Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Menurut Spielberger (1972) kecemasan adalah reaksi emosional yang
tidak menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer yang disertai dengan
perubahan pada sistem saraf otonom dan pengalaman subjektif sebagai tekanan,
ketakutan, dan kegelisahan. Spielberger (1972) membedakan kecemasan kedalam
state anxiety dan trait anxiety. State anxiety (kecemasan sesaat) didefinisikan
sebagai emosi tidak menyenangkan karena dihadapkan dengan sesuatu yang
menngancam dan berbahaya. State anxiety dijelaskan sebagai kondisi psikologis,
biologis, dan emosional yang ditandai dengan timbulnya rasa tegang, gugup,
ketakutan, dan kekhawatiran yang bervariasi dalam intensitas yang tidak menentu
dari waktu ke waktu (fluktuatif) (Spielberger, 1972). Dengan kata lain, tingkat
kecemasan akan meningkat saat keadaan dianggap mengancam dan akan menurun
saat keadaan dinilai tidak menekan atau tidak membahayakan.
Kecemasan akan mengakibatkan perasaan tidak nyaman dan
ketidaknyamanan ini menjadikan seseorang sulit untuk berkonsentrasi sehingga ia
tidak bisa menyelesaikan masalah yang melanda di tengah penyusunan skripsi dan
mengakibatkan terhambatnya penyusunan skripsi (Herdiani, 2012). Sarason
(dalam Cassady dan Johnson, 2002) menyatakan bahwa kecemasan terjadi ketika
dalam situasi evaluatif atau dalam kinerja yang terdiri dari gabungan dari
12
peningkatan aktivitas fisiologis dan perenungan mencela diri sendiri. Kecemasan
yang dimaksudkan adalah kecemasan dalam proses menyusun skripsi sehingga
dapat disimpulkan kecemasan dalam proses menyusun skripsi adalah suatu
perasaan yang tidak menyenangkan karena adanya ketidakpastian mengenai suatu
hal, serta adanya ancaman terhadap kegagalan dalam menyusun skripsi.
Kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi termasuk
kedalam pikiran yang tidak rasional, yaitu kepercayaan atau keyakinan seseorang
tentang ketakutan atau kekhawatiran yang dirasakannya, kemudian sumber
ketakutan tersebut menjadi penyebab timbulnya kecemasan (Puspitasari, 2013).
Menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni
disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani
serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa melewati tahap semester yang harus di lalui untuk menjadi ditingkat
teratas yang dapat disebut mahasiswa tingkat akhir (Ganda, 2004).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah
reaksi emosional yang tidak menyenangkan terhadap bahaya nyata atau imaginer
yang disertai dengan perubahan pada sistem saraf otonom dan pengalaman
subjektif sebagai tekanan, ketakutan, dan kegelisahan yang menjadikan seseorang
sulit untuk berkonsentrasi sehingga ia tidak bisa menyelesaikan masalah yang
melanda di tengah penyusunan skripsi dan mengakibatkan terhambatnya
penyusunan skripsi.
13
2. Aspek-aspek Kecemasan Menyusun Skripsi
Menurut Bakar (dalam Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini, 2014) aspek-
aspek yang mempengaruhi kecemasan yaitu:
a. Aspek Fisiologis
Kecemasan mempunyai ciri-ciri seperti tekanan darah meningkat, kaki dan
tangan terasa dingin, mudah berkeringat, jantung berdebar-debar, muka tiba-
tiba menjadi pucat, sering sakit perut, sulit tidur, mudah pusing, nafsu makan
berkurang, sering terasa mual, gangguan pada lambung dan sesak nafas.
b. Aspek Psikologis
Kecemasan dari aspek psikologis mempunyai ciri-ciri seperti mudah
gelisah, tegang, bingung dan mudah marah pada apapun yang terjadi, merasa
tidak berdaya, merasa tidak berguna. Individu mudah kehilangan perhatian
dan mudah tertekan, mudah kehilangan gairah, tidak percaya diri, ingin lari
dari kenyataan, merasa tidak tenteram atau tidak aman dan merasa tidak
mampu menyesuaikan diri.
Menurut Rosenhan (dalam Padmawati, 2003) kecemasan terdiri dari empat
aspek, yaitu:
a. Kognitif, yaitu respon terhadap kecemasan dalam pikiran individu. Misalnya
ketidak-mampuan dalam berkonsentrasi, memecahkan masalah, dan sifat
membuat keputusan.
