Author
lybao
View
215
Download
0
Embed Size (px)
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kanker Payudara
a. Definisi
Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak terkendali yang dapat
menyusup ke jaringan sekitar kemudian menyebar ke area lain yang
lebih jauh di dalam tubuh. Sebagian besar tipe dari sel kanker
dinamakan sesuai dengan bagian tubuh pertama kali sel kanker berasal
(Riskesdas, 2013; American Cancer Society, 2013).
Kanker payudara merupakan tumor ganas yang berasal dari sel-
sel payudara. Kanker payudara dapat berasal dari sel kelenjar
penghasil susu (lobular), saluran kelenjar dari lobular ke puting
payudara (duktus), dan jaringan penunjang payudara yang
mengelilingi lobular, duktus, pembuluh darah dan pembuluh limfe,
tetapi tidak termasuk kulit payudara (American Cancer Society, 2014).
Sebagian besar kanker payudara berasal dari sel-sel duktus (86%),
kemudian lobular (12%), dan sisanya berasal dari jaringan lain (Keitel
dan Kopala, 2000).
b. Etiologi
Kanker merupakan penyakit multifaktorial dimana belum
ditemukan penyebab tunggal yang menjadi etiologi dari kanker.
Terdapat beberapa faktor risiko yang memengaruhi kemungkinan
seseorang untuk menderita kanker:
1) Jenis kelamin
Kanker payudara lebih banyak terjadi pada wanita daripada
pria dengan perbandingan sekitar 100 kali lebih banyak pada
wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pria mempunyai
lebih sedikit hormon estrogen dan progesteron yang mendukung
pertumbuhan dari sel kanker (American Cancer Society, 2014).
2) Usia
Di negara maju,sekitar 2 dari 3 kasus kanker payudara yang
invasif ditemukan pada wanita yang berusia 55 tahun keatas
(American Cancer Society, 2014). Sedangkan pada negara
berkembang, kanker payudara lebih banyak ditemukan pada usia
muda yaitu usia 15-49 tahun (Coughlin dan Cypel, 2013). Hal ini
juga didukung oleh hasil penelitian Yarso et al. (2012) yang
menyatakan bahwa usia rata-rata penderita kanker payudara di
Denpasar, Bali adalah 48 tahun.
3) Riwayat keluarga atau genetik
Adanya riwayat keluarga kanker payudara meningkatkan
risiko terjadinya kanker karena 5-10 % dari kasus kanker
payudara merupakan faktor herediter akibat mutasi genetik yang
diturunkan langsung dari orang tua (Coughlin dan Cypel, 2013).
Mutasi genetik yang paling umum adalah mutasi pada gen
BRCA1 dan BRCA2. Selain kedua gen tersebut, terdapat juga gen
lain seperti ATM, TP53, dan CHEK2 tetapi lebih jarang
meningkatkan risiko kanker (American Cancer Society, 2014).
Risiko menderita kanker juga meningkat 2 kali lipat jika terdapat
anggota keluarga generasi pertama seperti ibu atau saudara
perempuan yang positif kanker payudara (MOH Malaysia, 2010).
4) Faktor reproduksi dan hormon
Kehamilan pertama pada usia diatas 30 tahun, nulipara,
menstruasi pada usia dini (<12 tahun), dan menopause yang
terlambat berhubungan dengan peningkatan risiko dari kanker
payudara (MOH Malaysia, 2010). Paparan hormon seks yang
lebih lama juga berpengaruh terhadap peningkatan faktor risiko,
terutama pada wanita dengan kadar ekstradiol tinggi. Selain
hormon endogen, penggunaan hormon eksogen seperti pada
kontrasepsi oral dan terapi pengganti hormon juga meningkatkan
faktor risiko (American Cancer Society, 2014).
5) Faktor gaya hidup
Kebiasaan minum alkohol 2-5 gelas setiap hari
meningkatkan risiko sebesar 1,5 kali, peningkatan berat badan
berlebih atau obesitas setelah menopause dengan BMI (Body Mass
Index) lebih dari 25 juga meningkatkan risiko karena setelah
menopause, ovarium berhenti memproduksi estrogen dan produksi
estrogen sebagian besar berasal dari jaringan lemak. Aktivitas
fisik seperti berjalan kaki selama 1,25 hingga 2,5 jam setiap
minggu dapat mengurangi risiko sebesar 18% (Coughlin dan
Cypel, 2013; MOH Malaysia, 2010).
