Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persalinan Preterm
Selama dua dekade terakhir, persalinan preterm masih merupakan salah
satu masalah klinik obstetri di seluruh dunia terutama di bidang kedokteran
fetomaternal, karena bayi yang lahir preterm (kurang bulan) mempunyai risiko
morbiditas dan mortalitas perinatal yang lebih besar dibandingkan bayi yang lahir
aterm (cukup bulan).
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan di atas
20 minggu sampai sebelum 37 minggu dihitung sejak hari pertama haid terakhir
atau perkiraan berat janin kurang dari 2500 gram (WHO, 1977). Bayi yang lahir
preterm mempunyai risiko mengalami morbiditas dan mortalitas yang besar.
Morbiditas dan mortalitas tersebut tergantung maturitas sistem organnya. Semakin
kecil atau muda bayi yang dilahirkan, terutama sebelum kehamilan 28 minggu,
maka akan semakin besar risikonya untuk menderita cedera otak, penyakit paru
kronis, sindroma gawat pernapasan, necrotizing enterocolitis, dan dalam
kehidupannya akan sangat membutuhkan perawatan medis dan sosial yang labih
berat (Saigal dan Doyle, 2008).
Persalinan preterm merupakan suatu sindrom yang diawali dengan
berbagai mekanisme seperti infeksi atau radang, iskemia uteroplasenta,
perdarahan, keregangan uterus berlebihan, stres maternal, dan proses imunologi
lainnya (Romero, 2006).
11
Pada hakekatnya, persalinan preterm itu sangat sulit dihindari, karena
penyebab yang pasti belum diketahui, namun segala cara harus diupayakan untuk
mencegah terjadinya kelahiran bayi preterm. Strategi untuk mencegah bayi lahir
preterm adalah mencegah terjadinya persalinan preterm, yang mana difokuskan
kepada identifikasi adanya faktor risiko (Crane dan Hutchens, 2008).
Keberhasilan pada pemberian obat-obatan untuk mencegah persalinan sepertinya
tidak dapat diandalkan, dan hanya akan memberi pengaruh menunda kelahiran
preterm selama 48 jam, dan tidak memperbaiki luaran neonatal (Whitworth dan
Quenby, 2008). Bagaimanapun juga, penundaan kelahiran selama 48 jam ini akan
memberi kesempatan bagi para dokter untuk memberikan kortikosteroid sebagai
pematang paru janin.
2.2 Frekuensi Persalinan Preterm
Persalinan preterm tidak selalu terjadi pada semua wanita hamil.
Frekuensinya tergantung dari geografis dan demografis. Di beberapa negara
berkembang, kejadiannya cukup tinggi, dan upaya untuk menurunkan angka
persalinan preterm hampir selalu gagal.
Angka kejadian persalinan preterm di dunia adalah 10-30% dan berbeda-
beda di setiap Negara. Pada tahun 2005 dilaporkan bahwa 12,9 juta (9,6%)
kelahiran di seluruh dunia adalah persalinan preterm, di mana 11 juta (85%)
terjadi Afrika dan Asia (Beck, 2010). Di India sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar
15%, Sudan 31% (CDC, 2007; Spongy, 2007). Di Asia Tenggara, prevalensi
persalinan preterm rata-rata adalah 11,1% (CDC, 2005; Beck, 2010). Persalinan
12
preterm di Thailand kira-kira 15,5%, di Filipina 25,9%, dan di Malaysia 10%
(CDC, 2007; Spongy, 2007). Sedangkan di Indonesia, angka kejadian persalinan
preterm secara nasional belum pernah dilaporkan. Namun berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2007, prevalensi berat
bayi lahir rendah (BBLR) di Indonesia mencapai 11,5%, meskipun angka BBLR
tidak mutlak mewakili angka kejadian kelahiran preterm (Anonim, 2008). Di
RSUP Sanglah Denpasar, angka kejadian persalinan preterm adalah sekitar 10%
dan cenderung meningkat setiap tahun, yaitu 8,19% pada tahun 2009 menjadi
10,54% pada tahun 2010, dan 12,70% pada tahun 2011 (Bagian/SMF Obstetrik
dan Ginekologi RSUP Sanglah, 2011).
2.3 Konsekuensi Persalinan Preterm
Bayi yang lahir preterm mempunyai risiko morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi dibandingkan bayi yang lahir aterm. Risiko ini berkaitan erat dengan
tingkat kematangan sistem organnya. Semakin muda usia gestasi, semakin kecil
berat lahir, risiko tersebut semakin tinggi.
Persalinan preterm bertanggung jawab terhadap 75-80% kematian
perinatal (Holts, 2009). Di samping itu, komplikasi yang sering timbul pada bayi
yang lahir sangat preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress
syndrome (RDS), perdarahan otak atau intraventricular hemorrhage (IVH),
bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing
enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP) (Iam,
2002). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko retardasi
13
mental berat, cerebral palsy (CP), kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di samping
itu, juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi terhadap
lingkungannya, dan gangguan motoris (Iam, 2002).
Gambar 2.1 Prevalensi Cerebral Palsy (CP) per 1000 persalinan sesuai dengan usia gestasi.
Cerebral palsy tersebut berhubungan erat dengan usia gestasi. Semakin besar usia gestasinya, angka morbiditas semakin rendah(Holts, 2009).
Tabel 2.1
Angka Kematian Bayi Baru Lahir di USA Tahun 2005
Live birth No. (%)
Infant deaths No. (%)
Total infants 4,138,573 (100) 28,384 (100)
Gestational age at birth
< 32 weeks 83,428 (2) 15,287 (54)
32-33 weeks 65,853 (1,6) 1099 (4)
34-36 weeks 373,663 (9) 1727 (10)
37-41 weeks 3,346,237 (81) 8116 (29)
>/42 weeks 293,850 (6) 637 (2)
Unknown 29,542 (0,7) 516 (2)
Dikutip dari Cuningham 2010, William Obstetrics, p. 805.
14
2.4 Faktor Risiko Persalinan Preterm
Persalinan preterm sekarang ini diketahui sebagai sebuah sindroma yang
dimulai dari berbagai mekanisme, meliputi infeksi atau radang, iskemia atau
perdarahan uteroplasenta, keregangan uterus berlebihan, stres, dan proses yang
dimediasi oleh imunologi lainnya. Mekanisme pasti terjadinya persalinan preterm
pada kebanyakan kasus belum diketahui. Meningkatnya jumlah faktor risiko
dipikirkan mempunyai kaitan dengan mekanisme terjadinya kontraksi
miometrium yang berlanjut menjadi persalinan preterm (Goldenberg, 2008).
Mengidentifikasi faktor risiko akan memberi wawasan yang penting dalam
mengemukakan mekanisme persalinan preterm. Ada beberapa karateristik ibu dan
janin yang dikaitkan dengan terjadinya persalinan preterm, namun faktor risiko
tersebut tidak ada yang berdiri sendiri. Faktor risiko itu dikategorikan menjadi
beberapa kelompok yaitu: Faktor demografik (African-American, perokok dan
pemakai obat, sosial ekonomi rendah, umur ibu terlalu muda atau terlalu tua saat
melahirkan); riwayat kehamilan sebelumnya (riwayat persalinan preterm atau
abortus sebelumnya, jarak kehamilan kurang dari satu tahun); penemuan pada
kehamilan saat ini (polihidramnion atau oligohidramnion, stress ibu, perdarahan
pervaginam, infeksi atau radang, pembedahan pada perut ibu, kontraksi uterus
prematur); nutrisi dan berat badan (indeks massa tubuh atau body mass index
(BMI < 19.8 atau > 29, pertambahan berat badan kurang, pertambahan berat
badan berlebihan); petanda yang berkaitan dengan biofisik (insufisiensi serviks,
panjang serviks, fibronectine janin) (Goldenberg, 2001). Risiko berulang pada
15
wanita yang pernah mengalami persalinan preterm sebelumnya adalah berkisar
antara 15% sampai lebih dari 50% (Goldenberg, 2008).
2.5 Etiopatogenesis Persalinan Preterm
Etiopatogenesis persalinan preterm diperkirakan melalui proses sebagai
berikut, yaitu: infeksi/keradangan, iskemia uteroplasenta, gangguan metabolisme
hormonal terutama yang berkaitan dengan gestagen dan CRH (Corticothropic
Realeasing Hormone), kegagalan toleransi ibu dan janin, reaksi alergi, peregangan
uterus yang berlebihan, dan inkompeten serviks (Koucky, 2009).
2.5.1 Infeksi dan keradangan
Akibat adanya aksi dari mikroorganisme, maka timbul respon keradangan
baik dari ibu maupun janin berupa radang korio-amnion (chorioamnionitis),
radang tali pusat janin (funisitis), dan terutama Fetal Inflammatory Response
Syndrome (FIRS). Symptom ini dikenal sebagai keradangan intraamnion (Koucky,
2009). Proses keradangan tersebut selanjutnya akan melibatkan sitokin, matrix
metaloproteinase, dan prostaglandin. Efek pemicu terutama tampak pada pattern
recognition receptor (PRR). Reseptor ini mempunyai kemampuan untuk
mengidentifiksi dengan tepat struktur melekul sebagian besar mikroorganisme. Di
samping itu, dia menangkap sinyal dari kerusakan jaringan sebagai hasil dari stres
oksidatif. Kelompok yang terpenting adalah Toll-like Receptor (TLR). Ikatan
antara ligan pada reseptor PRR/TLR menyebabkan aktivasi faktor nuclear kappa
B, yang mana rangsangan ini dikaitkan dengan rangsangan sitokin, matrix
metaloproteinase, dan transkripsi gen dari Growth factor (Koucky, 2009).
16
Beberapa gejala kilinik yang timbul akibat radang pada jalan lahir adalah
kontraksi miometrium, perubahan pada serviks, dan robeknya selaput janin.
Gejala-gejala tersebut saling mempengaruhi dan saling berkaitan dengan
keradangan pada janin (FIRS) (Koucky, 2009). Adanya infeksi di dalam
kantongan amnion bisa diketahui melalui pemeriksaan kadar sitokin (IL-6, IL-8)
dan matrix metaloproteinase (MMP-8 dan MMP-9) di dalam cairan amnion itu
sendiri, namun cara ini sangat invasif (Koucky, 2009).
2.5.2 Iskemia utero-plasenta.
Lesi vaskuler pada ibu hamil bisa menimbulkan iskemia utero-plasenta
yang selanjutnya menyebabkan persalinan preterm. Bukti-bukti yang mendukung
hipotesis ini sebagai berikut, 1) studi eksperimental memakai primata sebagai
model untuk merangsang terjadinya preeklampsia akibat iskemia uterus, malah
mengakibatkan persalinan preterm, 2) persalinan preterm dengan membran masih
utuh, lebih sering terjadi pada kasus solusio plasenta yang diawali lesi vaskuler, 3)
wanita yang mengalami persalinan preterm dengan membran masih utuh dan
mempunyai Doppler velocimetry abnormal pada arteri uterina, lebih mungkin
mengalami kelahiran dibandingkan dengan Doppler velocimetry normal (Romero,
dkk. 2011). Bukti-bukti lain menunjukkan bahwa ada tendensi peningkatan
hubungan antara persalinan preterm dengan thrombophilia, baik yang didapat
ataupun bawaan. Diduga bahwa terjadi aktivitas koagulasi berlebihan yang
berpotensi berpengaruh pada sirkulasi mikro plasenta. Gangguan pembekuan ini
memegang peran penting pada kondisi-kondisi patologi kehamilan seperti,
17
thromboembolisme, kematian janin dalam uterus, pertumbuhan janin terhambat
(PJT), solusio plasenta, preeklampsia berat, dan abortus berulang (Koucky, 2009).
2.5.3 Pengaruh gestagen
Uterus adalah organ yang dibentuk oleh otot polos yang secara fungsional
sama dengan organ lain yang mempunyai struktur yang sama. Secara prinsif
fungsinya adalah berkontraksi yang diakibatkan oleh adanya interaksi antara actin
dan myosin. Proses kunci interaksi antara actin dan myosin adalah fosforilasi
myosin yang dimediasi oleh myosinkinase. Aktivasi myosinkinase memerlukan
calmodulin komplex dan ion kalsium. Homeostasis ion kalsium memegang peran
kunci pada aktivitas myosit. Kadar ion kalsium intrasel diatur oleh dua
mekanisme yaitu masuk membran sel dan ke luar dari cadangannya dalam myosit
(the sarkoplasmic reticulum). Masuknya ion kalsium ke dalam sel paling tidak
melalui dua jalur yaitu: current-dependent meliputi depolarisasi dinding sel dan
non-current-dependent melalui perangsangan reseptor. Reseptor membran
terbentuk dari aktivitas steroid ovarium dan plasenta. Aktivitas progesteron
menghasilkan reseptor β adrenergic receptor tipe 2. Aktivitas estradiol
membentuk reseptor α adrenergic receptor tipe 1, muscarinergic, cholinergic,
oksitosin, dan prostaglandin. Masuknya ion kalsium ke dalam sel dirangsang oleh
reseptor tipe 1-receptor-agonist. Kontraksi diikuti oleh kembalinya ion kalsium ke
dalam tempat penyimpanan sebelumnya melawan gradient konsentrasi dengan
cara pompa ATP. Kembalinya ion kalsium dirangsang oleh tipe 2- reseptor-
agonist- betha-mimetics dan magnesium. Proses yang penting adalah pengaturan
18
myosinkinase oleh cAMP (cyclic adenosine monophosphate) yang mana
menghambat fungsi tersebut.