14
b. Somatik, yaitu reaksi tubuh terhadap adanya bahaya. Misalnya tangan dan
kaki dingin, diare, jantung berdebar, keringat berlebihan, gangguan
pernafasan, mulut kering, pingsan, tekanan darah tinggi, otot tegang, dan
gangguan pencernaan.
c. Emosi, yaitu reaksi afektif individu, ditujukkan dengan adanya perasaan-
perasaan tidak menyenangkan seperti kegelisahan dan ketegangan.
d. Perilaku, yaitu reaksi individu terhadap ancaman dengan cara menghindar atau
menyerang, misalnya mondar-mandir, gagap, dan gigit jari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan aspek-aspek kecemasan
menurut Bakar (dalam Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini, 2014) meliputi aspek
fisiologis dan aspek psikologis. Sedangkan menurut Rosenhan (dalam Padmawati,
2003) kecemasan terdiri dari empat aspek, yaitu kognitif, somatik, emosi, dan
perilaku. Pada penelitian ini, peneliti memilih aspek kecemasan dari tokoh Bakar
karena lebih rinci dalam menjelaskan kecemasan. Sehingga memudahkan peneliti
untuk membuat instrumen pengumpulan data.
3. Faktor-faktor Kecemasan Menyusun Skripsi
Menurut Sarason dkk., (dalam Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini, 2014),
faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan yaitu:
a. Kepercayaan diri
Menurut Sarason dkk., (dalam Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini,
2014), individu yang berkepercayaan diri tinggi akan berkurang
15
kecemasannya. Sedangkan menurut Lauster (dalam Ghufron dan Risnawita,
2012) kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas
kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu
cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan keinginan
dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan
orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan
kekurangan diri sendiri.
b. Dukungan sosial
Menurut Sarason dkk., (dalam Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini,
2014), dukungan sosial yang diberikan berupa pemberian informasi,
pemberian bantuan, perilaku maupun materi yang didapat dari hubungan
sosial yang akrab yang membuat individu merasa diperhatikan, dicintai dan
bernilai sehingga mengurangi tingkat kecemasan. Sedangkan menurut House
(dalam Puspitasari, Abidin dan Sawitri, 2010), menjelaskan dukungan sosial
teman sebaya sebagai persepsi seseorang terhadap dukungan potensial yang
diterima dari lingkungan, dukungan sosial tersebut mengacu pada kesenangan
yang dirasakan sebagai penghargaan akan kepedulian serta pemberian bantuan
dalam konteks hubungan yang akrab.
Santrock (dalam Sari dan Indrawati, 2016), mengemukakan salah satu
fungsi terpenting teman sebaya adalah sebagai penyedia sumber informasi di
luar keluarga tentang dunia, seperti menerima umpan balik mengenai
kemampuan yang dimiliki serta mempelajari tentang apa yang dilakukan itu
kurang baik, sama baik, atau lebih baik dibandingkan teman sebayanya.
16
c. Modeling
Menurut Sarason dkk., (dalam Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini,
2014), kecemasan dapat disebabkan karena ada proses modeling. Modeling
dapat merubah perilaku seseorang, yaitu dengan melihat orang lain melakukan
sesuatu. Jika individu belajar dari model yang menunjukkan kecemasan dalam
menghadapi masalah maka individu tersebut cenderung mengalami
kecemasan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan adalah kepercayaan diri, dukungan sosial, dan
modeling. Peneliti memilih faktor kepercayaan diri dan dukungan sosial teman
sebaya sebagai variabel prediktor (X1) dan variabel prediktor (X2).
B. Kepercayaan Diri
1. Pengertian Kepercayaan Diri
Menurut Lauster (dalam Ghufron dan Risnawita, 2012) kepercayaan diri
merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga
dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan
hal-hal yang sesuai dengan keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya,
sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta
dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Rasa kepercayaan diri
merupakan sikap mental optimisme dari kesanggupan anak terhadap kemampuan
diri untuk menyelesaikan segala sesuatu dan kemampuan diri untuk melakukan
17
penyesuaian diri pada situasi yang dihadapi (Surya, 2007). Kepercayaan diri
berkaitan dengan efikasi diri yaitu keyakinan mengenai hal yang dapat dilakukan
dengan seberapa pun besarnya kecakapan yang dimiliki (Ghufron dan Risnawita,
2012). Menurut Robbins (dalam Ghufron dan Risnawita, 2012) seseorang dengan
efikasi diri tinggi percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk
mengubah kejadian-kejadian di sekitarnya, sedangkan seseorang dengan efikasi
diri rendah menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu mengerjakan segala
sesuatu yang ada. Dalam situasi yang sulit, orang dengan efikasi diri yang rendah
cenderung akan mudah menyerah. Sementara orang dengan efikasi diri yang
tinggi akan berusaha lebih keras untuk mengatasi tantangan yang ada (Robbins,
dalam Ghufron dan Risnawita, 2012).
