Upload
carencornela
View
94
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
SMF/Lab Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Referat
Universitas Mulawarman
PERSALINAN PRETERM
Disusun Oleh
Rima Novalia
04.45411.00201.09
Pembimbing
dr. Novia Fransiska Ngo, Sp.OG
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada
SMF/Laboratorium Obstetri dan Ginekologi
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran - Universitas Mulawarman
2010
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. 1DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 42.1. Definisi ........................................................................................................... 42.2. Epidemiologi .................................................................................................. 42.3. Etiologi .......................................................................................................... 62.4. Faktor Risiko .................................................................................................. 62.5 Patogenesis ..................................................................................................... 8
2.5.1 Aktivasi aksis HPA janin atau ibu: stres ................................................. 82.5.2 Infeksi dan Inflamasi .............................................................................. 102.5.3 Perdarahan Desidua ................................................................................ 132.5.4 Distensi Uterus yang Berlebihan ............................................................ 142.5.5 Insufisiensi Serviks ................................................................................ 14
2.6 Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami Persalinan Preterm ................. 162.6.1 Skoring Risiko ........................................................................................ 172.6.2 Uji Kontraksi Uterus Ambulatorik ......................................................... 172.6.3 Estriol Saliva .......................................................................................... 182.6.4 Skrining Bakterial Vaginosis .................................................................. 192.6.5 Skrining Fibronaktin Janin ..................................................................... 202.6.6 Pengukuran Panjang Serviks .................................................................. 212.6.7 Kombinasi Penilaian fFN dengan Ultrasonografi Serviks....................... 22
2.7 Diagnosis......................................................................................................... 222.8 Penatalaksanaan .............................................................................................. 23
2.8.1 Tokolisis ................................................................................................. 252.8.2 Akselerasi Pematangan Fungsi Paru ....................................................... 272.8.3 Antibiotik ............................................................................................... 272.8.4 Cara Persalinan ...................................................................................... 28
2.9 Komplikasi ..................................................................................................... 282.10 Pencegahan ..................................................................................................... 29
2.10.1 Pencegahan Primer................................................................................ 292.10.2 Pencegahan Sekunder ........................................................................... 302.10.3 Pencegahan Tersier............................................................................... 31
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 333.1. Kesimpulan ....................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 34
2
BAB I
PENDAHULUAN
Persalinan preterm merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas perintal di seluruh dunia. Persalinan preterm menyebabkan 70% kematian
prenatal atau neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka panjang, yang meliputi
retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder, kebutaan,
hilangnya pendengaran, dan gangguan non-neurologi seperti penyakit paru kronis, dan
retinopati. Hal ini berarti, morbiditas menjadi masalah sosial dan ekonomi yang
signifikan, baik bagi keluarga yang terlibat maupun negara secara keseluruhan. Oleh
karena itu, persalinan preterm bukan hanya menjadi komplikasi obstetri yang paling
umum, namun juga menjadi salah satu yang paling serius.1,2,3,4
Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya bervariasi antara 6% sampai
15% dari seluruh persalinan. Di Amerika Serikat, sekitar 450.000 (11,5%) persalinan
preterm terjadi setiap tahunnya, dan menyebabkan 75% kematian neonatal dan 50%
gangguan neurologis jangka panjang pada anak. Selain itu juga menyebabkan
pengeluaran biaya perawatan kesehatan sebesar 35% untuk bayi dan 10% untuk anak.4
Di Indonesia belum ada angka yang secara nasional menunjukan kejadian persalinan
preterm, tetapi beberapa peneliti memberikan angka kejadian persalinan preterm di
rumah sakit. Joesoef dkk. melaporkan angka kejadian persalinan preterm di beberapa
rumah sakit di Jakarta pada tahun 1991 sebesar 13,3%, sedangkan Usman dan Effendi
di RS dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2001 sebesar 9,9%.5
Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang
berhubungan dengan persalinan preterm mungkin memerlukan identifikasi faktor risiko
dan pelaksanaan program modifikasi perilaku yang efektif untuk mencegah persalinan
preterm. Sehinggan diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor
risiko psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm, serta program yang
akurat untuk mengidentifikasi wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm.6
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Diagnosis persalinan preterm dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang
dari 37 minggu mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit,
yang dapat berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks.2 Pendapat lain
mengatakan persalinan preterm adalah persalinan yang berlangsung pada usia
kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir (AJOG 1995).7
Namun, batas bawah usia kehamilan yang digunakan untuk membedakan persalinan
preterm dengan abortus spontan bervariasi menurut lokasi.8 Himpunan Kedokteran
Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa persalinan preterm
adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.7
2. 2 Epidemiologi
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: (1)
persalinan atas indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun
seksio sesarea; (2) persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh; dan (3)
persalinan preterm dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah akhirnya dilahirkan
pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari persalinan preterm
berdasarkan indikasi, 40-45% persalinan preterm terjadi secara spontan dengan selaput
amnion utuh, dan 25-30% persalinan preterm yang didahului ketuban pecah dini.4,8
Konstribusi penyebab persalinan preterm berbeda berdasarkan kelompok etnis.
Persalinan preterm pada wanita kulit putih lebih umum merupakan persalinan preterm
spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam lebih umum
didahului ketuban pecah dini sebelumnya. Persalinan preterm juga bisa dibagi menurut
usia kehamilan: sekitar 5% persalinan preterm terjadi pada usia kehamilan kurang dari
28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31
minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33 minggu
(moderate prematurity), dan 60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu (near term).
4
Dari tahun ke tahun, terjadi peningkatan angka kejadian persalinan preterm, yang
sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi.8
Gambar 2.1 Gambaran angka kejadian persalinan preterm di USA, 1989-20008
2. 3 Etiologi
5
Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab persalinan preterm multifaktorial dan
sesuai dengan usia kehamilan. Diantaranya ialah:
1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),
2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau
polihidramnion),
3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),
4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid
uterus),
5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau
trikomonas),
6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus
genitourinaria atau infeksi sistemik),
7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-
hipofisis-adrenal, baik pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu
atau janin), dan
8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I,
penyalahgunaan obat, merokok, atau konsumsi alkohol).6,7,8
Tabel 2.1 Etiologi dan alur persalinan preterm yang diakui secara umum9
2. 4 Faktor Risiko
Meskipun patofisiologi persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun
terdapat banyak faktor risiko yang diketahui berperan pada persalinan preterm, dan
pengetahuan terhadap adanya faktor risiko ini penting dalam menilai kemungkinan
6
terjadinya persalinan preterm.1,7 Namun sayangnya upaya untuk menilai faktor risiko
tersebut tidaklah mudah, karena lebih dari setengah dari persalinan preterm terjadi pada
wanita yang tidak memiliki faktor risiko yang jelas.3
Berikut beberapa faktor risiko terjadinya persalinan preterm:
Faktor risiko mayor
1. Kehamilan multipel
2. Polihidramnion
3. Anomali uterus
4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu
5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua
6. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop
electrosurgical excision procedure)
8. Penggunaan cocaine atau amphetamine
9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu
10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.
Faktor risiko minor
1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu
2. Riwayat pielonefritis
3. Merokok lebih dari 10 batang perhari
4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua
5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.
Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau
dua atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.3,10
Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan adalah
tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang
rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (seperti infeksi
maternal, preeklamsia-eklamsia, plasenta previa, kehamilan yang diperoleh melalui
bantuan medikasi, terlambat atau tidak melakukan asuhan antenatal). Merupakan
7
langkah penting dalam pencegahan persalinan preterm adalah bagaimana
mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian memberikan asuhan prenatal serta
penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.1,7
2. 5 Patogenesis
Penyebab persalinan preterm multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu
sama lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada persalinan preterm:11
2. 5. 1 Aktivasi aksis hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu: stres
Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang
mengancam atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan mengakibatkan
akitivasi prematur hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu. Stres
semakin diakui sebagai faktor risiko penting untuk persalinan preterm. Beberapa
penelitian telah menemukan 50% hingga 100% kenaikan angka kelahiran preterm
berhubungan dengan stres pada ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari berbagai
peristiwa kehidupan, kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan
proses perilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan persalinan preterm terkait stres.
Namun, proses yang paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm
ialah neuroendokrin, yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini
dimediasi oleh corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta. Penelitian in vitro
pada sel plasenta manusia menunjukan CRH dilepaskan dari kultur sel plasenta
manusia dalam dosis yang sesuai responnya terhadap semua efektor biologi utama
stres, termasuk kortisol, katekolamin, oksitosin, angiotensin II, dan interleukin-1 (IL-
1). Dalam penelitian in vivo juga ditemukan hubungan yang signifikan antara stres
psikososial ibu dan kadar CRH, ACTH, dan kortisol plasma ibu. Beberapa penelitian
menghubungkan kadar awal CRH plasma ibu dengan waktu persalinan. Hobel dkk.
melakukan penilaian kadar CRH serial selama kehamilan dan menemukan bahwa
dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang melahirkan preterm
memiliki kadar CRH yang meningkat secara signifikan, dengan mempercepat
peningkatan kadar CRH selama kehamilan. Selain itu, mereka menemukan bahwa
tingkat stres psikososial ibu pada pertengahan kehamilan secara
8
Gambar 2.2 Alur yang umum terjadi pada persalinan preterm11
9
signifikan dapat memprediksi besarnya peningkatan CRH ibu di antara pertengahan
kehamilan dan setelahnya.9,11
Data ini menunjukan bahwa hubungan antara stres psikologis ibu dan
prematuritas dimediasi oleh peningkatan prematur dari ekspresi CRH plasenta. Pada
persalinan term, aktivasi CRH plasenta sebagian besar didorong oleh aksis HPA janin
dalam suatu feedback positif pada pematangan janin. Pada persalinan preterm, aksis
HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. Stres pada ibu, tanpa adanya
penyebab persalinan preterm lainnya, seperti infeksi akan menyebabkan peningkatan
efektor biologi dari stres termasuk kortisol dan epinefrin, yang mengaktifkan ekspresi
CRH plasenta. CRH plasenta, pada gilirannya, dapat menstimulasi janin untuk
mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) (melalui aktivasi
aksis HPA janin) dan menstimulasi plasenta untuk mensintesis estriol dan
prostaglandin, sehingga mempercepat persalinan preterm.9,11
Stres dapat berkonstribusi pada peningkatan angka kejadian persalinan preterm
di antara orang Afrika-Amerika di Amerika serikat. Asfiksia dapat mewakili hasil akhir
yang umum pada berbagai alur yang meliputi stres, perdarahan, preeklampsia, dan
infeksi. Asfiksia memainkan peranan penting dalam persalinan preterm, bayi lahir mati,
dan perkembangan neonatal yang merugikan. Asfiksia kronik yang berhubungan
dengan insufisiensi sirkulasi uteroplasenta dapat terjadi pada infeksi plasenta seperti
malaria, atau penyakit ibu (seperti diabetes, preeklamsia, hipertensi kronik), dan
ditandai oleh aktivasi aksis HPA janin dan berikutnya kelahiran preterm.9,11
2.5.2 Infeksi dan inflamasi
Patogenesis dari persalinan preterm masih belum dimengerti dengan benar.8
Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam
persalinan preterm.1,8 Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga menyebabkan
persalinan preterm pun hingga kini belum jelas benar, namun diduga berkaitan dengan
sistem kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh
banyak mikroorganisme. Fosfolipase A2 akan memecah asam arakidonat dari selaput
amnion janin, sehingga asam arakidonat bebas meningkat untuk sintesis prostaglandin.
10
Selain itu, endotoksin (lipopolisakarida) bakteri dalam cairan amnion akan merangsang
sel desidua untuk menghasilkan sitokin dan prostaglandin yang dapat menginisiasi
proses persalinan. Berbagai sitokin, termasuk interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
dan tumour necrosis factor (TNF) adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan
persalinan preterm. Sementara itu, platelet activating factor (PAF) yang ditemukan
dalam cairan amnion terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF
diduga dihasilkan oleh paru dan ginjal janin. Oleh karenanya, janin tampaknya
memainkan suatu peran yang sinergik untuk inisiasi kelahiran preterm yang disebabkan
oleh infeksi bakterial. Secara teleologis, hal ini kemungkinan menguntungkan bagi
janin yang ingin melepaskan dirinya dari lingkungan yang terinfeksi.7,8,10,12
Endotoksin mikroba dan proinflammantori sitokin akan merangsang produksi
prostaglandin, mediator inflammatory lainnya, serta matrix-degrading enzymes.
Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus, dan berperan dalam mengatur
metabolisme matriks ekstraselular yang terkait dengan pematangan serviks saat
dimulainya persalinan, sedangkan degradasi dari matriks ekstraselular pada membran
amnion akan menyebabkan ketuban pecah dini yang kemudian menyebabkan
persalinan preterm.8,13
Endotoksin mikroba akan merangsang produksi progesteron melalui pemecahan
asam arakidonat, dan bersama sitokin akan meningkatkan ekspresi PGHS-2
(prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin
dehydrogenase). Meningkatnya PGHS-2 akan menstimulasi sintesis prostaglandin.
Sedangkan downregulation PGDH akan meningkatkan ratio prostaglandin (PG)
terhadap prostaglandin metabolite (PGM), yang akan meningkatkan aktivitas uterus,
pematangan serviks, dan rupturnya membran amnion.13
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi
intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik, dan
periodontitis ibu.11 Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga amnion adalah
genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma urealyticum. Beberapa mikroorganisme
yang umum pada saluran genitalia bawah, seperti Streptococcus agalactiae, jarang
tampak pada rongga amnion sebelum selaput amnion pecah. Rongga amnion biasanya
11
steril dari bakteri, dan adanya bakteri yang jumlahnya cukup signifikan pada membran
amnion diduga melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.
Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah
penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks.8,12 Hal ini dapat ditunjukkan oleh
suatu kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika
flora normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida
digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau
Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini,
persalinan preterm, dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina
lebih dari 5,0.7
Gambar 2.3 Jalur masuknya kuman penyebab infeksi8
2.5.3 Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)
12
Perdarahan desidua dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskular dari
plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini.
Lesi plasenta dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35% dari wanita
dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini dapat
dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis,
atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang
menghubungkan lesi vaskular dengan persalinan preterm ialah iskemi uteroplasenta.
Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan
peran utama.9,11
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease
multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot
halus miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos
longitudinal miometrium, secara in vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro mengenai
trombin dan kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in vivo menunjukan
bahwa kontraksi miometrium secara signifikan menurun dengan pemberian heparin
yang diketahui merupakan inhibitor trombin. Penelitian in vitro dan in vivo
memberikan penjelasan kemungkinan mekanik mengenai peningkatan aktivitas uterus
secara klinis yang diamati pada abrupsi plasenta serta persalinan preterm yang
mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan kedua.9,11
Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini.
Matrix metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran janin
dan choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini. Secara in
vitro, trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada sel-
sel desidua dan membran janin yang dikumpulkan dari kehamilan term tanpa
komplikasi. Trombin juga menimbulkan peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin yang
bertanggung jawab terhadap recruitment neutrofil. Abrupsi plasenta terbuka, sebuah
contoh ekstrim dari perdarahan desidua, ditandai infiltrasi neutrofil pada desidua,
sumber yang kaya protease dan MMPs. Ini mungkin melengkapi mekanisme ketuban
pecah dini (KPD) pada perdarahan desidua.9,11
13
2.5.4 Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)
Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai
persalinan preterm yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan
makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh
tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan
fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari
persalinan preterm di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART
merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua kehamilan multipel;
53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar. Mekanisme
dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan persalinan preterm masih
belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein
gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein
lainnya yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin. Pada penelitian
in vitro, regangan miometrium juga meningkatkan prostaglandin H synthase 2 (PGHS-
2) dan prostaglandin E (PGE). Regangan otot pada segmen menunjukan peningkatan
produksi IL-8 dan kolagen, yang pada gilirannya akan memfasilitasi pematangan
serviks. Namun, penelitian eksperimental pada hewan mengenai uterine
overdistension hingga saat ini belum ada, dan penelitian pada manusia sepenuhnya
hanya berdasarkan observasi.9
2.5.5 Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada
trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks
berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup
luas, termasuk persalinan preterm. Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi
di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa
adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat diterima,
yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya
jaringan dari serviks akibat prosedur operasi seperti Loop Electrosurgical Excision
14
Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5)
infeksi.9
Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan
cervical cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan kasus
insufisiensi serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan serviks
prematur dari proses patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu
tepat dan lebih baik diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan
ultrasonografi transvaginal. Panjang serviks yang diukur dengan menggunakan
ultrasonografi transvaginal berbanding terbalik dengan risiko persalinan preterm.
Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari kehamilan sebelumnya
yang mengakibatkan persalinan preterm dengan panjang serviks pada kehamilan
berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks
dan panjang serviks pada kehamilan berikutnya.9
Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan pemendekan
serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling serviks prematur, hasil
dari proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin memainkan peranan penting
dalam pemendekan dan dilatasi serviks prematur. Lima puluh persen dari pasien
dievaluasi dengan amniosintesis sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada
trimester kedua, dan 9% dari pasien memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa
dilatasi serviks terbukti mengalami infeksi intraamnion. Data ini menunjukan suatu
peranan penting infeksi intraamnion yang menyebar secara ascending.9
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko persalinan preterm juga
meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko persalinan preterm pada
wanita yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan
kimia dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak
diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan vasokonstriktor
yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta menurunnya aliran darah
uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin
dan persalinan preterm.8
15
Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah
uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis hypothalamic–
pituitary–adrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan peningkatan corticotrophin-
releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi
adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya
akan menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dari korteks adrenal. Kortisol
kemudian meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan
menghambat aktivasi PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).13
Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik yang
juga dianggap dapat meningkatkan risiko persalinan preterm, melalui peningkatan
produksi sitokin.8
2. 6 Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami Persalinan Preterm
Cara utama untuk mengurangi risiko persalinan preterm dapat dilakukan sejak
awal, sebelum tanda-tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang
berisiko, untuk diberi penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap persalinan
preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan
dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak lazim dilakukan pada kunjungan
antenatal, padahal sebenarnya pemeriksaan tersebut mempunyai manfaat yang cukup
besar dalam meramalkan terjadinya persalinan preterm. Bila dijumpai seviks pendek (<
1 cm) disertai dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensi
serviks, maka pasien tersebut mempunyai risiko terjadinya persalinan preterm 3-4 kali.7
Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita
yang berisiko mengalami persalinan preterm:
2.6.1 Skoring risiko
Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh Creasly
dkk. Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor risiko,
16
antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta penyulit kehamilan
yang dihadapi saat ini. Wanita dengan skor 10 atau lebih dianggap berisiko tinggi
mengalami persalinan preterm.1,4,12 Meskipun Creasy dkk. serta Covington dkk.
melaporkan bahwa dengan metode skoring yang disertai program pencegahan dengan
penyuluhan, akan memberikan hasil yang baik.12 Pada prakteknya, penerapan metode
ini belum terbukti berguna. Dan karena metode ini sangat bergantung dengan riwayat
obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak sesuai untuk nulipara. Oleh karena itu,
metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari penilaian klinis lainnya, dan tidak
dapat direkomendasikan.1
2.6.2 Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring
Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada
wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm. Metode ini melibatkan pencatatan
telematika dari kontraksi rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang
diikatkan disekitar abdomen, dan dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik kecil
yang dipasang dipinggang, kemudian hasil aktivitas uterus akan dihantarkan ke
beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan tersebut, para praktisi kesehatan akan
memberikan saran serta dukungan setiap harinya terhadap pasien tersebut melalui
telepon.4,12
Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan aktivitas
uterus di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah persalinan preterm, baik pada
wanita yang berisiko rendah atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan
metode ini akan meningkatkan kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang
dianjurkan serta menyebabkan peningkatan yang signifikan terhadap terapi obat
tokolisis profilaktik pada wanita hamil.1,4,12 Selain itu metode ini membutuhkan biaya
yang cukup besar dalam pelaksanaannya.12 Oleh karena itu, metode ini tidak
direkomendasikan pada praktek klinis rutin.4
2.6.3 Estriol saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan konsentrasi
estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm.12 Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian
17
mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan aksis hipotalamo-
pitutari-adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol dari
plasenta pada saat dimulainya persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia,
aktivasi prematur dari aksis HPA pada persalinan preterm akan meningkatkan kadar
estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat menjadi perediktor dimulainya
persalinan preterm.4 Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol akan dimulai sejak 3
minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami persalinan
preterm atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam
serum ibu, dan estriol saliva digunakan untuk menilai risiko persalinan preterm dengan
atau tanpa gejala.1
Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif dalam
memprediksi persalinan preterm dibandingkan metode skoring risiko. Namun, tes ini
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat positif
palsu yang sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan kehamilan karena
intervensi yang tidak perlu.4 Tingkat estriol saliva dapat diukur secara akurat dengan
menggunakan radioimmunoassay. Heine dkk. menunjukan bahwa tingkat estriol saliva
positif satu (≥ 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan suatu peningkatan risiko persalinan
preterm 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah maupun tinggi. Jika dua kali
secara berturut-turut hasil tes positif, ini menunjukan peningkatan akurasi prediksi yang
signifikan, tetapi masih memiliki sedikit penurunan sensitivitas. Tes estriol saliva
menunjukan beberapa keunggulan yaitu merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel
saliva yang mudah didapatkan, dan dapat memberikan hasil positif beberapa minggu
sebelum dimulainya persalinan.1 Namun, adanya variasi diurnal dari tingkat estriol
saliva ibu, serta pemberian betametason untuk produksi surfaktan yang dapat menekan
tingkat estriol saliva ibu, dapat mempersulit interpretasi hasil.4 Masih dibutuhkan
penelitian lebih lanjut mengenai intervensi dan pengobatan yang potensial pada wanita
dengan peningkatan kadar estriol saliva yang tinggi, sebelum penggunaannya
direkomendasikan secara luas pada populasi obtetrik.1
2.6.4 Skrining bacterial vaginosis (BV)
18
Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan persalinan preterm spontan,
ketuban pecah dini, infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. Platz-
Christense dkk. (1993) telah memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis bakterialis
dapat mencetuskan persalinan preterm dengan suatu mekanisme yang serupa dengan
jalur jaringan sitokin yang diusulkan untuk bakteri cairan amnion.12 Banyak penelitian
klinis secara konsisten menemukan bahwa wanita dengan vaginosis bakterialis pada
kehamilannya, memiliki risiko mengalami persalinan preterm yang meningkat 2 kali
lipat.1 Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4 kriteria berikut
ini:
1. pH vagina > 4,5
2. adanya “clue cells” (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada
pewarnaan gram
3. adanya duh vagina homogen
4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.1,12
Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil yang
ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi dengan riwayat
persalinan preterm sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat
mencegah persalinan preterm pada sebagian dari wanita. Namun, meta-analisis terbaru
menunjukan banyak perbedaan diantara 6 penelitian mengenai hal ini, sehingga
membatasi penarikan kesimpulan yang pasti.1 Telah banyak hasil yang tidak
meyakinkan dan tidak memberikan manfaat dari skrining vaginosis bakterialis yang
bertujuan untuk memprediksi persalinan preterm, terutama pada kelompok risiko
rendah.4
2.6.5 Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)
Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk molekul
yang berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas, fibroblast, sel
19
endotel, dan amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di darah
ibu dan di cairan amnion, serta dianggap memainkan peranan pada adhesi antarsel
dalam kaitannya terhadap implantasi serta dalam mempertahankan adhesi plasenta ke
desidua.12 Fibronektin janin diukur dengan menggunakan enzyme linked
immunosorbent assay.12 Normalnya, fibronektin janin terdeteksi pada sekret serviks
sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada kehamilan 24 minggu atau lebih, kadar
fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih dianggap sebagai hasil positif dan
mengindikasikan risiko persalinan preterm.7,12
Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin pada
sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu pertanda
adanya ancaman persalinan preterm.12 Berdasarkan teori, peningkatan kadar fibronektin
janin pada vagina, serviks dan cairan amnion memberikan indikasi adanya gangguan
pada hubungan antara korion dan desidua.7
Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan
normal aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya memperlihatkan remodeling
stroma serviks sebelum persalinan. Cox dkk. (1996) menemukan bahwa dilatasi serviks
lebih bermakna untuk mendeteksi fibronektin daripada untuk meramalkan kelahiran
preterm.12 Namun demikan, banyak penelitian telah menunjukan adanya peningkatan
risiko persalinan preterm, jika fFN positif pada sekret serviks setelah usia kehamilan 24
minggu, dan sebaliknya terdapat penurunan risiko jika didapatkan fFN negatif.4
Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi persalinan preterm
dalam 1 dan 2 minggu kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi persalinan
preterm dalam 3 minggu kemudian ialah 92%. Sensitivitas dari tes ini, dalam
memprediksi dimulainya persalinan preterm dalam 1 minggu dan 3 minggu kemudian,
masing-masing ialah 71% dan 59%.4
Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi
peripartum dapat merangsang pelepasan fibronektin janin. Serupa dengan hal tersebut,
Jackson dkk. (1996) memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro menghasilkan
fibronektin janin bila dirangsang oleh produk-produk radang yang dicurigai mengawali
persalinan preterm akibat infeksi.12
20
2.6.6 Pengukuran panjang serviks
Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan
isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine sampai persalinan, dan
serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari isi uterus untuk melintasinya
selama proses persalinan. Kompetensi serviks tergantung pada kesatuan antara anatomi
dan komposisi biokimia dari serviks. Salah satu indikator dini dari inkompetensi
serviks atau dimulainya persalinan ialah terjadinya pemendekan dari serviks. Perhatian
terhadap penilaian panjang serviks menggunakan ultrasonografi sebagai prediktor
persalinan preterm muncul setelah Iams dkk. (1996) menentukan distribusi normal dari
panjang serviks setelah umur kehamilan 22 minggu. Hal ini kemudian diterima secara
luas, bahwa panjang serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu
dapat meningkatkan risiko persalinan preterm. Suatu penelitian prospektif yang
melibatkan 2.915 wanita yang dievaluasi menggunakan ultrasonografi pada serviks
secara serial menunjukan suatu risiko relatif terhadap persalinan preterm ialah 9.57,
13.88, dan 24,94 untuk panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm,
pada usia kehamilan 28 minggu. Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan
penilaian panjang serviks sebagai prediktor persalinan preterm tidak selalu dapat
dipercaya.terdapat variasi yang luas pada nilai prediksinya. Sebuah tinjauan terhadap
35 penelitian yang melibatkan penilaian panjang serviks menunjukan variasi yang
sangat luas dalam sensitivitas (68-100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu
hingga saat ini tidak ada bukti kuat yang mendukung penggunaan penilaian panjang
serviks dengan menggunakan USG pada usia kehamilan 24-28 minggu dalam
memprediksi persalinan preterm sebagai pemeriksaan rutin. Namun, dapat dilakukan
pada kehamilan dengan risiko tinggi atau dalam kombinasi dengan test fFN.4
2.6.7 Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks
Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret vaginoserviks
pada wanita yang berisiko tinggi mengalami persalinan preterm mungkin bermanfaat.
Suatu penelitian yang menilai risiko terulangnya persalinan preterm spontan pada
wanita yang memiliki riwayat persalinan preterm sebelumnya melaporkan, risiko
21
sebesar 65% jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan fFN positif. Namun, jika fFN
negatif, risiko persalinan preterm hanya sebesar 25%. Seperti yang ditunjukkan pada
tabel di bawah, risiko terulangnya persalinan preterm pada wanita dengan panjang
serviks > 35 mm dan fFN negatif, hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, kombinasi
penilaian panjang serviks dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat
membantu memprediksi terulangnya persalinan preterm pada wanita risiko tinggi.4
Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam memprediksi risiko terulangnya persalinan preterm4
Panjang serviksRisiko terulangnya persalinan preterm
fFN positif fFN negatif< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%> 35 mm 25% 7%
2. 7 Diagnosis
Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman persalinan
preterm. Diferensiasi dini antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit
dilakukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri
dapat menyesatkan karena ada kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan
sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit
sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan yang amat besar dalam penegakan
diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm
mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi Braxtons Hicks, yang
mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.7,12
Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan preterm,
yaitu:
1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,
2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya
setiap 7-8 menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,
22
3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku
menstruasi, rasa tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back
pain),
4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,
5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-
80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,
6. Selaput amnion seringkali telah pecah,
7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.3,7,10
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis
persalinan preterm ialah sebagai berikut:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,
2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,
3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.12
2. 8 Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan persalinan preterm ialah,
apakah ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai
kesejahteraan janin yang dapat dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun
ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat janin, jumlah dan keadaan cairan amnion,
persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital.7
Bila proses persalinan preterm masih tetap berlangsung atau mengancam, meski
telah dilakukan segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:
1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter
spesialis kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau
berapa persen yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.
2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah
sesaria.
23
3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau
sindroma gawat nafas.
4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi
perawatan bayi preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.
5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm,
dengan rencana perawatan intensif neonatus.7
Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau
menunjukan tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk
meningkatkan neonatal outcomes.7
Manajemen persalinan preterm tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:
1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan
dihambat bilamana selaput ketuban sudah pecah.
2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan
mencapai 4 cm.
3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah
persalinan makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung
bila TBJ > 2000 gram, atau kehamilan > 34 minggu.
a. Usia kehamilan ≥34 minggu; dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,
mengingat prognosis relative baik.
b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas perawatan neonatus yang memadai.
4. Penyebab/komplikasi persalinan preterm.
5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.7
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:
1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,
2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,
24
3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan
antibiotik.7
2.8.1 Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak
ada yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu
dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks
pada kehamilan preterm.
Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:
1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur
2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir
surfaktan paru janin
3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih
lengkap
4. Optimalisasi personil.7
Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:
1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam,
dilanjutkan tiap 8 jam sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam.
Umumnya hanya diperlukan 20 mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul
kontaksi berulang.Dan dosis perawatan 3x10 mg.7,10
2. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol
dapat digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.7
Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-
4 kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 µg/menit,
subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam
(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia,
hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru.10
3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv,
secara bolus selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun
25
obat ini jarang digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada
ibu ataupun janin.7 Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri
dada, dan depresi pernafasan (pada ibu dan bayi).10
4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide
dapat menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases
(COXs) yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan
penghambat COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular
pada janin. Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada
indometasin. Sedangkan nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks
percobaan klinis.14
Untuk menghambat proses persalinan preterm, selain tokolisis, pasien juga perlu
membatasi aktivitas atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.10
Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine
terbukti tidak baik, seperti:
a. Oligohidramnion
b. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini
c. Preeklamsia berat
d. Hasil nonstrees test tidak reaktif
e. Hasil contraction stress test positif
f. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien stabil
dan kesejahteraan janin baik
g. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan
h. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.2,6
2.8.2 Akselerasi pematangan fungsi paru
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru
janin, menurunkan risiko respiratory distress syndrome (RDS), mencegah perdarahan
intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya
26
menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia
kehamilan kurang dari 35 minggu.7,12
Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini
tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal
kortikosteroid ialah:
1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.
2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.7
Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing
hormone 400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian
dapat meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena
inositol merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan
surfaktan.10
2.8.3 Antibiotika
Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang
tepat dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum.9
Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi,
seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x
500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari,
atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan
pemberian ko-amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.7
Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun
anaerob. Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu
dilakukan deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm, bila tidak
ada kontra indikasi, diberi tokolisis.10
2.8.4 Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:
apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama
pada berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk
27
melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis
yang luas untuk mengurangi trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka
diperbolehkan partus pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan forseps
terutama pada bayi < 35 minggu.7,10
Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan
merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk
melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.7
Indikasi seksio sesarea:
a. Janin sungsang
b. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)
c. Gawat janin
d. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,
oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.
e. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi
f. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan
sebagainya).10
2. 9 Komplikasi
Pada ibu, setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
sehingga mengakibatkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka episiotomi.10
Sedangkan bagi bayi, persalinan preterm menyebabkan 70% kematian prenatal atau
neonatal, serta menyebabkan morbiditas jangka pendek maupun jangka panjang.
Morbiditas jangka pendek diantaranya ialah respiratory distress syndrome (RDS),
perdarahan intra/periventrikular, necrotising enterocolitis (NEC), displasia bronko-
pulmoner, sepsis, dan paten duktus arteriosus. Adapun morbiditas jangka panjang yang
meliputi retardasi mental, gangguan perkembangan, serebral palsi, seizure disorder,
kebutaan, hilangnya pendengaran, juga dapat terjadi disfungsi neurobehavioral dan
prestasi sekolah yang kurang baik.3,7
2. 10Pencegahan
28
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
2.10.1 Pencegahan primer
Ditujukan untuk semua wanita, sebelum atau selama kehamilan untuk mencegah
dan mengurangi risiko. Berikut beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai
pencegahan primer:
Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan
1. Memberikan pendidikan: kepada semua wanita usia reproduksi
diberikan pendidikan mengenai faktor-faktor risiko dari persalinan preterm.
Sehingga faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti pengambilan
keputusan mengenai prosedur invasif (kuretase uterus dan biopsi endometrium),
kehamilan yang dibantu oleh teknologi, dan merokok dapat dihindari.
2. Kebijakan publik: terdapat kebijakan yang diterapkan oleh suatu
pemerintahan dalam melindungi wanita yang sedang hamil, seperti menerapkan
waktu cuti minimal 14 minggu pada wanita hamil yang bekerja, memberikan
izin bagi wanita yang berkerja untuk menghadiri asuhan prenatal,
menghindarkan wanita hamil dari jam kerja malam, serta perlindungan wanita
hamil terhadap bahaya lingkungan kerja.
3. Mengkonsumsi suplemen nutrisi: wanita yang sedang merencanakan
kehamilan disarankan untuk mulai mengkonsumsi berbagai suplemen nutrisi,
hingga selama kehamilan untuk mengurangi risiko masalah kehamilan.
Berdasarkan penelitian, morbiditas respiratori menurun pada bayi yang
dilahirkan oleh wanita yang mengkonsumsi tambahan vitamin.
4. Menghentikan konsumsi rokok sejak direncanakannya kehamilan,
mengingat adanya hubungan antara merokok dengan persalinan preterm.
5. Melakukan asuhan prenatal. Berdasarkan hasil penelitian, wanita yang
melakukan asuhan prenatal yang adekuat memiliki angka kejadian persalinan
preterm yang lebih rendah dibanding mereka yang melakukan asuhan prenatal
tidak memadai, atau yang tidak melakukan asuhan prenatal.
29
6. Melakukan perawatan periodontal. Risiko kelahiran preterm
berhubungan dengan keparahan penyakit periodontal, dan risiko meningkat
ketika penyakit periodontal berkembang selama kehamilan, tetapi dasar
mengenai hubungan ini masih belum jelas. Peningkatan risiko persalinan
preterm ini dapat disebabkan oleh penyebaran secara hematogen dari mikroba
pathogen rongga mulut ke organ genital, atau lebih mungkin karena respon
inflamasi terhadap mikroba pada rongga mulut dan traktus genitalis.
7. Melakukan skrining wanita risiko rendah. Skrining dan terapi
bakteriuria asimptomatik telah dilaporkan menurunkan tingkat persalinan
preterm. Namun, skrining dan protokol terapi yang optimum dalam mencegah
persalinan preterm masih belum jelas benar. Pencegahan persalinan preterm
sebagian besar didasarkan pada riwayat persalinan preterm sebelumnya dan
adanya faktor risiko kehamilan seperti kehamilan multipel dan perdarahan,
tetapi lebih dari 50% persalinan preterm terjadi pada kehamilan tanpa faktor
risiko yang jelas. Sebagian besar faktor risiko yang didasarkan pada riwayat
persalinan sebelumnya ini, memiliki sensitivitas yang rendah dalam
memprediksi persalinan preterm. Namun, Goldenberg dkk melaporkan bahwa
jumlah dan usia persalinan preterm sebelumnya, merupakan faktor risiko
persalinan preterm yang kuat, begitu juga dengan adanya fibronektin janin pada
cairan servikovaginal, panjang serviks, dan vaginosis bacterial, juga merupakan
faktor risiko persalinan preterm spontan yang kuat.15
2. 10.2 Pencegahan sekunder
Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko pada wanita yang
diketahui memiliki faktor risiko persalinan preterm. Sehingga dilakukan pada wanita
yang terbukti memiliki risiko persalinan preterm berdasarkan riwayat persalinan
(misalnya, persalinan preterm sebelumnya atau adanya anomali uterus) atau adanya
risiko kehamilan saat ini (misalnya kehamilan multipel atau perdarahan). Pencegahan
ini memerlukan identifikasi dan penurunan faktor risiko, yang keduanya terbukti sulit
dilakukan.15
30
Beberapa intervensi yang dapat dilakukan sebagai pencegahan sekunder
diantaranya ialah:
1. Pencegahan sekunder sebelum konsepsi: koreksi anomali duktus Mullerian,
pemberian progesteron profilaksis, mengontrol penyakit-penyakit seperti diabetes,
seizures, asma atau hipertensi.
2. Pencegahan sekunder setelah konsepsi:
a. Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan kerja, dan menurunkan
aktivitas seksual, sering disarankan untuk menurunkan kemungkinan persalinan
preterm)
b. Pemberian suplemen nutrisi (omega-3 polyunsaturated fatty acids dianggap
dapat menurunkan konsentrasi proinflammasi sitokin)
c. Peningkatan perawatan bagi wanita yang berisiko (asuhan prenatal yang
intensif, meliputi dukungan sosial, kunjungan ke rumah, serta pendidikan pada
wanita hamil)
d. Terapi antibiotik (masih kontroversial, memberikan antibiotik pada wanita yang
mengalami persalinan preterm sebelumnya dengan dugaan dikarenakan
bakterial vaginosis)
e. Pemberian progesteron (progesteron dianggap sebagai antagonis oksitosin,
sehingga menyebabkan relaksasi otot, selain itu progesteron memelihara
integritas serviks, dan memiliki efek antiinflamasi).15
2.10.3 Pencegahan tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang umum dilakukan. Dimulai
setelah proses persalinan terjadi, dengan tujuan untuk mencegah kelahiran preterm atau
meningkatkan outcome dari bayi preterm. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan
sebagai pencegahan tersier diantaranya ialah pengiriman ibu dengan persalinan preterm
ke rumah sakit yang dilengkapi perawatan bayi preterm dalam sistem regionalisasi,
yang memberikan pelatihan dan pengembangan keterampilan dan perawatan fasilitas,
pemberian terapi tokolisis, kortikosteroid antenatal, antibiotik dan persalinan preterm
atas indikasi pada waktu yang tepat.15
31
BAB III
PENUTUP
32
3.1 Kesimpulan
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37
minggu dan merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas perintal
di seluruh dunia.7 Angka kejadian persalinan preterm pada umumnya bervariasi antara
6% sampai 15% dari seluruh persalinan.4 Patogenesis dari persalinan preterm masih
belum dimengerti dengan benar.8 Namun, infeksi tampaknya menjadi penyebab
tersering dan paling penting dalam persalinan preterm.1,8 Meskipun patofisiologi
persalinan preterm kurang dapat dipahami, namun terdapat banyak faktor risiko yang
diketahui berperan pada persalinan preterm, dan pengetahuan terhadap adanya faktor
risiko ini penting dalam menilai kemungkinan terjadinya persalinan preterm.1,7
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah menghambat proses
persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi paru
janin dengan kortikosteroid, dan bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi.7 Ibu
hamil yang mempunyai risiko mengalami persalinan preterm dan/atau menunjukan
tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan
neonatal outcomes.7 Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang berhubungan dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan menjadi
pencegahan primer, sekunder, dan tersier.15
33