23
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Undang-Undang SPPA) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 Undang-Undang SPPA). Artinya Undang- Undang SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014. Undang-Undang SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Undang-Undang Pengadilan Anak) yang bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang- Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. (Marlina, 2012:22) Substansi yang diatur dalam Undang-Undang SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.ummetro.ac.id/files/mhs/0c402a76c2e5ebab3324869a7f66aa7e.pdfhukum adalah Undang-Undang Nomor 11 ... Substansi yang diatur dalam Undang-Undang

  • Upload
    buiminh

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan

hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak (Undang-Undang SPPA) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah

tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam

Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 Undang-Undang SPPA). Artinya Undang-

Undang SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.

Undang-Undang SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Undang-Undang Pengadilan Anak) yang

bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan

kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-

Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum

dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan

khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. (Marlina, 2012:22)

Substansi yang diatur dalam Undang-Undang SPPA antara lain mengenai

penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga

Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam

Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif

dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari

proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang

2

berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam

lingkungan sosial secara wajar. Sejak sebelum masehi sampai di Abad ke-21

sekarang ini, para pakar berusaha memahami dan mencari sumber-sumber dari

kejahatan. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa sumber kejahatan adalah

Emas, Kemiskinan dan Kekuasaan. Pada akhir Abad ke-19 keprihatinan mulai

melanda Negara Eropa dan Amerika, kriminalitas yang dilakukan oleh anak dan

remaja jumlahnya meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan masa anak-anak

merupakan masa dimana banyak sekali terjadi hal-hal yang sangat kompleks yang

salah satunya adalah perbuatan kenakalan yang akhirnya Perbuatan tersebut

menyebabkan mereka berurusan dengan pihak penegak hukum untuk

mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya. (Setya, 2010:41)

Pada situasi seperti saat inilah terdapat aneka ragam situasional tekanan, baik itu

bersifat fisik maupun psikis yang dapat menyebabkan seorang anak melakukan

tindakan yang menjurus pada delik. Kejahatan yang dilakukan oleh anak perlu

mendapat perhatian serius, baik oleh kalangan penegak hukum maupun oleh

masyarakat dimana anak itu bersosialisasi mengingat perbuatan ini sangat

merugikan masyarakat. Hal ini juga mengingat bahwa manusia, jika dalam

keadaan sedang marah atau emosi, khususnya yang terjadi pada seorang anak

dimana mereka belum dapat mengontrol emosinya dengan baik karena seorang

anak kita ketahui belum terlalu bisa memikirkan terlalu jauh terhadap dampak dari

perbuatan yang dia lakukan.

Pemikiran mereka masih labil dibandingkan dengan orang dewasa. Kejahatan sulit

bahkan tidak mungkin untuk dihilangkan. Hal yang dapat dilakukan hanya

3

menekan laju kejahatan itu sendiri dengan melibatkan masyarakat dan aparat

penegak hukum itu sendiri. Berbagai upaya dilakukan oleh para penegak hukum

untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan, termasuk kejahatan yang

dilakukan oleh anak. Banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak di

sekitar kita memang sangat memprihatinkan, apalagi sebagaimana yang kita

ketahui bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber

daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,

yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,

memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan

dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan

seimbang, tetapi yang mengherankan pada kenyataannya bahkan ada beberapa

anak yang telah keluar masuk penjara, sehingga dapat mengkhawatirkan jika anak

menjadi pelaku kejahatan.

Dengan adanya beberapa anak yang telah keluar masuk BAPAS ataupun penjara

dengan melakukan pengulangan kejahatan yang biasa disebut residivis, maka hal

ini memang sangat penting untuk diperhatikan dan menjadi pekerjaan rumah (PR)

bagi para penegak hukum dan pemerintah untuk melakukan tindakan preventif

agar anak tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Memang menjadi suatu

dilema ketika anak melakukan suatu kejahatan apa lagi melakukan kejahatan

sampai keluar masuk penjara karena pada dasarnya kejahatan merupakan dunia

tersendiri dan memiliki banyak persoalan, seperti persoalan tingkat pendidikan,

psikologi dan terutama persoalan hukum. Residivis sendiri cuma merupakan

istilah bagi seseorang yang telah melakukan pengulangan tindak pidana baik itu

tindak pidana yang sama dengan kejahatan sebelumnya maupun kejahatan yang

4

lain yang telah dirumuskan dalam Buku II KUHP tetapi KUHP tidak menjelaskan

secara khusus tentang apa yang dimaksud dengan residivis.

Kejahatan yang dilakukan oleh anakpun terjadi karena terjadinya ketidak

seimbangan antara jasmani dan rohani seorang anak dan keadaan itu akan

mengakibatkan hilangnya pertimbangan-pertimbangan moral yang pada akhirnya

mendorong seseorang khususnya seorang anak untuk melakukan kejahatan dan

pelanggaran. Kejahatan membunuh seseorang yang dilakukan oleh anak

merupakan salah satu contoh penyimpangan perilaku yang sangat

mengkhawatirkan. Hal ini menandakan bahwa kejahatan merupakan satu masalah

pokok dalam kehidupan manusia yang tidak mungkin bisa dihilangkan. Sejarah

telah membuktikan bahwa menghilangkan kejahatan merupakan suatu yang

mustahil. Harus disadari bahwa anak merupakan potensi manusia dimasa

mendatang, generasi muda penerus cita-cita bangsa dan merupakan sumber daya

manusia yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa.

Anak akan berkembang dengan baik diperlukan kepedulian baik dari orang tua,

masyarakat, maupun pemerintah untuk memberi perlindungan, pendidikan dan

perhatian tentang pengenalan hukum secara dini agar anak dapat mengetahui

perbuatan-perbuatan mana yang menyimpang. Melihat semakin banyaknya

masalah kejahatan yang dilakukan oleh anak sehinggah ada beberapa anak yang

telah keluar masuk penjara dan menjadi seorang residivis khususnya yang terjadi

di beberapa kota di indonesia, yang perlu diperhatikan khususnya oleh penegak

hukum seperti pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun instansi yang

terkait.

5

Berdasarkan uraian di atas hal tersebut menarik perhatian penulis untuk

melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS PENERAPAN PIDANA

TERHADAP PELAKU RESIDIVIS ANAK”

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas tersebut, maka penulis

merumuskan permasalahannya sebagai berikut, yaitu:

a. Bagaimanakah penerapan pidana terhadap pelaku residivis anak?

b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penerapan pidana terhadap

pelaku residivis anak?

2. Ruang Lingkup

Agar penelitian ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan di atas, maka

dipandang perlu bagi penulis membatasi ruang lingkup penelitian yakni:

a. Subtansi ilmu penelitian ini merupakan penelitian tentang ilmu hukum pidana

b. Objek dari penelitian ini mengenai penerapan pidana terhadap pelaku residivis

anak.

c. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2015.

d. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Pengadilan Negeri Gunung Sugih.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan hal yang hendak penulis teliti yang berlandasarkan latar belakang

dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian skripsi ini adalah :

6

a. Untuk mengetahui penerapan pidana terhadap pelaku residivis anak.

b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penerapan pidana terhadap pelaku

residivis anak.

2. Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

a. Kegunaan Teoritis

Dari hasil penelitian ini diharapankan dapat dijadikan sebagai bahan kepustakaan

dan bahan referensi hukum bagi mereka yang berminat pada kajian-kajian ilmu

hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada instansi-

instansi terkait, khususnya kepada aparat penegak hukum terkait penerapan pidana

terhadap pelaku residivis anak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah suatu konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya, bertujuan untuk

mengidentifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh

peneliti. (Soerjano Soekanto, 2006:125)

Penegakan hukum pidana pada dasarnya adalah kebijakan penagakan hukum

melalui tiga tahap, yaitu:

7

1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh pembuat

undang-undang yang disebut juga legislative atau merupakan tahap strategis

dalam penanggulangan kejahatan dan proses fungsionalisasi hukum, tahap

formulasi juga tahap yang menjadi dasar atau pedoman bagi tahap

fungsionalisasinya.

2. Tahap aplikasi, yaitu: merupakan tahap penerapan pidana oleh aparat penegak

hukum atau badan hukum mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan.

Tahap ini disebut juga dengan tahap yudikatif.

3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan dari hukum pidana secara konkrit yang

ditegakkan oleh penegak hukum sebagai pelaksana pidana.

(Barda Nawawi Arief, 2008:75).

Menurut Barda Nawawi Arief (2008:76) bahwa tujuan tersebut dapat

diidentifikasikan hal-hal pokok sebagai berikut:

a. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan menunjang tujuan (goal),

kesejahteraan masyarakat/ social welfare (SW) dan perlindungan

masyarakat/Social Defense (SD), Aspek SW dan SD sangat penting adalah

aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immateri, terutama

nilai kepercayaan, kebenaran/kejujuran/keadilan.

b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan

integral, ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari sudut

politik criminal, kebijakan paling sterategis melalui sarana non penal, karena

lebih bersifat preventif dan kebijakan penal memiliki kelemahan/keterbatasan

(yaitu bersifat fragmentaris/ simplitis/ tidak structural fungsional: simtomatik/

tidak kausatif/ tidak eliminative: indifidualistik atau “avender-orientid/ tidak

8

victim-orientid” : lebih bersifat represif/ tidak preventif: harus didukung oleh

infrastruktur dengan biaya tinggi)

c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan

penal policy atau penal law and forcement policy yang fungsionalisasi atau

operasionalisasinya melalui beberapa tahap yakni tahap formulasi, maka upaya

pencegahan dan penaggulangan kejahatan bujan hanya tugas aparat penegak

hukum, tetapi juga aparat pembuat hukum (aparat legislative) : bahkan

kebijakan legislative merupakan tahap yang paling strategis dari “penal

policy”. Karena itu, kesalahan/ kelemahan kebijakan legislative merupakan

kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan

penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

Teori-teori penegakan Hukum dapat kita jumpai diberbagai literatur, baik itu

buku, majalah atau media lain yang tersebar. artikel yang sedang anda baca ini

satu dari sekian banyak yang mengulas mengenai teori penegakan Hukum. untuk

itu, berikut ini penulis akan membahas dengan bahasa sederhana beberapa teori

yang membahas tentang penegakan hukum. Pakar Hukum yang sangat terkenal

dengan teorinya adalah Freidmann. menurut Freidmann Friedman berhasil atau

tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: dibagi menjadi 3 (tiga),

yaitu:Substansi Hukum,Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum.

1. Subtansi Hukum

Substansi hukum adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan

hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan

pengadilan

9

2. Struktur Hukum

adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi

mencakupi: kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya;

kantor-kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para

hakimnya

3. Budaya Hukum

Adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik

dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.Substansi dan Aparatur

saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. oleh karenanya, Lawrence M

Friedman menekankan kepada pentingnya Budaya Hukum (Legal Culture)

Barda Nawawi Arief, (2008:71) menjelaskan tentang Negara Hukum menurut

Undang-undang Dasar 1945 adalah negara hukum dalam arti yang luas, yang

menjamin hak-hak dan kewajiban asasi warga negara/manusia, memajukan

kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila. . Hal ini berarti

bahwa Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam Negara

hukum Republik Indonesia penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi

manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan

tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara. Apabila hak asasi seseorang

dilanggar oleh orang lain, maka orang tersebut akan selalu menuntut dan

memperjuangkan terlaksananya hak asasi ini dengan segala cara. Hal ini

dikarenakan hak-hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang dimiliki

sejak bayi dalam kandungan lahir dan hidup di dalam kehidupan masyarakat.

Dalam sejarah kemanusiaan, tak sedikit yang mencatat kejadian dimana seseorang

10

atau segolongan manusia memperjuangkan apa yang dianggap haknya. Hal ini

terbukti dengan lahirnya naskah-naskah keuniversalan dan keasasian beberapa hak

yang mengandung inti yang sama yaitu manusia tidak ingin dirampas hak

asasinya. Namun, hak asasi bangsa Indonesia yang dikenal dalam kehidupan

masyarakat tidak hanya menonjolkan hak-haknya saja sebagai hak individu yang

dituntutnya melainkan harus dipenuhi pula kewajiban-kewajibannya.

Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai suatu sistem yang terpadu dan

terkoordinasi (intergrated criminal justice) diantara sub sistem-sub sistem

peradilan pidana. Menurut Mardjono Reksodipoetro (2004:1) bahwa yang

dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan

yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Lembanga Pemasyarakatan. Pada bagian lain Mardjono (2004:84) mengemukakan

bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:

1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

3. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulanginya lagi. Berdasarkan pada kutipan di atas, dalam sistem peradilan

pidana istilah yang dipergunakan adalah “pengendalian” bukan istilah

penegakan hukum.

Menurut Muladi (2005:1-2), bahwa makna integrated crimal justice adalah

sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapar dibedakan menjadi :

11

1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization); adalah keserampakan dan

keselarasan dalam kerangka hubungan antar-lembaga penegak hukum;

2. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization); adalah keserampakan dan

keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan

hukum positif (perundang-undangan);

3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization); adalah keserampakan dan

keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah

yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Pemahaman terhadap ketiga kerangka sinkronisasi ini sangatlah penting,

mengingat bahwa sistem peradilan pidana merupakan open system (sistem

terbuka). Open system ini memiliki pengaruh besar terhadap lingkungan

masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia, terhadap keberhasilan

pencapaian tujuannya (jangka pendek resosialisasi, jangka menengah pencegahan

kejahatan dan jangka panjang kesejahteraan sosial).

Sebagai suatu sistem yang terpadu dan terkoordinasi dalam menanggulangi

kejahatan, sistem peradilan pidana harus dapat dioperasionalisasi-kan secara

maksimal dalam wujud “proses peradilan pidana”. Proses peradilan pidana yang

berpijak pada Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada tingkat pelaksanaannya terdiri atas tiga

tahapan, yaitu tahap awal proses peradilan pidana (Pra-adjudikasi), tahap sidang

pengadilan (Adjudikasi) dan tahap setelah proses persidangan (Purna-Adjudikasi).

Ketiga tahap ini harus saling berhubungan dan saling melengkapi antara yang satu

12

dan yang lain. Apabila ketiga tahap tersebut tidak berjalan sebagai mana

mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem ini secara keseluruhan.

Sebagai langkah awal dari pelaksanaan proses peradilan pidana (pra-adjudikasi)

ini, KUHAP memberikan kewenangan yang cukup besar kepada Polri, yaitu

diberikan “peran” (role) berupa “kekuasaan umum menangani kriminal” (general

policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Republik

Indonesia. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, Polri berperan untuk

melakukan “kontrol kriminal” (crime control) dalam bentuk: “investigasi-

penangkapan-penahanan-penggeledahan-penyitaan”. Kontrol kriminal (crime

control) sebagaimana dimaksud, tidak lain adalah untuk mempermudah Polri

dalam menjalankan penegakan hukum (law enforcement).

Selain memberikan kewenangan yang besar dalam proses ini, KUHAP juga

sekaligus memberikan pedoman bagi Polri dalam menjalankan kewenangannya

dalam batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi. Pedoman yang diberikan

KUHAP bagi aparatur penegak hukum termasuk Polri pada hakikatnya tidak

hanya berfungsi sebagai ketentuan yang membatasi ruang gerak kewenangan bagi

Polri tetapi sekaligus berfungsi sebagai perlindungan bagi masyarakat pada satu

sisi (bagi tersangka) serta bagi aparatur penegak hukum (Polri) pada sisi lain.

Sehingga dengan dipatuhinya KUHAP dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh

Polri akan dapat menghilangkan apa yang disebut sebagai “faktor kriminogen”

dalam rangka penegakan hukum. Karena In-put yang “salah” akan menghasilkan

out-put yang “keliru”, apabila hal ini yang terjadi maka akan menjadikan sistem

peradilan pidana yang “sesat” dan “menyesatkan”.

13

Menurut Joseph Golstein penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga

bagian (dalam Muladi,2005: 6) : Pertama, Total Enforcement, yaitu dimana ruang

lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum

pidana substantif (substantive law of crimes). Penegakan hukum pidana secara

total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum termasuk

Kepolisian dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-

aturan tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan

pemeriksaan pendahuluan. Selain itu mungkin terjadi hukum pidana substantif

sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan (klacht

delicten) sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan.

Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi

area of no enforcement, maka muncullah suatu bentuk penegakan hukum pidana

yang kedua yaitu Full Enforcement. Namun dalam ruang lingkup ini-pun para

penegak hukum termasuk Polri tidak bisa diharapkan menegakkan hukum secara

maksimal karena adanya berbagai keterbatasan, baik dalam bentuk waktu, sarana-

prasarana, kualitas sumberdaya manusia, perundang undangan dan sebagainya

sehingga mengakibatkan dilakukannya discretions.

Sehingga menurut Joseph Golstein, yang tersisa adalah Actual Enforcement.

Namun, pelaksanaan Actual Enforcement ini-pun tidak tertutup kemungkinan

untuk terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum termasuk Kepolisian. Sebagai contoh misalnya penyimpangan terhadap

hak-hak tersangka dalam penangkapan dan penahanan sebagaimana yang telah

diatur dalam Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara

14

Pidana (KUHAP). Penyimpangan ini dapat dicontohkan dengan memperlakukan

tersangka tidak sabagai subyek tetapi sebagai obyek, sehingga dalam proses

penyidikan seringkali diterapkannya apa yang disebut oleh Herbert L. Packer

dengan Crime Control Model (CCM). Hal ini dikarenakan Crime Control Model

didasarkan atas anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah

semata-mata untuk menindas prilaku kriminal (criminal conduct) dan ini

merupakan tujuan utama proses peradilan dalam CCM.

Mengacu kepada aspek budaya/ legal culture, bekerjanya suatu sistem hukum

dalam masyarakat (law in action), maka tidak akan terlepas adanya pengaruh dari

aspek nilai dan sikap, yang memberi pemahaman tentang bekerjanya sistem

hukum itu. Mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono

Soekanto (1981:33) maka menurut penulis ada beberapa hal yang dapat

mempengaruhi sikap dan nilai para fungsionaris hukum (aparat hukum)

termasuklah dalam hal ini Kepolisian dalam menjalankan kewenanganya, yaitu:

a. Tujuan dan Lembaga sebagai Organisasi

Setiap organisasi, termasuk organisasi penegak hukum selalu mempunyai

tujuan pokok tertentu, seperti apa yang dijelaskan dalam setiap Undang-

Undang yang menjadi dasar Hukum (Payung Hukum) dari masing-masing

Fungsionaris Hukum dalam menjalankan kewenangannya. Seperti apa yang

dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara RI, yang pada intinya tujuan pokok organisasi Kepolisian adalah untuk

menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam negeri. Dalam rangka

keorganisasian ini, penulis sependapat dengan pendapat yang dikemukakan

oleh J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers (dalam Soerjono Sokanto, 2001:33)

15

yang memberikan batasan, bahwa pengertian organisasi merupakan suatu

struktur sosial yang dibentuk atas suatu posisi, yang merupakan suatu

pengkoordinasian dalam rangka untuk mencapai tujuan dari organisasi

tersebut.

Sesuai dengan tujuan dari organisasi Kepolisian tersebut (sebagaimana diatur

dalam Pasal 2 Undang-Undang No.2 Tahun 2002) yang mengharuskan

pemberantasan tindak pidana dalam rangka keamanan dan ketertiban

masyarakat harus dapat dicapai secara maksimal. Sebagai suatu contoh

misalnya dikemukakan penggunaan bentuk “crime contol model”. Model ini

(CCM) yang diutamakan adalah penanggulangan kejahatan demi kepentingan

masyarakat (social defence). Sehingga dengan model ini sub-sistem

Kepolisian sebagai aparat penegak hukum harus berusaha untuk melakukan

penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana

sebanyak-banyaknya dengan harapan adanya penjatuhan pidana oleh

Pengadilan nantinya. Crime control model ini akan berhasil apabila tidak

digangu oleh peraturan-peraturan yang terlalu formal sifatnya, seperti

KUHAP misalnya, yang memberikan batasan kepada Kepolisian dalam bentuk

adanya hak-hak tersangka baik dalam proses penangkapan maupun dalam

proses penahanan, sehingga disini memunculkan terjadinya peluang-peluang

untuk melakukan “diskresi” bahkan tak jarang menimbulkan terjadinya

pelanggaran-pelanggaran.

Timbulnya penggunaan crime control model, ini tidak terlepas dari adanya

pandangan resmi (official perpective), terutama dalam rangka mengejar

16

kepentingan prestise dan efisiensi organisasi Kepolisian. Kejahatan

merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban dalam negeri,

sehingga pemberantasan kejahatan selain bermanfaat untuk terciptanya

keamanan dan ketertiban dalam negeri khususnya dan pada saat yang

bersamaan, berguna juga untuk kepentingan prestise dan efisiensi organisasi

Kepolisian itu sendiri. Begitupun sebaliknya, kepentingan prestise dan

efisiensi organisasi Kepolisian akan sulit dicapai apabila dalam pelaksanaan

tugasnya menerapkan due proses model. Dengan due proses model ini,

Kepolisian dalam hal ini tidak dapat melakukan penangkapan dan penahanan

terhadap tersangka pelaku tindak pidana sebanyak-banyaknya karena akan

dibatasi oleh prinsip-prinsip pembatas yang ada dalam KUHAP.

b. Praduga keteraturan dalam ketatalaksanaan (Presumption of administrative

regularity)

Suatu keadaan yang dapat mempengaruhi nilai dan sikap, berawal adanya pola

berpikir : bahwa karena petugas Kepolisian berada dalam suatu ikatan

ketatalaksanaan yang teratur, dan rutin, maka kesalahan bertindak adalah

hampir tidak mungkin terjadi. Mengacu kepada pendapat yang dikemukakan

oleh Leonard Broom dan Philip Selznick, (dalam Soerjono Soekanto, 1981:34)

yang menyatakan bahwa dalam suatu ikatan ketatalaksanaan yang wajar, dapat

disimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan adalah hal yang luar biasa, dan

petugas itu tidak bertindak tanpa alasan yang cukup. Asumsi dasar ini muncul,

dikeranakan adanya sistem yang “telah teratur”, dari organisasi Kepolisian ini,

sehingga sangat kecil kemungkinan adanya kesalahan bagi anggota Kepolisian

dalam bertindak. Dengan perkataan lain, kesalahan bertindak bagi anggota

17

Kepolisian dalam menjalankan tugasnya adalah suatu hal yang sangat luar biasa

sekali. Sehingga dengan adanya praduga keteraturan dalam ketatalak-sanaan ini

menyebabkan munculnya suatu keadaan yang disebut sebagai “Praduga

Bersalah” (presumption of guilty) di dalam praktek sehari-hari bagi Kepolisian.

Misalnya dalam pelaksanaan penangkapan dan penahanan dalam proses pra-

adjudikasi, biasanya Polisi akan menduga bahwa orang yang akan ditangkap

dan ditahannya itu, telah dianggap sebagai pelaku yang sebenarnya dari suatu

tindak pidana yang dituduhkannya. Sehingga tak jarang dalam penangkapan

dan penahanan Polisi tak segan-segan melakukan tindakan yang “sangat

represif” atau bahkan dimungkinkannya penggunaan senjata api (penembakan)

terhadap tersangka sebagaimana penulis kemukakan pada contoh kasus tersebut

di atas.

c. Budaya Patrimonial

Nilai dan sikap yang dipengaruhi oleh budaya patrimonial ini, membawa

kepada nilai dan sikap kepada atasannya. Sebagai akibat daripada sikap ini,

muncullah suatu tindakan yang sedapat mungkin untuk “menyenangkan

atasan” atau yang sehari-harinya dikenal dengan istilah “Asal Bapak Senang”

(ABS). Sebagai suatu contoh misalnya dalam pelaksanaan penangkapan dan

penahanan seseorang. Seorang Polisi atas perintah atasannya, ia diperintah-kan

untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang, walaupun

sudah jelas-jelas orang tersebut tidak bersalah. Atau dapat dilihat pada contoh

penembakan terhadap seseorang tersangka yang telah ditangkap dan ditahan.

Atas perintah atasannya mengharuskan tersangka yang telah ditangkap tadi

harus diberi hadiah “timah panas” (ditembak), pada hal sudah jelas-jelas

18

penembakan seperti ini adalah penembakan yang in-prosedural (tidak

prosedural).

Untuk meneliti faktor-faktor penghambat dalam menentukan suatu masalah

penegakan hukum yaitu masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada

faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Menurut Soerjono Soekanto

(2011-70) faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu:

1. Hukum atau perundang-undangan. Kemungkinan adalah bahwa terjadi ketidak

cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang

tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidak cocokan antara perundang-

undangan dengan hukum tidak tertulis dengan hukum kebiasaan.

2. Aparat penegak hukum itu sendiri. Apabila peraturan perundang-undangan

sudah cukup baik, akan tetapi mental penegak hukum kurang baik, maka akan

terjadi gangguan pada system penegakan hukum.

3. Fasilitas yang diharapkan dalam menegakkan hukum. Apabila peraturan

perundang-undangan sudah cukup baik dan mentalitas penegak hukumnya

sudah cukup baik, akan tetapi fasiltasnya kurang memadai, maka penegakan

hukum tidak akan berjalan dengan baik.

4. Kesadaran hukum, kepatuhan hukum, dan perilaku masyarakat

5. Budaya juga termasuk faktor yang mempengaruhi dalam proses penegakan

hukum.

Undang-undang SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang

telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak

yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:

a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);

19

b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU

SPPA); dan

c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU

SPPA).

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang

terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta

menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih

baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk

memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan

pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Undang-Undang Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan

Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan

perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak

terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan

menghadapi sistem peradilan pidana. Undang-undang SPPA, seorang pelaku

tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku

tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan

Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.

a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU

SPPA):

1. Pengembalian kepada orang tua/Wali;

2. Penyerahan kepada seseorang;

20

3. Perawatan di rumah sakit jiwa;

4. Perawatan di LPKS;

5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan

oleh pemerintah atau badan swasta;

6. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau

7. Perbaikan akibat tindak pidana.

b. Sanksi Pidana

Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi

atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):

1. Pidana Pokok terdiri atas:

a. Pidana peringatan;

b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga,

pelayanan masyarakat, atau pengawasan;

c. Pelatihan kerja;

d. Pembinaan dalam lembaga;

e. Penjara.

2. Pidana Tambahan terdiri dari:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

b. Pemenuhan kewajiban adat.

Selain itu, Undang-undang SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur

12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,

Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil

keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA).

21

a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau

b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan

pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani

bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama

6 (enam) bulan.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan konsep-konsep

khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah

yang diteliti. (Soerjono Soekanto, 2006: 132)

a. Analisis adalah melakukan analisa berdasarkan persepektif hukum yang

mendasarinya.

b. Tindak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan

pidana oleh undang-undang hukum pidana, bertentangan dengan hukum

pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu

bertanggung jawab. (Soesilo:2005)

c. Residivis merupakan pengulangan tindak pidana. (Marlina, 2012)

d. Anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, mendefinisikan anak sebagai berikut: "anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan".

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan para pembaca memahami proposal ini, maka penulisan

proposal ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

22

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang permasalahan yang diangkat,

permasalahan yang dibahas dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian,

kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan skripsi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Di bab ini diuraikan tentang penerapan pidana baik secara pengertian,

pengertian anak, perlindungan hukum bagi anak, residivis anak dan teori-teori

tentang pemidanaan.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ke-III ini merupakan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam

melakukan penelitian untuk menjawab permasalahan yang ditetapkan, sejak

dari penentuan jenis penelitian, sumber data yang dijadikan pokok penelitian

(bahan hukum primer, sekunder dan tertier), penentuan populasi dan sampel

apabila nantinya dianggap perlu, tekhnik pengumpulan data, baik data

kepustakaan dan atau dokumen maupun data lapangan, yakni melalui

observasi dan/atau wawancara.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Uraian dalam bagian ini terdiri dari dua sub bagian, yaitu sub bagian yang

menguraikan tentang karakteristik responden, sub bagian yang menguraikan

tentang Analisis Penerapan Pidana Terhadap Pelaku Residivis Anak.

23

V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup berisi kesimpulan dari hasil pembahasan serta

saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.