Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kecemasan
2.1.1 Pengertian Kecemasan
Istilah kecemasan dalam bahasa inggris yaitu Anxiety yang berasal dari Bahasa
latin angustus yang memiliki arti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik (Annisa &
Ifdil, 2016). Sedangkan menurut Nietzal kecemasan berasal dari bahasa latin (anxius)
dan dari bahasa Jerman (anst) yaitu suatu kata yang digunakan untuk meggambarkan
efek negatif dan rangsangan fisiologis (Ghufron & Risnawati, 2010). Kecemasan atau
biasa disebut dengan ansietas adalah sebuah emosi dan pengalaman subjektif dari
seseorang. Cemas juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang membuat
seseorang tidak nyaman (Kusumawati & Hartono, 2010). Kecemasan (anxiety) adalah
kondisi dimana individu merasakan kekhawatiran/ kegelisahan , ketegangan, dan rasa
tidak nyaman yang tidak bisa dikendalikan dan dapat menyebabkan terjadinya sesuatu
yang buruk (Halgin & Whitbourne, 2010). Kecemasan merupakan perasaan tidak
santai yang samar-samar karena ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu
respons (penyebab tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu). Perasaan takut
dan tidak menentu sebagai sinyal yang menyadarkan bahwa peringatan tentang
bahaya akan datang dan memperkuat individu mengambil tindakan menghadapi
ancaman (Yusuf, Fitryasari, & Nihayati, 2015). Kecemasan merupakan reaksi
emosional dan fisiologis akan adanya ancaman ketidaksenangan yang dialami oleh
seseorang (Pratiningsih, 2016). Ansietas yaitu respon emosional seseorang terhadap
penilaian orang lain yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui
secara khusus apa penyebabnya (Dalami et al, 2009). Dari berbagai pengertian yang
9
sudah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan kondisi
dimana individu merasa tidak nyaman dengan suatu kondisi yang menghawatirkan.
2.1.2 Tanda Gejala Kecemasan
Menurut Harini (2013) gejala-gejala yang timbul ketika cemas yaitu : (1). Gejala
fisik (gugup, gemetar, nafas berat atau sulit bernafas, tangan berkeringat dan lembab,
sulit bicara, detak jantung cepat, badan terasa panas dingin mendadak, mual,
kerongkongan atau mulut terasa kering, pusing, leher atau punggung terasa kaku). (2).
Gejala tingka laku (behavioral) (perilaku menghindar, perilaku tergantung, dan
bingung). (3). Gejala kognitif (khawatir terhadap sesuatu, percaya bahwa seuatu yang
berbahaya akan terjadi tanpa sebab yang jelas, merasa terancam oleh peristiwa yang
secara normal sebenarnya tidak mengancam, takut lepas kendali, takut tidak mampu
mengatasi masalah, berpikir bahwa pikiran yang mengganggu selalu muncul berulan-
ulang, berpikir harus lari dari keramaian, kesulitan konsentrasi, atau memfokuskan
pikiran).
Sedangkan menurut Risma (2015) gejala-gejala kecemasan dalam menghadapi
ujian meliputi kognitif, afektif, motorik, dan somatik yaitu : (1). Gejala kognitif
(menghawatirkan segala macam masalah yang mungkin terjadi, sulit berkonsentrasi
atau mengambil keputusan, khawatir, kesulitan tidur atau insomnia, tidak fokus
terhadap masalah yang akan diselesaikan dalam menghadapi ujian, kesulitan dalam
membaca dan memahami pertanyaan ujian, kesulitan berpikir secara sistematis,
kesulitan mengingat kata kunci dan konsep saat menjawab pertanyaan, dan mental
blocking atau tidak bisa berpikir dengan tenang). (2). Gejala efektif (perasaan gelisah,
takut dalam menghadapi ujian, perasaan terganggu/ pikiran buruk, khawatir apabila
soal ujian terlalu sulit untuk dijawab, dan perkiraan antara apa yang dipelajari tidak
keluar dalam ujian). (3). Gejala motorik (gemetar dan tegang pada otot yang dirasakan
10
saat menghadapi ujian, gugup dan kesukaran dalam berbicara). (4). Gejala somatik
(gangguan pernafasan atau gangguan anggota tubuh seperti jantung berdebar,
berkeringat, tekanan darah meningkat, dan gangguan pencernaan, bahkan terjadi
kelelahan dan pingsan).
2.1.3 Penyebab Kecemasan
Menurut Yusuf, et al (2014) penyebab kecemasan terbagi menjadi dua :
2.1.3.1 Faktor predisposisi (pendukung)
a. Faktor Biologis : otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepin.
Reseptor ini membantu mengatur ansietas. Penghambat GABA juga berperan
utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan anxietas sebagaimana
halnya dengan endorfin. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan
selanjunya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi stresor.
b. Faktor Psikologis
- Pandangan psikoanalitik : Ansietas merupakan konflik emosional yang
terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id mewakili
dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan
hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya
seseorang. Ego atau aku berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen
yang bertentangan dan fungsi ansietas dapat meningkatkan ego bahwa ada
bahaya.
- Pandanagan interpersonal : Ansietas timbul dari perasaan takut terhadap
tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas
berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan
kehilangan, yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang yang mengalami
11
harga diri rendah terutama mudah mangalai perkembangan ansietas yang
berat.
- Pandangan Perilaku : Ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala
sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Pakar perilaku menganggap sebagai dorongan belajar
bedasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Individu
yang terbiasa dengan kehidupan dini dihadapkan pada ketakutan berlebihan
lebih sering menunjukkan ansietas dalam kehidupan selanjutnya.
- Sosial Budaya : Ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga.
Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas
dengan depresi. Faktor ekonomi dan latar belakang pendidikan berpengaruh
terhadap terjandinya ansietas.
2.1.3.2 Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dibedakan menjadi dua yaitu Ancaman terhadap integritas
seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya
kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari dan Ancaman terhadap sistem
diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi sosial yang
terintegrasi seseorang.
Sedangkan menurut Harini (2013) penyebab kecemasan terbagi menjadi tiga yaitu
(1). Kekhawatiran (worry) merupakan pikiran negatif tentang dirinya sendiri, seperti
perasaan negatif bahwa dia lebih jelek dibandingkan dengan teman-temanya. (2).
Emosionalitas (imosionality) sebagi reaksi diri terhadap rangsangan saraf otonomi,
seperti jantung berdebar-debar, keringat dingin, dan tegang. (3). Gangguan hambatan
dalam menyelesaikan tugas (task generated interference) merupakan kecenderungan yang
dialami seseorang yang selalu tertekan karena pemikiran yang rasional terhadap tugas.
12
2.1.4 Jenis Kecemasan
Menurut Ghufron & Risnawita (2010) perasaan cemas terbagi menjadi dua
yaitu : State anxiety : State anxiety merupakan reaksi emosi sementara yang timbul
pada situasi tertentu yang dirasakan seseorang sebagai ancaman, misalnya mengikuti
tes, menjalani operasi dll. Keadaan ini didasari oleh perasaan tegang yang subjektif.
Trait anxiety : Trait anxiety merupakan disposisi untuk menjadi cemas dalam
menghadapi berbagi macam situasi (gambaran kepribadian). Ini merupakan ciri atau
sifat yang cukup stabil yang mengarahkan seseorang kesuatu keadaan menetap pada
individu (bersifat bawaan) dan berhubungan dengan kepribadian yang demikian.
Sedangkan menurut Feist & Feist (dalam Annisa & Ifdil, 2016) membedakan
kecemasan menjadi tiga jenis yaitu :
a. Kecemasan Neurosis : rasa cemas akibat bahaya yang tidak diketahui. Perasaan itu
berbeda dengan ego, tetapi muncul dari dorongan id. Kecemasan neurosis
bukanlah ketakutan terhadap insting itu sendiri, namun ketakutan terhadap
hukuman yang mungkin terjadi jika suatu insting dipuaskan.
b. Kecemasan Moral : kecemasan ini berakar dari konflik antara ego dan superego.
Kecemasan ini muncul karena kegagalan bersikap konsiten dengan apa yang
mereka yakini benar secara moral. Kecemasan moral merupakan rasa takut
terhadap suara hati. Kecemasan moral juga memiliki dasar dalam realistis, dimasa
lampau individu tersebut pernah mendapat hukuman karena melanggar norma
moral dan dapat dihukum kembali.
c. Kecemasan Realistik : perasaan yang tidak menyenangkan dan tidak spesifik yang
mencakup kemungkinan bahaya itu sendiri. Kecemasan realistik juga merupakan
rasa takut akan adanya bahaya-bahaya nyata yang berasal dari dunia luar.
13
1.1.5 Tingkat Kecemasan
Menurut Annisa & Ifdil (2016) menjelaskan bahwa tingkat kecemasan
diantaranya sebagai berikut :
1.1.4.1 Kecemasan ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan ini
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lapang
persepsinya. Kecemasan ini juga dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan serta kreativitas. Tanda gejala yang muncul pada tingkat ini
yaitu kelelahan, cepat marah, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi,
mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
1.1.4.2 Kecemasan Sedang
Memungkinkan seseorang untuk berfokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. kecemasan ini mempersempit lapang persepsi
seseorang. Dengan demikian seseorang akan mengalami tidak perhatian yang
selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk
melakukannya. Tanda dan gejala yang muncul pada tingkat ini yaitu kelelahan
meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernafasan meningkat, ketegangan
otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan presepsi
menyempit, mampu untuk belajar tapi tidak optimal, kemampuan konsentrasi
menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak
menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan
menangis.
1.1.4.3 Kecemasan Berat
Sangat mengurangi lapang persepsi seseorang. Dengan demikian seseorang
cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir
14
tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan.
Seseorang tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area
tertentu. Tanda dan gejala yang muncul pada tingkat ini yaitu mengeluh
pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing,
diare, palpitasi, lahan presepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif,
berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan
tinggi, perasaan tidak berdaya, binggung, dan disorientasi.
1.1.4.4 Tingkat panik
Berhubungan dengan terpengaruh, ketakutan, dan teror. Hal yang rinci
terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan kendali, seseorang
yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan
arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan
peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan
dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran
yang rasional.
Sedangkan tingkat ansietas menurut Dalami et al (2009) yaitu sebagai beriku :
Gambar 2.1 Rentang Respon Ansietas (Stuart & Sundeen, 1998)
1) Ansietas ringan : berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa kehidupan
sehari-hari. Pada tingkat ini lapang persepsi melebar dan individu akan berhati-hati
15
dan waspada. Individu terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan
pertumbuhan dan kreatifitas. Respon Fisiologi : sesak nafas pendek, nadi dan
tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar.
Respon Kognitif : lapang persepsi melebar, mampu menerima rangsangan yang
kompleks, konsentrasi pada masalah, dan menjelaskan masalah secara efektif.
Respon Perilaku dan Emosi : tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan,
dan suara kadang-kadang meninggi.
2) Ansietas sedang : pada tingkat ini lapang persepsi terhadap lingkungan menurun.
individu lebih memfokuskan hal-hal penting saat itu dan mengenyampingkan hal
lain. Respon Fisiologi : sesak nafas pendek, nadi (ekstra systole), tekanan darah
naik, mulut kering, anorexia, diare/konstipasi dan gelisah. Respon Kognitif :
lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu diterima, dan berfokus
pada apa yang menjadi perhatian. Respon Perilaku dan Emosi : gerakan tersentak-
sentak (meremas tangan), bicara banyak, lebih cepat, susah tidur, dan perasan
tidak aman.
3) Ansietas berat : pada ansietas berat lapang persepsi menjadi sangat sempit,
individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mangabaikan hal lain.
Individu tidak mampu lagi berpikir realistis dan membutuhkan banyak pengarahan
untuk memusatkan perhatian pada area lain. Respon Fisiologi : napas pendek, nadi
naik, tekanan darah naik, berkeringat, sakit kepala, penglihatan kabur, dan
ketegangan. Respon Kognitif : lapang persepsi sangat sempit dan tidak mampu
menyelesaikan masalah. Respon Perilaku dan Emosi : perasaan ancaman
meningkat, verbalisasi cepat, dan blocking.
4) Panik : pada tingkatan ini lapang persepsi individu sudah sangat menyempit dan
sudah terganggu sehingga tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat
16
melakukan apa-apa walaupun telah diberikan penghargaan. Respon Fisiologi :
napas pendek, rasa tercekik, palpasi, sakit dada, pucat, hipotensi, dan koordinasi
motorik rendah. Respon Kognitif : lapang persepsi sangat sempit dan tidak dapat
berpikir logis. Respon Perilaku dan Emosi angitasi, mengamuk, marah, ketakutan,
berteriak-teriak, blocking, kehilangan kendali atau kontrol diri, dan persepsi kacau.
1.1.6 Mekanisme Koping
Ketika seseorang mengalami kecemasan, orang tersebut menggunakan
bermacam-macam mekanisme koping untuk mencoba mengatasinya. Dalam bentuk
kecemasan ringan dapat diatasi dengan menangis, tertawa, tidur, dan olahraga. Bila
terjadi kecemasan berat sampai panik akan terjadi ketidak mampuan mengatasi
kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab utama perilaku yang patologis,
seseorang akan menggunakan energi yang lebih besar untuk dapat mengatasi
ancaman tersebut.
Mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan :
1) Reaksi yang berorientasi pada tugas (taks oriented reaction) merupakan pemecahan
masalah secara sadar yang digunakan untuk menangulangi ancaman stressor yang
ada secara ralistis terbagi menjadi tiga yaitu (a). Perilaku menyerang (Agresif) :
Biasanya digunakan seseorang untuk mengatasi rintangan agar memenuhi
kebutuhan. (b). Perilaku menarik diri : Digunakan untuk menghilangkan sumber
ancaman baik secara fisik maupun psikologis. (c). Perilaku kompromi : Digunakan
untuk merubah tujuan-tujuan yang akan dilakukan atau mengorbankan kebutuhan
personal untuk mencapai tujuan.
2) Mekanisme pertahanan ego (Ego oriented reaction) mekanisme ini membantu
mengatasi kecemasan ringan dan sedang yang digunakan untuk melindungi diri
dan dilakukan secara sadar untuk mempertahankan keseimbangan. Mekanisme
17
pertahanan ego terbagi menjadi beberapa bagian yaitu : (a). Disosiasi adalah
pemisahan dari proses mental atau perilaku dari kesadaran atau identitasnya. (b).
Indentifikasi (identification) merupakan proses dimana seseorang menjadi yang ia
kagumi berupaya meniru pikiran, perilaku, dan selera orang tersebut. (c).
Intelektualisasi (intellectualization) adalah penggunaan logika dan alasan yang
berlebihan untuk menghindari pengalaman yang menggunakan perasaannya. (d).
Introjeksin (introjection) merupakan suatu jenis identifikasi yang dimana seseorang
mengambil dan melebur nilai-nilai dan kualitas seseorang atau suatu kelompok
kedalam struktur egonya sendiri berupa hati nurani. (e). Kompensasi adalah proses
dimana seseorang memperbaiki harga dirinya yang telah jatuh dengan secara tegas
menonjolkan keistimewaan/ kelebihan yang dimilikinya. (f). Penyangkalan (denial)
merupakan menyatakan ketidaksetujuan terhadap kenyataan yang ada dengan
mengingkari kenyataan tersebut. (g). Pemindahan (Displacement) adalah
pengalihan emosi yang semula ditujukan pada seseorang atau benda pada orang
lain atau benda lain yang biasanya netral atau kurang mengancam dirinya. (h).
Isolasi merupakan pemisahan unsur emosional dari suatu pikiran yang
mengganggu dapat bersifat sementara atau berjangka lama. (i). Proyeksi adalah
pengalihan buah pikiran atau implus pada diri sendiri untuk orang lain terutama
keinginan, perasaan emosional dan motivasi yang tidak dapat ditoleransi.
(j). Rasionalisasi adalah mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat
diterima oleh seseorang untuk membenarkan perasaan perilaku dan motif yang
tidak dapat diterima. (k). Reaksi formasi merupakan pengembangan sikap dan pola
perilaku yang ia sadari yang bertentangan dengan apa yang sebenarnya ia rasakan
atau ingin dilakukan. (l). Regresi adalah kemunduran akibat sterss terhadap
perilaku dan ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini. (m). Represi
18
merupakan penyampingan secara tidak sadar tentang pikiran, ingatan yang
menyakitkan atau bertentangan, dari kesadaran seseorang, merupakan pertahanan
ego yang cenderung diperkuat oleh mekanisme lain. (n). Pemisahan (splitting)
adalah sikap mengelompokkan orang dianggap semuanya baik atau semuanya
buruk, kegagalan untuk memajukan nilai-nilai positif dan negatif didalam diri
seseorang. (o). Sublimasi penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya
dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan normal. (p).
Supresi suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi
sebetulnya merupakan analog represi yang disadari, pengesampingan yang
disengaja tentang suatu bahan dari kesadaran seseorang, kadang-kadang dapat
mengarah pada represi yang berikutnya. (q). Undoing tindakan/ perilaku atau
komunikasi yang menghapuskan sebagaian dari tindakan atau komunikasi
sebelumnya, merupakan mekanisme pertahanan primitif (Dalami et al, 2009).
Sedangkan menurut Yusuf, Fitryasari & Nihayati (2015) tingkat ansietas
sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping yaitu reaksi yang
berorientasi pada tugas merupakan upaya yang disadari dan berorientasi pada
tindakan untuk memenuhi secara realistik tuntutan situasi stres, misalnya perilaku
menyerang untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan.
Menarik diri untuk memindahkan dari sumber stres. Kompromi untuk mengganti
tujuan atau mengorbankan kebutuhan personal. Sedangkan pertahana ego membantu
mengatasi kecemasan ringan dan sedang, tetapi berlangsung tidak sadar, melibatkan
penipuan diri, distorsi realitas, dan bersifat maladaptif.
19
1.1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
1.1.7.1 Usia
Usia menunjukan ukuran waktu pertumbuhan dan perkembangan sesorang.
Usia berkorelasi dengan pengalaman, pengalaman berkorelasi dengan
pengetahuan, pemahaman dan pandangan terdapat suatu penyakit atau
kejadian sehingga akan membentuk persepsi dan sikap. Kematangan dalam
proses berpikir pada individu yang berusia dewasa lebih memungkinkan
untuk menggunakan mekanisme koping yang baik dibandingkan kelompok
usia anak-anak (Hety, 2015). Selain itu seseorang dengan usia remaja atau
masih muda lebih cenderung mengalami kecemasan dibandingkan dengan
tingkat usia yang semakin deawasa dan lebih tua, semakin menigkatnya usia
seseorang maka frekuansi kecemasan seseorang makin berkurang (Savitri,
Fidayantin, & Subiyanto, 2016).
1.1.7.2 Pendidikan
Orang yang berpendidikan tinggi lebih mampu menggunakan pemahaman
mereka, secara adaptif dibandingkan kelompok respon yang berpendidikan
rendah. Kondisi ini menunjukan respon cemas berat cenderung dapat kita
tentukan pada responden yang berpendidikan rendah karena rendahnya
pemahaman mereka sehingga membentuk persepsi yang menakutkan (Hety,
2015).
1.1.7.3 Jenis Kelamin
Tingkat kecemasan pada perempuan lebih tinggi dari pada tingkat kecemasan
pada laki-laki. Perempuan lebih cenderung emosional, mudah meluapkan
perasaanya, sementara laki-laki bersifat objektif dan dapat berpikir rasional
sehingga mampu berpikir dan dapat mengendalikan emosi. Kecemasan lebih
20
sering dialami oleh perempuan daripada laki-laki, karena perempuan sering
kali menggunakan perasaan untuk menyikapi dan menghadapi sesuatu dalam
hidupnya sedangkan laki-laki selalu menggunakan pikiran dalam menghadapi
situasi yang akan mengancam dirinya (Savitri, Fidayantin, & Subiyanto, 2016).
1.1.7.4 Pengalaman Negatif Pada Masa Lalu
Pengalaman ini merupakan hal yang tidak menyenangkan pada masa lalu
mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila
individu tersebut menghadapi situasi atau kejadian yang sama dan juga tidak
menyenangkan, misalnya pernah gagal dalam tes. Hal tersebut merupakan
pengalaman umun yang menimbulkan kecemasan siswa dalam menghadapi
tes (Ghufron & Risnawita, 2010).
1.1.7.5 Pikiran Yang Tidak Rasional
Para psikolog memperdebatkan bahwa kecemasan terjadi bukan karena suatu
kejadian, melainkan kepercayaan atau keyakinan tentang kejadian itulah yang
menjadi penyebab kecemasan. Adler dan Rodman memberi daftar
kepercayaan atau keyakinan kecemasan sebagai contoh dari pikiran rasional
yang disebut buah pikiran yang keliru yaitu Kegagalan Katastropik : adanya
asumsi dari diri individu bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya.
Individu mengalami kecemasan dan perasaan ketidakmampuan serta tidak
sanggup mengatasi permasalahannya. Kesempurnaan : setiap individu
menginginkan kesempurnaan. Individu mengharapkan dirinya berperilaku
sempurna dan tidak ada yang cacat. Ukuran kesempurnaan dijadikan target
dan sumbe inspirasi bagi individu tersebut. Persetujuan : persetujuan adanya
keyakinan yang salah didasarkan pada ide bahwa terdapat hal virtual yang
tidak hanya diinginkan, tetapi juga untuk mencapai persetujuan dari sesama
21
teman atau siswa. Generalisasi Yang Tidak Tepat : keadaan ini juga memberi
istilah generalisasi yang berlebihan. Hal ini terjadi pada orang yang
mempunyai sedikit pengalaman (Ghufron & Risnawita, 2010).
1.1.8 Penatalaksanaan kecemasan
Menurut Harini (2013) berbagai macam situasi dan kondisi yang akan menekan
seseorang dalam menjalankan rutinitas dan kegiatannya, juga dapat mengakibatkan
munculnya situasi yang mencemaskan. Kecemasan dapat diatasi dengan pendekatan
Farmakologis dan Nonfarmakologis diantaranya :
1) Farmakologis
Pendekatan farmakologis hanya diberikan pada kecemasan tingkat berat dan
panik, yaitu pemberian dengan alprazolam, benzodiazepin, buspiron, dan berbagai
antidepresan lainnya. Farmakologi untuk kecemasan tidak dianjurkan untuk jangka
panjang karena dapat menyebabkan toleransi dan ketergantungan panda individu
tersebut (Sepriani, 2014).
2) Non-farmakologis
a. Relaksasi
Relaksasi adalah salah satu teknik dalam terapi perlakuan untuk mengurangi
ketegangan dan kecemasan. Relaksasi merupakan suatu terapi agar individu
menjadi lebih rileks dengan menegangkan otot-otot tertentu dan kemudian
relaksasi (Potter & Perry, 2010). Teknik ini juga dapat dilakukan oleh pasien
tanpa bantuan terapis dan dapat digunakan untuk mengurangi ketegangan dan
kecemasan yang dialami sehari-hari dirumah. Relaksasi akan meningkatkan
sekresi hormon endorfin dari dalam tubuh sehingga individu menjadi nyaman
dan tidak akan berfokus pada kecemasan yang dialami. Terapi musik klasik
22
termasuk salah satu contoh musik yang memiliki fungsi untuk mengurangi
ketegangan dan kecemasan (relaksasi).
b. Distraksi
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan dengan cara
mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga individu akan lupa terhadap
kecemasannya bahkan dapat menigkatkan toleransinya terhadap cemas yang
dialami. Stimulus sensori yang menyenangkan menyebabkan pelepasan
hormon endorfin yang bisa menghambat stimulus cemas yang mengakibatkan
lebih sedikit stimuli cemas yang ditrasmisikan ke otak (Potter &Perry, 2010).
c. Pengendalian Pernafasan
Pengendalian pernafasan merupakan suatu teknik untuk mengendalikan nafas
yang sifatnya cepat dan memfokuskan diri pada pernafasan. Orang yang
sedang mengalami kecemasan cenderung bernafas dengan cepat dan dangkal
karena adanya perasaan panik dan khawatir, padahal hal ini dapat
meningkatkan rasa cemas. Pernafasan yang lebih lambat dan dalam selalu
memiliki efek menenangkan, hal ini merupakan salah satu cara yang paling
cepat untuk menghentikan serangan panik.
d. Cognitif Behavior Therapy
Cognitif behavior therapy merupakan suatu pendekatan belajar terhadap
terapi yang menggabungkan teknik kognitif dan behavioral. Terapi ini
berupaya untuk mengintegrasikan teknik-teknik terapeutik yang berfokus
untuk membantu individu melakukan perubahan, tidak hanya pada perilaku
yang nyata, tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan, dan sikap yang
mendasarinya.
23
2.2 Konsep Terapi Musik
2.2.1 Pengertian Terapi Musik
Musik merupakan kesatuan dari kumpulan suara melodi, ritme dan harmoni
yang dapat membangkitkan emosi. Musik bisa membuat mood seseorang menjadi
bahagia bahkan menguras air mata. Selain itu musik juga bisa mengajak seseorang
untuk bernyanyi, menari, bisa membuat suasana hati menjadi menyenangkan, dan
menghibur. Menurut H.A Lingerman dalam bukunya yang berjudul “The of Musik”
musik berfungsi untuk meningkatkan vitalitas fisik, menghilangkan kelelahan,
meredahkan kecemasan dan ketegangan, menigkatkan konsentrasi, memperdalam
hubungan dan memperkaya persahabatan, merangsang kreativitas dan kepekaan, dan
memperkuat karakter dan perilaku positif (Ferawati & Amiyakun, 2015). Musik
merupakan suara yang disusun sedemikian rupa yang didalamnya mengandung irama,
lagu, dan keharmonisan terutama suara yang dihasilkan dari alat-alat yang dapat
mengahilkan bunyi. Selain itu musik merupakan seni budaya hasil cipta, rasa dan
karya manusia yang ditata berdasarkan bunyi yang indah, berirama dan dituangkan
kedalam bentuk lagu (Suryana, 2012). Selain itu musik menurut Djohan 2009 (dalam
Geraldina, 2017) menjelaskan musik sebagai produk pikiran, maka dari itu elemen
vibrasi (fisika dan kosmos) dalam bentuk frekuensi, amplitudo, dan durasi belum
menjadi musik bagi manusia sampai semua itu ditransformasi secara neurologis dan
diintepretasikan melalui otak menjadi picth (nada-harmoni), timbre (warna suara),
dinamika (keras-lembut), dan tempo (cepat-lambat).
Pada zaman dahulu, digunakan sebagai katalis untuk menstimulasi emosi dan
mengantarkan individu pada kondisi istirahat dan relaksasi sampai kemudian orang-
orang Yunani pada abad kelima sebelum masehi menggunakan jenis musik tertentu
untuk mengatasi orang-orang yang memiliki masalah (Grocke & Wigram, 2007 dalam
24
Geraldina, 2017). Terapi musik merupakan suatu intervensi yang dapat memulihkan,
menjaga dan meperbaiki kesehatan emosi, fisik, psikologis dan spiritual (Ferawati &
Amiyakun, 2015). Terapi musik merupakan keahlian dalam menggunakan musik atau
elemen musik oleh seorang terapis untuk meningkatkan, mempertahankan dan
mengembalikan kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual. Dalam ilmu
kedokteran, terapi musik disebut terapi pelengkap (Complementary medicine), Potter juga
mendefinisikan terapi musik sebagai teknik yang digunakan untuk menyembuhkan
suatu penyakit dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu. Terapi musik
bertujuan untuk membuat hati dan perasan seseorang menjadi senang dan terhibur,
membantu mengurangi beban penderitaan seseorang dan sebagai tempat penyaluran
bakat seseorang (Suryana, 2012). Terapi musik membantu orang-orang yang memiliki
masalah emosional dalam mengeluarkan perasaan mereka, membuat perubahan
positif dengan suasana hati, membantu memecahkan masalah, dan memperbaiki
kognitif (Djohan, 2006 dalam Permatasari, Misrawati, & Hasanah, 2015).
2.2.2 Manfaat Terapi Musik
Terapi musik memiliki kekuatan yang luar biasa yang berdampak bagi kejiwaan.
Musik dapat membantu seseorang menjadi lebih rileks, mengurangi stres,
menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa sedih, menjadi gembira, dan
membantu serta melepaskan rasa sakit. Musik yang didengarkan secara intensif dapat
memberikan kekuatan penuh, dalam arti untuk merefleksikan emosi diri, penerangan
jiwa dan ekspresi. Musik juga dapat memperlambat dan mempercepat gelombang
listrik yang teradapat di otak sehingga dapa merubah sistem kerja didalam tubuh
(Moekroni & Analia, 2016).
Manfaat musik menurut Suryana (2012) tebagi menjadi enam yaitu (1). Efek
mozart : salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan sebuah musik yang dapat
25
meningkatkan intelegensia seseorang. (2). Refresing : pada saat pikiran seseorang
sedang kacau atau jenuh, dengan mendengarkan musik walupun Cuma sejenak dapat
menenangkan dan menyegarkan pikiran kembali. (3). Motivasi : hal yang hanya bisa
muncul melalui “felling”. Apabila ada motivasi, semangatpun akan memunculkan
segala kegiatan yang bisa dilakukan. (4). Perkembangan kepribadian : kepribadian
seseorang diketahui mempengaruhi dan dipengaruhi oleh jenis musik yang
didengarnya selama masa perkembangan. (5). Terapi : berbagai penelitian dan
literatur menerangkan tentang manfaat musik untuk kesehatan, baik untuk kesehatn
fisik maupun mental. (6). Komunikasi : musik mampu menyampaikan berbagai pesan
keseluruh bangsa. Pada kesehatan mental, terapi musik diketahui dapat memberi
kekuatan komunikasi dan keterampilan fisik pada penggunanya.
2.2.3 Jenis Terapi Musik
Pada tahun 1998 Don Campbell seorang musisi sekaligus pendidik bersama
Dr. Alfred Tomatis yang psikolog mengadakan penelitian untuk melihat efek positif
dari beberapa jenis musik. Musik mempunyai keseimbangan diantaranya ada empat
unsur musik yakni melodi, harmoni, irama (rhythm) dan warna suara (timbre)
(Ferawati & Amiyakun, 2015). Pada dasarnya semua jenis musik yang berirama
lembut serta mampu menenangkan suasana juga dapat digunakan dalam
menurunkan tingkat kecemasan. Namun dianjurkan untuk memilih musik dengan
tempo sekitar 60 ketukan/menit, sehingga didapatkan keadaan istirahat yang
optimal (Moekroni & Analia, 2016).
Jenis jenis musik menutur Suryana (2012) yang digunakan dalam terapi musik
dibagi menjadu dua yaitu (a). Musik klasik : Musik klasik sering menjadi acuan
karena berirama tenang dan mengalun lebut. Musik klasik diyakini oleh para ahli
bahwa irama dan tempo musik klasik mengikuti kecepatan denyut jantung manusia
26
yaitu sekitar 60 detak/menit sehingga dapat berperan besar dalam perkembangan
otak, pembentukan jiwa dan raga manusia (Moekroni & Analia, 2016). Selain itu
musik klasik yang banyak disarankan oleh peneliti yaitu musik mozart karena musik
mozart telah membuktikan hasil yang menakjubkan bagi perkembangan ilmu
kesehatan. Musik klasik mozart memiliki keunggulan akan kemurnian dan
kesederhanaan bunyi-bunyi yang dimunculkannya. Irama, melodi, dan frekuensi-
frekuensi tinggi pada musik klasik mozart merangsang dan memberi daya pada area-
area kreatif dan motivasi dalam otak serta sesuai dengan pola sel otak manusia.
Terapi musik klasik mozart dapat memberikan perasaan rileks dan tenang bagi
pendengarnya (Permatasari, Misrawati & Hasanah, 2015). (b). Instrumental : Musik
Instrumental merupakan musik yang melantun tanpa vokal, dan hanya instrumen
atau alat musik dan backing vocal saja yang mengalun. Manfaat musik instrumental
yaitu dapat membuat pikiran, badan dan mental seseorang menjadi sehat (Faridah,
2016).
2.2.4 Mekanisme Terapi Musik
Terapi musik dapat meningkatkan mekanisme koping emosi dan status afektif
positif, mendapatkan kepuasan psikologis, meningkatkan kondisi saat melakukan
operasi, dan menurunkan tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, frekuensi detak
jantung, penurunan hormon. Musik dapat menurunkan stimulus sistem saraf
simpatik. Saat musik diperdengarkan, musik yang berupa gelombang akan diterima
oleh daun telinga dan kemudian disalurkan ke kanal pendengaran eksternal yang
kemudian getaran gelombang suara tersebut diterima oleh membran timpani. Dari
membran timpani, getaran gelombang musik di lanjutkan ke tulang telinga maleus,
incus dan stapes dan akan diproses ke rumah siput atau koklea akan menerima
melalui saraf pendengaran, yang kemudian akan diterima oleh otak (lobus temporal)
27
sebagai sensasi suara. Suara yang dihasilkan oleh musik akan menstimulasi
pengeluaran endorfin yang berguna untuk proses kerja sistem limbik di amigdala
dalam mengendalikan sistem emosi dan perasaan. Jika regulasi emosi di amigdala
terorganisir, maka itu dapat mengontrol emosi dan tidak akan merasakan ansietas.
Mendengarkan musik dengan slow rythme akan mereduksi pelepasan catecholamines ke
dalam pembuluh darah, jadi kadar konsetrasi dai catecholamines akan rendah dan itu
juga dapat mengaktifasi saraf simpatik dan karena adanya pelepasan hormon stres
yang akan menjadikan tubuh menjadi rileks (Weeks & Nilsson, 2011 dalam
Handayani et al, 2018). Dari amigdala akan diteruskan ke hipotalamus. Hipotalamus
sendiri merupakan area pengaturan sebagian fungsi vegetative dan fungsi endokrin
tubuh seperti halnya banyak aspek perilaku emosional, jaras pendengaran diteruskan
ke formatio reticularis sebagai penyalur impuls menuju saraf otonom. Saraf tersebut
memiliki 2 jenis saraf yaitu simpatik dan parasimpatik. Kedua saraf ini dapat
mempengaruhi kontraksi dan relaksasi organ-organ. Relaksasi dapat merangsang
pusat rasa ketenangan (Rahmayati & Handayani, 2017).
2.2.5 Pelaksanaan Terapi Musik
Menurut (Pandoe, 2006 dalam Suryana, 2012) menjelaskan pelaksanaan terapi
musik tidak selalu membutuhkan terapis, walau mungkin membutuhka bantuanya
saat mengawali terapi musik. Berikut beberapa dasar terapi musik yang dapat
dilakukan :
a. Untuk memulai melakukan terapi musik, khususnya untuk relaksasi, peneliti
dapat memilih sebuh tempat yang tenang, yang bebas dari gangguan.
b. Untuk mempermudah, penliti dapat mendengarkan berbagai jenis musik pada
awalnya. Ini berguna untuk mengetahui respon dari tubuh responden. Lalu
28
anjurkan responden untuk duduk dengan posisi rileks, ambil nafas dalam-
dalam, tarik nafas dan keluarkan perlahan-lahan melalui hidung.
c. Saat musik dimainkan, dengarkan dengan seksama instrumennya, seolah-olah
pemainnya sedang ada di ruangan memainkan musi khusus untuk responden.
Peneliti bisa memilih tempat duduk lurus didepan speaker, atau bisa juga
menggunakan headphone. Tapi yang terpenting biarkan suara musik mengalir
keseluruh tubuh responden, bukan hanya bergaung dikepala.
d. Bayangkan gelombang suara itu datang dari speaker dan mengalir keseluruh
tubuh responden. Bukan hanya dirasakan secara fisik tapi juga fokuskan
dalam jiwa. Fokuskan ditempat mana yang ingin peneliti sembuhkan, dan
suara itu mengalir kesana. Dengarkan, sembari responden membayangkan
alunan musik itu mengalir melewati seluruh tubuh dan melengkapi kembali
sel-sel, melepisi tipis tubuh dan organ dalam reponden.
e. Saat peneliti melakukan terapi musik, responden akan membangun metode
ini untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya. Jika peneliti telah mengetahui
bagaimana tubuh merespon alunan musik, warna musik, dan gaya musik yang
didengarkan.
f. Idealnya, peneliti dapat melakukan terapi musik selama kurang lebih 30
menit hingga 1 jam tiap hari, namun dari beberapa jurnal mejelaskan bahwa
waktu 15 menit saja sudah cukup membantu pikiran responden menjadi lebih
rileks.
29
2.3 Objektive Structured Clinical Examination (OSCE)
2.3.1 Pengertian OSCE
OSCE pertama kali diperkenalkan oleh Harden pada taun 1975, dan
dijelaskan kemudian mejadi format penilaian dibagian Pediatri oleh Waterson dan
koleganya. Sejak itu OSCE telah meningkat digunakan untuk ujian formatif dan
sumatif diberbagai disiplin ilmu. Fakultas Kedokteran dan Kesehatan baik untuk
tingkat sarjana maupun pasca sarjana diseluruh dunia telah banyak menggunakan
OSCE untuk ujian formatif dan sumatif. Di United of Kingdom, Amerika Serikat,
Canada dan fakultas-fakultas kedokteran terkemuka didunia telah menggunakan
OSCE sebagai standar untuk uji kompetensi. Sebagai alat uji keterampilan klinik bagi
mahasiswa kesehatan, metode OSCE dapat dinyatakan terbukti valid dan reliabel.
OSCE dapat menilai kompetensi klinik para mahasiswa secara komprehensif dan
terstandar. Penelitian telah menunjukkan bahwa OSCE membantu mahasiswa
mengembangkan keterampilan prosedural, komunikasi, dan pemeriksaan fisik
(Triyana, Retno & Suryadi, 2014).
Objective Structured Clinical Examination (OSCE) merupakan salah satu
penilaian kompetensi klinis secara terencana dan terstruktur sehingga didapat
objektivitas dalam penilaian (Kurniasih, 2014). OSCE merupakan ujian dengan
penilaian berdasarkan keterampilan (performa) yang diobservasi saat melakukan
berbagai keterampilan klinik, selain itu OSCE juga merupakan metode yang sesuai
dalam evaluasi keterampilan klinis karena dapat menigkatkan keterampilan klinik
mahasiswa. OSCE biasanya terdiri dari sirkuit pendek (5-10 menit meskipun bebrapa
menggunakan 15 menit) perstase, yakni masing-masing peserta diuji secara individual
dengan satu atau dua penguji ahli dengan menggunakan pasien nyata atau pasien
simulasi. Setiap stase memiliki penguji yang berbeda dimana peserta ditugaskakn
30
untuk melakukan pemeriksaan klinis yang diminta. Penilai disetiap stase mengamati
peserta dan menilai kinerja mereka sesuai dengan check list keterampilan. Setelah
periode waktu yang ditentukan habis, timer akan berbunyi menandakan setaip peserta
harus pindah distase berikutnya (Risma, 2015).
OSCE merupakan metode penilaian yang paling mencemaskan bagi
mahasiswa dibandingkan dengan tes tertulis ataupun tes persiapan preklinik. Tingkat
kecemasan OSCE berhubungan dengan tingkat persiapan dan harapan akan
keberhasilan dalam OSCE, tetapi tidak berkaitan dengan skor tes yang diperoleh.
Sebagai suatu metode penilaian OSCE harus memenuhi kriteria penilaian yang baik,
kriteria tersebut yaitu validity atau coherence, reproducibility atau consistency, equivalence,
feasibility, educational effect, catalytic effect dan ecceptability (Kurniasih, 2014).
2.3.2 Tujuan dan Manfaat OSCE
Tujuan OSCE untuk mengevaluasi keterampilan dan sikap pada tingkat yang
lebih tinggi untuk pembelajaran terintegrasi. OSCE juga dapat mendorong mahasiswa
untuk belajar lebih baik pada kelemahan yang dirasakan, karena saat pelaksanaan
OSCE peserta ujian mendapatkan feedback setelah kegiatan dilakukan (Triyana et al,
2014).
Manfaat utama OSCE yaitu dapat digunakan untuk memeriksa berbagai
keterampilan kinis yang dimana semua mahasiswa akan melakukan tugas yang sama
dan dinilai dengan kriteria yang sudah baku oleh penguji (Blundell & Harrison, 2015).
Selain itu keuntungan dari OSCE dapat memberikan kesempatan bagi mahasiswa
untuk menunjukkan kemampuan dalam melakukan keterampilan klinnis yang
spesifik. Format OSCE juga sangat baik untuk mengevaluasi berbagai macam
kompetensi, khususnya yang berkaitan dengan diagnosis dan pengobatan (Kurniasih,
2014).
31
2.4 Pengaruh Terapi Musik Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan
Mahasiswa Yang Melakukan OSCE
Kecemasan merupakan emosi normal terhadap sesuatu yang dianggap sebagai
bahaya atau ancama, tetapi dapat menjadi masalah kesehatan mental jika individu
berlebihan dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Kecemasan menghadapi OSCE
merupakan keadaan dimana adanya ketakutan gagal dalam menghadapi OSCE,
suasana OSCE yang hening menegangkan, dosen penguji yang menunggui, dan
ketakutan akan ketidakmampuan atau salah memahami soal (Pratiningsih, 2016).
Ketika simptom kecemasan yang muncul tidak dapat diatasi dan menjadi semakin
berat, maka kecemasan akan rentan berkembang menjadi suatu gangguan kecemasan.
Oleh karena itu mahasiswa perlu menangani kecemasan yang dialaminya. Pendekatan
non-farmakologi yang dapat dilakukan untuk menurunkan kecemasan adalah terapi
musik klasik mozart. Terapi musik klasik mozart adalah mendengarkan musik yang
bertujuan untuk memberikan rasa rileks dan tenang bagi pendengarnya. Terapi ini
dilakukan selama 2-3 hari berturut-turut dengan durasi 15 menit (Sufyanti et al, 2017).
Pemberian terapi musik dinilai efisien untuk menurunkan kecemasan dikarenakan
saat seseorang mendengarkan musik klien menjadi lebih rileks dan tenang.
Terapi musik yang berupa suara diterima oleh saraf pendengaran, diubah
menjadi vibrasi yang kemudian disalurkan ke otak melalui sistem limbik. Dalam
sistem limbik (Amigala dan Hipotalamus) memberikan stimulus kesistem saraf
atonom yang berkaitan erat dengan sistem endorkin yang dapat menurunkan
hormon-hormon yang berhubungan dengan stress dan kecemasan, kemudian
stimulus mengaktifkan hormon endorphin untuk membantu meningkatkan rasa rileks
dalam tubuh seseorang. Sistem saraf otonom terbagi menjadi dua yaitu sistem saraf
simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Kedua saraf ini memiliki fungsi yang berbeda
32
dan bertentangan. Sistem saraf simpatik akan lebih aktif dalam menghadapi situasi
yang dapat mengancam diri. Sedangkan sistem parasimpatik akan bekerja lebih aktif
dalam keadaan yang normal. Seseorang dalam keadaan cemas maka sistem saraf
simpatik akan meningkatkan kerja detak jantung, tekanan darah, dan pernafasan.
Sebaliknya ketika seseorang dalam keadaan santai, berbaring maka nafas akan
menjadi pelan teratur maka sistem parasimpatik yang bekerja lebih aktif. Dalam terapi
ini musik sebagai fasilitator untuk membuat keadaan seseorang menjadi rileks dan
nyaman sehingga kerja sistem saraf parasimpatik akan bekerja lebih dominan (Savitri,
Fidayanti & Subiyanto, 2016).