32
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana Terapi ARV Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah diupayakan melalui berbagai macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia semuanya menuju pada paradigma zero new infection, zero AIDS-related death dan zero discrimination meliputi pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan, mitigasi dampak, dan persiapan lingkungan yang kondusif (Kemenkes RI, 2011b; KPAN, 2010). Salah satu pilar yang menjadi kunci keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS adalah perawatan, dukungan dan pengobatan dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV). Kepedulian pemerintah Indonesia terhadap kondisi epidemi HIV/AIDS ditunjukkan melalui peningkatan jumlah layanan PDP (perawatan, dukungan dan pengobatan) sampai tahun 2014 yaitu 454 terdiri dari 324 rumah sakit rujukan PDP dan 130 satelit (Kemenkes RI, 2014). Tentunya kondisi ini akan sangat menunjang program pengobatan ARV sehingga insiden HIV/AIDS dapat diturunkan. Kebijakan pemberian terapi ARV terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan bukti ilmiah dan ketersediaan layanan secara internasional. Semakin dini odha terjangkau di layanan kesehatan untuk mengakses ARV, maka semakin menurunkan risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun menularkan infeksi HIV (Kemenkes RI , 2011b). Pedoman nasional pengobatan 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan dan Tatalaksana Terapi ARV

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah diupayakan melalui berbagai

macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan

HIV/AIDS di Indonesia semuanya menuju pada paradigma zero new infection, zero

AIDS-related death dan zero discrimination meliputi pencegahan, perawatan,

dukungan dan pengobatan, mitigasi dampak, dan persiapan lingkungan yang kondusif

(Kemenkes RI, 2011b; KPAN, 2010). Salah satu pilar yang menjadi kunci

keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS adalah perawatan, dukungan dan

pengobatan dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV). Kepedulian pemerintah

Indonesia terhadap kondisi epidemi HIV/AIDS ditunjukkan melalui peningkatan

jumlah layanan PDP (perawatan, dukungan dan pengobatan) sampai tahun 2014 yaitu

454 terdiri dari 324 rumah sakit rujukan PDP dan 130 satelit (Kemenkes RI, 2014).

Tentunya kondisi ini akan sangat menunjang program pengobatan ARV sehingga

insiden HIV/AIDS dapat diturunkan.

Kebijakan pemberian terapi ARV terus mengalami perubahan seiring dengan

perkembangan bukti ilmiah dan ketersediaan layanan secara internasional. Semakin

dini odha terjangkau di layanan kesehatan untuk mengakses ARV, maka semakin

menurunkan risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun

menularkan infeksi HIV (Kemenkes RI , 2011b). Pedoman nasional pengobatan

10

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

11

antiretroviral di Indonesia terus diperbaharui secara periodik mengacu pada pedoman

dan rekomendasi WHO sesuai dengan perkembangan bukti ilmiah berupa kajian

klinik dan penelitian observasional atas efikasi, efek samping obat serta pengalaman

pemakaian ARV oleh program di negara dengan keterbatasan sumber daya, seperti

obat dan biaya (Depkes, 2007).

Pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada odha bertujuan untuk menurunkan

angka kematian akibat AIDS, angka kesakitan, rawat inap dan meningkatkan kualitas

hidup odha berbagai stadium. Terapi ARV diberikan setelah melalui penilaian

stadium klinis, imunologi, dan virologi. Penentuan stadium klinis dan jumlah CD4

merupakan kondisi terpenting yang harus diketahui di awal sebelum memulai terapi.

Penanganan penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan

pengobatan (treatment). Sepuluh prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian

terapi ARV yaitu indikasi pengobatan, kombinasi obat, first chance (pemilihan obat

lini pertama yang diprioritaskan), kompleksitas, resisten, informasi, motivasi dan

compliance, monitoring, target pengobatan, dan studi (34).

Pasien yang sudah ditetapkan positif HIV/AIDS langkah selanjutnya adalah

pemeriksaan fisik lengkap dan laboratorium untuk mengidentifikasi infeksi

oportunistik, menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB,

skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk ibu hamil, pemeriksaan CD4 untuk

menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ART, pemberian PPK

jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan (adherence), konseling

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

12

positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan

alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan lebih lanjut maka pasien dibagi menjadi

tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu memenuhi syarat

ARV, belum memenuhi syarat ARV dan ada kendala kepatuhan. Rekomendasi

selanjutnya, untuk pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia

pemeriksaan CD4 berdasarkan kebijakan pedoman ARV tahun 2011 adalah

1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 > 350 sell/mm3

tanpa memandang stadium klinisnya

2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan

koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4

Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTI

(nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTI (non-nucleoside

reverse transcriptase inhibitors, misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin

dan nevirapin. Lini ke dua terdiri dari 2 NRTI dan boosted PIs (protease inhibitor)

yang diperkuat LPV/r (ritonavir). Penambahan (boosted) dengan ritonavir ini untuk

mengurangi dosis yang sangat tinggi dari PI. Pedoman pemberian terapi ARV di

Indonesia disusun sejak tahun 2007, terdapat perbedaan dengan pedoman terapi tahun

2011 yang saat ini dijadikan sebagai acuan. Berikut merupakan perbedaan pedoman

terapi antara keduanya:

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

13

Tabel 2.1 Pedoman Terapi ARV di Indonesia

Populasi Target Pedoman Terapi ARV 2007 Pedoman Terapi

ARV 2011

Indikasi memulai terapi ARV

Odha tanpa gejala klinis

(stadium 1) dan belum

pernah mendapatkan

terapi ARV

CD4 ≤ 200 sel/mm3 CD4 ≤ 350 sel/mm

3

Odha dengan gejala

klinis dan belum pernah

memperoleh terapi ARV

Semua pasien dengan CD4 ≤

200 sel/mm3, stadium 3 dan 4,

berapapun jumlah CD4

Stadium klinis 2

bila CD4 ≤ 350

sel/mm3, stadium

klinis 3 dan 4 tanpa

melihat jumlah

CD4

Perempuan hamil

dengan HIV

Stadium 1 atau 2 dengan

CD4 < 200 sel/mm3, stadium

3 dan CD4 < 350 sel/mm3 dan

stadium 4, berapapun jumlah

CD4

Semua ibu hamil

berapapun jumlah

CD4 dan kondisi

stadium klinis

Odha dengan koinfeksi

TB yang belum pernah

menerima terapi ARV

Adanya gejala TB aktif dan

CD4 < 350 sel/mm3

Mulai terapi

berapapun jumlah

CD4

Odha dengan koinfeksi

Hepatitis B (HBV) yang

belum mendapatkan

terapi ARV

Tidak ada rekomendasi

khusus

Odha dengan

koinfeksi Hepatitis

B (kronis aktif) dan

berapapun junlah

CD4

Sumber : (Kemenkes RI , 2011b)

Data diri lengkap pasien akan dimasukkan ke dalam rekam medis dan register

terapi ARV ketika pasien HIV/AIDS memulai terapi. Setiap pasien akan teregistrasi

dalam nomor register nasional sesuai dengan kode registrasi rumah sakit. Pasien

datang ke klinik VCT tiap bulan sekali, dengan waktu yang sudah ditetapkan yang

tertera pada rekam medis dan diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan

selanjutnya. Hasil tatalaksana pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

14

terapi ARV yang terkontrol, berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia dan loss

follow-up ( Kemenkes RI, 2011a ; Kemenkes RI, 2011b).

Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik

bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan

efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi,

mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik

dan menurunkan jumlah virus dalam jangka waktu yang lama (UNAIDS, 2013a).

Terapi ARV diberikan seumur hidup karena HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat

disembuhkan. Tujuan pemberian ARV adalah menjaga viral load dibawah 50

kopi/ml, dikatakan gagal terapi jika viral load mencapai 1000 kopi/ml (Kemenkes RI,

2011b). Keberhasilan terapi ARV memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien

HIV/AIDS sehingga kepatuhan pasien harus selalu dipantau dan dievaluasi secara

teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh

ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes RI, 2011b; Lamb et al.,

2012; UNAIDS, 2013a).

2.2 Loss To Follow Up pada Odha

2.2.1 Prevalensi Loss To Follow Up

Jumlah insiden atau kasus baru HIV dan kematian secara global sudah

mengalami penurunan dengan adanya terapi ARV (UNAIDS, 2012). Kasus baru HIV

di Asia Pasifik selama tahun 2011 mencapai 350.000 dengan penurunan 26% sejak

tahun 2001 dan cakupan pengobatan mencapai 51% telah mengalami peningkatan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

15

dari 46% sejak tahun 2009 (UNAIDS, 2013). Layanan pengobatan HIV sudah

diperluas baik dari segi perencana dan pelaksana program, dan untuk selanjutnya

yang menjadi fokus perhatian adalah menutup kesenjangan dalam continum

perawatan HIV. Data yang tepat waktu dan akurat untuk setiap tahap cascade

pengobatan perlu dikumpulkan dan dianalisis agar dapat digunakan untuk mengkaji

manajemen program dan pengembangan intervensi yang ditargetkan untuk mencegah

LTFU pada seluruh cascade pengobatan (UNAIDS, 2012a).

Loss to follow up pada pasien yang menerima ART dapat mengakibatkan

konsekuensi serius seperti penghentian pengobatan, toksisitas obat, kegagalan

pengobatan karena ketidakpatuhan, dan resistensi obat (UNAIDS, 2013a). Cakupan

terapi ARV pada negara berpenghasilan rendah dan menengah terus meningkat

hingga mencapai 9,7 juta pada tahun 2012 namun continuum dari perawatannya

masih menjadi masalah yang menimbulkan persoalan baru seperti LTFU (UNAIDS,

2013a). Negara berpenghasilan tinggi dan rendah memiliki resiko LTFU yang

berbeda jika dilihat dari jumlah CD4 saat memulai ART dan kondisi ini menentukan

estimasi LTFU. Jumlah CD4 awal yang rendah merupakan resiko LTFU pada negara

penghasilan rendah seperti Zambia, sedangkan kondisi berbeda untuk negara

penghasilan tinggi seperti Switzerland bahwa jumlah CD4 yang tinggi lebih beresiko

untuk LTFU (Schöni-Affolter et al., 2011).

Penelitian dengan metode systematic review pada low and middle income

countries menunjukkan estimasi LTFU yaitu 7,6% -15,1% dan studi di Sub-Saharan

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

16

Afrika dengan metode yang sama bahwa pasien yang memenuhi syarat ART

mengalami LTFU 25%-54%, sedangkan penelitian yang dilakukan pada 93 site di

Eropa memiliki insiden rate LTFU yang lebih kecil yaitu 3,72 per 100 person years.

Walaupun negara maju menunjukkan insiden rate yang lebih kecil namun

kemungkinan LTFU teridentifikasi meninggal sama untuk semua kategori negara

tersebut dan teridentifikasi telah meninggal sebesar 12%-87%, sehingga melacak

kembali status pasien yang LTFU perlu dilakukan. Sebagian besar pasien jika tidak

teridentifikasi meninggal akan kembali berkunjung setelah satu tahun LTFU untuk

melakukan pengukuran jumlah CD4 atau pengukuran viral load (Brinkhof et al.,

2009; Mcmahon et al., 2013; Mugglin et al.,2014; Mocroft et al., 2008). Penelitian

yang dilakukan pada 18 sites di Kawasan Asia Pasifik melalui data TAHOD (Treat

Asia HIV Observational Database) pada tahun 2012 ditemukan 21,4 % per tahun

kasus LTFU dari 3626 pasien (Zhou et al., 2012).

Kondisi yang paling sering terjadi bahwa LTFU dikaitkan dengan alasan

transfer ke program lain, masalah keuangan, meningkatkan atau memburuknya

kesehatan, sulit dilakukan pelacakan diantara pasien LTFU karena adanya pencatatan

nomor telepon dan alamat yang sering salah atau hilang (Brinkhof et al., 2009;

Deribe et al., 2008). Prevalensi LTFU di Indonesia sesuai laporan dari Kemenkes per

Agustus 2014 sebesar 17,95% (14.360 dari 81.518 yang pernah menerima ART)

meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu 15,75% (10.825 dari 65.311 yang pernah

menerima ART). Pasien yang LTFU masih kurang mendapatkan perhatian padahal

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

17

hampir 50% dari pasien LTFU teridentifikasi meninggal (Brinkhof et al., 2009;

Wubshet et al., 2013). Penelitian cross sectional analitik yang dilakukan di RSUP dr

Kariadi Semarang menunjukkan prevalensi loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS

sebesar 4,5% (Rosiana, 2014). Studi dan penelitian tentang kondisi LTFU di

Indonesia masih sangat terbatas terutama penelitian longitudinal.

2.2.2 Definisi Loss To Follow Up

Kriteria waktu penentuan loss to follow up merupakan indikator penting untuk

memonitor kelangsungan pengobatan ARV selain sebagai deteksi awal kemungkinan

terjadinya resistensi (Bennett et al., 2006). Istilah loss to follow up dalam beberapa

literature disingkat dengan LTFU (Chi et al., 2010; Chi et al., 2011; Krishnan et al.,

2011; Zhou et al., 2012). Program pengobatan ARV di Indonesia menetapkan LTFU,

jika pasien tidak berkunjung kembali 3 bulan atau lebih dari kunjungan terakhir.

Penentuan tanggal kunjungan terakhir di pelayanan tersebut sebagai waktu penetapan

LTFU (Kemenkes RI, 2011b). Penelitian di beberapa negara lain juga menentukan

jika pasien tidak datang kembali berkunjung lebih dari tiga bulan sebagai LTFU ( Chi

et al., 2010; Ochieng-Ooko et al., 2010; Onoka et al., 2012; Lamb et al., 2012;

Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Tran et al., 2013).

Penentuan cut off point ini berbeda dengan penentuan LTFU menggunakan TAHOD

(Treat ASIA HIV Observational Database) yaitu 180 hari (Zhou et al., 2012).

