Upload
buituyen
View
217
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan dan Tatalaksana Terapi ARV
Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah diupayakan melalui berbagai
macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia semuanya menuju pada paradigma zero new infection, zero
AIDS-related death dan zero discrimination meliputi pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan, mitigasi dampak, dan persiapan lingkungan yang kondusif
(Kemenkes RI, 2011b; KPAN, 2010). Salah satu pilar yang menjadi kunci
keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS adalah perawatan, dukungan dan
pengobatan dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV). Kepedulian pemerintah
Indonesia terhadap kondisi epidemi HIV/AIDS ditunjukkan melalui peningkatan
jumlah layanan PDP (perawatan, dukungan dan pengobatan) sampai tahun 2014 yaitu
454 terdiri dari 324 rumah sakit rujukan PDP dan 130 satelit (Kemenkes RI, 2014).
Tentunya kondisi ini akan sangat menunjang program pengobatan ARV sehingga
insiden HIV/AIDS dapat diturunkan.
Kebijakan pemberian terapi ARV terus mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan bukti ilmiah dan ketersediaan layanan secara internasional. Semakin
dini odha terjangkau di layanan kesehatan untuk mengakses ARV, maka semakin
menurunkan risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun
menularkan infeksi HIV (Kemenkes RI , 2011b). Pedoman nasional pengobatan
10
11
antiretroviral di Indonesia terus diperbaharui secara periodik mengacu pada pedoman
dan rekomendasi WHO sesuai dengan perkembangan bukti ilmiah berupa kajian
klinik dan penelitian observasional atas efikasi, efek samping obat serta pengalaman
pemakaian ARV oleh program di negara dengan keterbatasan sumber daya, seperti
obat dan biaya (Depkes, 2007).
Pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada odha bertujuan untuk menurunkan
angka kematian akibat AIDS, angka kesakitan, rawat inap dan meningkatkan kualitas
hidup odha berbagai stadium. Terapi ARV diberikan setelah melalui penilaian
stadium klinis, imunologi, dan virologi. Penentuan stadium klinis dan jumlah CD4
merupakan kondisi terpenting yang harus diketahui di awal sebelum memulai terapi.
Penanganan penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan
pengobatan (treatment). Sepuluh prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian
terapi ARV yaitu indikasi pengobatan, kombinasi obat, first chance (pemilihan obat
lini pertama yang diprioritaskan), kompleksitas, resisten, informasi, motivasi dan
compliance, monitoring, target pengobatan, dan studi (34).
Pasien yang sudah ditetapkan positif HIV/AIDS langkah selanjutnya adalah
pemeriksaan fisik lengkap dan laboratorium untuk mengidentifikasi infeksi
oportunistik, menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB,
skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk ibu hamil, pemeriksaan CD4 untuk
menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ART, pemberian PPK
jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan (adherence), konseling
12
positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan
alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan lebih lanjut maka pasien dibagi menjadi
tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu memenuhi syarat
ARV, belum memenuhi syarat ARV dan ada kendala kepatuhan. Rekomendasi
selanjutnya, untuk pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia
pemeriksaan CD4 berdasarkan kebijakan pedoman ARV tahun 2011 adalah
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 > 350 sell/mm3
tanpa memandang stadium klinisnya
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4
Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTI
(nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTI (non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitors, misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin
dan nevirapin. Lini ke dua terdiri dari 2 NRTI dan boosted PIs (protease inhibitor)
yang diperkuat LPV/r (ritonavir). Penambahan (boosted) dengan ritonavir ini untuk
mengurangi dosis yang sangat tinggi dari PI. Pedoman pemberian terapi ARV di
Indonesia disusun sejak tahun 2007, terdapat perbedaan dengan pedoman terapi tahun
2011 yang saat ini dijadikan sebagai acuan. Berikut merupakan perbedaan pedoman
terapi antara keduanya:
13
Tabel 2.1 Pedoman Terapi ARV di Indonesia
Populasi Target Pedoman Terapi ARV 2007 Pedoman Terapi
ARV 2011
Indikasi memulai terapi ARV
Odha tanpa gejala klinis
(stadium 1) dan belum
pernah mendapatkan
terapi ARV
CD4 ≤ 200 sel/mm3 CD4 ≤ 350 sel/mm
3
Odha dengan gejala
klinis dan belum pernah
memperoleh terapi ARV
Semua pasien dengan CD4 ≤
200 sel/mm3, stadium 3 dan 4,
berapapun jumlah CD4
Stadium klinis 2
bila CD4 ≤ 350
sel/mm3, stadium
klinis 3 dan 4 tanpa
melihat jumlah
CD4
Perempuan hamil
dengan HIV
Stadium 1 atau 2 dengan
CD4 < 200 sel/mm3, stadium
3 dan CD4 < 350 sel/mm3 dan
stadium 4, berapapun jumlah
CD4
Semua ibu hamil
berapapun jumlah
CD4 dan kondisi
stadium klinis
Odha dengan koinfeksi
TB yang belum pernah
menerima terapi ARV
Adanya gejala TB aktif dan
CD4 < 350 sel/mm3
Mulai terapi
berapapun jumlah
CD4
Odha dengan koinfeksi
Hepatitis B (HBV) yang
belum mendapatkan
terapi ARV
Tidak ada rekomendasi
khusus
Odha dengan
koinfeksi Hepatitis
B (kronis aktif) dan
berapapun junlah
CD4
Sumber : (Kemenkes RI , 2011b)
Data diri lengkap pasien akan dimasukkan ke dalam rekam medis dan register
terapi ARV ketika pasien HIV/AIDS memulai terapi. Setiap pasien akan teregistrasi
dalam nomor register nasional sesuai dengan kode registrasi rumah sakit. Pasien
datang ke klinik VCT tiap bulan sekali, dengan waktu yang sudah ditetapkan yang
tertera pada rekam medis dan diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan
selanjutnya. Hasil tatalaksana pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi
14
terapi ARV yang terkontrol, berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia dan loss
follow-up ( Kemenkes RI, 2011a ; Kemenkes RI, 2011b).
Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik
bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan
efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi,
mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik
dan menurunkan jumlah virus dalam jangka waktu yang lama (UNAIDS, 2013a).
Terapi ARV diberikan seumur hidup karena HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat
disembuhkan. Tujuan pemberian ARV adalah menjaga viral load dibawah 50
kopi/ml, dikatakan gagal terapi jika viral load mencapai 1000 kopi/ml (Kemenkes RI,
2011b). Keberhasilan terapi ARV memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien
HIV/AIDS sehingga kepatuhan pasien harus selalu dipantau dan dievaluasi secara
teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh
ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes RI, 2011b; Lamb et al.,
2012; UNAIDS, 2013a).
2.2 Loss To Follow Up pada Odha
2.2.1 Prevalensi Loss To Follow Up
Jumlah insiden atau kasus baru HIV dan kematian secara global sudah
mengalami penurunan dengan adanya terapi ARV (UNAIDS, 2012). Kasus baru HIV
di Asia Pasifik selama tahun 2011 mencapai 350.000 dengan penurunan 26% sejak
tahun 2001 dan cakupan pengobatan mencapai 51% telah mengalami peningkatan
15
dari 46% sejak tahun 2009 (UNAIDS, 2013). Layanan pengobatan HIV sudah
diperluas baik dari segi perencana dan pelaksana program, dan untuk selanjutnya
yang menjadi fokus perhatian adalah menutup kesenjangan dalam continum
perawatan HIV. Data yang tepat waktu dan akurat untuk setiap tahap cascade
pengobatan perlu dikumpulkan dan dianalisis agar dapat digunakan untuk mengkaji
manajemen program dan pengembangan intervensi yang ditargetkan untuk mencegah
LTFU pada seluruh cascade pengobatan (UNAIDS, 2012a).
Loss to follow up pada pasien yang menerima ART dapat mengakibatkan
konsekuensi serius seperti penghentian pengobatan, toksisitas obat, kegagalan
pengobatan karena ketidakpatuhan, dan resistensi obat (UNAIDS, 2013a). Cakupan
terapi ARV pada negara berpenghasilan rendah dan menengah terus meningkat
hingga mencapai 9,7 juta pada tahun 2012 namun continuum dari perawatannya
masih menjadi masalah yang menimbulkan persoalan baru seperti LTFU (UNAIDS,
2013a). Negara berpenghasilan tinggi dan rendah memiliki resiko LTFU yang
berbeda jika dilihat dari jumlah CD4 saat memulai ART dan kondisi ini menentukan
estimasi LTFU. Jumlah CD4 awal yang rendah merupakan resiko LTFU pada negara
penghasilan rendah seperti Zambia, sedangkan kondisi berbeda untuk negara
penghasilan tinggi seperti Switzerland bahwa jumlah CD4 yang tinggi lebih beresiko
untuk LTFU (Schöni-Affolter et al., 2011).
Penelitian dengan metode systematic review pada low and middle income
countries menunjukkan estimasi LTFU yaitu 7,6% -15,1% dan studi di Sub-Saharan
16
Afrika dengan metode yang sama bahwa pasien yang memenuhi syarat ART
mengalami LTFU 25%-54%, sedangkan penelitian yang dilakukan pada 93 site di
Eropa memiliki insiden rate LTFU yang lebih kecil yaitu 3,72 per 100 person years.
Walaupun negara maju menunjukkan insiden rate yang lebih kecil namun
kemungkinan LTFU teridentifikasi meninggal sama untuk semua kategori negara
tersebut dan teridentifikasi telah meninggal sebesar 12%-87%, sehingga melacak
kembali status pasien yang LTFU perlu dilakukan. Sebagian besar pasien jika tidak
teridentifikasi meninggal akan kembali berkunjung setelah satu tahun LTFU untuk
melakukan pengukuran jumlah CD4 atau pengukuran viral load (Brinkhof et al.,
2009; Mcmahon et al., 2013; Mugglin et al.,2014; Mocroft et al., 2008). Penelitian
yang dilakukan pada 18 sites di Kawasan Asia Pasifik melalui data TAHOD (Treat
Asia HIV Observational Database) pada tahun 2012 ditemukan 21,4 % per tahun
kasus LTFU dari 3626 pasien (Zhou et al., 2012).
Kondisi yang paling sering terjadi bahwa LTFU dikaitkan dengan alasan
transfer ke program lain, masalah keuangan, meningkatkan atau memburuknya
kesehatan, sulit dilakukan pelacakan diantara pasien LTFU karena adanya pencatatan
nomor telepon dan alamat yang sering salah atau hilang (Brinkhof et al., 2009;
Deribe et al., 2008). Prevalensi LTFU di Indonesia sesuai laporan dari Kemenkes per
Agustus 2014 sebesar 17,95% (14.360 dari 81.518 yang pernah menerima ART)
meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu 15,75% (10.825 dari 65.311 yang pernah
menerima ART). Pasien yang LTFU masih kurang mendapatkan perhatian padahal
17
hampir 50% dari pasien LTFU teridentifikasi meninggal (Brinkhof et al., 2009;
Wubshet et al., 2013). Penelitian cross sectional analitik yang dilakukan di RSUP dr
Kariadi Semarang menunjukkan prevalensi loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS
sebesar 4,5% (Rosiana, 2014). Studi dan penelitian tentang kondisi LTFU di
Indonesia masih sangat terbatas terutama penelitian longitudinal.
2.2.2 Definisi Loss To Follow Up
Kriteria waktu penentuan loss to follow up merupakan indikator penting untuk
memonitor kelangsungan pengobatan ARV selain sebagai deteksi awal kemungkinan
terjadinya resistensi (Bennett et al., 2006). Istilah loss to follow up dalam beberapa
literature disingkat dengan LTFU (Chi et al., 2010; Chi et al., 2011; Krishnan et al.,
2011; Zhou et al., 2012). Program pengobatan ARV di Indonesia menetapkan LTFU,
jika pasien tidak berkunjung kembali 3 bulan atau lebih dari kunjungan terakhir.
Penentuan tanggal kunjungan terakhir di pelayanan tersebut sebagai waktu penetapan
LTFU (Kemenkes RI, 2011b). Penelitian di beberapa negara lain juga menentukan
jika pasien tidak datang kembali berkunjung lebih dari tiga bulan sebagai LTFU ( Chi
et al., 2010; Ochieng-Ooko et al., 2010; Onoka et al., 2012; Lamb et al., 2012;
Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Tran et al., 2013).
Penentuan cut off point ini berbeda dengan penentuan LTFU menggunakan TAHOD
(Treat ASIA HIV Observational Database) yaitu 180 hari (Zhou et al., 2012).
Perbedaan definisi LTFU dan pada periode pengamatan dapat berkontribusi
perbedaan taksiran tingkat LTFU (Fleishman et al., 2013)
18
Penelitian oleh Chi et al., tahun 2010 di Lusaka Zambia, menunjukkan kriteria
penentuan LTFU yang tepat (reasonable definition) adalah 56 hari atau ≥ 60 hari
dengan kesalahan klasifikasi sebesar 5,1% (95% CI; 4,8–5,3) dan memiliki
sensitivitas 84,1% (95% (CI):83,2- 85,0), spesifisitas 97,5% (95% CI; 97,3-97,7) (Chi
et al., 2010). Sedangkan penelitian serupa juga dilakukan oleh Chi et al., tahun 2011
pada 111 fasilitas kesehatan di Afrika, Asia, dan America Latin tidak termasuk
Indonesia merekomendasikan cut off point LTFU yaitu ≥ 180 hari dengan kesalahan
klasifikasinya sebesar 1,2 % (95% CI 1,0%-1,5%). Kondisi ini menunjukkan masih
adanya ketidakkonsistenan penentuan LTFU yang akan berdampak pada sistem
monitoring dan evaluasi program ART secara global (Chi et al., 2011). Upaya
memonitor hal tersebut maka perlu standar untuk mengklasifikasi pasien sebagai
LTFU (Chi et al., 2011). Studi dengan metode systematic review menyebutkan bahwa
definisi LTFU berbeda pada setiap studi tetapi 52% dari penelitian kohort (28/54)
yang ditemukan pasien LTFU diklasifikasikan dalam waktu 3-4 bulan setelah kontak
terakhir mereka dengan klinik ART (McMahon et al., 2013).
Klasifikasi pasien sebagai LTFU bergantung pada definisi dengan basis
interval artinya pasien absen untuk berkunjung dalam interval tertentu setelah
kunjungan sebelumnya diklasifikasikan sebagai LTFU. Jika interval ini terlalu
pendek, meskipun banyak pasien akan akurat diidentifikasi sebagai LTFU akan ada
beberapa tingkat positif palsu yang tinggi dari pasien yang diklasifikasikan sebagai
LTFU. Sebaliknya, jika interval terlalu lama maka beberapa pasien yang benar-benar
19
LTFU akan diklasifikasi sebagai absen sehingga perlu menentukan standar definisi
LTFU untuk meminimalkan kesalahan klasifikasi pasien. Makadari itu diperlukan
penentuan definisi universal LTFU atau algoritma umum untuk menentukan cut off
LTFU dalam mengevaluasi program pengobatan ARV.
2.2.3 Dampak Loss To Follow Up Terhadap Pemberian Terapi ARV
Pemberian terapi ARV pada odha memerlukan pencatatan dan monitoring
yang baik untuk menghindari terjadinya kegagalan terapi atau resistensi yang dapat
berdampak pada kematian. Persentase kejadian LTFU merupakan indikator awal
untuk mendeteksi potensi resistensi. WHO merekomendasikan target < 20 % untuk
kejadian LTFU pada satu tahun pertama odha yang menerima terapi ARV (Benetta et
al., 2008). Mengetahui kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV penting
karena ART tidak menyembuhkan infeksi HIV sehingga pasien harus mengambil
obat antiretroviral teratur selama sisa hidup mereka. Beberapa program ART
menunjukkan lebih dari sepertiga pasien mengalami LTFU dan mereka berhenti
datang untuk pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi, tentunya hal ini
mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Tingkat supresi virus yang
optimal terjadi bila 95% dari semua dosis obat ARV diminum, dan resiko kegagalan
terapi paling sering terjadi karena lupa minum obat (Kemenkes RI, 2011b). Tingkat
kepatuhan pengobatan yang rendah sangat menentukan terjadinya LTFU (Tran et al.,
2013).
20
Kondisi LTFU dan kematian merupakan dua kondisi yang saling berkaitan,
dimana odha dengan jumlah CD4 < 100 sel / mm3
dan ≥ 350 sel / mm3
yang tercatat
dalam status LTFU terdeteksi meninggal sebesar 22,9% dan 13,6%. (Schöni-Affolter
et al., 2011). Peningkatan resiko kematian terjadi pada odha dengan kondisi LTFU
karena resiko penghentian pengobatan sehingga LTFU ini menjadi salah satu
masalah dalam pengobatan (Bekolo et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa LTFU meningkatkan risiko kematian pada odha
(Somi et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013;
Alvarez-Uria et al., 2013; Edwards et al., 2014).
2.3 Determinan yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang
menerima terapi ARV
Retensi pemakaian ARV dan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan
penentu penting dari hasil jangka panjang pemberian terapi pada odha. LTFU pasien
saat pengobatan membahayakan kesehatan mereka sendiri dan keberhasilan jangka
panjang dari program ART (Tezera et al., 2014). Probabilitas LTFU berhubungan
dengan jangka waktu perawatan ART dimana proporsi yang lebih tinggi dari LTFU
tercatat dalam 6 bulan pertama setelah memulai ART dan umumnya kemungkinan
LTFU secara bertahap meningkat seiring dengan masa retensi lebih lama (Berheto et
al., 2014). Penelitian yang pernah dilakukan di negara lain menunjukkan beberapa
determinan yang berhubungan dengan LTFU pada pasien odha diantaranya yaitu:
2.3.1 Karakteristik Sosiodemografi
2.3.1.1 Umur
21
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur yang semakin muda lebih
berisiko untuk mengalami LTFU (Ochieng-Ooko et al., 2010; Krishnan et al., 2011;
Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Saka et al., 2013;
Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Kate et al. 2014;). Penelitian di Ethiopia
menunjukkan bahwa remaja dua kali (HR=2,1; 95% CI: 1,3-3,4) dan orang dewasa
1,4 kali (HR = 1,4; 95% CI:1,0-2,0) lebih mungkin menjadi LTFU daripada anak-
anak (Tezera et al., 2014).
Odha dalam kategori remaja cenderung menunjukkan ketidakdewasaan dalam
berpikir analitis dan kemungkinan ada tantangan tertentu yang terkait dengan
pubertas, stigma dan diskriminasi yang lebih besar serta tidak memiliki pengasuh
(berbeda dengan anak-anak) (Murphy et al., 2003). Selain itu usia muda cenderung
memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi (Krishnan et al., 2011). LTFU pada
pasien muda mungkin terkait dengan penolakan psikologis dari infeksi HIV dan
kecenderungan mencari perawatan lain (Roura et al., 2009). Penelitian di Myanmar
menyebutkan bahwa umur ≥ 40-80 tahun lebih berisiko mengalami LTFU (aHR=1.5;
95% CI 1,25 -1,94) (Sabapathy et al., 2012). Umur memiliki hubungan yang lemah
untuk dikaitkan dengan kejadian LTFU namun tetap masuk akal untuk diamati karena
kelompok usia termuda yang paling mungkin untuk mengalami LTFU terutama
kondisi tanpa gejala yang memicu ketidakpedulian mereka dalam perawatan (Bekolo
et al., 2013).
22
2.3.1.2 Jenis Kelamin
Studi menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan terhadap kejadian
LTFU. Laki-laki memiliki risiko LTFU lebih tinggi dari pada perempuan (Odafe et
al., 2012; Onoka et al., 2012; Evans et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al.,
2013; Mugisha et al., 2014). Periode selama dua tahun terapi ARV kejadian loss to
follow up pada laki-laki (AHR 1,4; 95% CI 1,2-1,7) lebih tinggi daripada perempuan
(AHR 1,3, 95%CI 1,1–1,5) (Mugisha et al., 2014). Namun dalam 6 bulan terapi ARV
justru perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU dibandingkan
laki-laki (OR=1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka et al., 2013).
Laki-laki lebih berisiko mengalami LTFU karena mereka cenderung datang
ke pelayanan ketika sakit dan kurang bersedia untuk memberikan informasi secara
detail (Onoka et al., 2012). Informasi yang detail misalnya pencatatan nomor telepon
akan memudahkan dalam pelacakan dan pendeteksian keberlangsungan pengobatan
ARV (McMahon et al., 2013) Laki-laki memiliki variasi dalam mobilitas dan risiko
tinggi penyalahgunaan narkoba yang dapat mengganggu kepatuhan dalam terapi
ARV sehingga lebih memiliki kemungkinan untuk LTFU (Alvarez-Uria et al., 2013).
Kebanyakan pria dengan kecanduan narkoba mengalami toksisitas yang lebih tinggi
karena interaksi dengan obat ARV yang mengarah ke penghentian terapi (Gordillo et
al., 1999). Berbeda kondisinya pada perempuan yang lebih mungkin untuk datang ke
fasilitas layanan kesehatan dibandingkan pria untuk mendapat layanan reproduksi dan
pelayanan kesehatan anak (Odafe et al., 2012). Perempuan mungkin mencari
23
perawatan segera karena mereka adalah pengasuh utama dalam keluarga dan merasa
memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk tetap sehat (Ochieng-Ooko et al.,
2010). Laki-laki lebih cenderung mengalami LTFU jika memiliki penyakit stadium
lanjut, sedangkan perempuan lebih mungkin untuk LTFU jika jumlah CD4 mereka
tinggi, hal ini menunjukkan bahwa LTFU pada laki-laki kemungkinan terjadi karena
penyakit yang bertambah parah atau kematian (Ochieng-Ooko et al., 2010).
2.3.1.3 Pendidikan
Odha yang berpendidikan lebih termotivasi untuk patuh dalam pengobatan
karena kemampuan mereka untuk memahami hasil laboratorium dan informasi ilmiah
baru tentang HIV dan pengobatan (Krishnan et al., 2011). Kondisi sebaliknya bahwa
mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah sulit untuk memahami pra
konseling yang meliputi informasi terhadap jalannya HIV infeksi, tujuan pengobatan,
risiko dan manfaat terapi, efek samping, resistensi dan kepatuhan yang kompleks.
Tingkat pendidikan yang rendah (aOR 3,80 95% CI 1,14-12,7; p=0,03) terkait dengan
penolakan pengobatan sehingga berkontribusi pada insiden LTFU (Karcher et al.,
2007). Kondisi ini didukung dengan penelitian di India menunjukkan bahwa buta
huruf meningkatkan kejadian LTFU (aHR 1,3; 95% CI 1,1- 1,6) (Alvarez et al.,
2013). Kejadian LTFU sebelum terapi ART meningkat pada pendidikan menengah
pertama (aHR 2,0; 95% CI 1,1–3,6; p< 0,05) (Hassan et al., 2012). Penelitian dengan
hasil serupa juga dilakukan oleh Honge et al., menunjukkan pasien odha yang tidak
sekolah beresiko mengalami LTFU namun memiliki hubungan yang tidak signifikan
24
(aHR 1,22; 95% CI 0,98- 1,52) (Hønge et al., 2013). Krishnan et al., dengan
menggunakan pendekatan lama pendidikan (ukuran tahun) bahwa pendidikan <16
tahun berhubungan secara signifikan mengalami LTFU. Semakin pendek lama
pendidikan yang ditempuh maka resiko LTFU juga semakin besar (Krishnan et al.,
2011). Orang dengan pendidikan rendah mungkin memiliki masalah yang berkaitan
dengan ketenagakerjaan seperti tidak memiliki waktu untuk istirahat dari pekerjaan
dan melakukan kunjungan klinik (Ross dan Adler dalam Krishnan et al., 2011).
2.3.1.4 Pekerjaan
Pekerjaan seringkali dikaitkan dengan penghasilan seseorang. Pasien
pengangguran memiliki kecenderungan 51% (HR 1.51, 95% CI: 1,34-2,00) menjadi
LTFU ( Kate et al., 2014). Beberapa studi menunjukkan pasien yang tidak memiliki
tempat tinggal atau homeless beresiko mengalami LTFU namun tidak memiliki
hubungan yang signifikan antara keduanya (Alvarez-Uria et al., 2013; Lebouche et
al., 2006). Sebagian besar odha memiliki retensi perawatan yang rendah dalam terapi
ARV akibat masalah keuangan yang dihadapi. Tingkat keberlangsungan hidup odha
ditentukan dari kepatuhan dan keberlanjutan pengobatan (Giordano et al., 2007)
2.3.1.5 Status Menikah
Pasien yang tidak memiliki pasangan dan bercerai (aHR 1,6, 95% CI 1,2- 2,3)
(Alvarez et al., 2013), rata-rata mengalami LTFU dibandingkan dengan pasien yang
telah menikah (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Mugisha et al., 2014).
Mereka yang tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan sehingga lebih
25
mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma terkait HIV dan ini terbukti menjadi
penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam perawatan dan pengobatan (Merten
et al., 2010).
2.3.1.6 Pengawas Minum Obat (PMO)
PMO adalah orang yang membantu pengawasan minum obat odha untuk
menurunkan kejadian resistensi (Kemenkes RI, 2011a). Adanya pengawas minum
obat dan layanan penjangkauan di fasilitas kesehatan sangat berpengaruh terhadap
kejadian LTFU. Peran utama PMO adalah untuk membantu kepatuhan pasien dengan
mungkin ikut terlibat menemani pasien ke klinik untuk kunjungan, mengambil obat,
dan memberikan bantuan untuk memastikan pasien mengambil obat yang tepat pada
waktu yang tepat, dengan cara yang benar (WHO, 2006). PMO tidak hanya
memberikan pengawasan tetapi juga mampu meningkatkan penerimaan diri
(acceptance) odha melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan
(Nasronudin, 2007). Penelitian di Sub Saharan tahun 2012 menunjukkan klinik
dengan layanan PMO dan penjangkauan yang tersedia memiliki tingkat LTFU lebih
rendah (aRR = 0,48, 95% CI: 0,25-0,92) (Lamb et al., 2012).
2.3.1.7 Risiko Penularan
Penelitian di Vietnam menunjukkan odha dengan IDU (injection drug user)
memiliki kecenderungan mengalami LTFU yang lebih besar (aHR=1,40 95% CI
1.25–1.89), hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Jepang (aHR= 1,544
95% CI 1,028-2,318; p = 0,036) bahkan resiko LTFU lebih tinggi pada kelompok
26
MSM ( man sex man) pengguna IDU dengan aHR=1,641 ( 95% CI 1,061-2,538 p=
0,026) (Nishijima et al., 2013;Tran et al., 2013). Odha dengan riwayat IDU lebih
mungkin untuk mengalami LTFU karena merasa memiliki stigma ganda dari internal
dan eksternal. Selain itu, kehadiran penyakit tambahan yang terkait dengan obat
suntik akan mengurangi waktu kunjungan untuk layanan ART karena ada
kemungkinan mereka perlu mendapatkan pelayanan kesehatan preventif dan kuratif
lainnya seperti terapi metadon, pertukaran jarum, atau pengobatan co-infeksi lain
(yaitu, hepatitis C, TB) (Nishijima et al., 2013). Ketergantungan dengan obat-obatan
tersebut dapat menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi jadwal pengobatan
ART. Kelompok pengguna obat-obatan terlarang ini berhubungan dengan penyerapan
ART dan kepatuhan terhadap pengobatan yang lebih rendah (Wood et al., 2003).
Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada kelompok Afrika
bahwa perempuan heteroseksual lebih berisiko terjadi LTFU dengan OR = 2,22 (95%
CI 1,11-4,56), hal ini disebabkan oleh kondisi kehamilan mendapatkan terapi ARV
jangka pendek dan kondisi ini menyumbangkan 10% untuk kejadian LTFU pada
kelompok perempuan (Gerver et al., 2010). Penelitian di Jepang pada kelompok
MSM (man sex man) menunjukkan resiko LTFU lebih besar pada orientasi biseksual
(aOR 1,34 95% CI 0,85-2,12) dibandingkan dengan homoseksual (Tang et al., 2015).
Kelompok LSL orientasi homoseksual cenderung memiliki resiko LTFU
yang lebih rendah (OR 0,6 95% CI:0,5-0,7) dibandingkan dengan heteroseksual (OR
2.22, 95% CI:1,11-4,56) (Lebouche et al., 2006; Gerver et al., 2010; Lanoy et al.,
27
2006). Stigma yang masih tinggi di kalangan MSM (Graham et al., 2013) dapat
menurunkan retensi terhadap terapi ARV, namun dengan adanya jaringan sosial yang
kuat diantara populasi kunci ini, mampu menurunkan kejadian LTFU (Tang et al.,
2015).
2.3.2 Karakteristik Klinis
2.3.2.1 Berat Badan
Berat badan merupakan acuan yang biasa digunakan untuk menilai status gizi.
Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi akan memiliki
kondisi kesehatan yang lebih baik sehingga odha dengan kondisi ini cenderung akan
mempertahankan terapi ARV karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Odha
yang memulai terapi dengan berat badan kurang dari 45 kg lebih beresiko mengalami
kematian dan attrition. Kehilangan berat badan > 10% merupakan gejala umum yang
dialami saat terinfeksi HIV (Dalal et al., 2008). Kondisi kesehatan lainnya yang dapat
dijadikan ukuran selain berat badan adalah ukuran BMI (body mass index). BMI
(body mass index) ≤ 18,5 kg/m2 menunjukkan kondisi kesehatan yang kurang baik
sehingga dapat menurunkan kepercayaan pasien terhadap terapi sehingga
kemungkinan LTFU lebih besar (aHR 1.51; 95% CI 1,23-1,87), didukung juga
adanya oropharyngeal candidiasis dengan BMI yang rendah (HR 1,36 95% CI 1,02-
1,82) (Hønge et al., 2013; Evans et al., 2013). Sebaliknya kenaikan BMI setiap
unitnya menurunkan kejadian LTFU (aHR, 0.97; 95% CI 0,88–1,03) tetapi tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan. Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang
28
menyatakan odha yang memiliki berat badan ≥ 60 kg memiliki risiko 76% lebih
rendah untuk mengalami LTFU dibandingkan odha dengan berat badan < 40 kg
(AHR 3.47 95% CI 1.02-11.83), mereka yang memiliki berat badan normal memiliki
kepercayaan terhadap pengobatan dan berusaha mempertahankan (Haile & Mekelle,
2014).
2.3.2.2 Jumlah CD4
Jumlah CD4 menjadi tolak ukur status kesehatan odha dan indikator
kegagalan imunologis dalam terapi ARV (Kemenkes RI, 2011a). Pemeriksaan CD4
melengkapi pemeriksaan klinis yang dapat memandu dalam menentukan waktu untuk
memulai pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum penyakitnya
berlanjut menjadi lebih parah. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi
ARV (Depkes, 2007). Keputusan untuk memulai terapi ARV pada odha dewasa dan
remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Pemberian terapi ARV
akan meningkatkan jumlah CD4 dengan rata-rata peningkatan 50-100 sell/mm3/tahun
dengan monitoring setiap enam bulan. Odha yang mengalami penurunan CD4 secara
progresif tanpa ada penyakit atau kondisi medis lain selama terapi ARV merupakan
deteksi awal terjadinya kegagalan terapi secara imunologis (Kemenkes RI, 2011).
Penelitian di Zambia dan Switzerland pada pengamatan tiga setengah tahun
terapi menunjukkan persentase LTFU sebesar 29,3% pada pasien yang memulai ART
dengan jumlah CD4 < 100 sel / ml dan 15,4% untuk pasien yang mulai dengan ≥ 350
sel/mL (Schöni-Affolter et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan jumlah CD4
29
yang rendah (<100-200 cell/ml) meningkatkan risiko LTFU (Gerver et al., 2010;
Schöni-Affolter et al., 2011; Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Evans et
al., 2014). Tingkat kejadian LTFU cenderung menurun ketika sel CD4 meningkat
(Delphine et al., 2014). Setiap kenaikan 10% pada jumlah CD4 dikaitkan dengan
penurunan 2,8% angka kematian dalam satu tahun, termasuk LTFU sehingga
dukungan untuk memulai terapi dengan CD4 yang lebih tinggi akan mengurangi
resiko kematian diantara mereka yang LTFU (Fox et al., 2013).
Penelitian lain menyebutkan jumlah CD4 yang tinggi ≥ 200 cell/ml lebih
beresiko mengalami LTFU (Mugisha et al., 2014; Onoka et al., 2012; Somi et al.,
2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al., 2013). Hal ini menunjukkan hasil yang
tidak konsisten antara hubungan kadar CD4 dengan kejadian LTFU. Orang yang
memiliki jumlah CD4 yang tinggi mungkin tidak merasa gejala infeksi HIV sehingga
sangat mungkin untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan (Ochieng-Ooko et al.,
2010).
2.3.2.3 Kadar Haemoglobin
Pemantauan laboratoris pasien dalam terapi ARV salah satunya yaitu kadar
haemoglobin. Kadar haemoglobin adalah ukuran untuk menilai kondisi anemia.
Anemia merupakan efek samping yang dapat ditimbulkan akibat terapi seperti
pemberian zidovudin (AZT). Insiden rate kejadian anemia pada pengguna AZT yaitu
23,4 per 100 person years (Curkendall et al., 2007). Kadar haemoglobin yang normal
pada laki-laki yaitu >13 g/dl dan perempuan >12 g/dl (Zhou J, 2007). Kadar
30
hemoglobin rendah (p <0,001) (Zhou et al., 2012) dan hemoglobin < 8.0 g/dL (HR
1,64 95% CI 1,28 – 2,10) sebagai prediktor dari LTFU (Saka et al., 2013). Penelitian
Honge et al, pada klien yang belum memenuhi syarat pengobatan ARV justru
menunjukkan bahwa kadar haemoglobin rendah cenderung menyebabkan pasien
termotivasi untuk mematuhi terapi ARV karena merasa sakit meskipun jumlah CD4
lebih tinggi (Hønge et al., 2013).
2.3.2.4 Infeksi Oportunistik
Keadaan LTFU seringkali dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit yang
diderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami infeksi
oportunistik (IO) diawal pengobatan memiliki resiko untuk mengalami LTFU yaitu
HR (hazard ratio) 1,72 (0,47-1,82) dan OR (odds ratio) 2,3 (95% CI 1,5-3,1) (Saka et
al., 2013; Tran et al., 2013). Pasien dengan atau tanpa OC (oropharyngeal
candidiasis) meningkatkan risiko LTFU (HR 1,36 95% CI 1,02-1,82; HR 1,55 95%
CI 1,30-1,85) (Evans et al., 2013). Infeksi oportunistik menunjukkan tingkat
keparahan penyakit sehingga cenderung untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan
tetapi kemungkinan mencari pengobatan alternatif (Wubshet et al., 2013). Adanya
infeksi oportunistik juga menunjukkan ADIs (AIDS-defining clinical illness) yang
juga memperberat kondisi klinis odha. Adanya riwayat ADIs meningkatkan resiko
LTFU 1,2 kali (95% CI 0,9-1,48) namun tidak bermakna secara statistik. (Krishnan et
al., 2011). Kriteria ADIs yang umumnya terjadi adalah tubercolosis (22.7%), PCP
(19.1%) and oesophageal candidiasis (16.2%) (Grabar et al., 2008). Data TAHOD
31
juga menyebutkan bahwa ADIs lebih banyak muncul pada 90 hari setelah pengobatan
ARV dengan insiden rate yaitu 26,1 per 100 person years (Zhou J, 2007).
2.3.2.5 Stadium Klinis WHO
Risiko loss to follow up lebih besar pada pasien yang mengalami penyakit
yang lebih berat (Cohen et al., 2013). Stadium klinis merupakan manifestasi klinis
penderita HIV/AIDS yang dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV. Pasien dengan
stadium II WHO (adjusted sHR 1,31 95% CI: 1,08 to 1,59) memiliki risiko lebih
tinggi LTFU dibandingkan dengan stadium I, III, dan IV (Odafe et al., 2012).
Penelitian oleh Saka et al, juga menunjukkan hasil yang sama bahwa pasien dengan
stadium II dan III berhubungan dengan LTFU (OR=1,7; 95%CI: 1,3-2,2) (Saka et
al., 2013). Kondisi ini terjadi karena odha yang telah menganggap diri mereka dalam
kondisi baik tidak perlu kembali melanjutkan ART (Odafe et al., 2012).
Odha yang telah memasuki stadium lanjut yang lebih tinggi cenderung tidak
percaya penyedia layanan kesehatan sehingga mereka lebih cenderung untuk
menggunakan pengobatan komplementer dan alternatif atau complementer
alternative medicine (CAM) sebagai pengganti terapi HIV konvensional (Hsiao et al.,
2003). Petugas kesehatan hampir 90% tidak menyadari bahwa pasien mereka
menggunakan pengobatan alternatif dalam enam bulan terakhir, mereka
menggunakan pengobatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit (87,1%)
dan praktek-praktek spiritual atau doa untuk menghilangkan stres (77,6%). Kondisi
ini berdampak pada kunjungan ke klinik yang menurun (Peltzer et al., 2008). Hal ini
32
kemungkinan yang membuat mereka dalam kondisi LTFU. Hasil yang tidak
konsisten ditemukan pada variabel ini, dimana penelitian yang dilakukan oleh
Berheto et al, bahwa stadium klinis III sebagai faktor protektif dari LTFU (aHR= 0,6;
CI 0,4-0,8, p=0,007) karena pada stadium klinis III dan IV, odha cenderung
mengalami peningkatan perilaku dalam mencari layanan kesehatan akibat keparahan
penyakit yang diderita (Berheto et al., 2014).
2.3.2.6 Status Fungsional
Status fungsional pada odha dibedakan menjadi tiga yaitu status kerja,
ambulatory dan baring. Status kerja dikategorikan bila odha masih mampu bekerja
normal, pasien yang tidak mampu bekerja normal dan < 50% berbaring dikategorikan
memiliki status ambulatory, sedangkan pasien yang terus menerus (atau > 50%)
berbaring di tempat tidur di kategorikan status baring (Kemenkes RI, 2011a). Tujuan
utama dari ART salah satunya adalah untuk memberikan kesempatan bagi orang
untuk menjadi produktif dalam pekerjaan mereka dan kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, ukuran produktivitas yaitu status fungsional dapat digunakan sebagai salah
satu indikator keberhasilan program ART (WHO, 2006). Status fungsional yaitu
ambulatory juga meningkatkan risiko LTFU dengan adjusted sHR 1,25 (95% CI:
1,01 to 1,54)(Odafe et al., 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa status
fungsional ambulatory merupakan faktor protektif terhadap kejadian LTFU (aHR 0,4
95% CI 0,3-0,6 p=0,001).
33
2.3.3.7 Status TB
Karakteristik penyakit penyerta merupakan salah satu faktor
yangmempengaruhi kepatuhan pada odha. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit
lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum (Kemenkes RI,
2011a). TB merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada orang yang
hidup dengan HIV, termasuk ART (Berheto et al., 2014). Beberapa penelitian
menguraikan hubungan antara status TB yang diderita dengan risiko LTFU pada
odha. Penelitian di Vietnam menyatakan bahwa odha dengan status TB positif
memiliki risiko lebih tinggi mengalami LTFU (aHR=1,28 CI 1,05-1,72) (Tran et al.
2013). Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan bahwa odha dengan
TB positif risiko tiga kali lebih besar mengalami LTFU akibat dari reaksi ganda
toksisitas yang ditimbulkan sehingga menurunkan kepercayaan mereka untuk berobat
(62). Penelitian dengan menggunakan data TAHOD bahwa odha dengan TB negatif
memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami LTFU namun menunjukkan
hubungan yang tidak signifikan (IRR=0,98 CI 0,87-1,12 p=0,801) (39). Studi berbeda
menyebutkan odha dengan TB positif yang mendapatkan terapi memiliki kondisi
klinis yang lebih buruk sehingga meningkatkan kepatuhan mereka untuk berobat
(Berheto et al., 2014).
2.3.2.8 Regimen ARV
Regimen ARV terdiri dari nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI)
dan non-nucleoside reverse transcriptase (NNRTI). Golongan yang termasuk
34
regimen NRTI yaitu zidovudine (AZT), stavudine (d4T), lamivudine (3TC),
didanosine (ddl), abacavir (ABC), tenofovir (TDF), dan emtricitabine (FTC).
Regimen NNRTI yaitu nevirapine dan efavirens selain itu juga terdapat regimen yang
termasuk lini kedua yaitu protease inhibitor (PI) seperti lopinavir atau ritonavir.
Regimen ARV terkait karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses
untuk mendapatkan ARV berdampak pada kepatuhan odha (Kemenkes RI, 2011a).
Penelitian di Cameroon menyebutkan penggunaan regimen NNRTI nevirapine
(NVP) menurunkan risiko LTFU secara siginifikan (aHR 0.75 CI0,57-0,99 p=0,04),
begitu juga pada penggunaan regimen NRTI stavudin (aHR 0,55 CI 0,42-0,71) dan
zidovudine (AZT) (aHR 0,59 CI 0,45-9,77) (Bekolo et a,l. 2013). Berbeda dengan
studi di Ethiopia menyatakan penggunaan AZT meningkatkan risiko LTFU menjadi
sebesar tiga kali dibandingkan regimen d4T (62).
Odha yang menerima substitusi rejimen ARV selama masa perawatan lebih
berisiko LTFU (HR 5,2; 95% CI 3,6-7,3) sama dengan studi di India yang
melaporkan bahwa substitusi bisa menjadi faktor risiko untuk gagal ART (Alvarez-
Uria et al., 2013; Berheto et al., 2014). Mayoritas kasus substitusi rejimen disebabkan
oleh reaksi obat, pasien mungkin menjadi khawatir tentang efek samping dan
efektivitas obat baru yang diberikan sehingga mereka memilih untuk mencari pilihan
pengobatan lainnya. Takut efek samping sebagai penyebab utama kegagalan atau
LTFU (Deribe et al., 2008). LTFU yang lebih besar dapat dikaitkan dengan
peningkatan toksisitas obat dimana pasien yang menerima rejimen PI (protease
35
inhibitor) yang substansial cenderung lebih mahal dari lini satu sehingga LTFU
mungkin terkait dengan ketersediaan obat atau keterjangkauan (Zhou et al., 2012).
2.3.3 Karakteristik Layanan
2.3.3.1 Entry Point
Mengidentifikasi entry point dalam perawatan HIV dan pemberian terapi
ARV merupakan salah satu informasi yang berguna untuk keberlangsungan program.
Entry point adalah jalur masuknya pasien pertama kali mendapatkan layanan HIV
yang meliputi layanan datang sendiri, LSM, jangkauan, praktik swasta, KIA
(kesehatan ibu dan anak), rawat jalan, rawat inap, lainnya (Kemenkes RI, 2011c).
Entry point mengacu pada bagaimana pasien tiba atau masuk ke layanan voluntary
and counseling test (VCT) dan mendapat layanan terapi termasuk yang dirujuk dari
(PMTCT,TB, IMS, dll), riwayat perawatan dan kesehatan lain saat mereka menerima
perawatan HIV. Informasi ini sangat membantu manager program sebagai indikator
dalam peningkatan pengawasan, keberlangsungan terapi, membantu rujukan pasien
yang tepat dan melibatkan jaringan berbasis masyarakat (WHO, 2006).
Pasien yang mendapatkan layanan HIV dan terapi ARV sebagian besar
melalui layanan TB, rawat jalan dan layanan VCT ( WHO, 2006; Hassan et al., 2012;
Mugisha et al., 2014). Pasien yang mengalami LTFU, 47,4% teridentifikasi pada
entry point layanan TB (Alvarez-Uria et al., 2013). Pasien dengan entry point
melalui layanan VCT memiliki risiko LTFU lebih kecil dibandingkan entry point
yang lain (Crude OR 0.5 CI 0.3–0.9 p= 0.02) (Hassan et al., 2012).
36
2.3.3.2 Jenis Tempat Layanan
Penelitian di Nigeria Tenggara menunjukkan persentase LTFU di rumah sakit
pemerintah lebih tinggi daripada rumah sakit swasta yaitu 32,8% sedangkan di rumah
sakit swasta 11,0% (Onoka et al., 2012) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
tempat layanan berhubungan dengan LTFU, layanan di rumah sakit umum pusat
memiliki risiko LTFU yang lebih besar dibandingkan rumah sakit daerah dan klinik
swasta (Odafe et al., 2012; Saka et al., 2013; Weigel et al., 2013). Resiko LTFU pada
klinik NGO (Non Governmental Organization) (OR 1,1 95% CI 0,6-1,9) lebih rendah
dibandingkan klinik umum atau rumah sakit umum. Penggunaan klinik umum
mencerminkan status sosial ekonomi yang kurang sehingga cenderung mengalami
LTFU (Saka et al., 2013). Kondisi ini berkaitan dengan monitoring yang diberikan
pada pasien, dimana rumah sakit pusat memiliki jumlah pasien yang besar sehingga
lebih sulit untuk memonitoring pasien, selain petugas lapangan (outreach) yang
kurang memadai (Odafe et al., 2012). Program pengobatan antiretroviral perlu
meningkatkan proses dokumentasi dan mengembangkan dan menerapkan strategi
pelacakan (Onoka et al., 2012)
2.3.3.3 Status Rawat
Status rawat menunjukkan kondisi kesehatan odha. Status rawat dikategorikan
menjadi rawat jalan dan rawat inap, kondisi klinis yang memburuk membuat odha
memerlukan perawatan yang lebih intensif dengan rawat inap di rumah sakit. Studi
oleh Fleishman et al., bahwa keberlangsungan pengobatan ARV dengan rawat jalan
37
menunjukkan retensi pengobatan hanya 20,4%, dan resiko LTFU mencapai 34,9%
(Fleishman et al., 2013).
2.3.3.4 Kebijakan Terapi ARV
Kebijakan terapi ARV merupakan pedoman yang digunakan untuk
menentukan kapan waktu memulai pengobatan dan cara memilih obat yang tepat.
Kebijakan terapi ARV terus mengalami perubahan secara periodik (Depkes, 2007;
Kemenkes RI, 2011a). Acuan yang digunakan untuk memulai terapi ARV adalah
jumlah CD4. Jika awal pengobatan tidak dianggap penting, maka monitoring
keberlanjutan dan perawatan serta retensi menjadi lebih sulit. Jika dilihat dari
efektivitas biaya dan jumlah CD4 saat memulai pengobatan di rangkaian sumber daya
terbatas seperti studi di Sub-Saharan menunjukkan bahwa memulai ART pada tiga
ambang jumlah CD4 (<200 sel/mm3, 200-350 sel/mm
3 dan >350 sel/mm
3), sebagian
besar efektif jika dimulai ketika jumlah CD4 <200 sel/mm3 dengan biaya tambahan
hidup yang lebih kecil yaitu US$54. Menunda pengobatan sampai <200 sel/mm3 akan
mengurangi biaya keseluruhan pengobatan, tetapi ini harus disesuaikan dengan
manfaat klinis terkait dengan terapi awal (Badri et al., 2006). Kondisi lain bahwa
inisiasi ARV pada CD4 ≥ 350 sel/mm3 memberikan keuntungan jangka panjang pada
kelangsungan hidup dan sangat efektif biaya (Walensky et al., 2010). Namun studi
terkait harapan hidup telah menemukan bahwa justru risiko kematian lebih besar dan
harapan hidup rendah di antara orang-orang yang memulai ART pada akhir
perkembangan penyakit dengan CD4 ≤ 200 sel /mm3 (UNAIDS, 2013a).
38
Situasi dengan cakupan ART rendah, penerapan pedoman ART yang baru
perlu dirancang agar memulai ART lebih cepat untuk infeksi HIV (karena berbagai
alasan) sehingga mengurangi kesempatan untuk pengobatan pada odha dengan
jumlah CD4 yang sangat rendah atau penyakit lebih lanjut, terutama dalam sumber
daya yang terbatas. Kapan waktu sebaiknya mulai ART dan informasi penting bahwa
pengobatan infeksi HIV tidak mendesak, seringkali menimbulkan kebingungan antara
pasien dan penyedia layanan sehingga dapat membuat cascade buruk pada
pengobatan. Kepatuhan yang buruk terhadap ART dimulai pada jumlah CD4 > 250
sel/mm3, dengan alasan gejala klinis yang belum dirasakan (karena banyak odha
yang tidak bergejala di awal pengobatan) dan kurangnya dukungan sosial
berkontribusi ketidakpatuhan antara orang tersebut (Cohen et al., 2013). Akibatnya,
tampak bahwa pasien yang tidak mematuhi ART berada pada risiko yang lebih tinggi
mengalami LTFU. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa pasien yang sehat pada
awal pengobatan mengalami LTFU lebih sering daripada pasien yang sakit dimana
durasi rata-rata retensi 10 bulan untuk pasien dengan CD4 ≥ 350 cell/mm3 di awal
terapi sedangkan pada pasien dengan jumlah CD4 <200 sel / mm3 yaitu 24 bulan
(Ndiaye et al., 2009).
2.3.3.5 Jarak Tempat Tinggal dengan Layanan
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jarak menjadi prediktor kejadian
LTFU yaitu jarak (> 5 km vs <1 km: aHR=2,6 95% CI 1,9-3,7 dengan p <0,01)
(Hassan et al., 2012) dan jarak ke klinik lebih dari 5 km (aHR = 1,25, 95% CI 1,00-
39
1,55) (Bekolo et al., 2013). Waktu tempuh lebih dari ≥ 1 jam ke tempat layanan ARV
juga berhubungan dengan LTFU (HR 1,11 (95% CI 1,04-1,19) (Ochieng-Ooko et al.,
2010). Hal ini kemungkinan bahwa orang yang hidup jauh dari fasilitas kesehatan
kurang memiliki akses terhadap perawatan kesehatan. Pasien lebih dekat dengan
berjalan kaki dari fasilitas kesehatan memiliki resiko LTFU yang lebih kecil (Bekolo
et al., 2013).
2.4 Kepatuhan Terapi ARV
WHO mendefinisikan kepatuhan pengobatan sebagai sejauh mana perilaku
seseorang mengambil obat, mengikuti diet dan atau melaksanakan perubahan gaya
hidup sesuai dengan yang telah disepakati rekomendasi dari penyedia layanan
kesehatan atas dasar kesadaran sendiri. Monitoring dan evaluasi kepatuhan pada
setiap kali kunjungan perlu dilakukan karena kegagalan terapi sering diakibatkan
ketidakpatuhan konsumsi ARV. Beberapa faktor yang berhubungan dengan sistem
penyediaan layanan kesehatan, obat dan orang yang mengambil obat ARV dapat
mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi ARV (WHO, 2013; Kemenkes RI, 2011a).
Faktor yang diprediksi berkaitan dengan kepatuhan diantaranya faktor
individu mencakup lupa dosis, berada jauh dari rumah, perubahan dalam rutinitas
sehari-hari, depresi atau penyakit lainnya, kurangnya kepentingan atau keinginan
untuk mengambil obat-obatan, dan bahan atau penggunaan alkohol. Obat atau
rejimen terkait efek samping, kompleksitas rejimen dosis, beban pil, dan pembatasan
diet. Faktor sistem kesehatan termasuk membutuhkan orang dengan HIV untuk
40
mengunjungi pelayanan kesehatan, perjalanan jarak jauh untuk mencapai pelayanan
kesehatan, menanggung biaya langsung dan tidak langsung dari perawatan,
kurangnya informasi yang jelas atau instruksi pengobatan, pengetahuan yang terbatas
pada perjalanan infeksi dan pengobatan HIV merupakan prediktor terhadap
ketidakpatuhan (WHO, 2013). Penelitian cross-sectional pada 366 odha di Spanyol
bahwa faktor sosiodemografi dan psikologis mempengaruhi tingkat kepatuhan
terhadap ART. Secara keseluruhan, IDU dan individu yang lebih muda, depresi dan
kurangnya dukungan sosial cenderung memiliki kepatuhanyang kurang (Gordillo et
al., 1999).
Intervensi tingkat program untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ART
meliputi menghindari memaksakan pembayaran pada perawatan, menggunakan
kombinasi dosis rejimen yang telah ditetap untuk ART, dan memperkuat sistem
manajemen persediaan obat untuk mendukung pengadaan dan memberikan obat ARV
dan mencegah kehabisan stok persediaan obat. Upaya untuk mendukung dan
memaksimalkan kepatuhan harus dimulai sebelum terapi ART. Mengembangkan
rencana kepatuhan dan pendidikan sebagai langkah pertama yang penting. Pendidikan
pasien diawal harus mencakup informasi dasar tentang HIV, obat ARV, efek
samping, mempersiapkan untuk pengobatan dan kepatuhan terhadap ART. Pesan
teks ponsel dapat dianggap sebagai alat pengingat (tools reminder) untuk
mempromosikan kepatuhan terhadap ART sebagai bagian dari paket intervensi
kepatuhan (WHO, 2013).
41
Studi tentang kepatuhan di Sub Sahara-African tahun 2012 menunjukkan
bahwa klinik yang memiliki layanan dukungan kepatuhan, layanan konseling, dan
alat pemantau kepatuhan memiliki tingkat LTFU lebih rendah (Lamb et al., 2012).
Tingkat dukungan sosial secara independen terkait dengan kepatuhan dengan alat
ukur ”The Perceived Sosial Stigma” diperoleh beberapa dukungan sosial (p = 0,018)
dan dukungan sosial yang baik (score >71) (p = 0,039) meningkatkan kepatuhan
dibandingkan dengan dukungan sosial yang buruk (score < 60). Alasan untuk tidak
minum obat ART diantaranya yaitu lupa minum obat (67%), sibuk dengan sesuatu
yang lain (63%) dan tertidur di waktu pengobatan (60%) (Weaver et al., 2014).