Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Masyarakat dan Desa dalam Ilmu Sosiologi
1. Masyarakat dalam Sosiologi
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat
karena sistem tertentu, taradisi tertentu, konvensi dan hukum
tertentu yang sama, serta mengarah pada kehidupan kolektif.
Sistem dalam masyarakat saling berhubungan antara satu manusia
dengan manusia lainnya yang membentuk suatu kesatuan.
Masyarakat berfungsi sebagai khalifah dimuka bumi. Masyarakat
terbagi menjadi dua golongan utama, yakni penguasa atau
pengekploitasi dan yang dikuasai atau dieksploitasi. Kepribadian
masyarakat terbentuk melalui penggabungan individu-individu
dan aksi-raeksi budaya mereka.1 Menurut Karl Marx masyarakat
adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi
atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-
kelompok yang terbagi secara ekonomi. Meurut Emile Durkhei
1 https://id.m.wikipedia.org/wiki/masyarakat
masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif pribadi-pribadi
yang merupakan anggotanya. Menurut Paul B. Horton dan C. Hunt
masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri,
hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di
suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta
melakukan sebagian kegiatan di dalam kelompok atau kumpulan
manusia tersebut.2
Dari pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa
masyarakat adalah sebuah kelompok individu yang ada dalam
suatu kehidupan dan memiliki interaksi dengan individu-individu
lainnya. Dapat kita lihat misalnya ada; masyarakat desa,
masyarakat kota, masyarakat Indonesia, masyarakat dunia,
masyarakat Jawa, masyarakat Islam, masyarakat pendidikan,
masyarakat politik dan lain sebagainya. Semua jenis masyarakat
tersebut pastilah terdiri dari unsur-unsur yang berbeda-beda tetapi
mereka menyatu dalam satu tatanan sebagai wujud dari kehendak
bersama.
2Muhammad Ikbal Bahua, Perencanaan Partisipatif Pembangunan
masyarakat, (Gorontalo: Ideas Publishing 2018), 10.
2. Desa dalam Sosiologi
Menurut definisi universal, desa adalah sebuah aglomerasi
pemukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, desa adalah
pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah
kecamatan, yang dipimpin oleh kepala desa. Sejak berlakukannya
otonomi daerah, istilah desa dapat disebut dengan nama lainnya,
misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah negari, dan di
Papua disebut dengan istilah kampung. Begitu pula, segala istilah
dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan
karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah
satu pangkuan dan penghormatan pemerintah terhadap asal usul
dan adat istiadat setempat.3 Fakta empirik masa lalu di Indonesia
dapat ditemui banyak kesatuan masyarakat dengan peristilahannya
masing-masing seperti Dusun dan Marga bagi masyarakat
Sumatera Selatan, Dati di Maluku, Negari di Minang atau Wanua
di Minahasa. Pada daerah masyarakat setingkat desa juga memiliki
3Ramandani Wahyu, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: CV Pustaka Setia
2017), 203
berbagai istilah dan keunikan sendiri baik mata pencaharian
maupun adat istiadatnya.4
Menurut peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005
tentang desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
megurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul
adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.5 Menurut
Sutardjo Kartodikusumo, desa adalah suatu kesatuan hukum di
mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa
mengadakan pemerintahan sendiri. Sedangkan menurut Saniyanti
Nurmaharimah, desa merupakan wilayah yang dihuni oleh
masyarakat yang memiliki sistem pemerintahan sendiri.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa desa
adalah perwujudan dan suatu kesatuan sosial yang ada di dalam
kehidupan masyarakat dan pengaruhnya merupakan suatu timbal
4M. Irwan Tahir, “Sejarah Perkembangan Desa di Indonesia : Desa di
Masa Lalu, Masa Kini, dan Bagaimana Masa Depan.” Jurnal Ilmu Pemerintah
38(2012). 5Ramandani wahyu, Ilmu Sosial Dasar...,203.
balik dengan masyarakat lain yang saling menguntungkan. Desa
juga merupakan tempat untuk masyarakat membangun suatu
kesatuan yang berdampak baik bagi semua masyarakat di suatu
desa, dengan adanya desa kita dapat menumbuhkan suatu kesatuan
yang mempererat hubungan antar satu individu dengan individu
lainnya.
B. Pranata Sosial Budaya, Tradisi, Pamali dan Mitos
1. Budaya
Istilah “budaya” (culture) didefinisikan sebagai ‘keseluruhan
cara hidup (way og life) dalam suatu masyarakat tertentu’. Yang
juga tersirat adalah bahwa budaya itu “dipelajari” (learned) dan
“dibagi” atau dipakai bersama (shared) oleh para anggota suatu
masyarakat. Namun demikian, harus diakui bahwa budaya
merupakan suatu konsep yang sangat rumit. Dalam bukunya
Keywords, Raymond Williams, seorang teoris budaya terkemuka,
menyatakan bahwa “Culture is one of two or three complicated
words in the English langugae”.6
6Aniek Rahmaniah, Budaya dan Identitas, (Sido’arjo, Dwiputra
Pustaka Jaya, 2012), hlm.1
Budaya atau culture merupakan istilah yang datang dari
disiplin antropologi sosial. Dalam dunia pendidikan budaya dapat
digunakan sebagai salah satu transmisi pengetahuan, karena
sebenaranya yang tercakup dalam budaya sangatlah luas. Budaya
laksana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun
persepsi, mengindentifikasi apa yang dilihat, mengarahkan fokus
pada suatu hal, serta menghindar dari yang lain. Budaya adalah
suatu pola asumsi dasar yang ditemukan oleh suatu kelompok
tertentu karena mempelajari dan menguasai masalah adaptasi
eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja dengan cukup
baik untuk dipertimbangkan secara layak dan karena itu diajarkan
pada anggota baru sebagai cara yang dipersepsikan, berfikir dan
dirasakan dengan benar dalam hubungan dengan masalah
tersebut.7
7Sumarto, “Budaya, Pemahaman dan Penerapannya: “Aspek Sistem
Religi, Bahasa, Pengetahuan, Sosial, Kesenian dan Teknologi”, “Jurnal Literasiologi 1.2 (2018): 145.
2. Tradisi
Masyarakat Indonesia memiliki keragaman budaya,
memiliki khas, karakteristik, keunikan berdasarkan daerah masing-
masing yang kemudian menghasilkan corak budaya lokal yang
harus dipelihara, dijaga, dan diwariskan kepada generasi saat ini
dan bagi generasi yang akan datang. Nilai-nilai budaya leluhur
pada masa lampau memiliki nilai-nilai yang memberikan manfaat
bagi generasi saat ini yang perlu untuk diketahui oleh masyarakat
pendukung budaya lokal sehingga akan menghasilkan budaya
tradisional daerah (lokal wisdom) sebagai kekayaan aset daerah
yang perlu dilakukan investarisasi, dokumentasi.8
Tradisi (bahasa Inggris: Tradition, “diteruskan”) atau
kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu
yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari
kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari satu Negara,
kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling
mendasar dari tradisi atau adat istiadat adalah adanya informasi
8Misnah, Budaya Tradisi Lisan, (Jawa Tengah, Pena Persada Redaksi,
2019), 1.
yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun
(seringa kali) lisan, berdasarkan kepada kepercayaan terhadap
nenek moyang dan leluhur yang mendahului.9 Tradisi merupakan
hasil cipta dan karya manusia objek material, kepercayaan,
khayalan, kejadian, atau lembaga yang diwariskan dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Selain itu, tradisi juga dapat
diartikan sebagai kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia,
yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi dan reaksi dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut Ven Peursen sebagimana dikutip
oleh Mursal Esten, bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang tak dapat
diubah, tradisi justru dipadukan dengan aneka ragam perbuatan
manusia diangkat dalam keseluruhannya. Ia juga mengatakan
bahwa kebudayaan menceritakan tentang perubahan riwayat
manusia yang selalu memberi wujud kepada pola-pola kebudayaan
yang sudah ada.10
Bagi masyarakat Desa Sususkan tradisi ialah sebuah adat
istiadat yang sudah sangat melekat dan menjadi suatu kebiasaan
9Mursal Esten,Desterlisasi Kebudayaan (Bandung: Angkasa, 1999),
hal. 60 10Mursal Esten,Desterlisasi Kebudayaan...,60
yang tidak dapat ditinggalkan, karna tradisi memang sudah ada
sejak dahulu. Tidak heran jika masyarakat Desa Sususkan sangat
mengharuskan agar selalu mengadakan tradisi rujakan untuk
seseorang yang sedang hamil di usia kandungan tujuh bulan. Tidak
hanya untuk menghormati adat kebiasaan leluhur, tradisi rujakan
juga diyakini dapat memberikan pengaruh besar bagi jabang bayi
dan yang paling utama ialah agar selalu mendapatkan keridhoan
Allah SWT.
3. Pamali
Pamali adalah sesuatu yang tabu atau tidak boleh di langgar
dalam adat masyarakat Sunda, istilah ini biasa disebut dengan
pamali dalam bahasa Sunda. Dalam masyarakat Jawa biasa disebut
dengan ora elok dari bahasa Jawa dan dalam adat etnis Dayak
disebut pali.11 Pamali dalam masyarakat Sunda biasanya bertujuan
supaya hidup kita hati-hati, waspada, saling menghormati, dan
melakukan sesuatu sesuai dengan waktu dan tempatnya. Terlepas
dari mitos-mitos yang ada, sebagian besar pamali sebenarnya bisa
dijelaskan dengan logika dan bermaksud baik, sehingga kita bisa
11https://id.m.wikipedia.org/wiki/pamali
belajar darinya bahwa hukum sebab-akibat itu ada, dan bukan
sekedar mitos. Pamali sebagai salah satu unsur kebudayaan
mempunyai semua unsur yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat
yaitu (1) sistem religi, (2) sistem ilmu pengetahuan,(3) sistem
sosial dan organisasi kemasyarakatan, (4) sistem bahasa, (5)
kesenian, (6) sistem pekerjaan, dan (7) sistem teknologi. Selain
dari ketujuh unsur kebudayaan tersebut, pamali juga mempunyai
nilai-nilai etnopedagogi yang tersembunyi dalam makna-makna
pamali yang ada.12
Sering kali kita mendengar perkataan seseorang “awas...
nanti kualat...” atau didaerah tertentu masyarakat mengenal
dengan istilah “pamali”. Ungkapan tersebut sering kali
dihubungkan dengan sesuatu pekerjaan atau karena ada sesuatu
yang dikait-kaitkan. Semua hal tersebut menjurus kepada sikap
pesimistis dan menerka-nerka suatu takdir yang hanya Allah
berhak menentukan. Seorang muslim wajib menyakini dengan
seyakin-yakinnya, tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa tidak ada
12Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2009), 165.
yang mencipta, mengatur dan berkuasa kecuali Allah semata. Oleh
karena inilah, semua yang terjadi di alam semesta ini adalah
dengan izin dan kehendak Allah Ta’ala semata tidak ada sekutu
baginya. Dalam Q.S. At-taghabun (69) :11
Terjemahannya :
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali
dengan izin Allah, dan barang siapa yang beriman kepada Allah,
niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. At-taghabun (64):11.13
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
pamali memiliki makna tersendiri bagi masyarakat yang masih
menjalankannya. Selain termasuk warisan dari nenek moyang kita,
pamali juga memiliki arti khusus bagi yang mempercayainya dan
juga banyak hal baik didalamnya. Menurut beberapa pendapat
mengatakan bahwa pamali merupakan larangan yang memiliki
makna baik di dalamnya. Larangan yang dimaksud juga tidak
13 Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (2002), 813.
memiliki unsur jahat atau menyimpang dari akidah, tetapi untuk
dapat memberikan unsur baik jika dilaksanakan.
4. Mitos
Terdapat beragam pengertian mitos tetapi dapat
diklasifikasikan pada dua hal, yaitu ada yang dihubungkan dengan
hal yang bersifat tradisional, dan modern. Yang dihubungkan
dengan yang mite (bahasa Belanda: mythe) adalah cerita prosa kata
rakyat yang menceritakan kisah berlatar belakang masa lampau,
mengandung penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan
makhluk di dalamnya, serta dianggap benar-benar terjadi oleh
yang empunya cerita atau penganutnya. Dalam penegrtian yang
lebih luas, mitos dapat mengacu kepada cerita tradisional.14
Pengertian kedua dikemukakan oleh Roland Barthes, menurut
Roland Barthes dalam bukunya yang berjudul Mitologi, mitos
merupakan sistem komunikasi, yakni sebuah pesan. Mitos tidak
bisa mejadi sebuah objek, konsep, atau ide; mitos adalah cara
pemaknaan, sebuah bentuk. Mitos adalah tipe wicara, segala
sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wancana.
14https://id.wikipedia.org/wiki/mitos
Mitos tidak ditentukan oleh objek pesannya, namun oleh cara
mitos mengutarakan pesan sendiri.15
Melalui mitos-mitos manusia dapat serta mengambil bagian
dalam kejadian-kejadian sekitarnya, dan dapat menanggapi daya-
daya kekuatan alam. Adapun fungsi mitos sebagai berikut:
a. Mitos menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-
kekuatan ajaib. Mitos itu tidak memberikan bahan
informasi mengenai keuatan-kekuatan itu, tetapi
mambentuk antusias agar dapat menghayati daya-daya itu
sebagai suatu kekuatan yang mempengaruhi dan
menguasai alam dan kehidupan sukunya.
b. Mitos memberikan jaminan bagi masa kini. Namun juga
dapat diperagakan dalam sebuah tarian, bagaimana pada
jaman dulu para dewa juga mulai menggarap sawahnya
dan memperoleh hasil yang melimpah. Cerita itu seolah-
olah mementaskan kembali suatu peristiwa yang dulu
15Roland Barthes, Mitologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), 186.
pernah terjadi. Dengan demikian dijamin keberhasilan
serupa dewasa ini.
c. Mitos memberikan pengetahuan tentang dunia. Artinya,
fungsi mirip dengan fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat
dalam modern misalnya cerita-cerita terjadinya langit dan
bumi.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
mitos adalah suatu cerita yang paling berharga karena sesuatu yang
suci dan bermakna, sehingga mitos mampu memberikan arah dan
pedoman tingkah laku manusia sehingga mampu bersikap
bijaksana. Namun mitos juga merupakan jawaban dari
penghayatan manusia ketika ilmu pengetahuan belum sanggup
menjelaskan hal-hal yang dianggap supranatural. Mitos
merupakan cerita yang sanggup memberikan arah serta pedoman
dalam kehidupan, karena manusia tidak dapat dilepaskan dengan
mitos begitu saja. Meskipun kebenaran mitos belum menjamin dan
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Menurut pendapat
masyarakat Desa Susukan Kecamatan Tirtayasa Kabupaten
Serang, mitos adalah ungkapan yang dipercayai memiliki makna
tersendiri dalam setiap ungkapannya. Contohnya seperti dalam
tradisi rujakan ini orang yang sedang mengandung jika tidak
memakan kunyit ketika hamil kemungkinan anaknya kelak akan
berkulit hitam, dan jika ketika hamil seorang ibu hamil memakan
kunyit, maka anaknya kelak akan bersih dan cerah. Sebenaranya
mitos ini mengisyaratkan agar mengonsumsi kunyit agar
memberikan kekebalan janin dan ibu agar selalu sehat, karna
memang kunyit dan kencur memiliki khasiat untuk menyahatkan
tubuh.
C. Living Qur’an sebagai Fenomena Keagamaan
Dalam pengunaan istilah living Qur’an. kata living Qur’an
merupakan gabungan dari dua kata yang berbeda. Yaitu ‘living’
berarti hidup dan ‘Qur’an’, yaitu kitab suci umat Islam.16 Adapun
kata living merupakan tren yang berasal dari bahasa Inggris “live”
yang berarti hidup, aktif dan yang hidup. Kata kerja yang berarti
hidup tersebut mendapatkan bubuhan –ing diujungnya (pola verb-
ing) yang dalam gramatika bahasa Inggris disebut dengan present
16Sahiron Syamsyuddin, Ranah-Ranah Penelitian dalam Studi Al
Qur’an dan Hadis,(Yogyakarta: Teras, 2007) XIV.
participle. Kata kerja “live” yang mendapat akhiran –ing ini juga
diposisikan sebagai bentuk present participle yang berfungsi
sebagai adjektif, maka akan berubah fungsi dari kata kerja (verb)
menjadi kata benda (nomina) adjektif. Akhiran –ing yang
berfungsi sebagi adjektif dalam bentuk present participle ini terjadi
pada terem “the living Qur’an (Al-Qur’an yang hidup)”.17 Menurut
Sahiron Syamsudin, living Qur’an adalah teks Al-Qur’an yang
hidup dalam masyarakt, sementara pelembagaan hasil penafsiran
tertentu dalam masyarakat disebut dengan the living Qur’an.
Syamsudin menjelaskan yang dimaksud “teks Al-Qur’an yang
hidup dalam masyarakat” dengan menyatakan:
“Respon masyarakat terhadap teks Al-Qur’an dan hasil
penafsiran seseorang. Termasuk dalam pengertian ‘respon
masyarakat’ adalah resepsi mereka terhadap teks tertentu dan hasil
penafsiran tertentu. Resepsi sosial terhadap Al-Qur’an dapat kita
temui dalam kehidupan sehari-hari, seperti pentradisian
pembacaan surat atau ayat tertentu pada acara dan seremonial
17Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur’an-Hadis,(Ciputat:
Maktabah Darus Sunnah, 2019) hal 20
sosial keagamaan tertentu. Sementara itu, resepsi social hasil
penafsiran tejelma dalam masyarakat, baik dalam skala besar
maupun kecil”.18
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, living Qur’an adalah
kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial
terkait dengan kehadiran Al-Qur’an atau keberadaan Al-Qur’an
disebuah komunitas muslim tertentu atau lain yang berinteraksi
dengannya. Living Qur’an dimulai dari adanya fenomena yang
hidup di tengah masyarakat muslim terkait dengan Al-Qur’an
sebagai obyek studinya sehingga masuk wilayah kajian sosial,
fenomena ini muncul oleh kehadiran Al-Qur’an, maka kemudian
diinisiasikan kedalam studi Al-Qur’an.19 Adapun Al-Qur’an
adalah teks verbatim yang telah ada sejak belasan abad silam, dan
telah mengalami komplesitas interaksi antar umat, tidak hanya
muslim namun juga non-muslim. Tetapi, meski dengan
18 Sahiron Syamsuddi, “Ranah-ranah Penelitian dalam Studi Al-Qur’an
dan Hadis”, dalam M. Mansur dkk, Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
(Yogyakarta: TH Press, 2007), hlm. xiv.)
19Ridhoul Wahidin.”Hidup akrab dengan al-Qur’an: kajian living
Qur’an dan living Hdis pada masyarakat indragiri hilir riau.” Turast: Jurnal Penelitian dan Pengabdian 1.2(2013). 113.
perjalanannya yang relatif panjang namun studi Al-Qur’an yang
berkembang hingga sekarang mayoritas masih berorientasi pada
studi teks, dan belum banyak menyentuh aspek-aspek lain seperti
yang terkait langsung dengan implementasi pemahaman maupun
sikap dan penerimaan umat pembaca terhadapnya.20
Tujuan utama mempelajari Al-Qur’an berkisar pada empat
perkara berikut:
1. Al-Qur’an sebagai petunjuk jalan yang lurus menuju
Allah
2. Membentuk kepribadian muslim yang seimbang
diantaranya adalah:(a) Menanamkan iman yang kaut;
(b) Membekali akal dengan ilmu pengetahuan (c)
Memberi arahan untuk dapat memanfaatkan potensi
yang dimiliki dan sumber-sumber kebaikan yang ada di
dunia; dan (d) Menetapkan undang-undang agar setiap
20 Luqman Abdul Jabbar, Ruqyah Syar’iyyah: Fenomena Muslim
Indonesia Dalam Memfungsikan Al-Qur’an (Studi Kasus Fenomena Ruqyah
Syar’iyyah Pada Umat Islam Di Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2006)
muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif
untuk mencapai kemajuan.
3. Membentukmasyarakat muslim yang betul-betuk
qurani, yaitu masyarakat yang anggotanya terdiri dari
orang-orang yang merupakan penjelma Al-Qur’an
dalam setiap gerak hidupnya. Masyarakat yang diasuh
dan dibimbing dengan arahan Al-Qur’an, hidup di
bawah naungan-Nya, dan berjalan di bawah caghaya-
Nya, seperti masyarakat sahabat.
4. Membimbing umat dalam memerangi kejahiliyahan.
Dari penjelasan empat poin diatas dapat diketahui bahwa
mempelajari Al-Qur’an mempunyai tujuan yang sangat penting
dianatanya agar segala sesuatu yang dilakukan harus selalu
berdasarkan bimbingan Al-Qur’an karena Al-Qur’an merupakan
sumber rujukan utama dalam kehidupan.21
Pada masyarakat modern, orientasi memahami Al-Qur’an
dan interaksi dengan Al-Qur’an bebeda bila dibandingkan dengan
21 http://nabimuhammad.info/2010/02/dasar-dasar-memahami-alquran/
abad lalu pada masa kenabian Nabi Muhammad saw. pada masa
Nabi Muhammad saw, masyarakat Arab langsung berinteraksi
dengan Al-Qur’an bertepatan dengan diturunkan wahyu, dan
mereka langsung meminta Nabi Muhmmad saw, untuk
mengajarkan bacaan Al-Qur’an. Dari sisi Al-Qur’an sebagai kitab
yang memberikan petunjuk kepada manusia sehingga dapat
menjalankan kehidupan sesuai dengan tujuan penciptaan terlihat
dari tiga petunjuk utamanya. Pertama, Al-Qur’an memuat akidah
dan kepercayaan yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan
Allah dan kepastian akan datangnya hari pembalasan. Kedua, Al-
Qur’an memuat syariat dan hukum-hukum dengan jalan
menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia
dalam hubungannya dengan Allah dan sesamanya. Ketiga, Al-
Qur’an memuat petunjuk mengenai akhlak dengan jalan
menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus
diikuti oleh manusia dalam kehidupan secara individual atau
kolektif. Dalam ungkapan yang lebih singkat, Al-Qur’an adalah
petunjuk bagi seluruh manusia ke jalan yang harus ditempuh demi
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak. Bagi umat Islam,
Al-Qur’an, bukan saja sebagai kitab suci yang menjadi pedoman
hidup (dustur), akan tetapi juga sebagai penyembuh penyakit
(syifa), penerang (nur) dan sekaligus kabar gembira (busyra’).
Oleh sebab itu, mereka berusaha untuk berinteraksi dengan Al-
Qur’an dengan cara mengekspresikan melalui lisan, tulisan,
maupun perbuatan, baik berupa pemikiran, pengamalan emosional
maupun spiritual.22
Beberapa bentuk kajian living qur’an sebelumnya
menyebutkan bahwa Al-Qur’an sebelumnya dihidupkan di
masyarakat dapat menjadi sebuah motivasi atau inspirasi tertentu.
Pada peneliian ini berkembang pada sebuah objek penelitian living
Qur’an tidak terbatas pada nilai-nilai Qur’an yang dapat dilihat
secara eksplisit, akan tetapi kajian living Qur’an bisa digunakan
sebagai sebuah piasu analisis untuk melihat fenomena Al-Qur’an
tertentu secara implisit. Kajian living Qur’an pada umumnya
sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa Al-Qur’an
mampu menjadi motivasi atau inspirasi tertentu. Jika, demikian
22Ema suriani, Eksitensi Qur’anic Center Dan Ekspektasi Sebagai
Lokomotif Living Qur’an di IAIN Mataram.” Jurnal Penelitian Keislaman 14.1 (2018), 9.
maka kita dapat melihat adanya Al-Qur’an secara eksplisit.
Misalnya, dalam tradsi pembacaan surat-surat pilihan, maka dapat
dilihat secara langsung adanya ayat-ayat Al-Qur’an disitu nampak
secara jelas. Selain itu juga, misalnya seperti para seniman
kaligrafi Al-Qur’an dalam pembuatan lukisannya, dapat dilihat
secara langsung pada objek kaligrafi. Nilai-nilai Qur’ani dalam
penelitian ini dapat dilihat secara eksplisit pada objek tradisi
rujakan. Pada motif tersebut dapat dilihat dari pembacaan-
pembacaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam
pelaksanaan tradisi rujakan.
Dari pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa living
Qur’an yang meneliti dialektika anatara Al-Qur’an dengan kondisi
realitas realitas sosial di masyarakat. Living Qur’an juga berarti
praktik-praktik pelaksanaan ajaran Al-Qur’an di masyarakat dalam
kehidupan mereka sehari-hari dimana praktik-praktik yang
dilakukan masyarakat tersebut seringkali berbeda dengan muatan
tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat itu sendiri.
D. Pendekatan Living Qur’an
1. Etnografi
Secara harfiah, kata “etnografi” berarti “menulis tentang
orang”. Dalam arti luas, dari berbagai literatur bisa disimpulkan
bahwa etnografi mencakup segala macam kajian atau studi yang
mendalam tentang sekelompok orang dengan tujuan untuk
mendeskripsikan pada dan kegiatan sosio-kultural mereka. Bagi
etnografer, setiap kejadian apa saja ada pola, sistem, rumus, dan
keteraturan yang bisa dipakai untuk menjelaskan kejadian atau
fenomena lainnya.23 Dalam pandangan Duranti, etnografi adalah
deskripsi tertulis mengenai organisasi sosial, aktivitas sosial,
simbol dan sumber material, serta karakteristik praktik
interprestasi suatu kelompok manusia tertentu. Pada dasarnya
perhatian utama penelitian etnografi adalah tentang the way of life
suatu masyarakat. Dalam pandangan Spradley etnografi tidak
hanya memelajari masyarakat, tetapi juga belajar dari masyarakat.
23Mudjia Rahardjo, Mengenal Studi Etnografi, http://repository.uin-
malang.ac.id/1570
Karena esensi penelitian etnografi tidak hanya mengambil
simpulan dan pelajaran sosial dari kebudayaan tersebut.24
Jika disimpulkan, maka hasil akhir dari penelitian etnografi
ini adalah penelitian kualitatif yang meneliti kehidupan
masyarakat suatu kelompok secara ilmiah yang bertujuan untuk
mempelajari, mendeskripsikan, menganalisa, dan menafsirkan
budaya suatu kelompok tersebut dalam hal prilaku, kepercayaan,
bahasa dan pandanagn yang dianut bersama. Pada penelitian ini
berkaitan dengan etnografi, karena tradisi rujakan adalah suatu
budaya/tradisi yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat,
yaitu warga Desa Susukan Kecamatan Tirtayasa Kabupaten
Serang yang memiliki kepercayaan yang sudah ada turun menurun
dianut dan dilakukan bersama sebagi sebuah tradisi.
2. Fenomenologi
Kata ‘Fenomenologi’ dalam bahasa Indonesia berarti ilmu
tentang fenomena. Kata ‘fenomena’ sendiri sangat umum
digunakan dalam kehidupan harian. Orang kebanyakan
24Kamarusdiana, Studi Etnografi dalam Kerangka Masyarakat dan
Budaya.” SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i 6.2 (2019), P.114
mengartikan Fenomenlogi sebagai ‘gejala’.25 Istilah fenomenologi
secara etimologis berasal dari bahasa Yunani. Dari akar kata
“fenomenan” atau “fenomenon” yang secara harfiah berarti
“gejala” atau “apa yang telah nampakkan diri” sehingga nyata bagi
kita. Istilah fenomenologi diperkenalkan oleh Johann Heinrickh
Lambert, tahun 1764. Meskipun demikian Edmund Husserl (1859-
1938) lebih dipandang sebagai bapak fenomenologi, karena
intensitas kajiannya dalam ranah filsafat. Fenomenologi yang kita
kenal melalui Husserl adalah ilmu tentang fenomena.26
Menurut formulasi Husserl, fenomenologi merupakan
sebuah studi tentang struktur kesadaran yang memungkinkan
kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar
dirinya. Studi ini membutuhkan refeleksi tentang isi pikiran
dengan mengesampingkan segalanya. Husserl menyebut tipe
refleksi ini “reduksi fenomenologis”. Karena pikiran bisa
diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan rill, maka
Husserl mencatat bahwa refleksi fenomenologi tidak mengagap
25Jozef R. Raco, Revi Rafael, dkk, Metode Fenomenologi Aplikasi Pada
Entrepreneurship, (Jakarta: PT. Grasindo, 2012), 24. 26Farid Hamid, and M.Si. “Penekatan Fenomenologi.” (2009).
bahwa sesuatu itu ada, namun lebih tepatnya sama dengan
“pengurungan sebuah keberadaan” yaitu mengesampigkan
pertanyaan tetang keberadaan yang rill dari objek yang
dipikirkan.27
Fenomena dalam pendekatan living Qur’an juga dapat
dikatakan sebgai “Qur’anisasi” kehidupan, yang artinya
memasukkan Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an tersebut
dipahami ke dalam semua aspek kehidupan manusia, atau
menjadikan kehidupan manusia sebagai suatu arena untuk
mewujudnya Al-Qur’an di bumi. Al-Qur’anisasi kehidupan
manusia dapat berupa penggunaan ayat-ayat dalam Al-Qur’an
yang diyakini sebagai mempunyai ‘kekuatan ghaib’ tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu, misalnya membuat sesorang menjadi
terlihat ‘sakti’ karena tidak dapat dilukai dengan senjata tajam
manapun. Ayat-ayat Al-Qur’an di sini memang tidak lagi terlihat
sebagi “petunjuk”, perintah, larangan melakukan sesuatu atau
cerita mengenai sesuatu, tetapi lebih tampak sebagi ‘mantra’ yang
27Maraimbang, Filsafat Fenomenologi, (Medan: Penerbit Panjiaswaja
Press, 2010), 8.
jika dibaca berulang kali sampai mencapai jumlah tertentu akan
dapat memberikan hasil-hasil tertentu seperti yang diinginkan.28
3. Sosial Pengetahuan
Secara sederhana sosiologi dapat diartikan sebagai ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan, serta bagaimana gejala sosial lainnya yang saling
berhubungan. Dengan ilmu ini suatu fenomena dapat dianalisa
dengan menghadirkan faktor-faktor yang mendorong terjadinya
hubungan tersebut, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan
yang mendasari terjadinya proses tersebut, saat ini teori-teori
sosiologi dapat juga dijadikan sebagai salah satu pendekatan untuk
memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena
banyaknya bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara
proposional dan lengkap apabila menggunakan jasa dan bantuan
sosiologi. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit
28Heddy Shri Ahimsa-putra, the living quran...,251.
dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Disinilah letaknya
sosiologi sebagai satu alat dalam memahami ajaran agama.29
Sosiologi dalam research Living Qur’an dan Hadis
bertugas untuk menjelaskan keadaan sosial yang berupa
institusional atau organisasi Islam, baik prilaku individu maupun
kelompok yang diduga merupakan pengaruh dari normativitas
hadis nabi. Oleh sebab itu, kehadiran sosiologi dalam kajian Living
Qur’an dan hadis adalah proses perwujudan Al-Qur’an dan Hadis
dalam kehidupan nyata, baik secara sadar atau tidak sadar.
Pendekatan sosiologi memiliki peranan penting dalam usaha untuk
memahami dan menggali makna-makna yang sesungguhnya
dikehendaki oleh Al-Qur’an. Selain disebabkan oleh Islam sebagai
agama yang lebih mengutamakan hal-hal yang berbau sosial
daripada individual yang terbukti dengan banyakanya ayat Al-
Qur’an dan Hadis yang berkenaan dengan urusan muamalah
(sosial), hal ini juga disebabkan banyak kisah dalam Al-Qur’an
yang kurang bisa dipahami dengan tepat kecuali dengan
29Ahmad Mukhlisin, Aan Suhendri, and Muhammad Dimyati. “Metode
Penetapan Hukum Dalam Brfatwa.” Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam 3.2 (2018): 167.
pendekatan sosiologi. Sebagai contoh, kisah Nabi Yusuf yang
dulunya budak lalu akhirnya menjadi penguasa di Mesir dan kisah
Nabi Musa yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Nabi
Harun. Kedua kisah itu baru dapat dimengerti dengan tepat dan
dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial.30
Memandang The Living Qur’an atau “Al-Qur’an yang
hidup” secara antropologi pada dasarnya adalah memandang
fenomena ini secara fenomena sosial-budaya, yakni sebagai
sebuah gejala yang berupa pola-pola prilaku individu-individu
yang muncul dari dasar pemahaman mereka mengenai Al-
Qur’an.31 Dalam realitanya, fenomena pembacaan Al-Qur’an
sebagai sebuah apresiasi dan respon umat Islam ternyata sangat
beragam. Ada berbagai model pembacaan Al-Qur’an, yang mulai
berorientasi pada pemahaman dan pendalaman maknanya seperti
yang banyak dilakukan oleh para ahli tafsir, sampai yang sekedar
membaca Al-Qur’an sebagai ritual atau untuk memperoleh
30Ida Zahra Adiba, “Pendekatan Sosiologi Dalam Studi Islam.”
Inspirasi: Jurnal Kajian dan Penelitian Pendidikan Islam 1.1 (2017).14-15 31 Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur’an: Beberapa Perspektif
Antropologi”, Walisongo:Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20.1 (Mei 2012).
ketenangan jiwa. Bahkan ada model pembacaan Al-Qur’an yang
bertujuan untuk mendatangkan kekuatan magis (supernatural) atau
terapi pengobatan dan sebagainya.32 Praktek memperlakukan Al-
Qur’an atau unit-unit tertentu dari Al-Qur’an sehingga bermakna
dalam kehidupan praktis oleh sebagian komunitas muslim tertentu
pun banyak terjadi, bahkan rutin dilakukan. Seperti yang dilakukan
oleh masyarakat Desa Susukan Kecamatan Tirtayasa Kabupaten
Serang yang rutin mempraktekan tradis Rujakan untuk
memperoleh kerido’an Allah SWT, dan keselamatan dunia akhirat.
4. Sejarah Sosial
Secara terminologi, sejarah didefinisifakn sebagai berikut:
(1) kesustraan lama, silsilah, asal-usul; (2) kejadian dan peristiwa
yang bena-benar terjadi pada masa lampau; dan (3) ilmu
pengetahuan, cerita pelajaran tentang kejadian dan peristiwa yang
benar-benar terjadi pada masa lalu. Sementara itu para ahli sejarah
cenderung mengartikan sejarah dengan: (1) sejumlah perubahan,
kejadian dan peristiwa dalam kenyataan sekitar kita; (2) cerita
32Abdul Mustaqim, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis,
(Yogyakarta: Teras, 2007), 65.
tentang perubahan, kejadian dan peristiwa yang merupakan realitas
kehidupan; (3) ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan,
kejadian peristiwa yang merupakan realitas tersebut. Taufik
Abdullah mendefinisikan sejarah sebagai suatu ilmu yang di
dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan
unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang, dan pelaku dari
peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak
dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya,
siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Disamping itu,
melalui pendekatna sejarah seseorang akan diajak menukik dari
alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari
keadaan ini, seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau
keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang
ada di alam empiris dan historis.33
Jika ditelisik secara historis, praktek memperlakukan Al-
Qur’an, surat-surat atau ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an untuk
kehidupan praksis umat, pada hakikatnya sudah terjadi sejak masa
33Kharisul Wathoni, “Pendekatan Sejarah Sosial Dalam Kajian Politik
Pendidikan Islam.” TADRIS: Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 5.
awal Islam, yakni pada masa Rasulullah SAW. Sejarah mencatat,
Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat pernah melakukan
praktek ruqyah, yaitu mengobati dirinya sendiri dan juga orang lain
yang menderita sakit dengan membacakan ayat-ayat tertentu di
dalam Al-Qur’an. Hal ini didasarkan atas sebuah hadist shahih
yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam shahih al-
Bukhari.34 Surat yang dipakai oleh Nabi Muhammad saw ialah
surat al-Fatihah dan al-Ma’uzatain. Secara simetris, surat al-
Fatihah tidak berkaitan dengan penyakit atau pengobatan, tetapi
nyatanya ayat yang digunakan untuk praktik pengobatan. Merujuk
pada Manna’ al-Qathan, ia mengelompokkan aktifitas membaca
al-Qur’an menjadi tiga kategori. Pertama, membaca Al-Qur’an
sebagai ibadah. Kedua, membaca Al-Qur’an untuk mendapatkan
petunjuk. Ketiga, membaca Al-Qur’an sebagai alat justifikasi.35
34Didi junaedi, “Sebuah Pendektan Baru dalam Kajian Al-Qur’an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren As-Siroj Al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan
Kab. Cirebon).” Joernal Of Qur’an and Hadith Studies 4.2 (2015) 176-177. 35Raidhoul Wahidin, “Hidup Akrab Dengan Al-Qur’an; Kajian Living
Qur’an dan Living Hadis Pada Masyarakat Indragiri Hilir Riau.” Jurnal Penelitian dan Pengabadian, 1.2 (Juli-Desember, 2013), 104.
Dalam konteks ini, kajian tentang living Qur’an (termasuk living
gasi) tampaknya begian dari kategori ketiga.
5. Folklor, Bentuk dan Fungsinya
Secara etimologi kata “folklor” adalah pengindonesiaan kata
bahasa Inggris folklore. Kata ini adalah kata majemuk, yang
berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk adalah sekelompok
orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan budaya
sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainya.36
sedangkan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya,
yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui
suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnomonic device).37
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa
folklor merupakan adat-istiadat dan cerita hikayat yang diwariskan
turun temurun, tetapi tidak dibukukan.38 folklor juga merupakan
ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita-cerita rakyat yang tidak
36Suardi Endaswara, Folklor nusantara: Hakikat, Bentuk dan Fungsi,
(Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2013), 1. 37 Danandja, Folklor Indonesia, (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 2007), 1-
2. 38 https://kbbi.web.id/folklor
dibukukan. Pendapat lain dikemukakan oleh Endarswara, bahwa
folklor merupakan wujud budaya dan diwariskan secara turun
menurun secara lisan (oral) dan berguna bagi pendukungnya.
Lebih lanjut, folklor juga meliputi berbagai hal, seperti
pengetahuan, asumsi, tingkah laku, etika, perasaan, kepercayaan
dan segala praktik-praktik kehidupan tradisional, serta memiliki
fungsi tertentu bagi pemiliknya.39
Menurut Danandjaja agar dapat membedakan folklor dari
kebudayaan lainya, kita harus mengetahui dahulu ciri-ciri pengenal
utama folklor pada umumnya ciri-ciri tersebut adalah sebagai
berikut :
a. penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan
yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut kemulut.
b. folklor bersifat tradisional yaitu disebarkan dalam bentuk
relatif tetap dalam bentuk standar.
c. folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian
yang berbeda. Walaupun demikian perbedaannya terletak
39 Endraswara, Suwardi,Buku Pinter Budaya Jawa Mutiara Adiluhung
Orang Jawa.(Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2010), 3-4.
pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya
dapat tetap bertahan.
d. folklor bersifat anonim yaitu nama penciptanya sudah
tidak diketahui oleh orang lain.
e. folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau
berpola.
f. folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama
suatu kolktif.
g. folklor bersifat pralogis yaitu mempunyai logika sendiri
yang tidak sesuai dengan logika umum.
h. folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
i. folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga
sering kali kelihatannya kasar dan spontan.40
1) Bentuk-bentuk folklor
(a)Folklor Lisan, yaitu folklor yang bentuknya memang murni
lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk kedalam
kelompok besar ini diantara lain (1) bahasa rakyat (folk speech)
40Dananjdja, Folklor Indonesia.,,,, 3-4
seperti logat, julukan pangkat tradisional, dan title
kebangsawanan; (2) ungkapan tradisional, seperti pribahasa,
pepatah, dan pameo; (3) pertanyaan tradisional, seperti teka-
teki; (4) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam dan syair; (5)
cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (6)
nayanyian rakyat. (b) Folklor sebagian lisan, yaitu folklor yang
bentuknya merupakn campuran unsur lisan dan unsur bukan
lisan. Kepercayaan rakyat, asalnya yang boleh orang ‘modern’
sering kali disebut takhayul itu, terdiri dari pernyataan yang
bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap
memiliki makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen
Katolik yang dianggap dapat melindungi seseorang dari
gangguan hantu, atau ditambah engan benda material yang
dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa
rezeki, seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk
folklor yang tergolong dalam bentuk besar ini, selain
kepercayaan rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari
rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain. (c)
Folklor bukan lisan, yaitu bentuknya bukan lisan, walaupun
cara pembentukannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar
ini dapat dibagi menjadi dua sub kelompok, yakni yang material
dn yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang
tergololong material antara lain: arsitek rakyat (bentuk rumah),
kerajiann tangan rakyat, pakaian, dan perhiasan tubuh adat,
makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional.
Bentuk folklor yang bukan material antara lain: gerak isyarat
tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat
(kentongan tanda bahaya).41
2) Fungsi folkor
Bascom melalui Danandjaja menyatakn bahwa
fungsi folklor adalah sebagai berikut.
a) sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat
pencermin angan-angan suatu kolektif.
b) Sebagai alat pengesahan pranta-pranta dan
lembaga kebudayaan.
c) Sebagai alat pendidikan anak.
41Danandjaja, J, Folklor Indonesia, (Jakarta: Pustaka Grafitipers,
1986), 18.
d) Sebagai alat pemaksa dan pengawas, agar
norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi
anggota kolektifnya.42
Fungsi folklor mempunyai arti bahwa sebagian dari
kehidupan masyarakat kedudukan atau fungsi folklor yang
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dalam tradisi rujakan di Desa Sususkan Kecamatan Tirtayasa
Kabupaten Serang memiliki fungsi anatara lain adalah untuk
menghormati adat kebiasaan leluhur, sehingga masih digunakan
dan dijalankan. Disamping itu kedudukan sebagai upacara ritual
tradisi yang masih tetap eksis sampai sekarang.
42 Danandjaja, J,Folklor Indonesia...,19.