Perbedaan definisi LTFU dan pada periode pengamatan dapat berkontribusi

perbedaan taksiran tingkat LTFU (Fleishman et al., 2013)

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

18

Penelitian oleh Chi et al., tahun 2010 di Lusaka Zambia, menunjukkan kriteria

penentuan LTFU yang tepat (reasonable definition) adalah 56 hari atau ≥ 60 hari

dengan kesalahan klasifikasi sebesar 5,1% (95% CI; 4,8–5,3) dan memiliki

sensitivitas 84,1% (95% (CI):83,2- 85,0), spesifisitas 97,5% (95% CI; 97,3-97,7) (Chi

et al., 2010). Sedangkan penelitian serupa juga dilakukan oleh Chi et al., tahun 2011

pada 111 fasilitas kesehatan di Afrika, Asia, dan America Latin tidak termasuk

Indonesia merekomendasikan cut off point LTFU yaitu ≥ 180 hari dengan kesalahan

klasifikasinya sebesar 1,2 % (95% CI 1,0%-1,5%). Kondisi ini menunjukkan masih

adanya ketidakkonsistenan penentuan LTFU yang akan berdampak pada sistem

monitoring dan evaluasi program ART secara global (Chi et al., 2011). Upaya

memonitor hal tersebut maka perlu standar untuk mengklasifikasi pasien sebagai

LTFU (Chi et al., 2011). Studi dengan metode systematic review menyebutkan bahwa

definisi LTFU berbeda pada setiap studi tetapi 52% dari penelitian kohort (28/54)

yang ditemukan pasien LTFU diklasifikasikan dalam waktu 3-4 bulan setelah kontak

terakhir mereka dengan klinik ART (McMahon et al., 2013).

Klasifikasi pasien sebagai LTFU bergantung pada definisi dengan basis

interval artinya pasien absen untuk berkunjung dalam interval tertentu setelah

kunjungan sebelumnya diklasifikasikan sebagai LTFU. Jika interval ini terlalu

pendek, meskipun banyak pasien akan akurat diidentifikasi sebagai LTFU akan ada

beberapa tingkat positif palsu yang tinggi dari pasien yang diklasifikasikan sebagai

LTFU. Sebaliknya, jika interval terlalu lama maka beberapa pasien yang benar-benar

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

19

LTFU akan diklasifikasi sebagai absen sehingga perlu menentukan standar definisi

LTFU untuk meminimalkan kesalahan klasifikasi pasien. Makadari itu diperlukan

penentuan definisi universal LTFU atau algoritma umum untuk menentukan cut off

LTFU dalam mengevaluasi program pengobatan ARV.

2.2.3 Dampak Loss To Follow Up Terhadap Pemberian Terapi ARV

Pemberian terapi ARV pada odha memerlukan pencatatan dan monitoring

yang baik untuk menghindari terjadinya kegagalan terapi atau resistensi yang dapat

berdampak pada kematian. Persentase kejadian LTFU merupakan indikator awal

untuk mendeteksi potensi resistensi. WHO merekomendasikan target < 20 % untuk

kejadian LTFU pada satu tahun pertama odha yang menerima terapi ARV (Benetta et

al., 2008). Mengetahui kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV penting

karena ART tidak menyembuhkan infeksi HIV sehingga pasien harus mengambil

obat antiretroviral teratur selama sisa hidup mereka. Beberapa program ART

menunjukkan lebih dari sepertiga pasien mengalami LTFU dan mereka berhenti

datang untuk pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi, tentunya hal ini

mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Tingkat supresi virus yang

optimal terjadi bila 95% dari semua dosis obat ARV diminum, dan resiko kegagalan

terapi paling sering terjadi karena lupa minum obat (Kemenkes RI, 2011b). Tingkat

kepatuhan pengobatan yang rendah sangat menentukan terjadinya LTFU (Tran et al.,

2013).

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

20

Kondisi LTFU dan kematian merupakan dua kondisi yang saling berkaitan,

dimana odha dengan jumlah CD4 < 100 sel / mm3

dan ≥ 350 sel / mm3

yang tercatat

dalam status LTFU terdeteksi meninggal sebesar 22,9% dan 13,6%. (Schöni-Affolter

et al., 2011). Peningkatan resiko kematian terjadi pada odha dengan kondisi LTFU

karena resiko penghentian pengobatan sehingga LTFU ini menjadi salah satu

masalah dalam pengobatan (Bekolo et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Beberapa

penelitian juga menyebutkan bahwa LTFU meningkatkan risiko kematian pada odha

(Somi et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013;

Alvarez-Uria et al., 2013; Edwards et al., 2014).

2.3 Determinan yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang

menerima terapi ARV

Retensi pemakaian ARV dan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan

penentu penting dari hasil jangka panjang pemberian terapi pada odha. LTFU pasien

saat pengobatan membahayakan kesehatan mereka sendiri dan keberhasilan jangka

panjang dari program ART (Tezera et al., 2014). Probabilitas LTFU berhubungan

dengan jangka waktu perawatan ART dimana proporsi yang lebih tinggi dari LTFU

tercatat dalam 6 bulan pertama setelah memulai ART dan umumnya kemungkinan

LTFU secara bertahap meningkat seiring dengan masa retensi lebih lama (Berheto et

al., 2014). Penelitian yang pernah dilakukan di negara lain menunjukkan beberapa

determinan yang berhubungan dengan LTFU pada pasien odha diantaranya yaitu:

2.3.1 Karakteristik Sosiodemografi

2.3.1.1 Umur

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

21

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur yang semakin muda lebih

berisiko untuk mengalami LTFU (Ochieng-Ooko et al., 2010; Krishnan et al., 2011;

Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Saka et al., 2013;

Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Kate et al. 2014;). Penelitian di Ethiopia

menunjukkan bahwa remaja dua kali (HR=2,1; 95% CI: 1,3-3,4) dan orang dewasa

1,4 kali (HR = 1,4; 95% CI:1,0-2,0) lebih mungkin menjadi LTFU daripada anak-

anak (Tezera et al., 2014).

Odha dalam kategori remaja cenderung menunjukkan ketidakdewasaan dalam

berpikir analitis dan kemungkinan ada tantangan tertentu yang terkait dengan

pubertas, stigma dan diskriminasi yang lebih besar serta tidak memiliki pengasuh

(berbeda dengan anak-anak) (Murphy et al., 2003). Selain itu usia muda cenderung

memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi (Krishnan et al., 2011). LTFU pada

pasien muda mungkin terkait dengan penolakan psikologis dari infeksi HIV dan

kecenderungan mencari perawatan lain (Roura et al., 2009). Penelitian di Myanmar

menyebutkan bahwa umur ≥ 40-80 tahun lebih berisiko mengalami LTFU (aHR=1.5;

95% CI 1,25 -1,94) (Sabapathy et al., 2012). Umur memiliki hubungan yang lemah

untuk dikaitkan dengan kejadian LTFU namun tetap masuk akal untuk diamati karena

kelompok usia termuda yang paling mungkin untuk mengalami LTFU terutama

kondisi tanpa gejala yang memicu ketidakpedulian mereka dalam perawatan (Bekolo

et al., 2013).

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

22

2.3.1.2 Jenis Kelamin

Studi menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan terhadap kejadian

LTFU. Laki-laki memiliki risiko LTFU lebih tinggi dari pada perempuan (Odafe et

al., 2012; Onoka et al., 2012; Evans et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al.,

2013; Mugisha et al., 2014). Periode selama dua tahun terapi ARV kejadian loss to

follow up pada laki-laki (AHR 1,4; 95% CI 1,2-1,7) lebih tinggi daripada perempuan

(AHR 1,3, 95%CI 1,1–1,5) (Mugisha et al., 2014). Namun dalam 6 bulan terapi ARV

justru perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU dibandingkan

laki-laki (OR=1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka et al., 2013).

Laki-laki lebih berisiko mengalami LTFU karena mereka cenderung datang

ke pelayanan ketika sakit dan kurang bersedia untuk memberikan informasi secara

detail (Onoka et al., 2012). Informasi yang detail misalnya pencatatan nomor telepon

akan memudahkan dalam pelacakan dan pendeteksian keberlangsungan pengobatan

ARV (McMahon et al., 2013) Laki-laki memiliki variasi dalam mobilitas dan risiko

tinggi penyalahgunaan narkoba yang dapat mengganggu kepatuhan dalam terapi

ARV sehingga lebih memiliki kemungkinan untuk LTFU (Alvarez-Uria et al., 2013).

Kebanyakan pria dengan kecanduan narkoba mengalami toksisitas yang lebih tinggi

karena interaksi dengan obat ARV yang mengarah ke penghentian terapi (Gordillo et

al., 1999). Berbeda kondisinya pada perempuan yang lebih mungkin untuk datang ke

fasilitas layanan kesehatan dibandingkan pria untuk mendapat layanan reproduksi dan

pelayanan kesehatan anak (Odafe et al., 2012). Perempuan mungkin mencari

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

23

perawatan segera karena mereka adalah pengasuh utama dalam keluarga dan merasa

memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk tetap sehat (Ochieng-Ooko et al.,

2010). Laki-laki lebih cenderung mengalami LTFU jika memiliki penyakit stadium

lanjut, sedangkan perempuan lebih mungkin untuk LTFU jika jumlah CD4 mereka

tinggi, hal ini menunjukkan bahwa LTFU pada laki-laki kemungkinan terjadi karena

penyakit yang bertambah parah atau kematian (Ochieng-Ooko et al., 2010).

2.3.1.3 Pendidikan

Odha yang berpendidikan lebih termotivasi untuk patuh dalam pengobatan

karena kemampuan mereka untuk memahami hasil laboratorium dan informasi ilmiah

baru tentang HIV dan pengobatan (Krishnan et al., 2011). Kondisi sebaliknya bahwa

mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah sulit untuk memahami pra

konseling yang meliputi informasi terhadap jalannya HIV infeksi, tujuan pengobatan,

risiko dan manfaat terapi, efek samping, resistensi dan kepatuhan yang kompleks.

Tingkat pendidikan yang rendah (aOR 3,80 95% CI 1,14-12,7; p=0,03) terkait dengan

penolakan pengobatan sehingga berkontribusi pada insiden LTFU (Karcher et al.,

2007). Kondisi ini didukung dengan penelitian di India menunjukkan bahwa buta

huruf meningkatkan kejadian LTFU (aHR 1,3; 95% CI 1,1- 1,6) (Alvarez et al.,

2013). Kejadian LTFU sebelum terapi ART meningkat pada pendidikan menengah

pertama (aHR 2,0; 95% CI 1,1–3,6; p< 0,05) (Hassan et al., 2012). Penelitian dengan

hasil serupa juga dilakukan oleh Honge et al., menunjukkan pasien odha yang tidak

sekolah beresiko mengalami LTFU namun memiliki hubungan yang tidak signifikan

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

24

(aHR 1,22; 95% CI 0,98- 1,52) (Hønge et al., 2013). Krishnan et al., dengan

menggunakan pendekatan lama pendidikan (ukuran tahun) bahwa pendidikan <16

tahun berhubungan secara signifikan mengalami LTFU. Semakin pendek lama

pendidikan yang ditempuh maka resiko LTFU juga semakin besar (Krishnan et al.,

2011). Orang dengan pendidikan rendah mungkin memiliki masalah yang berkaitan

dengan ketenagakerjaan seperti tidak memiliki waktu untuk istirahat dari pekerjaan

dan melakukan kunjungan klinik (Ross dan Adler dalam Krishnan et al., 2011).

2.3.1.4 Pekerjaan

Pekerjaan seringkali dikaitkan dengan penghasilan seseorang. Pasien

pengangguran memiliki kecenderungan 51% (HR 1.51, 95% CI: 1,34-2,00) menjadi

LTFU ( Kate et al., 2014). Beberapa studi menunjukkan pasien yang tidak memiliki

tempat tinggal atau homeless beresiko mengalami LTFU namun tidak memiliki

hubungan yang signifikan antara keduanya (Alvarez-Uria et al., 2013; Lebouche et

al., 2006). Sebagian besar odha memiliki retensi perawatan yang rendah dalam terapi

ARV akibat masalah keuangan yang dihadapi. Tingkat keberlangsungan hidup odha

ditentukan dari kepatuhan dan keberlanjutan pengobatan (Giordano et al., 2007)

2.3.1.5 Status Menikah

Pasien yang tidak memiliki pasangan dan bercerai (aHR 1,6, 95% CI 1,2- 2,3)

(Alvarez et al., 2013), rata-rata mengalami LTFU dibandingkan dengan pasien yang

telah menikah (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Mugisha et al., 2014).

Mereka yang tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan sehingga lebih

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

25

mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma terkait HIV dan ini terbukti menjadi

penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam perawatan dan pengobatan (Merten

et al., 2010).

2.3.1.6 Pengawas Minum Obat (PMO)

PMO adalah orang yang membantu pengawasan minum obat odha untuk

menurunkan kejadian resistensi (Kemenkes RI, 2011a). Adanya pengawas minum

obat dan layanan penjangkauan di fasilitas kesehatan sangat berpengaruh terhadap

kejadian LTFU. Peran utama PMO adalah untuk membantu kepatuhan pasien dengan

mungkin ikut terlibat menemani pasien ke klinik untuk kunjungan, mengambil obat,

dan memberikan bantuan untuk memastikan pasien mengambil obat yang tepat pada

waktu yang tepat, dengan cara yang benar (WHO, 2006). PMO tidak hanya

memberikan pengawasan tetapi juga mampu meningkatkan penerimaan diri

(acceptance) odha melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan

(Nasronudin, 2007). Penelitian di Sub Saharan tahun 2012 menunjukkan klinik

dengan layanan PMO dan penjangkauan yang tersedia memiliki tingkat LTFU lebih

rendah (aRR = 0,48, 95% CI: 0,25-0,92) (Lamb et al., 2012).

2.3.1.7 Risiko Penularan

Penelitian di Vietnam menunjukkan odha dengan IDU (injection drug user)

memiliki kecenderungan mengalami LTFU yang lebih besar (aHR=1,40 95% CI

1.25–1.89), hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Jepang (aHR= 1,544

95% CI 1,028-2,318; p = 0,036) bahkan resiko LTFU lebih tinggi pada kelompok

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

26

MSM ( man sex man) pengguna IDU dengan aHR=1,641 ( 95% CI 1,061-2,538 p=

0,026) (Nishijima et al., 2013;Tran et al., 2013). Odha dengan riwayat IDU lebih

mungkin untuk mengalami LTFU karena merasa memiliki stigma ganda dari internal

dan eksternal. Selain itu, kehadiran penyakit tambahan yang terkait dengan obat

suntik akan mengurangi waktu kunjungan untuk layanan ART karena ada

kemungkinan mereka perlu mendapatkan pelayanan kesehatan preventif dan kuratif

lainnya seperti terapi metadon, pertukaran jarum, atau pengobatan co-infeksi lain

(yaitu, hepatitis C, TB) (Nishijima et al., 2013). Ketergantungan dengan obat-obatan

tersebut dapat menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi jadwal pengobatan

ART. Kelompok pengguna obat-obatan terlarang ini berhubungan dengan penyerapan

ART dan kepatuhan terhadap pengobatan yang lebih rendah (Wood et al., 2003).

Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada kelompok Afrika

bahwa perempuan heteroseksual lebih berisiko terjadi LTFU dengan OR = 2,22 (95%

CI 1,11-4,56), hal ini disebabkan oleh kondisi kehamilan mendapatkan terapi ARV

jangka pendek dan kondisi ini menyumbangkan 10% untuk kejadian LTFU pada

kelompok perempuan (Gerver et al., 2010). Penelitian di Jepang pada kelompok

MSM (man sex man) menunjukkan resiko LTFU lebih besar pada orientasi biseksual

(aOR 1,34 95% CI 0,85-2,12) dibandingkan dengan homoseksual (Tang et al., 2015).

Kelompok LSL orientasi homoseksual cenderung memiliki resiko LTFU

yang lebih rendah (OR 0,6 95% CI:0,5-0,7) dibandingkan dengan heteroseksual (OR

2.22, 95% CI:1,11-4,56) (Lebouche et al., 2006; Gerver et al., 2010; Lanoy et al.,

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

27

2006). Stigma yang masih tinggi di kalangan MSM (Graham et al., 2013) dapat

menurunkan retensi terhadap terapi ARV, namun dengan adanya jaringan sosial yang

kuat diantara populasi kunci ini, mampu menurunkan kejadian LTFU (Tang et al.,

2015).

2.3.2 Karakteristik Klinis

2.3.2.1 Berat Badan

Berat badan merupakan acuan yang biasa digunakan untuk menilai status gizi.

Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi akan memiliki

kondisi kesehatan yang lebih baik sehingga odha dengan kondisi ini cenderung akan

mempertahankan terapi ARV karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Odha

yang memulai terapi dengan berat badan kurang dari 45 kg lebih beresiko mengalami

kematian dan attrition. Kehilangan berat badan > 10% merupakan gejala umum yang

dialami saat terinfeksi HIV (Dalal et al., 2008). Kondisi kesehatan lainnya yang dapat

dijadikan ukuran selain berat badan adalah ukuran BMI (body mass index). BMI

(body mass index) ≤ 18,5 kg/m2 menunjukkan kondisi kesehatan yang kurang baik

sehingga dapat menurunkan kepercayaan pasien terhadap terapi sehingga

kemungkinan LTFU lebih besar (aHR 1.51; 95% CI 1,23-1,87), didukung juga

adanya oropharyngeal candidiasis dengan BMI yang rendah (HR 1,36 95% CI 1,02-

1,82) (Hønge et al., 2013; Evans et al., 2013). Sebaliknya kenaikan BMI setiap

unitnya menurunkan kejadian LTFU (aHR, 0.97; 95% CI 0,88–1,03) tetapi tidak

menunjukkan hubungan yang signifikan. Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

28

menyatakan odha yang memiliki berat badan ≥ 60 kg memiliki risiko 76% lebih

rendah untuk mengalami LTFU dibandingkan odha dengan berat badan < 40 kg

(AHR 3.47 95% CI 1.02-11.83), mereka yang memiliki berat badan normal memiliki

kepercayaan terhadap pengobatan dan berusaha mempertahankan (Haile & Mekelle,

2014).

2.3.2.2 Jumlah CD4

Jumlah CD4 menjadi tolak ukur status kesehatan odha dan indikator

kegagalan imunologis dalam terapi ARV (Kemenkes RI, 2011a). Pemeriksaan CD4

melengkapi pemeriksaan klinis yang dapat memandu dalam menentukan waktu untuk

memulai pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum penyakitnya

berlanjut menjadi lebih parah. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi

ARV (Depkes, 2007). Keputusan untuk memulai terapi ARV pada odha dewasa dan

remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Pemberian terapi ARV

akan meningkatkan jumlah CD4 dengan rata-rata peningkatan 50-100 sell/mm3/tahun

dengan monitoring setiap enam bulan. Odha yang mengalami penurunan CD4 secara

progresif tanpa ada penyakit atau kondisi medis lain selama terapi ARV merupakan

deteksi awal terjadinya kegagalan terapi secara imunologis (Kemenkes RI, 2011).

Penelitian di Zambia dan Switzerland pada pengamatan tiga setengah tahun

terapi menunjukkan persentase LTFU sebesar 29,3% pada pasien yang memulai ART

dengan jumlah CD4 < 100 sel / ml dan 15,4% untuk pasien yang mulai dengan ≥ 350

sel/mL (Schöni-Affolter et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan jumlah CD4

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

29

yang rendah (<100-200 cell/ml) meningkatkan risiko LTFU (Gerver et al., 2010;

Schöni-Affolter et al., 2011; Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Evans et

al., 2014). Tingkat kejadian LTFU cenderung menurun ketika sel CD4 meningkat

(Delphine et al., 2014). Setiap kenaikan 10% pada jumlah CD4 dikaitkan dengan

penurunan 2,8% angka kematian dalam satu tahun, termasuk LTFU sehingga

dukungan untuk memulai terapi dengan CD4 yang lebih tinggi akan mengurangi

resiko kematian diantara mereka yang LTFU (Fox et al., 2013).

Penelitian lain menyebutkan jumlah CD4 yang tinggi ≥ 200 cell/ml lebih

beresiko mengalami LTFU (Mugisha et al., 2014; Onoka et al., 2012; Somi et al.,

2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al., 2013). Hal ini menunjukkan hasil yang

tidak konsisten antara hubungan kadar CD4 dengan kejadian LTFU. Orang yang

memiliki jumlah CD4 yang tinggi mungkin tidak merasa gejala infeksi HIV sehingga

sangat mungkin untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan (Ochieng-Ooko et al.,

2010).

2.3.2.3 Kadar Haemoglobin

Pemantauan laboratoris pasien dalam terapi ARV salah satunya yaitu kadar

haemoglobin. Kadar haemoglobin adalah ukuran untuk menilai kondisi anemia.

Anemia merupakan efek samping yang dapat ditimbulkan akibat terapi seperti

pemberian zidovudin (AZT). Insiden rate kejadian anemia pada pengguna AZT yaitu

23,4 per 100 person years (Curkendall et al., 2007). Kadar haemoglobin yang normal

pada laki-laki yaitu >13 g/dl dan perempuan >12 g/dl (Zhou J, 2007). Kadar

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

30

hemoglobin rendah (p <0,001) (Zhou et al., 2012) dan hemoglobin < 8.0 g/dL (HR

1,64 95% CI 1,28 – 2,10) sebagai prediktor dari LTFU (Saka et al., 2013). Penelitian

Honge et al, pada klien yang belum memenuhi syarat pengobatan ARV justru

menunjukkan bahwa kadar haemoglobin rendah cenderung menyebabkan pasien

termotivasi untuk mematuhi terapi ARV karena merasa sakit meskipun jumlah CD4

lebih tinggi (Hønge et al., 2013).

2.3.2.4 Infeksi Oportunistik

Keadaan LTFU seringkali dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit yang

diderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami infeksi

oportunistik (IO) diawal pengobatan memiliki resiko untuk mengalami LTFU yaitu

HR (hazard ratio) 1,72 (0,47-1,82) dan OR (odds ratio) 2,3 (95% CI 1,5-3,1) (Saka et

al., 2013; Tran et al., 2013). Pasien dengan atau tanpa OC (oropharyngeal

candidiasis) meningkatkan risiko LTFU (HR 1,36 95% CI 1,02-1,82; HR 1,55 95%

CI 1,30-1,85) (Evans et al., 2013). Infeksi oportunistik menunjukkan tingkat

keparahan penyakit sehingga cenderung untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan

tetapi kemungkinan mencari pengobatan alternatif (Wubshet et al., 2013). Adanya

infeksi oportunistik juga menunjukkan ADIs (AIDS-defining clinical illness) yang

juga memperberat kondisi klinis odha. Adanya riwayat ADIs meningkatkan resiko

LTFU 1,2 kali (95% CI 0,9-1,48) namun tidak bermakna secara statistik. (Krishnan et

al., 2011). Kriteria ADIs yang umumnya terjadi adalah tubercolosis (22.7%), PCP

(19.1%) and oesophageal candidiasis (16.2%) (Grabar et al., 2008). Data TAHOD

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

31

juga menyebutkan bahwa ADIs lebih banyak muncul pada 90 hari setelah pengobatan

ARV dengan insiden rate yaitu 26,1 per 100 person years (Zhou J, 2007).

2.3.2.5 Stadium Klinis WHO

Risiko loss to follow up lebih besar pada pasien yang mengalami penyakit

yang lebih berat (Cohen et al., 2013). Stadium klinis merupakan manifestasi klinis

penderita HIV/AIDS yang dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV. Pasien dengan

stadium II WHO (adjusted sHR 1,31 95% CI: 1,08 to 1,59) memiliki risiko lebih

tinggi LTFU dibandingkan dengan stadium I, III, dan IV (Odafe et al., 2012).

Penelitian oleh Saka et al, juga menunjukkan hasil yang sama bahwa pasien dengan

stadium II dan III berhubungan dengan LTFU (OR=1,7; 95%CI: 1,3-2,2) (Saka et

al., 2013). Kondisi ini terjadi karena odha yang telah menganggap diri mereka dalam

kondisi baik tidak perlu kembali melanjutkan ART (Odafe et al., 2012).

Odha yang telah memasuki stadium lanjut yang lebih tinggi cenderung tidak

percaya penyedia layanan kesehatan sehingga mereka lebih cenderung untuk

menggunakan pengobatan komplementer dan alternatif atau complementer

alternative medicine (CAM) sebagai pengganti terapi HIV konvensional (Hsiao et al.,

2003). Petugas kesehatan hampir 90% tidak menyadari bahwa pasien mereka

menggunakan pengobatan alternatif dalam enam bulan terakhir, mereka

menggunakan pengobatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit (87,1%)

dan praktek-praktek spiritual atau doa untuk menghilangkan stres (77,6%). Kondisi

ini berdampak pada kunjungan ke klinik yang menurun (Peltzer et al., 2008). Hal ini

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

32

kemungkinan yang membuat mereka dalam kondisi LTFU. Hasil yang tidak

konsisten ditemukan pada variabel ini, dimana penelitian yang dilakukan oleh

Berheto et al, bahwa stadium klinis III sebagai faktor protektif dari LTFU (aHR= 0,6;

CI 0,4-0,8, p=0,007) karena pada stadium klinis III dan IV, odha cenderung

mengalami peningkatan perilaku dalam mencari layanan kesehatan akibat keparahan

penyakit yang diderita (Berheto et al., 2014).

2.3.2.6 Status Fungsional

Status fungsional pada odha dibedakan menjadi tiga yaitu status kerja,

ambulatory dan baring. Status kerja dikategorikan bila odha masih mampu bekerja

normal, pasien yang tidak mampu bekerja normal dan < 50% berbaring dikategorikan

memiliki status ambulatory, sedangkan pasien yang terus menerus (atau > 50%)

berbaring di tempat tidur di kategorikan status baring (Kemenkes RI, 2011a). Tujuan

utama dari ART salah satunya adalah untuk memberikan kesempatan bagi orang

untuk menjadi produktif dalam pekerjaan mereka dan kehidupan sehari-hari. Oleh

karena itu, ukuran produktivitas yaitu status fungsional dapat digunakan sebagai salah

satu indikator keberhasilan program ART (WHO, 2006). Status fungsional yaitu

ambulatory juga meningkatkan risiko LTFU dengan adjusted sHR 1,25 (95% CI:

1,01 to 1,54)(Odafe et al., 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa status

fungsional ambulatory merupakan faktor protektif terhadap kejadian LTFU (aHR 0,4

95% CI 0,3-0,6 p=0,001).

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

33

2.3.3.7 Status TB

Karakteristik penyakit penyerta merupakan salah satu faktor

yangmempengaruhi kepatuhan pada odha. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit

lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum (Kemenkes RI,

2011a). TB merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada orang yang

hidup dengan HIV, termasuk ART (Berheto et al., 2014). Beberapa penelitian

menguraikan hubungan antara status TB yang diderita dengan risiko LTFU pada

odha. Penelitian di Vietnam menyatakan bahwa odha dengan status TB positif

memiliki risiko lebih tinggi mengalami LTFU (aHR=1,28 CI 1,05-1,72) (Tran et al.

2013). Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan bahwa odha dengan

TB positif risiko tiga kali lebih besar mengalami LTFU akibat dari reaksi ganda

toksisitas yang ditimbulkan sehingga menurunkan kepercayaan mereka untuk berobat

(62). Penelitian dengan menggunakan data TAHOD bahwa odha dengan TB negatif

memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami LTFU namun menunjukkan

hubungan yang tidak signifikan (IRR=0,98 CI 0,87-1,12 p=0,801) (39). Studi berbeda

menyebutkan odha dengan TB positif yang mendapatkan terapi memiliki kondisi

klinis yang lebih buruk sehingga meningkatkan kepatuhan mereka untuk berobat

(Berheto et al., 2014).

2.3.2.8 Regimen ARV

Regimen ARV terdiri dari nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)

dan non-nucleoside reverse transcriptase (NNRTI). Golongan yang termasuk

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

34

regimen NRTI yaitu zidovudine (AZT), stavudine (d4T), lamivudine (3TC),

didanosine (ddl), abacavir (ABC), tenofovir (TDF), dan emtricitabine (FTC).

Regimen NNRTI yaitu nevirapine dan efavirens selain itu juga terdapat regimen yang

termasuk lini kedua yaitu protease inhibitor (PI) seperti lopinavir atau ritonavir.

Regimen ARV terkait karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses

untuk mendapatkan ARV berdampak pada kepatuhan odha (Kemenkes RI, 2011a).

Penelitian di Cameroon menyebutkan penggunaan regimen NNRTI nevirapine

(NVP) menurunkan risiko LTFU secara siginifikan (aHR 0.75 CI0,57-0,99 p=0,04),

begitu juga pada penggunaan regimen NRTI stavudin (aHR 0,55 CI 0,42-0,71) dan

zidovudine (AZT) (aHR 0,59 CI 0,45-9,77) (Bekolo et a,l. 2013). Berbeda dengan

studi di Ethiopia menyatakan penggunaan AZT meningkatkan risiko LTFU menjadi

sebesar tiga kali dibandingkan regimen d4T (62).

Odha yang menerima substitusi rejimen ARV selama masa perawatan lebih

berisiko LTFU (HR 5,2; 95% CI 3,6-7,3) sama dengan studi di India yang

melaporkan bahwa substitusi bisa menjadi faktor risiko untuk gagal ART (Alvarez-

Uria et al., 2013; Berheto et al., 2014). Mayoritas kasus substitusi rejimen disebabkan

oleh reaksi obat, pasien mungkin menjadi khawatir tentang efek samping dan

efektivitas obat baru yang diberikan sehingga mereka memilih untuk mencari pilihan

pengobatan lainnya. Takut efek samping sebagai penyebab utama kegagalan atau

LTFU (Deribe et al., 2008). LTFU yang lebih besar dapat dikaitkan dengan

peningkatan toksisitas obat dimana pasien yang menerima rejimen PI (protease

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

35

inhibitor) yang substansial cenderung lebih mahal dari lini satu sehingga LTFU

mungkin terkait dengan ketersediaan obat atau keterjangkauan (Zhou et al., 2012).

2.3.3 Karakteristik Layanan

2.3.3.1 Entry Point

Mengidentifikasi entry point dalam perawatan HIV dan pemberian terapi

ARV merupakan salah satu informasi yang berguna untuk keberlangsungan program.

Entry point adalah jalur masuknya pasien pertama kali mendapatkan layanan HIV

yang meliputi layanan datang sendiri, LSM, jangkauan, praktik swasta, KIA

(kesehatan ibu dan anak), rawat jalan, rawat inap, lainnya (Kemenkes RI, 2011c).

Entry point mengacu pada bagaimana pasien tiba atau masuk ke layanan voluntary

and counseling test (VCT) dan mendapat layanan terapi termasuk yang dirujuk dari

(PMTCT,TB, IMS, dll), riwayat perawatan dan kesehatan lain saat mereka menerima

perawatan HIV. Informasi ini sangat membantu manager program sebagai indikator

dalam peningkatan pengawasan, keberlangsungan terapi, membantu rujukan pasien

yang tepat dan melibatkan jaringan berbasis masyarakat (WHO, 2006).

Pasien yang mendapatkan layanan HIV dan terapi ARV sebagian besar

melalui layanan TB, rawat jalan dan layanan VCT ( WHO, 2006; Hassan et al., 2012;

Mugisha et al., 2014). Pasien yang mengalami LTFU, 47,4% teridentifikasi pada

entry point layanan TB (Alvarez-Uria et al., 2013). Pasien dengan entry point

melalui layanan VCT memiliki risiko LTFU lebih kecil dibandingkan entry point

yang lain (Crude OR 0.5 CI 0.3–0.9 p= 0.02) (Hassan et al., 2012).

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

36

2.3.3.2 Jenis Tempat Layanan

Penelitian di Nigeria Tenggara menunjukkan persentase LTFU di rumah sakit

pemerintah lebih tinggi daripada rumah sakit swasta yaitu 32,8% sedangkan di rumah

sakit swasta 11,0% (Onoka et al., 2012) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

tempat layanan berhubungan dengan LTFU, layanan di rumah sakit umum pusat

memiliki risiko LTFU yang lebih besar dibandingkan rumah sakit daerah dan klinik

swasta (Odafe et al., 2012; Saka et al., 2013; Weigel et al., 2013). Resiko LTFU pada

klinik NGO (Non Governmental Organization) (OR 1,1 95% CI 0,6-1,9) lebih rendah

dibandingkan klinik umum atau rumah sakit umum. Penggunaan klinik umum

mencerminkan status sosial ekonomi yang kurang sehingga cenderung mengalami

LTFU (Saka et al., 2013). Kondisi ini berkaitan dengan monitoring yang diberikan

pada pasien, dimana rumah sakit pusat memiliki jumlah pasien yang besar sehingga

lebih sulit untuk memonitoring pasien, selain petugas lapangan (outreach) yang

kurang memadai (Odafe et al., 2012). Program pengobatan antiretroviral perlu

meningkatkan proses dokumentasi dan mengembangkan dan menerapkan strategi

pelacakan (Onoka et al., 2012)

2.3.3.3 Status Rawat

Status rawat menunjukkan kondisi kesehatan odha. Status rawat dikategorikan

menjadi rawat jalan dan rawat inap, kondisi klinis yang memburuk membuat odha

memerlukan perawatan yang lebih intensif dengan rawat inap di rumah sakit. Studi

oleh Fleishman et al., bahwa keberlangsungan pengobatan ARV dengan rawat jalan

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

37

menunjukkan retensi pengobatan hanya 20,4%, dan resiko LTFU mencapai 34,9%

(Fleishman et al., 2013).

2.3.3.4 Kebijakan Terapi ARV

Kebijakan terapi ARV merupakan pedoman yang digunakan untuk

menentukan kapan waktu memulai pengobatan dan cara memilih obat yang tepat.

Kebijakan terapi ARV terus mengalami perubahan secara periodik (Depkes, 2007;

Kemenkes RI, 2011a). Acuan yang digunakan untuk memulai terapi ARV adalah

jumlah CD4. Jika awal pengobatan tidak dianggap penting, maka monitoring

keberlanjutan dan perawatan serta retensi menjadi lebih sulit. Jika dilihat dari

efektivitas biaya dan jumlah CD4 saat memulai pengobatan di rangkaian sumber daya

terbatas seperti studi di Sub-Saharan menunjukkan bahwa memulai ART pada tiga

ambang jumlah CD4 (<200 sel/mm3, 200-350 sel/mm

3 dan >350 sel/mm

3), sebagian

besar efektif jika dimulai ketika jumlah CD4 <200 sel/mm3 dengan biaya tambahan

hidup yang lebih kecil yaitu US$54. Menunda pengobatan sampai <200 sel/mm3 akan

mengurangi biaya keseluruhan pengobatan, tetapi ini harus disesuaikan dengan

manfaat klinis terkait dengan terapi awal (Badri et al., 2006). Kondisi lain bahwa

inisiasi ARV pada CD4 ≥ 350 sel/mm3 memberikan keuntungan jangka panjang pada

kelangsungan hidup dan sangat efektif biaya (Walensky et al., 2010). Namun studi

terkait harapan hidup telah menemukan bahwa justru risiko kematian lebih besar dan

harapan hidup rendah di antara orang-orang yang memulai ART pada akhir

perkembangan penyakit dengan CD4 ≤ 200 sel /mm3 (UNAIDS, 2013a).

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

38

Situasi dengan cakupan ART rendah, penerapan pedoman ART yang baru

perlu dirancang agar memulai ART lebih cepat untuk infeksi HIV (karena berbagai

alasan) sehingga mengurangi kesempatan untuk pengobatan pada odha dengan

jumlah CD4 yang sangat rendah atau penyakit lebih lanjut, terutama dalam sumber

daya yang terbatas. Kapan waktu sebaiknya mulai ART dan informasi penting bahwa

pengobatan infeksi HIV tidak mendesak, seringkali menimbulkan kebingungan antara

pasien dan penyedia layanan sehingga dapat membuat cascade buruk pada

pengobatan. Kepatuhan yang buruk terhadap ART dimulai pada jumlah CD4 > 250

sel/mm3, dengan alasan gejala klinis yang belum dirasakan (karena banyak odha

yang tidak bergejala di awal pengobatan) dan kurangnya dukungan sosial

berkontribusi ketidakpatuhan antara orang tersebut (Cohen et al., 2013). Akibatnya,

tampak bahwa pasien yang tidak mematuhi ART berada pada risiko yang lebih tinggi

mengalami LTFU. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa pasien yang sehat pada

awal pengobatan mengalami LTFU lebih sering daripada pasien yang sakit dimana

durasi rata-rata retensi 10 bulan untuk pasien dengan CD4 ≥ 350 cell/mm3 di awal

terapi sedangkan pada pasien dengan jumlah CD4 <200 sel / mm3 yaitu 24 bulan

(Ndiaye et al., 2009).

2.3.3.5 Jarak Tempat Tinggal dengan Layanan

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jarak menjadi prediktor kejadian

LTFU yaitu jarak (> 5 km vs <1 km: aHR=2,6 95% CI 1,9-3,7 dengan p <0,01)

(Hassan et al., 2012) dan jarak ke klinik lebih dari 5 km (aHR = 1,25, 95% CI 1,00-

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

39

1,55) (Bekolo et al., 2013). Waktu tempuh lebih dari ≥ 1 jam ke tempat layanan ARV

juga berhubungan dengan LTFU (HR 1,11 (95% CI 1,04-1,19) (Ochieng-Ooko et al.,

2010). Hal ini kemungkinan bahwa orang yang hidup jauh dari fasilitas kesehatan

kurang memiliki akses terhadap perawatan kesehatan. Pasien lebih dekat dengan

berjalan kaki dari fasilitas kesehatan memiliki resiko LTFU yang lebih kecil (Bekolo

et al., 2013).

2.4 Kepatuhan Terapi ARV

WHO mendefinisikan kepatuhan pengobatan sebagai sejauh mana perilaku

seseorang mengambil obat, mengikuti diet dan atau melaksanakan perubahan gaya

hidup sesuai dengan yang telah disepakati rekomendasi dari penyedia layanan

kesehatan atas dasar kesadaran sendiri. Monitoring dan evaluasi kepatuhan pada

setiap kali kunjungan perlu dilakukan karena kegagalan terapi sering diakibatkan

ketidakpatuhan konsumsi ARV. Beberapa faktor yang berhubungan dengan sistem

penyediaan layanan kesehatan, obat dan orang yang mengambil obat ARV dapat

mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi ARV (WHO, 2013; Kemenkes RI, 2011a).

Faktor yang diprediksi berkaitan dengan kepatuhan diantaranya faktor

individu mencakup lupa dosis, berada jauh dari rumah, perubahan dalam rutinitas

sehari-hari, depresi atau penyakit lainnya, kurangnya kepentingan atau keinginan

untuk mengambil obat-obatan, dan bahan atau penggunaan alkohol. Obat atau

rejimen terkait efek samping, kompleksitas rejimen dosis, beban pil, dan pembatasan

diet. Faktor sistem kesehatan termasuk membutuhkan orang dengan HIV untuk

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

40

mengunjungi pelayanan kesehatan, perjalanan jarak jauh untuk mencapai pelayanan

kesehatan, menanggung biaya langsung dan tidak langsung dari perawatan,

kurangnya informasi yang jelas atau instruksi pengobatan, pengetahuan yang terbatas

pada perjalanan infeksi dan pengobatan HIV merupakan prediktor terhadap

ketidakpatuhan (WHO, 2013). Penelitian cross-sectional pada 366 odha di Spanyol

bahwa faktor sosiodemografi dan psikologis mempengaruhi tingkat kepatuhan

terhadap ART. Secara keseluruhan, IDU dan individu yang lebih muda, depresi dan

kurangnya dukungan sosial cenderung memiliki kepatuhanyang kurang (Gordillo et

al., 1999).

Intervensi tingkat program untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ART

meliputi menghindari memaksakan pembayaran pada perawatan, menggunakan

kombinasi dosis rejimen yang telah ditetap untuk ART, dan memperkuat sistem

manajemen persediaan obat untuk mendukung pengadaan dan memberikan obat ARV

dan mencegah kehabisan stok persediaan obat. Upaya untuk mendukung dan

memaksimalkan kepatuhan harus dimulai sebelum terapi ART. Mengembangkan

rencana kepatuhan dan pendidikan sebagai langkah pertama yang penting. Pendidikan

pasien diawal harus mencakup informasi dasar tentang HIV, obat ARV, efek

samping, mempersiapkan untuk pengobatan dan kepatuhan terhadap ART. Pesan

teks ponsel dapat dianggap sebagai alat pengingat (tools reminder) untuk

mempromosikan kepatuhan terhadap ART sebagai bagian dari paket intervensi

kepatuhan (WHO, 2013).

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana … 2.pdf · 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan

41

Studi tentang kepatuhan di Sub Sahara-African tahun 2012 menunjukkan

bahwa klinik yang memiliki layanan dukungan kepatuhan, layanan konseling, dan

alat pemantau kepatuhan memiliki tingkat LTFU lebih rendah (Lamb et al., 2012).

Tingkat dukungan sosial secara independen terkait dengan kepatuhan dengan alat

ukur ”The Perceived Sosial Stigma” diperoleh beberapa dukungan sosial (p = 0,018)

dan dukungan sosial yang baik (score >71) (p = 0,039) meningkatkan kepatuhan

dibandingkan dengan dukungan sosial yang buruk (score < 60). Alasan untuk tidak

minum obat ART diantaranya yaitu lupa minum obat (67%), sibuk dengan sesuatu

yang lain (63%) dan tertidur di waktu pengobatan (60%) (Weaver et al., 2014).