Upload
buiminh
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan
hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (Undang-Undang SPPA) yang mulai diberlakukan dua tahun setelah
tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam
Ketentuan Penutupnya (Pasal 108 Undang-Undang SPPA). Artinya Undang-
Undang SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.
Undang-Undang SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Undang-Undang Pengadilan Anak) yang
bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan
kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-
Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum
dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan
khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. (Marlina, 2012:22)
Substansi yang diatur dalam Undang-Undang SPPA antara lain mengenai
penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam
Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif
dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari
proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang
2
berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam
lingkungan sosial secara wajar. Sejak sebelum masehi sampai di Abad ke-21
sekarang ini, para pakar berusaha memahami dan mencari sumber-sumber dari
kejahatan. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa sumber kejahatan adalah
Emas, Kemiskinan dan Kekuasaan. Pada akhir Abad ke-19 keprihatinan mulai
melanda Negara Eropa dan Amerika, kriminalitas yang dilakukan oleh anak dan
remaja jumlahnya meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan masa anak-anak
merupakan masa dimana banyak sekali terjadi hal-hal yang sangat kompleks yang
salah satunya adalah perbuatan kenakalan yang akhirnya Perbuatan tersebut
menyebabkan mereka berurusan dengan pihak penegak hukum untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya. (Setya, 2010:41)
Pada situasi seperti saat inilah terdapat aneka ragam situasional tekanan, baik itu
bersifat fisik maupun psikis yang dapat menyebabkan seorang anak melakukan
tindakan yang menjurus pada delik. Kejahatan yang dilakukan oleh anak perlu
mendapat perhatian serius, baik oleh kalangan penegak hukum maupun oleh
masyarakat dimana anak itu bersosialisasi mengingat perbuatan ini sangat
merugikan masyarakat. Hal ini juga mengingat bahwa manusia, jika dalam
keadaan sedang marah atau emosi, khususnya yang terjadi pada seorang anak
dimana mereka belum dapat mengontrol emosinya dengan baik karena seorang
anak kita ketahui belum terlalu bisa memikirkan terlalu jauh terhadap dampak dari
perbuatan yang dia lakukan.
Pemikiran mereka masih labil dibandingkan dengan orang dewasa. Kejahatan sulit
bahkan tidak mungkin untuk dihilangkan. Hal yang dapat dilakukan hanya
3
menekan laju kejahatan itu sendiri dengan melibatkan masyarakat dan aparat
penegak hukum itu sendiri. Berbagai upaya dilakukan oleh para penegak hukum
untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan, termasuk kejahatan yang
dilakukan oleh anak. Banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak di
sekitar kita memang sangat memprihatinkan, apalagi sebagaimana yang kita
ketahui bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber
daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,
yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan
dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan
seimbang, tetapi yang mengherankan pada kenyataannya bahkan ada beberapa
anak yang telah keluar masuk penjara, sehingga dapat mengkhawatirkan jika anak
menjadi pelaku kejahatan.
Dengan adanya beberapa anak yang telah keluar masuk BAPAS ataupun penjara
dengan melakukan pengulangan kejahatan yang biasa disebut residivis, maka hal
ini memang sangat penting untuk diperhatikan dan menjadi pekerjaan rumah (PR)
bagi para penegak hukum dan pemerintah untuk melakukan tindakan preventif
agar anak tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Memang menjadi suatu
dilema ketika anak melakukan suatu kejahatan apa lagi melakukan kejahatan
sampai keluar masuk penjara karena pada dasarnya kejahatan merupakan dunia
tersendiri dan memiliki banyak persoalan, seperti persoalan tingkat pendidikan,
psikologi dan terutama persoalan hukum. Residivis sendiri cuma merupakan
istilah bagi seseorang yang telah melakukan pengulangan tindak pidana baik itu
tindak pidana yang sama dengan kejahatan sebelumnya maupun kejahatan yang
4
lain yang telah dirumuskan dalam Buku II KUHP tetapi KUHP tidak menjelaskan
secara khusus tentang apa yang dimaksud dengan residivis.
