54
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius Descendens Sindroma miofasial adalah kondisi yang bercirikan adanya regio yang hipersensitif, yang disebut sebagai Trigger Area pada otot atau jaringan ikat longgar yang bersama-sama dengan adanya reaksi nyeri spesifik pada daerah yang berhubungan dengan titik itu pada saat Trigger Point (Myofascial Trigger Point) dan Tender Point diberi suatu rangsangan. yang ditandai dengan terdapatnya trigger points yang dijumpai pada taut band serabut otot yang membentuk seperti jalinan tali dan lunak, ketika disentuh atau dipalpasi, menimbulkan respon kejang lokal yang dikenal sebagai jump sign yang merupakan sebuah pemendekan pada serabut otot yang mengalami fibrosis (Wodsworth, 2010). Sindroma miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau beberapa titik picu (trigger points) dan dicirikan oleh nyeri otot kronis dengan peningkatan sensitivitas terhadap tekanan. Tipe rasa sakit berupa sensasi dalam dan tumpul pada otot yang terkena dan sering menjalar ke daerah yang tidak spesifik disekitar otot yang terkena. Sekolompok otot tegang dapat teraba dan masa yang dapat teraba ini sering disebut sebagai “trigger points”. Taut band ini sangat sensitif terhadap tekanan dan pasien merasa nyeri tajam ketika tekanan dilakukan tepat pada titiknya. Keluhan sindroma miofasial bukan dari artikuler, tetapi akan mengurangi lingkup gerak sendi pada sendi yang terkait dengan otot tersebut (Werenski, 2011). 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

  • Upload
    lenhi

  • View
    253

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius Descendens

Sindroma miofasial adalah kondisi yang bercirikan adanya regio yang

hipersensitif, yang disebut sebagai Trigger Area pada otot atau jaringan ikat

longgar yang bersama-sama dengan adanya reaksi nyeri spesifik pada daerah yang

berhubungan dengan titik itu pada saat Trigger Point (Myofascial Trigger Point)

dan Tender Point diberi suatu rangsangan. yang ditandai dengan terdapatnya

trigger points yang dijumpai pada taut band serabut otot yang membentuk seperti

jalinan tali dan lunak, ketika disentuh atau dipalpasi, menimbulkan respon kejang

lokal yang dikenal sebagai jump sign yang merupakan sebuah pemendekan pada

serabut otot yang mengalami fibrosis (Wodsworth, 2010).

Sindroma miofasial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau

beberapa titik picu (trigger points) dan dicirikan oleh nyeri otot kronis dengan

peningkatan sensitivitas terhadap tekanan. Tipe rasa sakit berupa sensasi dalam

dan tumpul pada otot yang terkena dan sering menjalar ke daerah yang tidak

spesifik disekitar otot yang terkena. Sekolompok otot tegang dapat teraba dan

masa yang dapat teraba ini sering disebut sebagai “trigger points”. Taut band ini

sangat sensitif terhadap tekanan dan pasien merasa nyeri tajam ketika tekanan

dilakukan tepat pada titiknya. Keluhan sindroma miofasial bukan dari artikuler,

tetapi akan mengurangi lingkup gerak sendi pada sendi yang terkait dengan otot

tersebut (Werenski, 2011).

8

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

9

Sindroma dicirikan dengan adanya spasme otot, tenderness, stiffness

(kekakuan), keterbatasan gerak, kelemahan otot dan sering pula timbul disfungsi

autonomik pada area yang dipengaruhi yang umumnya gejala timbul cukup jauh

dari trigger area. Kondisi ini sering ditemukan pada leher, bahu, punggung atas,

punggung bawah dan ekstremitas bawah. Kondisi sindroma miofosial umumnya

pasien datang dengan keluhan nyeri yang menjalar apabila dilakukan penekanan

pada daerah tersebut, sehingga ditemukan adanya taut band yaitu berbentuk

seperti tali yang membengkak yang ditemukan di otot, yang membuat

pemendekan sarabut otot yang terus-menerus, sehingga terjadi peningkatan

ketegangan serabut otot (Wodsworth, 2010).

Trigger points dapat berupa primer ataupun sekunder. Trigger points primer

berkembang secara mandiri dan bukan hasil dari aktifitas trigger points yang lain.

Trigger points sekunder bisa terjadi pada otot antagonis dan otot agonis sebagai

akibat stres dan tegang otot (Fernandez et al, 2005).

Taut band adalah satu bendel bagian muscle belly yang mengeras, kaku dan

ketika diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang lain. Taut band

merupakan kontraktur yang terlokalisir dalam muscle belly tanpa aktivasi dari

motor end plate dan kekakuan yang terjadi tidak menyeluruh pada sebuah otot.

Taut band dalam otot ini akan berakibat penurunan tingkat ekstensibilitas dan

fleksibilitas pada otot tersebut. Perlengketan dalam struktur otot yang terjadi

berakibat pada fascia dan myofilament dalam sarcomer taut band maka ada

peningkatan konsentrasi secara abnormal dari asetilkolin dalam end plate taut

band. Perlengketan ini berdampak penurunan sirkulasi darah sehingga kebutuhan

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

10

akan nutrisi dan oksigen pada area taut band berkurang. Dampaknya terjadinya

hiperkontraksi sel otot yang akan mempengaruhi peningkatan metabolisme

bersifat lokal serta teraktivasinya saraf simpatik yang berakibat vasokonstriksi

pada pembuluh darah kapiler (Gerwin et al, 2004).

Sindrom myofascial memiliki tanda dan gejala berupa nyeri yang terlokalisir

pada daerah leher, terdapat taut band pada otot trapezius descendens dan fascia

serta jaringan ikat longgar (connective tissue), nyeri menjalar sepanjang leher dan

punggung atas, belakang telinga dan pelipis mata, adanya titik sangat peka

(hyperirritable spot) atau trigger points pada satu tempat disepanjang taut band

yang menimbulkan twitch respon (respon kejang lokal) atau yang dikenal sebagai

jump sign, tightness pada otot trapezius descendens sehingga menyebabkan

keterbatasan lingkup gerak sendi, spasme otot trapezius descendens akibat

sekunder dari rasa nyeri yang timbul juga akibat iskemik pada otot, perubahan

otonomik seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat yang berlebihan

disepanjang area rujukan (referred pain}

.

Gambar 2.1 Penjalaran nyeri otot trapezius descendens (Fernandez et al, 2006)

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

11

2.2 Anatomi Biomekanik dan fisiologi Otot Trapezius Descendens

Otot trapezius descendens termasuk dalam jenis otot skeletal tipe 1 (slow

twitch muscle) yang terletak di daerah bahu dan leher. Otot ini berorigo pada

protuberentia occipital eksternal dan bagian medial ligamentum nuchae, dan

berinsersio pada batas posterior dari 1/3 bagian luar clavicula serta dipersarafi

oleh nervus assesorius dan nervus C3, C4 (Kenyon, 2004).

Trapeziu descendenss anterior view

Gambar 2.2 Otot Trapezius descendens (Porterfield and DeRosa, 2004)

Otot ini berkontraksi konsentrik bersama dengan otot levator scapula dalam

melakukan gerakan elevasi scapula. Gerakan lateral fleksi leher maka otot

trapezius descendens yang searah juga ikut terlibat aktif. Otot trapezius

descendens bersama-sama dengan otot-otot ekstensor leher bekerja juga sebagai

penggerak utama gerakan ekstensi leher.

Trapezius descendens posterior

view

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

12

Otot trapezius descendens mempunyai kerja yang khas yaitu sebagai fiksasi

scapula pada saat otot deltoid beraktivitas. Fiksasi ini menjaga agar tidak terjadi

depresi scapula saat lengan sedang mengangkat .

2.2.1 Jaringan Miofasial

Fasia adalah tipe jaringan yang meliputi seluruh tubuh, dan berada dimana-

mana. Fascia tidak hanya memberikan bentuk bagi tubuh baik diluar ataupun di

dalam tetapi juga menyediakan bentuk untuk semua sistem tubuh seperti sirkulasi

darah, saraf dan sistem limfatik. Fascia adalah jenis jaringan ikat yang

mengambil bentuk lain seperti tendon, ligamen, aponeurosis dan jaringan parut

(scar tissue). Fascia juga memiliki nama yang berbeda pada tempat yang berbeda

di sekitar otak dan spinal cord, fascia disebut meningen, disekitar tulang disebut

periosteum, disekitar jantung disebut perikardium, dilapisan rongga perut disebut

peritoneum, yang menutupi seluruh tubuh dilapisan bawah kulit, yang

melampirkan otot dan membagi otot disebut myofascia (Clay, 2008).

Fascia adalah selembar jaringan ikat yang menjadi sampul atau bungkus dari

otot dan fasikula, ini terdiri dari kolagen, elastin dan substansi dasar. Substansi

dasar adalah sebuah gel seperti gel yang jijka dikombinasikan dengan elastin dan

kolagen akan membentuk jaringan tubular. Fascia menjalin, mendukung dan

melindungi setiap sel di tubuh (Werenski, 2011).

Substansi dasar yang disebut juga mukopolisakarida ini mempunyai fungsi

sebagai pelumas yang mengizinkan serabut untuk mudah bergeser satu sama lain

dan sebagai perekat yang menahan serabut dari jaringan supaya tetap dalam satu

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

13

ikatan. Jaringan ikat colagen terdiri atas sebagian besar colagen yang

memungkinkan adanya daya rentang (tensile strength) sedangkan jaringan ikat

elastin terdiri atas sebagian besar elastin yang mengizinkan adanya elastisitas.

Gambar 2.3 Struktur myofascia (Baechle, 2008)

Berdasarkan tempat dimana fascia ditemukan dalam otot, maka fascia

dibedakan menjadi:

1. Epymisium, merupakan jaringan fascia terluar yang mengikat seluruh

fasikel.

2. Perymisium, merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok

serabut otot ke dalam individual fasikuli.

3. Endomysium, merupakan jaringan fascia terdalam yang membungkus

individual otot.

Jaringan myofascial terdapat suatu bahan yang disebut substansi dasar

(ground substance). Substansi dasar ini mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai

alat transpor yang memindahkan nutrisi dari bagian dimana makanan dipecahkan

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

14

ke bagian dimana zat gizi ini dibutuhkan, mengangkut zat-zat sisa metabolisme,

merubah konsistensi gelatin bebas ke gel-foam (busa gel) sehingga apabila terkena

trauma baik biokimia maupun mekanis maka akan terjadi pengerasan dan

kehilangan elastisitas sehingga pada akhirnya myofascial akan mengalami

ketegangan, mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat sehingga terjaga

dari pembentukan perlengketan (microadhesion) serta menjaga jaringan ini tetap

fleksibel (Chantu and Gradin, 2006).

Fascia memiliki fungsi yaitu membentuk dan menunjang bagian tubuh dan

menahan agar tetap berada pada tempatnya, memberikan batas tegas yang akan

meningkatkan kekuatan otot, mengandung dan mengalirkan cairan tubuh yang

akan membantu mencegah penyebaran infeksi, menyediakan infrastruktur untuk

sistem percabangan, pendukung peredaran darah dan sistem limfatik, serta mana-

mana percabangan dari sistem saraf, Fascia akan menimbulkan jaringan ikat baru.

Fascia mengandung sel jaringan ikat (fibroblas) yang mengkhususkan diri jika

diperlukan untuk menebalkan jaringan ikat, membantu perbaikan tendon dan

ligamen dan membentuk jaringan parut (Clay, 2008).

2 2.2 Histologi Muskuler

Mempelajari susunan anatomi jaringan tubuh manusia terdiri dari beberapa

otot dibagi menjadi tiga bagian terdiri dari otot polos, otot jantung dan otot

rangka. Maka yang akan dibahas lebih dalam 11-20 lagi yang berhubungan

dengan kondisi sindroma miofasial ini adalah otot rangka dan selubung otot yaitu

fasia.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

15

2.2.2.1. Otot Rangka

Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan “balok penyusun”

(building blocks) sistem otot dalam arti yang sama dengan neuron merupakan

balok penyusun sistem saraf. Hampir seluruh otot rangka berawal dan berkahir

ditendo dan serat-serat otot rangka tersusun sejajar diantara ujung tendo, sehingga

daya kontraksi setiap unit akan saling menguatkan. Otot merupakan satu sel otot

yang berinti banyak, memanjang, silinder dan diliputi oleh membran sel yang

dianamakn sarkolema. Antara sel-selnya tidak terdapat jembatan sinsition. Serat-

serat otot tersusun atas miofibril yang terbagi menjadi filamen-filamen. Filamen-

filamen ini tersusun dari protein-protein kontraktil.

Mekanisme kontraktil otot rangka tergantung dari protein miosin (berat

molekul 460.000), aktin (berat molekul 43.000), tropomiosin berat molekul

70.000 dan troponin dengan berat molekul 18.000 – 35.000 dan terdiri dari

troponin I,T,C. Filamen yang tersusun dari protein kontraktil dibagi dalam dua

jenis yaitu filamen tipis (yang tersusun dari aktin, tropomiosin dan troponin) dan

filamen tebal yang tersusun dari miosin yang berkaitan dengan aktin. Jenis miosin

yang terdapat pada otot adalah bentuk miosin II dengan dua kepala berbentuk

globular serta ekor yang panjang.

Serabut otot dikelilingi oleh struktur yang terbentuk dari membran yang

tampak sebagai vesikel dan tubulis. Struktur ini membentuk sistem sarkotubuler

yang terdiri atas sistem I dan retikulum sarkoplasmik. Sistem T merupakan

kalanjutan dari membran serat otot yang membentuk jaringan berlubang pada tiap

fibril yang berfungsi menghantar potensial aksi dengan kecepatan tinggi dari

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

16

membran sel ke seluruh fibril otot. Retikulum sorkoplasmik membentuk substansi

secara acak mengelilingi fibril dengan bentuk tak beraturan dan melebar pada

bagian ujung yang disebut sebagai sisterna terminal dan berfungsi dalam proses

perpindahan ion C²+ dan metabolisme otot.

Tipe Serabut Otot

Serabut otot memiliki dua tipe otot yang berbeda, dimana kedua tipe

serabut otot tersebut memiliki fungsi dan peranan yang berbeda-beda pula dengan

mengetahui dan memahami dari kedua tipe serabut otot yaitu :

a. Tipe I (slow twitch)

Disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot lainnya, yang

banyak mengandung hemoglobin dan mitokondria (tahan lama terhadap

tahanan). Yang berfungsi untuk mempertahankan sikap, kelainan tipe otot ini

cenderung tegang dan memendek diantaranya adalah otot-otot postural seperti

m. Quadratus lumborum, group ekstensor trunk diantaranya adalah m.erector

spine, m. Multifidus, group fleksor panggul yang meliputi : m. Illopsoas, m.

Tensor fascia latae, m. Rektus femoris, group ekssorotasi panggul yang

meliputi m. Piriformis, , group hamstring dan m. Gastrocnemius dan soleus.

b. Tipe II (fast twitch) atau otot pashik

Disebut juga white muscle karena berwarna lebih pucat, yang banyak

mengandung myofibril (tidak tahan lama terhadap tekanan), durasi kontraksi

lebih pendek dan menghasilkan gerakan-gerakan halus dengan keterampilan

gerak, yang berfungsi untuk gerakan cepat dan kuat, yang berasal dari dua

macam serabut yaitu serabut otot tipe 2A yang kelelahannya rata-rata

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

17

intermediate (sedang) dan serabut tipe 2B yang kelelahannya sangat cepat.

Kelainan tipe otot ini cenderung lemah dan lembek.

Tabel.2.1. Klasifikasi serabut otot skelet

N Karakteristik Tipe I (Red) Tipe II (White)

1

Myosin AT Pase activity

Low

High

2 Contraction and

relaxation rate/tension

Slow Fast

3 Type contraction Tonik Phasic

4 Muscle function Stabilizer/postural Mobilizer

5 Fatique Resistent Fast

6 Myoglobin and capillary High/Red Low/Red

7 Mitochondria Many Few

Metabolism Aerobic / oxidative Anaerob/glicolitic

9 Diameter 27 mcm 44 mcm

Blood Supplay Extensive Less extensive

1 Motor and plate Smaller Larger

1 Nerve fiber diameter Smaller Larger

1 Motor unit size Smaller Larger

1 Contraction time 85 ml second

1 Nerve conduction velocity Low

1 Endurance Long sustained

contraction

Fatique easly

Function Jalan,maraton,ADL Rapid, high power

suddent contraction

Sumber : (Guyton, 2007)

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

18

Guyton (2007) telah mengidentifikasi perbedaan serabut fast twith dan slow

twitch sebagai berikut :

Serabut otot fast twitch : serabut-serabut lebih besar untuk kekuatan

konstraksi yang besar, retikulum sarkoplasma yang luas sehingga cepat

melepaskan ion-ion kalsium untuk memulai kontraksi otot, enzim glikolitik yang

banyak untuk pengeluaran energi yang cepat melalui proses glikolitik. Persediaan

darah yang tidak terlalu luas karena metabolisme oksidatif tidak begitu penting.

Serabut otot slow twitch : serabut-serabutnya lebih kecil, juga disarafi oleh

serabut saraf yang lebih kecil, sistem pembuluh darah lebih luas untuk

menyediakan oksigen ekstra, besarnya mitokondria, juga sangat membantu

metabolisme oksidatif, serabut-serabut mengandung sejumlah besar mioglobin

sel-sel darah merah. Mioglobin bergabung dengan oksigen dan menyimpannya di

dalam sel otot sampai oksigen tersebut diperlukan oleh mitokondria.

Type otot trapezius descendens tersebut adalah otot dengan tipe tonik atau

postural muscle otot tipe I yang berfungsi sebagai stabilisator / mempertahankan

skapula dengan mekanisme kerja otot dan respon yang lambat, masa laten yang

panjang sehingga dapat beradaptasi pada konstarksi yang panjang/lama.

Kemampuan tipe otot ini dalam pemompaan Ca2+ retikulum sarkoplasmiknya

juga sedang dan kapasitas oksidasi yang tinggi berhubung otot tipe I ini

mempunyai kandungan mitokondria, kepadatan kapiler dan kandungan mioglobin

yang besar dibanding dengan otot tipe II. Secara mikroskopis otot ini mempunyai

warna merah. (Guyton, 2007)

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

19

2.2.3 Fisiologi Muskular

Mekanisme kontraksi otot dimulai dengan adanya beda potensial pada motor

end plate akibat suatu stimulus sehingga tercetusnya suatu potensial aksi pada

serat otot. Penyebaran depolarisasi terjadi ke dalam tubulus T dan mengakibatkan

pelepasan Ca2+ dari sisterna terminal retikulum sarkoplasmik serta difusi Ca2+ ke

filamen tebal dan filamen tipis. Selanjutnya terjadi suatu pengikatan Ca2+ oleh

troponin C, yang membuka tempat pengikatan miosin dari aktin. Proses tadi

menyebabkan terbentuknya ikatan silang (cross link) antara aktin dan miosin dan

terjadi pergeseran filamen tipis pada filemen tebal (pemendekan atau kontraksi).

Ada tahap relaksasi Ca2+ akan dipompakan kembali ke dalam retikulum

sarkoplasmik dan terjadi pelepasan Ca2+ dari troponin sehingga interaksi antara

aktin dan miosin berhenti (Sherwood, 2002).

Gambar 2.4 : Mekanisme Kontraksi Otot

Sumber : (Meyers, 2001)

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

20

2.2.4 Histologi Otot Skeletal

Otot skeletal merupakan otot yang melekat pada tulang sekaligus berfungsi

untuk menggerakkan atau memfiksasinya. Otot skeletal mempunyai 4 karakter

yaitu exitability, contractility, ekstensibility, dan elasticity/flexibility. Empat

karakter ini membuat otot skeletal dapat merespon stimulus dari impuls saraf,

dapat berkontraksi dengan memendekkan panjangnya, dapat terulur dan kembali

ke bentuk dan panjang semula setelah memendek atau memanjang. Kontraksi

yang terjadi pada otot ini adalah kontraksi yang disadari. Fungsinya adalah

sebagai penggerak tubuh, mempertahankan dan memelihara postur, dan

memproduksi panas.

Satuan organisasi otot rangka adalah serat otot, yaitu sel-sel silindris

panjang multinuklear. Serat-serat paralel berkumpul membentuk berkas atau

fasikel yang cukup besar untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Masing-

masing serat, fasikel, dan otot seluruhnya dibungkus oleh jaringan ikat yang

membentuk kerangka penyokong yang utuh.

Serabut otot mengandung beberapa ratus sampai beberapa ribu miofibril.

Setiap miofibril tersusun oleh sekitar 1500 filamen miosin yang berdekatan dan

3000 filamen aktin, yang merupakan molekul protein polimer besar yang

bertanggung jawab untuk kontraksi otot sesungguhnya. Filamen tebal adalah

miosin dan filamen tipis adalah aktin (Guyton and Hall, 2008).

Miosin dan aktin membentuk sub unit yang saling bersambung dalam

miofibril yang dikatakan sebagai sarcomer, dalam sebuah sarcomer aktin terletak

di pinggir mengapit miosin sehingga dilihat dalam miskropis daerah pinggir

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

21

sarcomer lebih terang dengan tengah yang berwarna gelap, daerah terang disebut

I-band karena bersifat isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan dan gelap

disebut A-band karena bersifat anisotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan,

serta yang memisahkan keduanya disebut Z-line. Jadi sarcomer merupakan daerah

antara dua Z-line (Guyton and Hall, 2008).

Gambar 2.5 Organisasi otot rangka (Guyton and Hall, 2008)

Sel otot diselubungi membran sarkolem yang seperti neuron, mengandung

potensial membran. Impuls yang berasal dari neuron akan berjalan juga ke

sarkolema yang mengakibatkan sel otot untuk berkontraksi. Dalam sarkolema ada

lubang disebut tranverse tubules, tranverse tubules masuk ke dalam seluruh

miofibril tanpa menembusnya dan berfungsi menghantarkan impuls dari

sarkolema ke dalam sel terutama pada struktur lain di dalam sel yang

menyelubungi myofilamen yang disebut sarcoplasmic reticulum.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

22

Transverse tubules mempunyai lubang yang berhubungan dengan

sarcoplasmic reticulum dalam menghantarkan impuls serta terdapat sebagai

tempat penyimpanan ion kalsium. Antara sarcoplasmic reticulum dengan

cytoplasma sel otot disebut sacoplasma terjadi pemompaan ion calcium.

Ketika impuls dari saraf pada membran sacoplasmic reticulum terjadi

pembukaan membran yang memungkinkan ion kalsium melewati menuju pada

sarkoplasma yang akan mempengaruhi myofibril untuk berkontraksi.

Thick myofilamen merupakan komposisi dari sebuah protein yang disebut

miosin yang mempunyai ekor yang mempunyai kepala yang keluar dari filamen

yang nantinya membentuk cross-bridge dengan molekul aktin dari thin

myofilamen.

Kepala dari miosin mempunyai dua tempat tautan yaitu ATP, binding site

dan aktin binding site, jika kepala bertemu dengan molekul aktin dalam

myofilamen maka akan terjadi pergeseran miosin yang mengakibatkan sel otot

berkontraksi.

Thin myofilamen terdiri 3 komponen protein aktin, tropomiosin dan

troponin. Aktin adalah bulatan lonjong yang saling bergandengan membentuk dua

rantai aktin yang panjang dalam thin myofilamen, tropomiosin seperti benang

yang membelit rantai aktin, ujung dari masing-masing tropomiosin adalah

molekul troponin.

Otot dalam keadaan relaks maka molekul miosin menempel pada benang

molekul tropomiosin, ketika ion kalsium mengisi troponin maka akan mengubah

bentuk dan posisi troponin, perubahan ini membuat molekul tropomiosin

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

23

terdorong dan menjadikan kepala miosin bersentuhan dengan molekul aktin.

Persentuhan ini akan menjadikan kepala miosin bergeser. Selama pergeseran ini

kepala miosin menempel erat pada aktin sehingga mendorong aktin untuk

bergerak.

Akhir gerakan ATP masuk dalam crossbridge dan memecah ikatan antara

miosin dan aktin. Kepala miosin akan bergerak kembali ke belakang, pada saat

bergerak ke belakang ATP dipecah sebagai ADP + P dan kepala miosinkembali

berikatan dengan molekul aktin yang lain, ikatan ini membuat terjadinya lagi

gerakan aktin terdorong oleh kepala miosin.

Selama ion kalsium mengisi troponin maka proses ini akan terjadi berulang,

tampak bahwa thick dan thin myofilamen seperti bergeser satu sama lain, pada

saat terjadi geseran maka jarak antara dua Z-line dalam sarcomer akan memendek,

akibatnya myofibril akan memendek dan seluruh sel otot akan memendek dan otot

akan tampak berkontraksi.

Otot skeletal akan relaks bila tidak ada impuls saraf melalui end plates,

ketiadaan impuls mengakibatkan tidak ada ion kalsium yang masuk ke dalam

cytoplasma sel karena pintu untuk kalsium masuk menjadi tertutup, kalsium akan

kembali mengalir masuk dalam sarcoplasmic reticulum, aliran ini akan

menjadikan posisi troponin kembali normal sehingga posisi tropomiosin kembali

normal dan memutuskan hubungan antara kepala miosin dengan aktin. Ketika

kepala miosin tak lagi berhubungan dengan aktin maka tak ada pergeseran

molekul yang terjadi dan otot kembali relaks.

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

24

Kejadian yang lain, ketika kontraksi otot berlangsung dalam waktu yang

lama, maka terjadi penurunan jumlah ATP yang dibutuhkan untuk menggeser

molekul-molekul tadi bergeser. Walaupun kepala miosin masih menempel pada

aktin, karena konsentrasi ion kalsium masih cukup untuk menggerakkan troponin,

namun tak ada pergeseran yang terjadi karena ketiadaan energi untuk

menggerakkan. Kejadian ini disebut “muscle fatigue”.

Otot skeletal memiliki 2 tipe serabut yang memiliki fungsi dan peranan yang

berbeda, yaitu serabut tipe I dan serabut tipe II. Tipe I atau otot tonik (slow twitch)

disebut juga red muscle karena berwarna lebih gelap dari otot lainnya, serabut

ototnya kecil, lebih banyak mengandung mitokondria sehingga sangat lambat

mengalami kelelahan dan memungkinkan untuk dapat menghasilkan energi yang

lebih banyak, metabolisme aerobic (oxidative) dan berfungsi untuk

mempertahankan sikap. Patologi pada tipe otot ini cenderung tegang dan

memendek diantaranya adalah otot-otot postural.

Serabut tipe II terdiri dari dua tipe yaitu tipe II A dan tipe II B. Tipe II A

disebut juga pink muscle karena berasal dari dua macam serabut yaitu serabut otot

tipe I yang kelelahannya lambat dan serabut tipe II B yang kelelahannya sangat

cepat. Otot tipe II A ini memiliki kelelahan rata-rata intermediate (sedang),

serabut ototnya kecil-besar, metabolisme dengan aerobik-anaerobik dan kekuatan

motor unit tinggi.

Serabut otot II B atau otot phasik (fast twitch) disebut juga white muscle

karena berwarna lebih pucat, serabut ototnya besar, sedikit mengandung

mitokondria sehingga cepat mengalami kelelahan, metabolisme dengan anaerob

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

25

(glycolytic) dan berfungsi sebagai mobilisasi. Patologi pada tipe otot ini

cenderung lemah dan atrofi diantaranya adalah otot-otot perut

2.2.5 Mekanisme Kontraksi dan Relaksasi Otot

Kontraksi otot adalah proses terjadinya pengikatan aktin dan miosin sehingga

otot memendek. Aktin merupakan bentuk jaring otot yang berfungsi untuk

membentuk permukaan sel, pigmen penyusun otot yang berdinding tipis, protein

yang merupakan unsur kontraksi dalam otot, sedangkan miosin adalah protein

dalam otot yang mengatur kontraksi dan relaksasi filamen penyusun otot yang

berdinding tebal. Otot memiliki beberapa karakteristik yaitu :

a. Kontraktibilitas yaitu kemampuan untuk memendek

b. Ekstensibilitas yaitu kemampuan untuk memanjang

c Elastisitas yaitu kemampuan untuk kembali ke ukuran semula setelah

memendek atau memanjang.

Metode pergeseran filamen dijelaskan melalui mekanisme kontraksi

pencampuran aktin dan miosin membentuk kompleks akto-miosin yang

dipengaruhi oleh ATP. Miosin merupakan produk, dan proses tersebut

mempunyai ikatan dengan ATP. ATP yang terikat dengan miosin terhidrolisis

membentuk kompleks miosin ADP-Pi dan akan berikatan dengan aktin. Tahap

selanjutnya, tahap relaksasi konformasional kompleks aktin, miosin, dan ADP-Pi

secara bertahap melepaskan ikatan dengan Pi dan ADP, proses terkait dan

terlepasnya aktin menghasilkan gaya fektorial (Sherwood, 2002).

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

26

Mekanisme kontraksi otot, dimulai dengan pembentukan kolin menjadi

asetilkolin yang terjadi di dalam otot. Proses itu akan diikuti dengan

penggabungan antara ion kalsium, troponium, dan tropomisin. Penggabungan ini

memacu penggabungan miosin dan aktin menjadi akto-miosin. Terbentuknya

aktin-miosin menyebabkan sel otot memendek (berkontraksi) pada plasma sel, ion

kalsium akan berpisah dari troponium sehingga aktin dan miosin juga terpisah dan

otot akan kembali relaksasi. Saat kontraksi, filamen aktin akan meluncur atau

mengerut diantara miosin ke dalam zona H (Zona H adalah bagian terang antara 2

pita), kemudian serabut otot memendek atau yang tetap panjang adalah pita A

(pita Gelap), sedangkan pita I (pita terang) dan zona H bertambah pendek pada

saat kontraksi (Sherwood, 2007).

Ujung miosin dapat mengikat ATP dan menghidrolisis menjadi ADP.

Beberapa energi dilepaskan dengan cara memotong pemindahan ATP ke miosin

yang berubah ke konfigurasi energi tinggi. Miosin yang berenergi tinggi ini

kemudian mengikatkan diri dengan kedudukan khusus pada aktin membentuk

jembatan silang, kemudian simpanan energi miosin dilepaskan dan ujung miosin

lalu beristirahat dengan energi rendah pada saat ini terjadi relaksasi.

Mekanisme otot ketika berelaksasi, relaksasi terjadi jika ion-ion Ca++

dipompa lagi masuk ke dalam retikulum sarkoplasma secara transport aktif

dengan bantuan ATP, sehingga binding site aktin kembali tertutupi oleh

tropomiosin, cross bridge tidak dapat terjadi dan relaksasi terjadi.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

27

Gambar 2.6 Mekanisme Kontraksi dan relaksasi otot (Guyton and Hall. 2008)

Saat otot berkontraksi, impuls datang melalui neuron muskular dan diterima

di tubulus. Impuls dihantarkan kemudian melewati retikulum sarkoplasma

sehingga keluarlah ion Ca2+ akan ditangkap oleh troponim C dalam gugus aktin.

Sehingga menyebabkan miosin mengikat aktin. Aktin bergerak karena dorongan

miosin menuju pita H sehingga pita I dan zona H menghilang.Terikatnya miosin

pada aktin membutuhkan ATP sebagai energi penggerak terus buat relaksasinya

dimulai ketika ion Ca2+ terlepas dari ikatannya dengan troponim c sehingga

menyebabkan terlepasnya ikatan antara daerah aktif pada kepala miosin dengan

aktin sehingga aktin akan kembali ke posisi semula, Panjang pita I dan zona H

kembali seperti semula

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

28

2.3 Patologi Sindroma Miofasial

2.3.1 Etiologi

Penyebab terjadinya nyeri miofasial otot trapezius descendens disebabkan

oleh beberapa faktor antara lain :

1. Faktor mekanik

Postural otot trapezius descendens yang berfungsi sebagai fiksator leher

dan sebagai fiksator scapula ketika lengan beraktivitas, maka kesalahan

postur berupaya forward head akan menyebabkan kerja statis yang terus

menerus pada saat aktifitas dalam posisi duduk atau berdiri. Pada lateral head

posture maka posisi kepala yang miring ke salah satu sisi juga akan

menyebabkan overload work pada otot trapezius descendens. Kerja statis

yang terus menerus dan overload work menyebabkan trigger points dan taut

band pada otot. Ergonomi yang meliputi poor body mechanics, penggunaan

otot dalam kondisi statis lama, kompresi pada otot dan mekanisme kerja

yang buruk pada leher dan bahu menggambarkan beban kerja otot trapezius

descendens lebih berat, digambarkan seperti pada posisi mengetik dengan

layar terlalu tinggi atau posisi bekerja yang menyebabkan kepala miring atau

menoleh terus menerus (Widodo, 2011).

2. Degenerasi pada otot

Proses degenerasi pada otot akan terjadi penurunan jumlah serabut otot, atrofi

beberapa serabut, fibril menjadi tidak teratur, berkurangnya 30% massa otot

terutama otot tipe II, degenerasi myofibril yang akan mempengaruhi

penurunan kekuatan dan fleksibilitas dari otot.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

29

3. Trauma makro pada struktur miofasial

Cedera akut pada otot, tulang dan sendi maka akan membentuk trigger area

ini dapat diartikan sebagai daerah yang kecil terbatas tegas dan hipersensitif

pada otot atau jaringan ikat (connective tissue) dimana bila daerah tersebut

diberi rangsangan atau penekanan akan menimbulkan nyeri lokal dan juga

menyerang sistem saraf pusat yang menimbulkan nyeri yang menjalar

(reffered pain). Disebut trigger area karena perangsangannya.

4. Trauma Mikro Pada Struktur Miofasial

Akibat tambahan dari trauma makro yang hebat menimbulkan serangan

gejala yang jelas dan timbul dengan cepat, trauma dari cidera yang ringan

juga dapat memainkan peranan yang sama pentingnya. Trauma yang ringan

terdapat hubungan antara cidera dengan sindroma nyeri tidak begitu jelas

terlihat dan hubungan tersebut dapat diabaikan karena gejala yang timbul

secara bertahap. Walaupun frekuensinya jarang diakui tetapi hal ini sama

pentingnya sebagai penyebab nyeri miofasial adalah trauma mikro yang

berulang-ulang (Repetitive Injury) akibat aktifitas sehari-hari dan strains otot

khususnya pada individu dengan kegiatan yang sama dan menetap setiap

harinya pada usia di atas 35 tahun.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

30

2.3.2 Patofisiologi Sindroma Miofasial Otot Trapezius Descendens

Otot trapezius descendens merupakan otot tipe I (slow twitch) yang berfungsi

sebagai fiksator scapula ketika lengan beraktivitas dan sebagai fiksator leher,

termasuk mempertahankan postur kepala yang cenderung jatuh ke depan karena

kekuatan gravitasi dan berat kepala itu sendiri. Kerja otot ini akan semakin

meningkat jika otot mengalami trauma, degenerasi otot dan faktor mekanik yang

meliputi poor body mechanics, penggunaan otot dalam kondisi statis lama,

kompresi pada otot dan mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu.

Akibatnya, otot tersebut sering mengalami gangguan berupa spasme, pemendekan

otot (tightness) dan disabilitas fungsi leher (Meyers, 2001)

Kerja otot akan bertambah berat dengan adanya postur yang jelek, mikro dan

makro trauma. Trauma makro akibat kontraksi otot yang cepat dan kuat akan

menimbulkan kerobekan jaringan otot demikian pula trauma repelitip secara

komulatif akan menimbulkan kerobekan jaringan otot. Penyebab ini akan terjadi

proses inflamasi dan regenerasi sebagai berikut: cedera jaringan akan

mengeluarkan zat kimia algogen seperti serotonin, prostaglandin, istamin,

bradikinin. Zat algogen akan menimbulkan reaksi delatasi kapiler, sensitasi saraf

nosi sensoris sehingga timbul sensasi nyeri lokal. Akibat sensitasi tersebut akan

dibawa ke ganglion spinalis dan merangsang produksi “ P “ substance yang

kemudian di transport ke perifer dan menimbulkan delatasi kapiler yang lebih

luas, sementara di area ke medulla spinalis akan menimbulkan sensitasi dan

ketraktus spirotalaminikus untuk selanjutnya ke pusat nyeri di otak. Proses

inflamasi, diikuti proses regenerasi jaringan kolagen (Meyers, 2001)

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

31

Proses penyembuhan jaringan terjadi mekanisme penumpukkan kolagen

(jaringan fibrous) yang akan menimbulkan perlengketan antara myofibril dan

fasia.

Ambang rangsang nosi sensoris rendah akan menimbulkan tender point yaitu

pada jaringan tersebut di provokasi akan terjadi nyeri lokal. Bila ambang rangsang

nosi sensorik menjadi nol akan terjadi trigger point dan taut band.

Disabilitas umumnya pasien enggan menggerakan bagian tersebut, sehingga

berada pada posisi immobilisasi akibatnya otot akan menjadi kontraktur.

Terbentuk taut band dan trigger point. Serabut saraf terjadi peningkatan

mekanisme refleks segmental dan supra segmental seperti adanya spasme otot,

hiperaktivitas vasomotor dan glandular, penurunan ambang rangsang nyeri dan

peningkatan kecepatan konduksi saraf serta terjebaknya reseptor saraf tipe Aδ dan

C akibat tekanan jaringan fibrous sehingga menimbulkan tenderness lokal dan

nyeri rujukan.

Jaringan miofasial dalam keadaan immobilisasi, maka terjadi perubahan

substansi dan serabut kolagen, protein dan karbohidrat kompleks dalam substansia

dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel tak terbentuk yang dikenal

sebagai glikoaminoglikan.

Immobilisasi viskositas matrix akan berkurang dan bagian terbesar dari

substansia dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen saling berdempetan,

ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen lain menurun hingga

pada ambang kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk ikatan

menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

32

serabut kolagen dan lapisan fascia kehilangan pelumas, menyebabkan molekul

dari lembaran fascia ternyata terikat bersama-sama.

Keadaan immobilisasi dari jaringan miofasial ini banyak disebabkan oleh

ergonomik kerja yang jelek, dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan

fibroblast dan banyak kolagen membuat ikatan tali (cross link). Cross link kolagen

secara fisiologis timbul perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam

jaringan, akibatnya menurunkan jarak kritis pada area ini. Disamping itu aliran

darah pada area akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia sehingga

mencetuskan timbulnya distabilitas fungsi leher.

2.3.3 Patologi Fungsional

Patologi fungsional sebagai akibat adanya patologi sindroma miofasial

sehingga menimbulkan disabilitas neck, meliputi bodyfuntion/structure

inpairment, activity limitation dan participation retriction yang dipengaruhi oleh

faktor internal dan eksternal. Impairment pada level anatomik berupa inflamasi

dan adhesi pada miofasial, spasme serta taut band pada serabut otot. Impairment

akan menimbulkan impairment secara fisiologis atau kinesiologis berupa nyeri,

keterbatasan gerak leher dan pundak, posture kepala yang kedepan {Forward

head posture) (WHO, 2012)

2.3.3.1 Body structures/body functions impairment

Body structures impairment atau problematik anatomik pada penderita

sindroma miofasial otot trapezius descendens yaitu adhesi pada miofasial,

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

33

spasme otot, taut band pada serabut otot, tendernes, trigger points/tenderpoint.

Tightnes m trapezius descendens yang berakibat forward head posture dan

weakness m lower trapezius dan serratus anterior weakness deep cervical flexors

(Janda, 2002)

2.3.3.2 Body functions impairment

Problematik fisiologi pada penderita miofasial otot trapezius descendens antara

lain: hypomobilitas atau problem pola kapsuler sendi cervikal yaitu ROM lateral

fleksi diikuti keterbatasan ROM ekstensi leher dan elevasi scapula; hipertonus

jaringan kontraktil sendi leher (Diercks and Stevens, 2004; Magee, 2008;

Brotzman and Manske, 2011).

Forward Head Posture dapat ditimbulkan karena kontraksi terus menerus

otot trapezius decsendens, gerakan lateral elevasi dan scoliosis, Muscle spasme

juga terjadi sebagai respon terhadap perubahan sirkulasi dan metabolik lokal yang

terjadi ketika otot dalam keadaan kontraksi yang terus menerus, Nyeri yang

mengakibatkan disabilitas juga merupakan hasil dari adanya perubahan

lingkungan sirkulasi dan metabolik (Kisner and Colby, 2007).

Scoliosis fungsional dapat ditimbulkan oleh faktor postur tubuh yang buruk

dalam jangka waktu yang lama, seperti terbiasa dengan posisi miring di satu sisi

secara terus menerus yang berakibat otot spasme dan tighness otot trapezius

descendens sehingga menekan otot yang ke sisi dan keterbatasan gerak yang

mengakibatkan disabilitas (Kisner and Colby, 2007).

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

34

2.3.3.3 Activities limitation

Activity limitation sebagai akibat dari functional impairment, antara lain tidak

mampu duduk lama didepan komputer, tidak mampu menyetir mobil tidak

mampu melakukan pekerjaan rumah tangga, tidak mampu perawatan diri misal

mandi, kesulitan dalam berpakaian, kesulitan membasuh badannya dengan air dan

sabun ke seluruh tubuh , memakai sampo, tidak dapat menganggkat dan

membawa beban berat atau dalam waktu lama , mengalami kesulitan melakukan

pekerjaan dengan duduk lama (Jurgel et al., 2005; Kelley et al., 2009; Hsu et al.,

2011).

2.3.3.4 Participation restrictions

Participation retriction sebagai akibat dari Activity limitation, antara lain

berupa hambatan didalam bekerja di kantor, terganggunya untuk berolah raga

hambatan melakukan aktivitas sosial di lingkungan sosialnya. Pasien tidak

percaya diri dan merasa kurang dibutuhkan oleh masyarakat lingkungannya,

hambatan untuk menyetir, hambatan disaat berbaring membungkuk, hambatan

untuk rekreasi , hambatan untuk mempertahankan posisi berdiri, mempertahankan

posisi leher, hambatan untuk bertanggung jawab dalam sutu pekerjaan (Jurgel et

al., 2005; Kelley et al., 2009; Hsu et al., 2011).

2.3.3.5 Faktor Eksternal Dan Internal

a. Trauma pada jaringan, baik akut maupun kronik akan menimbulkan kejadian

yang berurutan yaitu hiperalgesia dan spasme otot skelet, vasokontriksi kapiler.

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

35

Jaringan miofasial akan terjadi penumpukan zat-zat nutrisi dan oksigen ke

jaringan serta tidak dapat dipertahankanya jarak antar serabut jaringan ikat,

sehingga akan menimbulkan iskemik pada jaringan myofascial.

b. Posture yang buruk akan menyebabkan stres dan strain pada otot trapezius

descendens, misalnya forward head posture , kifosis, scoliosis. Forward Head

Posture dimana posisi kepala terus jatuh kedepan yang mengakibatkan otot-

otot yang fungsinya sebagai stabilisasi kepala terulur secara terus menerus

menyebabkan kelemahan pada otot trapezius descendens (McKenzie and

Kubey, 2000).

c. Pada usia lanjut perubahan yang jelas pada sistem otot adalah berkurangnya

massa otot, terutama mengenai serabut otot type II. Penururnan massa otot ini

lebih disebabkan karena atropi. Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem

otot lebih disebabakan oleh disuse. Efek dari penuaan dan disuse terhadap

tubuh adalah sistem yang dimana otot dalam posisi yang statik sehingga otot

tidak ada penguluran.

d. Ergonomi kerja yang buruk yang berlangsung berulang-ulang dan dalam waktu

yang lama akan menimbulkan stress mekanik yang berkepanjangan, misalnya

seorang di depan komputer dengan layar yang terlalu tinggi agak jauh dari

kursi duduk.

e. Faktor psikososial beberapa penelitian mengidenditifikasi adanya hubungan

antara faktor-faktor psikososial dengan miofasial sindroma otot trapezius

descendens, Psikososial distress merupakan faktor psikososial yang

berhubungan dengan miofasial sindroma otot trapezius descendens.

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

36

2.4 Myofascial Release Technique (MRT)

2.4.1 Introduksi

Myofascial manipulasi atau dikenal sebagai myofascial release technique

adalah suatu bentuk terapi jaringan lunak yang digunakan untuk mengobati

disfungsi somatik yang menghasilkan nyeri dan keterbatasan gerak. Terapi ini

ditujukan pada fascia yang mengelilingi otot dan menghubungkan setiap sel otot

didalamnya (Cantu and Grodin, 2001).

Myofascial release technique merupakan teknik pengobatan yang

memfokuskan pada membebaskan keterbatasan gerak yang berasal dari jaringan

lunak tubuh. Myofascial release technique memfokuskan pada kondisi-kondisi

yang berkaitan dengan kebiasaan postural yang jelek, aktivitas spesifik atau

kurangnya aktivitas, kompensasi terhadap injury sebelumnya akibat mekanikal

stress yang kronik. Kondisi-kondisi tersebut sering menghasilkan kontraktur otot

dan adhesion diantara lapisan-lapisan fascia. Fascia membentuk struktur pasif

pada jaringan tubuh, adanya adhesion menyebabkan serabut fascia saling terikat

satu sama lain secara disfungsional (Grant and Riggs, 2009).

Metode ini berperan memberikan stretch atau elongasi pada struktur otot

dan fascia dengan tujuan akhir adalah mengembalikan kualitas cairan atau

lubrikasi pada jaringan fascia, mobilitas jaringan fascia dan otot, dan fungsi sendi

normal (Grant and Riggs, 2009).

Banyak manfaat dari myofascial release technique ini. Efek yang dapat

dirasakan tubuh seperti pengurangan rasa nyeri, peningkatan kinerja pada atletik,

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

37

fleksibilitas yang lebih baik dan gerak yang lebih mudah contohnya postur yang

bagus,dan jika digabungkan dengan metode konvensional dapat juga untuk

mengurangi oedema dan peradangan, pengurangan penggunaan analgesik,

pemulihan otot pasca trauma dengan baik dan meningkatkan lingkup gerak sendi

dari sendi yang terkena (Cantu and Gradin, 2001)

Metode MRT sangat berfokus pada bagaimana kebiasaan postur, aktifitas

spesifik atau kurangnya aktifitas, dan kompensasi kronis setelah cedera dan

gerakan yang menghindari lingkup gerak sendi yang penuh yang merupakan hasil

dari pemendekan unit otot dan perlengketan diantara lapisan fascia. Fascia

membentuk struktur pasif dari tubuh kita. Aplikasi MRT ini diperlukan kontrol

dan fokus pada tekanan, diterapkan ke arah yang dituju, berperan untuk

meregangkan atau memanjangkan struktur fascia (myofascial) dan otot dengan

tujuan memulihkan kualitas cairan/pelumas dari jaringan fascia, mobilitas

jaringan dan fungsi normal sendi (Riggs and Grant, 2008).

Gambar 2.6. Direct Myofascial Release Technique otot Trapezius

Descendens Sumber : (Faizah. 2015).

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

38

2.4.2. Penerapan Myofascial Release Technique pada Sindroma Miofasial otot

Trapezius Descendens.

Teknik aplikasi MRT, mencakup teknik general, skin rolling, direct technique,

dan lifting atau rolling. Dalam penelitian ini hanya dijelaskan direct technique.

Direct technique

Direct technique ini, terapis menggunakan lengan bawah, kedua palmar

tangan, atau suatu permukaan yang kasar. Perlu diingat bahwa penting

melakukan stretch yang cepat pada fascia baik dengan menggunakan posisi tubuh

untuk memanjangkan komponen fascia (meletakkan jaringan dalam posisi cukup

stretch untuk memanjangkan otot tanpa adanya ketegangan yang dapat

menyebabkan kesulitan penetrasi) atau dengan menggunakan anchor pada satu

tangan dan tangan lain melakukan stretch secara terlokalisir. Direct Technique ini

banyak digunakan dalam klinis (Grant and Riggs, 2009).

Otot diposisikan sepanjang mungkin sehingga receptor stretch terstimulasi

dan menyebabkan otot berkontraksi. Menguntungkan bagi terapis didalam

memulai teknik pada akhir lingkup gerak dimana jaringan fascial ter-stretch.

Ditambah lagi, pembebasan hambatan yang terjadi pada akhir lingkup gerak

stretch yang relaks dapat memberikan input neurologik yang bermakna terhadap

receptor stretch sehingga membantu reprogram learning terhadap disfungsi

pemendekan. Teknik ini cocok diaplikasikan pada otot quadratus lumborum,

dimana tungkai dipanjangkan ke bawah dan dorsal sementara sangkar thoraks

bagian bawah dipertahankan (Grant and Riggs, 2009).

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

39

Teknik ini bisa menggunakan anchor (jangkar) sebagai fixator dan aplikasi

stretch, dimana gaya gerakan atau gaya stretch yang terlokalisir pada area spesifik

yang mengalami penebalan atau adhesion. Anchor diletakkan pada area yang

fibrotik kemudian diposisikan otot kedalam posisi stretch sehingga stretch

terfokus pada titik tersebut ketika gaya stretch diaplikasikan (Grant and Riggs,

2009).

2.4.3 Prosedur Penerapan Myofascial Release Technique

Prosedur penerapan myofascial release technique adalah :

a) Pasien dalam posisi tidur terlentang dengan leher digerakkan kearah

sedikit fleksi, lateral fleksi dan rotasi sehingga terjadi pemanjangan pada

otot trapezius descendens.

b) Ibu jari tangan terapis melakukan stroking secara gentle pada serabut otot

yang mengalami spasme atau tightness.

c) Teknik ini dilakukan 15 kali stroking pada jaringan lunak setiap kali

kunjungan, frekuensi 3 kali seminggu dengan interval waktu 1 hari, jumlah

terapi sebanyak 6 kali.

2.4.4 Mekanisme Penurunan Disabilitas Leher Akibat Sindroma Miofasial

Melalui Myofascial Release Technique

Penelitian baru-baru ini menjelaskan bahwa pengobatan dengan myofascial

release technique dapat menghasilkan efek penyembuhan scar dan kolagen

(Cantu and Grodin, 2001).

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

40

2.4.2.1 Efek terhadap aliran darah dan temperatur

Peningkatan aliran darah dan temperatur cutaneus terjadi secara

signifikan setelah diberikan myofascial release technique. Peningkatan aliran

darah tersebut akan bertahan selama 30 menit dan setelah 30 menit terjadi

penurunan aliran darah. Penelitian mikroskopik menunjukkan bahwa tekanan

yang dihasilkan oleh myofascial release technique dapat dengan cepat membuka

kapiler-kapiler darah (dilatasi) sehingga terjadi peningkatan aliran darah. Reaksi

kapiler berdilatasi oleh stimulus tersebut (myofascial release technique) akan

diikuti oleh peningkatan temperatur cutaneous

2.4.2.2 Efek Terhadap Metabolisme

Myofascial release technique dapat mempengaruhi proses metabolik,

termasuk tanda-tanda vital dan hasil sisa-sisa metabolisme tubuh. Myofascial

release technique tidak mempengaruhi basal, tetapi peningkatan volume darah

dan aliran darah pada area tersebut dapat menyebabkan area tersebut membuang

sisa-sisa metabolisme atau cairan yang berlebihan selama pemberian myofascial

release technique sehingga terjadi penurunan nyeri yang berakibat menurunya

disabilitas leher sehingga aktivitas kehidupan sehari-hari seperti nyeri kepala,

membaca, bekerja, rekreasi, konsentrasi tidak terganggu.

2.4.2.3 Efek Terhadap Sistem Autonomik (Refleks Fisiologis)

Myofascial release technique dapat merangsang sirkulasi pada area tubuh

yang dimassage, kemudian secara refleks membuka jalur sirkulasi ke regio tubuh

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

41

lainnya. Peningkatan sirkulasi tersebut bersifat sekunder dari ketegangan

mekanikal yang diciptakan oleh myofascial release technique dimana langsung

merangsang jaringan tersebut.

Mekanikal friction yang dihasilkan oleh myofascial relase technique dapat

merangsang struktur-struktur didalam jaringan konektif khususnya sel mast. Sel

mast dirangsang maka akan menghasilkan histamin, dimana histamin merupakan

vasodilator. Vasodilatasi akan meningkatkan aliran darah ke area yang diobati dan

ke area lain yang menerima histamin melalui aliran darah. Peningkatan

permeabilitas kapiler dan venule (vena kecil) dapat menghasilkan diffusi yang

lebih cepat dan lebih komplit untuk membuang produk sisa-sisa metabolisme dari

jaringan ke darah.

2.4.2.4 Efek Terhadap Aktivitas Fibroblastik atau Sinthesis Collagen Selama

Proses Penyembuhan

Penelitian menunjukan bahwa myofascial release technique dapat

menghasilkan mobilisasi pada jaringan lunak dimana gerakan yang terkontrol

dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Jaringan lunak tubuh dapat

dibangkitkan melalui gaya internal dan gaya eksternal. Tanpa adanya stress pada

jaringan tersebut maka kekuatan regangan akan menurun. Beberapa ahli telah

mengobservasi efek gerakan terhadap aktivitas fibroblastic dalam proses

penyembuhan jaringan konektif, dimana jaringan fibril membentuk hampir

seluruh jaringan yang regenerasi. Adanya gaya eksternal dapat menyusun jaringan

fibril yang terbentuk. Cyriax dan Russel percaya bahwa gerakan pasif yang

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

42

lembut (gentle) pada jaringan lunak akan mencegah perlengketan abnormal dari

jaringan fibril tanpa mempengaruhi penyembuhan jaringan.

2.5 Ultrasound

2.5.1 Pengertian Ultrasound

Bunyi atau gelombang suara dimana terjadi peristiwa getaran mekanik

dengan bentuk gelombang longitudinal yang berjalan melalui medium tertentu

dengan frekuensi yang bervariasi (Prentice, 1999).

Terapi Ultrasound adalah suatu usaha pengobatan yang menggunakan

mekanisme getraran dari gelombang suara dengan frekwensi lebih dari 30 KHz,

frekwensi yang umum digunakan antara 0,7 MHz dan 3 MHz. Ultrasound terbagi

menjadi 2 bagian yaitu termal ultrasound dan non termal ultrasound (Hoogland,

2010).

2.5.2 Generator Ultrasound

Pesawat ultrasound merupakan suatu generator yang menghasilkan arus

bolak balik berfrekwensi tinggi (high frequency alternating current) yang

mencapai 0,75 s.d 3 MHz. Arus ini berjalan menembus kabel koaksial pada

tranducer yang kemudian di konversikan menjadi vibrasi oleh adanya efek

piezoelektrik (Sadono, 2000).

Efek piezoelektrik ini pertama kali diperkenalkan oleh Pierre dan Jacques

Curie (1880), yang di peroleh dari vibrasi kristal quartz atau dari produk sintetis

kristal keramik berupa barium titanate maupun lead zirconate titanate.

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

43

Kristal ini dibentuk dengan ketebalan 2-3 mm melingkar sesuai dengan axis

elektrik, kemudian dieratkan pada bagian dalam permukaan tranducer. Saat di

aliri arus atau beda potensial, kristal ini akan mengalami vibrasi baik secara

kompresi maupun ekspansi dengan frekwensi sama dengan sinyal elektrik yang

datang. Umumnya frekwensi yang di hasilkan oleh generator adalah 1 dan 3 MHz.

Gambar 5.1 Ultrasound Sumber (Enraf, 2010)

2.5.3 Penyebaran Efek Ultrasound Dalam Jaringan

Efek penyebaran ultrasound dalam jaringan bergantung pada :

1. Kedalaman Penetrasi

Kedalaman penetrasi tergantung pada absorpsi dan penyebaran pancaran

ultrasound selama dalam jaringan.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

44

2. Absorpsi

Merupakan penerimaan panas yang di konversikan dari energi akustik oleh

adanya penyebaran ultrasound dalam jaringan. Menurut Michloyitz, 1990

absorpsi ultrasound berkaitan dengan kandungan protein dalam jaringan.

Tabel 2.2

Absorpsi Ultrasound

Tissue type Attenuation Protein content

Bone 96% per cm 20-25%

Cartilago 68% per cm

Tendon 59% per cm

Skin 39% per cm

blood vessel 32% per cm 15-20%

Muscle 24% per cm 10-15%

Fat 13% per cm

blood 3% per cm

Beberapa jaringan yang dapat diberikan ultrasound :

Superficial bone peripheal nerves

Joint capsules myofascial interface

Tendon Cell membranes

Scar tissue

Ultrasound frekwensi tinggi (3 MHz) akan lebih mudah di absorpsi dari

pada berfrekwensi rendah ( 1 MHz), (Wadsworth, Chanmugam, 1988).

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

45

3. Penyebaran (scattering)

Merupakan penyebaran secara refleksi maupun refraksi ultrasound dari

permukaan tak beraturan atau inhomogenitas kedalam jaringan.

2.5.4 Frekwensi

ultrasound merupakan jumlah iscilasi gelombang suara yang dicapai dalam

waktu satu detik yang dinyatakan dengan megahertz (MHz). Umumnya frekwensi

yang di pergunakan dalam terapi ultrasound adalah 1 dan 3 MHz, Penelitian ini

menggunakan 1 MHz.

2.5.5 Penentuan Dosis/Intensitas

Merupakan rata-rata energi yang dipancarkan tiap unit area, dan dinyatakan

dalam watt per sentimeter persegi (W/cm²). sedangkan power ialah total output

dari tranducer yang dinyatakan dalam watt (W).

Total power output (watts)

Intensitas = _________________________

ERA pada transducer (cm²)

Umumnya intensitas untuk terapi ultrsound ini berkisar antara 0 s.d 5 W/cm².

namun yang sering di pergunakan dalam klinik berkisar antara 0,5 s.d 2 W/cm².

Daam penelitian ini menggunakan 1 MHz, agar diperhatikan bahwa pemberian

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

46

ultrasound dengan intensitas tinggi dapat mengakibatkan terjadinya unstable

cavitation ataupun mikrotrauma jaringan (Tim Watson, 2010).

Tabel dibawah ini menunjukkan pulse ratio dan duty cycle dalam presentase

siklus

Tabel 2.3

Pulse Ratio

Mode Pulse Ratio Cycle Duty

Continues 100 %

Pulse 1 : 1 50 %

1 : 2 33 %

1 : 3 25 %

1 : 4 20 %

2.5.6 Efek Fisiologis Ultrasound

1. Efek Termal dan Implikasi klinisnya

a. Meningkatkan Ekstensibilitas colagen dari tendon, kapsul sendi dan

scar tissue

b. Meningkatkan konduksi syaraf motor maupun sensor dengan

meningkatkan ambang rangsang rasa nyeri.

c. Mempengaruhi aktivitas kontraktil otot rangka, mengurangi aktivasi

muscle spindel, mengurangi spasme otot yang secara sekunder

menyebabkan nyeri

d. Melancarkan sirkulasi darah.

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

47

2. Efek Fisiologi non termal dan implikasi klinisnya

a. Menstimulasi pelepasan histamin dari sel mast oleh adanya

degranulasi

b. Stimulasi pelepasan serotonin dari sel darah

c. Stimulasi pelepasan chemotactic agents dan growth factor dari

makrofag

d. Stimulasi pembentukan kapiler darah baru oleh sel-sel endotel

e. Stimulasi fibroblast untuk meningkatkan sintetis protein

f. Meningkatkan kandungan kolagen

g. Meningkatkan velositas konduksi saraf motor dan sensor yang akan

meningkatkan ambang nyeri

2.5.7 Efek Klinis Ultrasound

1. Efek termal

a. Memudahkan penguluran jaringan dan Lingkup Gerak Sendi (LGS)

b. Mengurangi nyeri

c. Menurunkan peradangan kronis

2. Efek non termal

a. Mempercepat penyembuhan luka

b. Mempercepat penyembuhan dengan mempercepat akhir peradangan

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

48

2.5.8 Implikasi Klinis

1. Mempercepat penyembuhan luka dengan percepatan fase awal

peradangan

2 Mempercepat penyembuhan luka dengan percepatan fase akhir

peradangan

3 Mempercepat penyusutan luka akibat kurangnya pembentukan scar

tissue

4. Mempercepat penyembuhan luka dengan perbaikan sirkulasi yang

memerlukan sintesis colagen

5. Mempercepat penyembuhan dengan memproduk kolagen yang hilang

6. Meningkatkan daya lentur jaringan

7. Mengurangi nyeri

2.5.9. Tissue Target

Kondisi sindroma miofasial otot trapezius descendens dimana yang terletak di

bagian badan ototnya yang berlapis-lapis dengan kedalaman 3 centimeter akan

sangat efektif bila menggunakan ultrasound dengan frekweinsi 1 MHz dengan

intensitas 1 W/cm , pulses 20% dengan waktu 10 menit akan lebih mudah

diabsorbsi karena penyerapan dari efek panas ultrasound lebih luas (Wadsworth

1998, Chanmugam, 2012).

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

49

2.5.10 Prosedur Pelaksanaan Ultrasound

(1) Jelaskan kepada pasien tujuan, efek yang dirasakan selama pemberian

ultrasound.

(2) Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman dengan daerah leher terlihat

dengan jelas tidak terhalang oleh pakaian ataupun rambut, posisi pasien

duduk depan fisioterapis.

(3) Anjurkan pasien untuk memberitahu fisioterapis jika terdapat nyeri pada

otot ataupun jika nyeri yang dirasakan bertambah berat karena hal tersebut

menandakan bahwa kemungkinan terjadi burning di dalam jaringan

tersebut.

(4) Pastikan setiap tombol dalam posisi nol.

(5) Nyalakan mesin generator ultraasound kemudian atur frekwensi dan

intensitas yang sesuai untuk kondisi miofasial otot trapezius descendens

adalah frekwensi 1 MHz, pulsed 20%, intensitas 1 W/cm2 selama 10

menit.

(6) Kemudian koupling media diberikan pada treatment head yang digunakan

adalah aquasonik gel. Treatment head ditempatkan pada daerah leher

yang mengalami sindroma miofasial otot trapezius descendens, tranduser

di gerakkan secara longitudinal maksimal sepanjang 10 cm.

(7) Tanyakan pasien sensasi yang dirasakan sehingga intensitas dapat ditambah

atau dikurangi sesuai dengan toleransi pasien dan tidak melebihi 1 W/cm2.

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

50

(8) Setelah terapi selesai mesin dimatikan, leher sampai bahu pasien

dibersihkan dengan menggunakan tissue/lap bersih begitu juga dengan

treatment head dan alat dirapikan kembali.

(9) Tanyakan keluhan yang dirasakan pasien setelah terapi apakah berkurang

atau timbul keluhan lain.

(10) Pasien dianjurkan untuk datang setiap 3 kali seminggu.

Gambar 5.2. Aplikasi Ultrasound

Sumber : (Faizah 2015)

2.5.11 Mekanisme Penurunan Nyeri Sindroma Miofasial yang Berakibat

Disabilitas Leher Melalui Ultrasound.

Pemberian modalitas ultrasound dapat terjadi iritan jaringan yang

menyebabkan reaksi fisiologis seperti kerusakan jaringan, disebabkan oleh efek

mekanik dan thermal ultrasound. Pengaruh mekanik tersebut juga dengan

terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

51

sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi

sekunder atau dikenal “neurogenic inflammation”. Namun dengan terangsangnya

“P” substance tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih

terpacu sehingga mempercepat terjadinya penyembuhan jaringan yang mengalami

kerusakan. Pengaruh gosokan juga akan membantu “venous dan lymphatic”,

sehingga akan menghasilkan pumping action dan fleksibilitas kapsul sendi

meningkat (Heru, 2001) .

Efek heating akan memberikan panas lokal pada kapsul sendi, otot ataupun

ligament yang dapat menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah dan menghasilkan

peningkatan sirkulasi darah ke daerah tersebut sehingga zat-zat iritan penyebab

nyeri dapat terangkat dengan baik dan dapat masuk kembali ke dalam aliran darah

dan membantu dalam mengatasi spasme otot. Pengaruh panas dari ultrasound

yang lain yaitu meningkatkan aktivitas sel, vasodilatasi pembuluh darah yang

memberikan penambahan nutrisi, oksigen dan memperlancar pengangkutan sisa

metabolisme, namun demikian efek termal ultrasound pengaruhnya lebih kecil

mengingat durasi panas yang diperoleh hanya 1 (satu) menit pada tiap-tiap

jaringan.

2.6. Stretching Metode Janda (Contract Relax Stretching)

2.6.1. Pengertian Stretching

Stretching adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan

setiap manuver terapi yang dirancang untuk meningkatkan perpanjangan jaringan

lunak, dengan demikian akan meningkatkan fleksibilitas dengan cara memperpan

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

52

jang struktur adaptif yang memendek dan menjadi hipomobile seiring berjalannya

waktu (Kisner and Colby, 2012).

Stretching metode Janda bertujuan mengulur jaringan otot yang tegang atau

kontraktur sehingga diperoleh penurunan spasme, meningkatkan kelenturan dan

diperoleh efek penurunan nyeri, memperbaiki posture sehingga akan berdampak

pada penurunan disabilitas leher. Konsep dasar Stretching metode janda untuk

mengulur jaringan otot. Janda mengklasifikasi apabila ada tightness, nyeri dan

spasme otot maka Janda menggunakan stretching dengan metode Contract Relax

Stretching dimana contract relax stretching ini dikembangkan dari technik PNF

(Pprofrioceptive Neuromuscular Fascilatation). Prinsipnya saat kontraksi

isometrik diperoleh peregangan pada tendon maupun miofasial, Pada saat relax

setelah kontraksi maka diperoleh penurunan tonus otot yang bersangkutan untuk

kemudian dilakukan peregangan (Janda, 2012).

Contract relax stretching merupakan kombinasi dari tipe stretching

isometrik dengan stretching pasif. Dikatakan demikian karena teknik contract

relax stretching yang dilakukan adalah memberikan kontraksi isometrik pada otot

yang memendek dan dilanjutkan dengan relaksasi dan stretching pada otot

tersebut (Kisner and Colby, 2012)

2.6.2 Respon Neurofisiologis Otot Terhadap Stretching Metode Janda

Stretching metode Janda dilakukan untuk mendapatkan[ efek rileksasi dan

pengembalian panjang dari otot dan jaringan ikat. Jaringan ikat membutuhkan

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

53

waktu 20 detik untuk mencapai efek relaksasi sedangkan otot membutuhkan

waktu 2 menit untuk dapat mencapai efek rileksasi.

Efek contract relax stretching jangka panjang pada manusia didapatkan bahwa

individu yang mendapatkan contract relax stretching dengan durasi 7 detik menunjukkan

panjang otot yang maksimum. Contract relax stretching dengan durasi 7 dan 7 detik

dapat mencapai efek yang maksimal pada minggu ke 7 dan contract relax stretching

dengan durasi 7 mencapai efek maksimal pada minggu ke-10 sedangkan contract relax

stretching yang diberikan dengan durasi 30 detik dapat menghasilkan efek maksimal pada

minggu keenam dan ketujuh (Kisner and Colby, 2012).

Otot terulur dengan sangat cepat maka spindel otot berkontraksi untuk

menghantarkan rangsangan serabut afferen primer yang menimbulkan ekstrafusal

melaju dan tegangan otot meningkat. Peristiwa ini disebut monosinaptik refleks

stretch. Contract relax stretching yang dilakukan dengan kecepatan tinggi dapat

meningkatkan tegangan dalam otot. Sedangkan jika otot diulur dengan kekuatan

yang sedang dan perlahan-lahan maka laju golgi tendon organ dan inhibisi dalam

otot menyebabkan sarkomer memanjang. Penerapan prosedur contract relax

stretching pasien menunjukkan suatu kontraksi isometrik dari otot yang

mengalami ketegangan sebelum secara pasif otot dipanjangkan. Penerapan teknik

ini adalah bahwa kontraksi isometrik yang diberikan sebelum stretching dari otot

yang mengalami ketegangan akan menghasilkan rileksasi sebagai hasil dari

autogenic inhibition. Kontraksi isometrik akan membantu menggerakkan stretch

reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot yang

maksimal. Golgi tendon organ dapat terlibat dan menhambat ketegangan otot

sehingga otot dapat dengan mudah dipanjangkan (Kisner and Colby, 2007).

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

54

2.6.3 Klasifikasi Contract Relax Stretching

1. Contract Relax Stretching pasif : merupakan contract relax stretching yang

dilakukan dengan kekuatan dari luar tubuh yaitu dengan bantuan fisioterapis

yang diaplikasikan secara manual atau dengan alat bantu mekanik.

2. Contract Relax Stretching aktif : merupakan metode contract relax stretching

yang dilakukan secara aktif dengan kekuatan pasien sendiri yang bertujuan

untuk menginhibisi otot yang spasme dan memendek.

2.6.4 Respon Otot Terhadap Stretching Metode Janda (Contract Relax

Stretching)

Contract relax stretching diberikan pada otot maka pengaruh stretching

pertama terjadi pada komponen elastrik (aktin dan miosin) dan tegangan dalam

otot meningkat dengan tajam, sarkomer memanjang dan bila dilakukan terus-

menerus otot akan beradaptasi dan hanya bertahan sementara untuk mendapatkan

panjang otot yang diinginkan (Kisner and Colby, 2012).

Contract relax stretching yang dilakukan pada serabut otot pertama kali

mempengaruhi sarkomer yang merupakan unit kontraksi dasar pada serabut otot.

Sarkomer berkontraksi area yang tumpang tindih antara komponen miofilamen

tebal dan komponen miofilamen tipis akan meningkat. Penguluran (stretch)

terjadi apabila area yang tumpang tindih ini akan berkurang yang menyebabkan

serabut otot memanjang. Serabut otot saat berada pada posisi memanjang yang

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

55

maksimum maka seluruh sarkomer terulur secara penuh dan memberikan

dorongan kepada jaringan penghubung yang ada di sekitarnya, sehingga pada saat

ketegangan meningkat serabut kolagen pada jaringan penghubung berubah

posisinya di sepanjang diterimanya dorongan tersebut. Saat terjadi suatu

penguluran maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu

pada kondisi normal yang dihasilkan oleh sarkomer. Penguluran terjadi ketika

menyebabkan serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur dirubah

posisinya sehingga menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima.

Perubahan dan pelurusan posisi ini memulihkan jaringan parut / scarred untuk

kembali normal (Kisner and Colby, 2007).

Otot pada saat diulur beberapa dari serabutnya akan memanjang tetapi

beberapa serabut otot yang lain mungkin berada pada posisi yang diam. Panjang

yang dihasilkan di dalam otot tergantung kepada jumlah serabut otot yang terulur.

Sesuai dengan Syner Stretch yaitu kantong-kantong kecil yang menahan serabut

otot menyebar di sepanjang otot tubuh yang terulur dan serabut otot yang lainnya.

Kekuatan total dari sebuah otot yang berkontraksi adalah merupakan hasil dari

sejumlah serabut otot yang berkontraksi, sehingga panjang total yang dihasilkan

oleh otot yang diulur juga merupakan hasil dari penguluran sejumlah serabut otot

sehingga semakin banyak serabut otot yang terulur akan menyebabkan semakin

besar panjang otot yang dihasilkan penguluran yang diberikan pada otot tersebut

(Kisner and Colby, 2007).

Page 49: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

56

2.6.5. Prosedur Aplikasi Stretching Metode Janda

Lebih utama digunakan untuk memanjangkan jaringan kontraktil, metode ini

lebih agresif dari hold relax, Pertama kali pasien melakukan kontraksi isotonik

kemudian dilanjutkan dengan kontraksi isometrik selama 7 detik , setelah itu

rileks, kemudian dibawa keposisi elongasi yang lebih panjang kemudian ditahan 7

detik , prosedur ini di ulang 6 kali (Janda , 2012).

2.6.6 Prosedur Pelaksanaan Stretching Metode Janda

1. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman dan daerah yang menjadi target

terapi terlihat jelas tanpa terhalang baju dan rambut.

2. Jelaskan prosedur, tujuan dan efek Stretching metode Janda yang

dirasakan.

3. Fisioterapis berada disamping pasien, posisi tidur terlentang bahu pasien

netral) dengan lengan. telapak tangan fisioterapis memfiksasi distal

humerus pasien pada posisi yang sakit. .

4. Pasien melakukan inspirasi maksimal kemudian melakukan gerakan

abduksi melawan dorongan tangan fisioterapis yang diberikan dengan arah

berlawanan (ke medial) dan ditahan selama 7 detik, kemudian relaksasi

diikuti ekspirasi dan fisioterapis melakukan stretching kearah lateral fleksi

rotasi selama 7 detik, lakukan 6 kali pengulangan

5. Pasien dianjurkan untuk datang seminggu 3 kali.

Page 50: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

57

Gambar : Stretching Metode Janda Sumber : (Faizah, 2015)

2.6.7 Mekanisme Penurunan Disabilitas Leher pada Sindroma Miofasial

Melalui Intervensi Stretching Metode Janda

Mekanisme penurunan nyeri yang berakibat disabilitas leher pada sindroma

miofasial otot trapezius descendens dengan intervensi Contract Relax Stretching

dengan adanya komponen Stretching maka panjang otot dapat dikembalikan

dengan mengaktifasi golgi tendon organ sehingga rileksasi dapat dicapai dengan

nyeri akibat ketegangan otot dapat diturunkan dan mata rantai Viscous Circle

dapat diputuskan. Pemberian intervensi Contract Relax Stretching dapat

mengurangi iritasi terhadap saraf Aδ dan C yang menimbulkan nyeri yang

berakibat terjadi disabilitas akibat adanya Abnormal Cross Link dapat diturunkan.

Semua ini terjadi karena saat diberikan intervensi Contract Relax Stretching

serabut otot ditarik keluar sampai panjang sarkomer penuh. Ketika terjadi maka

Page 51: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

58

akan membantu meluruskan kembali beberapa serabut atau Abnormal Cross Link

pada ketegangan akibat sindroma miofasial.

Kontraksi isometrik selama 7 detik yang diikuti dengan inspirasi maksimal

akan mengaktifkan motor unit maksimal yang ada pada seluruh otot. Kontraksi

maksimal juga akan menstimulus golgi tendo organ sehingga memicu rileksasi

otot setelah kontraksi (Reverse Innervation) yang menyebabkan terjadinya

pelepasan adhesi yang terdapat di dalam intermiofibril dan tendon (Janda, 2012).

Metode contract relax stretching rileksasi setelah kontraksi isometrik

maksimal dilakukan 7 detik dimana dalam proses ini diperoleh rileksasi maksimal

yang difasilitasi Reverse Innervation. Proses rileksasi yang diikuti ekspirasi

maksimal akan memudahkan perolehan pelemasan otot. Apabila dilakukan

peregangan secara bersamaan pada saat rilexsasi dan ekspresi maksimal maka

diperoleh pencapaian panjang otot yang tightness/kontraktur lebih maksimal

karena contract relax melalui mekanisme stretch relax, autogenic inhibition

sehingga dapat dikatakan bahwa stretching pada maksimal range of motion

(ROM) akan merangsang golgi tendon organ sehingga timbul relaksasi pada otot

antegonis (Chaitow, 2001).

Kontraksi otot yang kuat akan mempermudah mekanisme pumping action

sehingga proses metabolisme dan sirkulasi lokal dapat berlangsung dengan baik

sebagai akibat dari vasodilatasi dan relaxsasi setelah kontraksi maksimal dari otot

tersebut, dengan demikian maka pengangkutan sisa-sisa metabolisme (P

substance) dan asetabolic yang diproduksi melalui proses inflamasi dapat berjalan

dengan lancar sehingga rasa nyeri dapat berkurang Kontraksi isometrik pada

Page 52: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

59

intervensi contract relax stretching akan membantu menggerakkan stretch

reseptor dari spindel otot untuk segera menyesuaikan panjang otot maksimal.

Kontraksi isometrik ini terjadi penurunan stroke volume jantung, diafragma

menekan organ dalam dan pembuluh darah yang ada di dalamnya sehingga

menekan darah agar keluar dari organ dalam. Kontraksi isometrik selama 7 detik

yang diikuti dengan inspirasi maksimal akan mengaktifkan motor unit maksimal

yang ada pada seluruh otot. Kontraksi maksimal ini juga akan menstimulus golgi

tendo organ sehingga memicu relaksasi otot setelah kontraksi (reverse

innervation) yang menyebabkan terjadinya pelepasan adhesi yang terdapat di

dalam intermiofibril dan tendon (Kisner and Colby, 2007).

2.7 Disabilitas Leher

Disabilitas diartikan sebagai sebuah difinisi payung dimana didalamnya

terdapat impairment (body function dan body structure), activity limitation dan

participation retrictions. Impairment adalah masalah yang terjadi pada tingkatan

body function dan body structure dan aktivity limitation adalah suatu bentuk

kesulitan individual dalam menyesuaikan gerakan atau aktivitas, sedangkan

participation retriction adalah masalah yang terjadi pada individu dalam

menghadapi kehidupannya (WHO, 2012).

Neck Disability Index (NDI) adalah untuk mengukur disabilitas leher secara

khusus. untuk membuat kita memahami lebih baik bagaimana nyeri leher dapat

mempengaruhi kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari - hari.

Page 53: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

60

Kuisionernya memiliki 10 macam pertanyaan yang terfokus pada nyeri dan

aktifitas hidup sehari – hari termasuk intensitas nyeri, perawatan diri sendiri,

mengangkat, membaca, sakit kepala, konsentrasi, status bekerja, mengemudi,

tidur dan rekreasi. Pengukurannya dirancang untuk diberikan kepada pasien dan

mengisi kuesiner, dapat memberikan informasi yang berguna untuk manajemen

dan prognosis pada mereka yang menderita disabilitas leher.

Penilaian neck disability index dinilai dengan menggunakan separately test,

dimana score separately memiliki 10 bagian dari setiap bagian memiliki nilai

masing –masing nilainya 0 - 5, yang kemudian dijumlahkan maka maksimal

adalah 50 (Fairbanks et al, 2008).

. Jika semua kuisioner penilaian terisi, maka jumlah skore maksimal penilaian

dikalikan 2 (2x50) menjadi 100. Jika tidak semua penilaian terisi maka total

pembagi adalah jumlah yang terisi dikalikan 5.

Rumus: Nilai pasien X 100 = ________ % DISABILITY

jumlah Kuisioner penilaian terisi X 5

Hasil score

Disabilitas dalam % Level Disabilitas

0 – 4 0 – 10 % Bukan disabilitas

5 – 14 10 – 28 % Mild Trapeszius

15 – 24 30 – 48 % Moderat

25 – 34 56 – 68 % Severe

Diatas 34 Diatas 60 % Komplit

Page 54: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Miofasial Otot Trapezius

61