35
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanaman Persebaran umbi Bawang Dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr meliputi kawasan Asia tropis Indonesia (Pulau Jawa dan Kalimantan) dan Filipina (Leyte, Luzon, Mindanao dan Negros), Afrika tropis, serta Amerika tropis. Bawang dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) sendiri berasal dari Amerika tropis, yang kemudian dibudidayakan dan dilestarikan di Afrika tropis dan cakupan zona floristik Malesia yaitu Indonesia (Jawa dan Kalimantan) serta Filipina (Leyte, Luzon, Negros dan Mindanao) (Nooteboom, 2017). Tanaman umbi Bawang Dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr tumbuh dengan baik pada daerah tropis dengan ketinggian sekitar 600-1500 mdpl. Tumbuhan ini biasanya ditemukan di pinggir jalan yang berumput, di kebun teh, kina dan kebun karet. Beragam nama daerah dari tanaman Eleutherine palmifolia (L.) Merr seperti, bawang kapal (Melayu), bawang sabrang (Sunda, Jawa), bawang dayak (Kalimantan), dan bawang hantu (Tanah Karo). Masyarakat tanah Karo biasa menggunakan tanaman ini sebagai obat asma dan obat luka. Tetapi masyarakat tersebut masih menganggap tanaman tersebut sebagai gulma (Firdaus, 2014). 2.1.1 Klasifikasi Tanaman Menurut Amanda (2014), berikut ini klasifikasi dari tanaman umbi Bawang Dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Liliopsida Ordo : Liliales Famili : Iridaceae Genus : Eleutherine Spesies : Eleutherine palmifolia (L.) Merr

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tanaman

Persebaran umbi Bawang Dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr meliputi

kawasan Asia tropis Indonesia (Pulau Jawa dan Kalimantan) dan Filipina (Leyte,

Luzon, Mindanao dan Negros), Afrika tropis, serta Amerika tropis. Bawang dayak

(Eleutherine palmifolia (L.) Merr) sendiri berasal dari Amerika tropis, yang

kemudian dibudidayakan dan dilestarikan di Afrika tropis dan cakupan zona

floristik Malesia yaitu Indonesia (Jawa dan Kalimantan) serta Filipina (Leyte,

Luzon, Negros dan Mindanao) (Nooteboom, 2017).

Tanaman umbi Bawang Dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr tumbuh

dengan baik pada daerah tropis dengan ketinggian sekitar 600-1500 mdpl.

Tumbuhan ini biasanya ditemukan di pinggir jalan yang berumput, di kebun teh,

kina dan kebun karet. Beragam nama daerah dari tanaman Eleutherine palmifolia

(L.) Merr seperti, bawang kapal (Melayu), bawang sabrang (Sunda, Jawa), bawang

dayak (Kalimantan), dan bawang hantu (Tanah Karo). Masyarakat tanah Karo biasa

menggunakan tanaman ini sebagai obat asma dan obat luka. Tetapi masyarakat

tersebut masih menganggap tanaman tersebut sebagai gulma (Firdaus, 2014).

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Menurut Amanda (2014), berikut ini klasifikasi dari tanaman umbi Bawang

Dayak Eleutherine palmifolia (L.) Merr :

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Liliopsida

Ordo : Liliales

Famili : Iridaceae

Genus : Eleutherine

Spesies : Eleutherine palmifolia (L.) Merr

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

8

Gambar 2.1 Tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)

(Saptowalyono, 2007).

2.1.2 Nama Lain Bawang Dayak

Bawang dayak secara umum dikenal di Indonesia dengan nama bawang

kapal dan bawang merah hutan. Tumbuhan bawang dayak juga memiliki beberapa

nama daerah yaitu bawang dayak (Palangkaraya, Samarinda); teki sabrang (Jawa);

bawang sabrang, babawangan beureum, bawang hantu/kambe (Dayak); bawang

siyem (Sunda); bawang lubak (Punan Lisum), luluwan sapi, bawang sayup

(Melayu), bawang berlian dan brambang sabrang (Saptowalyono, 2007).

2.1.3 Manfaat Bawang Dayak

Secara empiris tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.)

Merr) dapat menyembuhkan penyakit kanker usus, kanker payudara, diabetes

melitus, hipertensi, menurunkan kolesterol, obat bisul, stroke, sakit perut sesudah

melahirkan. Kenyataan yang ada di masyarakat lokal merupakan bukti bahwa

tanaman ini merupakan tanaman obat multifungsi yang sangat bermanfaat. Manfaat

dari tanaman bawang dayak di antaranya sebagai antikanker payudara, mencegah

penyakit jantung, immunostimulant, antiinflamasi, antitumor, serta anti bleeding

agent (Saptowalyono, 2007).

Berbagai penelitian tersebut menemukan pula kandungan penting dalam

bawang dayak sebagai antikanker yang sangat ampuh mencegah perkembangan sel

kanker dalam tubuh dan menangkal radikal bebas. Beberapa testimoni ditemukan

pula bahwa bawang dayak mampu menyembuhkan penyakit diabetes dan hipertensi

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

9

(Bintari, 2002). Tanaman ini memiliki adaptasi yang baik, dapat tumbuh dalam

berbagai tipe iklim dan jenis yanah.

Selain hal tersebut di atas tanaman ini juga dapat diperbanyak dan di panen

dalam waktu yang singkat, sehingga tanaman ini dapat dengan mudah

dikembangkan untuk skala industri. Ramuan bawang dayak sudah lama

dimanfaatkan berbagai kalangan masyarakat Dayak sebagai obat alternatif karena

mudah diperoleh dan harganya yang terjangkau. Masyarakat sudah banyak

membudidayakan bawang dayak di pekarangan sebagai toga (tanaman obat

keluarga) dan ramuannya sudah banyak menyembuhkan penyakit. Selain

digunakan sebagai tanaman obat, tanaman ini juga bisa digunakan sebagai tanaman

hias karena memiliki bunga yang berwarna putih (Firdaus R, 2006).

2.1.4 Morfologi Tanaman

Tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)

merupakan tumbuhan semak, berumpun, tumbuhan semusim dengan tinggi ± 50

cm. Menurut Backer dan Brink (1965) dalam buku Flora of Java, morfologi

bawang daya (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) terdiri atas:

a. Daun

Bentuk daun tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)

adalah lonjong, berujung runcing dengan pangkal yang tumpul, pertulangan

menyirip, warna daun hijau (bentuk daun seperti tanaman anggrek tanah).

b. Bunga

Tipe bunga tanaman Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr)

yaitu majemuk berkas (fascicled) yang tumbuh di ujung batang, berwarna putih

dengan tipe simetri bunga yaitu bersimetri banyak (actinomorphus) berkelopak

6, dan mekar pada waktu sore hari dalam beberapa jam.

c. Batang

Batang Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) memiliki

struktur yang tumbuh tegak atau merunduk, basah dan berumbi. Cocok pada

tempat terbuka dan tanah yang kaya humus dan lembap

d. Umbi

Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) umumnya berbentuk

lonjong, bulat telur, berwarna merah dan sedikit garis putih seperti bawang

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

10

merah (Allium cepa) dan tidak berbau. Umbi bawang dayak mampu dikonsumsi

dan diproduksi setelah usia 6 bulan dengan tinggi tanaman ± 20-50 cm.

2.1.5 Habitat dan Penyebaran

Bawang danyak banyak tumbuh di daerah pegunungan antara 600 sampai

1500 m di atas permukaan laut. Bawang dayak juga mudah dibudidayakan

dikarenakan bawang dayak tumbuh tidak tergantung musim dan dalam waktu 2

hingga 3 bulan setelah tanam sudah dapat dipanen (Saptowalyono, 2007).

2.1.6 Kandungan Kimia Umbi Bawang Dayak

Menurut penelitian Woris, dkk (2017) mengungkapkan bahwa ekstrak

tanaman umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) mengandung

senyawa yang memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan jamur. Hal ini

dikarenakan adanya senyawa metabolit sekunder dalam bawang hutan yang

berpotensi sebagai antijamur. Derivat kuinon yang terkandung dalam umbi bawang

hutan memiliki potensi sebagai antijamur (Chansukh dkk., 2012). Senyawa yang

berpotensi sebagai antijamur dalam ekstrak bawang hutan yaitu senyawa alkaloid,

tanin, fenolik, dan flavonoid, steroid, glikosida, glikosida sianogenik, saponin

(Woris dkk., 2017).

Tabel II.1 Hasil Skrining Fitokimia Serbuk Simplisia Umbi Eleutherine

palmifolia (L.) Merr (Setiawan dan Febriyanti, 2017).

Keterangan :

(+) : Mengandung golongan senyawa

(-) : Tidak mengandung golongan senyawa

Jenis

Fitokimia

Hasil Uji

Ektrak

Etanol

96%

Fraksi

Etanol +

Air

Fraksi

Etil

Asetat

Fraksi n-

Heksana

Flavonoid + + + +

Fenolik + + + -

Alkaloid + + + -

Saponin + + - -

Triterpenoid + - + +

Tanin - - - -

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

11

2.1.7 Khasiat

Umbi Eleutherine palmifolia (L.) Merr merupakan tanaman yang sudah

secara turun temurun dipergunakan masyarakat sebagai tanaman obat. Secara

empiris bawang dayak sudah dipergunakan masyarakat lokal. Sebagai obat

berbagai jenis penyakit seperti kanker payudara, obat penurun darah tinggi

(hipertensi), penyakit kencing manis (diabetes mellitus), menurunkan kolesterol,

kanker usus dan mencegah stroke (Galingging, 2009).

Penggunaan Umbi Bawang Dayak (Eleutherine palmifolia (L.) Merr) dapat

dipergunakan dalam bentuk segar, simplisia, manisan dan dalam bentuk bubuk

(powder). Potensi bawang dayak sebagai tanaman obat multi fungsi sangat besar

sehingga perlu ditingkatkan penggunaannya sebagai bahan obat modern

(Galingging, 2009).

2.2 Tinjauan Jamur Candida albicans

Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk

tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan

berkembang menjadi blastospora dan membentuk hifa semu. Perbedaan bentuk ini

tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhinya. Candida albicans dan

patogenitasnya dipengaruhi oleh genetik, lingkungan dan fenotipik dimana faktor-

faktor seperti pH, suhu, kondisi anaerob dan faktor gizi dalam jaringan pencernaan

berperan dalam meningkatkan penetrasi Candida albicans melalui sel mukosa

(Kalista dkk., 2017).

Candida albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan

terus memanjang membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak

kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Dinding sel

Candida albicans berfungsi sebagai pelindung dan juga sebagai target dari

beberapa antimikotik (Kalista dkk., 2017).

Dinding sel berperan pula dalam proses penempelan dan kolonisasi serta

bersifat antigenik. Candida albicans mempunyai struktur dinding sel yang

kompleks, tebalnya 100 sampai 400 nm. Dinding sel Candida albicans seperti sel

eukariotik lainnya terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini

memiliki aktivitas enzim seperti manan sintase, kitin sintase, glukan sintase,

ATPase dan protein yang mentransport fosfat. Terdapatnya membran sterol pada

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

12

dinding sel memegang peranan penting sebagai target antimikotik dan

kemungkinan merupakan tempat bekerjanya enzim-enzim yang berperan dalam

sintesis dinding sel (Toenjes dkk., 2005).

Resistensi antifungal merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan

pengobatan klinis infeksi fungi penyebab lain seperti imunitas pasien yang lemah,

bioavailabilitas obat yang rendah dan metabolisme obat yang cepat. Penelitian

Candrasari (2014) menunjukkan bahwa Candida albicans resisten terhadap

antifungal azole, polyene, dan echinocandin. Sebagian besar mekanisme molekuler

resistensi Candida albicans pada agen anti fungi disebabkan oleh adanya mutasi

gen. Mutasi ini akan mempengaruhi ikatan obat dengan target enzim, biosintesis

komponen dari struktur fungi, dan konfirmasi senyawa dalam sel fungi.

2.2.1 Klasifikasi

Berikut ini klasifikasi Candida albicans menurut Vasanthakumari (2007),

yakni sebagai berikut :

Kingdom : Fungi

Divisi : Ascomycota

Sub Divisi : Saccharomyces

Kelas : Saccharomycetes

Ordo : Saccharomycetales

Famili : Saccharomtcetaceae

Genus : Candida

Spesies : Candida albicans

Gambar 2.2 Jamur Candida albicans (Mekhanzie, 2012).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

13

2.2.2 Morfologi Candida albicans

Jamur Candida albicans merupakan sel ragi bertulang tipis, gram positif,

tidak memiliki kapsul, berbentuk oval hingga bulat dengan ukuran 3-4 μm. Jamur

Candida albicans juga membentuk pseudo hifaketika tunas-tunasnya terus

bertumbuh, tetapi gagal melepaskan diri sehingga menghasilkan rantai-rantai sel

panjang yang bertakik atau menyempit pada lokasi penyekatan di antara sel. Jamur

Candida albicans bersifat dimorfik, selain ragi dan pseudohifa Jamur Candida

albicans juga dapat menghasilkan hifa sejati (Brooks dkk., 2013).

Jamur Candida albicans merupakan organisme yang memiliki dua wujud dan

bentuk secara simultan/ dimorphic organism. Pertama adalah yeast-like state (non-

invasif dan sugar fermenting organism. Kedua adalah fungal form memproduksi

root-like structure/ struktur seperti akar yang sangat panjang dan dapat memasuki

mukosa (invasif). Dinding sel C. albicans bersifat dinamis dengan struktur berlapis,

terdiri dari beberapa jenis karbohidrat berbeda (80-90%): (i) Mannan (polymers of

mannose) berpasangan dengan protein membentuk glikoprotein (mannoprotein);

(ii) α-glucans yang bercabang menjadi polimer glukosa yang mengandung α-1,3

dan α-1,6 yang saling berkaitan, dan (iii) chitin, yaitu homopolimer N-acetyl-D-

glucosamine (Glc-NAc) yang mengandung ikatan α-1,4. Unsur pokok yang lain

adalah adalah protein (6-25%) dan lemak (1-7%). Yeast cells dan germ tubes

memiliki komposisi dinding sel yang serupa, meskipun jumlah α-glucans, chitin,

dan mannan relatif bervariasi karena faktor morfologinya. Jumlah glucans jauh

lebih banyak dibanding mannan pada C. albicans yang secara imunologis memiliki

keaktifan yang rendah (Vandepitte dkk., 2003; Greenwood dkk., 2007).

Gambar 2.3 Struktur Dinding Candida albicans (Larone, 1986).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

14

Jamur Candida albicans berkembang biak dengan cara memperbanyak diri

dengan spora yang tumbuh dari tunas yang disebut dengan blastospora (Siregar,

2004).Organisme Candida tumbuh dengan mudah dalam botol kultur darah dan

pada plateagar. Pada kultur media, spesies Candida terbentuk halus, berwarna putih

krem, dengan koloni berkilau. Banyak spesies Candida mudah diidentifikasi

berdasarkan karakteristik pertumbuhan dan kit komersial yang mengevaluasi

asimilasi karbohidrat dan reaksi fermentasi sertamemberikan identifikasi spesies

dari isolat Candida selama 2-4 hari (Brooks dkk., 2013).

2.2.3 Patogenesis Candida albicans

Menurut Komariah (2012) terdapat beberapa tahapan patogenesis Candida

albicans dalam rongga mulut sebagai berikut :

1. Tahap akuisisi adalah masuknya sel jamur ke dalam rongga mulut. Umumnya

terjadi melalui minuman dan makanan yang terkontaminasi oleh Candida

albicans.

2. Tahap stabilitas Pertumbuhan adalah keadaan ketika Candida albicans yang

telah masuk melalui akuisisi dapat menetap, berkembang, dan membentuk

populasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel

jamur dengan sel epitel rongga mulut hostpes. Pergerakan saliva yang terjadi

secara terus menerus mengakibatkan sel Candida albicans tertelan bersama

saliva dan keluar dari dalam rongga mulut karena saliva memiliki kemampuan

untuk menurunkan perlekatan Candida albicans.Apabila penghilangan lebih

besar dibanding akuisisi maka tidak terjadi kolonisasi. Apabila penghilangan

sama banyak dengan akuisisi maka agar terjadi kolonisasi diperlukan faktor

predisposisi. Apabila penghilangan lebih kecil dibanding akuisisi maka Candida

albicans akan melekat dan bereplikasi, hal ini merupakan awal terjadinya

infeksi. Beberapa faktor predisposisi seperti pemakaian gigi palsu, khususnya

jika mengakibatkan rasa sakit dan diiringi kondisi rongga mulut yang tidak

bersih, dapat menjadi substrat bagi pertumbuhan Candida albicans.

3. Tahap Perlekatan (adhesi) adalah interaksi antara sel Candida albicans dengan

sel pejamu yang merupakan syarat berkembangnya infeksi. Kemampuan

melekat pada sel inang merupakan tahap penting dalam merusak sel dan

penetrasi (invasi) ke dalam sel inang. Enzim fosfolipase yang dimiliki oleh

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

15

Candida albicans akan memberikan kontribusi dalam mempertahankan infeksi.

Iritasi fisik karena penetrasi terus menerus dapatmenyebabkan luka lokal yang

dapat digunakan sebagai jalan masuk jamur.

2.2.4 Infeksi akibat Candida albicans

Candida albicans dapat menimbulkan serangkaian penyakit pada beberapa

tempat (Simatupang, 2009), antara lain :

1. Mulut

a. Penyakit ini biasa terjadi pada bayi yang dapat mengenai selaput mukosa pipi

bagian dalam, lidah, palatum mole dan permukaan rongga mulut yang tampak

sebagai bercak-bercak (pseudomembran). Pseudomembran yang terlepas dari

dasarnya akan tampak daerah yang basah dan merah.

b. Perleche Penyakit ini ditandai dengan adanya lesi berupa fisur pada sudut

mulut, basah dan dasarnya eritematosa.

2. Genitalia wanita

Jamur Candida albicans penyebab yang paling umum dari vulvovaginitis.

Hilangnya pH asam merupakan predisposisi timbulnya penyakit tersebut.

Keadaan pH normal yang asam akan dipertahankan oleh bakteri vagina.

Vulvovaginitis menyerupai sariawan akan tetapi menimbulkan iritasi, gatal yang

hebat dan pengeluaran sekret.

3. Genitalia pria

Penderita mendapatkan infeksi oleh karena kontak seksual dengan pasangannya

yang menderita vulvo vaginitis. Lesi berupa erosi dan pustula yang terdapat pada

glandula penis.

4. Kulit Infeksi ini terdapat pada lapisan kulit terluar dan merupakan bentuk paling

sering dari infeksi Candida. Infeksi ini sering terjadi pada daerah tubuh yang

basah, hangat seperti ketiak, lipat paha, skrotum, atau lipatan-lipatan dibawah

payudara.

5. Kuku Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak bernanah, kuku

menjadi tebal, mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang berwarna kecoklatan, rasa

nyeri dan akhirnya kuku juga dapat tanggal. Infeksi ini biasa mengenai orang-

orang yang pekerjaanya berhubungan dengan air.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

16

6. Paru dan organ lain Infeksi Candida dapat menyebabkan infeksi sekunder ke

paru-paru, ginjal, jantung, meningen dan organ lainnya.

7. Candidiasis monokutan menahun, penyakit ini timbul karena adanya

kekurangan dari jumlah leukosit atau sistem hormonal. Gambaran klinisnya

mirip seperti penderita dengan defek poliendokrin.

2.3 Tinjauan Antijamur

Obat anti jamur merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan

organisme mikroskopis tanaman yang terdiri dari sel, seperti cendawan dan ragi,

atau obat yang digunakan untuk menghilangkan jamur (Batubara, 2010).

Istilah antifungi mempunyai dua pengertian yaitu fungisidal dan fungistatik.

Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat membunuh fungi

sedangkan fungistatik dapat menghambat pertumbuhan fungi dan mematikannya

(Marsh, 1977).

2.3.1 Mekanisme antifungi

Mekanisme dari antifungi dapat dikelompokkan menjadi beberapa

komponen, berikut ini adalah mekanisme dari antifungi yang dikelompokkan

berdasarkan penelitian Pelczar dan Chan (1986) :

a. Gangguan pada membran sel. Gangguan ini dapat terjadi karena adanya

ergosterol di dalam membran sel jamur. Ergosterol merupakan komponen sterol

yang sangat penting, sangat mudah diserang oleh antibiotik turunan polien.

Komplek polien ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori yang

permeabel terhadap konstituen yang esensial bagi sel jamur, sehingga konstituen

tersebut keluar dari sel dan mengakibatkan kematian bagi sel jamur tersebut.

Contoh: amfoterisin B dan nystatin.

b. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur Mekanisme ini merupakan

mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan imidazol karena mampu

menimbulkan ketidak teraturan membran sitoplasma jamur dengan cara

mengubah permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam

pengangkutan senyawa-senyawa esensial yang dapat menyebabkan ketidak

seimbangan metabolit sehingga menghambat biosíntesis ergosterol dalam sel

jamur. Contoh: ketokonazol, klortimazol, dan mikonazol.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

17

c. Penghambatan sintesis protein jamur. Mekanisme ini merupakan mekanisme

yang disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin. Efek antijamur terjadi karena

senyawa turunan pirimidin mampu mengalami metabolisme dalam sel jamur

menjadi suatu metabolit yang antagonis, yang kemudian akan bergabung dengan

asam ribonukleat dan selanjutnya akan menghambat síntesis asam nukleat dan

protein jamur. Contoh: flusitosin.

d. Penghambatan pertumbuhan jamurEfek antijamur ini terjadi karena adanya

senyawa antibiotik griseofulvin yang mampu mengikat protein mikrotubulus

dalam sel, kemudian merusak struktur spindle mitotik dan menghentikan

metafase pembelahan sel jamur sehingga akan membatasi pertumbuhan jamur

(Pelczar dan Chan, 1986).

2.4 Tinjauan tentang Nystatin

Nystatin merupakan suatu antibiotik polien yang dihasilkan oleh

Streptomyces noursei. Obat yang berupa bubuk warna kuning kemerahan ini

bersifat higroskopis, berbau khas, sukar larut dalam kloroform dan juga eter.

Larutannya mudah terurai dalam air atau plasma. Sekalipun nystatin mempunyai

struktur kimia dan mekanisme kerja mirip dengan Amfoterisin B tetapi Nystatin

lebih toksik sehingga tidak digunakan sebagai obat sistemik. Nystatin tidak diserap

melalui saluran cerna, kulit maupun vagina. Nystatin menghambat pertumbuhan

antijamur dan juga ragi tetapi tidak aktif terhadap bakteri, protozoa dan juga virus

(Gunawan, 2012).

2.4.1 Mekanisme Kerja

Nystatin hanya akan diikat oleh jamur dan juga ragi yang sensitif. Aktivitas

antijamur tergantung dari adanya ikatan dengan sterol pada membran sel jamur atau

ragi terutama ergosterol. Akibat terbentuknya ikatan antara sterol dengan antibiotik

ini akan terjadi perubahan permeabilitas membran sel sehingga sel akan kehilangan

berbagai molekul kecil (Gunawan, 2012).

Candida albicans hampir tidak memperlihatkan resistensi terhadap nystatin,

tetapi C. tropicalis, C. guillermondi dan C. Stellatiodes mulai resisten bahkan

sekaligus menjadi tidak sensitif terhadap amfoterisin B (Gunawan, 2012).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

18

2.4.2 Indikasi

Nystatin gunakan untuk infeksi kandida di kulit, selaput lendir dan juga

saluran pencernaan. Paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral serta saluran

pencernan cukup diobati secara topikal. Kandidiasis di mulut, esofagus dan juga

lambung biasanya merupakan komplikasi dari penyakit darah yang ganas terutama

pada pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Sebagian besar infeksi

ini memberikan respons yang baik terhadap nystatin. Kandidiasis saluran cerna

jarang ditemukan, tetapi keadaan ini dapat merupakan penyebab timbulnya nyeri

perut dan juga diare (Gunawan, 2012).

2.5 Koloni Jamur dan Bakteri

Adapun perbedaan antara koloni dari jamur (Kapang dan Khamir) dan juga

bakteri, antara lain :

a. Jamur (Kapang)

Kapang (Mould/ filamentous fungi) merupakan mikroba anggota Kingdom

Fungi yang membentuk Hifa. Tubuh atau Talus suatu kapang pada dasarnya

terdiri dari 2 bagian miselium dan spora (sel resisten, istirahat atau dorman).

Miselium merupakan kumpulan beberapa filamen yang dinamakan hifa. Setiap

hifa lebarnya 5-10 μm, dibandingkan dengan sel bakteri yang biasanya

berdiameter 1 μm (Coyne dan Mark, 1999).

Kapang melakukan penyebaran menggunakan spora. Spora kapang terdiri

dari dua jenis, yaitu spora seksual dan spora aseksual. Spora aseksual dihasilkan

lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan spora seksual

(Pelczar, 1999).

Jamur tidak dapat hidup secara autotrof, melainkan secara heterotrof. Jamur

hidup dengan menguraikan bahan-bahan organik yang ada dilingkungannya.

Habitat kapang sangat beragam, namun pada umumnya kapang dapat tumbuh

pada substrat yang mengandung sumber karbon organik.Umumnya jamur hidup

secara saprofit, artinya hidup dari penguraian sampah-sampah organik seperti

bangkai, sisa tumbuhan, makanan dan kayu lapuk. Ada pula jamur yang hidup

secara parasit artinya jamur mendapatkan bahan organik dari inangnya misalnya

dari manusia, binatang dan tumbuhan. Adapula yang hidup secara simbiosis

mutualisme, yakni hidup bersama dengan orgaisme lain agar saling

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

19

mendapatkan untung, misalnya bersimbiosis dengan ganggang membentuk

lumut kerak (Pelczar, 1999).

Gambar 2.4 Pengamatan koloni kapang (Marham dkk, 2016).

b. Jamur (Khamir)

Khamir merupakan jenis jamur uniseluler, bentuk sel tunggal dan

berkembangbiak secara pertunasan. Ukuran sel khamir beragam antara lain:

lebarnya berkisar antara 1-5μm dan panjangnya berkisar dari 5-30μm atau lebih.

Biasanyasel khamir berbentuk telur, tetapi beberapa ada yang memanjang atau

berbentuk bola.Setiap spesies mempunyai bentuk yang khas, namun sekalipun

dalam biakan murni terdapat variasi yang luas dalam hal ukuran dan bentuk. Sel-

sel individu, tergantung kepada umur dan lingkungannya. Khamir tidak

dilengkapi flagellum atau organ-organ penggerak lainnya (Dwijoseputro, 2005).

Gambar 2.5 Morfologi Makroskopik Isolat Khamir asal daun jati pada

medium YMA berumur 48 jam pada suhu 27-28°C (Marham dkk, 2016).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

20

c. Bakteri

Bakteri adalah kelompok mikroba yang tidak memiliki membran inti

sel,termasuk prokariota dan mikroskopik, serta memiliki peran dalam

kehidupan. Beberapa kelompok bakteri dikenal sebagai penyebab penyakit,

kelompok lainnya memberikan manfaat dibidang pangan, pengobatan, dan

industri. Struktur sel bakteri relatif sederhana, tanpa nukleus, kerangka sel dan

juga organel lainnya seperti mitokondria dan kloroplas (Madigan, 2009). Pada

umumnya, bakteri berukuran 0,5-5μm, tetapi ada bakteri yang dapat berdiameter

hingga 700μm, yaitu Thiomargarita. Bakteri umumnya memiliki dinding sel,

seperti sel tumbuhan dan jamur, tetapi dengan bahan pembentuk sangat berbeda

(peptidoglikan). Beberapa jenis bakteri bersifatmotil (mampu bergerak) yang

disebabkan oleh flagel (Madigan, 2009).

Gambar 2.6 Bentuk Sel Bakteri (Pelczar, 1999)

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

21

Gambar 2.7 Morfologi Koloni Bakteri (Fardiaz, 1992)

2.6 Golongan Senyawa Metabolit Sekunder yang Memiliki Aktivitas

Antijamur

Pada tanaman umbi Eleutherine palmifolia (L.) Merr terdapat beberapa

golongan senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas antijamur

diantaranya, yaitu :

2.6.1 Flavanoid

Flavonoid diperoleh dari hidroksilasi zat fenolik sebagai unit C6-C3 yang

terkait pada cincin aromatik. Disintesis dari tanaman untuk infeksi mikroba dan

telah diketahui bahwa secara in vitro efektif sebagai zat antimikroba terhadap

berbagai macam mikroorganisme. Flavonoid memiliki kemampuan kompleks

ekstraseluler, protein terlarut dan kompleks dengan dinding sel bakteri. Sifat

flavonoid yang lebih lipofilik dapat merusak membran mikroba (Cowan, 1999).

Flavonoid mampu untuk membentuk kompleks dengan dinding sel bakteri,

sehingga menyebabkan kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan

lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri (Haryati dkk.,

2015).

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

22

2.6.2 Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.

Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom

nitrogen biasanya sebagian bagian dari sistem siklik. Alkaloid mempunyai aktivitas

fisiologi yang menonjol sehingga banyak di antaranya digunakan dalam bidang

pengobatan (Harbone, 1987).

Mekanisme kerja dari alkaloid kuartener planar seperti berberin dan harmane

sebagai antibakteri melalui cara berinteraksi dengan asam deoksiribosa nukleat

(DNA) bakteri atau berinteraksi dengan dinding sel bakteri (Cowan, 1999). Alkaoid

juga diduga mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri

sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan

kematian sel (Haryati dkk., 2015).

2.6.3 Triterpenoid

Triterpenoid contohnya lanosterol, bahan dasar bagi senyawa-senyawa

steroid. Triterpenoid memiliki atom C30. Triterpenoid tersebar luas dalam damar,

gabus dan kutin tumbuhan. Damar adalah asam triterpenoid yang sering bersama-

sama dengan gom polisakarida dalam damar gom. Triterpenoid alkohol juga

terdapat bebas dan sebagai glikosida. Triterpenoid asiklik yang penting hanya

hidrokarbon skualena yang diisolasi untuk pertama kali dari minyak hati ikan hiu

tetapi juga ditemukan dalam beberapa malam epikutikula dan minyak nabati

(minyak zaitun). Triterpenoid merupakan bagian dari terpenoid. Terpenoid

disintesis dari unit asetat yang diperoleh dari asam lemak (Cowan, 1999).

Terpenoid dapat bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada

membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat dan

merusak porin, mengurangi permeabilitas dinding bakteri sehingga sel bakteri

kekurangan nutrisi, pertumbuhan bakteri terhambat atau mati. (Haryati dkk., 2015).

2.6.4 Steroid

Mekanisme steroid sebagai antibakteri berhubungan dengan membran lipid

dan sensitivitas terhadap komponen steroid yang menyebabkan kebocoran pada

liposom (Madduluri dkk, 2013). Steroid dapat berinteraksi dengan membran

fosfolipid sel yang bersifat permeabel terhadap senyawa-senyawa lipofilik sehingga

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

23

menyebabkan integritas membran menurun serta morfologi membran sel berubah

yang menyebabkan sel rapuh dan lisis (Ahmed, 2007).

2.6.5 Antrakinon

Antrakinon termasuk golongan kuinon fenolik yang dalam biosintesisnya

berasal dari turunan fenol. Senyawa golongan kuinon telah tersebar luar di alam

dan senyawa ini memiliki ciri yang sangat reaktif (Zhang dkk., 2009). Kuinon

merupakan cincin aromatik dengan substitusi dua keton. Senyawa ini, bertanggung

jawab dalam reaksi pencoklatan pada buah-buahan dan sayuran dan sebagai

perantara melanin dalam jalur sintesis pada kulit manusia. Dengan menyediakan

sumber radikal bebas yang stabil, kuinon merupakan irreversibel kompleks

nukleofilik asam amino dalam protein yang menimbulkan inaktivasi protein dan

hilangnya fungsi sehingga besar potensi kuinon sebagai efek antimikroba (Cowan,

1999). Kuinon memiliki aktivitas antimikroba yang cukup luas, senyawa tersebut

juga dapat membentuk kompleks dengan asam amino nukleofilik dalam protein

sehingga dapat membentuk protein kehilangan fungsinya. Kuinon bereaksi dengan

protein adesin bulu-bulu sel, polipeptida dinding sel, dan eksoenzim yang

dilepaskan melalui membran (Putra, 2010).

2.6.6 Polifenol

Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini

mempunyai tanda khas yaitu banyak gugus fenol dalam molekulnya. Senyawa fenol

dalam tanaman dibagi dalam 3 kelompok besar yaitu asam fenol, flavonoid dan

tanin (Kunaepah, 2008). Berdasarkan penelitian Alberto, dkk (2006), efek

antibakteri dari polifenol pada kulit apel dapat menghambat pertumbuhan bakteri

patogen pada manusia yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus dan beberapa

bakteri patogen lainnya. Mekanisme penghambatan antibakteri polifenol antara lain

adalah dengan cara :

a. Mengganggu pembentukkan dinding sel. Pada konsentrasi rendah, molekul fenol

lebih hidrofobik, dapat mengikat daerah hidrofobik membran protein dan dapat

melarut pada fase lipid dari membran bakteri.

b. Bereaksi dengan membran sel. Komponen bioaktif fenol dapat mengakibatkan

lisis sel dan menyebabkan denaturasi protein, menghambat pembentukan sel

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

24

sitoplasma dan asam nukleat serta menghambat ikatan ATP-ase pada membran

sel (Kunaepah, 2008).

2.6.7 Tanin

Tanin adalah senyawa fenol yang memiliki berat molekul 500-3000 daltons

(Da). Tanin diklasifikasi atas dua kelompok atas dasar tipe struktur dan aktivitasnya

terhadap senyawa hidrolitik yaitu tanin terkondensasi (condensed tannin) dan tanin

yang dapat dihidrolisis (hyrolyzable tannin) (Hagerman, 2002). Tanin hidrolisis

adalah tanin pada pemanasan dengan asam klorida atau asam sulfat menghasilkan

asam galat atau asam elagat. Tanin terkondensasi adalah tanin pada pemanasan

dengan asam klorida menghasilkan phlobaphenes seperti phloroglucinol

(Browning, 1966).

Mekanisme kerja tanin diduga dapat mengkerutkan dinding sel atau membran

sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri. Akibat terganggunya

permeabilitas sel tidak dapat sehingga pertumbuhannya terhambat dan mati

(Ajizah, 2004). Tanin juga mempunyai daya sebagai antibakteri dengan cara

mempresipitasi protein, karena diduga tanin mempunyai efek yang sama dengan

senyawa fenolik. Efek antibakteri tanin antara lain melalui reaksi dengan membran

sel, inaktivasi enzim, dan destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik (Masduki,

1996).

2.6.8 Saponin

Saponin adalah senyawa glikosidankompleks yang mempunyai bobot

molekul yang besar. Saponin dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar

berdasarkan struktur kimia, antara lain steroid, alkaloid, dan triterpenoid. Saponin

mempunyai rasa pahit dan akan berbusa dalam air (Sukadana, 2007).

Mekanisme saponin sebagai agen antibakteri adalah dengan cara berinteraksi

dengan kolesterol pada membran sel dan menyebabkan membran sel mengalami

modifikasi lipid yang akan mengganggu kemampuan bakteri untuk berinteraksi

dengan membran yang sudah mengalami modifikasi tersebut. Terganggunya

interaksi antara bakteri dengan membranselnya akan menyebabkan kemampuan

bakteri untuk merusak atau berinteraksi dengan host akan terganggu. Ketika

membran sel terganggu, zat antibakteri akan dapat dengan mudah masuk kedalam

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

25

sel dan akan mengganggu metabolisme hingga akhirnya terjadilah kematian bakteri

(Karlina, 2013).

2.6.9 Fenolik

Salah satu kandungan senyawa yang terdapat di umbu Eleuthherine

palmifolia adalah golongan fenol atau fenolik. Fenolik merupakan senyawa

metabolit sekunder yang dapat disintesis tumbuhan, sebagai respon terhadap

berbagai kondisi seperti infeksi, radiasi UV, dan lain sebagainya. Pada tumbuhan,

fenolik dapat bertindak sebagai antifeedants, atraktanuntuk penyerbuk, kontributor

pigmentasi tanaman, antioksidan, sebagai pelindung dari berbagai jenis parasit dan

paparan suhu ekstrim (Ravangpaiet dkk., 2011). Senyawa fenolik adalah senyawa

yang memiliki satu atau lebih gugus hidroksil yang menempel di cincin aromatik.

Dengan kata lain, senyawa fenolik adalah senyawa yang sekurang-kurangnya

memiliki satu gugus fenol. Banyaknya variasi gugus yang mungkin tersubstitusi

pada kerangka utama fenol menyebabkan kelompok fenolik memiliki banyak sekali

anggota. Terdapat lebih dari 8.000 jenis senyawa yang termasuk dalam golongan

senyawa fenolik. Anggota senyawa fenolik mulai dari yang paling sederhana

dengan berat molekul kecil hinggasenyawa yang kompleks dengan berat molekul

yang sangat besar (Marinova dkk., 2005).

Mekanisme kerja senyawa fenol dalam membunuh serta menghambat sel

bakteri yaitu dengan cara melakukan terjadinya denaturasi protein sel. Ikatan

hidrogen yang terbentuk akan mempengaruhi membran sitoplasma serta

permeabilitas protein karena kedua komponen tersusun dari protein. Terganggunya

permeabilitas dari dinding sel dan membran sitoplasma akan mengakibatkan

makromolekul serta ion dalam sel tidak seimbang yang akhirnya akan terjadi lisis

pada bakteri (Pelczar dan Chan, 1988).

2.7 Tinjauan Ekstraksi dan Fraksinasi

2.7.1 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia

dari jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu.

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat

aktif dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

26

semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan

sedemikian, hingga memenuhi baku yang ditetapkan (Agoes, 2007).

Ekstraksi bertujuan untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat

dalam simplisia. Ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen zat

padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar

muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Proses pengekstraksian

komponen kimia dalam sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus

dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat

aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka larutan terpekat akan

berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus sampai terjadi

keseimbangan antara konsentras cairan zat aktif di dalam dan di luar sel. Faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi laju ekstraksi adalah tipe persiapan sampel,

waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe pelarut (Agoes, 2007).

Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat tradisional

adalah metode ekstraksi. Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat

bahan dan senyawa yang akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target

ekstraksi perlu ditentukan terlebih dahulu. Ada beberapa target ekstraksi,

diantaranya (Sarker dkk., 2006) :

1. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui

2. Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme

3. Sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan secara

struktural.

Semua senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh suatu sumber

tetapi tidak dihasilkan oleh sumber lain dengan kontrol yang berbeda, misalnya

dua jenis dalam marga yang sama atau jenis yang sama tetapi berada dalam kondisi

yang berbeda. Identifikasi seluruh metabolit sekunder yang ada pada suatu

organisme untuk studi sidik jari kimiawi dan studi metabolomik (Agoes, 2007).

Proses ekstraksi khususnya untuk bahan yang berasal dari tumbuhan adalah

sebagai berikut :

1. Pengelompokan bagian tumbuhan (daun, bunga, dll), pengeringan dan

penggilingan bagian tumbuhan.

2. Pemilihan pelarut

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

27

3. Pelarut polar: air, etanol, metanol, dan sebagainya.

4. Pelarut semipolar: etil asetat, diklorometan, dan sebagainya.

5. Pelarut nonpolar: n-heksan, petroleum eter, kloroform, dan sebagainya.

Adapun ekstraksi terbagi menjadi 3 jenis yaitu ekstraksi dengan

menggunakan pelarut (cara dingin dan panas), ekstraksi destilasi uap dan metode

lainnya. Metode ekstraksi dengan cara dingin diantaranya adalah maserasi, dan

perkolasi. Sedangkan metode ekstraksi dengan cara panas diantaranya adalah

refluks, soxhlet. Untuk metode lain diantaranya adalah ekstraksi

berkesinambungan, superkritikal karbondioksida, ekstraksi ultrasonik dan ekstraksi

energi listrik.

2.7.2 Metode Maserasi Perendaman

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan

pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi maserasi

termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan atau kamar (Depkes, 2000).

Maserasi merupakan proses perendaman sampel menggunakan pelarut

organik pada suhu ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi

senyawa bahan alam karena melalui perendaman sampel tumbuhan akan terjadi

pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan

di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut

dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur

lama perendaman yang dilakukan. Pemilihan pengekstrak untuk proses maserasi

akan memberikan efektifitas yang tinggi melalui cara memerhatikan kelarutan

senyawa bahan alam pelarut tersebut (Darwis, 2000).

Menurut Voight (1995), Lama maserasi pada umumnya adalah 4-10 hari. Dan

maserasi akan lebih efektif jika dilakukan proses pengadukan secara berkala karena

keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif.

Melalui usaha ini diperoleh suatu keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang

lebih cepat masuk ke dalam cairan pengekstrak.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

28

Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air,

etanol, etanol-air atau eter. Etanol dipertimbangkan seba gai penyari karena lebih

selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol 20% keatas, tidak beracun,

netral, absorbsinya baik, etanol dapat bercampur dengan air pada segala

perbandingan dan panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit (Depkes,

1995).

Keuntungan dan Kerugian Maserasi

a. Kelebihan dari ekstraksi dengan metode maserasi adalah:

- Unit alat yang dipakai sederhana, hanya dibutuhkan bejana perendam

- Biaya operasionalnya relatif rendah

- Prosesnya relatif hemat penyari dan tanpa pemanasan

b. Kelemahan dari ekstraksi dengan metode maserasi adalah:

- Proses penyariannya tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu

terekstraksi sebesar 50% saja

- Prosesnya lama, butuh waktu beberapa hari

- Menghabiskan sejumlah besar volume pelarut yang dapat berpotensi

hilangnya metabolit

- Beberapa senyawa juga tidak terekstraksi secara efisien jika kurang terlarut

pada suhu kamar (27oC) (BPOM, 2000).

2.7.3 Fraksinasi

Fraksinasi adalah suatu metode pemisahan senyawa organik berdasarkan

kelarutan senyawa-senyawa tersebut dalam dua pelarut yang tidak saling

bercampur, biasanya antara pelarut air dan pelarut organik seperti metanol, etanol,

etil asetat, n-heksana dan petroleum eter (Dey, 2012). Ekstrak dipartisi dengan

menggunakan peningkatan polaritas pelarut seperti petroleum eter, n-heksana,

kloroform, dietil eter, etil asetat dan etanol. Pemilihan pelarut pada ekstraksi

umumnya bergantung pada sifat analitnya dimana pelarut dan analit harus memiliki

sifat yang sama, contohnya analit yang sifat lipofilitasnya tinggi akan terekstraksi

pada pelarut yang relatif nonpolar seperti n-heksana sedangkan analit yang

semipolar terlarut pada pelarut yang semipolar seperti etil asetat atau diklorometana

(Venn, 2008).

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

29

Kebanyakan aglikon terekstraksi pada fraksi non-polar seperti terpenoid dan

steroid sedangkan flavonoid, glikosida, saponin dan gula ester ditemukan pada

fraksi yang lebih polar dan fraksi air. Petroleum eter dan n-heksana juga dapat

digunakan untuk menghilangkan lipid, wax dan senyawa lemak (Dey, 2012).

Sekilas ada banyak pelarut yang dapat digunakan untuk ekstraksi ini, namun

mcternyata ada pelarut yang tidak memenuhi syarat. Pertama, pelarut harus tidak

bercampur dengan air, mempunyai titik didih yang rendah (jika digunakan untuk

evaporasi) dan sebaiknya memiliki densitas yang lebih rendah daripada air (untuk

membentuk lapisan atas sehingga pemisahan lebih mudah dilakukan). Kedua,

pelarut harus aman dan tidak merusak lingkungan jika digunakan. Banyak pelarut

yang tidak aman digunakan karena berbagai alasan seperti dietil eter (mudah

terbakar), toluen (memiliki titik didih yang tinggi), benzen (keamanan), dan pelarut

klorida seperti diklorometana (berbahaya bagi lingkungan). Praktisnya, hanya ada

beberapa pelarut saja yang biasa digunakan seperti n-heksana, metil tertier butil eter

(MTBE) dan etilasetat (Venn, 2008).

Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter,

aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam

lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat

diekstraksi dengan pelarut organik (Adijuwana, 1989). Fraksinasi bertingkat

umumnya diawali dengan pelarut yang kurang polar dan dilanjutkan dengan pelarut

yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut dapat ditentukan dari nilai konstanta

dielektrik pelarut.

2.8 Skrinning Fitokimia

Skrining fitokimia merupakan pengindentifikasi bioaktif dengan cepat

memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu dengan

bahan alam yang tidak memiliki kandungan fitokimia tertentu. Skrining fitokimia

merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan

untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam

tanaman yang sedang diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat

reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal yang

berperan penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode

ekstraksi (Kristanti, 2008).

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

30

Skrining fitokimia serbuk simplisia dan sampel dalam bentuk basah meliputi

pemeriksaan kandungan senyawa alkaloida, flavonoida, terpenoida/ steroida, tanin

dan saponin menurut prosedur yang telah dilakukan oleh (Harbone, 1987; Depkes,

1995).

2.8.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi Lapis Tipis atau biasa disebut KLT merupakan sistem

kromatografi yang pemakaiannya paling luas, karena dapat diterapkan hampir pada

setiap golongan senyawa, kecuali pada kandungan yang sangat atsiri. Cara ini dapat

dipakai pada pemeriksaan pendahuluan ekstrak kasar dari kebanyakan senyawa dan

juga sebagai cara pemisahan dan deteksi pendahuluan (Harbone, 1987).

Komponen umum pengembang KLT, yaitu benzena. Sekarang diketahui

bahwa uap benzena merusak kesehatan dan pelarut ini harus ditangani dalam ruang

yang baik ventilasinya, misalnya dalam lemari asam. Dalam banyak hal, tetapi tak

selalu, benzena dapat diganti dengan toluena yang kurang berbahaya. Sebagai

tindakan keamanan umum, kita hendaknya menghindari hubungan yang terlalu

lama dengan setiap campuran pelarut organik untuk KLT (Harborne, 1987).

Penjerap yang dipakai untuk KLT ialah silika gel, alumina, keselgur, dan

selulosa. Silika gel merupakan penjerap yang paling banyak dipakai dalam KLT

dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Karena sebagian besar silika gel

bersifat sedikit asam, maka asam sering agak mudah dipisahkan. Jadi

meminimumkan reaksi asam-basa antara penjerap dan senyawa yang dipisahkan

(Harborne, 1987).

Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada KLT lebih baik

dikerjakan dengan pereaksi kimia dan reaksi-reaksi warna. Tetapi dapat juga

menggunakan harga Rf, hal ini dapat didefinisikan sebagai berikut :

Harga Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑐𝑎𝑘 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑡𝑜𝑡𝑜𝑙𝑎𝑛

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

Harga Rf untuk senyawa-senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga

Rf standart. Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan bercak dalam KLT yang

juga mempengaruhi harga Rf adalah struktur kimia dari senyawa yang sedang

dipisahkan, sifat dari penjerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan kerataan dari

lapisan penjerap, pelarut dan derajat kemurnian fasa gerak, derajat kejenuhan dari

uap dalam bejana pengembangan yang digunakan, teknik percobaan, jumlah

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

31

cuplikan yang digunakan, suhu, kesetimbangan antara atmosfer dalam bejana jenuh

dengan uap pelarut (Harborne, 1987).

2.8.2 Faktor yang Mempengaruhi KLT

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan noda dalam KLT yang juga akan

mempengaruhi nilai Rf adalah (Harborne, 1987):

1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan.

2. Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya.

Biasanya aktifitas dicapai dengan pemanasan dalam oven, hal ini akan

mengeringkan molekul-molekul air yang menempati pusat-pusat serapan dari

penyerap. Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap

harga Rf meskipun menggunakan fase bergerak dan zat terlarut yang sama tetapi

hasil akan dapat diulang dengan hasil yang sama, jika menggunakan penyerap

yang sama, ukuran partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada) dicampur hingga

homogen.

3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap.

Pada prakteknya tebal lapisan tidak dapat dilihat pengaruhnya, tetapi perlu

diusahakan tebal lapisan yang rata. Ketidakrataan akan menyebabkan aliran

pelarut menjadi tidak rata pula dalam daerah yang kecil dari plat.

4. Pelarut dan derajat kemurniannya fase bergerak.

Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fase bergerak dalam

Kromatografi Lapis Tipis adalah sangat penting dan bila campuran pelarut

digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul diperhatikan.

5. Derajat kejenuhan dan uap dalam bejana pengembangan yang digunakan.

6. Teknik percobaan arah pelarut bergerak di atas plat.

7. Jumlah cuplikan yang digunakan.

Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan hasil

penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya hasil dan efek tak

kesetimbangan lainnya, sehingga akan mengakibatkan kesalahan-kesalahan

harga Rf.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

32

8. Suhu.

Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini terutama

untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang

disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan fase.

9. Kesetimbangan.

Ternyata bahwa kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam

kromatografi kertas, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam bejana jenuh

dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer dalam bejana tidak jenuh dengan

uap pelarut, bila digunakan pelarut campuran, akan terjadi pengembangan

dengan permukaan pelarut yang berbentuk cekung dan fase bergerak lebih cepat

pada bagian tepi-tepi dan keadaan ini harus dicegah.

2.8.3 Manfaat dari Kromatografi Lapis Tipis, yaitu :

a. Pemeriksaan kualitatif dan kemurnian senyawa obat.

b. Pemeriksaan simplisia hewan dan tanaman.

c. Pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat.

d. Penentuan kualitatif masing-masing senyawa aktif sediaan obat.

2.8.4 Fase Diam

Fase diam dapat digunakan silika gel, alumina dan serbuk selulosa. Partikel

silika gel mengandung gugus hidroksil pada permukaannya yang akan membentuk

ikatan hidrogen dengan molekul polar air. Pada kromatografi lapis tipis, sebuah

garis digambarkan dibagian atas dan bawah lempengan dan setetes pelarut dari

campuran pewarna di tempatkan pada garis yang telah ditentukan. Diberikan

penandaan pada garis dilempengan untuk menunjukkan posisi awal dari tetesan.

Jika dilakukan dengan tinta, pewarna dari tinta akan bergerak selayaknya

kromatogram di bentuk (Roy, 1991).

Alumina (Al2O3) dan silika gel (SiO2). Alumina lebih polar daripada silika

gel, dan senyawa ini sering dinyatakan lebih aktif daripada silika gel. Alumina lebih

cocok untuk analisis senyawa-senyawa yang nonpolar atau kurang polar (seperti

hidrokarbon, eter, aldehida, keton, dan alkil halida) karena senyawa-senyawa polar

sangat kuat teradsorbsi pada adsorbent ini. Analisis KLT senyawa-senyawa polar

pada alumina umumnya menghasilkan harga Rf yang rendah dan pemisahan yang

minimal. Sebaliknya silika gel dipilih sebagai adsorbent untuk senyawa-senyawa

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

33

polar (asam karbokislat, alkohol, amina) karena senyawa-senyawa non polar

teradsorbsi lemah pada silika gel. Analisis KLT senyawa-senyawa nonpolar pada

silika gel umumnya memberikan harga Rf yang tinggi dan pemisahan yang

maksimal (Roy, 1991).

2.8.5 Fase Gerak

Fase gerak dapat digolongkan menurut ukan kekuatan teradsorbsinya pelarut

atau campuran pelarut tersebut pada adsorben dan dalam hal ini yang banyak

digunakan adalah jenis adsoberben alumina atau sebuah lapis tipis silica,

Penggolongan ini dikenal sebagai deret elutropik pelarut. Suatu pelarut yang

bersifat larutan relative polar, dapat mengusir pelarut yang relative tak polar dari

ikatannyadengan alumina/ silica gel. Fasa gerak yang digunakan dalam KLT sering

disebut dengan eluen (Johnson, 1991).

Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur

pemurnian kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4

persyaratan pertama adalah yang paling penting. Gelembung udara (degassing)

yang ada harus dihilangkan dari pelarut, karena udara yang terlarut keluar melewati

detektor dapat menghasilkan banyak noise sehingga data tidak dapat digunakan

(Johnson, 1991).

2.9 Tinjauan Pelarut Fraksi Etanol

Ethyl alkohol atau etanol adalah salah satu turunan dari senyawa hidroksil

ataugugus OH, dengan rumus kimia C2H5OH. Istilah umum yang sering dipakai

untuk senyawa tersebut, adalah alkohol. Etanol mempunyai sifat tidak berwarna,

mudah menguap, mudah larut dalam air, berat molekul 46,1, titik didihnya 78,3°c,

membeku pada suhu -117,3 °C, kerapatannya 0,789 pada suhu 20°C, nilai kalor

7077 kal/gram, panas latent penguapan 204 kal/gram dan angka oktan 91-105

(Hambali dkk., 2008).

2.10 Metode Pengujian Antibiotik

2.10.1 Metode Difusi

Pada metode difusi agar digunakan media agar padat yang dapat berupa kertas

cakram, silinder atau cekungan yang dibuat pada media padat. Larutan uji akan

berdifusi dari pencadang ke permukaan media agar padat yang telah diinokulasi

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

34

bakteri. Bakteri akan terhambat pertumbuhannya dengan pengamatan berupa

lingkaran atau zona disekeliling pencadang (Jiang, 2011).

Gambar 2.8 Klasifikasi Metode Mikrobiologi untuk Deteksi Biologi (Choma,

2015).

1. Metode Disc Diffusion atau metode Kirby Baure

Difusi cakram atau yang disebut dengan Kirby-Bauer disc diffusion test

merupakan standar prosedur yang tetap untuk uji sensitivitas dan disetujui oleh

WHO (Hudzicki, 2013). Metode ini menggunakan kertas cakram yang berisi zat

antimikroba dan diletakkan pada media agar yang telah ditanami bakteri uji.

Metode ini berdasarkan difusi antibakteri pada agar yang diinokulasi

mikroorganisme. Efek dari antibakteri diekspresikan dengan terbentuknya suatu

zona pertumbuhan yang terhambat (Pudjarwoto, 2008).

Zat yang akan diuji diserapkan ke dalam cakram kertas dengan cara

meneteskan larutan antibakteri pada cakram kertas kosong (mencelupkan kertas

saring ke dalam larutan senyawa) dalam jumlah tertentu dengan kadar tertentu.

Kertas cakram diletakkan diatas permukaan agar padat yang telah diolesi bakteri,

diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C. Aktivitas antibakteri dapat dilihat

dari daerah hambat di sekeliling cakram kertas (Choma, 2015). Menurut Davis

dan Stout (1971), ketentuan antibakteri adalah sebagai berikut : daerah hambatan

20 mm atau lebih mengindikasi sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm

mengindikasikan kuat, 5-10 mm mengindikasikan sedang dan daerah hambatan

5 mm atau kurang mengindikasikan lemah. . Berdasarkan diameter zona inhibisi

dan kriteria interpretatif CLSI, hasilnya kemudian dibagi menjadi tiga kategori

yaitu, rentan, menengah, atau resisten. Semakin besar diameter zona inhibisi,

adalah mikroorganisme yang lebih rentan untuk antimikroba tersebut (Jiang,

2011).

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

35

Gambar 2.9 Prosedur Metode Difusi Cakram (Disk) (Jiang, 2011)

Metode ini dipengaruhi banyak faktor fisik dan kimia, selain interaksi

sederhana dari obat dan organisme (misalnya, sifat dari media dan diffusibility,

ukuran molekul dan stabilitas obat). Penggunaan disk tunggal untuk setiap

antibiotik dengan standarisasi dari kondisi pengujian memungkinkan laporan

rentan atau tahan untuk mikroorganisme dengan membandingkan ukuran zona

inhibisi dengan standar obat yang sama. Inhibisi sekitar cakram yang berisi

sejumlah obat antimikroba tidak berarti kerentanan terhadap konsentrasi obat

yang sama per mililiter menengah, darah, atau urin (Jawetz, 2013).

Pengujian menggunakan metode difusi cakram mudah untuk dilakukan

dan hasilnya dapat terlihat jelas. Metode ini memiliki keebihan dan kekurangan.

Kelebihannya adalah mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus dan

relatif lebih murah. Sedangkan kelemahannya adalah ukuran zona bening yang

terbentuk tergantung oleh kondisi inkubasi, inokulum, predifusi, dan preinkubasi

serta ketebalan medium (Pelczar dan Chan, 1988).

2. Metode Lubang/ Sumuran

Pada metode ini dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan

mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan

diuji (Pratiwi, 2008).

Pada uji ini, beberapa lubang berdiameter milimeter pada permukaan

agar-agar diinokulasi dan diisi dengan sampel. larutan senyawa yang diuji

berdifusi ke media agar menyebabkan penghambatan pertumbuhan

mikroorganisme. Kemudian, zona hambatan diukur, konsentrasi hambat

minimum (MIC) ditentukan secara visual. (Choma, 2015).

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

36

Bakteri uji yang umurnya 18-24 jam disuspensikan ke dalam media agar

pada suhu sekitar 45°C. Suspensi bakteri dituangkan ke dalam cawan petri steril.

Setelah agar memadat, dibuat lubang-lubang dengan diameter 6-8 mm. Kedalam

lubang tersebut dimasukkan larutan zat yang akan diuji aktivitasnya kemudian

diinkubasikan pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Aktivitas antibakteri dapat

dilihat dari daerah bening yang mengelilingi lubang perforasi (Choma, 2015).

Gambar 2.10 Metode Lubang/ Sumuran (Paliling dkk., 2016)

2.10.2 Bioautografi

Bioautografi merupakan metode skrining mikrobiologi yang umum

digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antimikroba. Skrining merupakan

prosedur pertama, yang dilakukan pada sampel yang akan dianalisis, untuk

mengetahui ada atau tidaknya analit yang didapat. Metode skrining ini memberikan

sensitivitas yang lebih tinggi daripada metode lainnya. Metode ini juga memiliki

kelebihan yaitu, sederhana, murah, hemat waktu dan tidak memerlukan peralatan

yang canggih (Choma, 2015).

Metode bioautografi sendiri ddibedakan menjadi tiga yaitu :

1. Bioautografi Kontak

Bioautografi kontak merupakan senyawa antimikroba yang dipindahkan

dari lempeng KLT ke medium agar yang telah diinokulasikan bakteri uji secara

merata dan dilakukan kontak langsung (Dewanjee dkk., 2014).

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

37

Metode ini didasarkan pada difusi dari senyawa yang telah dipisahkan

dengan Kromatografi Lapis Tipis. Lempeng kromatografi tersebut ditempatkan

di atas permukaan media agar yang sebelumnya diinokulasikan dengan

mikroorganisme yang sensitif terhadap senyawa antimikroba yang dianalisis.

Setelah 15-30 menit, lempeng kromatografi tersebut dipindahkan dari

permukaan medium. Senyawa antimikroba yang telah berdifusi dari lempeng

kromatogram ke dalam media agar dapat menghambat pertumbuhan bakteri

setelah diinkubasi pada waktu dan suhu yang tepat sampai noda menghambat

pertumbuhan mikroorganisme uji tampak pada permukaan membentuk zona

yang jernih (Marston, 2006).

Gambar 2.11 Bioautografi Kontak ((Dewanjee dkk., 2014).

2. Bioautografi Langsung (Deteksi KLT)

Metode Bioautografi langsung merupakan metode dimana

mikroorganisme tumbuh secara langsung diatas lempeng KLT. Prinsip kerja dari

metode ini adalah suspensi mikroorganisme uji dalam medium cair

disemprotkan pada permukaan KLT dengan cara menghilangkan sisa-sisa eluen

yang menempel pada lempeng kromatogram. Setelah itu di inkubasi pada suhu

dan waktu tertentu (Dewanjee dkk., 2014).

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

38

Gambar 2.12 Bioautografi Langsung (Dewanjee dkk., 2014).

3. Bioautografi Perendaman (Agar Overlay Bioautografi)

Bioautografi perendaman merupakan metode dimana medium agar telah

diinokulasikan dengan suspensi bakteri kemudian dituang di atas lempeng KLT.

Pada metode ini lempeng kromatografi yang telah dieluasi di letakkan dalam

cawan petri, sehingga permukaan tertutup oleh medium agar yang berfungsi

sebagai base layer. Setelah base layer memadat, dituangkan medium yang telah

disuspensikan mikroba uji yang berfungsi sebagai seed layer. Kemudian di

inkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai (Dewanjee dkk., 2014).

Gambar 2.13 Bioautografi Perendaman (Dewanjee dkk., 2014).

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

39

2.10.3 Metode Dilusi

Metode ini digunakan untuk mengukur konsentrasi hambat minimum (KHM)

dan kadar bunuh minimum (KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat

seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan

mikroba uji. Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih

tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang

ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa

penambahan mikroba uji atau pun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24

jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai

KBM (Pratiwi, 2008).

1. Metode Dilusi Tabung

Prinsip metode ini menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi media

cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Kemudian masing-masing

tabung diisi dengan obat yang telah diencerkan secara serial. Selanjutnya seri

tabung diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 18-24 jam dan diamati terjadinya

kekeruhan pada tabung. Konsentrasi terendah obat pada tabung yang

ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada

pertumbuhan mikroba) adalah KHM dari obat. Selanjutnya biakan dari semua

tabung yang jernih diinokulasikan pada media agar padat, diinkubasikan dan

keesokan harinya diamati ada tidaknya koloni mikroba yang tumbuh.

Konsentrasi terendah obat pada biakan padat yang ditunjukkan dengan tidak

adanya pertumbuhan koloni mikroba adalah KBM dari obat terhadap bakteri uji

(Dzen dkk., 2003).

2. Metode Dilusi Agar

Prinsip metode ini yaitu suatu antimikroba dengan konsentrasi biasa

dimasukkan kedalam lempengan agar padat. Setiap lempengan agar dapat

menetes banyak isolat yang berlainan. Isolat berlainan ditempatkan pada

permukaan lempengan agar dan diinkubasi. Jika isolatnya sensitif terhadap

konsentrasi antibiotika yang dites maka akan tumbuh dan akan terlihat suatu

koloni pertumbuhan bakteri (Edberg dkk., 1986). Uji kepekaan cara dilusi agar

memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja. Uji

kepekaan cara dilusi cair dengan menggunakan tabung reaksi, tidak praktis dan

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

40

jarang dipakai, namun kini ada cara yang lebih sederhana dan banyak dipakai

yakni menggunakan microdilution plate. Keuntungan uji mikrodilusi cair adalah

bahwa uji ini memberi hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antimikroba

yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri (Jawetz, 2013).

2.11 Media Pembiakan Candida albicans

2.11.1 Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA)

Media ini disebut sebagai media universal karena dapat digunakan untuk

mengisolasi semua jenis jamur, akan tetapi saprobes (organisme yang hidup dari

bahan-bahan yang membusuk atau sudah mati) kontaminan dapat tumbuh cepat

pada medium ini sehingga menutupi organisme patogen sesungguhnya.

Dekstrosanya yang tiggi dan pHnya yang asam dapat menyebabkan SDA hanya

dapat menjadi media pembiakan jamur-jamur tertentu. Dalam SDA, terdapat 40

gram dekstrosa, 15 gram agar, 5 gram cernaan enzimatik kasein dan juga 5 gram

cernaan enzimatik jaringan hewan. Kandungan enzim kasein dan juga jaringan

hewan berperan dalam menyediakan kebutuhan nitrogen dan juga vitamin untuk

pertumbuhan organisme. Media ini memiliki pH yang rendah yaitu sekitar 5,6 ± 0,2

sehingga cocok untuk pertumbuhan jamur terutama dermatofita dan kadar pH yang

bersifat asam tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan beberapa

spesies jamur (McIntosh, 2010).

Pertumbuhan koloni kandida di media SDA, diperlukan suhu udara yang

sesuai dengan suhu kamar, yaitu 25-30ºC, agar Candida albicans mudah tumbuh.

Kultur diinkubasikan selama 4 minggu sebelum ditentukan bahwa tidak terjadi

pertumbuhan jamur. Dalam waktu 24-48 jam akan terbentuk koloni bulat, basah,

mengkilat seperti koloni bakteri, berukuran sebesar kepala jarum (Ramali, 2013).

2.11.2 Sabouraud dextrose broth (SDB)

Media lain yang biasa digunakan dalam pembiakan jamur khususnya

Candida albicans ialah SDB. Sabouraud dextrose broth memiliki kandungan

dekstrosa yang tinggi dan juga sifat pH yang asam, yang dapat mendukung

pertumbuhan dari jamur dan menghambat pertumbuhan bakteri. Medium ini

merupakan media modifikasi dari Sabouraud dextrose agar (SDA), dengan jumlah

dekztrosa dan tanpa agar (Gigi dkk., 2000).

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tanamaneprints.umm.ac.id/53877/2/BAB II.pdfpopulasi dalam rongga mulut. Hal itu berkaitan erat dengan interaksi antara sel jamur dengan sel epitel

41

Kandungan SDB dalam 1 liter terdiri dari 20 gram dekstrosa dan juga 10 gram

campuran pepton jaringan hewan dan kasein cernaan pankreas (1:1). Dekstrose

sendiri merupakan sumber energi karbohidrat, sedangkan pepton ialah sumber

nitrogen, vitamin, mineral dan juga asam amino. Dalam suhu 25ºC, pH SDB adalah

5,6 ± 0,2. Selain jamur Candida albicans yang dapat tumbuh terdapat jamur yang

lainnya yaitu : Aspergillud niger, Lactobacillus casei dan juga Saccharomyces

cerevisiae. Sedangkan untuk Escherichia coli sebagian dapat terhambat dalam

media SDB (Gigi dkk., 2000).

2.12 Standart Pengukuran Zona Hambat

Pengukuran zona hambat dapat dilakukan dengan cara mlihat zona bening

yang terdapat pada media uji yang berada di sekeliling dick cakram. Standart

pengukuran zona hambat pada jamur menurut CLSI 28th Edition ialah sebagai

berikut :

Tabel II.2 Standart Pengukuran Zona Hambat (Clinical and Laboratory Standars

Institute 28th Edition, 2018 ).

Interpretive

Category

Breakpoints

MIC, µg/ mL Zona Diameter, mm

Susceptible ≤ 4 ≥ 20

Susceptible-dose dependent 8-16 15-19

Intermediate 8-16 15-19

Resistant ≥ 32 ≤ 14

Non susceptible > 4 < 20