Kejahatan yang dilakukan oleh anakpun terjadi karena terjadinya ketidak
seimbangan antara jasmani dan rohani seorang anak dan keadaan itu akan
mengakibatkan hilangnya pertimbangan-pertimbangan moral yang pada akhirnya
mendorong seseorang khususnya seorang anak untuk melakukan kejahatan dan
pelanggaran. Kejahatan membunuh seseorang yang dilakukan oleh anak
merupakan salah satu contoh penyimpangan perilaku yang sangat
mengkhawatirkan. Hal ini menandakan bahwa kejahatan merupakan satu masalah
pokok dalam kehidupan manusia yang tidak mungkin bisa dihilangkan. Sejarah
telah membuktikan bahwa menghilangkan kejahatan merupakan suatu yang
mustahil. Harus disadari bahwa anak merupakan potensi manusia dimasa
mendatang, generasi muda penerus cita-cita bangsa dan merupakan sumber daya
manusia yang sangat penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa.
Anak akan berkembang dengan baik diperlukan kepedulian baik dari orang tua,
masyarakat, maupun pemerintah untuk memberi perlindungan, pendidikan dan
perhatian tentang pengenalan hukum secara dini agar anak dapat mengetahui
perbuatan-perbuatan mana yang menyimpang. Melihat semakin banyaknya
masalah kejahatan yang dilakukan oleh anak sehinggah ada beberapa anak yang
telah keluar masuk penjara dan menjadi seorang residivis khususnya yang terjadi
di beberapa kota di indonesia, yang perlu diperhatikan khususnya oleh penegak
hukum seperti pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun instansi yang
terkait.
5
Berdasarkan uraian di atas hal tersebut menarik perhatian penulis untuk
melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS PENERAPAN PIDANA
TERHADAP PELAKU RESIDIVIS ANAK”
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas tersebut, maka penulis
merumuskan permasalahannya sebagai berikut, yaitu:
a. Bagaimanakah penerapan pidana terhadap pelaku residivis anak?
b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam penerapan pidana terhadap
pelaku residivis anak?
2. Ruang Lingkup
Agar penelitian ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan di atas, maka
dipandang perlu bagi penulis membatasi ruang lingkup penelitian yakni:
a. Subtansi ilmu penelitian ini merupakan penelitian tentang ilmu hukum pidana
b. Objek dari penelitian ini mengenai penerapan pidana terhadap pelaku residivis
anak.
c. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2015.
d. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Pengadilan Negeri Gunung Sugih.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan hal yang hendak penulis teliti yang berlandasarkan latar belakang
dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian skripsi ini adalah :
6
a. Untuk mengetahui penerapan pidana terhadap pelaku residivis anak.
b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penerapan pidana terhadap pelaku
residivis anak.
2. Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Dari hasil penelitian ini diharapankan dapat dijadikan sebagai bahan kepustakaan
dan bahan referensi hukum bagi mereka yang berminat pada kajian-kajian ilmu
hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada instansi-
instansi terkait, khususnya kepada aparat penegak hukum terkait penerapan pidana
terhadap pelaku residivis anak.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah suatu konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya, bertujuan untuk
mengidentifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh
peneliti. (Soerjano Soekanto, 2006:125)
Penegakan hukum pidana pada dasarnya adalah kebijakan penagakan hukum
melalui tiga tahap, yaitu:
7
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh pembuat
undang-undang yang disebut juga legislative atau merupakan tahap strategis
dalam penanggulangan kejahatan dan proses fungsionalisasi hukum, tahap
formulasi juga tahap yang menjadi dasar atau pedoman bagi tahap
fungsionalisasinya.
2. Tahap aplikasi, yaitu: merupakan tahap penerapan pidana oleh aparat penegak
hukum atau badan hukum mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan.
Tahap ini disebut juga dengan tahap yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan dari hukum pidana secara konkrit yang
ditegakkan oleh penegak hukum sebagai pelaksana pidana.
(Barda Nawawi Arief, 2008:75).
Menurut Barda Nawawi Arief (2008:76) bahwa tujuan tersebut dapat
diidentifikasikan hal-hal pokok sebagai berikut:
a. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan menunjang tujuan (goal),
kesejahteraan masyarakat/ social welfare (SW) dan perlindungan
masyarakat/Social Defense (SD), Aspek SW dan SD sangat penting adalah
aspek kesejahteraan/perlindungan masyarakat yang bersifat immateri, terutama
nilai kepercayaan, kebenaran/kejujuran/keadilan.
b. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan
integral, ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari sudut
politik criminal, kebijakan paling sterategis melalui sarana non penal, karena
lebih bersifat preventif dan kebijakan penal memiliki kelemahan/keterbatasan
(yaitu bersifat fragmentaris/ simplitis/ tidak structural fungsional: simtomatik/
tidak kausatif/ tidak eliminative: indifidualistik atau “avender-orientid/ tidak
8
victim-orientid” : lebih bersifat represif/ tidak preventif: harus didukung oleh
infrastruktur dengan biaya tinggi)
c. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan
penal policy atau penal law and forcement policy yang fungsionalisasi atau
operasionalisasinya melalui beberapa tahap yakni tahap formulasi, maka upaya
pencegahan dan penaggulangan kejahatan bujan hanya tugas aparat penegak
hukum, tetapi juga aparat pembuat hukum (aparat legislative) : bahkan
kebijakan legislative merupakan tahap yang paling strategis dari “penal
policy”. Karena itu, kesalahan/ kelemahan kebijakan legislative merupakan
kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.
Teori-teori penegakan Hukum dapat kita jumpai diberbagai literatur, baik itu
buku, majalah atau media lain yang tersebar. artikel yang sedang anda baca ini
satu dari sekian banyak yang mengulas mengenai teori penegakan Hukum. untuk
itu, berikut ini penulis akan membahas dengan bahasa sederhana beberapa teori
yang membahas tentang penegakan hukum. Pakar Hukum yang sangat terkenal
dengan teorinya adalah Freidmann. menurut Freidmann Friedman berhasil atau
tidaknya Penegakan hukum bergantung pada: dibagi menjadi 3 (tiga),
yaitu:Substansi Hukum,Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum.
1. Subtansi Hukum
Substansi hukum adalah keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan
hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan
9
2. Struktur Hukum
adalah keseluruhan institusi penegakan hukum, beserta aparatnya. Jadi
mencakupi: kepolisian dengan para polisinya; kejaksaan dengan para jaksanya;
kantor-kantor pengacara dengan para pengacaranya, dan pengadilan dengan para
hakimnya
3. Budaya Hukum
Adalah kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara berpikir dan cara bertindak, baik
dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat.Substansi dan Aparatur
saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. oleh karenanya, Lawrence M
Friedman menekankan kepada pentingnya Budaya Hukum (Legal Culture)
Barda Nawawi Arief, (2008:71) menjelaskan tentang Negara Hukum menurut
Undang-undang Dasar 1945 adalah negara hukum dalam arti yang luas, yang
menjamin hak-hak dan kewajiban asasi warga negara/manusia, memajukan
kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila. . Hal ini berarti
bahwa Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam Negara
hukum Republik Indonesia penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan hak asasi
manusia maupun hak serta kewajiban warga negara untuk menegakkan keadilan
tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negara. Apabila hak asasi seseorang
dilanggar oleh orang lain, maka orang tersebut akan selalu menuntut dan
memperjuangkan terlaksananya hak asasi ini dengan segala cara. Hal ini
dikarenakan hak-hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang dimiliki
sejak bayi dalam kandungan lahir dan hidup di dalam kehidupan masyarakat.
Dalam sejarah kemanusiaan, tak sedikit yang mencatat kejadian dimana seseorang
10
atau segolongan manusia memperjuangkan apa yang dianggap haknya. Hal ini
terbukti dengan lahirnya naskah-naskah keuniversalan dan keasasian beberapa hak
yang mengandung inti yang sama yaitu manusia tidak ingin dirampas hak
asasinya. Namun, hak asasi bangsa Indonesia yang dikenal dalam kehidupan
masyarakat tidak hanya menonjolkan hak-haknya saja sebagai hak individu yang
dituntutnya melainkan harus dipenuhi pula kewajiban-kewajibannya.
Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai suatu sistem yang terpadu dan
terkoordinasi (intergrated criminal justice) diantara sub sistem-sub sistem
peradilan pidana. Menurut Mardjono Reksodipoetro (2004:1) bahwa yang
dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan
yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembanga Pemasyarakatan. Pada bagian lain Mardjono (2004:84) mengemukakan
bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:
1. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
3. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulanginya lagi. Berdasarkan pada kutipan di atas, dalam sistem peradilan
pidana istilah yang dipergunakan adalah “pengendalian” bukan istilah
penegakan hukum.
Menurut Muladi (2005:1-2), bahwa makna integrated crimal justice adalah
sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapar dibedakan menjadi :
11
1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization); adalah keserampakan dan
keselarasan dalam kerangka hubungan antar-lembaga penegak hukum;
2. Sinkronisasi substansial (substantial syncronization); adalah keserampakan dan
keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan
hukum positif (perundang-undangan);
3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization); adalah keserampakan dan
keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah
yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Pemahaman terhadap ketiga kerangka sinkronisasi ini sangatlah penting,
mengingat bahwa sistem peradilan pidana merupakan open system (sistem
terbuka). Open system ini memiliki pengaruh besar terhadap lingkungan
masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia, terhadap keberhasilan
pencapaian tujuannya (jangka pendek resosialisasi, jangka menengah pencegahan
kejahatan dan jangka panjang kesejahteraan sosial).
Sebagai suatu sistem yang terpadu dan terkoordinasi dalam menanggulangi
kejahatan, sistem peradilan pidana harus dapat dioperasionalisasi-kan secara
maksimal dalam wujud “proses peradilan pidana”. Proses peradilan pidana yang
berpijak pada Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada tingkat pelaksanaannya terdiri atas tiga
tahapan, yaitu tahap awal proses peradilan pidana (Pra-adjudikasi), tahap sidang
pengadilan (Adjudikasi) dan tahap setelah proses persidangan (Purna-Adjudikasi).
Ketiga tahap ini harus saling berhubungan dan saling melengkapi antara yang satu
12
dan yang lain. Apabila ketiga tahap tersebut tidak berjalan sebagai mana
mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem ini secara keseluruhan.
Sebagai langkah awal dari pelaksanaan proses peradilan pidana (pra-adjudikasi)
ini, KUHAP memberikan kewenangan yang cukup besar kepada Polri, yaitu
diberikan “peran” (role) berupa “kekuasaan umum menangani kriminal” (general
policing authority in criminal matter) di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, Polri berperan untuk
melakukan “kontrol kriminal” (crime control) dalam bentuk: “investigasi-
penangkapan-penahanan-penggeledahan-penyitaan”. Kontrol kriminal (crime
control) sebagaimana dimaksud, tidak lain adalah untuk mempermudah Polri
dalam menjalankan penegakan hukum (law enforcement).
Selain memberikan kewenangan yang besar dalam proses ini, KUHAP juga
sekaligus memberikan pedoman bagi Polri dalam menjalankan kewenangannya
dalam batasan-batasan tertentu yang harus dipatuhi. Pedoman yang diberikan
KUHAP bagi aparatur penegak hukum termasuk Polri pada hakikatnya tidak
hanya berfungsi sebagai ketentuan yang membatasi ruang gerak kewenangan bagi
Polri tetapi sekaligus berfungsi sebagai perlindungan bagi masyarakat pada satu
sisi (bagi tersangka) serta bagi aparatur penegak hukum (Polri) pada sisi lain.
Sehingga dengan dipatuhinya KUHAP dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh
Polri akan dapat menghilangkan apa yang disebut sebagai “faktor kriminogen”
dalam rangka penegakan hukum. Karena In-put yang “salah” akan menghasilkan
out-put yang “keliru”, apabila hal ini yang terjadi maka akan menjadikan sistem
peradilan pidana yang “sesat” dan “menyesatkan”.
13
Menurut Joseph Golstein penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga
bagian (dalam Muladi,2005: 6) : Pertama, Total Enforcement, yaitu dimana ruang
lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum
pidana substantif (substantive law of crimes). Penegakan hukum pidana secara
total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum termasuk
Kepolisian dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana, seperti adanya aturan-
aturan tentang penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan
pemeriksaan pendahuluan. Selain itu mungkin terjadi hukum pidana substantif
sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkannya aduan (klacht
delicten) sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan.
Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi
area of no enforcement, maka muncullah suatu bentuk penegakan hukum pidana
yang kedua yaitu Full Enforcement. Namun dalam ruang lingkup ini-pun para
penegak hukum termasuk Polri tidak bisa diharapkan menegakkan hukum secara
maksimal karena adanya berbagai keterbatasan, baik dalam bentuk waktu, sarana-
prasarana, kualitas sumberdaya manusia, perundang undangan dan sebagainya
sehingga mengakibatkan dilakukannya discretions.
Sehingga menurut Joseph Golstein, yang tersisa adalah Actual Enforcement.
Namun, pelaksanaan Actual Enforcement ini-pun tidak tertutup kemungkinan
untuk terjadinya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum termasuk Kepolisian. Sebagai contoh misalnya penyimpangan terhadap
hak-hak tersangka dalam penangkapan dan penahanan sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara
14
Pidana (KUHAP). Penyimpangan ini dapat dicontohkan dengan memperlakukan
tersangka tidak sabagai subyek tetapi sebagai obyek, sehingga dalam proses
penyidikan seringkali diterapkannya apa yang disebut oleh Herbert L. Packer
dengan Crime Control Model (CCM). Hal ini dikarenakan Crime Control Model
didasarkan atas anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah
semata-mata untuk menindas prilaku kriminal (criminal conduct) dan ini
merupakan tujuan utama proses peradilan dalam CCM.
Mengacu kepada aspek budaya/ legal culture, bekerjanya suatu sistem hukum
dalam masyarakat (law in action), maka tidak akan terlepas adanya pengaruh dari
aspek nilai dan sikap, yang memberi pemahaman tentang bekerjanya sistem
hukum itu. Mengacu kepada pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto (1981:33) maka menurut penulis ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi sikap dan nilai para fungsionaris hukum (aparat hukum)
termasuklah dalam hal ini Kepolisian dalam menjalankan kewenanganya, yaitu:
a. Tujuan dan Lembaga sebagai Organisasi
Setiap organisasi, termasuk organisasi penegak hukum selalu mempunyai
tujuan pokok tertentu, seperti apa yang dijelaskan dalam setiap Undang-
Undang yang menjadi dasar Hukum (Payung Hukum) dari masing-masing
Fungsionaris Hukum dalam menjalankan kewenangannya. Seperti apa yang
dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara RI, yang pada intinya tujuan pokok organisasi Kepolisian adalah untuk
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dalam negeri. Dalam rangka
keorganisasian ini, penulis sependapat dengan pendapat yang dikemukakan
oleh J.A.A. Van Doorn dan C.J. Lammers (dalam Soerjono Sokanto, 2001:33)
15
yang memberikan batasan, bahwa pengertian organisasi merupakan suatu
struktur sosial yang dibentuk atas suatu posisi, yang merupakan suatu
pengkoordinasian dalam rangka untuk mencapai tujuan dari organisasi
tersebut.
Sesuai dengan tujuan dari organisasi Kepolisian tersebut (sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 Undang-Undang No.2 Tahun 2002) yang mengharuskan
pemberantasan tindak pidana dalam rangka keamanan dan ketertiban
masyarakat harus dapat dicapai secara maksimal. Sebagai suatu contoh
misalnya dikemukakan penggunaan bentuk “crime contol model”. Model ini
(CCM) yang diutamakan adalah penanggulangan kejahatan demi kepentingan
masyarakat (social defence). Sehingga dengan model ini sub-sistem
Kepolisian sebagai aparat penegak hukum harus berusaha untuk melakukan
penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana
sebanyak-banyaknya dengan harapan adanya penjatuhan pidana oleh
Pengadilan nantinya. Crime control model ini akan berhasil apabila tidak
digangu oleh peraturan-peraturan yang terlalu formal sifatnya, seperti
KUHAP misalnya, yang memberikan batasan kepada Kepolisian dalam bentuk
adanya hak-hak tersangka baik dalam proses penangkapan maupun dalam
proses penahanan, sehingga disini memunculkan terjadinya peluang-peluang
untuk melakukan “diskresi” bahkan tak jarang menimbulkan terjadinya
pelanggaran-pelanggaran.
Timbulnya penggunaan crime control model, ini tidak terlepas dari adanya
pandangan resmi (official perpective), terutama dalam rangka mengejar
16
kepentingan prestise dan efisiensi organisasi Kepolisian. Kejahatan
merupakan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban dalam negeri,
sehingga pemberantasan kejahatan selain bermanfaat untuk terciptanya
keamanan dan ketertiban dalam negeri khususnya dan pada saat yang
bersamaan, berguna juga untuk kepentingan prestise dan efisiensi organisasi
Kepolisian itu sendiri. Begitupun sebaliknya, kepentingan prestise dan
efisiensi organisasi Kepolisian akan sulit dicapai apabila dalam pelaksanaan
tugasnya menerapkan due proses model. Dengan due proses model ini,
Kepolisian dalam hal ini tidak dapat melakukan penangkapan dan penahanan
terhadap tersangka pelaku tindak pidana sebanyak-banyaknya karena akan
dibatasi oleh prinsip-prinsip pembatas yang ada dalam KUHAP.
b. Praduga keteraturan dalam ketatalaksanaan (Presumption of administrative
regularity)
Suatu keadaan yang dapat mempengaruhi nilai dan sikap, berawal adanya pola
berpikir : bahwa karena petugas Kepolisian berada dalam suatu ikatan
ketatalaksanaan yang teratur, dan rutin, maka kesalahan bertindak adalah
hampir tidak mungkin terjadi. Mengacu kepada pendapat yang dikemukakan
oleh Leonard Broom dan Philip Selznick, (dalam Soerjono Soekanto, 1981:34)
yang menyatakan bahwa dalam suatu ikatan ketatalaksanaan yang wajar, dapat
disimpulkan bahwa kesalahan-kesalahan adalah hal yang luar biasa, dan
petugas itu tidak bertindak tanpa alasan yang cukup. Asumsi dasar ini muncul,
dikeranakan adanya sistem yang “telah teratur”, dari organisasi Kepolisian ini,
sehingga sangat kecil kemungkinan adanya kesalahan bagi anggota Kepolisian
dalam bertindak. Dengan perkataan lain, kesalahan bertindak bagi anggota
17
Kepolisian dalam menjalankan tugasnya adalah suatu hal yang sangat luar biasa
sekali. Sehingga dengan adanya praduga keteraturan dalam ketatalak-sanaan ini
menyebabkan munculnya suatu keadaan yang disebut sebagai “Praduga
Bersalah” (presumption of guilty) di dalam praktek sehari-hari bagi Kepolisian.
Misalnya dalam pelaksanaan penangkapan dan penahanan dalam proses pra-
adjudikasi, biasanya Polisi akan menduga bahwa orang yang akan ditangkap
dan ditahannya itu, telah dianggap sebagai pelaku yang sebenarnya dari suatu
tindak pidana yang dituduhkannya. Sehingga tak jarang dalam penangkapan
dan penahanan Polisi tak segan-segan melakukan tindakan yang “sangat
represif” atau bahkan dimungkinkannya penggunaan senjata api (penembakan)
terhadap tersangka sebagaimana penulis kemukakan pada contoh kasus tersebut
di atas.
c. Budaya Patrimonial
Nilai dan sikap yang dipengaruhi oleh budaya patrimonial ini, membawa
kepada nilai dan sikap kepada atasannya. Sebagai akibat daripada sikap ini,
muncullah suatu tindakan yang sedapat mungkin untuk “menyenangkan
atasan” atau yang sehari-harinya dikenal dengan istilah “Asal Bapak Senang”
(ABS). Sebagai suatu contoh misalnya dalam pelaksanaan penangkapan dan
penahanan seseorang. Seorang Polisi atas perintah atasannya, ia diperintah-kan
untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang, walaupun
sudah jelas-jelas orang tersebut tidak bersalah. Atau dapat dilihat pada contoh
penembakan terhadap seseorang tersangka yang telah ditangkap dan ditahan.
Atas perintah atasannya mengharuskan tersangka yang telah ditangkap tadi
harus diberi hadiah “timah panas” (ditembak), pada hal sudah jelas-jelas
18
penembakan seperti ini adalah penembakan yang in-prosedural (tidak
prosedural).
Untuk meneliti faktor-faktor penghambat dalam menentukan suatu masalah
penegakan hukum yaitu masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Menurut Soerjono Soekanto
(2011-70) faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu:
1. Hukum atau perundang-undangan. Kemungkinan adalah bahwa terjadi ketidak
cocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang-bidang
tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidak cocokan antara perundang-
undangan dengan hukum tidak tertulis dengan hukum kebiasaan.
2. Aparat penegak hukum itu sendiri. Apabila peraturan perundang-undangan
sudah cukup baik, akan tetapi mental penegak hukum kurang baik, maka akan
terjadi gangguan pada system penegakan hukum.
3. Fasilitas yang diharapkan dalam menegakkan hukum. Apabila peraturan
perundang-undangan sudah cukup baik dan mentalitas penegak hukumnya
sudah cukup baik, akan tetapi fasiltasnya kurang memadai, maka penegakan
hukum tidak akan berjalan dengan baik.
4. Kesadaran hukum, kepatuhan hukum, dan perilaku masyarakat
5. Budaya juga termasuk faktor yang mempengaruhi dalam proses penegakan
hukum.
Undang-undang SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang
telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
19
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU
SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU
SPPA).
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih
baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan
pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Undang-Undang Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan
Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan
perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak
terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan
menghadapi sistem peradilan pidana. Undang-undang SPPA, seorang pelaku
tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku
tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan
Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU
SPPA):
1. Pengembalian kepada orang tua/Wali;
2. Penyerahan kepada seseorang;
20
3. Perawatan di rumah sakit jiwa;
4. Perawatan di LPKS;
5. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta;
6. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
7. Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi
atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
1. Pidana Pokok terdiri atas:
a. Pidana peringatan;
b. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga,
pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
c. Pelatihan kerja;
d. Pembinaan dalam lembaga;
e. Penjara.
2. Pidana Tambahan terdiri dari:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. Pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, Undang-undang SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur
12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil
keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA).
21
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama
6 (enam) bulan.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan konsep-konsep
khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah
yang diteliti. (Soerjono Soekanto, 2006: 132)
a. Analisis adalah melakukan analisa berdasarkan persepektif hukum yang
mendasarinya.
b. Tindak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan
pidana oleh undang-undang hukum pidana, bertentangan dengan hukum
pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab. (Soesilo:2005)
c. Residivis merupakan pengulangan tindak pidana. (Marlina, 2012)
d. Anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, mendefinisikan anak sebagai berikut: "anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan".
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan para pembaca memahami proposal ini, maka penulisan
proposal ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
22
I. PENDAHULUAN
Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang permasalahan yang diangkat,
permasalahan yang dibahas dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian,
kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan skripsi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Di bab ini diuraikan tentang penerapan pidana baik secara pengertian,
pengertian anak, perlindungan hukum bagi anak, residivis anak dan teori-teori
tentang pemidanaan.
III. METODE PENELITIAN
Pada bab ke-III ini merupakan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
melakukan penelitian untuk menjawab permasalahan yang ditetapkan, sejak
dari penentuan jenis penelitian, sumber data yang dijadikan pokok penelitian
(bahan hukum primer, sekunder dan tertier), penentuan populasi dan sampel
apabila nantinya dianggap perlu, tekhnik pengumpulan data, baik data
kepustakaan dan atau dokumen maupun data lapangan, yakni melalui
observasi dan/atau wawancara.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Uraian dalam bagian ini terdiri dari dua sub bagian, yaitu sub bagian yang
menguraikan tentang karakteristik responden, sub bagian yang menguraikan
tentang Analisis Penerapan Pidana Terhadap Pelaku Residivis Anak.