56
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaan 1. Penetapan Harga dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia 1.1 Pengertian Penetapan Harga Penetapan harga adalah sebuah perilaku yang sangat terlarang dalam perkembangan pengaturan persaingan. Hal ini disebabkan penetapan harga selalu menghasilkan harga yang senantiasa berada jauh di atas harga yang bisa dicapai melalaui persaingan usaha yang sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan terjadinya kerugian bagi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana diketahui, penetapan harga bersama-sama akan menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan. 1 Dalam perkembangan penanganan perkara penetapan harga (price fixing) di berbagai belahan dunia, berkembang upaya pembuktian keberadaan perilaku tersebut, tidak hanya melalui bukti-bukti langsung (hard evidence), tetapi juga dikembangkan pembuktian- pembuktian lain melalui bukti-bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Hal ini terjadi, karena bukti langsung menjadi semakin sulit ditemukan karena keberadaan lembaga pengawas persaingan telah menjadi faktor yang diperhitungkan sehingga hal-hal yang berkaitan dengan bukti langsung telah dihindari oleh pelaku usaha. Tetapi bagaimanapun, penggunaan bukti-bukti tidak langsung harus tetap dilakukan dalam bingkai pembuktian sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999. 2 1 Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hlm 43 2 Draf pedoman pasal 5 tentang penetapan harga UU NO. 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI

A. Kajian Kepustakaan

1. Penetapan Harga dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia

1.1 Pengertian Penetapan Harga

Penetapan harga adalah sebuah perilaku yang sangat terlarang dalam perkembangan

pengaturan persaingan. Hal ini disebabkan penetapan harga selalu menghasilkan harga yang

senantiasa berada jauh di atas harga yang bisa dicapai melalaui persaingan usaha yang

sehat. Harga tinggi ini tentu saja menyebabkan terjadinya kerugian bagi masyarakat baik

langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana diketahui, penetapan harga bersama-sama

akan menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari adanya

penawaran dan permintaan.1

Dalam perkembangan penanganan perkara penetapan harga (price fixing) di berbagai

belahan dunia, berkembang upaya pembuktian keberadaan perilaku tersebut, tidak hanya

melalui bukti-bukti langsung (hard evidence), tetapi juga dikembangkan pembuktian-

pembuktian lain melalui bukti-bukti tidak langsung (circumstantial evidence). Hal ini

terjadi, karena bukti langsung menjadi semakin sulit ditemukan karena keberadaan lembaga

pengawas persaingan telah menjadi faktor yang diperhitungkan sehingga hal-hal yang

berkaitan dengan bukti langsung telah dihindari oleh pelaku usaha. Tetapi bagaimanapun,

penggunaan bukti-bukti tidak langsung harus tetap dilakukan dalam bingkai pembuktian

sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1999.2

1 Rachmadi Usman,2004, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hlm 43 2 Draf pedoman pasal 5 tentang penetapan harga UU NO. 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat.

Page 2: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Undang-Undang NO. 5 Tahun 1999 melarang adanya Penetapan Harga yang

dilakukan oleh para pelaku usaha di Indonesia. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 5 UU

No. 5 Tahun 1999, yaitu:

(1)”pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk

menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau

pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”

(2)”ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :

a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau;

b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku”.3

Penetapan harga bukan hanya terjadi karena faktor produksi, namun dapat juga terjadi

atau berasal dari lokasi penjualan, besarnya pasar, keunikan dari suatu produk, merek

barang tersebut, pemegang hak paten, dan cara penjualan. Faktor- faktor tersebut

mempengaruhi penentuan suatu harga dari produk yang dipasarkan.4 Terdapat dua pihak

yang selalu terlibat dalam setiap transaksi di suatu pasar, yaitu penjual dan pembeli, atau

produsen dan konsumen.

Terjadinya harga adalah tergantung dari kekuatan relatif yang dimiliki kedua belah

pihak. Kekuatan tersebut tergantung atau dibatasi oleh tiga bentuk persaingan yang

mempengaruhi terjadinya suatu harga, yakni:

a. Persaingan antar konsumen, muncul sebagai akibat dari terbatasnya jumlah barang

atau jasa yang dapat ditawarkan oleh pasar. Hal ini menyebabkan berkurangnya

kemampuan konsumen untuk melakukan penawaran. Jika terdapat keterbatasan jumlah

barang atau jasa yang ditawarkan, konsumen akan berusaha dan bersaing dengan

konsumen lain untuk memenuhi segala kebutuhannya. Konsumen yang dapat membayar

3 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU

No. 5 Tahun 1999, pasal 5 4 Marshall C. Howard, Legal Aspect Marketing, (Massachusets: McGraw-Hill, Inc,

1964), hal.23.

Page 3: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

lebih tinggi dari konsumen yang lain akan mendapatkan barang atau jasa yang

diinginkannya.

b. Persaingan antar produsen, muncul ketika terdapat lebih dari satu produsen untuk

suatu komoditi tertentu pada suatu pasar. Dengan asumsi terdapat jumlah konsumen yang

terbatas untuk komoditi yang ditawarkan, maka produsen akan bersaing dengan produsen

lainnya baik dalam kualitas maupun dalam harga untuk merebut konsumen yang ada.

Persaingan antar produsen mengakibatkan naiknya posisi tawar konsumen.

c. Persaingan antara konsumen dengan produsen, muncul sebagai akibat dari adanya

perbedaan kepentingan antara konsumen dengan produsen. Konsumen selalu berusaha

mendapatkan harga yang serendah mungkin dengan kualitas bagus, sedangkan produsen

berusaha memperoleh harga yang tinggi semaksimal mungkin agar mendapatkan

untung.5

Penetapan harga (price fixing) yang bisa terjadi secara fertikal maupun horizontal

dianggap sebagai hambatan perdagangan (restraint of prade) karena membawa akibat buruk

terhadap persaingan harga (price competition).6 Jika price fixing dilakukan, kebebasa

menentukan harga secara independen menjadi berkurang. Penetapan harga (price fixing)

dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Price fixing horizontal (horizontal price fixing)

Price fixing secara horizontal (horizontal price fixing) terjadi apabila lebih dari satu

perusahaan yang berada pada tahap produksi yang sama, dengan demikian sebenarnya

saling merupakan pesaing, menetukan harga jual produk mereka dalam tingkat yang sama.

b. Price fixing vertikal (vertical price fixing)

5 Asri Ernawati, “Penetapan Harga dalam Perspektif Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Studi Kasus Penetapan Tarif Bus Kota Patas AC di

Wilayah DKI Jakarta”, (Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2004), hal 22-23 6 Arie Siswanto, 2002, hukum Persaingan Usaha, Jakarta : Ghalia Indonesia, h 39

Page 4: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Price fixing vertikal (vertical price fixing) terjadi apabila suatu perusahaan yang

berada dalam tahap produksi tertentu, menentukan harga produksi yang harus dijual oleh

perusahaan lain yang berada dalam tahap produksi yang lebih rendah.7

1.2 Penjabaran Unsur Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang adanya Penetapan Harga yang

dilakukan oleh para pelaku usaha di Indonesia.

(1)”pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk

menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau

pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama”

(2)”ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :

a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau;

b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku”.8

Penetapan harga merupakan salah satu bentuk dari pelanggaran terhadap hukum

persaingan. Penetapan harga bersama-sama akan secara langsung menghilangkan

persaingan yang seharusnya terjadi dipasar. Penetapan harga bersama seperti ini akan

mendorong turunnya harga mendekati biaya produksi. Terdapat beberapa hal yang perlu

dicermati dalam unsur suatu penetapan harga. Yaitu;

a. Perjanjian penetapan harga

b. Antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya

c. Harga yang dibayar oleh konsumen

Secara umum terdapat unsur penetapan harga yang termasuk dalam pelanggaran pasal

5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Ialah :

a. Unsur Pelaku Usaha

7 Ibid, h 40 8 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU

No. 5 Tahun 1999, pasal 5

Page 5: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 5 dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999, pelaku

usaha adalah “Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam

bidang ekonomi.”

b. Unsur Perjanjian

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 7 dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999,

pelaku usaha adalah “Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha

untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun,

baik tertulis maupun tidak tertulis.“

c. Unsur Pelaku Usaha Pesaing

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama.

d. Unsur Harga Pasar

Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan jasa sesuai

kesepakatan antara para pihak dipasar bersangkutan.

e. Unsur Barang

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 16 dalam Ketentuan Umum UU No.5/1999, pelaku

usaha adalah “Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik

bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan,

atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha”.

f. Unsur Jasa

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 17 dalam Ketentuan Umum UU No.5 Tahun 1999,

pelaku usaha adalah “Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi

Page 6: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku

usaha”.

g. Unsur Konsumen

Pasar bersangkutan, menurut ketentuan pasal 1 angka 10 dari UU No.5 Tahun 1999

adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh

pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang

dan atau jasa tersebut.

h. Unsur Usaha Patungan

Perusahaan patungan adalah sebuah perusahaan yang dibentuk melalui perjanjian oleh

2 (dua) pihak atau lebih untuk menjalankan aktivitas ekonomi bersama, dimana para

pihak bersepakat untuk membagi keuntungan dan menanggung kerugian yang dibagi

secara proporsional berdasarkan perjanjian tersebut.

3.1 Pasal 5 tentang Penerapan harga menurut Pendekatan Per Se Illegal

Rumusan pasal dalam UU Persaingan Usaha secara material menentukan pendekatan

dalam penentuan pelanggaranya. Pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran UU Persaingan

Usaha harus dikaji dengan pendekatan. Pelanggaran Pasal 5 UU Persaingan Usaha

menggunakan pendekatan per se illegal yang merupakan pendekatan yang secara alamiah

dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut paa persaingan, karena

pada dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.9

Pendekatan per se illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu

sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian

atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya

meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga

9 Rilda Murniati, Op. Cit., hlm. 78.

Page 7: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

penjualan kembali.

Jenis Perilaku yang digolongkan sebagai per se illegal adalah perilaku-perilaku dalam

dunia usaha yang hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah

membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses administratif

adalah mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk

menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama dan

biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang bersangkutan.10

1.4 Dampak Negatif dari Penetapan Harga

Penetapan harga dilarang karena akan mengakibatkan dampak negatif terhadap

persaingan usaha (price competition). Adanya penetapan harga mengakibatkan kebebasan

menentukan harga secara independen menjadi berkurang. Selain merugikan persaingan,

tindakan penetapan harga juga merugikan konsumen dalam bentuk harga yang lebih tinggi

dan jumlah barang yang tersedia akan semakin sedikit.11

Dampak kerugian yang terjadi ketika pelaku usaha melakukan perjanjian penetapan

harga ialah :

a. Harga yang dibayar oleh konsumen lebih tinggi dibandingkan harga pada saat pelaku

usaha bersaing secara konpetitif

b. Pelaku usaha berpotensi untuk mengurangi jumlah output yang dapat menimbulkan

kelangkaan.

c. Akan terjadi kerugian konsumen (consumer loss), karena pelaku price fixing

mendapat keuntungan lebih besar dengan mengeksploitasi surplus konsumen.

10 Hukumonline,” Pentingnya prinsip "per se" dan "rule of reason" di UU Persaingan Usaha”,

http://www.hukumonline.com dikunjungi pada tanggal 21 juli 2017 pukul 21:23 WIB 11 Michael K. Vaska, “Concious Parallelism and Price Fixing: Defining The Boundary”,

University of Chicago Law Review, (Vol.52, 1985), page 508

Page 8: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

d. Terdapat total kerugian yang hilang (dead weight loss) dari jumlah surplus konsumen

dan surplus produsen.12

2. Penguasaan Pasar dalam Hukum Persaingan Usaha Indonesia

2.1 Pengertian Penguasaan Pasar

Pengertian Penguasaan Pasar menurut undang undang persaingan usaha dalam pasal

19, yaitu;

“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun

bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan

usaha yang sama pada pasar bersangkutan;

b. Mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.13

Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 melarang kegiatan pelaku usaha yang

bertujuan melakukan penguasaan pasar dengan cara menghambat atau bertentangan dengan

prinsip persaingan usaha yang sehat. Tindakan yang menghambat atau bertentangan dengan

persaingan usaha tidak sehat berdasarkan Pasal 19 adalah kegiatan yang dilakukan melalui

upaya penguasaan pasar yang dijabarkan dalam beberapa tindakan, yaitu:

1. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan

usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

2. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak

melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau

12 Asri Ernawati, op.cit., hal. 45 13 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU

No. 5 Tahun 1999, Pasal 19

Page 9: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

3. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar

bersangkutan; atau

4. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.14

2.2 Kegiatan yang dilarang pada Pasal 19 UU Persaingan Usaha

Terdapat beberapa larangan yang terdapat dalam pasal 19 undang-undang persaingan

usaha yaitu;

a. Menolak pesaing (pasal 19 a)

Dalam hal ini yang dilarang adalah jika seorang pelaku usaha secara sendiri maupun

bersama-sama dengan pelaku usaha lain menolak atau menghalang-halangi pelaku usaha

tertentu (pesaing) dalam hal melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang

bersangkutan. Hal yang demikian dianggap dapat mengakibatkan praktek monopoli dan

atau persaingan curang. Menolak dan atau menghalang-halangi pelaku usaha tertentu

yang dilarang adalah jika dilakukan secara tidak wajar, misalnya dilakukan dengan

alasan ekonomi, seperti karena alasan perbedaan suku, ras, status sosial, dan lain-lain.

b. Menghalangi konsumen

Juga dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli berupa kegiatan dari pelaku usaha

baik sendiri maupun bersama-sama dengan pelaku usaha lain yang bersifat menghalang-

halangi pihak konsumen dari pelaku usaha lain (pesaing) untuk tidak melakukan atau

meneruskan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing tersebut. Hal ini juga jelas

merupakan tindakan penguasaan pasar yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli pasar dan atau persaingan curang.

c. Pembatasan peredaran produk

14 DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Page 10: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Dalam hal ini, Undang-Undang Anti Monopoli melarang kegiatan oleh pelaku usaha

baik sendiri maupun dengan pelaku usaha lain untuk membatasi peredaran dan atau

penjualan barang dan atau jasa pada pasar yang bersangkutan.

d. Diskriminasi

Tindakan berupa diskiriminasi terhadap pelaku usaha tertentu (pesaing) jelas tidak etis

dan berbahaya bagi persaingan dan pasar yang baik sehingga karenanya dilarang oleh

Undang-Undang Anti Monopoli.15

2.3 Penjabaran Unsur Pasal 19 UU NO.5 Tahun 1999

Dalam menginterpretasikan isi Pasal 19 yang dimulai dengan larangan umum kemudian

dibagi dalam empat larangan dapat diuraikan dalam unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur pelaku usaha

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5, pelaku usaha adalah:

Setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

b. Unsur melakukan baik sendiri maupun bersama

Kegiatan yang dilakukan sendiri oleh pelaku usaha merupakan keputusan dan

perbuatan independen tanpa bekerjasama dengan pelaku usaha yang lain. Kegiatan yang

dilakukan secara bersama- sama merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha

dalam pasar bersangkutan yang sama dimana pelaku usaha mempunyai hubungan dalam

kegiatan usaha yang sama.

15 Munir Fuady,Op.Cit., h.78-81 (Vicky Riyadi Wirasetya ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga)

Page 11: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

c. Unsur pelaku usaha lain

Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang melakukan satu atau beberapa kegiatan

secara bersama-sama pada pasar bersangkutan. Pelaku usaha lain menurut penjelasan

pasal 17 ayat 2 huruf b adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang

signifikan dalam pasar bersangkutan.

d. Unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan

Satu atau beberapa kegiatan yang dilakukan dalam bentuk kegiatan secara terpisah

ataupun beberapa kegiatan sekaligus yang ditujukan kepada seorang pelaku usaha.

e. Unsur persaingan usaha tidak sehat

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan

kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara

tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

f. Unsur menolak

Menolak adalah ketika pelaku usaha tidak bersedia melakukan kegiatan usaha dengan

pelaku usaha lainnya.

g. Unsur menghalangi

Menghalangi adalah ketika pelaku usaha melakukan kegiatan yang menciptakan

hambatan bagi pelaku usaha lain atau pelaku usaha pesaingnya untuk masuk kedalam

suatu pasar bersangkutan yang sama.

h. Unsur pelaku usaha tertentu

Pelaku usaha tertentu adalah pelaku usaha yang dirugikan oleh kegiatan sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 19 huruf (a) dan (d)

i. Unsur kegiatan usaha yang sama

Kegiatan usaha yang sama adalah kegiatan usaha yang sejenis dengan yang dilakukan

oleh pelaku usaha.

Page 12: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

j. Unsur pasar bersangkutan

Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 angka (10) Pasar yang berkaitan dengan jangkauan

atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama

atau sejenis atau distribusi dari barang dan jasa tersebut.

k. Unsur konsumen

Menurut Pasal 1 angka (15): konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna

barang dan atau jasa untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak

lain.

l. Unsur pelanggan

Pelanggan adalah pemakai atau pengguna dari barang dan atau jasa untuk kepentingan

sendiri maupun kepentingan pihak lain yang menggunakannya secara

berkesinambungan, teratur, terus menerus baik melalui perjanjian tertulis atau tidak.

m. Unsur pelaku usaha pesaing

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha yang berada dalam pasar bersangkutan

yang sama.

n. Unsur hubungan usaha

Hubungan usaha adalah kegiatan ekonomi antar pelaku usaha dalam bentuk berbagai

transaksi dan atau kerjasama.

o. Unsur membatasi peredaran

Membatasi peredaran adalah kegiatan yang dilakukan pelaku usaha dengan tujuan

untuk mengendalikan distribusi atau wilayah peredaran barang dan atau jasa.

p. Unsur barang

Menurut pasal 1 angka (16) barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak

berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat diperdagangkan, dipakai,

dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

Page 13: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

q. Unsur jasa

Menurut pasal 1 angka (17) jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau

prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen

atau pelaku usaha.

r. Unsur melakukan praktek diskriminasi

Praktek diskriminasi merupakan tindakan atau perlakuan dalam berbagai bentuk yang

berbeda yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu dalam

suatu pasar bersangkutan.16

3. Analisis Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Kartel

3.1 Pengertian Kartel

Kartel adalah perbuatan pelaku usaha yang melakukan kerjasama dengan pelaku usaha

lain, untuk menguasai pasar dengan cara mengatur dan atau menentukan pemenang tender

sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.17 Istilah kartel sebenarnya

merupakan istilah umum yang dipakai untuk setiap kesepakatan atau kolusi atau konspirasi

yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Pemakaian istilah kartel juga dibagi menjadi kartel

yang utama dan kartel lainnya. Kartel yang utama terdiri dari kartel mengenai penetapan

harga, kartel pembagian wilayah, persekongkolan tender dan pembagian konsumen.

Suatu kartel dianggap sangat berbahaya karena para pelakunya sepakat melakukan

konspirasi mengenai hal-hal yang sangat pokok dalam suatu transaksi bisnis yang meliputi

harga, wilayah dan konsumen. Kartel juga sangat berbahaya karena dapat berperilaku

seperti monopolis yang dapat menentukan tingkat harga yang sangat tinggi atau jumlah

16 DRAFT Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 17 Yakub Adi Krisanto, Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU tentang

Kartel, Jurnal Hukum Bisnis (Maret-April 2005), hal.40.

Page 14: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

produksi, sehingga akan menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat.

Kartel akan menyebabkan kerugian bagi konsumen karena harga akan mahal dan

terbatasnya barang atau jasa di pasar.18 Juga Kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan

yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah

produksi dan harga suatu barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat

keuntungan yang wajar.19

Kartel diatur dalam Pasal 11 Undang-undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berbunyi:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang

bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran

suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.”20

Secara sederhana ada tiga hal yang dapat dilakukan kartel, yakni dalam hal “harga”,

“produksi”, dan “wilayah pemasaran”.21 Terdapat dua kerugian yang terjadi pada kartel

yakni, pertama, terjadinya praktik monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara makro

mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan dengan timbulnya

deadweight loss22. Kedua, dari segi konsumen akan kehilangan pilihan harga, kualitas yang

1818 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11

tentang Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010. 19 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang

Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. 20 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU

No. 5 Tahun 1999, Pasal 11 21 Farid Nasution dan Retno Wiranti, 2008, “Kartel dan Problematikanya”, Jakarta: Majalah Kompetisi, hal. 4 22 Kerugian secara keseluruhan (net loss) dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh

distorsi tertentu (misalnya intervensi tertentu oleh pemerintah), yang dihitung atas seluruh kerugian yang

dialami oleh pihak yang merugi dalam masyarakat dikurangi dengan seluruh manfaat/perbaikan (gains) yang

didapat oleh pihak yang diuntungkan dalam masyarakat. Ini biasanya dihitung dalam bentuk perubahan dalam

consumer & producer surplus bersama dengan pendapatan/pengeluaran pemerintah dalam analisis supply-

demand. Sumber https://apaarti.wordpress.com/2013/10/15/kamus-ekonomi-online/

Page 15: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

bersaing, dan layanan purna jual yang baik.23 Konsekuensinya suatu perjanjian kartel secara

tidak langsung membatasi persaingan usaha.24

Hal utama dari praktek kartel ini adalah pengaturan jumlah produksi dan pemasaran

secara bersama-sama dan sistematis dengan maksud untuk mempengaruhi harga demi

keuntungan para anggota-anggota kartel. Konsekuensinya suatu perjanjian kartel secara

tidak langsung membatasi persaingan usaha.25 Salah satu syarat terjadinya kartel adalah

harus ada perjanjian atau kolusi antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam

kartel,yaitu:

1. Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan mereka

secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data

mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan- kebijakan tertulis, data

penjualan dan data-data lainnya.

2. Kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara

langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Media yang biasanya

dipakai adalah sebuah asosiasi industri, sehingga pertemuan- pertemuan anggota

kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-peremuan yang legal seperti pertemuan

asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi oleh penegak

hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa setidaknya

30% kartel melibatkan asosiasi.26

3.2 Karakteristik Kartel

Suatu kartel pada umumnya terdapat beberapa karakteristik. Yaitu;

23 Didik J. Rachbini, “Cartel and Merger in Control in Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis (Volume 19 Mei-Juni

2002), hlm. 4. 24 Ibid.,hal. 11-12. 25 Didik J. Rachbini, “Cartel and Merger in Control in Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis (Volume 19 Mei-Juni

2002), hal. 11-12. 26 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU

No. 5 Tahun 1999. Hal 4

Page 16: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

a. Terdapat konspirasi antara beberapa pelaku usaha.

b. Melakukan penetapan harga.

c. Agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi konsumen atau

produksi dan wilayah.

d. Adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha misalnya karena perbedaan

biaya.

Oleh karena itu adanya kompromi diantara anggota kartel misalnya dengan adanya

kompensasi dari anggota kartel yang besar kepada mereka yang lebih kecil.27 Dalam

Pedoman Pasal 11 memiliki karakteristik kartel. Yaitu;

a. Terdapat konspirasi diantara beberapa pelaku usaha.

b. Melibatkan para senior eksekutif dari perusahaan yang terlibat.

c. Biasanya dengan menggunakan asosiasi untuk menutupi kegiatan mereka.

d. Melakukan price fixing atau penetapan harga. Agar penetapan harga berjalan efektif,

maka diikuti dengan alokasi konsumen atau pembagian wilayah atau alokasi produksi.

Biasanya kartel akan menetapkan pengurangan produksi.

e. Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota yang melanggar perjanjian. Apabila tidak

ada sanksi bagi pelanggar, maka suatu kartel rentan terhadap penyelewengan untuk

mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada anggota kartel lainnya.

f. Adanya distribusi informasi kepada seluruh anggota kartel. Bahkan jika

memungkinkan dapat menyelenggarakan audit dengan menggunakan data laporan

produksi dan penjualan pada periode tertentu.

g. Adanya mekanisme kompensasi dari anggota kartel yang produksinya lebih besar atau

melebihi kuota terhadap mereka yang produksinya kecil atau mereka yang diminta untuk

menghentikan kegiatan usahanya.28

27 Philip Areeda, Antitrust Analysis, Problem, Text, Cases, (Little Brown and Company,1981), hal 346-349.

Page 17: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Terdapat beberapa Terdapat beberapa persyaratan agar suatu kartel dapat berjalan

efektif, diantaranya:

a. Jumlah pelaku usaha.

Semakin banyak pelaku usaha di pasar, semakin sulit untuk terbentuknya suatu kartel.

Kartel akan mudah dibentuk dan berjalan lebih efektif apabila jumlah pelaku usaha

sedikit atau pasar terkonsentrasi.

b. Produk di pasar bersifat homogen.

Karena produk homogen, maka lebih mudah untuk mencapai kesepakatan mengenai

harga.

c. Elastisitas terhadap permintaan barang.

Permintaan akan produk tersebut tidak berfluktuasi. Apabila permintaan sangat

fluktuatif, maka akan sulit untuk mencapai kesepakatan baik mengenai jumlah produksi

maupun harga.

d. Pencegahan masuknya pelaku usaha baru ke pasar.

e. Tindakan-tindakan anggota kartel mudah untuk diamati. Dalam suatu kartel terdapat

kecenderungan bagi anggota untuk melakukan kecurangan. Apabila jumlah pelaku usaha

tidak terlalu banyak, maka mudah unuk diawasi.

f. Penyesuaian terhadap perubahan pasar dapat segera dilakukan. Kartel membutuhkan

komitmen dari anggota-anggotanya untuk menjalankan kesepakatan kartel sesuai dengan

permintaan dan penawaran di pasar. Kartel akan semakin efektif jika dapat dengan cepat

merespon kondisi pasar dan membuat kesepakatan kartel baru jika diperlukan.

28 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang

Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

Page 18: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

g. Investasi yang besar. Apabila suatu industri untuk masuk ke pasarnya membutuhkan

investasi yang besar, maka tidak akan banyak pelaku usaha yang akan masuk ke pasar.

Oleh karena itu, kartel diantara pelaku usaha akan lebih mudah dilakukan.29

3.3 Indikasi Kartel

Untuk memenuhi persyaratan bukti awal yang cukup, KPPU dapat memeriksa

beberapa indikator awal yang dapat disimpulkan sebagai faktor pendorong terbentuknya

kartel. Secara teori, ada beberapa faktor yang dapat mendorong atau memfasilitasi

terjadinya kartel baik faktor struktural maupun perilaku.

Faktor-faktor pendorong terbentuknya kartel yang dimaksudkan ialah;

1. Faktor structural

a. Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan

Secara prinsip, kartel akan lebih mudah jika jumlah perusahaan tidak banyak. Dalam

hal ini indikator tingkat konsentrasi pasar seperti misalnya jumlah pangsa pasar empat

perusahaan terbesar (CR4) dan Herfindahl-Hirschman Index merupakan indikator yang

baik untuk melihat apakah secara struktur, pasar tertentu mendorong eksistensi kartel.

b. Ukuran perusahaan

Kartel akan lebih mudah terbentuk jika pendiri atau pelopornya

adalah beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara. Dengan demikian

pembagian kuota produksi atau tingkat harga yang disepakati dapat dicapai dengan lebih

mudah dikarenakan kapasitas produksi dan tingkat biaya produksi semua perusahaan

tersebut tidak berbeda jauh.

c. Homogenitas Homogenitasproduk

29 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU

No. 5 Tahun 1999. Hal 4-5

Page 19: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Produk yang homogen, baik berupa barang atau jasa, menyebabkan preferensi

konsumen terhadap seluruh produk tidak berbeda jauh. Hal ini menjadikan persaingan

harga sebagai satu- satunya variabel persaingan yang efektif. Dengan demikian dorongan

para pengusaha untuk bersepakat membentuk kartel akan semakin kuat untuk

menghindari perang harga yang menghancurkan tingkat laba mereka.

d. Kontrak multi-pasar

Pemasaran yang luas dari suatu produk memungkinkan terjadinya kontak multi-pasar

dengan pesaingnya yang juga mempunyai sasaran pasar yang luas. Multi-pasar dapat

diartikan persaingan di beberapa area pasar atau di beberapa segmen pasar. Kontak yang

berkali-kali ini dapat mendorong para pengusaha yang seharusnya bersaing untuk

melakukan kolaborasi, misalnya dengan alokasi wilayah atau harga. Selain itu, tidak ada

insentif dalam kartel karena adanya kekhawatiran “tindakan balasan” dari anggota kartel

di seluruh area atau segmen pasar sasaran.

e. Persediaan dan kapasitas produksi

Persediaan yang berlebihan di pasar menunjukkan telah terjadi kelebihan penawaran

(overstock). Begitu pula kapasitas terpasang yang berada di atas permintaan

menunjukkan kemampuan pasokan berada di atas tingkat permintaan saat ini. Untuk

mencegah persaingan harga yang merugikan, pada kondisi ini para pelaku usaha akan

mudah terperangkap dalam perilaku kartel harga, yaitu menyepakati harga tertentu atau

harga minimum. Selain itu, kelebihan pasokan yang tersedia cukup banyak untuk

“menghukum” mereka yang menyimpang dengan membanjiri pasar sehingga harga akan

jatuh dan pengusaha akan kesulitan memasarkan produknya. Data akan persediaan dan

kapasitas produksi dapat dijadikan indikator awal untuk mengindikasikan terjadinya

kartel.

f. Keterkaitan kepemilikan

Page 20: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Keterkaitan kepemilikan baik minoritas terlebih lagi mayoritas mendorong pengusaha

untuk mengoptimalkan laba melalui keselarasan perilaku di antara perusahaan yang

mereka kendalikan. Pemegang saham dua atau lebih perusahaan yang semestinya

bersaing cenderung memanfaatkan kepemilikan silang ini untuk memperkuat kartel

dalam rangka mengoptimalkan keuntungan. Berbagai pengaturan kartel akan

berlangsung lebih mudah dengan adanya kepemilikan silang ini.

g. Kemudahan masuk pasar

Tingginya entry barrier sebagai hambatan bagi perusahaan baru untuk masuk pasar

akan memperkuat keberadaan suatu kartel. Peluang pendatang baru untuk mengisi

kekosongan pasar akibat harga kartel yang tinggi agak tertutup. Dengan demikian kartel

akan dapat bertahan dari persaingan pendatang baru.

h. Karakter permintaan, keteraturan, elastisitas dan perubahan Permintaan yang teratur

dan inelastis dengan pertumbuhan yang stabil akan memfasilitasi berdirinya kartel. Hal

ini terjadi karena adanya kemudahan bagi para peserta kartel untuk memprediksi dan

menghitung tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan

mereka. Sebaliknya jika permintaan sangat fluktuatif, elastis dan tidak teratur akan

menyulitkan terbentuknya kartel. Para peserta akan berebut order pada saat permintaan

tinggi dan terpaksa bersaing menurunkan harga mengingat sifat permintaan yang elastis.

i. Kekuatan tawar pembeli (buyerpower)

Pembeli dengan posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan dan akhirnya

membubarkan kartel. Dengan posisi ini, pembeli akan mudah mencari penjual yang mau

memasok dengan harga rendah, yang berarti mendorong penjual untuk tidak mematuhi

Page 21: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

harga kesepakatan kartel. Pada akhirnya kartel tidak akan berjalan secara efektif dan

bubar dengan sendirinya.30

Faktor Perilaku

a. Transparansi dan Pertukaran Informasi

Kartel akan mudah terbentuk apabila para pelaku usaha terbiasa dengan pertukaran

informasi dan tranparansi di antara mereka. Peran asosiasi yang kuat seringkali terlihat

sebagai media pertukaran ini. Data produksi dan harga jual yang dikirimkan ke asosiasi

secara periodik dapat digunakan sebagai sarana pengendalian kepatuhan terhadap

kesepakatan kartel. Terlebih lagi jika ditemukan terjadinya pertukaran informasi harga

dan data produksi tanpa melalui asosiasi, yang mana akan terlihat janggal jika sesama

pelaku usaha saling memberikan harga dan data produksi di antara mereka tanpa tujuan

tertentu sehingga kecurigaan akan eksistensi kartel akan menguat.

b. Peraturan Harga dan Kontrak

Beberapa perilaku pengaturan harga dan kontrak dapat memperkuat dugaan adanya

kartel di suatu industri. Misalnya kebijakan one price policy dimana kesamaan harga di

berbagai daerah akan menjadi alat monitoring yang efektif antar anggota kartel terhadap

kesepakatan harga kartel. Begitu pula keharusan memperoleh harga yang sama seperti

klausul Most Favored Nations atau meet the competition dalam suatu kontrak akan

memudahkan kontrol terhadap anggota kartel yang menyimpang. Oleh karena itu,

walaupun bukan merupakan syarat perlu maupun cukup dalam mengidentifikasikan kartel,

30 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang

Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

Page 22: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

perilaku pengaturan harga dan kontrak patut dicermati oleh lembaga otoritas persaingan

usaha sebagai bagian upaya identifikasi eksistensi kartel.31

3.4 Analisis Kartel

Dalam menganalisis pelanggaran kartel, terdapat dua cara yaiyu :

1. Alat Bukti

Beberapa alat bukti untuk penanganan perkara kartel antara lain;

a. Dokumen atau rekaman kesepakatan harga, kuota produksi atau pembagian wilayah

pemasaran.

b. Dokumen atau rekaman daftar harga (pricelist) yang dikeluarkan oleh pelaku usaha

secara individu selama beberapa periode terakhir (bisa tahunan atau persemester).

c. Data perkembangan harga, jumlah produksi dan jumlah penjualan di beberapa wilayah

pemasaran selama beberapa periode terakhir (bulanan atau tahunan).

d. Data kapasitas produksi.

e. Data laba operasional atau laba usaha dan keuntungan perusahaan yang saling

berkoordinasi.

f. Hasil analisis pengolahan data yang menunjukkan keuntungan yang berlebih / excessive

profit.

g. Hasil analisis data concius paralelism terhadap koordinasi harga, kuota produksi atau

pembagian wilayah pemasaran.

h. Data laporan keuangan perusahaan untuk masing-masing anggota yang diduga terlibat

selama beberapa periode terakhir.

i. Data pemegang saham setiap perusahaan yang diduga terlibat beserta perubahannya.

31 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang

Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

Page 23: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

j. Kesaksian dari berbagai pihak atas telah terjadinya komunikasi, koordinasi dan/atau

pertukaran informasi antar para peserta kartel.

k. Kesaksian dari pelanggan atau pihak terkait lainnya atas terjadinya perubahan harga

yang saling menyelaraskan diantara para penjual yang diduga terlibat kartel.

l. Kesaksian dari karyawan atau mantan karyawan perusahaan yang diduga terlibat

mengenai terjadinya kebijakan perusahaan yang diselaraskan dengan kesepakatan dalam

kartel.32

Dokumen, rekaman dan/atau kesaksian yang memperkuat adanya faktor pendorong

kartel sesuai indikator yang telah dijelaskan yaitu;

1. Penetapan pendekatan rule of reason

Sesuai dengan perumusan pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999 yang bersifat Rule of

Reason, maka dalam rangka membuktikan apakah telah terjadi kartel yang dilarang perlu

dilakukan pemeriksaan secara mendalam mengenai alasan-alasan para pelaku usaha

melakukan kartel. Suatu kartel atau kolaborasi dapat diketahui antara lain dari hal-hal

berikut:

a. Apakah terdapat tanda-tanda adanya pengurangan produksi barang dan atau jasa atau

ada tidaknya kenaikan harga? Jika tidak ada, maka perbuatan para pelaku usaha tidak

bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha.

b. Apakah perbuatan tersebut naked (semata-mata, langsung bertujuan untuk

mengurangi atau mematikan persaingan), atau bersifat ancillary (bukan tujuan dari

kolaborasi melainkan hanya akibat ikutan). Apabila kolaborasi bersifat naked, maka akan

melawan hukum.

c. Bahwa kartel mempunyai market power. Apabila kartel mempunyai pangsa pasar

32 Indonesia. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 tentang

Kartel Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010.

Page 24: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

(market power) yang cukup, maka mereka mempunyai kekuatan untuk menyalahgunakan

kekuatan tersebut. Akan tetapi apabila tidak ada market power, maka kemungkinan kecil

kartel akan dapat mempengaruhi pasar.

d. Terdapat bukti yang kuat bahwa kartel menghasilkan efisiensi yang cukup besar,

sehingga melebihi kerugian yang diakibatkannya. Apabila tidak membawa efisiensi

berarti kartel hanya membawa kerugian.

e. Adanya reasonable necessity. Artinya tindakan para pelaku kartel tersebut memang

secara akal sehat perlu dilakukan. Dengan kata lain untuk mencapai keuntungan-

keuntungan yang pro persaingan yang ingin dicapai, maka perbuatan kartel tersebut perlu

dilakukan, dan tidak terdapat cara lain atau alternatif lain yang seharusnya terpikirkan

oleh para pelaku usaha.

f. Balancing test. Setelah faktor-faktor lainnya tersebut diatas diperiksa, maka perlu

dilakukan pengukuran terhadap keuntungan yang diperoleh melalui kartel, dengan

kerugian yang diakibatkannya. Apabila keuntungan yang diperoleh lebih besar

dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya, maka perbuatan atau tindakan para

pelaku usaha tersebut dapat dibenarkan.

B. Analisis Putusan Perkara KPPU No. 8/2014 dan Putusan Perkara

KPPU No. 10/2015

1. Posisi Kasus Putusan Perkara No. 8/2014 dalam Industri Otomotif terkait Kartel

Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat

Page 25: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia selanjutnya disebut Komisi

yang memeriksa Perkara Nomor 08/KPPU-I/2014 tentang dugaan pelanggaran pasal 5 ayat

(1) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam Industri Otomotif terkait Kartel Ban Kendaraan

Bermotor Roda Empat.

Adapun Putusan Perkara KPPU ini bermula dari Dugaan Pelanggaran Pasal 5 ayat (1)

dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang dilakukan oleh :

1. Terlapor I, PT Bridgestone Tire Indonesia, berkedudukan di The Plaza Office Tower

11th Floor Jalan M.H. Thamrin Kav. 28-30 Jakarta Pusat 10350;

2. Terlapor II, PT Sumi Rubber Indonesia, berkedudukan di Wisma Indomobil 12th Floor

Jalan Letjen. M.T. Haryono Kav. 8, Cawang, Jakarta Timur;

3. Terlapor III, PT Gajah Tunggal, Tbk., berkedudukan di Wisma Hayam Wuruk 10th

Floor Jalan Hayam Wuruk 8 Jakarta Pusat;

4. Terlapor IV, PT Goodyear Indonesia, Tbk., berkedudukan di Jalan Pemuda Nomor 27

Tanah Sareal Kota Bogor Jawa Barat;

5. Terlapor V, PT Elang Perdana Tyre Industry, berkedudukan di Jalan Elang Desa

Sukahati Citeureup – Kabupaten Bogor Jawa Barat;

6. Terlapor VI, PT Industri Karet Deli, berkedudukan di Jalan K.L Yos Sudarso Km. 8.3

Medan, Sumatera Utara.33

Berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat bukti awal dugaan pelanggaran terhadap

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam industri otomotif terkait kartel ban kendaraan

bermotor roda empat. Laporan tersebut berisi dugaan bahwa produsen ban kendaraan roda

empat yang tergabung dalam APBI telah melakukan perjanjian penetapan harga dan kartel

antara sesama produsen ban Indonesia.

33 Putusan Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014, h 1

Page 26: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut, Komisi menetapkan untuk

ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan. Komisi telah melakukan penyelidikan terhadap

laporan hasil penelitian, dan memperoleh bukti yang cukup jelas dan kelengkapan dugaan

pelanggaran yang dituangkan dalam laporan hasil penyelidikan. Komisi melakukan

pemberkasan laporan hasil penyelidikan tersebut dinilai layak untuk dilakukan gelar laporan

dan disusun dalam bentuk rancangan laporan dugaan pelanggaran.

Selanjutnya, Ketua Komisi menerbitkan Penetapan Komisi Nomor

22/KPPU/Pen/IV/2014 tanggal 30 April 2014 tentang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara

Nomor 08/KPPU-I/2014. Bahwa berdasarkan Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan

tersebut, Ketua Komisi menetapkan pembentukan Majelis Komisi melalui Keputusan

Komisi Nomor 62/KPPU/Kep/V/2014 tanggal 12 Mei 2014 tentang Penugasan Anggota

Komisi sebagai Majelis Komisi pada Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 08/KPPU-

I/2014.

Hasil pemeriksaan pendahuluan oleh Majelis Komisi dengan mendengarkan

keterangan dari para terlapor I-VI, keterangan saksi, dan keterangan para ahli dalam dugaan

pelanggaran pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam

industri otomotif terkait kartel ban kendaraan bermotor roda empat. Majelis Komisi

menemukan adanya bukti awal yang cukup untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.

Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisa dan kesimpulan di atas,

serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 199934. Majelis

Komisi pada rabu, 7 Januari 2015 memutuskan;

1. Bahwa menurut Pedoman Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut

“Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda merupakan usaha untuk

mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari tindakan

34 Pengambilan keputusan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang

beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999

Page 27: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk menjerakan pelaku usaha agar tidak

melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya;

2. Bahwa berdasarkan Pasal 36 huruf l jo. Pasal 47 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999,

Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku

usaha yang melanggar ketentuan UU No. 5 Tahun 1999;

3. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g UU No. 5 Tahun 1999,

Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa pengenaan denda

serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi- tingginya Rp

25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);

4. Bahwa berdasarkan Pedoman Pasal 47, Majelis Komisi menentukan besaran denda

dengan menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan besaran nilai dasar dan kedua,

penyesuaian besaran nilai dasar dengan menambahkan dan/atau mengurangi besaran nilai

dasar tersebut;

5. Bahwa dalam penentuan rentang besaran denda, Perkom menentukan jumlah akhir dari

besaran denda dalam keadaan apapun tidak boleh melebihi 10% dari total turn over tahun

berjalan dari pihak Terlapor. Apabila 10% turn over lebih besar dari Rp 25.000.000.000,00

(dua puluh lima miliar rupiah) maka akan dikenakan denda akhir sebesar Rp

25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), sementara apabila 10% turn over dari

pihak Terlapor lebih kecil dari Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) maka

akan dikenakan denda akhir sebesar 10% turn over;

6. Bahwa dalam perkara a quo35 nilai turn over atau nilai penjualan dari para Terlapor

adalah sebagaimana diuraikan pada butir 5 Tentang Hukum, dimana 10% dari nilai turn

over tersebut jauh melebihi Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);

35 law-indonesia,” a quo ialah perkara ini”, http://www.law indonesia.org/2012/08/istilah-hukum-bagian-

kesatu.html dikunjungi pada tanggal 24 juli 2017 pukul 00:54 WIB

Page 28: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

7. Bahwa Perkom mengatur juga mengenai pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan

meringankan sebagai dasar untuk melakukan penyesuaian besaran nilai dasar denda.

Namun, oleh karena nilai 10% turn over jauh melebihi Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh

lima miliar rupiah) sebagai batasan sanksi denda maksimal, maka Majelis Komisi tidak

lagi memperhatikan hal-hal dimaksud.

Dengan demikian, setelah terlapor I sampai dengan terlapor VI melakukan

pembayaran denda dan salinan bukti pembayaran denda tersebut dilaporkan dan diserahkan

ke KPPU. Demikian putusan ini ditetapkan melalui musyawarah dalam Sidang Majelis

Komisi pada hari Rabu, 10 Desember 2014 dan dibacakan di muka persidangan yang

dinyatakan terbuka untuk umum pada hari Rabu, 7 Januari 2015 oleh Majelis Komisi.36

2 Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Putusan Perkara KPPU No. 8/2014 dalam

Industri Otomotif terkait Kartel Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat

Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematis tersistematis

(gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu

dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai

kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek

(multidimensional dan multifaset).37

1. Alasan KPPU menerima pemeriksaan awal

Setelah membaca laporan dugaan pelanggaran, membaca tanggapan para terlapor

terhadap laporan dugaan pelanggaran, mendengar keterangan para saksi, keterangan para

ahli, keterangan para terlapor, membaca surat-surat dan dokumen-dokumen perkara,

membaca kesimpulan hasil persidangan dari investigator dan para terlapor.

36 Putusan Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014, h 230-232 37 Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”, (Disertasi, Universitas Katolik

Parahyangan, 2004), halaman 486

Page 29: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat bukti awal dugaan pelanggaran terhadap

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dalam industri otomotif terkait kartel ban kendaraan

bermotor roda empat. Laporan tersebut berisi dugaan bahwa produsen ban kendaraan roda

empat yang tergabung dalam APBI telah melakukan perjanjian penetapan harga dan kartel

antara sesama produsen ban Indonesia.

Berdasarkan laporan hasil penelitian tersebut, Komisi menetapkan untuk ditindaklanjuti

ke tahap penyelidikan. Komisi telah melakukan penyelidikan terhadap laporan hasil

penelitian, dan memperoleh bukti yang cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan

pelanggaran yang dituangkan dalam laporan hasil penyelidikan. Komisi melakukan

pemberkasan laporan hasil penyelidikan tersebut dinilai layak untuk dilakukan gelar

laporan dan disusun dalam bentuk rancangan laporan dugaan pelanggaran.

2. Tentang Pemenuhan Unsur Pasal

A. Tentang Pemenuhan Unsur Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Menimbang bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 mengatur pelaku usaha

dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga

atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayarkan oleh konsumen atau pelanggan

pada pasar bersangkutan yang sama. Untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya

pelanggaran Pasal 5 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999.

Majelis Komisi mempertimbangkanunsur-unsur sebagai berikut:

a) Unsur Pelaku Usaha

Bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5

Tahun 1999 adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

Page 30: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

wilayah hukum negara Republik Indonesia. baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang

ekonomi. Pelaku usaha dalam perkara a quo adalah Terlapor I (PT Bridgestone Tire

Indonesia), Terlapor II (PT Sumi Rubber Indonesia), Terlapor III (PT Gajah

Tunggal, Tbk.), Terlapor IV (PT Goodyear Indonesia, Tbk.), Terlapor V (PT Elang

Perdana Tyre Industry) dan Terlapor VI (PT Industri Karet Deli), dengan demikian

unsur pelaku usaha terpenuhi.

b) Unsur Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No.5 Tahun 1999, definisi perjanjian adalah

suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu

atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Perjanjian yang dimaksud adalah bersama-sama menyepakati untuk tidak melakukan

banting membanting harga dan warranty claim ban Passenger Car Radial (PCR)

Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia

dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan 2012 yang disepakati dan/atau

disetujui oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V dan

Terlapor VI sebagaimana dalam Risalah Rapat Presidium APBI, dengan demikian

unsur perjanjian terpenuhi.

c) Unsur Pelaku Usaha dan Pelaku Usaha Pesaing

Pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 adalah setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pelaku usaha

pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama yang

Page 31: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

melakukan perjanjian. Pasar bersangkutan yang sama dalam perkara a quo adalah

ban Passenger Car Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring

16 di wilayah Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan

2012, pelaku usaha yang bersaing satu sama lain dalam pasar bersangkutan dan

melakukan perjanjian dalam perkara ini adalah Terlapor I (PT Bridgestone Tire

Indonesia), Terlapor II (PT Sumi Rubber Indonesia), Terlapor III (PT Gajah

Tunggal, Tbk.), Terlapor IV (PT Goodyear Indonesia, Tbk.), Terlapor V (PT Elang

Perdana Tyre Industry) dan Terlapor VI (PT Industri Karet Deli), dengan demikian

unsur pelaku usaha dan pelaku usaha pesaingnya terpenuhi.

d) Unsur Menetapkan Harga atas suatu Barang dan/atau Jasa

Pasal 1 angka 16 UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan barang adalah

setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak

bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan

oleh konsumen atau pelaku usaha, yang dimaksud dengan barang dalam perkara a

quo adalah ban Passenger Car Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring

15 dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009

sampai dengan 2012. Penetapan harga atas suatu barang yang harus dibayar oleh

konsumen atau pelanggan dalam perkara a quo adalah kesepakatan untuk tidak

melakukan banting membanting harga ban Passenger Car Radial (PCR)

Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia

dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan 2012 yang dilakukan oleh Terlapor

I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V dan Terlapor VI, dengan

demikian unsur menetapkan harga atas suatu barang terpenuhi.

e) Unsur Pasar Bersangkutan

Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan pasar

Page 32: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran

tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau

substitusi dari barang dan jasa tersebut. Pasar bersangkutan di dalam perkara a quo

dapat dipenuhi oleh dua faktor definisi suatu pasar bersangkutan yaitu definisi jenis

produk dan definisi geografis. Dengan demikian, pasar bersangkutan dalam perkara

a quo adalah ban Passenger Car Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring

15 dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009

sampai dengan 2012, dengan demikian unsur pasar bersangkutan terpenuhi.38

B. Tentang Pemenuhan Unsur Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Pasal 11 UU No.5 Tahun 1999 “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan

pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan

mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”.

Untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran Pasal 11 UU No. 5 Tahun

1999, maka Majelis Komisi mempertimbangkan unsur- unsur sebagai berikut:

a. Unsur Pelaku Usaha

Bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5

Tahun 1999 adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang

ekonomi. Pelaku usaha dalam perkara a quo adalah Terlapor I (PT Bridgestone Tire

Indonesia), Terlapor II (PT Sumi Rubber Indonesia), Terlapor III (PT Gajah Tunggal,

Tbk.), Terlapor IV (PT Goodyear Indonesia, Tbk.), Terlapor V (PT Elang Perdana

38 Putusan Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014, h 223-226

Page 33: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Tyre Industry) dan Terlapor VI (PT Industri Karet Deli), dengan demikian unsur

pelaku usaha terpenuhi.

b) Unsur Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No.5 Tahun 1999, definisi perjanjian adalah

suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu

atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Perjanjian yang dimaksud adalah bersama-sama menyepakati untuk tidak melakukan

banting membanting harga dan warranty claim ban Passenger Car Radial (PCR)

Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia

dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan 2012 yang disepakati dan/atau

disetujui oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V dan

Terlapor VI sebagaimana dalam Risalah Rapat Presidium APBI, dengan demikian

unsur perjanjian terpenuhi.

c. Unsur Pelaku Usaha dan Pelaku Usaha Pesaing

Pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 adalah setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Pelaku usaha

pesaing adalah pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama yang

melakukan perjanjian. Pasar bersangkutan yang sama dalam perkara a quo adalah

ban Passenger Car Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring

16 di wilayah Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan

Page 34: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

2012, pelaku usaha yang bersaing satu sama lain dalam pasar bersangkutan dan

melakukan perjanjian dalam perkara ini adalah Terlapor I (PT Bridgestone Tire

Indonesia), Terlapor II (PT Sumi Rubber Indonesia), Terlapor III (PT Gajah

Tunggal, Tbk.), Terlapor IV (PT Goodyear Indonesia, Tbk.), Terlapor V (PT Elang

Perdana Tyre Industry) dan Terlapor VI (PT Industri Karet Deli), dengan demikian

unsur pelaku usaha dan pelaku usaha pesaingnya terpenuhi.

d. Unsur Mempengaruhi Harga dengan Mengatur Produksi dan/atau Pemasaran

suatu Barang dan/atau Jasa

Pasal 1 angka 16 UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan barang adalah

setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak

bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh

konsumen atau pelaku usaha, yang dimaksud dengan barang dalam perkara a quo

adalah ban Passenger Car Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan

Ring 16 di wilayah Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009 sampai

dengan 2012, dengan mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau

pemasaran suatu barang dan/atau jasa adalah kesepakatan secara bersama untuk dapat

menahan diri dan terus mengontrol distribusi ban Passenger Car Radial (PCR)

Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah Republik Indonesia

dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan 2012 yang disepakati dan/atau

disetujui oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V dan

Terlapor VI, dengan demikian unsur mempengaruhi harga dengan mengatur produksi

dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa terpenuhi.

e. Unsur Mengakibatkan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha tidak Sehat

Praktek raktek monopoli dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang

Page 35: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa

tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan

kepentingan umum. Pengertian dampak yang dapat merugikan kepentingan umum adalah

inefisiensi dan kenaikan harga yang menyebabkan kerugian konsumen. Konsentrasi

industri yang tinggi ditandai dengan tingginya CR4 atau HHI pada ban PCR

Replacement Ring 13 dan 15 berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknis, sedangkan

untuk ban PCR Replacement Ring 14 hanya ditandai dengan tingginya HHI yang juga

berpengaruh negatif terhadap efisiensi teknis. Hal ini menyebabkan inefisiensi yang

berakibat kerugian pada sisi konsumen, sementara para Terlapor dalam perkara a quo

yang seharusnya bersaing dan menjadi efisien justru tidak terjadi, inefisiensi

sebagaimana yang telah diuraikan di atas diperkuat dengan PCM yang mengalami

peningkatan pasca terjadinya kesepakatan APBI tahun 2009, hal ini menunjukkan bahwa

perusahaan mendapatkan profit berlebih pada ban PCR Replacement Ring 13, 14 dan 15,

meskipun ban PCR Replacement Ring 16 para Terlapor menggunakan efisiensinya untuk

bersaing, namun pengaruh kesepakatan APBI terhadap PCM adalah positif. Hal ini

mengindikasikan bahwa kesepakatan para Terlapor untuk mendorong peningkatan PCM

melalui kenaikan harga pada PCR Replacement Ring 16, dengan demikian praktek

monopoli terpenuhi.39

3. Pertimbangan Majelis Komisi

Setelah mempertimbangkan laporan dugaan pelanggaran, tanggapan masing-masing

terlapor terhadap laporan dugaan pelanggaran, keterangan para saksi, keterangan para ahli,

keterangan para terlapor, surat-surat dan atau dokumen, kesimpulan hasil persidangan yang

disampaikan baik oleh investigator maupun masing-masing terlapor, majelis komisi

39 Ibid, h 226-229

Page 36: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

menilai, menganalisa, menyimpulkan dan memutuskan perkara berdasarkan alat bukti yang

cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 yang

diduga dilakukan oleh para terlapor dalam perkara nomor 08/KPPU-I/2014 dalam industri

otomotif terkait kartel ban kendaraan bermotor roda empat.

Majelis Komisi sebelum memutus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut;

1. Majelis Komisi menilai terlapor I sampai dengan terlapor VI tidak bersikap kooperatif

dalam menyerahkan data yang diminta Majelis Komisi dalam Sidang Majelis Komisi;

2. Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor I bersikap tidak sopan terhadap

Majelis Komisi dalam Sidang Majelis Komisi.

3. Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang meringankan bagi terlapor I

sampai dengan terlapor VI yang telah bersikap kooperatif dengan selalu hadir dalam

Sidang Majelis Komisi.40

3. Posisi Kasus Putusan Perkara No. 10/2015 dalam Perdagangan Sapi Impor di

(JABODETABEK).

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia selanjutnya disebut Komisi

yang memeriksa Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 11

dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perdagangan Sapi Impor di Jakarta,

Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (JABODETABEK), yang dilakukan oleh:

1. Terlapor I, PT Andini Karya Makmur berkedudukan di Gedung Pesona Lantai II/216

Jalan Ciputat Raya Nomor 20, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan;

2. Terlapor II, PT Andini Persada Sejahtera berkedudukan di Ruko Madison Times

Square Blok B.4 Nomor 23- 23A, Kelurahan Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota

Bekasi;

40 Putusan Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014, h 229

Page 37: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

3. Terlapor III, PT Agro Giri Perkasa berkedudukan di Jalan Raya Trans Sumatra KM

40 Desa Kota Dalam, Kabupaten Sukabanjar, Lampung Selatan;

4. Terlapor IV, PT Agro Giri Perkasa berkedudukan di Jalan Raya Trans Sumatra KM

40 Desa Kota Dalam, Kabupaten Sukabanjar, Lampung Selatan;

5. Terlapor V, PT Andini Agro Loka berkedudukan di Komplek Perkantoran Business

Park Blok I Nomor 22 Jalan Meruya Ilir Kavling 88 Jakarta Barat;

6. Terlapor VI, PT Austasia Stockfeed berkedudukan di Wisma Millenia 6th Floor, Jalan

M.T. Haryono Kavling 16, Jakarta;

7. Terlapor VII, PT Bina Mentari Tunggal berkedudukan di Jalan Industri Utama Raya

Blok RR 2F-2G Jababeka II Cikarang Bekasi;

8. Terlapor VIII, PT Citra Agro Buana Semesta berkedudukan di Jalan Dipati Ukur

Nomor 71, Bandung;

9. Terlapor IX, PT Elders Indonesia berkedudukan di Wisma Raharja Lantai 8, Jalan

T.B. Simatupang Kavling C1 Cilandak, Jakarta Selatan;

10. Terlapor X, PT Fortuna Megah Perkasa berkedudukan di Jalan Gusti Ngurah Rai

Nomor 8D, Jakarta Timur;

11. Terlapor XI, PT Great Giant Livestock berkedudukan di Chase Plaza Podium Lantai

5, Jalan Jenderal Sudirman Kavling 21, Jakarta;

12. Terlapor XII, PT Lembu Jantan Perkasa berkedudukan di Jalan Wirajati 7 Blok A4,

Komplek TNI AU Waringin Permai Cipinang Melayu, Jakarta;

13. Terlapor XIII, PT Legok Makmur Lestari berkedudukan di Kampung Bojong Kamal

RT 003/002, Desa Bojong Kamal Legok, Tangerang;

14. Terlapor XIV, PT Lemang Mesuji Lestary berkedudukan di Perumahan Taman

Aries Rukan Kencana Niaga Blok AI-3M, Jakarta 11620, Nomor Telepon

(021)58907351, Nomor Faksimili (021) 58907352;

Page 38: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

15. Terlapor XV, PT Pasir Tengah berkedudukan di Kampung Cinangsi RT 04 RW 01

Jalan Citampele, Desa Mentengsari, Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur;

16. Terlapor XVI, PT Rumpinary Agro Industry berkedudukan di Jalan Cisanggiri V/

No 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan atau diketahui dengan alamat lain Jalan Raya

Kalimalang Blok E Kavling N Nomor 4F, Duren Sawit Jakarta;

17. Terlapor XVII, PT Santosa Agrindo berkedudukan di Wisma Millenia 6th Floor,

Jalan M.T. Haryono Kavling 16, Jakarta;

18. Terlapor XVIII, PT Sadajiwa Niaga Indonesia berkedudukan di Ruko Kalimalang

Square Blok QRS, Jalan K.H. Nur Ali RT 007 RW 003, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota

Bekasi;

19. Terlapor XIX, PT Septia Anugerah berkedudukan di Jalan Raya Bambu Apus

Nomor 86 RT 003/003, Kelurahan Bambu Apus, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur;

20. Terlapor XX, PT Tanjung Unggul Mandiri berkedudukan di Jalan Tanjung Burung

Nomor 33, Teluk Naga, Tangerang 15510;

21. Terlapor XXI, PT Widodo Makmur Perkasa berkedudukan di Jalan Raya Cilangkap

Nomor 58 RT 007 RW 003 Cilangkap Cipayung, Jakarta Timur;

22. Terlapor XXII, PT Kariyana Gita Utama berkedudukan di Jalan Raya Pasar Minggu

Nomor 49, Jakarta Selatan;

23. Terlapor XXIII, PT Sukses Ganda Lestari berkedudukan di Menara Thamrin Lantai

3, Jalan M.H. Thamrin Kavling 3, Jakarta 10250;

24. Terlapor XXIV, PT Nusantara Tropical Farm berkedudukan di Jalan Taman

Nasional Way Kambas RT 15/ RW 08, Desa Rajabasa Lama I, Labuhan Ratu, Lampung

Timur;

25. Terlapor XXV, PT Karya Anugerah Rumpin berkedudukan di Jalan Raya Cibodas

Nomor 99 RT 06 RW 05 Rumpin, Kabupaten Bogor;

Page 39: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

26. Terlapor XXVI, PT Sumber Cipta Kencana berkedudukan di Jalan Hilian Biduk

Dusun Umbul Bendo, Desa Kejadian, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran,

Lampung 35363;

27. Terlapor XXVII, PT Brahman Perkasa Sentosa berkedudukan di Jalan Tanjung

Burung Nomor 33, Teluk Naga, Tangerang 15510;

28. Terlapor XXVIII, PT Catur Mitra Taruma berkedudukan di Jalan Condet Raya 23-

24 RT 008 RW 012 Baru Pasar Rebo, Jakarta Timur 13780;

29. Terlapor XXIX, PT Kadila Lestari Jaya berkedudukan di Gedung Pesona Lantai

II/217, Jalan Ciputat Raya Nomor 20, Jakarta Selatan;

30. Terlapor XXX, CV Mitra Agro Sangkuriang berkedudukan di Jalan Raya Sukabumi

Gang Haji Amin Nomor D 08 RT 002/001, Kecatan Sawahgede, Kabupaten Cianjur;

31. Terlapor XXXI, CV Mitra Agro Sampurna berkedudukan di Kampung Babakan

Ngantai RT 027/012, Desa Kedawung, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang;

32. Terlapor XXXII, PT Karunia Alam Sentosa Abadi berkedudukan di Jalan Pagar

Alam Dusun II Kampung Rengas, Kecamatan Bekri, Lampung Tengah.41

Sekretariat Komisi telah melakukan penelitian tentang adanya Dugaan Pelanggaran

Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perdagangan Sapi Impor di

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (JABODETABEK).42

Setelah dilakukan penyelidikan, pemberkasan dan gelar laporan. Maka Komisi

menyatakan layak untuk masuk ke tahap Pemeriksaan Pendahuluan Nomor 10/KPPU-

I/2015. Berdasarkan penetapan pemeriksaan pendahuluan tersebut, Ketua Komisi

menetapkan pembentukan Majelis Komisi melalui Keputusan Komisi Nomor

41 Putusan Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015, h 1-5

42 Ibid, h 4

Page 40: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

40/KPPU/Kep.3/IX/2015 tanggal 4 September 2015 tentang Penugasan Anggota Komisi

sebagai Majelis Komisi pada Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 10/KPPU- I/2015.

Pada tanggal 22 September 2015, Majelis Komisi melaksanakan agenda penyerahan

tanggapan terlapor terhadap laporan dugaan pelanggaran yang dihadiri oleh investigator dan

seluruh terlapor. Terlapor menyatakan menolak dugaan pelanggaran yang disampaikan oleh

investigator.43 Selanjutnya pada tanggal 27 Oktober 2015 dilaksanakan pemeriksaan

lanjutan perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh)

hari kerja terhitung sejak tanggal 6 november 2015 sampai dengan tanggal 2 februari

2016.44

Bahwa setelah berakhirnya jangka waktu pemeriksaan lanjutan (dan masa

perpanjangannya). Selanjutnya komisi menerbitkan penetapan komisi nomor

13/KPPU/Pen/III/2015 pada tanggal 10 Maret 2016 tentang Musyawarah Majelis Komisi

Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015. Majelis Komisi telah menyampaikan Surat

Pemberitahuan dan Petikan Penetapan Musyawarah Majelis Komisi kepada para terlapor,

bahwa Majelis Komisi menilai telah memiliki bukti dan penilaian yang cukup untuk

mengambil putusan.

Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisa dan kesimpulan di atas,

serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.45

Menyatakan bahwa terlapor I sampai dengan terlapor XXXII terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 11 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.46

Majelis Komisi menimbang bahwa, dalam mengenakan sanksi denda bagi para

terlapor, yaitu dengan memperhitungkan hal-hal sebagai berikut;

43 Ibid, h 19 44 Ibid, h 19 45 Pengambilan keputusan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang

beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 46 Putusan Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015, h 963-971

Page 41: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

1. Bahwa berdasarkan Pasal 36 huruf l jo. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif

terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;

2. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g, Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa

pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan

setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);

3. Bahwa menurut Pedoman Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

(selanjutnya disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda

merupakan usaha untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang

dihasilkan dari tindakan anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk

menjerakan pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon

pelanggar lainnya;

4. Bahwa berdasarkan Pedoman Pasal 47, Majelis Komisi menentukan besaran denda

dengan menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan besaran nilai dasar, dan kedua,

penyesuaian besaran nilai dasar dengan menambahkan dan/atau mengurangi besaran

nilai dasar tersebut;

5. Bahwa dalam menetapkan denda, Majelis Komisi mempertimbangkan aspek keadilan

dan kemampuan membayar dari terlapor baik dalam konteks sosial dan ekonomi.47

Dengan demikian Majelis Komisi memberikan rincihan sanksi denda bagi para

terlapor, sebagai berikut:

1. Menghukum PT Andini Karya Makmur selaku Terlapor I, membayar denda sebesar

Rp 1.943.717.000,00 (Satu Miliar Sembilan Ratus Empat Puluh Tiga Juta Tujuh Ratus

Tujuh Belas Ribu Rupiah.

47 Ibid, h 961-962

Page 42: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

2. Menghukum PT Andini Persada Sejahtera selaku Terlapor II, membayar denda

sebesar Rp 1.224.947.000,00 (Satu Miliar Dua Ratus Dua Puluh Empat Juta Sembilan

Ratus Empat Puluh Tujuh Ribu Rupiah.

3. Menghukum PT Agro Giri Perkasa selaku Terlapor III, membayar denda sebesar Rp

4.051.199.000,00 (Empat Miliar Lima Puluh Satu Juta Seratus Sembilan Puluh Sembilan

Ribu Rupiah).

4. Menghukum PT Agrisatwa Jaya Kencana selaku Terlapor IV, membayar denda

sebesar Rp 6.463.537.000,00 (Enam Miliar Empat Ratus Enam Puluh Tiga Juta Lima

Ratus Tiga Puluh Tujuh Ribu Rupiah).

5. Menghukum PT Andini Agro Loka selaku Terlapor V, membayar denda sebesar Rp

1.476.209.000,00 (Satu Miliar Empat Ratus Tujuh Puluh Enam Juta Dua Ratus Sembilan

Ribu Rupiah.

6. Menghukum PT Austasia Stockfeed selaku Terlapor VI, membayar denda sebesar Rp

8.826.692.000,00 (Delapan Miliar Delapan Ratus Dua Puluh Enam Juta Enam Ratus

Sembilan Puluh Dua Ribu Rupiah).

7. Menghukum PT Bina Mentari Tunggal selaku Terlapor VII, membayar denda sebesar

Rp 2.845.342.000,00 (Dua Miliar Delapan Ratus Empat Puluh Lima Juta Tiga Ratus

Empat Puluh Dua Ribu Rupiah

8. Menghukum PT Citra Agro Buana Semesta selaku Terlapor VIII, membayar denda

sebesar Rp 3.834.886.000,00 (Tiga Miliar Delapan Ratus Tiga Puluh Empat Juta

Delapan Ratus Delapan Puluh Enam Ribu Rupiah

9. Menghukum PT Elders Indonesia selaku Terlapor IX, membayar denda sebesar Rp

2.137.576.000,00 (Dua Miliar Seratus Tiga Puluh Tujuh Juta Lima Ratus Tujuh Puluh

Enam Ribu Rupiah)

Page 43: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

10. Menghukum PT Fortuna Megah Perkasa selaku Terlapor X, membayar denda

sebesar Rp 856.808.000,00 (Delapan Ratus Lima Puluh Enam Juta Delapan Ratus

Delapan Ribu Rupiah).

11. Menghukum PT Great Giant Livestock selaku Terlapor XI, membayar denda sebesar

Rp 9.330.374.000,00 (Sembilan Miliar Tiga Ratus Tiga Puluh Juta Tiga Ratus Tujuh

Puluh Empat Ribu Rupiah).

12. Menghukum PT Lembu Jantan Perkasa selaku Terlapor XII, membayar denda

sebesar Rp 3.360.963.000,00 (Tiga Miliar Tiga Ratus Enam Puluh Juta Sembilan Ratus

Enam Puluh Tiga Ribu Rupiah.

13. Menghukum PT Legok Makmur Lestari selaku Terlapor XIII, membayar denda

sebesar Rp 3.944.680.000,00 (Tiga Miliar Sembilan Ratus Empat Puluh Empat Juta

Enam Ratus Delapan Puluh Ribu Rupiah.

14. Menghukum PT Lemang Mesuji Lestary selaku Terlapor XIV, membayar denda

sebesar Rp 651.544.000,00 (Enam Ratus Lima Puluh Satu Juta Lima Ratus Empat Puluh

Empat Ribu Rupiah.

15. Menghukum PT Pasir Tengah selaku Terlapor XV, membayar denda sebesar Rp

4.784.893.000,00 (Empat Miliar Tujuh Ratus Delapan Puluh Empat Juta Delapan Ratus

Sembilan Puluh Tiga Ribu Rupiah).

16. Menghukum PT Rumpinary Agro Industry selaku Terlapor XVI, membayar denda

sebesar Rp 3.310.043.000,00 (Tiga Miliar Tiga Ratus Sepuluh Juta Empat Puluh Tiga

Ribu Rupiah).

17. Menghukum PT Santosa Agrindo selaku Terlapor XVII, membayar denda sebesar

Rp 5.454.925.000,00 (Lima Miliar Empat Ratus Lima Puluh Empat Juta Sembilan Ratus

Dua Puluh Lima Ribu Rupiah).

Page 44: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

18. Menghukum PT Sadajiwa Niaga Indonesia selaku Terlapor XVIII, membayar denda

sebesar Rp 1.866.289.000,00 (Satu Miliar Delapan Ratus Enam Puluh Enam Juta Dua

Ratus Delapan Puluh Sembilan Ribu Rupiah).

19. Menghukum PT Septia Anugerah selaku Terlapor XIX, membayar denda sebesar Rp

1.148.677.000,00 (Satu Miliar Seratus Empat Puluh Delapan Juta Enam Ratus Tujuh

Puluh Tujuh Ribu Rupiah).

20. Menghukum PT Tanjung Unggul Mandiri selaku Terlapor XX, membayar denda

sebesar Rp 21.398.702.000,00 (Dua Puluh Satu Miliar Tiga Ratus Sembilan Puluh

Delapan Juta Tujuh Ratus Dua Ribu Rupiah).

21. Menghukum PT Widodo Makmur Perkasa selaku Terlapor XXI, membayar denda

sebesar Rp 5.866.121.000,00 (Lima Miliar Delapan Ratus Enam Puluh Enam Juta

Seratus Dua Puluh Satu Ribu Rupiah).

22. Menghukum PT Kariyana Gita Utama selaku Terlapor XXII, membayar denda

sebesar Rp 1.406.533.000,00 (Satu Miliar Empat Ratus Enam Juta Lima Ratus Tiga

Puluh Tiga Ribu Rupiah).

23. Menghukum PT Sukses Ganda Lestari selaku Terlapor XXIII, membayar denda

sebesar Rp 505.821.000,00 (Lima Ratus Lima Juta Delapan Ratus Dua Puluh Satu Ribu

Rupiah).

24. Menghukum PT Nusantara Tropical Farm selaku Terlapor XXIV, membayar denda

sebesar Rp 3.885.473.000,00 (Tiga Miliar Delapan Ratus Delapan Puluh Lima Juta

Empat Ratus Tujuh Puluh Tiga Ribu Rupiah).

25. Menghukum PT Karya Anugerah Rumpin selaku Terlapor XXV, membayar denda

sebesar Rp 194.906.000,00 (Seratus Sembilan Puluh Empat Juta Sembilan Ratus Enam

Ribu Rupiah).

Page 45: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

26. Menghukum PT Sumber Cipta Kencana selaku Terlapor XXVI, membayar denda

sebesar Rp 71.414.000,00 (Tujuh Puluh Satu Juta Empat Ratus Empat Belas Ribu

Rupiah).

27. Menghukum PT Brahman Perkasa Sentosa selaku Terlapor XXVII, membayar

denda sebesar Rp 803.682.000,00 (Delapan Ratus Tiga Juta Enam Ratus Delapan Puluh

Dua Ribu Rupiah).

28. Menghukum PT Catur Mitra Taruma selaku Terlapor XXVIII, membayar denda

sebesar Rp 1.387.733.000,00 (Satu Miliar Tiga Ratus Delapan Puluh Tujuh Juta Tujuh

Ratus Tiga Puluh Tiga Ribu Rupiah).

29. Menghukum PT Kadila Lestari Jaya selaku Terlapor XXIX, membayar denda

sebesar Rp 2.056.428.000,00 (Dua Miliar Lima Puluh Enam Juta Empat Ratus Dua

Puluh Delapan Ribu Rupiah).

30. Menghukum CV Mitra Agro Sangkuriang selaku Terlapor XXX, membayar denda

sebesar Rp 852.152.000,00 (Delapan Ratus Lima Puluh Dua Juta Seratus Lima Puluh

Dua Ribu Rupiah).

31. Menghukum CV Mitra Agro Sampurna selaku Terlapor XXXI, membayar denda

sebesar Rp 967.626.000,00 (Sembilan Ratus Enam Puluh Tujuh Juta Enam Ratus Dua

Puluh Enam Ribu Rupiah).

32. Menghukum PT Karunia Alam Sentosa Abadi selaku Terlapor XXXII, membayar

denda sebesar Rp 441.112.000,00 (Empat Ratus Empat Puluh Satu Juta Seratus Dua

Belas Ribu Rupiah).48

Seluruh denda akan diserahkan di kas Negara sebagai setoran pendapatan denda

pelanggaran di bidang persaingan usaha dan memerintahkan terlapor I sampai dengan

48 Ibid, h 162-970

Page 46: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

terlapor XXXII untuk melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda

tersebut ke KPPU.49

4. Penalaran Hukum (Legal Reasoning) Putusan Perkara KPPU

No. 10/2015 dalam Perdagangan Sapi Impor di (JABODETABEK).

Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematis tersistematis

(gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu

dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai

kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek

(multidimensional dan multifaset).50

1. Pertimbangan sebelum memutus

Setelah membaca laporan dugaan pelanggaran, membaca tanggapan parar terlapor

terhadap laporan dugaan pelanggaran, mendengar keterangan para saksi, keterangan para

ahli, keterangan para terlapor, membaca surat-surat dan dokumen-dokumen perkara,

membaca kesimpulan hasil persidangan dari investigator dan para terlapor.

Sekretariat Komisi telah melakukan penelitian tentang adanya Dugaan Pelanggaran

Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perdagangan Sapi Impor

(JABODETABEK), setelah dilakukan penyelidikan, pemberkasan dan gelar laporan

maka Komisi menyatakan layak untuk masuk ke tahap Pemeriksaan Pendahuluan

Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015.

2. Tentang Pemenuhan Unsur Pasal

A. Tentang Pemenuhan Unsur Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

49 Ibid, h 970 50 Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”, (Disertasi, Universitas Katolik

Parahyangan, 2004), halaman 486

Page 47: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan “Pelaku usaha dilarang

membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk

mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan

atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinyapraktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat ”Menimbang bahwa untuk membuktikan terjadi atau

tidak terjadinya pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka

Majelis Komisi mempertimbangkan unsur- unsur sebagai berikut:

a) Unsur Pelaku Usaha

Pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau

bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang

ekonomi. Pelaku usaha dalam perkara a quo adalah PT Andini Karya Makmur,

(Terlapor I), PT Andini Persada Sejahtera (Terlapor II), PT Agro Giri Perkasa

(Terlapor III), PT Agrisatwa Jaya Kencana (Terlapor IV), PT Andini Agro Loka

(Terlapor V), PT Austasia Stockfeed (Terlapor VI), PT Bina Mentari Tunggal

(Terlapor VII), PT Citra Agro Buana Semesta (Terlapor VIII), PT Elders Indonesia

(Terlapor IX), PT Fortuna Megah Perkasa (Terlapor X), PT Great Giant Livestock

(Terlapor XI), PT Lembu Jantan Perkasa (Terlapor XII), PT Legok Makmur Lestari

(Terlapor XIII), PT Lemang Mesuji Lestary (Terlapor XIV), PT Pasir Tengah

(Terlapor XV), PT Rumpinary Agro Industry (Terlapor XVI), PT Santosa Agrindo

(Terlapor XVII), PT Sadajiwa Niaga Indonesia (Terlapor XVIII), PT Septia Anugerah

(Terlapor XIX), PT Tanjung Unggul Mandiri (Terlapor XX), PT Widodo Makmur

Perkasa (Terlapor XXI), PT Kariyana Gita Utama (Terlapor XXII), PT Sukses Ganda

Page 48: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Lestari (Terlapor XXIII), PT Nusantara Tropical Farm (Terlapor XXIV), PT Karya

Anugerah Rumpin (Terlapor XXV), PT Sumber Cipta Kencana (Terlapor XXVI), PT

Brahman Perkasa Sentosa (Terlapor XXVII), PT Catur Mitra Taruma (Terlapor

XXVIII), PT Kadila Lestari Jaya (Terlapor XXIX), CV Mitra Agro Sangkuriang

(Terlapor XXX), CV Mitra Agro Sampurna (Terlapor XXXI), PT Karunia Alam

Sentosa Abadi (Terlapor XXXII), Dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi.

b) Perjanjian

Esensi dari perjanjian dalam perkara a quo adalah pada apakah terdapat perbuatan

mengikatkan diri satu pelaku usaha atau lebih kepada pelaku usaha lain berupa

rangkaian pertemuan yang membahas mengenai kuota dan harga sapi impor yang

dilakukan dalam wadah APFINDO difasilitasi APFINDO melalui rangkaian

pertemuan yang pada akhirnya penunjukkan kesamaan tindakan yang dilakukan oleh

para Terlapor yang diperkuat dengan alat bukti pengakuan. Dengan demikian unsur

perjanjian terpenuhi.

c) Pelaku Usaha Pesaing

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha lain yang berada di dalam satu pasar

bersangkutan dalam perkara a quo adalah PT Andini Karya Makmur, (Terlapor I), PT

Andini Persada Sejahtera (Terlapor II), PT Agro Giri Perkasa (Terlapor III), PT

Agrisatwa Jaya Kencana (Terlapor IV), PT Andini Agro Loka (Terlapor V), PT

Austasia Stockfeed (Terlapor VI), PT Bina Mentari Tunggal (Terlapor VII), PT Citra

Agro Buana Semesta (Terlapor VIII), PT Elders Indonesia (Terlapor IX), PT Fortuna

Megah Perkasa (Terlapor X), PT Great Giant Livestock (Terlapor XI), PT Lembu

Jantan Perkasa (Terlapor XII), PT Legok Makmur Lestari (Terlapor XIII), PT

Lemang Mesuji Lestary (Terlapor XIV), PT Pasir Tengah (Terlapor XV), PT

Rumpinary Agro Industry (Terlapor XVI), PT Santosa Agrindo (Terlapor XVII), PT

Page 49: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Sadajiwa Niaga Indonesia (Terlapor XVIII), PT Septia Anugerah (Terlapor XIX), PT

Tanjung Unggul Mandiri (Terlapor XX), PT Widodo Makmur Perkasa (Terlapor

XXI), PT Kariyana Gita Utama (Terlapor XXII), PT Sukses Ganda Lestari (Terlapor

XXIII), PT Nusantara Tropical Farm (Terlapor XXIV), PT Karya Anugerah Rumpin

(Terlapor XXV), PT Sumber Cipta Kencana (Terlapor XXVI), PT Brahman Perkasa

Sentosa (Terlapor XXVII), PT Catur Mitra Taruma (Terlapor XXVIII), PT Kadila

Lestari Jaya (Terlapor XXIX), CV Mitra Agro Sangkuriang (Terlapor XXX), CV

Mitra Agro Sampurna (Terlapor XXXI), PT Karunia Alam Sentosa Abadi (Terlapor

XXXII) merupakan pelaku usaha yang berada pada pasar bersangkutan yang sama,

dengan demikian unsur pelaku usaha pesaing terpenuhi.

d) Yang Bermaksud Untuk Mempengaruhi Harga

Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 11, suatu kartel dimaksudkan untuk

mempengaruhi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel setuju mengatur

produksi dan atau pemasaran suatu barang dan

atau jasa sebagaimana terbukti adanya rescheduling sales yang dikategorikan sebagai

sebagai pengaturan pasokan yang berdampak pada kenaikan harga. Dengan demikian

unsur yang bermaksud untuk mempengaruhi harga terpenuhi.

e) Mengatur Produksi dan/atau Pemasaran Suatu Barang

Mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi kartel

secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau lebih

kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa yang

bersangkutan. Sedangkan mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang akan

dijual dan atau wilayah dimana para anggota menjual produksinya. Dalam perkara a

quo pengaturan pemasaran yang dilakukan oleh para Terlapor terbukti dengan adanya

perilaku rescheduling sales yang dikategorikan sebagai pengaturan dan/atau

Page 50: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

penahanan pasokan sapi impor di wilayah JABODETABEK. Dengan demikian

unsur yang bermaksud untuk dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu

barang terpenuhi.

f) Mengakibatkan Terjadinya Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pasal 1 angka 6 Pedoman Pasal 11 Peraturan Komisi Nomor 04 Tahun 2010

menyatakan bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha

dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang

dilakukan dengan cara tidak jujur. Kartel adalah suatu kolusi atau kolaborasi dari para

pelaku usaha. Oleh karena itu segala manfaat kartel hanya ditujukan untuk

kepentingan para anggotanya saja, sehingga tindakan-tindakan mereka ini dilakukan

secara tidak sehat dan tidak jujur. Dalam hal ini misalnya dengan mengurangi

produksi atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha, misalnya dengan

penetapan harga atau pembagian wilayah, tindakan penahanan pasokan yang

dilakukan para Terlapor dengan cara tidak merealisasikan jumlah kuota impor sapi

(SPI) yang telah disetujui oleh pemerintah dan melakukan rescheduling sales telah

mengakibatkan kenaikan harga yang tidak wajar yang merugikan kepentingan

konsumen dan/atau kepentingan umum. Dengan demikian unsur mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat terpenuhi.

B. Tentang Pemenuhan Unsur Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999

Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan

“Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun

bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli

dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa membatasi peredaran dan atau penjualan

Page 51: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan. Untuk membuktikan terjadi atau

tidak terjadinya pelanggaran Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

maka Majelis Komisi mempertimbangkan unsur- unsur sebagai berikut:

a) Pelaku Usaha

Pelaku usaha dalam unsur ini adalah pelaku usaha sebagaimana dimaksud

melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha

lain. Pelaku usaha yang dimaksud dalam perkara a quo merupakan pelaku usaha

yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama yaitu pasar penjualan sapi impor di

wilayah Jabodetabek. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa para Terlapor

baik secara sendiri maupun bersama-sama telah melakukan tindakan yang

mengakibatkan realisasi impor sapi tidak sesuai dengan persetujuan impor yang

ditetapkan (diamanatkan) Pemerintah. Para Terlapor dengan difasilitasi oleh

APFINDO telah secara seragam melakukan tindakan serupa untuk pengatur penjualan

dalam rangka menjaga pasokan kepada pelanggannya. Dengan demikian unsur

Melakukan Satu Atau Beberapa Kegiatan Baik Sendiri Maupun bersama Pelaku

Usaha Lain terpenuhi.

b) Membatasi Peredaran dan/atau Penjualan Barang dan atau Jasa pada Pasar

Bersangkutan

Sebagaimana telah diuraikan, telah terjadi penahanan peredaran dan/atau

penjualan sapi impor di wilayah JABODETABEK yang dilakukan oleh para Terlapor

secara seragam dengan cara tidak melakukan realisasi impor sesuai dengan jumlah

kuota yang ditetapkan Pemerintah secara seragam dengan cara Rescheduling Sales

Dengan demikian, unsur Membatasi Peredaran dan atau Penjualan Barang dan atau

Jasa pada Pasar Bersangkutan terpenuhi.

c) Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli Dan Atau Persaingan Usaha Tidak

Page 52: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

Sehat

Tindakan penahanan pasokan yang dilakukan para Terlapor dengan cara tidak

merealisasikan jumlah kuota impor sapi (SPI) yang telah disetujui oleh pemerintah

dan melakukan rescheduling sales telah menimbulkan dampak pada kenaikan harga

yang tidak wajar yang merugikan kepentingan konsumen. Dengan demikian, unsur

Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli dan atau persaingan Usaha Tidak Sehat

terpenuhi.

3. Pertimbangan Majelis Komisi Sebelum Memutus

Setelah mempertimbangkan Laporan Dugaan Pelanggaran, Tanggapan masing-masing

Terlapor terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran, keterangan para Saksi, keterangan para

Ahli, keterangan para Terlapor, surat-surat dan/atau dokumen, Kesimpulan Hasil

Persidangan yang disampaikan baik oleh Investigator maupun masing-masing Terlapor

(fakta persidangan), Majelis Komisi menilai, menganalisis, menyimpulkan, dan

memutuskan perkara berdasarkan alat bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak

terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang diduga

dilakukan oleh para Terlapor dalam Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015.51

Majelis Komisi sebelum memutus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan

bagi para Terlapor sebagai berikut;

1. Bahwa Majelis Komisi menilai terlapor XIV selama dalam proses persidangan

tidak kooperatif dalam menyerahkan surat dan/atau dokumen, maka Majelis Komisi

mengenakan denda pemberat sebesar 30% (tiga puluh per seratus);

2. Bahwa Majelis Komisi menilai terlapor XI, terlapor XIV, dan terlapor XXIV

selama dalam proses persidangan tidak kooperatif dengan tidak hadir memenuhi

panggilan pemeriksaan dalam kapasitasnya sebagai terlapor, maka Majelis Komisi

51 Putusan Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015, h 904

Page 53: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

mengenakan denda pemberat masing-masing sebesar 20% (dua puluh per seratus);

3. Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan adanya hubungan afiliasi diantara para

terlapor, maka Majelis Komisi mengenakan denda pemberat masing-masing sebesar

10% (sepuluh per seratus);

4. Bahwa sesuai pertimbangan Majelis Komisi, Majelis Komisi memiliki penilaian

khusus bagi terlapor II, IX, X, XIV, XVIII, XIX, XXIII, XXV, XXVI, XXVIII, XXX,

dan terlapor XXXII, maka Majelis Komisi mengurangi denda masing-masing sebesar

20% (dua puluh per seratus).

5. Bahwa menilai terlapor I sampai terlapor XXXII telah bersikap baik dan

kooperatif selama proses persidangan, maka Majelis Komisi mengurangi denda

masing-masing sebesar 10% (sepuluh per seratus). Kecuali terlapor XIV Majelis

Komisi mengenakan denda pemberat sebesar 30% (tiga puluh per seratus).52

5. Kaitan antara Penetapan Harga, Penguasaan Pasar dan Kartel dalam putusan

perkara KPPU terhadap Industri Otomotif terkait Kartel Ban Kendaraan

Bermotor Roda Empat dan Perdagangan Sapi Impor di (JABODETABEK)

Keterkaitan antara Penetapan Harga, Penguasaan Pasar dan Kartel terhadap Putusan

Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014 dan Putusan Perkara Nomor 10/KPPU- I/2015 terhadap

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha yang Tidak Sehat, UU No. 5 tahun 1999 telah mengatur tentang kesepakatan harga

dan kesepakatan produksi yang diatur secara terpisah. Unsur Pasal 5 Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 yaitu Penetapan Harga dan Unsur Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Mengatur Produksi dan/atau Pemasaran.

Kaitan terhadap penetapan harga dan mengatur produksi dan/atau pemasaran yaitu

52 Ibid, h 959-960

Page 54: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

penguasaan pasar pada pasar bersangkutan. Penguasaan pasar pada pasar bersangkutan

terdapat dalam kedua Putusan Perkara KPPU terkait Industri Otomotif terkait Kartel Ban

Kendaraan Bermotor Roda Empat dan Perdagangan Sapi Impor di (JABODETABEK).

Perkara a quo penetapan pasar bersangkutan yang tepat adalah suatu syarat yang

wajib dipenuhi untuk dapat membuat penilaian yang benar dan akurat. Adapun, penetapan

pasar bersangkutan tersebut berkaitan dengan pelaku usaha pesaing dalam satu pasar

bersangkutan yang sama. Akan tetapi, secara nyata-nyata dalam perkara Industri Otomotif

terkait Kartel Ban Kendaraan Bermotor Roda Empat, tidak semua pelaku usaha yang

bersaing dalam pasar produk yang sama diikutsertakan di dalam penilaian pasar

bersangkutan. Pengaturan produksi dan/atau pemasaran barang mempengaruhi harga

dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa pada ban

Passenger Car Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di

wilayah Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan 2012.

Perkara a quo, pada persidangan telah terbukti bahwa perilaku penguasaan pasar yang

dilakukan oleh feedloter dengan cara mengatur atau membatasi pasokan sapi impor ke pasar

menyebabkan konsumen dalam hal ini RPH tidak dapat mendapatkan pasokan sapi sesuai

dengan yang diinginkannya sehingga pihak yang bersangkutan tidak dapat memenuhi

seluruh kebutuhan daging konsumen dalam hal ini masyarakat.

Mempengaruhi Harga dan Mengatur Produksi dan Pemasaran yang dimaksudkan

dalam perkara a quo ialah;

A. Putusan Perkara Nomor 08/KPPU-I/2014 Mempengaruhi Harga dan Mengatur

Produksi dan/atau Pemasaran

1. Bahwa menurut Pasal 1 angka 16 UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan

barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak

Page 55: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha;

2. Bahwa yang dimaksud dengan barang dalam perkara a quo adalah ban Passenger Car

Radial (PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah

Republik Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan tahun 2012;

3. Bahwa yang dimaksud dengan mempengaruhi harga dengan mengatur produksi

dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa adalah kesepakatan secara bersama

untuk dapat menahan diri dan terus mengontrol distribusi ban Passenger Car Radial

(PCR) Replacement Ring 13, Ring 14, Ring 15 dan Ring 16 di wilayah Republik

Indonesia dalam rentang waktu tahun 2009 sampai dengan 2012 yang disepakati

dan/atau disetujui oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V

dan Terlapor VI sebagaimana dalam Risalah Rapat Presidium APBI.53

4. Bahwa pengaturan produksi dan/atau pemasaran barang mempengaruhi harga.54;

5. Bahwa dengan demikian unsur mempengaruhi harga dengan mengatur produksi

dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa.

B. Putusan Perkara KPPU No. 10/2015 Mempengaruhi Harga dan Mengatur Produksi

dan Pemasaran

✓ Yang Bermaksud Untuk Mempengaruhi Harga;

1. Bahwa sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 11, suatu kartel dimaksudkan untuk

mempengaruhi harga. Untuk mencapai tujuan tersebut anggota kartel setuju mengatur

produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa;

53 Putusan Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014,“Tentang Risalah Rapat Presidium APBI Terkait Penetapan

Harga”, h 96-122

54 Putusan Perkara Nomor 08/KPPU- I/2014,”Analisis Pengaruh Kesepakatan APBI terhadap Harga”, h 159-

223

Page 56: BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian Kepustakaanrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14659/2/T1_312013035_BAB II... · BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN ANALISI A. Kajian

2. Bahwa sebagaimana telah diuraikan pada butir 9 bagian Tentang Hukum, terbukti

adanya rescheduling sales yang dikategorikan sebagai sebagai pengaturan pasokan

yang berdampak pada kenaikan harga55;

3. Bahwa dengan demikian unsur yang bermaksud untuk mempengaruhi harga.56

✓ Mengatur Produksi dan/atau Pemasaran Suatu Barang

1. Bahwa mengatur produksi artinya adalah menentukan jumlah produksi baik bagi

kartel secara keseluruhan maupun bagi setiap anggota. Hal ini bisa lebih besar atau

lebih kecil dari kapasitas produksi perusahaan atau permintaan akan barang atau jasa

yang bersangkutan. Sedangkan mengatur pemasaran berarti mengatur jumlah yang

akan dijual dan atau wilayah dimana para anggota menjual produksinya;

2. Bahwa dalam perkara a quo sebagaimana telah diuraikan pada bagian Tentang

Hukum butir 957, pengaturan pemasaran yang dilakukan oleh para Terlapor terbukti

dengan adanya perilaku rescheduling sales yang dikategorikan sebagai pengaturan

dan/atau penahanan pasokan sapi impor di wilayah JABODETABEK;

Dengan demikian unsur yang bermaksud untuk menetapkan harga dengan mengatur

produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa telah terbukti pada kedua Putusan

Perkara KPPU terkait Industri Otomotif terkait Kartel Ban Kendaraan Bermotor Roda

Empat dan Perdagangan Sapi Impor di (JABODETABEK).

55 Putusan Perkara KPPU No. 10/2015,“Tentang Pengaturan Penjualan Sapi dan/atau Daging Sapi”, h 939-

942 56 Ibid, h 955 57 Putusan Perkara KPPU No. 10/2015,“Tentang Pengaturan Penjualan Sapi dan/atau Daging Sapi”, h 940-

942