Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perceraian.
Perceraian secara terminologi berasal dari kata dasar cerai yang berarti
pisah, kemudian mendapat awalan per yang berfungsi pembentuk kata benda
abstrak kemudian menjadi perceraian yang berarti hasil dari perbuatan cerai.
Istilah perceraian terdapat dalam pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 yang
memuat ketentuanfakultatifbahwa “Perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian dan atas putusan Pengadilan”. Jadi secara yuridis perceraian berarti
putusnya perkawinan, yang mengakibatkkan putusnya hubungan sebagai
suami istri.15
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
tidak terdapat definisi yang tegas mengenai perceraian secara khusus.
Sesuai dengan asas perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan,
yaitu tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal,
seharusnya putusnya perkawinan karena perceraian haruslah dilarang, tetapi
pada kenyataannya Undang-Undang Perkawinan tidak menegaskan mengenai
larangan tersebut, tetapi cukup dengan mempersukar suatu perceraian yang
memutuskan perkawinan. 16
Perceraian hanya dibenarkan untuk dalam alasan-alasan yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan. Berdasarakan pasal 19 PP No. 9
15Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian (Palembang: Sinar Gravika, 2012), 15. 16H. Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Penerbit Universitas
Trisakti, 2010), 89.
13
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, disebutkan bahwa perceraian terjadi karena alasan sebagai
berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina, pemadat, penjudi dan lainnya yang sukar
disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dua tahun berturut-turut tanpa
seizin pihak lain dan tanpa alasan yang sah.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
mengancam jiwa pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang sukar
disembuhkam sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai
suami atau isteri.
f. Serta antara suami dan isteri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus
menerus sehingga tidak ada harapan untuk dirukunkan.
Menurut KUH Perdata pasal 208 disebutkan bahwa perceraian tidak
dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama. Dasar-dasar yang berakibat
perceraian perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Zina.
b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk.
c. Dikenakan penjara lima tahun atau hukuman yang berat lagi setelah
dilangsungkan perkawinan.
d. Pencederaan berat atau penganiayaan yang dilakukan oleh salah seorang
sumai atau isteri terhadap orang lainnya sedemikian rupa, sehingga
membahayakan keselamatan jiwa atau mendatangkam luka-luka yang
membahayakan.
Perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”. Jadi
pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan baik
dengan putusan hakim atau tuntutan suami atau istri. Dengan adanya
14
perceraian, maka perkawinan antara suami dan istri menjadi hapus”.17 Namun
Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan
perkawinan itu dengan kematian atau yang lazim disebut dengan istilah “cerai
mati”.
Dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undang-Undang
Perkawinan (pasal 39 sampai dengan pasal 41) dan tentang Tatacara
Perceraian Dalam Peraturan Pelaksana (pasal 14 sampai dengan pasal 36)
dapat ditarik kesimpulan adanya dua macam perceraian yaitu :
1. Cerai Talak.
Istilah Cerai Talak disebut oleh Penjelasan pasal 14 Peraturan
Pelaksanaan. Dan tentang perceraian ini diatur dalam pasal 14 sampai
dengan 18 Peraturan Pelaksanaan, yang merupakan penegasan dari pasal
39 Undang-Undang Perkawinan.
Cerai Talak ini hanya khusus untuk yang beragama Islam seperti
dirumuskan oleh pasal 14 Peraturan Pelaksanaan sebagai berikut :
“Seorang suamiyang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada
Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia
bermaksud menceraikan isterinya disertaidengan alasan-alasannya serta
meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.
Selanjutnya dari pasal 15 sampai dengan pasal 18 dapat diuraikan
sebagai berikut:
17Syaifudin, Hukum Perceraian , 20.
15
1) Setelah Pengadilan menerima surat pemberitahuan itu, Pengadilan
mempelajari surat tersebut.
2) Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima surat itu.
Pengadilan memanggil suami dan isteri yang akan bercerai itu, untuk
meminta penjelasan.
3) Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-isteri, ternyata
memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan
berpendapat pula bahwa antara suami-istri yang bersangkutan tidak
mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga,
maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk
menyaksikan perceraian itu;
4) Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya
alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian
menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami dalam sidang
tersebut.
5) Sesaat setelah menyaksikan perceraian itu, Ketua Pengadilan memberi
surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut ;
a) Surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatatan
di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan
perceraian;
b) Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan
di depan sidang Pengadilan.18
2. Cerai Gugat.
Cerai Gugat adalah Perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu
gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan dengan
suatu putusan Pengadilan.
Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya tidak
menamakan hal ini “Cerai Gugat”, tetapi menyatakan bahwa perceraian ini
dengan suatu gugatan. Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa
gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan dan tentang bagaimana
caranya akan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
18K. Wantjik Saleh , Hukum Perkawinan Indonesia , (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1976), 39.
16
Peraturan Pelaksanaan dalam Penjelasan pasal 20 menegaskan
sebagai berikut: “Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh
seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan
oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama
Islam”. Selanjutnya diatur secara terperinci tentang bagaimana tatacara
gugatan perceraian itu oleh Peraturan Pelaksanaan (pasal 20 sampai
dengan pasal 36).
Dalam cerai gugat diuraikan sebagai berikut, dimulai dari :
1) Pengajuan gugatan.
Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal
tergugat atau penggugat.
2) Pemanggil.
Pemanggilan terhadap para pihak ataupun kuasanya, dilakukan
setiap kali akan diadakan persidangan. Yang melakukan panggilan
tersebut adalah jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas yang ditunjuk
(Pengadilan Agama). Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi
yang bersangkutan, yang apabila tidak dapat dijumpai, panggilan
disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya.
Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah
diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-lambatnya 3 (tiga)
hari sebelum sidang dibuka.
17
3) Persidangan.
Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan
oleh Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah diterimanya surat gugatan di Kepaniteraan.
4) Perdamaian.
Ditentukan bahwa sebelum dan selama perkara gugatan belum
diputuskan, Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua
belah pihak yang berperkara. Apabila tercapai suatu perdamaian maka
tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau
alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh
penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
5) Putusan
Walaupun pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan
dalam sidang tertutup, tapi pengucapan putusannya harus dilakukan
dalam sidang terbuka. Kapan suatu perceraian itu dianggap terjadi
beserta segala akibat-akibatnya itu, terdapat perbedaan antara orang
yang beragama Islam dan yang lainnya. Bagi yang beragama Islam
terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi yang tidak
beragam Islam terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar
pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.
Sebelum dijatuhkan suatu putusan, selama berlangsungnya gugatan
perceraian atas permohonan pihak penggugat dan tergugat, Pengadilan
18
dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk berpisah berlainan
rumah, juga dapat menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh
suami dan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan serta
pendidikan anak, dan barang-barang yang menjadi hak bersama serta
hak masing-masing.19
B. Perceraian Menurut Islam.
1. Menurut Al-Qur’an
Allah SWT telah menetapkan ketentuan dalam Al-Qur’an bahwa
kedua pasangan suami istri harus segera melakukan usaha antisipasi
apabila timbul gejala-gejala dapat diduga menimbulkan gangguan
kehidupan rumah tangganya, yaitu dalam firman Allah QS. An-Nisa’
(4):34 sebagai berikut;
19 Ibid, 44.
19
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan kebahagiaan mereka. Sebab itu
maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan Nusyu’z-nya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.20
Selanjutnya Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu surat An-Nisa’ ayat 128:
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan Nusyu’z atau sikap tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian
itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara
baik dan memelihara dirimu (dari Nusyu’z dan sikap tidak acuh),
maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”21
Penafsiran dari ayat tersebut sebagaimana yang diterangkan oleh
Sayyid Sabiq ialah : “Seorang perempuan yang menjadi istri seorang
lelaki, namun suaminya tidak dapat mengambil banyak manfaat dari istri,
20Q.S. An-Nisa’ (4):34. 21Q.S. An-Nisa’ (4): 128.
20
lalu suami ingin menceraikan dan menikah lagi. Lalu istri itu berkata,
tahan aku (menjadi istrimu) jangan ceraikan aku, menikahlah kamu dengan
perempuan lain dan kamu tidak perlu memberikan nafkah kepadaku
karena memang inilah bagianku.”22
Apabila usaha antisipasi melalui ayat-ayat tersebut tidak berhasil
mempertahankan kerukunan dan kesatuan ikatan perkawinan dan tinggalah
jalan satu-satunya terpaksa harus bercerai dan putusnya perkawinan, maka
ketentuan yang berlaku adalah surat Al-Baqarah ayat 229:
Artinya:Talak yang dapat dirujuki dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang baik. Tidak halal bagimu mengambil kembali
dari sesuatu yang tidak kamu berikan kepada mereka, kecuali
keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,
jika kamu khawatir keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
22 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta Timur, PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013), II, 618.
21
kamu melanggarnya, barang siapa yang melanggar hukum-hukum
Allah mereka itulah orang-orang zhalim”.23
Makna yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 229 adalah
sebagai berikut:24
1) Sebenarnya perceraian itu bertentangan dengan makna perkawinan itu
sendiri, sehingga jika terjadi perceraian, maka sangat wajar sekali jika
seandainya mereka yang bercerai ini bersedia untuk rukun dan rujuk
kembali menyusun ikatan perkawinan mereka lagi.
2) Perceraian yang boleh rujuk kembali itu hanya dua kali, yaitu thalaq
ke-satu dan thalaq ke-dua saja. Oleh karena itu terhadap thalaq ketiga
tidak ada rujuk lagi, kecuali setelah dipenuhinya persyaratan khusus
untuk ini.
3) Syarat atas kedua orang suami istri yang bercerai dengan talaq tiga,
untuk bisa melakukan rujuk kembali itu di dalam Surat Al -Baqarah
ayat 230.
4) Jika terjadi perceraian, maka suami dilarang mengambil harta yang
pernah diberikan kepada istrinya yang dicerai itu, kecuali atas dasar
yang kuat.
5) Jika isteri mempunyai alasan syariat yang kuat, maka dapat dibenarkan
isteri meminta cerai dengan cara khulu’, yaitu suatu perceraian dengan
pembayaran tebusan oleh istri kepada suami.
23Q.S. Al-Baqarah ayat (2) : 229. 24Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), 202.
22
6) Allah SWT sudah mengatur segala sesuatunya, termasuk masalah
perkawinan dan hubungannya dengan berbagai macam masalah yang
terkait.
7) Barang siapa yang melanggar hukum Allah SWT, sebenarnya dia itu
bahkan menyiksa diri sendiri dengan perbuatan zhalim.
2. Menurut Al-Hadist
Menurut asalnya thalaq itu hukumnya makruh berdasarkan Hadist
Rasulallah SAW, yaitu perbuatan halal yang paling dibenci Allah SWT
adalah thalaq. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim).
Selanjutnya dalam hadist lain Rasulallah SAW bersabda:
perempuan mana saja yang meminta kepada suaminya untuk cerai tanpa
ada alasan apa-apa, maka haram atas dia baunya surga. (HR. Turmudzi
dan Ibnu Majah).
Perceraian yang terjadi karena talaq suami isterinya ditandai
dengan adanya pembacaan iqra’ talaq, yaitu iqra’ suami dihadapan sidang
pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan
dan dilakukan sesuai tata cara perceraian yang diatur dalam pasal 129,
130, dan 131 (pasal 117 KHI). 25
Sedangkan macam-macam perceraian yang dikarenakan talak
suami terdiri dari:
25Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam sa Peradilan Agama Dalam Sistim Hukum Nasionl,
(Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999),II, 179-180.
23
1) Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama isteri dalam masa iddah (pasal 118 KHI).
2) Talak Ba’in yang dapat dibedakan atas talak Ba’in shughraa dan talak
Ba’in Qubraa (pasal 119 KHI).
a) Talak Ba’in Sughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi
diperbolehkan akad nikah baru dengan mantan suaminya
meskipun dalam masa iddah. Adapun jenis Talak Ba’in Shughraa
dapat berupa:
Talak yang terjadi dalam keadaan qobla al dukhul (antara
suami istri belum pernahmelakukan hubungan seksual selama
perkawinannya).
Talak dengan tebusan atau khuluk, yaitu perceraian yang
terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan
(iwadi) kepada suaminya atas persetujuan suami pula.
Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama.
b) Talak Ba’in Qubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya
talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi
kembali, kecuali apabila pernikahan itu setelah mantan isteri
menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da
al dukhul dan habis masa iddahnya (pasal 120 KHI).
3) Talak Sunny, yaitu talak yang diperbolehkan dan talak tersebut
dijatuhkan isteri yang sedang suci serta tidak dicampuri dalam waktu
suci tersebut (pasal 121 KHI).
24
4) Talak Bid’i, yaitu talak yang dilarang, kerena talak tersebut dijatuhkan
pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci
tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (pasal 122 KHI).
5) Talak Li’an yaitu talak yang terjadi karena suami menuduh isterinya
berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang
sudah lahir dari kandungan isterinya, sedangkan isterinya menolak
atau mengingkari tuduhan tersebut. Jenis talak Li’an ini menyebabkan
putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya (pasal
125 dan 126 KHI).26
Mengingat putusnya perkawinan yang dikarenakan talak suami
terhadap isterinya terdapat beberapa macam yang tidak seluruhnya
dapat dirujuk kembali, sehingga diperlukan pertimbangan yang bersifat
prinsipal bagi seorang suami sebelum menjatuhkan talaknya.
Demikian halnya dalam ajaran agama islam, talak merupakan
perbuatan halal tetapi dibenci oleh Allah SWT, oleh karena itu
menurut Mahmud Junus diperlukan alasan-alasan bagi suami untuk
menjatuhkan talaknya terhadap isterinya yang diperbolehkan dan tidak
dibenci oleh Allah SWT, terdiri dari:
a) Isteri berbuat zina.
b) Isteri nusyuz, setelah diberi nasehat dengan segala daya upaya.
c) Isteri suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang
mengganggu keamanan rumah tangga.
26 Ibid, 176-178
25
d) Sebab-sebab lain yang sifatnya berat sehingga tidak
memungkinkan untuk mendirikan rumah tangga secara damai dan
teratur.27
C. Perceraian Menurut Adat
Pengertian perceraian menurut hukum adat adalah peristiwa luar biasa,
merupakan problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan
daerah. Menurut Djojodiguno, perceraian ini dikalangan orang jawa adalah
suatu hal yang tidak disukai. Cita-cita orang jawa ialah berjodohan sekali
seumur hidup, bilamana mungkin sampai kaken-kaken, ninen-ninen, artinya
sampai si suami menjadi aki (kakek) dan si istri menjadi nini (nenek), yaitu
orang tua-tua yang sudah bercucu-cicit.28
Apa yang dikemukakan oleh Djojodiguno tersebut, pada umumnya
sudah menjadi pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, jadi tidak terbatas
pada suku jawa saja. Bangsa Indonesia, menurut Soerojo wignjodipoero, juga
memandang perceraian itu sebagai suatu perbuatan yang sedapat-dapatnya
wajib dihindari. Pada asasnya tiap keluarga, kerabat serta persekutuan
menghendaki sesuatu perkawinan yang sudah dilakukan itu, dipertahankan
untuk selama hidupnya. Pada asasnya dan sedapat-dapatnya, artinya apabila
memang menurut keadaan serta kenyataan, perceraian itu demi kepentingan
bukan bagi suami isteri saja, melainkan juga kepentingan keluarga kedua
27Muhammad Idrus, Hukum Perkawinan, 113. 28Djojodiguno, Asas-Asas Hukum Adat, dan dalam Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-
Asas Hukum Adat, (Gunung Agung, jakarta, 1995), 56, 143.
26
belah pihak, bahkan malahan juga demi kepentingan keseluruhan perlu
dilakukan, maka perbuatan itu perlu dijalankan.29
Dalam hukum adat, perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat
penting dalam penghidupan masyarakat, sebab perkawinan tidak hanya
menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua
belah pihak, bahkan keluarga mereka masing-masing. Hubungan suami dan
isteri setelah dilangsungkannnya perkawinan bukanlah hubungan suatu
perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi merupakan
paguyuban. Paguyuban ini menurut Djojodiguno disebut paguyuban hidup
yang menjadi pokok ajang hidup suami isteri selanjutnya beserta anak-
anaknya.30
Terkait dengan makna perkawinan menurut hukum adat tersebut, dapat
dipahami bahwa perceraian yang meskipun dibolehkan, tetapi perlu
dihindarkan menurut hukum adat, karena perceraian dapat memutuskan
perkawinan yang seharusnya dipertahankan oleh suami dan isteri. Pemutusan
hubungan perkawinan karena perceraian dalam hukum adat tidak hanya
dipahami sebagai bentuk pemutusan hubungan perikatan lahir batin antara
suami dan isteri, tetapi juga pemutusan hubungan lahir dan batin dengan
paguyuban dalam keluarga dan masyrakat yang didalamnya suami dan isteri
itu menjadi anggota keluarganya dan warga masyarakatnya.
D. UU No. 1 tahun 1974 pasal 39 tentang perceraian.
1. Pengertian perceraian.
29Ibid, 141 30Ibid, 143.
27
Menurut Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan.Adapun yang
dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.31 Jadi, perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin
antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga
antara suami dan istri tersebut.
Perceraian yang dipositifkan peraturanya dalam Pasal 38 dan Pasal
39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP
No. 9 Tahun 1975, mencakup sebagai berikut:
1) Perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan
permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada Pengadilan
Agama yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat
hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
Pengadilan Agama (vide Pasal 14 sampai Pasal 18 PP No. 9 Tahun
1975).
2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat yaitu perceraian yang diajukan
gugatan cerainya oleh dan atas inisiatif isri kepada Pengadilan Agama
yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya
sejak jatuhnya putusan Pegadilan Agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (vide Pasal 20 sampai Pasal 36).
31Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, 73.
28
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dijabarkan
dalam PP No. 9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya yang
diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri,
yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh Pegawai Pencatat di Kantor
Catatan Sipil (vide Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975).
Pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memuat ketentuan
imperaktif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan,
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah
pihak. Sehubungan dengan pasal ini, Wahyu Ernaningsih dan Putu
Samawati menjelaskan bahwa walaupun perceraian adalah urusan pribadi,
baik itu atas kehendak satu diantara dua pihak yang seharusnya tidak perlu
ikut campur tangan pihak ketiga, tetapi demi menghindari tindakan
sewenang-wenang, terutama dari pihak suami dan juga untuk kepastian
hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan.32
Perlu di ketahui bahwa cerei adalah perbuatan yang hanya boleh di
lakukan jikamemenuhi alasan-alasan sebagaimana dalam bab III pasal 39,
bahwa;
(1) Percereian hanya dapat dilakukan di depan sedang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
32Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, (Palembang: PT.
Rambang Palembang, 2006), 110-111.
29
(2) Untuk melaksanakan percereian harus ada cukupalasan, bahwa antara
suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara percereian di depan siding pengadilan di atur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
Dan pasal 40 ;
(40) Gugatan percereian di ajukan kepada pengadilan.33
Latar belakang dan tujuan perceraian dapat dipahami bahwa dalam
melaksanakan kehidupan suami istri tentu saja tidak selamanya berada
dalam situasi yang damai dan tentram, tetapi kadang pula terjadi salah
paham antara suami istri sehingga salah paham itu menjadi berlarut dan
tidak dapat didamaikan. Apabila suatu perkawinan yang demikian
dilanjutkan, maka ditakutkan perpecahan antara suami istri ini akan
mengakibatkan perpecahan antara kedua belah pihak. Oleh karena itu,
untuk menghindari perpecahan yang makin meluas, maka dalam agama
Islam mensyaratkan perceraian sebagai jalan keluar yang terakhir bagi
suami istri yang sudah gagal dalam membina rumah tangganya.34
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian itu walaupun
diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan suatu
alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh suami istri,
33 Drs. H.Saidus Syahar, S.H.,Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaanya (Ditinjau
dari Segi Hukum Islam), ( Bandung, PT.Arkala, 1992), 88 34 Turatmiyah,Sri, Muhammad Syaifuddin, Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), 21.
30
apabila cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat
mengembalikan keutuhan kehidupan rumah tangga suami istri tersebut.
2. Sebab-Sebab Perceraian
Walaupun pada dasarnya perkawinan itu bertujuan untuk selama-
lamanya, tetapi adakalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan
perkawinan tidak dapat diteruskan jadi harus di putuskan di tengah jalan
atau terpaksa putus dengan sendirinya, atau dengan kata lain terjadi
perceraian antara suami dan istri.35
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 113 disebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan
Pengadilan.36
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan disebutkan pada pasal 38 yaitu perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan.37
Putusnya perkawinan karena kematian salah satu pihak dari suami
atau istri maksudnya adalah apabila salah seorang dari kedua suami istri
itu meninggal dunia, maka perkawinannya putus karenaadanya kematian
tersebut. Atau perkawinan terhapus jikalau salah satu pihak meninggal.38
Putusnya perkawinan karena perceraian antara suami istri
maksudnya apabila suami istri itu bercerai, maka perkawinannya putus
karena adanya perceraian tersebut. Perceraian ini dapat terjadi langsung
35Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty,
1997), 105. 36Kompilasi Hukum Islam, 175. 37Undang-Undang Pokok Perkawinan(Jakarta: Sinar Grafika, 1989), 12. 38Subekti, Pokok-Pokok Hukum,42.
31
atau tempo dengan menggunakan kata talaq atau kata lain yang
senada.putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena talaq atau berdasarkan gugatan perceraian, sebagaimana
bunyi pasal 114 Kompilasi Hukum Islam.39
Sedangkan putusnya perkawinan atas putusan Pengadilan dapat
terjadi karena pembatalan perkawinan, dengan demikian perkawinan itu
harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang yaitu pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Syarat-syarat yang tidak dapat dipenuhi dalam
suatu perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan, sebagaimana
tersebut dalam pasal 8, 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.40
Sedangkan perceraian sendiri, seperti yang diungkap dalam Pasal
116 KHI, dapat terjadi karena:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan,
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya,
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung,
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain,
5) Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri,
6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga,
7) Suami melanggar taklik talak,
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
39Kompilasi Hukum Islam,(Bandung: Nuansa Aulia,2008),80-81 40Ibid, 81-83.
32
3. Akibat Hukum Perceraian.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XVII dijelaskan tentang
akibat putusnya perkawinan sebagai berikut:
Akibat Talak di dalam pasal 149 Bilamana perkawinan putus
karena talak, maka bekas suami wajib:
1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al dukhul.
2) Memberi nafkah, mas kawin dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau
nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3) Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila
qabla al dukhul.
4) Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.41
Akibat perceraian di dalam pasal 156. Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian ialah:
1) Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari
ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
a) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
b) Ayah;
c) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
2) Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
Hadhanah dari ayah atau ibunya,
3) Apabila pemegang Hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak Hadhanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak Hadhanah pula.
41Ibid, 46.
33
4) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungjawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun),
5) Bilamana terjadi perselisihan mengenai Hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberika putusannya berdasarkan huruf (a), (b)
dan (d),
6) Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak yang tidak turut padanya.42
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 juga
disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian :
1) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan
memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.43
Memperhatikan substansi diatas, maka dapat ditegaskan bahwa
perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak dan mantan
suami/istri. Selain itu, perceraian juga mempunyai akibat hukum terhadap
harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 yang memuat ketentuan bahwa akibat hukum terhadap harta
bersama diatur menurut hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain.
Jika dicermati esensi dari akibat-akibat hukum percerain yang diatur dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah mengakui dan melindungi hak-
42Ibid, 49. 43Undang-Undang Pokok Perkawinan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989), 13.
34
hak anak dan hak-hak mantan suami/istri sebagai Hak-hak Asasi Manusia
(HAM).44
Adapun Undang-Undang yang digunakan dalam proses perceraian
di Pengadilan:
1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, mengatur
mengenai perceraian secara garis besar (kurang detail karena tidak
membedakan cara perceraian agama Islam dan non-Islam.
2) Kompilasi Hukum Islam bagi pasangan nikah yang beragama Islam.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur detail mengenai
Pengadilan mana yang berwenang memproses perkara cerai dan tata
cara perceraian secara praktik.
4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1974, Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) bagi seseorang yang mengalami
kekerasan/penganiayaan dalam rumah tangganya.
44Turatmiyah, Sri,Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, 349-350.