Mulainya persalinan dikaitkan dengan ekspresi gen contraction-associated
protein (CAP). Ekspresi gen CAP menghasilkan protein yang penting, yaitu
Conexin-43, suatu bahan utama gap-junction dan reseptor. Pengaruh zat-zat
seperti progesteron, relaxin, prostacyclin (PG12), nitrogen oxida, dan CRH, adalah
meningkatkan cAMP intraseluler, yang mana akan menghambat pengeluaran ion
kalsium dari cadangannya di dalam sel dan menghambat myosin kinase (Koucky,
2009).
Untuk pengobatan dan pencegahan persalinan preterm, pemberian
progestational sangat menjanjikan. Mekanisme kerja progesteron untuk mencegah
terjadinya persalinan preterm belum diketahui dengan pasti (Regmi, 2012).
Progesteron juga mencegah kelahiran preterm bila jumlahnya cukup di
miometrium, karena bisa memblokade efek oksitosin dari prostaglandin F2α dan
rangsangan α-adrenergic (Regmi, 2012). Aktivitas progesteron adalah
membentuk reseptor tipe 2 yaitu β-adrenergic receptor yang menccegah kontraksi
miometrium (Koucky, 2009).
2.5.4 Janin sebagai sebuah allograf
Proses imunologi abnormal dalam patogenesis terjadinya persalinan
preterm sudah dipelajari sejak beberapa tahun. Ada bukti-bukti yang mendukung
bahwa persalinan preterm dan keguguran berulang terjadi karena janin dianggap
sebagai allograf. Mekanisme utama toleransi ibu terhadap janin adalah
keseimbangan antara downregulation dan upregulation antigen Major
19
Histocompability Complex (MHC) utama. Gen-gen untuk klas 1 yaitu HLA-A dan
HLA-B di downregulation oleh trophoblast, sedangkan gen-gen untuk klas
antigen HLA-G yang melindungi janin dari respon imun maternal, dikeluarkan
selama kehamilan. Identifikasi antigen janin oleh ibu yang tidak adekuat, bisa
menyebabkan kegagalan untuk mempertahankan kehamilan. Kejadian yang pasti
belum diketahui (Koucky, 2009). Percobaan pada hewan menunjukkan terjadi
menurunan ekspresi galectin-1 (sebuah protein imunoregulasi) pada kegagalan
kehamilan berulang. Beberapa penyakit autoimun, bila tidak terkontrol, juga
berhubungan dengan risiko persalinan preterm. Yang paling sering adalah
ulcerous colitis, lupus erythematodes, imunopatologi kelenjar thiroid (Koucky,
2009).
2.5.5 Alergi
Reaksi alergi sebagai suatu mekanisme patofisiologi terjadinya persalinan
preterm sering disebut-sebut. Salah satu contoh yang sudah diketahui bahwa
uterus adalah sumber kaya dari mastosit (salah satu dari sel-sel eksekutif reaksi
alergi). Degranulasi mastosit akan merangsang aktivitas uterus, terutama
pengeluaran prostaglandin. Contoh lainnya adalah, dijumpainya eosinofil yang
lebih banyak dalam cairan amnion pada kasus persalinan preterm dibandingkan
dengan kontrol. Adanya eosinofil mendukung adanya respon imun/alergi
abnormal sebagai salah satu jalan peralinan preterm (Koucky, 2009).
2.5.6 Peregangan uterus berlebihan
Kelainan uterus bawaan, polihidramnion, dan kehamilan kembar,
berkaitan dengan risiko persalinan preterm. Tekanan intrauteri relatif konstan
20
selama periode kehamilan, meskipun uterus tumbuh. Fenomena ini terutama
dijelaskan oleh kerja progesteron dan relaxing agent dalam miometrium khusunya
Nitrogen Oxide (NO). Keregangan uterus berlebihan menyebabkan kontraksi
myometrium, pengeluaran prostaglandin, dan ekspresi protein gap junction
terutama connexin-43. Hal yang serupa terjadi secara mekanik, di mana
peregangan membran korioamnion yang berlebih menyebabkan kerusakan
membran tersebut dan bisa menimbulkan robekan, yang disebut PROM
(premature rupture of the membrane) (Koucky, 2009).
2.5.7 Inkopenten serviks
Salah satu fungsi serviks adalah untuk mempertahankan hasil konsepsi
tetap bertahan di dalam kavum uterus hingga kehamilan aterm. Serviks yang
mengalami dilatasi baik secara kongenital maupun didapat, akan memberi peluang
yang lebih besar untuk terjadinya abortus dan persalinan preterm. Tanda-tanda
adanya inkompeten serviks adalah apabila didapat riwayat keguguran pada
trimester dua secara berulang. Kausa inkompeten serviks ini dikaitkan dengan
penggunaan DES (Diethylstilbeserol) dan adanya operasi serviks sebelumnya
seperti konisasi maupun dilatasi mekanis berulang (Koucky, 2009). Mekanisme
potensial lainnya yang dicurigai sebagai penyebab serviks inkompeten adalah
adanya infeksi intrauteri.
21
Gambar 2.2 Jalur Patogenesis Utama dari Persalinan Preterm (Bowen, 2002)
2.6 Sistem Kekebalan dan Keradangan pada Persalinan Preterm
2.6.1 Peran sistem kekebalan pada persalinan preterm
Saluran reproduksi wanita secara imunologis adalah unik dalam hal
menerima masuknya sperma dan hasil konsepsi. Selama kehamilan, janin yang
bersifat semi alograf berinplantasi di uterus. Di tempat pertemuan antara fetus
dan ibu (maternal-fetal interface) bisa terjadi proses radang apabila saat inplantasi
terjadi invasi mikroorganisme, tetapi juga terjadi reaksi imunologi maternal yang
steril untuk melawan alloantigen pada janin dan trophoblast (Romero, 2004).
Sistem kekebalan pada manusia dibagi menjadi dua yaitu sistem kekebalan
alamiah atau non spesifik (innate immune system) dan sistem kekebalan didapat
Aktivasi dari Poros Hipotalamus Ibu Janin • Janin –Ibu Stress • Onset Persalinan yang
Dini/Prematur
Radang
• Infeksi : - Khoriodesidua - Sistemik
Perdarahan Desidua
• Abruption
Distensi Uterus yang Patologis
• Kehamilan Multifetal • Polihidramnion • Abnormalitas Uterus
Korion Amnion
CRH E1 – E2
TNF IL-‐1 IL-‐6 IL-‐8
Thrombin Mechanical stretch Gap junction Reseptor oksitoksin Sintesis PG IL-8
Protease Uterotonin
• Perubahan Serviks
• Ruptur Selaput Khorioamnion
Persalinan
Preterm Kontraksi
Uterus
+
+
Mediator Biokimia
Jalur umum
22
atau spesifik/adaptif (adaptive immune system). Sistem kekebalan alamiah ini
tidak memerlukan aktivasi sebelumnya dan merupakan mekanisme pertahanan
pertama melawan zat-zat patogen. Yang termasuk di dalam sistem kekebalan non
spesifik selular antara lain Natural Killer Cell (sel NK), monosit/makrofag, sel
dendrit dan sel-sel granulosit (sel mastosit, neutrofil, dan eosinofil). Sedangkan
sistem kekebalan spesifik terdiri dari sistem kekebalan spesifik humoral yaitu
limfosit B dan sistem kekebalan spesifik selular yaitu limfosit T yang akan
mengenali epitope dari zat patogen secara spesifik (Bratawidjaja, 2009a; Dubicke,
2010; Nold, 2012,).
Sel makrofag pada sistem kekebalan non spesifik merupakan garis
pertahanan awal untuk melawan mikroorganisme yang bersifat umum dan
mengontrol infeksi mikroorganisme yang bersifat umum. Limposit dari sistem
kekebalan spesifik merupakan pertahanan tambahan untuk melawan infeksi
berulang dengan zat patogen yang sama. Sel-sel yang berasal dari sistem
kekebalan non spesifik merupakan bagian yang penting dalam hal memulai dan
memberi petunjuk terhadap respon kekebalan spesifik. Hal itu terjadi pada 4-7
hari sebelum sistem kekebalan spesifik berfungsi. Pada periode ini, respon
kekebalan non spesifik mempunyai peran yang penting untuk mengontrol infeksi
(Abbas, 2010).
Epitel permukaan adalah barier fisik pertama antara tubuh dan
mikroorganisme. Epitel yang cedera (misalnya pada saat menstruasi), merupakan
titik masuknya mikroorganisme tersebut ke dalam tubuh, walaupun sebenarnya
mikroorganisme tersebut juga bisa masuk ke dalam tubuh melalui epitel yang
23
masih utuh (Romero, 2006b). Kebanyakan epitel permukaan menghasilkan
peptida antimikroba (seperti defensine) alamiah yang mana bisa membunuh
mikroba dengan menimbulkan kerusakan membran selnya. Tipe sel besar (major)
yang termasuk dalam sistem kekebalan non spesifik (innate immunity) adalah
makrofag, sel dendrit, natural killer cell (NK) dan granulosit (mastosit, neutrofil,
eosinofil). Sel-sel ini mengenali mikroorganisme tersebut melalui pattern
recognition receptor (PRRs), yang mana akan berikatan dengan struktur
permukaan mikroorganisme dan respon segera adalah fagositosis (proses
menelan) mikroorganisme, selanjutnya sel-sel infeksi bisa dieradikasi. Pattern
recognition receptor tersebut ada yang bisa larut seperti C-reactive protein (CRP),
atau ada yang berikatan dengan permukaan membran seperti Toll-like receptors
(TLRs), atau intraseluler seperti Nod 1 dan Nod 2. Apabila sel-sel pada sistem
kekebalan non spesifik ini diaktifkan, akan mengeluarkan sitokin dan kemokin,
yang mana mengawali respon radang dan memfasilitasi destruksi partikel
fagositosis. Mereka juga menginisiasi dan membantu respon kekebalan spesifik
untuk menyingkirkan bahan-bahan patogen (Holst, 2009).
Kehadiran limfosit B dan limfosit T merupakan elemen kunci dari sistem
kekebalan spesifik dan mereka bertanggung jawab terhadap memori imunologi.
Sel B meliputi mekanisme pertahanan humoral untuk melawan antigen
ekstraseluler, sedangkan sel T akan menimbulkan kerusakan patogen intrasel
dengan membunuh sel infeksi dengan mengaktifkan makrofag terutama oleh T
helper-1 (Th1) subset CD4 positive T-cell. Sel-T (khusus T helper-2 atau Th 2) ini
juga bisa berpartisipasi dalam destruksi patogen ektraseluler dengan mengaktifkan
24
sel-B. Kebanyakan antigen memerlukan bantuan signalling sel-T sebelum bisa
merangsang sel-B untuk berplorifirasi dan diferensiasi ke dalam sel plasma yang
mensekresikan antibodi (Janeway 1999; Abbas, 2010).
Selanjutnya sel-sel Th1 dan Th2 terpisah menjadi dua dalam peran yang
seimbang tergantung sitokin yang dihasilkan. Sel-sel Th1 memproduksi
interleukin (IL) proinflamasi seperti IL-1, IL-2, IL-8, IL-15, IL-18, interferon
gamma (INF-y) dan tumor necrosis factor (TNF), sedangkan sel-sel Th2
merupakan sumber interleukin anti inflamasi seperti IL-4, IL-5, IL-6, IL-10,
IL-13 dan granulocyte-macrophag colony stimulating factor (GM-CSF). Fungsi
utama Th1 adalah sebagai pertahanan sitotoksis yang dimediasi oleh fagosit, dan
melawan infeksi yang disebabkan mikroba intraseluler, sedangkan fungsi utama
sel-sel Th2 di samping merespon sel B dari sel plasma, juga adalah sebagai Ig E
dan reaksi kekebalan yang dimediasi oleh sel eosinophil dan sel mastosit, seperti
mencegah phagositosis (Abbas, 2010; Dubicke, 2010; Nold, 2012).
2.6.2 Mekanisme keradangan pada persalinan preterm spontan
Radang adalah reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera jaringan.
Beberapa menit setelah terjadi cedera jaringan, maka akan terjadi vasodilatasi dan
volume darah setempat meningkat. Peningkatan volume darah bisa menimbulkan
perdarahan dan kerusakan endotel pembuluh darah. Dalam beberapa jam, lekosit
akan menempel ke permukaan sel endotel di daerah radang, selanjutnya
bermigrasi melewati dinding vaskular dan ekstravasasi (Bratawidjaya, 2009c).
