Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab II ini akan dikemukakan beberapa kajian teoritis yang
digunakan untuk melandasi penelitian ini. Hal-hal yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah (1) Novel (2) Jenis-jenis Novel (3) Unsur Pembangun Novel
(4) Stilistika (5) Citraan (6) Bentuk Citraan (7) Fungsi Citraan Berikut
penjabarannya.
2.1 Novel
Kata novel berasal dari bahasa Italia yang kemudian berkembang di
Inggris dan Amerika Serikat mengungkapkan, secara luas novel dapat diartikan
sebagai cerita dalam ukuran yang luas. Ukuran luas di sini bukan berarti cerita
dengan plot (alur) yang kompleks, karakter yang banyak, suasana cerita yang
beragam pula, namun ukuran yang luas di sini juga tidak mutlak demikian, tetapi
yang luas hanya salah satu fisiknya saja, misalnya tema, setting, atau yang lainnya
(Sumardjo dan Saini, 1997:29).
Sementara itu Semi (1989:32) mengemukakan bahwa novel merupakan
karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam
dan disajikan lebih halus. Dalam hal ini ditegaskan bahwa novel mengungkapkan
suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan memusatkan
kehidupan yang tegas pula.
10
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah
rangkaian cerita yang utuh yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan
kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur didalamnya terjadi konflik-
konflik sehingga akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup para
pelakunya. Novel merupakan eksplorasi kehidupan manusia yang dihasilkan dari
suatu perenungan dan dilukiskan dalam suatu bentuk tertentu. Terdapat banyak
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Setiap peristiwa memuat
perbuatan dan tingkah laku , yang kadang juga terwujud dalam perkataan. Seperti
halnya novel Jiwa yang Sanggup Meredam Gempa, bercerita terntang kehidupan
para relawan gempa Jogjakarta.
Novel merupakan karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian
cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku. Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang
berarti sebuah kisah atau sepotong berita. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000
kata) dan lebih kompleks dari cerpen, serta tidak terdapat keterbatasan struktural
dan metrical sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang
tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan menitik
beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut (Trihayanta, 2012:181).
Ratna (2009:159) mengatakan bahwa karya sastra adalah sistem model
pertama sekaligus kontekstual. Benar, karya sastra dihasilkan oleh pengarang
sebagai subjek individual, tetapi perlu disadari bahwa pengarang hidup dalam
masyarakat sehingga demikian pesan, amanat, dan unsur-unsur lainnya ditentukan
oleh masyarakat. Pengarang juga makhluk sosial yang hidup dengan masyarakat
lainnya sehingga hasil karyanya juga dinikmati oleh masyarakat sekitarnya dan
11
masyarakat dapat menilai sendiri tentang hasil karya tersebut baik dari pesan,
amanat dan unsur lainnya.
Wellek dan Werren (dalam Nurgiyantoro, 2010:6) mengemukakan bahwa
realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan
yang ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari. Sarana
untuk menciptakan ilusi yang dipergunakan untuk memikat pembaca agar mau
memasuki situasi yang tidak mungkin atau luar biasa, adalah dengan cara patuh
pada detil-detil kenyataan kehidupan sehari-hari. Kebenaran situasional tersebut
merupakan kebenaran yang lebih dalam daripada sekedar kepatuhan pada
kenyataan sehari-hari itu. Terhadap realitas kehidupan karya fiksi akan membuat
distansi estetis, membentuk dan membuat artikulasi. Ia mengubah hal-hal yang
terasa pahit dan sakit jika dialami dan dirasakan pada dunia nyata, namun menjadi
menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra.
Adapun ciri-ciri novel adalah (1) sajian cerita lebih panjang dari cerita
pendek dan lebih pendek dari roman, (2) bahan cerita diangkat dari keadaan yang
ada dalam masyarakat dengan ramuan fiksi pengarang, (3) mempunyai latar
tersendiri, (4) tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tema
bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut, (5) karakter tokoh
utama sebagai tokoh statis atau tokoh dinamis.
2.1.1 Jenis-jenis Novel
Novel dapat dibagi menjadi tiga golongan yakni novel percintaan, novel
petualangan dan novel fantasi. Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita
dan pria secara imbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan.
12
Dalam jenis novel ini digarap hampir semua tema, dan sebagian besar novel yang
beredar dapat digolongkan dalam novel percintaan. Berbeda halnya dengan novel
petualangan yang karena sedikit sekali memasukan peranan wanita. Jika wanita
disebut dalam novel jenis ini, maka penggambarannya hampir stereotip dan
kurang berperan (Sumardjo dan Saini, 1997:29).
Jenis novel petualangan adalah “bacaan kaum pria”. Karena tokoh-tokoh
di dalamnya pria dan dengan sendirinya melibatkan banyak masalah dunia lelaki
yang tidak ada hubungannya dengan wanita. Meskipun dalam novel jenis
petuangan ini sering ada percintaan juga, namun hanya bersifat sampingan belaka,
artinya novel itu tidak semata-mata berbicara persoalan cinta (Sumardjo dan Saini,
1997:29).
Pada dasarnya kaum lelaki dominan memiliki hobi petualangan daripada
wanita. Alasan tersebut membuat novel jenis petualangan pun banyak disenangi
oleh kaum lelaki karena banyak hal-haal yang menyenangkan yang dituangkan
dalam novel tersebut sehingga menambah wawasan untuk para pembaca.
Novel fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak realistis dan serba tidak
mungkin dilihat dari pengalaman sehari-hari. Novel jenis mempergunakan
karakter yang tidak realistis, setting dan plot yang juga tidak wajar untuk
menyampaikan ide-ide penulisnya. Jenis novel ini mementigkan ide, konsep, dan
gagasan sastrawannya yang hanya dapat jelas kalau diutarakan dalam bentuk
cerita fantastik, artinya menyalahi hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari
(Sumardjo dan Saini, 1997:29).
Novel fantasi bercerita tentang hal-hal yang tidak masuk akan, meski
demikian tidak sedikit yang menyukai novel fantasi tersebut karena novel fantasi
13
memberikan nuansa yang berbeda dengan jenis novel lainnya. Novel fantasi tidak
kalah menarik dengan jenis novel lainnya karena pembaca bisa berimajinasi.
Penggolongan tadi merupakan penggolongan pokok saja, sehingga dalam
praktek ketiga jenis novel tadi sering dijumpai dalam satu novel. Penggolongan
jenis novel ini dengan sendirinya hanya dapat dilakukan dengan melihat
kecenderungan mana yang terdapat dalam sebuah novel, apakah lebih banyak
percintaannya, petualangannya, atau fantasinya.
2.1.2 Unsur Pembangun Novel
Sebuah karya fiksi yang utuh, merupakan sebuah bangun cerita yang
menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal
fiksi itu sendiri hanya berupa kata. Karya fiksi, dengan demikian, menampilkan
dunia dalam kata dan bahasa, di samping juga menampilkan dunia dalam
kemungkinan. Kata merupakan sarana terwujudnya bangunan cerita. Kata
merupakan sarana pengucapan sastra.
Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang
bersifat artistik sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-
unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling
menggantungkan. Nurgiyantoro (2010:23) mengungkapkan unsur pembangun
fiksi terdiri dari dua yaitu unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik, kedua unsur inilah
yang sering disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan
novel atau karya sastra pada umumnya.
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir
14
sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang
membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang
secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai unsur
intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau sebaliknya, jika
dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai
jika kita membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian
saja misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang
penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra (Nurgiyantoro,
2010:23).
Di dalam menelaah unsur intrinsik karya sastra, bahasa sebagai medium
karya sastra tidak dapat di abaikan karena karya sastra pada dasarnya merupakan
peristiwa bahasa, dengan menggunakan tanda atau lambang yang dapat didengar
(bunyi bahasa) atau dilihat (huruf), pencerita menyampaikan apa yang dipikirkan
atau dirasakannya dengan ragam bahasa yang khas, yaitu ragam bahasa sastra.
Sastra adalah penggunaan bahasa yang khas, yang hanya dapat dipahami dengan
pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teew dalam Sudjiman, 1993:2). Dari
pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa jika wacana bahasa dapat dikaji secara
linguistik, maka tidak mustahil menerapkan pendekatan linguistik pada wacana
sastra pengkajian bahasa dan gaya sebuah karya sastra akan mengantarkan kita
kepada pemahaman yang lebih baik. Pendekatan linguistik ini lebih dikenal
sebagai pengkajian stilistik. Secara umum ruang lingkup telaah stilistika
mencakupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas,
15
citraan, pola, rima, dan matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang
terdapat dalam karya sastra (sudjiman, 1993:13-14). Penelitian ini mefokuskan
pada analisis citraan yang terdapat pada novel Jiwa yang Sanggup Meredam
Gempa supaya pemahaman tentang citraan lebih mendalam.
2.2 Stilistika
Stilistika berasal dari bahasa inggris yaitu style yang berarti gaya dan dari
bahasa serapan „linguistik‟ yang berarti tata bahasa. Menurut Chvatik (dalam
Aminuddin, 1994:22) stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks
sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam
teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik dan tanda-tanda
linguistik yang dipergunakan seperti terlihat dalam struktur lahir. Dengan
demikian akan diperoleh bukti-bukti konkret tentang stile sebuah karya sastra.
Metode analisis ini menjadi penting karena dapat memberikan informasi tentang
karakteristik khusus sebuah karya. Tanda-tanda stilistika ini berupa (A) fonologi
misalnya pola suara, ucapan, dan rima, (b) sintaksis, misalnya jenis struktur
kalimat, (c) leksikal, misalnya penggunaan kata abstrak atau konkret, frekuensi
penggunaan kata benda, kerja, sifat dan (d) semantis penggunaan bahasa
figurative, misalnya bentuk-bentuk pemajasan, permainan, struktur, pencitraan
dan sebagainya.
Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang
pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang
indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Kata stilistik di sini, studi
16
tersebut ditinjau dari sasaran dan penjelasan yang dibuahkan hanya terdapat paa
aspek gayanya.
Stilistika sejak tahun 1950-an telah digunakan sebagai metode analisis
karya sastra. Penggunaan metode stilistik dalam analisis karya sastra merupakan
jalan untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impresionistis dan subyektif.
Melalui kajian gaya dalam karya sastra, studi kritik yang dilakukan diharapkan
dapat memenuhi criteria objektivitas dan keilmiahan. Hal demikian mungkin
tercapai karena kajian secara ilmiah memerlukan landasan secara rasional
empirik. Landasan rasional merujuk pada model teoritik dan cara kerja yang
ditempuh, landasan empiric merujuk pada wujud konkret teks sastranya. Kajian
menyangkut wujud konkret pemaparan teks sastra dihubungkan dengan cara
pengarang dalam mengekspresikan sasarannya merupakan bidang kajian stilistik
(Aminuddin, 1995:42).
Stilistika merupakan bagian ilmu sastra, dan akan menjadi bagian yang
penting, karena hanya metode stilistika yang dapat menjabarkan ciri-ciri khusus
karya sastra (Wellek dan Warren, 1993:226). Stilistika dikatakan menjadi bagian
yang penting karena stilistika akan mengkaji bahasa dalam karya sastra. Stilistika
mengkaji cara sastrawan memanipulasi dengan arti memanfaatkan unsur dan
kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh
penggunaannya itu. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana
sastra, ciri-ciri yang membedakan atau mempertentangkannya dengan wacana
nonsastra, meneliti deviasi terhadap tata bahasa sebagai sarana literer (Sudjiman,
1993:3).
17
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa stilistika
merupakan ilmu yang mengkaji bahasa dalam karya sastra, ia mengkaji
penggunaan bahasa yang terdapat pada karya sastra. Adapun ilmu yang dikaji
dalam karya sastra salah satunya yaitu citraan. Stilistika mengakji penggunaan
bahasa dalam karya sastra lewat penggunaan citraan yang digunakan pengarang.
Objek kajian stilistika adalah stile, penggunaan bahasa dalam konteks dan atau
ragam tertentu. Misalnya, bahasa sastra dalam teks puisi atau fiksi. Karya sastra
adalah wacana khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan
memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia. Dipandang dari sudut
linguistik, dibandingkan dengan wacana yang lain, dalam wacana sastra terdapat
gejala fonlogis, semantis, sintaktik, dan gejala linguistik tertentu lainnya dengan
frekuensi yang lebih tinggi, misalnya dalam wujud aliterasi, rima, citraan.
Stilistika berupaya menunjukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi
membentuk suatu pesan. Dengan kata lain, bagaimana karya sastra berlaku
sebagai suatu sarana komunikasi.
Secara umum ruang lingkup telaah stilistika mencakupi diksi atau pilihan
kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola, rima, dan matra yang
digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman,
1993:13-14). Pada penelitian ini akan membahasas aspek citraan yang digunakan
oleh pengarang pada novel Jiwa yang Snggup Meredam Gempa Karya Raditya
Nugi. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu yang
pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan bahasa
dengan fungsi artistik dan maknanya (Leech dkk dalam Nurgiyantoro, 2014:75).
18
Berdasarkan pemaparan tersebut stilistika memiliki cakupan aspek-aspek
tertentu salah satunya adalah citraan. Stilistika sendiri akan membahas hubungan
bahasa yang digunakan dalam karya sastra dengan fungsi artistik dan maknanya.
Dengan kata lain kajian stilistika, dimaksudkan untuk menjelaskan fungsi
keindahan penggunaan bentuk kebahasaan tertentu mulai dari aspek bunyi,
leksikal, citraan dan lain sebagainya.
2.3 Hakikat Citraan
Nurgiyantoro (2014:275) mengungkapkan bahwa citraan merupakan
penggambaran secara konkret sesuatu yang sebenarnya abstrak yang lazim
digunakan dalam teks-teks sastra. Melalui ungkapan-ungkapan bahasa tertentu
yang ditampilkan dalam teks sastra itu, kita sering merasakan indra ikut
terangsang, terbangkitkan seolah-olah ikut melihat atau mendengar apa yang
dilukiskan dalam teks tersebut. Tentu saja tidak melihat dan mendengar semua itu
dengan mata dan telinga telanjang, melainkan melihat dan mendengar secara
imajinatif. Menurut Pradopo (2000:79) citraan ialah gambar-gambar dalam
pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Sedang setiap gambar pikiran
disebut citra atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam
pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penangkapan
pembaca terhadap sebuah obyek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan,
dan daerah-daerah otak yang berhubungan (yang bersangkutan).
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa citraan merupakan
asal kata dari citra. Citra merupakan sebuah gambaran berbagai gambaran sensoris
yang dibangkitkan oleh kata-kata sedangkan citraan merupakan suatu stile, gaya
19
penuturan, yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan sastra. Ia dapat
dipergunakan untuk mengonkretkan pengungkapan gagasan-gagasan yang
sebenarnya abstrak melalui kata-kata dan ungkapan yang mudah membangkitkan
tanggapan imajinasi. Dengan daya tanggapan imajinasinya, pembaca akan dapat
dengan mudah membayangkan, merasakan, dan menangkap pesan yang ingin
disampaikan pengarang.
Citraan merupakan suatu bentuk penggunaan bahasa yang mampu
membangkitkan kesan yang konkret terhadap suatu objek, pemandangan, aksi,
tindakan, atau pernyataan yang dapat membedakannya dengan pernyataan atau
ekspositori yang abstrak dan biasanya ada kaitannya dengan simbolisme (Baldic,
dalam Nurgiyantoro, 2014:276). Pendapat yang serupa disampaikan oleh Abrams
dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2014:26) yang mengatakan bahwa citraan
merupakan kumpulan citra yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan
kualitas tanggapan indra yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan
deskripsi secara harfiah maupun kias.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa citraan merupakan
gambaran imajinasi. yang digunakan oleh pengarang dari berbagai macam citraan
baik secara deskripsi maupun secara kias. Kias maksudnya adalah kata-kata yang
digunakan adalah berupa kata-kata kiasan. Citraan akan memberikan kesan yang
konkret sehingga imajinasi ikut terangsang sehingga hal-hal yang sebenarnya
abstrak seolah-olah konkret lewat rongga imajinasi.
Citraan merupakan bagian dari ilmu stilistika. Sudjiman (1993:13-14)
mengatakan bahwa cecara umum ruang lingkup telaah stilistika mencakupi diksi
atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola, rima, dan
20
matra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra.
Pendapat serupa disampaikan oleh Baldic (dalam Nurgiyantoro, 2014:150) yang
mengatakan bahwa unsur stile terdiri atas diksi, sintaksis, citraan, irama, bentuk
bahasa figuratif, dan lain-lain.
Citraan termasuk dalam kajian stilistika yaitu suatu ilmu yang akan
membahas tentang penggunaan bahasa yang digunakan dalam karya sastra
sehingga dengan mengkaji ilmu stilistika seseorang akan mengetahui stile dari
pengarang karya sastra tersebut. Melalui kajian citraan akan mengetahui stile yang
digunakan pengarang walaupun tidak sepenuhnya mengungkapkan stile yang
dimiliki pengarang.
Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa citraan merupakan salah satu
aspek dari stilistika. Menurut Sudjiman (1993:13) bahwa Stilistika biasa juga di
sebut style yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk
menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Stilistika
mengarah pada studi tentang stile, kajian terhadap wujud performansi kebahasaan,
khususnya yang terdapat di dalam karya sastra. Kajian stilistika itu sendiri
sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa.
Biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra (Chapman, dalam
Nurgiyantoro 2010:279).
Cara khas yang lazim yang digunakan dalam karya sastra salah satunya
adalah penggambaran secara konkret sesuatu secara konkrit sesuatu yang
sebenarnya abstrak melalui ungkapan-ungkapan bahasa tertentu yang ditampilkan
dalam teks-teks sastra itu, kita sering merasakan indra ikut terangsang
terbangkitkan seolah-olah ikut melihat atau mendengar apa yang dilukiskan dalam
21
teks tersebut. Tentu saja kita tidak melihat dan mendengar semua itu dengan mata
dan telinga telanjang, melainkan melihat dan mendengar secara imajinatif.
Penggunaan kata-kata dan ungkapan yang mampu membangkitkan tanggapan
indra yang demikian dalam karya sastra tersebut sebagai citraan (Nurgiyantoro,
2014:274).
Usaha pengonkretan sesuatu yang abstrak menjadi (seolah-olah) konkret
lewat bentuk-bentuk citraan adalah sesuatu upaya untuk lebih mengefektifkan
penuturan itu. Lewat penggunaan bentuk-bentuk citraan, sesuatu yang dituturkan
menjadi lebih konkret, mudah dibayangkan, mudah diimajinasikan, dan karenanya
juga menjadi lebih mudah dipahami. Maka, penggunaan bentuk-bentuk citraan itu
pada hakikatnya merupakan upaya pengarang untuk memfasilitasi pembaca agar
lebih mudah menangkap muatan makna dari sesuatu yang disampaikan.
Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat
menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh penangkapan pembaca terhadap
sebuah obyek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan, dan daerah-daerah
otak yang berhubungan (yang bersangkutan). Citra dibangun sedemikian rupa
sehingga suatu benda atau suatu hal melambangkan hal lain, dan mengenai
hubungannya diserahkan pada pembaca, untuk menafsirkannya sendiri.
Selanjutnya menurut Wellek dan Werren (1993:236) pencitraan adalah topik yang
termasuk dalam bidang psikologi dan studi sastra. Dalam psikologi, kata “citra‟‟
berarti reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan
berdasarkan persepsi dan tidak selalu bersifat visual. Pada tahun 1980, Francis
Galton, (yang memelopori bidang ini) meyelidiki seberapa jauh orang dapat
mereproduksikan masa lalunya. Penelitian ini menemukan bahwa tiap orang
22
melakukan visualisasi dengan kadar yang sangat berbeda-beda. Tetapi pencitraan
tidak hanya bersifat visual. Ahli-ahli psikologi dan estetika menyusun berbagai
jenis pencitraan. Ada pencitraan yang berkaitan dengan citra rasa pencicipan ada
yang berkaitan dengan penciuman.
2.3.1 Jenis-jenis Citraan
Jenis citraan ada bermacam-macam sesuai dengan jenis indera yang ingin
digugah atau yang ingin dikukuhkan lewat karyanya. Wellek dan Werren
(2014:216) mengatakan bahwa jenis citraan terdiri dari citraan visual, pencitraan
yang berkaitan dengan cita rasa pengecapan, ada yang berkaitan dengan
penciuman adapula yang berkaitan dengan suhu dan tekanan (kinaesthetic/‟gerak‟,
haptic/‟sentuhan‟, empathic/‟rasa empati‟). Tidak berbeda jauh dari pendapat di
atas Nurgiyantoro (2014:81) mengemukakan jenis citraan menjadi 5 yaitu: (1)
citraan penglihatan (visual), (2) citraan pendengaran (auditoris), (3) citraan peraba
(taktil termal), (4) citraan penciuman (olfaktori), (5) citraan gerak (kinestetik).
Berikut penjabarannya.
1) Citraan Penglihatan (Visual)
Citraan visual adalah citraan yang terkait dengan pengonkretan objek yang
dapat dilihat oleh mata, objek yang dapat dilihat secara visual. Jadi, objek visual
adalah objek yang tampak seperti meja, kursi, jendela, pintu, dan lain-lain. Lewat
penuturan yang sengaja dikreasikan dengan cara tertentu, benda-benda yang
secara alamiah kasat mata tersebut dapat dilihat secara mental lewat rongga
imajinasi, lewat pengimajian walau secara faktual benda-benda tersebut tidak ada
disekitar pembaca. Benda-benda tersebut lengkap dengan spesifikasi rinciannya
23
merupakan objek penglihatan imajinatif yang sengaja dibangkitkan oleh penulis
(Nurgiyantoro, 2014:277).
Citraan yang timbul oleh penglihatan disebut citraan penglihatan. Citraan
penglihatan biasanya sering digunakan dalam pembuatan karya fiksi dibanding
dengan citraan yang lainnya. Citraan penglihatan memberi rangsangan kepada
inderaan penglihatan, hingga sering hal-hal yang tak terlihat jadi seolah-olah
terlihat. Hal tersebut menyebabkan penggunaan citraan penglihatan sering
digunakan.
Dalam karya sastra, selain pelukisan karakter menyangkut aspek fisiologis,
psikologis, dan sosiologis tokoh cerita, citraan penglihatan ini juga sangat
produktif dipakai oleh pengarang untuk melukiskan keadaan, tempat,
pemandangan, atau bangunan-bangunan yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Citraan penglihatan itu mengusik indra penglihatan pembaca sehingga akan
membangkitkan imajinasinya untuk memahami karya sastra. Perasaan estetis akan
lebih mudah terangsang melalui citraan penglihatan itu (Fathurohman, 2013:38).
2) Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran (auditory imagery) adalah pengongkretan objek
bunyi yang didengar oleh telinga. Citraan auditif terkait usaha pengonkretan
bunyi-bunyi tertentu, baik yang ditunjukkan lewat deskripsi verbal maupun tiruan
bunyi, sehingga seolah-olah pembaca dapat mendengar bunyi-bunyi itu walau
hanya secara mental lewat rongga imajinasi (Nurgiyantoro, 2014:281). Lewat
penuturan yang sengaja dikreasikan dengan cara tertentu, bunyi-bunyi tertentu
yang secara alamiah dapat didengar, menjadi dapat terdengar lewat pengimajian
pembaca lewat rongga imajinasi.
24
3) Citraan Gerak
Citraan gerak (kinestetik) menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya
tidak bergerak, tetapi ilukiskan sebagai dapat bergerak atau gambaran gerak pada
umumnya (Pradopo, 2000:87). Pebdapat serupa disampaikan oleh Nurgiyantoro
(2014:282) mengatakan bahwa citraan gerak (kinestetik) adalah citraan yang
terkait dengan pengongkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata. Hal ini
mirip dengan citraan visual yang juga terkait dengan penglihatan. Namun, dalam
citraan gerak objek yang dibangkitkan untuk dilihat adalah suatu aktivitas, gerak
motorik, bukan objek diam. Lewat penggunaan kata-kata yang menyaran pada
suatu aktivitas, lewat kekuatan imajinasinya pembaca (seolah-olah) juga dapat
melihat aktivitas yang dilukiskan. Penghadiran berbagai aktivitas baik yang
dilakukan oleh manusia maupun oleh makhluk atau hal-hal lain lewat penataan
kata-kata tertentu secara tepat dapat mengonkretkan dan menghidupkan penuturan
sehingga terlihat lebih teliti dan meyakinkan. Contoh kutipan dari novel Burung-
burung Manyar: masih ada juga yang mencuci beras di selokan itu. Dan dengan
enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun, membelik, mengangkat
kain hingga pantat mereka menongol serba pekik kemerekaan. Tanpa tergesa-gesa
bola mereka itu dicelup di dalam air, sambil omong-omong dengan rekannya.
Kata-kata semacam mencuci beras, membalik, mengangkat kain, menongol, dan
omong-omong itu melukiskan suatu aktivitas dan karenanya kata-kata itu adalah
suatu bentuk perwujudan citraan gerak.
4) Citraan Peraba
25
Citraan peraba (taktil termal), menunjuk pada pelukisan perabaan secara
konkret walau hanya terjadi di rongga imajinasi pembaca (Nurgiyantoro,
2014:283). Citraan perabaan merupakan manifestasi dari indra peraba citra ini
hadir karena adanya perabaan. Citra perabaan dalam karya sastra terutama novel
dihadirkan melalui para tokoh dan situasi atau hal lain yang ada didalamnya. Citra
perabaan akan menimbulkan nilai estetis suatu karya sastra. Pembaca karya sastra
pun akan berimajinasi seolah merasakan efek dari indra peraba, misalnya apakah
halus atau pun kasar (Fathurohman, 2013:39).
5) Citraan Penciuman
Citraan penciuman merupakan citraan yang menggambarkan indera
penciuman seolah-olah dapat merasakan bau sesuatu yang dipaparkan pengarang..
Citraan penciuman (olfaktori) menunjuk pada pelukisan penciuman secara
konkret walau hanya terjadi di rongga imajinasi pembaca (Nurgiyantoro,
2014:283). Citraan penciuman dipakai untuk membangkitkan imaji pembaca
dalam hal memperoleh pemahaman yang utuh atas teks yang dibaca melalui indra
penciuman. Melalui indra penciuman berbagai macam aroma pun dapat dicium
melalui hidung. Hidung yang berfungsi sebagai indra pembau manusia melalui
kata-kata contohnya “bangkai kucing” dari dua kata tersebut dapat membuat
pembaca membaui sekaligus merasakan aroma busuk.
2.3.2 Fungsi Citraan
Citraan berperan penting untuk menimbulkan pembayangan imajinatif,
membentuk gambaran mental, dan dapat membangkitkan pengalaman tertentu
26
pada pembaca. Citraan dalam hal ini merupakan kata-kata yang mampu menarik
gambaran dalam imajinasi, membuat kesan pembaca, dan melukiskan sesuatu
mengenai ide atau gagasan yang hendak disampaikan. Fungsi citra adalah
merangsang imajinasi, menggugah perasaan dan pikiran-pikiran dibalik sentuhan
indera. Nurgiyantoro (2014,278) mengungkapkan citraan berfungsi untuk
memberikan kemudahan bagi pembaca untuk membayangkan, merasakan, dan
menangkap pesan yang ingin disampaikan pengarang.
Menurut pendapat Pradopo (2012) citraan berfungsi untuk memberikan
gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat
(lebih) hidup gambaran dalam pikiran penginderaan dan juga untuk menarik
perhatian, penyair juga menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), di
samping alat kepuitisan yang lain.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan citraan memiliki fungsi untuk
mengongkretkan sehingga memberikan kemudahan tersendiri untuk pembaca.
Dalam hal ini mengongkretkan bukan berarti benar-benar nyata dilihat, didengar
oleh mata dan telinga tetapi benar-benar nyata di sini maksudnya lewat rongga
imajinasi jadi seolah-olah mengongkretkan.
Usaha pengkonkretan sesuatu yang abstrak menjadi (seolah-olah) konkret
lewat bentuk-bentuk citraan, adalah sebuah upaya untuk lebih mengefektifkan
penuturan itu. Lewat penggunaan bentuk-bentuk citraan, sesuatu yang dituturkan
menjadi lebih konkret, mudah dibayangkan, mudah diimajinasikan dan karenanya
juga menjadi lebih mudah dipahami. Maka penggunaan bentuk-bentuk citraan itu
pada hakikatnya merupakan upaya pengarang untuk memfasilitasi pembaca agar
lebih mudah menangkap muatan makna dari sesuatu yang disampaikan.
27
Selain untuk mengongkretkan citraan juga berfungsi untuk mnghidupkan
penuturan (Nurgiyantoro, 2014:277). Beliau juga mengemukakan bahwa
pengimajian adalah penataan kata yang menyebabkan makna-makna abstrak
menjadi konkret dan cermat. Kekonkretan dan kecermatan makna-makna itu
menggugah kekonkretan dan kecermatan penglihatan atau pendengaran imajian
pembaca. Lewat penggunaan yang seperti itu mampu menghidupkan penuturan.