Sedangkan menurut Mastuti dkk., (2008) kepercayaan diri adalah sikap
positif individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian
positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang
dihadapinya. Rasa kepercayaan diri merunjuk pada adanya beberapa aspek dari
kehidupan individu tersebut dengan sejumlah kompetensi, keyakinan,
kemampuan, dan percaya bahwa bisa melakukan sesuatu akibat pengalaman,
petensial aktual, prestasi serta harapan realitis yang dimiliki (Mastuti dkk., 2008).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri
merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga
dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan
hal-hal yang sesuai dengan keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya,
18
sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta
dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
2. Aspek-aspek Kepercayaan diri
Menurut Lauster (dalam Syam dan Amri, 2017), ada beberapa aspek dari
kepercayaan diri yakni sebagai berikut:
a. Keyakinan akan kemampuan diri
Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif seseorang
tentang dirinya bahwa dia mengerti dengan sungguh-sungguh akan apa yang
dilakukannya. Menurut Mohammad Zain (dalam Yusdi, 2010), mengartikan
kemampuan sebagai kesanggupan, kecakapan, kakuatan seseorang berusaha
dengan diri sendiri.
b. Optimis
Optimis yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik
dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuan. Chang
dan McBride (dalam Khoirunnisa dan Ratnaningsih, 2016), menyatakan
bahwa optimisme berhubungan dengan hasil-hasil positif yang diinginkan
seseorang seperti kondisi moral yang baik, prestasi yang memuaskan, serta
adanya kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang muncul.
c. Obyektif
Obyektif yaitu orang yang percaya diri memandang permasalahan
atau segala sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya, bukan menurut
kebenaran pribadi.
19
d. Bertanggung jawab
Bertanggung jawab yaitu kesediaan seseorang untuk menanggung
segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.
e. Rasional
Rasional yaitu analisis terhadap suatu masalah, suatu hal, sesuatu
kejadian dengan menggunakan pemikiran yang diterima oleh akal dan sesuai
dengan kenyataan.
Sedangkan karakteristik individu yang memiliki kepercayaan diri yang
proposional menurut Hakim (2005) yaitu: (a) bersikap tenang dalam mengerjakan
sesuatu; (b) mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai; (c) mampu
menetralisir ketegangan yang muncul dalam situasi tertentu; (d) mampu
menyesuaikan diri dan berkomunikasi; (e) memiliki kondisi mental dan fisik yang
menunjang penampilan; (f) memiliki kecerdasan yang cukup; (g) memiliki tingkat
pendidikan formal yang cukup; (h) memiliki keahlian dan ketrampilan lain yang
menunjang kehidupan; (i) memiliki kemampuan bersosialisasi; (j) memiliki latar
belakang pendidikan keluarga yang baik; dan (k) memiliki pengalaman hidup
yang menempa mental dan ketahanan di berbagai situasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan aspek-aspek kepercayaan
diri menurut Lauster (dalam Syam dan Amri, 2017), meliputi keyakinan akan
kemampuan diri, optimis (selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala
hal), obyektif (memandang segala sesuatu sesuai dengan kebenaran), bertanggung
jawab, dan rasional. Sedangkan karakteristik individu yang memiliki rasa
kepercayaan diri menurut Hakim (2005) ada banyak hal yang bisa dilihat, seperti
20
halnya sikap yang dimiliki individu baik yang dilakukan secara kebiasaan ataupun
ketenangan yang dimiliki individu ketika melakukan sesuatu. Pada penelitian ini
peneliti memilih aspek kepercayaan diri dari tokoh Lauster, karena lebih rinci
dalam menjelaskan aspek-aspek kepercayaan diri. Sehingga memudahkan peneliti
dalam membuat instrumen pengumpulan data.
C. Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kecemasan
Menurut Lauster (dalam Ghufron dan Risnawita, 2012) kepercayaan diri
merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga
dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan
hal-hal yang sesuai dengan keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya,
sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta
dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Menurut Lauster (dalam
Syam dan Amri, 2017), ada beberapa aspek dari kepercayaan diri yaitu keyakinan
akan kemampuan diri, optimis, obyektif, bertanggung jawab, dan rasional.
Keyakinan akan kemampuan diri yaitu sikap positif seseorang tentang
dirinya bahwa dia mengerti dengan sungguh-sungguh akan apa yang
dilakukannya (Lauster, dalam Syam dan Amri, 2017). Individu yang yakin akan
kemampuan dirinya, maka ia akan cenderung lebih mengerti dengan apa yang
harus dilakukannya. Individu yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi akan
terlihat lebih tenang, tidak memiliki rasa takut, dan mampu memperlihatkan
kepercayaan dirinya setiap saat (Ghufron dan Risnawita, 2012). Orang yang
percaya diri merasa yakin atas kemampuan sendiri serta memiliki pengharapan
21
yang realistis, bahkan ketika harapannya tidak terwujud, individu tetap berpikiran
positif dan dapat menerimanya. Hasil penelitian Kristanto, Sumarjono, dan
Setyorini (2014) yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan
antara kepercayaan diri dengan kecemasan menyusun proposal skripsi. Dengan
kata lain, semakin tinggi kepercayaan diri mahasiswa akan diikuti semakin
rendahnya kecemasan yang dialami mahasiswa ketika menyusun proposal skripsi.
Optimis yaitu sikap positif seseorang yang selalu berpandangan baik
dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuan (Lauster,
dalam Syam dan Amri, 2017). Optimis dapat membantu individu untuk mengatasi
kendala atau hambatan yang muncul dalam mencapai tujuan (Ekasari dan Susanti,
2009). Mahasiswa yang optimis, dalam menyusun skripsi mau mencari
pemecahan dari masalah, menghentikan pemikiran negatif, merasa yakin bahwa
memiliki kemampuan, dan lain-lain (Utami, Hardjono dan Karyanta, 2014).
Berbeda halnya dengan mahasiswa yang kurang optimis dalam menyusun skripsi,
ketika menghadapi kesulitan atau kendala, terdapat mahasiswa yang bereaksi
cemas, menghindar, mengabaikan, dan lain-lain sehingga kesulitan atau kendala
tersebut tidak dapat terselesaikan (Utami, Hardjono dan Karyanta, 2014).
Ningrum (2011) mengemukakan bahwa mahasiswa yang optimis dalam
menyusun skripsi akan menghentikan pemikiran negatif seperti rasa cemas dan
akan yakin dengan kemampuan yang dimiliki untuk dapat menyelesaikan skripsi.
Utami, Hardjono dan Karyanta (2014) menyatakan bahwa mahasiswa yang
optimis mempunyai keinginan yang kuat untuk menyelesaikan skripsi, sehingga
keyakinan tersebut membuat mahasiswa mampu bertahan dari rasa cemas dan
22
tetap tenang selama proses penyusunan skripsi untuk mencapai kelulusannya.
Sebaliknya, mahasiswa yang pesimis cenderung merasa tidak mampu menghadapi
proses penyusunan skripsi yang begitu rumit, sehingga tidak tenang dan sulit
mengendalikan dirinya untuk tetap berusaha dengan giat ketika terjadi rintangan
dalam mencapai kelulusannya (Utami, Hardjono dan Karyanta, 2014).
Obyektif yaitu orang yang percaya diri memandang permasalahan atau
segala sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya, bukan menurut kebenaran
pribadi (Lauster, dalam Syam dan Amri, 2017). Menurut Ghufron dan Risnawita
(2012) mahasiswa yang obyektif akan berusaha mencari pemecahan masalah dan
tidak mudah menyerah selama proses penyusunan skripsi. Obyekif dapat
memusatkan seseorang pada hal yang benar dan mampu mengesampingkan rasa
cemas yang dialami, sehingga memiliki perhatian yang selektif serta dapat
melakukan sesuatu yang lebih terarah (Lauster, dalam Syam dan Amri, 2017).
Sehingga individu yang obyektif cenderung tidak mengalami kecemasan, karena
memandang permasalahan sesuai dengan kebenaran yang ada (Lauster, dalam
Syam dan Amri, 2017).
Bertanggung jawab yaitu kesediaan seseorang untuk menanggung segala
sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya (Lauster, dalam Syam dan Amri,
2017). Menurut Mustari (2014) ciri-ciri mahasiswa yang bertanggung jawab yaitu
memilih jalan lurus, selalu memajukan diri sendiri, menjaga kehormatan diri,
selalu waspada, memiliki komitmen pada tugas, melakukan tugas dengan standar
yang terbaik, mengakui semua perbuatannya, dan menepati janji. Individu yang
memiliki kepercayaan diri akan bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi
23
konsekuensinya, sehingga akan mengalami kecemasan yang rendah (Lauster,
dalam Syam dan Amri, 2017). Sebaliknya, individu yang memiliki kecemasan
yang tinggi mengalami perasaan tidak nyaman, biasanya ditandai dengan
kecenderungan untuk menghindar dari skripsi (Amaliyah dan Papila, 2015).
Rasional yaitu analisis terhadap suatu masalah, suatu hal, sesuatu kejadian
dengan menggunakan pemikiran yang diterima oleh akal dan sesuai dengan
kenyataan (Lauster, dalam Syam dan Amri, 2017). Mahasiswa yang menggunakan
pemikiran yang dapat diterima oleh akal akan bertindak dengan memperhitungkan
segala manfaat dan resiko yang akan diterima selama proses menyusun skripsi
(Ghufron dan Risnawita, 2012). Individu yang memiliki pikiran yang rasional akan
mengalami kecemasan yang rendah, karena kecemasan termasuk kedalam pikiran
yang tidak rasional (Puspitasari, 2013). Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
Feldman (dalam Amaliyah dan Palila, 2015) bahwa individu yang mengalami
kecemasan cenderung untuk terjebak dengan pikiran yang tidak diinginkan atau
perasaan yang mendorong individu untuk melakukan perilaku tertentu.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang
memiliki kepercayaan diri berupa keyakinan akan kemampuan diri, sikap optimis,
obyektif, bertanggung jawab, pemikiran rasional akan mengalami kecemasan
yang rendah. Individu yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi akan terlihat
lebih tenang, tidak memiliki rasa takut, dan mampu memperlihatkan kepercayaan
dirinya setiap saat (Ghufron dan Risnawita, 2012).
24
D. Dukungan Sosial Teman Sebaya
1. Pengertian Dukungan Sosial Teman Sebaya
House (dalam Puspitasari, Abidin dan Sawitri, 2010), menjelaskan
dukungan sosial teman sebaya sebagai persepsi seseorang terhadap dukungan
potensial yang diterima dari lingkungan, dukungan sosial tersebut mengacu pada
kesenangan yang dirasakan sebagai penghargaan akan kepedulian serta pemberian
bantuan dalam konteks hubungan yang akrab. Menurut King (2012) dukungan
sosial adalah informasi atau umpan balik dari orang lain yang menunjukkan
bahwa seseorang dicintai dan diperhatikan, dihargai, dan dihormati, dan dilibatkan
dalam jaringan komunikasi dan kewajiban yang timbal balik. Sedangkan Sarafino
(dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah suatu kesenangan
yang dirasakan sebagai perhatian, penghargaan dan pertolongan yang diterima
dari orang lain atau suatu kelompok. Menurut Sarason dkk., (dalam Kristanto,
Sumarjono, dan Setyorini, 2014), dukungan sosial yang diberikan berupa
pemberian informasi, pemberian bantuan, perilaku maupun materi yang didapat
dari hubungan sosial yang akrab yang membuat individu merasa diperhatikan,
dicintai dan bernilai sehingga mengurangi tingkat kecemasan.
Berdasarkan beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa dukungan
sosial teman sebaya sebagai persepsi seseorang terhadap dukungan potensial yang
diterima dari lingkungan, dukungan sosial tersebut mengacu pada kesenangan
yang dirasakan sebagai penghargaan akan kepedulian serta pemberian bantuan
dalam konteks hubungan yang akrab.
25
2. Bentuk–Bentuk Dukungan Sosial
Sarafino (dalam Purba, Yulianto dan Widyanti, 2007) membedakan lima
bentuk dukungan sosial antara lain:
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional meliputi ungkapan rasa empati, kepedulian,
dan perhatian terhadap individu. Biasanya, dukungan ini diperoleh dari
pasangan atau keluarga, seperti memberikan pengertian terhadap masalah
yang sedang dihadapi atau mendengarkan keluhannya. Adanya dukungan ini
akan memberikan rasa nyaman, kepastian, perasaan memiliki dan dicintai
kepada individu.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan positif atau
penghargaan yang positif pada individu, dorongan untuk maju, atau
persetujuan akan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan yang
positif individu dengan orang lain. Biasanya dukungan ini diberikan oleh
atasan atau rekan kerja. Dukungan jenis ini, akan membangun perasaan
berharga, kompeten dan bernilai.
c. Dukungan instrumental atau konkrit
Dukungan jenis ini meliputi bantuan secara langsung. Biasanya
dukungan ini, lebih sering diberikan oleh teman atau rekan kerja, seperti
bantuan untuk menyelesaikan tugas yang menumpuk atau meminjamkan
uang atau lain-lain yang dibutuhkan individu. Adanya dukungan ini,
menggambarkan tersedianya barang-barang (materi) atau adanya pelayanan
26
dari orang lain yang dapat membantu individu dalam menyelesaikan
masalahnya. Selanjutnya hal tersebut akan memudahkan individu untuk
dapat memenuhi tanggung jawab dalam menjalankan perannya sehari-hari.
d. Dukungan informasi
Dukungan jenis ini meliputi pemberian nasihat, saran atau umpan
balik kepada individu. Dukungan ini, biasanya diperoleh dari sahabat, rekan
kerja, atasan atau seorang profesional seperti dokter atau psikolog. Adanya
dukungan informasi, seperti nasihat atau saran yang pernah mengalami
keadaan yang serupa akan membantu individu memahami situasi dan
mencari alternatif pemecahan masalah atau tindakan yang akan diambil.
e. Dukungan jaringan sosial
Dukungan jaringan dengan memberikan perasaan bahwa individu
adalah anggota dari kelompok tertentu dan memiliki minat yang sama, rasa
kebersamaan dengan anggota kelompok merupakan dukungan bagi individu
yang bersangkutan. Adanya dukungan jaringan sosial akan membantu
individu untuk mengurangi stres yang dialami dengan cara memenuhi
kebutuhan akan persahabatan dan kontak sosial dengan orang lain. Hal
tersebut juga akan membantu individu untuk mengalihkan perhatiannya dari
kekhawatiran terhadap masalah yang dihadapinya atau dengan
meningkatkan suasana hati yang positif.
27
Beberapa bentuk dukungan sosial menurut Cohen dan Hoberman (dalam
Isnawati dan Suhariadi, 2013) yaitu :
a. Appraisal Support
Yaitu adanya bentuan yang berupa nasihat yang berkaitan dengan
pemecahan suatu masalah untuk membantu mengurangi stresor.
b. Tangiable Support
Yaitu bantuan yang nyata yang berupa tindakan atau bantuan fisik
dalam menyelesaikan tugas.
c. Self-esteem Support
Dukungan yang diberikan oleh orang lain terhadap perasaan
kompeten atau harga diri individu atau perasaan seseorang sebagai bagian
dari sebuah kelompok dimana para anggotanya memiliki dukungan yang
berkaitan dengan self-esteem seseorang.
d. Belonging Support
Menunjukkan perasaan diterima menjadi bagian dari suatu kelompok
dan rasa kebersamaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bentuk-bentuk dukungan
sosial menurut Sarafino (dalam Purba, Yulianto dan Widyanti, 2007) yaitu
dukungan emosional (meliputi ungkapan rasa empati, kepedulian, dan perhatian
terhadap individu), dukungan penghargaan (melalui ungkapan positif atau
penghargaan yang positif pada individu, dorongan untuk maju), dukungan
instrumental atau konkrit (meliputi bantuan secara langsung), dukungan informasi
(meliputi pemberian nasihat, saran atau umpan balik kepada individu), dan
28
dukungan jaringan sosial (memberikan perasaan bahwa individu adalah anggota
dari kelompok tertentu dan memiliki minat yang sama, rasa kebersamaan dengan
anggota kelompok merupakan dukungan bagi individu yang bersangkutan).
Sedangkan bentuk-bentuk dukungan sosial menurut Cohen dan Hoberman
(dalam Isnawati dan Suhariadi, 2013) yaitu appraisal support (adanya bentuan
yang berupa nasihat yang berkaitan dengan pemecahan suatu masalah untuk
membantu mengurangi stressor), tangiable support (bantuan yang nyata yang
berupa tindakan atau bantuan fisik dalam menyelesaikan tugas), self-esteem
support (dukungan yang diberikan oleh orang lain terhadap perasaan kompeten),
dan belonging support (menunjukkan perasaan diterima menjadi bagian dari suatu
kelompok dan rasa kebersamaan). Pada penelitian ini peneliti memilih bentuk
dukungan sosial dari tokoh Sarafino, karena lebih rinci dalam menjelaskan
bentuk-bentuk dukungan sosial. Sehingga memudahkan peneliti dalam membuat
instrumen pengumpulan data.
E. Hubungan antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Kecemasan
House (dalam Puspitasari dkk., 2010), menjelaskan dukungan sosial
sebagai persepsi seseorang terhadap dukungan potensial yang diterima dari
lingkungan. Dukungan sosial tersebut mengacu pada kesenangan yang dirasakan
sebagai penghargaan akan kepedulian serta pemberian bantuan dalam konteks
hubungan yang akrab (House, dalam Puspitasari, Abidin dan Sawitri, 2010).
Sarafino (dalam Purba, Yulianto dan Widyanti, 2007) membedakan lima bentuk
dukungan sosial antara lain dukungan emosional, dukungan penghargaan,
29
dukungan instrumental atau konkrit, dukungan informasi, dan dukungan jaringan
sosial.
Dukungan emosional meliputi ungkapan rasa empati, kepedulian, dan
perhatian terhadap individu (Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan Widyanti,
2007). Biasanya, dukungan ini diperoleh dari pasangan atau keluarga, seperti
memberikan pengertian terhadap masalah yang sedang dihadapi atau
mendengarkan keluhannya (Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan Widyanti, 2007).
Menurut House (dalam Setiadi, 2008) dukungan ini berupa dukungan simpatik
dan empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian, seseorang
yang menghadpai persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri
tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala
keluhnya, bersimpati, dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan
mau membantu memecahkan masalah. Adanya dukungan ini akan memberikan
rasa nyaman, kepastian, perasaan memiliki dan dicintai kepada individu, sehingga
dapat mengurangi kecemasan yang terjadi (Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan
Widyanti, 2007). Dukungan yang diterima dari orang terdekat dapat
meningkatkan kepercayaan yang tinggi karena dukungan dari orang-orang
terdekat akan memiliki kelekatan emosional dari tiap-tiap anggotanya (Thois,
dalam Wahyu, 2003).
