20
6 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Konsep Emotional intelligence (Kecerdasan Emosi) 1. Pengertian Emotional intelligence (Kecerdasan Emosi) Menurut Shapiro (1998, dalam Sihotang 2011), emotional intelligence bukanlah merupakan sesuatu yang muncul dengan sendirinya, namun sesuatu yang didapat dari proses belajar. Setiap manusia memiliki potensi emotional intelligence yang tidak sama besar, akan tetapi potensi tersebut dapat diupayakan melalui proses belajar agar terbentuk emotional intelligence yang lebih optimal. Definisi tersebut menjelaskan bahwa emosi dapat menjadi suatu potensi bagi individu apabila dapat mengelolanya dengan baik. Menurut Lynn (2002), emotional intelligence adalah dimensi kecerdasan yang bertanggung jawab atas kemampuan kita untuk mengelola diri dan hubungankita dengan orang lain. Sedangkan Shapiro (1998, dalam Sihotang 2011) menjelaskan bahwa emotional intelligence adalah suatu bagian dari kecerdasaan sosial yang berkaitan dengan kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi baik kepada dirinya sendiri maupun orang lain, memotivasi emosi secara relevan serta mengaplikasikannya ke dalam suatu pikiran dan tindakan. Kesimpulan yang dapat diperoleh mengenai pengertian kecerdasan emosi adalah jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali, merasakan, mengelola dan memimpin perasaan sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosial untuk mengoptimalkan fungsi energi, informasi, hubungan dan pengaruh bagi pencapaian-pencapaian tujuan yang dikehendaki dan ditetapkan. 2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi (Kecerdasan Emosi) Sampai sekarang belum ada alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi seseorang. Walaupun demikian, ada beberapa UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

6

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Emotional intelligence (Kecerdasan Emosi)

1. Pengertian Emotional intelligence (Kecerdasan Emosi)

Menurut Shapiro (1998, dalam Sihotang 2011), emotional intelligence

bukanlah merupakan sesuatu yang muncul dengan sendirinya, namun

sesuatu yang didapat dari proses belajar. Setiap manusia memiliki potensi

emotional intelligence yang tidak sama besar, akan tetapi potensi tersebut

dapat diupayakan melalui proses belajar agar terbentuk emotional

intelligence yang lebih optimal. Definisi tersebut menjelaskan bahwa

emosi dapat menjadi suatu potensi bagi individu apabila dapat

mengelolanya dengan baik.

Menurut Lynn (2002), emotional intelligence adalah dimensi kecerdasan

yang bertanggung jawab atas kemampuan kita untuk mengelola diri dan

hubungankita dengan orang lain. Sedangkan Shapiro (1998, dalam

Sihotang 2011) menjelaskan bahwa emotional intelligence adalah suatu

bagian dari kecerdasaan sosial yang berkaitan dengan kemampuan untuk

memantau perasaan dan emosi baik kepada dirinya sendiri maupun orang

lain, memotivasi emosi secara relevan serta mengaplikasikannya ke dalam

suatu pikiran dan tindakan.

Kesimpulan yang dapat diperoleh mengenai pengertian kecerdasan emosi

adalah jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali, merasakan,

mengelola dan memimpin perasaan sendiri dan orang lain serta

mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosial untuk

mengoptimalkan fungsi energi, informasi, hubungan dan pengaruh bagi

pencapaian-pencapaian tujuan yang dikehendaki dan ditetapkan.

2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi (Kecerdasan Emosi)

Sampai sekarang belum ada alat ukur yang dapat digunakan untuk

mengukur kecerdasan emosi seseorang. Walaupun demikian, ada beberapa

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 2: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

7

ciri-ciri yang mengindikasi seseorang memiliki kecerdasan emosional.

Menurut Goleman (2007) menyatakan bahwa secara umum ciri-ciri

seseorang memiliki kecerdasan emosi adalah mampu memotivasi diri

sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan

tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga

agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir serta berempati

danberdoa. Lebih lanjut Goleman (2007) merinci lagi aspek-aspek

kecerdasan emosi secara khusus sebagai berikut:

a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali

perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Aspek mengenali emosi diri

terjadi dari: kesadaran diri, penilaian diri, dan percaya diri. Kemampuan

ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi

menyebutkan bahwa kesadaran diri merupakan kesadaran seseorang

akan emosinya sendiri.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani

perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga

tercapai keseimbangan dalam diri individu.

c. Memotivasi Diri Sendiri

Dalam mengerjakan sesuatu, memotivasi diri sendiri adalah salah satu

kunci keberhasilan. Mampu menata emosi guna mencapai tujuan yang

diinginkan. Kendali diri secara emosi, menahan diri terhadap kepuasan

dan megendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan di segala

bidang.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan mengenali emosi orang lain sangat bergantung pada

kesadaran diri emosi. Empati merupakan salah salah satu kemampuan

mengenali emosi orang lain, dengan ikut merasakan apa yang dialami

oleh orang lain. Menurut Goleman (2007) kemampuan seseorang untuk

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 3: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

8

mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan empati seseorang.

Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap

sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan mengisyaratkan apa yang

dibutuhkan oleh orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut

pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih

mampu untuk mendengarkan orang lain.

e. Membina Hubungan Dengan Orang Lain

Kemampuan membina hubungan sebagian besar merupakan

keterampilan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini merupakan

keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan

keberhasilan antar pribadi. Orang yang dapat membina hubungan

dengan orang lain akan sukses dalam bidang apapun yang

mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.

3. Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting

penunjangnya. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi dipengaruhi

oleh berbagai faktor antara lain :

a. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang. Setiap

manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat

sistem saraf pengatur emosi atau lebih dikenal dengan otak emosional.

Otak emosional meliputi keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik,

lobus prefrontal dan keadaan lain yang lebih kompleks dalam otak

emosional.

b. Faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang berasal dari luar diri

seseorang. Faktor eksternal kecerdasan emosi adalah faktor yang datang

dari luar dan mempengaruhi perubahan sikap. Pengaruh tersebut dapat

berupa perorangan atau secara kelompok. Perorangan mempengaruhi

kelompok atau kelompok mempengaruhi perorangan. Hal ini lebih

memicu pada lingkungan. Seseorang akan memiliki kecerdasan emosi

yang berbeda-beda. Ada yang rendah, sedang maupun tinggi.

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 4: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

9

Goleman (2007) megemukakan ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi

antara lain :

a. Optimal dan selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi

dalam hidup. Seperti menangani peristiwa dalam hidupnya dan

menangani tekanan-tekanan masalah pribadi yang dihadapi.

b. Terampil dalam membina emosi

Terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi

dan kesadaran emosi terhadap orang lain.

c. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi meliputi : intensionalitas,

kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi, ketidak puasan

konstruktif

d. Optimal pada emosi belas kasihan atau empati, intuisi, kepercayaaan,

daya pribadi, dan integritas.

e. Optimal pada kesehatan secara umum kualitas hidup dan kinerja yang

optimal.

4. Kategori Emotional intelligence

Emotional intelligence seseorang dapat pula dikategorikan seperti halnya

kecerdasan inteligensi. Tetapi kategori tersebut hanya dapat diketahui

setelah seseorang melakukan tes kecerdasan emosi. Kategorisasi

kecerdasan emosi akan diketahui pada skor tertentu, tergantung pada jenis

kecerdasan emosinya.

Adapun ciri-ciri seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi yang

tinggi apabila ia secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka.Tidak

mudah takut atau gelisah, mampu menyesuaikan diri dengan beban stres.

Memiliki kemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang

atau permasalahan, untuk mengambil tanggung jawab dan memiliki

pandangan moral. Kehidupan emosional mereka kaya, tetapi wajar,

memiliki rasa nyaman terhadap diri sendiri, orang lain sertalingkungannya

(Goleman, 2007).

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 5: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

10

Seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi rendah apabila seseorang

tersebut tidak memiliki keseimbangan emosi, bersifat egois, berorientasi

pada kepentingan sendiri. Tidak dapat menyesuaian diri dengan beban

yang sedang dihadapi, selalu gelisah. Keegoisan menyebabkan seseorang

kurang mampu bergaul dengan orang-orang disekitarnya. Tidak memiliki

penguasaan diri, cenderung menjadi budak nafsu dan amarah. Mudah

putus asa dan tenggelam dalam kemurungan (Goleman, 2007).

5. Emotional Intelligence Dosen

Emotional intelligence memegang peranan penting dalam bertanggung

jawab atas keberhasilan dalam hidup dan psikologis yang memainkan

peran penting dalam terbentuknya interaksi antar individu dalam

lingkungan kerja (Oginawati, 2011). Penelitian tentang kecerdasan

emosional guru dilakukan oleh Kusmawati (2011) mengenai hubungan

kecerdasan emosional dengan stress kerja guru di SMP Negeri 3 Jakarta.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukan ada hubungan yang bermakna

antara kecerdasan emosional dengan stress kerja guru di SMP Negeri 3

Medan.

