26
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Mata Pelajaran IPA 2.1.1.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan atau Sains yang semula berasal dari bahasa inggris „Science‟. Kata „Science‟ sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Latin „Scientiayang berarti saya tahu. „Science‟ terdiri dari social sciences (ilmu pengetahuan sosial) dan natural science (ilmu pengetahuan alam). Namun, dalam perkembangannya science sering diterjemahkan sebagai sains yang berarti ilmu pengetahuan alam (IPA) saja, walaupun pengertian ini kurang pas dan bertentangan dengan etimologi (Jujun Suriasumantri, 1998: 299). Untuk itu, dalam hal ini kita tetap menggunakan istilah IPA untuk merujuk pada pengertian sains yang kaprah yang berarti natural science. Untuk mendefinisikan IPA tidaklah mudah, karena sering kurang dapat menggambarkan secara lengkap pengertian sains itu sendiri. Menurut H.W Fowler (dalam Laksmi Prihantoro, 1986 : 1.3), IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan induksi. IPA mempelajari alam semesta, benda-benda yang ada di permukaan bumi, di dalam perut bumi dan di luar angkasa, baik yang dapat diamati indera maupun yang tidak dapat diamati dengan indera. Oleh karena itu, dalam menjelaskan hakikat fisika, pengertian IPA dipahami terlebih dahulu. IPA atau ilmu kealaman adalah ilmu tentang

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian 2.1 › bitstream › 123456789...AJIAN PUSTAKA. 2.1 . Kajian. Teori 2.1.1 . Mata Pelajaran IPA. 2.1.1.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Ilmu

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Kajian Teori

    2.1.1 Mata Pelajaran IPA

    2.1.1.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

    Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu

    Pengetahuan atau Sains yang semula berasal dari bahasa inggris „Science‟.

    Kata „Science‟ sendiri berasal dari kata dalam Bahasa Latin „Scientia‟

    yang berarti saya tahu. „Science‟ terdiri dari social sciences (ilmu

    pengetahuan sosial) dan natural science (ilmu pengetahuan alam). Namun,

    dalam perkembangannya science sering diterjemahkan sebagai sains yang

    berarti ilmu pengetahuan alam (IPA) saja, walaupun pengertian ini kurang

    pas dan bertentangan dengan etimologi (Jujun Suriasumantri, 1998: 299).

    Untuk itu, dalam hal ini kita tetap menggunakan istilah IPA untuk merujuk

    pada pengertian sains yang kaprah yang berarti natural science.

    Untuk mendefinisikan IPA tidaklah mudah, karena sering kurang

    dapat menggambarkan secara lengkap pengertian sains itu sendiri.

    Menurut H.W Fowler (dalam Laksmi Prihantoro, 1986 : 1.3), IPA adalah

    pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan

    gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan

    induksi. IPA mempelajari alam semesta, benda-benda yang ada di

    permukaan bumi, di dalam perut bumi dan di luar angkasa, baik yang

    dapat diamati indera maupun yang tidak dapat diamati dengan indera.

    Oleh karena itu, dalam menjelaskan hakikat fisika, pengertian IPA

    dipahami terlebih dahulu. IPA atau ilmu kealaman adalah ilmu tentang

  • 9

    dunia zat, baik makhluk hidup maupun benda mati yang diamati (Kardi, S.

    dan Nur, 1994 : 1)

    Adapun Wahyana dalam Trianto (2010 :136) mengatakan bahwa IPA

    adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam

    penggunaannya secara umum terbatas pada gejala – gejala alam.

    Perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi

    oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.

    Dari penjelasan para ahli di atas penulis menyimpulkan bahwa IPA

    adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum

    terbatas pada gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode

    ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah

    seperti rasa ingin tahu, terbuka, dan jujur.

    2.1.1.2 Pengertian Pembelajaran

    Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas

    pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan

    pendidikan. (Syaiful, 2003:61).

    Menurut Hamalik (2007:77) pembelajaran adalah suatu sistem

    artinya suatu keseluruhan yang terdiri dari komponen-komponen yang

    berinteraksi antara satu dengan lainnya dan dengan keseluruhan itu sendiri

    untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelumnya.

    Adapun komponen-komponen tersebut meliputi tujuan pendidikan dan

    pengajaran, peserta didik dan siswa, tenaga kependidikan khususnya guru,

    perencanaan pengajaran, strategi pengajaran, media pengajaran, dan

    evaluasi pengajaran.

    Sementara pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:17)

    adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk

    membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan

    sumber belajar.

    Sedangkan Coney (dalam Sagala, 2005:61) mengatakan bahwa

    pembelajaran sebagai suatu proses dimana lingkungan seseorang secara

    sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku

  • 10

    tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap

    situasitertentu.

    Dari teori-teori tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

    adalah suatu proses yang dilakukan oleh guru yang telah diprogram dalam

    rangka membelajarkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang

    telah ditentukan sesuai dengan petunjuk kurikulum yang berlaku.

    2.1.1.3 Pembelajaran IPA SD

    IPA sebagai disiplin ilmu dan penerapannya dalam masyarakat

    membuat pendidikan IPA menjadi penting, IPA melatih anak berpikir

    kritis dan obyektif. Pengetahuan yang benar artinya pengetahuan yang

    dibenarkan melalui tolak ukur kebenaran ilmu, rasional dan objektif.

    Rasional artinya masuk akal atau logika, dapat diterima oleh akal sehat.

    Objektif artinya sesuai dengan objeknya, sesuai dengan kenyataan atau

    sesuai dengan pengalaman pengamatan pancaindra. Pembelajaran yang

    baik bagi siswa SD adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan

    kepada siswa untuk berlatih keterampilan-keterampilan proses IPA yang

    telah disesuaikan dengan tahap perkembangan srtuktur kognitif siswa.

    Keterampilan proses IPA yang didefinisikan oleh Paolo dan

    Marten dalam Usman Samatowa (2010 : 50), adalah: “(1) mengamati, (2)

    mencoba memahami yang diamati, (3) mempergunakan pengetahuan baru

    untuk meramalkan apa yang terjadi, (4) menguji ramalan-ramalan di

    bawah kondisi-kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar.”

    Pendidikan IPA SD lebih mengacu pada persoalan-persoalan yang terjadi

    di kehidupan sehari-hari siswa dan terkait dengan alam sekitar siswa.

    Siswa melakukan keterampilan proses IPA yang dijelaskan di atas untuk

    membuktikan suatu teori atau memecahkan permasalahan yang sedang

    dihadapi siswa.

    2.1.1.4 Tujuan Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

    Tujuan mata pelajaran IPA di SD dalam Kurikulum Tingkat Satuan

    Pendidikan (KTSP) 2006 yaitu:

  • 11

    1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa

    berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaanNya.

    2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA

    yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

    3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang

    adanya hubungan yang saling mempengarui antara IPA, lingkungan,

    teknologi dan masyarakat.

    4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,

    memecahkan masalah, dan membuat keputusan.

    5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara,

    menjaga, dan melestarikan lingkungan alam.

    6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala

    keteraturan sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

    7) Memperoleh bakal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA

    sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP.

    2.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif

    2.1.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif

    Pengertian model pembelajaran menurut Depdiknas (2003 : 5)

    “Pembelajaran Kooperatif (cooperative learning) merupakan strategi

    pembelajaran melalui kelompok kecil siswa yang saling bekerja sama

    dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar”.

    Menurut Panintz (dalam Agus Suprijono, 2010 : 54) mendefinisikan

    bahwa model pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas

    meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih

    dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru.

    Menurut Slavin dalam (Isjoni, 2011 : 15) “In cooperative learning

    methods, students work together in four member teams to master material

    initially presented by the teacher”. Ini berarti bahwa cooperative learning

    atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana

    sistem belajar dan bekerja kelompok-kelompok kecil berjumlah 4-6 orang

  • 12

    secara kolaboratif sehingga dapat merangsang peserta didik lebih

    bergairah dalam belajar.

    Dari beberapa pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan

    bahwa pembelajaran kooperatif adalah cara belajar dalam bentuk

    kelompok-kelompok kecil yang saling bekerjasama dan diarahkan oleh

    guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan”.

    2.1.2.2 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A

    Match

    Menurut Rusman (2011: 223-233) Model pembelajaran tipe Make

    A Match (membuat pasangan) merupakan salah satu jenis dari metode

    dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Lorna

    Curran (1994). Salah satu cara keunggulan teknik ini adalah peserta didik

    mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik,

    dalam suasana yang menyenangkan.

    Menurut Anita Lie (2008 : 56) model pembelajaran tipe Make A

    Match atau bertukar pasangan merupakan teknik belajar yang memberi

    kesempatan siswa untuk bekerja sama dengan orang lain. Teknik ini bisa

    digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia

    anak didik.

    Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model

    pembelajaran kooperatif tipe Make A Match adalah suatu teknik

    pembelajaran mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep

    atau topik dalam semua mata pelajaran dan tingkatan kelas.

    2.1.2.3 Karakteristik Model Pembelajaran Tipe Make A Match

    Model pembelajaran kooperatif dibedakan menjadi empat, antara

    lain metode STAD (Student Teams Achivement Divisions), metode Jigsaw,

    metode G (Group Investigasion) dan metode struktural. Berdasarkan

    beberapa metode di atas Make a Match merupakan bagian dari metode

    struktural yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang

    untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa. Struktur-struktur tersebut

  • 13

    memiliki tujuan umum diantaranya untuk meningkatkan penguasaan isi

    akademik dan mengajarkan keterampilan sosial (Sugiyanto, 2010: 44-48).

    Teknik Make A Match adalah teknik mencari pasangan, siswa di

    gabung suruh mencari pasangan dari kartu yang mereka pegang.

    Keunggulan tekhnik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar

    mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

    Teknik ini dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua

    tingkatan usia anak didik (Lorna Curran dalam Miftahul Huda, 2011: 113).

    Dari beberapa pendapat para ahli di atas penulis menyimpulkan

    bahwa teknik Make A Match adalah suatu model pembelajaran dimana

    dalam pembelajarannya siswa mencari pasangan dari kartu yang dibagikan

    oleh guru di awal pembelajaran, selanjutnya menggabungkan pertanyaan

    dengan jawaban sesuai atau sebaliknya. Model pembelajaran Cooperative

    Learning tipe Make a Match atau mencari pasangan merupakan salah satu

    alternatif yang dapat diterapkan kepada siswa dalam proses belajar

    mengajar. Penerapan model pembelajaran ini dimulai dari siswa disuruh

    mencari pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum batas

    waktunya, siswa yang dapat mencocokkan kartunya diberi poin. Secara

    garis besar Make a Match adalah teknik belajar mencari pasangan, siswa

    mencari pasangan sambil belajar. Dengan teknik ini diharapkan guru dapat

    memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide

    dan mempertimbangkan jawaban paling tepat, selain itu teknik yang

    terdapat didalamnya juga mendorong siswa untuk semangat kerjasama.

    2.1.2.4 Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

    Make A Match

    Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melakukan

    pembelajaran dengan teknik Make A Match (mencari pasangan):

    a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa pertanyaan dan

    jawaban, pertanyaan dan jawaban ini di buat oleh guru sebelum proses

    belajar mengajar.