c. Patofisiologi
Kanker payudara yang invasif disebabkan oleh pertumbuhan sel-
sel epitel payudara yang berlebih dan tidak terkendali (Stopeck et al,
2015). Proliferasi sel yang berlebih ini dapat disebabkan oleh mutasi
gen, tidak aktifnya gen supresor tumor, gangguan apoptosis, dan
gangguan perbaikan DNA sehingga terjadi aktivasi onkogen yang
pada akhirnya menjadi sel kanker yang invasif. Selain itu, reseptor
estrogen dan progesteron yang berada di inti sel yang terdapat pada
beberapa kanker payudara dapat mendorong replikasi DNA,
pembelahan sel dan pertumbuhan sel kanker ketika hormon yang
sesuai berikatan pada reseptor tersebut (Kosir, 2013). Pertumbuhan sel
ini dapat muncul pertama kali di duktus maupun lobulus payudara
yang kemudian menyebar ke jaringan sekitar melalui infiltrasi, invasi,
dan penetrasi progresif. Sel kanker dapat menyebar melalui aliran
limfe dan sirkulasi darah yang mengakibatkan metastasis ke organ
tubuh lain. Metastasis sel kanker bisa ke viseral seperti paru, hati, otak
dan non viseral seperti tulang dan jaringan lunak (de Jong, 2010).
Metastasis kanker payudara seringkali muncul beberapa tahun setelah
diagnosis dan terapi awal (Kosir, 2013).
d. Klasifikasi
Klasifikasi histopatologik menurut Bloom-Richardson Grading
System dengan melihat diferensiasi berdasarkan tiga morfologi yaitu:
1) Pembentukan kelenjar (tubule formation) : seberapa banyak
jaringan tumor yang memiliki struktur kelenjar susu normal
skor 1 = > 75% sel-sel tumor tersusun dalam tubulus
skor 2 = > 10% dan < 75%
skor 3 = < 10%
2) Pleomorfisme nukleus dari sel-sel tumor (nuclear grade) :
penilaian bentuk dan ukuran nukleus dalam sel-sel tumor
skor 1 = sel nukleus memiliki ukuran dan bentuk yang
seragam, berukuran agak kecil, memiliki pola kromatin yang
tersebar, dan tanpa nukleolus yang terlihat jelas.
skor 2 = sel nukleus agak bervariasi/pleomorfik dalam bentuk
dan ukuran, mempunyai nukleolus, dan berukuran sedang.
skor 3 = sel nukleus berukuran besar, mempunyai nukleolus
yang jelas atau multipel, dan bervariasi dalam bentuk dan
ukuran.
3) Aktivitas mitosis (dilihat dari perbesaran 100x hingga 400x) :
seberapa banyak sel-sel yang sedang mengalami mitosis.
skor 1 = < 10 mitosis dalam 10 lapang pandang.
skor 2 = > 10 dan < 20 mitosis.
skor 3 = > 20 mitosis per 10 lapang pandang.
Skor dari ketiga morfologi diatas kemudian dijumlahkan,
sehingga dari total skor didapatkan:
Tabel 2.1 Klasifikasi Grade Kanker Payudara secara Histopatologik oleh Bloom-Richardson Grading System
Skor Grade Nuclear Grade
Terminologi Histological Grade
Kode
3-5 low grade
1/3, 1/2 Well-differentiated
BR low grade G1
6-7 Intermediate grade
2/3 Moderately differentiated
BR intermediate
grade
G2
8-9 high grade
2/2, 3/3 Poorly differentiated
BR high grade G3
(Mazreku et al., 2014; National Cancer Institute, 2013)
e. Diagnosis
Diagnosis pada kanker payudara meliputi triple assessment yaitu
anamnesis klinis lengkap, pemeriksaan radiologi/imaging
(ultrasonografi dan/atau mamografi) dan pemeriksaan patologi
(sitologi dan/atau histologi) (MOH Malaysia, 2010). Anamnesis klinis
lengkap meliputi anamnesis keluhan utama dan tambahan serta
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan radiologik meliputi mamografi
bilateral dan ultrasonografi pada payudara dan juga limfonodi regional
(KNPK, 2015). MRI (Magnetic Resonance Imaging) tidak diperlukan
sebagai prosedur diagnostik rutin, tetapi dapat dipertimbangkan
apabila terdapat jaringan payudara yang lebih padat pada perempuan
usia muda, riwayat kanker payudara dalam keluarga karena mutasi
gen BRCA, dan adanya status limfonodi axilla positif tetapi tidak
diketahui lokasi tumor primer (Aebi, 2011). Pemeriksaan Patologi
dengan sitologi biopsi aspirasi jarum halus dan/atau core biopsy pada
lesi yang dicurigai ganas. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan
histopatologi sebagai gold standard (KNPK, 2015).
f. Stadium Kanker Payudara
American Joint Committee on Cancer (AJCC) pada tahun 2010
telah menetapkan pengelompokkan stadium berdasarkan Sistem
Tumor Nodus Metastasia (TNM), sebagai berikut:
Tabel 2.2 Pengelompokkan stadium kanker payudara berdasarkan Sistem TNM oleh AJCC Cancer Staging Manual
Klasifikasi Definisi
Tumor Primer (T)
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tis (DCIS) Ductal Carcinoma in situ
Tis (LCIS) Lobular Carcinoma in situ
Tis (Paget’s) Paget’s disease pada puting payudara tanpa tumor. Paget’s disease yang berhubungan dengan tumor diklasifikasikan berdasarkan ukuran tumor
T1 Tumor ≤ 2 cm pada dimensi terbesar
T1 mic Mikroinvasi ≤ 0,1 cm pada dimensi terbesar
T1a Tumor > 0.1 cm –0.5 cmpada dimensi terbesar
T1b Tumor > 0.5 cm– 1 cm pada dimensi terbesar
T1c Tumor > 1 cm– 2 cm pada dimensi terbesar
T2 Tumor > 2 cm – 5 cm pada dimensi terbesar
T3 Tumor berukuran > 5 cm pada dimensi terbesar
T4 Tumor berukuran apapun dengan ekstensi langsung ke dinding dada dan/atau kulit (ulserasi atau skin nodule). Catatan: invasi ke dermis saja
tidak termasuk T4
T4a Ekstensi ke dinding dada, tidak termasuk otot pectoralis
T4b Edema (termasuk peau d’orange) atau ulserasi kulit payudara atau satellite skin nodules pada payudara yang sama, yang tidak termasuk kriteria inflammatory carcinoma
T4c Gabungan T4a dan T4b
T4d Karsinoma inflamasi
Kelenjar Getah Bening (KGB) regional (N)
Nx KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis KGB regional
N1 Metastasis pada KGB aksila ipsilateral level 1-2 yang masih dapat digerakkan
N2 Metastasis pada KGB aksila ipsilateral level 1-2 yang terfiksir, atau KGB mamaria interna yang terdeteksi secara klinis* jika tidak terdapat metastasis KGB aksila secara klinis
N2a Metastasis pada KGB aksila ipsilateral level 1-2 yang terfiksir satu sama lain atau terfiksir pada struktur lain
N2b Metastasis hanya pada KGB mamaria interna yang terdeteksi secara klinis* dan jika tidak terdapat metastasis KGB aksila secara klinis
N3 Metastatis pada KGB infraklavikula ipsilateral level 3 dengan atau tanpa keterlibatan KGB aksila level 1-2, atau pada KGB mamaria interna ipsilateral yang terdekteksi secara klinis* dan jika terdapat metastasis KGB aksila level 1-2 secara klinis; atau metastasis pada KGB supraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa keterlibatan KGB aksila atau mamaria interna
N3a Metastasis pada KGB infraklavikula ipsilateral
N3b Metastasis pada KGB mamaria interna ipsilateral dan KGB aksila
N3c Metastasis pada KGB supraklavikula ipsilateral
* Terdeteksi secara klinis yaitu terdeteksi pada pemeriksaan imaging (lymphoscintigraphy) atau pemeriksaan fisik dan
memiliki karakteristik yang mencurigakan keganasan atau diduga mikrometastasis patologik berdasarkan sitologi FNAB
Metastasis Jauh (M)
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Stadium klinis berdasarkan kombinasi dari pengelompokkan
berdasarkan Sistem Tumor Nodus Metastasia (TNM) sebagai berikut:
Tabel 2.3 Stadium klinis berdasarkan TNM kanker payudara
Stadium Tumor (T) Metastasis Limfonodi (N)
Metastasis Jauh (M)
Stadium 0 Stadium IA Stadium IB Stadium IIA Stadium IIB Stadium IIIA Stadium IIIB Stadium IIIC Stadium IV
Tis T1* T0 T1* T0 T1* T2 T2 T3 T0-2 T3 T4 Setiap T Setiap T
N0 N0 N1 N1 N1** N1** N0 N1 N0 N2 N1-2 N0-2 N3 Setiap N
M0 M0 M1, M0 M1, M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1
(Ozsaran Z dan Alanyalı SD, 2013)
g. Penatalaksanaan
Beberapa penatalaksanaan medis standar yang dapat dilakukan
pada kanker payudara:
1) Karsinoma in situ
a) Lobular carcinoma in situ (LCIS) = LCIS merupakan kondisi
prekanker, sehingga terapi aktif belum direkomendasikan,
tetapi diperlukan follow-up aktif dengan pemeriksaan
payudara dan mammografi rutin setiap tahun karena
karsinoma in situ dapat berkembang menjadi karsinoma
invasif.
b) Ductal carcinoma in situ (DCIS) = Penatalaksanaan dilakukan
dengan Breast-Conserving Surgery (BCS) atau lumpektomi
dan bisa juga dengan mastektomi. Setelah dilakukan tindakan
operasi umumnya dilanjutkan dengan radiasi untuk
mengurangi kemungkinan kembalinya kanker pada payudara
yang sama.
2) Karsinoma invasif
a) Tindakan operasi
Tindakan operasi dengan lumpektomi yaitu mengangkat
sebagian jaringan kanker dan jaringan disekitarnya dari
payudara atau mastektomi yaitu mengangkat seluruh jaringan
payudara dan limfonodi disekitarnya jika diperlukan. Nodus
limfatikus juga dievaluasi dengan sentinel lymph node biopsy
atau diseksi nodus limfatikus aksila.
b) Terapi radiasi
Terapi radiasi dilakukan untuk mengurangi kemungkinan
kekambuhan pada payudara yang sama. Radiasi dilakukan
setelah operasi, apabila diberikan kemoterapi setelah operasi,
maka radiasi dilakukan setelah kemoterapi selesai. Radiasi
direkomendasikan jika tepi sayatan dekat/tidak bebas tumor,
tumor berada di sentral/medial, dan terdapat kelenjar getah
bening positif lebih dari tiga.
c) Terapi hormonal
Terapi hormonal direkomendasikan untuk penderita
kanker payudara invasif dengan jenis kanker reseptor hormon
(estrogen atau progesterone) positif dengan aromatase
inhibitor (anastrozole, lestrozole, exemestane) atau tamoxifen
selama minimal 5 tahun yang paling sering digunakan untuk
penderita yang belum menopause sehingga menghambat efek
estrogen.
d) Kemoterapi
Kemoterapi direkomendasikan untuk penderita kanker
payudara dengan reseptor hormon negatif atau sebagai
kombinasi dengan terapi hormon untuk penderita kanker
dengan reseptor hormon positif. Kemoterapi dapat diberikan
sebelum tindakan operasi (neoadjuvant chemotherapy) untuk
mengecilkan tumor sehingga dapat dilakukan lumpektomi dan
setelah operasi (adjuvant chemotherapy). Pada jenis kanker
HER2+ direkomendasikan pemberian transtuzumab
(Herceptin) atau pertuzumab (Perjeta) selama setahun.
Pemberian kemoterapi juga untuk menurunkan risiko
kembalinya kanker dan diberikan bervariasi selama 3-6 bulan.
Pada kanker payudara stadium lanjut, sifat terapi adalah
paliatif, terapi sistemik seperti kemoterapi dan terapi hormonal
merupakan terapi primer. Terapi seperti radiasi dan bedah
dapat dilakukan apabila diperlukan.
(American Cancer Society, 2006; KNPK, 2015; MOH Malaysia,
2010)
2. Keterlambatan Pengobatan Kanker Payudara
Keterlambatan pengobatan pada kanker payudara dilihat
berdasarkan stadium saat pasien pertama kali memutuskan untuk
melakukan pengobatan medis standar. Stadium I dan II merupakan
stadium dini (early stage) dimana dengan pengobatan yang tepat dan cepat
maka harapan untuk kesembuhan lebih baik dengan angka harapan hidup 5
tahun untuk stadium I dan II adalah 100% dan 93% sehingga pasien
dikategorikan belum terlambat saat datang untuk berobat dalam stadium I
dan II. Stadium III dan IV merupakan stadium lanjut (late stage) dimana
kanker sudah berkembang jauh sehingga lebih sulit dan membutuhkan
biaya lebih banyak dalam pengobatannya. Mortalitas untuk stadium III dan
IV pada kanker payudara tinggi dengan angka harapan hidup 5 tahun
sebesar 72% dan 22% sehingga prognosisnya lebih buruk. Oleh karena itu
pasien dikategorikan terlambat saat datang untuk berobat dalam stadium
III dan IV (American Cancer Society, 2014; Chen et al., 2014; Stapleton et
al., 2011).
Kasus kanker payudara yang ditemukan pada stadium lanjut lebih
dari 80% di Indonesia dimana salah satu penyebabnya adalah adanya
penundaan penderita dalam memeriksakan diri dan berobat di pelayanan
medis standar akibatnya terjadi keterlambatan pengobatan pada
penyakitnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal tersebut ialah
masih kurangnya pengetahuan penderita mengenai tanda dan gejala
kanker, juga deteksi dini melalui pemeriksaan payudara sendiri yang
masih jarang dilakukan sehingga penderita tidak menyadari penyakitnya
dan terlambat berobat (Facione et al., 2002; Okobia et al., 2006). Dari
hasil penelitian disebutkan sebanyak 65,45% penderita menunda
pemeriksaan karena tidak mengetahui jika benjolan pada payudaranya
ganas (Djatmiko et al., 2013). Hal ini dapat disebabkan oleh gejala awal
dari kanker payudara tidak begitu jelas seperti benjolan pada payudara
yang tidak terasa nyeri sehingga penderita mengabaikan keluhan dan
menunda melakukan konsultasi hingga keluhan yang dialami memburuk
atau muncul keluhan baru (Norsa’adah et al., 2011). Setelah melakukan
pemeriksaan dan didiagnosis kanker, seringkali penderita merasa takut
untuk melakukan pengobatan medis standar karena takut akan operasi dan
efek samping dari pengobatan medis standar seperti kemoterapi (Bish et
al., 2005; Clegg-Lamptey et al., 2009). Menurut penelitian Djatmiko et al.
(2013), sebanyak 23,64% penderita menunda pengobatan karena rasa
takut.
Faktor ekonomi juga dapat berpengaruh dimana beban biaya
pengobatan seperti operasi menjadi pertimbangan pasien untuk menunda
atau tidak melakukan pengobatan medis setelah didiagnosis, terlebih jika
pasien tidak memiliki asuransi kesehatan yang dapat meringankan biaya
pengobatan (Chen et al., 2014). Jarak tempat tinggal menuju rumah sakit
juga menjadi faktor yang dapat menyebabkan keterlambatan karena
semakin jauh tempat tinggal juga dapat menjadi beban penderita dalam
melakukan pengobatan ke rumah sakit. Hasil penelitian menyebutkan
bahwa pasien dengan jarak rumah < 5 km yang datang pada stadium lanjut
sebesar 49,5%, sedangkan pada jarak 5 - 9,9 km sebesar 48,8%, pada jarak
rumah lebih jauh yakni 10-19,9 km keterlambatan ini meningkat menjadi
52,7%, pada jarak 20-29,9 km meningkat lagi menjadi 62,5%, selanjutnya
pada jarak 30-39,9% terjadi peningkatan hingga 69%, dan setelahnya pada
jarak ≥ 40 km, terjadi sedikit penurunan walaupun jumlahnya masih cukup
besar yaitu sebesar 56,1% (Dickens et al., 2014). Tingkat pendidikan
disebutkan dalam beberapa penelitian. Norsa’adah et al. (2011)
menyebutkan bahwa keterlambatan lebih banyak terjadi pada penderita
dengan tingkat pendidikan terakhir sekolah menengah atas (SMA) disusul
oleh sekolah dasar (SD). Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil
penelitian Helyer et al. (2006) dimana penderita yang datang pada stadium
lanjut yang terbanyak memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA. Hal
yang sedikit berbeda ditemukan pada penelitian di Indonesia oleh
Djatmiko et al. (2013) dimana keterlambatan lebih banyak terjadi pada
pasien dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi dan yang terbanyak
kedua adalah SMA. Tingkat pendidikan menurut UU no. 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional dibagi kedalam tiga kelompok yaitu
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan dasar mencakup sekolah dasar (SD), madrasah ibtidaiyah (MI)
atau bentuk lain yang sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP),
madrasah tsanawiyah (MTs). Pendidikan menengah mencakup sekolah
menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah
kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat. Pendidikan tinggi yaitu perguruan tinggi mencakup
program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor.
Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi,
institut, atau universitas.
Selain beberapa faktor diatas, adanya berbagai pilihan pengobatan
alternatif juga dapat memengaruhi keputusan penderita dalam melakukan
pengobatan, penderita kanker payudara memutuskan melakukan
pengobatan alternatif terlebih dahulu dibandingkan pengobatan medis
standar karena menurut mereka pengobatan alternatif dirasakan lebih
aman, nyaman, dan minimal efek sampingnya (Muhamad et al. 2012).
Hasil penelitian oleh Djatmiko et al. (2013) menyebutkan, dari 16 pasien
yang tidak langsung melakukan terapi medis melainkan melakukan terapi
lain seperti pengobatan alternatif, sebanyak 13 pasien (81,25%)
mengalami keterlambatan terapi.
3. Pengobatan Alternatif pada Kanker Payudara
Penderita kanker lebih banyak menggunakan CAM
(Complementary and Alternative Medicine) dibandingkan populasi umum
non kanker pada penelitian dengan 31,044 orang dewasa di Amerika
Serikat (Mao et al., 2007). Berdasarkan survei pada penderita kanker
payudara di Malaysia, sebanyak 61% merupakan pengguna CAM
(Sulaiman et al., 2011) dan penelitian di Amerika Serikat, sebanyak 73%
dari penderita kanker payudara stadium lanjut merupakan pengguna CAM
(Shen et al., 2002).
Menurut Food and Drugs Administration (FDA) tahun 2006 CAM
merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang menggunakan teknik, produk
dan terapi yang tidak termasuk kedalam pengobatan medis standar.
Berbeda dengan pengobatan komplementer yang digunakan bersama
dengan pengobatan medis standar, pengobatan alternatif digunakan untuk
menggantikan pengobatan medis standar.
Pengobatan alternatif diklasifikasikan menjadi 5 menurut National
Institutes of Health pada tahun 2005 :
a. Intervensi Tubuh-Pikiran
Berdasarkan kepercayaan bahwa pikiran dapat memengaruhi
kesehatan tubuh. Beberapa contoh dari metode ini adalah meditasi,
spiritual, biofeedback, hipnoterapi, visualisasi, terapi musik, terapi seni
dan yoga.
b. Pengobatan Biologi
Penggunaan suplemen makanan, vitamin, produk herbal / botani
dan diet khusus termasuk kedalam pengobatan biologi. Penggunaan
vitamin seperti vitamin C, E, dan A. Suplemen makanan contohnya
omega 3, minyak ikan dan madu (Saibul et al., 2012). Penggunaan diet
khusus yaitu diet rendah lemak dan tinggi serat (Greenle et al., 2009;
Link et al., 2013). Penggunaan produk herbal untuk kanker dengan
berbagai macam ekstrak dari tumbuhan seperti sirsak, tapak dara,
sambiloto, pegagan, kunyit putih, dan lain-lain yang dikombinasikan
dengan bahan alami lainnya.
Hasil penelitian Saibul et al. (2012) menyatakan vitamin dan
suplemen makanan merupakan pengobatan biologi yang paling sering
digunakan oleh penderita kanker payudara di Malaysia yaitu sebanyak
47,2% dan 30,7%. Menurut beberapa survei, pengobatan herbal juga
termasuk yang paling banyak digunakan oleh penderita kanker.
Pengobatan herbal oleh masyarakat umum dipercaya lebih aman
karena menimbulkan lebih sedikit efek samping dan ketergantungan
(Olaku dan White, 2010). Walaupun seperti itu, herbal mengandung
berbagai zat aktif dengan efek yang tidak selalu dapat diperkirakan,
berbeda dengan obat standar yangg didalamnya terdapat satu atau
beberapa zat aktif yang sudah teruji dan terstandarisasi. Selain itu,
interaksi antara herbal dengan obat standar belum banyak diteliti
karena uji toksisitas atau kontrol kualitas baru dilakukan pada
beberapa herbal saja atau belum semua produk herbal melalui uji
khasiat dan keamanan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(Suardi, 2011).
Beberapa obat standar untuk kanker sebenarnya berasal dari
tumbuhan seperti camptothecin dari tumbuhan China yaitu
Camptotheca acuminata, obat kemoterapi paclitaxel dari kulit pohon
Taxus chinensis, vinkristin berasal dari Catharanthus roseus dan
indirubin dari daun dan batang tumbuhan Baphicacanthus cusia.
Tetapi dari tumbuh-tumbuhan ini dicari dan dipisahkan terlebih dahulu
zat aktifnya sehingga dapat ditentukan dosisnya secara akurat bukan
secara langsung digunakan untuk mengobati kanker (Cassileth dan
Deng, 2004).
c. Manipulative and Body-based Practices
Berpusat terutama pada struktur tubuh seperti jaringan dan tulang
serta sistem peredaran darah dan limfe. Beberapa metode yang
termasuk kedalam pengobatan ini adalah pijat (pada jaringan dengan
menggunakan tangan atau alat tertentu), kriropraktik (pada sendi dan
sistem skeletal), refleksiologi (penekanan pada titik-titik tertentu pada
tangan dan kaki untuk memengaruhi bagian tubuh yang lain).
d. Terapi Energi
Suatu kepercayaan bahwa tubuh mempunyai suatu energi yang
dapat digunakan untuk penyembuhan.Terapi energi meliputi tai chi,
reiki, shiatsu, do-in, shaolin, akupunktur, dan akupresur. Akupresur
merupakan variasi dari akupunktur yang tidak menggunakan jarum
tetapi dengan penekanan dalam menggunakan jari pada acupoints.
Karena menggunakan penekanan yang dalam, akupresur tidak
dianjurkan pada penderita yang memiliki varises, luka, atau riwayat
trauma tulang dan spinal.
e. Whole Medical Systems
Kombinasi dari empat jenis pengobatan diatas. Pengobatan
tradisional seperti akupunktur dari China dan ayurveda dari India serta
pengobatan yang lebih modern seperti homeopati dan naturopati
termasuk kedalam jenis pengobatan ini. Akupunktur merupakan
penusukan jarum untuk menstimulasi titik-titik anatomi yang dapat
memengaruhi aliran energi (Qi) dalam tubuh untuk tujuan terapi.
Akupunktur pada umumnya digunakan untuk menghilangkan keluhan
penyakit yaitu nyeri dan efek samping seperti edema pada terapi
radiasi dan mual, muntah pada kemoterapi. Pada penelitian disebutkan
96% pasien kemoterapi yang merasakan efek samping mual dan
muntah mengalami perbaikan dengan penusukan pada titik P6
(neiguan) dan ST36 (zusanli), walaupun tidak bertahan cukup lama
(Ma, 2009). Akupunktur tidak dianjurkan untuk dilakukan pada
benjolan kanker, pada penderita dengan jumlah leukosit rendah karena
adanya risiko infeksi dari prosedur, dan penderita dengan jumlah
trombosit rendah karena adanya risiko perdarahan. Ayurveda adalah
sistem pengobatan yang komprehensif untuk menyeimbangkan
pikiran, tubuh, dan jiwa meliputi diet, olahraga, meditasi, herbal, pijat,
paparan sinar matahari, dan latihan pernapasan. Homeopati dengan
penggunaan sejumlah kecil dosis ekstrak tumbuhan dan mineral untuk
menstimulasi mekanisme pertahanan dan penyembuhan tubuh untuk
mengobati penyakit. Naturopati dengan penggunaan diet, herbal,
hidroterapi, dll menekankan pada stimulasi kemampuan tubuh untuk
menyembuhkan dirinya sendiri secara alamiah dan bertujuan untuk
pengembalian keadaan sehat dibandingkan pengobatan penyakit
(Harwood dan Picket, 2000).
Beberapa alasan penderita kanker menggunakan CAM adalah untuk
mempertahankan keadaan sehat secara keseluruhan baik fisik, emosi,
mental, dan spiritual seperti mengatasi stress dan depresi karena penyakit
dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Selain itu, untuk meringankan
keluhan yang berhubungan dengan penyakit atau efek samping terapi
medis seperti penggunaan intervensi tubuh pikiran untuk meningkatkan
respon tubuh terhadap terapi dan penggunaan akupunktur dan herbal untuk
mengatasi nyeri dan mual. Alasan lain yang menjadi kontroversi yaitu
untuk mengobati kanker secara langsung baik digunakan sebagai
kombinasi atau pengganti terapi medis standar (Harwood dan Picket,
2000).
Di Indonesia, terdapat berbagai pengobatan alternatif selain lima
jenis diatas dengan metode yang tidak wajar seperti mengonsumsi bisa
ular, penyakit dipindahkan ke binatang, disengat lebah, bahkan
mengonsumsi urin sendiri (Suardi, 2011). Oleh karena berbagai macam
pengobatan alternatif yang ada saat ini, National Institutes of Health
menganjurkan penderita kanker untuk mencari tahu dan mengerti dengan
jelas mengenai manfaat, risiko dan efek samping dari terapi alternatif yang
telah terbukti sebelum menggunakannya, menimbang antara manfaat
dengan efek samping, dan apakah pengobatan alternatif akan mengganggu
pengobatan medis standar serta interaksi antara kedua pengobatan tersebut
dan juga dapat berkonsultasi dengan dokter mengenai penggunaannya
(National Institutes of Health, 2005).
4. Hubungan Penggunaan Pengobatan Alternatif dengan Keterlambatan
Pengobatan Medis Kanker Payudara
Pengobatan alternatif digunakan untuk menggantikan pengobatan
medis standar. Pengobatan ini dapat ditujukan untuk terapi kanker, tetapi
belum terbukti aman dan efektif dalam uji klinis (American Cancer
Society, 2014).
Pengobatan Alternatif umum digunakan oleh pasien kanker.
Penelitian oleh Greenlee et al.(2009) menyebutkan bahwa 5 tahun sebelum
diagnosis kanker payudara, penggunaan pengobatan alternatif ditemukan
pada kurang lebih 20% wanita. Penggunaan pengobatan alternatif tersebut
meningkat pesat setelah diagnosis hingga 86,2% pada wanita. Walaupun
pengobatan alternatif umum digunakan oleh penderita kanker di seluruh
dunia, alasan dibalik penggunaannya dan hubungan antara pengobatan
tersebut dengan pengobatan medis standar bervariasi di berbagai daerah di
seluruh dunia. Penggunaan pengobatan alternatif di negara maju seperti
Amerika Serikat sebagian besar digunakan ketika seluruh pilihan
pengobatan sudah tidak memberikan harapan. Berbeda dengan di negara
berkembang seperti di Indonesia, pengobatan alternatif seringkali
dijadikan terapi lini pertama. Penderita kanker melakukan pengobatan
alternatif selama jangka waktu tertentu sebelum berobat ke pelayanan
medis standar (Malik dan Gopalan, 2003).
Penderita yang melakukan pengobatan alternatif sebagai terapi
awal akan menunda pengobatan medis standar. Jika saat penderita kembali
pada pengobatan medis standar terjadi peningkatan stadium dari kanker
payudara menjadi stadium lanjut, maka pasien dikatakan terlambat dalam
melakukan pengobatan medis standar. Di Indonesia, kasus kanker
payudara lebih banyak ditemukan pada stadium lanjut (>80%) sehingga
semakin sulit dalam penatalaksanaannya (KNPK, 2015). Keterlambatan
penderita dalam melakukan pengobatan medis standar salah satunya
berkaitan dengan penggunaan pengobatan alternatif. Menurut penelitian
oleh Djatmiko et al. (2013), terdapat hubungan signifikan antara penderita
yang melakukan pengobatan lain seperti pengobatan alternatif sebelum
datang untuk melakukan pengobatan medis standar dengan keterlambatan
terapi kanker payudara. Keterlambatan terapi ini dapat berpengaruh
terhadap kualitas dan ketahanan hidup serta prognosis penderita karena
angka harapan hidup penderita semakin berkurang seiring meningkatnya
stadium kanker payudara (Stapleton et al., 2011).
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1. Kerangka pemikiran
Keterangan :
: variabel bebas dan terikat yang diteliti
: memengaruhi
Faktor penyebab: 1. Rasa takut 2. Faktor ekonomi 3. Pengobatan
alternatif 4. Tingkat pengetahuan 5. Tingkat pendidikan 6. Jarak tempat tinggal
Semua penderita kanker payudara yang terdata di RSUD Dr. Moewardi dan RSU Kasih Ibu
Pengobatan alternatif: 1. Whole medical
systems 2. Intervensi tubuh
pikiran 3. Pengobatan biologi 4. Manipulative and
body-based practices 5. Terapi energi
Pengobatan alternatif
Disarankan melakukan terapi medis standar
Melakukan terapi
Didiagnosis tegak kanker payudara dari hasil pemeriksaan biopsi
Tidak melakukan terapi
Stadium I
Peningkatan stadium
Datang berobat kembali ke rumah sakit
Belum terlambat
Stadium IV Stadium III Stadium II
Terlambat
Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV
Pengobatan di RSUD Dr. Moewardi dan RSU Kasih Ibu Surakarta
Dipengaruhi grade kanker
C. Hipotesis
Penggunaan pengobatan alternatif sebagai faktor risiko keterlambatan
penderita kanker payudara melakukan pengobatan di Surakarta.