47
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskuler merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara maju dan berkembang. Penyakit ini dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu gangguan fungsi jantung, gangguan struktur jantung, infeksi dan non inflamasi, serta gangguan system vascular ( Brunner dan Suddarth, 2002 ). Secara umum penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di berbagai penjuru dunia. Pada tahun 2005, di Amerika diperkirakan 12,4 juta orang menderita penyakit ini, dan 1,1 juta diantaranya menjadi serius. Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia. Prevalensi penyakit jantung di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1995 penyakit kardiovaskuler mencapai 24,5%, proporsi penyakit ini meningkat pesat dibandingkan hasil survey tahun 1980, 1986 dan 1992. Bahkan diperkirakan sampai tahun 2006 penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian di Indonesia ( http :// www. Pd.persi. co.id/? show, 19 Januari 2007 ). Peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat membawa dampak terhadap perubahan gaya hidup masyarakat, antara lain (1) jumlah perokok 34

BAB I PENDAHULUANdigilib.unimus.ac.id/files/disk1/2/jtptunimus-gdl-s1-2007-sarinti... · diketahui. Kardiomiopati mempengaruhi struktur dan fungsi jantung. Kardiomiopati digolongkan

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit kardiovaskuler merupakan masalah kesehatan masyarakat di

negara maju dan berkembang. Penyakit ini dibedakan menjadi 3 golongan, yaitu

gangguan fungsi jantung, gangguan struktur jantung, infeksi dan non inflamasi,

serta gangguan system vascular ( Brunner dan Suddarth, 2002 ). Secara umum

penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian utama di berbagai

penjuru dunia. Pada tahun 2005, di Amerika diperkirakan 12,4 juta orang

menderita penyakit ini, dan 1,1 juta diantaranya menjadi serius. Fenomena yang

sama juga terjadi di Indonesia. Prevalensi penyakit jantung di Indonesia semakin

meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah

Tangga Depkes RI tahun 1995 penyakit kardiovaskuler mencapai 24,5%, proporsi

penyakit ini meningkat pesat dibandingkan hasil survey tahun 1980, 1986 dan

1992. Bahkan diperkirakan sampai tahun 2006 penyakit kardiovaskuler

merupakan penyebab utama kematian di Indonesia ( http :// www. Pd.persi.

co.id/? show, 19 Januari 2007 ).

Peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat membawa dampak

terhadap perubahan gaya hidup masyarakat, antara lain (1) jumlah perokok

34

35

meningkat terutama usia remaja dan dewasa, (2) perubahan pola makan kearah

tinggi lemak dan banyak mengandung kolesterol dan alkohol. Hal ini berpengaruh

terhadap perubahan pola demografi dan perubahan ekologi di negara-negara

tropik sedang berkembang. Merokok dapat mengakibatkan penyempitan

pembuluh darah koroner, gangguan irama jantung dan hipertensi. Sedangkan

kolesterol dalam darah akan menimbulkan timbunan lemak yang disebut “plak”

pada dinding pembuluh darah koroner, sehingga dapat menyebabkan terjadinya

serangan jantung ( Ulfah R, dkk, 2001 ). Di sisi lain, dalam era industrialisasi

manusia dituntut untuk bekerja 24 jam sehingga dapat menimbulkan stress yang

berkepanjangan. Semua itu dapat memicu terjadinya penyakit kardiovaskuler.

Faktor risiko penyakit kardiovaskuler dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu yang dapat diubah dan tidak dapat diubah. Faktor risiko yang dapat

diubah adalah kadar lemak dalam darah, tekanan darah tinggi, merokok, kencing

manis, obesitas, kurang aktifitas jasmani, stress, dan asam urat yang tinggi.

Faktor risiko yang tidak dapat diubah mencakup jenis kelamin, umur, dan riwayat

keluarga ( Ulfah R, 2000 ).

Penyakit kardiovaskuler yang paling sering terjadi di Rumah Sakit Umum

(RSU) Tugurejo adalah gangguan fungsi jantung. Kejadian penyakit gangguan

fungsi jantung di ruang perawatan intensif RSU Tugurejo Semarang cukup tinggi.

Sejak bulan Januari hingga September 2006 tercatat 90 orang penderita, atau

rerata per bulan mencapai 10 orang (20,74%) dengan angka kematian mencapai

24 orang, atau rerata per bulan 2,67 orang (29,47%). Angka ini tidak menyimpang

36

jauh dari angka kematian di seluruh Indonesia (Catatan Rekam Medis ICCU RSU

Tugurejo, 2006).

Perawatan pasien dengan gangguan fungsi jantung disesuaikan dengan

jenis penyakitnya. Secara umum, perawatan pasien gangguan fungsi jantung

bertujuan untuk memperbaiki hemodinamik, mengurangi kecemasan,

meningkatkan konsep diri, menghilangkan rasa nyeri, mencukupi kebutuhan

oksigen, menjaga kenormalan pola eliminasi dan mencegah kematian (Faqih R,

2006; Brunner & Suddarth, 2002). Tercapainya tujuan ini akan memperpendek

waktu (hari) perawatan di ruang intensif, untuk selanjutnya pasien dirawat di

ruang HND ( high nursing dependent ).

Lama rawat merupakan rentang waktu sejak pasien masuk hingga keluar

dari rumah sakit. Rerata lama rawat merupakan akumulasi hari perawatan masing-

masing pasien (hidup dan mati) dibagi jumlah pasien keluar (hidup dan mati).

Rerata lama rawat merupakan indikator untuk mengukur efisiensi pelayanan

rumah sakit (Depkes RI, 1995). Disamping itu, lama rawat berdampak terhadap

biaya perawatan. Pengendalian terhadap factor-faktor yang mempengaruhi lama

rawat dapat membantu meringankan biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga

pasien. Lama rawat pasien dengan gangguan fungsi jantung di RSU Tugurejo

berkisar antara 1 hingga 5 hari dengan rerata 3 hari ( Catatan Rekam Medis ICCU

RSU Tugurejo, 2006 ). Variasi lama rawat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain keparahan penyakit, mekanisme koping, jenis penyakit, mutu

pelayanan dan status akhir pasien.

37

Kecemasan merupakan rasa tidak nyaman sebagai bentuk manifestasi rasa

ketakutan akan kehilangan sesuatu yang penting atau terjadinya peristiwa buruk

dari kondisi yang ada sekarang (Stuart & Sundeen, 1995). Bila kondisi ini

berlangsung lama dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, antara lain

lemas, pingsan, atau dapat memperburuk keadaan. Kecemasan yang berlarut-larut

dan tidak terkendali dapat mendorong terjadinya respon defensif sehingga

menghambat mekanisme koping yang adaptif (Stuart dan Sundeen, 1995).

Sebaliknya, dengan kecemasan yang terkendali, pasien dapat mengembangkan

konsep diri dengan baik, sehingga pasien kooperatif terhadap tindakan

keperawatan. Mekanisme koping adalah kemampuan seseorang beradaptasi

terhadap suatu interaksi atau perubahan tertentu (Brunner & Suddarth, 2002).

