Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Teori Investasi
Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang
dilakukan pada saat ini dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa
datang (Tandelilin, 2010:2). Husnan (2006:3) mendefinisikan investasi sebagai
penggunaan uang dengan maksud memperoleh penghasilan. Investasi merupakan
penanaman modal di dalam perusahaan dengan tujuan agar kekayaan suatu
korporasi atau perusahaan bertambah.
Tujuan dari investasi adalah mendapatkan suatu tingkat pendapatan yang
diharapkan di masa datang dengan mengorbankan kekayaan saat ini. Tujuan dari
investasi menurut Tandelilin (2010:8) adalah :
1) Untuk mendapatkan kehidupan yang layak di masa depan.
2) Mengurangi tekanan inflasi.
3) Dorongan untuk menghemat pajak.
Investasi dapat mencerminkan pertumbuhan perusahaan dalam menjalankan
aktivitas ekonomi dan bisnis. Pengambilan keputusan mengenai investasi
biasanya sulit karena memerlukan penilaian atas situasi di masa yang akan datang
yang tidak mudah diramal karena adanya faktor ketidakpastian di masa depan
(Ayuningtyas, 2013). Manajer keuangan harus membantu perusahaan untuk
mengidentifikasi proyek-proyek yang menjanjikan dan memutuskan berapa
15
banyak yang akan diinvestasikan dalam tiap proyek. Keputusan investasi ini
disebut juga keputusan penganggaran modal karena sebagian besar perusahaan
mempersiapkan anggaran tahunan yang terdiri dari investasi modal yang disahkan
(Brealey, 2007:4).
Investasi yang dilakukan perusahaan seringkali memberikan peluang bagi
perusahaan untuk meningkatkan keunggulan bersaingnya. Peluang investasi yang
dilakukan dengan pertimbangan yang tepat dapat semakin meningkatkan kinerja
perusahaan. Sebaliknya, peluang investasi yang tidak dimanfaatkan secara tepat
justru akan menyebabkan penurunan kinerja bagi perusahaan (Soejono, 2010).
2.1.2 Kinerja Keuangan Perusahaan
Di dalam perusahaan terdapat tujuan tertentu yang akan dicapai untuk
memenuhi keinginan dari semua anggotanya. Penilaian tujuan perusahaan akan
mempertimbangan aspek-aspek dalam manajemen sehingga menjadi tidak mudah
untuk dilakukan. Salah satu cara untuk menilai apakah perusahaan menjalankan
operasinya sesuai dengan tujuan perusahaan adalah dengan melihat kinerja
keuangan perusahaan tersebut.
Pengukuran kinerja digunakan perusahaan untuk melakukan perbaikan
kegiatan operasionalnya agar dapat bersaing dengan perusahaan lain. Bagi
investor informasi mengenai kinerja keuangan perusahaan dapat digunakan untuk
melihat apakah mereka akan mempertahankan investasi mereka di perusahaan
tersebut atau mencari alternatif lain. Selain itu pengukuran juga dilakukan untuk
memperlihatkan kepada penanam modal maupun pelanggan atau masyarakat
16
secara umum bahwa perusahaan memiliki kredibilitas yang baik (Munawir,
2008:53).
Penilaian kinerja keuangan perusahaan bertujuan untuk mengevaluasi kinerja
keuangan perusahaan dengan membandingkan kinerja keuangan perusahaan
sebelumnya dengan sekarang. Penilaian kinerja juga dapat memotivasi karyawan
dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan mematuhi standar yang sudah
ditetapkan. Standar perusahaan dapat berupa kebijakan manajemen dan rencana
yang dimuat dalam anggaran perusahaan.
Untuk mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan diperlukan analisis rasio
keuangan. Analisis rasio adalah suatu teknik analisis yang menghubungkan antara
satu pos dengan pos lainnya baik dalam neraca atau rugi laba maupun kombinasi
dari kedua laporan keuangan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan.
Tujuan dari analisis ini adalah memberikan informasi atau interpretasi mengenai
kinerja yang dicapai perusahaan (Wiagustini, 2010:37).
2.1.3 Pengukur Kinerja Keuangan Perusahaan
Setiap manajemen dalam perusahaan memiliki tujuan utama yaitu untuk
memaksimalkan nilai investasi yang sudah ditanamkan oleh investor.
Keberhasilan manajemen dapat diukur dengan menganalisa laporan keuangan
perusahaan. Laporan keuangan akan melaporkan posisi perusahaan pada satu titik
waktu tertentu di dalam neraca dan operasinya selama suatu periode di masa lalu
di dalam laporan laba rugi. Dari sudut pandang seorang investor, meramalkan
masa depan adalah hakikat dari analisis laporan keuangan sedangkan dari sudut
pandang manajemen, analisis laporan keuangan akan bermanfaat baik untuk
17
mengantisipasi kondisi-kondisi di masa depan maupun sebagai titik awal untuk
melakukan perencanaan langkah-langkah yang akan meningkatkan kinerja
keuangan perusahaan di masa mendatang (Brigham, 2009:94).
Rasio-rasio keuangan dapat menjadi alternatif yang tepat untuk mengukur
kinerja keuangan perusahaan. Rasio keuangan adalah petunjuk yang menuntun
manajemen sebuah perusahaan menetapkan berbagai target standar. Rasio
keuangan sangat membantu para manajer keuangan dalam menetapkan strategi
jangka panjang yang menguntungkan serta dalam membuat keputusan jangka
pendek yang efektif (Wiagustini, 2010:37).
Terdapat lima rasio keuangan perusahaan yaitu rasio profitabilitas, rasio
solvabilitas, rasio aktivitas, rasio pasar dan rasio likuiditas. Dalam mengukur
kinerja keuangan perusahaan analisis profitabilitas dapat digunakan karena
berorientasi pada efektivitas perusahaan dalam memaksimalkan keuntungan
dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki. Menurut Kasmir (2011:196) rasio
profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam
mencari keuntungan.
Menurut Brigham (2009:91) Return on Equity (ROE) adalah rasio laba bersih
terhadap ekuitas saham biasa, mengukur tingkat pengembalian atas investasi
pemegang saham. Adapun pengertian ROE menurut Syamsuddin (2003:64)
adalah suatu pengukuran dari penghasilan (income) yang tersedia bagi para
pemilik perusahaan atas modal yang mereka investasikan di dalam perusahaan.
ROE secara jelas mengukur keuntungan perusahaan bagi pemilik saham biasa.
Bunga dan dividen dimasukkan ke dalam analisis laba yang didapat oleh suatu
18
perusahaan dimana disalurkan ke pemilik modal sehingga dengan semakin tinggi
return atau penghasilan yang diperoleh akan semakin baik pula kedudukan
pemilik perusahaan.
Return on Equity (ROE) memperlihatkan kemampuan untuk menghasilkan
laba atas investasi bedasarkan nilai buku para pemegang saham, dan seringkali
digunakan dalam membandingkan dua atau lebih perusahaan dalam sebuah
industri yang sama. ROE yang tinggi mengindikasikan penerimaan perusahaan
atas peluang investasi yang baik dan manajemen biaya yang efektif.
2.1.4 Teori Keagenan
Dalam perekonomian modern, manajemen, dan pengelolaan perusahaan
semakin banyak dipisahkan dari kepemilikan perusahaan. Hal ini sejalan
dengan teori keagenan yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan
(pemegang saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga -
tenaga profesional (agents) yang lebih mengerti dalam menjalankan bisnis
sehari-hari. Tujuan dari dipisahkannya pengelolaan dari kepemilikan
perusahaan, yaitu agar pemilik perusahaan memperoleh keuntungan yang
semaksimal mungkin dengan biaya yang seefisien mungkin dengan dikelolanya
perusahaan oleh tenaga-tenaga profesional. Semakin besar perusahaan yang
dikelola memperoleh laba semakin besar pula keuntungan yang didapatkan
agents. Sementara pemilik perusahaan (pemegang saham) hanya bertugas
mengawasi dan memonitor jalannya perusahaan yang dikelola oleh manajemen
serta mengembangkan sistem insentif bagi pengelola manajemen untuk
19
memastikan bahwa mereka bekerja demi kepentingan perusahaan (Adrian
Sutedi, 2011:13).
Salah satu asumsi utama dari teori keagenan bahwa tujuan principal dan
tujuan agen yang berbeda dapat memunculkan konflik karena manajer perusahaan
cenderung untuk mengejar tujuan pribadi, hal ini dapat mengakibatkan
kecenderungan manajer untuk memfokuskan pada proyek dan investasi
perusahaan yang menghasilkan laba yang tinggi dalam jangka pendek daripada
memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham melalui investasi di proyek-
proyek yang menguntungkan jangka panjang.
Teori keagenan dilandasi oleh tiga asumsi sifat manusia menurut Eisenhardt
(1989) yaitu :
1) Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest).
2) Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality).
3) Manusia selalu menghindari resiko (risk averse).
Konflik keagenan dapat dimininalkan jika posisi manajemen yang juga
berperan sebagai pemegang saham dapat dilakukan dengan melakukan
pengawasan dan pemantauan. Pengawasan dan pemantauan dalam mengurangi
konflik akan menimbulkan biaya yang disebut agency cost.
Menurut Jensen dan Meckling (1976) terdapat 3 jenis agency cost :
1) Monitoring Cost yaitu biaya yang dikeluarkan untuk membatasi
penyimpangan yang dilakukan oleh manajer dengan cara memonitor kegiatan
yang dilakukan manajer.
20
2) Bonding Cost yaitu biaya yang dikeluarkan oleh agent untuk menetapkan dan
mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk
kepentingan principal.
3) Residual Cost merupakan biaya pengorbanan berupa berkurangnya
kemakmuran principal diakibatkan oleh perbedaan keputusan antara agent dan
principal.
2.1.5 Good Corporate Governance
2.1.5.1 Pengertian Good Corporate Governance
Masalah utama yang mendasari penerapan corporate governance adalah
adanya pemisahan antara kepemilikan dengan pengendalian perusahaan atau
disebut dengan masalah keagenan. Permasalahan keagenan dalam hubungannya
antara pemilik modal dengan manajer adalah sulitnya pemilik dalam memastikan
bahwa dana yang ditanamkan tidak diambil alih atau diinvestasikan pada proyek
yang tidak menguntungkan sehingga tidak mendatangkan return, sehingga
dibutuhkan corporate governance untuk mengurangi permasalahan keagenan
antara pemilik dan manajer (Macey dan O’Hara, 2003). Good corporate
governance terkait dengan pengambilan keputusan yang efektif dengan
membangun kultur organisasi, sistem, proses, kebijakan, nilai-nilai dan struktur
organisasi dengan tujuan mencapai bisnis yang efisien, efektif dan
menguntungkan dalam mengelola resiko dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan kepentingan stakeholder (Wilamarta, 2002:37)
Menurut Aldridge dan Sutojo (2008:1) kata governance diambil dari kata
latin, yaitu gubernance yang artinya mengarahkan dan mengendalikan. Dalam
21
ilmu manajemen bisnis kata tersebut diadaptasi menjadi corporate
governance yang artinya sebagai upaya mengarahkan dan mengendalikan
kegiatan organisasi termasuk perusahaan. Good corporate governance
merupakan seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan
untuk menciptakan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan. Hal ini
disebabkan karena GCG dapat mendorong terbentuknya pola kerja
manajemen yang bersih, transparan dan profesional. Implementasi prinsip-
prinsip GCG secara konsisten di perusahaan akan menarik minat para investor
(Effendi 2009:2).
Forum for Corporate Governance in Indonesia (2016) mendefinisikan
corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan
antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur,
pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eskternal
lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata
lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance
ialah untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan
(stakeholder).
Jadi dapat disimpulkan dari pengertian di atas bahwa good corporate
governance atau tata kelola perusahaan merupakan upaya perusahaan dalam
meningkatkan kinerja melalui pengawasan dan pemantuan kinerja manajemen
secara berkala dan penerapan akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dan
pemangku kepentingan lainnya. Penerapan corporate governance akan
22
menyebabkan sasaran-sasaran manajemen lebih terarah dan tidak melenceng dari
tujuan yang telah ditetapkan.
Komite Nasional Kebijakan Governance menjelaskan 5 prinsip corporate
governance yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan
dengan memperhatikan kepentingan pihak yang berkepentingan yaitu :
1) Transparansi
Pengungkapan informasi kepada semua stakeholder secara transparan, jujur
apa adanya dalam membuat laporan usaha dan tidak manipulatif. Memberikan
informasi secara terbuka dalam proses pengambilan keputusan.
2) Akuntabilitas
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan independen dengan mengelola secara benar, terukur, dan sesuai
dengan kepentingan pemegang saham dengan tetap mempertimbangkan
kepentingan stakeholders lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3) Responsibilitas
Perusahaan dapat mempertanggungjawabkan semua kegiatannya kepada
lingkungan dan masyarakat pada umumnya. Perusahaan hatus memperhatikan
keamanan lingkungan dan peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat
setempat sehingga terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang.
4) Independensi
Perusahaan harus memiliki otonominya secara penuh sehingga pengambilan-
pengambilan keputusan dilakukan dengan pertimbangan otoritas yang ada
23
secara penuh. Perusahaan harus berjalan dengan menguntungkan semua pihak
tanpa ada satupun yang dirugikan.
5) Kewajaran
Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders
berdasarkan asas perlakuan yang setara ( equal treatment ) dan asas manfaat
yang wajar.
2.1.5.2 Manfaat Good Corporate Governance
Penerapan good corporate governance akan meningkatkan kinerja keuangan
perusahaan melalui pengawasan dan pemantauan kinerja manajemen dan
menerapkan prinsip akuntabilitas terhadap stakeholder berdasarkan peraturan
yang berlaku.
Listyorini (2001) menyebutkan manfaat penerapan corporate governance adalah:
1) Meningkatkan efisiensi produktivitas
Hal ini dikarenakan seluruh individu dalam perusahaan memiliki komitmen
untuk memajukan perusahaan. Semua individu di perusahaan pada setiap level
dan departemen akan berusaha menyumbang segenap kemampuannya untuk
kepentingan perusahaan dan bukan atas dasar mencari keuntungan secara
pribadi atau kelompok. Dengan demikian tidak terjadi pemborosan yang
diakibatkan penggunaan sumber daya perusahaan yang dipergunakan untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu yang tidak sejalan dengan kepentingan
perusahaan.
24
2) Meningkatkan kepercayaan publik
Publik dalam hal ini dapat berupa mitra baik sebagai investor, pemasok,
pelanggan, kreditor, pemerintah maupun konsumen akhir. Bagi investor dan
kreditor penerapan good corporate governance adalah suatu hal yang
dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
pelepasan dana investasi maupun kreditnya. Jadi kreditor dan investor akan
merasa lebih aman karena perusahaan dijalankan dengan prinsip yang
mengutamakan kepentingan semua pihak dan bukan hanya pihak tertentu saja.
3) Menjaga kelangsungan hidup perusahaan
4) Dapat mengukur target kinerja keuangan perusahaan
Dalam hal ini manajemen lebih terarah dalam mencapai sasaran-sasaran
manajemen dan tidak disibukkan untuk hal-hal yang bukan menjadi sasaran
pencapaian kinerja manajemen.
2.1.5.3 Corporate Governance Perception Index
Corporate Governance Perception Index (CGPI) adalah program riset dan
pemeringkatan dalam penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good
Corporate Governance ) pada perusahaan BUMN dan publik di Indonesia. CGPI
dilaksanakan sejak tahun 2001 dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana
perusahaan-perusahaan di Indonesia menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate
Governance. Penilaian CGPI dilakukan oleh lembaga indenpenden The Indonesia
Institute for Corporate Governance (IICG).
Penilaian CGPI dilakukan dengan mengikuti empat tahapan penilaian yaitu
self assessment, kelengkapan dokumen, penyusunan makalah dan observasi.
25
Tahapan self assessment terdiri dari 11 aspek penilaian berupa pernyataan
mengenai hal-hal yang dipersepsikan oleh organ dan anggota perusahaan.
Kuisioner disusun berdasarkan variabel permasalahan implementasi Good
Corporate Governance dalam perusahaan. Tahapan kelengkapan dokumen
menilai kelengkapan dokumen yang berhubungan dengan GCG dan disesuaikan
dengan status perusahaan. Pada tahapan penyusunan makalah penilaian dilakukan
dengan menilai makalah yang telah disusun peserta menggambarkan serangkaian
proses implementasi GCG. Tahap terakhir adalah obesrvasi yaitu tim dari IICG
melakukan pengamatan langsung ke perusahaan untuk memastikan praktik GCG
dalam perusahaan.
Hasil riset dan pemeringkatan CGPI berupa skor dan indeks penerapan GCG
pada perusahaan publik, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
Badan Usaha Milik Swasta, dan perusahaan keuangan syariah di Indonesia.
Peringkat CGPI disusun berdasarkan skor yang diperoleh peserta yang dibagi
menjadi tiga kategori tingkatan kepercayaan yaitu kategori sangat tepercaya
dengan rentan nilai 85 - 100, kategori tepercaya dengan rentan nilai 70 - 84,99 dan
kategori cukup terpercaya dengan rentan nilai 55 - 69,99.
2.1.6 Struktur Kepemilikan
Stuktur kepemilikan merupakan yaitu perbandingan jumlah saham yang
dimiliki oleh orang dalam (insider) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh
investor atau dengan kata lain proporsi kepemilikan manajerial dan institusional di
dalam perusahaan (Sugiarto, 2009:59). Sudana (2011:11) menyatakan struktur
kepemilikan merupakan pemisahan antara pemilik perusahaan dengan manajer
26
perusahaan. Pemilik merupakan pihak yang telah menyetorkan modal ke dalam
perusahaan sedangkan manajer adalah pihak yang sudah ditunjuk oleh pemilik
untuk mengelola perusahaan dan mengambil keputusan.
Struktur kepemilikan akan memiliki motivasi yang berbeda dalam memonitor
perusahaan serta manajemen dan dewan direksinya. Struktur kepemilikan
dipercaya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi jalannya perusahaan yang
nantinya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan. Agency problem dapat
dikurangi dengan adanya struktur kepemilikan. Struktur kepemilikan merupakan
suatu mekanisme untuk mengurangi konflik antara manajemen dan pemegang
saham (Faisal, 2005). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa
kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme
corporate governance yang dapat mengendalikan masalah keagenan.
Struktur kepemilikan dipercaya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
jalannya perusahaan yang nantinya dapat mempengaruhi kinerja perusahaan.
Struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik
antara manajemen dan pemegang saham. Kepemilikan manajerial dan
kepemilikan institusional adalah bagian dari struktur kepemilikan yang termasuk
dalam mekanisme corporate governance yang dapat mengurangi masalah
keagenan (Dewi, 2008).
Proporsi jumlah kepemilikan manajerial dalam perusahaan dapat
mengindikasikan ada kesamaan kepentingan antara manajemen dengan pemegang
saham sedangkan pemegang saham institusional memiliki keahlian yang lebih
dibandingkan dengan investor individu, terutama pemegang saham institusional
27
mayoritas diatas 5%. Pemegang saham institusional besar diasumsikan memiliki
orientasi investasi jangka panjang. Kepemilikan institusional umumnya bertindak
sebagai pihak yang memonitor perusahaan (Faisal, 2005).
2.1.6.1 Kepemilikan Institusional
Persentase saham institusi ini diperoleh dari penjumlahan atas persentase
saham perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan lain baik yang berada di dalam
maupun di luar negeri serta saham pemerintah dalam maupun luar negeri
(Sam’ani, 2008). Kepemilikan institusional diketahui dari tingginya kepemilikan
saham oleh pihak institusi seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi,
LSM ataupun perusahaan swasta.
Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat
menghalangi perilaku opportunistic manajer. (Wiranata, 2013) Jensen dan
Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki peranan
yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara
manajer dan pemegang saham. Keberadaan investor institusional dianggap
mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang
diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor institusional terlibat dalam
pengambilan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan
manipulasi laba.
Kepemilikan institusional merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi kinerja perusahaan. Dengan adanya kepemilikan oleh investor
institusional dapat mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal
28
terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan saham mewakili suatu sumber
kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau malah memperburuk
kinerja manajemen (Nur’aeni, 2010).
2.1.6.2 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen
perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh
manajemen (Sujono dan Soebiantoro, 2007). Kepemilikan manajerial merupakan
proporsi saham yang dimiliki oleh manajer, direksi, dan komisaris perusahaan
pada akhir tahun yang dinyatakan dalam persentase. Struktur kepemilikan
manajerial adalah tingkat kepemilikan saham oleh pihak manajemen yang secara
aktif terlibat di dalam pengambilan keputusan. Pengukurannya dilihat dari
besarnya proporsi saham yang dimiliki manajemen pada akhir tahun yang
disajikan dalam bentuk persentase (Yadnyana dan Wati, 2011). Menurut Itturiaga
dan Sanz (2000) struktur kepemilikan manajerial dapat dijelaskan dari dua sudut
pandang yaitu pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan
ketidakseimbangan (asymmetric information approach). Pendekatan keagenan
menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai sebuah instrument atau alat
untuk mengurangi konflik keagenan diantara beberapa klaim (claim holder)
terhadap perusahaan.
Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan
pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung
manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer yang menanggung risiko
apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan
29
keputusan yang salah. Hal tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi
kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan
antara manajer dengan pemegang saham, sehingga kinerja perusahaan semakin
bagus (Jensen, 1986). Kinerja perusahaan akan lebih baik jika saham perusahaan
dimiliki oleh manajer. Manajer akan merasa memiliki perusahaan dan bukan lagi
sebagai tenaga profesional yang digaji tetapi juga sebagai pemilik perusahaan.
Manajer akan berusaha memaksimalkan revenue dan menekan expenses atau
meningkatkan profitabilitas dan efisiensi (Yulius, 2007).
2.1.7 Modal Intelektual
Dalam persaingan bisnis yang semakin ketat, organisasi harus menggunakan
semua sumber daya yang dimilikinya, baik yang berwujud ataupun yang tidak
berwujud untuk mendapatkan keuntungan kompetitif. Pentingnya modal
intelektual telah diakui sebagai faktor penentu sukses sebuah perusahaan, bukan
hanya untuk perusahaan yang berbasiskan tekhnologi, tetapi untuk seluruh tipe
organisasi (Lonnqvist dan Mettanen, 2002).
Sangkala (2006:37) berpendapat bahwa modal intelektual merupakan
kombinasi manusia, sumber daya perusahaan dan relasi dari suatu perusahaan
yang menunjukkan bahwa nilai diciptakan melalui hubungan antara tiga kategori,
yaitu modal manusia, structural dan relasi perusahaan. Intellectual capital tidak
hanya berupa goodwill ataupun paten seperti yang sering dilaporkan dalam
neraca. Kompetensi karyawan, hubungan dengan pelanggan, penciptaan inovasi,
sistem komputer dan administrasi, hingga kemampuan atas penguasaan teknologi
juga merupakan bagian dari intellectual capital. Hal ini menjadikan sumber daya
30
tidak berwujud (intangible resources) sebagai aktiva yang sangat berharga bagi
suatu perusahaan (Mulyadi, 2001: 288)
Secara umum Bontis et al. (2000) membagi modal intelektual menjadi 3
elemen utama yaitu human capital (HC), structural capital (SC), dan customer
capital (CC). Customer capital menurut Sawarjuwono dan Kadir (2003)
merupakan komponen intellectual capital yang memberikan nilai secara nyata.
Customer capital merupakan hubungan harmonis yang dimiliki perusahaan
dengan para mitranya. Human capital merupakan kemampuan intelektual dalam
setiap individu di dalam perusahaan. Human capital merupakan kombinasi dari
pengetahuan, pengalaman, dan goodwill karyawan. (Puspitasari, 2014) Human
capital didefinisikan sebagai kombinasi pengetahuan, keahlian, inovasi dan
kemampuan pekerja perusahaan secara individual untuk menyelesaikan tugasnya.
Sawarjuwono dan Kadir (2003) menyatakan bahwa structural capital
merupakan kemampuan organisasi atau perusahaan dalam memenuhi proses
rutinitas perusahaan dan strukturnya yang mendukung usaha karyawan untuk
menghasilkan kinerja intelektual yang optimal serta kinerja bisnis secara
keseluruhan. Structural capital meliputi seluruh non-human storehouses of
knowledge dalam organisasi, termasuk dalam hal ini adalah database,
organisational charts, process manuals, strategies, routines dan segala hal yang
membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai materialnya (Ulum, 2008).
2.1.8 Value Added Intellectual Coefficient (VAICTM)
Saat ini upaya memberikan penilaian terhadap modal intelektual merupakan
hal yang penting. Kesulitan dalam bidang modal intelektual adalah masalah
31
pengukurannya. Dari model-model pengukuran yang dikembangkan, masing-
masing memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga untuk memilih model yang
paling tepat untuk digunakan merupakan tindakan yang tidak tepat karena
pengukuran tersebut hanyalah sebuah alat yang dapat diterapkan pada situasi dan
kondisi perusahaan dengan spesifikasi tertentu (Sawarjuwono dan Kadir, 2003).
Pulic (1998) mengusulkan Koefisien Nilai Tambah Intelektual / Value Added
Intellectual Coefficient (VAICTM) untuk menyediakan informasi tentang efisiensi
penciptaan nilai dari aset berwujud dan tidak berwujud dalam perusahaan.
VAIC™ digunakan karena dianggap sebagai indikator yang cocok untuk
mengukur IC di riset empiris. Beberapa alasan utama yang mendukung
penggunaan metode ini yaitu:
1) VAICTM menyediakan dasar ukuran yang standar dan konsisten, angka
keuangan yang standar dan umum tersedia pada laporan keuangan sehingga
memungkinkan lebih efektif dalam melakukan analisis komparatif di berbagai
sektor industri.
2) Semua data yang digunakan dalam perhitungan VAICTM didasarkan pada
informasi yang telah diaudit sehingga perhitungan dapat dianggap obyektif
dan dapat diverifikasi (Pulic, 1998)
Model ini dimulai dengan kemampuan perusahaan untuk menciptakan value
added (VA). VA adalah indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis
dan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai. VA dihitung
sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1998). Tan et al. (2007)
menyatakan bahwa output (OUT) merepresentasikan revenue dan mencakup
32
seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan input (IN) mencakup
seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue.
Hal penting dalam model ini adalah beban karyawan ( labour expenses ) tidak
termasuk dalam IN. Karena peran aktifnya dalam proses penciptaan nilai ,
intellectual potential (yang direpresentasikan dengan labour expenses ) tidak
dihitung sebagai cost dan tidak masuk dalam komponen IN. Karena itu, aspek
kunci dalam VAICTM adalah memperlakukan tenaga kerja sebagai entitas
penciptaan nilai. VA dipengaruhi oleh efisiensi Human Capital (HC) dan
Structural Capital (SC).
2.1.8.1 Capital Employed Efficiency Coefficient (CEE)
Proses bisnis dalam perusahaan dapat didefinisikan sebagai sekumpulan
aktivitas perusahaan yang bertujuan untuk menciptakan nilai bagi konsumen
(Miers, 2010). Mengoperasikan proses perusahaan yang efisien dan efektif dengan
kontrol yang ketat terhadap bahan baku dan biaya merupakan tujuan dari tiap
perusahaan.
Perusahaan yang memiliki kinerja baik adalah organisasi yang
mengoptimalkan proses produksinya dengan mengurangi waktu produksi,
meningkatkan kualitas produk akhir dan mengurangi jumlah karyawan yang
diperlukan pada aktivitas tertentu. Miers (2010) lebih lanjut menyebutkan bahwa
melalui proses operasi yang efisien inilah, perusahaan dapat menciptakan nilai
lebih yang menjadi nilai tambah tersendiri. Operasi yang efisien pada perusahaan
diukur dengan tingkat turnover atau perputaran baik aktiva, piutang dan aset
33
lancar. Perusahaan yang memiliki tingkat turnover yang tinggi diasumsikan
memiliki tingkat operasi yang efisien.
Capital employed merupakan financial capital (modal keuangan), yakni total
modal yang dimanfaatkan dalam asset tetap dan lancar dalam bentuk modal
berwujud seperti cash, marketable securities, account receivable, inventories,
land, buildings, machinery, equipment, furniture, fixtures, dan vehicles yang
dimiliki oleh perusahaan (Huwitz et al. 2002 dalam Yusuf, 2009). Capital
Employed Efficiency Coefficient (CEE) menunjukan value added yang dapat
dihasilkan dari modal fisik yang digunakan. Penilaian Capital Employment
dikatakan baik jika 1 unit dari CE menghasilkan return lebih besar daripada
perusahan lain.
2.1.8.2 Structural Capital Efficiency Coefficient (SCE)
Bontis et al. (2000) menyebutkan structural capital meliputi seluruh
pengetahuan selain pengetahuan yang dimiliki sumber daya manusia dalam
organisasi seperti sistem informasi, struktur organisasi, proses manual, strategi
perusahaan, rutinitas kegiatan, dan segala hal yang membuat nilai perusahaan
lebih besar dari nilai materialnya. Structural Capital Efficiency Coefficient (SCE)
menunjukkan kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai. SCE
mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari VA dan
merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai. SC
bukanlah ukuran yang independen sebagaimana HC, SC dependen terhadap value
creation. Artinya, semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan
semakin kecil kontribusi SC dalam hal tersebut (Wijayanti, 2012)
34
2.1.8.3 Human Capital Efficiency Coefficient (HCE)
Roos et al. (1997) dalam Bontis et al. (2000) berpendapat bahwa karyawan
menciptakan intellectual capital melalui kompetensinya, sikapnya, dan
kecerdasan intelektualnya. Kompetensi termasuk keahlian dan pendidikan, sikap
meliputi komponen perilaku kerja karyawan, sedangkan kecerdasan intelektual
memungkinkan seseorang untuk mengubah kebiasaan dan berfikir tentang solusi
inovatif suatu masalah.
Human capital merepresentasikan modal pengetahuan individu organisasi
yang dipresentasikan oleh karyawannya (Bontis et al., 2000) Semakin banyak
value added dihasilkan dari setiap rupiah yang dikeluarkan oleh perusahaan
menunjukkan bahwa perusahaan telah mengelola sumber daya manusia secara
maksimal sehingga menghasilkan tenaga kerja berkualitas yang pada akhirnya
akan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan (Wijayanti 2012).
2.2 Rumusan Hipotesis
2.2.1 Pengaruh Good Corporate Governance terhadap Kinerja Keuangan
Perusahaan
Penerapan good corporate governance membuat perusahaan lebih efisien
sehingga perusahaan berpeluang menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
Good corporate gorvernance berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya
keagenan (agency cost) dan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Semakin
tinggi penerapan corporate governance yang diukur oleh Corporate Governance
Perception Indeks (CGPI) maka semakin tinggi pula tingkat ketaatan perusahaan
dan menghasilkan kinerja keuangan perusahaan yang baik. (Indarti, 2013). Indeks
35
skor GCG yang tinggi membuat iklim kepercayaan stakeholders meningkat,
dengan demikian modal menjadi tidak terlalu tinggi sehingga ROE cenderung
meningkat. Semakin tinggi skor GCG, maka semakin tinggi pula tingkat ketaatan
sehingga menarik investor yang berakibat meningkatnya kinerja keuangan.
(Prasinta, 2012 )
Monisa (2012) meneliti hubungan antara good corporate governance dengan
kinerja keuangan yang diproksikan dengan Return on Equity (ROE) menemukan
bahwa praktek Good Corporate Governance berpengaruh signifikan terhadap
kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan ROE. Cynthia (2013) juga
meneliti hubungan good corporate governance dengan kinerja keuangan
perusahaan hasil survei The Indonesian Institute Perception Governance (IICG).
Kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan Return on Equity (ROE)
menunjukan pengaruh yang signifikan antara variabel struktur corporate
governance terhadap kinerja keuangan perusahaan.
H1 : Good Corporate Governance berpengaruh positif dan signifikan
terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan.
2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kinerja Keuangan
Perusahaan
Kepemilikan oleh institusi akan mendorong peningkatan pengawasan yang
lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan saham mewakili
suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya
terhadap keberadaan manajemen (Nur’aeni, 2010). Fungsi kontrol dari pemilik
sangat menentukan dalam meningkatkan kinerja keuangan perusahaan.
36
Pengawasan yang dilakukan terhadap perusahaan akan meningkat seiring dengan
tingginya kepemilikan institusional dan jika manajemen dapat bertindak sejalan
dengan keinginan pemegang saham maka kinerja keuangan perusahaan akan
meningkat (Darwis, 2009).
Hasil penelitian Affes (2013) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan yang
diproksikan dengan Return on Equity (ROE). Penelitian yang dilakukan oleh
Nikbakht (2010) mengatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif
terhadap Return on Equity (ROE). Nur’aeni (2010) menunjukkan bahwa
kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan
perusahaan.
H2 : Kepemilikan Institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Kinerja Keuangan Perusahaan.
2.2.3 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Kinerja Keuangan
Perusahaan
Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh pihak manajemen
perusahaan. Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara
kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan
langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer yang menanggung
risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan
keputusan yang salah. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar proporsi
kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan
37
antara manajer dengan pemegang saham, sehingga kinerja perusahaan semakin
bagus (Jensen, 1986).
Menurut Faisal (2005) besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial
dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan kepentingan antara
manajemen dengan shareholders . Semakin meningkatnya proporsi kepemilikan
manajerial maka akan semakin baik kinerja keuangan perusahaan. Manajer akan
termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya yang juga merupakan keinginan dari
para pemegang saham. Penelitian terdahulu mengenai kepemilikan manajerial
telah dilakukan oleh Indarti (2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan
perusahaan. Gil dan Obradovich (2012) menyatakan bahwa kepemilikan
manajerial berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan.
H3 : Kepemilikan Manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Kinerja Keuangan Perusahaan.
2.2.4 Pengaruh Modal Intelektual terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan
Modal Intelektual yang dimiliki perusahaan dapat menciptakan nilai tambah
yang memberikan suatu keunggulan kompetitif dibandingkan dengan para
kompetitornya, sehingga hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan penjualan.
Sedangkan dengan adanya penggunaan IC secara baik dan benar, maka dapat
diperoleh bagaimana cara menggunakan sumber daya lain yang dimiliki
perusahaan secara efisien dan ekonomis. Penggunaan sumber daya perusahaan
secara efisien dan ekonomis dapat memperkecil biaya-biaya yang terjadi
( Puspitasari, 2014).
38
Adanya efisiensi dalam penerapan modal intelektual mampu menciptakan
produktivitas yang tinggi bagi para pegawai. Produktivitas inilah yang akan
mampu membawa perusahaan untuk mencapai kinerja keuangan yang lebih baik
lagi . IC merupakan sumberdaya yang terukur untuk peningkatan competitive
advantages, maka IC akan memberikan kontribusi terhadap kinerja keuangan
perusahaan (Abdolmohammadi, 2005). Chen et al. (2005) yang menjelaskan
bahwa intellectual capital berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja
keuangan yang diproksikan dengan ROE. Fathi (2013), Shamsudin (2013) dan
Murti (2010) melakukan penelitian yang menunjukkan hasil bahwa IC
berpengaruh positif signifikan terhadap ROE . Semakin tinggi VAICTM maka
semakin tinggi pula ROE perusahaan.
H4 : Modal Intelektual berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Kinerja Keuangan Perusahaan.