Upload
lelien
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kemampuan Kerjasama Anak Usia Dini
1. Kemampuan Kerjasama Anak Usia Dini
Menurut Plato (dalam Nugraha, dkk 2008: 1.18) secara potensial (fitrah) manusia
dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Syamsudin (dalam Nugraha, dkk
2008: 1.18) mengemukakan bahwa “sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi
makhluk sosial”, sedangkan menurut Loree (dalam Nugraha, dkk 2008: 1.18) “sosialisasi
merupakan suatu proses di mana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya
terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan
(kelompoknya) serta bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam
lingkungan sosialnya”.
Muhibin (dalam Nugraha, dkk 2008: 1.18) mengatakan bahwa perkembangan sosial
merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi
dalam keluarga, budaya, bangsa, dan seterusnya. Adapun Hurlock (dalam Nugraha, dkk
2008:1.18) mengutarakan bahwa perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan
berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. “Sosialisasi adalah kemampuan
bertingkah laku sesuai dengan norma, nilai atau harapan sosial”.
Untuk menjadi individu yang mampu bermasyarakat diperlukan tiga proses
sosialisasi. Proses sosialisasi ini tampaknya terpisah, tetapi sebenarnya saling
berhubungan satu sama lainnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hurlock (dalam
Nugraha, dkk 2008: 1.18 ), yaitu sebagai berikut.
a. Belajar untuk bertingkah laku dengan cara yang dapat diterima masyarakat.
7
b. Belajar memainkan peran sosial yang ada di masyarakat.
c. Mengembangkan sikap/tingkah laku sosial terhadap individu lain dan aktivitas sosial
yang ada di masyarakat.
Pada perkembangannya, berdasarkan ketiga tahap proses sosial ini, individu akan
terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok individu sosial dan individu nonsosial.
Kelompok individu sosial adalah mereka yang tingkah lakunya mencerminkan ketiga
proses sosialisasi. Mereka mampu untuk mengikuti kelompok yang diinginkan dan
diterima sebagai anggota kelompok.
Adakalanya mereka selau mengiginkan adanya orang lain dan merasa kesepian
apabila berada seorang diri. Selain itu mereka juga merasa puas dan bahagia jika selalu
berada dengan orang lain. Adapun kelompok individu nonsosial, mereka adalah orang-
orang yang tidak berhasil mencerminkan ketiga proses sosialisasi. Mereka adalah
individu yang tidak tahu apa yang diharapkan kelompok sosial sehingga tingkah laku
mereka tidak sesuaidengan harapan sosial. Kadang-kadang mereka tumbuh menjadi
individu antisocial, yaitu individu yang mengetahui harapan kelompok sosial, tetapi
dengan sengaja melawan hal tersebut. Akibatnya individu antisocial ini ditolak atau
dikucilkan oleh kelompok sosial.
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orangtua, anggota keluarga,
orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-
bentuk tingkah laku sosial itu adalah sebagai berikut:
a. Pembangkang (Negativitisme), yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan.
Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan
orangtua atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini
mulai muncul pada kira-kira usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga
tahun. Berkembangnya tingka laku negativisme pada usia ini dipandang sebagai hal
yang wajar. Setelah usia empat tahun, biasanya tingkah laku ini mulai menurun.
Antara usia empat tahun dan enam tahun, sikap membangkang atau melawan secara
fisik beralih menjadi sikap melawan secara verbal (menggunakan kata-kata). Sikap
orangtua terhadap tingkah laku melawan pada usia ini, seyogianya tidak
memandangnya sebagai pertanda bahwa anak itu nakal, keras kepala, tolol atau
sebutan lainnya yang negatif. Dalam hal ini, sebaiknya orangtua mau memahami
tentang proses perkembangan anak., yaitu bahwa secara naluriah anak itu
mampunyai dorongan untuk berkembang dari posisi “dependent” (ketergantungan)
ke posisi “independent” (bersikap mandiri). Tingkah laku melawan merupakan
salah satu bentuk dari proses perkembangan tersebut.
b. Agresi (aggression), yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun
kata-kata verbal (verbal). Agresi ini merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap
frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya) yang
dialaminya. Agresi ini mewujud dalam perilaku menyerang, seperti: memukul,
mencubit, menendang, menggigit, marah-marah, dan mencaci maki. Orangtua yang
menghukum anak yang agresif, menyebabkan meningkatnya agresifitas anak. Oleh
karena itu, sebaiknya orangtua beruasaha untuk mereduksi, mengurangi agresivitas
anak tersebut dengan cara mengalihkan perhatian/keinginan anak, memberikan
mainan atau sesuatu yang diinginkannya (sepanjang tidak membahayakan
keselamatannya), atau upaya lain yang bisa meredam agresivitas anak tersebut.
c. Berselisih atau bertengkar (quarreling), terjadi apabila seorang anak merasa
tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak anak lain, seperti dinganggu
pada saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau mainannya.
d. Menggoda (teasing), yaitu sebagai bentuk lain dari tingkah laku agresif. Menggoda
merupakan serangan mental terhadap orang alin dalam bentuk verbal (kata-kata
ejekan atau cemoohan), sehingga menimbulkan reaksi marah pada orang yang
diserangnya.
e. Persaingan (rivalry), yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong
(distimulasi) oleh oaring lain. Sikap persaingan ini mulai terlihat pada usia empat
tahun, yaitu persaingan untuk prestise dan pada usia enam tahun, semangat bersaing
ini berkaembang dengan lebih baik.
f. Kerjasama (cooperation), yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok. Anak
yang berusia dua atau tiga tahun belum berkembang sikap kerjasamanya, mereka
masih kuat sikap “self-centered”-nya. Mulai usia tiga tahun akhir atau empat tahun,
anak sudah mulai menampakkan sikap kerja samanya denagn anak lain. Pada usia
enam atau tujuh tahun, sikap kerja sama ini sudah berkembang dengan lebih baik
lagi. Pada usia ini anak mau bekerja kelompok dengan teman-temannya.
g. Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior), yaitu sejenis tingkah laku untuk
menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap “bossiness”. Wujud dari
tingkah laku ini, seperti: meminta, menyuruh, dan mengancam atau memaksa orang
lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
h. Mementingkan diri sendiri (selfishness), yaitu sikap egosentris dalam memenuhi
interest atau keinginsnnys. Anak ingin selalu dipenuhi keinginannya dan apabila
ditolak, maka dia protes dengan menangis, menjerit atau marah-marah.
i. Simpati (sympathy), yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh
perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama dengannya. Seiring
dengan bertambahnya usia, anak mulai dapat mengurangi sikap “selfish”-nya dan
dia mulai mengembangkan sikap sosialnya, dalam hal ini rasa simpati terhadap orang
lain.