Dalam upaya memberikan asuhan keperawatan yang tepat, perlu diteliti

hubungan jenis penyakit dan tingkat kecemasan terhadap lama rawat pasien

gangguan fungsi jantung di ruang ICCU RSU Tugurejo Semarang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat disusun rumusan masalah sebagai

berikut “Adakah hubungan jenis penyakit dan tingkat kecemasan dengan lama

rawat pasien gangguan fungsi jantung di ruang ICCU RSU Tugurejo Semarang?”

38

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

jenis penyakit dan tingkat kecemasan dengan lama rawat pasien gangguan

fungsi jantung di ruang ICCU RSU Tugurejo Semarang.

2. Tujuan khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik jenis gangguan fungsi jantung di ruang

ICCU RSU Tugurejo Semarang.

b. Mendeskripsikan tingkat kecemasan pasien gangguan fungsi jantung di

ruang ICCU RSU Tugurejo Semarang.

c. Mendeskripsikan lama rawat pasien gangguan fungsi jantung di ruang

ICCU RSU Tugurejo Semarang

d. Menganalisis hubungan antara jenis gangguan fungsi jantung dengan lama

rawat pasien gangguan fungsi jantung di ruang ICCU RSU Tugurejo

Semarang

e. Menganalisis hubungan tingkat kecemasan dengan lama rawat pasien

gangguan fungsi jantung di ruang ICCU RSU Tugurejo Semarang.

D. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi tentang

karakteristik pasien, jenis penyakit, tingkat kecemasan dan lama rawat pasien

39

gangguan fungsi jantung di ruang ICCU RSU Tugurejo Semarang. Informasi ini

diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Profesi

Manfaat penelitian ini bagi perawat ICCU dalam memberikan asuhan

keperawatan pasien dengan gangguan fungsi jantung, berupa pendekatan dini

terhadap individu dan keluarga dengan komunikasi terapeutik untuk

menurunkan tingkat kecemasan, sehingga penderita kooperatif.

2. Instansi rumah sakit

Manfaat penelitian ini bagi manajemen ICCU, sebagai bahan pertimbangan

dalam menyediakan sarana dan fasilitas untuk perawatan pasien dengan

gangguan fungsi jantung.

3. Institusi Pendidikan

Penelitian ini sebagai wacana ilmiah dan bahan pertimbangan dalam

penelitian selanjutnya.

4. Peneliti

Manfaat penelitian ini akan menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

E. Bidang Ilmu

Penelitian ini termasuk dalam lingkup ilmu keperawatan, khususnya

keperawatan psikiatri dan keperawatan medikal bedah.

40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lama Rawat

1. Pengertian

Lama rawat inap (length of stay disingkat LOS) adalah rentang atau

periode waktu sejak pasien diterima masuk ke rumah sakit hingga berakhirnya

proses pengobatan secara administratif oleh suatu sebab tertentu. Berakhirnya

proses perawatan pasien dapat terjadi karena dinyatakan sembuh, meninggal,

rujuk / alih rawat ke rumah sakit lain, atau pulang paksa. Lama rawat dihitung

dalam satuan hari. Rerata lama rawat dihitung dari jumlah hari rawat dari

masing-masing pasien dibagi dengan jumlah pasien keluar baik hidup atau

mati. Rerata lama rawat merupakan indikator untuk mengukur efisiensi mutu

pelayanan rumah sakit (Depkes RI, 1995).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi lama rawat di ruang ICU/CCU

Meliputi faktor internal dan ekternal, antara lain :

a. Faktor internal

1) Standar mutu pelayanan Intensive Care Unit

41

Tingkat pelayanan ICU/ICCU disesuaikan dengan type rumah sakit.

Kualitas pelayanan ini ditentukan oleh jumlah staff, kompetensi SDM,

fasilitas penunjang, manjemen ruangan rawat intensif.

2) Standar Prosedur Tindakan

Merupakan pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam

melaksanakan proses keperawatan dan tindakan medis.

3) Kualitas SDM

Penanganan pasien-pasien kritis memerlukan kompetensi yang

beragam dan kerjasama yang baik, multidisipliner dari berbagai

profesi terkait.

b. Faktor eksternal

1) Jenis penyakit dan tingkat keparahan

Jenis penyakit tertentu dan tingkat keparahan memerlukan modifikasi

yang tepat dalam memberikan asuhan keperawatan, sehingga tercapai

pelayanan yang optimal.

2) Mekanisme koping

Kemampuan individu untuk beradaptasi baik fisiologis maupun

psikologis terhadap perubahan yang dialami ( Depkes RI, 2003 ).

3) Anxiety ( kecemasan )

Respon perilaku yang menunjukkan kecemasan bervariasi dari

perilaku tenang hingga panik. Pengendalian terhadap kecemasan ini

42

membutuhkan energi yang cukup tinggi, sehingga akan mengganggu

keseimbangan fisiologik & emosional individu. Hal ini akan

menghambat pola istirahat dan proses penyembuhan penyakit (

Huddak & Gallo,1997 ).

B. Jenis Penyakit Gangguan Fungsi Jantung

Gangguan fungsi jantung dimanifestasikan dalam beberapa jenis penyakit,

yaitu aterosklerosis, coronary artery disease (Angina pectoris, Infark Myocard

Acute), congestive heart failure (Gagal jantung), dan cardiomyopathy.

1. Aterosklerosis

a. Pengertian

Aterosklerosis merupakan suatu proses penebalan dan pengerasan arteri

besar dan menengah, seperti koronaria, basilar, dan aorta dan arteri iliaka.

Lesi-lesi pada arteri menyumbat aliran darah ke jaringan dan organ-organ

utama.

b. Manifestasi klinik.

Sebagai penyakit arteri koroner, myocard infark, aneurisma, dan

cerebrovascular accident serta adanya perubahan pola EKG. Proses

tersebut berlangsung dalam waktu yang lama (beberapa tahun). Akibatnya

pembuluh darah menjadi tebal, kehilangan sifat elastisitas. Sumbatan aliran

darah berlangsung progresif, dan suplai darah yang tidak adequate

43

(iskemik) menimbulkan sel-sel otot kekurangan komponen darah yang

untuk hidup.

c. Faktor risiko

1) Dapat diubah

Meliputi ; merokok, hipertensi, kolesterol darah tinggi, lemak,

hiperglikemia dan pola perilaku.

2) Tidak dapat diubah

Meliputi : riwayat keluarga aterosklerosis, peningkatan usia, jenis

kelamin kelamin, dan ras tertentu.

d. Tanda & Gejala

Meliputi ; klaudikasio intermitten, nyeri istirahat (malam hari), denyut

arteri lemah & keras, hipotrofia otot tungkai, ujung ekstremitas pucat,

cyanosis, dingin, atrofi kulit dan nekrosis.

e. Penatalaksanaan

Penanganan konserfatif dengan cara ; menghindari faktor resiko, latihan

olah raga, perawatan kaki, cegah cedera, minum anti koagulan,

trombolisis, PTCA (Percutaneus Transluminal Coronary Angiografi) /

IABP (Intra Aortic Ballon Pump), dan pembedahan / bypass ( Faqih, 2006

).

2. Penyakit arteri koroner

a. Angina Pektoris

44

1) Pengertian

Angina pectoris adalah nyeri dada sementara / suatu perasaan tertekan,

yang terjadi jika otot jantung mengalami kekurangan oksigen.

2) Tanda dan gejala

Angina pectoris merupakan suatu sindroma yang ditandai dengan episode

paroksisma nyeri atau perasaan tertekan didada depan ( sternum ), menjalar

ke bahu kiri/lengan kiri, punggung, tenggorokan, rahang & gigi.

Disebabkan akibat kekurangan aliran darah koroner , sehingga suplai

oksigen ke jantung tidak adequate (akibat aterosklerosis), stenosis aorta,

regurgitasi katup, spasme arterial.

3) Faktor risiko

Faktor – faktor yang dapat menimbulkan angina pectoris antara lain ;

latihan fisik, alergi terhadap dingin, makan makanan terlalu berat, stress,

anxiety.

4) Jenis – jenis Angina Pektoris

Ada 3 jenis angina pectoris antara lain ; stable angina, variant angina &

unstable angina.

5) Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan angina pectoris meliputi ; mencegah

penyakit arteri koroner, memperlambat progresivitas faktor resiko.

Pengobatan angina antara lain ; oksigen, akses intra vena, monitor tanda

45

vital, EKG, trombolitik, rontgen thorak dan pemeriksaan enzim kardiak

serta elektrolit.

b. Infark Myocard Acute (AMI)

1) Pengertian

Myocardial infark merupakan sumbatan total pada arteri koronaria.

Sumbatan ini mungkin kecil dan fokal, atau besar dan difus. Pembuluh

darah yang sering terkena antara lain arteri koronaria kiri, percabangan

anterior kiri dan circumflex.

2) Penyebab

Gangguan pada arteri koronaria akibat aterosklerosis, spasme atau obstruksi

total oleh thrombus/emboli. Kemudian akibat penurunan suplai oksigen

mengakibatkan ketidakseimbangan kebutuhan jaringan terhadap oksigen.

3) Tanda dan Gejala

Myocardial infark ditandai dengan nyeri dada menetap, tidak hilang dengan

istirahat dan minum nitrogliserin. Kemudian menyebar luas sehingga dapat

menyebabkan hypotensi, shock, aritmia dan gagal jantung. Pasien tampak

banyak keringat, muka pucat, dyspnea, nausea, vomit, cemas dan gelisah.

4) Penatalaksanaan

Sasaran perawatan adalah meningkatkan sirkulasi adequate, mencegah

perluasan infark, mengurangi nyeri, menurunkan kecemasan dan mencegah

kematian. Pengobatan dengan pemberian oksigen, analgetik, vasodilator,

antikoagulan, trombolitik dan streptokinase (Brunner & Suddarth, 2002).

46

c. Gagal jantung kongestif ( CHF )

1) Pengertian

Gagal jantung adalah ketidakmampuan kontraktilitas jantung yang

menyebabkan menurunnya cardiac output. Cardiac output / curah jantung

adalah jumlah darah yang dipompakan ventrikel dalam satu menit. Cardiac

output merupakan fungsi frekuensi jantung x volume sekuncup (stroke

volume). Frekunsi jantung merupakan fungsi sistem saraf otonom.

Sedangkan stroke volume adalah jumlah darah yang dipompa keluar dari

ventrikel setiap kali denyut / kontraksi. Stroke volume dipengaruhi pre load

(beban awal), after load (beban akhir), kontraltilitas (Hudak & Gallo , 1997

& Ulfah R, dkk, 2001).

2) Penatalaksanaan

Sasaran penatalaksanaan gagal jantung kongestif adalah untuk menurunkan

kerja jantung, menurunkan curah jantung, meningkatkan kontraktilitas

miokard dan untuk menurunkan retensi garam dan air. Pasien gagal jantung

dianjurkan untuk tirah baring (istirahat), menghindari latihan jasmani,

pemberian diuretik, analgetik, vasodilator, digitalis, inotropik dan reduksi

darah sirkulasi (Huddak & Gallo, 1997).

47

d. Kardiomiopati

1). Pengertian

Suatu penyakit miokard yang menyerang pada otot dan penyebabnya tidak

diketahui. Kardiomiopati mempengaruhi struktur dan fungsi jantung.

Kardiomiopati digolongkan berdasarkan patologis, fisiologi dan klinisnya ;

a) Kardiomiopati kongestif/dilatatik; b) Kardiomiopati hipertopik; c)

Kardiomiopati restriktif.

2) Tanda dan gejala

a) Kardiomiopati kongestif

Merupakan suatu suatu penyakit miokard primer/idiopatik.

(1) Tanda dan gejala

Ditandai dengan dilatasi rongga-rongga ventrikel, penipisan dinding

otot, pembesaran atrium kiri dan stasis darah dalam ventrikel.

(2) Etiologi

Penyebab idiopatik, kemungkinan ada hubungannya dengan konsumsi

alkohol berlebihan, hipertensi sistemik, infeksi virus, kelainan

autoimun dan pengaruh zat fisik kimia.

(3) Gejala

Meliputi payah jantung kongestif terutama kiri, kelelahan, lemas dan

dapat disertai tanda-tanda emboli sistemik paru.

48

b) Kardiomiopati Hipertropik

Merupakan hipertropi ventrikel tanpa penyakit jantung/penyakit

sistemik lain sebagai etiologinya. Pada kardiomiopati hipertropi massa

otot jantung bertambah berat, terutama sepanjang septum. Terjadi

peningkatan ukuran septum yang dapat menghambat aliran darah dari

atrium ke ventrikel.

(1) Etiologi

Penyebab idiopatik, diduga berhubungan dengan genetik/herediter

dan kelainan pembuluh darah koroner.

(2) Gejala

Meliputi ; dyspnea, angina pectoris, kelelahan, palpitasi dan

syncope.

c) Kardiomiopati Restriktif

Ditandai dengan adanya gangguan pada fungsi diastolik, dinding

ventrikel sangat kaku dan menghalangi pengisian ventrikel.

(1) Etiologi

Penyebab idiopatik, sering ditemukan pada hemokromatosis,

deposisi glikogen , endomiokardial, fibrosis, eosinophilia.

(2) Gejala

Meliputi lemah, sesak nafas, payah jantung sebelah kanan,serta

gejala sistemik.

49

3) Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ditujukan untuk mengoreksi gagal jantung. Apabila volume

jantung telah berkembang, dimana penatalaksanaan tidak efektif lagi,

alternatif terakhir dilakukan transplantasi jantung.

Pasien dengan gangguan fungsi jantung diatas, membutuhkan perawatan

diruang intensif untuk memonitor & menstabilkan hemodinamik secara adequate,

mencegah disritmia, memonitor terapi oksigen, menurunkan kecemasan,

memenuhi kebutuhan aktivutas, menjaga pola eliminasi normal dan mencegah

kematian mendadak. Perawatan diruang intensif kurang lebih 3 hingga 5 hari (

Huddak & Gallo, 1997 ).

C. Kecemasan

Cemas atau ansietas merupakan reaksi emosional yang timbul oleh

penyebab yang tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman

dan merasa terancam (Stuart & Sundeen, 1995). Keadaan emosi ini merupakan

pengalaman individu yang subyektif, yang tidak diketahui secara khusus

penyebabnya. Cemas berbeda dengan takut, seseorang yang mengalami

kecemasan tidak dapat mengidentifikasi ancaman. Cemas dapat terjadi tanpa rasa

takut, namun ketakutan biasanya tidak terjadi tanpa kecemasan.

Beberapa teori yang mengemukakan factor predisposisi (pendukung)

tentang kecemasan, antara lain :

1. Teori Psikoanalitik

50

Menurut pandangan psikoanalitik, kecemasan terjadi karena adanya konflik

yang terjadi antara emosional elemen kepribadian, yaitu id dan super ego. Id

mewakili insting, super ego mewakili hati nurani, sedangkan ego berperan

menegahi konflik yang terjadi antara dua elemen yang bertentangan.

Timbulnya kecemasan merupakan upaya mengingatkan ego ada bahaya.

2. Teori Interpersonal

Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut

terhadap tidak adanya penolakan dan penerimaan interpersonal. Ansietas juga

berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan

kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik.

Tabel 2.1 Respon fisiologis terhadap ansietas

Sistem tubuh Respon

Kardiovaskuler Palpitasi, tekanan darah meninggi, rasa mau pingsan, pingsan, tekanan

darah menurun, denyut nadi menurun, jantung seperti terbakar.

Pernafasan Nafas cepat, nafas pendek, tekanan pada dada, nafas dangkal,

pembengkakan pada tenggorok, sensasi tercekik, terengah-engah.

Neuromuskuler Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, imsomnia, tremor,

rigiditas, wajah tegang, kelemahan umum, gerakan yang janggal.

Gastrointestinal Kehilangan nafsu makan, menolak makan, abdomen discomfort, mual,

diare

Traktus urinarius Tidak dapat menahan kencing, sering kencing.

Kulit Wajah kemerahan, telapak tangan berkeringat, gatal, rasa panas dan dingin

pada kulit, wajah pucat.

51

Sumber : Stuart & Sundeen (1995)

3. Teori Perilaku ( Behavior )

Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala

sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan.

4. Teori Perspektif keluarga

Kajian keluarga menunjukan pola interaksi yang terjadi dalam keluarga.

Kecemasan menunjukan adanya pola interaksi yang mal adaptif dalam system

keluarga.

5. Teori Perspektif Biologis

Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khusus yang

mengatur ansietas, antara lain : benzodiazepines, penghambat asam amino

butirik-gamma neroregulator serta endorfin. Kesehatan umum seseorang

sebagai predisposisi terhadap ansietas.

Beberapa faktor pencetus yang dapat menyebabkan terjadinya kecemasan,

antara lain :

1. Ancaman terhadap integritas biologi, antara lain : penyakit, trauma fisik, dan

menurunnya kemampuan fisiologis untuk melakukan aktifitas sehari-hari.

2. Ancaman terhadap konsep diri, antara lain : proses kehilangan, perubahan

peran, perubahan lingkungan atau status ekonomi (Stuart dan Sundeen, 1995,

Ann Isaacs ,1996).

52

Manifestasi cemas dapat meliputi aspek fisik, emosi, kognitif dan tingkah

laku (Stuart dan Sundeen, 1995).Tingkatan ansietas, antara lain :

1. Cemas Ringan

Ketegangan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan

seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lapangan persepsinya.

Ansietas dapat memotifasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan

kreativitas.

2. Cemas Sedang

Seseorang masih memungkinkan untuk memusatkan pada sesuatu yang

penting dan mengesampingkan yang lainnya. Sehingga sesorang mengalami

perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

3. Cemas Berat

Kecemasan ini menyebabkan persepsi terkurangi sehingga cenderung untuk

memusatkan pada sesuatu yang terperinci, spesifik dan tidak dapat berfikir

tentang hal lain.

4. Cemas Panik

Kecemasan yang berhubungan dengan ketakutan, terror, individu mengalami

panik tidak dapat mengontrol persepsi walaupun dengan pengarahan. Panik

merupakan disorganisasi kepribadian, terjadi peningkatan aktivitas motorik,

53

menurunkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,

penyimpangan pemikiran rasional (Stuart dan Sundeen, 1995).

Alat ukur yang dipakai untuk mengetahui tingkat kecemasan mengunakan

Hamilton Rate Scale for Anxiety (HRSA) yang sudah dikembangkan oleh

Kelompok Psikiatri Biologi Jakarta (KPBJ) dalam bentuk Anxiety Analog Scale

(AAS).

Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing dirinci

lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skor)

antara 0 – 4, yaitu : 0) tidak ada gejala atau keluhan, 1) gejala ringan (satu gejala

dari pilihan yang ada ); 2) gejala sedang (Separuh dari gejala yang ada); 3) gejala

berat ( lebih dari separuh gejala yang ada ); 4) gejala berat sekali / panik ( semua

gejala ada ) ( Hawari , 2001).

Validitas AAS sudah diukur. Sedangkan teknik pelaksanaannya melalui

wawancara atau observasi langsung untuk masing-masing angka (skor) dari ke 14

kelompok gejala. Kemudian hasilnya dijumlahkan , skor diinterprestasikan sesuai

derajat kecemasan, yaitu : skor kurang dari 14 tidak ada kecemasan, skor 14 - 20

kecemasan ringan, skor 21 - 27 kecemasan sedang, skor 28 - 41 kecemasan berat

dan skor 42 - 56 kecemasan berat sekali ( panik ).

54

D. Tindakan Perawatan di ICCU sebagai Stresor

Masalah kecemasan, ketakutan dan agitasi seringkali dijumpai di ruang

ICCU. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya stress

pada pasien. ICCU tampak sangat menakutkan bagi pasien karena dikelilingi

oleh alat-alat monitor dan alat-alat penunjang yang terasa asing bagi pasien yang

dirawat. Pasien merasa akan menjadi obyek dari semua tindakan invasif yang

menyakitkan. Ruangan yang tertutup, AC yng dingin, system pencahayaan di

ruang ICCU juga meningkatkan masalah psikis bagi pasien ( Borgeat and Suter,

1992 ).

Menurut Borgeat dan Suter, faktor-faktor yang mendorong kearah

terjadinya stress pada pasien yang dirawat di ICCU adalah :

1. Physicall Stress meliputi lingkungan, prosedur tindakan invasive, pemasangan

ventilator mekanik dan disorientasi / kelelhan.

2. Psycological Stress meliputi kecemasan, ketakutan, depresi, nyeri /

ketidaknyamanan dan pola tidur yang terganggu.

ICCU membutuhkan tempat yang tenang dan bersahabat. Kombinasi dari

faktor-faktor yang meliputi sistem monitor, tindakan kateterisasi, aktivitas staff

dan bunyi yang terus menerus dari peralatan monitor, akan menyebabkan

peningkatan secara ekstrem terhadap tingkat kecemasan pasien. Tetapi fakta

menunjukkan bahwa kemampuan koping pasien terhadap lingkungan ini

55

menurun sejalan dengan waktu. Munculnya efek kecemasan pada pasien akan

meningkatkan respon terhadap stress dan akan meningkatkan konsumsi oksigen.

Sikap & perilaku perawat juga berpengaruh besar pada pasien di ICCU.

Sebagai satu ukuran, penjelasan dan jaminan dari staff ICCU akan memberikan

sesuatu yang sangat berguna bagi pasien untuk berinteraksi terhadap perawatan

medis yang berteknologi tinggi dan hal ini akan menurunkan kecemasan pasien,

stess psikis dan konsekuensi penggunaan obat sedatif bagi pasien (Borgeat and

Suter, 1992).

E. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka teori Hubungan Jenis Penyakit dan Tingkat Kecemasan

terhadap Lama Rawat

Keparahan penyakit

Lama rawat

Mekanisme koping

Jenis penyakit

Sumber: Kompilasi Brunner da

Depkes RI, 1995; Borg

Status akhirpasien

Mutu pelayanan Kualitas SDM Standar prosedur tindakan

Tindakan perawatan ICCU

Kecemasan

n Suddarth, 2002; Stuart dan Sundeen, 1998;

eat & Suter, 1992.

56

F. Kerangka Konsep

Bagan 2.2 Keranngka konsep Hubungan Jenis Penyakit dan Tingkat Kecemasan

terhadap Lama Rawat

Variabel bebas : Variabel terikat :

Lama rawat

Tingkat kecemasan

Jenis Penyakit

G. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel

terikat, yaitu :

1. Variabel Terikat ( Dependent )

Variabel terikat adalah variabel yang dihipotesiskan dapat dipengaruhi

(dependent) oleh variable lain ( Bhisma Murti, 2003 ). Dalam penelitian ini

variabel terikat adalah lama rawat.

2. Variabel Bebas ( Independent )

Variabel bebas adalah variabel yang di hipotesiskan dapat mempengaruhi

(independent) variabel lainnya. ( Bhisma Murti, 2003 ). Dalam penelitian ini

57

terdapat 2 (dua) variabel bebas, yaitu jenis penyakit kardiovaskuler dan

tingkat kecemasan pasien.

H. Hipotesis

1. Ada hubungan antara jenis penyakit dengan lama rawat pasien gangguan

fungsi jantung

2. Ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan lama rawat pasien gangguan

fungsi jantung.

58

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini diteliti hubungan antara jenis penyakit dan tingkat

kecemasan dengan lama rawat pasien gangguan fungsi jantung. Penelitian ini

bertujuan menjelaskan hubungan kausal antara 2 variabel atau lebih, sehingga

penelitian ini termasuk jenis penelitian analitik (Notoatmodjo, 2005). Penelitian

ini dilaksanakan dengan metode pendekatan belah lintang ( cross sectional ),

yaitu penelitian yang mengambil data pada variabel bebas dan variabel terikat

hanya satu kali ( sesaat ) saja tanpa mengikuti ke depan (prospesktif) atau ke

belakang / retrospektif ( Bhisma Murti, 2003 ).

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan variabel yang menyangkut masalah yang diteliti

(Nursalam, 2003). Populasi penelitian ini adalah semua pasien gangguan

fungsi jantung yang dirawat di ruang ICCU RSU Tugurejo Semarang.

Berdasarkan catatan pelaporan dari bulan Januari – September 2006, dalam 1

bulan jumlah pasien gangguan fungsi jantung kurang lebih 10 orang, sehingga

dalam 2 bulan jumlah populasi diperkirakan mencapai 20 orang (Catatan

Rekam Medis ICCU Tugurejo, 2006).

59

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap

mewakili populasinya (Notoatmodjo,2005). Rata-rata pasien gangguan fungsi

jantung per bulan adalah 10 orang sehingga dalam waktu 2 bulan diperkirakan

terdapat 20 orang penderita. Seluruh populasi dalam 2 bulan dilakukan

penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan sampel jenuh yaitu seluruh

anggota populasi digunakan sebagai sample penelitian (Sugiyono, 2005).

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 7 Februari - 8 April 2007.

C. Definisi Operasional, Variabel Penelitian, dan Skala Pengukuran

Variabel bebas adalah jenis penyakit dan tingkat kecemasan pasien,

sedangkan variabel terikat adalah lama rawat pasien. Variabel tersebut

didefinisikan berikut:

60

Tabel 3.1 Definisi Operasional, Variabel Penelitian, dan Skala Pengukuran

No Variabel Definisi operasional Cara ukur Hasil ukur Skala

1 Jenis penyakit

Variasi penyakit yang diderita pasien (subyek penelitian), merupakan diagnosa dokter, dibedakan berdasarkan kode penyakit internasional

Pengukuran menggunakan lembar observasi, yang terdiri dari 5 pilihan, denganKode 1 - 5

Untuk men-jelaskan secara deskriptif, maka dikategorikan: AMI; 1 CHF; 2 IHD; 3 Angina pectoris;4 Kardiomiopati;5

Nominal

2 Tingkat kecemasan

Keadaan yang menggambarkan ketidaknyamanan pasien terhadap kondisinya

Menggunakan lembar observasi, skalalikert terdiri dar14 pernyataan: Tidak cemas; 0 Cemas ringan;1Cemas sedang;2Cemas berat;3 Panik ; 4

Skor tertinggi;56Skor terendah;14Untuk menjelaskan secara deskriptif maka Dikategorikan: < 14 ; tidak cemas 14-20 ; ringan 21-27 ; sedang 28-41; berat 42-56 ; panik

Interval

3 Lama rawat Waktu yang dibutuhkan pasien untuk menjalani perawatan diruang ICCU RS Tugurejo

Menggunakan lembar obser-vasi, caranya mengurangi tanggal keluar dengan tanggalmasuk. Diberi kode 1-2.

Untuk menjelaskan secara deskriptif maka ; 1. Dikategorikan;

< 5 hari ; 1 ≥ 5 hari ; 2

2. Jumlah hari rawat

1.Nominal

2. Ratio

61

D. Metode Pengumpulan Data

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini melalui wawancara dengan instrument

lembar observasi dan pencatatan data sekunder. Data sekunder mencakup

jumlah pasien, jenis penyakit dan umur pasien diperoleh dari catatan rekam

medis ruang ICCU RSU Tugurejo. Sedangkan data primer meliputi tingkat

kecemasan dan lama rawat pasien. Lama rawat dihitung dari tanggal keluar

pasien dikurangi tanggal masuknya, dengan alat bantu lembar observasi. Data

tingkat kecemasan diperoleh melalui observasi, denan alat bantu lembar

observasi (Hawari, 2001). Meliputi :

a. Penilaian (skor) :

1 : Gejala ringan ( Satu gejala dari pilihan yang ada )

2 : Gejala sedang ( Separuh dari gejala yang ada )

3 : Gejala berat ( Lebih dari separuh gejala yang ada )

4 : Gejala sangat berat ( Semua gejala ada )

b. Penilaian Derajat Kecemasan :

Skor < 14 Tidak ada kecemasan

Skor 14 – 20 Kecemasan ringan

Skor 21 – 27 Kecemasan sedang

Skor 28 – 41 Kecemasan berat

Skor 42 – 56 Kecemasan berat sekali

62

2. Alat Penelitian

Dalam penelitian ini, menggunakan instrumen penelitian berupa lembar

observasi yang diisi oleh peneliti.

E. Metode Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan data

Pengolahan data mencakup editing, koding, dan tabulating. Tahap-tahap

tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Editing

Tahap editing dilakukan dengan mengecek kembali kebenaran isian data

dasar, agar benar-benar siap diproses.

b. Coding

Tahap koding adalah pemberian kode-kode angka untuk membedakan

kategori data pada masing-masing variabel penelitian. Jenis penyakit

dikodekan sebagai berikut : 1) Acut myocard infark; 2) Congestive heart

failure; 3)Ischemic heart disease; 4)Angina pektoris dan 5)

Cardiomyopathy. Tingkat kecemasan menurut Hawari (2001) dibedakan

atas : tidak cemas (kode 0); ringan (kode 1); sedang (kode 2); berat (kode

3); dan panik (kode 4). Lama rawat dikategorikan : kurang dari 5 hari

(kode 1); lebih dari sama dengan 5 hari (kode 2).

63

c. Processing

Setelah lembar observasi terisi penuh dan sudah melewati pengkodingan,

maka langkah selanjutnya memproses data dengan cara mengentri data

dari lembar observasi ke dalam program komputer.

d. Tabulating

Tabulating adalah pembuatan tabel-tabel tiap-tiap variabel berdasarkan

kategori-kategori yang ada.

2. Analisa data

Analisis data dilakukan secara diskriptif dan analitik. Analisis diskriptif

dilakukan dengan membuat tabel distribusi frekuensi, sedangkan analisis

analitik menggunakan uji statistik yang tepat. Untuk menentukan uji statistik

yang tepat, telah dilakukan uji kenormalan data, yaitu dengan menggunakan

uji Kolmogorov Smirnov. Karena data berdistribusi normal maka digunakan

uji statistik parametrik (Sugiyono, 2005). Analisa data dilakukan dengan

mengunakan alat bantu komputer melalui Program SPSS 10.0. Analisa data

dilakukan dengan analisis Univariat dan analisis Bivariat (Notoatmodjo,

2005) sebagai berikut :

64

a. Analisis Univariat

Analisis Univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian,

untuk melihat distribusi dengan melihat prosentase masing – masing

variabel. Analisis Univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data

hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut

berubah menjadi informasi yang berguna, peringkasan tersebut dapat

berupa ukuran statistik, tabel, grafik.

b. Analisis Bivariat

Analisis Bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi yang dibuat dalam bentuk tabel distribusi.

Untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel pada kedua penelitian

ini yaitu variabel bebas yang terdiri dari jenis penyakit (berskala nominal)

dengan variabel terikat lama rawat (dikategorikan menjadi skala nominal)

digunakan uji statistic Chi Square.Sedangkan variabel bebas tingkat

kecemasan (berskala interval) dengan variabel terikat lama rawat (berskala

ratio) digunakan uji statistik Pearson's Product Moment, karena data

berdistribusi normal.

65

F. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat ijin dari Direktur Rumah Sakit

Umum Tugurejo Semarang, pada tanggal 13 Desember 2006. Kemudian

penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – April 2007. Peneliti

memperhatikan etika penelitian sebagai berikut :

1. Lembar persetujuan responden

Peneliti tidak membuat lembar persetujuan responden, karena peneliti hanya

melakukan observasi, tidak melakukan wawancara formal kepada pasien dan

keluarga, tidak ada tindakan invasif / melukai fisik pasien. Apabila pasien /

keluarga diberi tahu akan diteliti, dikhawatirkan menimbulkan respon

psikologi yang berbeda.

2. Anonimity ( Tanpa nama )

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama

dalam lembar pengumpulan data, cukup diberi kode.

3. Confidentiality ( Kerahasiaan )

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok data

tertentu yang akan dijadikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.

G. Jadwal Penelitian

Terlampir.

66

H. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dilingkup ruang intensif RSU Tugurejo

Semarang

dengan kapasitas 6 tempat tidur, dalam waktu 2 bulan. Dalam penelitian ini hanya

ditemukan 21 sampel, sehingga dengan keterbatasan waktu & sampel, tidak

menutup kemungkinan timbulnya bias penelitian.

67

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Tugurejo Semarang,

khususnya di ruang Intensive Cardiac Care Unit (unit perawatan penyakit jantung

intensif). Penelitian berlangsung selama 2 bulan, dimulai minggu kedua bulan

Februari hingga minggu kedua bulan April 2007. Selama waktu penelitian,

jumlah pasien dengan gangguan fungsi jantung adalah 21 orang.

B. Analisis Univariat

1. Jenis kelamin responden

Tabel 4.1 Distribusi Responden Penelitian Menurut Jenis Kelamin di Ruang

ICCU RSU Tugurejo Tahun 2007

Jenis kelamin n % Laki-laki 12 57,1 Perempuan 9 42,9 Jumlah 21 100

Responden penelitian ini lebih banyak (57,1%) yang berjenis kelamin

laki-laki daripada perempuan (42,9%).

68

2. Umur responden

Tabel 4.2 Distribusi Responden Penelitian Menurut Umur di Ruang ICCU

RSU Tugurejo Tahun 2007

Umur n %

12 - 19 th 1 4,8 20 - 55 th 13 61,9 > 55 th 7 33,3 Jumlah 21 100

Umur responden berkisar antara 19 hingga 76 tahun, dengan rerata

52,67 tahun dan simpangan baku 14,385 tahun. Data ini menunjukkan bahwa

responden pada umumnya adalah kelompok usia 52 th. Selanjutnya, data

umur dikategorikan sebagai berikut ; sebagian besar responden adalah

kelompok usia antara 20 – 55 th (61,9%), usia > 55 th (33,3%) dan usia 12 –

19 th (4,8%). Data ini menunjukkan bahwa penyakit gangguan fungsi jantung

juga terjadi pada usia < 20 th, walaupun persentasenya sangat kecil, karena

merupakan penyakit jantung bawaan.

3. Pendidikan responden

Tabel 4.3 Distribusi Responden Penelitian Menurut Pendidikan di Ruang

ICCU RSU Tugurejo Tahun 2007

Pendidikan n % Tidak sekolah 3 14,3 Tamat SD 8 38,1 Tamat SMP 7 33,3 Tamat SLTA 3 14,3 Jumlah 21 100

69

Pendidikan responden bervariasi dari tidak sekolah hingga yang

tertinggi tamat SLTA. Namun, persentase tertinggi (38,1%) adalah responden

berpendidikan SD, diikuti tamat SMP (33,3%). Responden/pasien yang tidak

sekolah sama banyaknya dengan yang berpendidikan SMA/SLTA, yaitu

14,3%.

4. Pekerjaan responden

Tabel 4.4 Distribusi Responden Penelitian Menurut Pekerjaan di Ruang

ICCU RSU Tugurejo Tahun 2007

Pekerjaan n %

Buruh 7 33,3 Wiraswasta 5 23,8 Karyawan 3 14,3 Pensiunan 4 19,0 Ibu rumah tangga 2 9,5 Jumlah 21 100

Pekerjaan responden juga bervariasi, dengan persentase terbanyak

(33,3%) buruh, diikuti wiraswasta (23,8%), pensiunan (19%), karyawan

swasta (14,3%) dan hanya 9,5% yang bekerja sebagi ibu rumah tangga.

5. Jenis penyakit

Tabel 4.5 Distribusi Responden Penelitian Menurut Jenis Penyakit di Ruang

ICCU RSU Tugurejo Tahun 2007 Jenis penyakit n %

AMI 5 23,8 CHF 11 52,4 IHD 5 23,8 Jumlah 21 100

70

Jenis penyakit gangguan fungsi jantung pada responden ditemukan

tiga jenis, yaitu infark miokard akut (AMI), gagal jantung kongestif (CHF),

dan penyakit jantung iskemik (IHD). Diantara ketiga jenis penyakit yang

ditemukan, paling banyak (52,4%) adalah gagal jantung kongestif (CHF),

disusul AMI dan IHD dengan persentase sama, masing-masing 23,8%.

6. Kecemasan

Tabel 4.6 Distribusi Responden Penelitian Menurut kecemasan di Ruang

ICCU RSU Tugurejo Tahun 2007

Kecemasan n % Tidak cemas 15 71,4 Ringan 3 14,3 Sedang 3 14,3 Jumlah 21 100

Kecemasan diukur dengan Hamilton Rate Scale For Anxiaty (HRSA)

dalam bentuk skor (Hawari, 2001). Skor kecemasan berkisar antara 2 hingga

27 dengan rerata 12,1 dan simpangan baku 6,956.

Data kecemasan tersebut menggambarkan kecemasan pasien yang

cenderung tidak mengalami kecemasan. Selanjutnya, kecemasan ini

dikategorikan sebagai berikut ; sebagian besar (71,4%) responden tidak

mengalami kecemasan, sedangkan lainnya mengalami kecemasan ringan dan

sedang dalam persentase yang sama, masing-masing 14,3%.

71

7. Lama rawat

Tabel 4.7 Distribusi Responden Penelitian Menurut lama rawat di Ruang

ICCU RSU Tugurejo Tahun 2007 Lama rawat n %

< 5 hari 13 61,9 ≥ 5 hari 8 38.1 Jumlah 21 100

Lama rawat pasien dengan gangguan fungsi jantung berkisar antara 1

hingga 10 hari, dengan rerata 4,29 hari, dan simpangan baku 2,3 hari.

Selanjutnya, lama rawat dikategorikan sebagai berikut ; bahwa lama rawat

pasien (61,9%) yang dirawat kurang dari 5 hari dan lebih dari 5 hari (38,1%).

8. Alasan berakhirnya perawatan di ICCU

Tabel 4.8 Distribusi Responden Penelitian Menurut Alasan berakhirnya

perawatan di Ruang ICCU RSU Tugurejo Tahun 2007

Alasan n % Pindah ruang 14 66,7 Meninggal 5 23,8 Pulang paksa 2 9,5 Jumlah 21 100

Alasan meninggalkan runag atau berakhirnya perawatan di ruang

ICCU (unit perawatan penyakit jantung intensif) ditemukan tiga macam, yaitu

pendah ruang (66,7%), meninggal (23,8%), dan alihrawat/pulang paksa

(9,5%).

72

C. Analisis Bivariat

1. Hubungan Jenis Penyakit dengan Lama Rawat

Tabel 4.9 Hubungan Jenis Penyakit dengan Lama Rawat di Ruang

ICCU RSU Tugurejo Tahun 2007 Jenis penyakit Lama rawat Total X2 p

< 5 hari ≥ 5 hari n % n % n %

AMI 3 60,0 2 40,0 5 100 1,571 0,456 CHF 8 72,7 3 27,3 11 100 IHD 2 40,0 3 60,0 5 100 Jumlah 13 61,9 8 38,1 21 100

Hubungan antara jenis penyakit dan lama rawat pada pasien dengan

gangguan jantung ditampilkan pada tabel 4.9 diatas. Pasien dengan gangguan

fungsi jantung AMI 60% dirawat kurang dari 5 hari, dan 40% lebih dari 5

hari. Pasien dengan CHF 72,7% dirawat kurang dari 5 hari dan 27,3% lebih

dari 5 hari. Pasien dengan IHD 40% dirawat kurang dari 5 hari dan 60% lebih

dari 5 hari.

Meskipun ada sedikit perbedaan, khususnya pada kelompok IHD

namun secara statistik tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini

dapat dibuktikan dengan hasil uji Chi Square yang diperoleh nilai statistik

hitung atau x2 = 1,571 dan p = 0,456. Karena nilai p > 0,05, x2 hitung (1,571)

< x2 tabel (5,591) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang

signifikan antara jenis penyakit dengan lama rawat pada pasien dengan

gangguan fungsi jantung di ruang ICCU RSU Tugurejo Semarang.

73

2. Hubungan kecemasan dengan lama rawat

TOTCEMAS

3020100

LAM

A_R

WT

12

10

8

6

4

2

0

Grafik 4.1 Hubungan Kecemasan dengan Lama Rawat di Ruang

ICCU RSU Tugurejo Tahun 2007

Hubungan antara skor kecemasan dengan lama rawat dapat

digambarkan dalam grafik 4.1 diatas. Dalam grafik tersebut, dapat diketahui

bahwa peningkatan pada skor kecemasan diikuti peningkatan lama rawat.

Fenomena ini menunjukkan adanya hubungan antara skor kecemasan dengan

lama rawat, dimana hasil uji statistik Pearson’s Product Moment

menunjukkan nilai r = 0,457 dan p = 0,037. Karena r hitung (0,457) > r tabel

(0,433) dan p < 0.05 maka ada hubungan yang signifikan antara tingkat

kecemasan dengan lama rawat pada pasien gangguan fungsi jantung diruang

ICCU RSU Tugurejo. Nilai positif, artinya hubungan tersebut bersifat searah:

kenaikan skor kecemasan akan diikuti makin panjangnya lama rawat.

74

D. Pembahasan

1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang dikumpulkan dalam penelitian ini

mencakup jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan. Responden

penelitian ini lebih banyak berjenis kelamin laki-laki (57,1%) daripada

perempuan (42,9%). Distribusi ini sesuai dengan gambaran umum pasien di

ICCU RSU Tugurejo Semarang pada tahun 2006 (Data Rekam Medis RSU

Tugurejo, 2006). Distribusi penderita penyakit jantung yang ditemukan di

RSU Tugurejo Semarang sejak pertengahan Februari hingga pertengahan

April 2007 ini juga sesuai dengan Brunner & Suddarth ( 2002 ) yang

menyatakan bahwa faktor resiko gangguan fungsi jantung lebih banyak terjadi

pada laki-laki daripada perempuan, khususnya pada usia di bawah 50 tahun.

Distribusi responden menurut umur paling banyak adalah usia dewasa

(rerata umur responden 52,67 tahun). Hal ini juga sesuai dengan distribusi

pasien ICCU RSU Tugurejo Semarang secara umum (Catatan Rekam Medik

ICCU, 2006). Distribusi ini juga sesuai dengan (Ulfah R, dkk.,2001) yang

menyebutkan bahwa kejadian penyakit jantung meningkat secara tajam pada

usia di atas 40 tahun.

Distribusi pasien menurut pendidikan didominasi oleh tamatan SD

(38,1%). Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan pasien berpendidikan

rendah. Sehingga sesuai dengan tingkat pendidikannya, jenis pekerjaan

responden terbanyak adalah buruh (33,3%).

75

Kondisi ini juga sesuai dengan keadaan pasien RSU Tugurejo secara

umum yang kebanyakan berasal dari kelompok masyarakat golongan ekonomi

menengah ke bawah, sehingga sangat wajar jika berpendidikan rendah dan

pekerja keras (Catatan Medik RSU Tugurejo, 2006). Hal ini juga sesuai

dengan faktor resiko dari penyakit jantung yang dapat diubah adalah

pekerjaan (Brunner & Suddarth, 2002).

2. Analisis Univariat

Jenis penyakit atau gangguan fungsi jantung yang teridentifikasi dari

21 pasien adalah Acute Myocard Infarction (AMI) 23,8%, Congestive Heart

Failure (CHF) 52,4%, dan Ischaemic Heart Disease (IHD) 23,8%. Hasil

temuan ini sesuai dengan Hudak & Gallo (1997) dan Faqih R(2006) yang

menyebutkan bahwa jenis gangguan fungsi jantung yang paling umum terjadi

adalah AMI, CHF, IHD dan Angina pektoris. Dalam penelitian ini Angina

pectoris dan Cardiomyopathy tidak ditemukan , walaupun pada catatan medik

sebelumnya pernah dijumpai sebesar 0,1% pada tahun 2006.

Pasien gangguan fungsi jantung di ICCU RSU Tugurejo mayoritas

tidak mengalami kecemasan (71,4%), dan sebagian kecil mengalami

kecemasan ringan (14,3%) dan sedang (14,3%). Kecemasan ini diukur dengan

Hamilton Rate Scale for Anxiety (HRSA) yang sudah menjadi ukuran baku

(Hawari, 2001). Sebagian besar pasien tidak mengalami kecemasan,

kemungkinan karena ketidaktahuannya tentang penyakit yang dideritanya.

76

Hal ini sesuai dengan dokumentasi keperawatan di ruang ICCU pada

saat pengkajian awal yang menemukan bahwa pasien mengalami keluhan

subjektif berupa rasa sebah di bagian uluhati (epigastrik). Mereka

menganggap bahwa keluhan itu adalah angin duduk atau masuk angin yang

terlambat.

Hal ini dibuktikan dengan adanya bekas-bekas goresan “kerikan” pada

punggung dan dada. Ternyata setelah menjalani serangkaian pemeriksaan

medis terbukti mengalami gangguan fungsi jantung (Catatan Rekam medik,

2007).

Lama perawatan pasien gangguan fungsi jantung di ruang ICCU RSU

Tugurejo berkisar antara 1 – 10 hari. Dengan rerata lama perawatan 4,29 hari.

Hasil temuan ini sesuai dengan catatan hari rawat untuk pasien gangguan

fungsi jantung yang ada selama ini, yaitu berkisar antara 1 hingga 5 hari

dengan rerata 3 hari (Catatan Rekam medik, 2006). Hal ini sesuai dengan

asuhan keperawatan kritis yang menyatakan bahwa rata - rata pasien

gangguan cardiovaskuler membutuhkan perawatan intensif 3 - 5 hari (

Huddak & Gallo, 1997 ).

Beberapa alasan pasien mengakhiri perawatan di ruang ICCU yang

ditemukan dalam penelitian ini adalah pindah ruang rawat 66,7%, meninggal

23,8%, dan pulang paksa 9,5%. Namun, sebagian besar pasien adalah pindah

ruang rawat biasa (bangzal) karena kondisinya yang sudah membaik ( stabil ).

77

3. Analisis Bivariat

Jenis penyakit terbukti tidak ada hubungan yang signifikan dengan

lama rawat. Hal ini sesuai hasil uji statistik Chi Square, diperoleh nilai x2 =

1,571, p = 0,456 dan df = 2. Karena p > 0,05 dan x2 hitung (1,571) < x2 tabel

(5,591). Hal ini dapat dipahami bahwa masing-masing jenis penyakit dapat

mengalami keparahan yang bervariasi, dari ringan hingga sangat parah. Oleh

karena itu, dengan jumlah sampel yang sedikit (21 pasien) ternyata belum

dapat membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara jenis penyakit

yang berbeda terhadap lama rawat.

Tingkat kecemasan berhubungan secara signifikan dengan lama rawat.

Semakin cemas pasien, semakin panjang hari rawat yang diperlukan. Hal ini

sesuai dengan hasil uji statitik Pearson's Product Moment, diperoleh nilai r =

0,457 dan p = 0,037.Karena r hitung (0,457) > r tabel (0,433), dan p < 0,05.

Hal ini dapat dipahami bahwa kondisi cemas mengakibatkan pasien tidak

kooperatif dengan tindakan keperawatan yang direncanakan, bahkan dapat

mengakibatkan kondisi penyakit yang lebih buruk. Stuart dan Sundeen (1995)

menyebutkan bahwa bila kondisi cemas berlangsung terus-menerus dan tidak

terkendali dapat memperburuk keadaan dan mendorong respon defensif

sehingga menghambat mekanisme kooping yang adaptif. Respon fisiologis

dari kecemasan akan meningkatkan frekuensi nadi, tekanan darah, pernafasan,

dan aritmia ( Huddak & Gallo,1997 ).

78

Sebaliknya dengan kecemasan yang terkendali, pasien dapat

mengembangkan konsep diri dengan baik, sehingga pasien kooperatif dengan

tindakan keperawatan (Brunner dan Suddarth, 2002). Selain itu perilaku

koping pasien yang adaptif akan dapat langsung mengurangi kecemasan, stres

penyakit dan memudahkan tubuh mencapai keseimbangan homeostasis

(Huddak & Gallo, 1997). Sehingga dampaknya akan membantu

memperpendek waktu perawatan diruang intensif.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Jenis penyakit jantung yang ditemukan dalam penelitian ini ada 3 macam yaitu

AMI (23,8%), CHF (52,4%), dan IHD (23,8%).

2. Sebagian besar responden tidak mengalami kecemasan (71,4%), dan sebagian

kecil mengalami kecemasan ringan (14,3%) dan sedang (14,3%).

3. Lama rawat pasien gangguan fungsi jantung berkisar 1 – 10 hari. Rerata lama

rawat pasien gangguan fungsi jantung adalah 4,29 hari (4 hari), berarti sesuai

dengan teori keperawatan kritis (Huddak & Gallo,1997). Alasan berakhirnya

perawatan di ruang ICCU adalah diperbolehkan pindah ruang (66,7% ),

meninggal (23,8% ), dan pulang paksa (9,5% ).

4. Tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis penyakit dengan lama rawat.

Karena dari uji statistik Chi Square dipeoleh x2 = 1,571, p = 0,546 dan df = 2

pada α = 5%.

5. Ada hubungan yang signifikan antara tingkat kecemasan dengan lama rawat.

Karena dari uji statistik Pearson's Product Moment diperoleh nilai r = 0,457

dan p = 0,037 dengan N = 21, α = 5%.

6. Hasil analisis uji statistik membuktikan bahwa jenis penyakit tidak

mempengaruhi lama rawat, sedangkan tingkat kecemasan mempengaruhi lama

1

80

rawat secara signifikan pada pasien gangguan fungsi jantung diruang ICCU

RSU Tugurejo.

B. Saran

1. Perlu peningkatan mutu asuhan keperawatan kritis untuk menurunkan tingkat

kecemasan pasien sehingga memperpendek lama perawatan di ruang intensif.

2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui lama rawat ditinjau dari faktor

jenis penyakit, tingkat keparahan penyakit dan dukungan keluarga terhadap

pasien yang dirawat diruang intensif.