapat menjadi suatu langkah

untuk mengelola diri individu, mengatur kehidupan pribadi, sosial, emosional untuk

menampilkan performa diri yang optimal. Pelatihan manajemen diri mengajarkan

kepada individu untuk melakukan assesmen masalah-masalah yang dihadapinya,

menetapkan suatu tujuan khusus dalam penyelesaian masalah tersebut, memonitor

bagaimana keadaan lingkungannya dalam mendukung individu dalam menetapkan

dukungan bila tercapai dan hukuman atas tujuan yang tidak tercapai (Frayne &

Geringer, 2000).

Pelatihan manajemen diri memilki aspek-aspek yang dikemukakan oleh

Frayne & Geringer (2000), yaitu: asesmen diri (self assesment), penentuan tujuan

(goal setting), monitoring diri (self monitoring), evaluasi diri (self evaluation), dan

kontrak tertulis (written contract). Asesmen diri (self assesment) merupakan

pemahaman terhadap keadaan diri. Melalui self assement subjek diajarkan untuk

melakukan asesmen terhadap perilaku yang akan diubah. Subjek diminta untuk

mencatat kapan, mengapa, dimana, dan dalam kondisi mood seperti apa subjek

merokok. Hal ini akan membantu subjek mengetahui pola perilaku yang selama ini

terjadi sehingga dapat memetakan dan menetapkan perilaku mana yang akan

diubah.

Perubahan perilaku yang efektif menuntut pengarahan. Teknik yang

menyertainya disebut goal setting. Pada Penentuan tujuan (goal setting) subjek

19

diarahkan untuk menetapkan target secara spesifik (jelas bentuk perilaku dan

kondisi yang akan diubah), measurable (dapat terukur), attainable (mampu untuk

dicapai), realistic (realistis), dan timely (ditentukan waktunya). Target perilaku

merokok yang akan diubah nantinya akan dituangkan dalam kontrak/kesepakatan

perubahan perilaku. Adanya kesepakatan tersebut membuat subjek dapat

termotivasi dan lebih berkomitmen untuk mencapai tujuan.

Pencapaian tujuan dilanjutkan dengan membuat aktivitas yang spesifik

meliputi tujuan dari kebutuhan atau keinginan tersebut agar dapat dicapai dengan

baik dan dalam hal ini terkait dengan monitoring diri (self monitoring). Pada tahap

ini subjek diajarkan untuk memantau atau memonitor perilaku merokok

berdasarkan penetapan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Seseorang yang

memantau perilaku merokoknya akan menyadari apa yang terjadi dan mempunya i

data yang objektif tentang hal-hal yang dikonsumsi serta kondisi-kondisi yang

menyertainya sehingga akan selalu menyadari perilaku merokok.

Pada aspek evaluasi diri (self evaluation), peserta diajari/diajak untuk

mengevaluasi atas perilaku yang mendukung pada tujuan. Mendasarkan pada

pemantauan terhadap perilaku merokok maka akan dapat membandingkan perilaku

merokoknya dengan target yang telah ditetapkan untuk diubah. Apabila perilaku

tidak mengarah pada tujuan maka akan dicari penyelesaiannya. Selain itu pada

aspek ini peserta juga diajari untuk memberikan hadiah kepada dirinya sendiri

apabila mencapai target yang ditetapkan dan memberikan hukuman apabila tidak

berhasil atau gagal mencapai target yang telah ditetapkan. Dengan adanya penguat

20

dan hukuman ini dalam proses pencapaian tujuan individu dapat melakukan kontrol

terhadap perilaku merokok yang ingin diubah.

Melalui pelatihan manajemen diri subjek mendapatkan pengetahuan dan

keterampilan serta pengalaman untuk melakukan perubahan terhadap perilaku yang

akan diubah dalam hal ini adalah perilaku merokok. Menurut Bandura (dalam

Budiyani & Martaniah, 2011) bahwa pengalaman keberhasilan merupakan salah

satu hal yang dapat meningkatkan efikasi diri. Efikasi diri yang meningkat

membuat seseorang meningkatkan target yang lebih besar dan juga berani atau

mampu untuk menghadapi hambatan dan rintangan. Subjek yang telah melakukan

manajemen diri akan mendapatkan pengalaman keberhasilan yang kemudian

membuat efikasi diri subjek meningkat sehingga dapat meningkatkan target

perubahan yaitu menurunkan perilaku merokok.

Berdasarkan hal di atas berarti pelatihan manajemen diri dapat menurunkan

perilaku merokok remaja. Hal ini didukung hasil-hasil penelitian sebelumnya,

antara lain penelitian yang dilakukan oleh Mariyati (2014) yang menunjukkan

bahwa pelatihan self management dengan pendekatan choice theory dapat

membantu remaja mengontrol perilakunya dalam merokok. Penelitian lain

dilakukan oleh Puspitasari (2017) menunjukkan bahwa pelatihan manajemen diri

dapat menurunkan jumlah konsumsi rokok remaja di SMKN 2 Jember dengan

penerapan manajemen diri berupa pemantauan diri, pemberian pujian, perjanjian

diri, dan penguasaan terhadap rangsangan.

Hal senada ditunjukkan juga dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

Mustika (2016) menunjukkan bahwa self management dapat menurunkan tingkat

21

kecanduan rokok di kelas VIII-5 SMP 1 Delitua Kabupaten Deli Serdang.

Penerapan Self management berupa perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan

refleksi. Berdasarkan uraian di atas dapat diasumsikan bahwa pelatihan manajemen

diri dapat menurunkan perilaku merokok remaja.

D. Hipotesis

Ada perbedaan perilaku merokok pada remaja sebelum diberikan perlakuan

berupa pelatihan manajemen diri dan setelah diberikan perlakuan berupa pelatihan

manajemen diri. Perilaku merokok pada remaja mengalami penurunan setelah

diberikan.perlakuan.berupa.pelatihan.manajemen.diri.