Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Semiotika
Semiotika berasal dari kata Yunani yaitu “Semion” yang berarti
Tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang suatu tanda
(sign). Dalam ilmu komunikasi “tanda” merupakan sebuah interaksi
makna yang disampaikan kepada orang lain melalui tanda-tanda.
Semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan
dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai
wacana sosial sebagai fenomena Bahasa.
Menurut Sobur (2003: 15) semiotika adalah suatu ilmu atau
metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat
yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di
tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau
dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-
objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur
dari tanda (Sobur, 2003:15).
12
2.1.1 Teori Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2
tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi
adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan
pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna
yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Dalam
semiotika, denotation dan connotation adalah dua istilah yang
menggambarkan hubungan antara signifier dan signified. Selain itu,
denotasi dan konotasi juga menggambarkan sebuah perbedaan
analitis yang dibuat antara dua jenis signified yaitu denotative
signified dan connotative signified. Denotation dan connotation
selalu digambarkan dalam istilah level of representation atau level
of meaning. Dalam bukunya yang berjudul Elements of Semiology
(1964), Roland Barthes membedakan denotation dan connotation
dengan merujuk pada pendapat Louis Hjelmslev dengan
menggunakan istilah orders of signification.
Denotation adalah order of signification yang pertama. Pada
tingkatan ini terdapat sebuah tanda yang terdiri atas sebuah signifier
dan sebuah signified. Dalam artian, denotation merupakan apa yang
kita pikirkan sebagai sebuah literal, bersifat tetap, dan memiliki
makna kamus sebuah kata yang secara ideal telah disepakati secara
13
universal. Sedangkan, connotation adalah order of signification
yang kedua yang berisi perubahan makna kata secara asosiatif.
Menurut Barthes, hal ini hanya berlaku pada tataran teoritis. Pada
tataran praktis, membatasi makna ke dalam sebuah denotative akan
sangat sulit karena tanda selalu meninggalkan jejak makna dari
konteks sebelumnya.
Roland Barthes mengemukakan lima jenis kode penandaan:
1. Kode Hermenutika
Sistem kode ini berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul pada teks.
Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi
tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara
permunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian di dalam
suatu cerita.
2. Kode Proaretik
Merupakan kode tindakan naratif dasar (basic narrative
action) yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai
sikuen yang mungkin diindikasikan. Karya fiksi seperti novel, pada
umumnya memiliki kode proairentik. Bagi Roland Barthes, semua
karya fiksi harus ada tindakan utama. Secara teoritis, Barthes
melihat semua lakuan dapat dikondisikan.
14
3. Kode Semantik
Kode semantik (semik) kode ini mengacu pada konotasi
dalam cerita yang memberikan tambahan atas makna denotatif dasar
kata tersebut. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema
suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam
teks dapat dikelompokan dengan konotasi kata atau frase yang
mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita
menemukana suatu tema di dalam cerita. Jika dalam sebuah konotasi
melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali tokoh
dengan atribut tertentu.
4. Kode Simbolik
Kode ini mirip dengan kode semantik, tetapi bertindak lebih
luas, mengatur makna semantik ke dalam rangkaian makna yang
lebih luas dan lebih mendalam. Kode simbolik merupakan kode
pengelompokan atau konfigurasi yang gampang dikenali karena
kemunculannya berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara
dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antithesis: hidup
dan mati, diluar dan didalam, dingin dan panas, dan seterusnya.
Dalam konsepsinya mengenai kajian semiology, Roland Barthes
melihat bahwa gagasan makna berasal dari beberapa oposisi biner
atau pembedaan, baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam
proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual
yang melalui proses.
15
5. Kode Kultural
Kode kultural (budaya) merupakan acuan yang terdapat
dalam teks sastra yang refrensinya dapat berupa benda-benda,
peristiwa, istilah-istilah, tokoh-tokoh, dan sebagainya yang sudah
diketahui dan dikondifikasi atau dipecahkan kode oleh budaya lain.
Penulis sebuah teks atau pengarang pasti memiliki titik tumpu
kultural dalam membangun narasinya. Kode Ghonik tersebut hanya
dapat ditangkap maknanya dengan menemukan acuan relasi pada
kode acuan yang tepat.
Dari peta Barthes diatas terlihad bahwa tanda denotatif (3)
Bagan 2.1 Tabel Semiotik Roland Barthes.
Pada peta tanda Roland Barthes tersebut diatas dapat
diuraikan secara lebih sederhana bahwa munculnya sebuah makna
denotasi tidak terlepas dari adanya sebuah penanda dan juga
petanda. Namun tanda denotasi juga dapat membuat persepsi kepada
1. Signifier
penanda
2. Signified
petanda
3. Denotative sign (tanda denotative)
4. CONOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
5. CONOTATIVE
SIGNIFIED
(PETANDA
KONOTATIF)
6. CONOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
16
sebuah penanda konotasi. Tetapi jika dapat mengenal adanya bentuk
seperti “bunga mawar”, maka persepsi petanda konotasi yang akan
muncul dari bunga mawar adalah cinta, romantis, dan kelembutan.
Itu karena sudah adanya kesepakatan pada sebagian masyarakat
tertentu (Sobur, 2003: 69).
Konotatif merupakan tanda yang penandanya mempunyai
keterbukaan makna atau makna yang implisit, tidak langsung, dan
tidak pasti artinya terbuka kemungkinan terhadap penafsiran-
penafsiran baru. Dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan
sistem signifikansi tingkat pertama, sedangkan konotasi merupakan
sistem signifikansi tingkat kedua. Denotasi dapat dikatakan makna
objektif yang tetap, sedangkan konotasi merupakan makna subjektif
dan bervariasi. Contohnya jika kita membaca kalimat seperti”
Mawar sebagai Bunga Desa”, secara denotasi orang akan memaknai
bahwa mawar adalah bunga yang tumbuh di desa, tetapi konotasi
maknanya berubah, bunga berarti seorang gadis dan Mawar adalah
nama gadis tersebut. Bunga dan gadis awalnya tidak ada
hubungannya sama sekali, tetapi dapat diinterpretasikan memiliki
sifat kesamaan, yaitu cantik atau indah. Contoh lainnya, yaitu
penjahat itu di bawa ke meja hijau. Secara konotasi meja hijau
berarti “pengadilan”.
17
2.2 Unsur Gambar dalam Seni Rupa
Karya seni rupa mulanya terbentuk dari unsur-unsur seni rupa,
yang satu sama lain saling berhubungan, sehingga merupakan suatu
kesatuan hubungan antara lain :
1. Titik
Secara umum dimengerti bahwa suatu bentuk disebut
sebagai titik karena ukurannya yang kecil, dikatakan kecil karena
objek tersebut berada pada area yang luas dan manakala dengan
objek yang sama dapat dikatakan besar apabila diletakan pada area
yang sempit (Sanyoto, 2009: 94).
2. Garis
Garis merupakan suatu bentuk yang berukuran kecil tetapi
memanjang (Sanyoto, 2009: 94).
3. Bidang
Bidang adalah suatu bentuk raut pipih, datar sejajar
dengan dimensi panjang dan lebar serta menutup permukaan.
Bentuk-bentuk yang pipih/ gepeng seperti tripleks, kertas, karton,
seng, papan tulis dan bidang latar yang lainnya (Sanyoto, 2009:
117).
4. Bentuk
Bentuk adalah wujud, rupa, bangun atau gambaran tentang
apa saja yang ada di alam termasuk karya seni atau desain yang dapat
disederhanakan menjadi, titik, garis dan bidang (Sanyoto, 2009: 93).
18
5. Ruang
Setiap bentuk pasti menempati ruang oleh karena itu ruang
merupakan unsur rupa yang mesti ada, karena ruang merupakan
bentuk-bentuk berada. Dengan kata lain bahwa setiap bentuk pasti
menempati ruang. Dikarenakan bentuk dapat dua dimensi, tiga
dimensi, maka ruangpun meliputi ruang dua dimensi/ dwimatra dan
tiga dimensi/ trimatra (Sanyoto, 2009: 97).
6. Warna
Warna dapat didefinisikan secara objekktif/ fisik sebagai
sifat cahaya yang dipancarkan, atau secara subjektif/psikologis
sebagai bagian dari pengalaman indara penglihatan. Secara
objektif/fisik warna dapat diberikan oleh panjang gelombang,
cahaya yang tampak oleh mata merupakan salah bentuk pancaran
energi yang merupakan bagian yang sempit dari gelombang
elektromagnetik (Sanyoto, 2009:13).
7. Kedudukan
Kedudukan atau letak atau posisi merupakan unsur rupa
yang menghubungkan antara bentuk raut (titik, garis, bidang,
gempal) dengan ruang sebagai tempat suatu bentuk berada atau
disusun. Kedudukan merupakan pertalian antara bentuk dan ruang
(Sanyoto, 2009:133).
19
8. Gerak dan Arah Gerak
Gerak merupakan unsur rupa yang akan melahirkan irama.
Jika suatu bentuk berubah kedudukannya, yang berarti bentuknya
berulang, maka akan melahirkan gerak (Sanyoto, 2009:138).
9. Jarak
Jarak merupakan unsur rupa sebagai alat menata, yang dapat
memengaruhi hasil dari tata rupa. Jarak yang dimaksud adalah jarak
antar objek (Sanyoto, 2009:140).
10. Jumlah
Jumlah merupakan unsur rupa yang berkaitan dengan ruang,
apakah jumlah tersebut sedikit atau banyak. Jumlah dapat banyak
atau sedikit tergantung dari keinginan kita (Sanyoto, 2009:141).
2.3 Kritik Sosial
Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani “krinein“ yang
berarti mengamati, membanding, dan menimbang. Dalam
Ensiklopedia Indonesia, kritik didefinisikan sebagai penilaian
(penghargaan), terutama mengenai hasil seni dan ciptaan-ciptaan
seni (Tarigan, 1985: 187). Kata “sosial” yang dimaksud dalam hal
ini adalah hubungan atau interaksi antar anggota masyarakat.
Interaksi yang dilakukan masyarakat ini mengacu pada
permasalahan yang melibatkan banyak orang atau yang sering
disebut dengan kepentingan umum, manusia sebagai anggota dari
20
suatu masyarakat yang semestinya mengutamakan kepentingan
umum di atas kepentingan individu.
Kritik sosial menjadi sarana komunikasi gagasan baru di
samping menilai gagasan lama untuk suatu perubahan sosial. Kritik
sosial sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang
bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol terhadap jalannya sebuah
sistem sosial atau proses bermasyarakat.
Menurut Soekanto (1990:395) pada hakekatnya masalah-
masalah sosial yang terjadi pada masyarakat merupakan gejala-
gejala yang tidak dikehendaki atau gejala patologis. Gejala-gejala
tersebut akan menyebabkan kekecewaan dan penderitaan bagi
warga masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa masalah-masalah
sosial yang terjadi akibat adanya ketidak sesuaian unsur-unsur
kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan
kelompok sosial.
Menurut Soekanto (2013:321-344), ada beberapa masalah
sosial penting yang terjadi di tengah masyarakat:
1) Kemiskinan
2) Kejahatan
3) Disorganisasi keluarga
4) Masalah generasi muda dalam masyarakat modern
5) Peperangan
6) Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat
21
7) Masalah kependudukan
8) Masalah lingkungan hidup
9) Birokrasi
2.3.1 Kritik Sosial Masalah Generasi Muda
Generasi muda biasanya menghadapi masalah sosial dan
biologis. Apabila seseorang mencapai usia remaja, secara fisik dia
telah matang, tetapi untuk dapat dikatakan dewasa dalam arti sosial
masih diperlukan faktor-faktor lainnya. Dia perlu banyak belajar
banyak mengenai nilai dan norma-norma masyarakatnya (Soekanto,
2013:327).
Masa remaja dikatakan sebagai suatu masa yang berbahaya
karena pada periode itu, seseorang meninggalkan tahap kehidupan
anak-anak, untuk menuju ke tahap selanjutnya, yaitu tahap
kedewasaan. Masa ini dirasakan sebagai suatu krisis karena belum
adanya pegangan, sedangkan kepribadiannya sedang mengalami
pembentukan. Pada waktu itu dia memerlukan bimbingan, terutama
dari orang tuanya (Soekanto, 2013:328).
Dewasa ini ditemukan cara-cara analisis yang lebih efektif
untuk mengatasi masalah sosial dengan metode preventif dan represif.
Metode yang preventif jelas lebih sulit dilaksanakan karena harus
didasarkan pada penelitian yang mendalam terhadap sebab-sebab
terjadiya masalah sosial. Metode represif lebih banyak digunakan.
22
Artinya, setelah suatu gejala dapat dipastikan sebagai masalah sosial,
baru diambil tindakan-tindakan untuk mengatasinya. Di dalam
mengatasi masalah sosial, tidak semata-mata melihat aspek sosiologis,
tetapi juga aspek-aspek lainnya. Dengan demikian, diperlukan suatu
kerja sama antara ilmu pengetahuan kemasyarakatan pada khususnya
untuk memecahkan masalah sosial yang dihadapi (Soekanto,
2013:348-349)
23
2.3 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dari penelitian ini yang pertama berawal dari
gambar kartun karya Jitet Koestana yang diberi judul Banjir HP, kemudian
muncullah gambar atau tanda yang merujuk pada kritik sosial. Dari objek
penelitian tersebut, peneliti menggunakan teori semiotika Roland Barthes
yang kemudian muncullah Denotasi dan Konotasi “Gambar Kartun “Banjir
Hp” Karya Jitet Koestana Sebagai Media Komunuikasi Kritik Sosial”.
ANALISIS SEMIOTIKA
ROLAND BARTHES
Gambar/tanda yang
merujuk pada kritik
sosial
GAMBAR KARTUN “BANJIR HP” KARYA
JITET KOESTANA SEBAGAI MEDIA
KOMUNUIKASI KRITIK SOSIAL
Gambar Kartun
“Banjir HP” Karya
Jitet Koestana
Tabel 2.2 Kerangka Berfikir
DENOTASI KONOTASI
Kritik Sosial Masalah
Generasi Muda
Mitos ketergantungan
generasi muda terhadap
HP