49
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keanekaragaman kebudayaan Jawa sangat menarik untuk diteliti. Dalam penyampaiannya, kebudayaan dapat divisualisasikan melalui bahasa. Dengan bahasa, maka kebudayaan dapat dikenal dan berkembang di masyarakat. Para petani mengekspresikan tentang apa yang dirasakan, dipikirkan dan dilihatnya dengan bahasa verbal. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam anggota masyarakat pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktivitas hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan invetaris ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1993: 38). Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar masih menggunakan bahasa verbal tertentu dalam aktivitasnya bertani. Setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda untuk mengungkapkan bentuk aktivitasnya, begitu pula petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani terutama petani padi karena sebagian besar tanah di desa tersebut merupakan sawah pertanian padi. Pada umumnya bahasa yang digunakan petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar merupakan piranti untuk mencapai sistem pengetahuan masyarakat di daerah tersebut, melalui pengungkapannya dapat diketahui pandangan hidup, pandangan dunia atau pola pikir pendukung budaya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah pandangan dunia komunitas petani Jawa di daerah penelitian di balik ranah bahasa dan budaya yang mencerminkan kearifan lokal, serta alasan

  • Upload
    lyduong

  • View
    226

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keanekaragaman kebudayaan Jawa sangat menarik untuk diteliti. Dalam

penyampaiannya, kebudayaan dapat divisualisasikan melalui bahasa. Dengan

bahasa, maka kebudayaan dapat dikenal dan berkembang di masyarakat.

Para petani mengekspresikan tentang apa yang dirasakan, dipikirkan dan

dilihatnya dengan bahasa verbal. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam

anggota masyarakat pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau

aktivitas hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan

kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan invetaris ciri-ciri kebudayaan

(Nababan, 1993: 38). Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,

Kabupaten Karanganyar masih menggunakan bahasa verbal tertentu dalam

aktivitasnya bertani. Setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda untuk

mengungkapkan bentuk aktivitasnya, begitu pula petani di Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang mayoritas

masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani terutama petani padi karena

sebagian besar tanah di desa tersebut merupakan sawah pertanian padi.

Pada umumnya bahasa yang digunakan petani di Desa Bangsri, Kecamatan

Karangpandan, Kabupaten Karanganyar merupakan piranti untuk mencapai sistem

pengetahuan masyarakat di daerah tersebut, melalui pengungkapannya dapat

diketahui pandangan hidup, pandangan dunia atau pola pikir pendukung budaya

2

masyarakatnya. Bahasa dalam budaya Jawa yang berupa istilah-istilah aktivitas

pertanian padi biasanya terkandung kearifan lokal berupa pengetahuan-

pengetahuan.

Pentingnya masalah bahasa dalam budaya tersebut dikaji karena dalam

ranah pertanian tersimpan sistem pengetahuan tradisional para petani yang

diwariskan secara turun temurun. Sistem pengetahuan tersebut menyiratkan

kearifan lokal yang perlu diberdayakan dan dikembangkan untuk merevitalisasi

keunggulan budaya warisan leluhur.

Dewasa ini, banyak generasi muda yang tidak mengetahui tentang bahasa

Jawa dan budaya dalam aktivitas pertanian padi seperti: kêrik „menghaluskan

sawah agar siap untuk ditanami padi‟, ndhaut ‘mecabut benih padi‟, ngalisi

‘membersihkan pematang sawah‟, mberok ‘menanam padi menggunakan bantuan

tali‟, apalagi makna dari bahasa tersebut. Oleh karena hal-hal tersebut, bahasa

dalam budaya Jawa terkait istilah-istilah aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar penting untuk dikaji melalui

disiplin ilmu etnolinguistik. Alasan penelitian mengenai bahasa dalam budaya

Jawa terkait aktivitas pertanian padi dapat dikaji secara etnolinguistik berdasarkan

pengertian bahwa objek kajian etnolinguistik adalah berusaha mencari hubungan

bahasa dan budaya yang terdapat di dalam masyarakat. Berdasarkan fakta dalam

masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar

yang masih mengenal dan memakai istilah-istilah aktivitas pertanian padi secara

turun temurun tersebut, maka dapat digali hubungan makna bahasa dan budaya

Jawa yang terdapat di balik pemakaian istilah aktivitas pertanian padi secara

3

linguistik. Dalam penelitian ini, penulis ingin ikut melestarikan budaya sehingga

generasi muda dapat memahami budaya yang dimilikinya.

Secara linguistik pengkajian bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas

pertanian padi tersebut perlu adanya pengkajian dari aspek mikrolinguistik dan

makrolinguistik. Mikrolinguistik mempelajari bahasa di dalamnya, dengan

perkataan lain, mempelajari struktur bahasa itu sendiri (Kridalaksana, 2008: 154).

Objek kajian mikrolinguistik mencakup cabang fonologi, sintaksis, leksikon, dan

morfologi (Chaer, 2014: 4). Sedangkan makrolinguistik adalah bidang linguistik

yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa,

termasuk didalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan (Kridalaksana,

2008: 149). Salah satu bidang terapan yang dikaji makrolinguistik adalah

etnolinguistik. Berdasarkan pengertian mengenai aspek mikrolinguistik dan

makrolinguistik tersebut, maka dalam penelitian ini aspek mikrolinguistik yang

akan dikaji meliputi aspek morfologi dan sintaksis. Pengkajian dari aspek

morfologi bertujuan untuk mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya Jawa

terkait aktivitas pertanian padi, apakah terdiri atas satu morfem (monomorfemis)

atau terdiri lebih dari satu morfem (polimorfemis) sedangkan pengkajian dari

aspek sintaksis bertujuan untuk mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya

Jawa terkait aktivitas pertanian padi apakah berbentuk berbentuk frase atau

berbentuk klausa. Sedangkan aspek makrolinguistik yang akan dikaji dalam

penelitian ini yakni pencermatan terhadap keterkaitan antara makna leksikal dan

makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya terkait aktivitas

pertanian padi secara mendalam atas data penelitian yang didapatkan yang

4

merupakan cerminan kognisi, pandangan hidup, pandangan dunia dan pola pikir

masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

Hal tersebut terekspresikan dalam bahasa dan budaya Jawa terkait

aktivitas pertanian padi yang dapat dideskripsikan melalui interdisipliner

etnolinguistik sebagai berikut.

Dêrêp [d|r|p]

Satuan lingual dêrêp berbentuk monomorfemis. Satuan lingual dêrêp

berkategori verba yang dapat berdiri sendiri, berarti dan belum mengalami

proses morfologis.

Dêrêp yaiku mèlu nggarap sawah sarta ngênèni (opahane bawon) „ikut

menggarap sawah dan mengunduh (upahnya bulir-bulir padi)‟

(Poerwadarminta, 1939: 206). Makna leksikal dêrêp adalah ikut menggarap

sawah dan memanennya kemudian mendapat upah berupa bulir-bulir padi yang

biasa disebut bawon.

Makna kultural dêrêp menurut informan berasal dari jarwa dhosok diêrêp-

êrêp yang bermakna diharap-harapkan, karena dêrêp yang selalu diharap-

harapkan oleh buruh tani saat panen tiba agar nantinya mendapatkan bawon.

Dêrêp dilakukan dengan mengunduh padi dengan cara membantu atau menjadi

buruh saat panen pada petani lain saat panen dan mendapat upah yang disebut

bawon. Bawon yaitu gabah „bulir-bulir padi‟ sebagai upah.

Deskripsi makna leksikal dan makna kultural tersebut dapat disimpulkan

bahwa masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar menyebut aktivitas tersebut dengan satuan lingual dêrêp bukan

sekedar penamaan belaka namun ada makna yang terkandung di dalamnya. Selain

5

itu, istilah aktivitas terkait pertanian padi yang lain dalam bentuk yang berbeda

pasti akan memiliki makna yang berbeda pula.

Para Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar memiliki pola pikir yang berupa prinsip dan aturan dalam

mempersiapkan benih yang akan disebar, benih yang akan disebar harus

dijemur sampai kering kemudian direndam. Cara merendam gabah yang

dilakukan petani satu dan petani lainnya berbeda-beda, ada yang setelah

dijemur kering langsung dimasukkan ke dalam ember yang berisi air dingin,

ada pula yang menggunakan air mendidih saat merendam gabah, yang

sebelumnya air mendidih dimasukkan garam sedikit setelah itu gabah

dimasukkan, garam dipercaya dapat memperbanyak dan mempercepat

tumbuhnya gabah. Gabah direndam selama satu hari satu malam dalam ember

atau bak, kemudian setelah itu gabah bisa diangkat untuk selanjutnya dipêp

„menutup rapat agar tidak terkena angin‟ dalam karung dan di atas gabah diberi

daun sarilaya selanjutnya karung bisa ditutup rapat, setelah itu karung yang

berisi gabah dimasukkan ke dalam tenggok dan disimpan di tempat yang

lembab selama dua hari. Ngêpêp gabah dilakukan agar gabah tidak terkena

angin yang nantinya akan membuat gabah menjadi lembab dan dapat tumbuh.

Jika sudah dua hari gabah sudah mulai tumbuh maka gabah siap untuk disebar.

Gabah yang dijadikan benih tidak boleh sembarangan, gabah harus berkualitas

baik, karena masyarakat Desa Bangsri berpandangan bahwa jika menanam

benih yang baik maka hasil yang akan diunduh nantinya akan baik pula.

Pandangan terhadap dunia masyarakat petani Desa Bangsri yakni masyarakat

petani menyebar benih di tanah yang subur, tanah merupakan bagian dari

6

dunia, menyebar benih di tanah yang subur dan gembur akan membuat benih

dapat tumbuh subur pula, sehingga dapat mempercepat proses menanam padi

dengan begitu tanaman padi akan cepat berbuah.

Dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa melalui pengungkapan

bahasa dalam budaya terkait aktivitas pertanian padi dapat diketahui pola pikir

berupa prinsip-prinsip dan aturan-aturan, pandangan hidup dan pandangan

terhadap dunia masyarakat Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar.

Berdasarkan penelusuran yang telah penulis lakukan, penelitian ini belum

pernah dilakukan. Ada pun penelitian sebelumnya yang sejenis sebagai berikut.

Penelitian M. V. Sri Hartini H.S. Program Studi Linguistik Deskriptif,

Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret (2014) untuk disertasi yang berjudul

“Kategori dan Ekspresi Linguistik sebagai Cermin Kearifan Lokal Etnik Jawa di

Kabupaten Kebumen Kajian Etnolinguistik Komunitas Petani” yang mengkaji

tentang kategori dan ekspresi linguistik yang ditemukan dalam ranah pertanian

komunitas petani etnik Jawa yang mencerminkan pemikiran kolektif dan kearifan

lokal daerah Kabupaten Kebumen, eksistensi foklor di daerah penelitian yang

mencerminkan kearifan lokal petani, pengungkapan pola pikir, pandangan hidup,

dan pandangan dunia komunitas petani Jawa di daerah penelitian di balik ranah

bahasa dan budaya yang mencerminkan kearifan lokal, serta alasan ditemukan

karakteristik bahasa dan budaya dalam komunitas petani di daerah penelitian

sebagai daerah transisi dengan daerah budaya dan daerah periferal.

7

Penelitian Dwi Haryanti dan Agus Budi Wahyudi, PBS FKIP, Universitas

Muhammadiyah Surakarta (2005) yang dimuat dalam jurnal Kajian Linguistik dan

Sastra terbitan Fakultas Ilmu Budaya, UGM Vol. 19 no. 1, Juni 2007: 35-50 yang

berjudul “Ungkapan Etnis Petani Jawa di Desa Japanan, Kecamatan Cawas,

Kabupaten Klaten Kajian Etnolinguistik”. Penelitian ini mengkaji tentang bentuk

dan maksud ungkapan para petani di desa tersebut.

Inyo Yos Fernandez, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada

menulis hasil penelitiannya dalam jurnal terbitan Fakultas Ilmu Budaya, UGM

yaitu, jurnal Kajian Linguistik dan Sastra Vol. 20 no. 2, terbit Desember 2008:

166-177 dengan judul “Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa

sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada

Masyarakat Petani dan Nelayan”. Penelitian ini mengkaji tentang pemakaian kosa

kata khusus sebagai cermin kearifan lokal yang terkait dengan pertanian atau

nelayan oleh petani di Petungkriyonom, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah,

petani dataran tinggi di Desa Wonosari, Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur,

nelayan di Desa Kemadang, Baron, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta dan Desa

Puger di Jember, Jawa Timur.

Penelitian Bebetho Frederick Kamsiadi, Bambang Wibisono, Andang

Subaharinto, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember (2013)

menulis hasil penelitian yang dimuat dalam jurnal Publika Budaya terbitan Bidang

Ilmu Budaya dan Media, Universitas Jember Vol. 1 no. 1 November 2013: 64-78

yang berjudul “Istilah-Istilah yang digunakan pada Acara Ritual Petik Pari oleh

Masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang (Kajian

Etnolinguistik)”. Penelitian ini mendeskripsikan dan menjelaskan tentang bentuk,

8

makna, dan penggunaan istilah-istilah yang digunakan pada ritual petik pari oleh

masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang.

Penelitian Saharudin dan Syarifuddin, Fakultas Tarbiyah IAI Qamarul Huda

Lombok Tengah, NTB yang dimuat dalam jurnal Adabiyyat terbitan Fakultas

Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol. XI no. 1 Juni 2012

yang berjudul “Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Sasak pada Ranah

Pertanian Tradisional: Kajian Etnosemantik”. Penelitian ini mengkaji tentang

kategori dan ekspresi linguistik bidang pertanian Sasak tradisional di pulau

Lombok yang berupa kosakata-kosakata beserta makna generiknya.

Penelitian Nurshopia Agustina, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia,

FPBS, UPI (2014) untuk skripsi tentang “Cermin Budaya dalam Leksikon

Perkakas Pertanian Tradisional di Pengauban, Kabupaten Bandung (Suatu

Kajian Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang konsep cermin budaya dalam

leksikon perkakas pertanian bahasa Sunda dan klasifikasinya.

Rizal Ari Andani, Program Studi Sastra Daerah, FIB, UNS (2015) untuk

skripsi tentang “Istilah-Istilah Sesaji Cok Bakal Menjelang Panen Padi di Desa

Sidomulyo Kecamatan Wates Kabupaten Kediri (Kajian Etnolinguistik)” yang

mengkaji tentang istilah-istilah, makna leksikal dan makna kultural sesaji cok

bakal menjelang panen padi di Desa Sidomulyo Kecamatan Wates Kabupaten

Kediri.

Penelitian Fanny Henry Tondo, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan

Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dimuat dalam jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan, terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan

9

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 18, no. 2, Juni 2012 yang berjudul

“Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung (Tinjauan Etnolinguistik)”.

Penelitian ini mengkaji tentang bentuk-bentuk bahasa yang digunakan oleh orang

Hamap di perkebunan jagung.

Penelitian Intan Arvin Yunaeni, Jurusan Sastra Daerah, FSSR, UNS (2014)

untuk skripsi tentang “Istilah-istilah Gerak Tari Srimpi Dhempel (Kajian

Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang bentuk, makna leksikal dan makna

kultural istilah-istilah gerak tari Srimpi Dhempel di Keraton Kasunanan Surakarta.

Penelitian Dwi Lestari, Program Studi Sastra Daerah, FIB, UNS (2015)

untuk skripsi tentang “Bahasa dan Budaya Jawa dalam Tanaman Berkhasiat Obat

Tradisional di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur (Kajian

Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang hubungan bahasa dan budaya Jawa,

makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam nama tanaman

berkhasiat obat tradisional di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Penelitian tersebut digunakan sebagai acuan dalam menganalisis bentuk,

makna, pola pikir, pandangan hidup dan pandangan terhadap dunia penuturnya

dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas dan hasil pertanian padi di Desa

Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penelitian yang mengkaji

bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dari perspektif kajian

etnolinguistik belum pernah dilakukan. Maka dari itu, penelitian yang akan

dilakukan ini mengkaji bahasa dalam budaya Jawa yang berupa istilah-istilah

10

aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar yang terkait dengan aktivitas, cara kerja, dan cara mengelola hasil.

Dalam hal ini peneliti meneliti tentang bentuk bahasa dalam budaya, makna

leksikal dan makna kultural serta pola pikir, pandangan hidup dan pandangan

terhadap dunia dari bahasa Jawa petani yang terkait dengan aktivitasnya di Desa

Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Dalam penelitian

ini, makna kultural atau makna yang dimiliki oleh penuturnya akan terjaga,

sehingga ajaran yang terkandung dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas

pertanian padi akan menambah pengetahuan pembaca. Ada pun judul yang dipilih

untuk penelitian ini adalah “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas

Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar (Kajian Etnolinguistik)”.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam sebuah penelitian sangat diperlukan. Hal ini

dimaksudkan agar permasalahan yang akan dikaji tidak meluas pada pembahasan

lain. Penelitian yang berjudul “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas

Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar (Kajian Etnolinguistik)”, penulis membatasi permasalahan yang

dikaji, yaitu mengenai bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas

pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar yang berupa monomorfemis, polimorfemis, frase, klausa, mengenai

makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya

Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,

Kabupaten Karanganyar, mengenai pola pikir, pandangan hidup dan pandangan

11

terhadap dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,

Kabupaten Karanganyar.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan

dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas

pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar?

2. Apakah makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa

dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar?

3. Bagaimanakah pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap

dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,

Kabupaten Karanganyar?

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas

pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar.

12

2. Mendeskripsikan makna leksikal dan makna kultural yang terangkum

dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa

Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

3. Mendeskripsikan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap

dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,

Kabupaten Karanganyar.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibedakan bersifat teoretis dan praktis.

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoretis yaitu

menambah khazanah teoretis tentang etnolinguistik.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat praktis sebagai berikut.

a. Terdokumentasikannya istilah-istilah aktivitas terkait pertanian padi di

Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar

beserta cara kerja dan makna kulturalnya.

b. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan

masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar tentang aktivitas-aktivitas terkait pertanian padi.

c. Dijadikan sebagai acuan penelitian etnolinguistik selanjutnya.

13

F. Landasan Teori

1. Bahasa dan Budaya Jawa

a. Bahasa Jawa

Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa

simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Gorys Keraf,

2004: 1). Bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan

mental penuturnya dan dapat digunakan sebagai dasar

pengklasifikasian pengalaman (Franz Boas dalam Abdullah, 2014: 5).

Bahasa (language) adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang

dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,

berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2008: 24).

Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam anggota masyarakat

pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktivitas

hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat

pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan invetaris

ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1993: 38).

Bedasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa

adalah alat komunikasi berupa simbol bunyi yang bersifat arbitrer yang

dihasilkan oleh alat ucap manusia, yang merupakan bagian dari

manifestasi terpenting dari kehidupan penuturnya, yang dipergunakan

oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan

mengidentifikasikan diri. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat

pengembangan kebudayaan. Bahasa Jawa berarti alat komunikasi

berupa simbol bunyi yang bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat

14

ucap orang Jawa, yang merupakan bagian dari manifestasi terpenting

dari kehidupan penuturnya, yang dipergunakan oleh anggota

masyarakat Jawa untuk bekerja sama, berinteraksi dan

mengidentifikasikan diri. Selain itu, bahasa tersebut berfungsi sebagai

alat pengembangan kebudayaan Jawa.

b. Budaya Jawa

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil

karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan

milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180). Kata

kebudayaan dan kata culture. Kata kebudayaan berasal dari bahasa

Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti

„budi‟ atau „akal‟, dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-

hal yang bersangkutan dengan budi dan akal (Koentjaraningrat, 1990:

181). Adapun kata culture, yang merupakan kata asing yang sama

artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colere yang berarti

„mengolah, mengerjakan‟ terutama mengolah tanah atau bertani, dari

kata itu berkembang arti culture sebagai „segala daya upaya serta

tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam‟

(Koentjaraningrat, 1990: 182). Koentjaraningrat membagi kebudayaan

atas 7 unsur yaitu sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan,

sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi

dan peralatan, bahasa, dan kesenian. (Koentjaraningrat, 1990: 203).

15

Selain itu Koentjaraningrat(1983: 5) juga membagi kebudayaan atas 3

wujud yakni:

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.

2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat.

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Jadi budaya Jawa adalah keseluruhan budi, sistem gagasan, nilai-

nilai, aktivitas, dan hasil karya yang dimiliki manusia Jawa dalam

kehidupan masyarakat Jawa yang didapatkan melalui proses belajar.

Aktivitas pertanian padi merupakan wujud kebudayaan Jawa.

c. Keterkaitan Bahasa dan Budaya

Robert Sibarani menjelaskan dalam hubungan bahasa dan

kebudayaan, bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan,

baik untuk perkembangan, transmisi maupun penginventarisanya.

Pengembangan konsep-konsep budaya selalu dilakukan dengan

bantuan bahasa. Pola pikir, tingkah laku, adat istiadat, dan unsur

kebudayaan lainnya hanya bisa disampaikan melalui bahasa. Selain itu

bahasa sebagai suatu sistem komunikasi merupakan wujud kebudayaan

yang termasuk sistem sosial yang mendasari tindakan berpola manusia.

Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa digolongkan

sebagai unsur kebudayaan karena pada hakikatnya bahasa mengikuti

kebudayaan. Bahasa juga merupakan hasil kebudayaan, artinya bahasa

yang digunakan atau diucapkan oleh suatu kelompok masyarakat

16

adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat

tersebut (Sibarani dalam Sri Hartini, 2014: 16 ).

2. Istilah

Istilah (term) adalah kata atau gabungan kata dengan cermat

mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam

bidang tertentu (Kridalaksana, 2008: 97). Istilah adalah perkataan yang

khusus mengandung arti yang tertentu di lingkungan sesuatu ilmu

pengetahuan, pekerjaan atau kesenian (Poerwadarminta, 1976: 388).

Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa

istilah adalah kata atau gabungan kata sebagai penyebutan atau penamaan

terhadap sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan yang memiliki

maksud tertentu.

3. Makna

Makna adalah maksud pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam

pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia,

hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa

dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang

ditunjukkannya, cara menggunakan lambang-lambang bahasa

(Kridalaksana, 2008: 148). Makna adalah arti yang dimiliki oleh sebuah

kata (leksem) karena hubungannya dengan makna leksem lain dalam

sebuah tuturan (Edi subroto, 2011: 23).

Penelitian ini akan membahas lebih lanjut makna leksikal dan kultural

dari bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian di Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

17

a. Makna Leksikal

Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem

meski tanpa konteks apa pun (Chaer, 2014: 289). Makna leksikal ini

dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau

konteksnya (Kridalaksana, 2008: 149). Makna leksikal (lexical

meaning) atau makna semantik (semantic meaning), atau makna

eksternal (external meaning) adalah makna kata ketika kata itu berdiri

sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang

maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca di dalam

kamus bahasa tertentu (Pateda, 2001: 119). Dari definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang dimiliki bahasa

yang terlepas dari konteks.

b. Makna Gramatikal

Makna gramatikal adalah makna yang timbul karena relasi satuan

gramatikal baik dalam konstruksi morfologi, frase, klausa/kalimat

(Subroto, 33: 2011).

c. Makna Kultural

Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki bahasa sesuai

dengan konteks budaya penuturnya (Subroto dalam Abdullah, 2014:

20). Konsep makna kultural ini dimaksudkan untuk lebih dalam

memahami makna ekspresi verbal maupun nonverbal suatu masyarakat

yang berhubungan dengan sistem pengetahuan (cognition system)

terkait pola-pikir, pandangan hidup (way of life) serta pandangan

terhadap dunianya (world view) suatu masyarakat (Abdullah, 2014:

18

20). Jadi, makna kultural adalah makna bahasa yang sesuai dengan

konteks kebudayaan masyarakat penuturnya.

Berikut ini adalah contoh makna leksikal dan makna kultural yang

ditemukan dari data tentang bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas

pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar ini ditemukan data sebagai berikut.

a. Makna Leksikal

Kêrik yaiku nyukur sathithik sarta dipacak rêsik „memotong sedikit

dan menata bersih‟ (Poerwadarminta, 1939: 656). Makna leksikal kêrik

adalah memotong sedikit dan menata bersih.

b. Makna Gramatikal

Mopok yaiku nèmplèkake blêthok lan sapiturute ing „menempelkan

gumpalan tanah di‟ (Poerwadarminta, 1939: 1027). Mopok berasal dari

kata popok kemudian mendapatkan prefix m- menjadi mopok. Makna

gramatikal mopok adalah menempelkan gumpalan tanah pada galengan

„batas petakan pada sawah‟.

c. Makna kultural

Makna kultural mopok menurut masyarakat Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dikarenakan saat

melakukan aktivitas ini blêthok „gumpalan tanah‟ yang ditaruh di

galengan „pematang sawah‟ lalu digacrokne „dipukul-pukul‟

menggunakan cangkul akan terdengar bunyi pok-pok-pok, jadi

dinamakan mopok.

19

Mopok dilakukan setelah galengan „pematang sawah‟ sudah

dialisi. Mopok dilakukan dengan cara menaruh blêthok „gumpalan

tanah‟ ditaruh di galengan „pematang sawah‟ lalu digacrokne „dipukul-

pukul‟ menggunakan cangkul dan dihalus-haluskan. Para petani

melakukan mopok untuk memperbaiki pematang sawah agar menjadi

baru serta air dapat menggenang dipetakan sawah dan air tidak bocor ke

petakan sawah lain.

4. Aspek Mikrolinguistik

Mikrolinguistik adalah bidang linguistik yang mempelajari bahasa di

dalamnya, dengan perkataan lain, mempelajari struktur bahasa itu sendiri

atau mempelajari bahan bahasa secara langsung (Kridalaksana, 2008:

154). Objek kajian mikrolinguistik mencakup cabang fonologi, sintaksis,

leksikon, dan morfologi (Chaer, 2014: 4). Penelitian ini mempergunakan

aspek mikrolinguistik yaitu cabang morfologi yang meliputi teori tentang

pengertian monomorfemis, polimorfemis dan cabang sintaksis yang

berupa pengertian tentang frase dan klausa.

a. Monomorfemis

Monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari suatu morfem

(Kridalaksana, 2008: 157). Morfem (morpheme) merupakan satuan

bunyi terkecil yang relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian

bermakna yang lebih kecil misalnya (ter-), (di-), dan sebagainya

(Kridalaksana, 2008: 158). Morfem terdiri atas dua jenis yaitu morfem

bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang secara

potensial dapat berdiri sendiri dan sudah memiliki makna, misal rumah,

20

tanah dan sebagainya sedangkan morfem terikat adalah morfem yang

tidak mempunyai potensi untuk berdiri sendiri dan yang selalu terikat

dengan morfem lain untuk membentuk ujaran, misal pe, juang, temu,

mayur (Kridalaksana, 2008: 158).

Menurut Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan

menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal

bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis

dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna

dan berkategori jelas, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut

kata polimorfemis. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis

dan polimorfemis adalah menggolongkan berdasarkan jumlah morfem

yang menyusun kata.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kata dapat

diklasifikasikan ke dalam bentuk monomorfemis apabila kata tersebut

berupa morfem bebas yaitu dapat berdiri sendiri dan bermakna.

Pentingnya penjelasan tentang monomorfemis untuk penelitian

yang berjudul “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas Pertanian

Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar (Kajian Etnolinguistik)” ini adalah untuk mengidentifikasi

dan mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas

pertanian padi di wilayah tersebut yang terdiri atas satu morfem. Dalam

penelitian terkait bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian

padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

21

Karanganyar ini ditemukan sejumlah satuan lingual yang termasuk

kategori bentuk monomorfemis seperti matun, dêrêp, sulam, dsb.

b. Polimorfemis

Polimorfemis adalah kata bermorfem lebih dari satu. Kata yang

dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk polimorfemis adalah hasil kata

dari proses morfologis yang berupa perangkaian morfem. Proses

morfologis meliputi:

1) Afiksasi

Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar

atau bentuk dasar. Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa

morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses

pembentukan kata (Chaer, 2014:177). Kata berafiks adalah kata yang

mengalami proses afiksasi. Penambahan afiks dapat dilakukan di

depan (prefiks), di tengah (infiks), di akhir (sufiks) serta dapat di

depan dan akhir (konfiks). Afiksasi ialah proses pembubuhan afiks

pada suatu bentuk baik berupa bentuk tunggal maupun bentuk

kompleks untuk membentuk kata-kata baru. (Rohmadi, Muhammad,

Yakub Nasucha, Agus Budi Wahyudi, 2012: 41). Afiks ialah suatu

bentuk linguistik yang keberadaannya hanya untuk melekatkan diri

pada bentuk-bentuk lain sehingga mampu menimbulkan makna baru

(baru) terhadap bentuk-bentuk yang dilekati tadi. Bentuk-bentuk

yang dilekatinya bisa terdiri atas pokok kata, kata dasar, atau bentuk

kompleks (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi

Wahyudi, 2012: 41). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

22

afiksasi adalah proses penambahan afiks yang berupa morfem terikat

pada kata dasar maupun bentuk kompleks yang menimbulkan makna

baru.

2) Reduplikasi

Reduplikasi adalah perulangan bentuk atas suatu bentuk dasar.

Bentuk baru sebagai hasil perulangan bentuk tersebut lazim disebut

kata ulang (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi

Wahyudi, 2012: 83). Reduplikasi adalah proses morfemis yang

mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian

(parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 2014: 182).

Reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa

sebagai alat fonologi atau gramatikal (Kridalaksana, 2008: 186).

Abdul Chaer (2014: 182-183) membedakan reduplikasi menjadi 3

yaitu: reduplikasi penuh, seperti meja-meja, reduplikasi sebagian

seperti lelaki, dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti

bolak-balik, Sutan Takdir Alisjahbana dalam Abdul Chaer

(2014:183) masih mencatat adanya reduplikasi semu, seperti

mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya sebagai

hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang diulang.

Jadi, reduplikasi adalah proses pengulangan kata, baik secara

keseluruhan, sebagian, maupun dengan perubahan bunyi.

3) Kata Majemuk

Kata majemuk ialah dua kata atau lebih yang menjadi satu

dengan lainnya erat sekali dan menunjuk atau menimbulkan satu

23

pengertian baru (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi

Wahyudi, 2012: 103). Kata majemuk adalah gabungan dua kata atau

lebih yang membentuk satu kesatuan arti (Keraf, 2004: 124). Kata

majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya.

Makna muncul bukanlah gabungan makna pada tiap unsur,

melainkan makna lain dari unsur pembentuknya (Ramlan dalam

Pateda, 2001: 145). Jadi, kata majemuk adalah gabungan dua kata

atau lebih yang membentuk makna baru.

Pentingnya penjelasan tentang polimorfemis pada penelitian

ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi bentuk bahasa

dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang mengalami

proses morfologi baik karena proses afiksasi, reduplikasi, dan

pemajemukan. Kata polimorfemis yang ditemukan dalam penelitian

ini misalnya istilah pêlakan yang termasuk dalam kelompok kata

yang mengalami proses morfologi yaitu afiksasi, pêlakan berasal

dari kata dasar pêlak kemudian mendapatkan sufik –an. Pêlakan

berarti para petani memulai untuk menggarap sawah.

c. Frase

Frase lazimnya didefinisikan satuan gramatikal yang berupa

gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazimnya juga disebut

gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam

kalimat (Chaer, 2014: 222). Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri

atas dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan pada

24

umumnya menjadi pembentuk klausa (Kentjono, 1982: 57). Frase pada

umumnya dapat diperluas dengan cara menyisipkan kata pada dua

unsur kata pembentuk frase tersebut, dengan menambahkan kata di

depan, di belakang maupun dengan merubah susunan frase (Kentjono,

1982: 58). Frase dapat didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang

terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur

klausa, maksud frase tidak melebihi batas fungsi unsur klausa adalah

karena frase selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa, yaitu

sebagai subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan (Ramlan,

2001: 139).

d. Klausa

Klausa merupakan satuan sintaksis yang berada di atas satuan frase

dan di bawah satuan kalimat, berupa runtunan kata-kata berkonstruksi

predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa kata

atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi

sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagainya. (Chaer, 2009: 41).

Unsur yang cenderung selalu ada dalam klausa ialah predikat. Unsur-

unsur lainnya mungkin ada mungkin juga tidak ada. (Ramlan, 2001:

80). Kehadiran predikat adalah wajib dalam sebuah konstruksi klausa

(Sidu, 2013: 43).

Ramlan, 2001 menggolongkan klausa berdasarkan kategori kata

atau frase yang menduduki fungsi P. Klausa digolongkan menjadi 4

yaitu: klausa nominal, klausa verbal, klausa bilangan, klausa depan.

25

1) Klausa Nominal

Klausa nominal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau

frase golongan nomina. Misalnya: ia guru

2) Klausa Verbal

Klausa verbal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau frase

golongan verba.

3) Klausa Bilangan

Klausa bilangan atau klausa numerial ialah klausa yang P-nya

terdiri dari kata atau frase golongan bilangan. Misalnya: roda

truk itu enam, kerbau petani itu hanya dua ekor

4) Klausa Depan

Klausa depan atau klausa yang P-nya terdiri dari frase depan,

yaitu frase yang diawali oleh kata depan sebagai penanda.

Misalnya: beras itu dari Delanggu, orang tuanya di rumah.

Pentingnya penjelasan tentang klausa pada penelitian ini adalah

untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi bentuk bahasa dalam

budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang berbentuk

klausa. Satuan lingual yang berbentuk klausa yang ditemukan dalam

penelitian ini misalnya istilah meme gabah, satuan lingual meme gabah

berasal dari kata meme (verba) dan kata gabah (nomina). Meme

memiliki fungsi sebagai predikat dan gabah berfungsi sebagai objek.

meme gabah berarti dikeringkan di bawah terik sinar matahari.

26

5. Aspek Makrolinguistik

Makrolinguistik adalah bidang linguistik yang mempelajari bahasa

dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, termasuk

didalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan (Kridalaksana, 2008:

149). Salah satu bidang terapan yang dikaji makrolinguistik adalah

etnolinguistik. Aspek makrolinguistik yang dipergunakan dalam penelitian

dengan kajian perspektif etnolinguistik ini yaitu teori tentang pengertian

etnolinguistik, pengkajian etnolinguistik dari aspek bahasa dan budaya

serta pengkajian etnolinguistik dari aspek konsep pola pikir, pandangan

hidup masyarakat dan pandangan masyarakat terhadap dunia.

a. Etnolinguistik

Etnolinguistik berasal dari kata „etnologi‟ dan „linguistik‟ yang

lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa

dilakukan oleh para ahli etnologi dengan pendekatan linguistik. Atas

dasar inilah, Ahimsa membagi kajian etnolinguistik dalam dua

golongan, yaitu kajian etnolinguistik yang memberikan sumbangan

bagi etnologi dan kajian etnologi yang memberikan sumbangan bagi

linguistik (Shri Ahimsa, 1997: 5). Bidang kajian etnologi mengkaji

tentang suku-suku tertentu dan bidang linguistik mengkaji tentang

seluk beluk bahasa keseharian manusia atau mengkaji ilmu bahasa

(Sudaryanto, 1996:9). Etnolinguistik adalah suatu ilmu bagian yang

pada asal mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi. Objek

penelitiannya yang berupa daftar kata-kata, pelukisan-pelukisan dari

ciri-ciri, dan pelukisan-pelukisan tentang tata bahasa dari bahasa-

27

bahasa lokal yang tersebar di berbagai tempat di muaka bumi ini,

terkumpul bersama-sama dengan bahan tentang unsur kebudayaan

sesuatu suku bangsa. (Koentjaraningrat, 1974: 2)

Istilah etnolinguistik juga disebut dengan istilah antropological

linguistic yang bervariasi dengan linguistic anthropology (Duranti,

1997: 2). Linguistic anthropology over both antropological linguistic

and ethnolinguistics is part of a conscious attempt at consolidating

and redefining the study of language and culture as one of the major

subfields of anthropology ‘Linguistik antropologi baik antropologi

linguistik maupun etnolinguistik merupakan bagian dari usaha nyata

(sadar) dalam menggabungkan dan menjelaskan bahwa studi bahasa

dan budaya sebagai satu dari subbidang utama dari antropologi‟

(Duranti, 1997: 2). Lebih lanjut menurut Hymes (1963: 277)

ethnolinguistics, the study of speech and language within the context of

anthropology „etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari cara

berbahasa dan bahasa dalam konteks budaya‟ (Duranti, 1997: 2).

Pengertian etnolinguistik yang juga disebut studi linguistik

antropologis menurut Kridalaksana adalah cabang linguistik yang

mempelajari bahasa dalam konteks budaya, mencoba mencari makna

tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa, merupakan disiplin

interpretatif yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman

budaya yang bermula dari fakta kebahasaan (Kridalaksana, 2008: 59).

Selain itu etnolinguistik juga dipahami sebagai jenis linguistik yang

menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa,

28

wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya

(seperti upacara ritual, peristiwa budaya, foklor, dan lainnya) yang

lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik

budaya dan struktur sosial masyarakat (Abdullah, 2014: 10). Secara

konseptual etnolinguistik (anthropological linguistics) memiliki

pengertian merupakan jenis linguistik yang menaruh perhatian

terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial-budaya yang lebih luas

untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan

struktul sosial (Foley dalam Abdullah, 2014: 1). Lebih lanjut,

etnolinguistik yang dapat disebut juga linguistik antropologi

(anthropological linguistics) adalah cabang linguistik yang mengkaji

hubungan bahasa dan budaya sebagai sub bidang utama dari

antropologi (Richards, Platt, Weber dalam Abdullah, 2014: 4).

Etnolinguistik mencoba melakukan klasifikasi kognisi, pandangan

hidup, pandangan dunia dan pola pikir masyarakat penuturnya yang

bertolak dari data empiris kebahasaan dan sangat bertumpu pada

dimensi leksikon berserta dimensi semantik bahasa dan budaya

pemiliknya (Abdullah, 2014: 8).

Dari beberapa pengertian para ahli mengenai etnolinguistik di atas

dapat disimpulkan bahwa etnolinguistik adalah cabang ilmu linguistik

yang mengkaji tentang bahasa dalam konteks budaya. Etnolinguistik

mencoba mencari makna tersembunyi yang ada di balik pemakaian

bahasa (yang berupa kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual

lainnya) dalam konteks sosial dan budaya (seperti upacara ritual,

29

peristiwa budaya, foklor, dan lainnya), mengupas bahasa untuk

mendapatkan pemahaman budaya yang bermula dari fakta

kebahasaandan yang lebih luas untuk memajukan dan

mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial. Pada

intinya etnolinguistik mencoba melakukan klasifikasi kognisi,

pandangan hidup, pandangan dunia dan pola pikir masyarakat

penuturnya yang bertolak dari data empiris kebahasaan dan sangat

bertumpu pada dimensi leksikon berserta dimensi semantik bahasa dan

budaya pemiliknya.

b. Pengkajian Etnolinguistik dari Aspek Bahasa dan Budaya

Budaya itu ada di dalam pikiran (mind) manusia, dan bentuk

organisasi pikiran berupa fenomena material. Dalam hal ini fenomena

material itu dapat dipahami berupa ekspresi verbal (kosa-kata, frase,

klausa, wacana, dan unit-unit lingual lainnya) dan ekspesi nonverbal

(upacara ritual, mantra, doa, tempat tertentu, kepercayaan, perangkat

sesaji, dan sebagainya). Selanjutnya dijelaskan bahwa jalan yang

paling mudah untuk memperoleh budaya adalah melalui bahasa,

khususnya melalui daftar kata-kata yang ada dalam suatu bahasa.

Maka dari itu, bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk

sampai pada sistem pengetahuan (cognition system) suatu masyarakat,

yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-

prinsip, dan sebagainya. (Abdullah, 2014: 14).

30

c. Pengkajian Etnolinguistik dari Aspek Konsep Pola Pikir, Pandangan

Hidup Masyarakat dan Pandangan Masyarakat terhadap Dunia

Bahasa dipahami sebagai manifestasi terpenting dari kehidupan

mental penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman

(Abdullah, 2014: 17). Ahimsa dalam Abdullah (2014: 17)

mengemukakan bahwa pola pikir adalah pengetahuan suatu

masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-

aturan, prinsip-prinsip, yang sebagaimana dinyatakan melalui bahasa.

Dalam konsep Durkheim, konsep pola pikir dapat mengacu pada

pikiran kolektif masyarakat, yaitu dipahami sebagai suatu gagasan

yang telah dimiliki sebagian besar warga masyarakatnya yang sudah

bukan lagi bentuk pikiran tunggal mengenai suatu hal yang khas,

tetapi umumnya telah berkaitan dengan gagasan lain sejenis, sehingga

menjadi suatu kompleks gagasan (Koentjaraningrat, 1996: 85-86).

Pencermatan melalui ekspresi verbal dan nonverbal dalam bahasa dan

budaya masyarakat tertentu akan dapat menguak pola pikir yang

dimilikinya secara turun-temurun (Abdullah, 2014: 18).

Bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk sampai pada

sistem pengetahuan (cognition system) suatu masyarakat, yang isinya

antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan

sebagainya. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai

benda yang ada di lingkungan manusia, sebab melalui proses ini

manusia lantas dapat “menciptakan” keteraturan dalam persepsinya

atas lingkungan ekologisnya. Dari nama-nama ini dapat diketahui

31

patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat

klasifikasi, yang berarti juga kita dapat mengetahui “pandangan

hidup” pendukung kebudayaan suatu masyarakat. Selanjutnya

klasifikasi ini tidak hanya menyangkut objek-objek atau benda-benda,

namun juga mengenai cara-cara, tempat-tempat, kegiatan-kegiatan,

pelaku-pelaku, tujuan-tujuan dan sebagainya. (Abdullah, 2014: 14-

15). Pandangan hidup itu sendiri adalah konsep yang dimiliki

seseorang atau golongan dalam masyarakat yang bermaksud

menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini (KBBI,

2012: 1011).

Oktavianus mengemukakan bahwa cara pandang dunia

penuturnya memperlihatkan keterkaitan bahasa dan budaya dalam

menafsirkan pandangan dunia. Melalui sistem gramatika, atau melalui

unit lingualnya sebagai pembentuk sebuah struktur wacana dapat

diamati di balik pola pikir masyarakat yang ditampilkan dalam

budaya. Oleh karena itu analisis terhadap unit lingual sangat penting

untuk menguak aspek sosiokultural suatu komunitas karena relasi

antar unit lingual dengan nilai budaya bersifat multidireksional

(Abdullah, 2014: 16-17). Adapun pandangan terhadap dunia adalah

bagaimana masyarakat memandang dunia yaitu bumi dengan segala

sesuatu yang ada di dalamnya.

32

6. Aktivitas

Aktivitas memiliki arti keaktifan, kegiatan, kerja atau salah satu

kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian di dalam perusahaan

(KBBI, 2012: 31).

W.J.S. Poewadarminto menjelaskan aktivitas sebagai suatu

kegiatan atau kesibukan (http://mugironiggi.blogspot.com/aktivitas diakses

3 Desember 2015 pukul 22.11). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa aktivitas adalah suatu kegiatan atau kesibukan yang dilaksanakan

seseorang.

Aktivitas pertanian dalam penelitian ini terdiri dari 4 fase yaitu:

fase sebelum menanam padi, fase saat menanam padi, fase sesudah

menanam padi, fase saat panen dan setelah panen padi.

7. Pertanian Padi

Definisi pertanian adalah 1) perihal bertani (mengusahakan tanah

dengan tanam-tanaman); 2) segala sesuatu yang bertalian dengan tanam-

menanam (pengusahaan tanah dsb) (KBBI, 2012: 1409). Di samping itu,

pertanian adalah sejenis proses produksi yang khas yang didasarkan atas

proses-proses pertumbuhan tanaman dan hewan (Mosher, 1968: 17),

sedangkan padi adalah tumbuhan yang menghasilkan beras, termasuk jenis

oryza (KBBI, 2012: 996). Padi berarti Oryza sativa L. Genus Oryza, famili

Graminear; rumput berumpun; helaian daun memanjang 15-80 cm,

kebanyakan tepi daun kasar, malai panjang 15-40 cm, tumbuh ke atas

dengan ujung menggantung, cabang malai kasar; anak mulai beraneka

ragam, tidak berjarum, berjarum panjang atau pendek, berjarum licin atau

33

kasar, hijau atau cokelat, gundul atau berambut; merupakan tanaman budi

daya terpenting dengan ribuan spesies. (KPU, 2013: 295).

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pertanian

padi berarti sejenis proses produksi yang khas dengan cara mengusahakan

tanah dengan padi (tumbuhan penghasil beras dengan ciri-ciri: helaian

daun memanjang 15-80 cm, kebanyakan tepi daun kasar, malai panjang

15-40 cm, tumbuh ke atas dengan ujung menggantung), yang didasarkan

atas proses-proses pertumbuhan padi tersebut.

G. Data dan Sumber Data

1. Data

Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam

(dalam arti luas), yang harus dicari/dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti.

Data kebahasaan berupa fenomena-fenomena kebahasaan apapun yang

sesuai dengan segi-segi tertentu yang diteliti. (Subroto, 1992: 34).

Data dalam penelitian etnolinguistik yang berjudul “Bahasa dalam

Budaya Jawa terkait Aktivitas Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan

Karangpandan, Kabupaten Karanganyar” ini meliputi: (1) Data lisan

berupa bentuk ujaran atau tuturan informan yang berwujud kata, frase,

klausa yang berkaitan dengan aktivitas pertanian padi (2) Data lisan yang

diperoleh dari informan terpilih terkait penjelasan tentang makna kultural

bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi (3) Data tulis

terkait penjelasan bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian

padi yang termuat dalam buku-buku dan kamus.

34

2. Sumber Data

Sumber data lisan pada penelitian ini yaitu informan yang

mengetahui tentang bahasa dalam budaya terkait aktivitas pertanian padi

di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dan

sumber data tertulis yang berasal dari buku-buku, catatan penting, dan

kamus. Informan yang dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut: 1)

Mengetahui tentang seluk beluk bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas

pertanian; 2) mengetahui bahasa dan budaya Jawa; 3) Sehat jasmani dan

rohani; 4) Memiliki alat ucap dan ujaran yang baik; 5) Bersedia

memberikan informasi tentang bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas

pertanian dengan jujur; 6) Alat pendengaran masih normal; 7) Usia

minimal 30 tahun; 8) Asli penduduk setempat.

H. Metode dan Teknik Penelitian

1. Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif berusaha memahami

makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa, dan kaitannya

dengan orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam situasi yang

sebenarnya (Subroto, 1992: 7). Adapun penelitian ini bersifat kualitatif

maksudnya adalah pengkajian atau penelitian suatu masalah tidak didesain

atau dirancang menggunakan prosedur statistik (Subroto, 1992: 5).

Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif. Peneliti mencatat data yang

berwujud kata-kata, kalimat, wacana, gambar-gambar/foto, catatan harian,

memorandum, video-tipe (Subroto, 1992: 7). Penelitian dengan metode ini

35

dimaksudkan agar dapat menganalisis data dengan semua kekayaan dan

wataknya yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya

seperti pada waktu dicatat (Sutopo, 2002: 35). Penelitian deskriptif

kualitatif bersifat fenomenalogis, artinya penelitian ini berusaha

memahami makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa (yang

bersifat verbal maupun nonverbal) dan kaitannya dengan orang-orang atau

masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan, dalam situasi yang

sebenarnya bersifat lentur dan terbuka, analisisnya secara induksi dengan

meletakkan data-data penelitian bukan saja sebagai alat pembuktian, tetapi

sebagai modal dasar untuk memahami fakta yang ada (Sutopo, 2002: 47).

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Desa Bangsri, Kecamatan

Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, alasan pemilihan lokasi

penelitian di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

Karanganyar karena di desa tersebut sebagian besar masyarakatnya

bermata percaharian sebagai petani padi dan sebagian besar wilayahnya

dimanfaatkan untuk tanah pertanian terutama pertanian padi. Selain itu

masyarakat tersebut masih menggunakan bahasa Jawa sebagai alat

komunikasinya dan bahasa yang berupa istilah aktivitas pertanian

memiliki makna filosofis didalamnya yang penting untuk dipelajari.

3. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama

penelitian ini yaitu peneliti itu sendiri. Berkaitan dengan kedudukan

peneliti sebagai alat penelitian utama karena dalam penelitian kualitatif

36

ada keyakinan bahwa hanya manusia yang mampu menggapai dan menilai

makna dari berbagai interaksi (Lincoln & Guba dalam Sutopo, 2002: 36).

Seorang peneliti dikatakan alat penelitian utama karena peneliti melakukan

penelitian langsung ke lapangan dan langsung menganalisis data bahasa

dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Sedangakan alat

bantu dalam penelitian ini adalah pensil, bolpen, buku catatan, laptop,

flashdisk, handphone.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan

suatu fenomena (Kridalaksana, 2008: 153). Pengumpulan data dalam

penelitian ini menggunakan metode cakap dan studi pustaka. Disebut

metode cakap karena memang berupa percakapan dan terjadi kontak antara

peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto,

1988: 7). Metode cakap ini disebut juga dengan wawancara yaitu peneliti

melakukan percakapan dengan mengajukan berbagai pertanyaan kemudian

dijawab oleh narasumber. Teknik dasar yang digunakan yaitu teknik

pancing. Peneliti untuk mendapatkan data pertama-tama harus dengan

segenap kecerdikan dan kemauannya memancing seseorang atau beberapa

orang agar berbicara (Sudaryanto, 1988: 7). Memancing seseorang agar

berbicara dan memberi informasi hendaknya dilakukan dengan halus dan

berhati-hati agar narasumber tidak merasa bahwa dia sedang dipancing.

Hal ini dilakukan untuk menjaga alur dan suasana percakapan tetap alami

37

dan wajar agar informasi tentang data dapat diungkapkan semakin

mendalam.

Teknik lanjutannya yaitu teknik cakap semuka, teknik rekam, dan

teknik catat. Kegiatan memancing bicara itu dilakukan pertama-tama

dengan percakapan langsung, tatap semuka, atau bersemuka (Sudaryanto,

1988: 7). Pembicaraan antara peneliti dengan narasumber harus tetap

dikendalikan oleh peneliti dan diarahkan sesuai dengan kepentingan

peneliti. Disamping melakukan teknik cakap semuka, peneliti melakukan

teknik rekam. Teknik rekam ini sangat penting untuk mengantisipasi

apabila peneliti lupa akan apa yang dituturkan oleh informan. Kemudian

diikuti dengan pencatatan data pada kartu data; jadi digunakan teknik catat

(Sudaryanto, 1988: 9). Teknik catat ini dilakukan untuk mencatat

keseluruhan tuturan atau sebagian tuturan yang dianggap penting dan

relevan terhadap data penelitian.

Teknik studi pustaka adalah cara mengumpulkan data secara tertulis,

terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku, tentang

pendapat, teori, dalil/hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan

masalah penyelidikan (Nawawi, 1995: 133). Teknik studi pustaka

digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk menambah

data yang dibutuhkan oleh peneliti. Selain itu teknik ini digunakan untuk

referensi data yang sebelumnya diperoleh dari informan. Dalam penelitian

ini, peneliti memperoleh dan memperdalam informasi yang berhubungan

dengan data yang diinginkan melalui kamus.

38

5. Metode dan Teknik Analisis Data

Metode analisis data adalah metode yang dilakukan peneliti dalam

upaya menangani langsung masalah yang terkandung dalam data

(Sudaryanto, 1993: 6). Dalam menganalisis data, penulis menggunakan

metode distribusional dan metode padan.

a. Metode Agih (Distribusional)

Metode agih itu alat penentunya justru bagian dari bahasa yang

bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Teknik dasar yang

digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini

digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur,

dan unsur-unsur yang bersangkutan dianggap sebagai bagian yang

langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:

31). Metode distribusional digunakan untuk menganalisis bentuk

monomorfemis, polimorfemis, frase, dan klausa pada bahasa dalam

budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi. Penerapan metode

distribusional adalah sebagai berikut.

1) Bentuk monomorfemis atau satu morfem

Pada penelitian bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian

padi terdapat beberapa bentuk monomorfemis diantaranya sebagai

berikut:

Data 1

matun [mAtUn] → verba

Satuan lingual matun berkategori verba yang dapat berdiri sendiri,

berarti dan belum mengalami proses morfologis.

39

Data 2

dêrêp [d|r|p] → verba

Satuan lingual dêrêp berkategori verba yang dapat berdiri sendiri,

berarti dan belum mengalami proses morfologis.

2) Bentuk polimorfemis atau lebih dari satu morfem

Pada penelitian bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian

padi terdapat beberapa bentuk polimorfemis diantaranya sebagai

berikut:

Data 3

ngêlêpi [ G|l|pi ] → verba

ng + lep + i → ngêlêpi

Satuan lingual ngêlêpi berasal dari kata lep (verba) mendapat konfiks

ng- dan –i menjadi ngêlêpi.

Data 4

Ngêblak [G|blA?] → verba

ng + êblak → ngêblak

Satuan lingual ngêblak berasal dari kata êblak (nomina) mendapat

prefiks ng- menjadi ngêblak.

3) Bentuk frase

Data 5

tandur ngabyak [tAndUr GAbyA?] → frase

tandur (verba) + ngabyak. (adverbia) → tandur ngabyak

40

Satuan lingual tandur ngabyak berasal dari kata tandur „menanam‟

dan ngabyak„ menempuh dengan tidak peduli apapun, mengenai

sekenanya saja‟.

Tandur ngabyak merupakan bentuk frase karena tandur ngabyak

terdiri dari dua kata, tidak berciri klausa, dan dapat disisipkan kata

lain, misalnya kata sing ‘yang‟ menjadi tandur sing ngabyak.

4) Bentuk klausa

Data 6

meme gabah [meme gAbAh] → klausa verbal

meme (verba) + gabah (nomina) → meme gabah

P O

Satuan lingual meme gabah berasal dari kata meme (verba) dan kata

gabah (nomina). Meme memiliki fungsi sebagai predikat dan gabah

berfungsi sebagai objek.

Data 7

nyêbar winih [¥|bAr winIh] → klausa verbal

nyêbar (verba) + winih (nomina) → nyêbar winih

P O

Satuan lingual nyêbar winih berasal dari kata nyêbar (verba) dan

kata winih (nomina). Nyêbar memiliki fungsi sebagai predikat dan

winih berfungsi sebagai objek.

b. Metode Padan

Metode padan adalah alat penentunya di luar, terlepas dan tidak

menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto,

41

1993: 13). Alat penentu yang dimaksud yaitu 1) Kenyataan yang

ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa atau disebut metode padan

referensial; 2) Alat penentunya organ pembentuk bahasa (organ wicara)

atau disebut padan artikulatoris; 3) Bahasa lain atau langue lain (padan

lingual); 4) Perekam bahasa yaitu tulisan (grafis); dan 5) Orang yang

menjadi mitra wicara (pragmatis) (Sudaryanto, 1993: 13). Metode

padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan

referensial, alat penentunya yaitu referen atau isi tuturan. Metode padan

digunakan untuk menganalisis makna leksikal dan makna kultural yang

terangkum dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian

padi serta pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia

masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,

Kabupaten Karanganyar.

Dalam penelitian ini analisis data bersifat kontekstual yaitu analisis

data dengan mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi

penggunaan bahasa yaitu mengenai bahasa dan budaya Jawa terkait

aktivitas pertanian padi. Adapun contoh penerapan analisis metode

padan adalah sebagai berikut.

1) Analisis makna leksikal dan makna kultural

Data 7

ngrèntèg [GrEntEg]

Ngrèntèg berasal dari kata rèntèg mendapat prefiks ng- menjadi

ngrèntèg. Rèntèg yaiku padha rontog „rontok semua‟

42

(Poerwadarminta, 1939: 1645). Makna gramatikal ngrèntèg adalah

membuat rontok semua.

Makna kultural ngrèntèg menurut informan berasal dari kata

rèntèg, rèntèg adalah alat perontok padi, dinamakan rèntèg karena

rèntèg bermakna padha rontok yang artinya rontok semua.Aktivitas

ini dilakukan menggunakan rèntèg agar bulir-bulir padi rontok

semua, jadi dinamakan ngrèntèg.

Menurut Masyarakat Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,

Kabupaten Karanganyar, ngrèntèg adalah merontokkan padi

menggunakan rèntèg, rèntèg yaitu alat perontok padi yang

didalamnya terdapat bulatan dengan banyak paku tajam yang

menempel mengarah ke atas. Rèntèg disertai ayuhan seperti ayuhan

sepeda yang berfungsi sebagai penggerak bulantan di dalam mesin

itu, serta terdapat kotakan terbuka untuki memasukkan batang padi

agar bulir-bulir padi bisa rontok. Ngrèntèg dilakukan setelah padi

dirit „dipangkas‟. Ngêrit padi untuk selanjutnya dirèntèg berbeda

dengan ngêrit padi untuk ditlèsêr, kalau ngêrit padi untuk

selanjutnya dirèntèg, batang padi harus dipangkas sampai bawah

agar batang padi masih panjang, hal itu untuk memudahkan petani

dalam proses ngrèntèg karena pada saat ngrèntèg petani mengambil

dua genggaman padi yang dijadikan satu yang kemudian batang padi

dipegang dan digenggam dengan erat menggunakan dua tangan yang

dijadikan satu sedangkan kaki kanan petani mengayuh ayunan pada

rèntèg agar bulatan kayu yang terdapat paku-paku yang menempel

43

dapat berputar untuk merontokkan padi, sedangkan kaki kiri sebagai

penyangga agar petani bisa berdiri secara seimbang. Setelah itu

batang bagian yang berisi bulir-bulir padi dimasukkan ke dalam

mesin rèntèg tanpa melepas batang padi dari genggaman tangan

kemudian batang padi dibolak-balik agar bulir-bulir padi dapat

rontok seluruhnya. Setelah dirasa bulir-bulir padi sudah rontok

seluruhnya, batang padi dikumpulkan di sebelah rèntèg tersebut dan

petani melakukan seterusnya hal tersebut sampai seluruh batang-

batang yang berisi bulir-bulir padi habis dan telah dirontokkan

semua. Setelah gabah jatuh bersamaan dengan kawul/uwuh ‘sisa-sisa

dedaunan padi yang jatuh bersamaan dengan gabah saat dirèntèg’

petani melakukan aktivitas ngaraki „membersihkan kawul/uwuh dari

gabah‟.

Data 8

mopok [mOpO?]

Mopok yaiku nèmplèkake blêthok „menempelkan gumpalan

tanah‟ (Poerwadarminta, 1939: 1027). Makna gramatikal mopok

adalah menempelkan gumpalan tanah pada galengan ‘pematang

sawah’.

Makna kultural mopok menurut masyarakat Desa Bangsri,

Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar berasal dari

bunyi pok-pok. Hal ini dikarenakan saat petani melakukan aktivitas

mopok, blêthok „gumpalan tanah‟ ditaruh di galengan „pematang

sawah‟ lalu digacrokne „dipukul-pukul‟ menggunakan cangkul dan

44

menghasilkan bunyi pok pok pok. Mopok dilakukan agar galengan

menjadi halus, rapi, dan kuat untuk diinjak.

Data 9

gêbug kawul [g|bUg kawUl]

Satuan lingual gêbug kawul berasal dari kata gêbug dan kawul.

Gêbug yaiku gitik gêdhe „alat pukul besar dari kayu‟

(Poerwadarminta, 1939: 418). Kawul yaiku kêsrikan sêrat wit arèn

lsp.dianggo êmpan- êmpan dadèn gêni lsp „potongan serat pohon

aren dsb. Digunakan untuk menghidupkan api dsb‟

(Poerwadarminta, 1939: 593). Makna gramatikal gêbug kawul adalah

memukul-mukul sisa-sisa dedaunan menggunakan pukulan besar

dari kayu.

Makna kultural gêbug kawul dikarenakan aktivitas ini

menggunakan pemukul dan jika dipukul akan terdengar suara bug-

bug-bug sehingga dinamakan gêbug dan yang dipukul-pukul adalah

sisa-sisa dedaunan padi yang jatuh bersamaan dengan gabah saat

dirèntèg „dirontokkan‟ yang biasa disebut kawul. Jadi dinamakan

gêbug kawul.

Gêbug kawul dilakukan setelah ngaraki, gêbug kawul dilakukan

dengan cara memukul-mukul kawul „sisa-sisa dedaunan padi yang

jatuh bersamaan dengan gabah saat dirèntèg‟ hasil arakan yang telah

disendirikan dengan menggunakan kayu. Gêbug kawul dilakukan

karena ada bulir-bulir padi yang tidak dapat pisah dengan batang

45

padi saat dirèntèg maka petani melakukan gêbug kawul, agar hasil

panennya tidak terbuang sia-sia.

2) Analisis pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia

Para Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,

Kabupaten Karanganyar memiliki pola pikir yang berupa prinsip dan

aturan dalam mempersiapkan benih yang akan disebar, benih yang

akan disebar harus dijemur sampai kering kemudian direndam. Cara

merendam gabah yang dilakukan petani satu dan petani lainnya

berbeda-beda, ada yang setelah dijemur kering langsung dimasukkan

ke dalam ember yang berisi air dingin, ada pula yang menggunakan

air mendidih saat merendam gabah, yang sebelumnya air mendidih

dimasukkan garam sedikit setelah itu gabah dimasukkan, garam

dipercaya dapat memperbanyak dan mempercepat tumbuhnya

gabah. Gabah direndam selama satu hari satu malam dalam ember

atau bak, kemudian setelah itu gabah bisa diangkat untuk selanjutnya

dipêp „menutup rapat agar tidak terkena angin ‟dalam karung dan di

atas gabah diberi daun sarilaya selanjutnya karung bisa ditutup rapat,

setelah itu karung yang berisi gabah dimasukkan ke dalam tenggok

dan disimpan di tempat yang lembab selama dua hari. Ngêpêp gabah

dilakukan agar gabah tidak terkena angin yang nantinya akan

membuat gabah menjadi lembab dan dapat tumbuh. Jika sudah dua

hari gabah sudah mulai tumbuh maka gabah siap untuk disebar.

Gabah yang dijadikan benih tidak boleh sembarangan, gabah harus

berkualitas baik, karena masyarakat Desa Bangsri berpandangan

46

bahwa jika menanam benih yang baik maka hasil yang akan diunduh

nantinya akan baik pula. Pandangan terhadap dunia masyarakat

petani Desa Bangsri yakni masyarakat petani menyebar benih di

tanah yang subur, tanah merupakan bagian dari dunia, menyebar

benih di tanah yang subur dan gembur akan membuat benih dapat

tumbuh subur pula, sehingga dapat mempercepat proses menanam

padi dengan begitu tanaman padi akan cepat berbuah.

6. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data merupakan upaya sang peneliti

menampilkan dalam wujud laporan tertulis apa-apa yang telah dihasilkan

dari kerja analisis; khususnya kaidah (Sudaryanto, 1993: 7). Penyajian

hasil analisis dilakukan melalui dua cara yaitu dengan metode yang

bersifat formal dan informal. Metode penyajian informal adalah

perumusan dengan kata-kata biasa, sedangkan metode penyajian hasil

analisis data formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang

(Sudaryanto, 1993: 145). Tanda yang digunakan dalam penyajian data

penelitian ini di antaranya tanda tambah (+), tanda panah (→), tanda

kurung biasa (()), dan tanda kurung siku ([]).

47

I. Tabel Waktu Penelitian

No

.

Kegiatan Penelitian

Bulan/Tahun

10/

15

11/

15

12/

15

01/

16

02/

16

03/

16

04/

16

05/

16

06/

16

1. Studi Pustaka

2. Survei lokasi

penelitian

3. Penyediaan

instrumen penelitian

4. Penelusuran pustaka

dan referensi terkait

tema

5. Penyusunan proposal

6. Menyiapkan data

untuk proposal

7. Menyusun proposal

penelitian

8. Seminar proposal

9. Perbaikan proposal

10. Analisis data

penelitian

11. Analisis data

lanjutan

48

12. Menyusun draf

laporan

13. Mengecek data ke

lokasi (jika perlu)

14. Penulisan draf

laporan akhir

penelitian

15. Persiapan ujian

16. Ujian

49

J. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan adalah serangkaian cara yang terstruktur dan terpola

secara rapi yang dijadikan pedoman dalam pembuatan tulisan. Sistematika

penulisan skripsi ini dirinci sebagai berikut.

BAB I berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah,

pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

landasan teori, data dan sumber data penelitian, metode dan teknik penelitian,

metode analisis data, metode hasil analisis data, kerangka berpikir, table waktu

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II berisi analisis data dan pembahasan yang terdiri atas pembahasan

mengenai bentuk bahasa dalam budaya jawa terkait aktivitas pertanian padi,

makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya

jawa terkait aktivitas pertanian padi, serta pola pikir, pandangan hidup, dan

pandangan terhadap dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan

Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

BAB III berisi penutup yang terdiri atas simpulan dan saran dari hasil

penelitian yang telah dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN