Upload
trinhthuan
View
273
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
1. Permasalahan
Gambar dalam bahasa Inggris disebut picture adalah istilah umum yang
mencakup berbagai bentuk, seperti: lukisan (painting), gambar (drawing), etsa
(etching), grafis (printing), fotografi, dan sebagainya. Semua gambar yang diberi
nama berbeda-beda itu semuanya berbentuk dua dimensi, perbedaannya terletak
pada teknik yang mendasari berbagai bentuk gambar tersebut. Judul penelitian
disertasi ini mempergunakan istilah piktorial karena mengacu pada istilah picture,
dan tidak mempergunakan istilah gambar atau representasi gambar karena dapat
disalahfahami sebagai drawing yang hanya merupakan salah satu bentuk gambar.
Gambar (picture) telah dibuat manusia sejak zaman purba. Para peneliti
antropologi menemukan gambar-gambar pada dinding-dinding gua diberbagai
tempat seperti Perancis selatan, Spanyol atau Maroko yang diperkirakan telah ada
sejak 60.000-10.000 tahun yang lampau. Peninggalan itu berupa goresan-goresan,
lukisan dan bekas telapak tangan yang bagi manusia moderen masih mengesankan
(Hartoko, 1988: 21). Gambar-gambar yang sangat terkenal seperti gambar rusa
kutub (reindeer) terdapat di dalam gua Font-de-Gaume, Dordogne, Perancis ;
gambar bison berbaring (recumbent bison) dan sketsa berbagai binatang yang
ditemukan di gua Altamira, Santander di Spanyol. Berbagai gambar tersebut
cukup mengesankan karena visi, kepekaan bentuk, teknik penggambaran dan
pewarnaan sebagaimana karya seniman.
2
Gambar-gambar peninggalan zaman purba tersebut terbukti telah menjadi
sumber informasi yang berharga bagi para peneliti antropologi untuk menyingkap
sejarah kehidupan manusia pada masa lampau. Para antropolog dapat memperoleh
berbagai informasi tentang cara hidup, kebiasaan-kebiasaan, kepercayaan yang
ada pada zaman tertentu dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa gambar
memiliki arti penting bagi kehidupan manusia sebagai sumber informasi
disamping sumber-sumber artefak yang lain.
Manusia pada masa lampau mempergunakan gambar untuk
menyampaikan pesan. Candi-candi terdapat relief-relief atau gambar-gambar yang
tidak sekedar untuk hiasan atau untuk memperindah. Gambar-gambar itu dapat
merupakan simbol-simbol atau bahkan berisi cerita yang mengandung pesan
bahkan ajaran. Para seniman sering menggunakan istilah bahasa visual atau
bahasa rupa untuk menyebut karya seni visual termasuk di dalamnya berupa
gambar. Sebutan semacam itu bukan merupakan sesuatu yang asing, bahkan
Horatius pernah mengatakan bahwa “ut pictura poesis” (puisi bagaikan lukisan),
dan kata-kata mutiara Simonides “lukisan ialah puisi diam dan puisi adalah
lukisan yang bertutur kata” (Cassirer, 1987: 210). Pernyataan itu menunjukkan
bahwa kata-kata dapat menggambarkan sesuatu dan gambar dapat menyampaikan
pesan sebagai bahasa.
Kendall L. Walton (1991: 102) menyatakan bahwa salah satu cara untuk
merepresentasikan sesuatu adalah dengan membuat gambar. Cara yang lain adalah
mendeskripsikannya dengan kata-kata. Kata-kata dapat memberikan gambaran
yang sama dalam merepresentasikan tentang sesuatu yang kasat mata. Gambar
3
adalah representasi visual dan kata-kata merupakan representasi verbal. Sering
dikatakan bahwa representasi piktorial adalah “natural” mengingat representasi
verbal hanya konvensi. Sesuatu yang wajar jika suatu gambar seekor anjing
nampak seperti seekor anjing, sedangkan kata “dog” bermakna anjing hanya
karena kaidah atau kesepakatan atau konvensi dalam bahasa Inggris. Orang tidak
perlu belajar untuk mengetahui bahwa sebuah gambar itu merepresentasikan
seekor anjing atau nampak sebagai gambar anjing ; akan tetapi untuk mengetahui
bahwa kata “dog” itu berarti anjing harus belajar bahasa Inggris.
Isitilah representasi dalam filsafat seni memiliki makna yang khusus.
Gordon Graham (1997: 89) menyatakan bahwa istilah mimesis dalam bahasa
Yunani diterjemahkan dan dipergunakan dalam berbagai variasi oleh para filsuf
seni, yaitu : resemblance (kemiripan), copy (salinan), dan juga representation
(representasi). Pernyataan bahwa gambar seekor anjing nampak seperti anjing,
menimbulkan pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan istilah “nampak
seperti” dalam pernyataan tersebut. Pernyataan “nampak seperti seekor anjing”
dapat diartikan sebagai “mirip seekor anjing”, dapat pula diartikan sebagai
“mempresentasikan seekor anjing”, dan bahkan dapat diartikan sebagai
“mengingatkan akan bentuk seekor anjing”. Problem semacam itu telah menarik
perhatian para filsuf analitika bahasa.
Gambar sebagai bentuk representasi semakin diperlukan kehadirannya,
bahkan telah menjadi kebutuhan di antara kebutuhan yang lain di dalam
kehidupan modern. Representasi piktorial pada saat ini telah berkembang bukan
hanya dalam seni, bahkan representasi piktorial lebih banyak ditemukan dalam
4
bidang yang sama sekali tidak berpretensi sebagai karya seni. Representasi
piktorial diperlukan atau dibutuhkan dalam menjelaskan anatomi dalam berbagai
bidang kajian biologi, dalam iklan dan berita surat kabar, sebagai dokumentasi
bagi peristiwa-peristiwa yang dianggap perlu, dalam rancangan berbagai produk
termasuk arsitektur dan berbagai bidang yang lain yang tidak mungkin di
deskripsikan satu demi satu.
Representasi piktorial sebagai karya seni juga telah berkembang terus
menerus. Gambar naturalistik yang semula dianggap sebagai gambar yang paling
unggul dalam merepresentasikan sesuatu objek maupun peristiwa telah
mengalami pergeseran. Dengan munculnya alat fotografi yang mampu
menghasilkan tiruan realitas atau (mimesis) yang memiliki kemiripan yang cukup
akurat, menurut Bambang Sugiharto memengaruhi atau merangsang orang
berubah pikiran tentang arti melukis. Gaya naturalistik banyak ditinggalkan
berubah ke arah impresionistik. Perubahan ini juga dimungkinkan karena tradisi
naturalistik telah mencapai puncak kesetiaannya pada mimesis hingga jenuh
(Sugiharto, 2002: 34). Pergeseran dari gaya naturalistik tidak hanya seperti yang
dinyatakan Sugiarto yaitu berubah ke arah impresionistik, akan tetapi berbagai
gaya yang lain juga banyak bermunculan.
Munculnya berbagai corak atau gaya penggambaran dalam berbagai
bidang dan khususnya dalam bidang seni piktorial, telah memicu usaha untuk
merumuskan kembali arti mimesis. Mimesis yang semula diartikan sebagai meniru
dengan setia terhadap objek perlu mendapat koreksi. Koreksi makna mimesis
diperlukan karena berbagai gaya non-naturalistik yang masih memperlihatkan ciri
5
representasional telah mendapat apresiasi dalam dunia seni. Lukisan gaya
impresionistik, ekspresionistik, kubistik, surealistik, dan sebagainya tidak dapat
lagi dipandang lebih rendah dari lukisan naturalistik.
Plato adalah filsuf yang pertama kali dan terkenal dengan teori mimesis
tentang seni. Menurut Plato seni adalah tiruan realitas terindera. Secara kebetulan
Plato menunjukkan contoh dengan lukisan atau gambar. Menurutnya sebuah
gambar tempat tidur misalnya adalah tiruan dari tempat tidur yang dibuat oleh
tukang. Teori ini diikuti oleh Aristoteles dan pemikir setelahnya. Aristoteles
memperluas makna mimesis, baginya seni bukanlah deskripsi realitas, karena hal
itu merupakan tugas dari sejarawan, seniman menampilkan tiruan realitas yang
mungkin (Alperson, 1991: 63 dan Hartoko, 1988: 33). Nicolas P. Wolterstorff
memberikan catatan bahwa konsep umum tentang mimesis yang telah dipakai
oleh Plato dan Aristoteles biasanya lebih baik diterjemahkan dengan
“representasi” daripada “imitasi”, karena atas sifat dasar seni merepresentasikan
(to re-present) realitas (Wolterstorff, 1999: 572).
Teori mimesis tentang seni atau suatu teori yang menyatakan bahwa karya
seni adalah tiruan realitas yang dapat ditemukan di dalam pengalaman empiris,
bertahan hingga paruh pertama abad keenambelas. Prinsip mimesis yang sudah
bertahan berabad-abad lamanya harus menyisih dengan hadirnya konsep baru
bahwa seni bukan deskripsi atau reproduksi dunia empiris, melainkan luapan
emosi perasaan dikemukakan oleh Rousseau. Cassirer menyebut bahwa konsep
baru tersebut menandai pembelokan yang menentukan babak baru yaitu seni
karakteristik mengungguli seni imitatif (Cassirer, 1987: 212, 214).
6
Langer menyatakan, bahwa terdapat perspektif saling berseberangan atau
paradoks bagi cara pandang terhadap karya seni. Cara pandang seniman berbeda
dengan pengamat (spectator), pendengar, pembaca; perspektif pertama hadir
sebagai ekspresi, dan perspektif lain sebagai impresi (Langer, 1953: 13).
Pandangan Langer ini dapat diinterpretasi bahwa dari sisi pengamat, karya seni
dapat mengesankan atau menimbulkan impresi suatu representasi dunia empiris.
George Dickie melihat filsafat seni Langer mengesankan perspektif karya seni
dari aspek pengamat. Dickie menyatakan bahwa seni karya berseri Langer yang
meliputi : Philosophy in a New Key, Feeling and Form, dan Problem of Art, jika
ditinjau lebih mendalam menampakkan bahwa Langer mengadaptasi teori imitasi
dengan mengakomodasi emosi dan perasaan. Berdasar pandangan tersebut, maka
Dickie menyebut teori Langer sebagai “A Twentieth Century Imitation Theory of
Art” (Dickie, 1997: 58). Pandangan Dickie tersebut menunjukkan bahwa filsafat
seni Langer mengembangkan teori imitasi atau sering pula disebut sebagai teori
representasi yang sudah ada sebelumnya, sehingga menurut peneliti menarik
untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam.
Dari aspek yang lain, Langer sendiri menyatakan bahwa dalam
membangun filsafat seni memilih melakukan refleksi dari perspektif seniman
yang berkarya di studio, dan bukan menggali konsep-konsep tentang seni dari
galeri di mana seni yang sudah jadi disajikan. Langer terinspirasi dari para filsuf
yang membangun filsafat ilmu dari laboratorium dan bukan dari ilmu yang
dihasilkan (Langer, 1953: ix). Pernyataan Langer ini menunjukkan orientasi
subjektif Langer, karena memandang seni sebagai aktivitas seniman berkreasi dan
7
berekspresi. Pendekatan Langer yang berangkat dari seniman berkarya di studio
ini oleh Sudiarja disebut sebagai pendekatan baru dalam estetika (Sudiarja, 1982:
67).
Langer juga menyatakan bahwa tugas filsafat seni adalah mengurai
kekusutan dan mengorganisasi konsep-konsep, untuk memberikan makna yang
pasti dan memuaskan tentang berbagai subjek (pokok soal) dalam hal ini
berkaitan dengan seni. Adalah tidak mungkin berbicara tentang seni tanpa
mengadopsi berbagai ungkapan bahasa para seniman (Langer, 1953: vii, ix).
Pendekatan baru Langer selain berangkat dari proses seniman berkarya juga dari
pendekatan analitika bahasa yang dipergunakan untuk menyusun filsafat seninya.
Selain itu menurut Sudiarja, Langer mencoba merumuskan suatu teori seni dengan
pendekatan teori simbol atau merupakan studi lanjutan mengenai simbol
(Sudiarja, 1982: 67). Pendekatan baru Langer ini menarik perhatian peneliti untuk
mempelajarinya lebih lanjut.
Monroe Beardsley menyatakan bahwa semenjak Nelson Goodman
memublikasikan karangan bertajuk Language of Art pada tahun 1968, problem
representasi kembali mengemuka (Beardsley, 1981: xxxvii). Pendekatan semiotik
terhadap representasi piktorial dan berkonsentrasi pada makna representasi
khususnya representasi piktorial dimulai oleh Goodman dan Gombrich yang
menolak gagasan mimesis berdasar pada “transkripsi” alam dan berkonsentrasi
pada visi subjektif. Visi subjektif Goodman terdapat pada asumsi bahwa denotasi
sebagai inti dari representasi. Visi subjektif Gombrich didasarkan pada gagasan
bahwa orang melakukan pembelajaran untuk menginterpretasi efek visual tentang
8
isyarat alam ke dalam skema yang lebih luas (dalam keanekaan bentuk
penggambaran oleh berbagai kebudayaan maupun berbagai aliran). Goodman
maupun Gombrich tidak memahami representasi sebagai kemiripan namun
merupakan referensi visual (Alperson, 1993: 88-89).
Sementara itu, Bantinaki menyatakan bahwa kajian filosofis tentang
penggambaran (depiction) bertujuan untuk menjelaskan tentang perbedaan
representasi piktorial (dengan gambar) berbeda dengan representasi jenis lain.
Walaupun perenungan tentang sifat gambar memiliki sejarah panjang semenjak
zaman kuno, penggambaran (representasi piktorial) menjadi studi sistematis
semenjak pertengahan abad duapuluh. Para filsuf mendapatkan bahan teoritis dari
perkembangan filsafat bahasa, psikologi visual dan eksperimental, serta
antropologi (Bantinaki, 2009: 238).
Problem representasi piktorial mengemuka dan menjadi studi sistematis
dari para pemikir filsafat seni setelah fisafat seni Langer dibangun. Filsafat seni
Langer belum memfokuskan pembahasannya tentang seni secara khusus,
melainkan masih berfokus pada filsafat seni secara umum. Langer tidak
membicarakan representasi piktorial secara khusus, bahkan istilah “representasi
piktorial” sejauh pengamatan peneliti tidak pernah disebut di dalam karya-
karyanya. Namun demikian, peneliti menemukan banyak ungkapan teoritis
tentang penggambaran (depiction) atau seni piktorial yang tersebar di dalam
berbagai karya filosofisnya. Peneliti meyakini jika dilakukan eksplorasi dan
elaborasi atau ditangani secara seksama dapat ditemukan konstruksi pemikiran
representasi piktorial Langer secara utuh dan komprehensif. Dengan demikian
9
penelitian disertasi ini memiliki objek material gagasan representasi piktorial
dalam pemikiran Langer, sedangkan objek formalnya adalah filsafat seni.
Telah banyak dilakukan penelitian tentang wayang purwa, namun
kebanyakan memusatkan perhatian pada muatan nilai yang terkandung di dalam
cerita. Penelitian ini mencoba melakukan kajian dari sisi yang berbeda, yaitu dari
penggambarannya. Wayang purwa dari suatu sisi sering dianggap sebagai boneka
dari sisi bentuk fisik yang menunjukkan tiga dimensi yang tipis, sisi lain adalah
sebagai gambar dua dimensi. Peneliti memandang wayang kulit sebagai betuk
gambar karena dimensi ketiganya tidak secara nyata mendukung bentuk seni tiga
dimensi seperti halnya seni patung. Bentuk wayang dapat disamakan dengan
gambar tanpa latar belakang. Hasil penelitian tentang representasi piktorial
terutama yang terdapat dalam filsafat seni Langer dapat di manfaatkan untuk
membantu dalam melakukan interpretasi tentang penggambaran wayang kulit
gaya Yogyakarta. Gambar wayang bukanlah “transkripsi” dari alam atau dunia
terindera, melainkan bersumber dari dunia imajinasi manusia yaitu berdasar dari
visi subjektif dari penciptanya.
2. Perumusan masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan maka dapatlah
dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Apa konsep-konsep pokok, sifat dasar yang berlaku bagi setiap seni, serta
bagaimana proses seniman berkreasi dan berekspresi dalam menghasilkan
karya dalam filsafat seni Susanne K. Langer ?
10
b. Bagaimana konstruksi pemikiran representasi piktorial serta argumen yang
dipergunakan untuk menjelaskan tentang sifat dasar, fungsi, dan proses
terbentuknya representasi piktorial dalam filsafat seni Susanne K. Langer ?
c. Apa sumbangan pemikiran representasi piktorial Susanne K. Langer bagi
interpretasi penggambaran wayang purwa gaya Yogyakarta ?
3. Keaslian penelitian
Penenelitian tentang representasi piktorial dalam perspektif filsafat seni
Susanne K. Langer sejauh penelusuran peneliti belum pernah dilakukan. Perlu
peneliti memaparkan beberapa penelitian atau karya tulis yang berkaitan dengan
objek material penelitian yaitu representasi piktorial, dan objek formal penelitian
yaitu filsafat seni Susanne K. Langer.
N.G.Chernyshevsky menulis yang disebut sebagai disertasinya, diterbitkan
dengan judul The Aesthetic Relation of Art to Reality pada tahun 1953,
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Hubungan Estetik Seni dengan Realitas.
Chernyshevsky membahas estetika dan seni secara umum, dan menyatakan bahwa
seni berkedudukan lebih rendah dari realitas. Seni kurang lebih sekedar
merupakan imitasi dari realitas, dan karya seni yang baik mendekati
kesempurnaan tetapi tidak pernah benar-benar mencapainya. Pandangan ini
merupakan kritik atas estetika Hegel dan pengikut-pengikutnya. Hegel
berpendapat bahwa ide absolut hanya menemukan realisasinya yang sempurna
dalam keseluruhan ruang dan keseluruhan keberadaan alam semesta. Objek
khusus yang dibatasi ruang dan waktu merupakan bentuk manifestasi terbatas
11
yang tidak pernah sempurna, maka seni mempunyai peluang untuk
menyempurnakannya. Chernyshevsky menyatakan bahwa seni tidak perlu malu
untuk mengakui keunggulan realitas, seperti ilmu tidak malu untuk mengatakan
tujuannya adalah memahami dan menjelaskan realitas secara terbatas.
Samuel Bufford di dalam “The Journal Aesthetics and Art Criticism”
volume 31, halaman 9-20, tahun 1972, membahas filsafat seni Langer dengan
judul “Susanne K. Langer Two Philosophies of Art.” Bufford menjelaskan bahwa
Langer mengajukan dua teori yang berbeda, yaitu expression theory dengan
percievability theory tentang seni. Menurut Bufford dua teori ini satu dengan yang
lain berbeda dan tidak dapat dipersatukan (Bufford, 1972: 9-20).
A. Sudiarja menulis naskah yang dimuat dalam buku “Manusia Multi
Dimensional : Sebuah Renungan Filsafat, dengan judul “Susanne K. Langer :
Pendekatan Baru dalam Estetika”, pada tahun 1982, pada halaman 69-81.
Sudiarja membahas antara lain : teori simbol Langer dan mengungkapkan bahwa
seni sebagai simbol presentasional berbeda dengan smbol diskursif, definisi seni
Langer yang diambil dari karya “Feeling and Form” yaitu sebagai bentuk
simbolis, penciptaan seni, dan seni sebagai bentuk hidup (living form).
Dibyasuharda menulis disertasi berjudul Dimensi Metafisik dalam Simbol :
Ontologi Mengenai Akar Simbol, pada tahun 1990. Disertasi tersebut memuat
teori simbol dari Susanne K. Langer pada sub-bab pada bab III. Pembahasan
dalam disertasi tersebut berkonsentrasi pada teori simbol Langer tanpa membahas
lebih spesifik tentang teori simbol itu terkait dengan konsep seni ataupun filsafat
12
seni. Dibyasuharda hanya berfokus pada pemikiran atau teori simbol Langer yang
termuat dalam Philosophy of A New Key saja.
Soewarno menulis karya berjudul “Dimensi Estetika Kesenian Tradisional
Lengger Banyumasan Kajian Teori Susanne K. Langer” untuk mencapai dejarat
sarjana S-2 pada Fakultas Filsafat UGM pada tahun 2005. Salah satu kesimpulan
penilitian ini yang berkaitan dengan pemikiran Susanne K. Langer adalah, bahwa
menurut Langer semua seni mempunyai persamaan antara lain yang disebut
ekspresi, bentuk/wujud dan kreasi. Langer mengemukakan tentang simbol seni
yang merupakan metafora suatu citra yang lahir atau kedalaman makna harfiah
yang samar, karena kesadaran sebenarnya, emosi, vitalitas, gejolak yang dirasakan
dalam kapasitas batiniah.
Novella Parchiano menulis karya berjudul “Konsep Seni dalam
Ekspresivisme” dalam tesis S-2 pada Fakultas Filsafat UGM pada tahun 2008.
Hasil dari penelitian ini yang diungkapkan bahwa hakikat seni menurut
ekspresivisme adalah ekspresi emosi. Sub-aliran di dalam ekspresivisme, yaitu :
ekspresivisme harian maupun ekspresivisme lanjut memiliki beberapa pokok
persamaan, perbedaan, dan kelemahan dalam konsep kualitas seni, sarana seni,
kandungan seni, dan audien seni. Aliran ini mempunyai andil besar dalam
membedakan antara memahami seni secara imajinasi dan konseptual. Karya ini
tidak membahas pemikiran Langer, namun tokoh-tokoh seperti Ducase, Tolstoy,
Collingwood, dan sebagainya.
Penelitian sebagai studi awal tentang representasi piktorial telah peneliti
lakukan dengan judul “Esensi Gambar dalam Perspektif Filsafat Seni” pada
13
tahun 2012. Melalui penelitian ini peneliti memperoleh pandangan tentang
representasi piktorial secara garis besar dari berbagai tokoh, sehingga peneliti
tertarik untuk meneliti lebih lanjut dalam disertasi ini.
Penelitian sebagai studi awal terhadap objek material yaitu filsafat seni
Susanne K. Langer, telah peneliti lakukan, yaitu :
a. Penelitian berjudul “Esensi Seni dalam Pemikiran Susanne K. Langer”, pada
tahun 2010. Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan pokok-pokok
pemikiran seni, sehingga dapat ditemukan esensi seni dalam pemikiran Langer.
Penelitian ini juga untuk memperjelas posisi filsafat seni Langer di antara
pemikiran filsafat seni dan juga pandangan-pandangan tentang seni dari
pemikiran tokoh-tokoh yang lain.
b. Penelitian berjudul “Seni dan Bukan Seni Dalam Pemikiran Susanne K.
Langer”, pada tahun 2011. Penelitian ini mengungkapkan pandangan Langer
berkaitan dengan seni sebagaimana sering dipahami sebagai gejala universal
yang telah ada semenjak dahulu kala dalam sejarah umat manusia dan belum
dibedakan dengan produk kerajinan (craftmanship), sementara itu pada era
moderen seni dibedakan dengan hasil kerajinan dan memiliki kriteria yang oleh
para filsuf seni ditafsirkan secara berbeda-beda. Penelitian ini juga
mengungkapkan kriteria umum yang berlaku bagi setiap seni.
Setelah peneliti memutuskan filsafat seni Susanne K. Langer sebagai objek
material dalam penulisan disertasi, peneliti melakukan penelitian penunjang
disertasi berjudul “Konsep Seni dalam Pemikiran Susanne K. Langer.” Penelitian
14
ini sengaja dimaksudkan untuk menunjang penulisan atau pembahasan yang
merupakan sub-bab dalam pembahasan filsafat seni Susanne K. Langer.
Berdasar penelusuran tersebut di atas maka menurut peneliti belum ada
penelitian yang khusus meneliti representasi piktorial dari sudut tinjauan filsafat
seni Susanne K. Langer
4. Manfaat Penelitian
a. Bagi peneliti penelitian memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan
dalam bidang filsafat seni pada umunya, serta filsafat seni Susanne K.
Langer dan representasi piktorial pada khususnya.
b. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini menambah referensi tentang kajian
filsafat seni dalam Bahasa Indonesia yang pada saat ini kajian dan buku
tentang filsafat seni masih jarang ditemukan.
c. Bagi bangsa dan negara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan bagi pemahaman filsafat wayang sehingga wayang sebagai
salah satu hasil budaya Indonesia dapat difahami lebih mendalam.
B.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Melakukan deskripsi sistematis dan memadahi tentang konsep-konsep pokok,
sifat dasar yang berlaku bagi setiap seni, serta proses seniman berkreasi dan
berekspresi dalam menghasilkan karya dalam filsafat seni Susanne K.
Langer.
15
2. Menemukan konstruksi dan kejelasan pemikiran representasi piktorial, serta
argumen yang dipergunakan untuk menjelaskan sifat dasar, fungsi, dan proses
terbentuknya representasi piktorial dalam filsafat seni Susanne K. Langer.
3. Menemukan sumbangan pemikiran representasi piktorial Susanne K. Langer
terhadap interpretasi penggambaran wayang purwa gaya Yogyakarta.
C. Tinjauan Pustaka
Asumsi yang sangat tua dari representasi piktorial, yaitu bahwa gambar
yang tepat dari sebuah objek adalah yang menyerupai objek. Semakin menyerupai
objek sebuah gambar semakin baik dan semakin sempurna, sebaliknya gambar
yang tidak menyerupai atau menyimpang dari objek adalah gambar yang kurang
baik atau tidak baik. Gambar adalah tiruan dua dimensi dari objek-objek tiga
dimensi yang ditemukan dalam realitas terindera atau yang dialami. Di dalam
tradisi pemikiran filsafat Barat Plato dan Aristoteles telah menjelaskan hal
tersebut. Plato menaruh minat terhadap seni rupa khusunya seni lukis, berdasar
refleksi kritis di dalam bidang tersebut, teori atau pandangannya tentang seni
disusun. Berbeda dengan Plato, Aristoteles dalam menyusun teori seninya dengan
jalan melakukan analisis terhadap sastra khusunya puisi dan drama sebagai dasar
menyusun teori seninya. Akhirnya teori seni Plato dan Aristoteles ini ditarik pada
kesimpulan umum bahwa seni merupakan imitasi (mimesis) dari realitas, yaitu
bahwa produk seni seperti lukisan, karya sastra dan lain-lain adalah imitasi dari
benda-benda atau peristiwa yang ada di alam, Matius Ali (2011: 15-16)
menyatakan:
16
Pandangan Plato tentang karya seni dikenal sebagai teori mimesis
(representasi, tiruan). Teori ini mengemukakan bahwa segala yang ada di
dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang “asli” di dunia Ide. Dalam
Republic, Plato menjelaskan bahwa seorang pengrajin yang membuat sebuah
kursi, sebenarnya menirukan “Bentuk” (Form) “kekursian” (Chairness) dan
seorang artis yang melukis sebuah kursi tersebut. Karenanya, yang terjadi
adalah tiruan dua tingkat (2 levels of imitation)...Itulah sebabnya kenapa ia
menyebut karya seni sebagai ‘tiruan dari’ (mimesis-memeseos).
Oleh karena pandangan Plato bahwa karya seni merupakan tiruan literal
dan objek atau peristiwa yang dialami dalam kehidupan, maka Jerome Stolnitz
menyebutnya sebagai simple imitation. Stolnitz menyatakan:
This will suggest to the reader the historical scope of “simple imitation”. The
first statement of this theory is I have noted, in Plato in his dialogue. The
Republic, he says that the poet or pamter, “besides producting any kind of
artificial thing...can create all plants and animals, him self in cluded, and
earth and sky and gods and the heavenly bodies and all the things under
earth in Hades” (Stolnitz, 1960: 111).
Simple imitation ditemukan juga dalam pernyataan Leonardo da Vinci seorang
pelukis besar Renaisance..., Leonardo da Vinci, describing painting as “the sole
imitator of all visible work of nature”, and saying “That painting is the most
praise worthy which is most like the thing represented” (Stolnitz, 1960: 111).
Teori imitasi dari Aristoteles berbeda dengan Plato, Aristoteles
berpendapat bahwa seni tidak meniru secara literal suatu objek atau peristiwa.
Penggambaran atau deskripsi peristiwa partikular merupakan tugas dari seorang
sejarawan, tugas seorang seniman adalah menampilkan sesuatu yang universal
atau esensi dari objek para pelukis purba seperti pelukis rusa kutub maupun bison
berbaring di gua Font-de-Gaume maupun di gua Altamira tidak harus membawa
rusa kutub dan bison ke dalam gua sebagai model. Para pelukis melukis atau
menggambar cukup mempergunakan kemampuan imajinasinya tentang binatang
17
tersebut. Hal ini juga dapat dilakukan oleh para pelukis dan anak-anak masa kini,
tidak melukis atau menggambar sesuatu yang khusus seperti gambar si anu atau
peristiwa tertentu, sebagaimana seorang sastrawan dapat berceritera sesuatu yang
berupa rekaan. Menurut Stolnitz teori seni Aristoteles termasuk dalam kategori
imitation of essence theory, sebagaimana dinyatakan:
Aristoteles discussion in the Poetic was, however, elaborated by later
thinkers into a theory of “fine art” generally-We shall call this theory of
“imitation of essence”.
...In philosophy, “essence” signifies those properties or characteristics which
an object must posses if it is to be an object of certain class or kind (Stolnitz,
1960: 120).
Sebuah lukisan dapat menggambarkan manusia, pohon, bunga tanpa harus
menggambarkan bagian-bagiannya secara detail sebagaiman gambar yang
diperoleh memakai alat fotografi. Sebuah gambar dapat sekedar berupa sketsa
yang hanya merupakan bentuk bagan dari objek, tidak harus berwarna
sebagaimana objek nampak dalam realitas. Sebuah gambar dikenali sebagai
gambar manusia, pohon atau bunga karena bentuknya memperlihatkan kesamaan
dengan bentuk esensial yang diketahui oleh pengamat.
Seorang seniman melakukan seleksi terhadap objek yang hendak
direpresentasikan atau hendak dilukis, tidak setiap objek dikehendaki dan
diangkat sebagai objek lukisan, melainkan memilih objek yang dianggap ideal
dari bentuk maupun dari pertimbangan pesan yang hendak disampaikan. Selain
mengemukakan simple imitation dan imitation of essences, Stolnitz juga
mengajukan imitation of the ideal.
...The author and painter must either depict events which are, in
themselves,praiseworthy, e.g., a classic episode of heroism, or else he should
“idealize” the “real life” object, by removing its moral imperfections. In the
18
seventeenth and eighteenth centuries this is known as the doctrine of la bella
nature-“beautyful nature”. This doctrine includes not only moral, but also
aesthetic “idealization”, ... (Stolnitz, 1960: 128)
Monroe C. Beardsley di dalam bukunya Aesthetics membahas representasi
di dalam seni visual yang mencakup seni piktorial. Beardsley membedakan objek
representasi itu dalam dua kategori yaitu objek yang pernah eksis dan objek yang
tidak pernah eksis. Representasi diartikan sebagai “a relation between a design
and something else”. Penggambaran tentang objek yang tidak pernah eksis seperti
lukisan : amazon (wanita berkuda), griffin (binatang khayalan dengan badan dan
kaki belakang seperti singa, kepala dan sayap seperti elang), chimera (monster
yang berkepala singa, bertubuh kambing, berekor ular) atau makhluk yang
menakutkan, kota masa depan, dan sebagainya Beardsley sebut sebagai “depict”.
Penggambaran sesuatu yang pernah eksis seperti potret diri Rembrant misalnya,
disebut dengan “portrayal”. (Beardsley, 1981 : 269-272). Beardsley menyatakan
bahwa : “Each of these subjects is particular object, or particular group of object,
either named or referred to by a unique description. Boardening slightly term
already in use, we may call this sort of representation portrayal (Beardsley, 1981
: 273).
E.H. Gombrich di dalam “Art and Illusion: A Study in the Psichology of
Pictorial Representation”, menyatakan bahwa copy theory of representation yang
berpendapat bahwa seni sebagai salinan realitas, tidak mampu menjelaskan
tentang perbedaan representasi dunia terindera dalam berbagai masa dan negara.
Hal itu oleh Gombrich disebut sebagai teka-teki tentang gaya (ridle of style).
Gombrich berpendapat bahwa copy theory berdasar kepada apa yang disebutnya
19
sebagai “myth of innocent eye” (mata yang tidak bersalah), yaitu gagasan yang
berasal dari penglihatan adalah suatu bahan registrasi pasif dari data mental indera
visual. Copy theory memiliki keyakinan bahwa pelukis mampu meproduksi dan
menghadirkan representasi imaji yang ada di dalam retina. Di dalam kenyataan
seni tidak sekedar ditangani dengan satu model yang statis. Menurut Gombrich
penglihatan adalah proses aktif dari pencarian motif-motif ke dalam skema yang
akrab atau dikenali. Melihat adalah kondisi yang bergantung kepada kebiasaan-
kebiasaan dan harapan-harapan, seniman representasional tidak memulai dari
impresi visual, namun dengan gagasan atau konsepnya. Seniman cenderung
melukis lebih dari sekedar bersandar pada apa yang dilihatnya. Gaya bukanlah
tambahan dari proses representasi. Perbedaan gaya artistik adalah seperti
perbedaan bahasa. Seseorang harus belajar membaca (bahasa) agar mengerti
dengan benar. Sejarah tentang gaya atau style adalah sejarah tentang evolusi
bahasa ini (Alperson, 1992: 58).
Nelson Goodman bersikap sama dengan Gombrich yang menyerang copy
theory, dan berpendapat bahwa terdapat hubungan antara representasi piktorial
dengan representasi verbal. Jika Gombrich melihat pengamat realisme berusaha
untuk menciptakan secara berhasil sebuah ilusi, maka Goodman berpendapat
bahwa representasi piktorial sebaiknya difahami sebagai model “linguistic
denotation”. Gambar manusia, tempat-tempat, benda-benda atau sekelompok
pokok soal atau tema menunjukkan kesulitan untuk didasarkan pada “kemiripan”
sebagai dasar teori. Representasi yang realistis bukanlah hubungan konstan atau
mutlak antara gambar dengan objek, melainkan hubungan antara sistem
20
representasi yang digunakan dengan sistem standar. Kemiripan bukanlah kondisi
yang cukup atau yang diperlukan untuk suatu representasi. Model denotasi
linguistik memungkinkan untuk mewadahi representasi piktorial terhadap hal-hal
yang fiktif tentang orang, tempat, benda-benda, subjek yang bersifat umum (a
class of subjects) yang tidak memadai untuk ditangani dengan teori berbasis
kemiripan (Alperson, 1992: 69).
Para pemikir awal terutama penganut teori mimesis yang sering disebut
copy theory memandang representasi piktorial sebagai hubungan antara gambar
dengan objek yang digambar berdasar kemiripan antara keduanya. Jika Goodman
menyatakan bahwa representasi piktorial bukanlah hubungan yang konstan atau
tetap antara gambar dengan objek, sehingga kemiripan bukan kondisi yang cukup
diperlukan bagi suatu representasi. Berbeda dengan pemikiran tersebut di atas
Kendall L. Walton menyatakan bahwa para teoritisi tersebut ialah menempatkan
kemiripan itu secara keliru. Walton menyatakan :
Most disputes about the role of resemblance in depiction and pictorial
realism have been misquided in my opinion. Theorist have looked for
resemblances in the wrong place. Rather then asking abaout resemblances
beetwen pictures and the things they pictures. We should consider
resemblance between looking at pictures and looking at things. The
significant similarities are to be found between the acts of preception, not
between the thing percieved...
Picture are props in games of make-believe. They function in many
ways as dolls., hobby horse, and toy truck do. (There are important
diferences too, but i will focus on the similarities now). We can speak the
world of game of dolls in which the participants bathe and dress babies, rock
them to sleep, etc. Likewise there are world (pictional worlds) associated
with the games viewers play with painting (Walton, 1992: 103).
Walton tidak bermaksud untuk menjelaskan gambar itu merupakan sesuatu
yang fiktif. Walton ingin menyatakan bahwa semua gambar representasi membuat
21
orang yang mengamati masuk ke dunia fiksi, suatu permainan khayalan (game of
make-believe), serentak antara orang dan objek yang digambarkan (Walton, 1992:
103). Dengan gambaran semacam itu maka gambar naturalis dan yang tidak realis
kedudukannya sama, di dalam dunia permainan dianggap sama nyatanya.
Malcolm Budd mencoba memperbarui teori representasi kemiripan
(resemblance theory of representation), yaitu teori yang menyatakan bahwa
representasi piktorial berdasar pada relasi kemiripan antara representasi dengan
objek yang direpresentasikan. Budd mengadopsi pandangan psikologi persepsi
(perceptual psychologist) dari James J. Gibson, yang membedakan antara persepsi
terhadap visual world objek yang bersifat tiga dimensi dengan visual field yaitu
objek gambar dua dimensi. Budd menyatakan:
...The division it highlights introduces a distinction between my visual field
and my visual world that is quite different from early Gibsonian conceptions,
according to which the visual world is just the world (as we see it to be) and
the visual field is never wholly depthless. I shall understand the distinction in
such a way that my visual field is proprer part of my visual world...(Budd,
2004: 385).
Oleh karena itu representasi piktorial merupakan kemiripan dengan salah satu
sudut pandang dari pengalaman terhadap dunia terindera.
Richard Wollheim menyatakan bahwa terdapat dualitas ketika seseorang
melakukan kegiatan persepsi terhadap gambar, Wollheim menyebutnya
“twofoldness”. Pengalaman atau tindakan mempersepsi terhadap permukaan
gambar (seperti foto adalah kertas berbentuk persegi) disebut sebagai objek
“configurational”, sedangkan tindakan mempersepsi objek yang teramati dalam
gambar sebagai objek “recognitional”. Ketika melihat gambar seseorang secara
simultan menyadari bentuk permukaan gambar dan sekaligus objek yang terdapat
22
di dalam gambar. Tindakan mempersepsi atau melihat gambar semacam itu
Wollheim sebut sebagai “seeing in”
...the British philosopher Richard Wollheim proposes that representation
involves not seeing as but seeing in. We see the pictures subject in the painted
surface and are simultaneously aware of both. Wollheim refer to the
twofoldness of the experience as characteristic of representation (Davies,
2009: 170).
Slamet Sutrisno bersama tim penulis dan peneliti wayang dalam
kesimpulannya menyatakan bahwa :
Dari perspektif semiotik wayang baik secara gestalt maupun segmental
merupakan sebuah simbol, yakni simbolik dari hidup dan kehidupan manusia.
Disisi lain akan dijumpai perspektif ikonik dan indeksikal diantara bagian-
bagian atau detail-detail pewayangan. Bentuk-bentuk wayang secara
individual merupakan ikon seperti tampak dalam tokoh-tokoh wayang,
peralatan berupa senjata dan sebagainya, ...Tiap-tiap wayang tersebut mau
menggambarkan realitas, sama halnya sebuah patung kuda mau
menggambarkan realitas kuda (Sutrisno, dkk, 2009: 178).
Aart van Zoest (1993: 14, 22, 23) menyatakan bahwa sebuah gambar dan semua
hal yang melukiskan seperti foto atau lukisan, karena corak tandanya terutama
diperoleh dari suatu hubungan persamaan antara tanda dan denotatum adalah
tanda ikonis. Denotatum adalah unsur kenyataan yang ditunjuk oleh tanda yang
Peirce sendiri mempergunakan istilah “objek”. Antara tanda yang ditunjuk oleh
tanda terdapat relasi sehingga tanda mempunyai sifat representatif.
D. Landasan Teori
Pandangan tradisional tentang seni berdasar pada jenis kepemilikan
(property) yang menjadi ciri atau sifat dari setiap seni. Seni dapat dipandang dan
dengan objek maupun pokok soal yang direpresentasikan, maka seni sering
23
dipandang memiliki sifat representasional. Berdasarkan atas sifat tersebut
munculah teori mimesis atau teori representasi. Seni dapat pula dilihat dari
kaitannya dengan subjek seniman yang berkarya dan dipahami sebagai sifat
ekspresif yang memunculkan teori ekspresi. Seni dapat pula dilihat sebagai bentuk
atau dari artefaknya maka memunculkan teori formalis, dan organis.
Teori awal tentang filsafat seni dikenal dalam pemikiran Plato dan
Aristoteles dengan teori mimesis. Dalam tradisi pemikiran filsafat Barat tentang
esetetika dan seni, konsep imitasi atau mimesis telah menjadi pusat usaha untuk
menyusun teori tentang esensi ekspresi artistik, imitasi atau mimesis kemudian
dijadikan atau ditempatkan sebagai karakteristik yang membedakan karya seni
dengan fenomena yang lain. Dengan kata lain bagi Plato dan Aristoteles imitasi
merupakan kondisi yang diperlukan dalam praktek berkesenian ciri umum tentang
apa yang disebut sebagai karya seni harus memiliki sifat imitatif, dan jika sesuatu
tidak memiliki ciri itu maka bukan merupakan karya seni. Noel Carroll
menyatakan bahwa teori mimesis dari Plato dan Aristoteles tersebut terlalu
eksklusif dan harus berhadapan dengan pengecualian-pengecualian yang terlalu
banyak. Namun demikian, seorang pendukung teori imitasi dalam seni dapat
mengatakan bahwa sebagian besar karya seni dan yang paling mengemuka atau
menonjol seperti lukisan, drama, opera, patung adalah bentuk peniruan dari orang,
benda, tempat, tindakan, atau peristiwa (Carroll, 1999: 22).
Mengatasi kekurangan teori imitasi itu, maka teori imitasi direkonstruksi
menjadi teori representasional (representasional theory) tentang seni yang secara
umum memiliki jangkauan lebih luas. Konsep representasi lebih luas dari konsep
24
imitasi, atau imitasi sebagai sub-kategori dari representasi. Namun demikian, teori
inipun dipandang kurang memadai karena tidak semua karya seni bersifat
representasional. Oleh karena itu kemudian muncul variasi dari teori tersebut,
yaitu teori neo-representasional yaitu bahwa untuk dapat disebut sebagai karya
seni maka harus memiliki pokok soal (subject). Menurut teori neo-
representasional, semua yang merupakan karya seni tentu memiliki aboutness
yaitu memiliki konten semantik atau memiliki subjek (pokok soal) yang
mengungkapkan/mengekspresikan sesuatu. Guernica karya Picasso, misalnya
adalah lukisan tentang pemboman yang menakutkan. Fountain dari Marcell
Duchamp disebut sebagai karya seni karena memiliki aboutness, berbeda dengan
tempat kencing (urinal) biasa dalam dunia nyata yang bukan karya seni (Carroll,
1999: 25-27).
Istilah teori ekspresi (exspression theory) dapat dipergunakan dalam
lingkup luas dan dapat pula dipergunakan dalam arti sempit. Secara umum teori
ekspresi adalah pemikiran bahwa dalam menciptakan karya seni, seniman dengan
berbagai cara berusaha mewujudkan (embody) keadaan pikiran dalam karyanya
untuk disampaikan di depan penonton atau audience. Teori ekspresi yang luas
ditemukan dalam pandangan Leo Tolstoy. Tolstoy menganggap bahwa seni
sebagai aktivitas manusia harus membuktikan diri berharga secara moral dan
kehidupan agama (mewujudkan cita-cita Kristiani), selain untuk menularkan
(infection) perasaan seniman kepada orang lain. Teori ini memiliki kelemahan
adalah bahwa karya seni menjadi kendaraan untuk mentransmisikan ide-ide moral
dan keagamaan. Teori ekspresi sempit mengacu pada teori Benedetto Croce dan
25
Collingwood yang membatasi pada ekspresi emosi seniman (Matravers, 2009:
264). Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya dalam tinjauan pustaka bahwa
teori ekspresi dapat mengungkapkan dua kemungkinan, yaitu karya seni sebagai
ekspresi emosi seniman, dan kemungkinan kedua seni bersifat ekspresif dapat
membangkitkan emosi pengamat atau audien.
Teori ekspresi dalam lingkup luas sebagaimana dikemukakan oleh Tolstoy
mendapatkan reaksi dari para kritikus seni maupun seniman. Para kritikus dan
seniman banyak yang menolak bahwa seni harus mengabdi kepada bidang lain,
dan menginginkan atau mempunyai gagasan bahwa seni sebagai bidang yang
mandiri dan memiliki nilainya sendiri (nilai intrinsik). Reaksi ini memunculkan
gerakan yang bersemboyan “seni untuk seni”.pandangan filsafat seni terbagi
dalam dua kelompok yang berbeda dalam menilai suatu karya seni. Teori ekspresi
terutama dalam lingkup yang luas sebagaimana antara lain dikemukakan Tolstoy
lebih mementingkan pernilaian seni dari segi isi, dilain pihak Roger Fry dan Clive
Bell beserta pendukungnya menilai karya seni dari segi bentuknya. Teori Roger
Fry dan Clive Bell disebut sebagai teori formalis. Fry dan Bell sebagian besar
tulisan-tulisannya tentang seni lukis, namun keduanya menegaskan bahwa teori
yang dikemukakannya dapat diterapkan dalam bidang seni yang lain. Bell
menyatakan bahwa hubungan elemen-elemen plastis dalam lukisan, yaitu
kombinasi garis, warna, bentuk, volume yang ada di kanvas, kecuali elemen
representasional dapat membangkitkan emosi spesifik yang disebutnya sebagai
bentuk bermakna (significant form). Bentuk signifikan hanya dimiliki oleh karya
seni dan tidak dimiliki oleh hal-hal yang lain (Weitz, 1995: 185). Teori formalis
26
mengesampingkan elemen representasional dan isi yang hendak disampaikan atau
dieskpresikan seniman. Sementara itu, teori organis menyatakan bahwa seni
merupakan keutuhan organis dari berbagai macam unsur yang tersaji dalam media
sensual. Setiap karya seni memiliki kompleksitas hubungan yang unik; misalnya
dalam lukisan garis, warna, volume, pokok soal, dan lain-lain, semuanya
berinteraksi satu dengan yang lain dalam permukaan lukisan.
E. Cara Penelitian
1. Bahan atau materi penelitian
Penelitian filsafat dalam disertasi ini adalah penelitian pustaka dengan
mengambil bentuk model penelitian historis-faktual mengenai tokoh (Bakker dan
Zubair, 1994: 61). Objek material penelitian ini adalah representasi piktorial
dalam pemikiran Susanne K. Langer, dengan sudut tinjauan atau objek formal
filsafat seni Susanne. Adapun bahan kepustakaan yang dipergunakan sebagai
sumber penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kepustakaan primer
1) Langer. Susanne K., 1953, Feeling and Form : A Theory of Art
Developed from Philosophy in a New Key, Charles Seribner’s Sons,
New York.
2) Langer. Susanne K., 1957, Problem of Art: Ten Philosophical
Lectures, Charles Scribners sons, New York
3) Langer. Susanne K., 1964, Philosophycal Sketches: A Study of Human
Mind in Relation to Feeling, Explored Through Art, Language, and
Symbol, The John Hopkins Press, Baltimore
27
4) Langer. Susanne K., 1978, Philosophy In A New Key: A Study in The
Symbolism of Reason, Rite and Art, Harvard University Press, USA.
5) Langer. Susanne K., 1980, An Essay on Human Feeling, vol I, The
John Hopkins University Press, Baltimore and London.
6) Kepustakaan filsafat yang membahas tentang representasi piktorial.
b. Kepustakaan sekunder
1) Buku-buku dan artikel yang memuat pemikiran filsafat seni Susanne
K. Langer.
2) Buku-buku filsafat seni pada umumnya.
2. Jalan penelitian
Penelitian disertasi ini merupakan penelitian kualitatif dengan model
penelitian kepustakaan, maka langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Mengidentifikasi dan melacak sumber pustaka:
1) Buku-buku dan artikel dari Susanne K. Langer yang berkaitan dengan
pemikirannya tentang seni.
2) Buku-buku dan artikel yang memuat tentang representasi piktorial.
3) Pemikiran dan tawaran pemecahan masalah yang telah dilakukan para
pemikir berkaitan dengan problem representasi piktorial.
b. Membuat skema awal tentang :
1) Pemikiran filsafat seni Susanne K. Langer.
2) Problematik dan polemik yang telah mendapat perhatian para pemikir
tentang representasi piktorial.
28
3) Relevansi pemikiran Susanne K. Langer dalam memecahkan problem
representasi piktorial.
c. Teknik pengumpulan data
Kaelan (2012: 163-168) penelitian kepustakaan proses pengumpulan
data adalah membaca dan mencatat informasi yang terkandung di dalam
data dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang
berkaitan dengan penelitian. Langkah-langkah pengumpulan data tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Membaca pada tingkat simbolik.
Pada tahap ini peneliti membaca sumber pustaka untuk menangkap
sinopsis dari isi buku, bab yang menyusunnya sampai bagian terkecil dari
buku. Membaca pada tingkat simbolik ini terutama untuk memenuhi dan
mengembangkan peta penelitian dengan menangkap kategori atau sub
kategori dari data yang dikumpulkan. Data yang diperoleh disusun
menurut sistematisasi dari peta penelitian.
2) Membaca pada tingkat semantik
Pada tahap semantik peneliti mengumpulkan data dengan membaca
lebih terinci, terurai dan menangkap esensi dari data primer dan
dilanjutkan pada data sekunder untuk pengayaan. Dalam rangka menyusun
rencana laporan penelitian. Hasil pembacaan yang terinci dan terurai
tersebut dicatat secara quotasi yaitu dengan mengutip secara langsung
tanpa mengubah teks dari pengarang. Peneliti juga melakukan pencatatan
secara paraphrase yaitu menangkap intisari hasil pembacaan dengan
29
kalimat atau yang disusun oleh peneliti sendiri. Data yang lain dicatat
secara sinoptik atau dengan cara membuat ikhtisar yang merupakan
sinopsis atau ringkasan hasil bacaan yang memuat unsur-unsur yang sama
secara logis yang terkandung dalam data.
d. Melakukan pengolahan data dengan melakukan evaluasi data tahap demi
tahap, memperhatikan koherensi serta hubungan logis antara unsur-unsur
terkait konsep pemikiran filsafat seni Susanne K. Langer dengan problem-
problem representasi piktorial.
e. Merefleksikan hasil-hasil dari pengolahan data terkait dengan filsafat seni
Susanne K. Langer dan pendapat-pendapat tentang representasi piktorial
untuk dapat dirumuskan relevansinya terhadap penggambaran wayang
purwa gaya Yogyakarta
3. Analisis hasil
Penelitian ini mempergunakan pendekatan hermeneutika. Analisis hasil
dalam penelitian disertasi ini mempergunakan unsur metodis, mengikuti
pemikiran Bakker dan Zubair (1994: 64-65) sebagai berikut :
a. Deskripsi
Peneliti berusaha menguraikan secara teratur pendapat-pendapat para
tokoh berkaitan dengan objek material penelitian ini, yaitu tentang
representasi piktorial. Peneliti juga berusaha untuk menguraikan setepat
mungkin pemikiran filsafat seni Susanne K. Langer sebagai objek
material penelitian ini.
30
b. Koherensi intern
Agar dapat memberikan interpretasi secara tepat mengenai pemikiran para
tokoh terutama tentang representasi piktorial dan filsafat seni Susanne K.
Langer perlu dicari inti pemikiran dan topik-topik sentral, dan diteliti
secara logis-sistematis tentang pemikirannya secara keseluruhan.
c. Kesinambungan historis
Pemikiran seorang tokoh berada dalam keterkaitan dengan pemikiran
tokoh lain, sehingga perlu untuk mencari latar belakang pemikiran yang
mempengaruhi. Konsep-konsep tentang topik yang sejenis atau yang
sama diletakkan dalam urutan kronologis sehingga diketahui benang
merah atau kesinambungan pendapat-pendapat para tokoh. Pemikiran
para tokoh perlu diperbandingkan satu dengan yang lain agar dapat
diketahui persamaan dan perbedaan dari pendapat-pendapat yang
dikemukakan.
d. Bahasa inklusif atau analogal
Filsuf sering mempergunakan bahasa atau isitilah yang diberikan makna
secara khusus yang berbeda dengan makna yang diberikan oleh filsuf atau
pemikir yang lain, sehingga peneliti perlu mengetahui pemakaian bahasa
atau istilah dari tokoh yang dibahas dalam penelitian.
e. Heuristika
Problem representasi piktorial bukan merupakan pembahasan secara
khusus apa lagi menjadi ciri khas dari filsafat seni Susanne K. Langer.
Peneliti berusaha untuk menemukan pendapat Langer tentang representasi