  • 14

    b. Guru membagikan kartu kepada setiap siswa yang nantinya dengan

    kartu itu siswa akan mencari pasangan yang akan menjadi anggota

    kelompoknya.

    c. Kartu dibagikan, setiap siswa mencari pasangan dari kartu yang

    mereka terima/peroleh. Misalnya pemegang kartu yang bertuliskan

    “kentongan” berpasangan dengan pemegang kartu “alat komunikasi

    tradisional”.

    d. Siswa dapat bergabung dengan 2 atau 3 siswa lain yang memiliki kartu

    yang berhubungan dengan kartu yang ia pegang, misalnya pemegang

    kartu “kentongan, lesung” bisa bergabung dengan pemilik kartu “alat

    komunikasi tradisional” (Miftahul Huda, 2011: 135).

    Sejalan dengan pendapat Miftahul Huda di atas langkah-langkah

    pembelajaran Make A Match sebagai berikut:

    a. Langkah awal guru menyiapkan kartu berisi pertanyaan dan jawaban

    yang dibuat sebelum pelajaran dimulai.

    b. Setelah semua kartu siap kartu-kartu tersebut siap dibagikan kepada

    siswa.

    c. Setelah masing-masing sudah mendapatkan kartu setiap siswa mencari

    pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.

    d. Siswa dapat bergabung dengan 2 atau 3 siswa lain yang memiliki kartu

    yang berhubungan. Pasangan siswa mendiskusikan dan menyelesaikan

    tugas secara bersama-sama. Selesai berdiskusi presentasikan hasil

    kelompok atau kuis (Sugiyanto, 2010 : 49-50).

    Pendapat lain Langkah-langkah dalam Make A Match adalah:

    a. Langkah pertama guru mempersiapkan kartu berisi pertanyaan dan

    jawaban.

    b. Guru membagi kelompok menjadi tiga kelompok, kelompok pertama

    membawa kartu pertanyaan kelompok kedua membawa kartu jawaban

    dan kelompok ke tiga menjadi kelompok penilai.

    c. Posisikan ketiga kelompok membentuk huruf U, jika sudah berada

    diposisi yang ditentukan, guru membunyikan pluit sebagai tanda siswa

  • 15

    mencari pasangan masing-masing, jika sudah menemukan pasangan

    siswa wajib melapor kepada kelompok penilai (Agus Suprijono, 2011:

    94-95).

    Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah

    Make A Match yang akan digunakan dalam penelitian adalah sebagai

    berikut.

    a. Pembelajaran dimulai guru menyiapkan kartu-kartu yang berisi

    pertanyaan dan jawaban tentang materi pelajaran yang akan diajarkan.

    b. Ukuran kartu yang akan digunakan berukuran 20cm X 20cm dengan

    background kartu yang menarik untuk anak - anak.

    c. Kartu siap, selanjutnya kartu-kartu itu dibagikan kepada setiap siswa

    secara acak.

    d. Semua mendapatkan kartu, kelompokkan antara pemegang kartu

    pertanyaan dan kelompok pemegang kartu jawaban, posisikan berdiri

    siswa saling berhadapan. Posisi ini bertujuan agar siswa mudah untuk

    mencari pasanganya.

    e. Kedua kelompok saling berhadapan, siswa mencari pasangan kartu

    yang cocok dengan cara mencari tahu siapa yang memegang pasangan

    dari kartu yang ia pegang. Guru harus memberikan batasan waktu 2

    menit untuk mencari pasangan agar siswa lebih semangat.

    f. Satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang

    berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.

    g. Setelah bertemu dengan pasangan masing-masing, siswa bergabung

    menjadi satu kelompok belajar untuk mengerjakan tugas selanjutnya

    dari guru.

  • 16

    2.1.2.5 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Tipe

    Make A Match

    Adapun kelebihan dan kekurangan dalam model pembelajaran

    kooperatif tipe Make A Match yang dikemukakan oleh Miftahul Huda

    (2013 : 253-254), adalah sebagai sebagai berikut:

    1. Kelebihan

    Kelebihan model ini antara lain:

    a. Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.

    b. Karena ada unsur permainan, model ini menyenangkan.

    c. Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan

    dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

    d. Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil

    presentasi.

    e. Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.

    2. Kekurangan

    Disamping mempunyai manfaat untuk peserta didik, model

    pembelajaran tipe Make A Match juga memiliki kekurangan antara lain:

    a. Jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik,akan banyak waktu

    yang terbuang.

    b. Pada awal-awal penerapan model, banyak siswa yang akan malu

    berpasangan dengan lawan jenisnya.

    c. Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik,akan banyak siswa

    yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan.

    d. Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa

    yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu.

    e. Menggunakan model Make A Match secara terus-menerus akan

    menimbulkan kebosanan.

  • 17

    2.1.2.6 Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make

    A Match

    Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match akan

    tetap mengacu pada langkah-langkah pembelajaran model pembelajaran

    kooperatif tipe Make A Match yang dikemukakan oleh (Agus Suprijono,

    2009 : 94). Akan tetapi akan ada sedikit panambahan dan pengurangan

    oleh peneliti dimaksudkan agar dapat disesuaikan dengan karakteristik

    siswa dan materi yang akan diajarkan, serta menyesuaikan kondisi siswa

    dimana siswa baru pertama kali mengenal model pembelajaran kooperatif

    tipe Make A Match serta untuk mempermudah guru dalam proses

    pembelajaran.

    Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match

    dapat bermanfaat bagi siswa karena dapat menumbuhkan minat dan

    motivasi siswa untuk tetap mengikuti pembelajaran yang aktif dan

    menyenangkan, serta dapat menumbuhkan kerja sama antar siswa dalam

    mencari pasangan-pasangan kartu dan dapat menumbuhkan rasa tanggung

    jawab dan disiplin untuk siswa.

