Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Emotional intelligence (Kecerdasan Emosi)
1. Pengertian Emotional intelligence (Kecerdasan Emosi)
Menurut Shapiro (1998, dalam Sihotang 2011), emotional intelligence
bukanlah merupakan sesuatu yang muncul dengan sendirinya, namun
sesuatu yang didapat dari proses belajar. Setiap manusia memiliki potensi
emotional intelligence yang tidak sama besar, akan tetapi potensi tersebut
dapat diupayakan melalui proses belajar agar terbentuk emotional
intelligence yang lebih optimal. Definisi tersebut menjelaskan bahwa
emosi dapat menjadi suatu potensi bagi individu apabila dapat
mengelolanya dengan baik.
Menurut Lynn (2002), emotional intelligence adalah dimensi kecerdasan
yang bertanggung jawab atas kemampuan kita untuk mengelola diri dan
hubungankita dengan orang lain. Sedangkan Shapiro (1998, dalam
Sihotang 2011) menjelaskan bahwa emotional intelligence adalah suatu
bagian dari kecerdasaan sosial yang berkaitan dengan kemampuan untuk
memantau perasaan dan emosi baik kepada dirinya sendiri maupun orang
lain, memotivasi emosi secara relevan serta mengaplikasikannya ke dalam
suatu pikiran dan tindakan.
Kesimpulan yang dapat diperoleh mengenai pengertian kecerdasan emosi
adalah jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali, merasakan,
mengelola dan memimpin perasaan sendiri dan orang lain serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosial untuk
mengoptimalkan fungsi energi, informasi, hubungan dan pengaruh bagi
pencapaian-pencapaian tujuan yang dikehendaki dan ditetapkan.
2. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi (Kecerdasan Emosi)
Sampai sekarang belum ada alat ukur yang dapat digunakan untuk
mengukur kecerdasan emosi seseorang. Walaupun demikian, ada beberapa
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
7
ciri-ciri yang mengindikasi seseorang memiliki kecerdasan emosional.
Menurut Goleman (2007) menyatakan bahwa secara umum ciri-ciri
seseorang memiliki kecerdasan emosi adalah mampu memotivasi diri
sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan
tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir serta berempati
danberdoa. Lebih lanjut Goleman (2007) merinci lagi aspek-aspek
kecerdasan emosi secara khusus sebagai berikut:
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Aspek mengenali emosi diri
terjadi dari: kesadaran diri, penilaian diri, dan percaya diri. Kemampuan
ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi
menyebutkan bahwa kesadaran diri merupakan kesadaran seseorang
akan emosinya sendiri.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga
tercapai keseimbangan dalam diri individu.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Dalam mengerjakan sesuatu, memotivasi diri sendiri adalah salah satu
kunci keberhasilan. Mampu menata emosi guna mencapai tujuan yang
diinginkan. Kendali diri secara emosi, menahan diri terhadap kepuasan
dan megendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan di segala
bidang.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan mengenali emosi orang lain sangat bergantung pada
kesadaran diri emosi. Empati merupakan salah salah satu kemampuan
mengenali emosi orang lain, dengan ikut merasakan apa yang dialami
oleh orang lain. Menurut Goleman (2007) kemampuan seseorang untuk
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
8
mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan empati seseorang.
Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan mengisyaratkan apa yang
dibutuhkan oleh orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut
pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih
mampu untuk mendengarkan orang lain.
e. Membina Hubungan Dengan Orang Lain
Kemampuan membina hubungan sebagian besar merupakan
keterampilan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini merupakan
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan
keberhasilan antar pribadi. Orang yang dapat membina hubungan
dengan orang lain akan sukses dalam bidang apapun yang
mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.
3. Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting
penunjangnya. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain :
a. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang. Setiap
manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat
sistem saraf pengatur emosi atau lebih dikenal dengan otak emosional.
Otak emosional meliputi keadaan amigdala, neokorteks, sistem limbik,
lobus prefrontal dan keadaan lain yang lebih kompleks dalam otak
emosional.
b. Faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang berasal dari luar diri
seseorang. Faktor eksternal kecerdasan emosi adalah faktor yang datang
dari luar dan mempengaruhi perubahan sikap. Pengaruh tersebut dapat
berupa perorangan atau secara kelompok. Perorangan mempengaruhi
kelompok atau kelompok mempengaruhi perorangan. Hal ini lebih
memicu pada lingkungan. Seseorang akan memiliki kecerdasan emosi
yang berbeda-beda. Ada yang rendah, sedang maupun tinggi.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
9
Goleman (2007) megemukakan ciri-ciri kecerdasan emosi yang tinggi
antara lain :
a. Optimal dan selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi
dalam hidup. Seperti menangani peristiwa dalam hidupnya dan
menangani tekanan-tekanan masalah pribadi yang dihadapi.
b. Terampil dalam membina emosi
Terampil di dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi
dan kesadaran emosi terhadap orang lain.
c. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi meliputi : intensionalitas,
kreativitas, ketangguhan, hubungan antar pribadi, ketidak puasan
konstruktif
d. Optimal pada emosi belas kasihan atau empati, intuisi, kepercayaaan,
daya pribadi, dan integritas.
e. Optimal pada kesehatan secara umum kualitas hidup dan kinerja yang
optimal.
4. Kategori Emotional intelligence
Emotional intelligence seseorang dapat pula dikategorikan seperti halnya
kecerdasan inteligensi. Tetapi kategori tersebut hanya dapat diketahui
setelah seseorang melakukan tes kecerdasan emosi. Kategorisasi
kecerdasan emosi akan diketahui pada skor tertentu, tergantung pada jenis
kecerdasan emosinya.
Adapun ciri-ciri seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi apabila ia secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka.Tidak
mudah takut atau gelisah, mampu menyesuaikan diri dengan beban stres.
Memiliki kemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang
atau permasalahan, untuk mengambil tanggung jawab dan memiliki
pandangan moral. Kehidupan emosional mereka kaya, tetapi wajar,
memiliki rasa nyaman terhadap diri sendiri, orang lain sertalingkungannya
(Goleman, 2007).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
10
Seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi rendah apabila seseorang
tersebut tidak memiliki keseimbangan emosi, bersifat egois, berorientasi
pada kepentingan sendiri. Tidak dapat menyesuaian diri dengan beban
yang sedang dihadapi, selalu gelisah. Keegoisan menyebabkan seseorang
kurang mampu bergaul dengan orang-orang disekitarnya. Tidak memiliki
penguasaan diri, cenderung menjadi budak nafsu dan amarah. Mudah
putus asa dan tenggelam dalam kemurungan (Goleman, 2007).
5. Emotional Intelligence Dosen
Emotional intelligence memegang peranan penting dalam bertanggung
jawab atas keberhasilan dalam hidup dan psikologis yang memainkan
peran penting dalam terbentuknya interaksi antar individu dalam
lingkungan kerja (Oginawati, 2011). Penelitian tentang kecerdasan
emosional guru dilakukan oleh Kusmawati (2011) mengenai hubungan
kecerdasan emosional dengan stress kerja guru di SMP Negeri 3 Jakarta.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukan ada hubungan yang bermakna
antara kecerdasan emosional dengan stress kerja guru di SMP Negeri 3
Medan.
Kemampuan untuk mengenal emosi orang lain dan kemampuan untuk
mengatur emosi diri sendiri sangat penting dalam pekerjaan sebagai dosen
(Salovey dan Mayer, 2013). Dalam keseharian nya dosen cenderung
melibatkan emosi di dalamnya, salah satu perwujudan pentingnya
kecerdasan emosi dalam memberikan didikan pada mahasiswa adalah
bagaimana kemampuan dosen dalam mengekspresikan perasaan positif
maupun negatif terhadap berbagai tingkah laku mahasiswa.
B. Konsep Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity Quotient
Adversity sendiri bila diartikan dalam bahasa Indonesia bermakna
kesulitan atau kemalangan, dan dapat diartikan sebagai suatu kondisi
ketidak bahagiaan, kesulitan, atau ketidak beruntungan. Menurut Hawadi
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
11
(2013) istilah adversity dalam kajian psikologi didefinisikan sebagai
tantangan dalam kehidupan.
Menurut Leman (2011) mendefinisikan adversity quotient secara ringkas,
yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah. Beberapa
definisi di atas yang cukup beragam, terdapat fokus atau titik tekan, yaitu
kemampuan yang dimiliki seseorang, baik fisik ataupun psikis dalam
menghadapi problematika atau permasalahan yang sedang dialami.
Sebagaimana yang diungkapkan Stoltz (2005) adversity quotient sebagai
kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara
teratur. Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan
dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap
berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang
sedang terjadi. Adversity Quotient (AQ) adalah bentuk kecerdasan yang
berupa kemampuan dalam menghadapi kesulitan dalam keadaan sukses
(Habsari, 2012). Kecerdasan Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan
yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan
hidup (Stoltz, 2005).
Menurut Habsari (2012) dalam adversity quotient yang menjadi sorotan
adalah kemampuan seseorang, bagaimana individu tersebut bertahan
ketika dia menghadapi kesulitan. Dengan demikian, adversity quotient
mampu memprediksi seseorang atau individu pada tampilan motivasi,
pemberdayaan, kreativitas, produktivitas, pembelajaran, energi, harapan,
kegembiraan, vitalitas dan kesenangan, kesehatan mental, kesehatan
jasmani, daya tahan, fleksibilitas, perbaikan sikap, daya hidup dan respon
terhadap perubahan (Stoltz, 2005).
Menurut Stoltz (2005), kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan
terutama ditentukan oleh tingkat adversity quotient. Adversity quotient
tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu :
a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan.
b. Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
12
c. Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap
kesulitan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa adversity
quotient merupakan suatu kemampuan individu untuk dapat bertahan
dalam menghadapi segala macam kesulitan sampai menemukan jalan
keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi hambatan
dan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan sikap terhadap kesulitan
tersebut.
2. Tipe-tipe Adversity Quotient
Menurut Stoltz (2005) mengatakan bahwa kita dilahirkan dengan satu
dorongan inti yang manusiawi untuk terus mendaki. Dorongan mendaki
artinya mengerakkan tujuan hidup kedepan dan merupakan perlombaan
naluriah kita melawan waktu dalam menyelesaikan tugas sebanyak
mungkin, baik tugas tertulis maupun tidak tertulis, dengan megerjakan
semampu kita dalam batas waktu yang ditentukan. Berdasarkan hal
tersebut, Stoltz (2005) kemudian mengelompokkan beberapa individu
berdasarkan pada sebuah kisah para pendaki gunung yang hendak
menaklukan puncak gunung. Stoltz (2005) mengemukakan bahwa ada
pendaki yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa
cukup puas sampai pada ketinggian tertentu dan ada pula yang benar-benar
berkeinginan menaklukan puncak tersebut. Adapun pengelompokan
tersebut merupakan bagian dari adversity quotient, antara lain (Stoltz,
2005) :
a. Mereka Yang Berhenti (Quitters)
Quitters adalah orang-orang yang berhenti ditengah pendakian.
Kelompok individu seperti ini gampang putus asa, mudah menyerah,
mudah puas dengan pemuas kebutuhan dasar fisiologis saja, cenderung
pasif, tidak bergairah untuk mencapai puncak keberhasilan. Kelompok
ini cenderung menolak perubahan karena kapasitasnya yang minimal,
sehingga dianggap memiliki nilai adversity quotient yang rendah.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
13
b. Mereka Yang Berkemah (Campers)
Kelompok individu yang pergi tidak seberapa jauh dan lalu berkata,
sejauh ini sajalah saya mampu mendaki sehingga tidak mencapai
puncak, sudah puas dengan apa yang dicapai. Kelompok individu
seperti ini yang sedikit lebih baik dari quitters, sehingga kelompok ini
dianggap memiliki nilai adversity quotient yang lumayan tinggi atau
sedang, yaitu masih mengusahakan terpenuhinya kebutuhan rasa aman
dan keamanan dan kebersamaan, serta masih bisa melihat dan
merasakan tantangan pada skala hirarki Maslow. Kelompok ini juga
tidak tinggi kapasitasnya untuk perubahan, karena terdorong oleh
ketakutan dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan. Namun,
dalam menghadapi kesulitan kelompok ini akan menimbang resiko dan
imbalan, sehingga tak pernah mencapai apa yang seharusnya dapat
tercapai dengan potensinya.
c. Pendaki (Climbers)
Climbers yaitu orang yang selalu berupaya mencapai puncak
pendakian yaitu kebutuhan aktualisasi diri pada skala kebutuhan
Maslow serta siap menghadapi berbagai rintangan. Kelompok ini
memang menantang perubahan-perubahan dan kesulitan ataupun krisis
yang akan dihadapi walaupun perlu banyak energi, dedikasi dan
pengorbanan. Pada kelompok ini dianggap memiliki nilau adversity
quotient yang tinggi.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
14
Gambar 2.1 Adversity Quotient
Sumber : Stoltz (2005)
Menurut Stoltz (2005) manusia memiliki respon yang berbeda-beda dalam
usahanya mencapai keberhasilan. Dorongan untuk mencapai keberhasilan
disebut dapat dilihat sama halnya seperti karakter sejumlah orang dalam
mendaki sebuah gunung. Sosok quitters mempunyai kemampuan kecil
atau bahkan tidak mempunyai sama sekali. Namun, dengan bantuan
mereka dapat dibawa kembali untuk menyalakan dorongan tersebut.
Campers adalah sosok yang mungkin telah menghadapi cukup banyak
kesulitan sampai menemukan tempat berkemah di gunung. Kesulitan ini
jugalah yang pada akhirnya mendorong campers untuk
mempertimbangkan berbagai resiko dan imbalannya, yang akhirnya
menghentikan pendakiannya. Campers hidup dengan keyakinan bahwa
setelah beberapa tahun atau setelah melakukan sejumlah usaha, hidup
seharusnya relatif bebas dari kesulitan. Campers yang berkemah secara
permanen harus membayar mahal sekali, karena mereka tidak akan pernah
tahu menyelesaikan apa yang sebetulnya bisa mereka kerjakan.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
15
Climbers tidak asing terhadap hal yang sulit. Kehidupan mereka memang
menghadapi dan mengatasi arus rintangan yang tiada hentinya. Oleh
karena itu, kebalikan dari campers dan quitters. Climbers tidak
melanjutkan pendakian justru karna kurangnya tantangan. Climbers
memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup. Jadi, menghindari
kesulitan sama saja dengan menghindari kehidupan. Kebanyakan diantara
kita mengetahui apa yang dibutuhkan supaya bisa sukses. Kita diberkahi
berbagai macam unsur penting untuk mencapi kesuksesan. Tetapi,
kenyataannya adalah jika seseorang memiliki adversity quotient rendah,
maka tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam kesulitan,
potensinya juga akan tetap kerdil. Sebaliknya, orang dengan AQ yang
cukup tinggi akan bertahan dan berkembang pesat atau sukses (Stoltz,
2005).
Perawat yang memiliki jiwa climbers cenderung selalu berupaya mencapai
puncak pendakian yaitu kebutuhan aktualisasi diri pada skala kebutuhan
Maslow yang siap menghadapi berbagai rintangan. Perawat seperti ini
memang menantang perubahan-perubahan. Kesulitan ataupun krisis akan
dihadapi walaupun perlu banyak energi, dedikasi dan pengorbanan.
perawat yang mempunyai jiwa climbers mempunyai semangat untuk
berprestasi, meraih apa yang belum diraih dan selalu merasa yakin dengan
dirinya dalam melakukan yang terbaik untuknya (Stoltz, 2005).
3. Dimensi-Dimensi Adversity Quotient
Stoltz (2005) menyebutkan ada empat dimensi yang menyusun adversity
quotient seseorang. Empat dimensi ini adalah dasar untuk menentukan
tingkat adversity quotient seseorang. Empat dimensi tersebut dijelaskan
sebagai berikut (Stoltz, 2005) :
a. Kendali Diri (Control)
Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali
yang dapat kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan
kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana
individu dapat merasakan bahwa kendali tersebut berperan dalam
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
16
peristiwa yang menimbulkan kesulitan, yang artinya kemampuan
individu dalam mempengaruhi secara positif serta mampu
mengendalikan respon terhadap sebuah situasi yang dialami. Dimensi
ini memiliki dua fase yaitu pertama, sejauh mana seseorang mampu
mempengaruhi secara positif suatu situasi. Kedua, yaitu sejauh mana
seseorang mampu mengendalikan respon terhadap suatu situasi.
Individu yang AQ nya cukup tinggi akan merasakan kendali yang lebih
besar atas berbagai peristiwa dalam kesehariannya dibandingkan
dengan individu yang lain dengan AQ yang rendah. Individu-individu
yang nilai AQ tinggi relatif kebal terhadap ketidakberdayaan. Individu
ini merasakan tingkat kendali, tampak mereka dilindungi oleh suatu
medan gaya yang tidak dapat ditembus yang membuat mereka tidak
jatuh kedalam keputusan yang tak berdasar. Merasakan tingkat
kendali, bahkan yang terkecil sekalipun, akan membawa pengaruh
yang radikal dan sangat kuat pada tindakan-tindakan serta pikiran-
pikiran yang mengikutinya.
b. Asal-Usul dan Pengakuan (Origin dan Ownership)
Asal- usul dan pengakuan yaitu suatu kemampuan individu dalam
menempatkan perasaan dirinya dengan berani menanggung akibat dari
situasi yang ada, sehingga menciptakan pembelajaran dalam
melakukan perbaikan atas masalah yang terjadi. Dimensi ini
mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan
sejauh mana seseorang menganggap dirinya sebagai penyebab dan asal
usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan sebagainya.
Dimensi ini juga mengukur sejauh mana seseorang menanggung akibat
dari situasi saat itu, tanpa mempermasalahkan penyebabnya dan
dimensi ini mempunyai keterkaitan dengan rasa bersalah.
Individu yang AQ nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah
yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi.
Rasa bersalah yang adil dan tepat diperlukan untuk menciptakan
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
17
pembelajaran yang kritis atau lingkaran umpan balik yang dibutuhkan
untuk melakukan perbaikan secara terus menerus. Kemampuan untuk
menilai apa yang dilakukan dengan benar atau salah dan bagaimana
memperbaikinya merupakan hal yang mendasar untuk
mengembangkan pribadi.
c. Jangkauan (Reach)
Dimensi ini merupakan bagian dari AQ yang mengajukan pertanyaan
sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan menjangkau bagian-bagian
lain dari kehidupan individu seperti hambatan akibat panik, hambatan
akibat malas dan sebagainya. Kemampuan individu dalam menjangkau
dan membatasi masalah agar tidak menjangkau bidang-bidang yang
lain dimensi ini melihat sejauh mana individu membiarkan
kemalangan menjangkau bidang lain pekerjaan dan hidup individu.
Respon dengan AQ rendah akan membuat kesulitan dalam segi-segi
yang lain dari kehidupan individu, semakin besar pula kemungkinan
individu menganggap peristiwa buruk sebagai bencana dan
membiarkannya meluas, serta menganggu kebahagiaan dan
ketenangan pikiran individu saat prosesnya berlangsung. Sebaliknya,
individu yang memiliki AQ yang tinggi relatif mampu membatasi
jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi. Misalnya
adalah sebuah konflik, dimana suatu peristiwa itu mungkin akan
melibatkan komitmen dan tindakan lebih lanjut, bukan berarti hidup
akan hancur.
d. Daya Tahan (Endurance)
Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan, yaitu dimensi yang
mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama penyebab
kesulitan itu akan terus berlangsung dan bagaimana tanggapan
individu terhadap waktu dalam menyelesaikan masalah, seperti waktu
bukan masalah. Dimensi ini mengukur kemampuan seseorang dalam
menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
18
Daya tahan yaitu kemampuan individu dalam mempersepsi kesulitan,
dan kekuatan dalam menghadapi kesulitan tersebut dengan
menciptakan ide dalam penyelesaian masalah sehingga ketegaran hati
dan keberanian dalam penyeleasaian masalah dapat terwujud di
dimensi ini, berupaya melihat berapa lama seseorang mempersepsi
kemalangan ini akan berlangsung. Individu yang mempunyai AQ
rendah mempunyai kemungkinan yang besar untuk menganggap
kesulitan dan penyebabnya akan berlangsung lama, hal ini akan
berakibat pada keraguan (pesimis) individu dan ketidak berdayaan.
4. Peran Adversity Quotient Dalam Kehidupan
Menurut Wangsadinata & Suprayitno (2008) bahwa peningkatan adversity
quotient menjadi penting, karena dapat memperbaiki ketahanan seseorang
untuk menghadapi berbagai keadaan, baik itu keadaan yang
menyenangkan maupun yang sulit. Stoltz (2005) mengindikasikan bahwa
adversity quotient mempunyai kontribusi yang sangat besar karena faktor-
faktor kesuksesan dalam hidup, karena dipengaruhi oleh kemampuan
pengendalian serta cara kita merespon kesulitan yang diperlukan untuk
meraih dan menyelesaikan tantangan. Peran adversity quotient dalam
kehidupan sehari-hari adalah (Stoltz, 2005) :
a. Daya Saing
Menurut penelitian Jasson Stterfield dan Martin Seligman, terhadap
retorika Saddan Hussen dan Josh Bush, menemukan bahwa orang-
orang yang merespon kesulitan secara lebih optimis, bisa diramalkan
akan bisa bersikap lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko,
sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan
lebih banyak sikap pasif dan berhati-hati.
b. Produktifitas
Dalam sejumlah penelitian yang dilakukan di perusahaan-perusahaan,
orang yang merespon kesulitan secara destruktif terlihat kurang
produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif. Selligman
membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan dengan baik
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
19
menjual lebih sedikit, kurang berproduksi, dan kinerjanya lebih buruk
daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik.
c. Kreativitas
Inovasi merupakan tindakan yang berdasarkan suatu harapan. Inovasi
membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada
dapat menjadi ada. Menurut Joel Barker, kreativitas juga muncul dari
keputusasaan. Oleh karena itu, kreatifitas menuntut kemampuan untuk
mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal- hal yang tidak pasti.
Saya telah mengamati bahwa ketidakberdayaan yang dipelajari itu bisa
menghancurkan kreativitas orang-orang yang cemerlang dan berbakat.
Orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak
mampu bertindak kreatif.
d. Motivasi
Dalam sebuah perusahaan farmasi seorang direktur mengurutkan
timnya sesuai dengan motivasi mereka yang terlihat. Kemudian
mengukur AQ anggota timnya tanpa terkecuali baik berdasarkan
pekerjaan harian maupun untuk jangka panjang, mereka yang adversity
quotient tinggi dianggap sebagai orang–orang yang paling memiliki
motivasi.
e. Mengambil Resiko
Dengan tiadanya kemampuan memegang kendali, tidak ada alasan
untuk mengambil resiko. Orang-orang yang merespon kesulitan secara
lebih konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko. Resiko
merupakan aspek esensial dalam mengambil sebuah tantangan.
f. Perbaikan
Kita berada di era yang terus-menerus melakukan perbaikan supaya
bisa bertahan hidup. Apakah itu dalam suatu menemukan penyebab-
penyebab berbagai macam kondisi medis, banyak yang menemukan
dirinya memasuki wilayah baru dan mempertanyakan cara-cara
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
20
berpikir lama. Perbaikan sangat diperlukan dalam upaya
mempertahankan hidup. Diperlukan perbaikan untuk mencegah supaya
tidak ketinggalan zaman dalam karir dan hubungan- hubungan dengan
orang lain.
Persepsi kendali atas kehidupan anda memainkan peran sentral dalam
kesehatan emosional dan jasmaniah anda. Cara anda merepon peristiwa-
peristiwa dalam hidup bisa menimbulkan akibat-akibat yang mendalam
terhadap kesehatan dan kemampuan anda dalam berproses. Emosi dan
pola-pola berpikir memainkan peran yang sangat penting dalam kesehatan
mental dan fisik. Dr. Steven Locke telah melakukan penelitian pada
sekelompok mahasiswa sarjana muda dari Harvard untuk mengetahui
tingkat stres yang diderita, bagaimana mereka merespon kesulitan dan
kekebalan mereka. Dia menemukan bahwa mereka yang menghadapi
dengan buruk, yaitu mahasiswa-mahasiswa yang melaporkan tingginya
tingkat depresi serta kecemasan sebagai respon terhadap stres (salah satu
bentuk kesulitan), memiliki sel-sel pembunuh alami yang memang lebih
lemah. Bagaimana seseorang merespon kesulitan akan mempengaruhi
komposisi kimiawi serta kesehatan fungsi-fungsi kekebalannya (Stoltz,
2005).
5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adversity Quotient
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adversity quotient
seseorang. Stoltz (2005) mengatakan faktor-faktor ini mencakup semua
yang deperlukan seseorang untuk mendaki, yaitu:
a. Daya Saing
Berdasarkan penelitian oleh Satterfield dan Seligman (Stoltz, 2005)
pada saat perang Teluk, mereka menemukan bahwa orang-orang yang
merespon kesulitan secara optimis bias diramalkan akan bersikap lebih
agresif dan mengambil lebih banyak resiko, dibanding orang yang
pesimis. Orang-orang yang bereaksi secara konstruktif terhadap
kesulitan lebih tangkas dalam memelihara energi, fokus, dan tenaga
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
21
yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Persaingan sebagian
besar berkaitan dengan harapan, kegesitan, dan keuletan, yang sangat
ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan kegagalan
dalam hidupnya.
b. Produktivitas
Dalam penelitiannya di Metropolitan Life Insurance Company,
Seligman membuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan
dengan baik menjual lebih sedikit, kurang produktif, dan kinerjanya
lebih buruk dari pada mereka yang merespon kesulitan dengan baik
(Stoltz, 2005).
c. Kreativitas
Inovasi pada intinya merupakan tindakan berdasarkan suatu harapan.
Inovasi membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak
ada dapat menjadi ada. Menurut Joel Barker dalam Stoltz (2005)
kreativitas muncul dari keputusasaan. Oleh karena itu, kreativitas
menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh
hal-hal yang tidak pasti. Orang-orang yang tidak mampu menghadapi
kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif.
d. Motivasi
Stoltz (2005) pernah melakukan pengukuran adversity quotient
terhadap perusahaan farmasi. Ia meminta direktur perusahaan itu untuk
mengurutkan timnya sesuai dengan motivasi mereka yang terlihat. Lalu
ia mengukur anggota-anggota tim tersebut. Tanpa kecuali, baik
berdasarkan pekerjaan harian maupun untuk jangka panjang. Hasilnya,
mereka yang dianggap sebagai orang yang paling memiliki motivasi
ternyata memiliki AQ yang tinggi.
e. Mengambil Resiko
Dengan tiadanya kemampuan untuk memegang kendali, tidak ada
alasan untuk mengambil resiko. Sebagaimana telah dibuktikan oleh
Satterfield & Seligman dalam Stoltz (2005), orang- orang yang
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
22
merespons kesulitan secara lebih konstruktuf bersedia mengambil lebih
banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial dari pendakian.
f. Perbaikan
Kita berada dalam era yang terus menerus melakukan perbaikan agar
dapat bertahan hidup, baik itu di dalam pekerjaan maupun dalam
kehidupan pribadi. Stoltz (2005) telah melakukan pengukuran terhadap
AQ para perenang. Ia menemukan bahwa orang yang memiliki AQ
lebih tinggi menjadi lebih baik sedangkan orang yang memiliki AQ
rendah menjadil ebih buruk.
g. Ketekunan
Ketekunan adalah kemampuan untuk terus menerus berusaha, bahkan
pada saat dihadapkan pada kemunduran atau kegagalan. Seligman
dalam Stoltz (2005) membuktikan bahwa tenaga penjual, kadetmiliter,
mahasiswa, dan tim-tim olahraga yang merespons kesulitan dengan
baik akan pulih dari kekalahan dan mampu bertahan.
h. Belajar
Seligman dalam Stoltz (2005) membuktikan bahwa orang-orang yang
pesimis merespons kesulitan sebagai hal yang permanen, pribadi, dan
meluas. Stoltz (2005) membuktikan bahwa perawat yang memiliki
respons pesimis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan
berprestasi jika dibandingkan dengan perawat yang memiliki rasa
optimis. Banyak hal dan masalah yang dapat merintangi seorang
perawat dalam meraih impian dan cita-citanya. Masalah-masalah yang
menjadi rintangan itu sangat beranekaragam, baik dari dalam diri
perawat maupun dari luar dirinya. Seorang perawat baru dapat
dikatakan berhasil apa bila dapat meraih prestasi yang gemilang.
Dengan adanya daya juang dan keuletan dalam menghadapi stres dalam
pekerjaan diharapkan seorang perawat mampu meraih prestasi yang
baik.
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
23
6. Teori-Teori Pendukung Adversity Quotient
Adversity Quotient dibangun dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu
pengetahuan (Stoltz, 2005), yaitu :
a. Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana
seseorang memperoleh, mentransformasikan, mempresentasikan,
menyimpan, dan menggali kembali pengetahuan, dan bagaimana
pengetahuan tersebut dapat dipakai untuk merespon atau memecahkan
kesulitan, berfikir dan berbahasa. Orang yang merespon atau
menganggap kesulitan itu abadi, maka jangkauan kendali mereka akan
menderita, sedangkan yang menganggap kesulitan itu mudah berlalu,
maka ia akan tumbuh maju dengan pesat. Respon seseorang terhadap
kesulitan mempengaruhi kinerja, dan kesuksesan. Strategi berespon
terhadap kemalangan dengan pola-pola tersebut akan menetap
sepanjang hidup seseorang (Lasmono, 2013).
b. Neuropsikologi
Neuropsikologi adalah bagian psikologi terapan yang berhubungan
dengan bagaimana perilaku dipengaruhi oleh disfungsi otak. Ilmu ini
menyumbangkan pengetahuan bahwa otak secara ideal dilengkapi
sarana pembentuk kebiasaan-kebiasaan, sehingga otak segera dapat
diinterupsi dan diubah. Berdasarkan penjelasan tersebut (Lasmono,
2013) menjelaskan bahwa kebiasaan seseorang dalam merespon
terhadap kesulitan dapat diinterupsi dan segera diubah. Dengan
demikian, kebiasaan baru tumbuh dan berkembang dengan baik.
Neuropsikologi merupakan speciality (bidang keahlian khusus), tetapi
juga dapat dilihat sebagai bagian psikologi kesehatan. Neuropsikologi
maupun psikologi kesehatan berada di bawah payung besar psikologi
klinis. Neuropsikologi memiliki representasi yang tersebar luas dalam
tim-tim multi disiplin atau antar disiplin sebagai bagian dari pendekatan
medis kontemporer terhadap penanganan seorang pasien (Nelson dan
Adams, 1997). Gambar 3 menunjukkan bagaimana teknik-teknik
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
24
asesmen dari neuropsikologi bersinggungan dan saling tumpang-tindih
dengan disiplin-disiplin lain yang berdekatan.
c. Psikoneuro imunologi
Ilmu ini menyumbangkan bukti-bukti adanya hubungan fungsional
antara otak dan sistem kekebalan, hubungan antara apa yang individu
pikirkan dan rasakan terhadap kemalangan dengan kesehatan mental
fisiknya. Kenyataannya pikiran dan perasaan individu juga dimediasi
oleh neurotranmitter dan neuromodulator, yang berfungsi mengatur
ketahanan tubuh. Hal ini esensial untuk kesehatan dan panjang umur,
sehingga seseorang dapat menghadapi kesulitan dan mempengaruhi
fungsi-fungsi kekebalan, kesembuhan, dan kerentanan terhadap
penyakit-penyakit yaitu melemahnya kontrol diri yang esensial akan
menimbulkan depresi.
Ketiga penopang teoritis tersebut bersama-sama membentuk adversity
quotient dengan tujuan utama, yaitu : timbulnya pengertian baru,
tersedianya alat ukur dan seperangkat alat untuk meningkatkan
efektivitas seseorang dalam menghadapi segala bentuk kesulitan hidup
(Stoltz, 2005).
7. Cara Mengungkap Adversity Quotient
Adversity quotient dapat diungkap dengan menggunakan skala. Skala
adversity quotient diciptakan oleh Stoltz. Skala sendiri merupakan alat
ukur psikologis yang mengukur aspek-aspek kepribadian yang mempunyai
ciri-ciri seperti tidak dinilai benar atau salahnya dan stimulusnya ambigu.
Aspek-aspek dalam skala adversity quotient ini meliputi control (C) atau
kendali, origin and ownership (O2) atau asal-usul dan pengakuan, reach
(R) atau jangkauan dan endurance (E) atau daya tahan. Jika skor
keseluruhan pada skala adversity quotient ini tinggi maka menunjukkan
adversity quotient yang tinggi sebaliknya, jika skor total yang diperoleh
rendah maka menunjukkan adversity quotient yang rendah pula (Stoltz,
2007).
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
25
C. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
D. Hipotesa Penelitian
Ha : Ada hubungan emotional intelligence dengan adversity quotient
pada dosen Fakultas Farmasi Dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari
Mutiara Indonesia.
Adversity Quotient Emotional
Intelligence
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA