21
17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Berkelanjutan sebagai Paradigma Paradigma berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti model, kerangka kerja, patern atau pun contoh. Menurut Kuhn dalam Bratakusumah (2011). Paradigma adalah suatu kerangka kerja dari asumsi dasar ; termasuk standar-standar untuk menentukan validitas dari aturan pengetahuan berdasarkan bukti dan penarikan kesimpulan, dan merupakan prinsip dasar dari penyebab dan efek yang dibagi oleh komunitas ilmiah. Hal ini kemudian disimpulkan oleh Bratakusumah (2011) bahwa paradigma merupakan pola pikir yang menjadi landasan bagi setiap kegiatan dalam mencapai tujuan. Paradigma merupakan serangkaian asumsi, ide, pemahaman dan nilai-nilai (umumnya tidak tertulis) yang menghimpun aturan-aturan tentang apa yang relevan dan yang tidak relevan, apa pertanyaan yang harus diajukan dan apa yang tidak, apa pengetahuan yang dipandang legitimate, dan apa praktek-praktek yang dianggap benar (Nasdian, 2011). Pergeseran paradigma muncul dari proses penciptaan sosial kolektif yang global. Logika yang dominan dari paradigma ini adalah mengenai suatu ekologi manusia yang seimbang dengan sumber daya informasi dan prakarsa kreatif. Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia. Gran dalam Korten (1998) menyebutkan bahwa “ Paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai subyek melainkan sebagai aktor yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya. “ Paradigma dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah tidak hanya pembangunan yang berorientasikan kepada produksi semata, tetapi membangun sebuah kawasan secara keseluruhan yang meliputi juga aspek sosial dan lingkungan. Paradigma pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan perpaduan dari kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, pencapaian tujuan-tujuan ekonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Berkelanjutan ... · ditekankan kepada konservasi terhadap modal/kapital dalam bentuk alam, sosial ... Perencanaan merupakan cara yang rasional

Embed Size (px)

Citation preview

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Berkelanjutan sebagai Paradigma

Paradigma berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti model,

kerangka kerja, patern atau pun contoh. Menurut Kuhn dalam Bratakusumah

(2011). Paradigma adalah suatu kerangka kerja dari asumsi dasar ; termasuk

standar-standar untuk menentukan validitas dari aturan pengetahuan berdasarkan

bukti dan penarikan kesimpulan, dan merupakan prinsip dasar dari penyebab dan

efek yang dibagi oleh komunitas ilmiah. Hal ini kemudian disimpulkan oleh

Bratakusumah (2011) bahwa paradigma merupakan pola pikir yang menjadi

landasan bagi setiap kegiatan dalam mencapai tujuan.

Paradigma merupakan serangkaian asumsi, ide, pemahaman dan nilai-nilai

(umumnya tidak tertulis) yang menghimpun aturan-aturan tentang apa yang

relevan dan yang tidak relevan, apa pertanyaan yang harus diajukan dan apa yang

tidak, apa pengetahuan yang dipandang legitimate, dan apa praktek-praktek yang

dianggap benar (Nasdian, 2011).

Pergeseran paradigma muncul dari proses penciptaan sosial kolektif yang

global. Logika yang dominan dari paradigma ini adalah mengenai suatu ekologi

manusia yang seimbang dengan sumber daya informasi dan prakarsa kreatif.

Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai

perwujudan yang lebih tinggi dari potensi manusia.

Gran dalam Korten (1998) menyebutkan bahwa “ Paradigma ini

memberi peran kepada individu bukan sebagai subyek melainkan sebagai aktor

yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya dan mengarahkan proses

yang mempengaruhi kehidupannya. “

Paradigma dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah tidak hanya

pembangunan yang berorientasikan kepada produksi semata, tetapi membangun

sebuah kawasan secara keseluruhan yang meliputi juga aspek sosial dan

lingkungan. Paradigma pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan

perpaduan dari kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.

Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, pencapaian tujuan-tujuan ekonomi

18

harus selaras dengan tujuan sosial maupun kepentingan lingkungan. Selain itu,

kepentingan antar kelompok masyarakat dan antar generasi mendapat perhatian

besar (WCED, 1987).

Ada dua unsur untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dalam

perspektif Sosiologis. Pertama, adanya konsep yang mengatur tata kelola

organisasi dalam kehidupan budaya, hubungan sesama manusia dan sumberdaya

alam. Dari unsur pertama tersebut diharapkan menghasilkan “social

organization” (organisasi sosial). Kedua, adanya teknik sosial yang tepat untuk

mengkoordinasikan tindakan sosial untuk mencegah kerusakan prilaku dan

mempercepat perkembangan pembentukan modal sosial.

Modal sosial dapat terbentuk pada setiap individu dalam organisasi.

Organisasi yang diinginkan adalah yang dapat meningkatkan kapasitas sosial

setiap individu sehingga lebih berdaya dan tindakannya lebih terorganisir dalam

melaksanakan kegiatan pembangunan (Carnea, 1993).

Salah satu kerangka strategi untuk mencapai pembangunan yang

berkelanjutan adalah kelembagaan. Kerangka kelembagaan dalam pembangunan

berkelanjutan ini adalah: a) suatu sistem dengan fungsi yang mempunyai

hubungan dengan lingkungannya, b) adanya struktur organisasi dan prosedur yang

mengatur tugas, produk, masyarakat, sumberdaya serta tujuan organisasi tersebut,

c) menyiapkan ketahanan organisasi terhadap perubahan sumberdaya akibat

hubungan ekonomi dan politik.

2.2 Sejarah Lahirnya Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris,

sustainable development. Istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan dalam

World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh

United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for

Conservation of Nature andNatural Resources (IUCN), dan World Wide Fund for

Nature (WWF) pada 1980.

Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10

Tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi

ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa

19

tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan

Pembangunan (World Commission on Environment and Development - WCED).

PBB memilih PM Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menlu

Sudan, Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua

WCED.

Menurut Brundtland Report dari PBB, pembangunan berkelanjutan adalah

proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat dan sebagainya) yang

berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan

kebutuhan generasi masa depan”. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini

kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our Common Future”

(Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada Tahun 1987.

Laporan ini mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai

pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi

kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di

dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting. Pertama, gagasan

kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi

prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi

teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi

kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial

harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju

maupun negara berkembang.

2.3 Konsep dalam Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) yang

didefinisikan oleh Lele dalam Nasdian (2010), terbagi menjadi dua definisi yaitu

keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan (development).

Adapun pembagian definisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Dalam

Gambar 8, Lele membagi konsep keberlanjutan dan pembangunan menjadi lima

konotasi. Adapun konotasi keberlanjutan/sustainability terbagi menjadi

keberlanjutan secara harfiah/literal, keberlanjutan secara ekologis/ecological dan

keberlanjutan secara sosia/social.

20

Sumber : Lele,1991

Gambar 8 The Semantic of Sustainable Development

Sedangkan konotasi pembangunan/development terbagi menjadi

pembangunan sebagai proses/process dan pembangunan sebagai

obyektifitas/objectives.

Penelitian yang dilakukan adalah mencoba untuk mengkaji pembangunan

berkelanjutan di Kota Sukabumi dilihat dari konsep keberlanjutan dan

pembangunan yang telah dilaksanakan di kota tersebut. Peneliti mencoba

menggali konotasi keberlanjutan baik secara secara sosia (mempertahankan dasar

sosial dari kehidupan manusia), keberlanjutan secara harfiah maupun secara

ekologis (mempertahankan dasar ekologis dari kehidupan manusia) dengan

kebutuhan utama (basic needs) masyarakat sebagai obyektifitas dari

pembangunan.

21

2.4 Definisi Pembangunan Berkelanjutan

WCED (1987) menegaskan bahwa pada dasarnya pembangunan

berkelanjutan adalah suatu proses perubahan yang didalamnya eksploitasi

sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan

kelembagaan semuanya dalam keadaan yang selaras serta meningkatkan potensi

masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia.

Definisi ini sangat berkaitan erat dengan intra-generational equity

(memenuhi kebutuhan generasi kini secara merata) dan inter-generational equity

(memenuhi kebutuhan generasi kini dan generasi mendatang secara adil).

George (2000) memandang kedua hal tersebut merupakan prinsip dari

pembangunan berkelanjutan, intra-generational equity merupakan kondisi yang

penting untuk keberlanjutan, sedangkan inter-generational equity merupakan

kondisi yang penting untuk pembangunan, dimana kedua prinsip tersebut

dijelaskan dalam Gambar 9.

Dalam inter generational equity, prinsip equitas dalam keberlanjutan

ditekankan kepada konservasi terhadap modal/kapital dalam bentuk alam, sosial

maupun ekonomi sehingga tetap bernilai dan bermanfaat untuk generasi yang

akan datang. Sedangkan dalam intra generational equity, prinsip equitas dalam

keberlanjutan ditekankan kepada kesetaraan lokal, kesetaraan nasional maupun

kesetaraan secara global. Adapun yang dimaksud kesetaraan disini adalah setara

dalam terpenuhinya kebutuhan sebagai akibat adanya pengaruh distribusi,

perubahan biodiversitas dan perubahan sosial.

Tujuan pembangunan berkelanjutan terfokus pada ketiga aspek yaitu

keberlanjutan pertumbuhan yang tinggi (economic growth), keberlanjutan

kesejahteraan yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi

dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Selanjutnya

aspek tersebut bertambah dengan adanya aspek kelembagaan yang berkelanjutan

(institutional sustainability).

Adapun guna mencapai tujuan dimaksud, maka strategi pembangunan

harus memenuhi persyaratan seperti: sistem politik yang menjamin secara efektif

dan inovasi teknologi yang menghasilkan surplus secara berkesinambungan;

sistem sosial yang menyediakan cara pemecahan secara efektif terhadap

22

permasalahan karena ketidakharmonisan dalam pelaksanaan pembangunan; dan

sistem internasional dengan pola berkelanjutan dalam pengelolaan keuangan serta

perdagangan. Hal itu diharapkan dapat dicapai dengan cara bertahap (reformasi)

dari pemerintahan yang kini ada menuju pemerintahan baru yang lebih baik (good

governance).

Sumber : George, 2000

Gambar 9 Penjelasan prinsip equitas dalam pembangunan berkelanjutan

2.5 Perencanaan dalam Pembangunan

Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan

yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara

keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan

pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur yang belum ada

(Rustiadi, 2009). Paling tidak menurut Todaro (2000) pembangunan harus

memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan

Sustainable Development

Inter-generational equity Intra-generational equity

Conservation of capital

Precautionary principle ecological risk

Conservation of natural capital

Zero impact of full mitigation in kind

Conservation of natural+social+econo

mic capital

Valuation of natural capital

Conservation of the capital into which it

is converted

Social impact assesment

Local equity

Public participation

National equity

Distributional effects

Global equity

Biodiversity change: Different criteria apply for

high and low income countries, to allow for

different past contributions to impacts

23

pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu

kecukupan (sustainance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga

diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih.

Todaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai proses

multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur

sosial,sikap-sikap masyarakat,dan institusi-institusi nasional, disamping tetap

mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan,

serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus

mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial

secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan

individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk

bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara

material maupun spritual.

Long dalam Nasdian (2010) menyebutkan bahwa pembangunan dari

perspektif sosiologi dan antropologi adalah perubahan yang sudah direncanakan,

sebagai pemahaman pola pembangunan dan perubahan menyangkut jenis

pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dan perwakilannya untuk memulai

pembangunan ekonomi dan perubahan sosial. Di dunia ketiga peran pemerintah

sangat besar dalam menata masyarakat sesuai sasaran politik dan ekonomi

tertentu. Jika di negara maju sasaran lebih utama pada bidang sosial dan ekonomi

maka di negara berkembang lebih banyak ke arah perencanaan negara yang

terpusat dengan mendapat bantuan luar yang banyak.

Menurut Korten (1998) perbedaan pembangunan yang berpusat pada rakyat

dengan berpusat pada industri adalah bahwa pembangunan yang berpusat pada

rakyat secara rutin menempatkan kebutuhan-kebutuhan rakyat diatas kebutuhan-

kebutuhan sistem produksi sedangkan pembangunan yang berpusat pada sistem

produksi secara konsisten menempatkan kebutuhan-kebutuhan sistem produksi di

atas kebutuhan-kebutuhan rakyat. Conyers (1994) menyebutkan bahwa

perencanaan sosial bukan semata dokumen perencanaan tetapi lebih kepada

bagaimana perencanaan sosial menjadi arahan bagi tujuan perencanaan itu sendiri.

Perencanaan adalah istilah yang tidak mudah untuk didefinisikan. Para

perencana sering berfikir bahwa mereka sudah mengetahui arti kata ini dengan

24

baik karena berkenaan dengan pekerjaan yang mereka kerjakan. Namun dalam

prakteknya para perencana melakukan pekerjaan yang sangat beragam, sehingga

mereka mengartikan hal-hal yang berbeda dengan kata istilah tersebut.

Menurut Hall (2002), menyimpulkan bahwa arti “perencanaan” adalah

proses aktivitas yang bertahap yang ditujukan untuk tercapainya suatu atau

beberapa tujuan. Adapun teknis penyusunannya yang utama adalah berupa

pernyataan-pernyataan (statements) tertulis, yang dapat saja dilengkapi dengan

proyeksi-proyeksi statistik yang relevan, formulasi-formulasi matematis, evaluasi

kuantitatif dan ilustrasi-ilustrasi diagram yang mendeskrifsikan keterkaitan

komponen-komponen dari perencanaan yang disusun, dan bisa saja tanpa disertai

cetak biru representasi fisik atas obyek-obyek perencanaan sama sekali.

Perencanaan merupakan cara yang rasional dalam menghadapi masa depan,

secara tipikal melibatkan pengumpulan data dan analisis data, mempelajari

kemungkinan trend di masa depan, mempertimbangkan skenario-skenario

alternatif, beberapa darinya menganalisis berapa keuntungan dan biaya yang harus

dikeluarkan, memilih skenario yang disarankan dan merencanakan bagaimana

mengimplementasikannya ( Kelly dan Becker, 2000).

Lain halnya menurut Rustiadi et al. (2009) yang menyebutkan bahwa secara

umum terdapat dua unsur penting dalam perencanaan, yaitu hal yang ingin

dicapai, dan cara untuk mencapainya. Dalam proses perencanaan, kedua unsur

tersebut baik secara eksplisit maupun implisit dimuat pada berbagai nomenklatur

seperti; visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, proyek, aktivitas

dan lain sebagainya.

Proses perencanaan sebenarnya bagian dari proses capacity building, yakni

membangun kapasitas kelembagaan suatu institusi (Rustiadi et al., 2009).

Implementasi dari suatu perencanaan diharapkan mengarah pada tercapainya

tujuan-tujuan (goals) yang diharapkan, seperti melalui proses monitoring dan

evaluasi berdasarkan indikator-indikator kinerja yang ditetapkan. Hal ini

diperjelas oleh Friedman dalam Korten (1998) yang menyebutkan bahwa

perencanaan itu tidak sekedar sebuah pembuatan rencana tetapi lebih berarti

sebagai proses “belajar bersama”, tidak memberi tekanan pada dokumen tetapi

pada dialog, dan hasilnya lebih bergantung pada hubungan timbal balik pribadi-

25

pribadi menurut latar belakang khususnya dan bukan pada lembaga-lembaga yang

abstrak. Sehingga dia menamakan gaya perencanaan ini sebagai transaktif dan

model yang mendasarinya sebagai “social learning”.

2.6 Definisi Wilayah

Pengertian wilayah menurut Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdsasarkan aspek

administratif dan/atau aspek fungsional. Isard dalam Rustiadi et al. (2009)

menganggap pengertian suatu wilayah pada dasarnya bukan sekadar area dengan

batas-batas tertentu. Menurutnya wilayah adalah suatu area yang memiliki arti

(meaningful) karena adanya masalah-masalah yang ada didalamnya sedemikian

rupa, sehingga ahli regional memiliki interest dalam menangani permasalahan

tersebut, khususnya karena menyangkut permasalahan sosial-ekonomi.

Dengan cara yang lain Murty dalam Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan

wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud

sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik (kabupaten) dan perdesaan.

Tetapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau

area, melainkan merupakan suatu kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi,

iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian.

Dalam mendefiniskan konsep wilayah terdapat keragaman, hal ini terjadi

karena perbedaan dalam permasalahan ataupun tujuan pembangunan wilayah

yang dihadapi. Kenyataannnya tidak ada konsep wilayah yang benar-benar

diterima secara luas.

Para ahli cenderung melepaskan perbedaan-perbedaan konsep wilayah

terjadi sesuai fokus masalah dan tujuan-tujuan pengembangan wilayah.

Konsep wilayah yang paling klasik dalam Rustiadi et al. (2009) mengenai

tipologi wilayah, membagi wilayah kedalam tiga kategori: (1) wilayah homogen

(uniform atau homogeneous region), (2) wilayah nodal, dan (3) wilayah

perencanaan (planning region atau programming region). Cara klasifikasi konsep

wilayah diatas ternyata kurang mampu menjelaskan keragaman konsep wilayah

yang ada.

26

Blair dalam Rustiadi et al. (2009) memandang konsep wilayah nodal terlalu

sempit untuk menjelaskan fenomena yang ada dan cenderung menggunakan

konsep wilayah fungsional (functional region), yakni suatu konsep wilayah yang

lebih luas, dimana konsep wilayah nodal hanyalah salah satu bagian dari konsep

wilayah fungsional. Lebih lanjut Blair cenderung mengistilahkan wilayah

perencanaan sebagai wilayah administratif (administrative region).

Menurut pendapat Rustiadi et al. (2009), kerangka klasifikasi konsep

wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal

selama ini adalah: (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional,

dan (3) wilayah perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming

region).

Dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah ini, wilayah nodal dipandang

sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem. Sedangkan dalam

kelompok konsep wilayah perencanan, terdapat konsep wilayah administratif-

politis dan wilayah perencanaan fungsional.

Gambar 10 berikut mendeskrifsikan sistematis pembagian dan keterkaitan

berbagai konsep-konsep wilayah.

2.7 Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Hart (2010) menyebutkan bahwa indikator merupakan strategi dalam

melakukan katalisasi dan monitoring terhadap kemajuan suatu daerah menuju

daerah yang lebih ‘sustainable’ atau berkelanjutan. Sejumlah indikator yang inti

memberikan pijakan dalam mengukur kemajuan tercapai atau tidaknya prinsip

pembangunan berkelanjutan.

Lebih jauh lagi disebutkan oleh Hart (2010), bahwa penetapan indikator

merupakan kunci komitmen terutama untuk pemerintah dalam pencapaian prinsip

pembangunan berkelanjutan, dengan indikator-indikator yang jelas maka

pergerakan ke arah yang jelas dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan

(dalam bentuk tingkat kepuasan) dapat disesuaikan dengan kebijakan dan

tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah.

27

Sumber : Rustiadi et al. (2009).

Gambar 10 Sistematika Konsep-konsep Wilayah

Menurut Hart (2010) indikator adalah sesuatu yang membantu kita untuk

mengerti dimana kita, arah mana yang akan kita tempuh dan sejauh mana kita dari

apa yang kita inginkan. Suatu indikator yang baik akan memberikan isyarat

kepada kita tentang adanya masalah sebelum bertambah buruk dan membantu kita

menyadari apa yang dibutuhkan untuk memperbaiki masalah tersebut. Indikator

keberlanjutan suatu komunitas menunjukkan daerah mana dalam keterkaitan

antara ekonomi, lingkungan dan sosial yang lemah. Hart (2010) menegaskan

bahwa indikator memberikan kepada kita dimana terjadinya masalah tersebut dan

membantu menggambarkan cara untuk memperbaikinya. Indikator keberlanjutan

mencerminkan kenyataan bahwa tiga segmen tersebut sangat erat dan saling

berhubungan satu sama lain. Hal ini ditunjukkan dalam Gambar 11.

Wilayah

Homogen

Sistem/fungsional

Perencanaan/Pengelolaa

Sistem Sederhana

Sistem Komplek

Nodal (Pusat-Hinterland)

Desa-Kota

Budaya-Lindung

Sistem Ekonomi – Kawasan Produksi Kawasan Industri

Sistem Ekologi:DAS, Hutan,Pesisir

Sistem Sosial-Politik:Kawasan Adat, Wilayah Etnik

Wilayah Perencanaan Khusus : Jabodetabekjur,KAPET

Wilayah Administratif Politik :Provinsi,Kabupaten,Kota

Konsep Alamiah

Konsep Non Alamiah

28

Selanjutnya Hart (2010) menambahkan bahwa indikator adalah sesuatu

yang menunjukkan poin dari isu atau kondisi yang terjadi. Indikator bertujuan

memperlihatkan kepada kita sebaik apa suatu sistem berjalan. Apabila terjadi

masalah, indikator dapat membantu menentukan arah untuk mengatasi isu

tersebut.

Sumber: Hart, 2010

Gambar 11 Komunitas merupakan jaringan interaksi antara lingkungan, ekonomi

dan sosial

Indikator tersebut bermacam-macam sebagaimana jenis sistem yang

dimonitor, bagaimanapun juga terdapat karakteristik tertentu yang dipunyai oleh

indikator efektif yaitu :

1. Indikator yang efektif adalah saling berhubungan (relevant);

memperlihatkan tentang sistem yang ingin diketahui,

2. Indikator yang efektif dapat mudah dimengerti (easy to understand),

bahkan oleh orang yang bukan ahli,

3. Indikator yang efektif adalah dapat dipercaya (reliable), kita dapat

mempercayai informasi yang diberikan indikator tersebut, dan

4. Indikator yang efektif berdasarkan data yang mudah didapatkan

(accessible data); informasi tersebut tersedia atau dapat dikumpulkan

pada saat masih terdapat waktu untuk bertindak.

Keuntungan Pemegang

Saham Pendidikan

Kesehatan

Kemiskinan

Kejahatan

Bahan Produksi

Lapangan Pekerjaan

Kualitas Air

Kualitas Udara

Sumberdaya Alam

29

Rustiadi et al. (2009) mengartikan bahwa indikator merupakan ukuran

kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan pencapaian suatu sasaran atau

tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan

sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk

menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan,

maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi. Selain itu, indikator kinerja

digunakan untuk meyakinkan bahwa hari demi hari organisasi atau program yang

bersangkutan menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tujuan dan sasaran

yang telah ditetapkan.

Indikator kinerja pembangunan berkelanjutan di daerah menurut pedoman

teknis Peringkat Kinerja Pembangunan Berkelanjutan Daerah yang diterbitkan

oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Deputi Bidang Pengendalian

Kerusakan Lingkungan Tahun 2001 menyebutkan bahwa tujuan pembangunan

berkelanjutan didasarkan pada tiga prinsip yaitu Environmentally sustainable/

Ecological Balance, Socially responsible/Social Progress dan economically

viable/ Economic Growth dan dijabarkan sebagai berikut;

2.7.1 Lingkungan yang Berkelanjutan dan Seimbang (Environmentally Sustainable/Ecological Balance)

Environmentally sustainable merupakan prioritas pertama prasayarat

tercapainya pembangunan berkelanjutan. Kelestarian lingkungan adalah suatu

necessary condition tetapi bukan sufficient condition karena belum memasukkan

dimensi sosial dan ekonomi. Pembangunan berkelanjutan secara ekologi saja,

belum mencakup sebab-sebab terjadinya unsustainable development atau

pembangunan yang tidak berkelanjutan. Untuk memahaminya perlu perspektif

yang lebih luas yaitu internalisasi humanisme ke dalam ekosistem.

Pembangunan harus lestari secara ekologi, tetapi untuk mewujudkan hal

tersebut, pembangunan juga harus socially and economically sustainable.

Dua krtiteria environmentally sustainable yang dikembangkan yaitu :

1. Terjaminnya ketersediaan dan fungsi sumberdaya alam.

a. Sumberdaya alam terbarui; laju eksploitasinya harus sesuai dengan

kapasitas regenarisnya.

30

b. Sumberdaya alam tak terbarui; laju pengurangannya tidak boleh

melebihi laju sustained income atau substitusi terbarukan yang

dikembangkan melalui intervensi manusia dan manusia.

2. Rendahnya tingkat pencemaran

a. Emisi pencemar tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi

lingkungan untuk menyerap.

2.7.2 Aspek Sosial yang Bertanggungjawab dan Berkembang (Socially Responsible/Social Progress )

Aspek sosial merupakan bagian integral dari lingkungan hidup, dan secara

kolektif mencakup manusia, baik orang-perorangan maupun kelompok,

kepranataan serta interaksi yang terjadi antar komponen tersebut. Berbagai

pemasalahan sosial yang kemudian timbul menuntut berbagai kuantifikasi dan

kualifikasi yang spesifik dan rumit. Masalah-masalah sosial (social problems)

acapkali disebut ‘intangible’, susah diukur secara konkrit/kuantitatif.

Masalah-masalah sosial tidak tunduk pada ukuran-ukuran (measurements)

yang menyandang derajat akurasi/presisi yang tinggi. Berbeda dengan komponen-

komponen lingkungan hidup hayati dan geo-fisik yang untuk pengukurannya

memiliki baku mutu (quality standars) yang jelas, baku mutu sosial tidak mudah

dimantapkan karena sulit menangkap tingkat ambang batasnya, disamping sangat

rentan terhadap fluktuasi waktu dan dinamika masyarakat (perubahan sosial).

Oleh karena itu, yang diukur adalah gejalanya, yang kemudian secara teknis

diartikan sebagai indikator. Berbagai indikator sosial yang diuraikan berikut ini

yang terkait dengan penentuan peringkat kinerja pembangunan berkelanjutan

daerah ditentukan berdasarkan keterkaitannya dengan konsep pembangunan

berkelanjutan, sifat data (kuantitatif), sumber atau ketersediaan data, dan

metodologi pengumpulan data.

Ciri-ciri socially responsible :

a. Adanya keikutsertaan dari berbagai pihak yang masing-masing

mempunyai peran dan tanggung jawab tertentu dan jelas. Hal ini

didasarkan pada prinsip partisipatif, setara dan bertanggungjawab,

31

b. Hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas guna meningkatkan

kesejahteraan hidupnya. Hal ini ditandai dengan tingkat ekonomi

dan pendapatan masyarakat yang layak, tempat tinggal dan

permukiman yang sehat dan aman, serta adanya kesempatan

berusaha, dan

c. Adanya pengakuan (hukum) terhadap hak-hak masyarakat serta

kearifan lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan

lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan adanya perlindungan

hukum atas hak intelektual warga maupun kelompok masyarakat,

misalnya melalui paten, serta perlindungan terhadap hak-hak

ulayat/adat masyarakat lokal (misalnya melalui peraturan daerah

yang mengakomodasi perlindungan atas hak-hak masyarakat

lokal).

2.7.3 Pertumbuhan Ekonomi dan Berkelanjutan (Economically Viable/Economic Growth)

Pertumbuhan ekonomi merupakan aspek yang sangat penting dalam

mengukur keberhasilan pembangunan berkelanjutan. Salah satu dari prinsip dasar

pembangunan berkelanjutan adalah “Economically Viable”, yang terdiri dari

empat kriteria, yaitu :

1. Pendapatan;

2. Tenaga Kerja;

3. Investasi; dan

4. Pajak dan Retribusi.

Keempat faktor tersebut sebaiknya masing-masing mempunyai

karakteristik sebagai berikut, yaitu :

1. Pendapatan dengan pertumbuhan yang tinggi, kontribusi yang lebih

menitikberatkan pada sektor-sektor non-resources based, dan distribusi

secara merata;

2. Tenaga kerja dalam kondisi yang diharapkan economically viable adalah

kondisi tenaga kerja yang secara jumlah dapat memenuhi kebutuhan

32

lapangan kerja dengan pertumbuhan yang optimal dan produktivitas

tinggi;

3. Investasi yang diharapkan adalah investasi yang selalu tumbuh

berkembang secara positif dan seimbang pada sektor-sektor non resources

based dan resources based. Disamping itu juga efisiensi yang ditunjukkan

dengan sejauhmana investasi tersebut bisa bermanfaat bagi pemanfaatan

ekonomi, pemertaaan, dan kesetaraan antara sektor resources based

dengan non resources based, dan

4. Pajak dan retribusi sebagai sumber dana pmasukan pemerintah daerah

yang berasal dari kutipan setiap sektor aktivitas ekonomi, diharapkan

dapat meningkat dan dialokasikan kembali sebagai input bagi

pembentukan produk atau proses produksi (kegiatan ekonomi).

Selain ketiga prinsip tersebut, sekarang telah berkembang prinsip keempat

yaitu Kelembagaan Berkelanjutan (Institutional Sustainability) yang dijelaskan

sebagai berikut:

2.7.4 Kelembagaan Berkelanjutan (Institutional Sustainability)

Kelembagaan merupakan faktor yang penting dalam mencapai

pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan dan mandiri

tergantung kepada kekuatan dan kualitas lembaga/institusi negara. Kelembagaan

berkelanjutan adalah kelembagaan yang memberikan kenyaman dan jaminan pada

masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan minimumnya dalam volume yang stabil.

Kerangka untuk memahami kelembagaan dalam pembangunan

berkelanjutan adalah : 1) looking inward (melihat kedalam), yaitu melihat

kompleksitas dalam kelembagaan itu, 2) looking outward (melihat keluar) yaitu

melihat hubungan kelembagaan tersebut dengan lingkungannya, 3) institutionals

strategy (strategi kelembagaan), dengan dua cara yaitu pertama, bertindak dan

belajar, sedangkan kedua fokus pada masalah internal dan eksternal.Implikasi dari

pembangunan kelembagaan : a) adanya partisipasi stakeholders, b) adanya

keberhasilan program (success sells/performance), c) sering kali kompleksitas

33

tidak bisa dihindari, dan d) kemerosotan hokum (Brinkerhoff dan Goldsmith,

1992).

Menurut Spencer (1989), kelembagaan yang berhasil ditentukan oleh:

1) adanya komunikasi yang formal dan informal, 2) kerjasama tim,

3) kemampuan anggota, 4) rasa memiliki terhadap organisasinya, dan 5) adanya

kepemimpinan yang baik yang bisa berfungsi sebagai fasilitator.

Ada beberapa indikator untuk menilai pembangunan berkelanjutan di suatu

negara/kota. Hal ini seperti yang terdapat dalam Buku Indicators of Sustainable

Development:Guidelines and Methodoligies - third edition ( United Nation

Publicity, 2007) yang menyebutkan bahwa indikator penilaian keberlanjutan

tersebut (yang dikeluarkan oleh Commission on Sustainable Development, United

Nations) terdiri dari 14 tema utama dengan 44 sub tema, 50 indikator utama dan

46 indikator lain.

Indikator menjadi sesuatu yang penting karena indikator merupakan

petunjuk yang memberikan indikasi tentang suatu keadaan dan merupakan

refleksi dari keadaan tersebut, artinya dengan menggunakan indikator maka dapat

berfungsi dalam mengklasifikasi sehingga mempermudah untuk membuat suatu

keputusan atau kebijakan.

2.8 Kota yang Berkelanjutan (Sustainable City)

Istilah pembangunan berkelanjutan telah melampaui batas-batas ilmu

pengetahuan dan pembangunan bisnis maupun perdagangan termasuk

pembangunan manusia, nilai-nilai dan budaya yang berbeda. Buktinya, beberapa

organisasi mengacu terhadap pembangunan manusia yang berkelanjutan

(sustainable human development) sebagai lawan dari pembangunan berkelanjutan

dalam rangka menekan isu-isu seperti pentingnya kesetaraan gender, partisipasi

dalam proses pembuatan keputusan serta akses terhadap pendidikan dan kesehatan

(Regional Environmental Center, 2011).

Kota-kota telah menjadi titik utama dari komponen tersebut sebagai

konsumen dan distributor utama dari barang dan jasa. Bagaimanapun juga banyak

kota cenderung menjadi konsumen barang dan jasa dan tergantung yang paling

besar ketika terjadi pengurasan sumberdaya dari daerah lain. Sebagai hasil dari

34

meningkatnya konsumsi dari sumberdaya tersebut serta meningkatnya

ketergantungan terhadap perdagangan, pengaruh secara ekologi dari kota semakin

melampaui lokasi geografis kota tersebut.

Seiring dengan hal tersebut maka kemudian berkembang keinginan untuk

membuat kota yang berkelanjutan. Berdasarkan pengertian dari Regional

Environmental Center (2011), maka komunitas yang berkelanjutan (Sustainable

communities) didefinisikan sebagai kota yang telah mengambil langkah-langkah

untuk tetap ‘sehat’ dalam jangka waktu yang panjang. Komunitas yang

berkelanjutan memiliki perasaan memiliki yang kuat. Mereka memiliki visi yang

dianut dan secara aktif dipromosikan oleh seluruh sektor-sektor kunci masyarakat,

termasuk pelaku bisnis, kelompok yang kurang beruntung, ahli lingkungan hidup,

asosiasi kemasyarakatan, lembaga pemerintah, dan organisasi keagamaan.

Komunitas yang berkelanjutan menempatkan dan membangun aset mereka

serta berani untuk menjadi inovatif. Masyarakat ini menilai ekosistem yang sehat,

menggunakan sumberdaya secara efisien, dan secara aktif berusaha untuk

mempertahankan dan meningkatkan ekonomi berbasis lokal. Ada semangat

relawan yang meluas dan dihargai oleh hasil yang nyata. Kemitraan antara

pemerintah, sektor bisnis, dan organisasi nirlaba yang umum. Perdebatan publik

dalam masyarakat tersebut adalah menarik, inklusif, dan konstruktif. Tidak seperti

pendekatan pengembangan masyarakat tradisional, strategi keberlanjutan

menekankan: seluruh komunitas (termasuk kelompok yang tidak

menguntungkan); perlindungan ekosistem; masyarakat berbasiskan partisipasi

yang berarti dan luas serta kemandirian ekonomi .

Kota yang berkelanjutan dapat disebut sebagai ‘kota yang ideal’. Menurut

Santoso (2009), untuk masa sekarang, “Kota Ideal“ yang menjadi impian paling

sering dikaitkan pada dua hal. Pertama adalah dikaitkan dengan pengertian kota

sebagai sebuah sistem ekologis perkotaan yang berkelanjutan, dan yang kedua

adalah dengan pengertian kota yang mampu berkembang secara berkelanjutan

bukan hanya dalam pengertian ekologis (Eco-City), tetapi juga yang berkembang

secara berkeadilan (Justice-City), dan kota yang ekonominya tumbuh secara

berkelanjutan (Growth-City) dan yang secara kultural mampu mengembangkan

identitas lokal yang kuat (Urban Cultural Identity).

35

Bagaimana pun impian mengenai “Kota Ideal“ dari sebuah masyarakat

selalu terikat pada tempat dan waktu. Kota yang menjadi impian sebuah

masyarakat disatu pihak selalu berkaitan dengan sistem nilai yang berlaku pada

saat itu, dan di lain pihak sangat erat terkait dengan masalah yang dihadapi oleh

masyarakat pada saat itu. Pertanyaan mengenai kota impian bagi kita di Indonesia

tidak bisa lepas dari kriteria tersebut. Ada dua pertanyaan yang terkait dengan hal

itu; pertanyaan pertama adalah masalah-masalah pokok mana yang sedang

dihadapi oleh kota-kota di Indonesia, sedangkan pertanyaan kedua adalah

mengenai sistem nilai yang akan jadikan dasar untuk mendefinisikan “Kota Ideal“

yang kita impikan. Dari sistem nilai inilah sebenarnya yang akan menjiwai “roh“

dari kota impian kita. Berangkat dari sistem nilai tersebut akan lahir prinsip-

prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam usaha mengantisipasi ke-empat

masalah pokok yang dihadapi oleh kota-kota kita saat ini. Jadi, sistem nilai inilah

juga yang akhirnya akan sangat menentukan wujud fisik, ekonomi, sosial dan

budaya sebuah kota yang dianggap ideal.

Selanjutnya Santoso (2009) menyebutkan kriteria dan ciri-ciri dari kota

ideal tersebut yaitu :

1) Kota yang mampu mengantisipasi proses urbanisasi

Dalam arti kata mampu menyediakan ruang hidup yang berkualitas bagi

semua penghuninya. Hal ini bisa tercapai bila distribusi tanah perkotaan, utilitas

dan fasilitas perkotaan dilakukan secara berkeadilan. Distribusi dari pemakaian

tanah dan sumberdaya urban lainnya harus dilakukan secara berkeadilan dengan

tujuan bisa menampung berbagai tingkat kegiatan ekonomi urban mulai dari

ekonomi kampung, ekonomi urban, ekonomi regional maupun ekonomi global.

Secara sosial ini berarti kota tersebut mampu mengembangkan sebuah komunitas

urban baru (new urban community) yang bertumpu pada kehidupan kolektif

(coexistance) yang kuat.

Dari segi spasial ini berarti kita harus melakukan reorganisasi dari satuan-

satuan ruang (spatial entity) baik di dalam kota maupun di pinggiran kota yang

mampu mewadahi lahirnya komunitas urban yang kolektif tersebut. Dari segi

perumahan, kota yang ideal harus mampu menyediakan perumahan bagi semua

golongan sosial masyarakat yang walaupun mempunyai standard yang berbeda

36

tetapi dapat memenuhi standar kualitas yang minimal. “Kota Ideal“ harus

melindungi rumah yang ada, mengusahakan penambahan jumlah rumah

(housingstock) sesuai dengan pertambahan penduduk dan secara bertahap

membantu mereka yang kurang mampu untuk meningkatkan kualitas rumah

mereka. Bagi mereka yang tidak mampu memiliki rumah atau bagi mereka yang

hanya ingin tinggal di kota untuk sementara, maka kota perlu mengembangkan

kemampuan untuk menyediakan.

2) Kota yang dapat berfungsi sebagai agent of sustainable development

Dalam pengertian mampu menjadi pemacu perkembangan ekonomi

nasional dalam rangka proses transformasi masyarakat Indonesia secara

keseluruhan dari negara berkembang menjadi negara yang mampu bersaing secara

global, demokratis dan bermartabat. Dalam kaitannya dengan itu “Kota Ideal“

harus mampu mengatasi struktur ekonomi urban yang sangat lemah dalam

menghadapi dominasi ekonomi global dengan cara memperkuat ekonomi lokal

dan global.

Peningkatan ekonomi urban yang bertumpu pada hubungan regional yang

kuat dengan wilayah di sekeliling kota harus di dasari pada prinsip keadilan dalam

mendistribusikan nilai tambah yang dihasilkan dari kerjasama tersebut.

Pengembangan legalinstitusional dan manajemen pemerintahan yang baik akan

membantu terjaminnya keberlanjutan pengembangan ekonomi lokal dan regional

tanpa harus mengorbankan integrasi ekonomi urban tersebut pada pasar global.

3) Kota yang secara sosial dan kultural harus menjadi bagian terintegrasi secara

lokal-regional,

Bukan sebagai agen perantara yang secara sepihak mendukung

kepentingan politik negara-negara adikuasa dan secara berat sebelah hanya

berfungsi sebagai penyebar kultur universal yang bersifat generik di kota kota di

Indonesia. Kota-kota Indonesia harus mampu berkembang menjadi kota yang

secara sosial-budaya terintegrasi dalam pergaulan antar kota-kota dunia disatu

pihak, tanpa kehilangan ciri lokalnya yang spesifik dilain pihak. Kemampuan ini

hanya mungkin dikembangkan bila “Kota Ideal“ kita ini mempunyai akar yang

kuat (embeded) baik secara ekonomi, sosial maupun kultural di wilayah dimana

dia berada.

37

4) Terakhir adalah, bahwa “Kota Ideal“ yang kita impikan adalah sebuah kota

yang mempunyai ketahanan yang kuat atau kemampuan yang tinggi untuk

menetralisasiproses perubahan iklim dengan segala dampak dan akibatnya.

Masalah yang harus mampu diatasi oleh “Kota Ideal“ yang kita impikan adalah

datangnya ancaman dalam bentuk perubahan sistem ekologis. Kota yang ideal

dalam pengertian ini adalah kota yang mampu menjinakkan dampak negatif dari

kenaikan suhu bumi seperti perubahan, kenaikan permukaan air laut, kekeringan,

banjir, dan seterusnya.

Jadi sebuah kota yang ideal tidak cukup hanya mempunyai kemampuan untuk

menurunkan dampak lingkungan dari aktivitas perkotaannya. Kota yang ideal juga

tidak cukup hanya mempunyai kemampuan untuk membangun kota secara lebih

sustainable dengan menerapkan yang dinamakan green technology, tetapi kota

yang ideal harus mengembangkan kemampuannya untuk melindungi kota dan

penduduk kotanya dari berbagai ancaman lingkungan (environmental threat).