28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Infertilitas adalah ketidakmampuan seorang istri untuk hamil dan melahirkn anak hidup meskipun telah melakukan hubungan seksual yang adekuat, regular (3-4 kali seminggu) dan tanpa kontrsepsi 7,8 . Menurut Olds et al (1988), definisi infertilitas adalah ketidakmampuan pasangan suami istri untuk menghasilkan seorang anak yang hidup sebagai kegagalan dari mengandung atau kegagalan untuk mengandung bayi yang dapat hidup 9 . 2.2 Jenis infertilitas Infertilitas dibagi menjadi 2, yaitu infertilitas primer dan infertilitas sekunder. Infertilitas primer merupakan ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memperoleh anak setelah berhubungan seksual secaa teratur selama 1 tahun dan tanpa menggunakan kontrasepsi. Sedangkan infertilitas sekunder adalah ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memperoleh anak lagi setelah berhubungan seksual secara teratur selama 1 tahun tanpa menggunakan kontrasepsi, dimana sebelumnya pasangan ini telah mempunyai anak 7 . 2.3 Epidemiologi Secara umum, diperkirakan satu dari tujuh pasangan di dunia bermasalah dalam hal kehamilan. Di Indonesia, angka kejadian perempuan infertil primer 15% pada usia 3

BAB II Infertilitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat

Citation preview

Page 1: BAB II Infertilitas

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Infertilitas adalah ketidakmampuan seorang istri untuk hamil dan melahirkn

anak hidup meskipun telah melakukan hubungan seksual yang adekuat, regular

(3-4 kali seminggu) dan tanpa kontrsepsi7,8.

Menurut Olds et al (1988), definisi infertilitas adalah ketidakmampuan

pasangan suami istri untuk menghasilkan seorang anak yang hidup sebagai

kegagalan dari mengandung atau kegagalan untuk mengandung bayi yang dapat

hidup9.

2.2 Jenis infertilitas

Infertilitas dibagi menjadi 2, yaitu infertilitas primer dan infertilitas

sekunder. Infertilitas primer merupakan ketidakmampuan pasangan suami istri

untuk memperoleh anak setelah berhubungan seksual secaa teratur selama 1 tahun

dan tanpa menggunakan kontrasepsi. Sedangkan infertilitas sekunder adalah

ketidakmampuan pasangan suami istri untuk memperoleh anak lagi setelah

berhubungan seksual secara teratur selama 1 tahun tanpa menggunakan

kontrasepsi, dimana sebelumnya pasangan ini telah mempunyai anak7.

2.3 Epidemiologi

Secara umum, diperkirakan satu dari tujuh pasangan di dunia bermasalah

dalam hal kehamilan. Di Indonesia, angka kejadian perempuan infertil primer

15% pada usia 30-34 tahun, meningkat 30% pada usia 35-39 tahun dan 64% pada

usia 40-44 tahun. Berdasar survei kesehatan rumah tangga tahun 1996,

diperkirakan ada 3,5 juta pasangan (7 juta orang) yang infertil. Mereka disebut

infertil telah meningkat mencapai15-20 persen dari sekitar 50 juta pasangan di

Indonesia. Penyebab infertilitas sebanyak 40% berasal dari pria, 40% dari wanita,

10% dari pria dan wanita, dan 10% tidak diketahui10.

2.4 Etiologi

Infertilitas dapat terjadi karena faktor wanita, faktor pria, maupun keduanya.

Identifikasi faktor penyebab sangat penting untuk menentukan langkah-langkah

penanganannya, seperti terapi dan prognosis. Berbagai masalah yang dihadapi

3

Page 2: BAB II Infertilitas

termasuk abnormalitas hormon atau blokade yang disebabkan oleh infeksi dari

fungsi-fungsi organ reproduksi11.

Stright (2004) mengemukakan bahwa ada faktor-faktor yang menyebabkan

infertilitas pada wanita, diantaranya adalah sebagai berikut :

2.4.1 Faktor wanita

a. Masalah vagina

Meliputi infeksi vagina, abnormalitas anatomi, disfungsi seksual yang

mencegah penetrasi penis, atau lingkungan vagina yang sangat asam yang secara

nyata mengurangi daya hidup sperma.

b. Masalah serviks

Gangguan pada setiap perubahan fisiologis yang secara normal terjadi

selama periode praovulatori dan ovulatori yang membuat lingkungan serviks

kondusif bagi daya hidup sperma (misalnya : lubang ostium serviks, peningkatan

alkalinitas, peningkatan sekresi, dan ferning). Masalah mekanis seperti

inkompetensi serviks berhubungan dengan wanita yang ibunya diobati dengan

etilstilbestrol (DES) selama kehamilan.

c. Masalah uterus

Secara fungsional (misalnya : lingkungan yang kurang disukai untuk

pergerakan sperma naik ke uterus sampai tuba falopi atau untuk implantasi setelah

fertilisasi). Secara struktural (misalnya : mioma uterus atau leiomioma).

d. Masalah tuba

Infertilitas yang berhubungan dengan masalah tuba, menjadi lebih menonjol

dengan peningkatan insiden penyakit radang panggul PID (Pelvic Inflamatory

Desease), menyebabkan jaringan parut yang memblok kedua tuba falopi.

Peningkatan penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) berperan terhadap

peningkatan PID karena 40% infeksi yang berhubungan dengan penggunaan IUD

merupakan asimtomatik dan tetap tidak tertangani.

Endometriosis juga dapat berperan pada obstruksi tuba. Dimana

diperkirakan mempengaruhi 2,5-3,3 % dari wanita usia subur13.

e. Masalah ovarium

Meliputi anovulasi, oligo-ovulasi dan sindrom ovarium polikistik.

Malfungsi sekretori juga ikut berperan, misalnya sekresi progesteron tidak

4

Page 3: BAB II Infertilitas

adekuat atau tidak adekuatnya fase luteal akan berpengaruh pada kemampuan

mempertahankan ovum yang telah dibuahi.

2.4.2 Faktor pria

Infertilitas pada pria dapat terjadi karena adanya abnormalitas yang

berhubungan dengan spermatogenesis, transpor sperma, fungsi sperma dan

ejakulasi11. Menurut Olooto (2012), infertilitas pada pria dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu:

a. Faktor Pra-testis

Kondisi yang menghambat testis memproduksi sperma yang baik yaitu

kadar hormonal yang rendah, penurunan kadar hipogonadisme, penurunan folikel

stimulating hormon (FSH) dan nitrofurantoin yang menurunkan motilitas sperma.

Mengkonsumsi obat-obatan seperti cimetidine dan spironolactone juga dapat

menurunkan folikel. Gaya hidup seperti mengkonsumsi alkohol, ganja, merokok

juga dapat menurunkan kualitas dari sperma.

b. Faktor testis

Faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sperma yang dihasilkan

oleh testis juga tergantung pada usia. Sperma yang kualitasnya buruk dapat

menyebabkan cacat genetic dari kromosom Y (sindrom Klinefelter).

Neoplasma pada pria seperti seminoma , kriptorkismus , varikokel, infeksi

virus gondok menyumbang 30 % dari infertilitas laki-laki. Infeksi virus gondok

pada pria remaja dan dewasa adalah penyebab tersering dari orkitis, epididimitis

atau epididimoorkitis dan setengah dari infeksi ini menyebabkan atrofi testis.

c. Faktor Post-testis

Faktor Post-testis menurunkan kesuburan pria karena kondisi yang

mempengaruhi sistem genital laki-laki setelah testis memproduksi sperma dan

termasuk cacat pada saluran genital seperti masalah ejakulasi : misalnya

impotensi, vasdeferens obstruksi, kurangnya vasdeferens , infeksi seperti prostitis

obstruksi saluran ejakulasi dan hipospadia14.

Stright. R (2004) juga mengemukakan bahwa ada faktor-faktor yang

menyebabkan infertilitas pada pria, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Faktor kongenital meliputi riwayat ibu yang meminum DES selama kehamilan

dan tidak adanya vas deverens atau testis.

5

Page 4: BAB II Infertilitas

b. Masalah ejakulasi, meliputi ejakulasi retrograde yang berhubungan dengan

diabetes, kerusakan saraf-saraf, obat-obatan atau trauma bedah.

c. Abnormalitas sperma meliputi produksi atau pematangan sperma tidak

adekuat, mortilitaas tidak adekuat, pembendungan sperma sepanjang saluran

reproduktif pria dan ketidak mampuan menyimpan sperma dalam vagina.

d. Abnormalitas testikular adalah kelainan yang terkait dengan penyakit

(misalnya : orkitis berhubungan dengan infeksi parotitis setelah pubertas),

kriptokidisme, trauma atau radiasi.

e. Kesulitan koitus dapat terjadi karena obesitas atau kerusakan syaraf spinal.

f. Obat-obatan (misalnya : metotreksat, amobisid, hormon-hormon seks dan

nitrifuration) dapat mempengaruhi spermatogenesis.

g. Faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi sperma atau semen adalah

infeksi (misalnya : penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual), stres,

nutrisi tidak adekuat, asupan alkohol berlebihan dan nikotin.

2.4.3 Masalah interaktif

Berasal dari penyebab yang spesifik untuk setiap pasangan, meliputi :

frekuensi senggama yang tidak memadai, waktu senggama yang buruk,

perkembangan antibody terhadap sperma pasangan, penggunaan pelumas yang

kemungkinan bersifat spermisida, seperti jelly petroleum dan beberapa pelumas

ctelur12.

2.5 Patofisiologi

Sekitar 95% dari disfungsi pada sistem reproduksi dikaitkan dengan

anovulasi, kelainan anatomis pada traktus genital wanita dan produksi sperma

yang tidak normal.

Disfungsi ovulasi adalah penyebab utama dari infertilitas. Obstruksi

tubafalopi adalah gangguan struktur yang lazim. Penyebab obstruksi yang paling

lazim ditemukan adalah salpingitis akut karena infeksi gonorea atau klamidia.

Infeksi pelvis, pemakaian IUD dan endometriotis juga bisa menyebabkan

obstruksi tuba.

Infeksi bisa merusak kelenjar-kelenjar yang menyekresi mukus yang

membantu kelangsungan hidup dan motilitas sperma. Kurangnya estrogen bisa

6

Page 5: BAB II Infertilitas

menyebabkan volume dan kualitas mukus serviks menurun. Kelainan pada uterus

termasuk leinomioma bisa mengganggu implantasi ovum yang telah dibuahi.

Sekitar 40% dari infertilitas menyangkut masalah produksi sperma.

Infertilitas bisa mengakibatkan efek psikologis yang sangat berat pada

suami/istri. Ketidakmampuan untuk mendapat keturunan bisa mempengaruhi

semua aspek hidup suami/istri. Mengikuti pemeriksaan dan pengobatan dapat pula

memberi pengharapan yang kemudian bisa menjadi keputusan apabila pengobatan

gagal15.

2.6 Faktor resiko

Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan infertilitas adalah :

a. Umur

Kemampuan reproduksi wanita menurun drastis setelah umur 35 tahun. Hal

ini dikarenakan cadangan sel telur yang makin sedikit. Fase reproduksi wanita

adalah masa sistem reproduksi wanita berjalan optimal sehingga wanita

berkemampuan untuk hamil. Fase ini dimulai setelah fase pubertas sampai

sebelum fase menopause. Pada fase reproduksi, wanita memiliki 400 sel telur.

Semenjak wanita mengalami menarche sampai menopause, wanita mengalami

menstruasi secara periodik yaitu pelepasan satu sel telur. Jadi, wanita dapat

mengalami menstruasi sampai sekitar 400 kali. Pada umur 35 tahun simpanan sel

telur menipis dan mulai terjadi perubahan keseimbangan hormon sehingga

kesempatan wanita untuk bisa hamil menurun drastis. Kualitas sel telur yang

dihasilkan pun menurun sehingga tingkat keguguran meningkat. Sampai pada

akhirnya kira-kira umur 45 tahun sel telur habis sehingga wanita tidak menstruasi

lagi alias tidak dapat hamil lagi. Pemeriksaan cadangan sel telur dapat dilakukan

dengan pemeriksaan darah atau USG saat menstruasi hari ke-2 atau ke-3 10.

Penundaan kehamilan pertama pada pasangan yang telah menikah akan

menurunkan batas alami kesuburan. Terjadi peningkatan infertilitas lebih dari

empat kali lipat sejak tahun 1975 , dari 5% menjadi 24 % bagi perempuan berusia

30 tahun yang menunda kehamilan pertama16.

b. Emosi

Stres memicu pengeluaran hormon kortisol yang mempengaruhi pengaturan

hormon reproduksi10.

7

Page 6: BAB II Infertilitas

c. Lingkungan

Paparan terhadap racun seperti lem, bahan pelarut organik yang mudah

menguap, silikon, pestisida, obat-obatan (misalnya, obat pelangsing) dan Kafein

terkandung dalam kopi dan teh. Obat rekreasional (rokok, kafein dan alkohol)

dapat mempengaruhi sistem reproduksi10.

Khususnya merokok dapat menyebabkan gangguan kesuburan selama

tahun-tahun. Laporan dari Surgeon General Merokok mengakibatkan berbagai

efek reproduksi yang merugikan termasuk infertilitas. Pada wanita, merokok

tembakau dikaitkan dengan penurunan fecundability ( kemungkinan terjadinya

konsepsi dalam satu bulan, disfungsi ovulasi dan dengan menopausedini. Pada

pria, merokok tembakau dikaitkan dengan volume yang lebih rendah saat

ejakulasi, kepadatan sperma yang lebih rendah, dan morfologi buruk dari

spermatozoa. Meskipun proporsi infertilitas yang disebabkan oleh merokok

tembakau tidak diketahui, spesialis infertilitas semakin sadar bahwa paparan

produk tembakau dapat menyebabkan kemandulan dan mengganggu

pengobatannya16.

d. Obesitas

Obesitas dikaitkan dengan disfungsi ovulasi dan menstruasi dan infertilitas

berikutnya , peningkatan risiko keguguran , dan penurunan efektivitas ART.

Obesitas pada pria dikaitkan dengan disfungsi ereksi dan penurunan produksi

androgen, namun efeknya pada kesuburan laki-laki belum jelas. Gangguan

metabolik yang berhubungan dengan sindrom ovarium polikistik telah menyoroti

hubungan antara makan berlebihan , resistensi insulin , dan perubahan endokrin

yang mengurangi kesuburan pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik16.

e. Hubungan seksual dan Frekuensi

Hubungan intim (disebut koitus) atau onani (disebut masturbasi) yang

dilakukan setiap hari akan mengurangi jumlah dan kepadatan sperma. Frekuensi

yang dianjurkan adalah 2-3 kali seminggu sehingga memberi waktu testis

memproduksi sperma dalam jumlah cukup dan matang10.

8

Page 7: BAB II Infertilitas

2.7 Penegakan Diagnosis

Setiap pasangan infertil harus diperlakukan sebagai satu kesatuan. Itu

berarti, kalau istri saja yang diperiksa sedangkan suaminya tidak mau diperiksa,

maka pasangan itu tidak diperiksa.

Adapun syarat-syarat pemeriksaan pasangan infertil adalah sebagai berikut:8

1. Istri yang berumur antara 20-30 tahun baru akan diperiksa setelah berusaha

untuk mendapat anak selama 12 bulan. Pemeriksaan dapat dilakukan lebih dini

apabila:

a. Pernah mengalami keguguran berulang

b. Diketahui mengidap kelainan endokrin

c. Pernah mengalami peradangan rongga panggul atau rongga perut

d. Pernah mengalami bedah ginekologik

2. Istri yang berumur antara 31-35 tahun dapat diperiksa pada kesempatan

pertama pasangan itu datang ke dokter.

3. Istri pasangan infertil yang berumur antara 36- 40 tahun hanya dilakukan

pemeriksaan infertilitas kalau belum mempunyai anak dari perkawinan

tersebut.

4. Pemeriksaan infertilitas tidak dilakukan pada pasangan infertil yang salah satu

anggota pasangannya mengidap penyakit yang dapat membahayakan kesehatan

istri atau anaknya

2.7.1 Pemeriksaan infertilitas yang terkait dengan faktor istri :

1. Tahap pertama (Fase I) 17,18,19

a. Pemeriksaan riwayat infertilitas (anamnesis)

Anamnesis masih merupakan cara terbaik untuk mencari penyebab

infertilitas pada wanita. Faktor-faktor penting yang berkaitan dengan infertilitas

yang harus ditanyakan pada pasien adalah mengenai usia, riwayat kehamilan,

panjang siklus haid, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat operasi, frekuensi

koitus, dan waktu koitus. Perlu juga diketahui pola hidup dari pasien mengenai

konsumsi alkohol, merokok, dan stress.

b. Pemeriksaan fisik

Disini perlu diperiksa Indeks Massa Tubuh (IMT), pemeriksaan kelenjar

tiroid, hirsutisme, akne, sebagai pertanda hiperandrogenisme. Adanya galaktorea

9

Page 8: BAB II Infertilitas

merupakan pertanda dari hiperprolaktinemia. Selain itu, dilakukan juga

pemeriksaan pelvik untuk mengetahui apakah ada kelainan di vagina, serviks, dan

uterus.

c. Penilaian ovulasi

Cara sederhana untuk mengetahui ovulasi adalah dengan mengukur suhu

badan basal (SBB). SBB juga dapat digunakan untuk menentukan kemungkinan

hari ovulasi. Cara lain yang dapat digunakan untuk penilaian ovulasi adalah

dengan pemeriksaan USG transvaginal dan pemeriksaan hormon progesteron

darah. Pada pemeriksaan USG transvaginal dapat dilihat pertumbuhan folikel.

Bila diameter mencapai 18-25 mm, berarti menunjukkan folikel matur dan akan

terjadi ovulasi.

d. Uji pasca senggama (UPS)

Merupakan cara pemeriksaan yang sederhana tapi dapat memberi informasi

tentang interaksi antara sperma dengan getah serviks. UPS dilakukan 2-3 hari

sebelum perkiraan ovulasi dimana “ spin barkeit” dari getah serviks mencapai 5

cm atau lebih. Pengambilan getah serviksdari kanalis endo-serviks dilakukan

setelah 2-12 jam senggama. Pemeriksaan dilakukan di bawah mikroskop. UPS

dikatakan (+) bila ditemukan paling sedikit 5 sperma per lapang pandang besar

(LPB). UPS dapat memberikan gambaran tentang kualitas sperma, fungsi getah

serviks,dan keramahan getah serviks terhadap sperma.

2. Tahap kedua (Fase II) 17,18,19

Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan HSG untuk mencari patensi tuba. Uji

ini dilakukan pada paruh pertama siklus haid, dimana sebelum tindakan

dilakukan, pasien dianjurkan tidak senggama paling sedikit dua hari sebelumnya.

HSG dilakukan oleh ahli radiologi dengan menyuntikkan larutan radioopaque

melalui kanalis servikalis ke uterus dan tuba fallopi.

3. Tahap ketiga (Fase III) 17,19

Akhir-akhir ini laparoskopi dianggap cara terbaik untuk menilai fungsi tuba

fallopi. Kedua tuba dapat dilihat secara langsung dan potensinya dapat diuji

dengan menyuntikkan larutan metilen blue atau indigokarmir dan dengan melihat

pelimpahannya ke dalam rongga peritoneum. Dengan laparoskopi dapat sekaligus

10

Page 9: BAB II Infertilitas

melihat kelainan yang mungkin terdapat dalam rongga peritoneal, seperti

endometritis, perlengketan pelviks, dan patologi ovarium.

2.7.2 Pemeriksaan infertilitas yang terkait dengan faktor suami adalah :

1. Anamnesis20

Hal yang perlu diperhatikan pada pria adalah :

a. Merokok

Kondisi merokok seringkali terkait dengan penurunan kemampuan motilitas

sel spermatozoa.

b. Riwayat infeksi kelenjar parotis

Kondisi ini sering terkait dengan kejadian orchitis yang dapat menyebabkan

infertilitas.

c. Kesulitan ereksi

Kondisi ini terkait dengan stres psikis atau kelainan metabolik kronik seperti

diabetes melitus atau hipertensi.

2. Pemeriksaan fisik20

a. Payudara pria

Payudara pria harus normal, jika terlihat membesar atau ginekomastia,

mungkin ada peningkatan kadar hormon estrogen pada pria.

b. Penis

Perlu diperhatikan letak uretra yang dapat terkait dengan abnormalitas

seperti hipospadia.

c. Skrotum

Skrotum harus diraba untuk menilai kemungkinan skrotum terisi banyak

cairan, terdapat hernia skrotalis atau terdapat varikokel. Jumlah testis, volume

testis dan turunnya testis ke dalam skrotum juga perlu diperhatikan.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan dasar yang wajib dikerjakan pada pasangan suami istri dengan

masalah infertilitas adalah pemeriksaan analisis sperma. Sebelum dilakukan

analisis sperma, dilakukan tahap pra analisis yang dapat mempengaruhi hasil

analisis sperma, yaitu sebagai berikut :21

a. Sediaan diambil setelah abstinensia sedikitnya 48 jam dan tidak lebih dari 7

hari.

11

Page 10: BAB II Infertilitas

b. Oleh karena variasi yang besar dalam produksi semen dapat terjadi pada

seseorang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan dua sediaan. Waktu antara kedua

pemeriksaan tersebut tidak boleh kurang dari 7 hari atau kurang dari 3 bulan.

c. Sebaiknya sediaan dikeluarkan dalam kamar yang tenang dekat laboratorium.

Jika tidak, maka sediaan harus diantar ke laboratorium dalam waktu satu jam

setelah dikeluarkan dan jika motilitas sperma sangat rendah (< 25% bergerak

maju terus), sediaan kedua harus diperiksa secepatnya.

d. Sediaan sebaiknya diperoleh dengan cara masturbasi dan ditampung dalam

botol kaca atau plastik bermulut lebar.

e. Gunakan kondom dengan bahan plastik khusus (Mylex) atau penyimpan cairan

khusus (HDC corporation, Mountian view, calif). Kondom biasa sebaiknya

tidak digunakan untuk menampung semen karena mengandung spermatisid.

f. Coitus interuptus tidak dapat dipakai untuk mendapatkan siapan karena ada

kemungkinan bagian pertama ejakulat yang mengandung sperma paling banyak

akan hilang. Selain itu juga akan terjadi kontaminasi seluler dan bakteri pada

siapan serta dapat terjadi pula pengaruh kurang baik terhadap motilitas sperma

sebagai akibat PH cairan vagina yang asam.

g. Siapan yang tidak lengkap sebaiknya tidak diperiksa, terutama jika bagian

pertama ejakulat hilang.

h. Siapan harus dilindungi terhadap suhu yang ekstrim selama pengangkutan ke

laboratorium (suhu antara 20-400 C).

i. Botol harus diberi label dengan nama penderita, tanggal pengumpulan, dan

lamanya abstinensia.

4. Analisis sperma meliputi pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis :21

a. Pemeriksaan Makroskopis

Warna

Warna normal adalah putih/agak keruh. Kadang-kadang ditemukan juga

warna kekuningan atau merah. Warna kekuningan mungkin disebabkan karena

radang saluran kencing atau abstinensia terlalu lama. Warna merah biasanya

oleh karena tercemar sel eritrosit ( hemospermi)

12

Page 11: BAB II Infertilitas

Volume

Cairan semen yang ditampung diukur dan diukur dengan gelas ukur, dan

dikatakan normospermi bila volumeya normal, yaitu 2-6 ml, dengan harga rata-

rata 2-3,5 ml. Aspermi bila tidak keluar sperma pada waktu ejakulasi.

Hiperspermi bila volume lebih dari 6 ml. Hipospermi bila volume kurang dari

1 ml, hal ini dapat disebabkan oleh tercecer pada waktu memasukkan semen ke

dalam botol ataupun keadaan patologis, antara lain penyumbatan kedua duktus

ejakulatorius dan kelainan kongenital misalnya agenesis vesikula seminalis.

Hiperspermi biasanya diikuti oleh konsentrasi sperma yang rendah dan

hiperseprmi dapat disebabkan oleh abstinensia yang lama dan produksi

kelenjar asesoris yang berlebihan.

Bau

Spermatozoa mempunyai bau khas yang mungkin disebabkan oleh proses

oksidasi dari spermia yang diproduksi oleh prostat. Semen dapat berbau busuk

atau amis bila terjadi infeksi.

PH

Cara untuk mengetahui keasaman semen digunakan kertas PH atau

lakmus, biasanya sifatnya sedikit alkalis. Semen yang terlalu lama akan

berubah PHnya. Pada infeksi akut kelenjar prostat, Phnya berubah menjadi di

atas 8 atau menjadi 7,2 misalnya pada infeksi kronis organ-organ tadi. WHO

memakai kriteria yang normal yang lazim yaitu 7,2 sampai dengan 7,8.

Viskositas

Viskositas semen diukur setelah mengalami likuefaksi betul (15-20 menit

setelah ejakulasi). Pengukuran dapat dilakukan dengan menggunakan pipet

pastur : Semen diisap ke dalam pipet tersebut, pada waktu pipet diangkat maka

akan tertinggal semen berbentuk benang pada ujung pipet. Panjang benang

diukur, normal panjangnya 3-5 cm. Ataupun menggunakan pipet yang sudah

mengalami standarisasi (Elliaon) : Pipet dalam posisi tegak, lalu diukur waktu

yang diperlukan setetes semen untuk lepas dari ujung pipet tadi. Angka normal

adalah 1-2 detik.

13

Page 12: BAB II Infertilitas

Likuefaksi

Semen normal pada suhu ruangan akan mengalami likuefaksi dalam

waktu 60 menit, walau pada umumnya sudah terjadi dalam 15 menit. Pada

beberapa kasus, likuefaksi lengkap tidak terjadi dalam 60 menit. Hal ini bisa

terjadi bila mengandung granula seperti jelly (badan gelatin yang tidak

mencair), tetapi tidak memiliki makna secara klinis. Bila hal ini ditemukan

akan sangat mengganggu dalam analisis semen, sehingga perlu dibantu dengan

pencampuran enzimatis.

b. Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis meliputi:

Jumlah spermatozoa per ml

Konsentrasi sperma ialah jumlah spermatozoa per ml sperma. Jumlah

spermatozoa total ialah jumlah seluruh spermatozoa dalam ejakulat. Berikut ini

adalah klasifikasinya :

a) Normal: jumlah spermatozoa di atas 60 juta/ml

b) Subfertil: 20-60 juta /ml

c) Steril: 20 juta atau kurang/ml

Namun, WHO menganggap jumlah sperma 20 juta/ml atau lebih masih

dianggap normal.

Jumlah spermatozoa motil per ml/persentase spermatozoa motil

Motilitas sperma dipengaruhi oleh adanya perubahan PH, infeksi,

morfologi, pematangan, dan gangguan hormonal. Namun, secara garis besar

WHO dan beberapa ahli berpendapat motilitas dianggap normal bila 50% atau

lebih bergerak maju atau 25% atau lebih bergerak maju dengan cepat dalam

waktu 60 menit setelah ditampung.

Motilitas sperma juga dapat dilihat dari gerakan maju spermatozoa

dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Grade 0 (none) bila tidak ada spermatozoa yang bergerak

b) Grade 1 (poor) bila terlihat gerakan maju spermatozoa yang lemah

c) Grade 2 (good) bila terlihat gerak maju yang cukup baik dari spermatozoa,

termasuk yang bergerak zig zag dan berputar-putar

14

Page 13: BAB II Infertilitas

d) Grade 3 (excellent) bila ada gerakan maju dari spermatozoa yang seperti

roket.

Kriteria Jumlah

Volume 2 ml atau lebih

PH 7,2-7,8

Jumlah sperma/ml 20 juta sperma/ml atau lebih

Jumlah sperma total/ejakulat 40 juta sperma/ejakulat atau lebih

Motilitas 50% atau lebih bergerak maju atau 25% lebih

bergerak maju dengan cepat dalam waktu 60

menit setelah ditampung

Morfologi 50% atau lebih bermorfologi normal

Viabilitas 50% atau lebih hidup, yaitu tidak terwarna

dengan pewarnaan supravital

Sel leukosit Kurang dari 1 juta/ml

Seng (total) 2,4 mikromol atau lebih setiap ejakulat

Asam sitrat (total) 52 mikromol (10 mg) atau lebih setiap ejakulat

Fruktosa (total) 13 mikromol atau lebih setiap ejakulat

Uji MAR Perlekatan pada kurang dari 10% sperma

Uji butir imun Perlekatan butir imun pada kurang dari 10%

sperma

Sebagai patokan nilai normal hasil pengamatan sperma di atas, WHO telah

mendapatkan nilai normal hasil pemeriksaan.

c. Kecepatan sperma

Semen yang tidak diencerkan diteteskan ke dalam titik hitung, tentukan

waktu yang dibutuhkan satu spermatozoa untuk menempuh jarak 1/20 mm, pada

keadaan normal dibutuhkan 1-1,4 detik, ini disebut normokinetik.

d. Morfologi

Morfologi spermatozoa yang normal ditentukan oleh bentuk kepala, leher,

tanpa adanya sitoplasmik “droplets” dan bentuk ekor. Semen yang normal

mengandung setidaknya 48%-50% spermatozoa normal.

e. Komponen seluler lain dari semen (leukosit dan eritrosit)

15

Page 14: BAB II Infertilitas

Leukosit sangat sering dijumpai dalam spesimen semen, sebagian besar

adalah neutrofil. Jumlah leukosit yang tinggi ( lebih dari 106/ml) pria,

menandakan leukospermia. Leukospermia bisa disebabkan oleh infeksi pada

sistem duktus ekskretorius pria, terutama di kelenjar asesorius, yang harus

diselidiki dengan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan analisis bakteriologis semen

dan cairan prostat setelah tindakan masase prostat dan USG. Pada cairan prostat

yang didapat dengan masase prostat, jumlah leukosit tak sampai melebihi 15 per

LP dengan pembesaran tinggi (LBP). Jumlah sel 15-40/LBP disebut zona

perbatasan dan bila jumlahnya lebih dari 40 maka kemungkinan besar terdapat

inflamasi prostat.

Jenis sel bulat lain yang kadang ditemukan adalah sel-sel imatur dari segi

spermatogenesis dan sel epitel dari uretra dan vesica urinaria, sedangkan untuk

eritrosit dalam keadaan normal tidak ditemukan pada pemeriksaan semen.

2.8 Penatalaksanaan

Menurut National Survey of Family Growth NSFG tahun 2002, sekitar 7,3

juta atau 12 % dari wanita usia subur di Amerika Serikat yang pernah menerima

layanan infertilitas (termasuk konseling dan diagnosis)16.

Infertilitas pria umumnya tidak banyak dapat diobati. Namun evaluasi yang

teliti memungkinkan para pria dengan beberapa kondisi tertentu sembuh dengan

terapi medis.

1. Hipogonodotropik Hipogonadisme

Para pria dengan kegagalan testis berkaitan dengan hipogonodotropik

hipogonodisme mewakili sekelompok pria yang mungkin sembuh dengan terapi

medis setelah penyebab infertilitasnya diketahui secara pasti.

a. Exogenous Pulsatile GnRH

Terapi dengan GnRH eksogen dapat berhasil mengembalikan kadar normal

sekresi gonodotropin sehingga dapat menginduksi produksi testosterone dan

spermatogenesis. Tetapi mungkin perlu waktu 2 tahun terapi untuk

mencapai pertumbuhan testis, spermatogenesis dam fertilitas maksimal.

b. Gonodotropin Eksogen

16

Page 15: BAB II Infertilitas

Spermatogenesis normal dapat diinduksi dengan terapi kombinasi hCG dan

human menopusal gonodotropin (hMG, mengandung FSH dan LH) atau

FSH murni (450 IU per minggu 2-3 dosis).

c. Dopamin Agonis

Terapi dengan bromokriptin atau kabergolin secara efektif dapat

mengembalikan kadar prolaktin dan testosterone normal, dan kemudian

meningkatkan libido, potensi, kualitas semen dan fertilitas pada pria dengan

hipogonad hiperprolektinemia.

2. Eugonadisme Hipogonodotrpik

Pria dengan oligospermia berat ( <5juta sperma/ml), kadar testosterone

rendah (<300 ng/dl) dan rasio testosterone (ng/dl) / estradiol (pg/ml) rendah yang

abnormal, dapat berhasil bila mendapat terapi medis dengan inhibitor aromatase

(testolakton 50-100 mg 2x/hari, anatrazole 1mg/hari) dapat menormalkan resio

dan meningkatkan kualitas semen.

3. Oligospermia, Asthenospermia dan Teratospermia Idiopatik.

a. Androgen

Androgen sebagai stimulasi spermatogenesis secara langsung meningkatkan

konsentrasi andogen testis dan tidak langsung meningkatkan rebound

sekresi gonodotropin hipofisis setelah interval supresi terinduksi androgen.

b. Gonodotropinidak

Hasil penelitian dengan menggunakan FSH eksogen untuk stimulasi

spermatogenesis secara langsung banyak mendapat pertentangan. Sementara

pada 2 percobaan acak pada pria subfertil terbukti mendapat peningkatan

parameter semen maupun fertilitas, yang lain menunjukan bahwa FSH

eksogen dapat meningkatkan kualitas semen pada pria dengan ologospermia

idiopatik yang biopsy testisnya menunjukan hipospermatogenesis, FSH

serta kadar inhibitor-B yang normal.

c. Antiestrogen

Belum ada bukti yang cukup bahwa terapi estrogen dapat meningkatkan

kualitas semen dan fertilitas pria.

17

Page 16: BAB II Infertilitas

Pengobatan faktor ovulasi seperti pada keadaan disfungsi hipofisis dapat

diusahan terapi subsitusi dengan pemberian FSH dan LH. Pilihan pengobatan

untuk gangguan ovulasi meliputi berbagai obat pemicu ovulasi dan tidakan

pembedahan pada kasus ovulasi polikstik. Pasien dengan faktor ovulasi memiliki

keberhasilan paling tinggi dalam pengobatan infertilitas.

1. Clomiphene citrate

Keberhasilan dengan menggunakan obat clomid, serophene sangat

memuaskan dengan angka keberhasilan ovulasi 80%. Efek sampingnya meliputi

sindrom hiperstirilisasi ovarium, merasa tidak nyaman di daerah pelvis, mual dan

nyeri pada payudara serta gangguan visus. Dosis permulaan 50mg/hari. Diberikan

mulai hari haid kelima. Dosis maksimal 200 mg/hari.

2. Gonodotropin

Apabila gagal dengan menggunakan clomiphene pada wanita dengan

disfungsi ovulusi sekunder akibat hipogonodotropik hipogonodisme maka

digunakan induksi dengan gonodotropin. Human menopausal gonodotropin

(pergunal, humegon) adalah campuran FSH dan LH yang dimurnikan dari urin

wanita pasca menopause, dan diberikan dalam bentuk suntikan intrsmudkular.

FSH (metrodin) diberikan pada istri, terutama pada PCOD (polikistik

ovarium sindrom). GnRH an analognya diberikan untuk pasien dengan kegagalan

hipotalamus dan disusul kelainan faktor ovulasi.

3. Bromocriptine dan Dexametason

Bermanfaat untuk pasien dengan hiperprolaktinemia dan diikuti dengan

perbaikan ovulasi. Namun penambahan dexametason karena faktor ovulasi masih

kontroversi.

4. Defek fase luteal

Secara umum pengobatan yang sering digunakan adalah pemberian

progesteron fase luteal dan klomiphene sitrat pada fase folikular.progesteron

diberikan pada hari ke 3 setelah pertengan siklus dengan dosis 25-50 mg untuk

vafinal suppositoria dan 50-100 mg/hari intramuscular.

Assisted reproductiv technologies (ART) digunakan di Amerika Serikat

sejak tahun 1981. Di Indonesia juga telah menggunakan teknik ini untuk

membantu wanita hamil. Adapun contoh ART yang dilakukan, seperti :16

18

Page 17: BAB II Infertilitas

1. Assisted reproductive technologies (ART) pada pria

IVF dan ICSI telah menjadi refolusi dalam terapi infertilitas pria. IVF

merupakan inseminasi setiap oosit dengan 2-6 juta sperma. Sehingga metode ini

terbatas hanya bila pria sangat oligospermik, dengan teknik yang berkembang,

jumlah sperma motil yang digunakan untuk inseminasi cukup 50.000-100.00 per

oosit. Sehingga membuka jalan untuk melakukan ART pada pasangan dengan

faktor infertilitas pria.

2. Assisted reproductive technologies (ART) pada wanita

a. Inseminasi buatan

Upaya membuahi sel telur tanpa senggama, inseminasi homolog adalah

upaya membuahi sel telur istri dengan sperma suaminya sendiri. Inseminasi

heterolog adalah upaya membuahi sel telur istri dengan sperma donor. Di

Indonesia hanya di perbolehkan inseminasi homolog.

b. Bayi tabung

Cara lain yaitu dengan teknik reproduksi yang di bantu ART yang dikenal

masyarakat dengan bayi tabung. Berbagai metode/teknik bayi tabung antara lain :

IVT-ET (in Vitro Fertilization – Embryo Transfer)

GIFT (Gamette Intrafallopian Transfer)

ZIFT ( Zygote Intra Fallopian Transfer)

TET (Tubal Embryo Transfer)

POST (Peritoneal Oocyte and Sperm Transfer)

SUZY (Subzonal Sperm Injection)

ICSI (intra Cytoplasmic Sperm Injection)

MESA (Microsurgical Epididymal Sperm Aspiration)

TESE (Testicural Sperm Extraction)

ROSI (Round Spermatid Injection)

ROSNI (Round Spermatid Nuclear Injection)

Data NSFG dilaporkan di atas menunjukkan bahwa pengobatan infertilitas

selain ART, seperti stimulasi ovarium diikuti oleh pembuahan alami atau IUI

dapat dilakukan, meskipun literatur ilmiah menunjukkan bahwa kemanjuran

pengobatan tersebut lebih rendah dibandingkan ART (tingkat kehamilan

umumnya di bawah 15%)16.

19

Page 18: BAB II Infertilitas

2.8 Pencegahan

Strategi kesehatan masyarakat yang berfokus pada pencegahan primer

(misalnya , melalui penghapusan faktor risiko infertilitas seperti yang dijelaskan

di atas) akan mengurangi prevalensi infertilitas, meningkatkan kesehatan dan

kualitas hidup, dan mencegah biaya pengobatan infertilitas16.

Untuk beberapa penyebab infertilitas, pencegahan primer dapat dilakukan

seperti Skrining klamidia pada wanita, mencegah inisiasi merokok pada remaja,

memfasilitasi berhenti merokok di kalangan orang dewasa, dan mempromosikan

aktivitas fisik dan diet yang sehat adalah semua layanan klinis dengan terbukti

khasiat dan biaya yang efektif, meskipun dampaknya mungkin pada infertilitas

belum di ketahui16.

20