Sel-sel neutrofil yang merupakan sel utama dalam reaksi keradangan dini,
bermigrasi ke jaringan dan mencapai puncaknya pada 6 jam pertama. Pada
25
keradangan akut, neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat segera dari 5000/µl
sampai menjadi 30.000/µl (Bratawidjaja, 2009c).
Pada keadaan normal, leukosit hanya sedikit melekat dengan sel endotel,
tetapi oleh karena rangsangan radang, perlekatan antara leukosit dan sel endotel
sangat metingkat. Perlekatan ini diatur oleh ekspresi sel permukakaan yaitu
molekul adhesi serta ligan/reseptornya. Ikatan leukosit dan sel endotel, diawali
oleh ekspresi L-selektin pada permukaan leukosit dan P-selektin dan E-selektin
pada permukaan sel endotel (Bratawidjaja, 2009c).
Di tempat infeksi, makrofag yang menemukan mikroba melepas sitokin
(TNF dan IL-1) yang mengaktifkan sel endotel memproduksi selektin (ligan
integrin dan kemokin). Integrin berperan dalam adhesi neutrofil, sedangkan
kemokin mengaktifkan neutrofil dan merangsang migrasi melalui endotel ke
tempat infeksi (Bratawidjaja, 2009c). Sel endotel yang dirangsang juga
melepaskan IL-8, yang mana IL-8 ini juga mengaktifkan neutrofil di tempat
infeksi (Bratawidjaja, 2009c).
Oleh karena terjadi kerusakan membran sel, fosfolipid yang ditemukan
pada berbagai jenis sel (makrofag, monosit, neutrifil, dan sel mastosit) dipecah
menjadi asam arakhidonat. Asam arakhidonat dimetabolisme melalui jalur
siklooksigenase menjadi prostaglandin (PG) dan Tromboxan (TX). Monosit dan
makrofag menghasilkan PGE2 dan PGF2, sedangkan neutrofil menghasilkan
jumlah sedang PGE2 dan sel mastossit menghasilkan PGD2 (Bratawidjaja,
2009c).
26
Dalam keadaan tenang, pada uterus tidak terjadi kontraksi miometrium.
Ketenangan uterus tersebut terjaga berkat peran dari enzim 15-Prostaglandin
Dehidrogenase (15-PGDH), suatu enzim yang dihasilkan oleh korion dan
trofoblast, yang mana enzim ini dapat mendegradasi Prostaglandin E2 (PGE2)
yang diproduksi oleh amnion. Adapun peran enzim 15-PGDH ini adalah
mencegah prostaglandin mencapai miometrium, yang selanjutnya dapat mencegah
kontraksi uterus. Aktivitas enzim 15-PGDH ini menurun karena adanya infeksi
kronis, sehingga jumlah prostaglandin meningkat, dan terjadilah kontraksi
miometrium (Hole, 2001; Tomblom, 2005).
Peneliti lain menyatakan bahwa, sepertiga kejadian persalinan preterm
berhubungan dengan adanya infeksi/radang di dalam kavum uterus. Dinyatakan
bahwa melalui pemeriksaan dengan amniosintesis didapatkan mikroorganisme
patogen sekitar 20% (Tomblom, 2005).
Gambar 2.3 Tempat Potensial Infeksi Mikroorganisme di Dalam Uterus (Romero, 2002)
27
Mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh, harus melewati mekanisme
sistem kekebalan alami (innate immune system). Epitel permukaan seperti kulit
dan mukosa merupakan jaringan penahan (barrier) terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam tubuh. Masuknya mikroorganisme tersebut dipermudah
oleh adanya kerusakan suatu jaringan penahan (barrier). Rusaknya jaringan
penahan itu bisa disebabkan oleh proses patologis maupun fisiologis seperti pada
saat menstruasi, yang mana mikroorganisme akan lebih mudah masuk ke dalam
jaringan di bawah endometrium jauh sebelum terjadi kehamilan (Abbas, 2010b).
Masuknya mikroorganisme ke dalam kavum uterus bisa melalui beberapa cara,
yaitu: 1) jalur asenden yaitu mikroorgnisme menjalar dari vagina masuk ke kavum
uterus melewati endoserviks, 2) secara hematogen melalui plasenta
(transplacental infection), 3) penetrasi langsung dari rongga peritoneum melalui
tuba fallopii, 4) akibat trauma saat melakukan suatu pemeriksaan yang invasif,
seperti: amniocentesis, percutaneous fetal blood sampling, chorionic villous
sampling/shunting (Romero, 2002).
Setelah mikroorganisme mengadakan invasi ke dalam jaringan korio-
desidua (kolonisasi mikroorganisme di koriodesidua), maka mikroorganisme
tersebut akan melepaskan produk-produknya, seperti: endotoksin dan eksotoksin
serta mengaktifkan sistem monosit-makrofag pada host (janin/ibu) yang kemudian
melepaskan sejumlah sitokin seperti Tumor Necrosis Factors-α (TNF-α), IL-1(α
dan β), IL-6, dan IL-8. Sitokin, endotoksin, dan eksotoksin menstimulasi
biosintesis dan pelepasan PGF2-α dan PGE2 di desidua atau amnion. Puncak dari
sintesis ini adalah pelepasan metaloprotease dan unsur-unsur bioaktif lainnya.
28
Prostaglandin merangsang kontraksi miometrium, dan dengan adanya peningkatan
metaloprotease pada selaput korioamnion maupun serviks uterus, maka akan
memudahkan pecahnya selaput korioamnion, serta jaringan kolagen pada serviks
menjadi lebih lunak (Romero,2002; Tomblom,2005).
Infeksi/radang yang menghinggapi janin, mengakibatkan peningkatan
aktivitas poros hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) janin dan plasenta dalam
memproduksi corticotropin releasing hormone (CRH). Corticotropin Releasing
Hormone yang dihasilkan, mengakibatkan sekresi kortikotropin janin meningkat.
Sekresi kortikotropin yang meningkat mengakibatkan aktivitas adrenal janin
meningkat dalam mensekresi kortisol. Peningkatan kortisol akan meningkatkan
produksi PG dan sitokin (Bowen, 2002; Romero,2002).
Gambar 2.4 Potential Pathways dari Kolonisasi Mikroorganisme di Koriodesidua ke Persalinan
Preterm (Romero, 2002; Leena, 2010).
Kolonisasi Mikroorganisme di Korio-desidua Respon Janin Respon maternal Fetus Korioamnion dan plasenta Desidua
Peningkatan CRH Penurunan Prostaglandin dehidrogenase (PGDH) di Korion
Pembentukan dan Pengeluaran sitokin (TNFα, IL-1, IL-6,
IL8) dan kemokin
Peningkatan Produksi Kortisol adrenal
Peningkatan sintesis dan pengeluaran prostaglandin
Netrofil kemotaksis, infiltrasi dan aktivasi
Peningkatan sintesis dan pengeluaran MMP Kontraksi Miometrium
Ruptur membrane korioamnion
Pematangan serviks PERSALINAN PRETERM
29
2.7 Peran Serviks pada Kehamilan
Serviks adalah bagian bawah dari uterus, yang fungsinya mempertahankan
hasil konsepsi selama kehamilan, dan merupakan saluran tempat lewatnya hasil
konsepsi saat melahirkan. Sifat-sifat mekanik dari jaringan serviks ini berasal dari
usaha-usaha matriks ekstraseluler seperti serat kolagen (collagen fibers), yaitu
protein kolagen yang memberi kekuatan serviks serta unsur-unsur lain seperti
proteoglikans, hyaluronan (HA), elastin, dan air (House, 2009).
Gambar 2.5 Serat Kolagen (World, 2007)
Matriks ekstraselular tersebut dibentuk oleh kolagen tipe 1 (66%), kolagen
tipe III (33%), dan sedikit kolagen tipe IV pada membran basal (Norman dan
Geer, 2005). Peneliti lainnya menemukan kandungan kolagen kira-kira 64,3% -
72,4% (Josepsh, 2006) . Serat-serat kolagen tersebut terikat bersama di dalam
suatu gulungan yang padat yang membuat serviks menjadi kokoh pada saat tidak
30
hamil dan pada awal kehamilan. Selain kolagen, serviks juga mengandung
sejumlah kecil elastin. Kolagen membuat struktur serviks menjadi kaku,
sedangkan elastin bertanggungjawab terhadap kekenyalan serviks, yang mana ini
bisa membuat serviks mampu menutup kembali setelah persalinan sehingga
bentuknya kembali seperti sebelum kehamilan. Kolagen yang tertanam dalam
substansi dasar terdiri dari kompleks proteoglikan dengan berat molekul besar
yang berisi bermacam glikosaminoglikan (GAGs). Ada beberapa
glikosaminoglikan yang berbeda yaitu Heparin dan Heparan sulfat, serta
Dermatan dan Chondroitin sulfat. Dalam jaringan serviks, GAGs yang terbanyak
adalah Chondroitin dan epimernya yaitu Dermatan sulfat. Seperti pembentukan
substansi dasar jaringan, proteoglikan menginvestasi serat kolagen dengan protein
intinya membentuk kolagen. Ikatan antara rantai samping GAG dan serat kolagen
sangat penting untuk memberikan kekuatan serviks secara mekanik. Kekuatan
mengikat dari GAG terhadap kolagen meningkat dengan meningkatnya rantai
panjang dan densitas muatan. Asam hyaluronat berikatan paling kuat dengan
molekul GAG. Glikosaminoglikan seperti Dermatan sulfat, yang mengandung
Iduronik, sebagai lawan asam Glukoronat, berikatan kuat dan membuat jaringan
stabil. Perubahan komposisi proteoglikan/GAG bisa merubah ikatan kolagen dan
mempermudah pecahnya kolagen (Norman dan Geer, 2005).
Komponen seluler terbesar dari jaringan ikat serviks adalah fibroblast,
yang mana sel ini bertanggungjawab terhadap pembentukan kolagen dan substansi
dasarnya. Di samping jaringan ikat fibrous, serviks juga mengandung sejumlah
otot polos, kira-kira 10% (variasi 2% - 40%) (Norman dan Geer, 2005). Sedangan
31
Joseph melaporkan, kandungan otot polos serviks uterus kira-kira 10-15%
(Joseph, 2006).
Pada saat uterus tidak sedang hamil, serviks mengandung air kira-kira
80%, dan akan meningkat menjadi 86% pada akhir kehamilan. Air ini berinteraksi
dengan protein-protein matriks dan mempermudah fungsi elastin. Oleh karena
kompleks proteoglikans dari kolagen, yaitu glikosaminoglikans (GAGs) adalah
bersifat hidrofilik, maka serat kolagen lebih mudah menyerap air dan menjadi
tidak stabil sehingga terjadi pematangan serviks (Norman dan Geer, 2005). Elastin
tidak tampak berubah selama kehamilan, tetapi sel-sel otot polos pada serviks
bertambah besar dan menonjol. Pembesaran sel-sel otot polos ini memegang
peran penting dalam penataan kembali jaringan serviks sebagai bundel kolagen
yang selaras dengan bundel otot polos (Norman dan Geer, 2005).
Gambar 2.6 Perubahan-perubahan Serviks Uterus Selama Kehamilan dan Pematangan
(World, 2007).
32
Kolagen tipe I dan tipe III mengalami perubahan selama kehamilan, di
mana celah antara bundel kolagen mengalami perenggangan sejak usia gestasi 8-
14 minggu. Walaupun serat kolagen serviks secara total meningkat saat aterm,
sebenarnya konsentrasi kolagen menurun 30-50% dibandingkan dengan serviks
tidak hamil. Hal ini karena komponen serviks selain kolagen meningkat lebih
banyak secara relatif, di samping itu ukuran serat kolagen juga mengecil.
Beberapa mekanisme dapat menjelaskan bahwa mengapa komposisi kolagen
berubah, terutama oleh karena terjadi peningkatan enzim yang bisa mendegradasi
kolagen dan atau perubahan komposisi proteoglikan pada substansi dasar.
Pemecahan kolagen ini sebagai akibat kerja enzim litik separti collagenase /
matrix metaloproteinase (MMP)-1, MMP-8, MMP-13, yang dihasilkan oleh
fibroblast dan leukosit, serta leukocyte elastase yang dihasilkan oleh makrofag,
neurtrofil, dan eusinofil. Studi Radiolabel menunjukkan bahwa degradasi kolagen
terjadi oleh karena adanya migrasi neutrofil dari pembuluh darah, dan neutrofil ini
mengahasilkan elastase dan collagenase (MMP-8) (Norman dan Geer, 2005).
Elastase memecah kolagen dengan aksinya pada telopeptide non-helical domains.
Elastase bisa mendegradasi tidak saja elastin dan kolagen, tetapi juga
proteoglikans, dan mereka bekerja secara sinergis dengan kolagenase untuk
memecah kolagen. Kandungan kolagen servik menurun selama kehamilan,
sedangkan aktivitas leukosit-elastase dan kolagenase malah meningkat (Norman
dan Geer, 2005).
Pematangan serviks adalah merupakan proses radang secara biokimia yang
disertai influx dari neutrofil, leukosit, dan makrofag yang diatur oleh cytokine dan
33
chemokine yang meningkat beberapa kali dalam jaringan serviks (Junqueira,
1980; Sennstrom, 2000). Radang menimbulkan perlunakan serviks melalui
aktivasi degradasi matrix metaloproteinase (MPPs), disrupsi jalinan serat kolagen
yang menyilang, perubahan proteoglikan, dan meningkatnya cairan ektraseluler
yang menyebabkan produksi hyaluronan (Garfield, 1998). Proses akhir adalah
terjadi pematangan (perlunakan, pemendekan, dan dilatasi) serviks uterus.
Masalah kritis akan timbul apabila perubahan biomekanik ini terjadi
pada saat kehamilan masih belum cukup umur atau preterm, sehingga ada
ancaman bayi lahir dengan maturitas organ masih kurang. Pada kehamilan
preterm, akibat terjadinya infeksi/radang di serviks uterus, kanalis servikalis
mengalami funneling, yang mana orifisium uteri internum melebar sehingga
serviks berbentuk seperti corong (Kelly, 2002).
Gambar 2.7
Gambaran Deformasi Serviks Uterus dan Definisi Klinik
Penipisan (effacement) serviks berlangsung pada kehamilan normal apabila kepala janin menurun dan menekan secara langsung serviks uterus (gambar 2.7 atas). Funneling adalah kondisi patologi yang berkaitan dengan gambaran deformitas serviks abnormal, yang disebabkan oleh selaput ketuban menyusup ke dalam kanalis servikalis, dan serviks memendek secara prematur (gambar 2.7 bawah).
34
2.8 Peran IL-8, MMP-8 dan IL-1β pada Persalinan Preterm
2.8.1 Interleukin-8
Interleukin-8 (IL-8) adalah salah satu anggota dari Chemotactic Cytokine,
atau keluarga Chemokine (Lindley, 1993). Kemokin ini ditemukan pada tahun
1986-1987 sebagai faktor pelarut di dalam supernatant akibat rangsangan
endotoksin terhadap monosit. Bioaktivitas IL-8 ini sudah teridentifikasi sebagai
aktivator leukosit polimorfonuklear (neutrofil), terutama pengeluaran kemotaksis
atau granula-granula. Interleukin-8 menunjukkan aktivitas biologi melalui dua
reseptor glikosilat dengan afinitas tinggi yaitu, Interleukine-8 Receptor A (IL-
8RA) dan Interleukine-8 Receptor B (IL-8RB) (Lindley, 1988).
2.8.1.1 Nama lain Interleukin-8
Nama lain dari interleukin-8 adalah neutrophil-activating factor (NAF),
monocyte-derived neutrophil chemotactic factor (MDNCF), monocyte-derived
neutrophil-activating peptide dan lymphocyte-derived neutrophil-aactivating
peptide (MONAP and LYNAP), Granulocyte Chemotactic factor (GCP),
monocyte-derived chemotaxin (MOC).
Gambar 2.8 Struktur Gen dari Interleukin 8
35
Selanjutnya nama neutrophil activating peptide dipakai oleh beberapa kelompok,
tetapi molekulnya terakhir disebut interleukin-8 (IL-8) (Lindley, 1993).
2.8.1.2 Sel-sel sumber dari Interleukin-8
Sel- sel penghasil interleukin-8 adalah monosit, makrofag, sel endotel,
limposit, sel epitel, sel-sel otot polos, kidney mesangial cell, kondrosit, sel
sinovial, hepatosit, fibroblast, keratinosit, neutrofil, melanoma, dan karsinoma
ovarium (Lindley, 1988). Yang menginduksi pembentukan IL-8 adalah sitokin
pro-keradangan seperti; IL-1α atau IL-1β, tumor necrosis factor-α (TNF-α), atau
lipopolisakarida (LPS). Selain itu produksi IL-8 juga atas rangsangan yang lain
seperti keadaan hypoxia-reoxigenation, radiasi ultraviolet B, infeksi virus, infeksi
mikroorganisme, double-stranded RNA atau pengobatan dengan Thrombin.
Regulasi IL-8 bisa diturunkan oleh pemberian dexametason imunosupresan
cyclosporine A, oxygen radical scavenger (Lindley, 1988).
2.8.1.3 Aktivitas Biologi Interleukin-8
Interleukin -8 sejak awal sudah diketahui berfungsi merangsang aktivitas
neutrofil, dan diamati sebagai penyebab degranulasi neutrofil, perubahan bentuk
neutrofil, dan kemotaksis neutrofil. Selain itu IL-8 juga berperan untuk meregulasi
pengeluaran molekul adhesi (Adhesion Molecule expression) pada permukaan sel
neutrofil, merangsang perubahan vital untuk migrasi sel secara in vivo (Lindley,
1998). Pemberian IL-8 lokal secara in vivo, melalui kulit (transdermal) atau
intraperitoneal, mengakibatkan infiltrasi neutrofil di tempat pemberian, dan juga
bisa merangsang bocornya plasma (Colditz, 1990B)
36
2.8.2 Matrix metaloproteinase 8 (MMP-8)
Matrix metaloproteinase secara genetik berbeda dengan zink-dependent
metallopeptidase tetapi secara struktur berkaitan, yang mana bisa diklasifikasikan
ke struktur primer dan substrat khusus ke dalam sub grop: collagenase (MMPs-1,
MMPs-8, MMPs-13), gelatinase (MMPs-2, MMPs-9), stromelysin (MMPs-3,
MMPs-7, MMPs-10, MMPs-11) dan MMPs tipe membran. Matrix
metaloproteinase (MMPs) dikeluarkan dalam bentuk tidak aktif dan dihambat
oleh MMP-specific tissue inhibitors.
Matrix metaloproteinase merupakan mediator yang penting dalam aktivasi
persalinan aterm, tetapi memegang peran penting juga pada proses patologi
persalinan preterm seperti juga pada pada preeklampsia dan pertumbuhan janin
terhambat (Rahkonen, 2010). Matrix metaloproteinase ini mempunyai dua
pengaruh yang berbeda dalam kehamilan. Pertama bertanggungjawab terhadap
degradasi protein jaringan penyangga pada matriks ekstraseluler (ECM) dan yang
kedua berperan mengaktifkan bermacam-macam sitokin.
Matrix metaloproteinase-8 adalah sebuah kolagenase neutrifil manusia,
atau kolagenase-2, yang belakangan diketahui diekspresi oleh sel epitel dan sel
keganasan. Matrix metaloproteinase-8 dikeluarkan dari sel pada stimulasi
kemotaktik selama infeksi dan keradangan. Degradasi netrofil yang diinduksi oleh
faktor-faktor keradangan dan mikrobia merupakan tahapan kunci dalam
pengaturan konsentrasi MMP-8. Matrix metaloproteinase-8 diaktifkan oleh
protease lainnya dan oksidan di lingkungan ekstraseluler atau di permukaan sel.
37
Meningkatnya konsentrasi MMP-8 merupakan cerminan bahwa terjadi
peningkatan pembentukannya (Rahkonen, 2010).
Selama kehamilan, MMP-8 berperan pada pematangan serviks, ruptur
selaput ketuban, dan keradangan atau infeksi intraamnion. Pematangan serviks
dikaitkan dengan influx neutrofil dari pembuluh darah, yang mana sudah
diketahui bahwa neutrofil adalah sumber kolagenase, dan untuk kekokohannya,
servik sangat tergantung dari kolagen. Konsentrasi MMP-8 berkaitan erat dengan
pematangan serviks (Rahkonen, 2010).
Gambar 2.9
Sitokin Proinflamasi Berinteraksi dan Merangsang Pembentukan PGE2 dan PGF2α yang akan Menimbulkan Kontraksi Uterus (Holst, 2009).
2.8.3 Interleukin 1β
Interleukin 1β adalah interleukin yang dihasilkan oleh sel fagosit dan
berfungsi sebagai mediator keradangan akut sebagai respon terhadap infeksi serta
rangsangan lain. Bersama-sama dengan Tumor Necrosis Factor (TNF) berperan
pada kekebalan non spesifik. Produksinya oleh sel fagosit mononuklear ini
dirangsang oleh produk mikroorganisme seperti Lipopolisakarida (LPS).
INTERLEUKIN 1
TNF-α IL-6 IL-8 Pematangan serviks
PGE2-α
PGF2-α PERSALINAN PRETERM
38
Interleukin-1β ini juga diproduksi oleh neutrofil, sel-sel epitel keratinosit, dan sel
endotel (Abbas, 2010).
2.8.3.1 Efek biologi Interleukin-1β
Seperti halnya Tumor Necrosis Factor (TNF), efek biologi IL-1β
tergantung dari jumlah produksi sitokin. Apabila disekresikan dengan jumlah
sedikit, fungsi IL-1β sebagai mediator radang lokal, yang mana perannya pada sel
endotel untuk meningkatkan ekspresi molekul permukaan yang memediasi
perlekatan sel-sel leukosit. Bila diproduksi dalam jumlah banyak, IL-1β masuk ke
dalam pembuluh darah dan berperan sebagi efek endokrin (Abbas, 2010).
Interleukin 1β ini tidak merangsang apoptosis kematian sel, dan dalam keadaan
konsentrasi tinggi secara sistemik, tidak menyebabkan perubahan patofisiologi
pada septic shock (Abbas, 2010).
Fagosit mononuklear memproduksi antagonis alami IL-1β yang secara
struktur homolog dengan sitokin dan berikatan dengan reseptor yang sama, tetapi
secara biologis tidak aktif. Jadi fungsinya adalah secara kompetitif menghambat
aktivitas IL-1β, sehingga selanjutnya disebut IL-1β receptor antagonist (ILB-1ra).
Antagonis reseptor IL-1β ini mengatur IL-1β secara endogen (Abbas, 2010).
2.9 Respon Fisiologi dan Patologi Tubuh terhadap Lipopolisakarida Bakteri
Mikroorganisme gram negatif menghasilkan endotoksin atau
lipopolisakarida (LPS) yang berpotensi merangsang sistem kekebalan non
spesifik. Lipopolisakarida ini ada di permukaan luar dinding mikroorganisme
gram negatif dan mengandung komponen lemak dan polisakarida moieties.
39
Kelompok polisakarida tersebut jumlahnya bisa sangat bervariasi dan merupakan
antigen mayor dari mikroorganisme gram negatif yang direspon oleh sistem
kekebalan spesifik (Abbas, 2010). Lipopolisakarida adalah aktivator poten dari
makrofag. Lipopoliskarida berikatan dengan LPS-binding protein (LPS-BP)
plasma, selanjutnya ikatan ini berikatan dengan CD14 pada makrofag dan sel
dendrit. Lipopolisakarida moiety kemudiaan ditangkap oleh TLR4. Makrofag
dengan sintesis dan ekspresi CD14 bisa merespon sekitar 10pg/mL LPS, dan sel-
sel yang kekurangan CD14 umumnya tidak responsif terhadap LPS. Perubahan-
perubahan sistemik pada pasien yang mengalami infeksi mikroorganisme biasa
disebut Systemic Inflammatory Respone Syndrome (SIRS) sebagai reaksi dari
sitokin yang dirangsang oleh LPS. Pengaruh yang ringan pada pasien adalah
respon berupa pengeluaran neutrofil, demam, dan peningkatan reaktan fase akut
dalam plasma. Neutrofilia adalah sebuah respon dari sumsum tulang akibat
beredarnya sitokin terutama Granulocyte Colony Stimulating Factor (G-CSF)
yang menyebabkan produksi neutrofil untuk menggantikan neutrofil yang
dibutuhkan selama proses keradangan. Meningkatnya jumlah neutrofil terutama
yang sel-sel muda, secara klinis menunjukkan adanya tanda-tanda keradangan.
Produk mikroorganisme yaitu LPS merangsang leukosit untuk mengeluarkan
sitokin seperti IL-1β dan TNFα dan sitokin ini akan meningkatkan enzim
cyclooxygenase yang merubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin. Protein
fase akut di dalam plasma sebagian besar diproduksi oleh liver sebagai respon
terhadap LPS. Protein itu adalah C-reactive protein (CRP), fibrinogen, dan serum
amyloid A protein. Sintesis molekul-molekul ini oleh hepatosit di up-regulation
40
oleh sitokin, terutama IL-6 (untuk CRP dan Fibrinogen), IL-1β dan TNFα (untuk
serum amyloid A protein) (Abbas, 2010).
Jika jumlah mikroorganisme atau LPS meningkat dalam darah, maka
level sitokin dalam darah juga meningkat, dan keadaan ini bisa menyebabkan
disseminated vascular coagulation (DIC) yang mana hal ini disebabkan
meningkatnya produksi protein koagulan (seperti tissue factor) dan
menurunnya aktivitas antikoagulan pada aktivitas TNFα sel endotel.
Kerusakan jaringan dalam respon terhadap LPS bisa juga disebabkan oleh
aktivasi neutrofil sebelum ke luar dari pembuluh darah, selanjutnya menyebabkan
rusaknya sel-sel endotel dan aliran darah berkurang (Abbas, 2010).