33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea ke- 4 menegaskan bahwa tujuan nasional negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian yang abadi berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 1 Sebagaimana yang sudah tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi tujuan negara Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa dan anak merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. 2 Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud 1 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Alenia Ke- 4 2 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Hlm. 56.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/687/1/bab1.pdfBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea ke- 4 menegaskan bahwa tujuan nasional

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea ke- 4 menegaskan

bahwa tujuan nasional negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta

melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian yang abadi berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.1

Sebagaimana yang sudah tercantum di dalam Undang-Undang Dasar

1945 yang menjadi tujuan negara Indonesia yaitu melindungi segenap

bangsa dan anak merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari

keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan bangsa dan negara.

Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas

dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan

hidup, tumbuh, dan berkembang serta pelindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan

generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus

dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber

daya manusia yang tangguh serta berkualitas.2 Berkaitan dengan pembinaan

anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala

permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud

1Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Alenia Ke- 4

2Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),

Hlm. 56.

menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan

sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka

pengadilan.3

Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak

yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 hingga keperaturan Undang-

undang dibawahnya bahwa setiap warga negara harus di perlakukan baik

dan adil sama kedudukannya di dalam hukum. Setiap Negara dimanapun di

dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup

terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi,

sosial dan budaya. Sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari

prespektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh

pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih

jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini

pun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak

yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.4

Dalam konteks hukum acara pidana menegaskan bahwa aktivitas

pemeriksaan tindak pidana yang dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan

pejabat lainnya haruslah mengutamakan kepentingan anak atau melihat

kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan

tanpa mengurangi perhatian kepada kepentingan masyarakat.5 Sementara itu

3Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2005), Hlm . 3.

4M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2004), Hlm. 17.

5 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,, 2002), Hlm. 18.

dari perspektif ilmu pemidanaan meyakini bahwa penjatuhan pidana

terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa

anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek

penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat).

pidana penjara dapat memberikan stigma yang akan terbawa terus

walaupun yang bersangkutan tidak melakukan kejahatan lagi. Akibat

penerapan stigma bagi anak akan membuat mereka sulit untuk kembali

menjadi anak baik.6

Anak Indonesia sebagai anak bangsa sebagian besar mempunyai

kemampuan dalam mengembangkan dirinya untuk dapat melaksanakan hak

dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan

bermanfaat untuk sesama manusia. Kondisi fisik dan mental seorang anak

yang masih sangat lemah sering kali memungkinkan dirinya disalahgunakan

secara legal atau ilegal, secara langsung atau tidak langsung oleh orang-

orang di sekelilingnya tanpa dapat berbuat sesuatu.

Kondisi buruk bagi anak ini, dapat berkembang secara terus-menerus

dan mempengaruhi kehidupanya dalam keluarga masyarakat dan negara.

Situasi yang seperti ini dapat membahayakan negara, karena pada dasarnya

maju atau mundurnya suatu bangsa sangat tergantung bagaimana bangsa itu

mendidik anak-anaknya. Oleh karena itu, perlindungan anak perlu

mendapatkan perhatian khusus didalam pembangunan bangsa. Kondisi

buruk bagi anak ini, dapat berkembang secara terus-menerus dan

6Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo, 2011),

Hlm 87.

mempengaruhi kehidupanya dalam keluarga, masyarakat dan negara. Situasi

yang seperti ini dapat membahayakan negara, karena pada dasarnya maju

atau mundurnya suatu bangsa sangat tergantung bagaimana bangsa itu

mendidik anak-anaknya.7 Oleh karena itu, perlindungan anak perlu

mendapatkan perhatian khusus didalam pembangunan bangsa Negara

Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga

Negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak asasi

manusia. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang, berpartisipasi, serta berhak perlindungan dari tindak pidana

dan diskriminasi serta hak sipil atas kebebasan. Arti dari anak dalam

penjelasan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

yang menyebutkan bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan

Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya

melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus

dijiunjung tinggi. Sebelum anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi

dewasa, maka sebelumnya, terlebih dahulu anak-anak tersebut akan

mengalami masa-masa atau dunia anak-anak. Selanjutnya dunia anak-

anaklah yang akan membentuk dan mempersiapkan bagaimana proses

pendewasaan nanti. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapatkan

kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara

optimal baik fisik, mental, sosial dan berakhlak mulia. Upaya perlindungan

7 Darwan Print, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2003), Hlm. 5

dan pembinaan terhadap anak perlu dilakukan dengan memberikan jaminan

terhadap pemenuhan atas hak-haknya serta perlakuan tanpa

diskriminasitermasuk ketika anak berada dalam suatu pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.8

Perlindungan dari kekerasan ataupun diskriminasi kepada anak ini

juga diberikan kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana.

Perlindungan ini salah satunya dengan adanya hak untuk dipisahkan

penempatannya dengan narapidana dewasa dalam lembaga pemasyarakatan.

Ketentuan mengenai penempatan secara terpisah ini sudah diatur dalam

peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu antara lain Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (selanjutnya

disebut Undang-Undang Pemasyarakatan) yang pada pasal 4 disebutkan

bahwa Lembaga Pemasyarakatan termasuk Lembaga Pemasyarakatan Anak

didirikan disetiap ibukota kabupaten. Lembaga Pemasyarakatan ini setelah

berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak (Undang-Undang SPPA) berganti istilah menjadi

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Dicampurnya Anak dengan narapidana ini juga tidak sesuai dengan

ketentuan pasal 3 huruf (b) Undang-Undang SPPA. Karena dalam Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Disebutkan bahwa setiap anak dalam

proses peradilan pidana berhak dipisahkan dari orang dewasa. Selain itu

dalam Undang-Undang Pemasyarakatan pada pasal 18 ayat (1), pasal 25

8 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama,2006), Hlm. 45

ayat (1) dan pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa Anak Didik

Pemasyarakatan yang terdiri dari Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil

ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Istilah Anak Didik

Pemasyarakatan pada saat ini sudah tidak digunakan lagi. Hal ini sesuai

dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang SPPA yaitu pada

pasal 1 angka 3 yang berbunyi, “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang

selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)

tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana”.9 Sehingga sesuai dengan ketentuan tersebut

istilah Anak yang Berkonflik dengan hukum yang menjalani pembinaan

yang biasanya disebut dengan Anak Didik Pemasyarakatan, dengan

berlakunya Undang-Undang SPPA disebut sebagai Anak.

Ketentuan mengenai penempatan Anak yang terpisah dengan

narapidana ini pada kenyataannya tidak didukung dengan jumlah Lembaga

Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang memadai di Indonesia. Di

Indonesia, sampai saat ini hanya terdapat 18 provinsi yang telah memiliki

LPKA, antara lain Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Riau,

Jambi, dan Lampung. Di Pulau Jawa, minus DKI Jakarta, seluruh provinsi

telah memiliki LPKA, yakni di Banten. LPKA juga baru disediakan di Jawa

Barat, tahun 2013. LPKA lainnya berada di Jawa Tengah, dan di Jawa

Timur.Di luar itu, baru ada LPKA Di Bali; di Nusa Tenggara Barat; di Nusa

Tenggara Timur; di Sulawesi Selatan; di Sulawesi Utara; di Kalimantan

9 Republik Indonesia, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 Angka 3.

Barat; di Kalimantan Selatandan di Batam. Hal ini berarti terdapat 16

provinsi di Indonesia yang tidak memiliki LPKA.10

Padahal kasus kejahatan yang melibatkan anak akhir-akhir ini semakin

banyak, salah satu contoh yang penulis temukan di lembaga pemasyarakatan

kelas II B Bangkinang anak yang berkonflik dengan hukum berada dalam

lingkungan dengan narapidana dewasa hal tersebut disebabkan karena

kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung sehingga nara pidana

anak berada dalam lingkungan yang sama dengan narapidana dewasa

walaupun LPKA sudah disediakan di Riau. Keberadaan anak-anak dalam

tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih

dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban

berbagai tindak kekerasan. Kondisi lembaga pemasyarakatan akan

menghambat tercapainya tujuan pembinaan dalam sistem pemasyarakatan

bagi Anak yang tercermin dalam pasal 2 Undang-Undang Pemasyarakatan,

yang berbunyi:11

“Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk

warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak

pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,

dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara

wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”

Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya

sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu

10 Http://Ditjenpas.Go.Id/Berita-Terkini/Ditjen-Pas-Susun-Pedoman-Penyelenggaraan-

Pemasyarakatan-Di-Bapas-Lpas-Dan-Lpka,

11

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,

Pasal 2.

diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dan Peraturan perundangan lain

yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang

tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak

pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya,

hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak

jaminan sosial, aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Negara

sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut

wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Sayangnya dalam

pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering

mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor

internal maupun faktor eksternal.12

Berbicara mengenai hak-hak anak yang harus dijunjung tinggi tidak

terlepas pula dari hak asasi anak yaitu Hak asasi anak merupakan bagian

dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum

internasional maupun hukum nasional, yang secara universalpun dilindungi,

Sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan

anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaang

pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama

dengan orang dewasa dan berlaku di Indonesia. Pemidanaan itu sendiri lebih

12

Harkristuti Harkrisnowo, Tantangan Dan Agenda Hak-Hak Anak, (Jakarta: Hukum

Nasional, Edisi Februari, 2002), Hlm. 46.

berorientasi kepada individu pelaku atau biasa disebut dengan

pertanggungjawaban individual atau personal (Individualresponsibility)

dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk bertanggung

jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan anak

merupakan individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas

tindakan atau perbuatan yang dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak

merupakan individu yang belum matang dalam berpikir. Oleh sebab itu

dengan memperlakukan anak itu sama dengan orang dewasa maka

dikhawatirkan si anak akan dengan cepat meniru perlakuan dari orang-orang

yang ada di dekatnya.

Peradilan khusus bagi anak diadakan guna mengatasi permasalahan

tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang masih termasuk golongan

anak-anak di lingkungan pradilan umum. Undang-Undang tentang

Pengadilan Anak akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional

untuk perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan pidana

Anak juga ditujukan sebagai perangkat hukum dalam melaksanakan

pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang

bermasalah dengan hukum maupun penegakan hak-hak anak dan hukum

anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak13

.

Salah satu yang menjadi persoalan dalam kehidupan masyarakat ialah

tentang kejahatan yang dilakukan oleh anak. Bahkan tidak hanya saja

13

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, (Bandung: Alumni, 2011), Hlm.

43.

dilakukan oleh orang-orang dewasa saja, akan tetapi juga anak-anak yang

dikategorikan oleh hukum masih dibawah umur sebagai pelakunya tindak

pidana. Perbuatan anak yang nyata-nyata bersifat melawan hukum,

dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Sebagai akibatnya,

kehidupan masyarakant menjadi resah, timbul perasaan tidak aman dan

nyaman, Oleh karena itu, diperlukan adanya perhatian terhadap

penanggulangan dan penaganannya, khususnya dibidang hukum pidana

beserta hukum acaranya. Adapun hukuman atau pemidanaan yang

dijatuhkan terhadap anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana

yang di atur dalam perundang-undangan ataupun dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP). Anak yang yang dikategorikan sebagai

anak dibawah umur adalah bila anak tersebut belum berusia delapan belas

(18) tahun.14

Setiap anak memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara

utuh, serasi, selaras dan seimbang. Pembinaan dan perlindungan anak ini tak

mengecualikan pelaku tindak pidana anak, yang kerap disebut sebagai anak

nakal. Selama ini, penanganan perkara pidana yang pelakunya masih

tergolong anak dibawah umur, dapat dikatakan hampir sama penanganannya

dengan perkara-perkara pidana yang pelaku tindak pidananya adalah orang

dewasa dan dalam proses pemeriksaan terhadap anak adalah apabila

terhadap tersangka anak tersebut dilakuan penahanan, dari segi waktu tidak

14

Andi Hamzah, KUHP & Kuhapedisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta., 2011)

berbeda dengan waktu penahanan yang berlaku bagi orang dewasa. Begitu

pula petugas pemeriksa dalam memeriksa tersangka anak-anak dilakukan

dengan cara yang sama dengan orang dewasa. Selain itu tidak dibedakannya

ruang tahanan nara pidana anak dengan nara pidana dewasa dengan alasan

karena kamar tahanan tidak mencukupi, maka terpaksa di campur, dengan

pelaku tindak pidana dewasa. Tindakan pencampuran ini kurang bijaksana,

karena anak-anak tersebut dapat menimba modus operandinya.15

Dalam

pertimbangan hukum, anak dapat dikategorikan sebagai anak nakal, bukan

merupakan proses tanpa prosedur dan dapat dijustifikasi oleh setiap orang.

Pemberian kategori anak nakal merupakan justifikasi yang dapat dilakukan

melalui sebuah proses peradilan yang standartnya akan ditimbang serta

dibuktikan dimuka hukum. Dengan adanya perubahan tersebut, maka

diharapkan penanganan perkara anak sudah dapat dibedakan dengan perkara

orang dewasa demi perkembangan psikologis anak serta kepentingan dan

kesejahteraan masa depan anak.

Dalam meminimalisir kasus yang merugikan anak, Negara dan/atau

Pemerintah telah berupaya memberi perhatiannya dalam wujud Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun hal tersebut

belum mampu menekan peningkatan kuantitas dan kualitas kasus yang

melibatkan anak baik Sebagai korban maupun pelaku tindak pidana. Untuk

menyikapi hal itu, maka Negara/Pemerintah, telah merumuskan suatu

15

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2008), Hlm. 51.

peraturan Perundang-Undangan baru, yaitu Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan diberlakukan

untuk mengatasi dan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan

oleh anak. Dengan adanya dan berlakunya Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut Diharapkan

dapat lebih tepat dan optimal dalam menangani serta menyelesaikan perkara

anak yang melakukan tindak pidana. Pemberian kategori anak nakal

merupakan justifikasi yang dapat dilakukan melalui sebuah proses peradilan

yang standartnya akan ditimbang serta dibuktikan, seorang anak yang masih

dibawah umur dan dikategorikan “belum dewasa” menurut hukum maka

seharusnya dalam menjatuhkan putusan atau sanksi pidana hendaklah

memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak.

Indonesia sudah memiliki sejumlah aturan untuk melindungi,

mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak.16

Hal ini seharusnya sudah

dapat menjadi rujukan dalam pengambilan kebijakan terhadap perlindungan

anak dalam sistem peradilan pidana anak berdasarkan undang-undang yang

sudah mengaturnya terlebih dahulu, akan tetapi dalam prakteknya

instrument hukum dalam bidang perlindungan anak ini masih belum

sepenuhnya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan peraturan

perundang-undang yang berlaku.

Penulisan ini menekankan pada anak-anak, mengingat dewasa ini

sering kita membaca dan mendengar baik melalui media cetak ataupun

16 Shanty Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, (Yogyakarta: PT. Liberti, 1999)

hlm. 45.

melalui media elektronik terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anak

dibawah umur, misalnya: pencabulan, pelecehan seksual, narkoba dan lain

sebagainya sehingga ia menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

Untuk menjadikan anak-anak pidana tersebut bisa berguna lagi baik untuk

dirinya, keluarga dan Negara, maka narapidana anak tersebut harus

mendapatkan pembinaan-pembinaan. Baik yang berhubunngan dengan

keagamaan maupun dengan psykologinya, dan yang menjalankan fungsi

pembinaan tersebut adalah institusi Pemasyarakatan.

Bertitik tolak dari pemahaman sistem pemasyarakatan dan

penyelenggaraannya, program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan

khususnya di Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Bangkinang ditekankan

pada kegiatan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.

Pembinaan ke pribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar

bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan

pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan

agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat berperan kembali sebagai

anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Proses pembinaan sangat berkaitan erat dengan existensi

pemasyarakatan. Pemasyarakatan sebagai salah satu penyelenggara negara

yang mempunyai tugas dan fungsi dalam penegakan hukum, terutama dalam

hal pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, wajib untuk

mengimplementasikan tugas dan fungsinya tersebut secara optimal, agar apa

yang di amanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 terlaksana dengan baik

sesuai dengan apa yang kita harapkan bersama. Tugas berat ini dapat

terlaksana bila semua unsur yang terdapat di Pemasyarakatan bekerja

bersama-sama dan sinergi antara satu dengan yang lainnya.

Mengingat seseorang yang dipenjara karena melakukan pelanggaran

hukum khususnya anak maka ia akan mengalami proses sosial seperti apa

yang disebut dengan istilah prisonisasi yaitu: proses terjadinya pengaruh

negatif (buruk) yang diakibatkan oleh sistem nilai yang berlaku dalam

budaya penjara yang bersumber dari kekuatan-kekuatan yang merusak

didalam hubungan kehidupan para penghuni penjara.

Kemudian terdapat lagi istilah stigmatisasi yang diartikan sebagai

pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan yang dilakukan dalam

proses peradilan bahwa ia adalah seorang yang jahat. Lebih jauh dan lebih

dalam lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang

bersangkutan, lebih bersar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai

benar-benar pelanggar hukum yang jahat dan pada gilirannya yang lebih

besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai

anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya. Selanjutnya hal tersebut

membawa kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya prilaku yang

menyimpang yang sekunder yang menjadi sumber utama terjadinya

kejahatan ulang (Residivis).17

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membahas

narapidana anak yang sedang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakata

17Didin Sudirman, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan

Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT Aksara Baru), hlm. 34.

khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Bangkinang, karena

anak merupakan cikal bakal dan pilar kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab

itu penulis ingin mengetahui sudah seberapa besarkah perananan yang

dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Bangkinang dalam

memberikan pembinaan kepada narapidana anak. Asumsi sementara, proses

pembinaan yang diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Bangkinang belum maksimal. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya

narapidana yang sudah bebas, kemudian mengulangi lagi tindak pidana dan

masuk kembali ke Lembaga Pemasyarakatan, maka penulis tertarik untuk

meneliti tesis dengan judul, “Pelaksanaan Pembinaan Anak Di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II B Bangkinang Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pelaksanaan pembinaan anak di lembaga

pemasyarakatan kelas II B Bangkinang berdasarkan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2. Apakah yang menjadi hambatan dalam Pelaksanaan Pembinaan Anak

di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Bangkinang berdasarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

a Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan anak di lembaga

pemasyarakatan kelas IIB Bangkinang berdasarkan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

b Untuk mengetahui hambatan-hambatan pelaksanaan pembinaan anak

di lembaga pemasyarakatan kelas II B Bangkinang berdasarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak.

2. Kegunaan Penelitian

a Penelitian ini untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis

khususnya mengenai masalah yang diteliti.

b Penelitian ini penulis berharap dapat memberikan pengetahuan kepada

masyarakat mengenai pelaksanaan pemidanaan terhadap anak yang

sebagaimana mestinya di terapkan berdasarkan undang-undang yang

berlaku.

c Penelitian ini sebagai alat mendorong bagi rekan-rekan

Mahasiswa/mahasiswi untuk melakukan penelitiam selanjutnya terkait

masalah yang akan diteliti.

D. Kerangka Teori

1. Teori Penegakan Hukum

Apabila kita bicara penegakan hukum pada hakikatnya

mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Nilai keaadilan

yang didambakan ialah nilai yang sesuai dengan pancasila sebagai

falsafah bangsa Indonesia merupakan nilai yang dapat memelihara dan

mempertahankan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara

kepentingan individu di satu pihak, dan kepentingan masyarakat dilain

pihak. Nilai keadilan inilah yang merupakan nilai yang terpenting dari

setiap peraturan perundang-perundangan, dengan kata lain kaidah-

kaidah hukum itu tidak hanya merupakan kaidah yang adil.18

Penegakan hukum selalu melibatkan manusia didalamnya dan

juga melibatkan tingkah laku manusia. Hukum tidak dapat berdiri

sendiri artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji

serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan)

hukum. Janji dan kehendak tersebut, misalnya untuk memberikan hak

kepada seseorang, mengenakan pidana terhadap seorang yang

memenuhi persyaratan tertentu dan sebagainya.19

Soerjono Soekanto mengatakan Secara konsepsional inti dan arti

dari penegakan terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-

nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap

tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap pergaulan hidup.

Didalam penegakan hidup pasangan nilai-nilai ketertiban dan nilai

ketentraman, nilai kepentingan umum dan nilai kepentingan pribadi,

nilai kelestarian dan nilai inovastisme yang dijabarkan dalam kaidah-

18

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme Dan

Abolisionisme, (Bina Cipta, Bandung, 1996), Hlm. 68.

19

Satjipto Raharjo, Penegak Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta

Pubishing , 2009), Hlm. 7.

kaidah hukum yang kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi

perilaku atau sikap tindak dianggap pantas yang bertujuan untuk

menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian.20

Penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan

dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi

kenyataan, yaitu hukum pidana menurut Van Hammel adalah

keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara adalam

kewajibannya untuk menegakan hukum, yakni dengan melarang dengan

apa yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan

nestapa (pemderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.

Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-

mata berarti pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam

kenyataan di Indonesia kecenderungan untuk mengartikan penegakan

hukum sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian

yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan

perundang-undangan atau keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan

justru mengganggu kedamaian dalam pergaulan hidup masyarakat.21

Adapun teori keadilan yang digunakan dalam hal penegakan

hukum harus memperhatikan konsep-konsep kejujuran, persamaan,

tidak memihak serta pemberian sanksi dan hadiah yang patut. Demikian

tujuan hukum adalah untuk ketertiban, kepastian hukum, keadilan dan

kemanfaatan dan tujuan pembuatan peraturan perundang-undangan

20

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.5.

21

Ibid, hlm. 8

adalah untuk mencapai ketertiban. Secara legitimasi yang berpengaruh

terhadap ketahanan sosial sebagai tujuan negara.22

Penegakan hukum

dengan produk hukum yang saling tumpah tindih menimbulkan

masalahnya masing-masing, yang pada akhirnya kriminalisasi suatu

perbuatan menjadi tindak pidana sangat mudah, akhirnya nilai keadilan

dalam masyarakat hanya menjadi slogan didalam penegakan hukum.

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegak hukum terletak

pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di

dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran

nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup.

Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor

yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai

arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnyaterletak pada isi

faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang

saja

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

yang menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan.

22

Sabian Utsman, Menuju Penegak Hukum Responsif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2008), hlm. 37.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

2. Teori pemidanaan

Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam

sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana.Sedangkan istilah

pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.23

Pada

dasarnya hukum pidana memang berfokus pada pengaturan tentang

masalah kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat.Hukum pidana

menjadi penjaga agar masyarakat terhindar dari kejahatan.Kalau

Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai The Guardian of

Constitution, maka hukum pidana dalam hubungannya dengan

kejahatan layak disebut sebagai The Guardian of Security yang

berusaha memberikan jaminan agar masyarakat tidak menjadi korban

kejahatan.24

Tujuan hukum pidana tidak melulu dicapai dengan pengenaan

pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat, berupa tindakan-

tindakan pengamanan.Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang

dikenakan kepada pembuatanya, karena melakukan suatu delik.Ini

bukan merupakan tujuan akhir, tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaaan

antara pidana dan tindakan, karena tindakan dapat berupa nestapa juga,

tetapi bukan tujuan.Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi

23

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Perkembangannya,

(Jakarta: Sofmedia, 2012), hlm. 35. 24

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2014), hlm.1.

satu, yaitu memperbaiki pembuat.Jika seorang anak dimasukkan ke

pendidikan paksa maksudnya ialah untuk memperbaiki tingkah lakunya

yang buruk.25

Tujuan hukum pidana itu adalah untuk melindungi kepentingan

orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan

masyarakat dan negara dengan perinmbangan yang serasi dari

kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa

yang sewenang-wenang di lain pihak. Dengan demikian, yang

dilindungi oleh hukum pidana bukan saja individu, tetapi juga negara,

masyarakat harta benda milik individu.26

Dalam banyak literatur hukum pidana, disebutkan bahwa tujuan

hukum pidana adalah antara lain untuk:27

1. Untuk menaku-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan

perbuatan yang tidak baik (aliran klasik);

2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan

tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam

kehidupan lingkungannya (aliran modern).

Menurut aliran klasik tujuan hukum pidana untuk melindungi

individu dari kekuasaan penguasa atau negara.Sebaliknya menurut

aliran modern mengajarkan tujuan huku pidana untuk melindungi

masyarakat terhadap kejahatan, dengan demikian hukum pidana harus

memerhatikan kejahatan dan keadaan penjahat, maka aliran ini

25

Andi Hamzah, Op.Cit.,hlm.35-36. 26

Erdianto Effendi, Op.Cit.,hlm.33. 27

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.14.

mendapat pengaruh dari perkembangan kriminologi.28

Menurut

Remmelink hukum pidana bukan tujuan pada diri sendiri, tetapi

ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat

hukum.Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung

pada paksaan.29

Dalam literatur berbahasa Inggris, tujuan pidana biasa disingkat

dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan

Retribution, sedangkan satu D ialah Deterrence, yang terdiri atas

individualdeterrence dan generaldeterrence (pencegahan khusus dan

pencegahan umum).30

Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat

menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan

memperoleh keuntungan dan tiada seorangpun yang merugi jika

penjahat menjadi baik. Reformasi perlu digabung dengan tujuan yang

lain seperti pencegahan. Kritikan terhadap reformasi ialah ia tidak

berhasil, ketidakberhasilannya nyata banyaknya residivis setelah

menjalani pidana penjara. Yang perlu ditingkatkan dalam sistem

reformasi ini ialah intensitas latihan dipenjara lebih ditingkatkan.31

Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat.

Dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti

masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Jadi ada kaitannya juga

28

Ibid., 29

Andi Hamzah, Op.Cit.,hlm.36. 30

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Perkembangannya,

(Jakarta: Sofmedia, 2012), hlm. 37. 31

Ibid.,hlm. 39

dengan sistem reformasi, jika dipertanyakan berapa lama terpidana

harus diperbaiki di dalam penjara yang bersamaan dengan itu ia tidak

berada di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memerlukan

perlindungan fisik dari perampok bersenjata dan penodong daripada

orang yang melakukan penggelapan.32

Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah

melakukan kejahatan.Sekarang ini, banyak dikritik sebagai sistem yang

bersifat barbar dan tidak sesuai dengan masyarakat yang

beradab.Namun, bagi yang pro pembalasan ini mengatakan, bahwa

orang yang menciptakan sistem yang lebih lunak kepada penjahat

adalah seperti reformasi itu membuat Magna Charta bagi penjahat

(Magna Charta for Law Breaker). Sifat primitif hukum pidana memang

sulit dihilangkan, berbeda dengan bidang hukum yang lain.33

3. Teori Sistem Peradilan Pidana

Istilah “criminal justice system” atau sistem peradilan pidana

kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja

dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar

pendekatan sistem.34

Sistem peradilan pidana disebut juga sebagai

“criminal justice process” yang dimulai dari proses penangkapan,

32

Ibid., 33

Ibid., 34

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010),

hlm.2.

penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta

diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.35

Sistem peradilan pidana yang digariskan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana merupakan “sistem terpadu” (integrated criminal

justice system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan

prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai

dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang

kepada masing-masing.36

Tujuan pokok “gabungan fungsi” dalam

kerangka criminal justice system: untuk “menegakkan, melaksanakan

menjalankan”, dan “memutuskan hukum pidana”.37

(a) Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana

dapat dirumuskan: mencegah masyarakat menjadi korban

kejahatan;

(b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah di pidana;

dan

(c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan

tidak mengulangi lagi kejahatannya.38

35

Yesmil Anwar Dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep,Komponen, Dan

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009),

hlm.33. 36

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan

Penuntutan (Jakarta: Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2008), hlm.90. 37

Ibid.,

38

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010),

hlm. 3.

Dalam rangka mencapai tujuan dalam peradilan pidana tersebut

masing-masing petugas hukum (polisi, jaksa, hakim) meskipun tugas

berbeda-beda tetapi mereka harus bekerja dalam satu kesatuan sistem.

Artinya, kerja masing-masing petugas hukum tersebut harus

berhubungan secara fungsional. Karena, seperti yang diketahui bahwa

penyelenggaraan peradilan tersebut, adalah merupakan suatu sistem,

yaitu suatu keseluruhan terangkai yang terdiri dari atas unsur-unsur

yang saling berhubungan secara fungsional.39

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan

bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat

bekerja sama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal justice

system”.40

Dalam sistem peradilan pidana yang lazim, selalu melibatkan

dan mencakup sub-sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses

peradilan pidana sebagai berikut:41

1. Kepolisian, dengan tugas utama: menerima laporan dan pengaduan

dari publik manakala terjadinya tindak pidana; melakukan

penyelidikan adanya penyidikan tindak pidana; melakukan

penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk

39

Yesmil Anwar Dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, Dan

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Widya Padjajaran, 2009),

hlm. 28. 40

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010),

hlm. 7.

41

Yesmil Anwar Dan Adang, Op.Cit, hlm.64.

diajukan ke kejaksaan; melaporkan hasil penyidikan kepada

kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat

dalam proses peradilan pidana.

2. Kejaksaan dengan tugas pokok: menyaring kasus yang layak

diajukan ke pengadilan; mempersiapkan berkas penuntutan;

melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.

3. Pengadilan yang berkewajiban untuk: menegakkan hukum dan

keadilan ; melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam

proses peradilan pidana; melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara

efisien dan efektif; memberikan putusan yang adil dan berdasarkan

hukum; dan menyiapkan arena publik untuk persidangan sehingga

publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian terhadap proses

peradilan tingkat ini.

4. Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk : menjalankan

putusan pengadilan yang merupakan pemenjaraan; memastikan

perlindungan hak-hak narapidana; mempersiapkan narapidana untuk

kembali ke masyarakat.

5. Pengacara, dengan fungsi: melakukan pembelaan bagi klien; dan

menjaga hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan pidana.

Hal terpenting bagi suatu proses sistem adalah keseimbangan

potensi dan fungsi masing-masing komponennya. Kerusakan salah satu

komponen dapat merusak kesimbangan global, dan karenanya akan

berpengaruh terhadap perwujudan tujuan sistem itu.42

Oleh karena itu, sistem peradilan pidana melalui produk

peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang dituangkan dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 yang menjadi dasar penyelenggaraan dari sistem

peradilan pidana, belum benar-benar mencantumkan terhadap apa yang

di isyaratkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan falsafah negara

Pancasila tersebut.

Hal demikian memunculkan persoalan klasik, bahwa sistem

peradilan pidana sebagai basis penyelesaian perkara pidana tidak

mengakui eksitensi korban tindak pidana selaku pencari keadilan,

seorang korban tindak pidana akan menderita kembali sebagai akibat

dari sistem hukum itu sendiri, karena korban tindak pidana tidak bisa

dilibatkan secara aktif seperti halnya dalam beracara perdata, tidak

dapat langsung mengajukan sendiri perkara pidana ke pengadilan

melainkan harus instansi yang ditunjuk (kepolisian dan kejaksaan).

E. Konsep Operasional

Guna lebih terarahnya penelitian ini dan untuk menghindari

kesimpang siuran dalam memahami judul tersebut, maka penulis

memberikan penjelasan dan batasan-batasan tentang istilah yang

digunakan dalam judul penelitian ini.

42

Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi Dan Fungsinya Dari Persfektif Hukum, (Jakarta:

Gramedia, 2005), hlm. 101.

Makna Pembinaan disini adalah Kegiatan untuk meningkatkan

kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap

dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan

anak didik pemasyarakatan.43

Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang pelindungan anak).

Narapidana anak atau anak didik Pemasyarakatan adalah:

a Anak pidana

Anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana

lapas anak. Paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)

tahun.

b Anak negara

Anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan

kepada negara untuk di didik dan dtempatkan di lapas anak.

Paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

c Anak sipil

Anak yang atas permintaan orang tua atau walinya

memperoleh menetapan pengadilan untuk di didik di lapas

anak, paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

43

PP 31 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 adalah Undang-Undang

tentang Pemasyarakatan. Selanjutnya disebut Lembaga Pemasyarakatan

adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak

didik Pemasyarakatan.44

Bangkinang adalah sebuah kabupaten kampar yang ada di

Daerah Provinsi Riau dan berjarak 60 km dari Kota Pekanbaru (ibu kota

provinsi Riau)

Dari pengertian ini didapat bahwa adanya pembinaan yang

diberikan oleh suatu pihak, dalam hal ini pihak Lembaga

Pemasyarakatan kepada pihak lain yaitu anak didik pemasyarakatan.

Hal ini terlihat jelas dengan adanya dua pihak yang saling berkaitan

antara satu dengan yang lainnya yaitu pemerintah dalam hal ini pihak

Lembaga Pemasyarakatan.

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini untuk memperoleh hasil sebagaimana

yang diharapkan dan memperoleh data yang akurat, maka penulis menyusun

metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Dan Sifat Penelitian

Dilihat dari jenisnya, penelitian ini tergolong kedalam penelitian

lapangan, yaitu Observation Reseach, dimana dilakukan dengan cara

survey. Sedangkan dilihat dari jenisnya penelitian ini bersifat deskriptif,

44 Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

yaitu untuk memberikan gambaran pembinaan yang diberikan oleh

Lembaga Pemasyarakatan kepada narapidana anak.45

2. Lokasi penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan penelitian

maka penelitian ini dilakukan diwilayah hukum Lembaga

Pemasyarakatan kelas II B Bangkinang.

3. Populasi dan Sampel

Adapun yang menjadi populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah

terdiri dari beberapa unsur yaitu:

a Petugas pembinaan Anak Lembaga Pemasyarakatan kelas II B

Bangkinang sebanyak 2 orang.

b Narapidana anak sebanyak 6 orang.

Karena jumlah populasi relative besar, maka penentuan sampel

dalam penelitian ini ditetapkan sebanyak 31% dari jumlah

populasi narapidana anak yang sedang menjalani pidana penjara

dengan jumlah 19 (Sembilan belas) orang sehingga diperoleh

sampel masing-masing sebanyak 6 orang.

c Kakanwil Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi

Riau

45

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2002),

Hlm.52.

4. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini, dibedakan menjadi 2 (dua)

macam yaitu :46

a. Data Primer

Data primer adalah data yang penulis dapatkan atau peroleh secara

langsung melalui responden di lapangan melalui pembagian

kuisioner dan wawancara yang berkenan dengan pembinaan serta

peran serta lembaga pemasyarakatan dalam memberikan pembinaan

kepada narapidana anak.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari berbagai studi

kepustakaan serta peraturan Perundang-Undangan, buku-buku

literatur serta pendapat para ahli yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian ini.

c. Data Tersier

Data tersier adalah suatu kumpulan dan kompilasi sumber primer

dan sumber sekunder. Contoh sumber tersier adalah bibliografi,

katalog perpustakaan, direktori, dan daftar bacaan.

46

Amirudin Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2004), Hal.32.

5. Teknik Pengumpulan Data

Kuisioner diajukan kepada narapidana anak yang berjumlah 6 orang

adalah suatu daftar pertanyaan yang telah dibuat dan disusun secara

sistematis dengan sistem tertutup artinya dalam pengisian kuisioner

tersebut responden hanya dapat memilih dan menjawab sendiri

pertanyaannya yang diajukan kepadanya. Sistem ini sengaja digunakan

untuk memudahkan identifikasi permasalahan.

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh

keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.47

.

Wawancara dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B

Bangkinang. Kakanwil Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Provinsi Riau. Wawancara dipergunakan untuk mengumpulkan data

primer dari instansi terkait yang terpilih sebagai responden.

Kajian Kepustakaan yaitu penulis mengambil kutipan dari buku bacaan,

literatur, atau buku pendukung yang memiliki kaitan dengan

permasalahan yang akan diteliti.

6. Analisis Data

Berdasarkan dengan rumusan permasalahan dan pembahasan atas

permasalahan yang dipergunakan maka teknik analisis data penulis

lakukan dengan metode kualitatif, yaitu menguraikan data yang

diperoleh dalam bentuk kalimat yang teratur, logis, dan efektif sehingga

dapat memberikan penjelasan atas rumusan permasalahan yang penulis

47

Burhan Ashshafa, Metode Penelitian Hukum,(Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Hlm. 95.

angkat. Sedangkan metode berpikir yang penulis gunakan dalam

menarik kesimpulan adalah metodededuktif. Metode deduktif ialah cara

berpikir yang menarik suatu kesimpulan dari suatu pernyataan atau dalil

yang bersifat umum menjadi suatu pernyataan yang bersifat khusus.48

48

Ibid, Hlm. 100.