Dukungan penghargaan terjadi melalui ungkapan positif atau penghargaan
yang positif pada individu, dorongan untuk maju, atau persetujuan akan gagasan
atau perasaan individu dan perbandingan yang positif individu dengan orang lain
(Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan Widyanti, 2007). Biasanya dukungan ini
30
diberikan oleh atasan atau rekan kerja. Dukungan penghargaan akan menjadikan
seseorang optimis dan memiliki keyakinan diri bahwa dirinya mampu dalam
menghadapi situasi penuh stres (Lazaruz dan Folkman, dalam Smet, 1994).
Dukungan penghargaan ini akan membangun perasaan yang berharga, kompeten
dan bernilai, sehingga individu yang diberi dukungan penghargaan akan
cenderung mengalami kecemasan yang rendah (Sarafino, dalam Purba, Yulianto
dan Widyanti, 2007).
Dukungan instrumental atau konkrit meliputi bantuan secara langsung.
Biasanya dukungan ini, lebih sering diberikan oleh teman atau rekan kerja, seperti
bantuan untuk menyelesaikan tugas yang menumpuk atau meminjamkan uang
atau lain-lain yang dibutuhkan individu (Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan
Widyanti, 2007). Bantuan langsung yang disediakan dalam dukungan
instrumental ini menjadikan seorang individu merasa lebih kuat karena ada pihak
yang bersedia membantu dirinya, perasaan kuat yang dirasakan ini menjadikan
individu lebih banyak mengembangkan emosi positif dalam menjalani
kehidupannya (Creech, 2013). Individu yang semula mengalami kecemasan yang
tinggi jika diberi dukungan instrumental, maka kecemasannya akan cenderung
menurun. Hal tersebut dikarenakan ia merasa diperhatikan oleh teman atau rekan
kerjanya (Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan Widyanti, 2007).
Dukungan informasi meliputi pemberian nasihat, saran atau umpan balik
kepada individu (Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan Widyanti, 2007).
Dukungan ini, biasanya diperoleh dari sahabat, rekan kerja, atasan atau seorang
profesional seperti dokter atau psikolog. Adanya dukungan informasi, seperti
31
nasihat atau saran yang pernah mengalami keadaan yang serupa akan membantu
individu memahami situasi dan mencari alternatif pemecahan masalah atau
tindakan yang akan diambil, sehingga dapat mengurangi kecemasan yang terjadi
pada individu tersebut (Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan Widyanti, 2007).
Dukungan jaringan sosial yaitu dengan memberikan perasaan bahwa
individu adalah anggota dari kelompok tertentu dan memiliki minat yang sama,
rasa kebersamaan dengan anggota kelompok merupakan dukungan bagi individu
yang bersangkutan (Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan Widyanti, 2007).
Adanya dukungan jaringan sosial akan membantu individu untuk mengurangi
kecemasan yang dialami dengan cara memenuhi kebutuhan akan persahabatan dan
kontak sosial dengan orang lain (Sarafino, dalam Purba, Yulianto dan Widyanti,
2007). Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Garmenzy dan Rutter (dalam Putra
dan Susilawati, 2018), menyebutkan manfaat dukungan sosial, yakni dukungan
sosial dapat mengurangi kecemasan.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan adanya hubungan antara
dukungan sosial teman sebaya dengan kecemasan, karena bila individu
mendapatkan dukungan sosial maka dengan begitu rasa cemas individu pun akan
berkurang. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Apollo dan Cahyadi (2012),
menyebutkan bahwa manfaat dukungan sosial adalah mengurangi kecemasan,
depresi, dan simtom-simtom gangguan tubuh bagi orang yang mengalami stres
dalam pekerjaan. Oleh karena itu dukungan sosial sangatlah penting dalam hal
untuk mereduksi kecemasan yang dialami oleh individu.
32
F. Hubungan antara Kepercayaan Diri dan Dukungan Sosial Teman Sebaya
dengan Kecemasan
Tingginya kecemasan berkaitan dengan rendahnya kepercayaan diri
(Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini, 2014) dan dukungan sosial teman sebaya
(Puspitasari, Abidin dan Sawitri, 2010) yang dimiliki individu. Kepercayaan diri
merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga
dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan
hal-hal yang sesuai dengan keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya,
sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta
dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri (Lauster, dalam Ghufron
dan Risnawita 2012). Sementara itu, dukungan sosial teman sebaya merupakan
persepsi seseorang terhadap dukungan potensial yang diterima dari lingkungan,
dukungan sosial tersebut mengacu pada kesenangan yang dirasakan sebagai
penghargaan akan kepedulian serta pemberian bantuan dalam konteks hubungan
yang akrab (House, dalam Puspitasari, Abidin dan Sawitri, 2010).
Kecemasan ketika menyusun skripsi akan berbeda antara mahasiswa yang
memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini,
2014) dan dukungan sosial teman sebaya (Puspitasari, Abidin dan Sawitri, 2010)
dengan mahasiswa yang memiliki kepercayaan diri rendah dan kurang
mendapatkan dukungan sosial teman sebaya. Ramaiah (2003) menyatakan bahwa
mahasiswa yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan dukungan sosial
teman sebaya yang baik akan mempunyai pandangan yang lebih optimis, sehingga
dalam menghadapi sesuatu yang menyebabkan kecemasan, kekhawatiran dan
33
kegelisahan ketika menyusun skripsi, mahasiswa tersebut dapat mengatasinya
dengan baik. Pendapat ini didukung dengan hasil penelitian Kristanto, Sumarjono,
dan Setyorini, (2014) yang menyatakan semakin tinggi kepercayaan diri
mahasiswa akan diikuti dengan rendahnya kecemasan mahasiswa dalam
menyusun proposal skripsi, sedangkan Conel (1994) menyatakan bahwa
kecemasan akan rendah apabila individu memiliki dukungan sosial.
Kecemasan akan berkurang pada individu yang memiliki kepercayaan diri
dan mendapatkan dukungan sosial. Individu yang berkepercayaan diri tinggi akan
berkurang kecemasannya (Sarason, dalam Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini,
2014). Selain itu Apollo dan Cahyadi (2012), menyebutkan bahwa manfaat
dukungan sosial adalah dapat mengurangi kecemasan, depresi, dan simtom-
simtom gangguan tubuh bagi orang yang mengalami stres dalam pekerjaan. Oleh
karena itu dukungan sosial sangatlah penting dalam hal untuk mereduksi
kecemasan yang dialami oleh individu (Putra dan Susilawati, 2018).
Pada dasarnya kecemasan dalam tingkat rendah dan sedang berpengaruh
positif pada performansi mahasiswa karena dapat meningkatkan motivasi
mahasiswa dalam menyusun skripsi. Sebaliknya, akan memberikan pengaruh
buruk jika kecemasan tersebut dalam taraf tinggi (Elliot dkk., dalam Puspitasari,
Abidin dan Sawitri, 2010). Individu dengan kecemasan tingkat tinggi ketika
menyusun skripsi persepsinya menjadi sangat sempit, cenderung memikirkan hal-
hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal lain. Individu sulit untuk berpikir
realistis dan membutuhkan banyak pengarahan untuk memusatkan perhatian pada
area lain (Elliot dkk., dalam Puspitasari, Abidin dan Sawitri, 2010). Reaksi-reaksi
34
fisiologis di antaranya nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, banyak
berkeringat, rasa sakit kepala dan mengalami ketegangan, sedangkan reaksi
kognitifnya adalah memiliki persepsi yang sangat sempit dan tidak mampu untuk
menyelesaikan masalah (Bakar, dalam Kristanto, Sumarjono, dan Setyorini,
2014). Secara tidak langsung mahasiswa yang mengalami kecemasan akan
menunjukkan sikap pasif, kurang konsentrasi dan penurunan kemampuan memori
karena hilangnya keinginan untuk menyelesaikan skripsinya (Elliot dkk., dalam
Puspitasari, Abidin dan Sawitri, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, mahasiswa yang memiliki kepercayaan diri
yang tinggi dan dukungan sosial teman sebaya yang baik akan mempunyai
pandangan yang lebih optimis, sehingga dalam menghadapi sesuatu yang
menyebabkan kecemasan, kekhawatiran dan kegelisahan ketika menyusun skripsi,
mahasiswa tersebut dapat mengatasinya dengan baik.
G. Hipotesis
Berdasarkan pemaparan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini diantaranya:
1. Terdapat hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan kecemasan pada
mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Semakin tinggi kepercayaan diri
yang dimiliki mahasiswa maka akan semakin rendah kecemasannya, begitu
sebaliknya semakin rendah kepercayaan diri yang dimiliki mahasiswa maka
akan semakin tinggi kecemasannya.
35
2. Terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial teman sebaya dengan
kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Semakin tinggi
dukungan sosial teman sebaya yang diberikan pada mahasiswa maka akan
semakin rendah kecemasannya, begitu sebaliknya semakin rendah dukungan
sosial teman sebaya yang diberikan pada mahasiswa maka akan semakin
tinggi kecemasannya.
3. Terdapat hubungan antara kepercayaan diri dan dukungan sosial teman sebaya
dengan kecemasan pada mahasiswa yang sedang menyusun skripsi.