Upload
dangkien
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pembangunan Berkelanjutan sebagai Paradigma
Paradigma berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti model,
kerangka kerja, patern atau pun contoh. Menurut Kuhn dalam Bratakusumah
(2011). Paradigma adalah suatu kerangka kerja dari asumsi dasar ; termasuk
standar-standar untuk menentukan validitas dari aturan pengetahuan berdasarkan
bukti dan penarikan kesimpulan, dan merupakan prinsip dasar dari penyebab dan
efek yang dibagi oleh komunitas ilmiah. Hal ini kemudian disimpulkan oleh
Bratakusumah (2011) bahwa paradigma merupakan pola pikir yang menjadi
landasan bagi setiap kegiatan dalam mencapai tujuan.
Paradigma merupakan serangkaian asumsi, ide, pemahaman dan nilai-nilai
(umumnya tidak tertulis) yang menghimpun aturan-aturan tentang apa yang
relevan dan yang tidak relevan, apa pertanyaan yang harus diajukan dan apa yang
tidak, apa pengetahuan yang dipandang legitimate, dan apa praktek-praktek yang
dianggap benar (Nasdian, 2011).
Pergeseran paradigma muncul dari proses penciptaan sosial kolektif yang
global. Logika yang dominan dari paradigma ini adalah mengenai suatu ekologi
manusia yang seimbang dengan sumber daya informasi dan prakarsa kreatif.
Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai
perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia.
Gran dalam Korten (1998) menyebutkan bahwa “ Paradigma ini
memberi peran kepada individu bukan sebagai subyek melainkan sebagai aktor
yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya dan mengarahkan proses
yang mempengaruhi kehidupannya. “
Paradigma dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah tidak hanya
pembangunan yang berorientasikan kepada produksi semata, tetapi membangun
sebuah kawasan secara keseluruhan yang meliputi juga aspek sosial dan
lingkungan. Paradigma pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan
perpaduan dari kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, pencapaian tujuan-tujuan ekonomi
18
harus selaras dengan tujuan sosial maupun kepentingan lingkungan. Selain itu,
kepentingan antar kelompok masyarakat dan antar generasi mendapat perhatian
besar (WCED, 1987).
Ada dua unsur untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam
perspektif Sosiologis. Pertama, adanya konsep yang mengatur tata kelola
organisasi dalam kehidupan budaya, hubungan sesama manusia dan sumberdaya
alam. Dari unsur pertama tersebut diharapkan menghasilkan “social
organization” (organisasi sosial). Kedua, adanya teknik sosial yang tepat untuk
mengkoordinasikan tindakan sosial untuk mencegah kerusakan prilaku dan
mempercepat perkembangan pembentukan modal sosial.
Modal sosial dapat terbentuk pada setiap individu dalam organisasi.
Organisasi yang diinginkan adalah yang dapat meningkatkan kapasitas sosial
setiap individu sehingga lebih berdaya dan tindakannya lebih terorganisir dalam
melaksanakan kegiatan pembangunan (Carnea, 1993).
Salah satu kerangka strategi untuk mencapai pembangunan yang
berkelanjutan adalah kelembagaan. Kerangka kelembagaan dalam pembangunan
berkelanjutan ini adalah: a) suatu sistem dengan fungsi yang mempunyai
hubungan dengan lingkungannya, b) adanya struktur organisasi dan prosedur yang
mengatur tugas, produk, masyarakat, sumberdaya serta tujuan organisasi tersebut,
c) menyiapkan ketahanan organisasi terhadap perubahan sumberdaya akibat
hubungan ekonomi dan politik.
2.2 Sejarah Lahirnya Paradigma Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris,
sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam
World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh
United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for
Conservation of Nature andNatural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for
Nature (WWF) pada 1980.
Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10
Tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi
ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa
19
tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan
Pembangunan (World Commission on Environment and Development - WCED).
PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu
Sudan, Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua
WCED.
Menurut Brundtland Report dari PBB, pembangunan berkelanjutan adalah
proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat dan sebagainya) yang
berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan”. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini
kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our Common Future”
(Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada Tahun 1987.
Laporan ini mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di
dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting. Pertama, gagasan
kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi
prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi
teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial
harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju
maupun negara berkembang.
2.3 Konsep dalam Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) yang
didefinisikan oleh Lele dalam Nasdian (2010), terbagi menjadi dua definisi yaitu
keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan (development).
Adapun pembagian definisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Dalam
Gambar 8, Lele membagi konsep keberlanjutan dan pembangunan menjadi lima
konotasi. Adapun konotasi keberlanjutan/sustainability terbagi menjadi
keberlanjutan secara harfiah/literal, keberlanjutan secara ekologis/ecological dan
keberlanjutan secara sosia/social.
20
Sumber : Lele,1991
Gambar 8 The Semantic of Sustainable Development
Sedangkan konotasi pembangunan/development terbagi menjadi
pembangunan sebagai proses/process dan pembangunan sebagai
obyektifitas/objectives.
Penelitian yang dilakukan adalah mencoba untuk mengkaji pembangunan
berkelanjutan di Kota Sukabumi dilihat dari konsep keberlanjutan dan
pembangunan yang telah dilaksanakan di kota tersebut. Peneliti mencoba
menggali konotasi keberlanjutan baik secara secara sosia (mempertahankan dasar
sosial dari kehidupan manusia), keberlanjutan secara harfiah maupun secara
ekologis (mempertahankan dasar ekologis dari kehidupan manusia) dengan
kebutuhan utama (basic needs) masyarakat sebagai obyektifitas dari
pembangunan.
21
2.4 Definisi Pembangunan Berkelanjutan
WCED (1987) menegaskan bahwa pada dasarnya pembangunan
berkelanjutan adalah suatu proses perubahan yang didalamnya eksploitasi
sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan
kelembagaan semuanya dalam keadaan yang selaras serta meningkatkan potensi
masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia.
Definisi ini sangat berkaitan erat dengan intra-generational equity
(memenuhi kebutuhan generasi kini secara merata) dan inter-generational equity
(memenuhi kebutuhan generasi kini dan generasi mendatang secara adil).
George (2000) memandang kedua hal tersebut merupakan prinsip dari
pembangunan berkelanjutan, intra-generational equity merupakan kondisi yang
penting untuk keberlanjutan, sedangkan inter-generational equity merupakan
kondisi yang penting untuk pembangunan, dimana kedua prinsip tersebut
dijelaskan dalam Gambar 9.
Dalam inter generational equity, prinsip equitas dalam keberlanjutan
ditekankan kepada konservasi terhadap modal/kapital dalam bentuk alam, sosial
maupun ekonomi sehingga tetap bernilai dan bermanfaat untuk generasi yang
akan datang. Sedangkan dalam intra generational equity, prinsip equitas dalam
keberlanjutan ditekankan kepada kesetaraan lokal, kesetaraan nasional maupun
kesetaraan secara global. Adapun yang dimaksud kesetaraan disini adalah setara
dalam terpenuhinya kebutuhan sebagai akibat adanya pengaruh distribusi,
perubahan biodiversitas dan perubahan sosial.
Tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ketiga aspek yaitu
keberlanjutan pertumbuhan yang tinggi (economic growth), keberlanjutan
kesejahteraan yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi
dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Selanjutnya
aspek tersebut bertambah dengan adanya aspek kelembagaan yang berkelanjutan
(institutional sustainability).
Adapun guna mencapai tujuan dimaksud, maka strategi pembangunan
harus memenuhi persyaratan seperti: sistem politik yang menjamin secara efektif
dan inovasi teknologi yang menghasilkan surplus secara berkesinambungan;
sistem sosial yang menyediakan cara pemecahan secara efektif terhadap
22
permasalahan karena ketidakharmonisan dalam pelaksanaan pembangunan; dan
sistem internasional dengan pola berkelanjutan dalam pengelolaan keuangan serta
perdagangan. Hal itu diharapkan dapat dicapai dengan cara bertahap (reformasi)
dari pemerintahan yang kini ada menuju pemerintahan baru yang lebih baik (good
governance).
Sumber : George, 2000
Gambar 9 Penjelasan prinsip equitas dalam pembangunan berkelanjutan
2.5 Perencanaan dalam Pembangunan
Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan
yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara
keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan
pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur yang belum ada
(Rustiadi, 2009). Paling tidak menurut Todaro (2000) pembangunan harus
memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan
Sustainable Development
Inter-generational equity Intra-generational equity
Conservation of capital
Precautionary principle ecological risk
Conservation of natural capital
Zero impact of full mitigation in kind
Conservation of natural+social+econo
mic capital
Valuation of natural capital
Conservation of the capital into which it
is converted
Social impact assesment
Local equity
Public participation
National equity
Distributional effects
Global equity
Biodiversity change: Different criteria apply for
high and low income countries, to allow for
different past contributions to impacts
23
pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu
kecukupan (sustainance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga
diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih.
Todaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses
multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur
sosial,sikap-sikap masyarakat,dan institusi-institusi nasional, disamping tetap
mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan,
serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus
mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial
secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan
individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk
bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara
material maupun spritual.
Long dalam Nasdian (2010) menyebutkan bahwa pembangunan dari
perspektif sosiologi dan antropologi adalah perubahan yang sudah direncanakan,
sebagai pemahaman pola pembangunan dan perubahan menyangkut jenis
pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dan perwakilannya untuk memulai
pembangunan ekonomi dan perubahan sosial. Di dunia ketiga peran pemerintah
sangat besar dalam menata masyarakat sesuai sasaran politik dan ekonomi
tertentu. Jika di negara maju sasaran lebih utama pada bidang sosial dan ekonomi
maka di negara berkembang lebih banyak ke arah perencanaan negara yang
terpusat dengan mendapat bantuan luar yang banyak.
Menurut Korten (1998) perbedaan pembangunan yang berpusat pada rakyat
dengan berpusat pada industri adalah bahwa pembangunan yang berpusat pada
rakyat secara rutin menempatkan kebutuhan-kebutuhan rakyat diatas kebutuhan-
kebutuhan sistem produksi sedangkan pembangunan yang berpusat pada sistem
produksi secara konsisten menempatkan kebutuhan-kebutuhan sistem produksi di
atas kebutuhan-kebutuhan rakyat. Conyers (1994) menyebutkan bahwa
perencanaan sosial bukan semata dokumen perencanaan tetapi lebih kepada
bagaimana perencanaan sosial menjadi arahan bagi tujuan perencanaan itu sendiri.
Perencanaan adalah istilah yang tidak mudah untuk didefinisikan. Para
perencana sering berfikir bahwa mereka sudah mengetahui arti kata ini dengan
24
baik karena berkenaan dengan pekerjaan yang mereka kerjakan. Namun dalam
prakteknya para perencana melakukan pekerjaan yang sangat beragam, sehingga
mereka mengartikan hal-hal yang berbeda dengan kata istilah tersebut.
Menurut Hall (2002), menyimpulkan bahwa arti “perencanaan” adalah
proses aktivitas yang bertahap yang ditujukan untuk tercapainya suatu atau
beberapa tujuan. Adapun teknis penyusunannya yang utama adalah berupa
pernyataan-pernyataan (statements) tertulis, yang dapat saja dilengkapi dengan
proyeksi-proyeksi statistik yang relevan, formulasi-formulasi matematis, evaluasi
kuantitatif dan ilustrasi-ilustrasi diagram yang mendeskrifsikan keterkaitan
komponen-komponen dari perencanaan yang disusun, dan bisa saja tanpa disertai
cetak biru representasi fisik atas obyek-obyek perencanaan sama sekali.
Perencanaan merupakan cara yang rasional dalam menghadapi masa depan,
secara tipikal melibatkan pengumpulan data dan analisis data, mempelajari
kemungkinan trend di masa depan, mempertimbangkan skenario-skenario
alternatif, beberapa darinya menganalisis berapa keuntungan dan biaya yang harus
dikeluarkan, memilih skenario yang disarankan dan merencanakan bagaimana
mengimplementasikannya ( Kelly dan Becker, 2000).
Lain halnya menurut Rustiadi et al. (2009) yang menyebutkan bahwa secara
umum terdapat dua unsur penting dalam perencanaan, yaitu hal yang ingin
dicapai, dan cara untuk mencapainya. Dalam proses perencanaan, kedua unsur
tersebut baik secara eksplisit maupun implisit dimuat pada berbagai nomenklatur
seperti; visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, proyek, aktivitas
dan lain sebagainya.
Proses perencanaan sebenarnya bagian dari proses capacity building, yakni
membangun kapasitas kelembagaan suatu institusi (Rustiadi et al., 2009).
Implementasi dari suatu perencanaan diharapkan mengarah pada tercapainya
tujuan-tujuan (goals) yang diharapkan, seperti melalui proses monitoring dan
evaluasi berdasarkan indikator-indikator kinerja yang ditetapkan. Hal ini
diperjelas oleh Friedman dalam Korten (1998) yang menyebutkan bahwa
perencanaan itu tidak sekedar sebuah pembuatan rencana tetapi lebih berarti
sebagai proses “belajar bersama”, tidak memberi tekanan pada dokumen tetapi
pada dialog, dan hasilnya lebih bergantung pada hubungan timbal balik pribadi-
25
pribadi menurut latar belakang khususnya dan bukan pada lembaga-lembaga yang
abstrak. Sehingga dia menamakan gaya perencanaan ini sebagai transaktif dan
model yang mendasarinya sebagai “social learning”.
2.6 Definisi Wilayah
Pengertian wilayah menurut Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdsasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional. Isard dalam Rustiadi et al. (2009)
menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan sekadar area dengan
batas-batas tertentu. Menurutnya wilayah adalah suatu area yang memiliki arti
(meaningful) karena adanya masalah-masalah yang ada didalamnya sedemikian
rupa, sehingga ahli regional memiliki interest dalam menangani permasalahan
tersebut, khususnya karena menyangkut permasalahan sosial-ekonomi.
Dengan cara yang lain Murty dalam Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan
wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud
sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten) dan perdesaan.
Tetapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau
area, melainkan merupakan suatu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi,
iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian.
Dalam mendefiniskan konsep wilayah terdapat keragaman, hal ini terjadi
karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pembangunan wilayah
yang dihadapi. Kenyataannnya tidak ada konsep wilayah yang benar-benar
diterima secara luas.
Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah
terjadi sesuai fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah.
Konsep wilayah yang paling klasik dalam Rustiadi et al. (2009) mengenai
tipologi wilayah, membagi wilayah kedalam tiga kategori: (1) wilayah homogen
(uniform atau homogeneous region), (2) wilayah nodal, dan (3) wilayah
perencanaan (planning region atau programming region). Cara klasifikasi konsep
wilayah diatas ternyata kurang mampu menjelaskan keragaman konsep wilayah
yang ada.
26
Blair dalam Rustiadi et al. (2009) memandang konsep wilayah nodal terlalu
sempit untuk menjelaskan fenomena yang ada dan cenderung menggunakan
konsep wilayah fungsional (functional region), yakni suatu konsep wilayah yang
lebih luas, dimana konsep wilayah nodal hanyalah salah satu bagian dari konsep
wilayah fungsional. Lebih lanjut Blair cenderung mengistilahkan wilayah
perencanaan sebagai wilayah administratif (administrative region).
Menurut pendapat Rustiadi et al. (2009), kerangka klasifikasi konsep
wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal
selama ini adalah: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional,
dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming
region).
Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang
sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam
kelompok konsep wilayah perencanan, terdapat konsep wilayah administratif-
politis dan wilayah perencanaan fungsional.
Gambar 10 berikut mendeskrifsikan sistematis pembagian dan keterkaitan
berbagai konsep-konsep wilayah.
2.7 Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Hart (2010) menyebutkan bahwa indikator merupakan strategi dalam
melakukan katalisasi dan monitoring terhadap kemajuan suatu daerah menuju
daerah yang lebih ‘sustainable’ atau berkelanjutan. Sejumlah indikator yang inti
memberikan pijakan dalam mengukur kemajuan tercapai atau tidaknya prinsip
pembangunan berkelanjutan.
Lebih jauh lagi disebutkan oleh Hart (2010), bahwa penetapan indikator
merupakan kunci komitmen terutama untuk pemerintah dalam pencapaian prinsip
pembangunan berkelanjutan, dengan indikator-indikator yang jelas maka
pergerakan ke arah yang jelas dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan
(dalam bentuk tingkat kepuasan) dapat disesuaikan dengan kebijakan dan
tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah.
27
Sumber : Rustiadi et al. (2009).
Gambar 10 Sistematika Konsep-konsep Wilayah
Menurut Hart (2010) indikator adalah sesuatu yang membantu kita untuk
mengerti dimana kita, arah mana yang akan kita tempuh dan sejauh mana kita dari
apa yang kita inginkan. Suatu indikator yang baik akan memberikan isyarat
kepada kita tentang adanya masalah sebelum bertambah buruk dan membantu kita
menyadari apa yang dibutuhkan untuk memperbaiki masalah tersebut. Indikator
keberlanjutan suatu komunitas menunjukkan daerah mana dalam keterkaitan
antara ekonomi, lingkungan dan sosial yang lemah. Hart (2010) menegaskan
bahwa indikator memberikan kepada kita dimana terjadinya masalah tersebut dan
membantu menggambarkan cara untuk memperbaikinya. Indikator keberlanjutan
mencerminkan kenyataan bahwa tiga segmen tersebut sangat erat dan saling
berhubungan satu sama lain. Hal ini ditunjukkan dalam Gambar 11.
Wilayah
Homogen
Sistem/fungsional
Perencanaan/Pengelolaa
Sistem Sederhana
Sistem Komplek
Nodal (Pusat-Hinterland)
Desa-Kota
Budaya-Lindung
Sistem Ekonomi – Kawasan Produksi Kawasan Industri
Sistem Ekologi:DAS, Hutan,Pesisir
Sistem Sosial-Politik:Kawasan Adat, Wilayah Etnik
Wilayah Perencanaan Khusus : Jabodetabekjur,KAPET
Wilayah Administratif Politik :Provinsi,Kabupaten,Kota
Konsep Alamiah
Konsep Non Alamiah
28
Selanjutnya Hart (2010) menambahkan bahwa indikator adalah sesuatu
yang menunjukkan poin dari isu atau kondisi yang terjadi. Indikator bertujuan
memperlihatkan kepada kita sebaik apa suatu sistem berjalan. Apabila terjadi
masalah, indikator dapat membantu menentukan arah untuk mengatasi isu
tersebut.
Sumber: Hart, 2010
Gambar 11 Komunitas merupakan jaringan interaksi antara lingkungan, ekonomi
dan sosial
Indikator tersebut bermacam-macam sebagaimana jenis sistem yang
dimonitor, bagaimanapun juga terdapat karakteristik tertentu yang dipunyai oleh
indikator efektif yaitu :
1. Indikator yang efektif adalah saling berhubungan (relevant);
memperlihatkan tentang sistem yang ingin diketahui,
2. Indikator yang efektif dapat mudah dimengerti (easy to understand),
bahkan oleh orang yang bukan ahli,
3. Indikator yang efektif adalah dapat dipercaya (reliable), kita dapat
mempercayai informasi yang diberikan indikator tersebut, dan
4. Indikator yang efektif berdasarkan data yang mudah didapatkan
(accessible data); informasi tersebut tersedia atau dapat dikumpulkan
pada saat masih terdapat waktu untuk bertindak.
Keuntungan Pemegang
Saham Pendidikan
Kesehatan
Kemiskinan
Kejahatan
Bahan Produksi
Lapangan Pekerjaan
Kualitas Air
Kualitas Udara
Sumberdaya Alam
29
Rustiadi et al. (2009) mengartikan bahwa indikator merupakan ukuran
kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan pencapaian suatu sasaran atau
tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan
sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk
menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan,
maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Selain itu, indikator kinerja
digunakan untuk meyakinkan bahwa hari demi hari organisasi atau program yang
bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan.
Indikator kinerja pembangunan berkelanjutan di daerah menurut pedoman
teknis Peringkat Kinerja Pembangunan Berkelanjutan Daerah yang diterbitkan
oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Deputi Bidang Pengendalian
Kerusakan Lingkungan Tahun 2001 menyebutkan bahwa tujuan pembangunan
berkelanjutan didasarkan pada tiga prinsip yaitu Environmentally sustainable/
Ecological Balance, Socially responsible/Social Progress dan economically
viable/ Economic Growth dan dijabarkan sebagai berikut;
2.7.1 Lingkungan yang Berkelanjutan dan Seimbang (Environmentally Sustainable/Ecological Balance)
Environmentally sustainable merupakan prioritas pertama prasayarat
tercapainya pembangunan berkelanjutan. Kelestarian lingkungan adalah suatu
necessary condition tetapi bukan sufficient condition karena belum memasukkan
dimensi sosial dan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan secara ekologi saja,
belum mencakup sebab-sebab terjadinya unsustainable development atau
pembangunan yang tidak berkelanjutan. Untuk memahaminya perlu perspektif
yang lebih luas yaitu internalisasi humanisme ke dalam ekosistem.
Pembangunan harus lestari secara ekologi, tetapi untuk mewujudkan hal
tersebut, pembangunan juga harus socially and economically sustainable.
Dua krtiteria environmentally sustainable yang dikembangkan yaitu :
1. Terjaminnya ketersediaan dan fungsi sumberdaya alam.
a. Sumberdaya alam terbarui; laju eksploitasinya harus sesuai dengan
kapasitas regenarisnya.
30
b. Sumberdaya alam tak terbarui; laju pengurangannya tidak boleh
melebihi laju sustained income atau substitusi terbarukan yang
dikembangkan melalui intervensi manusia dan manusia.
2. Rendahnya tingkat pencemaran
a. Emisi pencemar tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi
lingkungan untuk menyerap.
2.7.2 Aspek Sosial yang Bertanggungjawab dan Berkembang (Socially Responsible/Social Progress )
Aspek sosial merupakan bagian integral dari lingkungan hidup, dan secara
kolektif mencakup manusia, baik orang-perorangan maupun kelompok,
kepranataan serta interaksi yang terjadi antar komponen tersebut. Berbagai
pemasalahan sosial yang kemudian timbul menuntut berbagai kuantifikasi dan
kualifikasi yang spesifik dan rumit. Masalah-masalah sosial (social problems)
acapkali disebut ‘intangible’, susah diukur secara konkrit/kuantitatif.
Masalah-masalah sosial tidak tunduk pada ukuran-ukuran (measurements)
yang menyandang derajat akurasi/presisi yang tinggi. Berbeda dengan komponen-
komponen lingkungan hidup hayati dan geo-fisik yang untuk pengukurannya
memiliki baku mutu (quality standars) yang jelas, baku mutu sosial tidak mudah
dimantapkan karena sulit menangkap tingkat ambang batasnya, disamping sangat
rentan terhadap fluktuasi waktu dan dinamika masyarakat (perubahan sosial).
Oleh karena itu, yang diukur adalah gejalanya, yang kemudian secara teknis
diartikan sebagai indikator. Berbagai indikator sosial yang diuraikan berikut ini
yang terkait dengan penentuan peringkat kinerja pembangunan berkelanjutan
daerah ditentukan berdasarkan keterkaitannya dengan konsep pembangunan
berkelanjutan, sifat data (kuantitatif), sumber atau ketersediaan data, dan
metodologi pengumpulan data.
Ciri-ciri socially responsible :
a. Adanya keikutsertaan dari berbagai pihak yang masing-masing
mempunyai peran dan tanggung jawab tertentu dan jelas. Hal ini
didasarkan pada prinsip partisipatif, setara dan bertanggungjawab,
31
b. Hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas guna meningkatkan
kesejahteraan hidupnya. Hal ini ditandai dengan tingkat ekonomi
dan pendapatan masyarakat yang layak, tempat tinggal dan
permukiman yang sehat dan aman, serta adanya kesempatan
berusaha, dan
c. Adanya pengakuan (hukum) terhadap hak-hak masyarakat serta
kearifan lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan adanya perlindungan
hukum atas hak intelektual warga maupun kelompok masyarakat,
misalnya melalui paten, serta perlindungan terhadap hak-hak
ulayat/adat masyarakat lokal (misalnya melalui peraturan daerah
yang mengakomodasi perlindungan atas hak-hak masyarakat
lokal).
2.7.3 Pertumbuhan Ekonomi dan Berkelanjutan (Economically Viable/Economic Growth)
Pertumbuhan ekonomi merupakan aspek yang sangat penting dalam
mengukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Salah satu dari prinsip dasar
pembangunan berkelanjutan adalah “Economically Viable”, yang terdiri dari
empat kriteria, yaitu :
1. Pendapatan;
2. Tenaga Kerja;
3. Investasi; dan
4. Pajak dan Retribusi.
Keempat faktor tersebut sebaiknya masing-masing mempunyai
karakteristik sebagai berikut, yaitu :
1. Pendapatan dengan pertumbuhan yang tinggi, kontribusi yang lebih
menitikberatkan pada sektor-sektor non-resources based, dan distribusi
secara merata;
2. Tenaga kerja dalam kondisi yang diharapkan economically viable adalah
kondisi tenaga kerja yang secara jumlah dapat memenuhi kebutuhan
32
lapangan kerja dengan pertumbuhan yang optimal dan produktivitas
tinggi;
3. Investasi yang diharapkan adalah investasi yang selalu tumbuh
berkembang secara positif dan seimbang pada sektor-sektor non resources
based dan resources based. Disamping itu juga efisiensi yang ditunjukkan
dengan sejauhmana investasi tersebut bisa bermanfaat bagi pemanfaatan
ekonomi, pemertaaan, dan kesetaraan antara sektor resources based
dengan non resources based, dan
4. Pajak dan retribusi sebagai sumber dana pmasukan pemerintah daerah
yang berasal dari kutipan setiap sektor aktivitas ekonomi, diharapkan
dapat meningkat dan dialokasikan kembali sebagai input bagi
pembentukan produk atau proses produksi (kegiatan ekonomi).
Selain ketiga prinsip tersebut, sekarang telah berkembang prinsip keempat
yaitu Kelembagaan Berkelanjutan (Institutional Sustainability) yang dijelaskan
sebagai berikut:
2.7.4 Kelembagaan Berkelanjutan (Institutional Sustainability)
Kelembagaan merupakan faktor yang penting dalam mencapai
pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan dan mandiri
tergantung kepada kekuatan dan kualitas lembaga/institusi negara. Kelembagaan
berkelanjutan adalah kelembagaan yang memberikan kenyaman dan jaminan pada
masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan minimumnya dalam volume yang stabil.
Kerangka untuk memahami kelembagaan dalam pembangunan
berkelanjutan adalah : 1) looking inward (melihat kedalam), yaitu melihat
kompleksitas dalam kelembagaan itu, 2) looking outward (melihat keluar) yaitu
melihat hubungan kelembagaan tersebut dengan lingkungannya, 3) institutionals
strategy (strategi kelembagaan), dengan dua cara yaitu pertama, bertindak dan
belajar, sedangkan kedua fokus pada masalah internal dan eksternal.Implikasi dari
pembangunan kelembagaan : a) adanya partisipasi stakeholders, b) adanya
keberhasilan program (success sells/performance), c) sering kali kompleksitas
33
tidak bisa dihindari, dan d) kemerosotan hokum (Brinkerhoff dan Goldsmith,
1992).
Menurut Spencer (1989), kelembagaan yang berhasil ditentukan oleh:
1) adanya komunikasi yang formal dan informal, 2) kerjasama tim,
3) kemampuan anggota, 4) rasa memiliki terhadap organisasinya, dan 5) adanya
kepemimpinan yang baik yang bisa berfungsi sebagai fasilitator.
Ada beberapa indikator untuk menilai pembangunan berkelanjutan di suatu
negara/kota. Hal ini seperti yang terdapat dalam Buku Indicators of Sustainable
Development:Guidelines and Methodoligies - third edition ( United Nation
Publicity, 2007) yang menyebutkan bahwa indikator penilaian keberlanjutan
tersebut (yang dikeluarkan oleh Commission on Sustainable Development, United
Nations) terdiri dari 14 tema utama dengan 44 sub tema, 50 indikator utama dan
46 indikator lain.
Indikator menjadi sesuatu yang penting karena indikator merupakan
petunjuk yang memberikan indikasi tentang suatu keadaan dan merupakan
refleksi dari keadaan tersebut, artinya dengan menggunakan indikator maka dapat
berfungsi dalam mengklasifikasi sehingga mempermudah untuk membuat suatu
keputusan atau kebijakan.
2.8 Kota yang Berkelanjutan (Sustainable City)
Istilah pembangunan berkelanjutan telah melampaui batas-batas ilmu
pengetahuan dan pembangunan bisnis maupun perdagangan termasuk
pembangunan manusia, nilai-nilai dan budaya yang berbeda. Buktinya, beberapa
organisasi mengacu terhadap pembangunan manusia yang berkelanjutan
(sustainable human development) sebagai lawan dari pembangunan berkelanjutan
dalam rangka menekan isu-isu seperti pentingnya kesetaraan gender, partisipasi
dalam proses pembuatan keputusan serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan
(Regional Environmental Center, 2011).
Kota-kota telah menjadi titik utama dari komponen tersebut sebagai
konsumen dan distributor utama dari barang dan jasa. Bagaimanapun juga banyak
kota cenderung menjadi konsumen barang dan jasa dan tergantung yang paling
besar ketika terjadi pengurasan sumberdaya dari daerah lain. Sebagai hasil dari
34
meningkatnya konsumsi dari sumberdaya tersebut serta meningkatnya
ketergantungan terhadap perdagangan, pengaruh secara ekologi dari kota semakin
melampaui lokasi geografis kota tersebut.
Seiring dengan hal tersebut maka kemudian berkembang keinginan untuk
membuat kota yang berkelanjutan. Berdasarkan pengertian dari Regional
Environmental Center (2011), maka komunitas yang berkelanjutan (Sustainable
communities) didefinisikan sebagai kota yang telah mengambil langkah-langkah
untuk tetap ‘sehat’ dalam jangka waktu yang panjang. Komunitas yang
berkelanjutan memiliki perasaan memiliki yang kuat. Mereka memiliki visi yang
dianut dan secara aktif dipromosikan oleh seluruh sektor-sektor kunci masyarakat,
termasuk pelaku bisnis, kelompok yang kurang beruntung, ahli lingkungan hidup,
asosiasi kemasyarakatan, lembaga pemerintah, dan organisasi keagamaan.
Komunitas yang berkelanjutan menempatkan dan membangun aset mereka
serta berani untuk menjadi inovatif. Masyarakat ini menilai ekosistem yang sehat,
menggunakan sumberdaya secara efisien, dan secara aktif berusaha untuk
mempertahankan dan meningkatkan ekonomi berbasis lokal. Ada semangat
relawan yang meluas dan dihargai oleh hasil yang nyata. Kemitraan antara
pemerintah, sektor bisnis, dan organisasi nirlaba yang umum. Perdebatan publik
dalam masyarakat tersebut adalah menarik, inklusif, dan konstruktif. Tidak seperti
pendekatan pengembangan masyarakat tradisional, strategi keberlanjutan
menekankan: seluruh komunitas (termasuk kelompok yang tidak
menguntungkan); perlindungan ekosistem; masyarakat berbasiskan partisipasi
yang berarti dan luas serta kemandirian ekonomi .
Kota yang berkelanjutan dapat disebut sebagai ‘kota yang ideal’. Menurut
Santoso (2009), untuk masa sekarang, “Kota Ideal“ yang menjadi impian paling
sering dikaitkan pada dua hal. Pertama adalah dikaitkan dengan pengertian kota
sebagai sebuah sistem ekologis perkotaan yang berkelanjutan, dan yang kedua
adalah dengan pengertian kota yang mampu berkembang secara berkelanjutan
bukan hanya dalam pengertian ekologis (Eco-City), tetapi juga yang berkembang
secara berkeadilan (Justice-City), dan kota yang ekonominya tumbuh secara
berkelanjutan (Growth-City) dan yang secara kultural mampu mengembangkan
identitas lokal yang kuat (Urban Cultural Identity).
35
Bagaimana pun impian mengenai “Kota Ideal“ dari sebuah masyarakat
selalu terikat pada tempat dan waktu. Kota yang menjadi impian sebuah
masyarakat disatu pihak selalu berkaitan dengan sistem nilai yang berlaku pada
saat itu, dan di lain pihak sangat erat terkait dengan masalah yang dihadapi oleh
masyarakat pada saat itu. Pertanyaan mengenai kota impian bagi kita di Indonesia
tidak bisa lepas dari kriteria tersebut. Ada dua pertanyaan yang terkait dengan hal
itu; pertanyaan pertama adalah masalah-masalah pokok mana yang sedang
dihadapi oleh kota-kota di Indonesia, sedangkan pertanyaan kedua adalah
mengenai sistem nilai yang akan jadikan dasar untuk mendefinisikan “Kota Ideal“
yang kita impikan. Dari sistem nilai inilah sebenarnya yang akan menjiwai “roh“
dari kota impian kita. Berangkat dari sistem nilai tersebut akan lahir prinsip-
prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam usaha mengantisipasi ke-empat
masalah pokok yang dihadapi oleh kota-kota kita saat ini. Jadi, sistem nilai inilah
juga yang akhirnya akan sangat menentukan wujud fisik, ekonomi, sosial dan
budaya sebuah kota yang dianggap ideal.
Selanjutnya Santoso (2009) menyebutkan kriteria dan ciri-ciri dari kota
ideal tersebut yaitu :
1) Kota yang mampu mengantisipasi proses urbanisasi
Dalam arti kata mampu menyediakan ruang hidup yang berkualitas bagi
semua penghuninya. Hal ini bisa tercapai bila distribusi tanah perkotaan, utilitas
dan fasilitas perkotaan dilakukan secara berkeadilan. Distribusi dari pemakaian
tanah dan sumberdaya urban lainnya harus dilakukan secara berkeadilan dengan
tujuan bisa menampung berbagai tingkat kegiatan ekonomi urban mulai dari
ekonomi kampung, ekonomi urban, ekonomi regional maupun ekonomi global.
Secara sosial ini berarti kota tersebut mampu mengembangkan sebuah komunitas
urban baru (new urban community) yang bertumpu pada kehidupan kolektif
(coexistance) yang kuat.
Dari segi spasial ini berarti kita harus melakukan reorganisasi dari satuan-
satuan ruang (spatial entity) baik di dalam kota maupun di pinggiran kota yang
mampu mewadahi lahirnya komunitas urban yang kolektif tersebut. Dari segi
perumahan, kota yang ideal harus mampu menyediakan perumahan bagi semua
golongan sosial masyarakat yang walaupun mempunyai standard yang berbeda
36
tetapi dapat memenuhi standar kualitas yang minimal. “Kota Ideal“ harus
melindungi rumah yang ada, mengusahakan penambahan jumlah rumah
(housingstock) sesuai dengan pertambahan penduduk dan secara bertahap
membantu mereka yang kurang mampu untuk meningkatkan kualitas rumah
mereka. Bagi mereka yang tidak mampu memiliki rumah atau bagi mereka yang
hanya ingin tinggal di kota untuk sementara, maka kota perlu mengembangkan
kemampuan untuk menyediakan.
2) Kota yang dapat berfungsi sebagai agent of sustainable development
Dalam pengertian mampu menjadi pemacu perkembangan ekonomi
nasional dalam rangka proses transformasi masyarakat Indonesia secara
keseluruhan dari negara berkembang menjadi negara yang mampu bersaing secara
global, demokratis dan bermartabat. Dalam kaitannya dengan itu “Kota Ideal“
harus mampu mengatasi struktur ekonomi urban yang sangat lemah dalam
menghadapi dominasi ekonomi global dengan cara memperkuat ekonomi lokal
dan global.
Peningkatan ekonomi urban yang bertumpu pada hubungan regional yang
kuat dengan wilayah di sekeliling kota harus di dasari pada prinsip keadilan dalam
mendistribusikan nilai tambah yang dihasilkan dari kerjasama tersebut.
Pengembangan legalinstitusional dan manajemen pemerintahan yang baik akan
membantu terjaminnya keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal dan regional
tanpa harus mengorbankan integrasi ekonomi urban tersebut pada pasar global.
3) Kota yang secara sosial dan kultural harus menjadi bagian terintegrasi secara
lokal-regional,
Bukan sebagai agen perantara yang secara sepihak mendukung
kepentingan politik negara-negara adikuasa dan secara berat sebelah hanya
berfungsi sebagai penyebar kultur universal yang bersifat generik di kota kota di
Indonesia. Kota-kota Indonesia harus mampu berkembang menjadi kota yang
secara sosial-budaya terintegrasi dalam pergaulan antar kota-kota dunia disatu
pihak, tanpa kehilangan ciri lokalnya yang spesifik dilain pihak. Kemampuan ini
hanya mungkin dikembangkan bila “Kota Ideal“ kita ini mempunyai akar yang
kuat (embeded) baik secara ekonomi, sosial maupun kultural di wilayah dimana
dia berada.
37
4) Terakhir adalah, bahwa “Kota Ideal“ yang kita impikan adalah sebuah kota
yang mempunyai ketahanan yang kuat atau kemampuan yang tinggi untuk
menetralisasiproses perubahan iklim dengan segala dampak dan akibatnya.
Masalah yang harus mampu diatasi oleh “Kota Ideal“ yang kita impikan adalah
datangnya ancaman dalam bentuk perubahan sistem ekologis. Kota yang ideal
dalam pengertian ini adalah kota yang mampu menjinakkan dampak negatif dari
kenaikan suhu bumi seperti perubahan, kenaikan permukaan air laut, kekeringan,
banjir, dan seterusnya.
Jadi sebuah kota yang ideal tidak cukup hanya mempunyai kemampuan untuk
menurunkan dampak lingkungan dari aktivitas perkotaannya. Kota yang ideal juga
tidak cukup hanya mempunyai kemampuan untuk membangun kota secara lebih
sustainable dengan menerapkan yang dinamakan green technology, tetapi kota
yang ideal harus mengembangkan kemampuannya untuk melindungi kota dan
penduduk kotanya dari berbagai ancaman lingkungan (environmental threat).