33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Studi ini bermaksud mengkaji tentang fenomena presidential party di Indonesia dimana presidential party merupakan istilah yang peneliti pakai untuk mengkaji gejala pembentukan partai-partai politik baru yang dirikan oleh elit poilitik sebagai sarana untuk mencalonkan diri sebagai kepala pemerintahan atau presiden. Karena hingga saat ini belum ada ilmuan atau akademisi yang mengkaji serta merumuskan pengertian presidential party secara teoritis. Seperti diketahui jauh sebelum republik ini lahir, partai politik di Indonesia hadir dan pernah menjadi alat perjuangan untuk membentuk negeri ini. Pada setiap era yang dilaluinya, partai politik di Indonesia hadir dengan berbagai latar belakang yang beragam maksud dan tujuan pula mengingat banyak kepentingan politik didalamnya. Pada dasarnya kehadiran partai politik selama ini adalah untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang berbeda pada setiap zaman yang dilalui, meskipun pada titik tertentu seringkali partai politik kehilangan akan relevansinya. Pemilihan umum Era Reformasi untuk memilih partai politik dilaksanakan pertama kali pada tahun 1999 pada masa pemerintahan BJ Habibie, mirip pada peristiwa yang pernah terjadi pada pemilu tahun 1955, setidaknya hal itu dibuktikan dengan banyaknya partai politik baru yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77931/potongan/S2-2015... · oleh elit poilitik sebagai ... berpartisipasi secara aktif dalam setiap proses

  • Upload
    buikien

  • View
    220

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

 

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi ini bermaksud mengkaji tentang fenomena presidential party di

Indonesia dimana presidential party merupakan istilah yang peneliti pakai

untuk mengkaji gejala pembentukan partai-partai politik baru yang dirikan

oleh elit poilitik sebagai sarana untuk mencalonkan diri sebagai kepala

pemerintahan atau presiden. Karena hingga saat ini belum ada ilmuan atau

akademisi yang mengkaji serta merumuskan pengertian presidential party

secara teoritis. Seperti diketahui jauh sebelum republik ini lahir, partai politik

di Indonesia hadir dan pernah menjadi alat perjuangan untuk membentuk

negeri ini. Pada setiap era yang dilaluinya, partai politik di Indonesia hadir

dengan berbagai latar belakang yang beragam maksud dan tujuan pula

mengingat banyak kepentingan politik didalamnya. Pada dasarnya kehadiran

partai politik selama ini adalah untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang

berbeda pada setiap zaman yang dilalui, meskipun pada titik tertentu

seringkali partai politik kehilangan akan relevansinya.

Pemilihan umum Era Reformasi untuk memilih partai politik

dilaksanakan pertama kali pada tahun 1999 pada masa pemerintahan BJ

Habibie, mirip pada peristiwa yang pernah terjadi pada pemilu tahun 1955,

setidaknya hal itu dibuktikan dengan banyaknya partai politik baru yang

 

2  

terbentuk dan mengikuti proses pemilihan umum tersebut. Fenomena ini

dianggap sebuah perjalanan sejarah yang wajar, setelah tiga puluh dua tahun

dikungkung dalam rezim tirani yang otoriter bernama Orde Baru. Ketika tirani

tersebut berhasil dilumpuhkan dan tumbang, rakyat Indonesia meresponnya

dengan beragam cara pula. Salah satunya adalah banyaknya elit politik

berlomba-lomba mendirikan partai politik baru untuk memperoleh kekuasaan

baik di legislatif maupun di eksekutif. Drama politik ini menjadi bagian dari

sejarah bagi partai-partai politik baru dengan berbagai kepentingan politiknya.

Partai politik mempunyai peran penting baik secara langsung maupun

tidak langsung dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional di Indonesia

dalam hal ini pemilihan seorang kandidat presiden. Proses ini secara langsung

melibatkan keaktifan organisasi pekerja partai atau mesin politik partai untuk

mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam agenda pemenangan seorang

kandidat Presiden. Selain itu, partai politik juga dapat memobilisasi

konstituennya untuk terlibat langsung dalam kampanye serta dapat

berpartisipasi secara aktif dalam setiap proses demokratisasi di negara yang

sedang berkembang dan belajar berdemokrasi ini di tengah-tengah tantangan

global yang kian kompetitif.

Sistem persaingan politik dan kontrol media masa dewasa ini membuat

partai politik perlu bertransformasi mengikuti dinamika politik yang terus

bergerak. Cara-cara klasik seperti manipulasi, tekanan, dan eksploitasi sudah

seyogyanya segera di tinggalkan, karena masyarakat kita saat ini mulai kritis

 

3  

melihat fenomena politik yang disajikan elit politik negeri ini. Dalam hal ini

perlu ditekankan bahwa memenangkan sebuah persaingan politik tidak dapat

dicapai dengan cara-cara instan, terlebih lagi untuk membangun sebuah

kepercayaan publik agar partai politik dapat berlangsung lama (sustainable).

Ketentuan tentang sistem rekruitmen, seleksi, kaderisasi, pemilihan ketua

partai dan pemilihan kader-kader partai harus sesuai dengan prinsip kaidah-

kaidah yang telah disepakati bersama.

Selain dari ketokohan seorang kandidat yang diusung, partai politik

merupakan instrumen perjuangan nilai atau ideologi. Partai politik sebagai

sebuah alat perjuangan atas sebuah nilai yang mengikat kolektivitas dalam

sebuah organisasi politik. Nilai atau ideologi itu diyakini kebenarannya oleh

kolektivitas individu yang tergabung dalam organisasi bernama partai politik.

Pada kerangka itu, nilai atau ideologi memiliki beberapa fungsi politik juga

mempunyai peran penting dalam pemenangan baik secara langsung maupun

tidak langsung dalam sebuah pemilihan kepemimpinan nasional di Indonesia.

Proses ini secara langsung melibatkan keaktifan organisasi pekerja partai

untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya dalam agenda pemenangan

seorang kandidat presiden melalui proses demokratisasi di tanah air (pemilu).

Menyadari adanya persoalan tersebut, peran partai politik sebagai alat

untuk memperoleh kekuasaan secara konstitusional baik secara langsung

maupun tidak langsung melalui pemilihan umum presiden perlu untuk dikaji,

karena dalam memasuki era multipartai di era reformasi muncul berbagai

 

4  

partai politik baru yang berbasis pada pembentukan elit partai. Dimana elit

politik tersebut menggunakan partai politik sebagai electoral machine untuk

memenangkan pemilihan umum presiden. Sejak era reformasi bergulir,

muncul fenomena baru ketika banyak kalangan elit yang secara berjamaah

mendirikan partai politik sebagai electoral machine. Bukti bahwa elit

mendirikan partai untuk electoral machine di tandai dengan adanya fenomena

pembentukan partai-partai politik baru di era Orde Reformasi saat ini

diantaranya; Partai Demokrat (PD), partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra),

Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), PKPI dan Partai Nasional Demokrat

(NasDem).

Menyadari persoalan fenomena baru tersebut, maka studi ini perlu

dilakukan mengkaji lebih jauh terkait fenomena pembentukan partai-partai

politik baru yang dibentuk untuk pencalonan kandidat presiden dan wakil

presiden. Partai-partai politik baru muncul sebagai salah satu respons terhadap

berbagai masalah dalam sistem kepartaian yang selama ini dirasa kurang

relevan. Secara komparatif fenomena-fenomena ini juga muncul di berbagai

negara lain seperti yang terjadi di Amerika Latin Argentina, Brazil, Meksiko,

Filiphina dan lain-lain. Secara teoritik teori tentang tipologi kepartaian selama

ini belum mengakomodir jenis tipologi presidential party. Penelitian ini

dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji bagaimana muncul dan

berkembangnya partai Gerindra sebagai presidential party di Indonesia,

dengan mengambil fokus dalam penelitian partai Gerakan Indonesia Raya

 

5  

(Gerindra) karena partai ini merupakan salah satu partai politik baru yang lahir

pada Era Reformasi yang sejak awal berdiri telah mengusung figur Prabowo

sebagai satu-satu calon presiden tunggal.

B. Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Rumusan Masalah

Berawal dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: Bagaimana muncul dan

berkembangnya partai Gerindra sebagai presidential party di Indonesia?

2. Tujuan dan Manfaat Penelitian:

a. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana proses terbentuknya partai

Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

b. Untuk menganalisis partai Gerindra sebagai presidential party di

Indonesia.

c. Secara akademik studi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

wawasan dalam kajian tentang presidential party di Indonesia serta

dapat memberi warna baru tentang kajian tipologi kepartaian di

Indonesia.

d. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi positif bagi para politisi tanah air serta sebagai bahan

masukan bahwa perjalan karir politik di tanah air ini memerlukan

proses yang tidak mudah.

 

6  

C. Literatur Review

Allen Hicken and Heather Stoll1 dalam “Electoral Rules and the

Size of the Prize: How Political Institutions Shape Presidential Party

“mengungkapkan bagaimana lembaga-lembaga politik membentuk

peraturan pemilihan presiden dan membentuk sistem kepartaian.

Fokusnya terkait dengan “peran presiden” sebagai otoritas yang

terkonsentrasi secara langsung dengan legislatif (sentralisasi horisontal) di

tingkat nasional dari pemerintah yang sama seperti ditingkat level

subnasional (sentralisasi vertikal). Mereka menemukan hubungan non

linier antara horisontal sentralisasi pada otoritas lembaga kepresidenan

yang dioperasioanalkan dengan baik oleh kandidat presiden dalam sistem

kepartaian. Untuk mendapatkan legitimasi sebagai presiden saat berkuasa,

secara khusus kandidat presiden baik yang lemah maupun yang sangat

kuat dengan cara meningkatkan kekuatan presidensial (eksekutif) yang

dimiliki sehingga menghasilkan kekuatan yang lebih besar pula bagi

kandidat. Selanjutnya di temukan bahwa substantif dari efek horisontal

sentralisasi pada umumnya lebih besar dari efek pemilu hingga saat ini.

Comparing Presidential Party Leadership Transfers: Two Cases2

yang ditulis oleh Harold F. Bass Jr mengungkapkan studinya

menunjukkan kerangka komparatif untuk menganalisis satu tahap

khususnya kepemimpinan partai presiden. Kerangka kerja ini terdiri dari

                                                            1Allen Hicken and Heather Stoll. 2008. Electoral Rules and the Size of the Prize: How Political Institutions Shape

Presidential Party Systems. The Journal of Politics, Vol. 70, No. 4 (Oct., 2008), pp. 1109-1127 2 Harold F. Bass Jr. 1993. Comparing Presidential Party Leadership Transfers: Two Cases. Presidential Studies Quarterly, Vol. 23, No. 1, Democracy in Transition (Winter, 1993), pp. 115-128

 

7  

tahapan dalam siklus pemilihan presiden yang dilewati dalam

hubungannya dengan partai. Fokusnya di sini adalah pada tahap

keberangkatan / aksesi, dimana partai secara resmi menunjuk calon baru

dan pemimpin sementara yang berkuasa tetap di tingkat pemerintahan

atau eksekutif. Misalnya dari Eisenhower ke Nixon (1960) dan Reagan ke

Bush (1988) mendapat perhatian dan mempengaruhi nominasi serta

mengendalikan konvensi, keterlibatan kampanye presiden dan hasil

pemilu. Hal ini menjadi pertimbangan atas keterlibatan kampanye calon

presiden, pengambilalihan kedudukan partai dan electoral outcome

dimana ke depan terus menerapkan kerangka kerja ini untuk menguraikan

perbandingan yang sama terkait kepemimpinan partai presiden.

Penelitian ini berupaya untuk mengembangkan kerangka kerja

untuk membandingkan presiden sebagai pemimpin partai. Bahwa

penelitian ini difokuskan pada tahap yang berbeda dari kepemimpinan

partai presiden yang telah mempertimbangkan dua kasus modern di atas.

Selanjutnya Harold F. Bass Jr berusaha untuk menerapkan

kerangka kerja ini untuk penelitian modern lainnya dan untuk

menguraikan kerangka pemikiran komparatif yang sama untuk

menganalisis kepemimpinan pada partai presiden. Pada tahun 1992

kerugian yang melekat pada jabatan seorang presiden terjadi pada tubuh

Partai Republik yang kemudian berkembang menjadi sebuah kasus. Selain

itu dia mengikuti dengan seksama kepemimpinan Presiden Clinton dari

Partai Demokrat di Amerika Serikat yang sempat menghebohkan.

 

8  

Disisi lain menurut pandangan Scott Mainwaring, presidensialisme

tidak otomatis menghambat kinerja dan stabilitas demokrasi di suatu

negara. Presidensialisme menjadi masalah apabila terkombinasi dengan

sistem multi partai. Dari hasil observasi terhadap 31 negara yang telah

stabil demokrasinya, yaitu negara-negara yang mampu mempertahankan

demokrasinya sejak 1967 hingga 1992, Mainwaring menemukan bahwa

semua negara yang menganut presidensialisme dan berhasil

mempertahankan demokrasi ternyata menganut sistem dwipartai.3

Kolumbia, Kostarika, Venezuela dan Amerika Serikat menganut sistem

presidensiil. Dua puluh empat negara menganut sistem parlementer, dua

negara menganut semi presidensiil (Finlandia, Prancis) dan Switzerland

menggunakan gabungan keduanya (hibrid).

Menurut Scott Mainwaring terkait Presidensialisme di Amerika

Latin menyebutkan bahwa kelemahan sistem presidensialisme karena

kegagalan dalam membedakan dengan tugas antara faktor negara yang

otoriter dengan negara-negara demokrasi. Beberapa negara seperti Chili,

Costa Rica dan Uruguay merupakan contoh dari negara-negara yang

menerapkan sistem presidensial akan tetapi terlihat dalam prakteknya

bahwa kekuasaan kongres yang lemah dan sebaliknya kekuasaan presiden

yang kuat.4 Hal ini menjadi permasalahan yang cukup berdampak kepada

                                                            3 Scott Mainwaring. 1993. Presidentialism, Multipartism, and Democrazy: The difficult combination, Comparative

Political Studies, Vol.26,No2. hl:204 4 Scott Mainwaring, “Presidensialisme di Amerika Latin”, dalam, Arend Lijphart, op.cit., h. 117 

 

9  

kestabilan politik di negara-negara tersebut dan perlu mendapat perhatian

lebih.

Persoalan pokok dalam implementasi konsep presidensialisme di

negara-negara ini adalah faktor kecenderungan kekuasaan yang otoriter

dan demokratis. Negara seperti Chili, Costa Rica, dan Uruguay sekalipun

negara-negara yang cukup demokratis, namun pada kenyataannya mereka

cukup mengalami kesulitan dalam merancang program pembangunan

negaranya. Sekalipun peranan presiden cukup besar untuk menyusun

pembangunan, akan tetapi tidak dapat dihindari bahwa mereka ternyata

tidak mendapatkan dukungan untuk menjalankan kebijaksanaan

pembangunan negaranya.5

Menurut Mainwaring, jika menggunakan pendekatan teoritis

bahwa kekuasaan eksekutif yang lebih kuat dari pada parlemen dalam

sistem presidensial, ternyata fenomena yang terjadi amat berbeda. Lebih

lanjut ia mengatakan bahwa sistem presidensiil bergantung pada

keseimbangan dan pemisahan kekuasaan pemerintahan, tetapi

keseimbangan ini seringkali menimbulkan imobilisime atau kemandegan.

Oleh karenanya perlu sebuah rancangan sebuah sistem politik demokrasi

yang mampu menghasilkan pemerintahan presidensial yang efektif secara

nasional, sehingga stabilitas nasional dapat terjaga.

Dibalik itu semua beberapa persoalan pokok yang mendorong

terciptanya instabilitas tidak saja semata-mata keinginan rakyat yang

                                                            5 Ibid., h. 118 

 

10  

cukup kuat untuk mendistribusikan kekuasaan ke lembaga-lembaga yang

variatif, tetapi sistem politik yang dianut oleh negara-negara tersebut amat

menentukan terhadap keseimbangan pemerintahan di negara tersebut.

Seperti faktor banyak partai ternyata ikut menentukan terciptanya

ketidakeimbangan dalam sistem presidensial. Untuk mempertahankan

kekuasaannya agar tidak di veto oleh parlemen, sering eksekutif

melakukan terobosan-terobosan politik melalui kebijakan “pembesaran”

kekuasaan, seperti membentuk lembaga-lembaga baru dan bahkan

kadang-kadang melampaui kewenangannya atas nama konstitusi.

Persoalannya akan menjadi berbeda ketika dikembalikan ke sistem

pemerintahan Indonesia. Dalam konstitusi cukup jelas ditegaskan bahwa

Indonesia adalah negara dengan sistem presidensial. Artinya, kekuasaan

kepala negara, model parlemen, dan cabang-cabang kekuasaan eksekutif

secara penuh di tangan eksekutif (presiden) hal ini menunjukkan bahwa

Indonesia adalah negara dengan sistem presidensial. Namun, tidak dapat

dipungkiri, bahwa ketika Presiden sebelumnya diangkat oleh parlemen,

maka apa yang dimaksud dengan model presidensial tersebut menjadi

tidak tepat6, hal ini juga berlangsung sampai dengan perubahan UUD

1945, di mana Presiden apabila melanggar konstitusi atau haluan negara

serta melakukan hal-hal yang melanggar hukum, maka DPR dapat

mengajukan kepada MPR untuk memberhentikan Presiden.

                                                            6 Kondisi ini berlangsung sebelum amandemen terhadap UUD 1945 

 

11  

Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh teori kedaulatan rakyat,

bahwa presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Teori presidensial

sendiri meniscayakan adanya pemberhentian presiden di tengah jalan,

memperlihatkan kekaburan pengertian presidensial dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia. Beragamnya pandangan ahli ketatanegaraan

terhadap sistem yang dianut Indonesia, apakah sistem parlementer,

presidensial atau quasi-presidensial, atau ada yang menyebut dengan

istilah model MPR, jelas merupakan suatu persoalan konseptual yang

perlu dielaborasi untuk mendapatkan kepastian seperti apa sebenarnya

sistem pemerintahan Indonesia tersebut dalam konstitusinya.

Di Indonesia, sebagaimana yang diungkapkan Koichi

Kawamura (2013)7 dalam Presidentialism and political parties in

Indonesia: Why are all parties not presidentialized. Presidensialisme dan

partai politik di Indonesia, tidak semua partai itu terpresidensial. Dari

pemaparanya menganalisa proses “presidensialisasi” partai politik di

Indonesia baru-baru ini, sebagaimana diungkapkan Samuels dan Shugart

(2010). Di Indonesia tidak semua partai menjadi terpresidensial. Partai-

partai akan menjadi presidensial ketika mereka mempunyai struktur

organisasi yang solid dan mempunyai potensi untuk memenangkan

pemilu presiden. Partai-partai yang didirikan oleh kandidat atau calon

presiden tidak harus sejalan dengan lembaga legislatif maupun eksekutif,

karena pimpinan partai bukanlah sebuah agen akan tetapi ketua partai.                                                             7 Kawamura, Koichi. 2013. Presidentialism and political parties in Indonesia: Why are all parties not presidentialized Ide discussion paper No 409. h1: 27  

 

12  

Di sisi lain, partai-partai kecil dan menengah yang hanya

mempunyai sedikit prospek untuk memenangkan pemilu presiden serta

tidak aktif terlibat di dalam proses pemilihan umum oleh karena itu

organisasi partai bukan menjadi terpresidensial. Proses “presidensialisasi”

partai-partai politik dimulai sejak 2005 sebagaimana di level lokal ketika

kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Disisi lain, partai politik di Indonesia mempunyai disiplin

organisasi yang cukup kuat dibawah negara penganut sistem

pemerintahan presidensiil. Kekuatan ini dapat dilihat dari sistem

pemilihan, dengan sistem representasi yang proporsional di Indonesia,

dimana pemilih dihitung berdasarkan pada sebuah basis partai, anggota-

anggota parlemen cenderung tergantung kepada partai mereka sendiri,

selain itu calon-calon wakil rakyat harus mematuhi kebijakan partai

karena jajaran elit partai/pemimpin-pemimpin partai mempunyai otoritas

untuk membuat kebijakan para kandidat partai (caleg) telah ada sejak

pemilu parlemen di 2004. Di kalangan eksekutif partai masih memegang

kekuasaan yang kuat dalam menentukan para kandidat yang mewakili

partainya. Lebih jauh anggota-anggota parlemen sulit untuk melawan

kebijakan eksekutif partai, karena bisa saja dikeluarkan atau kursi

parlemen apabila mereka melawan peraturan/kebijakan partai.

Sistem kepartaian dan calon Presiden dipilih secara langsung di

Indonesia yang diawali dengan pemilihan presiden pertama pada tahun

2004. Tipikal sistem kepartaian di Indonesia bersifat pluralis yang

 

13  

terpolarisasi (melebar), yang terbentuk sebagai akibat dari sistem

perwakilan proporsional yang secara sengaja diadopsi untuk

mencerminkan kemajemukan bangsa, agama, suku bangsa di Indonesia.

Pluralisme sebagai akibat dari berkembangya partai-partai baru yang

mencari dukungan dari pemilih-pemilih ’’sayap’’partai. Sejak dimulainya

proses demokratisasi para pemilih di Indonesia telah kehilangan identitas

partai mereka sehingga menyebabkan perilaku pemilih mudah untuk

berubah. Total jumlah angka perubahan perilaku pemilih yang berubah-

ubah di Indonesia yaitu 23 % di pemilu 2004 dan 28,7 di tahun 2009.

Diskusi diatas melihat sitem kepartaian yang terjadi sejak

pengenalan pemilu presiden secara langsung di 2004 di Indonesia. Artikel

dari Koichi Kawamura (2013) ini menganalisis bagaimana pengenalan

pilpres secara langsung, setelah demokratisasi memberikan efek terhadap

partai-partai politik di indonesia. Sistem presidensial di Indonesia tidak

secara langsung menyebabkan partai politik terpresidensialisasi.

Sementara itu sebuah partai yang berbasis organisasi seperti Golkar dapat

dijelaskan sebagai presidensial, sementara partai-partai manengah dan

kecil tidaklah presidensial karena mereka hanya mencari dan

memaksimalkan jumlah pemilih yang mereka dapatkan di pemilu

parlemen dari pada pemilu presiden dan mereka tetap berpartisipasi dalam

pemerintahan koalisi sebagai salah satu partai yang berkuasa dimana

partai-partai personal pribadi didirikan oleh politikus yang kuat, logikanya

tidak dapat menjadi presiden karena pemimpin partai itu adalah ketua.

 

14  

Studi kasus di indonesia dari partai-partai politik dan

presidensialisme di indonesia menunjukkan pada kita bahwa efek dari

institusi eksekutif dalam organisasi partai akan berkurang karena

kelemahan dari sistem partai dan organisasi partai dalam negara

demokrasi yang baru, disaat yang sama studi ini menunjukkan bahwa

pemisahan kekuasaan di sistem politik cenderung terlihat mempengaruhi

organisai partai yang lebih kuat di level lokal dari pada di level nasional.

Ketika kita menganalisa hubungan antara institusi eksekutif dan

organisasi partai khususnya di negara-negara demokrasi yang baru, perlu

mempertimbangkan waktu dari konsolidasi institusi. Kita harus

mempertimbangkan ketidakstabilan pada sistem partai partai politik, baik

yang akan mempengarungi hubungan antara eksekutif maupun partai

politik. Pada negara-negara demokrasi gelombang ketiga, kemampuan

partai untuk merekrut pemimpin partai dari kader-kader partai ditentukan

oleh institusi eksekutif.

Apa yang telah dijelaskan dalam studi Koichi Kawamura

(2013) hanya menjelaskan proses presidensialisasi partai-partai besar di

Indonesia yang mempunyai struktur organisasi yang kuat dan solid saja,

sedangkan apa yang terjadi di Indonesia saat ini banyak partai-partai kecil

dan menengah mengusung calonnya masing-masing menjadi kandidat

presiden. Partai-partai menengah dan kecil tidak hanya memburu dan

memaksimalkan jumlah pemilihnya akan tetapi juga tengah mencari

dukungan untuk calon presiden yang tengah di usung, seperti halnya apa

 

15  

yang terjadi pada partai Gerakan Indonesia Raya. Dalam kajiannya

Kawamura tidak mejelaskan dan mengakomodir jenis tipologi kepartaian

yang baru muncul di Indonesia. Setelah Era Reformasi bergulir dimana

muncul fenomena jenis tipologi partai baru presidential party yang tidak

dijelaskan oleh Kawamura. Fenomena kemunculan partai-partai politik

baru tentu membawa dampak bagi perpolitikan di tanah air yang terus

mengalami perubahan, oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut terkait

fenomena tersebut.

D. Kerangka Teoritis

Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role)

yang sangat penting dalam setiap sistem di negara demokrasi. Partai

politik memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-

poses pemerintahan dan warga negara.8 Partai politik juga merupakan satu

bentuk wadah yang mengakomodasi hak kebebasan berserikat dan

berkumpul. Berdasarkan sejarahnya, partai politik pertama lahir di negara-

negara Eropa Barat.9 Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan

politik modern yang demokratis, sebagai konsekuensi dari sistem

perwakilan atau demokrasi. Akan tetapi, sekali partai politik muncul maka

segera membangun sendi-sendi yang mampu memperkuat kelangsungan

demokrasi dan pemerintahan konstitusional.

                                                            8 Asshiddiqie, Jimly. 1996. Pergumulan peran pemerintah dan parlemen dalam sejarah: Telaah Perbandingan

Konstitusi Berbagai Negara. Jakarat: UI Press. hlm:52 9 Budiarjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hlm:397

 

16  

Menurut Carl J Friedrich partai politik merupakan sekelompok

manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau

mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan

partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota

partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta materiil (a political party is

a group of human beings, stably organized with the objective of securing

or maintaining for its leaders the cntrol of a government, with the further

of objective of giving to members of the party, through such control ideal

and material benefits and advantages).10

Senada dengan pengertian di atas, Miriam Budiarjo

mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok terorganisir yang

anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang

sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik

dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional

untuk melaksanakan programnya.11

Sedangkan definisi paling operasional menurut Riswandha

Imawan adalah definisi yang diberikan Giovanni Sartori dalam Parties

dan Party System (1976) yang mendefinisikan partai politik sebagai”any

political group identified by an official label that presents at elections,

and is capable of placing through elections candidates for public

                                                            10 Friedrich, 1967, Constitutional Government and Democracy: Theorie and Practice in Europe and America, edisi ke

5, Weltham Mass; Blasidell Publishing Company, hl. 149. Sebagaimana dikutip miriam Budiardjo, ibid, hl. 404 11 Ibid.hal:398

 

17  

offices”12. Artinya partai politik merupakan kelompok politik apapun yang

dikenali lewat label resmi yang ada saat pemilihan umum dan mampu

menempatkan wakil-wakilnya pada jabatan publik melalui pemilihan

umum.

Dalam kajian akademis mengenai partai politik telah

menghasilkan beragam cara dalam melakukan klarifikasi terkait tipologi

partai politik. Metode pertama dan paling sederhana adalah mencoba

mengembangkan satu kerangka teori analis sederhana yang membantu

menganalisis tipe-tipe partai politik dan merinci karakter masing-masing

hal substansi dari partai politik. Klasifikasi Katz dan Mair dalam

Pamungkas yang membedakan partai politik ke dalam empat tipologi,

yaitu elit, massa, catch-all, dan kartel.13

Berdasarkan ciri-ciri khusus dan kemiripan fokus, Krouwel

telah mengelompokkan beragam tpe partai politik ke dalam lima jenis

dasar, yaitu; 1) partai elit, caucus dan kader; 2) partai massa; 3) partai

catch-all, Elektoralis; 4) partai kartel; dan 5) partai firma bisnis.14

Perkembangan partai politik juga menunjukkan adanya partai politik yang

tidak semata-mata bertujuan memenangi pemilihan umum. Terdapat pula

partai politik yang tujuan utamanya adalah untuk memperjuangkan

kebijakan tertentu atau mendudukkan tokoh/kadernya dalam jabatan

tertentu. Dari keseluruhan tipologi partai politik yang selama ini                                                             12 Imawan, Riswanda. 2001. Pemilu Sebagai Sarana Demokratisasi Politik di Indonesia. Yogyakarta: Universitas

Gadjah Mada. hl:3 13 Pamungkas,Sigit. 2011. Partai Politik teori dan praktik di Indonesia. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism. hal:24 

14 Ibid

 

18  

diperbincangkan oleh mereka yang mendalami studi tentang kepartaian

hanya terfokus pada beberapa tipologi partai yang telah ada selama ini

dan tidak memperhatikan munculnya presdiential party, oleh karena itu

studi ini mencoba memperkenalkan satu elemen kontekstual dalam

membahas jenis tipologi partai politik baru yang bernama presidential

party yang selama ini terabaikan.

Sistem pemerintahan presidensial merupakan sistem

pemerintahan dimana badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan

yang independen atau sejajar. Kepala pemerintahan presidensial

(presiden) dipilih oleh rakyat baik secara langsung atau melalui badan

pemilihan, adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:15

Eksekutif tidak bertanggung jawab secara politik kepada

legislatif. Pemisahan kekuasaan adalah kondisi klasik inti dari

presidensialisme, yang menjamin bahwa eksekutif tidak bertanggung

jawab kepada badan legislatif. Sebaliknya, presiden bertanggung jawab

hanya untuk pemilih yang memberinya mandat untuk memerintah.

Mengingat bahwa presiden tidak dapat dijatuhkan oleh legislatif

merupakan hal logis, apalagi untuk masa jabatan dalam jangka waktu

tertentu. Seperti halnya dalam kasus Amerika, seorang presiden dapat

dikenakan impeachment oleh legislatif karena alasan ketidakpantasan

                                                            15 Poguntke, Thomas and Paul Webb. 2005.The presidentialization of Politics in Democratic Societies. dalam Poguntke, Thomas and Paul Webb. Op. Cit. h:2-3 

 

19  

nyata atau perbuatan tercela. Doktrin pemisahan kekuasaan bekerja dua

arah, sehingga presiden tidak dapat membubarkan parlemen.

Rezim Presiden terpilih adalah kepala pemerintahan. Dalam

sistem politik ini, untuk mendapat label presiden dalam arti formal,

presiden harus menjadi kepala pemerintahan yang benar dan yang paling

umum dimana status tersebut dapat diberikan dalam demokrasi adalah

presiden terpilih secara populer, baik secara langsung oleh rakyat atau

melalui electoral college yang erat mencerminkan preferensi populer dari

pemilih (Lijphart 1992:3). Sebagai aturan, seperti mandat rakyat

merupakan prasyarat penting dari legitimasi demokratis presiden dan oleh

karena itu, otoritas pribadinya untuk memerintah.

Rezim Presiden ditandai dengan tanggung jawab eksekutif

unipersonal. Dalam presidensialisme, presiden hanya diberi mandat oleh

rakyat untuk memerintah, karena itu dia hanya bertanggung jawab secara

politik. Ini tidak berarti bahwa eksekutif benar-benar terdiri dari satu

individu, Presiden AS misalnya, menunjuk anggota kabinetnya, yang

mengambil alih kebijakan di departemen pemerintah yang berbeda, tetapi

mereka tidak secara individu bertanggung jawab kepada para pemilih

(atau legislatif, mengingat pemisahan kekuasaan yang beroperasi). Hanya

presiden sendiri memiliki mandat demokratis pribadi, yang berarti bahwa

ia memiliki wewenang penuh untuk membentuk dan melantik anggota

 

20  

kabinetnya, dan mereka bertanggung jawab langsung kepadanya lalu

kemudian membawa tanggung jawab atas seluruh rakyat.

Kita tahu bahwa tiga fitur dari seorang pemimpin eksekutif

yang dipilih oleh rakyat, pemisahan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan

legislatif tanggung jawab secara unipersonal merupakan kondisi formal

yang perlu dan tampaknya cukup menentukan dalam arti hukum

konstitusional. Sementara otonomi aktual dan kekuatan seorang presiden

mungkin sangat jauh dalam parameter konstitusional sesuai dengan faktor

kontinjensi dan institusional, namun rezim presiden tetap formal.

Sebelumnya menunjukkan bahwa sistem presidensial telah menawarkan

sumber daya yang jauh lebih besar kepada eksekutif sementara eksekutif

disisi lain memberinya otonomi yang cukup kepada partai-partai politik di

parlemen (dan sebaliknya). Pada dasarnya, logika fungsional yang

melekat pada rezim presidensialisme memiliki tiga efek:

1. Sumber daya kepemimpinan:  Logika presidensialisme memberikan

kekuasaan kepala pemerintahan dengan sumber daya kekuasaan

eksekutif yang superior. Hal ini langsung dari fakta bahwa dia tidak

bertanggung jawab kepada parlemen, biasanya langsung disahkan dan

memiliki kekuatan untuk membentuk kabinet tanpa gangguan berarti

dari lembaga lain. Singkatnya, sehubungan dengan cabang eksekutif

pemerintah, kepala pemerintahan eksekutif dapat memerintah tanpa

banyak gangguan dari luar.

 

21  

2. Kepemimpinan yang otonom: ini merupakan dampak langsung akibat

dari pemisahan kekuasaan. Ini bekerja dua arah, namun parlemen

yang terbentuk tidak dapat dibatasi baik untuk mendukung pemerintah

atau untuk menampilkan diri sebagai oposisi yang layak. Dengan kata

lain, otonomi kepemimpinan hanya dapat membuat kekuatan

kepemimpinan ditingkatkan dalam memimpin, tetapi bergantung pada

keberhasilan pemilu dan tidak didasarkan pada pengendalian

organisasi partai politik. Singkatnya, kepemimpinan yang otonom

dapat menemukan ekspresi dalam dua zona yang berbeda dari

tindakan organisasi partai itu sendiri serta mengatur eksekutif.

3. Personalisasi proses pemilihan: Ini mengikuti langsung dari fokus

alami tertinggi dan menyiratkan bahwa semua aspek dari proses

pemilu yang tegas dibentuk oleh kepribadian dari kandidat

terkemuka.16

Berbeda dengan prinsip presidensialisme diatas

”presidensialisasi” secara de facto politik dapat dipahami sebagai proses

pengembangan untuk meningkatkan sumber daya kepemimpinan dalam

bingkai kekuasaan yang masing-masing memiliki otonomi dalam partai

politik dan eksekutif politik serta bagian dari proses pemilihan

kepemimpinan yang semakin berpusat. Dasarnya adalah masing-masing

dari tiga arena pusat pemerintahan demokratis dipengaruhi oleh

                                                            16 Poguntke, Thomas and Paul Webb. 2005.The presidentialization of Politics in Democratic Societies. dalam Poguntke, Thomas and Paul Webb. Op. Cit. h:5 

 

22  

perubahan ini yang kita sebut sebagai tiga wajah sistem

’’presidensialisasi”, yaitu wajah eksekutif (presiden), wajah partai, dan

wajah pemilu. Sehingga ”presidensialisasi” merupakan proses dari

ketiga wajah tersebut yang diperkuat oleh faktor-faktor lain yang

mengalir dari struktur konstitusional formal yang ada.17

”Presidensialisasi” dalam konteks ini berbeda dengan sistem

presidensial yang selama ini dikenal, sebagaimana yang terjadi pada

partai Gerakan Indonesia Raya yang selama ini memfokuskan diri

kepada figur kandidat yang diusung oleh partai tersebut, baik melalui

kampanye, pengelolaan organisasi, perjuangan partai maupun terkait

pendanaan partai yang banyak dipengaruhi oleh figur Prabowo Subianto.

Terjadinya proses pergeseran di awal menjadi presidential party justru

terjadi setelah pemilu pertama yang semakin menguat menjadi partai

politik yang semakin “terpresidensialisasi”, sehingga dapat kita ukur dari

pertama; peran Prabowo Subianto yang begitu dominan di partai

tersebut dengan kekuasaan sentral yang dimiliki di partai sebagai ketua

dewan pembina partai (veto player).

Kedua, setelah dua kali mengikuti pemilu legislatif tahun

2009 dan 2014 melalui proses rekrutmen, pelembagaan partai,

sosialisasi, maupun kampanye selama ini masih konsisten dalam

mengusung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon tunggal sebagai

                                                            17 Poguntke, Thomas and Paul Webb. 2005.The presidentialization of Politics in Democratic Societies. dalam Poguntke, Thomas and Paul Webb. Op. Cit. h:5 

 

23  

calon presiden dari partai Gerindra. Ketiga, pengaruh ketua dewan

pembina partai yang sangat mendominasi dan memiliki kekuasaan

penuh dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan partai Gerindra baik

internal maupun eksternal berdasarkan amanat dari Prabowo Subianto.

Bahkan menurut ketua umum partai Gerindra dalam setiap Munas

maupun Rapimnas di kalangan internal partai telah sepakat satu suara

dalam mengusung kandidat presiden yang diajukan sejak partai ini.

Dinamika Presidensialisasi

Sumber: The presidentialization of Politics in Democratic Societies18

Dalam dinamika proses ’’presidensialisasi” diatas terdapat dua zona

kecil dan zona besar otonomi, dimana masing-masing zona memiliki kekuatan

dan pengaruhnya sendiri. Dari pemaparan diatas maka dapat ditarik

                                                            18 Poguntke, Thomas and Paul Webb. 2005.The presidentialization of Politics in Democratic Societies. dalam Poguntke, Thomas and Paul Webb. Op. Cit. h:12 

Sistem konsensual (pemerintah minoritas, koalisi yang luas) 

Mayoritas  System  (struktur 

bipolar persaingan) 

Zona besar otonomi Zona kecil otonomi

Kekuatan lebih cepat; kekuatan perlu dipertahankan dengan membela kontrol atas zona otonomi terhadap pihak mayoritas

Kekuasaan bergantung pada kemampuan pemimpin sampai pemain veto

Kekuasaan bergantung pada toleransi partai mayoritas

Kekuasaan diperoleh melalui zona memperluas otonomi dengan mendominasi veto

Presidensialisasi

 

24  

kesimpulan mengenai ciri-ciri konsep”presidensialisasi” adalah sebagai

berikut:

a) Kepemimpinan dalam bingkai kekuasaan memiliki otonomi khusus pada

partai politik yang semakin terpusat kepada pimpinan tertinggi partai dalam

memonopoli setiap kebijakan organisasi.

b) ”Presidensialisasi” memiliki ciri tiga wajah demokrasi yaitu eksekutif,

partai politik dan pemilu.

c) Kekuasaan bergantung (terpusat) kepada kemampuan pemimpin tertinggi

partai politik serta memiliki hak veto terhadap setiap kebijakan partai

politik yang menjadi mesin politiknya.

d) Adanya sentralisasi kekuasan eksekutif partai dalam setiap kebijakannya

untuk menentukan langkah strategis setiap kebijakan yang diambil.

Disisi lain dalam konteks sistem presidensial di Indonesia, fungsi-

fungsi seremonial terkombinasikan dalam kekuasaan politik dan administrator

serta tanggung jawab presiden bersifat menyeluruh. Karena itu, presiden

mempunyai fungsi ganda, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Pemusatan kekuasaan ini pulalah yang kemudian menjadi kritik tajam

kalangan pendukung kabinet parlementer, di mana penggabungan kekuasaan

yang memusat tersebut membuat presiden memiliki kharisma yang luar biasa,

dan akibatnya, rasa penghormatan, kekecewaan dan rasa tidak puas sulit untuk

dikembangkan dalam model-model yang demokratis. Menurut Jimly, tidak

mungkin dalam satu wujud kekuasaan yang mutlak tersebut rakyat akan

 

25  

mudah untuk menentukan sikap suka atau tidaknya terhadap

presiden.19 Dalam kerangka yang sama, Juan J. Linz mengatakan bahwa

sistem presidensial tidak cukup mampu bersikap inklusif dalam proses politik,

yang tentu berbeda dengan sistem parlementerisme yang lebih fleksibel dalam

mengembangkan proses politik dan pemerintahannya.20

Konsep presidential party

Model seminal Kramer mengandung dua asumsi yang kuat.

Pertama, ia menganggap bahwa partai yang memerintah suatu negara

merupakan pihak yang mengontrol presiden. Kedua, ia menganggap bahwa

semua calon dari partai dihakimi sama oleh pemilih ketika menetapkan

tanggung jawab fluktuasinya. Dengan sedikit pengecualian, asumsi-asumsi ini

bekerja di seluruh literatur empiris yang mengikuti Kramer.21 Ada dua cara

untuk melihat potensi masalah yang melekat dalam pendekatan ini. Cara

pertama adalah dengan mempertimbangkan bahwa penantang “presidential

party” tidak ada hubungannya dengan kebijakan apa pun yang diberlakukan.

Cara kedua untuk melihat masalah ini dengan menyadari bahwa “presidential

party” juga mempunyai kewajiban terhadap partai non presiden.

Di sisi lain, golongan perilaku pemilih benar-benar akan

menciptakan insentif yang buruk bagi partai non presiden yang benar-benar

memiliki pengaruh atas kebijakan pemerintah yang berkuasa. Mengingat

                                                            19

Ibid., h. 82 20 Juan J. LInz, “ Resiko dari Presindensialisme“, dalam, Arend Lijphar, op.cit., h. 128 

21 Kevin B. Grier and Joseph P. McGarrity,2002. Presidential Party, Incumbency, and the Effects of Economic Fluctuations on House Elections, Public Choice, Vol. 110, No. 1/2, pp. 143-162

 

26  

pemilih mempunyai keinginan untuk meningkatkan keadaan ekonominya, hal

itu tidak masuk akal bagi mereka yang menggunakan aturan mengurangi

insentif bagi partai untuk bekerja meningkatkan perekonomian.

Sementara hasil studi Kramer menjelaskan bahwa kondisi

ekonomi memiliki efek yang kuat terhadap calon partai presiden (presidential

party) di pemilu bukannya tidak mendapat tantangan (Stigler, 1973), namun

metodologi nya hampir secara universal diadopsi. Ada beberapa hal yang di

bahas dalam melihat jabatan legislatif (presiden) daripada perolehan suara

partai, akan tetapi hampir semua kajian terbaru mengabaikan jabatan tersebut.

Penelitian Kramer sebelumnya telah menunjukkan bahwa,

dengan memperlakukan semua kandidat dari presidential party yang sama

merupakan kesalahan, karena jabatan merupakan faktor penentu yang penting

bagi kondisi ekonomi yang berpengaruh terhadap suara partai tersebut. Dalam

kajian diatas Kramer belum menjelaskan tentang konsep presidential party

yang merupakan istilah baru dimana peneliti pakai dalam mengkaji dan

mengungkap fenomena pembentukan partai-partai politik baru di Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya pada saat menjelang pemilu

presiden dan wakil presiden, partai-partai politik berlomba mempersiapkan

kandidat calon presiden yang diusung untuk maju sebagai kandidat dari

partainya. Salah satu agenda yang dilakukan partai politik tersebut dengan

adanya pembentukan partai-partai politik baru yang muncul sebagai bagian

dari upaya untuk menduduki jabatan di eksekutif (pemerintahan). Kemudian

 

27  

dalam perjalanannya muncul tentang konsep presidential party sebagai bagian

dari perubahan arus reformasi yang sedang bergulir di tanah air.

Konsep presidential party ini muncul sebagai bagian dari

fenomena baru ketika banyak kalangan elit beramai-ramai mendirikan partai

politik sebagai electoral machine untuk pencalonan kandidat presiden.

Skenario ini merupakan bagian dari upaya elit partai untuk menempatkan diri

menjadi bagian dari kompetitor calon presiden melalui jalur konstitusional

yakni partai politik sebagai kendaraan politik. Bukti bahwa elit mendirikan

partai untuk electoral machine di tandai dengan adanya fenomena

pembentukan partai-partai politik baru. Sehingga dapat dipahami bahwa

konsep ”presidential party” merupakan sebuah upaya yang sistematis dari elit

politik dalam membentuk sebuah partai politik baru sebagai sarana untuk

merebut/menduduki jabatan kekuasaan di eksekutif (presiden) yang sah secara

konstitusional berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Di sisi lain, partai politik menyandang peran penting dan

strategis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pemilihan

kepemimpinan nasional yang dalam konteks hal ini adalah pemilihan seorang

kandidat presiden. Proses politik ini secara langsung melibatkan keaktifan

organisasi pekerja partai atau mesin politik partai untuk mendulang suara

sebanyak-banyaknya dalam agenda pemenangan seorang kandidat Presiden

yang tengah di usung serta kandidat lain yang akan duduk di parlemen. Selain

itu, partai politik dapat memobilisasi konstituennya untuk terlibat langsung

 

28  

dalam setiap kampanye serta dapat berpartisipasi secara aktif dalam setiap

proses demokratisasi secara konstitusional.

Dari penjelasan-penjelasan diatas maka dapat ditarik

kesimpulan karakteristik dari konsep “presidential party” dapat dirangkum

diantaranya adalah sebagai berikut:

a) Mulcul dan berkembangnya partai-partai politik baru disertai tokoh sentral

di dalamnya yang menjadi daya tarik tersendiri dari partai politik tersebut.

b) Dalam dinamika perkembangan partai politik selanjutnya terjadi

penggiringan opini publik terkait kandidat yang di usung sebagai calon

presiden.

c) Sejak partai terbentuk bahkan sebelum partai politik berdiri aroma wacana

untuk pencapresan kandidat tertentu telah mengemuka ke publik.

d) Kekuasaan bergantung (terpusat) kepada kemampuan pemimpin tertinggi

partai politik yang memiliki hak veto terhadap setiap kebijakan partai

politik tersebut.

E. Metode Penelitian

1. Jenis, Lokasi, dan Definisi Konseptual

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

deskriptif kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata atau lisan. Metode tersebut digunakan sebagai

suatu proses dan prosedur yang digunakan untuk mendekati masalah dan

 

29  

mencari jawaban. Pengertian kualitatif dimaksudkan untuk memahami

fenomena yang dialami subjek penelitian misalnya perilaku, tindakan

dengan cara deskripsi berupa teks, gambar, kata-kata dan bahasa yang

diungkap dan ditemukan dalam penelitian ini. Data tersebut dapat berasal

dari wawancara, catatan, video, maupun dokumentasi penting lain yang

dianggap perlu. Metode digunakan untuk memperoleh data dan informasi

sesuai dengan prosedur teknis dalam melakukan penelitian serta kebutuhan

penelitian yang dilakukan di lapangan.

b.Lokasi Penelitian

Lokasi yang penulis pilih dalam penelitian ini adalah Dewan

Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra di Jakarta, DPD partai Gerindra

yang ada di daerah yang di masih relevan dengan fokus penelitian dan

beberapa tempat terkait dengan obyek penelitian, karena terdapat

fenomena menarik berkaitan dengan kebijakan partai banyak diambil di

DPP maupun di DPD yang terdapat di daerah. Selain itu beberapa tempat

lain dimana dapat dijadikan obyek penelitian apabila memenuhi kebutuhan

yang akan di teliti, sehingga menyesuaikan kebutuhan penelitian di

lapangan.

2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data

primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh

melalui wawancara langsung dari informan/narasumber yang telah dipilih

dan memahami terkait partai Gerindra sebagai salah satu partai politik di

 

30  

indonesia. Data yang diperoleh dari narasumber kunci terkait secara

langsung maupun tidak langsung dengan partai Gerindra. Pemilihan

narasumber kunci ini disesuaikan dengan kebutuhan data yang dibutuhkan

dalam mengeksplorasi tema yang sedang diteliti. Sementara itu, data

sekunder merupakan data yang diperoleh dari arsip maupun dokumentasi

yang terkait dengan masalah penelitian yang sedang di teliti sesuai dengan

tema dan fokus penelitian. Dalam penelitian ini kemudian data-data

tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode sebagai berikut:

a. Observasi

Dalam penelitian ini, observasi dilakukan dengan cara

mengamati dan mencatat secara sistematis hal-hal yang berkaitan dengan

tujuan penelitian. Pengamatan ini diperlukan untuk memahami secara garis

besar bagaimana situasi dan kondisi di lingkungan Dewan Pimpinan Pusat

Partai Gerindra maupun tempat lain yang relevan. Observasi ini digunakan

sebagai bahan pemeriksaan data hasil wawancara dengan situasi yang

sebenarnya dilingkungan DPP. Pengamatan bersifat sistemis yang bersifat

fisik maupun non fisik dengan menggunakan indera atau nalar, terutama

dalam mendalami dan menafsirkan gejala-gejala yang akan berhubungan

dengan obyek penelitian

b. Wawancara Mendalam

Data yang diperoleh melalui wawancara langsung secara

mendalam (in depth interview) dengan bertatap muka secara langsung

antara penulis dengan nara sumber (informan). Wawancara dilakukan

 

31  

dengan kerangka pertanyaan yang telah disiapkan, tetapi penyajiannya

tidak terikat oleh kerangka yang telah disiapkan tersebut. Hal ini berarti

peneliti dapat memperdalam suatu informasi spesifik yang muncul dari

narasumber tetapi tidak ada dalam pedoman wawancara. Wawancara

mendalam terhadap narasumber terkait dilakukan untuk menjawab fokus

permasalahan yang tengah diteliti yaitu menjelaskan bagaimana proses

Kemunculan partai Gerindra serta proses partai yang terpresidensialisasi

di Indonesia dalam konteks partai Gerindra.

Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak terkait, yang

berkaitan langsung dengan topik penelitian seperti : Ketua Umum Partai

Gerindra, Dewan Pembina Partai, jajaran DPP partai Gerindra, DPD

partai Gerindra dan beberapa pihak lain yang terkait dengan topik

penelitian ini. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan jawaban-

jawaban atas semua yang menjadi tema pertanyaan dengan jawaban

yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan

c. Dokumentasi

Dokumentasi dalam penelitian ini terkait dengan data-data

sekunder berupa buku-buku, dokumen, koran, majalah, serta literatur-

literatur yang relevan serta arsip-arsip lain yang terkait dengan topik

penelitian yang sedang diteliti. Dalam melakukan dokumentasi

diperlukan sumber yang memiliki data yang relevan serta dapat

dijadikan rujukan untuk memperoleh informasi sesuai dengan topik

 

32  

penelitian yang sedang diteliti sehingga penelitian tersebut sesuai

dengan yang diharapkan.

3. Teknik Analisis Data

Berdasarkan jenis yang digunakan, maka data yang telah

terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknis analis data yaitu

analisis deskriptif kualitatif. Hal tersebut bertujuan untuk

mendiskripsikan keadaan realitas dan fakta sosial dilapangan sesuai

dengan topik penelitian. Kemudian mengumpulkan data dari informan

dengan menyusun pertanyaan umum sesuai topik penelitian untuk

mendapatkan informasi yang diperlukan melalui teknik pengumpulan

data dengan wawancara mendalam, dokumentasi dan observasi. Peneliti

selanjutnya memasuki lokasi penelitian dan mengumpulkan data dari

informan dengan merekam hasil wawancara, membuat catatan dari

wawancara, mengumpulkan data hasil dokumentasi. Triangulasi untuk

keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu

dengan cara membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil

wawancara, membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen.

Verifikasi diklarifikasikan sesuai rumusan masalah,

diinterpretasikan atau penafsiran data untuk menggambarkan pandangan

peneliti terhadap pemikiran secara cermat terhadap data yang paling

relevan dan dibutuhkan, kemudian analisis data secara secara

deskualitatif untuk mendeskripsikan keadaan realitas dan fakta sosial

lapangan sesuai dengan topik penelitiann ini, kemudian menyampaikan

 

33  

laporan laporan atau hasil penelitian berdasarkan pengumpulan data dan

pernyataan baru dan kesimpulan dari hasil penelitian tersebut. Analisis

data dalam penelitian ini meliputi 3 (tiga) kegiatan yang terjadi sejak

awal, bersamaan dengan pengumpulan data, yaitu reduksi data,

penyajian data dan penampilan kesimpulan.