Menurut Syamsu Yusuf (2007: 123) mengemukakan perkembangan sosial
merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai
proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok. Moral, dan
tradisi; meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling berkomunikasi dan
bekerjasama.
Dalam perkembangan sosial salah satu aspek yang dikembangkan adalah adalah
kerjasama. Kerjasama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai makhluk sosial.
Semakin modern seseorang maka ia akan semakin banyak bekerja sama dengan orang
lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan perangkat yang
modern pula. Adapun aspek-aspek dalam kerjasama adalah:
1. Membiasakan anak bergaul/berteman dengan teman sebaya dalam melakukan tugas.
2. Membiasakan anak untuk menghargai pendapat atau kemampuan orang lain.
3. Menyadari bahwa kerjasama atau tolong menolong itu sangat penting dan
menyenangkan.
4. Mengembangkan rasa empati pada diri anak.
(Pusat Pendidikan AUD Lembaga Penelitian UNY, 2009: 34)
Kerjasama atau kooperatif adalah gejala saling mendekati untuk mengurus
kepentingan bersama dan tujuan yang sama. Kerjasama dan pertentangan merupakan dua
sifat yang dapat dijumpai dalam seluruh proses sosial/masyarakat, diantara seseorang
dengan orang lain, kelompok dengan kelompok, dan kelompok dengan seseorang
(Saputra dkk, 2005: 39).
Hubungan kerjasama bermakna bagi diri/kelompok sosial sendiri maupun bagi
orang atau kelompok yang diajak kerjasama. Makna timbal balik ini harus diusahakan
dan dicapai, sehingga harapan-harapan motivasi, sikap dan lainnya yang ada pada diri
atau kelompok dapat diketahui oleh orang atau kelompok lain. Insan/kelompok sosial
untuk selalu berinteraksi dengan orang lain atau kelompok lain. Hubungan dengan pihak
lain yang dilaksanakan dalam suatu hubungan yang bermakna adalah hubungan
kerjasama.
Menurut Johnson, dkk (dalam Saputra 2005: 50) bahwa pembelajran kerjasama
dapat didefinisikan sebagai sitem kerja atau belajar kelompok yang terstruktur termasuk
di dalam struktur adalah lima unsur pokok yaitu saling ketergantungan positif tanggung
jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.
2. Manfaat Kerjasama Bagi Anak Usia Dini
Pada usia sekolah interaksi dengan teman pada usia sekolah menjadi lebih
kompleks, lebih selektif, dan secara subjektif lebih menonjol (Erwin dalam Durkin,
1995). Masuknya anak ke sekolah membuat anak menghabiskan lebih banyak waktunya
dengan teman. Kelompok teman sebaya menjadi ciri penting dalam kehidupan sosial.
Pada masa ini, anak diperkirakan akan memilih teman dengan usia yang relative sama.
Mulai usia tujuh tahun, mereka juga akan memilih teman dengan jenis kelamin yang
serupa.
Pada usia ini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri-sendiri
(egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau
memperhatikan kepentingan orang lain). Anak dapat berminat terhadap kegiatan-
kegiatan teman sebayanya, dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi
anggota kelompok (gang), dia merasa tidak senang apabila tidak diterima dalam
kelompoknya.
Berkat perkembangan sosial, anak dapat menyesuaikan dirinya dengan
kelompok teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam
proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau
dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhakn tenaga
fisik (seperti, membersihkan kelas dan halaman sekolah), maupun tugas yang
membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan camping).
Perkembangan sosial berfungsi untuk membantu anak memahami alasan tentang
diterapkannya aturan, seperti keharusan memelihara ketertiban di dalam kelas, dan
larangan masuk atau keluar kelas saling mendahului,membantu anak memahami dan
membiasakan mereka untuk memelihara persahabatan, kerjasama, saling membantu dan
saling menghargai/menghormati, dan memberikan informasi tentang adanya
keberagaman budaya, suku dan agama di masyarakat, atau di kalangan anak sendiri, dan
perlunya saling menghormati di antara mereka.
Belajar bekerja sama mempersiapkan siswa untuk masa depannya di masyarakat
yaitu memacu siswa untuk belajar secara aktif ketika ia bekerja sama dan bukan hanya
pasif. Hal ini memotivasi siswa untuk mencapai prestasi akademik yang lebih baik,
menghormati perbedaan yang ada dan kemajuan dalam kemampuan sosial. Kesemuanya
itu akan membangun kemampuan kerja sama seperti komunikasi, interaksi, rencana
kerja sama, berbagi ide, pengambilan keputusan, mendengarkan, bersedia untuk
berubah, saling tukar ide dan mensintesis ide (Sharan dan Sharan, dalam Suyanto 2005:
154). Belajar bekerja sama juga merupakan sebuah metode yang dapat meningkatkan
prestasi akademik yang implementasinya tidak membutuhkan biaya mahal (Lyman dan
Foyle, dalam Suyanto 2005: 154).
Yudha M. Saputra, dkk (2005: 53) juga mengatakan manfaat pembelajaran
kerjasama adalah: mampu mengembangkan aspek moralitas dan interaksi sosial peserta
didik karena melalui kerjasama anak memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk
berinteraksi dengan anak yang lain, mempersiapkan siswa untuk belajar bagaimana
caranya mendapatkan berbagai pengetahuan dan informasi sendiri, baik guru, teman,
bahan pelajaran ataupun sumber belajar yang lain, meningkatkan kemampuan siswa
untuk bekerja sama dengan orang lain dalam sebuah tim, membentuk pribadi yang
terbuka dan menerima perbedaan yang terjadi, dan membiasakan anak untuk selalu aktif
dan kreatif dalam mengembangkan analisisnya.
Selain itu Manfaat yang dapat dihasilkan melalui pembelajaran kerjasama adalah
anak akan bertambah sikap tanggung jawabnya terhadap dirinya sendiri maupun
anggota kelompoknya, anak akan bangkit sikap solidaritasnya dengan membantu teman
yang memerlukan bantuannya, anak akan merasakan perlunya kehadiran teman dalam
menjalani hidupnya, anak dapat mewujudkan sikap kerjasama dalam kelompok dan
merefleksikannya dalam kehidupan, dan anak mampu bersikap jujur dengan
mengatakan apa adanya kepada teman dalam kelompoknya (Saputra, dkk 2005: 51).
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa manfaat kerjasama anak usia dini
yaitu untuk memupuk rasa percaya diri anak dalam bekelompok bermain bersama
teman-teman sebayanya maupun dalam lingkungan sosialnya, karena anak yang
mempunyai kemampuan kerjasama tinggi akan mudah menyesuaikan diri dengan baik
terhadap lingkungan, terhadap keluarga, sekolah, dan teman-temannya, anak dapat
belajar memahami nilai memberi dan menerima sejak dini, anak juga akan belajar
menghargai pemberian orang lain sekalipun ia tidak menyukainya, menerima kebaikan
dan perhatian teman-temanya.
Dengan kemampuan kerjasama yang baik anak dapat menikmati masa kecilnya. Ia
pun akan tumbuh menjadi orang dewasa yang mempunyai kemampuan adaptasi yang
baik, dan kehidupannya akan lebih bahagia.
3. . Tujuan Kerjasama Anak Usia Dini
Menurut Yudha (2005: 54) tujuan kerjasama untuk anak usia dini yaitu :
a. Untuk lebih menyiapkan anak didik dengan berbagai ketrampilan baru agar dapat ikut
berpartisipasi dalam dunia yang selalu berubah dan terus berkembang.
b. Membentuk kepribadian anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan
berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial.
c. Mengajak anak untuk membangun pengetahuan secara aktif karena dalam
pembelajaran kerjasama (kooperatif), serta anak Taman Kanak-kanak tidak hanya
menerima pengetahuan dari guru begitu saja tetapi siswa menyusun pengetahuan yang
terus menerus sehingga menempatkan anak sebagai pihak aktif.
d. Dapat memantapkan interaksi pribadi diantara anak dan diantara guru dengan anak
didik. Hal ini bertujuan untuk membangun suatu proses sosial yang akan membangun
pengertian bersama
Berdasarkan dua pendapat para ahli mengenai tujuan kerjasama dapat ketahui
bahwa kemampuan kerjasama bertujuan mengembangkan kreativitas anak dalam
berkelompok atau bermain bersama teman-temannya karena jika anak tidak memiliki
kemampuan kerjasama anak belum dapat membedakan antara kondisi dirinya dengan
kondisi orang lain atau anak lain di luar dirinya.
Dari uraian diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa tujuan kemampuan
kerjasama yaitu untuk mengajak anak agar dapat saling tolong menolong, untuk
menciptakan mental anak didik yang penuh rasa percaya diri agar dapat dengan mudah
beradaptasi dengan lingkungan baru, serta dapat meningkatkan sosialisasi anak terhadap
lingkungan.
Kerjasama akan terbentuk apabila semua orang memiliki tujuan serupa tentang hal
yang ingin dicapai. Menetapkan tujuan yang sama untuk semua orang tidak selalu mudah,
karena hamper setiap orang terikat dalam suatu kelompok didasari oleh kepentingan
sendiri yang ingin dicapai oleh keberhasilan kelompok . Tujuan harus dapat
mengantisipasi kepentingan individual yang tergabung dalam kelompok sosial (Yudha
(2005: 41).
Pembelajaran kerjasama dianggap sebagai suatu metode alternative yang mampu
memberikan dampak positif bagi perkembangan siswa, baik dari aspek intelektual
maupun emosional, kaitannya dengan hubungan sosial siswa. Menurut Slawin (dalam
Yudha, 2005: 49) hakikat pembelajaran kerjasama adalah berkembangnya sikap
kerjasama antara anak yang satu dengan anak lainnya.
Selain itu menurut Tedjasaputra (2001: 23) cooperative play atau bermain
bersama ditandai dengan adanya kerjasama atau pembagian tugas dan pembagian peran
antara anak-anak yanng terlibat dalam permainan untuk mencapai tujuan tertentu.
B. Bermain Kucing dan Tikus
1. Bermain dan Permainan Anak Usia dini
Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2005: 2) Bermain dapat diartikan sebagai
kegiatan yang dilakukan demi kesenangan dan tanpa mempertimbangkan hasil akhir.
Kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela, tanpa paksaan atau tekanan dari pihak
luar. (Hurlock, dalam Tadkiroatun Musfiroh 2005: 2)
Walaupun sama-sama mengandung unsur aktivitas, bermain dibedakan dari
bekerja. Bekerja merupakan kegiatan yang berorientasi pada hasil akhir, sedangkan
bermain tidak. Hasil akhir dalam kegiatan bermain bukanlah sesuatu hal yang penting.
Kegiatan dalam bermain menimbulkan kesenagan bagi pelakunya, sedangkan dalam
bekerja efek tersebut tidak selalu muncul.
Meskipun definisi bermain dan bekerja dapat dibedakan, tetapi
mengklasifikasikan suatu kegiatan ke dalam dua kategori tersebut, bukanlah hal
mudah. Artinya, hampir tidak ada satu kegiatan pun yang dapat diklasifikasikan secara
eksklusif. Apakah suatu kegiatan termasuk dalam satu kategori tertentu, tidak saja
ditentukan oleh kegiatan itu sendiri melainkan juga oleh sikap individu terhadap
aktivitas tersebut. Kegiatan menggambar, misalnya, dapat dikategorikan sebagai
bermain dan dapat pula dikategorikan sebagai bekerja. Apabila anak melakukannya
dengan tujuan kesenangan, maka anak melakukan kegiatan bermain.
Sebaliknya, apabila anak melakukannya dengan tujuan menyelesaikan tugas,
maka kegiatan itu tergolong sebagai bekerja.
Bermain bagi anak berkaitan dengan peristiwa, situasi, iteraksi, dan aksi.
Bermain mengacu pada aktivitas seperti berlaku pura-pura dengan benda, sosiodrama,
dan permainan yang beraturan. Bermain berkaitan dengan tiga hal, yakni keikutsertaan
dalam kegiatan, aspek afektif, dan orientasi tujuan. Lebih lanjut anak-anak mengatakan
bahwa bermain bersifat mana suka, sedangkan bekerja tidak demikian. Bermain
dilakukan karena ingin dan bekerja dilakukan karena harus. Bermain berkaitan denagn
kata “dapat” dan bekerja berkaitan dengan kata “harus”. Bagi anak-anak, bermain
adalah aktivitas yang dilakukan karena ingin, bukan karena harus memenuhi tujuan
atau keinginan orang lain. Bermain tidak memerlukan konsentrasi penuh, tidak
memerlukan pemikiran yang rumit. Sebaliknya, bekerja menuntut konsentrasi penuh,
harus belajar, dan menggunakan pikiran secara tercurah. Anak juga memandang
bermain sebagai kegiatan yang tidak memiliki target. Mereka dapat saja meninggalkan
kegiatan bermainkapan pun mereka mau, dan sebaliknya, bekerja memiliki target.
Mereka dapat saja meninggalkan kegiatan bermain kapan pun mereka mau, dan
sebaliknya, bekerja memiliki target, harus diselesaikan, dan tidak dapat berbuat
sekehendak hati. Bagi mereka, bermain adalah kebutuhan sedangkan bekerja adalah
sebuah keharusan. (Wing, dalam Tadkiroatun Musfiroh 2005: 4 ).
Menurut Montolalu, dkk (2009: 1.2) dunia anak adalah dunia bermain.
Bermain terungkap dalam berbagai bentuk apabila anak-anak sedang beraktifitas.
Dalam kehidupan anak, bermain mempunyai arti yang sangat penting. Dapat di
katakana bahwa setiap anak yang sehat selalu mempunyai dorongan untuk bermain
sehingga dapat dipastikan bahwa anak yang tidak bermain-main pada umumnya dalam
keadaan sakit, jasmaniah ataupun rohaniah.
Menurut Sofia Hartati, (2005: 85) mengemukakan bermain adalah sebuah
sarana yang dapat mengembangkan anak secara optimal. Sebab bermain berfungsi
sebagai kekuatan, pengaruh terhadap perkembangan, dan lewat bermain pula didapat
pengalaman yang penting dalam dunia anak. Hal inilah yang menjadi dasar dari inti
pembelajaran pada anak usia dini.
Sedangkan menurut Moeslichatun (2004: 32) bermain juga merupakan tuntutan
dan kebutuhan yang esensial bagi anak TK. Melalui bermain anak akan dapat
memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif,
kretivitas, bahasa, emosi, sosial, nilai, dan sikap hidup.
Menurut Hidayatullah (2008: 5) permainan adalah berbagai bentuk kompetisi
bermain penuh yang hasilnya ditentukan oleh: keterampilan fisik, strategi, atau
kesempatan, dan yang dilakukan secara perorangan atau gabungan (Mcpherson dalam
Hidayatullah 2008: 5).
Seperti halnya bermain, permainan biasanya bersifat terstruktur dan memiliki
hasil yang dapat diprediksi. Anak bermain permainan dalam fikirannya memiliki tujuan
tertentu. Anak tidak memiliki kebebasan yang luas untuk mengikuti gerak hati dan
lebih terbatas karena perilakunya menjadi bagian untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Di dalam permainan, anak meletakkan keterbatasan-keterbatasan pada
dunia bermain dan mengubah bermain menjadi suatu pertunjukkan kontes (contest).
Batasan-batasannya meliputi batas-batas tempat dan waktu, mengikuti aturan, dan
tujuan-tujuan yang dinyatakan dengan jelas.
Permainan dimainkan dengan membutuhkan banyak keterikatan dan banyak
energy, lebih kuat dan serius daripada bermain, dan lebih memungkinkan memberikan
penghargaan terhadap pemenuhan dan keberhasilan. Oleh karena itu, permainan dapat
didefinisikan sebagai aktifitas yang dibatasi oleh aturan-aturan yang lengkap dan
terdapat suatu kontes di antara para pemain agar supaya menghasilkan hasil yang dapat
diprediksi. Dengan kata lain bahwa permainan adalah kontes sukarela yang didasari
peraturan dan tujuan-tujuan yang dinyatakan dengan jelas. Morris, dkk (dalam
Hidayatullah 2008: 5).
2. Perkembangan Bermain
Mildred Partten (dalam Tedjasaputra, 2001: 21-23) menyoroti kegiatan bermain
sebagai sarana sosialisasi dan mengamati ada enam bentuk interaksi antar anak yang
terjadi saat mereka bermain. Pada keenam bentuk kegiatan bermain tersebut terlihat
adanya peningkatan kadar interaksi sosial, mulai dari kegiatan bermain sendiri sampai
bermain bersama. Tahapan perkembangan bermain yang mencerminkan tingkat
perkembangan sosial anak adalah sebagai berikut:
a. Unoccuppied Play (tidak benar-benar terlibat dalam kegiatan bermain)
b. Solitary Play (bermain sendiri)
c. Onlooker Play (pengamat)
d. Paralel Play (bermain parallel).
e. Assosiative Play (bermain asosiatif).
f. Cooperative Play (bermain bersama)
Cooperative Play atau bermain bersama, ditandai dengan adanya
kerjasama atau pembagian tugas antara anak-anak yang terlibat dalam permainan untuk
mencapai satu tujuan tertentu. Misalnya bermain dokter-dokteran. Kegiatan bermain
bersama teman sebenarnya merupakan sarana untuk anak bersosialisasi atau bergaul
serta berbaur dengan orang lain. Dari beberapa perkembangan bermain, peneliti akan
menggunakan salah satu perkembangan yaitu bermain bersama (cooperative play).
Dalam tahapan perkembangan bermain anak, peneliti hanya akan menggunakan
salah satu tahapan perkembangan bermain yaitu bermain bersama (cooperative play).
Menurut Catron dan Allen (dalam Mutiah, 2010: 149) aspek-aspek
perkembangan bermain yakni meningkatkan kompetensi sosial, bermain mendukung
perkembangan sosialisasi dalam hal-hal berikut:
a. Interaksi sosial, yakni interaksi dengan teman sebaya, orang dewasa, dan
memecahkan konflik.
b. Kerjasama, yakni interaksi saling membantu, saling berbagi, dan pola bergiliran.
c. Menghemat sumber daya, yakni menggunakan dan menjaga benda-benda dan
lingkungan secara tepat.
d. Perduli terhadap orang lain, seperti memahami dan menerima pebedaan individu,
memahami masalah multi budaya.
3. Fungsi Bermain
Menurut Moeslichatoen (2004: 33) fungsi bermain bagi anak TK sesuai dengan
pengertian bermain yang merupakan tuntutan dan kebutuhan bagi perkembangan anak
usia TK, menurut Hartley, Frank dan Goldenson (dalam Moeslichatun 2004: 33) ada 8
fungsi bermain bagi anak:
a. Menirukan apa yang dilakukan oleh oaring dewasa. Contohnya, meniru Menirukan
apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Contohnya, meniru ibu memasak di dapur,
dokter mengobati orang sakit, dan sebagainya.
b. Untuk melakukan berbagai peran yang ada di dalam kehidupan nyata seperti guru
mengajar di kelas, sopir mengendarai bus, petani menggarap sawah, dan
sebagainya.
c. Untuk mencerminkan hubungan dalam keluarga dan pengalaman hidup yang
nyata. Contohnya ibu memandikan adik, ayah membaca Koran, kakak
mengerjakan tugas sekolah, dan sebagainya.
d. Untuk menyalurkan perasaan yang kuat seperti memukul-mukul kaleng, menepuk-
nepuk air, dan sebagainya.
e. Untuk melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima seperti berperan
sebagai pencuri, menjadi anak nakal, pelanggar lalu lintas, dan lain-lain.
f. Untuk kilas balik peran-peran yang biasa dilakukan seperti gosok gigi, sarapan
pagi, naik angkutan kota, dan sebagainya.
g. Mencerminkan pertumbuhan seperti pertumbuhan misalnya semakin bertambah
tinggi tubuhnya, semakin gemuk badannya, dan semakin dapat berlari cepat.
h. Untuk memecahkan masalah dan mencoba berbagai penyelesaian masalah seperti
menghias ruangan, menyiapkan jamuan makan, pesta ulang tahun.
Sedangkan menurut Hetherington & Parke (dalam Moeslichatun 2004: 34)
bermain juga berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif anak. Dengan
bermain akan memungkinkan anak meneliti lingkungan, mempelajari segala sesuatu,
dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Bermain juga meningkatkan
perkembangan sosial anak. Dengan menampilkan bermacam peran, anak berusaha
untuk memahami peran orang lain dan menghayati peran yang akan diambilnya setelah
ia dewasa kelak.
Sejalan dengan Hetherington & Parke di atas, Dworetsky (dalam Moeslichatun
2004: 34) juga mengemukakan bahwa fungsi bermain dan interaksi dalam permainan
mempunyai peran penting bagi perkembangan kognitif dan sosial anak.
Fungsi bermain tidak saja dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial,
tetapi juga perkembangan bahasa, disiplin, perkembangan moral, kreatifitas, dan
perkembangan fisik anak.
Beberapa fungsi bermain yang lain akan dibicarakan di bawah ini:
a. Mempertahankan Keseimbangan
Kegiatan bermain dapat membantu penyaluran kelebihan tenaga. Setelah
melakukan kegiatan bermain anak memperoleh keseimbangan antara kegiatan
dengan menggunakan kekuatan tenaga dan kegiatan yang memerlukan ketenagaan.
Bermain juga memberikan penyaluran dorongan emosi secara aman, misalnya
melepaskan dorongan-dorongan yang tidak dapat diterima dalam kehidupan nyata.
Dalam situasi bermain anak dapat berkhayal mejadi seorang presiden, seorang
polisi, sopir, ayah/ibu, bahkan menjadi pencuri, pemberontak, dan sebagainya.
Dalam dunia nyata tingkah laku semacam itu tidak mungkin terjadi. Anak tidak
dapat berbuat hal-hal menentang peraturan atau yang tidak lazim. Di dunia mereka
harus berpakaian rapi, membersihkan diri sebelum makan, sopan terhadap orang
tua, dan sebagainya. Sedangkan dalam kegiatan bermain anak dapat menyalurkan
perasaan dengan sepuas-puasnya.
b. Menghayati Berbagai Pengalaman yang Diperoleh dari Kehidupan Sehari-hari
Anak yang bermain seolah-olah ia sedang dalam perjalanan kereta api atau
melakukan jual beli, atau sedang menyuntik pasien, mengatur meja makan, atau
membersihkan rumah, adalah kegiatan bermain yang didasarkan pada
penghayatan terhadap peristiwa-peristiwa yang dialaminya dalam kehidupan
sehari-hari. Fungsi bermain sebagai sarana untuk menghayati kehidupan sehari-
hari ini berguna untuk menumbuhkan kebiasaan pada anak, selain juga mengenal
berbagai profesi contohnya bila orang sakit harus berobat ke puskesmas, bila sakit
gigi berobat ke dokter gigi, untuk menyiapkan makanan harus belanja ke pasar
terlebih dahulu dan seterusnya. Situasi ini misalnya akan mendorong anak
bermain sebagai dokter kecil, atau jadi ibu dengan kesungguhan hati dan penuh
kegembiraan.
Fungsi bermain yang satu ini juga memiliki nilai terapeutik. Misalnya, bila
anak selalu dimanjakan dalam keluarga, ia mungkin tidak akan menyukai
kehadiran anak lain di rumahnya. Kehadiran anak lain dapat dianggap merupakan
saingan baginya atau ancaman berkurangnya kasih sayang yang akan
diperolehnya. Bila ia diperkenankan bermain dengan boneka atau binatang
peliharaan, anak dapat menyalurkan perasaan kasih sayangnya kepada boneka
atau binatang tersebut sehingga ia dapat mengembangkan empati dari dalam
dirinya. Permainan lain yang bersifat terapeutik adalah kegiatan menggambar,
bermain dengan air, tanah liat atau lilin.
c. Mengantisipasi Peran yang Akan Dijalani di Masa yang Akan Datang
Meskipun anak berpura-pura memerankan seorang ibu/ayah, perawat, atau
sopir truk, namun sebenarnya kegiatan tersebut merupakan upaya untuk
mempersiapkan anak melaksanakan peran tersebut kelak. Berperan sebagai orang
tua, berarti mencoba menghayati perilaku, perasaan, dan sikap sebagai orang tua,
sehingga bila seorang anak laki-laki dengan bangga memernakan peran ayah,
umpamanya memekai dasi, berangkat ke kantor, menerima tamu, berekreasi
dengan anak-anak ia dapat merasa benar-benar sebagai ayah.
d. Menyempurnakan Keterampilan-keterampilan yang Dipelajari
Anak TK merupakan pribadi yang sedang tumbuh. Dengan demikian anak
selalu berusaha menggunakan kekuatan tubuhnya. Hal ini sejalan dengan
pertumbuhan geraknya. Pada usia 3 tahun anak baru mulai belajar mengendarai
sepeda roda tiga dan mencoba untuk menguasainya. Menginjak usia 4 tahun ia
dengan mudah mengendarai sepeda roda tiga tersebut. Semakin bertambah
usianya semakin mantap keterampilannya mengendarai sepeda roda tiga tersebut.
Bahkan anak ingin mencoba mengendarai sepeda roda dua.
Bukan hanya keterampilan gerak yang dimantapkan, tetapi juga interaksi
sosial. Bermain merupakan latihan spontan untuk meningkatkan keterampilan
tersebut.
e. Menyempurnakan Keterampilan Memecahkan Masalah
Masalah yang dihadapi oleh anak sehari-hari dapat bersifat masalah
emosional, sosial, maupun intelektual.
Anak dapat menggunakan kegiatan bermain sebagai sarana untuk
memecahkan persoalan intelektualnya. Dengan bermain anak dapat menyalurkan
rasa ingin tahunya seperti bagaimana caranya memasak air, mengapa pohon layu
bila tidak diberi air, mengapa es mencair di udara terbuka, dan sebagainya.
f. Meningkatkan Keterampilan Berhubungan dengan Anak Lain
Melalui kegiatan bermain anak memperoleh kesempatan untuk
meningkatkan keterampilan bergaulnya seperti bagaimana menghindari
pertentangan dengan teman, bagaimana tidak memaksakan kehendak kepada
orang lain, berbagi kesempatan menuntut hak dengan cara yang dapat diterima,
mengkomunikasikan keinginan, dan bagaimana caranya mengungkapkan
perasaan serta kebutuhannya.
4. Bermain Kucing dan Tikus
Menurut Montolalu (2009: 4.35) bermain Kucing dan Tikus salah satu
permainan yang dilakukan secara berkelompok yang sifatnya tidak terlalu formal.
Dalam permainan ini, anak dibantu untuk menyesuaikan diri, mengetahui perasaan
dalam satu kelompok dan tiap anak harus ikut aktif.
Melalui bermain, anak akan semakin mahir bersosialisasi dengan orang lain dan
teman-teman sebayanya. Bersosialisasi diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk dapat berbaur dengan orang lain, menyesuaikan diri dengan kegiatan dan
kebiasaan kelompok, dan dengan segala macam orang yang memiliki karakteristik
unik.
Dalam bermain Kucing dan Tikus termasuk permainan yang memerlukan
kerjasama di antara para pemain dalam mengikuti dan menaati peraturan yang tegas
dan prilaku-perilaku bermain-permainan (game-play behaviors) yang lengkap.
Menurut Pusat Studi Pendidikan Anak Usia Dini Lembaga Penelitian UNY,
2009: 34) permainan Kucing dan Tikus di mana dalam permainan ini ada yang
berperan sebagai tikus, kucing, dan pagar.
5. Tujuan Bermain Kucing dan Tikus
Menurut Montolalu, dkk (2009: 4.35) mengatakan bermain Kucing dan Tikus
bertujuan:
a. Anak mengetahui peraturan permainan yang harus ditaati.
b. Anak belajar menyesuaikan diri dengan orang lain.
c. Mulai memikirkan strategi bermain.
Dalam membina hubungan dalam kelompok anak belajar untuk dapat
berperan serta, dan meningkatkan hubungan kelompok, meningkatkan hubungan
antarpribadi, mengenal identitas kelompok, dan belajar bekerja dalam kelompok. Di
samping itu, anak belajar untuk mengikuti jadwal dan pola kegiatan sehari-hari,
mengadaptasi dengan hal-hal rutin sekolah, serta mengenal peraturan dan
pengharapan sekolah (Moeslichatun, 2004: 23).
Dalam kegiatan bermain kerjasama, anak-anak akan terlibat di dalam kegiatan
bermain bersama teman yang ditandai oleh kerjasama. Terjadi pembagian tugas atau
pembagian peran diantara mereka untuk mencapai suatu tujuan (Rini Hildayani,
2008: 4.14).
6. Macam-macam Cara Bermain Kucing dan Tikus
Menurut Bambang Sujiono (2009: 10.6) anak-anak dijadikan dua kelompok,
salah satu kelompok membuat lingkaran sambil berpegangan tangan, sedangkan
kelompok yang lainnyamenjadi tikusnya. Kemudian, tunjukklah seorang untuk
menjadi kucingnya. Anak-anak yang menjadi tikus berada di dalam lingkaran.
Apabila ada tanda mulai atau bunyi peluit maka segera kucing mengejar tikus dan
tikus lari menyelamatkan diri agar tidak tertangkap oleh kucing. Apabila ada tikus
tertangkap maka harus menjadi kucing dan yang tadi menjadi kucing bertukar
menjadi tikus. Setelah 5 sampai 10 menit, anak-anak berganti kelompok, yang
menjadi tikus membuat lingkaran, dan yang tadinya menjadi lingkaran berubah
menjadi kucing dan tikus.
Menurut Hidayatullah (2008: 22) menjelaskan ada 5 macam cara dalam
bermain kucing dan tikus yaitu:
1. Kucing dan Tikus I
Dalam bangsal senam atau pada tempat terbatas lain yang cukup luasnya.
Salah satu anak ditunjuk sebagai kucing. Anak-anak yang lain menjadi tikus dan
bergerak bebas dalam tempat itu. Dengan bunyi peluit guru, kucing mulai
mengejar-ngejar tikus-tikus itu. Setelah ada 3, atau sejumlah lain yang ditetapkan
tertangkap, tikus yang tertangkap pertama menjadi kucing. Tikus yang lari keluar
batas karena takut tertangkap, dianggap sebagai tertangkap.
Catatan:
(1). Ada baiknya kucing pada permulaan ditempatkan pada salah satu sudut
gelanggang.
(2). Jika jumlah anak terlalu banyak dibuatkan 2 buah gelanggang, kucing
gelanggang I dan kucing gelanggang II dahulu-mendahului menangkap jumlah
Tikus yang telah ditetapkan.
(3). Kucing yang lemah (kecil, betina) harus diganti, biar pun belum dapat
menangkap tikus.
2. Kucing dan Tikus II (dalam lingkaran)
Dua pertiga jumlah anak membuat lingkaran. Mereka berdiri biasa, tangan
kebawah. Seorang anak dari yang sepertiga menjadi kucing dan berdiri dulu diluar
lingkaran. Dengan tepuk tangan guru, kucing mulai mengejar-ngejar tikus. Baik
kucing maupun tikus bebas keluar lingkaran. Tikus yang lari lebih dari jarak 5 m
dari lingkaran dianggap sebagai tertangkap. Tikus yang tertangkap menjadi kucing
dan kucing menjadi tikus. Sesudah 1/3 waktu yang disediakan untuk permainan itu
berakhir, kelompok baru (1/3 yang lain) ber”aksi, hingga semua anak mendapat
giliran sebagai tikus atau kucing.
3. Kucing dan Tikus III
Seperti Kucing dan Tikus II, hanya anak-anak yang merupakan lingkaran
(berposisi melingkar) berpegangan tangan. Baik kucing maupun tikus tidak boleh
dirintangi.
4. Kucing dan Tikus IV
(1). Seperti Kucing dan Tikus II , akan tetapi sekarang lingkaran boleh merintangi
dengan jalan membungkukkan badan, hingga tangan dan lengan menjadi
rendah sekali. Lingkaran bebas untuk merintangi kucing dan tikus.
(2). Dapat juga ditetapkan yang boleh dirintangi hanya sikucing.
5. Kucing dan Tikus V
Dalam bangsal senam atau lapangan terbatas, disediakan beberapa simpai
dari rotan atau bambu. Di bangsal berubin cukup diberi lingkaran dengan kapur.
Lingkaran-lingkaran itu merupakan tempat perlindungan bagi tikus dan hanya
dapat dipergunakan oleh satu tikus. Jika tempat perlindungan itu berisikan dua atau
lebih, maka yang berhak atas perlindungan itu adalah yang terakhir memasukinya.
Jalan permainan seperti Kucing dan Tikus I. Tikus yang berlindung tidak boleh
ditangkap.
Dari macam-macam cara bermain Kucing dan Tikus peneliti hanya
menggunakan cara bermain menurut Hidayatullah (2008: 22) yaitu cara bermain
Kucing dan Tikus III, Kucing dan Tikus IV, dan Kucing dan Tikus V yang
menitikberatkan indikator dapat bergabung, terlibat aktif dan dapat membina
hubungan dengan teman dalam permainan.
C. Kriteria Keberhasilan
1. Pedoman Penilaian
Menurut Departemen Agama RI (2004: 50) penilaian merupakan usaha
mengumpulkan dan menafsirkan berbagai informasi secara sistematis, berkala,
berkelanjutan, menyeluruh tentang proses dan hasil dari pertumbuhan dan perkembangan
yang telah dicapai oleh anak didik melalui kegiatan kegiatan pembelajaran. Cara
pencatatan hasil penilaian harian dilaksanakan sebagai berikut :
○ : Untuk anak yang perilakunya belum sesuai dengan indikator yang diharapkan.
√ : Untuk anak yang beradapada pada tahap proses menuju indikator yang diharapkan.
● : Anak yang perilakunya melebihi indikator yang diharapkan dan sudah dapat
menyelesaikan tugas melebihi yang direncanakan guru.
Lebih lanjut menurut Depdiknas (2004: 6) cara penilaian hasil penilaian harian
dilaksanakan sebagai berikut:
o : Dapat digunakan juga untuk menunjukkan bahwa anak melakukan/
menyelesaikan tugas selalu dengan bantuan guru.
• : dapat digunakan juga untuk menunjukkan bahwa anak mampu melakukan/
menyelesaikan tanpa bantuan guru.
√ : Artinya kemampuan anak cukup.
Menurut Pedoman penilaian Kemendiknas dirjen Mandas dan menengah
Direktorat Pembinaan TK SD (2010: 11):
a. Catatan hasil penilaian harian perkembangan anak dicantumkan pada kolom pada
penilaian di RKH.
b. Anak yang belum berkembang (BB) sesuai dengan indikator
Seperti ; dalam melaksanakan tugas selalu dibantu guru, maka pada kolom
penilaian ditulis nama anak dan diberi tanda satu bintang ( ).
c. Anak yang sudah mulai berkembang (MB) sesuai dengan indikator seperti yang
diharapkan RKH mendapatkan tanda dua bintang ( )
d. Anak yang sudah berkembang sesuai harapan (BSH) pada indikator dalam RKH
mendapat tanda tiga bintang ( ).
e. Anak yang berkembang sangat baik (BSB) melebihi indikator seperti yang
diharapkan dalam RKH mendapatkan tanda empat bintang ( ).
Sedangkan Menurut (Yus, 2005: 53) mengatakan bahwa banyak alat penilaian
yang dapat digunakan untuk memperoleh data penilaian, namun tidak semua alat
penilaian dapat mengungkap semua dimensi pertumbuhan dan perkembangan anak
didik yang akan diungkap. Penilaian yang dilakukan di Taman Kanak-kanak
biasannya dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya kegiatan pelaksanaan
proses kegiatan pembelajaran. Ketika anak sedang melakukan kegiatan, pada saat itu
dan di tempat itu juga penilaian dilakukan, sehingga guru harus benar-benar
mencermati kapan waktu yang tepat untuk mengambil data penilaian selama
kegiatan berlangsung.
Dari beberapa pendapat prosedur penilaian diatas peneliti menggunakan
Pedoman penilaian Tahun 2010 (Kemendiknas dirjen Mandas dan menengah Direktorat
Pembinaan TK SD.
1. Indikator Keberhasilan
Menurut Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini (2003: 28) indikator
kerjasama adalah:
1. Senang bermain dengan teman (tidak bermain sendiri).
2. Dapat melaksanakan tugas kelompok.
3. Dapat memuji teman/ orang lain.
Menurut Pusat Studi Pendidikan Anak Usia Dini Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Yogyakarta 2009: 35) indikator kerjasama adalah:
1. Anak dapat bergabung dalam permainan kelompok.
2. Anak dapat terlibat aktif dalam permainan kelompok.
3. Anak bersedia berbagi dengan teman-temannya.
4. Anak dapat mendorong anak lain untuk membantu orang lain.
5. Anak merespon dengan baik bila ada yang menawarkan bantuan.
6. Anak bergabung bermain dengan teman saat istirahat.
7. Anak mengucapkan terima kasih apabila dibantu teman.
Menurut Tedjasaputra, (2001: 88) indikator dalam kemampuan kerjasama adalah:
1. Anak dapat membina dan mempertahankan hubungan dengan teman.
2. Anak mau berbagi dengan teman yang lain.
3. Anak mau menghadapi masalah bersama-sama.
4. Mau menunggu giliran.
5. Belajar mengendalikan diri.
6. Mau berbagi.
Dari indikator di atas peneliti hanya mengambil 3 indikator yaitu:
Tabel II.1
Indikator Kemampuan Kerjasama
No. Indikator Keberhasilan Kriteria Penilaian
keterangan
1. Anak dapat bergabung dalam permainan kelompok a. Anak ikut serta berkumpul dalam permainan Kucing dan
Tikus. b. Dapat menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan anak yang lain.
2. Anak dapat terlibat aktif dalam permainan kelompok a. Mau ikut berbaris dalam bermain Kucing dan Tikus. b. Mau mengikuti pembagian tugas dalam permainan Kucing dan Tikus (Kucing, Tikus dan pagar).
3. Dapat membina hubungan dengan teman. a.Dapat berkomunikasi dengan teman. b.Saling memberi semangat antar teman saat bermain.
Keterangan:
: Anak yang belum berkembang (BB)
: Anak sudah mulai berkembang (MB)
: Anak yang sudah berkembang sesuai harapan (BSH)
: Anak yang berkembang sangat baik (BSB)
D.Hubungan Antara Bermain Kucing dan Tikus Dengan Kemampuan Kerjasama
Dalam teori belajar sosial menerangkan bahwa bermain merupakan alat untuk
sosialisasi. Dengan bermain bersama anak lain, anak akan mengembangkan kemampuan
memahami perasaan, ide, dan kebutuhan orang lain yang meruapakn dasar dari kemampuan
sosial. Vigotsky (dalam Tedjasaputra, 2001: 9) menyatakan bahwa pada saat bermain anak
menunjukkan kemampuan diatas biasanya, diatas perilaku kesehariannya dan seakan-akan ia
lebih tinggi dari sebenarnya.
Pemahaman tentang kerjasama pada anak usia TK dapat diberikan secara alami lewat
bermain dan bercerita. Beberapa perilaku yang dapat ditanamkan melalui proses
pembelajaran di TK yang menstimulasi kerjasama adalah membiasakan anak
bergaul/berteman dengan teman sebaya dalam melakukan suatu tugas, membiasakan anak
untuk menghargai pendapat atau kemampuan orang lain, menyadari bahwa kerjasama atau
tolong menolong itu sangat penting dan menyenangkan, serta mengembangkan rasa empati
pada diri anak.
Pendidik memberi pengertian pentingnya kerjasama dan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari kepada anak lewat contoh permainan. Misalnya permainan kucing dan
tikus dimana dalam permainan ini ada yang berperan sebagai tikus, kucing dan pagar (Pusat
Studi Pendidikan Anak Usia Dini Lembaga Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta, 2009:
34). Dengan Permainan Kucing dan Tikus anak dituntut kerjasama dengan anak yang lain
yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu peran sebagai pagar.
E.Kerangka Berpikir
Kondisi Awal
Dalam pembelajaran guru belum menggunakan kemampuan kerjasama anak
Dilakukan upaya perbaikan dengan Penelitian Tindakan Kelas
Kondisi kemampuan kerjasama anak sudah meningkat, ada perbaikan tapi belum maksimal
Kemampuan kerjasama anak berkembang tapi masih belum seluruh anak mampu kerjasama
Siklus I Pembelajaran menggunakan permainan kucing dan tikus untuk meningkatkan kemampuan kerjasama anak
Siklus II
Hasil yang dicapai belum mencapai 80% maka permainan dimaksimalkan
Kemampuan kerjasama anak sudah maksimal sudah mencapai
80 %
Terjadi peningkatan yang maksimal pada kemampuan kerjasama anak dan penelitian berhasil
Gambar II.1 Kerangka Berfikir
Tujuan pembelajaran akan tercapai sesuai yang diharapkan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang saling mendukung, salah satu faktor yang memiliki peran dalam
rangka mencapai tujuan adalah ketepatan mengorganisir peserta didik. Guru sebagai
pemegang kendali di kelas mempunyai tanggung jawab yang besar. Oleh karena itu, guru
dituntut untuk menggunakan media pembelajaran yang membawa pengaruh besar pada
pola pikir siswa dalam peningkatan kemampuan kerjasama melalui metode bermain kucing
dan tikus.
Penelitian tindakan kelas ini akan dilaksanakan oleh peneliti dalam sekurang-
kurangnya dua siklus yaitu Siklus I dan Siklus II. Tiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu
perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi, kemudian apabila siklus II belum berhasil,
maka akan dilanjutkan ke siklus
berikutnya. Peneliti sebelumnya harus mengetahui kondisi awal siswa sebelum
diterapkan metode bermain kucing dan tikus dalam mengembangkan kemampuan
kerjasama.
Pada siklus I penulis memulai dengan tahap perencanaan terlebih dahulu untuk
mempersiapkan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk melakukan penelitian yang
dilakukan oleh guru kelas. Tahap selanjutnya yaitu mempersiapkan lembar observasi untuk
aktivitas siswa, guru dan penilaian terhadap pembuatan RKH yang telah disesuaikan
dengan sikap kerjasama.
Tindakan, artinya melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas dengan
menggunakan metode bermain kucing dan tikus. Dalam pelaksanaannya yang dilakukan
oleh guru pertama kali adalah melakukan apresepsi, demonstrasi, dan pemberian tugas.
Selanjutnya adalah pelaksanaan metode bermain kucing dan tikus yang dimulai dari
penjelasan peraturan dalam bermain.
Pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung peneliti akan melaksanakan
kegiatan observasi terhadap aktivitas guru maupun aktivitas siswa. Selanjutnya apabila
hasil belajar sudah diperoleh, maka guru akan merefleksikan segala kegiatan-kegiatan yang
terjadi pada tahap tindakan di siklus I, apabila ada kemajuan kemampuan kerjasama anak
maka akan dipertahankan, tetapi kalau ada kelemahan atau kekurangan maka akan
diperbaiki pada siklus II.
Pada siklus II, pelaksanaannya sama seperti pelaksanaan siklus I yaitu terdiri dari
empat tahap. Sama seperti siklus I, pada siklus II juga dimulai dengan perencanaan, Di
dalam tahap perencanaan, peneliti merencanakan segala sesuatu dengan tujuan untuk
memperbaiki kekurangan pada siklus I. Setelah itu, peneliti akan melaksanakan tahap
tindakan dan observasi, dan melakukan evaluasi pada kegiatan akhir melalui percakapan
dengan anak. Peneliti akan melihat dan membandingkan hasil dari siklus I dengan hasil
dari siklus II untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang dialami oleh siswa kelompok B
di TK Pertiwi 2 Krangean.
Berdasarkan pada masih rendahnya kemampuan kerjasama pada siswa kelompok B
di TK Pertiwi 2 Krangean yang disebabkan karena anak belum menunjukkan kemampuan
kerjasama. Pemecahan masalah yang dipilih adalah melalui metode bermain kucing dan
tikus. Dengan metode bermain kucing dan tikus ini diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan kerjasama anak di TK Kelompok B TK Pertiwi 2 Krangean di Kabupaten
Purbalingga.
F. Hipotesis Tindakan
Dengan metode bermain Kucing dan Tikus anak dapat meningkatkan kemampuan
kerjasama dengan teman yang lain pada anak Kelompok B TK Pertiwi 2 Krangean
Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga.