Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persalinan Preterm
2.1.1 Batasan
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, 1995,
persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 28 sampai
36 minggu dihitung dan hari pertama haid terakhir (Cunningham, 2010).
Indikator yang sering dipakai untuk mengetahui awal terjadinya persalinan
adalah kontraksi uterus dengan frekwensi minimal 2 kali setiap 10 menit dan
lamanya kontraksi 30 detik atau lebih, disertai perubahan pada servik yang
progresif, seperti: dilatasi servik ≥ 2 cm dan penipisan ≥ 80% (Sozmen, et al.,
2005). Pada penelitian ini diagnosis persalinan preterm berdasarkan prosedur tetap
(protap) tahun 2003 yang berlaku di Lab/SMF Obstetri Ginekologi Rumah Sakit
Umum Sanglah Denpasar.
2.1.2 Prevalensi
Kejadian persalinan preterm berbeda pada setiap negara. Pada tahun 2005,
9,6% kelahiran di seluruh dunia adalah kelahiran preterm. Kira- kira 85%
kelahiran preterm ini terjadi di Afrika dan Asia. Di negara maju, misalnya di
Eropa, angkanya berkisar 5-11%, USA 11,9%, dan Australia sekitar 7%.
(CDC,2007). Di negara yang sedang berkembang angka kejadiannya masih jauh
lebih tinggi, misalnya di India sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar 15%, Sudan
31%, dan Malaysia 10%. Di Indonesia angka kejadian prematuritas nasional
5
6
belum ada, namun angka kejadian bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) dapat mencerminkan angka kejadian prematuritas secara kasar. Angka
kejadian BBLR secara nasional Rumah Sakit adalah 27,9%.(Depkes RI,2007).
Angka persalinan preterm di RSUP Sanglah Denpasar dari Januari 2008 sampai
dengan Oktober 2011 sebesar 9,33% (SMF Obgyn FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar, 2011).
2.2 Faktor Risiko Terjadinya Persalinan Preterm
Sangat disayangkan jika hingga kini, sulit untuk menentukan secara dini
dan akurat seorang wanita hamil akan mengalami persalinan preterm. Bahkan
sistim skoring yang meliputi: jumlah kehamilan, status sosial ekonomi, umur
wanita saat hamil dan riwayat persalinan preterm/abortus, pernah dikembangkan
untuk menentukan wanita-wanita mana saja yang perlu mendapat pemantauan
lebih intensif. Tapi kenyataanya sistem ini belum dapat menurunkan insiden
persalinan preterm. Meskipun demikian ada beberapa faktor risiko yang diketahui
meningkatkan persalinan preterm yang dibagi dalam dua kriteria (Hole dan
Tressler, 2001), yaitu:
Mayor:
1. Kehamilan multiple;
2. Hidramnion;
3. Anomali bentuk uterus;
4. Pembukaan serviks ≥ 2 cm pada usia kehamilan> 32 minggu;
5. Panjang serviks < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan
TVS);
7
6. Riwayat abortus pada trimester II> lx;
7. Riwayat persalinan preterm sebelumnya;
8. Operasi abdominal pada kehamilan preterm;
9. Riwayat konisasi;
10. Iritabilitas uterus;
11. Penggunaan cocaine atau amfetamin.
Minor:
1. Penyakit-penyakit yang disertai demam;
2. Riwayat perdarahan pervaginam setelelah usia kehamilan 12 minggu;
3. Riwayat pielonefritis;
4. Merokok lebih dan 10 batang perhari;
5. Riwayat abortus pada trimester II;
6. Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2 kali.
Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan
preterm jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor dengan dua atau lebih
faktor risiko minor, atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor) (Hole
dan Tressler, 2001).
2.3 Klasifikasi Persalinan Preterm
Menurut usia kehamilannya, maka persalinan preterm digolongkan
menjadi: ( Moutquin, 2003)
1. Persalinan preterm (preterm), yaitu usia kehamilan 32-36 minggu.
2. Persalinan sangat preterm (very preterm), yaitu usia kehamilan 28-32
minggu.
8
3. Persalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu usia kehamilan
20-27 minggu.
Menurut kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi :
(Moutquin, 2003)
1. Idiopatik/Spontan
Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui, oleh
karena itu digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan
preterm spontan. Termasuk kedalam golongan ini antara lain persalinan
preterm akibat persalinan kembar, poli hidramnion atau persalinan
preterm yang didasari oleh faktor psikososial dan gaya hidup. Sekitar
12,5% persalinan preterm spontan didahului oleh ketuban pecah dini
(KPD), yang sebagian besar disebabkan karena faktor infeksi
(korioamnionitis).
Saat ini penggolongan idiopatik dianggap berlebihan, karena
ternyata setelah diketahui banyak faktor yang terlibat dalam persalinan
preterm, maka sebagian besar penyebab persalinan preterm dapat
digolongkan kedalamnya. Apabila faktor-faktor penyebab lain tidak ada
sehingga penyebab persalinan preterm tidak dapat diterangkan, maka
penyebab persalinan preterm ini disebut idiopatik.
2. Iatrogenik/indicated preterm labor
Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika
kedokteran menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak
atas kehidupannya (Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan
kehamilan diduga dapat membahayakan janin, janin akan dipindahkan
9
kedalam lingkungan luar yang dianggap lebih baik dari rahim ibunya
sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan
persalinan preterm buatan/iatrogenik yang disebut juga sebagai elective
preterm. Sekitar 25% persalinan preterm termasuk kedalam golongan
ini.
a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan preterm
adalah :
1. Preeklamsi berat dan eklamsi,
2. Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solution
plasenta),
3. Korioamnionitis,
4. Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru atau ginjal
yang berat.
b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan preterm
adalah :
1. Gawat janin,
2. Infeksi intrauterin,
3. Pertumbuhan janin terhambat (IUGR),
4. Isoimunisasi Rhesus.
2.4 Komplikasi Persalinan Preterm
Studi jangka pendek dan jangka panjang mendapatkan bahwa persalinan
preterm bertanggung jawab terhadap sebagian besar (75-80%) kematian perinatal
(Rose dan Marie, 2009).
10
Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan
imaturitas sistem organnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir
sangat preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress
syndrome(RDS), perdarahan otak atau intraventricular hemorrhage (IVH),
bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing
enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP) (Iam,
2002). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko retardasi
mental berat, cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di samping itu
juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi terhadap
lingkungannya, dan gangguan motoris (Iam, 2002).
Morbiditas dan mortalitas tersebut berhubungan erat dengan umur
kehamilan dan berat badan lahir. Makin besar umur kehamilannya dan berat
bayinya, makin menurun angka morbiditas dan mortalitasnya.
2.5 Mekanisme Persalinan Preterm
Persalinan pada wanita melibatkan serangkaian peristiwa yang progresif
dimulai dengan aktivasi poros Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) dan
peningkatan Corticotropin Releasing Hormone (CRH) plasenta. Hal ini
menimbulkan penurunan fungsi progesteron dan aktivasi estrogen yang kemudian
akan mengaktivasi Contraction Assosiated Proteins (CAPs) termasuk reseptor
oksitosin, oksitosin dan prostaglandin. Peristiwa biologis ini akan menyebabkan
pematangan serviks, kontraksi uterus, aktivasi desidua dan membrane janin serta
pada kala dua persalinan akan meningkatkan oksitosin ibu. Terdapat suatu
hipotesa tentang persalinan preterm dan aterm yang memiliki persamaan dan pada
11
persalinan patologis bisa berlangsung bersama- sama dengan proses persiapan
untuk persalinan fisiologis normal,terutama pada kehamilan di atas 32 minggu.
Sebelum usia 32 minggu, dibutuhkan stimulus patologis yang lebih besar untuk
memulai persalinan. Perbedaan mendasar antara persalinan spontan aterm dan
preterm adalah aktivasi fisiologis komponen-komponen pathway tersebut pada
persalinan aterm, sedangkan pada persalinan preterm berasal dari proses patologis
yang mengaktivasi salah satu atau beberapa komponen pathway tersebut.
Persalinan preterm mempunyai penyebab multifaktorial dan bervariasi
sesuai usia kehamilan. Hal-hal penting yang sering menyebabkan persalinan
preterm antara lain stress, infeksi saluran genital ibu atau infeksi sistemik, iskemi
plasenta atau lesi vaskuler, dan over distensi uterus. Hal tersebut bila dilihat dari
faktor pencetus dan mediatornya mempunyai sebab berlainan tetapi semuanya
menyebabkan hasil akhir yang sama yaitu kontraksi uterus dan persalinan.
Gambar 2.1 Penyebab persalinan preterm yang multifaktorial
12
Ada 4 mekanisme umum yang mengatur terjadinya persalinan preterm yaitu :
1 Aktivasi poros Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA) fetus maternal,
yang meningkatkan kadar sekresi CRH, yang akan merangsang ekspresi
ACTH (Adrenocorticotropic hormone) pada organ pituitary janin dan
produksi kortisol serta androgen oleh organ adrenal janin. Senyawa
androgen pada janin kemudian diaromatisasi menjadi estrogen oleh
plasenta. Hal ini akan menyebabkan rangkaian proses biologis yang
mengarah pada jalur umum terjadinya proses persalinan,yang ditandai
oleh terjadinya kontraksi uterus, pematangan serviks dan aktivasi
desidua janin (Challis, et al., 2000).
2 Infeksi dan inflamasi
Sumber infeksi yang telah dihubungkan dengan kelahiran preterm
termasuk infeksi intauterin ( bertanggung jawab sampai 50% kelahiran
preterm pada usia kehamilan < 28 minggu), infeksi sistemik maternal,
bakteriuria asimtomatik, dan periodontitis maternal. Produk-produk
bakteri merangsang produksi sitokin proinflamasi ( IL-1,TNF, IL-6, dan
IL-8) oleh sel- sel desidua. Sitokin- sitokin ini, kemudian merangsang
produksi prostaglandin oleh amnion dan desidua. Prostaglandin bekerja
melalui reseptor spesifik. Prostaglandin E2 (PGE2) menyebabkan
kontraksi miometrium melalui pengikatan reseptor EP-1 dan EP-3,yang
menyebabkan kontraksi miometrium melalui mekanisme peningkatan
mobilisasi kalsium dan menurunkan tingkat produksi penghambat
cAMP intraseluler. Prostaglandin juga meningkatkan produksi matriks
13
metalloproteinase (MMP) dalam serviks dan desidua untuk
meningkatkan pematangan serviks serta aktivasi membran janin.
Prostaglandin F2α (PGF2α) mengikat reseptor FP yang menyebabkan
kontaksi miometrium. Keseluruhan proses tersebut menstimulasi
terjadinya persalinan preterm (Krisnadi, et al., 2009)
3. Trombosis Uteroplasental dan Perdarahan desidua
Lesi vascular dari plasenta secara umum dikaitkan dengan
kelahiran preterm. Meskipun patofisiologinya belum jelas namun
thrombin dicurigai memiliki peranan besar. Thrombin adalah suatu
protease multifaktorial yang merangsang aktivitas kontraksi dari otot
polos vaskuler, intestinal dan miometrium. Thrombin mengaktifkan
sederetan reseptor yang unik termasuk protease-activated receptor 1,
protease-activated receptor 3 dan protease-activated receptor 4.
Reseptor-reseptor transmembran ini adalah bagian dari superfamili
protein heptahelical-G. Interaksi dengan thrombin menghasilkan
perubahan konfirmasi yang menghasilkan pasangan G-protein dan
aktivasi fosfolipase C. Aktivasi Fosfolipase C mengawali reaksi
biokimia yang berakhir pada pelepasan kalsium intraseluler dari
reticulum endoplasma. Kombinasi antara pelepasan kalsium intraseluler
dan influx kalsium ekstraseluler menyebabkan osilasi sitosolik kalsium
yang mengaktivasi kalmodulin, Myosin Light Chain Kinase (MLCK),
aktin dan myosin yang menghasilkan kontraksi uterus secara fasik.
14
Pada perdarahan desidua, juga diasosiasikan dengan infiltrasi
desidua oleh netrofil dan merupakan sumber yang kaya akan protease
dan matrik metalloproteinase. Ini dapat menjadi dasar bagi mekanisme
rupture premature dari membrane yang selanjutnya menyebabkan
persalinan preterm (Krisnadi, et al., 2009).
4. Peregangan uterus yang berlebihan
Distensi uterus berlebihan memerankan peran kunci pada onset
persalinan preterm yang berhubungan dengan gestasional ganda,
polihidramnion, dan makrosomia. Peregangan uterus mengakibatkan
ekspresi dari celah hubungan protein, seperti Conexin-43 (CX-43) dan
Conexin-26 (CX-26), seperti halnya kontraksi yang berhubungan
dengan protein lain seperti reseptor oksitosin. Peregangan dari
miometrium juga meningkatkan PGHS-2 dan PGE. Peregangan dari
otot segmen bawah rahim telah menunjukan peningkatan dari IL-8 dan
produksi kolagenase yang pada akhirnya akan memfasilitasi
pematangan serviks. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi terjadinya
persalinan preterm (Krisnadi, et al., 2009).
15
Gambar 2.2 Pathway persalinan preterm dan mediator – mediatornya
( dikutip dari Perkin Elmer, 2009; Preterm Birth )
16
2.6 Radikal Bebas, Rektif Oksigen Spesies (ROS), dan Pembentukan ROS
2.6.1 Radikal bebas
Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang
radikal bebas dan antioksidan. Hal ini karena sebagian besar penyakit diawali oleh
adanya reaksi oksidasi yang berlebihan didalam tubuh. Tampaknya oksigen
merupakan sesuatu yang paradoksial dalam kehidupan. Molekul ini sangat
dibutuhkan oleh organisme aerob karena memberi energi pada proses
metabolisme dan respirasi, namun pada kondisi tertentu keberadaannya dapat
berimplikasi pada berbagai penyakit (Winarsi, 2007). Radikal bebas merupakan
spesies kimiawi dengan satu elektron yang tidak berpasangan di orbit terluar.
Keadaan kimiawi tersebut sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan zat
kimiawi organik atau anorganik, saat dibentuk didalam sel, radikal bebas akan
segera menyerang dan mendegradasi asam nukleat dan berbagai molekul
membrane sel. Selain itu radikal bebas menginisiasi reaksi autokatalitik sehingga
memicu rantai kerusakan lebih lanjut (Mitchell dan Contran, 2008; Ruder et al.,
2005). Untuk menjadi stabil, radikal bebas memerlukan elektron yang berasal dari
pasangan elektron molekul disekitarnya, sehingga terjadi perpindahan elektron
dari molekul donor ke molekul radikal bebas untuk menjadikan molekul tersebut
stabil. Akibat reaksi tersebut, molekul donor menjadi radikal baru yang tidak
stabil dan memerlukan elektron dari molekul di sekitarnya untuk menjadi stabil.
demikian seterusnya sehingga terjadi reaksi berantai perpindahan elektron
(Nedeljkovic, et al., 2003). Terdapat 2 radikal bebas yang utama, yaitu ROS
(Reactif Oksigen Spesies) dan RNS (Reactif Nitrogen Spesies), dimana target
17
utama dari radikal bebas itu sendiri adalah protein, asam lemak tak jenuh dan
lipoproteib, serta unsur DNA termasuk karbohidrat (Agarwal, et al., 2005)
2.6.2 Reaktif Oksigen Spesies (ROS)
ROS merupakan produk normal yang dihasilkan pada metabolisme seluler.
Organisme aerobik memerlukan energi sebagai bahan bakar fungsi biologi. ROS
mampu menyebabkan kerusakan seluler, seperti merusak DNA/RNA, protein dan
lipid. Dalam sel aerobik, banyak terdapat ROS seperti superoxide (O2- ), hidrogen
peroksida (H2O2), singlet O2, hidroksil radikal (OH-), nitrit oksid (NO).
Berdasarkan sumber terbentuknya, ROS dapat dibagi dua : sumber endogenous
misalnya dari sel (neutrofil), direct-producing ROS enzymes (NO synthase),
indirect-producing ROS enzymes (xanthin oxidase), metabolisme (mitokondria),
serta penyakit (kelainan mental, proses iskemia). Sedangkan sumber eksogenous
berasal dari iradiasi gamma, iradiasi UV, ultrasound, makanan, obat-obatan,
polutan, xenobiotik dan toksin. (Kohen dan Nyska, 2002). Sekitar 1-5% dari
oksigen yang diperlukan oleh sel dapat membentuk ROS. Berlanjutnya paparan
ROS baik dari dalam maupun dari luar mengakibatkan terjadinya akumulasi ROS
dalam sel-sel tubuh dan berlanjutnya kerusakan oksidatif terhadap komponen sel
dan mengubah beberapa fungsi sel. Di antara target biologi yang paling peka
adalah protein-protein enzim, membran lipid dan DNA. (Kohen dan Nyska, 2002)
Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu
radikal dan nonradikal. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal
bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik
atau molekulernya. Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat
18
reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai
bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan
radikal (Kohen dan Nyska, 2002).
Tabel 2.1 Metabolit Radikal Oksigen
Nama Simbol
Oxygen (bi-radical)
Superoxide ion
Hydroxyl
Peroxyl
Alkoxyl
Nitric oxide
O2-.
O2.
OH.
ROO.
RO.
NO.
Tabel 2.2 Metabolit Nonradikal Oksigen
Nama Simbol
Hydrogen peroxide
(Organic peroxide)
Hypochlorus acid
Ozone
Aldehydes
Singlet oxygen
Peroxynitrite
H2O2
ROOH
HOCL
O3
HCOR /O2
ONOOH
Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini
sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan
pada dua orbit yang berbeda. (Kohen dan Nyska, 2002). Penambahan satu
elektron pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2•¯
). Peningkatan
anion superoksida terjadi melalui proses metabolik atau setelah aktivasi oksigen
oleh radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi dengan molekul lain untuk
membentuk ROS sekunder baik secara langsung maupun melalui proses
enzimatik atau katalisis metal (Valko, et al., 2005).
19
Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah
terbentuk, komponen ini akan segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh
ROS dipengaruhi oleh lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies
lain. Toksisitasnya tidak selalu sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya,
waktu paruh yang panjang dapat mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena
memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif,
kemudian ROS yang terbentuk akan berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di
tempat yang jauh dari tempat produksinya. Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif
dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH•, menyebabkan kerusakan
langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis penting di sekitar
tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Untuk
mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan harus ada di
lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan
biologis (Kohen dan Nyska, 2002).
Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid
(O2•¯
) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2).
Hidroperoksil lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam
keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan
pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik,
kelarutan O2•¯
lebih tinggi dan kemampuannya sebagai pereduksi meningkat.
Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal
superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan Oksigen (O2) dengan
20
bantuan enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen dan Nyska,
2002).
Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi
yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan
penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak
langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO.
Efek langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi
enzim, oksidasi DNA, lipid, dan asam keto (Kohen dan Nyska, 2002).
Radikal hidroksil memiliki reaktivitas yang sangat tinggi (107-10
9 m
-1s
-1),
waktu paruh yang singkat dan daya ikat yang sangat besar terhadap molekul
organik maupun anorganik, termasuk DNA, protein, lipid, asam amino, gula, dan
logam (Kohen dan Nyska, 2002).
Molekul oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada keadaan normal
dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses metabolisme selular.
Superoxid (O2-) dapat bereaksi dengan nitrit oksida (NO) yang menghasilkan
peroksinitrit (ONOO-) yang kemudian akan dioksidasi menjadi nitrat (NO3
-). NO
merupakan suatu endotelium-derived relaxing factor (EDRF), suatu zat yang
menyebabkan vasodilatasi sebagai respon terhadap asetilkolin. Peroksinitrit ini
sangat sitotoksik dan menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein, lemak, dan
DNA.
Metal transisi juga merupakan radikal. Di dalam tubuh, tembaga dan besi
merupakan metal transisi yang terbanyak dan ditemukan dalam konsentrasi yang
21
tinggi. Kedua logam ini berperan penting dalam Reaksi Fenton dan Haber-Weiss.
Sebenarnya semua ion logam yang terikat pada permukaan protein, DNA atau
makromolekul lain dapat berpartisipasi dalam reaksi ini. Logam yang tersembunyi
di dalam protein, seperti dalam catalytic sites dan sitokrom atau kompleks
simpanan tidak terpapar oksigen atau tetap berada dalam keadaan oksidasi
sehingga tidak berperan dalam reaksi ini. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2
)
bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3
) dan
radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal
superoksid (O2•¯
) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian
menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil(OH•). Adanya logam transisi
inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan
oleh radikal hidroksil (Kohen dan Nyska, 2002).
ROS memiliki efek yang menguntungkan dan juga efek merugikan. Efek
menguntungkan ROS terjadi pada konsentrasi rendah hingga sedang, merupakan
proses fisiologis dalam respon seluler terhadap bahan bahan yang merugikan,
seperti dalam pertahanan diri terhadap infeksi, dalam sejumlah fungsi sistem
sinyal seluler dan induksi respon mitogenik (Valko, et al., 2006). Efek merugikan
dari radikal bebas yang menyebabkan kerusakan biologis dikenal dengan nama
stres oksidatif (Kovacic, 2001). Hal ini terjadi dalam sistem biologis akibat
produksi ROS yang berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan. Dengan kata
lain, stress oksidatif terjadi akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen
dan menunjukkan gangguan keseimbangan status reaksi oksidan dan antioksidan
22
pada mahluk hidup. ROS yang berlebihan akan merusak lipid seluler, protein
maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel (Gambar 2.1).
Gambar 2.3 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies ( Kohen dan Nyska,
2002)
2.6.3 Pembentukan Reaktif Oksigen Spesies (ROS)
Molekul oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada keadaan normal
dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses metabolisme selular.
Proses metabolisme yang merupakan sumber radikal bebas (Ronzio, 1999):
1. Reaksi fosforilase oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria.
Secara normal dalam reaksi ini 1-5% oksigen keluar dari jalur reaksi ini
dan mengalami reduksi univalent. Reduksi satu elektron dari molekul
oksigen ini akan membentuk radikal superoksida, yang harus
23
didetoksifikasi oleh mekanisme proteksi biokimia endogen untuk
mencegah kerusakan sel.
2. Beberapa jenis enzim oksidase, misalnya xantin oksidase dan aldehid
oksidase dapat membentuk zat oksidan yang reaktif, seperti
superoksida.
3. Metabolisme asam arakhidonat oleh enzim siklooksigenase untuk
membentuk prostaglandin dan oleh enzim lipooksigenase untuk
membentuk leukotrien menyebabkan pembentukan zat-zat antara
berbentuk peroksi maupun radikal hidroksi.
4. Sistem oksidase NADPH-dependen di permukaan membran neutrofil
adalah sumber pembentukan radikal superoksida yang sangat efisien.
Enzim ini lebih banyak bersifat dorman, namun jika teraktivasi
misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, enzim ini akan
mengkatalisis reaksi reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen
peroksida dan O2-.
5. Sel yang mengandung peroksisim, organela yang mengoksidasi asam
lemak akan memproduksi H2O2.
24
Gambar 2.4 Bagan fisiologi pembentukan dan katalisasi radikal bebas
(Jauniaux, et al., 2000)
2.7 Stres Oksidatif dan Mekanisme Pertahanan terhadap Stres Oksidatif
2.7.1 Stres oksidatif
Stres oksidatif didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan antara
produksi radikal bebas dengan antioksidan yang menyebabkan kerusakan
jaringan. Stres oksidatif dapat dihasilkan dari ( Winarsi, 2007) :
1. Pengurangan level antioksidan, sebagai contoh terjadinya mutasi yang
mempengaruhi pertahanan enzim antioksidan seperti SOD atau GPx
atau atau adanya toksin yang melemahkan pertahanan antioksidan.
Defisiensi mineral seperti Zn 2+, Mg2+, Fe 2+, Se juga dapat
menyebabkan stress oksidatif.
H2O + O2 H2O + O2
Cytoplasma Mitochondria
Cytochrom
e
P450
O2 + e-
Superoxide
Cu/Zn SOD
Hydrogen
peroxide
Electron
Transport
chain
O2 + e-
Superoxide
Hydrogen
peroxide
Mn SOD
GPX
CAT
NO NO
Peroxy
nitrite
Hydroxyl
radical
GPX
CAT
25
2. Peningkatan produksi radikal bebas, sebagai contoh sel atau organisme
yang terpapar oksigen dengan dosis tinggi atau toksin lain yang
merupakan radikal bebas, atau adanya aktifasi berlebih dari sistem
natural yang menghasilkan berbagai spesies yang reaktif seperti aktifasi
sel-sel fagositik pada penyakit inflamasi kronis.
Organisme harus menghadapi dan mengontrol adanya prooksidan dan
antioksidan secara terus menerus. Keseimbangan kedua faktor ini yang dikenal
dengan nama redoks potensial, bersifat spesifik untuk tiap organel dan lokasi
biologis. Hal-hal yang mempengaruhi keseimbangan ke arah manapun
menimbulkan efek buruk terhadap sel dan organisme. Perubahan keseimbangan
ke arah peningkatan pro-oksidan yang disebut stres oksidatif akan menyebabkan
kerusakan oksidatif. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan kekuatan
reduksi atau antioksidan juga akan menimbulkan kerusakan yang disebut stres
reduktif (Kohen dan Nyska,2002).
Gambar 2.5 Keseimbangan Oksidan dan Reduktan ( Kohen dan Nyska,2002)
26
2.7.2 Mekanisme pertahanan terhadap stres oksidatif
Sel yang terpapar stress oksidatif secara terus menerus, juga memiliki
berbagai mekanisme pertahanan agar dapat bertahan hidup.
Gambar 2.6 Klasifikasi Mekanisme Pertahanan Antioksidan Seluler
( Dikutip dari : Kohen dan Nyska, 2002)
Mekanisme pertahanan terpenting adalah dari antioksidan enzimatik dan
low molecular weight antioxidant (LMWA). Antioksidan enzimatik ada yang
bekerja secara langsung, misalnya superoksid dismutase (SOD), glutathione
peroxidase (Gpx), catalase (CAT) dan ada yang berupa enzim tambahan, seperti
Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) dan xanthin oxidase. Sedangkan
yang termasuk kelompok LMWA misalnya glutathione, asam urat, -tokoferol,
27
asam askorbat, karotenoid dan masih banyak lagi bahan-bahan lainnya (Biri,et al.,
2006).
2.8 Antioksidan dan SOD
2.8.1 Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elekron atau reduktan, sehingga
mempunyai kemampuan untuk menetralkan efek radikal bebas. Sistem
antioksidan tubuh melindungi jaringan dari efek negatif radikal bebas. Terdapat 3
kelompok antioksidan dalam tubuh manusia yaitu ( Winarsi, 2008):
1. Antioksidan Primer ( Endogenus)
Bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang baru
serta mengubah radikal bebas menjadi molekul yang tidak berbahaya.
Termasuk didalamnya adalah superoxide dismutase (SOD), glutatin
peroksidase ( GPx), dan katalase. Sering juga disebut antioksidant
enzimatis.
2. Antioksidan Sekunder ( Eksogenus)
Berguna untuk menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi
berantai. Termasuk didalamnya adalah vitamin E (α-tokoferol), β
karoten, asam urat, bilirubin dan albumin.
3. Antioksidan Tersier
Berguna untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan
oleh radikal bebas. Termasuk didalamnya adalah DNA repair enzyme
dan metionin sulfoksida reduktase.
28
2.8.2 Superoxide Dismutase (SOD)
Superoxide Dismutase (SOD) diisolasi pertama kali oleh Mann dan Kleilin
tahun 1938 (Winarsi, 2007). SOD merupakan enzim yang mengkatalisis radikal
superoksid menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Terdapat beberapa jenis
SOD, seperti Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol
terutama di lisosom dan nukleus, manganese-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di
dalaem mitokondria, ekstraseluler SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang
hanya ditemukan pada tumbuhan (Cemelli, et al., 2009).
SOD merupakan enzim antioksidan pencegah, yang merupakan suatu
antioksidan metalloenzim. SOD adalah enzim antioksidan intraseluler utama yang
dapat digunakan untuk menetralisir aktifitas O2-. Secara umum semua SOD, ion
metal (M) mengkatalisa dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi seperti
dibawah:
M3+
+ O2- M
2+ + O2
M2+
+ O2- + 2H
+ M
3+ + H2O2
SOD menetralisir O2-
menjadi oksigen dan hidrogen peroksida (H2O2).
Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase dan
peroksidase. Peroksidase yang penting dalam tubuh yang dapat meredam dampak
negatif H2O2 adalah glutation peroksidase.
2O2- + 2H
+ O2 + H2O2 (oleh superoksid dismutase)
2H2O2 2H2O + O2 (oleh katalase)
2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O (oleh glutation peroksidase)
29
Gambar 2.7. Bagan mekanisme kerja SOD melindungi kerusakan sel
(Jauniaux, et al., 2000)
Kerusakan sel dipicu oleh oksigen reaktif (ROS). Bisa juga berupa radikal
bebas anion reaktif dari atom oksigen (O2-), atau molekul yang mengandung atom
oksigen yang dapat memproduksi radikal bebas atau yang diaktifkan oleh radikal
berupa radikal hidroksil, superoksida, hidroksi peroksida dan peroksinitrit.
Sumber utama reaksi oksidatif berasal dari pernapasan aerob walaupun bisa juga
diproduksi melalui peroksisomal β-oksidasi asam lemak, komponen metabolik
sitokrom P450. Dalam kondisi normal, oksidasi reaktif dikeluarkan dari sel
dengan bantuan SOD, katalase atau glutation peroksidase. Kerusakan utama pada
sel terjadi akibat perubahan makromolekul seperti asam lemak pada lipid
membrane, protein esensial dan DNA (Kobe, et al., 2002).
30
2.9 Peran SOD Dalam Kehamilan Normal dan Persalinan Preterm
2.9.1 Peran SOD dalam kehamilan normal
SOD berperan dalam aktivitas korpus luteum, perkembangan embrio dan
dalam pemeliharaan kehamilan muda. SOD bekerja sebagai faktor penghambat
dari kerja peroksida yang berfungsi menghambat aktivitas hormon gonadotropin,
steroidogenesis dan hilangnya fungsi folikel. Penelitian pada tikus menunjukkan
SOD dibutuhkan untuk mempertahankan korpus luteum dan gestasi awal (Guerin,
et al., 2001).
Aktivitas SOD sebanding dengan konsentrasi progesteron dalam serum
pada kehamilan awal. Progesteron menginduksi desidualisasi endometrium pada
awal kehamilan dan juga menginduksi ekspresi SOD. Hasil pada tikus
menunjukkan konsentrasi oksigen yang tinggi berbahaya untuk perkembangan
embrio secara invitro dan dapat dicegah dengan mengkultur embrio dalam
suasana rendah oksigen. Kadar SOD dalam plasenta meningkat selama kehamilan
dan aktivitas SOD yang rendah dalam plasma atau plasenta ditemukan pada kasus
abortus spontan (Ozkaya, et al., 2008). Sugino dkk menemukan penurunan
aktivitas total dari SOD dan peningkatan sintesis prostaglandin F2α dalam desisua
pada kasus abortus spontan dengan perdarahan pervaginam, sehingga diduga
terminasi kehamilan akibat penurunan aktivitas SOD yang menstimulasi sintesis
prostaglandin. Pada kehamilan normal ditemukan peningkatan kadar SOD pada
awal trimester pertama (Sugino, et al., 2000).
Pada endometrium manusia memiliki Cu,Zn-SOD pada sitosol dan Mn-
SOD pada mitokondria. SOD merupakan enzimatik pertama dalam perlindungan
31
sel dari oksigen reaktif. ROS meningkat pada fase sekresi lanjut sesaat sebelum
menstruasi dan menurun pada awal kehamilan terutama di desidua. Aktivitas SOD
menurun pada fase sekresi lanjut namun meningkat pada desidua diawal
kehamilan. Penemuan ini menunjukkan bahwa SOD berperan sangant penting
dalam stabilitas jaringan endometrium (Sugino, et al., 2000).
Berdasarkan evaluasi sirkulasi plasenta pada berbagai masa kehamilan
dengan menggunakan Doppler, tidak ditemukan sinyal nonpulsatile yang
menunjukkan aliran darah maternal intraplasenta dalam rongga intervilli hingga
umur kehamilan 10 minggu. Salah satu implikasi dari teori baru tersebut adalah
bahwa kadar oksigen dalam plasenta janin stadium awal sangat rendah dan
meningkat ketika mendapatkan aliran darah dari ibu. Sebaliknya, pada kehamilan
muda dengan komplikasi, terlihat hipervaskularisasi pada plasenta jauh sebelum
akhir trimester pertama dengan pemetaan color flow. Pada kehamilan dengan
komplikasi, invasi endometrium oleh trofoblas ekstravilli sangat tebatas
dibandingkan dalam keadaan normal. Pembatasan (plugging) arteri spiralis tidak
sempurna dan dapat menjadi faktor predisposisi pada onset awal sirkulasi
maternal. Jaringan plasenta memiliki enzim antioksidan dalam konsentrasi rendah
dan aktifitas rendah selama trimester pertama sehingga menjadi sangat rentan
terhadap kerusakan yang dimediasi oksidatif. Ditemukan peningkatan tajam dari
ekspresi marker stres oksidatif pada trofoblas pada umur kehamilan 8 hingga 9
minggu yang berhubungan dengan onset sirkulasi pada kehamilan normal dan
berspekulasi bahwa stres oksidatif yang berlebih pada plasenta dalam umur
kehamilan muda mungkin merupakan faktor yang berperan dalam patogenesis
kegagalan pada kehamilan awal dan preeklamsia (Jauniaux, et al., 2003).
32
2.9.2 Peran antioksidan SOD pada persalinan preterm
Persalinan spontan pervaginam sangat erat kaitannya dengan timbulnya
kontraksi uterus yang terkoordinasi untuk membantu pengeluaran fetus dari jalan
lahir. Pada beberapa kasus, kontraksi dapat menyebabkan timbulnya kompresi
dari suplai darah ke uterus. Episode alamiah tersebut merupakan proses awal
terbentuknya ROS. Di sisi lain, miometrium manusia tidak hanya membentuk
ROS, namun juga menciptakan sistem pertahanan antioksidan (SOD) yang dapat
meminimalisir efek destruktif potensial dari ROS tersebut (Telfher, et al.. 1997).
Terdapat beberapa jenis ROS tersebut diantaranya anion superoksida (O2-) dan
Hidrogen peroksida (H2O2). Selama terjadinya persalinan kadar ROS tersebut
akan meningkat (Zyrianov, et al., 2003). Peningkatan ROS (anion Superoksida
dan Hidrogen peroksida) akan terjadi ketika timbul ketidakseimbangan dengan
mekanisme pertahanan dalam bentuk antioksidan.
Sebuah studi dari Matsumoto et al tahun 1990, mendapatkan sebuah kaitan
yang menarik antara keberadaan SOD sebagai sistem pertahanan untuk mencegah
peningkatan produksi dari anion superoksida (O2-) di dalam miometrium manusia.
Anion superoksida (O2-) memiliki peran langsung dalam menyebabkan terjadinya
kontraksi pada uterus manusia (Callahan, et al., 2001; Kimura, et al.,, 2002).
Mekanisme terjadinya kontraksi spontan pada uterus yang diaktivasi oleh O2-
yaitu dengan jalan secara langsung meningkatkan kalsium (Ca2+) intraselular
(Matsumoto, et al., 1990).
Peningkatan ion Ca2+
intraselular akan mengaktivasi ikatan kalsium-
kalmodulin (Ca2+ CALM), yang kemudian memicu aktivitas Myosin Light Chain
33
Kinase (MLCK), yang akan memodulasi terjadinya reaksi aktin-miosin sehingga
menyababkan terjadinya kontraksi uterus (Warren, et al., 2005) Di sisi lain
terdapat suatu mekanisme unik yang akan memodulasi suatu pompa kalsium yang
diaktivasi oleh pompa potassium (BKca) yang berfungsi dalam mengatur
kontraktilitas miometrium (Anwer et.al.1993, Khan et.al, 1993). Selanjutnya
aktivasi dari pompa BKca tersebut akan memicu mekanisme “feed back negative”
untuk mengurangi depolarisasi dan kontraksi miometrium. Pada saat yang
bersamaan akan terjadi hiperpolarisasi membran sel, sehingga terjadi peningkatan
pompa ion Ca2+ dan menurunkan influk ion Ca2
+ yang kemudian diikuti dengan
penurunan konsentrasi ion Ca2+
intraselular sehingga memicu terjadinya relaksasi
miometrium. Dari tahun ke tahun semakin banyak bukti menunjukkan kaitan efek
seluler dari ROS (O2-) yang menyebabkan terjadinya perubahan konduksi ion
dalam otot polos manusia (Kourie, 1998). DiChiara dan Reinhart (1997)
mendemonstrasikan bahwa proses oksidasi terus-menerus dari O2- akan
mengurangi aktivitas dan fungsi pompa BKCa, sehingga akan memicu terjadinya
kontraksi pada miometrium.
Penelitain terbaru oleh Juniaux, et al., 2006 menyebutkan bahwa
ketidakseimbangan antara terbentuknya anion superoksida (O2-) dan mekanisme
pertahanan antioksidan dalam bentuk SOD akan memicu hilangnya homeostasis
kalsium (Ca2+) intraselular, sehingga terjadinya pelepasan kalsium dari
Retikulum Endoplasma dan tempat penyimpanan lainnya. Konsentrasi kalsium
dalam lumen Retikulum Endoplasma sangatlah besar dibandingkan dengan
kadarnya dalam sitosol. Konsentrasi ini dipertahankan oleh suatu mekanisme
34
pompa yang terdapat pada sakro dan reticulum endoplasma ATP ase. ROS
mampu mengaktifkan pelepasan kalsium dari membrane reticulum endoplasma,
melalui reseptor inositol-1,4,5,triphospat (IP3R) dan reseptor rianodine. Oleh
karena itu peran SOD sangatlah penting dalam mencegah terjadinya kontraksi
uterus yang pada akhirnya memicu terjadinya persalinan preterm
2.10 Peranan ROS H2O2 pada Persalinan Preterm
Hidrogen peroksida ( H2O2) merupakan salah satu ROS non radikal yang
sangat reaktif, yang dihasilkan pada metabolisme seluler. H2O2 dihasilkan dari
dismutasi 2 radikal superoksid secara spontan maupun dengan bantuan enzim
Superoksid Dismutase ( Kohen dan Nyska, 2002 ). Di mana radikal superoksid
sendiri dihasilkan dari Reaksi Fosforilasi Oksidatif pada pembentukan ATP di
mitokondria ( 1-5% oksigen keluar dari jalur ini dan mengalami reduksi univalent
membentuk radikal superoksid ). Di samping itu juga, bisa dihasilkan melalui
sistem oksidase NADPH-dependen, yang jika teraktivasi misalnya oleh bakteri,
mitogen atau sitokin, akan mengkatalisis reaksi reduksi mendadak dari oksigen
menjadi hidrogen peroksida dan O2-.
Efek buruk H2O2 secara kimiawi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu efek
langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak langsung, akibat bahan lain
yang dihasilkan dari H2O2 seperti OH- dan HClO. Kedua efek inilah yang
menyebabkan degradasi protein, lipid, asam amino, oksidasi DNA dan inaktivasi
enzim ( Kohen & Nyska, 2002). Yang selanjutnya berefek pada banyak sel target
yang meliputi channels ion membrane. H2O2 memicu peningkatan influk
Calcium (Ca2+
), yang menyebabkan peningkatan calcium intracellular (Ca2+
). (
Warren, et.al., 2005). Peningkatan calcium intracellular akan mengaktivasi
35
calcium calmodulin (Ca2+
CALM). Selanjutnya calcium calmodulin akan
mengaktivasi miosin light chain kinase (MLCK), yang akan memodulasi
terjadinya reaksi actin-myosin yang menyebabkan kontraksi otot miometrium.
(Yuan dan Bernal, 2007). Di samping itu H2O2 juga memiliki kemampuan untuk
menginduksi kontraksi uterus dengan memediasi pelepasan prostaglandin
(Cherouny, et al., 1988). Prostaglandin (PGE2 dan PGF2α) menyebabkan
kontraksi miometrium melalui mekanisme peningkatan mobilisasi kalsium. Kedua
mekanisme tersebut diatas yang menjadi dasar terjadinya kontraksi miometrium
pada persalinan preterm yang berkaitan dengan H2O2.
Gambar 2.8 Cyclic AMP pathways pada jaringan myometrium ( Dikutip
dari Yuan dan Bernal, 2005: Cyclic AMP signaling pathways
in the regulation of uterine relaxation)