Kemampuan untuk mengenal emosi orang lain dan kemampuan untuk

mengatur emosi diri sendiri sangat penting dalam pekerjaan sebagai dosen

(Salovey dan Mayer, 2013). Dalam keseharian nya dosen cenderung

melibatkan emosi di dalamnya, salah satu perwujudan pentingnya

kecerdasan emosi dalam memberikan didikan pada mahasiswa adalah

bagaimana kemampuan dosen dalam mengekspresikan perasaan positif

maupun negatif terhadap berbagai tingkah laku mahasiswa.

B. Konsep Adversity Quotient

1. Pengertian Adversity Quotient

Adversity sendiri bila diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna

kesulitan atau kemalangan, dan dapat diartikan sebagai suatu kondisi

ketidak bahagiaan, kesulitan, atau ketidak beruntungan. Menurut Hawadi

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 6: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

11

(2013) istilah adversity dalam kajian psikologi didefinisikan sebagai

tantangan dalam kehidupan.

Menurut Leman (2011) mendefinisikan adversity quotient secara ringkas,

yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah. Beberapa

definisi di atas yang cukup beragam, terdapat fokus atau titik tekan, yaitu

kemampuan yang dimiliki seseorang, baik fisik ataupun psikis dalam

menghadapi problematika atau permasalahan yang sedang dialami.

Sebagaimana yang diungkapkan Stoltz (2005) adversity quotient sebagai

kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara

teratur. Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan

dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap

berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang

sedang terjadi. Adversity Quotient (AQ) adalah bentuk kecerdasan yang

berupa kemampuan dalam menghadapi kesulitan dalam keadaan sukses

(Habsari, 2012). Kecerdasan Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan

yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan

hidup (Stoltz, 2005).

Menurut Habsari (2012) dalam adversity quotient yang menjadi sorotan

adalah kemampuan seseorang, bagaimana individu tersebut bertahan

ketika dia menghadapi kesulitan. Dengan demikian, adversity quotient

mampu memprediksi seseorang atau individu pada tampilan motivasi,

pemberdayaan, kreativitas, produktivitas, pembelajaran, energi, harapan,

kegembiraan, vitalitas dan kesenangan, kesehatan mental, kesehatan

jasmani, daya tahan, fleksibilitas, perbaikan sikap, daya hidup dan respon

terhadap perubahan (Stoltz, 2005).

Menurut Stoltz (2005), kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan

terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotient. Adversity quotient

tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :

a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan

meningkatkan semua segi kesuksesan.

b. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 7: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

12

c. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap

kesulitan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa adversity

quotient merupakan suatu kemampuan individu untuk dapat bertahan

dalam menghadapi segala macam kesulitan sampai menemukan jalan

keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi hambatan

dan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap kesulitan

tersebut.

2. Tipe-tipe Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2005) mengatakan bahwa kita dilahirkan dengan satu

dorongan inti yang manusiawi untuk terus mendaki. Dorongan mendaki

artinya mengerakkan tujuan hidup kedepan dan merupakan perlombaan

naluriah kita melawan waktu dalam menyelesaikan tugas sebanyak

mungkin, baik tugas tertulis maupun tidak tertulis, dengan megerjakan

semampu kita dalam batas waktu yang ditentukan. Berdasarkan hal

tersebut, Stoltz (2005) kemudian mengelompokkan beberapa individu

berdasarkan pada sebuah kisah para pendaki gunung yang hendak

menaklukan puncak gunung. Stoltz (2005) mengemukakan bahwa ada

pendaki yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa

cukup puas sampai pada ketinggian tertentu dan ada pula yang benar-benar

berkeinginan menaklukan puncak tersebut. Adapun pengelompokan

tersebut merupakan bagian dari adversity quotient, antara lain (Stoltz,

2005) :

a. Mereka Yang Berhenti (Quitters)

Quitters adalah orang-orang yang berhenti ditengah pendakian.

Kelompok individu seperti ini gampang putus asa, mudah menyerah,

mudah puas dengan pemuas kebutuhan dasar fisiologis saja, cenderung

pasif, tidak bergairah untuk mencapai puncak keberhasilan. Kelompok

ini cenderung menolak perubahan karena kapasitasnya yang minimal,

sehingga dianggap memiliki nilai adversity quotient yang rendah.

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 8: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

13

b. Mereka Yang Berkemah (Campers)

Kelompok individu yang pergi tidak seberapa jauh dan lalu berkata,

sejauh ini sajalah saya mampu mendaki sehingga tidak mencapai

puncak, sudah puas dengan apa yang dicapai. Kelompok individu

seperti ini yang sedikit lebih baik dari quitters, sehingga kelompok ini

dianggap memiliki nilai adversity quotient yang lumayan tinggi atau

sedang, yaitu masih mengusahakan terpenuhinya kebutuhan rasa aman

dan keamanan dan kebersamaan, serta masih bisa melihat dan

merasakan tantangan pada skala hirarki Maslow. Kelompok ini juga

tidak tinggi kapasitasnya untuk perubahan, karena terdorong oleh

ketakutan dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan. Namun,

dalam menghadapi kesulitan kelompok ini akan menimbang resiko dan

imbalan, sehingga tak pernah mencapai apa yang seharusnya dapat

tercapai dengan potensinya.

c. Pendaki (Climbers)

Climbers yaitu orang yang selalu berupaya mencapai puncak

pendakian yaitu kebutuhan aktualisasi diri pada skala kebutuhan

Maslow serta siap menghadapi berbagai rintangan. Kelompok ini

memang menantang perubahan-perubahan dan kesulitan ataupun krisis

yang akan dihadapi walaupun perlu banyak energi, dedikasi dan

pengorbanan. Pada kelompok ini dianggap memiliki nilau adversity

quotient yang tinggi.

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 9: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

14

Gambar 2.1 Adversity Quotient

Sumber : Stoltz (2005)

Menurut Stoltz (2005) manusia memiliki respon yang berbeda-beda dalam

usahanya mencapai keberhasilan. Dorongan untuk mencapai keberhasilan

disebut dapat dilihat sama halnya seperti karakter sejumlah orang dalam

mendaki sebuah gunung. Sosok quitters mempunyai kemampuan kecil

atau bahkan tidak mempunyai sama sekali. Namun, dengan bantuan

mereka dapat dibawa kembali untuk menyalakan dorongan tersebut.

Campers adalah sosok yang mungkin telah menghadapi cukup banyak

kesulitan sampai menemukan tempat berkemah di gunung. Kesulitan ini

jugalah yang pada akhirnya mendorong campers untuk

mempertimbangkan berbagai resiko dan imbalannya, yang akhirnya

menghentikan pendakiannya. Campers hidup dengan keyakinan bahwa

setelah beberapa tahun atau setelah melakukan sejumlah usaha, hidup

seharusnya relatif bebas dari kesulitan. Campers yang berkemah secara

permanen harus membayar mahal sekali, karena mereka tidak akan pernah

tahu menyelesaikan apa yang sebetulnya bisa mereka kerjakan.

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 10: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

15

Climbers tidak asing terhadap hal yang sulit. Kehidupan mereka memang

menghadapi dan mengatasi arus rintangan yang tiada hentinya. Oleh

karena itu, kebalikan dari campers dan quitters. Climbers tidak

melanjutkan pendakian justru karna kurangnya tantangan. Climbers

memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup. Jadi, menghindari

kesulitan sama saja dengan menghindari kehidupan. Kebanyakan diantara

kita mengetahui apa yang dibutuhkan supaya bisa sukses. Kita diberkahi

berbagai macam unsur penting untuk mencapi kesuksesan. Tetapi,

kenyataannya adalah jika seseorang memiliki adversity quotient rendah,

maka tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan,

potensinya juga akan tetap kerdil. Sebaliknya, orang dengan AQ yang

cukup tinggi akan bertahan dan berkembang pesat atau sukses (Stoltz,

2005).

Perawat yang memiliki jiwa climbers cenderung selalu berupaya mencapai

puncak pendakian yaitu kebutuhan aktualisasi diri pada skala kebutuhan

Maslow yang siap menghadapi berbagai rintangan. Perawat seperti ini

memang menantang perubahan-perubahan. Kesulitan ataupun krisis akan

dihadapi walaupun perlu banyak energi, dedikasi dan pengorbanan.

perawat yang mempunyai jiwa climbers mempunyai semangat untuk

berprestasi, meraih apa yang belum diraih dan selalu merasa yakin dengan

dirinya dalam melakukan yang terbaik untuknya (Stoltz, 2005).

3. Dimensi-Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2005) menyebutkan ada empat dimensi yang menyusun adversity

quotient seseorang. Empat dimensi ini adalah dasar untuk menentukan

tingkat adversity quotient seseorang. Empat dimensi tersebut dijelaskan

sebagai berikut (Stoltz, 2005) :

a. Kendali Diri (Control)

Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali

yang dapat kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan

kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana

individu dapat merasakan bahwa kendali tersebut berperan dalam

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 11: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

16

peristiwa yang menimbulkan kesulitan, yang artinya kemampuan

individu dalam mempengaruhi secara positif serta mampu

mengendalikan respon terhadap sebuah situasi yang dialami. Dimensi

ini memiliki dua fase yaitu pertama, sejauh mana seseorang mampu

mempengaruhi secara positif suatu situasi. Kedua, yaitu sejauh mana

seseorang mampu mengendalikan respon terhadap suatu situasi.

Individu yang AQ nya cukup tinggi akan merasakan kendali yang lebih

besar atas berbagai peristiwa dalam kesehariannya dibandingkan

dengan individu yang lain dengan AQ yang rendah. Individu-individu

yang nilai AQ tinggi relatif kebal terhadap ketidakberdayaan. Individu

ini merasakan tingkat kendali, tampak mereka dilindungi oleh suatu

medan gaya yang tidak dapat ditembus yang membuat mereka tidak

jatuh kedalam keputusan yang tak berdasar. Merasakan tingkat

kendali, bahkan yang terkecil sekalipun, akan membawa pengaruh

yang radikal dan sangat kuat pada tindakan-tindakan serta pikiran-

pikiran yang mengikutinya.

b. Asal-Usul dan Pengakuan (Origin dan Ownership)

Asal- usul dan pengakuan yaitu suatu kemampuan individu dalam

menempatkan perasaan dirinya dengan berani menanggung akibat dari

situasi yang ada, sehingga menciptakan pembelajaran dalam

melakukan perbaikan atas masalah yang terjadi. Dimensi ini

mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan

sejauh mana seseorang menganggap dirinya sebagai penyebab dan asal

usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan sebagainya.

Dimensi ini juga mengukur sejauh mana seseorang menanggung akibat

dari situasi saat itu, tanpa mempermasalahkan penyebabnya dan

dimensi ini mempunyai keterkaitan dengan rasa bersalah.

Individu yang AQ nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah

yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi.

Rasa bersalah yang adil dan tepat diperlukan untuk menciptakan

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 12: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

17

pembelajaran yang kritis atau lingkaran umpan balik yang dibutuhkan

untuk melakukan perbaikan secara terus menerus. Kemampuan untuk

menilai apa yang dilakukan dengan benar atau salah dan bagaimana

memperbaikinya merupakan hal yang mendasar untuk

mengembangkan pribadi.

c. Jangkauan (Reach)

Dimensi ini merupakan bagian dari AQ yang mengajukan pertanyaan

sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan menjangkau bagian-bagian

lain dari kehidupan individu seperti hambatan akibat panik, hambatan

akibat malas dan sebagainya. Kemampuan individu dalam menjangkau

dan membatasi masalah agar tidak menjangkau bidang-bidang yang

lain dimensi ini melihat sejauh mana individu membiarkan

kemalangan menjangkau bidang lain pekerjaan dan hidup individu.

Respon dengan AQ rendah akan membuat kesulitan dalam segi-segi

yang lain dari kehidupan individu, semakin besar pula kemungkinan

individu menganggap peristiwa buruk sebagai bencana dan

membiarkannya meluas, serta menganggu kebahagiaan dan

ketenangan pikiran individu saat prosesnya berlangsung. Sebaliknya,

individu yang memiliki AQ yang tinggi relatif mampu membatasi

jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Misalnya

adalah sebuah konflik, dimana suatu peristiwa itu mungkin akan

melibatkan komitmen dan tindakan lebih lanjut, bukan berarti hidup

akan hancur.

d. Daya Tahan (Endurance)

Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan, yaitu dimensi yang

mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama penyebab

kesulitan itu akan terus berlangsung dan bagaimana tanggapan

individu terhadap waktu dalam menyelesaikan masalah, seperti waktu

bukan masalah. Dimensi ini mengukur kemampuan seseorang dalam

menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya.

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 13: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

18

Daya tahan yaitu kemampuan individu dalam mempersepsi kesulitan,

dan kekuatan dalam menghadapi kesulitan tersebut dengan

menciptakan ide dalam penyelesaian masalah sehingga ketegaran hati

dan keberanian dalam penyeleasaian masalah dapat terwujud di

dimensi ini, berupaya melihat berapa lama seseorang mempersepsi

kemalangan ini akan berlangsung. Individu yang mempunyai AQ

rendah mempunyai kemungkinan yang besar untuk menganggap

kesulitan dan penyebabnya akan berlangsung lama, hal ini akan

berakibat pada keraguan (pesimis) individu dan ketidak berdayaan.

4. Peran Adversity Quotient Dalam Kehidupan

Menurut Wangsadinata & Suprayitno (2008) bahwa peningkatan adversity

quotient menjadi penting, karena dapat memperbaiki ketahanan seseorang

untuk menghadapi berbagai keadaan, baik itu keadaan yang

menyenangkan maupun yang sulit. Stoltz (2005) mengindikasikan bahwa

adversity quotient mempunyai kontribusi yang sangat besar karena faktor-

faktor kesuksesan dalam hidup, karena dipengaruhi oleh kemampuan

pengendalian serta cara kita merespon kesulitan yang diperlukan untuk

meraih dan menyelesaikan tantangan. Peran adversity quotient dalam

kehidupan sehari-hari adalah (Stoltz, 2005) :

a. Daya Saing

Menurut penelitian Jasson Stterfield dan Martin Seligman, terhadap

retorika Saddan Hussen dan Josh Bush, menemukan bahwa orang-

orang yang merespon kesulitan secara lebih optimis, bisa diramalkan

akan bisa bersikap lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko,

sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan

lebih banyak sikap pasif dan berhati-hati.

b. Produktifitas

Dalam sejumlah penelitian yang dilakukan di perusahaan-perusahaan,

orang yang merespon kesulitan secara destruktif terlihat kurang

produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif. Selligman

membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 14: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

19

menjual lebih sedikit, kurang berproduksi, dan kinerjanya lebih buruk

daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik.

c. Kreativitas

Inovasi merupakan tindakan yang berdasarkan suatu harapan. Inovasi

membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada

dapat menjadi ada. Menurut Joel Barker, kreativitas juga muncul dari

keputusasaan. Oleh karena itu, kreatifitas menuntut kemampuan untuk

mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal- hal yang tidak pasti.

Saya telah mengamati bahwa ketidakberdayaan yang dipelajari itu bisa

menghancurkan kreativitas orang-orang yang cemerlang dan berbakat.

Orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak

mampu bertindak kreatif.

d. Motivasi

Dalam sebuah perusahaan farmasi seorang direktur mengurutkan

timnya sesuai dengan motivasi mereka yang terlihat. Kemudian

mengukur AQ anggota timnya tanpa terkecuali baik berdasarkan

pekerjaan harian maupun untuk jangka panjang, mereka yang adversity

quotient tinggi dianggap sebagai orang–orang yang paling memiliki

motivasi.

e. Mengambil Resiko

Dengan tiadanya kemampuan memegang kendali, tidak ada alasan

untuk mengambil resiko. Orang-orang yang merespon kesulitan secara

lebih konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko. Resiko

merupakan aspek esensial dalam mengambil sebuah tantangan.

f. Perbaikan

Kita berada di era yang terus-menerus melakukan perbaikan supaya

bisa bertahan hidup. Apakah itu dalam suatu menemukan penyebab-

penyebab berbagai macam kondisi medis, banyak yang menemukan

dirinya memasuki wilayah baru dan mempertanyakan cara-cara

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 15: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

20

berpikir lama. Perbaikan sangat diperlukan dalam upaya

mempertahankan hidup. Diperlukan perbaikan untuk mencegah supaya

tidak ketinggalan zaman dalam karir dan hubungan- hubungan dengan

orang lain.

Persepsi kendali atas kehidupan anda memainkan peran sentral dalam

kesehatan emosional dan jasmaniah anda. Cara anda merepon peristiwa-

peristiwa dalam hidup bisa menimbulkan akibat-akibat yang mendalam

terhadap kesehatan dan kemampuan anda dalam berproses. Emosi dan

pola-pola berpikir memainkan peran yang sangat penting dalam kesehatan

mental dan fisik. Dr. Steven Locke telah melakukan penelitian pada

sekelompok mahasiswa sarjana muda dari Harvard untuk mengetahui

tingkat stres yang diderita, bagaimana mereka merespon kesulitan dan

kekebalan mereka. Dia menemukan bahwa mereka yang menghadapi

dengan buruk, yaitu mahasiswa-mahasiswa yang melaporkan tingginya

tingkat depresi serta kecemasan sebagai respon terhadap stres (salah satu

bentuk kesulitan), memiliki sel-sel pembunuh alami yang memang lebih

lemah. Bagaimana seseorang merespon kesulitan akan mempengaruhi

komposisi kimiawi serta kesehatan fungsi-fungsi kekebalannya (Stoltz,

2005).

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adversity Quotient

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adversity quotient

seseorang. Stoltz (2005) mengatakan faktor-faktor ini mencakup semua

yang deperlukan seseorang untuk mendaki, yaitu:

a. Daya Saing

Berdasarkan penelitian oleh Satterfield dan Seligman (Stoltz, 2005)

pada saat perang Teluk, mereka menemukan bahwa orang-orang yang

merespon kesulitan secara optimis bias diramalkan akan bersikap lebih

agresif dan mengambil lebih banyak resiko, dibanding orang yang

pesimis. Orang-orang yang bereaksi secara konstruktif terhadap

kesulitan lebih tangkas dalam memelihara energi, fokus, dan tenaga

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 16: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

21

yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Persaingan sebagian

besar berkaitan dengan harapan, kegesitan, dan keuletan, yang sangat

ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan

dalam hidupnya.

b. Produktivitas

Dalam penelitiannya di Metropolitan Life Insurance Company,

Seligman membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan

dengan baik menjual lebih sedikit, kurang produktif, dan kinerjanya

lebih buruk dari pada mereka yang merespon kesulitan dengan baik

(Stoltz, 2005).

c. Kreativitas

Inovasi pada intinya merupakan tindakan berdasarkan suatu harapan.

Inovasi membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak

ada dapat menjadi ada. Menurut Joel Barker dalam Stoltz (2005)

kreativitas muncul dari keputusasaan. Oleh karena itu, kreativitas

menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh

hal-hal yang tidak pasti. Orang-orang yang tidak mampu menghadapi

kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif.

d. Motivasi

Stoltz (2005) pernah melakukan pengukuran adversity quotient

terhadap perusahaan farmasi. Ia meminta direktur perusahaan itu untuk

mengurutkan timnya sesuai dengan motivasi mereka yang terlihat. Lalu

ia mengukur anggota-anggota tim tersebut. Tanpa kecuali, baik

berdasarkan pekerjaan harian maupun untuk jangka panjang. Hasilnya,

mereka yang dianggap sebagai orang yang paling memiliki motivasi

ternyata memiliki AQ yang tinggi.

e. Mengambil Resiko

Dengan tiadanya kemampuan untuk memegang kendali, tidak ada

alasan untuk mengambil resiko. Sebagaimana telah dibuktikan oleh

Satterfield & Seligman dalam Stoltz (2005), orang- orang yang

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 17: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

22

merespons kesulitan secara lebih konstruktuf bersedia mengambil lebih

banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial dari pendakian.

f. Perbaikan

Kita berada dalam era yang terus menerus melakukan perbaikan agar

dapat bertahan hidup, baik itu di dalam pekerjaan maupun dalam

kehidupan pribadi. Stoltz (2005) telah melakukan pengukuran terhadap

AQ para perenang. Ia menemukan bahwa orang yang memiliki AQ

lebih tinggi menjadi lebih baik sedangkan orang yang memiliki AQ

rendah menjadil ebih buruk.

g. Ketekunan

Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus berusaha, bahkan

pada saat dihadapkan pada kemunduran atau kegagalan. Seligman

dalam Stoltz (2005) membuktikan bahwa tenaga penjual, kadetmiliter,

mahasiswa, dan tim-tim olahraga yang merespons kesulitan dengan

baik akan pulih dari kekalahan dan mampu bertahan.

h. Belajar

Seligman dalam Stoltz (2005) membuktikan bahwa orang-orang yang

pesimis merespons kesulitan sebagai hal yang permanen, pribadi, dan

meluas. Stoltz (2005) membuktikan bahwa perawat yang memiliki

respons pesimis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan

berprestasi jika dibandingkan dengan perawat yang memiliki rasa

optimis. Banyak hal dan masalah yang dapat merintangi seorang

perawat dalam meraih impian dan cita-citanya. Masalah-masalah yang

menjadi rintangan itu sangat beranekaragam, baik dari dalam diri

perawat maupun dari luar dirinya. Seorang perawat baru dapat

dikatakan berhasil apa bila dapat meraih prestasi yang gemilang.

Dengan adanya daya juang dan keuletan dalam menghadapi stres dalam

pekerjaan diharapkan seorang perawat mampu meraih prestasi yang

baik.

