24
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang kajian teori yang terdiri dari hakekat matematika, pembelajaran matematika di sekolah dasar, Problem Based Learning yang terdiri dari hakekat Problem Based Learning, karakteristik Problem Based Learning, peran guru dalam pembelajaran Problem Based Learning, dan Langkah-langkah Problem Based Learning. Hakekat dongeng, dan hasil belajar yang terdiri dari, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar, klasifikasi hasil belajar, penilain hasil belajar. Hubungan Problem Based Learning, dongeng dan hasil belajar, kajian penelitian yang relevan, kerangka berfikir dan yang terakhir adalah hipotesis tindakan. 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Matematika 2.1.1.1 Hakikat matematika Pengertian matematika berasal dari makna katannya matematika berasal dari bahasa Latin “mathaneinatau “mathema” yang berarti “belajar atau hal yang dipelajari” sedangkan dalam bahasa Belanda “wiskundeatau ilmu pasti yang semuannya berkaitan dengan penalaran. (Depdiknas dalam Ahmad Susanto 2013:184). Ahmad Susanto (2013:185) menjelaskan matematika merupakan disiplin ilmu yang melatih siswa untuk berfikir dan berargumentasi guna menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari serta memberikan kontribusi dalam perkembangan ilmu teknologi. Kline dalam Mulyono, (2003:252) mengemukakan, bahwa matematika merupakan bahasa 9 simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif. Sedangkan pengertian matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dijelaskan bahwa matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan berperan penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi yang terjadi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika dibidang teori bilangan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10918/2/T1_292012123_BAB II...BAB II . KAJIAN PUSTAKA . Bab ini akan membahas tentang kajian teori

Embed Size (px)

Citation preview

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini akan membahas tentang kajian teori yang terdiri dari hakekat

matematika, pembelajaran matematika di sekolah dasar, Problem Based Learning

yang terdiri dari hakekat Problem Based Learning, karakteristik Problem Based

Learning, peran guru dalam pembelajaran Problem Based Learning, dan

Langkah-langkah Problem Based Learning. Hakekat dongeng, dan hasil belajar

yang terdiri dari, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar, klasifikasi hasil

belajar, penilain hasil belajar. Hubungan Problem Based Learning, dongeng dan

hasil belajar, kajian penelitian yang relevan, kerangka berfikir dan yang terakhir

adalah hipotesis tindakan.

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Matematika

2.1.1.1 Hakikat matematika

Pengertian matematika berasal dari makna katannya matematika berasal

dari bahasa Latin “mathanein” atau “mathema” yang berarti “belajar atau hal

yang dipelajari” sedangkan dalam bahasa Belanda “wiskunde” atau ilmu pasti

yang semuannya berkaitan dengan penalaran. (Depdiknas dalam Ahmad Susanto

2013:184).

Ahmad Susanto (2013:185) menjelaskan matematika merupakan disiplin

ilmu yang melatih siswa untuk berfikir dan berargumentasi guna menyelesaikan

masalah yang berkaitan dengan kehidupan siswa sehari-hari serta memberikan

kontribusi dalam perkembangan ilmu teknologi.

Kline dalam Mulyono, (2003:252) mengemukakan, bahwa matematika

merupakan bahasa 9 simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar

deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif.

Sedangkan pengertian matematika menurut Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan dijelaskan bahwa matematika merupakan ilmu universal yang

mendasari perkembangan teknologi modern dan berperan penting dalam berbagai

disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan teknologi yang terjadi

dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika dibidang teori bilangan,

7

aljabar, analisis, teori peluang dan matematika distrik. Mata pelajaran matematika

ini membekali siswa dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis

dan kreatif, serta kemampuan untuk bekerja sama.

Dari beberapa pengertian diatas dapat simpulkan bahwa Matematika

merupakan ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir bernalar yang

menggunakan cara berfikir deduktif dalam mencari sebuah kebenaran namun

dalam pelaksanaannya juga tidak melupakan cara berfikir induktif untuk melatih

siswa untuk berfikir analisis, sitematis, kreatif dan kritis guna memberikan

kontribusi dalam penyelesaian permasalahan kehidupan siswa sehari-hari serta

melandasi berkembangknya ilmu pengetahuan dan teknologi moderen.

2.1.1.2 Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Pengertian pebelajaran menurut UU No.20 Tahun 2003 adalah proses

interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan

belajar. Siswa sebagai subjek yang belajar, dan pendidik yang mefasilitasi dan

mengondisikan suatu lingkungan belajar sehingga terciptalah lingkungan belajar

yang kondusif.

Menurut Corey dalam Sagala (2003) menjelaskan pembelajaran

merupakan pengondisian terhadap suatu lingkunga untuk meningkatkan siswa

turut serta aktif dan terlibat dalam tingkah laku pada saat kondisi-kondisi khusus

atau memberikan respon terhadap kondisi tersebut. Dengan kata lain pandangan

Corey dalam pembelajaran adalah mengondisikan suatu lingkungan belajar yang

kondusif sehingga membuat siswa memberikan respon terhadap situasi tersebut.

Ahmad Susanto (2013:186) berpendapat bahwa pembelajaran

matematika adalah kegiatan belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk

mengoptimalkan siswa untuk berfikir kreativitas yang dapat meningkatkan

kemampuan membangun pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan

penguasaan yang baik terhadap materi matematika.

Dari beberapa pendapat tentang pembelajaran dapat penulis simpulkan

bahwa pembelajaran merupakan interaksi antara siswa, guru dan sumber belajar

dalam sebuah lingkungan belajar yang telah dikonsidikan sedemikian rupa,

8

sehingga tercipta sebuah lingkungan belajar yang kondusif yang mampu

mengubah tingkah laku siswa.

Sedangkan pembelajaran matematika yang penulis simpulkan adalah

kegiatan guru secara terprogram yang memiliki desain yang intruksional,

mengajak siswa untuk terlibat langsung dan aktif dalam setiap pembelajaran

sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif dan siswa dapat

belajar secara aktif dan bermakna guna meningkatkan penguasaan terhadap materi

matematika.

Pembelajaran matematika terdapat interaksi antara siswa dengan

pendidik dimana pendidik sebagai pengajar dan siswa yang belajar. Tugas seorang

pendidik bukan hanya sebagai pengajar melainkan sebagai perancang

pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan juga mengevalusi setia

pembelajaran. Agar tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar tercapai

pembelajaran matematika harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan

kognitif siswa sekolah dasar.

Salah satu ciri matematika adalah memiliki objek kajian yang abstrak.

Namun sesuai dengan teori belajar Piaget usia siswa sekolah dasar 7-8 tahun

hingga 12-13 tahun) sedang berada dalam taraf berfikir oprasional konkret.

Berdasarkan perkembangan teori kognitif ini, mengakibatkan anak usia sekolah

dasar sulit untuk memahami objek kajian matematika yang bersifat abstrak yang

mengakibatkan tujuan pembelajaran sulit dicapai. Sehingga guru harus dapat

memahami ciri-ciri pembelajara matematika di sekolah dasar.

Suwangsih dan Tiurlina (2006) menyatakan ciri-ciri pembelajaran

matematika SD yaitu:

a) Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral

Pendekatan spiral dimana dalam pembelajaran matematika merupakan

pembelajaran konsep atau suatu topik matematika selalu mengaitkan /

berhubungan dengan topik sebelumnya, topik sebelumnya merupakan prasyarat

untuk topik baru artinya sebelum memahami topik yang baru sisiwa harus mampu

menguasai toping yang diajarkan karena topik baru merupakan pendalaman dan

perluasan dari topik sebelumnya. Penjelasan ini sesuai dengan teori belajar Gagne

9

mengenai kapabilitas misalnya seorang siswa untuk dapat menyelesaikan soal C

siswa tersebut harus mampu mengerjakan soal A dan B terlebih dahulu.

b) Pembelajaran matematika bertahap

Materi pelajaran matematika diajarkan secara bertahap yaitu dimulai dari

konsep– konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih sulit dengan kata lain

pembelajaran matematika dimulai dari yang konkret, ke semi konkret, dan

akhirnya kepada konsep abstrak. Dimana dalam teori belajar Burner ini dikenal 3

tahapan belajar yakni 1) Tahap Enaktif pemahaman siswa didapat dari siswa

mengalami langsung, menggunakan benda-benda konkrit. 2) Tahap Ikonik pada

tahap ini peralihan dari konkrit menuju semi konkrit dari siswa yang awalnya

menggunakan benda-benda nyata atau pengalaman langsung mulai menyajikan ke

dalam gambar-gambar atau grafik yang berhubungan dengan objek-objek yang

dimanipulasi.

c) Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif

Matematika merupakan ilmu deduktif. Namun sesuai dengan teori Piaget

bahwa usia anak Sekolah Dasar diantara usia 7-12 tahun termasuk dalam tahap

oprasiona konkrit dimana siswa masih berada dalam tahapan berfikir logis,

konkrit, sistematis dan kesadaran dalam dunia fisiknya. Oleh karena itu walaupun

matematika merupakan ilmu deduktif karena mengingat perkembangan siswa

Sekolah Dasar maka pada pembelajaran matematika di sekolah dasar digunakan

pendekatan induktif.

d) Pembelajaran matematika menggunakan kebenaran konsistensi

Kebenaran matematika merupakan kebenaran yang konsisten artinya

teori dan konsep dalam matematika bersifat tetap atau tidak berubah-ubah. Suatu

pernyataan dianggap benar jika didasarkan pada pernyataan-pernyataan

sebelumnya yang telah diterima kebenarannya.

e) Pembelajaran matematika hendaknya diajarkan secara bermakna

Pembelajaran matematika secara bermakna artinya pembelajaran lebih

menekankan pada pengertian dari pada hafalan, sehingga jika matematika

diajarkan dengan siswa mengalami langsung siswa lebih paham dan memiliki

pesan dan kesan tersendiri sehingga konsep dan teori matematika mampu teringat

10

dan tersimpan dalam memory jangka panjang siswa sehingga siswa tidak cepat

lupa. Dalam belajar bermakna aturan-aturan, rumus-rumus tidak diberikan dalam

bentuk jadi, tetapi sebaliknya aturan-aturan, rumus-rumus ditemukan oleh siswa

melalui percobaan secara induktif di dalam pembelajaran, kemudian dibuktikan

secara deduktif.

Dari beberapa karakteristik pembelajaran matematika, sehingga dapat

disimpulkan pembelajaran matematika yang dalam mempelajarinya harus secara

bertahap atau hirarki serta menciptakan pembelajaran yang bermakna.

Pembelajaran bermakna jika siswa melakukan langsung atau terlibat langsung

dalam kegiatan pembelajaran. Untuk itu penulis menggunakan model Problem

Based Learning, yang dikemas dengan dongeng dengan penyampaian masalah

sebagai starting point yang dipecahkan siswa melalui kerja kelompok. Sehingga

siswa aktif dan lebih termotivasi dalam penyelesaian masalah dengan demikian

tujuan pembelajaran dapat tercapai.

2.1.2 Problem Based Learning

2.1.2.1 Hakikat Problem Based Learning

Menurut Tan dalam Rusman (2014) pembelajaran Berbasis Masalah

merupakan :

Inovasi dalam pembelajaran karena dalam Problem Based Learning

kemampuan berfikir siswa betul-betul dioptimalkan melalui proses kerja

kelompok yang sistematis, sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah,

menguji, dan mengembangkan kemampuan berfikir secara berkesinambungan.

Problem Based Learning merupakan suatu metode yang diadopsi guna

untuk menunjang pembelajaran learner center guna memberdayakan cara

perfikir siswa dalam M.Taufiq Amir (2010:12).

Howard Barrows (2016) menyatakan “Problem Based Learning is a

learner-centered educational method in Problem Based Learning, learners are

progressively given more and more responsibility for their own education and

become increasingly independent of the teacher for their education. Problem

Based Learning produces independent learners who can continue to learn on

their own in life and in their chosen careers. The responsibility of the teacher in

11

Problem Based Learning is to provide the educational materials and guidance

that facilitate learning”

Jadi Problem Based Learning adalah metode pendidikan berpusat pada

siswa. Dalam Problem Based Learning, siswa secara progresif diberikan

tanggung jawab untuk pendidikan mereka sendiri dan menjadi semakin mandiri

dari guru untuk pendidikan mereka. Problem Based Learning menghasilkan

siswa yang independen yang bisa terus belajar sendiri dalam hidup dan dalam

karir yang mereka pilih. Tanggung jawab guru dalam Problem Based Learning

adalah untuk menyediakan bahan-bahan pendidikan dan bimbingan yang

memfasilitasi pembelajaran.

Arends (2008:42) menyatakan bahwa Problem Based Learning

diorganisasikan di seputar situasi-situasi kehidupan nyata, yang menolak

jawaban-jawaban sederhana dan mengandung solusi yang competing. Arends

menambahkan Problem Based Learning membantu siswa untuk

mengembangkan ketrampilan 12 berpikir dan ketrampilan mengatasi masalah,

mempelajari peran-peran orang dewasa dan menjadi pelajar yang mandiri.

Dutch dalam Amir, M.Taufiq (2013:21) Problem Based Learning

merupakan metode instruksional yang menantang mahasiswa agar “belajar untuk

belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi pemecahan

masalah yang telah disampaikan di awal pembelajaran. Masalah ini digunakan

untuk mengkaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis mahasiswa dan

inisiatif atas materi pelajaran. Problem Based Learning mempersiapkan

mahasiswa untuk berpikir kritis, analisis dan sistematis, untuk mencari serta

menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai.

Sedangkan pengertian Problem Based Learning menurut pusdiklat,

2004 dalam Ali Muhson (2009:173) adalah Belajar Berdasarkan Masalah atau

Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu proses pembelajaran yang

diawali dari masalah-masalah yang ditemukan dalam suatu lingkungannya.

Dari pengertian beberapa teori diatas dapat penulis simpulkan bahwa

Problem Based Learning merupakan suatu pembelajaran yang bertitik tolak pada

sebuah masalah nyata yang siswa hadapi dalam kehidupan sehari-hari atau

12

sesuatu yang dapat siswa banyangkan. Dalam usaha dalam memecahkan

masalah tersebut siswa diberikan tanggung jawab bekerja dalam kelompok untuk

mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pemecahan masalah. Baik

masalah yang diberikan guru diawal pembelajaran ataupun masalah yang siswa

hadapi dalam kehidupan siswa.

2.1.2.2 Karakteristik Problem Based Learning

Pembelajaran berbasis masalah merupakan penggunaan berbagai

macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap

tantangan dunia nyata, dengan melatih siswa untuk berfikir kritis, analitis dan

sistematis yang kemungkinan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan

kompeksitas yang ada.

Karakteristik pembelajaran berbasis masalah menurut Tan dalam

Rusman (2012: 232) adalah sebagai berikut :

a. Permasalahan digunakan untuk memulai pembelajaran;

b. Permasalahan yang digunakan adalah permasalahan yang ada di dunia

nyata yang tidak tertstruktur;

c. Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (perspectif majemuk);

d. Permasalahan yang digunakan membuat siswa tertantang;

e. Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama;

f. Permasalahan menjadi sumber pengetahuna yang beragam,

penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang

ensensial dalam Problem Based Learning;

g. Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif;

h. Pengembangan ketrampilan dalam membangun pengetahuan sendiri

melalui pemecahan masalah, penguasaan isi pengetahuan dalam

mencari solusi dari sebuh permasalahan;

i. Keterbukaan proses dalam Problem Based Learning meliputi sintesis

dan integrasi dari sebuah proses belajar; dan

j. Problem Based Learning melibatkan evaluasi dan review pengalaman

berfikir siswa dan proses belajar.

13

Dari penjelasan para ahli tentang karakteristik Problem Based

Learning maka dapat penulis simpulkan bahwa pembelajaran Problem Based

Learning difokuskan pada kegiatan pemecahan masalah. Dimana permasalahan

yang sebagai starting point merupakan masalah real yang dapat siswa

banyangkan bahkan siswa alami dalam kehidupan sehari-hari siswa. Untuk

menyelesaikan permasahan tersebut siswa bekerja bersama kelompok, saling

mencari solusi pemecahan permasalahan ditutup dengan penyajian solusi dan

kesimpulan pada akhir pembelajaran dan tugas guru fasilitator dalam

pembelajaran.

2.1.2.3 Peran Guru dalam Problem Based Learning

Guru dalam membuat proses pembelajaran Problem Based Learning

harus mampu yang mengembangkan kemandirian, kehidupan yang lebih luas,

dan belajar sepanjang hayat. Lingkungan belajar yang dibangun guru harus

mendorong siswa untuk berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta

kemampuan untuk bekerja sama. Menurut (Rusman 2012:234) Guru dalam

Problem Based Learning terus berfikir mengenai beberaapa hal, yaitu : 1)

bagaimana merancang dan menggunakan permasalahan yang ada dalam dunia

nyata sehingga mampu tercapai tujuan pembelajaran; 2) bagaimana bisa menjadi

pelatih siswa dalam proses pemecahan masalah, pengarahan diri dan belajar

dengan teman sebaya?; 3) dan bagaimana siswa memandang diri mereka sendiri

sebagai pemecah masalah yang aktif?”

Guru dalam Problem Based Learning juga memusatkan perhatiannya

pada: 1) mefasilitasi proses belajar Problem Based Learning; 2) melatih siswa

tentang strategi pemecahan masalah; pemberian alasan yang mendalam,

metakognisi, berfikir kritis, dan berfikir secara sistem; 3) menjadi perantara

proses penguasaan informasi; meneliti lingkungan informasi, mengakses sumber

informasi yang beragam, dan mengadakan koneksi.

Rusman (2012:234) peran guru dalam pembelajaran yaitu:

1. Menyiapkan perangkat berfikir siswa

2. Beberapa hal yang dilakukan guru untuk menyiapkan cara berfikir siswa:

a) membantu siswa untuk mengubah cara berfikir siswa; b) menjelaskan

14

tentang Problem Based Learning, langkah-langkah pembelajaran apa yang

dilakukan siswa dalam Problem Based Learning; c) menginformasikan

sintak atau siklus Problem Based Learning, struktur dan batasan waktu; d)

menyampaikan tujuan, hasil dan harapan; e) membantu siswa

menyelesaikan kesulitan yang dialami oleh siswa; dan f) membantu

menyadarkan siswa bahwa siswa memiliki masalah.

3. Menekankan belajar kooperatif

Bray, dkk (2000) menggambarkan inquiry kolaboratif sebagai

proses dimana orang melakukan refleksi dan kegiatan secara berulang-

ulang, mereka bekerja secata tim untuk menjawab pertanyaan penting.

Dalam proses Problem Based Learning siswa bekerja secara tim dan

kolaborasi ini penting untuk mengembangkan proses kognitif guna untuk

meneliti lingkungan, memahami permasalahan, mengambil dan

menganalisis data penting dan mengolaborasi solusi guna memecahkan

permasalahan.

4. Memfasilitasi pembelajaran kelompok kecil dalam pembelajaran berbasis

masalah

Belajar dengan membentuk kelompok kecil yang beranggotanya 3-

4 siswa. Guru dapat menggunakan berbagai teknik belajar kooperatif

untuk menggabungkan kelompok-kelompok tersebut dalam siklus

pembelajaran Problem Based Learning guna menyatukan ide, dan

penyajian ide.

5. Melakukan pembelajaran pembelajaran berbasis masalah

Guru mengatur lingkungan pembelajaran yang kondusif gune

menyatukan atau melibatkan siswa dalam masalah.

2.1.2.4 Langkah-langkah Problem- Based Learning

Ibrahim dan Nur (2000:13) dan Ismail (2002:1) dikutip dari Rusman

(2012:243) mengemukakan langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah

sebagai berikut :

15

Tabel 1

Langkah-langkah Problem Based Learning

Fase Indikator Tingkah Laku Guru

1. Orientasi siswa pada

Masalah

Menjelaskan tujuan pembelajaran,

menjelaskan logistik yang diperlukan,

dan memotivasi siswa terlibat pada

aktivitas pemecahan masalah

2. Mengorganisasikan

siswa untuk belajar

Membantu siswa mendefinisikan dan

mengorganisasikan tugas belajar yang

berhubungan dengan pemecahan

masalah.

3. Membimbing

Pengalaman individual

/kelompok

Mendorong siswa untuk mengumpulkan

informasi yang sesuai, melaksanakan

eksperimen untuk mendapatkan

penjelasan dan pemecahan masalah

4. Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya

Membantu siswa dalam merencanakan

dan menyiapkan karya yang sesuai

seperti laporan, dan membantu mereka

untuk berbagai tugas dengan temannya.

5. Menganalisis dan

mengevaluasi proses

pemecahan masalah

Membantu siswa untuk melakukan

refleksi atau evaluasi terhadap

penyelidikan mereka dan proses yang

mereka gunakan.

Dari beberapa uraian mengenai tahap-tahap pembelajaran Problem Based

Learning di atas, maka selanjutnya penulis akan menyusun sintak dan

implementasi kegiatan pembelajaran model Problem Based Learning menurut

Permendiknas No 41 Tahun 2007 pada tabel dibawah ini :

Tabel 2

Sintak Model Problem Based Learning berdasarkan

Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

No Fase Problem Based

Learning

Kegiatan Pembelajaran

Pendahuluan Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi Penutup

1 Orientasi siswa

kepada masalah √

2 Mengorganisasikan

siswa untuk belajar √ √

3 Membantu

investigasi kelompok. √

4 Mengembangkan dan

menyajikan hasil

karya √

16

No Fase Problem Based

Learning

Kegiatan Pembelajaran

Pendahuluan Eksplorasi Elaborasi Konfirmasi Penutup

5 Menganalisis dan

mengevaluasi proses

pemecahan masalah √ √

Berikut tabel implementasi pembelajaran menggunkan Problem Based

Learning berdasarkan standar proses:

Tabel 3

Implementasi Model Problem Based Learning berdasarkan

Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses

Sintaks Problem Based

Learning

Langkah dalam

Standar Proses Kegiatan Guru

Orientasi siswa pada

masalah.

Pendahuluan

Menyampaikan apersepsi, melakukan

orientasi kelas dengan menyampaikan tujuan

pembelajaran dan kegiatan pembelajaran yang

akan dilakukan, mengkondisikan siswa dalam

kelas menjadi beberapa kelompok Guru mulai

mendongeng menyampaikan permasalahan

awal yang akan di teliti oleh siswa.

Mengorganisasi siswa

untuk belajar.

Pendahuluan

& Eksplorasi

Membimbing siswa dalam kelompok

merancang aktifitas belajar untuk

menyelesaikan masalah yang telah di

orientasikan pada tahap awal.

Membantu investigasi

kelompok. Eksplorasi

Mendampingi siswa dalam mengumpulkan

informasi yang tepat untuk menyelesaikan

permasalahan yang harus diselesaikan

bersama dengan kelompok.

Mengembangkan dan

menyajikan hasil karya. Elaborasi

Mendampingi siswa membuat laporan hasil

diskusi dengan kelompok, menguji laporan

hasil diskusi kelompok lain, mengamati serta

menanyakan sesuatu yang belum diketahui

dan ditanggapi oleh kelompok yang

bersangkutan.

Menganalisis dan

mengevaluasi proses

pemecahan masalah.

Konfirmasi

Mendampingi siswa melalui tanya jawab

membahas penyelesaian masalah, membuat

kesimpulan

2.1.2.5 Implementasi Problem Based Learning (PBL) dalam Pembelajaran

Pada penerapan model pembelajaran ini sebagai awal pembelajaran

disajikan sebuah masalah yang digunakan sebagai starting point. Sebagai stimulus

pembelajaran yang selanjutnya siswa diarahkan guru untuk memecahkan masalah.

Dengan mengggunakan metode pemecahan masalah yang akan menjadi pusat

perhatiannnya.

17

Pemecahan masalah dalam Problem Based Learning harus sesuai dengan

langkah-langkah dalam metode ilmiah agar siswa mampu menyelesaikan masalah

secara sistematis dan terencana. Sehingga Problem Based Learning dapat

memberikan pengalaman belajar melakukan kerangka kerja ilmiah dan siswa

dapat memecahkan masalah nyata yang ada di lingkungan siswa.

Pembelajaran model Problem Based Learning dirancang dengan

pemberian permasalahan yang ada di dunia siswa yang menuntut siswa untuk

mengksplor pengetahuannya agar dapat memecahkan masalah baru sehingga

dengan memecahkan masalah tersebut siswa dapat memperoleh pengetahuan baru

sehingga siswa dapat terbiasa untuk, berfikir kritis, analitis, sistematis dan logis

dalam memecahkan masalah yang mereka hadapi. Namun kelemahan Problem

Based Learning ini jika di laksanakan pada siswa usia selokah dasar masih sangat

sulit untuk diajak kerja dalam kelompok karena mengingat usia anak sekolah

dasar masih egois atau individual. Sehingga penulis membuat desain

pembelajaran Problem Based Learning yang dikemas dalam sebuah dongeng agar

siswa termotivasi untuk aktif menyelidiki mencari solusi permasalahan melalui

kerja kelompok selain itu pembelajaran tidak terasa jenuh dan membosankan.

2.1.2.6 Dongeng

2.1.2.6.1 Hakekat Dongeng

Dongeng merupakan suatu media yang sangat efektif untuk membantu

proses pembelajaran. Karena bagi anak menyimak penjelasan guru merupakan

sesuatu hal yang tidak menyenangkan, sebaliknya duduk sambil menyimak

dongeng atau terlibat langsung dalam cerita adalah aktivitas yang mengasikkan.

Itadz (2008:19) memberikan penjelasan melalui cerita atau dongeng adalah cara

mendidik yang bijak dan cerdas. Mendidik dan menasehati anak melalui cerita

memberikan efek pemuasan terhadap kebutuhan akan imajinasi dan fantasi.

Dongeng adalah cerita khayali yang dianggap tidak benar-benar terjadi,

baik oleh yang penuturnya maupun oleh pendengarnya. Dongeng tidak terkait

oleh ketentuan normatif dan faktual tentang pelaku, waktu, dan tempat Danandjaja

dalam Itadz (2008:73). Pelakunya adalah makhluk-makhluk khayali yang

memiliki kebijaksanaan atau kekurangan untuk mengatur masalah manusia

18

dengan segala macam cara. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan,

walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, atau bahkan moral

Danandjaja dalam Itadz (2008:74).

2.1.2.6.2 Manfaat Mendongeng

Manfaat cerita bagi anak menurut Itadz (2008:81) diantaranya :

1. Membantu pembentukan pribadi dan moral anak

Hal ini karena dikarenakan anak yang senang mendengarkan cerita.

Kedekatan guru dengan siswa menjadikan cerita menjadi efektif untuk

mempengaruhi cara berfikir mereka. Siswa mampu memecahkan masalah

relistik berdasarkan pikiran, perasaan, dan perilakunya. Semiawan 2002

mengatakan mendongeng merupakan wahana yang ampuh untuk

memahami dan menerobos ke dalam penghayatan pengalaman anak.

Kerena dalam aktivitas tersebut terjadi pertemuan dan keterlibatan emosi,

pemahaman, dan keterlibatan mental antara guru dan siswa. Keasikan

dalam menyelami substansi cerita sehingga mampu memasuki dunia minat

siswa. Terjadinya pertemuan ini peluang untuk menginkorporasikan segi-

segi pedagogik dalam cerita.

2. Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi

Anak–anak membutuhkan penyaluran imajinasi dan fantasi tentang

berbagai hal yang muncul di dalam pikirannya. Karena usia anak Sekolah

Dasar merupakan masa-masa aktif anak berimajinasi.

3. Memacu kemampuan verbal anak

Cerita yang bagus tidak hanya menghibur tapi juga mendidik, serta

merangsang berkembangnya kecerdasan linguistik, yakni kemampuan

menggunakan bahasa untuk mencapai sasaran praktis.

4. Membuka cakrawala pengetahuan anak

Menurut Dr.Gede Raka (2002) mengatakan bahwa cerita seorang

guru dapat menstimulasi anak untuk belajar lebih jauh. Pengalaman nyata

yang terjadi pada anak menunjukan bahwa cerita guru yang menarik

tentang ilmu pengetahuan menggerakan anak untuk mencari tau lebih

banyak tentang ilmu tersebut. Cerita tersebut meninggalkan kesan yang

19

mendalam dan mampu menggugah semangat siswa untuk belajar lebih

mendalam. Hal tersebut sesuai dengan pernyatan Lenox dalam artikelnya

“Storytelling for Young Children in a Multicultural Word”, bahwa

bercerita atau mendongeng dapat dimanfaatkan untuk menari minat belajar

anak di samping memperluas kesadaran dan pengetahuan keberagaman

lingkunga (Lenox 2002 dalam Itadz 2008)

2.1.2.6.3 Unsur-Unsur Dongeng

Dalam sebuah dongeng terdapat unsur-unsur yang penting meliputi alur,

tokoh, latar, dan tema. Menurut Lustaantini (1998:16) penyebab ketertarikan

audience pada dongeng tidak terlepas dari empat unsur penting dongeng yaitu

alur, tokoh, latar, dan tema :

1. Alur adalah konstruksi mengenai sebuah deretan peristiwa secara logis dan

kronologis saling berkaitan yang dialami pelaku oleh pelaku. Alur lurus

adalah peristiwa yang di susun mulai dari awal, tengah, yang di wujudkan

dengan pengenalan, mulai bergerak, menuju puncak dan penyelesaian.

2. Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan

dalam berbagai peristiwa yang ada dalam cerita (Lustantini Septiningsih,

1998: 16). Tokoh dapat memiliki dua sifat, yaitu protagonist (Karakter

yang melambangkan kebaikan, menunjukan sikap positif dan merupakan

contoh yang layak ditiru) dan antagonis (Karakterister yang berlawanan

dengan tokoh protagonis, merupakan tokoh yang harus dijauhi sikap dan

perbuatannya.

3. Latar/Setting Istilah latar biasanya di artikan tempat dan wakyu terjadinya

cerita. Latar adalah segala katerangan, petunjuk, pengacauan yang

berkaitan dengan ruang, waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam

suatu karya sastra (Lustantini Septiningsih 1998:44). Latar ada dua

macam, yaitu latar social (mencakup penggambaran keadaan masyarakat,

kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, maupun bahasa

yang melatari peristiwa) dan latar fisik atau material (mencakup tempat,

seperti bangunan atau daerah).

20

4. Tema adalah arti pusat yang terdapat dalam suatu cerita. Pemikiran-

pemikiran yang di kemukakan oleh pengarang dipengaruhi oleh

pengalaman, jiwa, cita-cita dan ide yang di wujudkan lewat tema.

Keempat unsur penting tersebut merupakan kunci ketertarikan audience

pada suatu dongeng. Satu unsur dapat lebih menonjol diantara unsur

lainnya, karena bias jadi sebuah dongeng dikatakan menarik karena alur

dan penokohan saja yang menonjol. Tentu lebih baik apabila keempat

unsurnya dapat dikerjakan oleh pengarang dongeng dengan maksimal.

Syarat-syarat yang perlu diperhatikan sebagai pendongeng dapat diuraikan

sebagai berikut :

a. Syarat fisik pendongeng harus mampu menggunakan penghasil suara

secara lentur sehingga dapat menghasilkan suara yang bervariasi.

b. Syarat mental dan daya piker harus bersikap mental serius, sabar,lapang

dada,disiplin,taat beribadah, berakhlak karimah, dan senang berkesenian.

2.1.2.6.4 Langkah-langkah Mendongeng

Itadz (2008:101-110) menjelaskan langkah-langkah dalam mendongeng

dalam proses pembelajaran yaitu :

a. Memilah dan memilih materi cerita

Seorang pendongeng harus mampu memilih cerita yang sesuai

dengan perkembangan sisiwa dan judu yang menarik akrena keunikan

judul berkontribusi terhadap memori cerita.

b. Memahami isi cerita

Mengetahui rangkaian peristiwa dan jalan cerita, lalu masuk kelas

dan menyampaikanya kepada siswa. Yang perlu diketahui bagi para guru

bahwa setiap menit waktu yang digunakan untuk berfikir dan mengolah

cerita sekaligus mempersiapkannya sebelum pelajaran dimulai, akan

membantu dalam penyampaian cerita dengan mudah.

c. Menghayati karakter peran tokoh

Karakter yang ada dalam sebuh cerita berbeda-beda hendaknya

pendongeng memahami setiap karakter dan menghayati peran setiap

21

karakter yang akan di bawakannya sebagai pengkemas proses

pembelajaran yang akan berlangsung

Untuk menyajikan cerita secara menarik, diperlukan beberapa teknik

penyajian cerita. Teknik dalam arti ini mengandung pengertian daya upaya, usaha-

usaha atau cara yang digunakan guru untuk mencapai tujuan langsung dalam

pelaksanaan kegiatan bercerita. Menurut Itadz (2008:119) teknik – teknik

penyajian cerita atau mendongeng diantaranya :

a. Memilih dan mempersiapkan tempat

Pengindisian siswa sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan dan

pemahaman siswa dalam memahami isi cerita yang digunakan untuk

mengemas pembelajaran

b. Bercerita dengan Alat Peraga

Penggunaan alat peraga juga mempengaruhi ketertarikan sebuah

cerita yang dibawakan oleh guru. Alat peraga yang paling sederhana

adalah buku, kemudian gambar, papa panel, boneka dan filem bisu.

Semua alat peraga membutuhkan keterampilan tersendiri yang

memungkinkan penggunaan alat peraga itu berfungsi optimal.

c. Mengekpresikan karakter tokoh

Cerita merupakan karangan persuatif karenaa cerita mementingkan

pendengaran, guna mempengaruhi, menyakinkan dan mendorong perilaku

tertentu.

Dari urain di atas dapat disimpulkan bahwa penggunaan dongeng dalam

pembelajaran merupakan cara yang bijak dan cerdas untuk penyampaian materi

karena melalui dongeng siswa mampu terpuaskan terhadap kebutuhan akan

imajinasi dan fantasi. Serta pembelajaran tidak membosankan namun menambah

ketertarikan dan motivasi siswa untuk mencari pemecahan masalah yang

disampaiakan dengan dongeng.

2.1.3 Hasil Belajar

2.1.3.1 Pengertian Hasil Belajar

Nawawi dalam Ahmad Susanto (2013:5) menyatakan bahwa “hasil belajar

dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi

22

pembelajaran disekolah yang dinyatakan dalam skor yang diperoleh dari hasil tes

mengenai sejumlah materi pembelajaran tertentu”

Rusman (2012:123) menyatakan bahwa “hasil belajar yaitu sejumlah

pengalaman yang diperoleh oleh siswa mencapai ranah kognitif, afektif, dan

psikomotoril”.

Oemar Hamalik dan Rusman (2012:123) menyatakan “hasil belajar dapat

terlihat dari terjadinya perubahan persepsi dan perilaku termasuk juga perubahan

perilaku”.

Ahmad susanto (2013:5) menyatakan “hasil belajar yaitu perubahan-

perubahan yang terjadi pada siswa, baik menyangkut aspek kognitif, afektif, dan

psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar”.

Berdasarkan pendapat beberapa para ahli mengenai hasil belajar tersebut

dapat disimpulkan mengenai hasil belajar yaitu tingkat perubahan oleh siswa

dalam ranak kognitif, afektif, dan psikomotor. Dimana perubahan yang dialami

setelah belajar kemudian di peroleh melalui tes yang dinyatakan melalui skor.

2.1.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Munadi dalam Rusman (2012:124) menyatakan faktor-faktor yang

mempengaruhi hasil belajar yaitu 1) faktor internel meliputi faktor fisiologis

seperti kondisi kesehatan yang prima, tidak dalam keadaan yang lelah dan capek,

tidak dalam keadaan cacat jasmani, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dapat

mempengaruhi siswa dalam menerima materi pelajaran dan faktor psikologis yang

meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi, kognitif, dan

daya nalar siswa, (2) faktor eksternal meliputi faktor lingkungan berupa

lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu,

kelembaban, dan lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruang yang memiliki

ventilasi udara yang kurang tentunya akan berbeda suasana belajarnya dengan

yang belajar di pagi hari yang udaranya masih segar dan di ruang yang cukup

mendukung untuk bernafas lega dan faktor instrumental merupakan faktor yang

keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang

diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai sarana untuk

23

tercapainya tujuan-tujuan belajar yang telah direncanakan. Faktor-faktor

instrumental ini berupa kurikulum, sarana, dan guru.

Wasliman dalam Ahmad Susanto (2013:12) menyatakan bahwa faktor

yang mempengaruhi hasil belajar dibedakan menjadi 2 yaitu (1) faktor internal

merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri siswa yang memengaruhi hasil

belajarnya. Faktor internal, meliputi kecerdasan, minat dan perhatian, motivasi

belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan, (2)

faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri siswa yang

memengaruhi hasil belajar. Faktor ekstrenal, meliputi keadaan keluarga , sekolah,

dan masyarakat. Keadaan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar. Keadaan

keluarga yang morat-marit keadaan ekonominya, pertengkaran suami istri,

perhatian orang tua yang kurang terhadap anaknya, serta kebiasaan sehari-hari

berperilaku yang kurang baik dari orang tua dalam kehidupan sehari-hari

berpengaruh terhadap hasil belajar siswa

Dari pendapat 2 tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa faktor yang

memengaruhi hasil belajar ada 2 yaitu internal dan eksternal. Faktor internal,

terdiri dari faktor fisiologis yang meliputi kondisi fisik dan kesehatan serta faktor

psikologis yang meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi,

kognitif, dan daya nalar siswa. Sedangkan faktor ekstrenal terdiri dari faktor

lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat serta

faktor instrumental yang meliputi kurikulum, sarana, dan guru.

2.1.3.3 Klasifikasi Hasil Belajar

Menurut Bloom dalam Rusman (2012:125), hasil belajar diklasifikasikan

menjadi berkenaan dengan kemampuan dan kecakapan intelektual berpikir.

Domain kognitif menurut Bloom dalam Rusman (2012:125) terdiri dari 6 kategori

yaitu (1) pengetahuan yaitu jenjang kemampuan yang menuntut siswa untuk dapat

mengenali atau mengetahui adanya konsep-konsep, fakta, prinsip atau istilah

tanpa harus mengerti atau dapat menggunakannya, (2) pemahaman yaitu jenjang

kemampuan yang menuntut siswa untuk memahami atau mengerti tentang materi

pelajaran yang disampaikan guru dan dapat memanfaatkannya tanpa harus

menghubungkannya dengan hal-hal lain, (3) penerapan yaitu jenjang kemampuan

24

yang menuntut siswa untuk menggunakan ide-ide umum, tata cara ataupun

metode, prinsip, dan teori-teori dalam situasi baru dan konkret, (4) analisis yaitu

jenjang kemampuan yang menuntut siswa untuk menguraikan suatu situasi atau

keadaan tertentu ke dalam unsur-unsur atau komponen pembentukannya.

Kemampuan analisis dikelompokkan menjadi 3 yaitu analisis unsur, analisis

hubungan, dan analisis prinsip-prinsip yang terorganisasi, (5) sintesis yaitu

jenjang kemampuan yang menuntut siswa untuk menghasilkan sesuatu yang baru

dengan cara menggabungkan berbagai faktor. Hasil yang diperoleh dapat berupa

tulisan, rencana atau mekanisme, (6) evaluasi yaitu jenjang kemampuan yang

menuntut siswa untuk dapat mengevaluasi suatu situasi, keadaan, pernyataan atau

konsep berdasarkan kriteria tertentu.

Domain kognitif menurut Lorin Anderson dalam Rusman (2012:126)

terdiri dari 6 kategori yaitu (1) mengingat, taksonominya mengurutkan,

menjelaskan, mengidentifikasi, menamai, menempatkan, mengulangi,

menemukan kembali, dsb, (2) memahami, taksonominya menafsirkan, meringkas,

mengklasifikasikan, membandingkan, menjelaskan, memaparkan, dsb, (3)

menerapkan, taksonominya melaksanakan, menggunakan, menjalankan,

melakukan, mempraktikkan, memilih, menyusun, memulai, menyelesaikan,

mendeteksi, dsb, (4) menganalisis, taksonominya menguraikan, membandingkan,

mengorganisasikan, menyusun ulang, mengubah struktur, mengerangkakan,

menyusun outline, mengintegrasikan, membandingkan, membedakan,

manyamakan, dsb, (5) mengevaluasi, taksonominya menyusun hipotesis,

mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, membenarkan, menyalahkan, dsb, (6)

berkreasi, taksonominya merancang, membangun, merencanakan, memproduksi,

menemukan, membaharui, menyempurnakan, memperkuat, memperindah,

mengubah, dsb. Domain afektif, berkenaan dengan sikap, kemampuan, dan

penguasaan segi-segi emosional, yaitu perasaan, sikap, dan nilai.Domain

psikomotor, berkenaan dengan suatu keterampilan-keterampilan atau gerakan

fisik.

Dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa klasifikasi hasil

belajar itu ada 3 yaitu kognitif mengenai tentang pengetahuan, afektif mengenai

25

tentang sikap, dan psikomotorik mengenai keterampilan. Namun dalam penelitian

ini hanya meneliti dalam ranah kognitif saja.

2.1.3.4 Penilaian Hasil Belajar

Penilaian dilakukan guru terhadap hasil pembelajaran yang telah

terlaksana guna mengukur seberapa jauh pemahaman siswa mengenai kompetensi

siswa dalam memahami materi yang telah diajarkan, yang kemudian digunakan

untuk menyusun laporan kemajuan hasil belajar dan mengevaluasi proses

pembelajaran. Penilaian hasil belajar ini dilakukan secara berkesinambungan yang

bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar siswa serta guna

meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran.

Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematis dan terprogram dengan

menggunakan tes atau nontes dalam bentuk tertulis atau lisan, pengamatan kerja,

pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan / atau produk,

portofolio, serta penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan

Standar Penilaian Pendidikan dan panduan penilaian kelompok mata pelajaran.

Prosedur penilaian hasil belajar dalam penelitian ini yaitu 1) memilih

standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ada di dalam silabus; 2)

mengembangkan indikator sesuai dengan KD guna mengetahui ketercapian KD;

3) Membuat kisi-kisi soal; 4) melaksanakan tes; 5) mengolah hasil tes untuk

mngetahui ketercapaian kompetensi dan keberhasilan dalam pembelajaran.

2.1.4 Hubungan Problem Based Learning Dengan Dongeng Dan Hasil

Belajar

Problem Based Learning merupakan salah satu metode pembelajaran yang

tepat digunakan dalam pembelajaran. Melalui model Problem Based Learning

dapat membantu siswa dalam mengembangkan ketrampilan berpikir untuk

memecahkan masalah dan melatih siswa untuk berfikirlogis, analitis, sistematis,

kritis dan kreatif, serta kemampuan untuk bekerja sama. Namun dalam

pelaksanaanya masih banyak kekurangan salah satunya yang dijelaskan oleh

Abdul Muiz Lidinillah tentang salah satu kelemahan pembelajaran Problem Based

Learning yaitu dalam kerja kelompok karena siswa belum terlatih dengan cara

belajar seperti itu mereka akan kesulitan dan merasa bosan dalam kegiatan

26

pembelajaran apalagi jika model ini diterapkan di sekolah dasar pola pemikiran

siswa yang masih dalam tahap para-oprasional kongkrit ini sangat kesulitan dalam

pelaksanaannya, oleh itu peneliti mencoba menggunakan media dongeng dalam

pengemasan pembelajaran dengan harapan dapat memunculkan keantusiasan

siswa karena kita tau bahwa anak usia anak SD masih suka untuk didongengi.

Suasana pembelajaran yang menyenangkan ini mendorong siswa aktif dan dan

terlibat langsung dalam mengikuti pembelajaran dengan harapan dapat

meningkatkan hasil belajar dan tercapainnya tujuan pembelajaran.

2.2 Kajian Penelitian Yang Relevan

Penelitian dengan media dongeng ini pernah dilakukan oleh Alsanudin.

(2012), dalam skripsi penelitian yang berjudul “Peningkatan Kemampuan

Berbicara Menggunakan Media Dongeng Dalam Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia Kelas I SD Negeri No.2 Nangga Tebidah Sintang”. Hasil

penelitiannya adalah terjadi peningkatan hasil belajar Bahasa Indonesia.

Peningkatan hasil belajar siswa tampak nilai rata-rata siswa sebelum digunakan

media dongeng adalah 33.3%, dan meningkat menjadi 51,1% pada siklus I,dan

menjadi 72,% pada siklus II. Dari hasil penelitian ternyata pembelajaran dengan

menggunakan media dongeng dapat meningkatkan kemampuan berbicara dalam

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Pada Siswa Kelas I Sekolah Dasar

Negeri No. 2 Nanga Tebidah Sintang.

Ibrahim (2013), dalam artikel penelitian yang berjudul “Peningkatan

Kemampuan Berbicara Siswa Dengan Menggunakan Media Dongeng Dalam

Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas V SD Negeri No 01 Nanga Tebidah” hasil

penelitiannya adalah terjadi peningkatan hasil belajar bahasa Indonesia.

Peningkatan hasil belajar siswa tampak nilai rata-rata kemampuan berbicara siswa

sebelum diterapkannya media dongeng adalah 27,2%. Hasil penelitian hingga

siklus 2 rata-rata kemampuan berbicara siswa meningkat mencapai 80,3%. Maka

dapat disimpulkan terjadi peningkatan kemampuan berbicara siswa dalam

pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Menggunakan media dongeng kelas V

Sekolah Dasar Negeri 1 Nanga Tebidah Sintang.

27

Berdasarkan penelitian diatas, penggunaan media dongeng memiliki

dampak positif dalam proses pembelajaran yaitu mempu meningkatkan

kemampuan berbicara siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Sukarman dalam sekripsinya

yang berjudul “Penggunaan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem

Based Learning) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika pada Siswa

Kelas 6 Semester I SD Negeri Batiombo 02 Kecamatan Bandar Tahun Pelajaran

2013/2014”hasil penelitiannya adalah terjadi peningkatan hasil belajar bahasa

matematika. Peningkatan hasil belajar siswa tampak nilai rata-rata siswa sebelum

diterapkannya model Problem Based Learning adalah 60,26% siswa yang tuntas

dan 39,13% tidak tuntas dengan nilai rata-rata 63,26. Hasil penelitian hingga

siklus 1 rata-rata hasil belajar siswa meningkat mencapai 66,3. Dan siklus ke-2

ketuntasan belajar mencapai 100% dengan nilai rata-rata kelas 71,08 Maka

berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan penerapan model

pembelajaran berbasisi masalah (Problem Based Learning) dapat meningkatkan

hasil belajar matematika siswa kelas 6 SD Negeri Batiombo 02 Kecamatan

Bandar Kabupaten Batang.

Andriastutik Novi (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan

Model Problem Based Learning (Problem Based Learning) Pada Pembelajaran

Matematika Dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 5

Semester II Sekolah Dasar Negeri 6 Sindurejo Tahun Ajaran 2012/2013” Hasil

penelitian ini menunjukan bahwa penerapan model problem based learning dalam

pembelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.

Peningkatan ini dapat dilihat dari rata-rata hasil belajar matematika siswa pada

prasiklus, siklus I dan siklus II diperoleh peningkatan yaitu 62,3 pada prasiklus,

66,9 pada siklus I dan meningkat menjadi 77,5 pada siklus II. Serta ketuntasan

hasil belajar matematika siswa mengalami peningkatan pada tiap siklus yaitu 44%

pada prasiklus, 72% pada siklus I serta meningkat menjadi 94% pada siklus II.

Dari beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan tersebut ternyata

penggunaan dongeng dapat meningkatkan hasil belajar dilihat dari keamampuan

berbicara siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Model Problem Based

28

Learning juga mampu meningkatkan hasil belajar siswa oleh karena itu peneliti

akan menguji cobakan penerapan model Problem Based Learning (pembelajaran

berbasis masalah) dengan dongeng apakah dapat memberikan pengaruh terhadap

hasil belajar siswa?. Karena sesuai penelitian yang sudah ada dongeng hanya

digunakan dalam pelajaran bahasa Indonesia.

2.3 Kerangka Berpikir

Matematika merupkan suatu disiplin ilmu yang memiliki yang berkaitan

dengan cara berfikir logis, analitis, sistematis, kritif dan kreatif sehingga proses

pembelajaran harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih cara

berfikir logis, analitis, sistematis, kritif dan kreatif. Sesuai dengan pengamatan

saya pembelajaran matematika masih bersifat parsial atau berdiri sendiri-sendiri,

kurang melibatkan dalam permasalahan sehari-hari padahal pada kenyataannya

matematika itu ada dalam kehidupan kita sehari-hari selain itu tujuan dari kita

belajar adalah untuk menyiapkan siswa untuk mampu bertahan hidup

dimasyarakat artinya mampu menghadapi kesulitan dan permsalahan ia mereka

hadapi.

Melihat pentingnya pembelajaran matematika, maka matematika harus

kita ajarkan kepada siswa dari dini artinya dari taraf sekolah dasar dengan

memberiakan stimulus dalam bentuk masalah agar melatih siswa untuk berfikir

logis, analitis, sistematis, kritif dan kreatif serta siswa lebih tanggap terhadap

permasalahan yang ada di dalam lingkungan kehidupan siswa. Oleh karena itu

dalam penerapan pembelajaran guru memerlukan desain pembalajaran yang

melatih siswa untuk kritis dan tanggap terhadap masalah yang terjadi dan terampil

menyelesaikan permasalahan yang ada. Mengubah pembelajaran dari yang semula

hanya siswa mendengarkan, dan menyimak menjadi aktif melakuakn penyelidikan

untuk menyelesaikan permasalahan masih silit sehingga penulis mengemas

pembelajaran Problem Based Learning dengan dongeng mengingat karakteristik

siswa sekolah dasar yang masih suka didongengi dan beberapa kelemahan dari

Problem Based Learning diantaranya kurang sesuai jika diterapkan di sekolah

dasar karena karakteristik siswa sekolah dasar yang masih individual dan susah

diajak untuk bekerja dalam kelompok. Penerapan Problem Based Learning

29

dengan dongeng ini diharapan siswa lebih antusias dan termotivasi untuk

menyelidiki permasalahan guna menyelesaikan masalah yang disampaiakn di

awal pembelajaran bersama dengan kelompok sehingga berdampak pada

meningkatnya hasil belajar matematika siswa.

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori, kajian penelitian yang relevan dan kerangka pikir

maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu terdapat pengaruh penerapan

Problem Based Learning dengan dongeng terhadap hasil belajar Matematika pada

siswa kelas III SD N Salatiga 03 semester II tahun pelajaran 2015/2016.