    2.1.3 Media Pembelajaran

    2.1.3.1 Pengertian Media Pembelajaran

    Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak

    dari kata medium yang secara harafiah berarti perantara atau pengantar

    pesan dari pengirim ke penerima pesan. Menurut Syaiful Bahri Djamarah

    (2013: 120), “media adalah alat bantu apa saja yang dapat dijadikan

    sebagai penyalur pesan guna mencapai tujuan pembelajaran.” Sedangkan

    Menurut Gerlach & Ely dalam Sri Anitah (2012 : 6), “ media adalah

    grafik, fotografi, elektronik, atau alat-alat mekanik untuk menyajikan,

    memproses, dan menjelaskan informasi lisan atau visual.” Dari berbagai

    pengertian media di atas maka dapat disimpulkan bahwa, media adalah

    segala benda atau alat yang berguna sebagai penyalur pesan untuk

  • 18

    menyajikan, memproses, dan menjelaskan informasi lisan atau visual yang

    dapat merangsang siswa untuk belajar. Media ini dapat berupa grafik

    fotografi, elektronik, atau alat-alat mekanik. Dan merupakan alat bantu

    mengajar yang dapat digunakan untuk menyalurkan materi yang

    disampaikan guru kepada siswa dan merangsang pikiran, perasaan, dan

    perhatian siswa sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dan dapat

    meningkatkan hasil belajar siswa.

    2.1.3.2 Fungsi Media Pembelajaran

    Media pembelajaran merupakan sebuah alat yang berfungsi untuk

    menyampaikan pesan pembelajaran yang dapat memberi rangsangan bagi

    siswa untuk lebih tertarik dalam belajar, sehingga dapat meningkatkan

    kualitas belajar mengajar dan diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar

    siswa.

    Menurut Arief S. Sudiman. Dkk (2012: 17), secara umum media

    pendidikan mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut:

    a. Memperjelas penyajian peran agar tidak terlalu bersifat verbalitas

    (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka).

    b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indra, seperti

    misalnya: (1) objek yang terlalu besar, bisa digantikan dengan replika,

    gambar, film, atau model. (2) objek yang terlalu kecil, dibantu dengan

    proyektor micro, film, atau gambar. (3) kejadian atau peristiwa yang

    terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat, rekaman film, video,

    maupun foto. (4) konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa

    bumi, iklim, dan lain-lain) dapat divisualkan dalam bentuk film,

    gambar, dan lain-lain.

    c. Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat

    mengatasi sikap pasif peserta didik. Dalam hal ini media pendidikan

    berguna untuk: (1) menimbulkan kegairahan belajar. (2)

    memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan

    lingkungan dan kenyataan. (3) memungkinkan anak didik belajar

    sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.

  • 19

    d. Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan

    lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan

    materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru

    banyak mengalami kesulitan bilamana semuanya itu harus diatasi

    sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila latar belakang lingkungan guru

    dengan siswa juga berbeda. Masalah ini dapat diatasi dengan media

    pendidikan, yaitu dengan kemampuannya dalam: (1) memberikan

    perangsang yang sama. (2) mempersamakan pengalaman. (3)

    menimbulkan persepsi yang sama.

    Dengan demikian media pembelajaran mempunyai peranan yang

    sangat penting, menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses belajar

    mengajar dalam membantu mempermudah penyampaian materi untuk

    siswa yang diharapkan dapat tercapainya tujuan pembelajaran dan

    meningkatkan hasil belajar siswa.

    2.1.3.3 Media Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match

    Agus Suprijono (2009 : 94) menjelaskan hal-hal yang perlu

    diperhatikan jika pembelajaran dikembangkan dengan metode

    pembelajaran kooperatif tipe Make A Match adalah kartu-kartu. Kartu-

    kartu tersebut berisikan pertanyaan dan jawaban. Langkah berikutnya

    adalah guru membagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama

    merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan. Kelompok

    kedua adalah kelompok pembawa kartu-kartu berisi jawaban. Kelompok

    ketiga adalah kelompok penilai. Aturlah posisi kelompok-kelompok

    tersebut berbentuk huruf U.

    Upayakan kelompok pertama dan kedua berjajar saling

    berhadapan. Jika masing-masing kelompok sudah berada di posisi masing-

    masing, guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama

    dan kedua saling mencari pasangan yang cocok dari kartu-kartu yang

    mereka pegang. Pasangan-pasangan yang sudah menemukan pasangan

    dari kartu-kartu yang mereka bawa, wajib menunjukkan kepada kelompok

    penilai, di sini tugas team penilai adalah mencatat nama masing-masing

  • 20

    siswa yang sudah melapor dengan menuliskan kartu-kartu yang siswa

    bawa. Kelompok penilai akan mencocokkan apakah kartu yang dipegang

    sudah cocok. Setelah penelitian dilakukan, aturlah kembali ke posisi

    semula membentuk huruf U. Kemudian kelompok pertama dan kedua

    masing-masing mewakilkan satu anggota untuk menjadi team penilai.

    Guru kembali membunyikan peluit sebagai tanda untuk memulai

    permainan. Kemudian guru bersama siswa mengkonfirmasi atas jawaban

    yang sudah siswa pasangkan tadi.

    Di sini guru memfasilitasi diskusi untuk memberikan kesempatan

    kepada seluruh peserta didik untuk mengkonfirmasikan hal-hal yang telah

    mereka lakukan memasangkan pertanyaan-jawaban dan penilaian, rincian

    tentang langkah-langkah penggunaan media pembelajaran kooperatif tipe

    Make A Match akan diuraikan di bawah ini:

    a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau

    topik, yang cocok untuk sesi review. Sebagian kartu tersebut berisi soal

    dan sebagian kartu lainnya berisi jawaban.

    b. Guru membagi siswa menjadi 2 atau 3 kelompok besar (kelompok

    kartu soal dan kelompok kartu jawaban).

    c. Membuat aturan yang berisi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan

    sanksi bagi siswa yang gagal (di sini guru dapat membuat aturan utama

    bersama-sama dengan siswa).

    d. Guru membagikan kartu-kartu tersebut, setiap siswa mendapat satu

    buah kartu.

    e. Setiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang sudah mereka

    dapat.

    f. Setiap siswa mencari pasangan yang cocok dengan kartunya (kartu

    soal dengan kartu jawaban).

    g. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu

    yang sudah disepakati diawal, mendapat point atau reward.

    h. Setelah satu babak, kartu dikocok kembali agar tiap siswa mendapat

    kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.

  • 21

    i. Siswa diminta untuk membuat kesimpulan dari kegiatan yang baru saja

    dilakukan.

    Guru kemudian menutup pembelajaran.

    2.1.3.4 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A

    Match

    Sintaks model pembelajaran Make A Match dapat dilihat pada langkah -

    langkah kegiatan pembelajaran sebagai berikut:

    1. Awal 1. Guru mengajak siswa untuk memulai kegiatan dengan

    berdoa.

    2. Guru mengecek presensi kehadiran siswa.

    3. Guru mereview pembelajaran yang lalu.

    4. Guru mengawali kegiatan pembelajaran dengan

    melakukan apersepsi kegiatan.

    5. Guru menyampaikan kompetensi dasar dan indikator

    pembelajaran.

    2. Inti 1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang sebagian kartu

    tersebut berisi soal dan sebagian kartu lainnya berisi

    jawaban.

    2. Guru membagi siswa menjadi 2 atau 3 kelompok besar

    (kelompok kartu soal dan kelompok kartu jawaban).

    3. Guru membuat aturan yang berisi penghargaan bagi

    siswa yang berhasil dan sanksi bagi siswa yang gagal (di

    sini guru dapat membuat aturan bersama - sama dengan

    siswa).

    4. Guru membagikan kartu – kartu tersebut, setiap siswa

    mendapatkan satu buah kartu.

    5. Setiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang

    sudah mereka dapat.

    6. Setiap siswa mencari pasangan yang cocok dengan

    kartunya (kartu soal dengan kartu jawaban).

    7. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum

  • 22

    batas waktu yang sudah disepakati diawal, mendapatkan

    point atau reward.

    8. Setelah satu babak, kartu dikocok kembali agar tiap

    siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya,

    demikian seterusnya.

    3. Akhir 1. Siswa diminta untuk membuat kesimpulan dari kegiatan

    yang baru saja dilakukan.

    2. Guru kemudian menutup pembelajaran.

    2.1.4 Hasil Belajar

    2.1.4.1 Pengertian Belajar

    Belajar adalah perubahan perilaku dan merupakan proses

    mendapatkan pengetahuan dalam memahami apa yang dilihat atau dialami

    sesuai dengan pengalaman. Belajar dalam idealisme berarti kegiatan

    psiko-fisik-sosio menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Belajar

    sebagai konsep mendapatkan pengetahuan dalam praktiknya (Agus

    Suprijono, 2009 : 4).

    Menurut Hamalik (dalam Ahmad Susanto, 2013 : 3) belajar adalah

    memodifikasi atau memperteguh perilaku melalui pengalaman, artinya

    belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan merupakan

    suatu hasil atau tujuan. Dengan demikian belajar itu bukan sekedar

    mengingat atau menghafal saja, namun lebih luas dari itu, merupakan

    mengalami. Hamalik juga menegaskan belajar adalah suatu proses

    perubahan tingkah laku indvidu atau seseorang malalui interaksi dengan

    lingkungannya.

    Menurut Slameto (2003 : 2), belajar adalah suatu proses usaha

    yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah

    laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri

    dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar dalam arti yang luas ialah

    proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan dalam bentuk penguasaan,

    penggunaan, dan penilaian terhadap atau mengenai sikap dan nilai-nilai,

  • 23

    pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat dalam berbagai bidang

    studi atau lebih luas lagi, dalam berbagai aspek kehidupan atau

    pengalaman yang terorganisasi.

    Dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    belajar adalah perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang diperoleh

    melalui proses pengalaman, dan perubahan tingkah laku tersebut bersifat

    permanen.

    2.1.4.2 Pengertian Hasil Belajar

    Menurut K. Brahim (dalam Ahmad Susanto, 2013 : 5) “hasil

    belajar dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam

    mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor

    yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu”.

    Menurut Nana Sudjana (2010 : 22) “hasil belajar adalah

    kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima

    pengalaman belajarnya”.

    Sedangkan Dimyati dan Mudjiono (2002 : 36) “hasil belajar adalah

    hasil yang ditunjukkan dari suatu interaksi tindak belajar dan biasanya

    ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru”.

    Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil

    belajar adalah perubahan yang terjadi pada diri siswa dan kemampuan

    siswa setelah mengikuti kegiatan belajar dan dinyatakan dengan skor nilai

    tes yang diberikan oleh guru pada sejumlah materi pelajaran tertentu.

    2.1.4.3 Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar

    Siswa

    Menurut Gestalt, belajar merupakan suatu proses perkembangan.

    Artinya bahwa secara kodrati jiwa raga anak mengalami perkembangan.

    Perkembangan sendiri memerlukan sesuatu baik yang berasal dari diri

    siswa sendiri maupun pengaruh dari lingkungannya. Berdasarkan teori ini

    hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua hal, siswa itu sendiri dan

    lingkungannya. Pertama, siswa ; dalam arti kemampuan berpikir atau

  • 24

    tingkah laku intelektual, motivasi, minat, dan kesiapan siswa,baik jasmani

    maupun rohani. Kedua, lingkungan; yaitu sarana dan prasarana,

    kompetensi guru, kreativitas guru, sumber-sumber belajar, metode serta

    dukungan lingkungan, keluarga, dan lingkungan.

    Pendapat yang senada dikemukakan oleh Wasliman (2007 : 158),

    hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interaksi

    antara berbagai faktor yang mepengaruhi, baik faktor internal maupun

    eksternal. Secara perinci, uraian mengenai faktor internal dan eksternal,

    sebagai berikut:

    1. Faktor Internal

    Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri

    peserta didik, yang mempengaruhi kemampuan belajarnya. Faktor

    internal ini meliputi: kecerdasan, minat, dan perhatian, motivasi belajar,

    ketekunan sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik dan kesehatan.

    2. Faktor Eksternal

    Faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang mempengaruhi

    hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Kedaaan keluarga

    berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Keluarga yang morat-marit

    keadaan ekonominya, pertengkaran suami istri, perhatian orang tua

    yang kurang terhadap anaknya, serta kebiasaan sehari-hari berperilaku

    yang kurang baik dari orang tua dalam kehidupan sehari-hari

    berpengaruh dalam hasil belajar peserta didik.

    2.1.4.4 Hubungan Antara Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

    Make a Match dengan Hasil Belajar

    Menurut Ahmad Susanto (2013 : 5) secara sederhana hasil belajar

    adalah Kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar.

    Karena belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang

    berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif

    menetap. Siswa yang berhasil dalam belajar adalah yang berhasil

    mencapai tujuan-tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.

  • 25

    Untuk mengukur hasil belajar siswa yang berupa pengetahuan

    konsep, guru dapat melakukan evaluasi produk. Sehubungan dengan

    evaluasi produk ini W.S Winkel (2007 : 540) menyatakan bahwa melalui

    produk dapat diselidiki apakah dan sampai seberapa jauh suatu tujuan

    instruktusional telah tercapai. Berdasarkan pandangan winkel ini, dapat

    diketahui bahwa hasil belajar siswa erat kaitannya dengan tujuan

    instruktusional (pembelajaran) yang telah dirancang guru sebelum

    melaksanakan proses belajar mengajar. Akan tetapi, masih banyak

    ditemukan pelaksanaan pembelajaran IPA menggunakan model ceramah

    sehingga peserta didik beranggapan bahwa IPA bersifat hafalan. Guru

    dalam menerapkan pembelajaran lebih menekankan pada model yang

    mengaktifkan guru, pembelajaran yang dilakukan guru kurang kreatif,

    lebih banyak menggunakan model ceramah dan kurang mengoptimalkan

    media pembelajaran. Sehingga peserta didik kurang kreatif dan antusias

    dalam proses pembelajaran. Model ini akan memberikan dampak yang

    kurang baik di dalam proses pembelajaran diantaranya antusias peserta

    didik dalam mengikuti pelajaran akan berkurang, peserta didik merasa

    bosan karena harus mendengarkan selama berjam-jam, konsentrasi

    peserta didik dalam memperhatikan pelajaran akan berkurang karena

    kegiatan pembelajaran yang monoton (dengar, catat, dan hafal), peserta

    didik akan menjadi pasif. Akibatnya sasaran hasil belajar peserta didik

    belum dapat dicapai secara optimal.

    Hasil pembelajaran IPA di SDN 03 Candimulyo Kota Temanggung

    masih terbilang rendah hal ini dikarenakan di dalam proses pembelajaran

    guru kurang memahami kebutuhan dari peserta didik baik dari segi

    karakteristik maupun dalam pengembangan ilmu. Rendahnya hasil belajar

    IPA di sekolah sering diprediksikan dengan permasalahan belajar dari

    peserta didik dalam memahami materi. Hal ini karena faktor belajar

    peserta didik yang kurang efektif, karena kurangnya antusias peserta didik

    dalam mengikuti pembelajaraan di dalam kelas, bahkan peserta didik

    sendiri kurang termotivasi untuk mengikuti pembelajaran di dalam kelas

  • 26

    sehingga menyebabkan peserta didik kurang bahkan tidak memahami

    materi yang telah diberikan. Permasalahan terjadi dalam penyampaian

    mata pelajaran IPA, biasanya dikarenakan penggunaan model yang kurang

    sesuai untuk mata pelajaran IPA. Sehingga hasil belajar yang dicapai

    kurang sesuai dengan apa yang diharapkan. Dan kurangnya ketertarikan

    dalam pembelajaran, mengakibatkan peserta didik tidak sepenuhnya

    memahami materi yang disampaikan. Selain itu hasil belajar peserta didik

    masih banyak di bawah KKM (70) untuk mengatasi permasalahan

    tersebut, diperlukan model yang lebih efektif pada mata pelajaran IPA. Hal

    yang perlu diperhatikan dalam memilih model tersebut adalah tidak terlalu

    memberatkan guru dan tidak menggangu kegiatan belajar mengajar

    (KBM), akan tetapi justru akan mengatasi permasalahan-permasalahan

    yang dialami guru ketika mengajar.

    Oleh karena itu peneliti menawarkan model pembelajaran

    kooperatif tipe Make A Match diharapkan peserta didik menjadi lebih aktif

    dalam kegiatan pembelajaran dan hasil belajar IPA akan meningkat.

    Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match

    akan menumbuhkan antusias peserta didik dalam proses pembelajaran,

    peserta didik berlomba untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. Selain

    itu juga akan terjalin kerja sama antar guru dengan peserta didik.

    2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

    Suatu penelitian yang akan dibuat, perlu memperhatikan penelitian

    lain yang digunakan sebagai bahan kajian yang relevan. Adapun

    penelitian-penelitian yang berkaitan dengan variable penelitian yang

    dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

    Menurut Milya Angreranti (2008), dalam penelitiannya yang

    bejudul “Pengaruh penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe Make A

    Match terhadap hasil belajar IPA berdasarkan gender siswa kelas V SDN

    01 Kabupaten Grobogan semester 2 tahun pelajaran 2011” menunjukkan

    adanya peningkatan hasil belajar siswa dalam pelajaran IPA sebagai

  • 27

    berikut: pada siklus I (satu) untuk siswa laki-laki dari 14 siswa yang

    dinyatakan tuntas sebanyak 9 siswa dengan presentase ketuntasan 64,28%,

    dan tidak tuntas sebanyak 5 siswa dengan presentase 35,72%. Sedangkan

    untuk siswa perempuan dari 10 siswa dinyatakan tuntas sebanyak 3 siswa

    dengan presentase 30%, dan tidak tuntas sebanyak 7 siswa dengan

    presentase 70%. Rata-rata yang diperoleh 66,00 standar deviasinya 11,74

    nilai minimal 48,00 dan nilai maksimalnya 88,00. Nilai pada siklus II

    (dua) untuk siswa laki-laki dari 14 siswa dinyatakan tuntas semua dengan

    presentase 100%, sedangkan dari siswa perempuan dari 10 siswa juga

    dinyatakan tuntas semua dengan presentase 100%. Rata-rata yang

    diperoleh 83,00 standar deviasinya 6,65 nilai minimal 70,00 dan nilai

    maksimal 95,00. Hasil belajar siswa yang dicapai setelah diberikan

    perlakuan meningkat hal ini terbukti dengan nilai rata-rata siklus II (dua)

    lebih besar dibandingkan dengan siklus I (satu) 83,00>66,00. Berdasarkan

    analisis data disimpulkan bahwa dengan menggunakan metode

    pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dapat meningkatkan hasil

    belajar siswa dalam pelajaran IPA, dan sangat efektif digunakan untuk

    menjadikan pembelajaran menjadi aktif dan menyenangkan.

    Menurut Gustanul Kumalasari (2014), dalam penelitiannya yang

    berjudul “Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar IPA di

    Kelas 5 SD Negeri Purworejo 01 Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang

    Melalui Penerapan Model Kooperatif tipe Make A Match pada semester 2

    tahun ajaran 2013/2014”. Bahwa pembelajaran dengan menggunakan

    model kooperatif tipe make a match dapat meningkatkan motivasi belajar

    dan hasil belajar. Peningakatan motivasi belajar siswa dapat dilihat dari

    presentase siklus I pertemuan 1 yaitu 60,6%, dan pertemuan II yaitu70%,

    presentase siklus II pertemuan 1 mencapai 86,8% dan pertemuan 2

    mencapai 90%. Ketuntasan hasil belajar prasiklus mencapai

    presentase7,2% kemudian meningkat pada siklus I yaitu 42,85%,

    kemudian siklus II yaitu mencapai presentase 100%. .

  • 28

    Menurut Imam Hanafi dalam penelitiannya yang berjudul

    “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match untuk

    Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Menjumlahkan Pecahan Biasa

    di Kelas V SDN 2 Dataran Bulan” Metode penelitian menggunakan desain

    PTK yang dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat

    tahap yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi, (4) refleksi.

    Subyek penelitian ini adalah siswa kelas V SDN 2 Dataran Bulan yang

    berjumlah 20 orang yang tercatat pada tahun ajaran 2012-2013. Setiap

    akhir siklus diadakan penilaian sebagai tolok ukur untuk menentukan

    tindakan selanjutnya. Data yang diambil berupa tes awal, tes akhir siklus,

    observasi aktivitas guru dan siswa setiap pertemuan. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Make A

    Match dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran

    matematika di kelas V SDN 2 Dataran Bulan pada materi penjumlahan

    pecahan biasa. Pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make

    A Match, tes awal siswa yang tuntas 7 orang (presentase tuntas klasikal

    35%) dan (daya serap klasikal 56,00%). Pada siklus I siswa yang tuntas 17

    orang (presentase tuntas klasikal 85% dan daya serap klasikal 80%). Pada

    siklus II meningkat menjadi siswa yang tuntas 18 orang atau prosentase

    ketuntasan klasikal 90% dan daya serap klasikal 81,50%. Pada dasarnya

    penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dapat

    meningkatkan aktivitas belajar siswa, didasari pada perolehan siklus I akan

    tetapi untuk peningkatan yang lebih berarti didasarkan pada perolehan

    siklus II. Untuk mengetahui aktivitas dalam pembelajaran pada siklus I

    dilakukan observasi yang dilakukan peneliti bersama pengamat terhadap

    aktivitas siswa dalam proses pembelajaran pada aspek 7 saat mencari

    pasangan sesuai kelompok yang telah dibagi oleh guru masih mengalami

    kesulitan. Hal ini siswa terkesan lama berfikir mencari jawaban, namun

    proses pembelajaran berjalan dengan lancar karena guru terus memberi

    bimbingan dalam menyelesaikan penjumlahan pecahan biasa. Pelaksanaan

    tindakan siklus II ini diawali dengan penyajian materi dan tanya jawab dan

  • 29

    kemudian dilanjutkan dengan kegiatan mencari pasangan jawaban atau

    soal. Hasil observasi menunjukkan bahwa semua aspek pembelajaran guru

    sudah tidak lagi mengalami kesulitan dalam mengelola kelas. Dan menurut

    pengamat hasil observasi siswa dan guru mengalami peningkatan. Hal ini

    menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make

    A Match cukup efektif diterapkan dalam proses pembelajaran yang

    dilakukan untuk meningkatkan daya nalar siswa, kreativitas, dan

    kemampuan mengaitkan satu konsep dengan konsep yang lain sehingga

    berdampak pada hasil belajar yang baik. Berdasarkan hasil tersebut dapat

    dinyatakan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar siswa kelas V SDN 2

    Dataran Bulan pada pelajaran matematika materi penjumlahan pecahan

    biasa.

    Adapun Noviana Irianti S. dalam penelitiannya yang berjudul

    Penerapan Metode Pembelajaran Make A Match (Mencari Pasangan)

    untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas

    V Semester 2 SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara, Melalui metode

    pembelajaran kooperatif teknik Make A Match yang akan dilanjutkan oleh

    peningkatan hasil belajar yang dapat dilihat pada kondisi awal dengan skor

    rata-rata nilai siswa 57,5, siklus I dengan rata-rata nilai 66,2, siklus II 78,5.

    Peningkatan hasil belajar pada kondisi awal ke siklus I sebesar 61,5% dan

    dari siklus I ke siklus II 88,5%. Dengan nilai maksimal siklus I 100 dan

    nilai minimalnya 70, dan pada siklus II dengan. Dengan demikian dapat

    disimpulkan bahwa melalui Metode Pembelajaran Kooperatif teknik Make

    A Match dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa matematika

    semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012 kelas V SD Negeri 05 Mulyoharjo

    Jepara Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara.

    Dari analisis data disimpulkan bahwa model pembelajaran

    kooperatif tipe Make A Match sangat efektif digunakan untuk

    meningkatkan hasil belajar siswa kelas 4 SDN 03 Candimulyo Kota

    Temanggung.

  • 30

    Keterkaitan antara kajian penelitian yang relevan dangan penelitian yang

    dilakukan peneliti dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

    Tabel 1

    Persamaan dan Perbedaan Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan

    No Nama

    Peneliti

    Tahun Variable Penelitian

    Variabel bebas (X) Variabel Terikat (Y)

    Model Make A

    Match

    Hasil

    Belajar

    Keaktifan

    belajar

    1 Milya

    Angreranti

    2008 √ √ -

    2 Gustanul

    Kumalasari

    2014 √ √ √

    3 Imam

    Hanafi

    2012 √ √ -

    4 Noviana

    Irianti S

    2012 √ √ √

    5 Paksindra

    Johan K

    2016 √ √ -

    Dari tabel di atas dapat dilihat persamaan dan perbedaan variabel

    penelitian yang diteliti. Persamaan penelitian Milya Angreranti, Gustanul

    K, Imam Hanafi, Noviana I.S dan peneliti yaitu sama-sama menggunakan

    model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match dalam pembelajaran.

    Sedangkan perbedaan penelitian Milya A, Peneliti, Imam Hanafi, dan

    peneliti adalah hanya Noviani I.S dan Gustanul K saja yang mengukur

    keaktifan belajar dan yang lainnya termasuk peneliti mengukur hasil

    belajar siswa.

  • 31

    2.3 Kerangka Berpikir

    Pembelajaran adalah proses pembelajaran yang berpusat pada

    peserta didik, pembelajaran juga dapat diartikan sebagai dialog interaktif

    antara pesera didik dengan guru. Dengan menciptakan pembelajaran yang

    kreatif dan menyenangkan akan menumbuhkan minat dan antusias peserta

    didik untuk dapat aktif dan mengikuti proses pembelajaran dengan baik.

    Aktif disini dimaksudkan peserta didik tidak hanya mendengarkan

    penjelasan dari guru tentang materi pelajaran, tetapi peserta didik berani

    untuk menjawab pertanyaan dari guru dan berani untuk bertanya kalau ada

    yang belum dimengerti. Maka di dalam proses pembelajaran harus

    dilakukan secara menyenangkan dengan adanya pendekatanpendekatan

    dengan model pembelajaran kooperatif.

    Di dalam proses pembelajaran di SD N 03 Candimulyo Siswa

    Kelas 4, pembelajaran masih dilakukan secara klasikal, guru biasanya

    dalam pembelajaran hanya menggunakan model ceramah yaitu guru

    menjelaskan dan peserta didik hanya duduk dan mendengarkan. Setelah

    itu peserta didik hanya disuruh untuk menghafalkan apa yang sudah

    dijelaskan oleh guru. Pembelajaran seperti ini dilakukan secara terus-

    menerus dan monoton tidak ada variasi yang berbeda, hal ini

    menyebabkan ketertarikan peserta didik dalam mengikuti dan memahami

    materi pelajaran kurang.

    Karena penggunaan model yang kurang bervariasi akan

    berdampak pada hasil belajar peserta didik. Guru harus meningkatkan

    model pembelajaran dengan menggunakan model-model pembelajaran

    kooperatif, maka diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Make A

    Match

  • 32

    Kondisi

    awal

    1. Guru menggunakan

    pembelajaran

    konvensional

    2. Siswa cenderung

    pasif

    3. Siswa menjadi tidak

    tertarik mengikuti

    materi pelajaran

    IPA.

    Hasil belajar

    siswa rendah

    Tindakan Penerapan model pembelajaran kooperatif

    tipe Make A Match

    Hasil belajar IPA siswa lebih meningkat. Kondisi akhir

    Pemantapan penerapan model pembelajaran

    kooperatif tipe Make A Match

    Hasil belajar siswa meningkat

  • 33

    2.4 Hipotesis Tindakan

    Berdasarkan masalah, landasan teori dan kerangka pikir diatas

    dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

    a. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match

    diduga dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas 4

    SDN 03 Candimulyo Kota Temanggung tahun pelajaran

    2015/2016 ”

    b. Penerapan langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe

    Make A Match yang sesuai sintaks diduga dapat meningkatkan

    hasil belajar IPA siswa kelas 4 SDN 03 Candimulyo Kota

    Temanggung tahun pelajaran 2015/2016 ”