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 18: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

23

6. Teori-Teori Pendukung Adversity Quotient

Adversity Quotient dibangun dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu

pengetahuan (Stoltz, 2005), yaitu :

a. Psikologi Kognitif

Psikologi kognitif merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana

seseorang memperoleh, mentransformasikan, mempresentasikan,

menyimpan, dan menggali kembali pengetahuan, dan bagaimana

pengetahuan tersebut dapat dipakai untuk merespon atau memecahkan

kesulitan, berfikir dan berbahasa. Orang yang merespon atau

menganggap kesulitan itu abadi, maka jangkauan kendali mereka akan

menderita, sedangkan yang menganggap kesulitan itu mudah berlalu,

maka ia akan tumbuh maju dengan pesat. Respon seseorang terhadap

kesulitan mempengaruhi kinerja, dan kesuksesan. Strategi berespon

terhadap kemalangan dengan pola-pola tersebut akan menetap

sepanjang hidup seseorang (Lasmono, 2013).

b. Neuropsikologi

Neuropsikologi adalah bagian psikologi terapan yang berhubungan

dengan bagaimana perilaku dipengaruhi oleh disfungsi otak. Ilmu ini

menyumbangkan pengetahuan bahwa otak secara ideal dilengkapi

sarana pembentuk kebiasaan-kebiasaan, sehingga otak segera dapat

diinterupsi dan diubah. Berdasarkan penjelasan tersebut (Lasmono,

2013) menjelaskan bahwa kebiasaan seseorang dalam merespon

terhadap kesulitan dapat diinterupsi dan segera diubah. Dengan

demikian, kebiasaan baru tumbuh dan berkembang dengan baik.

Neuropsikologi merupakan speciality (bidang keahlian khusus), tetapi

juga dapat dilihat sebagai bagian psikologi kesehatan. Neuropsikologi

maupun psikologi kesehatan berada di bawah payung besar psikologi

klinis. Neuropsikologi memiliki representasi yang tersebar luas dalam

tim-tim multi disiplin atau antar disiplin sebagai bagian dari pendekatan

medis kontemporer terhadap penanganan seorang pasien (Nelson dan

Adams, 1997). Gambar 3 menunjukkan bagaimana teknik-teknik

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 19: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

24

asesmen dari neuropsikologi bersinggungan dan saling tumpang-tindih

dengan disiplin-disiplin lain yang berdekatan.

c. Psikoneuro imunologi

Ilmu ini menyumbangkan bukti-bukti adanya hubungan fungsional

antara otak dan sistem kekebalan, hubungan antara apa yang individu

pikirkan dan rasakan terhadap kemalangan dengan kesehatan mental

fisiknya. Kenyataannya pikiran dan perasaan individu juga dimediasi

oleh neurotranmitter dan neuromodulator, yang berfungsi mengatur

ketahanan tubuh. Hal ini esensial untuk kesehatan dan panjang umur,

sehingga seseorang dapat menghadapi kesulitan dan mempengaruhi

fungsi-fungsi kekebalan, kesembuhan, dan kerentanan terhadap

penyakit-penyakit yaitu melemahnya kontrol diri yang esensial akan

menimbulkan depresi.

Ketiga penopang teoritis tersebut bersama-sama membentuk adversity

quotient dengan tujuan utama, yaitu : timbulnya pengertian baru,

tersedianya alat ukur dan seperangkat alat untuk meningkatkan

efektivitas seseorang dalam menghadapi segala bentuk kesulitan hidup

(Stoltz, 2005).

7. Cara Mengungkap Adversity Quotient

Adversity quotient dapat diungkap dengan menggunakan skala. Skala

adversity quotient diciptakan oleh Stoltz. Skala sendiri merupakan alat

ukur psikologis yang mengukur aspek-aspek kepribadian yang mempunyai

ciri-ciri seperti tidak dinilai benar atau salahnya dan stimulusnya ambigu.

Aspek-aspek dalam skala adversity quotient ini meliputi control (C) atau

kendali, origin and ownership (O2) atau asal-usul dan pengakuan, reach

(R) atau jangkauan dan endurance (E) atau daya tahan. Jika skor

keseluruhan pada skala adversity quotient ini tinggi maka menunjukkan

adversity quotient yang tinggi sebaliknya, jika skor total yang diperoleh

rendah maka menunjukkan adversity quotient yang rendah pula (Stoltz,

2007).

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

Page 20: BAB II TINJAUAN TEORITISrepository.sari-mutiara.ac.id/355/4/CHAPTER II.pdf · manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih

25

C. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

D. Hipotesa Penelitian

Ha : Ada hubungan emotional intelligence dengan adversity quotient

pada dosen Fakultas Farmasi Dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari

Mutiara Indonesia.

Adversity Quotient Emotional

Intelligence

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA