38
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Partisipasi Partisipasi yang berlaku pada masyarakat kita, masih belum diartikan secara universal. Para perencana pembangunan mengartikan partisipasi sebagai dukungan terhadap rencana atau proyek pembangunan yang direncanakan dan ditentukan oleh pemerintah. Ukuran partisipasi masyarakat diukur oleh berapa besar sumbangan yang diberikan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga yang diberikan kepada pemerintah. Partisipasi yang berlaku secara universal adalah kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Sedangkan menurut Isbandi (2007 : 27) Partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di sekolah, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk 8

BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Partisipasieprints.ung.ac.id/5229/9/2012-1-86204-131406066-bab2... · 8 BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Partisipasi Partisipasi yang berlaku pada

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Partisipasi

Partisipasi yang berlaku pada masyarakat kita, masih belum diartikan

secara universal. Para perencana pembangunan mengartikan partisipasi sebagai

dukungan terhadap rencana atau proyek pembangunan yang direncanakan dan

ditentukan oleh pemerintah. Ukuran partisipasi masyarakat diukur oleh berapa

besar sumbangan yang diberikan masyarakat untuk ikut menanggung biaya

pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga yang diberikan kepada

pemerintah. Partisipasi yang berlaku secara universal adalah kerja sama yang erat

antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan,

dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.

Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan

sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi

tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan

dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan

orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan

tanggungjawab bersama.

Sedangkan menurut Isbandi (2007 : 27) Partisipasi adalah keikutsertaan

masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di

sekolah, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk

8

9

menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan

masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.

Selanjutnya Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam)

pengertian, yaitu: (1) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat

kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; (2) Partisipasi

adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan

kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek

pembangunan; (3) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam

perubahan yang ditentukannya sendiri; (4) Partisipasi adalah suatu proses yang

aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil

inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; (5) Partisipasi

adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang

melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh

informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial; (6) Partisipasi

adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan

lingkungan mereka.

Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat

dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau

sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela

dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

monitoring sampai pada tahap evaluasi.

Menurut Repository (2010) partisipasi adalah suatu gejala demokrasi

dimana orang diikutsertakan dalam perencanaan serta pelaksanaan dan juga ikut

10

memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat

kewajibannya. Partisipasi itu menjadi baik dalam bidang-bidang fisik maupun

bidang mental serta penentuan kebijaksanaan. Dari pengertian partisipasi di atas

disimpulkan bahwa partisipasi adalah ikut sertanya seseorang atau sekolompok

orang dalam pelaksanaan, serta memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat

kematangan dan tingkat kewajibannya yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang karena adanya dorongan atau sedikit paksaan dari orang lain.

Ini dapat dilihat dari kata “ diikutsertakan” yang mengandung makna bahwa

keterlibatan ini bukan datang dari diri sendiri tetapi karena adanya paksaan dari

orang lain.

Berbeda dengan pendapat di atas menurut Koentjaraningrat (dalam

Rahmat, 2009:81) partisipasi merupakan frekuensi turut sertanya dalam aktivitas-

aktivitas bersama, dan menurut Canboys (2010) partisipasi adalah keterlibatan

mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung

jawab di dalamnya. Hal senada juga diungkapkan Ndraha (dalam

Rahmat,2009:80) yang mengartikan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental

dan emosional seseorang atau sekolompok masyarakat di dalam situasi kelompok

yang mendorong bersangkutan atas kehendak sendiri menurut kemampuan yang

akan ada untuk mengambil bagian dalam usaha mencapai tujuan bersama dalam

pertanggungjawaban.

Dari pengertian partisipasi di atas dapat disimpulkan partisipasi adalah

keikutsertaan atau keterlibatan seseorang atau sekolompok orang dalam

memberikan sesuatu dalam bentuk apapun sebagai usaha mencapai tujuan

11

bersama atas kehendak sendiri atau dengan kata lain tanpa adanya dorongan atau

paksaan dari pihak manapun.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan adanya

perbedaan pendapat dari para ahli tentang arti parisipasi meskipun terdapat pula

kesamaannya. Letak perbedaan yang menonjol yaitu pada kata dikutsertakan dan

keikutsertaan. Diikutertakan berarti seseorang ikut serta bukan karena

kemauannya secara penuh tetapi karena adanya dorongan atau ajakan atau sedikit

paksaan dari orang lain, sedangkan keikutsertaan adalah timbul atas kehendak

sendiri secara penuh.

Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya

kemampuan (pemberdayaan) setiap orang yang terlibat baik langsung maupun

tidak langsung dalam sebuah program pembangunan dengan cara melibatkan

mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya dan

untuk jangka yang lebih panjang. Adapun prinsip-prinsip partisipasi tersebut,

sebagaimana tertuang dalam Panduan Pelaksanaan Pendekatan Partisipatif yang

disusun oleh Department for International Development (DFID) (dalam Monique

Sumampouw, 2004: 106-107) adalah:

a) Cakupan. Semua orang atau wakil-wakil dari semua kelompok yang terkena

dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses-proyek pembangunan.

b) Kesetaraan dan kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap orang

mempunyai keterampilan, kemampuan dan prakarsa serta mempunyai hak

untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam setiap proses guna

12

membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang dan struktur masing-

masing pihak.

c) Transparansi. Semua pihak harus dapat menumbuhkembangkan komunikasi

dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga menimbulkan dialog.

d) Kesetaraan kewenangan (Sharing Power/Equal Powership). Berbagai pihak

yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan dan

kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.

e) Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak

mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya

kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses

pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.

f) Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas dari

segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga melalui

keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses saling

belajar dan saling memberdayakan satu sama lain.

g) Kerjasama. Diperlukan adanya kerja sama berbagai pihak yang terlibat untuk

saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang ada,

khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumber daya manusia.

B. Bentuk dan Tipe Partisipasi

Ada beberapa bentuk partisipasi yang dapat diberikan masyarakat dalam

suatu program pembangunan, yaitu partisipasi uang, partisipasi harta benda,

partisipasi tenaga, partisipasi keterampilan, partisipasi buah pikiran, partisipasi

13

sosial, partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dan partisipasi

representatif.

Dengan berbagai bentuk partisipasi yang telah disebutkan diatas, maka

bentuk partisipasi dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu bentuk partisipasi

yang diberikan dalam bentuk nyata (memiliki wujud) dan juga bentuk partisipasi

yang diberikan dalam bentuk tidak nyata (abstrak). Bentuk partisipasi yang nyata

misalnya uang, harta benda, tenaga dan keterampilan sedangkan bentuk partisipasi

yang tidak nyata adalah partisipasi buah pikiran, partisipasi sosial, pengambilan

keputusan dan partisipasi representatif.

Partisipasi uang adalah bentuk partisipasi untuk memperlancar usaha-

usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan

Partisipasi harta benda adalah partisipasi dalam bentuk menyumbang harta benda,

biasanya berupa alat-alat kerja atau perkakas. Partisipasi tenaga adalah partisipasi

yang diberikan dalam bentuk tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat

menunjang keberhasilan suatu program. Sedangkan partisipasi keterampilan, yaitu

memberikan dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota

masyarakat lain yang membutuhkannya. Dengan maksud agar orang tersebut

dapat melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya.

Partisipasi buah pikiran lebih merupakan partisipasi berupa sumbangan

ide, pendapat atau buah pikiran konstruktif, baik untuk menyusun program

maupun untuk memperlancar pelaksanaan program dan juga untuk

mewujudkannya dengan memberikan pengalaman dan pengetahuan guna

mengembangkan kegiatan yang diikutinya. Partisipasi sosial diberikan oleh

14

partisipan sebagai tanda paguyuban. Misalnya arisan, menghadiri kematian, dan

lainnya dan dapat juga sumbangan perhatian atau tanda kedekatan dalam rangka

memotivasi orang lain untuk berpartisipasi. Pada partisipasi dalam proses

pengambilan keputusan, masyarakat terlibat dalam setiap diskusi/forum dalam

rangka untuk mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan bersama.

Sedangkan partisipasi representatif dilakukan dengan cara memberikan

kepercayaan/mandat kepada wakilnya yang duduk dalam organisasi atau panitia.

Berdasarkan bentuk-bentuk partisipasi yang telah dianalisis, dapat ditarik

sebuah kesimpulan mengenai tipe partisipasi yang diberikan masyarakat. Tipe

partisipasi masyarakat pada dasarnya dapat kita sebut juga sebagai tingkatan

partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat dibagi

menjadi 7 (tujuh) tipe berdasarkan karakteristiknya, yaitu partisipasi

pasif/manipulatif, partisipasi dengan cara memberikan informasi, partisipasi

melalui konsultasi, partisipasi untuk insentif materil, partisipasi fungsional,

partisipasi interaktif, dan self mobilization. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 2.1 :

Tabel 2.1 Tipe Partisipasi

No. Tipologi Karakteristik

1. Partisipasi pasif/

manipulative

(a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara dibe-

ritahu apa yang sedang atau telah terjadi;

(b) Pengumuman sepihak oleh manajemen atau

pelaksana proyek tanpa memperhatikan

tanggapan masyarakat;

(c) Informasi yang dipertukarkan terbatas pada

kalangan profesional di luar kelompok

sasaran.

2. Partisipasi dengan cara

memberikan informasi

(a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara

menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian

seperti dalam kuesioner atau sejenisnya;

(b) Masyarakat tidak punya kesempatan untuk

15

terlibat dan mempengaruhi proses

penyelesaian;

(c) Akurasi hasil penelitian tidak dibahas

bersama masyarakat.

3. Partisipasi melalui

konsultasi

(a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara

berkonsultasi;

(b) Orang luar mendengarkan dan membangun

pandangan-pandangannya sendiri untuk

kemudian mendefinisikan permasalahan dan

pemecahannya, dengan memodifikasi

tanggapan-tanggapan masyarakat;

(c) Tidak ada peluang bagi pembuat keputusan

bersama;

(d) Para profesional tidak berkewajiban

mengajukan pandangan - pandangan

masyarakat (sebagai masukan) untuk

ditindaklanjuti.

4. Partisipasi untuk insentif

materil

(a) Masyarakat berpartisipasi dengan cara

menyediakan sumber daya seperti tenaga

kerja, demi mendapatkan makanan, upah,

ganti rugi, dan sebagainya;

(b) Masyarakat tidak dilibatkan dalam

eksperimen atau proses pembelajarannya;

(c) Masyarakat tidak mempunyai andil untuk

melanjutkan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan pada saat insentif yang

disediakan/diterima habis.

5. Partisipasi fungsional (a) Masyarakat berpartisipasi dengan

membentuk kelompok untuk mencapai

tujuan yang berhubungan dengan proyek;

(b) Pembentukan kelompok (biasanya) setelah

ada keputusan-keputusan utama yang

disepakati;

(c) Pada awalnya, kelompok masyarakat ini

bergantung pada pihak luar (fasilitator, dll)

tetapi pada saatnya mampu mandiri.

6. Partisipasi interaktif (a) Masyarakat berpartisipasi dalam analisis

bersama yang mengarah pada perencanaan

kegiatan dan pembentukan lembaga sosial

baru atau penguatan kelembagaan yang telah

ada;

(b) Partisipasi ini cenderung melibatkan metode

inter-disiplin yang mencari keragaman

perspektif dalam proses belajar yang

terstruktur dan sistematik;

(c) Kelompok - kelompok masyarakat

16

mempunyai peran kontrol atas keputusan-

keputusan mereka, sehingga mereka

mempunyai andil dalam seluruh

penyelenggaraan kegiatan.

7. Self mobilization (a) Masyarakat berpartisipasi dengan

mengambil inisiatif secara bebas (tidak

dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk

mengubah sistem-sistem atau nilai-nilai

yang mereka miliki;

(b) Masyarakat mengembangkan kontak dengan

lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan

bantuan-bantuan teknis dan sumberdaya

yang dibutuhkan;

(c) Masyarakat memegang kendali atas

pemanfaatan sumberdaya yang ada.

Pada dasarnya, tidak ada jaminan bahwa suatu program akan berkelanjutan

melalui partisipasi semata. Keberhasilannya tergantung sampai pada tipe macam

apa partisipasi masyarakat dalam proses penerapannya. Artinya, sampai sejauh

mana pemahaman masyarakat terhadap suatu program sehingga ia turut

berpartisipasi.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat

dalam suatu program, sifat faktor-faktor tersebut dapat mendukung suatu

keberhasilan program namun ada juga yang sifatnya dapat menghambat

keberhasilan program. Misalnya saja faktor usia, terbatasnya harta benda,

pendidikan, pekerjaan dan penghasilan.

Angell (dalam Ross, 1967: 130) mengatakan partisipasi yang tumbuh

dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang

mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam berpartisipasi, yaitu:

17

1. Usia

Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang

terhadap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia

menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma masyarakat

yang lebih mantap, cenderung lebih banyak yang berpartisipasi daripada mereka

yang dari kelompok usia lainnya.

2. Jenis kelamin

Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan

bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti bahwa

dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah mengurus

rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan tersebut telah

bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan perempuan yang

semakin baik.

3. Pendidikan

Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi.

Pendidikan dianggap dapat mempengaruhi sikap hidup seseorang terhadap

lingkungannya, suatu sikap yang diperlukan bagi peningkatan kesejahteraan

seluruh masyarakat.

4. Pekerjaan dan penghasilan

Hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena pekerjaan seseorang

akan menentukan berapa penghasilan yang akan diperolehnya. Pekerjaan dan

18

penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari dapat mendorong

seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat.

Pengertiannya bahwa untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, harus didukung

oleh suasana yang mapan perekonomian.

5. Lamanya tinggal

Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya

berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi

seseorang. Semakin lama ia tinggal dalam lingkungan tertentu, maka rasa

memiliki terhadap lingkungan cenderung lebih terlihat dalam partisipasinya yang

besar dalam setiap kegiatan lingkungan tersebut.

Sedangkan menurut Holil (1980: 9-10), unsur-unsur dasar partisipasi

sosial yang juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah:

1. Kepercayaan diri masyarakat;

2. Solidaritas dan integritas sosial masyarakat;

3. Tanggungjawab sosial dan komitmen masyarakat;

4. Kemauan dan kemampuan untuk mengubah atau memperbaiki keadaan dan

membangun atas kekuatan sendiri;

5. Prakarsa masyarakat atau prakarsa perseorangan yang diterima dan diakui

sebagai/menjadi milik masyarakat;

6. Kepentingan umum murni, setidak-tidaknya umum dalam lingkungan

masyarakat yang bersangkutan, dalam pengertian bukan kepentingan umum

yang semu karena penunggangan oleh kepentingan perseorangan atau

sebagian kecil dari masyarakat;

19

7. Organisasi, keputusan rasional dan efisiensi usaha;

8. Musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan;

9. Kepekaan dan ketanggapan masyarakat terhadap masalah, kebutuhan-

kebutuhan dan kepentingan-kepentingan umum masyarakat.

Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program

juga dapat berasal dari unsur luar/lingkungan. Menurut Holil (1980: 10) ada 4

poin yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari

luar/lingkungan, yaitu:

1. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga

masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam

masyarakat dengan sistem di luarnya;

2. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga,

pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang

menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi

masyarakat;

3. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan

struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan

mendorong terjadinya partisipasi sosial;

4. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga

masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan

mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau

kelompok.

20

D. Komite Sekolah

Sebagai konsekuensi perluasan makna partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, maka perlu dibentuk

suatu wadah untuk menampung dan menyalurkannya yang diberi nama Komite

Sekolah. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta

masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi

pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah,

jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.

Komite Sekolah merupakan suatu badan atau lembaga non profit dan non

politis, dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholder

pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sebagai representasi dari berbagai

unsur yang bertanggungjawab terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil

pendidikan.

Ditinjau dari perspektif sejarah persekolahan pada tingkat SD, SLTP, dan

SMU/SMK di Indonesia, masyarakat sekolah, khususnya orang tua siswa, telah

memerankan sebagian fungsinya dalam membantu penyelenggaraan pendidikan.

Sebelum tahun 1974 masyarakat orang tua siswa di lingkungan masing-masing

sekolah telah membentuk Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG).

Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap

penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah semakin meningkat, maka POMG pada

awal tahun 1974 dibubarkan dan dibentuk suatu badan yang dikenal dengan

Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Pasang surut perkembangan

penyelenggaraan pendidikan jalur dan jenis sekolah, tidak dapat dilepaskan dari

21

partisipasi masyarakat, khususnya orang tua peserta didik termasuk keberadaan

BP3.

Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap kualitas

pelayanan dan hasil pendidikan yang diberikan oleh sekolah, dan dalam rangka

mencapai tujuan pendidikan nasional melalui upaya peningkatan mutu,

pemerataan, dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, dan tercapainya

demokratisasi pendidikan, perlu adanya dukungan dan peran serta masyarakat

untuk bersinergi dalam suatu wadah yang lebih sekedar lembaga pengumpul dana

pendidikan dari orang tua siswa.

Kondisi nyata tersebut dalam memasuki era Manajemen Berbasis Sekolah

(MBS) perlu dibenahi selaras dengan tuntutan perubahan yang dilandasi

kesepakatan, komitmen, kesadaran, dan kesiapan membangun budaya baru dan

profesionalisme dalam mewujudkan “Masyarakat Sekolah” yang memiliki

loyalitas pada peningkatan mutu sekolah. Untuk terciptanya suatu masyarakat

sekolah yang kompak dan sinergis, maka Komite Sekolah merupakan bentuk atau

wujud kebersamaan yang dibangun melalui kesepakatan (SK Mendiknas Nomor

044/U/2002).

Komite Sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan

pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan

pendidikan yang sama di satu kompleks yang sama. Nama Komite Sekolah

merupakan nama generik. Artinya, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi

dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah,

Komite Pendidikan, Komite Pendidikan Luar Sekolah, Dewan Sekolah, Majelis

22

Sekolah, Majelis Madrasah, Komite TK, atau nama lainnya yang disepakati.

Dengan demikian, organisasi yang ada tersebut dapat memperluas fungsi, peran,

dan keanggotaannya sesuai dengan panduan ini atau melebur menjadi organisasi

baru, yang bernama Komite Sekolah (SK Mendiknas Nomor 044/U/2002).

Peleburan BP3 atau bentuk-bentuk organisasi lain yang ada di sekolah,

kewenangannya akan berkembang sesuai kebutuhan dalam wadah Komite

Sekolah.

Komite Sekolah berkedudukan di satuan pendidikan, baik sekolah maupun

luar sekolah. Satuan pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis, dan jalur

pendidikan, mempunyai penyebaran lokasi yang amat beragam. Ada sekolah

tunggal dan ada sekolah yang berada dalam satu kompleks. Ada sekolah negeri

dan ada sekolah swasta yang didirikan oleh yayasan penyelenggara pendidikan.

Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai

hubungan hierarkis dengan sekolah maupun lembaga pemerintah lainnya. Komite

Sekolah dan sekolah memiliki kemandirian masing-masing, tetapi tetap sebagai

mitra yang harus saling bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen berbasis

sekolah (MBS).

Dibentuknya Komite Sekolah dimaksudkan agar adanya suatu organisasi

masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli

terhadap peningkatan kualitas sekolah. Komite Sekolah yang dibentuk dapat

dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya, demografis, ekologis, nilai

kesepakatan, serta kepercayaan yang dibangun sesuai potensi masyarakat

setempat. Oleh karena itu, Komite Sekolah yang dibangun harus merupakan

23

pengembangan kekayaan filosofis masyarakat secara kolektif. Artinya, Komite

Sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada pengguna (client

model), berbagai kewenangan (power sharing and advocacy model) dan kemitraan

(partnership model) yang difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan

pendidikan.

Adapun tujuan dibentuknya Komite Sekolah sebagai suatu organisasi

masyarakat sekolah adalah sebagai berikut.

1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam

melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan

pendidikan.

2. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

3. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis

dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan

pendidikan.

Keberadaan Komite Sekolah harus bertumpu pada landasan partisipasi

masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil pendidikan di

sekolah. Oleh karena itu, pembentukannya harus memperhatikan pembagian peran

sesuai posisi dan otonomi yang ada. Adapun peran yang dijalankan Komite

Sekolah adalah sebagai berikut :

a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan

kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.

24

b. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran,

maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

c. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas

penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

d. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan

pendidikan.

Disamping itu pula Departemen Pendidikan Nasional (2005:24)

menegaskan Komite Sekolah memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap

penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.

b. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/ dunia

usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan

pendidikan yang bermutu.

c. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan

pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.

d. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan

pendidikan mengenai:

1) Kebijakan dan program pendidikan;

2) Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS);

3) Kriteria kinerja satuan pendidikan;

4) Kriteria tenaga kependidikan;

5) Kriteria fasilitas pendidikan; dan

6) Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.

25

e. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna

mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.

f. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan

pendidikan di satuan pendidikan.

g. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program,

penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

Komite Sekolah sesuai dengan peran dan fungsinya, melakukan partisipasi

sebagai berikut :

a. Komite Sekolah menyampaikan hasil kajian pelaksanaan program sekolah

kepada stakeholder secara periodik, baik yang berupa keberhasilan maupun

kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran program sekolah.

b. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban bantuan masyarakat baik berupa

materi (dana, barang tak bergerak maupun bergerak), maupun non materi

(tenaga, pikiran) kepada masyarakat dan pemerintah setempat.

Keanggotaan Komite Sekolah berasal dari unsur-unsur yang ada dalam

masyarakat. Di samping itu unsur Dewan Guru, Yayasan/Lembaga Penyelenggara

Pendidikan, Badan Pertimbangan Desa dapat pula dilibatkan sebagai anggota.

Anggota Komite Sekolah dari unsur masyarakat dapat berasal dari komponen-

komponen sebagai berikut:

a. Perwakilan orang tua/wali peserta didik berdasarkan jenjang kelas yang

dipilih secara demokratis.

b. Tokoh masyarakat (Ketua RT/RW/RK, Kepala Dusun, Ulama, Budayawan,

Pemuka Adat).

26

c. Anggota masyarakat yang mempunyai perhatian atau dijadikan figur dan

mempunyai perhatian untuk meningkatkan mutu pendidikan.

d. Pejabat pemerintah setempat (Kepala Desa/Lurah, Kepolisian, Koramil,

Depnaker, Kadin, dan instansi lain).

e. Dunia usaha/industri (pengusaha industri, jasa, asosiasi, dan lain-lain).

f. Pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu

pendidikan.

g. Organisasi profesi tenaga pendidikan (PGRI, ISPI, dan lain-lain).

h. Perwakilan siswa bagi tingkat SLTP/SMU/SMK yang dipilih secara

demokratis berdasarkan jenjang kelas.

i. Perwakilan forum alumni SD/SLTP/SMU/SMK yang telah dewasa dan

mandiri.

j. Anggota Komite Sekolah yang berasal dari unsur dewan guru, yayasan/

lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertimbangan Desa sebanyak-

banyaknya berjumlah tiga orang. Jumlah anggota Komite Sekolah sekurang-

kurangnya 9 (sembilan) orang dan jumlahnya harus gasal. Syarat-syarat, hak,

dan kewajiban, serta masa keanggotaan Komite Sekolah ditetapkan di dalam

AD/ART.

Pengurus Komite Sekolah ditetapkan berdasarkan AD/ART yang

sekurang-kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan bidang-

bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan. Pengurus komite dipilih dari dan oleh

anggota secara demokratis. Khusus jabatan ketua komite bukan berasal dari

kepala satuan pendidikan. Jika diperlukan dapat diangkat petugas khusus yang

27

menangani urusan administrasi Komite Sekolah dan bukan pegawai sekolah,

berdasarkan kesepakatan rapat Komite Sekolah.

Dari beberapa penjelasan tentang komite sekolah jelaslah bahwa

Penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah sesuai dengan jenjang dan jenis, baik

negeri maupun swasta, telah diatur melalui perundang-undangan serta perangkat

peraturan yang mengikutinya. Selain itu setiap penyelenggaraan persekolahan

dibina oleh instansi yang berwenang. Dengan demikian, kondisi tersebut

berimplikasi terhadap tatanan dan hubungan baik vertikal maupun horizontal yang

baku antara sekolah dengan instansi lain. Tata hubungan antara Komite Sekolah

dengan satuan pendidikan, Dewan Pendidikan, dan institusi lain yang

bertanggungjawab dalam pengelolaan pendidikan dengan komite Sekolah pada

satuan pendidikan lain bersifat koordinatif.

E. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

BOS adalah program pemerintah untuk penyediaan pendanaan biaya non

personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar.

Sesuai kompetensi yang dimiliki serta tujuan pendidikan, pendidikan dasar (SD

dan SLTP) memang tidak mempersiapkan lulusannya untuk bekerja, melainkan

untuk memberi bekal bagi pendidikan selanjutnya pada jenjang yang lebih tinggi.

Tetapi kenyataannya banyak anak usia sekolah tidak dapat kenaikan Bahan Bakar

Minyak (BBM). Sehingga pemerintah mengeluarkan Program Kebijakan

Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM) bidang pendidikan

diantaranya adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Lahirnya program BOS

28

dilatar belakangi oleh adanya kekhawatiran bahwa peningkatan harga BBM, yang

mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat, juga akan berdampak negatif

terhadap akses masyarakat miskin untuk mendapat pendidikan serta menghambat

pencapaian wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Selain itu dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk itu setiap warga negara Indonesia

berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat

yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender.

Pemerataan dan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki

keterampilan hidup (life skill) sehingga memiliki kemampuan untuk mengenal

dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong tegaknya masyarakat

madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Pada saat ini, jutaan anak

usia sekolah di negara kita masih belum mendapatkan kesempatan bersekolah.

Salah satu solusi pemerintah melalui Kemendiknas, menyalurkan dana bantuan

dan kemudahan melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Penerima

BOS diutamakan bagi para siswa miskin putus sekolah, karena tidak mampu

membayar iuran/pungutan yang dilakukan oleh sekolah. Jika kemudian masih ada

sisa dana BOS, maka akan digunakan mensubsidi siswa lain. Bagi sekolah yang

tidak mempunyai siswa miskin, maka dana BOS digunakan untuk mensubsidi

seluruh siswa sehingga dapat mengurangi pungutan/sumbangan/iuran yang

dibebankan kepada orang tua siswa, minimum senilai dana BOS yang diterima

29

sekolah. Diharapkan, tidak akan ada lagi tamatan SD/MI setara yang tidak

melanjutkan ke SMP/MTs/SMPLB, karena mahalnya biaya masuk sekolah.

Kepala sekolah harus proaktif mencari dan mengajak siswa SD/MI/SDLB

yang akan lulus namun berpotensi tidak melanjutkan sekolah untuk ditampung di

SMP/MTs/SMPLB. Demikian juga bila teridentifikasi anak putus sekolah yang

masih berminat melanjutkan agar diajak kembali ke bangku sekolah. Program

BOS yang dimulai sejak bulan Juli 2005, telah berperan dalam percepatan

pencapaian program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun. Dana BOS terbukti

memberikan bantuan kepada banyak sekolah di tanah air, terutama untuk jenjang

pendidikan dasar (SD). Jenjang pendidikan dasar adalah bagian terpenting dalam

dunia pendidikan sebab memberikan dasar-dasar atau landasan pembentukan

watak dan intelektualitas sebuah bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya

melakukan perubahan tujuan, pendekatan dan orientasi BOS. Program BOS ke

depan harus memberikan kontribusi penting untuk peningkatan mutu pendidikan

dasar dan menjadi pilar utama untuk mewujudkan pendidikan gratis di pendidikan

dasar. Dengan adanya BOS, bukan saja sekolah yang terbantu, tapi juga para

orang tua yang sebelumnya mengeluhkan tingginya biaya pendidikan. Namun di

sisi lain, banyak pula sekolah yang semata-mata mengandalkan biaya operasional

sekolah pada BOS. Karena itu, bila ada sekolah yang masih menuntut biaya untuk

anak didiknya, banyak orang tua yang langsung bereaksi. Mereka

mempertanyakan dana BOS yang sudah dikucurkan oleh pemerintah.

Mulai tahun 2007, pengelolaan program BOS Kemendiknas dan BOS

Depag dipisahkan. Kemendiknas bertanggung jawab menyalurkan dana ke

30

sekolah SD/SDLB/SMPLB/SMPT, baik negeri maupun swasta yang berizin

operasional dari Dinas Pendidikan. Sedangkan Departemen Agama, menyalurkan

dana ke MI/Mts/Salafiyah/Sekolah keagamaan lainnya, dengan izin operasional

dari Depag. Pemprov/Pemkab/Pemkot, berkewajiban menyediakan Biaya

Operasional Pendidikan (BOP) setiap tahun, sebagai sumber utama pembiayaan

sekolah. Terutama bagi pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan Sekolah

Gratis, maka harus memenuhi kekurangan biaya operasional sekolah dari sumber

APBD. Menambah dana untuk Tim Manajemen BOS di

Propinsi/Kabupaten/Kota. Juga memastikan BOS berjalan sesuai dengan panduan

yang ditetapkan. Seperti melakukan pengawasan dan audit, terhadap setiap

sekolah penerima BOS, termasuk menindaklanjuti jika ada indikasi

penyimpangan.

Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban

masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka Wajar 9 tahun yang

bermutu. Dan secara khusus program BOS bertujuan untuk :

1. Menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat pendidikan dasar dari beban

biaya operasional sekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta.

2. Menggratiskan seluruh siswa SD negeri dan SMP negeri terhadap biaya

operasional sekolah, kecuali pada rintisan sekolah bertaraf internasional

(RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI).

3. Meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta.

Sasaran program BOS adalah semua sekolah SD dan SMP, termasuk

Sekolah Menengah Terbuka (SMPT) dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri

31

(TKBM) yang diselenggarakan oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di

seluruh provinsi di Indonesia. Tapi, Program Kejar Paket A dan Paket B tidak

termasuk sasaran dari program BOS ini. Adapun besarnya biaya satuan BOS

tahun ajaran 2009/2010 yang diterima oleh sekolah termasuk untuk BOS Buku,

dihitung berdasarkan jumlah siswa dengan ketentuan : SD/ MI/ SDLB/ Salafiyah/

sekolah agama non Islam setara SD sebesar Rp. 400.000,-/siswa/tahun untuk kota

dan kabupaten sebesar Rp. 397.000,-.

Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa Program BOS pada dasarnya

merupakan paket bantuan yang diberikan untuk membantu sekolah agar dapat

menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara maksimal sebagai usaha untuk

membantu sekolah mengingat keterbatasan konstribusi masyarakat terhadap

pengadaan dana untuk kelangsungan pendidikan di sekolah. Oleh karenanya

melalui BOS diharapkan mampu meminimalisir berbagai kelemahan yang terkait

dengan minimnya dana yang dimiliki sekolah.

Penyusunan anggaran keuangan BOS atau sering disebut anggaran belanja

sekolah BOS, biasanya dikembangkan dalam format – format yang meliputi :

(1) Jumlah BOS, (2) Pengeluaran untuk kegiatan belajar mengajar, pengadaan

dan pemeliharaan sarana prasarana, bahan-bahan dan alat pelajaran, honomarium

dan kesejahteraan. Dalam penyusunan anggaran keuangan BOS ini harus

melibatkan partisipasi aktif segenap warga sekolah, agar mereka memahami arah

dan kebijakan pemanfaatan dana BOS melalui rencana anggaran yang dirumuskan

bersama. Hal ini merupakan aktualisasi dari penyusunan RAPBS BOS.

32

Lipham (dalam Mulyasa 2003:198) mengungkapkan empat fase kegiatan

pokok penyusunan anggaran termasuk anggaran keuangan BOS sebagai berikut :

a. Perencanaan anggaran yaitu merupakan kegiatan mengidentifikasi tujuan,

menentukan perioritas, menjabarkan tujuan kedalam penampilan operasional

yang dapat diukur, menganalisis alternatif pencapaian tujuan dengan membuat

rekomendasi alternatif pendekatan untuk mencapai sasaran.

b. Mempersiapkan anggaran antara lain menyesuaikan kegiatan dengan

mekanisme anggaran yang berlaku bentuknya, distribusi dan sasaran program

pengajaran perlu dirumuskan dengan jelas. Melakukan inventarisasi

kelengkapan peralatan, bahan-bahan yang telah tersedia.

c. Mengelola pelaksanaan anggaran antara lain mempersiapkan pembukuan,

melakukan pembelajaran dan membuat transaksi, membuat perhitungan,

mengawasi pelaksanaan sesuai dengan prosedur kerja yang berlaku serta

membuat laporan dan pertanggungjawaban keuangan.

d. Menilai pelaksanaan anggaran antara lain menilai pelaksanaan roses belajar

mengajar, menilai bagaimana pencapaian sasaran program serta membuat

rekomendasi untuk perbaikan anggaran yang akan datang.

Terkait dengan perencanaan keuangan sekolah terutama BOS memerlukan

data yang akurat dan lengkap sehingga perencanaan kebutuhan untuk masa yang

akan datang dapat diantisipasi dalam rancangan anggaran. Jika dikaji terdapat

beberapa faktor yang turut mempengaruhi perencanaan keuangan sekolah antara

lain laju pertumbuhan siswa serta peningkatan pendekatan belajar mengajar.

33

Terdapat beberapa hal yang diperhatikan dalam perencanaan keuangan

sekolah atau anggaran belanja sekolah termasuk BOS adalah sebagai berikut :

a. Anggaran belanja sekolah harus dapat mengganti beberapa peraturan dan

prosedur yang tidak efektif sesuai dengan perkembangan kebutuhan

pendidikan.

b. Merevisi peraturan dan input lain yang relevan dengan merancang

pengembangan sistem secara efektif.

c. Memonitor dan menilai keluaran pendidikan secara terus menerus dan

berkesinambungan sebagai bahan tahap berikutnya.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa perencanaan

keuangan sekolah termasuk BOS dapat dikembangkan secara efektif jika

didukung oleh beberapa sumber yang esensial yaitu : a) Sumber daya manusia

yang kompoten dan mempunyai wawasan luas tentang dinamika sosial

masyarakat, b) Tersedianya informasi yang akurat dan tepat waktu untuk

menunjang pembuatan keputusan, c) Menggunakan manajemen dan teknologi

yang tepat dalam perencanaan, d) Tersedianya dana yang memadai untuk

menunjang pelaksanaan.

Sementara itu secara khusus dalam penyusunan RAPBS BOS, komite

sekolah yang perlu dilibatkan sehingga mereka memiliki konstribusi yang

signifikan terhadap program pengembangan mutu di sekolah. Hal tersebut pada

gilirannya akan menumbuhkan sikap yang tinggi untuk mengawasi pemanfaatan

dana BOS.

34

Terdapat kecenderungan oleh Kepala Sekolah dalam penyusunan RAPBS

maupun dalam pengelolaan dana BOS hampir komite sekolah tidak pernah

dilibatkan dalam penyusunan RAPBS, sedangkan komite sekolah hanya bersifat

formalitas untuk membubuhkan tanda tangan terhadap RAPBS yang telah disusun

oleh sekolah sehingga fungsi kontrol masih sangat lemah.

F. Partisipasi Komite Sekolah dalam Pengelolaan Dana BOS

Komite sekolah dibentuk di setiap sekolah sebagai hasil dari SK Menteri

No. 202, tahun 2006. Komite diharapkan bekerjasama dengan kepala sekolah

sebagai partner untuk mengembangkan kualitas sekolah dengan menggunakan

konsep manajemen berbasis sekolah dan masyarakat yang demokratis, transparan,

dan akuntabel. Selain itu Undang-undang pendidikan bulan Juni 2003 (pasal 56)

memberikan kepada komite sekolah untuk meningkatkan kualitas pelayanan

pendidikan melalui: (i) nasihat; (ii) pengarahan; (iii) bantuan personalia, material,

dan fasilitas; maupun (iv) pengawasan pendidikan.

Sebagian besar anggota komite mempunyai minat menjadi anggota komite

di sekolah anaknya. Anggota komite sekolah pada umumnya dipilih melalui

musyawarah tidak melalui pemilihan. Beberapa orang anggota BP3 diangkat

kembali menjadi anggota komite dan tugasnya diperluas. Banyak komite yang

sudah mempunyai SK dari kepala sekolah. Pertemuan-pertemuan formal,

dilakukan secara regular, tetapi tidak sering. Sering mereka diundang oleh kepala

sekolah untuk mendiskusikan perencanaan, pelaksanaan dan pendanaan rencana

pengembangan sekolah (RAPBS). Program-program yang dikembangkan dalam

35

pertemuan-pertemuan ini menunjukkan kecenderungan terfokus pada perbaikan

fisik sekolah.

Aktivitas peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya nampak tidak

mengacu pada isu-isu penting belajar mengajar. Walaupun demikian, dampak

positif perencanaan bersama pengembangan program dapat dilihat di banyak

sekolah. Komite sekolah dengan semangat tinggi merinci perubahan-perubahan di

sekolah di dalam 4 bidang peningkatan pembelajaran, guru dan kesejahterannya,

fasilitas sekolah yang lebih baik, dan perbaikan lingkungan fisik.

Walaupun demikian, ada kendala-kendala. Kendala yang paling menonjol

adalah usaha sekolah untuk mendanai program yang berani, terutama karena

perencanaan dilakukan lebih dulu, dan kemudian dicarikan pendanaannya. Dalam

pengumpulan dana, suatu kegiatan yang memerlukan pemikiran dan tenaga dari

komite, tidak dianggap sebagai tanda keefektifan komite. Banyak yang

menganggap bahwa lingkungan kerja yang bagus dan anggota yang berkualitas

sangat penting, sehingga komite dapat bekerja secara efektif bersama-sama

dengan sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Pada tahap pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

komite sekolah perlu dilibatkan secara aktif sebagai bentuk untuk merangsang

partisipasi komite sekolah. Pada tahap ini perlu adanya pembagian pekerjaan

dalam tugas – tugas tertentu dalam jabatan – jabatan serta menentukan fungsi

pekerjaan yang harus dilaksanakan. Jika dalam waktu tertentu diperlukan

pendelegasian wewenang maka hal tersebut perlu dilakukan secara baik sehingga

memudahkan pelaksanaan kegiatan. Sementara itu penggerakkkan dilakukan

36

dengan cara menjelaskan tujuan pelaksanaan program BOS kepada setiap personil

yang ada di sekolah. Dalam konteks ini perlu diusahakan agar setiap personil

sekolah menyadari, memahami serta menerima dengan baik tujuan itu.

Untuk lebih memperkuat hal tersebut kepala sekolah perlu menjelaskan

kebijakan – kebijakan yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan. Untuk

memudahkan dalam pencapaian tujuan tersebut maka perlu dijelaskan pula

peranan yang diharapkan untuk dijalankan setiap personil sekolah. Dengan

demikian mereka akan memahami dengan baik peran apa yang perlu mereka

lakukan agar program yang dibiayai dan BOS dapat mencapai sasaran.

Teknik lain yang perlu dikembangkan dalam pengelolaan dana BOS yaitu

dengan cara memberikan kesempatan kepada segenap personil sekolah (komite

sekolah) untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dana BOS secara

konsepsional. Manullung (1996 : 20) mengartikan pengawasan sebagai salah satu

fungsi manajemen yang berupa mengadakan penilaian bila perlu mengadakan

koreksi sehingga apa yang dilakukan dapat diarahkan ke jalan yang benar dengan

maksud tercapai tujuan yang sudah digariskan semula. Liputo (1998 : 169) bahwa

“pengawasan adalah suatu proses dimana pimpinan organisasi melihat apakah

yang telah dilakukan sesuai dengan harapan jika tidak perbaikan perlu diadakan

untuk penyesuaian”. Sutisna (2000 : 240-241) mengklasifikasi 4 tindakan yang

harus dilakukan dalam kegiatan pengawasan yaitu : (1) ukuran suatu kriteria atau

standar pengukuran / penilaian, (2) mengukur/menilai perbuatan (performance)

yang sedang atau sudah dilakukan (3) membandingkan perbuatan dengan standar

37

yang ditetapkan dan menetapkan perbedaannya jika ada. (4) memperbaiki

penyimpangan dari standar (jika ada) dengan tindakan pembetulan.

Pendapat diatas menunjukkan bahwa kegiatan pengawasan mencakup 4

unsur utama yaitu : (1) penetapan standar pelaksanaan, (2) penentuan ukuran-

ukuran pelaksanaan, (3) pengukuran pelaksanaan nyata dan membandingkan

dengan standar yang telah ditetapkan dan (4) pengambilan tindakan koreksi yang

diperlukan jika ada penyimpangan.

Pengawasan yang efektif terhadap pemanfaatan dana BOS memiliki ciri

khas sebagai berikut yaitu (1) pengawasan harus merefleksikan sifat dari berbagai

kegiatan yang diselenggarakan artinya bahwa teknik pengawasan harus sesuai

antara lain dengan penemuan informasi tentang siapa yang melakukan

pengawasan dan kegiatan apa yang menjadi sasaran pengawasan tersebut, (2)

pengawasan harus segera memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya

deviasi dari rencana, (3) pengawasan harus menunjukkan pengecualian pada titik-

titik strategi tertentu. (4) objektivitas dalam melakukan pengawasan, (5)

keluwesan dalam pengawasan artinya bahwa pelaksanaan pengawasan harus tetap

bisa berlangsung meskipun organisasi menghadapi perubahan karena timbulnya

keadaan yang tidak diduga sebelumnya atau bahkan juga bila terjadi kegagalan.

Bila ada segi-segi tertentu dari rencana yang mengalami kegagalan atau

perubahan, pengawasan harus segera melaporkan kegagalan atau perubahan

tersebut, dengan demikian penyesuaian – penyesuaian yang diperlukan dapat

dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan kepengawasan, (6) pengawasan harus

memperhitungkan pola dasar organisasi dalam hal ini proses pengawasan jangan

38

sampai ada pihak yang merasa dilampaui baik yang menyangkut pelaksanaannya,

temuannya maupun tindakan perbaikan yang diambil, (7) efisiensi pelaksanaan

pengawasan artinya bahwa pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan

kebutuhan organisasi yang bersangkutan karena hanya dengan demikian efesiensi

pengawasan dapat dilakukan, (8) pemahaman system pengawasan oleh semua

piak yang terlibat, (9) pengawasan dilakukan untuk mencari apa yang tidak beres

artinya baha pengawsan yang baik harus dapat menemukan siapa yang salah dan

factor apa yang menyebabkan terjadinya kesalahan tersebut, (10) pengawasan

harus bersikap membimbing artinya bahwa kegiatan pengawasan harus dapat

memberikan petunjuk yang jelas sanksi yang akan dikenakan kepada siapa saja

yang melanggar disiplin. Namun pemberian sanksi ini harus didasarkan pada

pertimbangan yang objektif dan rasional serta sesuai dengan peraturan yang

berlaku Siagian (2002 : 176-183).

Dengan pengawasan yang intensif maka cenderung akan memberikan hasil

yang optimal dalam setiap pekerjaan oleh karenanya kepengawasan pada setiap

pekerjaan perlu dilakukan secara efektif untuk mendukung pencapaian tujuan

organisasi.

Dalam konteks untuk mengawasi pemanfaatan Dana Bantuan Operasional

Sekolah (BOS) perlu melibatkan partisipasi komite sekolah. Hal ini perlu

dilakukan agar setiap komite sekolah merasa berpartisipasi untuk melaksanakan

program ini. Sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya pengawasan

keuangan BOS dilaksanakan oleh petugas dari Bawasda dan Dinas Pendidikan

serta segenap komponen masyarakat (komite sekolah) yang terkait. Pengawasan

39

manajemen keuangan BOS yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Bawasda

tersebut dilakukan secara rutin satu tahun dua kali melalui pemeriksaan

pembukuan keuangan sekolah.

Pengawasan terhadap pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah

(BOS) ini harus dilakukan secara kontinyu sehingga seluruh aktivitas yang terkait

dengan pemanfaatan program ini dapat diawasi secara intensif.

Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengawasan

pemanfaatan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yaitu pengawasan harus

merefleksikan sifat dari berbagai program yang dibiayai dengan Dana Bantuan

Operasional Sekolah (BOS). Sejalan dengan hal tersebut pengawasan harus segera

memberikan petunjuk tentang kemungkinan adanya deviasi dari rencana.

Objektivitas dan keluwesan pengawasan perlu diselaraskan untuk menghasilkan

kegiatan pengawasan yang optimal artinya bahwa pemanfaatan Dana BOS harus

siap menghadapi perubahan karena timbulnya keadaan yang tidak diduga

sebelumnya atau bahkan juga bila terjadi kegagalan. Bila ada segi-segi tertentu

dari rencana yang mengalami kegagalan atau perubahan, pengawas harus segera

melaporkan kegagalan atau perubahan tersebut dengan demikian penyesuaian-

penyesuaian yang diperlukan dapat dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan

pengawasan. Kegiatan pengawasan pun perlu memperhatikan tingkat efisiensi

pelaksanaan artinya bahwa pengawasan harus dilaksanakan sesuai dengan

kebutuhan pengawsan BOS harus bersifat membimbing artinya bahwa kegiatan

pengawsan harus dapat memberikan petunjuk yang jelas sanksi yang akan

dikenakan kepada siapa saja yang melanggar disiplin. Namun pemberian sanksi

40

ini harus didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan rasional serta sesuai

dengan peraturan yang berlaku. Bentuk sanksi yang dapat diberikan antara lain

teguran atau hukuman displin lainnya.

Melalui strategi yang dikembangkan tersebut diatas diharapkan mampu

meningkatkan pemanfaatan dana BOS. Kondisi ini pada gilirannya akan

mengundang simpati komite sekolah untuk meningkatkan partisipasinya dalam

penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam partisipasi yaitu pemanfaatan

dana BOS adalah kegiatan laporan dan evaluasi pertanggungjawaban dana BOS.

Dalam konteks ini kegiatan laporan dan evaluasi pertanggungjawaban dana BOS

perlu dilakukan scara rutin. Mulyasa (2003 ; 205) berpendapat bahwa evaluasi dan

pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dicapai harus dilakukan sesuai

dengan tujuan yang telah ditetapkan. Auditing merupakan pembuktian dan

penentuan bahwa apa yang dimaksud sesuai dengan yang dilaksanakan. Sedang

apa yang dilaksanakan sesuai dengan tugas. Proses ini menyangkut

pertanggungjawaban penerimaan, penyimpanan dan pembayaran atau penyerahan

dana kepada pihak – pihak yang berhak. Evaluasi adalah kegiatan pengendalian,

penjaminan dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen

pendidikan pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk

pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan.

Evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan sekolah termasuk BOS dapat

diidentifikasi ke dalam tiga hal yaitu pendekatan pengendalian penggunaan

alokasi dana, bentuk pertanggungjawaban keuangan sekolah dan keterlibatan

41

pengawasan pihak eksternal sekolah. Bahasan tentang evaluasi dan

pertanggungjawaban keuangan sekolah dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Evaluasi Dana BOS

Dalam evaluasi keuangan Dana BOS perlu didasarkan pada kebutuhan dan

kewenagan karena kebutuhan merupakan bagian dari pengawasan melekat. Dalam

manajemen keuangan sekolah, kepala sekolah perlu melakukan pengendalian

pengeluaran keungan selaras dengan anggaran belanja yang telah ditetapkan.

Artinya pimpinan bertanggungjawab terhadap masalah internal manajemen

keuangan sebagai atasan langsung.

Secara definitive penilaian merupakan usaha untuk membandingkan antara

hasil – hasil nyata dengan target yang seharusnya dicapai. Siagian (2002 : 2006)

mendefenisikan penilaian sebagai hasil – hasil yang nyatanya dicapai dengan

hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Evaluasi keuangan sekolah (BOS) harus

dilakukan melalui aliran masuk dan keluar uang yang dibutuhkan oleh Bendahara.

Hal ini dilakukan mulai dari proses keputusan pengeluaran pos anggaran,

pembelanjaan, perhitungan dan penyimpanan barang oleh petugas yang ditunjuk.

Secara adminstrasi pembukuan setiap pengeluaran dan pemasukan setiap bulan

ditanda tangani sebagai berita acara. Kepala Sekolah sebagai atasan langsung

bertanggung jawab penuh atas pengendalian sedangkan pengawasan dari pihak

berwenang melalui pemeriksaan yang dilaksanakan oleh instansi vertikal seperti

petugas dari Dinas Pendidikan dan Bawasda. Pengawasan tersebut relative dilihat

dari tugas rutinitas atas dasar kewenagan pengawasan pembiayaan yang masuk

dan diserap di sekolah.

42

Prosedur pengendalian penggunaan alokasi anggaran sifatnya sangat

normative administrative. Artinya pemenuhan pengendalian masih terbatas pada

angka kuantitatif yang terdokumentasi. Dengan demikian aspek-aspek realitas

penggunaan sulit diukur secara objektif. Persoalan tersebut sering terjadi di setiap

sekolah. Hal tersebut dimana aliran uang dan barang teridentifikasi sesuai dengan

peran dan fungsi.

2. Pertanggungjawaban Dana BOS

Pertanggungjawaban penerimaan dan penggunaan Dana BOS

dilaksanakan dalam bentuk laporan triwulan kepada :

a. Kepala Dinas Pendidikan Kecamatan

b. Kepala Badan Pengawasan Daerah (BAWASDA)

c. Kepada segenap stakeholders pendidikan di sekolah.

Pertanggungjawaban yang dikenal dengan Uang Yang Harus

Dipertanggungjawabkan (UYHD) dilaporkan setiap bulan kepada pihak yang

ditetapkan sesuai dengan format dan ketetapan waktu. Khusus untuk keuangan

komite sekolah bentuk partisipasinya sangat terbatas pada tingkat pengurusan dan

tidak secara langsung kepada orang tua peserta didik.

Untuk mengoptimalkan pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah

(BOS) di sekolah maka diperlukan beberapa faktor pendukung yaitu (1) komitmen

yang tinggi untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana BOS, (2) adanya guru dan

staf yang berkualitas serta memiliki jumlah mencukupi, (3) ketersediaan sarana

dan prasarana pendidikan serta (4) apresiasi masyarakat yang positif terhadap

pendidikan, (5) adanya manajemen sekolah yang rapi dan berkualitas.

43

Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa pengelolaan Dana Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) ditunjukkan oleh beberapa aspek sebagai berikut : (1)

keterbukaan pengelolaan dana. Dalam hal ini pengelolaan Dana Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) harus diketahui oleh seluruh komite sekolah,

Sirkulasi keuangan mulai dari kegiatan perencanaan dan evaluasi program

semuanya harus diketahui oleh seluruh komite sekolah, (2) Partisipasi komite

sekolah, Partisipasi komite sekolah dimaksudkan agar seluruh personil yang ada

memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan program yang dibiayai dengan

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Partisipasi komite sekolah dalam

pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ini dapat dimulai dari

kegiatan penyusunan proposal Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dalam

hal ini kepala sekolah, wakil kepala sekolah, perwakilan guru, dan tokoh

masyarakat/komite sekolah harus ikut berpartisipasi dalam penyusunan program

pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Keikut sertaan ini akan

berimplikasi pada diketahuinya seluruh program pengembangan mutu di sekolah

oleh segenap pihak yang terkait sehingga menimbulkan antusiasme dalam

membantu implementasi program ini. Dalam konteks yang bersamaan

keikutsertaan komite sekolah memungkinkan terjadinya dialog yang dapat

membantu memecahkan stagnasi yang dihadapi dalam pelaksanaan program Dana

Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Melalui kegiatan ini pula maka seluruh

potensi komite sekolah dapat diberdayakan secara optimal untuk mendukung

program peningkatan mutu, (3) adanya kemandirian. Dalam pelaksanaan program

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kemandirian terkait erat dengan usaha

44

sendiri untuk mengembangkan program Dana Bantuan Operasional Sekolah

(BOS) dan menyusun rangkaian kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan

program peningkatan mutu di sekolah, kemandirian ini merupakan hal yang

sangat di tuntut agar sekolah dapat belajar dari pengalaman tersebut tanpa harus

mencontoh strategi pengembangan mutu yang berlaku di sekolah yang lain, (4)

Sustainabilitas, hal ini mengandung makna bahwa dalam pemanfaatan Dana

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu memiliki sikap sustainabilitas atau

berkelanjutan. Sikap ini perlu dimiliki agar seluruh program yang telah dirancang

untuk penigkatan mutu tidak berhenti hanya pada saat dana tersedia. Tetapi yang

harus dilakukan bahwa keseluruhan program yang sudah dijalankan harus tetap

ditindaklanjuti dengan program realitas yang lain sehingga ada kontinuitas

program. Hal ini perlu dilakukan karena seringkali terjadi suatu kegiatan berjalan

lancar selama masih ada “bantuan dari proyek” dan apabila bantuan dihentikan

maka kegiatan tersebut akan mengalami banyak kendala sehingga akhirnya secara

perlahan-lahan berhenti dan atau tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya

(tidak optimal pencapaian targetnya). Atas pendapat tersebut, maka keberlanjutan

program sangat ditentukan oleh keberhasilan manajemen Kepala Sekolah yang

diwujudkan dalam kinerja dewan guru yang ditopang oleh partisipasi komite

sekolah baik dalam bentuk finansial maupun kontribusi lainnya.

Berdasarkan urain secara keseluruhan jelas bahwa pemanfaatan dana BOS

merupakan manifestasi dari kewajiban untuk secara optimal menyukseskan

program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan melibatkan komite

sekolah secara aktif dalam seluruh kegiatan melalui partisipasi yang tinggi, maka

45

seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pemanfaatan Dana

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat berkiprah untuk mendorong kearah

peningkatan pendidikan secara optimal.