Upload
vuanh
View
258
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
A .Latar Belakang Kajian tentang pemberhentian Kepala Daerah tentunya tidak terlepas dari
kajian utamannya yakni kajian tentang otonomi daerah yang dalam hal ini
berbicara pula tentang pembagian kewenangan dan wilayah dalam suatu negara.
Pembagian kewenangan dalam sebuah negara kesatuan tentu jauh berbeda dengan
pembagian kewenangan yang dianjut dalam sebuah negara federasi dan serikat.
Dalam negara kesatuan seperti hal Indonesia, otonomi tidak dapat disamakan
dengan kebebasan suatu daerah untuk melaksanakan fungsi pemerintahannya
sesuai dengan kehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional
bangsa. Konflik kepentingan antara melaksanakan fungsi otonomi dengan
mempertahankan kesatuan bangsa sering terjadi manapun terutama dinegara
negara berkembang.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah,
pelayanan masyarakat dan pembangunan, maka dalam hal ini pemerintah
mengemban sedikitnya tiga fungsi yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan
fungsi stabilisasi. Suatu pendapat mengatakan bahwa fungsi distribusi dan
stabilisasi pada umunya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat,
sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta
standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan
kondisi dan situasi yang berbeda-beda dari masing-masing wilayah1. Mengenai
1
1
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.hal.105
1
susunan Pemerintahan Daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah secara tegas menyatakan pemerintahan Daerah
terdiri dari eksekutif daerah yang di pegang oleh pemerintah daerah ( kepala
daerah), Dewan Perawakilan Rakyat Daerah sebagai badan legislatif daerah, yang
selanjutnya akan disebut DPRD. Sebagai suatu organ yang bertanggungjawab
dalam penyelenggraan pemerintahan daerah, kedua organ tersebut ( Kepala
Daerah dan DPRD) memiliki fungsi dan kewenangan masing-masing di samping
saat tertentu ada hubungan satu sama lain, untuk mewujukan suatu pemerintahan
yang baik.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
yang selanjutnya disebut UUDNKRI 1945, bila di telah ketentuan yang terdapat
dalam pasal 18 pasca perubahan UUDNKRI 1945, yakni ketentuan Pasal 18 yang
semula hanya terdiri dari satu pasal berubah menjadi tiga pasal yaitu pasal 18
yang terdiri dari 7 (tujuh) ayat, Pasal 18 A yang terdiri 2 (dua) ayat, dan Pasal 18
B Juga terdiri dari 2 (dua)ayat. Sejalan dengan perubahan Pasal 18 tersebut,
tampak sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
paradigma yang dimaksud adalah2:
1. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan
tugas pembantuan (belaka). Yang diharapkan di masa depan tidak ada lagi
pemerintahan dekosentrasi dalam pemerintahan daerah.
2
2
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat studi Hukum ( PSH) fakultas Hukum UII Yogyakarta,2001,hal.229
2
2. Pemerintahan daerah disusun dijalankan atas dasar otonomi seluas-
luasnya. Semua fungsi pemerintahan dibidang administrasi negara
(administratief regelen en bestuur) dijalankan oleh pemerintahan daerah,
kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat.
3. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah.
Urusan rumah tangga tidak perlu seragam atau sama. Perbedaan harus
dimungkinkan baik atas dasar cultural, sosial ,ekonomi, geografi dan lain
sebagainya.
4. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan
menghormati satu kesatuan masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap)
dan berbagai hak teradisionalnya. Satuan pemerintahan yang asli dan hak-hak
masyarakat asli atas bumi,air dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar-
besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat.
5. Pemerintahan daerah dapat disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau
keadaan khusus tertentu baik atas dasar kedudukan (seperti Ibu Kota Negara ),
kesejahteraan (seperti D.I.Yogyakarta)atau karena keadaan sosial cultural
(seperti D.I. Aceh)
6. Anggota DPRD dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum.
7. Hubungan Pusat dan Daerah dilaksanakan selaras dan adil.
Ketujuh pokok pikiran dari paradigma yang di gariskan dalam Pasal 18,
18A dan Pasal 18B. Perubahan kedua UUDNKRI 1945 tersebut diatas sama sekali
tidak dijumpai pengaturan tentang hubungan kewenangan DPRD dengan Kepala
Daerah. Sekurang-kurangnya tidak ada indicator yang dapat di jadikan pegangan
3
mengenai kewenangan DPRD dalam hal mengusulkan pemberhentian Kepala
Daerah akan tetapi dalam DPRD juga mempunyai hak untuk mengusulkan
pemberhentian terhadap Kepala Daerah sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jika dilihat dalam
ketentuan-ketentuan Pasal 18, 18A dan pasal 18 B yang meletakan / menggariskan
paradigma baru penyelenggaraan pemerintah daerah, pada giliranya bergantung
pada undang-undang untuk mengaturnya lebih lanjut.
Selain UUD 1945 (sebelum dan Pasca Perubahan) belum mengatur
hubungan kewenangan antara organ pemerintah daerah dimaksud secara jelas,
juga beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah ada masih menunjukan
pasang-surut sehingga dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu
mengalami perubahan. Artinya pada suatu saat masa atau periode lainnya terjadi
perubahan yaitu kewenangan DPRD yang lebih kuat ( dominan ) dibandingkan
dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Indria Samego3 mensyinyalir
bahwa dengan posisi menguatnya fungsi DPRD, DPRD dengan Relatif mudah
melakukan “pemerasan” terhadap pihak eksekutif. Kedua pola diatas, belum
dapat memberikan harapan untuk terselenggaranya substansi otonomi yang dicita-
citakan karena keduanya dapat menciptakan hubungan yang koluktif yang
berkelanjutan.
Berangkat dari otonomi daerah tersebut,dalam undang-undang 32 Tahum
2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satu yang dosoroti dalam Undang-
3
3
.Indria Samego,Masalah Good Govermance Di Dalam Sistem Pemerintahan Daerah, Jurnal demokrasi & HAM vol 2.NO.2, Juni- September 2002.hal.63
4
undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemberhentian kepala Daerah, jika Kepala
Daerah melanggar sumpah dan janjinya maka tindak lanjutnya DPRD
mengusulkan kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas
pendapat DPRD. Undang-undang No 32 Tahun 2004 tidak mengatur
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang berimplikasi pada
pemberhentian kepala daerah. Dalam hal meminta laporan pertanggungjawaban
Kepala Daerah kepada DPRD yang diatur dalam pasal 42 ayat (1) huruf (h)yang
dimaksudkan sebagai pemberdayaan DPRD, untuk mewujudkan Cheks and
balances, Namun, dalam peraktiknya tidak jarang menjadi salah satu sumber
potensi konflik antara DPRD dengan kepala Daerah.
Berbeda dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi
Daerah yang mengatur pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD jika
pertanggungjawaban Kepala Daerah ditolak untuk kedua kalinya maka
implikasinya adalah pada usulan pemberhentian kepala daerah tersebut. Dalam
Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah juncto
Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah dua
hal tersebut mengatur perihal pemberhentian kepala daerah. Yang diatur dalam
Undang-undang 32 Tahun 2004 dalam pasal 27 ayat (2) bahwa “ Selain
mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud Pada ayat(1) Kepala Daerah
mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan kepada pemerintah dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjwaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
5
penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat” . Jadi dalam isi
pasal ini Kepala Daerah memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban
Kepada DPRD. Laporan pertanggungjawaban kepala daerah juga telah diatur juga
dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perawakilan Rakyat Daerah,
Dan Inforamasi Laporan Penyelengaraan Pemerintah Daerah Kepada
Masayarakat, dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2007
bahwa untuk terwujudnya pelakasanaan otonomi daerah sejalan dengan
menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab serta mampu
menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip
tata pemerintahan yang baik, maka kepala daerah wajib melaporkan
peneyelenggaraan pemerintahan. Yang menjadi persoalan,jika seorang kepala
daerah tidak mampu mempertanggungjawakan penyelenggaraan pemerintahan
kepada DPRD maka untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik yang
dicita-citakan tidak dapat terwujud sebab tidak memungkinkan terciptanya Check
and Balances 4.
Dalam hal melakukan pemberhentian kepala daerah dapat dilakukan
dalam dua mekanisme yaitu Pertama, kepala daerah diberhentikan dengan usulan
dan atau keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan disetujui oleh
44 Sri Soemantri M. Konseprualitas Dasar-Dasar Konstitusi Bagi Demokrasi Yang Berlanjut. Dalam Laporan Konfrensi : Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Di Indonesia.Oktober 2001, IDEA Kumpulan Makalah, hal.53
6
presiden, kedua, pemberhentian kepala daerah oleh presiden tanpa usulan dan atau
keputusan DPR. Apabila kepala daerah diperkirakan telah melakukan
penyelewengan, maka, harus diadakan penyelidikan dengan persetujuan presiden.
Pemberhentian kepala daerah dapat dilaksanakan hanya berdasarkan atas hukum
dan peraturan yang diberlakukan tanpa adanya kepentingan. Pemberhentian atas
usulan DPRD apabila terjadi krisis kepercayaan maka DPRD menggunakan hak
angket untuk menanggapinya, penggunaan hak angket setelah mendapat
persetujuan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari
jumlah anggota DPRD dan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Dalam hal ditemukan bukti tindak
pidana dimaksud, DPRD menyerahkan proses penyelesaianya kepada aparat
peneggak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak
pidana dengan ancaman paling singkat 5 (lima tahun) atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, DPRD
mengusulkan pemberhentian sementara dengan keptusan DPRD.
Berdasarkan keputusan DPRD tersebut, presiden menetapkan
pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Apabila
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dinyatakan bersalah berdasarkan
putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pimpinan
DPRD mengusulkan pemberhentian berdasarkan rapat paripurna DPRD yang
dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil
7
dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang
hadir. Berdasarkan keputusan DPRD tersebut, presiden memberhentikan kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah, sedangkan pemberhentian tanpa melalui
usulan DPRD,bahwa kepala daerah dan /atau wakil kepala daerah diberhentikan
oleh presiden, karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang
dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Pada prinsipnya pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah dapat dilakukan pada masa jabatannya dan pada akhir masa jabatan.
Namun dalam hal ini yang perlu dikaji adalah jika seorang kepala daerah
diberhentikan sebelum masa jabatannya selesai, sebab jika seorang kepala daerah
diberhentikan apabila memenuhi alasan dalam pasal 29 Undang-Undang 32
Tahun 2004 . Dalam hal Pemberhentian kepala Daerah yang diatur dalam pasal
29 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah .
Bahwa Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah berhenti karena :
a. Meninggal dunia,
b. Permintaan sendiri
c. Diberhentikan karena:
Dalam pembahasan ini yang diperosoalkan jika seorang kepala Daerah
diberhentikan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Kepala Daerah
dan/atau Wakil kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf c
diberhentikan karena:
a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru.
8
b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
secara berturut selam enem bulan.
c. Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah dan/atau wakil
Kepala Daerah.
d. Dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala Daerah dan/atau
wakil kepala Daerah.
e. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah.
f. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Apabila salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-undang 32
Tahun 2004 dilanggar oleh Kepala Daerah, maka dalam hal ini DPRD mempunyai
kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah baik di tingkat
Provinsi maupun ditingkat kabupaten dan Kota, sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada
Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota” .
Berdasarkan isi dari pasal tersebut DPRD diberi kewenangan dalam mengsulkan
pemberhentian Kepala Daerah, dengan mekanisme sebagai berikut:
1. Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daearah diusulkan kepada
presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung Atas pendapat DPRD bahwa
kepala daerah dan /atau wakil kepala daerah tidak lagi memenuhi syarat
9
melanggar sumpah dan janji/jabatan,tidak melaksanakan kewajiban dan/atau
melanggar larangan.
2. Pendapat DPRD diputusakan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri
oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan yang
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
DPRD yang hadir.
3. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat
DPRD paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima
mahkamah agung dan putusannya bersifat final.
4. Apabila mahkamah agung memutusakan bahwa Kepala daerah dan /atau
kepala daerah terbukti melanggar sumpah /janji jabatan dan/atau tidak
melaksanakan kewajiban. DPRD menyelenggarakan rapat paripurna DPRD
yang dihadiri sekuarang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan
yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
DPRD untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah kepada presiden.
5. Presiden wajib memperoses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah tersebut, paling lambat 30 hari sejak DPRD
menyampaikan usul tersebut.5
55 Siswanto Sunarno,2005.OpCit.,hal.59
10
Jika telaah dalam pasal ,adapun kelemahannya dalam pasal 29 Undang-
undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 29 ayat ( 2)
huruf a bahwa kepala daerah diberhentikan bila “ Berakahir masa jabatanya dan
telah dilantik pejabat yang baru” jika dipahami maka masa jabatan dari seorang
kepala daerah adalah lima tahun tentunya hal ini sudah jelas, akan tetapi yang
menimbulkan persoalan adalah kata “dan” yang menimbulkan berbagai macam
persepsi bahwa seorang kepala daerah baru diberhentikan apabila sudah ada
pejabat pengantinya. Jika dianalogikan bagaimana jika dalam masa jabatan
seorang kepala daerah melakukan tindakan melawan hukum sementara belum ada
pejabat baru yang dilantik, hal ini tentunya menimbulkan persoalan dikemudian
hari. Sebab jika kepala daerah diberhentikan maka untuk menggisi kekosongan
kepala daerah maka tindak lanjutnya adalah DPRD mengadakan sidang paripurna
untuk melantik wakil kepala daerah untuk menjadi pejabat kepala daerah sampai
berakhir masa jabatannya. Perihal rapat paripurna DPRD tentunya membutuhkan
proses, sementara secara hukum kekosongan jabatan itu tidak boleh terjadi karena
dapat menimbulkan siapa yang bertanggung jawab dalam masa kekosongan
tersebut, tentunya hal ini dapat menimbulkan persolan.
Berbicara dugaan kepala daerah melanggar sumpah/janji dan tidak
melaksanakan kewajibannya sebenarnya merupakan masalah hukum yang
memerlukan pembuktian hukum terlebih dahulu. Namun, Undang-Undang No 32
Tahun 2004 mengatur pengecualian tidak ditempuh melalui pengadilan negeri,
pengadilan tinggi, tetapi langsung ke Mahkamah Agung. Proses pemberhentian
kepala daerah, menurut Undang-Undang No 32 Tahun2004, lama, berbelit, dan
11
agak sulit dilaksanakan. Bisa saja putusan Mahkamah Agung yang menyatakan
benar bahwa kepala daerah melanggar sumpah dan janji dan tidak melaksanakan
kewajibannya maka tindak dilanjutnya oleh DPRD mengadakan rapat paripurna
untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung. Pada sisi lain rapat paripurna
DPRD bisa saja terjadi oleh karena timbulnya perubahan politik di DPRD,
Anggota DPRD tidak lagi berpandangan bahwa kepala daerah melanggar sumpah
dan janji dan atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah. Sebab, setelah
putusan Mahkamah Agung disampaikan ke DPRD, DPRD akan melaksanakan
rapat paripurna kembali untuk memutuskan pendapat tersebut dalam hal ini
tentunya dapat menimbulkan persoalan sebab putusan Mahkamah Agung yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap akan diputusan lagi dalam rapat paripuna
DPRD. Dalam hal ini dapat terjadi konflik kepentingan yang memunculkan
adanya sebuah supremasi hukum dimana hukum harus ditegakan dan supremasi
politik yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta
dilaksanakan begitu saja akan tetapi harus diputuskan lagi dalam rapat paripurna
DPRD. Bila tidak didukung 2/3 (dua pertiga) anggota DPRD, apakah putusan
Mahkamah Agung dapat dikatakan mempunyai kekuatan hukum. 6
Sebagai contoh. pemberhentian Tengku Azmun Jaafar sebagai
Bupati Pelalawan dilakukan menyusul Keputusan Mahkamah Agung (MA)
nomor 736/k/pid.sus/2009 tanggal 3 Agustus 2009 yang menyatakan
Tengku Azmun Jaafar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi
6
6
Otong Rozadi. Jalan panjang Pemberhentian Kepala Daerah. serial online 30 Juli 2007, avaible from:URL:http//202.146.kompas-cetak
12
dan divonis 11 tahun penjara . Majelis hakim menyatakan Azmun
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) kepada 15
perusahaan kehutanan di Pelalawan, sehingga merugikan negara Rp 1,2
triliun. Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider 6
bulan kurungan dan pembayaran uang pengganti Rp 12,3 miliar. Azmun
dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 Undang-undang No 31
Tahun1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Dalam
pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Azmun dengan
sengaja menerbitkan IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan dalam kurun
waktu Desember 2002 sampai Januari 2003, padahal mengetahui bahwa
perusahaan-perusahaan itu tidak kompeten dalam bidang kehutanan.
Berdasarkan hal tersebut Permerintah Provinsi Riau mengeluarkan SK
bernomor 131.14-590/2009. SK tersebut berisi tentang pengesahan
pemberhentian Bupati Pelalawan dan pengesahan pengangkatan Wakil
Bupati Pelalawan, Rustam Effendi sebagai bupati menggantikan Tengku
Azmun Jaafar.
Jika dilihat dari contoh kasus ini maka seorang kepala daerah baru
dapat diberhentikan apabila sudah ada pejabat pengantinya, hal ini
tentunya dapat menimbulkan masalah hukum sebab jika belum ada
pejabat pengantinya maka kepala daerah tersebut tidak dapat
diberhentikan serta yang siapa yang mengisi kekosongan jabatan kepala
13
daerah selama proses rapat paripurna DPRD untuk mengangkat wakil
kepala Daerah menjadi pejabat kepala daerah. Sebagaimana isi dari
pasal 29 ayat (2) huruf a, Undang-undang No.32 Tahun 2004 dapat
menimbulkan penafsiran yang salah yang tentunya dapat menimbulkan
masalah hukum.
Begitu pula Walikota Pemantang Siantar RE sihaan yang dituduh
melakukan penyelewengan proyek bangsal rumah sakit umum daerah oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, atas dasar itulah DPRD kota Pematang siantar
mengadakan sidang paripurna untuk mengusulkan memberhentikan RE Sihaan
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No 01 P/ KHS/ 2009 tanggal 3 Maret
2009.7 Dalam pengambilan keputusan rapat paripuna oleh DPRD dinilai cacat
hukum sebab tidak dari 2/3 anggota DPRD yang hadir. Rapat paripurna yang
diadakan oleh 16 orang dan satu tidak hadir itu dari 30 anggota DPRD Pematang
Siantar jelas tidak qourum, sehingga keputusan yang diambil adalah tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat8. Jika dilihat dari contoh kasus
tersebut menunjukan bahwa pemberhentian Kepala daerah berawal dari usulan
DPRD, berdasarkan atas putusan Mahkamah Agung dan tindak lanjutnya DPRD
mengadakan rapat paripurna. Dalam pengambilan keputusan oleh DPRD
7
7
AndyFaizal . Dipecat DPRD, Bupati Menghilang. Serial Online 22 Januari 2009, available from:URL:http://www.nersandy.blogspot.com.html
8
8
Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com
14
walaupun tidak didukung oleh 2/3 anggota DPRD dari 3/4 anggota DPRD yang
hadir sehingga kepala daerah tersebut diberhentikan.
Sebagai perbandingannya yang diatur dalam UUDNKRI 1945 mengatur
mengenai pemberhentian Presiden bedasarkan pada pasal 7A Bahwa Presiden dan
wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/ atau
wakil presiden. Presiden sebagai kepala Pemerintah yang proses pemilihannya
melibatkan seluruh warga negera yang memenuhi syarat oleh UUD dimungkinkan
untuk diberhentikan dalam masa jabatannya jika memenuhi syarat. Menurut
Richard A. Posner dalam buku The Investigation, Impeachment, and Trial of
President Clinton, secara historis impeachment berasal dari abad ke-14 di Inggris.
Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-pejabat
tinggi dan individu-individu yang amat powerful, yang terkait dalam kasus
korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan biasa.
Dalam praktek, The House of Commons bertindak sebagai a grand jury yang
memutuskan apakah akan meng-impeach seorang pejabat. Apabila pejabat itu di-
impeach, maka The House of Lords akan mengadilinya. Apabila dinyatakan
bersalah, maka pejabat tersebut akan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan yang
telah diatur, termasuk memecat dari jabatannya.9 Di Inggris, impeachment
9
9
.M.P. Pangaribuan, “’Impeachment’, Pranata untuk Memproses Presiden”, Kompas, edisi Senin, 19 Februari 2001.
15
pertama kali digunakan pada bulan November 1330 di masa pemerintahan
Edward III terhadap Roger Mortimer, Baron of Wigmore yang kedelapan, dan
Earl of March yang pertama.10 Ketentuan ini juga membawa implikasi pada
Kepala Daerah sebagai penyelenggara pemerintah daerah yaitu dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya apabila memenuhi syarat untuk itu.
Begitu juga dengan proses pemberhentianya yang tentunya memerlukan
suatu mekanisme yang jelas sehingga tidak memunculkan konflik kepentingan
diantara kedua organ tersebut. Bilamana terjadi konflik kepentingan diantara elit
pemerintahan dan elit politik didaerah mengingat kedua organ pemerintahan ini
sama-sama dipilih oleh rakyat, ini dipicu beberapa faktor yang melatarbelakangi
antara lain: Pemilihan umum yang mendadak, system umum yang proporsional,
lemahnya system peneggakan hukum dan menonjolnya kepentingan elit politik
dan pemerintah. Selain itu, ada kaitanya dengan kualitas sebagian anggota DPRD
yang masih dibawah standart, baik aspek pendidikan, pegalaman politik, latar
belakang sosial dan ekonomi maupun aspek komitment moral terhadap
kepentingan yang diwakilinya.
Pemberhentian kepala daerah jika dilihat dalam pasal 29 ayat (2) huruf a.
dan d, dapat menimbulkan penafsiran yang salah,sebagaimana telah dijelasakan
sebelumnya sehingga hal ini menunjukan adanya kekaburan norma yang perlu
dikaji secara hukum. Dalam hal pemberhentian Kepala Daerah atas usulan DPRD
10
1
Naf’an Tarihoran, “Makna Impeachment Presiden bagi Orang Amerika”, Tesis Magister Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, (Jakarta: Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, 1999), hal. 75 yang mengutip berbagai sumber.
16
yang perlu dikaji adalah implikasi dari usulan DPRD serta akibat hukum dari
pemberhentian kepala daerah. Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang
melatarbelakangi dilakukanya penelitian ini, maka dalam penelitian ini adalah
untuk menemukan jawaban-jawaban dari beberapa persoalan yang telah
diraikan diatas.
B . Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian diatas maka dapatlah dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian
Kepala Daerah?
2. Bagaimanakah Akibat hukum Pemberhentian Kepala Daerah ?
C . Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami implikasi usulan DPRD terhadap
pemberhentian kepala daerah.
2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pemberhentian Kepala daerah .
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat akademis; untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum di
bidang pemerintahan daerah khususnya yang berkenaan dengan
pemberhentian Kepala Daerah.
17
2. Manfaat Praktis; sebagai masukan bagi pemerintah daerah, dan DPRD
khususnya dalam rangka mewujudkan fungsi kontrol antara DPRD dan
Kepala Daerah.
D .Krangka Teoritis
Untuk dapat lebih memahami permasalahan tersebut diatas , maka akan
dikemukakan teori , konsep dan asas-asas hukum yang relevan serta dilengkapi
pula dengan pandangan-pandangan para sarjana yang berpengaruh.
1.Konsep Negara Hukum
Berdasarkan sejarah perkembangan dan jenis-jenis Negara hukum yang
tumbuh dan berkembang pada dunia barat, maka negara hukum yang dianut
Negara Indonesia tidakalah dalam arti formal, namun negara hukum dalam arti
materil yang juga distilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state,
welfaarstaat ) atau Negara kemakmuran. Sebagai konsekuensi Negara Indonesia
beradasarkan atas hukum, maka Negara Indonesia telah berkomitmen untuk
menempatkan hukum sebagai acuan tertinggi dalam peneyelenggaraan Negara
dan pemerintahannya ( supremasi hukum ). 11Supremasi berasal dari bahasa
Inggris “supreme” yang berarti “highest in degree”, yang dapat diterjemahkan
“mempunyai derajat tinggi”. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, hukum harus berada di tempat yang paling tinggi,
hukum juga dapat mengatasi kekuasaan lain termasuk kekuasaan politik. Dengan
kata lain, negara yang dapat dikatakan telah mewujudkan Supremasi Hukum
11
1
Bagir Manan,1994. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 .Universitas Padjadjaran, Bandung .Hal.18
18
adalah negara yang sudah mampu menempatkan hukum sebagai panglima,
bukannya hukum yang hanya menjadi “pengikut setia kekuasaan” dan
kepentingan politik tertentu yang jauh dari kepentingan rakyat secara
keseluruhan.12 Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedalautan hukum”13 yang
menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan guiding
principle bagi segala aktifitas organ-organ Negara,pemerintahan,pejabat-pejabat
beserta rakyatnya. Dengan demikian,Negara melalui pemerintahan ditingkat
pusat maupun ditingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban masayarakat
memerlukan adanya suatu system pengendalian masyarakat salah satunya upaya
hukum.14
Suatu negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rechtstaat) Menurut
Burkens, Sebagai yang dikutip Yohanes Usfunan antara lain sebagai berikut.15
a. Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan ( Wettelijke gronslag). Dengan Landasan ini,
Undang-Undang dalam arti formil dan Undang-Undang Dasar sendiri
12
1
M. Satria.2009,Dalam Jurnal.Fenomena Penegakan Supremasi Hukum Pada Pemilihan Umum Pasca Penetapan Calon legislatif Tahun 2009.hal.7
13
1
Ismail Suny.1984.Mekanisme Demokrasi Pancasila,Aksara Baru.Jakarta.Hal, 8
14
1
Lili Rasjidi dan B, Arief Sidarta(ed) 1989,filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya,Bandung. Hal. 11
15
1
Usfunan,1988,Kebebasan Berpendapat Diindonesia, Disertasi dalam Meraih Doktor Pada Program Pasca sarjana UNAIR, Surabaya Hal.111
19
merupakan tumpuan dasar tindak pemerintah. Dalam hubungan ini
pemebentukan Undang-Undang Merupakan bagian penting negara hukum.
b. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makana bahwa kekuasaan
negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
c. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan dari
pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan
pemebentuk undang-undang.
d. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia.
Sesuai dengan persyaratan tersebut, kiranya jelas bahwa sayarat pertama
dan ketiga yang relevan dengan obyek penelitian ini, syarat pertama menunjukan
bahwa, dalam hal pemberhentian kepala daerah kiranya dalam mengambil
keputusan harus mempunyai dasar hukum yang jelas, yang merupakan tumpuan
dasar dalam setiap mengambil keputusan. Asas legalitas ini diwujudakan dalam
bentuk Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainya untuk
memberikan pelindungan dan kepastian hukum dalam pemberhentian kepala
daerah. Sedangkan syarat ketiga menunjukan bahwa , dalam hal pemberhentian
kepala daerah hendakanya juga harus memperhatikan hak-hak dari Kepala
daerah,guna mendapat perlindungan hukum serta kepastian hukum.
Sejalan dengan Burkens, Frederich Julius Stahl Mengemukakan 4 unsur negara
hukum sebagaimana dikutip Sudargo G., sebagai berikut:16
a. Asas Legalitas (Pemerintahan berdasarkan undang-undang)
16
1
Sudargo G,1983 .Pengertian Tentang Negara Hukum.Alumni Bandung.Hal,8-9
20
b. Pembagian Kekuasaan.
c. Perlindungan hak-hak azasi manusia.
d. Adanya peradilan administrasi.
Tidak jauh berbeda, Bagir Manan Mengemukakan ciri-ciri Minimal dari
negara berdasarkan atas azas hukum yaitu:17
a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum.
b. Adanya ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainya.
c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa
terahadap masayarakat (badan peradilan yang bebas)
d. Adanya pembagian kekuasaan
Adapun Av Dicey dari Anglo Saxon Memberikan ciri-ciri Rule Of law sebagai
berikut:
a. Supremasi hukum,dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan
sehingga seorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.
b. Kedudukan sama didepan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi
pejabat.
c. Terjaminya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan
pengadilan.18
17
1
Bagir Manan,1994. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 . Makalah Ilimiah disampaikan kepada mahasiswa Pasca sarjana Universitas Padjadjaran Tahun 1994/1995., Bandung.hal.19
18
1
E.C.S.Wade dan G, GOgfrey.1965. Constitutional Law: An Outline of law and Practise of the Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and State and Administrative Law, Edition,Longman,London.hal.50-51
21
Dalam kaitanya dengan obyek penelitian ini maka unsur pertama dari konsep
kedua tersebut diatas yang relevan, diaman mensyaratkan setiap tindakan
pemerintah harus beradasarkan atas hukum. Negara Indonesia adalah negara
hukum (recthstaat) berdasarakan pancasila.19 Negara hukum yang dianut
Indonesia tidaklah dalam artian formal, namun Negara hukum dalam artian
material, yang juga distilahkan dengan negara kesejahteraan( Welfare state) atau “
Negara kesejahtraan”20 Untuk mewujudkan Tujuan tersebut, negara hanya
bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut turut serta secara
aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat. Kewajiban ini
merupakan amanat para pendiri negara (the founding father) Indonesia, seperti
dikemukakan pada alinea ke-4 pembukaan undang-undang dasar 1945 seabagi
negara beradasarkan atas hukum, maka segala aktivitas dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara haruslah sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum
yang berlaku. Disamping perundang-undangan negara hukum seperti tersebut
diatas kiranya perlu juga dilihat berapa pendapat lainya untuk diapakai sebagai
pembanding dan memperkaya pengertian negara hukum sebagai berikut:
Abud Daud Busroh dkk., menyatakan bahwa negara hukum adalah negara
yang berdasarkan atas hukum. Maksudnya adalah segala kewenangan dan
19
1
Sjachran Basah,1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Penerbit Alumni, Cetakan Ke-3,Bandung.
20
2
E.Utrecht,1960,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit FHPM Unpad, Bandung,hal 21-22.
22
tindakan-tindakan alat-alat negara atau penguasa semata-mata berdasarkan atau
dengan kata lain diatur oleh hukum.21
Dasril radjab mengemukakan untuk sebuah negara yang mengandung
prinsip negara hukum, bukan sekedar diatur dalam hukum (formal) saja, namun
lebih dari itu. Hukum itu yang terpenting adalah mencapai keadilan dalam
masyarakat. Keadilan dapat diacapai dengan hukum, apabila hukum itu
merupakan kaidah-kaidah yang mempunyai nilai.22
D.Notohamidjojo menyebutkan, negara hukum ialah diamana pemerintah
dan semua pejabat-pejabat hukum mulai dari presiden, para menteri, kepala-
kepala lembaga Pemerintahan lain, pegawai, Hakim, Jaksa dan kepala lembaga
pemerintahan yang lain, anggota legislatif semuanya dalam menjalanka tugasnya
didalam dan diluar jam kantor taat kepada hukum, mengambil keputusan-
keputusan,jabatan-jabatan menurut hati nurani sesuai hukum.23
Dari ketiga pendapat diatas penadapat Dasril Radjab terlalu umum, tidak
menjelaskan unsur-unsur Negara Hukum secara konkrit. Sedangkan pandangan
Abu Daud Busroh dkk.,dan D.Notohamidjojo nampaknya lebih konkrit, hanya
saja ditujukan pada subyek hukum pejabat penegak hukum dan tidak menyentuh
212 Abu Daud Busroh,dkk.,1985.Asas-Asas Hukum Tata Negara.Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.110.
222 Dasril Radjab,1994.Hukum Tata Negara Indonesia, PT.Rineka Cipta, Jakarta Hal.65.
232 D.Noto Hamidjojo,1970, Makna Negara Hukum,BPK,Jakarta,Hal.36.
23
subyek hukum warga masyarakat secara keseluruhan. Hukum yang berlaku (dasar
hukum) inilah yang menentukan cara untuk memperoleh kewenangan pemerintah.
2.Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Dalam melakukan tindakan pemerintahan khususnya dalam kaitanya
dengan penyelenggaraan pemerintahan, selain beradasarkan peraturan perundang-
undangan, akan tetapi juga harus mengacu dan memperhatikan juga asas-asas
umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Terkait dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik, H.A.Muin Fahmal mengemukakan bahwa awalnya
teradapat dalam Algemene Beginselen Van BehoorlijkeBestuur yang dikemukakan
De’ Monchy yang diajukan dalam parlemen Belanda pada tahun 1950.24
Kemudian oleh komisi Vander Grinten pada Tahun 1952 oleh crice le Roy
menyebutkan Sembilan asas dan diakomodasikan dalam yurisprudensi Belanda
tahun 1957 menjadi sepuluh. Selanjutnya oleh Koentjoro Poerbopranoto,
menyebut 13 (tiga belas) asas yakni sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum
2. Asas keseimbangan
3. Asas Kesamaan
4. Asas bertindak cermat
5. Asas Motivasi
6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan
7. Asas fire play
242 H.A.Muin Fahmal,2006. Peran Asas-asaa Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta.hal.49.
24
8. Asas kedailan atau kewajaran
9. Asas menanggapi pengaharapan yang wajar
10. Asas meniadakan Akibat-akibat suatu keputusan yang batal
11. Asas perlindungan dan pandangan hidup
12. Asas kebijaksanaan
13. Asas Kebijaksanaan Asas penyelenggaraan kepentingan umum
Keberadaan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan tersebut
sebagaimana yang dikemukan koentjoro Poerbopranoto tersebut diatas,pada
prinsipnya adalah untuk menghindari adanya tindakan kolusi,korupsi dan
nepotisme dalam peneyelenggaraan pemerintahan.
Selain itu, Philipus M.Hadjon juga mengemukakan beberapa asas umum
pemerintahan yang baik, yakni sebagai berikut:
1. Asas perasamaan
2. Asas kepercayaan
3. Asas kepastian hukum
4. Asas kecermatan
5. Asas pemeberian Alasan(Motivasi)
6. Larangan “detournament de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang)
7. Larangan bertindak sewenang-wenang.25
Bertitik tolak beberapa asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik
yang dikemukakan oleh koentjoro Poerbopranoto dan yang dikemukakan oleh
252 .Philipus M.Hadjon,et.al,2005, Pengantar Hukum Admonistrasi Indonesia,Gajah Mada University Press, Yogyakarta,hal.270
25
Philipus M.Hadjon, pada prinsipnya merupakan suatu kaidah dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dari beberapa asas tersebut diatas yang
mempunyai relevansi dalam penulisan ini adalah : Asas Kepastian Hukum.
Dimana dalam Asas kepastian hukum dalam asas dalam Negara hukum yang
melandaskan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggraan negara. Sebab tanpa adanya suatu aturan hukum yang
jelas akan menimbulkan masalah-masalah dikemudian hari. Asas ini berkaitan
Pemberhentian Kepala Daerah serta pengambilan keputusan oleh DPRD Untuk
mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah kepada Presiden melalui menteri
dalam Negeri.
3. Konsep Pemberhentian
Ketentuan Pasal 29 ayat ( 1) seorang Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah
berhenti karena: meninggal dunia, Permintaan sendiri, diberhentikan.
Pemberhentian sebagai kepala daerah adalah pemberhentian yang
menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi berkedudukan sebagai Seorang
Kepala
Daerah. Pemberhentian dari jabatan sebagai kepala daerah adalah pemberhentian
yang menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi bekerja pada suatu satuan
organisasi Negara.
Jenis-Jenis Pemberhentian Sebagai Kepala daerah. Pemberhentian
sebagai Kepala daerah atas usulan DPRD dan pemberhentian kepala
derah tidak melalui usulan. Kepala Daerah yang diberhentikan melalui
26
usulan DPRD Pemberhentian atas usul DPRD ini dibagi dalam dua
kelompok alasan sebagai berikut:
a. Karena alasan berakhir masa jabatannya dan telah dilantik
pejabat yang baru dan karena alasan karena tidak dapat
melaksanakan tugas secara, berkelanjutan atau berhalangan tetap
secara berturut-turut selama 6 bulan (pasal. 29 ayat (2) a dan b.).
Pemberhentian karena alasan ini diusulkan DPRD kepada Presiden .
b. Pemberhentian Kepala Daerah dan/ atau Wakil Kepala Daerah
karena alasan : a) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Daerah
dan atau Wakil Kepala Daerah ; b) dinyatakan melanggar
sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
daerah;c) tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah dan/atau
Wakil Kepala Daerah; dan d) melanggar larangan hagi Kepala Daerah
dan/atau Wakil Kepala Daerah. Pemberhentian karena alasan ini
diputuskan dalam Rapat Paripurna DPRD berupa "pendapat DPRD"
untuk diajukan ke Mahakamah Agung guna diperiksa, diadili dan
diputuskan.
Sedangkan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
tanpa melalui usulan DPRD. Pemberhentian model ini dilakukan secara
langsung olch Presiden dengan dua sifat Sebagi berikut:
a. Pemberhentian sementara. Pemberhentian sementara dilakukan
langsung oleh Presiden karena alasan: a) apabila dinyatakan
27
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan
pengadilan (sesuai dengan penjelasan pasal ini, pengadilan yang
dimaksud adalah pengadilan pertama/pengadilan negeri). b) karena
diduga melakukan tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak
pidana terhadap keamanan negara. Pemberhentian model ini
dilakukan melalui usulan DPRD.
b. Pemberhentian. Pemberhentian dilakukan oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRD karena alasan : a) terbukti melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun
atau lebih berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap; b) terbukti melakukan tindak pidana
terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
Djohermansyah Djohan , mengemukakan sesuai aturan dalam UU
No 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005, maka
pemberhentian sementara kepala daerah yang terjerat hukum tidak
harus melalui usulan DPRD.lebih lanjut dikatakan bahwa
“Secara etika pemerintahan, memang tidak elok seorang kepala
daerah yang sudah ditahan masih mengendalikan pemerintahan
dari balik penjara. Tetapi, bila masih berstatus tersangka, kita
masih menganut azas praduga tak bersalah sehingga
dimungkinkan seorang gubernur atau bupati untuk memimpin
dari rumah tahanan”26.
26
2
Djohermansyah Djohan,Pemberhentian Kepala Daerah Tak Berkasus Tak Mesti Lewat DPR.serial online 7 maret 2010.available from:
28
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Nursyahbani Katjasungkana27, merumuskan
beberapa alasan mengapa ada kewenangan presiden berdasarkan Pasal 31 ayat (1)
Undang-Undang Pemda tersebut. Pertama, pemberhentian sementara
dimaksudkan untuk menghindari terhambatnya proses pemerintahan di daerah,
karena proses hukum akan memakan waktu yang cukup lama. Kedua,
pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memudahkan urusan-urusan
penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga tugas-tugas kepala daerah yang
dialihkan ke pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah tidak akan terpengaruh proses hukum pejabat daerah yang
berstatus sebagai terdakwa. Ketiga, kepala daerah dapat diberhentikan sementara
tanpa melalui usulan DPRD.
4. Teori Kewenangan
Secara teoritik Hukum Administrasi Indonesia berkolerasi erat dengan
konsepsi Negara Hukum Indonesia dan demokrasi, bahkan sangat esensial dalam
memberikan corak bagi pertumbuhan dan perkembangan Hukum Administrasi
Indonesia. Hanya dengan akar demokrasi yang kuat dibawah pohon negara
Hukum Indonesia serta dibawah naungan Hukum Administrasi Indonesia, dapat
diwujudkan penyelenggaraan negara yang bersih ( clean government )
URL:http://matanews.com
27
2
Nursyahbani Katjasungkana.Pemeberhentian Sementara Kepala Daerah vs Persumption Of Innocent.serial online 27 oktober2008.availablefrom:URL:http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=63
29
Asas demokrasi merupakan dasar dari Negara Hukum Indonesia dan
Hukum Administrasi Indonesia, karena secara substansial asas demokrasi
meletakan dan menjunjung tinggi superioritas kedalautan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintah. Demokrasi dan Hukum Administrasi Indonesia
sebagai pelaksanaan cita-cita pemerintah dari yang di perintah akan menimbulkan
konsekwensi bagi badan / pejabat tata usaha negara di mana setiap tindakan
badan / pejabat tata usaha negara “ harus’’ terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari yang di perintah ( rakyat )
Dalam sebuah Negara Hukum modern, persetujuan dari rakyat tersebut di
berikan melalui wakil-wakilnya, di parlemen (DPR) yang dituangkan dalam
bentuk undang-undang, sehingga melahirkan asas legalitas. Asas Demokrasi dan
asas legalitas inilah yang kemudian menjadi dasar kewenangan atau legitimasi
bagi badan /pejabat tata usaha negara dalam bertindak yang di perolehnya melalui
atribusi. Dasar kewenangan atau atribusi ini sangat penting dalam sebuah negara
demokrasi, terutama bagi badan / pejabat tata usah negara dalam melakukan
tindakan-tindakan hukum yang sifatnya membebankan sesuatu kepada seseorang
atau masayarakat, misalnya, pembebanan pajak.
Di Indonesia secara formal asas legalitas atau asas keabsahan ditemukan
ketentuannya dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan : Badan atau pejabat Tata Usaha
Negara melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
30
Asas legalitas tersebut dapat di temukan dalam setiap negara hukum,
misalnya di Inggris asas legalitas itu disebut asas the rule of law,di Belanda
disebut wet matigheid van bestuur atau rechmatigheid van bestuur,sedangkan di
Perancis disebut asas Ie principe de la legelite de I’administration dan di Jerman
disebut asas gesetzmassigkeit der varwaltung.
Asas legalitas tersebut sebagai dasar kewenangan atau keabsahan dalam
menyelenggarakan pemerintahan ,dapat terjadi karena diberikan oleh badan
administrasi negara melalui attribusi atau diberikan oleh administrasi negara
kepada administrasi negara lainnya melalui peraturan perundang-undangan
dengan cara delegasi atau mandat.
Dilihat dari asalnya atau sumber wewenang attributive (legislators) dapat
dibedakan, asalnya diperoleh dari pemerintah tingkat pusat ( MPR dan / atau DPR
/ DPD) serta dari pemerintah di tingkat daerah (DPRD) atau di tingkat desa
(BPD). Asal wewenang itu di sebut original legislator atau dari pembuat undang-
undang asli (originale ivetgever). Selanjutnya, apabila presiden berdasarkan suatu
ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu peraturan pemerintah (PP) yang
menciptakan wewenang pemerintah kepada badan / pejabat tata usaha negara,
maka wewenang itu disebut delegated legislator atau gedelegeerde attributie.
Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa28 Authority right to
exercise poers; to implament and enforce laws; to e’ast obedoce; to command; to
judge. control over; jurisdiction; often syimonyomus whit power deleted by a
282 .Hery Cambeli Black, Black’s Law Dictionary,St.Paul Minn, West Publishing Co,1997,h.119
31
pricial I his agent to effect legal of principal by acts done in accordance whit
pripical’s manifestation of conttens to agent.
Philipus M.Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau
kewenangan disejajarkan dengan bevoegheid, tetapi mempunyai perbedaan
karakter. Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat.
sedangkan wewenang selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian,
wewenang sejajar dengan bevoegheid dalam hukum publik29.
Dalam hukum perdata jika seseorang atau suatu badan telah memenuhi
kualifikasi tertentu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, maka
berwenang mengadakan perjanjian menurut hukum perdata. Hal itu dalam hukum
perdata di sebut dengan istilah mampu untuk berbuat ( handelingsbekwaam).
Hubungan-hubungan dalam hukum perdata dapat dilakukan sejauh tunduk pada
hukum positif30.
Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan inti dari hukum tata
negara dalam hukum adminstrasi negara. Dalam hukum tata negara, wewenang
didekskripsikan sebagai kekuasaan hukum. jadi wewenang berkaitan dengan
kekuasaan. Wewenang terdiri atas minimal tiga unsur yaitu pengaruh, dasar
hukum dan konfronitas hukum, wewenang dapat pula dilukiskan sebagai suatu
kemampuan yang diberi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
292 .Hadjon, Philipus M. Tentang Wewenang, Dalam Yuridis, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September -Desember 1997 selanjutnya Disebut Hadjon, Philipus, M
303 .Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradailan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Pustaka Sianar Harapan Jakarta.2004. hal. 94
32
menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah. Dengan adanya unsur kekuasaan,
maka wewenang merupakan legitimasi bagi dikeluarkanya keputusan-keputusan
sepihak yang bersifat mengikat terhadap orang lain. pelaksanaan wewenang itu
dapat melahirkan norma-norma hukum material maupun formal.
Philipus M. Hadjon mengemukakan ada dua sumber untuk memperoleh
wewenang yaitu attribusi dan delegasi. Namun dikatakan pula bahwa acapkali,
mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Tetapi,
dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah untuk membuat keputusan,
Philipus M Hadjon juga menegaskan bahwa hanya ada dua cara untuk
memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu attribusi dan delegasi31.
Sementara itu, Suwoto Mulyosudarmo menggunakan istilah kekuasaan,
mengemukakan bahwa ada dua macam pemberiaan kekuasaan yang sifatnya
atributif dan prolehan kekuasaan yang sifatnya derifatif. Perolehan kekuasaan
secara derivative dibedakan atas delegasi dan mandat32
Attribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang tertentu kepada
organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan dan distribusi
wewenang terutama ditetapkan didalam konstitusi atau UUD. Pembentukan
wewenang pemerintahan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.Disini
31
3
. Hadjon, Philipus M,dkk, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara (Introduction To The Indonesian Administration Law),cet. I Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997. hal.128-129
32
3
Mulyosudarmo, Suwono, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Utama, Jakarta.1997.hal.39-48
33
terjadi pemberiaan wewenang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan sehingga dilahirkan suatu wewenang baru.
Dengan demikian, pembentukan wewenang yang berdasarkan pada
atribusi nampak dari ciri-ciri sebagai berikut :
a. Melahirkan wewenang baru
b. Dilakukan oleh suatu badan yang pembentukannya berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan.
Legislator berkompeten untuk memberikan atribusi wewenang
pemerintahan dibedakan atau original legislator, seperti MPR menetapkan UUD,
dan presiden bersama DPR membuat undang-undang dan delegated legislator,
seperti : Presiden menetapkan PP yang menciptakan wewenang pemerintah organ
tertentu33.
Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat sesuatu putusan
oleh pejabat pemerintahan (delegans) kepada pihak lain (delegantaris) dan
wewenang itu menjadi tanggung jawab dari delegantaris. Syarat-syarat delegasi
adalah:
a. Harus difinitis, artinya bahwa delegans tidak dapat lagi menggunakan
sendiri wewenang yang telah diserahkan.
b. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya bahwa delegasi
hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-
undangan.
33
3
.Indroharto,2004.Op.Cit.,hal.17
34
c. Tidak kepada bawahan, artinya bahwa dalam hubungan hirarki
kepegawaian tidak diperkenankan ada delegasi.
d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya bahwa delegans
berwenang meminta penjelasan tentang peleksanaan wewenang tersebut.
e. Merupakan peraturan kebijakan (beleids-regel), artinya bahwa delegans
memberikan instruksi tentang pemberiaan wewenang tersebut.
Dengan demikian, pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi
wewenang. Tripel membedakan delegasi atas primare dan secundare delegation.
Pembedaan dilakukan berdasarkan aspek kuantitas dan kualitas (sifat) primare
delegation berkaitan dengan jumlah atau keleluasaan kewenangan yang
didelegasikan, yang dapat bertambah atau berkuarang. Sedangkan secundare
delegation berkaitan dengan sifat kewenangan yaitu adakalanya bersifat
zefstanding atau zakelijk.
Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan
(mandataris) untuk membuat suatu keputusan atas nama yang memberikan
mandat (mandans).Disini tidak perlu ada peraturan perundang-undangan yang
melandasi, karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intern. Dengan
demikian, disini tidak terjadi pemberiaan wewenang baru maupun pelimpahan
wewenang dari organ atau pejabat TUN yang satu kepada Pejabat TUN yang lain.
Jadi ,wewenang pemerintahan yang dilakukan oleh mandataris atas nama dan
tanggung jawab mandans.
35
Namun demikian, mandat dapat terajadi kepada bukan bahwahan , tetapi
hal itu baru dianggap sah apabila mandataris mau menerima pemberiaan mandat
tersebut.
a. Wewenang itu menimpakan sehari-hari dari mandans
b. Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak bertentangan
dengan bentuk pemberiaan mandat tersebut. Oleh karena itu, unsur-unsur dari
mandat (pemeberiaan kuasa) adalah:
1) Hanya dapat dilakukan oleh organ yang memperoleh wewenang
secara atributif atau pemegang delegasi
2) Tidak membawa konsekwensi bagi mandataris untuk bertanggung
jawab kepada pihak ketiga, namun dapat diwajibkan untuk memberikan
laporan atas pelaksanaan wewenang kepada mandans
3) Mandataris harus bertindak atas nama mandans
4) Pelimpahan wewenang kepada pihak ketiga hanya atas seizin
mandans.
Berdasarkan paparan teori tersebut, maka dibedakan antara pembentuk
wewenang yang diperoleh secara atributif dengan pembentuk wewenang secara
atributif dilakukan oleh pembentuk konstitusi ( pembentuk negara) yaitu PPKI.
Lembaga-lembaga negara (state institutions) memperoleh wewenang yang
ditentukan didalam UUD 1945 berdasarkan pengesahan yang dilakukan oleh
PPKI. sedangkan pembentukan wewenang dilakukan oleh pemegang wewenang
atributif.
36
Pemahaman mengenai pembentuk wewenang berdasarkan pada teori-teori
pembentukan wewenang atau cara memperoleh wewenang merupakan merupakan
salah satu masalah dalam HTN dan HAN yang akan tetap aktual dan menarik
perhatiaan para ahli hukum . Terlebih lagi dengan dilakukannya amandemen
terhadap UUD 1945 yang menyebabkan perubahan struktur ketatanegaraan RI.
Perkembangan mengenai lembaga-lembaga negara sangat mencolok,
terutama menyangkut hubungan antara legislatif dengan eksekutif dan yudikatif
yang dilandasi oleh suatu paradigma baru bagi Indonesia yaitu system pemisahan
kekuasaan berdasarkan perinsip pengawasan dan keseimbangan (check and
balances system) yang dipandang sebagai urat nadi pemerintahan demokratis yang
berdasarkan atas hukum. Pendelegasian wewenang perundang-undangan justru
menimbulkan ketegangan yang berkaitan dengan masalah politis konstitusional.
Oleh karena itu, produk hukum yang berupa peraturan perundang-undangan harus
jelas mengatur mengenai hal itu. Jika tidak , persoalan sengketa antar wewenang
tidak akan terelakan.
5.Teori Hak Asasi Manusia dan Demokrasi
Prinsip fundamental dari suatu keadilan adalah pengakuan bahwa semua
manusia itu memiliki martabat yang sama. Disamping itu memiliki hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang sama pula. Hak-hak yang paling fundamental itu
adalah aspek-aspek manusia Indonesia sendiri. Semua hak yang berakar dalam
kodratnya sebagai manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan eksistensi
manusia dan merupakan konsekwensi hakiki dari kodratnya. Dalam kaitanya
dengan penyelenggraan pemerintahan,Good governance, dewasa ini menjadi
37
sebuah cita bersama yang selalu didengungkan pada hampir setiap kesempatan,
namun yang menjadi pertanyaan kita apakah sesungguhnya “pemerintahan
(governance)” Istilah governance secara harafiah dapat diartiakan sebagai suatu
kegiatan pengarahan, pembinaan , atau dalam bahasa Inggrisnya disebut
Guiding. Governance
adalah suatu proses dalam mana suatu system social ekonomi atau system
organisasi social kompleks lainya yang dikendalikan dan diatur34 . Menurut
Paquet “Governance is the process through wich a ocio -economy or any Other
Complex organization is steered”35.Sementara itu Pinto mendefinisikan
Governance Sebagai “Paraktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan
oleh pemerintah dalam penyelengaraan Urusan pemerintah secara umum dan
pembangunan ekonomi pada khususnya”36. Kaitannya dengan substansi tulisan
ini, maka tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu variable mutlak terciptanya
pemerintahan yang bersih adalah keharusan adanya sebuah
pertanggungjawaban. Good Governance berkaitan erat dengan hak-hak asasi
yang berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah yaitu:
343 Karhi Nisjar S, Beberapa catatan tentang Good Governance, Dalam jurnal Administrasi dan Pembangunan , Vol.1 No.2, PERSADI LP3ES, Jakarta 1997, hal.155
353 Paquet, Gilles “Paradigms Of Governance” dalam Canadian Center For Managemen Development, Rethinking Governance, The Dewar Series : Perspektive On Publik Management 1994 Exploration No.2
363 Pinto, Regerio F, Profecting The Governance Aproach To Civil Servisce Rewform An Intitusional Enveriroment Assesment For Freparing a Sectoral Adjusment Loans at The Gambia, Word Bank Disccusion Paper, Africa Technical Departement series,hal.252
38
a. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat ( to guarantee the
sevcurity of all persons and society it self )
b. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sector sewasta
dan masyarkat ( to manange an effective framework for the public sector,
the private sector and civil society ).
c. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainya sesuai dengan
kehendak rakyat ( to promote economic, social and otheraims in
accordance with the wishes of the population)37
Demokrasi mempunyai arti penting dalam suatu negara untuk menjamin jalannya
suatu organisasi negara. Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi
pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam
masalah-masalah pokok mengenai kehidupanya termasuk dalam menilai
kebijasanaan negara karena kebijaksanaan negara tersebut menentukan kehidupan
rakyat.38 Jadi,negara demokrasi adalah negara yang diselengarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu
perorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuaan
rakyat karena kedalautan berada dalam tangan rakyat. Dalam kaitan ini patut pula
dikemukakan penadapat dari Hendry B. Mayo yang memberikan pengertian
sebagai berikut:
373 G.H.Addink,Reader,Principles of Good Governance,hal.1.3
383 Deliar Noer,1983. Pengantar Pemikiran Politik, Rajawali, Cet. Ke-1 .Jakarta.hal 207
39
A democratic political system is one which publik policies are made on majority
basis, by representatives subject to effective popular control periodic elections
which are conducted on the principle of political freedom.39
6.Teori Desentralisasi
Di negara Belanda teori desentralisasi dalam arti pandangan yang
proposisinya menjelasakan konsep desentralisasi, dan kutip oleh pakar-pakar
Belanda seperti F.A.M Stroink, J.S.Steenbeck, J.M.De Mij, A.D. Balifante
adalah Pandangan Van der Pot,. Yang ditulis dalam bukunya “Handboek Van
Nederlande Staatsrecht” Van der Pot membedakan konsep desentralisasi ke
dalam dua kategori, yaitu “ desentralisasi territorial” dan “ desentralisasi
fungsional”. Desentralisasi territorial menjelma dalam bentuk badan yang
didasarkan pada wilayah(gebeidcorporatie), berbentuk “otonomi” dan “tugas
pembantuan”.
Desentaralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang
didasarkan pada tujuan tertentu (doelcorporatie)40
Letak perbedaannya pada” desentralisasi fungsional” berbentuk badan-badan
yang menjalankan kewenangan dalam rangka desentralisasi berdasarkan
tujuan sesuai fungsi yang diemban. Contoh “subak” oraganisasi perairan
diBali yang menjalankan fungsi pengairan atau irigasi non teknis.
393 Hendry B. Mayo,1960. An Introduction To Democratic Theory.Oxford Univesity Press,New York.hal.70
404 Bagir manan,Op.Cit.,1993.hal.29
40
Di Belanda, badan yang menjalankan kewenangan berdasarkan “
delcorporatie”, desntralisasi fungsional “ Waterchap” untuk mengurus
penolakan air (Waterkering) dan pembuangan air (waterlozing) pada suatu
wilayah tertentu.
Pada desntaralisasi teritoril disebut “ desentralisasi kenegaraan” badan-
badan yang menjalankan kewenangan didasrkan dalam lingkup wilayah
tertentu atau batas territorial.Baik berbentuk “Otonomi” maupun \
“ medebewind” (tugas pembantuan ). Otonomi daerah mengnandung arti hak
mengatur ( legislative), hak mengurus (eksekutive) rumah tangga sendiri,
dengan kekayaan (anggaran) sendiri.
Tugas pembantuan atau medebewind mengandung arti tugas untuk membantu
apabila di perlukan melasanakan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Asas medebewind dimasukan kedalam bentuk desentralisasi karena di
dalam menjalankan tugas pembantuan, daerah memiliki “ kebebasan” tentang
cara bagaimana tugas itu harus dijalankan, meskipun daerah tetap bertangung
jawab kepada pemerintahn pusat.
BC Smith menjelaskan desentralisasi merupakan hal yang universal,
“The need for sam form of decesntralization of tobe universal”41.J.H Warren
menyebutkan “A bove everthing however local geverment is a fundamental is
414 B.C.Smith, Decentralization ( the territorial dimension Of the state),George Allan & Onwin Ltd, London WCIA ILU UK,1985,hal.2
41
institutional because of it education effect upon the mass of ordinary
cirtixzans”.42
Pakar pemerintahan di Indonesia, Irawan soedjito,membedakan
desentarlisasi kedalam tiga kategori, yaitu desentralisasi teritorial,
desentralisasi fungsional, desentralisasi administrative atau dekosentrasi.43
Pengertian “desentralisasi territorial” dan “ desentralisasi fungsional”
sama dengan pengertian yang telah lazim diikuti ( pendapat Van der Pot)di
atas, sedangkan “ desentralisasi administrative atau dekosentrasi ”
(ombtelijk decentraliatie) mengandung arti: pemerintah pusat
melimpahkan sebagian dari kewenangannya kepada alat perlengakapan
atau organ pemerintah sendiri di daerah yakni pejabat-pejabat pemerintah
yang ada di daerah untuk dilaksanakan.44
Mengenai hubungan antara desentralisasi dan dekosentrasi, di akui oleh
Irawan Soedjito ada dua pendapat. Pendapat pertama, kelompok yang
berpendapat ,bahwa dekosentrasi sebagai bentuk dari desentralisasi. Yang
termasuk dalam kelompok ini, antara lain Rodinelli yang membagi
desentaralisasi kedalam bentuk utama, yaitu :
1) Deconcentration
2) Delegation to semi-outonomuous or parastatal agencies
3) Devolution to local development
424 J.H.Waren, The local Government service, George Allen & Onwin Ltd, Museum Street, London,1952.hal. X
434 Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah, Bina Aksara, Jakarta,1981.hal.29
444 Irawan Soedjito, Ibid,.33-34
42
4) Transfer of function from public non-government institution
Begitu pula pandangan dari Litvack dan Sedon, senada
mengakategorikan konsep desentralisasi menjadi empat, meliputi:
1) Desentralisasi politik
2) Desentralisasi administratif, memiliki tiga bentuk :
a. Dekosentrasi
b. Delegasi
c. Devolusi
3) Desentralisasi fiscal
4) Desentralisasi ekonomi45
Pendapat kedua, menganggap dekosentrasi hanyalah pelunakan dari
sentralisasi bukan bagaian dari desentralisasi. Pendapat ini dianut oleh UUD
1945 ( perubahan kedua). Dalam pasal 18 ayat 2 ditentukan: “ pemerintah
daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas pembantuan”
Dekosentrasi tidak diatur dalam penyelenggraan pemerintah daerah,
karena dipandang sebagai bagaian dari penyelenggaraan pemerintah pusat melekat
pada kewenangan pemerintah pusat, secara teoritis dekosentrasi merupakan
pelunakan sentralisasi menuju desentralisasi.Andi Mustari Pide mendefinisikan
Desentaralisasi sebagai“pelimpahan kekuasaan dan wewenang dibidang tertentu
secara vertical dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada
instansi/lembaga/pejabat fungsional dibawahnya, sehingga diserahi wewenang
454 Sadu Wasistiono,Op,Cit .,hal,18 dan 23
43
tertentu tidak berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu”46
Desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hoessein adalah
pembentukan daerah otonom dan /atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya
oleh pemerintah pusat.47 Kaitannya dengan kajian ini adalah bahwa dalam
Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 Pasal 19 menyebutkan penyelenggara
pemerintahan daerah adalah pemerintah dan DPRD. Pasal ini, secara jelas
memosisikan kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan. Implikasi
pasal ini, aktivitas penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan
bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah. Aktivitas penyelenggaraan
ini meliputi tugas-tugas desentralisasi dan tugas pembantuan. Ketentuan pasal ini
menekankan baik kepala daerah maupun DPRD dalam aktivitas penyelenggaraan
pemerintahan menekankan pada service sphere bukan pada political sphere.
Pemahaman politik dalam perspektif Undang-Undang No. 32 Tahun2004 tidak
menjangkau pada penjatuhan kepala daerah karena dalam Undang-Undang ini
tidak dikenal dengan sistem parlementer. Dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 sama sekali tak dikenal pemakzulan (impeachment) terhadap kepala
daerah melalui mosi tidak percaya. Sebab, tidak ada aturan yang memungkinkan
masyarakat dapat secara langsung meng-impeach kepala daerah. Namun, DPRD
bisa mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada
464 Andi Mustari Pide, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI. Gaya Media Peratama, Jakarta,1999,hal.33
474 Benyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Mempenagruhi Besarnya Otonmi Daerah di Tingkat II Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Jakarta.Program PPS Universitas Indonesia,1993
44
Presiden jika memenuhi ketentuan Pasal 29 Undang-undang No 32 Tahun 2004
atau diberhentikan sementara oleh Presiden apabila melakukan tindak pidana
kejahatan (lihat Pasal 30--32 Undang-undang 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah).48
E. Metode Penelitian
1.Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normative yang mengakaji
hukum positif dan asas-asas hukum serta aspek teoritiknya, menurut Soerjono
Soekanto, jenis penelitian normatif meliputi : penelitian hukum positif, asas-asas
hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum49.Penelitian hukum normative
mengkaji bahan-bahan hukum baik primer dari sumber yang mengikat, sekunder
yang menjelasakan bahkan hukum primer seperti karya ilmiah para sarjana, dan
bahakan hukum tersier yang menjelasakan kedua bahan hukum primer maupun
sekunder yakni kamus hukum.
2. Pendekatan yang Dipergunakan
Pendekatan yang di perggunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) yaitu
dengan mengkaji peraturan penrundang-undangan yang relevan
dengan masalah yang di bahas.
484 Syarief Makhya. Pencampuradukan Politik Dengan Pemerintahan.Serial Online 27 Maret 2006.Availablefrom:URL.http://fisip-pemerintahan.unila.ac.id
494 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1984
45
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yang mengkaji
pandangan para ahli yang berkaitan dengan pokok masalah yang
dibahas.
c. Pendekatan perbandingan ( comparative approach) dilakukan
dengan membandingkan antara undang-undang yang satu dengan yang
lainnya yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.
3. Sumber dan Jenis Bahan HukumBahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer , bahan hukum sekunder dan tertier.
a. Bahan hukum Primer, yakni bahan hukum yang bersifat mengikat
karena bersumber dari peraturan perundang- undangan di bidang
pemerintahan daerah khususnya Undang-undang No.32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah.
b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum primer, karena itu bahan hukum ini di peroleh dari buku-
buku, makalah, jurnal yang ditulis oleh para ahli.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari kamus hukum.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum di lakukan dengan menginventaris, menyusun berdasarkan
subyek, selanjutnya dikaji / atau di pelajari kemudian diklasifikasi sesuai dengan
pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan
hukum menurut Winarno Sukahman disebut teknik studi dokumentasi dengan
46
menggunakan alat bantu kartu titipan (card system ) berdasarkan pengarang /
penulis ( subyek) maupun tema atau pokok masalah (obyek)50.
5. Analisis Bahan Hukum
Setelah bahan hukum terkumpul selanjutnya diklasifikasi seemikian rupa
selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik untuk mendapatkan jawaban dari
permasalahan penelitiaan. Bahan-bahan hukum dianalisis dengan pemaparan
secara sistematis dan runtut dengan teknik argumnetatif. Terhadap ketentuan
hukum yang tidak jelas ditafsirkan sesuai mentode interpretasi hukum. Interpretasi
hukum yang digunakan adalah penalaran analogi dan penalaran acontrario51.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini terdiri dari Bab I Pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang, tujuan dan kegunaan penelitian,rumusan masalah, krangka teoritis,
metode penelitian dan sistematika penelitian.
Bab II Tinjauan umum tentang pemberhentian kepala daerah yang terdiri
dari kedudukan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan daerah menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemberhentian Kepala Daerah menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,dan Mekanisme pemberhentian Kepala
Daerah.
505 Wirnano Sukahman, Pengantar Penelitian ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tarsito Bandung. 1985.,hal.257
515 Soedjono Diokdjo Sisworo, Pengantar ilmu Hukum, Rajawali Press, Jakarta.,hal.156
47
Bab III Implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian kepala
daerah,yang terdiri dari, usulan DPRD terhadap pemberhentian Kepala Daerah
dan Pelaksanaan putusan DPRD terhadap pemberhentian Kepala Daerah
Bab IV Akibat hukum terhadap pemberhentian kepala daerah yang terdiri
dari, kekosongan jabatan Kepala Daerah dan mekanisme pengisian kekosongan
jabatan Kepala Daerah.
Bab V Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH
A. Kedudukan Kepala Daerah Dalam System Pemerintahan Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Sebelum membahas mengenai pemberhentian Kepala Daerah menurut
Undang-Undang 32 Tahun 2004, terlebih dahulu dikemukakan kedudukan Kepala
Daerah dalam struktur pemerintahan daerah menurut Undang-Undang 32 Tahun
2004. Pada daerah ditentukan adanya lembaga eksekutif pemerintah dan lembaga
legislatif yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Hubungan antara
kepala Daerah dan DPRD ditata sedemikian rupa sehingga benar-benar sederajad
dan tidak di dominasi salah satu diantar keduanya. Masing-masing badan atau
lembaga menjalankan peran sesuai dengan kedudukan, tugas pokok dan fungsinya
dalam system pemerintahan negara Indonesia. Pemerintah Daerah dan DPRD
merupakan kesatuan integral yang memberikan pelayanan publik sesuai dengan
48
ketentuan hukum yang diamanatkan oleh UUDNKRI 1945. Kepala Daerah
menyelenggarakan pemerintahan di daerahanya hal ini tersirat dari ketentuan
pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2004, yang menyatakan :
“Pemerintahan daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan daerah oleh
pemerintah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Menurut Montesquieu pemerintahan dalam arti luas meliputi bidang
legislatif,eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit
menunjuk pada aparatur atau alat perlengkapan negara yang melakasanakan tugas
dan kewenagan pemerintah dalam arti sempit yaitu bidang eksekutif saja. Menurut
Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh sadjino, pemerintahan dalam sempit
hanya meliputi bidang bestuur saja ,yaitu segala tugas dan kewenangan negara
dikurangi bidang perundang-undangan ( wetgeving), peradilan (rechtspraak) dan
bidang kepolisian ( politie).52
Selanjutnya mengenai istilah pemerintahan daerah tidak dapat dilepaskan
dari pengertian pemerintahan seperti yang telah diuraikan diatas. Pemerintahan
daerah meruapakan sub system dari pemerintahan yang bersifat nasional.
persoalan hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia
merupakan konsekuensi dari pembagian kekuasaan negara secara vertikal dalam
525 Sadjino.Fungsi kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, LaKsBang PRESSindo, Yogyakarata,2005.hal.24
49
negara kesatuan RI, sehingga melahirkan adanya pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah. Menurut Carl J Frederich sebagaimana yang dikutip
Miriam Budiarjo, pembagian kekuasaan secara vertikal atau disebut juga dengan
territorial division of power adalah pembagian kekuasaan menurut beberapa
tingkatan kekuasaan pemerintahan yaitu antara pusat dan pemerintah daerah(
local government)53
Lebih lanjut dalam pasal 2 Undang-undang No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa:
1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing
mempunyai pemerintahan daerah.
2) Pemerintahan daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan.
3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan
otonomi seluas-seluasnya kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum dan daya saing daerah.
Berikutnya dalam pasal 3 Undang-undang No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa:
1) Pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 aayat (3)
adalah:
535 Miriam Budiarjo,Dasar-dasar Ilmu Politik, Garmedia, Jakarta.1988.hal138
50
a. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah
provinsi dan DPRD;
b. Pemerintahan daerah kabupaten kota terdiri atas pemerintah
daerah kabupaten kota dan DPRD kabupaten kota.
Ketentuan senada juga dapat kita lihat dalam pasal 19 ayat (2) Undang-
Undang No.32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “ penyelenggara
pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah dan DPRD” Dari ketentuan
diatas terlihat bahwa DPRD dan Kepala Daerah merupakan unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yang keduanya mempunyai kedudukan
sederajat, tidak dapat saling menjatuhkan. Hubungan antara Kepala Daerah dan
DPRD terjalin secara fungsional dan kemitraan. Hal ini tercermin dalam membuat
kebijakan daerah berupa peraturan daerah.
Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Kepala Daerah dan DPRD
adalah sama-sama mitra kerja dalam membuat kebijakan daerah dan
melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga
antar kedua lembaga perlu membangun suatu sinergi hubungan kerja yang saling
mendukung, bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lain dalam
melaksanakan fungsi masing-masing.
DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah mempunyai fungsi
legislasi, fungsi budgetair dan fungsi pengawasan (controlling). Terkait dengan
pengawasan kepada Kepala Daerah, DPRD menurut UU No.32 Tahun 2004 tidak
lagi diberi kewenangan untuk memberhentikan Kepala Daerah sebagaimana yang
pernah diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1999. Kendati demikian, tetap
51
mempunyai sedikit posisi tawar dihadapan kepala daerah dengan hak mengawasi
kinerja Kepala Daerah dalam peneyelenggaraan pemerintahan
Di daerah propinsi, pihak pemerintah dipimpin oleh Gubernur yang
mempunyai kedudukan sebagai kepala daerah dan sekaligus sebagai kepala
wilayah mewakili pemerintah pusat. Sedangkan di daerah kabupaten, pihak
pemerintah di pimpin oleh Bupati dan didaerah kota dipimpin oleh walikota yang
berkedudukan sebagai Kepala Daerah otonom.
Baik Gubernur didaerah propinsi maupun Bupati dan Walikota di daerah
kabupaten dan kota mempunyai kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan
kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing untuk daerah propinsi
ataupun untuk daerah kabupaten dan daerah kota. Karena itu dalam Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004, istilah daerah Tinggkat I dan Daerah Tinggkat II
tidak digunakan lagi agar tidak mengesankan adanya hirarki antar daerah yang
lebih tinggi dan daerah yang tingkatanya lebih rendah.
Setiap daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah yang berdasarkan asas
desentralisasi, yang merupakan kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil
Kepala Daerah. Kepala Daerah propinsi disebut gubernur karena jabatannya juga
merupakan Wakil kepala Pemerintah pusat di daerah berdasarkan asas
dekosentrasi. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menurut asas
desentralisasi.
Reformasi yang dilakukan pemerintah melalui Undang-undang No.32
tahun 2004 adalah Kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang
persyaratan dan tata caranya ditetapakan dalam peraturan perundang-undangan.
52
Reformasi tersebut untuk memenuhi amanat konstitusi sebagaimana yang dimuat
dalam pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) UUDNKRI 1945 yang berbunyi:
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masaing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagaimana diintrodusir
Undang-undang No .32 Tahun 2004 dirasakan masih belum benar-benar
demokratis karena yang boleh mengajukan pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah hanyalah partai politik atau gabungan partai politik,
sementara calon perseorangan/ independen tidak dimungkinkan mengikuti
pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu maka berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/ PPU-V/2007 kemudian diberikan ruang/ peluang kepada
calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.
Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian
dilakukan perubahan terhadap pasal 56 Undang-undang No.32 Tahun 2004 dan
telah disahkan oleh DPR pada rapat paripurna tanggal 2 April 2008. Dalam
Undang-undang No.32 Tahun 2004 diatur mekanisme dan tata cara pengajuan
pasangan calon pereseorangan dalam pemilihan Kepala daerah Di Indonesia.
Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan
baik oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang
memperoleh sejumlah kursi tertentu dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan
atau memperoleh dukungan suara dalam pemilu legislatif dalam jumlah tertentu.
53
Syarat-syarat untuk dapat dipilih dan ditetapkan menjadi Kepala Daerah
adalah:
a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Setia Kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau
sederajat;
d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun pada saat pendaftaran;
e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan
menyeluruh dari tim dokter;
f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
lebih;
g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
54
j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau
secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan
keuangan negara;
k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum
mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain
riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah
selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
p. Tidak dalam status sebagai Penjabat Kepala Daerah.
Pada pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 disebutkan
bahwa kepala daerah adalah pemimpin daerah. Dengan demikian, kepala daerah
mempunyai tugas untuk memimpin daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum
yang didalamnya terdapat pemerintahan daerah dan komunitas-komunitas
otonomi lainya. Ada dua jenis kepemimpinan yang dijalankan oleh kepala
daerah yakni kepemimpinan organisasional dan kepemimpinan sosial54.
kepemimpinan oraganisasional karena kepala Daerah memimpin organisasi
pemerintah daerah yang terdiri dari para birokrat. Kepala daerah dapat
545 .Sadu Wasistiono. Meningkatkan Kinerja DPRD.Fokus Media,Bandung, 2009. hal.42.
55
mengguanakan fasilitas manajemen seperti kewenagan,anggaran,logistic untuk
menggerakan bawahanya. Pada sisi lain, kepala daerah juga harus menjalankan
kepemimpinan sosial, yakni memimpin masyarakat luas sebagai pengikutnya.
Dalam menjalankan kepemimpinan sosial, kepala daerah lebih banyak
mengendalikan kapasitas dan kapabilitas sebagai panutan bagi pengikutnya.
Dalam system pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004,DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Istilah ini
dikokordan dengan istilah unsur penyelenggara negara pada tingkat nasional yang
bisa digunakan dalam bahasa konstitusi. Sebagai Unsur penyelenggara
pemerintahan daerah, kedudukan DPRD adalah sejajar dan merupakan mitra
kepala daerah dengan fungsi masing-masing. DPRD lebih banyak menjalankan
fungsi mengatur dalam bentuk membuat kebijakan berupa peraturan daerah,
sedangkan kepala daerah lebih banyak menjalankan fungsi mengurus, dalam
bentuk pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan oleh DPRD.
Pada pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan kepala Daerah
mempunyai tugas dan wewenang:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebiajakan yang
ditetapakan bersama DPRD.
b. Mengajukan perda.
c. Menetapakan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.
d. Menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang APBD kepada DPRD
untuk dibahas dan ditetapkan bersama.
e. Menguapayakan terlaksananya kewajiban daerah
56
f. Mewakili daerahnya didalam dan diliuar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pada sisi lain menurut Pasal 1 butir keempat Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 disebutkan bahwa: “ Dewan Perawakilan Rakyat Daerah yang
selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perawakilan rakyat sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah” . Pasal tersebut menunjukan bahwa DPRD
mempunyai kedudukan sebagai wakil rakyat dan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
Dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 menempatkan DPRD sebagai
komponen penyelenggraan pemerintahan daerah. Penempatan kedudukan DPRD
seperti itu berangkat dari pemikiran bahwa apa yang diselenggrakan di daerah
dalam rnagka otonomi merupakan deivasi atau turunan urusan pemerintahan
bidang eksekutif yang dipancarkan oleh Presiden. Dengan demikian apa yang
dikerjakan oleh pemerintah daerah dan DPRD merupakan ranah eksekutif.
Cabang-cabang pemerintahan lainya seperti legislatif, yudikatif dan auditif tidak
pernah memancarakan kekusaannya untuk di desentralisasikan kepada daerah
otonom.
Kerancuan kedudukan DPRD dalam system pemerintahan daerah dan system
pemerintahan negara timbul karena tiga hal:55
555 Sadu Wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD). Fokus Media.Bandung. 2009.hal.36
57
1. Nama yang digunakan adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sehingga
berkonotasi seperti DPR-nya daerah otonom, sehingga pengaturanyapun
disamakan dengan DPR. Hal tersebut terlihat dari pengaturan mengenai
susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DPRD selalu menjadi satu dalam
undang-undang yang mengatur mengenai susuanan, kedudukan,tugas dan
wewenang DPR.
2. Proses pengisian anggota DPRD yang dilakukan melalui pemilihan umum
bersama-sama dengan pemilihan anggota DPR,sehingga para anggota DPRD
merasa seperti anggota DPR di tinggkat daerah. Hal tersebut secra tegas diatur
pada Pasal 23E ayat (2) UUDNKRI 1945 yang menyebutkan bahwa, “
pemilihan umum adalah pemilihan untuk Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah , Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
3. Fungsi-fungsi yang dijalankan DPRD sama dengan fungsi-fungsi yang
dijalankan DPR hanya berbeda cakupanya saja, sehingga memperkuat
anggapan bahwa DPRD adalah DPR-nya daerah otonom.
Adapun cara mengatasi adanya kerancuan mengenai kedudukan DPRD dalam
system pemerintahan daerah dan sistem pemerintahan negara, perlu dilakukan
pelurusan konsep berpikir sebagai berikut:56
1. Mengganti nama DPRD misalnya dengan Dewan propinsi Untuk
DPRD propinsi, Dewan Kabupaten untuk DPRD kabupaten serta Dewan
565 Ibid,hal.,37
58
Kota untuk DPRD Kota. Penggantian nama ini tidak harus mengurangi
makna demokrasi, sepanjang pengisiannya tetap menjunjung tinggi
kedalautan di tangan rakyat.
2. Proses Pengisian anggota DPRD tidak dilaksanakan melalui
pemilihan umum bersama-sama DPR dan DPD, tetapi dilakukan bersama-
sama pemilihan kepala daerah, sehingga masa bakti anggota DPRD akan
sama dengan masa jabatan kepala daerah. Perubahan ini tentunya
memerlukan amandemen konstitusi.
3. Penamaan fungsi DPRD khususnya fungsi legislasi diganti menjadi
fungsi pengaturan supaya sesuai dengan penegertian desentralisasi yang
menyangkut hak unutk mengatur dan mengurus urusan setempat. Secara
sederhana fungsi legislasi adalah fungsi membuat undang-undang.
Produk yang dihasilkan DPRD bersama-sama Kepala Daerah bukanlah
undang-undang(law), melainkan peraturan daerah( local regulation).
Peraturan daerah tersebut apabila bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingakatanya atau bertentangan
dengan kepentingan umum dibatalkan oleh Presiden ,bukan oleh
Mahkamah Agung. Hal ini semakin mempertegas bahwa apa yang
dikerjakan oleh pemerintahan daerah merupakan derivasi dari kekuasaan
eksekutif di tingkat nasional.
B. Pemberhentian Kepala Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-
Undangan di Bidang Pemerintahan Daerah Dalam Persepsi Sejarah.
59
1. Pemberhentian Kepala Daerah Menurut Undang-Undang No.22 Tahun 1999
Tentang Otonomi Daerah.
Jika ditinjau secara historis perundang-undangan dalam Undang- Undang
No.22 tahun 1999 pemberhentian Kepala Daerah disebabkan karena penolakan
pertanggungjawaban kepala daerah. Menyimak pasal-pasal dalam Undang-
undang No.22 Tahun 1999:
1. Pasal 46
(1) Kepala Daerah ditolak pertanggungjawabannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45, baik
pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun
pertanggungjawaban keuangan, harus melengkapi
dan/atau menyempurnakannya dalam jangka waktu paling
lama tiga puluh hari.
(2) Kepala Daerah yang sudah melengkapi dan/atau
menyempurnakan pertanggungjawabannya menyampaikan
kembali kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
(3) Bagi Kepala Daerah yang pertanggungjawabannya ditolak
untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan
pemberhentiannya kepada Presiden.
(4) Tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapakan
oleh pemerintah
2. Pasal 49 huruf “g”
Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena:
g. mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang
melibatkan pertanggungjawaban, dan keteranagannya atas kasus
itu ditolak oleh DPRD
60
3. Pasal 54
Kepala Daerah yang ditolak pertanggungjawabannya oleh
DPRD, sebagaimana dimaksud dalam pasal 53, tidak dapat
dicalonkan kemabali sebagai Kepala Daerah dalam masa
jabatannya berikutnya.
Dari ketiga pasal Undang-undang No.22 Tahun 1999
tersebut dapat diketahui, bahwa akibat hukum terhadap
penolakan pertanggungjawaban Kepala Daerah adalah dapat
dijadikan dasar untuk memberhentikan Kepala Daerah oleh
Presiden bagi Gubernur dan oleh Menteri Dalam Negeri
terhadap Bupati/ Walikota.
Tentang akibat penolakan pertanggungjawaban Kepala
Daerah yang ditentukan oleh Undang-Undang No.22 Tahun
1999 tersebut dijabarkan lebih lanjut didalam Peraturan
pemerintah No.108 tahun 2000. Didalam PP No.108 tersebut
dinyatakan:
1. Pertanggungjawaban Kepala Daerah dapat di tolak apabila terdapat
perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi APBD yang
merupakan penyimpangan yang alasannya tidaka dapat dipertanggung
jawabkan berdasarkan tolok ukur Renstra. Penilaian pertanggungjawaban
Kepala Daerah dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD.
Penolakan DPRD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir mencakup seluruh
fraksi (pasal 7)
2. Apabila Pertanggungjawabannya ditolak, Kepala Daerah harus
melengkapi dan/atau menyempurnakan dalam waktu paling lambat 30
61
hari. Apabila Kepala Daerah tidak melengkapi dan menyempurnakan
dokumen pertanggungjawaban dalam jangka waktu paling lama 30
hari,DPRD dapat mengusulkan pemeberhentian kepada Presiden melalui
menteri dalam Negeri dan otonomi Daerah bagi Gubernur, kepada
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui gubernur
Bupati/walikota.(pasal 8)
3. DPRD melakukan penilaian atas lapran pertanggungjawaban akhir tahun
anggaran yang telah disempurnakan paling lambat selesai 1 (satu) bulan
setelah lapotan tersebut diserahkan. Pertanggungjawaban Kepala Daerah
yang telah disempurnakan dapat ditolak apabila dalam laporan yang telah
disempurnakan masih tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan
tolok ukur Renstra. Penilaian DPRD atas pertanggungjawaban yang telah
disempurnakan, dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadri
oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD.
Penolakan atas laporan yang telah disempurnakan hanya dapat diputuskan
atas dasar persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
anggota yang hadir dana mencakup seluruh fraksi.(pasal 9)
4. Apabila laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Gubernur
ditolak untuk keduakalinya. DPRD mengusulkan pemeberhentian
Gubernur Dan Wakil Gubernur Kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah. Apabila laporan pertanggungjawaban akhir
tahun anggaran Bupati/ walikota ditolak untuk keduakalinya, DPRD
mengusulkan pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota Dan
62
Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
melalui Gubernur ( Pasal 10)
5. Dalam hal pertanggungjawaban akhir tahun anggaran ditolak untuk
keduakalinya, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah membentuki
komisi peneyelidik Independen untuk Propinsi: Gubernur membentuk
komisi peneyelidik Independen Untuk kabupaten/ kota( pasal 11)
6. Hasil penilaian atas keputusan penolakan pertanggungjawaban Gubernur
oleh Komisi disamapaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah dengan tembusan kepada Presiden.
7. Hasil penilaian atas keputusan penolakan pertanggungjawaban Bupati/
Walikota oleh komisi disamapaikan kepada Gubernur dengan tembusan
kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (pasal 13)
8. Apabila Komisi menilai keputusan DPRD atas penolakan
pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Gubernur telah usai dengan
ketentuan yang berlaku, usul pemberhentian sebagaiamana dimaksud
dalam pasal 10 ayat (1) diteruskan kepada presiden untuk disahkan
.Apabila komisi menilai keputusan DPRD atas penolakan
pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Bupati/Walikota telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, usul pemberhentian ssebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) diteruskan kepada Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah untuk disahkan.(pasal 4)
9. Apabila Komisi menilai keputusan DPRD atas penolakan
pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Gubernur tidak sesuai dengan
63
ketentuan yang berlaku, Presiden membatalakan keputusan DPRD
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1). Apabila Komisi menilai
keputusan DPRD atats penolakan pertanggungjawaban akhir tahun
anggaran Bupati/walikota tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah membatalkan keputusan
DPRD sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2). ( Pasal 15)
10.Dengan dibatalkannya keputusan DPRD atas penolakan
pertanggungjawaban akhir tahun Gubernur atau Bupati/ Walikota, usul
pemeberhentian sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dinyatakan ditolak
DPRD merehabilitasi nama baik gubernur atau Bupati/Walikota. (Pasal 16)
11.Pertanggunjawaban akhir masa jabatan Kepala Daerah ditolak, apabila
terdapat perbedaan yang nyata antara pelaksanaan peneyelenggaraan
pemerintahan daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak
dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolok ukur Renstra.( Pasal 19)
12.Apabila pertanggungjawaban akhir masa jabatan Kepala Daerah ditolak,
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bersangkutan tidak dapat
dicalonkan kemabali sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
untuk masa jabatan berikutnya. (Pasal 20)
13.Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat dipanggil oleh DPRD atau
dengan inisiatif sendiri untuk memberikan keteranagan atas dugaan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.(Pasal 21)
14.Apabila DPRD tidak menolak pertanggungjawaban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 24 ayat (2), DPRD menyerahkan peneyelesaiannya
64
kepada pihak yang berwenang seseuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penyelidikan dapat dilaksanakan setelah
mendapat izin dari Presiden bagi Gubernur dan Menteri Dalam Negeri
Dan Otonomi Daerah bagi Bupati/ Walikota. Apabila Gubernur dan atau
Wakil Gubernur berstatus sebagai terdakwa, Presiden memberhentikan
sementara Gubernur dan /atau Wakil Gubernur dari jabatannya. Apabila
Bupati/ walikota dan /atau Wakil Buapati/Wakil walikota bersetatus
sebagai terdakwa, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
memberhentikan sementara Bupati/walikota dan /atau Wakil
Buapati/Wakil walikota dari jabatannya. (Pasal 25)
15. Apabila keputusan Penagadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan menyatakan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah
bersalah, DPRD mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan /atau
Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah. Apabila keputusan pengadilan telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan menyatakan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur
tidak bersalah, Presiden mencabut pemberhentian sementara serta
merehabilitasi nama baik Gubernur dan Wakil Gubernur. Apabila
keputusan pengadilan telah mempunyai kekkuatan hukum tetap dan
menyatakan Bupati/ Walikota dan/atau wakil Bupati/Wakil Walikotataidak
bersalah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah mencabut
pemberhentian sementara serta merehabilitasi nama baik Bupati/Wakil
Walikota dan /atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.(Pasal 26)
65
Dari ketentuan PP Nomor 108 Tahun 2000 tersebut dapat diketahui, bahwa
akibat dari suatu penolakan LPJ Kepala Daerah adalah:
1. Pemberhentian sementara terhadap Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah
apabila keterangan Kepala Daerah terhadap dugaan tindak pidana ditolak
oleh DPRD dan menyebabkan Kepala Daerah diajukan ke sidang
Pengadilan sebagai terdakwa.
2. Pemberhentian tetap terhadap Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah
apabila:
a. Kepala daerah/ wakil Kepala Daerah dinyatakan bersalah oleh
Keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
bahwa kepala daerah/wakil Kepala Daerah telah melakukan tindak
pidana yang dianggap dapat menyebabkan timbulnya krisis
kepercayaan
b. Kepala Daerah ditolak pertanggungjawaban akhir tahun untuk
kedua kalinya.
3. Pengusulan oleh DPRD untuk pemberhentian Kepala Daerah kepada
Presiden bagi Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri bagi Bupati/
Walikota dalam pertanggungjawaban akhir tahun Kepala Daerah ditolak
oleh DPRD untuk kedua kalinya atau apabila Kepala Daerah yang
pertanggungjawabannya ditolak pertama kali namun tidak memperbaiki
laporanya.
66
4. Tidak dapat dicalonkan kembali Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah
untuk periode berikutnya dalam hal Kepala Daerah ditolak
Pertanggungjawaban akhir masa jabatan.
2. Pemberhentian Kepala Daerah Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Berberda dengan Undang-undang No.22 tahun 1999, semenjak berlakunya
UU Nomor 32 Tahun 2004, seringkali terdengar terjadinya konflik kepentingan
antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal disebabkan
beberapa kondisi yang sering melatarbelakangi dominasi konflik kekuasaan di
daerah adalah:
Pertama,kepentingan partai tidak terpenuhi misalnya kandidat Gubernur/Bupati/
walikota yang diajukan dan restui pipimnan pusat partai tidak terpilih.
Kedua,kepentingan DPRD tersumbat peluangnya karena pimpinan daerah
menutup peluang konspirasi. Berbagai tuntutan fasilitas bagi legislatif
tidak seluruhnya terpenuhi dalam anggaran daerah, misalnya. Atau
pimpinan daerah tidak membuka akses untuk bekerja sama melakukan “
korupsi” yang dilegalkan dengan consensus dilegislatif seperti
pemerintah daerah diharuskan menandai perjalanan studi banding ke
daerah atau mengadakan fasilitas pribadi anggota dengan dana
nonbgjeter atau diluar anggaran.
Ketiga, pimpinan daerah secara hukum benar-benar melanggar Undang-undang
atau terlibat tindak pidana dan dituntut ke pengadilan.
67
Jika hal ini benar-benar terjadi pada suatu lembaga DPRD, maka akan
memunculkan persoalan-persoalan antara lain:
1) Mematikan mekanisme yang sehat, sehingga menghambat terjadinya
Clean and strong government.
2) DPRD dan Kepala Daerah akan lebih banyak berorientasi kepada
kepentingan partai daripada kepentingan rakyat.
3) Terbuka pintu yang lebar terhadap terjadinya kolusi antara eksekutif dan
legislatif
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah dan/atau
Wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau
diberhentikan. Dalam hal kepala daerah daerah yang diberhentikan dari
jabatannya kerena:
a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru.
b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap secara berturut selam enem bulan.
c. Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah dan/atau wakil
Kepala Daerah.
d. Dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala Daerah dan/atau
wakil kepala Daerah.
e. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah.
f. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
68
Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau kepala daerah, dilaksanakan dengan
mengacu pada ketentuan, yakni sebagai berikut:57
a. Melanggar sumpah / janji.
1. Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah diusulkan
kepada presiden berdasarakan putusan Mahkamah Agung atas pendapat
DPRD bahwa kepala daerahdan/atau wakil kepala daerah dinyatakan
melanggar sumpah / janji jabatan dan/atau tidak melasanakan kewajiban
kepala daerah dan wakil kepala daerah.
2. pendapat DPRD diputuskan melalui rapat paripurna DPRD yang
dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan
diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
DPRD yang hadir.
3. Mahkamah wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat
DPRD paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima
mahkamah agung dan putusan bersifat final.
4. Apabila mahkamah agung memutusakan kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah telah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan
/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan rapat
paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah
anggota DPRD dan putusan diambil dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemeberhentian
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada presiden.
575 Siswanto Sunarno,2005.Op,Cit.,hal.,59
69
5. Presiden wajib memperoses usul pemeberhentia Kepala daerah dan
atau wakil kepala daerah tersebut, paling lambat 30 hari sejak DPRD
menyampaikan usul tersebut.
b Melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau Lebih.
Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah diberehentikan sementara oleh
presiden tanpa melalui DPRD, apabila dinyatakan melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau
lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
c. Melakukan Tindak pidana korupsi, Tindak pidana Terorisme, Makar, dan /atau
Tindak Pidana Terhadap keamanan Negara.
Kepala daerahdan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRD kerena terbukti melakukan maker dan/atau perbuatan
lain yang dapat memecah belah NKRI yang dinyatakan dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap .
d. Menghadapi krisis kepercayaan.
Dalam hal Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah mengahadapi krisis
kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan
melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angketnya untuk
menanggapinya. Penggunaan hak angket dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4
dari jumlah anggota DPRD danputusan diambil dengan persetujuan sekurang-
70
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan
penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Dalam hal ditemukan bukti tindak pidana dimaksud, DPRD
menyerahkan proses penyelesaiaannya kepada aparat penegak hukum sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Apabila kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan
ancaman paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan
yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap,DPRD mengusulkan
pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.
Berdasarkan Keputusan DPRD tersebut, presiden menetapakan
pemberhentian sementara Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala dinyatakan bersalah berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Pimpinan
DPRD mengusulkan berdasarkan berdasarkan keputusan rapat paripurna
DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan
putusan dapat diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPRD yang hadir. Berdasarkan keputusan DPRD tersebut
presiden memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara
karena dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan diancam pidana penjara
lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, atau karena didakwa melakukan tindak pidana
korupsi,tindak pidana,makar,dan/atau tindak pidana terhadap keamanan
71
negara yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, serta berdasarkan keputusan DPRD yang menetapkan
pemberhentian sementara sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah,setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak
bersalah,berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, paling lambat 30 hari, presiden merehabilitasikan dan
mengefektifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya. Apabila kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah yang diberehentikan sementara telah berakhir
masa jabatannya, preiden merehabilitasikan kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali.
Apabila kepala daerah tersebut diberhentikan sementara, wakil
kepala Daerah tersebut diberhentikan sementara, wakil kepala daerah
melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya
keputusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian
pula, apabila wakil kepala daerah diberhentikan sementara maka tugas dan
kewajiban kepala daerah dilaksanakan oleh kepala daerah sampai dengan
adanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekutan hukum yang tetap.
Apabila kepala Daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara,
presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri , atau
penjabat bupati/walikota atas usul Gubernur
dengan pertimbangan DPRD samapai dengan adanya putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
72
Apabila kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jabatan kepala
daerah diganti oleh wakil kepala daerah samapai berakhir masa jabatannya
dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan rapat paripurna
DPRD dan disahkan oleh presiden. Apabila terjadi kekosongan wakil kepala
daerah yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan, kepala daerah
mengsulkan dua orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh rapat
paripurna DPRD berdasarkan usul paratai politik atau gabungan partai politik
yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah. Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau
diberehentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, rapat paripurna
DPRD memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, paling lambat enem bulan
terhitung sejak ditetapkanya pejabat kepala daerah. Dalam hal terjadi
kekososngan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekretaris daerah
melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah sampai dengan presiden
mengangkat pejabat kepala daerah.
e. Tindakan penyidikan
Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari
presiden atas permintaan penyidik. Dalam persetujuan tertulis tersebut, tidak
diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak
diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat
73
dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan
diperlukan dengan persetujuan tertulis dari presiden, dan dalam persetujuan
tertulis tidak diberikan oleh presiden, dalam waktu 60 hari terhitung sejak
diterimanya permohonan, proses penahanan dapat dilakukan. Hal-hal yang
dapat dikecualikan dari ketentuan diatas, apabila tertangkap tangan melakukan
tindak pidana kejahatan, atau disangka telah melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak
pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Tindakan penyidikan itu wajib
dilaporkan kepada presiden paling lambat 2x 24 jam.
Tindakan penyelidikan dan penyidikan ini dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintahan No.6 Tahun 2005 Pasal 113:
(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah
dan/atau Wakil Kepala Daerah,dilaksanakan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Presiden atas Permintaan Penyidik.
(2) Dalam persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60
( enem puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan,
proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
(3) Penyampaian permohonan peneyelidikn dan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat(2) disertai ujian yang jelas
tentang tindak pidana yang diduga telah dilakukan oleh Kepala
Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.
74
(4) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan
diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan
sabagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) Penyampaian permohonan penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) disertai uraian yang jelas tentang tindak pidana
yang diduga dan alasan penahanan Kepala Daerah dan /atau
Wakil Kepala Daerah.
(6) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana
kejahatan
b. Disangka telah melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau
telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan Negara.
(7) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
setelah dilakukan, wajib dilaporkan kepada Presiden paling
lambat dalam waktu 2(dua)kali 24(dua puluh emapat)jam.
Dalam penjelasan lebih lanjut istilah pemberhentian sering
disebut dengan Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”,
yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti,
maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian
dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah
pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran
hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black,
75
“Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.”
Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih
bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan58
Menurut Webster’s New World Dictionary, istilah “to impeach”,
berarti, “to bring (a public official) before the proper tribunal on the
charges of wrongdoing”. Sementara itu, Encyclopedia Britanica
menjelaskan pengertian impeachment sebagai, “a criminal proceeding
instituted against a public official by a legislative body”59
Impeachment menurut Black Law Dictionary adalah60:
A criminal proceeding against a public officer. Before a quasi
political court, instituted by a written accusation called
“article of impeachment”. For example a written accusation
by the house of representatives of the United States to the
Senate of the United States, against the President, Vice
President, or an officer of the United States.
Lebih jelas, menurut Marsilam Simanjuntak impeachment adalah61
Suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus terhadap seorang
pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik,
karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang
585 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 600.
595 Winarno Yudho, dkk (tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi), Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (laporan penelitian), Jakarta, 2005, hal. 27.
606 Kunthi Dyah Wardani, Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2007, hal. 16.
616 Ibid., hal,16
76
ditentukan Undang-undang Dasar. Hasil akhir dari mekanisme
impeachment ini adalah pemberhentian dari jabatan, dengan
tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan
pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya.
Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses
pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian
demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga
“impeachment” itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal proses
permintaan pertanggungjawaban yang disebut impeachment itu tidak
selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang
dimintai pertanggungjawaban. Contoh kasus adalah peristiwa yang
dialami oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang di-
impeach oleh House of Representatives, tetapi dalam persidangan Senat
tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga kasus Bill Clinton
tidak berakhir dengan pemberhentian.
Melihat dari contoh yang telah terjadi, maka haruslah dibedakan
antara perkataan “impeachment” dengan “removal from office” yang
berarti pemberhentian dari jabatan. Seperti dikatakan oleh Jethro K.
Lieberman, “impeachment is the means by which the federal officials
may be removed from office for misbehavior”62. Lembaga impeachment
ini hanyalah sarana untuk melakukan pemberhentian terhadap pejabat
626 Winarno Yudho, dkk., Op.Cit, hal. 28
77
publik. Namun hasilnya masih tergantung pada proses hukum dan politik
yang melingkupinya.
Impeachment merupakan proses politik. Sehingga di dalamnya
tidak terdapat sanksi pidana ataupun sanksi kurungan. Yang ada hanyalah
sanksi pemberhentian dari jabatannya. Namun bila terbukti ada tindak
pidana di dalamnya, maka prosedur penyelesaian tindak pidana seperti
biasanya tetap dapat dilakukan, hanya saja hal tersebut dilakukan
setelah pemberhentian tersebut terlaksana.
Proses impeachment merupakan salah satu kekuasaan yang
dipegang oleh parlemen. Ini adalah sebagai bentuk dari fungsi kontrol
parlemen terhadap para pejabat publik yang telah diberikan amanat oleh
rakyat untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Sehingga apabila
seorang pejabat publik dalam masa jabatannya terbukti melakukan
pelanggaran baik yang telah diatur dalam konstitusi maupun hukum
positif yang berlaku, kepadanya dapat dihadapkan pada proses
impeachment dengan tujuan memberhentikan yang bersangkutan dari
jabatannya.
C. Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah
a. Pemberhentian Kepala Daerah Berdasarkan Usulan DPRD
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam
78
Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota.” Berdasarkan isi dari
pasal tersebut DPRD mempunyai kewenangan untuk mengusulkan
pemberhentian Kepala Daerah. Prihal pemberhentian kepala daerah melalui
usulan DPRD,apabila kepala daerah mengahadapi krisis kepercayaan yang
luas karena melakukan tindak pidana yang melibatkan
tanggungjawabnya,maka dalam hal ini DPRD menggunakan hak angket
untuk menanggapinya.Pelaksanaan hak angket,dilakukan sebagai kelanjutan
hak interpelasi yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Rapat
Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4(tiga perempat)
dari jumlah anggota DPRD dan diambil persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan
peneyelidikan terhadap kepala daerah.
Dalam menggunakan hak angket,akan dibentuk panitia angket yang terdiri
atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lambat 60
(enem puluh) hari dan akan menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.
Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana,maka DPRD akan
menyerahakan prosesnya kepada aparat penegak hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Apabila kepala daerah dinyatakan berasalah
karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat 5
(lima) Tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap,maka sebagai tindaklanjutnya DPRD
mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.
79
Berdasarkan Keputusan DPRD tersebut,Presiden menetapkan
pemberhentian sementara terhadap kepala daerah dan Menteri Dalam Negeri
menetapakan pemberhentian sementara kepala daerah paling lamabat 30(tiga
puluh) sejak usulan pemberhentian. Apabila kepala daerah dinyatakan
bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian Kapala
Daerah dengan Keputusan pimpinan DPRD. Berdasarkan keputusan
Pimpinan DPRD, Presiden menetapkan pemberhentian kepala daerah
tersebut.
Apabila kepala daerah ,setelah melalui proses peradilan dinyatakan tidak
bersalah,berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap,maka paling lambat 30 (tiga puluh ) hari Presiden telah
merehabilitasikan dan telah mengaktifkan kembali kepala daerah
bersangkutan sampai akhir masa jabatannya. Apabila Kepala daerah yang
diberhentikan sementara telah berakhir masa jabatannya, maka Presiden
merehabilitasikan kepala daerah bersangkutan dan tidak mengatifkannya
kembali.
b.Pemberhentian kepala Daerah Tanpa Melalui Usulan DPRD
Dalam Pasal 31 Undang-Undang No.32 Tahun 2004:
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidanaterhadap keamanan negara
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti
80
melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap .
Pemberhentian Kepala daerah oleh Presiden tanpa melalui usulan
DPRDdijabarkan lebih lanjut dalam PP No 6 Tahun 2005 yang dinyatakan
dalam pasal 127:
(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberehentikan tanpa melalui usulan DPRD, karena terbukti malakukan tindak pidana korupsi,terorisme,maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan Negara yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Presiden memperoses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan putusan pengadilan yang telaha mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur terbukti melakukan tindak pidana korupsi,terorisme,maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, melalui usulan Menteri Dalam Negeri.
(3) Menteri Dalam Negeri memperoses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan Putusan Penagadilan yang telaha mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan Bupati dan /atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, melalui usulan Gubernur.
Kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui
usulan DPRD,apabila melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan
putusan pengadilan. Presiden memperoses pemberhentian sementara
berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan kepala daerah
terbukti melakukan tindak pidana kejahatan melalui usulan dari Menteri
Dalam Negeri. Proses pemberhentian sementara Kepala Daerah, dilakukan
81
apabila berkas perkara dakwaan melakukan tindak pidana
korupsi,terorisme,makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara
telah melimpahkan ke pengadilan dan dalam proses penututan dengan
dibuktikan register perkara. Berdasarkan bukti register perkara Presiden
memberhentikan sementara kepala daerah melalui usulan Menteri Dalam
Negeri.
Bahwa Kepala Daerah diberhentikan secara langsung oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRD,karena kepala daerah tersebut terbukti melakukan
tindak pidana korupsi,terorisme,maker dan/atau tindakan pidana terhadap
keamananan negara yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Presiden memperoses
pemberhentian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap yang menyatakan bahwa kepala daerah terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah disebutkan diatas,melalui
usulan Menteri Dalam Negeri.
Menteri Dalam Negeri memperoses berdasarkan Putusan Pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa kepala
daerah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, maker dan/atau
tindak pidana terhadap keamanan negara, melalui usulan Gubernur.
BAB III
82
IMPLIKASI USULAN DPRD TERHADAP PEMBERHENTIAN KEPALA
DAERAH
A. Usulan DPRD Terhadap Pemberhentian Kepala Daerah
Berbicara tentang pemberhentian Kepala Daerah tentunya tidak terlepas
dari peran DPRD dalam mengusulkan pemberhentian tersebut, sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) huruf d
“ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala
daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota”
kewenangan yang diberi undang-undang tentunya berdampak pada
pemberhentian kepala daerah. Kewenagan DPRD dalam mengusulkan
pemberhentian kepala daerah diatur juga dalam pasal 293 ayat (1) huruf d
Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan,
DPRD Provinsi memiliki tugas dan wewenang untuk mengusulkan pemberhentian
Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Mendagri.
Dalam ketentuan pasal 29 ayat (3) Undang-undang No. 32 Tahun 2004
“Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b
diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna
dan diusulkan oleh pimpinan DPRD”.
83
Berdasarkan isi pasal tersebut,bahwa usulan untuk memberhentikan kepala
daerah diputuskan lagi dalam rapat paripurna. DPRD dalam pasal 43 Undang-
undang No.32 Tahun 2004 telah diatur mengenai hak DPRD yaitu :
(1) .
a. Interpelasi; adalah hak DPRD untuk meminta keterangan Kepala
Daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan
strategis serta berdapak luas pada kehidupan masyarakat.
b. Angket; adalah fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan
penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu kepala daerah yang
dan strategis serta berdampak luas kepada kehidupan masyarakat,
daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
c. Menyatakan pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat
terhadap kebijakan kepala daerah atau sebagai lembaga mengenai
kejadian luar biasa yang terjadi didaerah disertai dengan rekomendasi
penyelesaiaannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak
interpelasi dan hak angket.
(2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana Pelaksanaan hak angket sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan
dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
84
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD
yang hadir.
(3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang
bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan
hasil kerjanya kepada DPRD.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang
dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki
serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan
hal yang sedang diselidiki.
(5) Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan
yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi
panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket dapat
memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.
(8) Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
85
Pemberian hak-hak tersebut dinilai terkesan sebagai bonus kepada DPRD
yang kewenagannya dan hak-haknya telah direduksi oleh Undang-undang No.32
tahun 2004. Terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut biasanya Kepala Daerah
hanya sekedar mendengarkan “ uneg-uneg” dan “curahan hati” DPRD terkait
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepala Daerah tidak berkewajiban
melaksanakan dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi uneg-uneg DPRD
tersebut, tetapi biasanya menjawab dengan kalimat bersayap seperti “ akan
diperhatikan” atau “akan ditindaklanjuti”. Apabila janji tersebut tidak ditepati
oleh kepala daerah, maka DPRD hanya dapat sekedar “memanggil” untuk
dimintai keterangan tanpa kewenangan untuk memberikan sanksi. Hal itu terjadi
karena hak-hak DPRD tersebut tidak tegas dan tidak jelas apa akibat hukum atau
sanksinya jika saran atau rekomendasi DPRD tidak di indahkan oleh Kepala
Daerah. Situasi dan kondisi demikian mirip dengan suasana Orde Baru dimana
kepala daerah lebih dominan terhadap DPRD dalam penyelengaraan pemerintahan
daerah.63
Bila dilihat dalam menanggapi usulan pemberhentian Kepala Daerah
tersebut DPRD menggunakan hak angket yang dilakukan setelah diajukan hak
interpelasi untuk mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan persetujuan diambil
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam
menggunakan hak angket tersebut dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua
63
6
Sudono Syueb.Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi.laksbang Mediatama,Surabaya.2008.hal.88
86
unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah
menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.
Selanjutnya, panitia angket memangil mendengar dan memeriksa Kepala
Daerah yang dianggap mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta diminta
untuk menunjukan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sah
menurut perundang-undangan. Kepala Daerah yang dipanggil,didengar dan
diperiksa wajib memenuhi panggilan tersebut, dalam hal ini juga panitia dapat
memanggil secara paksa juga dengan bantuan Polri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pemanggilan seorang kepala daerah oleh DPRD jika kepala daerah
tersebut dianggap telah melakukan tindakan melawan hukum, maka dalam hal ini
sebagai organ pemerintahan daerah DPRD juga mempunyai fungsi pengawasan
sebagai cita-cita dan menuju masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur
memerlukan kemapanan,harmonisasi sinergis antara hubungan antar unsur
penyelenggara Pemerintahan daerah guna terciptanya saling kontrol antara
DPRD dan kepala daerah.
Penggunaan hak angket oleh DPRD lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal
128 Peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yaitu:
1. Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil Kepala Daerah mengahadapi
krissi kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak
pidana yang melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angket
untuk menanggapinya.
87
2. Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
sebagai kelanjutan hak interpelasi yang dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan Rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya
3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD
yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala Daerah dan/atau
Wakil Kepala Daerah.
3. Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibentuk panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja
dalam waktu paling lambat 60 hari (enem puluh ) dan menyampaiakan hasil
kerajanya kepada DPRD.
4. Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1), DPRD menyelesaikan proses penyelesaiannya kepada
aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5. Apabila Kepala Daerah dan /atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan
berasalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara
paling singkat 5 (lima ) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.
6. Berdasarkan Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
presiden menetapkan pemeberhentian sementara Gubernurdan /atau Wakil
Gubernur, dan Menteri Dalam Negeri meetapkan pemberhentian sementara
88
Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau wakil walikota paling
lambat 30 (tiga puluh )hari sejak usulan pemberhentian.
7. Apabila Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
Pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau wakil
Kepala Daerah dengan keputusan Pimpinan DPRD.
8. Berdasarkan keputusan Pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) presiden menetapkan pemberhentian Gubernur dan / atau Wakil Gubernur
dan Menteri Dalm Negeri Menetapkan Pemberhentian Bupati dan/atau Wakil
bupati atau Walikota dan/atau wakil walikota paling lambat 30 (tiga puluh)
hari.
Adapun mekanisme atau tata cara penggunaan hak menyatakan pendapat,
hak interpelasi dan penggunaan hak angket dapat dikemukakan sebagaimana
dijelaskan bagan - bagan berikut:64
64
6
Diolah dari Sadu Wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Pewakilan Rakyat Daerah( DPRD).FokusMedia.Bandung.2009.hal.141
89
Bagan 2. Mekanisme Penggunaan Hak Angket DPRD
90
Rapat Paripurna-Pengusul memberikan penjelasan
-Pandangan Anggota DPRD lainya melalui fraksi
-Para pengusul memberikan jawaban atas pandangan anggota DPRD
-keputusan DPRD menerima Usul prakarsa atau menolak usul prakarsa.
Tidak disetujui
Disetujui
usulan disampaikan Pimpinan DPRD pada rapat Paripurna
Pemakarsa mengusul 5 anggota DPRD
Rapat Paripurna-Gubernur,Bupati/walikota memberikan keterangan lisan atau tertulis
- Setiap anggota rapat mengajukan pertayaan atas keteranagan Gubernur,Bupati/ walikota
- DPRD menyampaikan pendapatnya
Dijadikan bahan untuk DPRD dalam melaksanakan fungsi
Disamapaikan secara resmi kepada Gubernur,Bupati/ walikota
Pengusulan penyelidikan penjelasan secara tertulis dan ditandatanganiDisampaikan Kepada pimpinan DPRD Anggota DPRD
Bagan 3.Mekanisme Penggunaan Hak
Menyatakan Pendapat DPRD
91
Rapat paripurna-Pengusul memberikan penjelasan
-Pandangan Anggota DPRD lainya
-Pengusul memberikan jawaban atas pandangan anggota DPRD
-Keputusan DPRD Menerima usul Prakarsa atau menolak usul prakarsa
Rapat panmus DPRDPembahasan jadwal
Pemakarsa/pengusul. Minimal 5 Anggota DPRD
Mengusulkan kepada Presiden untuk mencabut pemberhentian sementara dan serta merehabilitasi nama baiknya
Memberhentikan secara tetap
Tidak terbuktiTerbukti
Ada IndikasiDisampaikan kepada aparat penegak hukumMengusulkan Kepada Presiden Untuk memberhentikan sementara
Disampaikan secara Resmi Kepada Gubernur,Bupati/Walikota
Apabila disetujui keputusan DPRD Apabila usul
perakarsa ditolak dapat mengajukan perubahan atau menarik kembali
Pansus mengadakan penyelidikan
Rapat Paripurna
MENERIMAUSULAN
MENOLAK USULAN
Usulan disampaikan dalam rapat paripurna setelah mendapat pertimbangan dari panitia musyawarah
Pemakarsa/pengusul mengajukan secara tertulis dan ditanda tangani minimal 5 anggota DPRD
Rapat Paripurna-pengusul memberikan penjelasan atas usul yang disampaikan
-Anggota DPRD lainnya memberikan pandangan melalui fraksiGubernur,Bupati
/walikota memberikan pendapat
- Para pengusul Memberikan jawaban atas pandangan anggota dan pendapat Gubernur Bupati/Walikota
- Keputusan DPRD menerima Usul Prakarsa atau menolak usul prakarsa
Keputusan DPRD-Pernyataan Pendapat-Saran Penyelesaian
- peringatan
Sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan di daerah, DPRD juga
mempunyai fungsi legislasi,anggaran dan pengawasan. Tugas dan wewenang
pengawasan DPRD Secara khusus tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 pasal 24 ayat 1C yang berbunyi :
“DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainya, peraturan Kepala
Daerah, APBD, Kebijakan Pemerintah daerah dalam melaksanakan program
pembangunan daerah dan kerja sama internasional daerah”
Pengawasan ini bertujuan mengembangkan kehidupan demokrasi
menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara
lembaga legislatif dan eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
92
rakyat. Konsep dasar Pengawasan DPRD meliputi pemahaman tentang arti
penting pangawasan,syarat pengawasan yang efektif, ruang lingkup dan proses
pengawasan. Menurut Stoner dan Freeman65 contoroling is the process of assuring
that actual activities conform to planed activities. Secara umum dapat dikatakan
bahwa pengawasan merupakan proses untuk menjamin suatu kegiatan sesuai
dengan rencana kegiatan, artinya bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah dibutuh suatu pengawasan dari DPRD guna tercapai tujuan barsama yaitu
mensejahterakan masyarakat ,sebab tanpa adanya suatu pengawasan dapat
memunculkan penyalahgunaan wewenang pada eksekutif daerah.
Pengawasan memilki arti penting bagi pemerintah daerah karena akan
memberikan umpan balik untuk perbaikan pengelolaan pembangunan.Sementara
bagi pelaksana, pengawasan merupakan aktivitas untuk memberikan kontribusi
dalam proses pembangunan agar aktivitas pengelolaan dapat mencapai tujuan dan
sasaran secara efektif dan efisien. Secara spesifik, hasil pengawasan DPRD
terhadap Pemerintah Daerah di tujukan;
a) Untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Untuk menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat
terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan dalam upaya
mencegah berlanjutnya kesalahan dan atau penyimpangan.
65
6
Stoner dan Freman dalam Sadu wasistiono. Meningkatkan Kinerja Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). FokusMedia.Bandung.2009.hal.147
93
c) Untuk menumbuhkan motivasi, memperbaiki, mengurangi dan atau
meniadakan penyimpangan.
d) Untuk menyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah atau telah
mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.66
Melalui pengawasan tersebut, DPRD dapat membangun sebuah early
warning system atau sitem peringatan dini apabila terjadi kejanggalan atau
penyimpangan dalam proses pengelolaan tata pemerintahan. Melalui Instrumen
pengawasan, anggota DPRD dapat menggunakan hak bertanya kepada Kepala
Daerah. Jika atas pertanyaan tersebut Kepala Daerah tidak dapat memberikan
jawaban yang memuaskan DPRD dapat mengajukan interpelasi untuk meminta
keterangan kepada Kepala Daerah. Jika masih juga tidak memuaskan atas
interpelasi tersebut,DPRD dapat menggunakan hak angket. Hasil dari pelaksanaan
hak angket itu dapat bermuara kepada penggunaan hak menyatakan pendapat.
Setelah semua hak-hak DPRD digunakan dapat saja berujung pada pemberhentian
Kepala Daerah.
Dalam perjalannya juga tidak jarang kedua organ pemerintahan daerah ini,
menimbulkan masalah yang menunjukan menguatnya kewenangan DPRD dalam
hal mengsulkan pemberhentian kepala daerah ,sebab hal ini bisa saja memicu
terjadinya perubahan politik diantara kaum elit politik daerah sehingga
menimbulkan permasalahan diantara kaum eksekutif dan legislatif. Ada beberapa
66
6
Sadu Wasistiono,2009.Op.Cit.,hal. 145
94
hal yang menyebabkan disharmonisasi antara eksekutif daerah dengan DPRD
menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 antara lain:67
1. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan membuat Kepala Daerah
lebih kuat dibandingkan akuntabilitas DPRD. Akibat dari kondisi tersebut
akan terjadi shift titik berat kekuatan politik yang tadinya ke DPRD/legislative
heavy menujukan kea rah executive heavy. Kondisi tersebut diperkuat lagi
dengan adanya dukungan perangkat daerah kepada Kepala Daerah, sehingga
akan memperkuat posisi Kepala Daerah.
2. Konsekuensi dari pemilihan langsung, DPRD maupun Kepala Daerah
akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. Kepala Daerah
tidak lagi menyampaikan laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan
pemerintahan (LPJ) kepada DPRD, namun menurut pasal 27 ayat (2) Undang-
undang No 32 Tahun 2004 mekanisme pertanggungjawaban Kepala Daerah
diatur sebagai berikut:
a. Ke atas kepada Presiden cq. Mendagri berupa LPPD ( Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah)
b. Ke samping kepada DPRD berupa LKPJ( Laporan Keterangan
Pertanggungjawaban )
c. Ke bawah kepada masyarakat berupa IPPD ( Informasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah).
67
Made Suwandi,dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah.Jakarta.2005.hal ,21
95
3. DPRD akan tetap mempunyai otoritas dalam bidang legislasi,anggaran
dan kontrol. Bila DPRD mampu menggunakan kewenangan tersebut secara
efektif, maka diharapkan DPRD sedikit banyak akan mampu mengimbangi
kekuatan eksekutif (kepala daerah)
4. Terjadinya perubahan signifikan terhadap konstruksi pemerintah daerah
yang ada sekarang, dimana terdapat kejelasan antara pejabat politik (kepala
daerah dan DPRD) dengan pejabat karir. Pejabat politik bertugas merumuskan
kebijakan politik, sedangkan pejabat karir mengoprasikan kebijakan tersebut
kedalam bentuk pelayanan publik.
Berdasarkan uraian diatas, nampak bahwa dengan adanya pemilihan
kepala daerah secara langsung oleh rakyat akan dapat meningkatkan legitimsi
politiknya dalam memimpin pemerintahan daerah, dan sekaligus menciptakan
check and balances dalam hubungannya dengan DPRD. Namun apabila DPRD
terlampau lemah atau dikuasai oleh partai yang sama dengan kepala daerah, akan
menciptakan “ power shift” ke arah “ executive heavy” . Oleh karena itu perlu
adanya upaya kearah penciptaan tata hubungan kerja dalam rangka menciptakan
kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya tujuan bersama yakni
mensejahterakan masyarakat. Pencapai tujuan bersama tersebut akan lebih baik
apabila kinerja pemerintahan daerah dan kinerja DPRD dapat secara sinergi
menciptakan pelayanan masyarakat sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan
pemerintahan sebagaimana yang dikemukan koentjoro Poerbopranoto, pada
prinsipnya adalah untuk menghindari adanya tindakan kolusi,korupsi dan
nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan.
96
B. Pelaksanaan Putusan DPRD Terhadap Pemberhentian Kepala Daerah
Dalam usulan pemberhentian Kepala Daerah tentunya melalui rapat
paripurna anggota DPRD. Ketentuan pasal 29 ayat (4) dikatakan bahwa
Pemberhentian kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan
huruf e dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada
Presiden berdasarkan putusan Makamah Agung atas pendapat DPRD bahwa
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar
sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah
dan wakil kepala daerah;
b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui
Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD
yang hadir.
c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
DPRD tersebut paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah permintaan DPRD itu
diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak
melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya
97
2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan
usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada
Presiden.
e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD
menyampaikan usul tersebut.
Tentang usulan Pemeberhentian Kepala Daerah dijabarkan lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dinyatakan dalam Pasal 123
ayat 4 Pemeberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e,dilaksanakan dengan
ketentuan:
a. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah diusulkan kepada
Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat
DPRD,bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah Melanggar
sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya.
b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a, diputuskan melalui
Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4(tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD dan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya 2/3( dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang
hadir.
c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili,dan memutus pendapat
DPRD tersebut paling lambat 30 ( tiga puluh) hari setelah permintaan
DPRD diterimah Mahkamah Agung dan Putusannya bersifat final.
98
d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Kepala Daerah dan/atau
Wakil Kepala Daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dana atau
tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna
DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah
anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk
memutuskan usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala
Daerah kepada Presiden.
e. Presiden wajib memperoses usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau
Wakil Kepala Daerah tersebut, paling lambat 30 (tiga puluh ) hari sejak
DPRD menyampaikan usul tersebut.
Dalam penjelasan isi Pasal 29 ayat (4)Undang-Undang No.32 tahun 2004
maupun Pasal 123 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2005 ,diatas bahwa
usulan pemberhentian kepala daerah disampaikan kepada Presiden berdasarkan
putusan Mahkamah Agung,atas pendapat DPRD bahwa Kepala Daerah tersebut
dinyatakan telah melanggar sumpah dan janji jabatan atau tidak melaksanakan
kewajiban sebagai kepala daerah. Dalam pengambilan keputusan rapat paripurna
DPRD untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dihadiri sekurang-
kurangnya 3/4 anggota DPRD dan diambil persetujuan sekurang-kurangnya 2/3
dari anggota DPRD, artinya keputusan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala
daerah harus disetujui 2/3 dari anggota DPRD, tentunya hal ini dapat
menimbulkan persoalan sebab tanpa dihadiri 3/4 dari anggota DPRD serta tidak
99
disetujui oleh 2/3 dari anggota DPRD maka putusan tersebut tidak bisa
dilaksanakan sementara Kepala Daerah jelas-jelas telah melanggar sumpah dan
janji jabatannya. Sebagai contoh Rapat Paripurna DPRD Kebumen beragendakan
Usulan Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Kebumen Periode 2005 – 2010,
gagal menghasilkan keputusan akibat tak mencapai kuorum dan diboikot oleh 3
fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa
(FKB) dan Fraksi Partai Golkar (FPG)68.
Anggota DPRD telah ada acuannya yakni tata tertib DPRD yang
berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2004 tentang pedoman
penyusunan peraturan tata tertib dan telah dirubah dengan Pemerintah Pemerintah
Nomor 53 tahun 2005. Setiap pembuatan tata tertib DPRD tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tersebut. Dalam, pasal 58 ayat (1)
huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 dinyatakan rapat paripurna
DPRD dinyatakan sah apabila dihadiri secara fissik sekurang-kurangnya 3/4 dari
jumlah anggota DPRD untuk memutuskan usul DPRD mengenai pemberhentian
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam penjelasan dan ayat pasal tersebut
juga dinyatakan yang dimaksud dihadiri secara fisik adalah dihadiri langsung oleh
anggota DPRD dan berada dalam ruangan sidang.69
68
6
.Rapat Paripurna DPRD Kebumen Diboikot Tiga Fraksi.Serial online 30 Juli 2010 availablefrom:URL.http://purwekertonews.com
69
6
Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com
100
Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) juga, bahwa Mahkamah Agung wajib
memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD, berdasarkan ketentuan ini
Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan
kewajiban, Putusan Mahkamah Agung ini diserahkan lagi kepada DPRD untuk
menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil
dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah kepada Presiden. Dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusan
Mahkamah Agung tidak bisa dijalankan apabila tidak disetujui 2/3 anggota
DPRD, sebab bisa saja dalam perjalanan rapat paripurna anggota DPRD, terjadi
perubahan politik. Dimana dalam putusan Mahakamah Agung supremasi hukum
lebih di junjung sebab Negara Indonesia adalah Negara hukum ,menyadari bahwa
untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan
jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang dihasilkan dalam
amandemen UUDNKRI 1945 tidak hanya menyebutkan secara eksplisit
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUDNKRI 1945
menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak hanya
itu, Pasal 24 Ayat (2) UUDNKRI 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan
kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2)
101
UUDNKRI 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum. Khusus untuk menjaga kemandirian dan
integritas hakim, amandemen UUDNKRI 1945 juga memunculkan sebuah
lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman menyatakan, Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. Jika dibandingkan dengan Pasal 24 Ayat (1)
UUDNKRI 1945, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang No 48
tahun 2009 jelas berbeda karena terjadi penambahan kata/frasa: “negara”,
“berdasarkan Pancasila”, dan “demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”. Kalau ditelusuri lebih jauh, bunyi Pasal 1 Undang-Undang No 48
Tahun 2009 persis sama dengan bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Yang berbeda
hanya dalam memberikan penjelasan70. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No 48
Tahun 2009 menyebutkan:
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini
mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari
segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali
70
7
Saldi Isra.Keterbukaan Pengadilan Dan Akses Terhadap Keadilan. Serial Online.9 Mei 2010. Availablefrom: URL.http://saldiisra.web.id
102
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak
mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan
rasa keadilan rakyat Indonesia.
Sementara itu, Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970
menyebutkan:
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di
dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan
pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan,
direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil,
kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak
sifatnya, karena tugas dari pada Hakim adalah untuk menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan
menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang
jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan
Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim
terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak
langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak
lain di luar peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi
kadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.71 Dalam pandangan Hakim Agung
71
7
Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI, hal 7
103
Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang
merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknya
negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor
adanya pengadilan yang merdeka.72
Sementara dilain pihak juga, dikalangan anggota DPRD lebih
mengutamakan supremasi politik, yang lebih mengutamakan kepentingan
fraksinya yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta
dijalankan begitu saja. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan
kehakiman atau peradilan begitu mudah tunduk pada kekuasaan lain, Secara
konseptual, dalam pandangan Bagir Manan ada beberapa jawaban, yaitu:73
1) Kekuasaan kehakiman memang sangat lemah dibandingkan kekuasaan
legislatif dan yudikatif,
2) Tatanan politik. Dalam kenyataan, kehakiman selalu tidak berdaya
menghadapai tekanan politik untuk menjaga agar kekuasaan kehakiman yang
merdeka tetap utuh, dan
3) Sistem administrasi, misalnya anggaran belanja. Selama sistem anggaran
belanja kekuasaan kehakiman tergantung pada “kebaikan hati” pemerintah
72
7
Artidjo Alkostar, 2005, Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
73
7
Bagir Manan, 2005, Restrukturisasi Badan Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Jakarta .Tahun XX. No. 239.
104
sebagai pemegang kas negara, maka berbagai upaya memperkuat kekuasaan
kekuasaan kehakiman akan mengalami berbagai hambatan.
Karena berbagai penyebab di atas, upaya membebaskan kekuasaan
kehakiman dari pengaruh kekuasaan lain merupakan perjuangan terus-menerus.
Bagaimanapun, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu
prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam Judicial
Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges
membagi independence of the judiciary menjadi empat hal yaitu substantive
independence (independensi dalam memutus perkara), personal independence
[misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure)],
internal independence (misalnya independensi dari atasan dan rekan kerja) dan
collective independence (misalnya adanya partisipai pengadilan dalam
administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan)74.
Memang tidak dapat dihindari bahwa menguatnya pendapat DPRD,
tentunya tidak bisa disalahkan sebab pandangan politik dari anggota DPRD
merupakan hak politik anggota DPRD. Sebab anggota DPRD juga tidak terlepas
dari fraksi yang memegang peranan penting dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang DPRD baik secara kelembagaan maupun terhadap masing-masing
individu anggotanya. Fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik dapat
mewarnai berbagai proses politik yang terjadi di tingkat alat kelengkapan DPRD
74
7
Shimon Shetreet, 1995, Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia.
105
dan lobby di luar kelembagaan formal DPRD. Fraksi tidak hanya sekedar sebagai
wadah berhimpun para anggota partai politik yang duduk sebagai wakil rakyat di
parlemen. Tetapi lebih dari itu, fraksi juga dapat mengarahkan setiap pilihan sikap
dan keputusan yang diambil dalam proses politik pemerintahan secara
keseluruhan. Mengingat besarnya peranan fraksi, maka bagi setiap anggota
parlemen akan sukar menentukan sikapnya untuk dapat terlepas dari ketentuan
atau aba-aba politik yang disampaikan oleh fraksinya. Perbedaan sikap memang
dapat berkembang dalam konteks yang konstruktif, ketika pilihan yang diambil
individu tetap berada dalam batas toleransi atau garis ketentuan fraksi. Batas
toleransi yang ditetapkan menjadi wilayah yang tidak boleh dilanggar, karena
merupakan hal prinsipil dalam menjaga ruang kebebasan para anggotanya.
Konsekuensi dapat dihadapi ketika terjadi pelanggaran atas batas-batas prinsipil
tersebut dan yang terberat adalah berupa pemberian sanksi pergantian antar waktu
(PAW) atas usul partai atau populer dengan istilah recall75.
Pandangan, Mahfud MD menegaskan, penegakkan supremasi hukum tidak
akan pernah berjalan baik selama model politik yang diterapkan adalah
oligarki. "Hukum dalam arti produk politik sangat dipengaruhi sistem
politik, apakah demokratis atau tidak," Oligarki adalah suatu sistem politik
dimana berbagai keputusan diambil hanya oleh elite-elitenya dan bukan
anggota partai.Demokrasi penting untuk membangun bangsa ini.
Demokratis atau tidaknya suatu pengambilan keputusan politik, akan
menggambarkan baik-buruknya wajah hukum di suatu negara.76
75
7
Hasil penelitian lapangan dengan mengambil studi kasus di DPRD Propinsi Sumatera Selatan dan DPRD Propinsi Sulawesi Utara. Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Politik Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat email: [email protected]. 2 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008
106
Jika dilihat dalam kasus Walikota Pemantang Siantar RE sihaan yang
dituduh melakukan penyelewengan proyek bangsal rumah sakit umum daerah
oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, atas dasar itulah DPRD kota Pematang
siantar mengadakan sidang paripurna untuk mengusulkan memberhentikan RE
Sihaan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No 01 P/ KHS/ 2009 tanggal 3
Maret 2009 ,yang tidak didukung 2/3 anggota DPRD dalam pengambilan
keputusan pemberhentian Kepala daerah, akan tetapi putusan tersebut tetap
dijalankan. Jika dilihat dari contoh kasus tersebut menunjukan bahwa
pemberhentian Kepala daerah berawal dari usulan DPRD, berdasarkan atas
putusan Mahkamah Agung dan tindak lanjutnya DPRD mengadakan rapat
paripurna,apabila dihadiri 3/4 anggota DPRD yang hadir serta diambil keputusan
2/3 dari anggota DPRD,sehingga kepala daerah tersebut diberhentikan. Sementara
yang terjadi dalam kasus tersebut adalah keputusan tidak didukung oleh 2/3
anggota DPRD (quorum),tentunya keputusan ini cacat hukum. Apabila terjadi
demikian maka, untuk itu rapat paripurna DPRD tentang pemberhentian kepala
dan wakil kepala daerah tersebut cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Dalam hal ini walikota dan wakil walikota Pematang Siantar
dapat melakukan perlawanan (verzet) terhadap pelaksanaan rapat paripurna dan
keputusan yang diambil oleh DPRD Pematang Siantar tersebut. Presidenlah
nantinya mempertimbangkan secara hukum apakah mekanisme atau proses usulan
pemberhentian oleh DPRD Pematang Siantar sudah berdasarkan peraturan
76
7
Mahfud MD.Oligarki Politik Hambat Supremasi Hukum.Serial Online 11 februari 2010 available From:URL:http://www.sinarharapan.co.id.
107
perundang-undangan atau tidak. Dan apakah perlawanan walikota/wakil walikota
diterima atau tidak. Karena tidak serta merta setiap usulan pemberhentian kepala
dan wakil kepala daerah dari DPRD terus dikabulkan Presiden. Masih ada telaah
juridis oleh staf bidang hukum kepresidenan.77
Jika demikian yang menjadi problem adalah apabila kepala daerah tersebut
melanggar sumpah dan janji jabatannya sementara untuk usulan
pemberhentiannya harus didukung atau disetujui 2/3 dari jumlah 3/4 anggota
DPRD yang hadir sehingga usulan tersebut bisa disampaikan kepada Presiden,
sehingga presiden dapat mengambil keputusan untuk memberhentikan sementara
Kepala Daerah tersebut sampai proses hukumnya selesai dan telah mempunyai
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sebab asas
legalitas dalam Negara hukum menyatakan bahwa setiap tindak pemerintahan
harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan ( Wettelijke gronslag),
dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formil dan Undang-Undang
Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintah. Dalam hubungan ini
pembentukan Undang-Undang merupakan bagian penting dari negara hukum.
Dalam menanggapi usulan DPRD presiden wajib memperoses usulan
pemberhentian kepala daerah tersebut, atau melakukan pemberhentian sementara
terhadap kepala daerah, sementara secara hukum pemberhentian sementara
kepala daerah merupakan tindakan yang melanggar asas kepastian hukum, sebab
tidak adil dan demokratis seorang yang belum ada kepastian hukum (inkrach van
77
7
Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com
108
gewijh) tetapi sudah diusulkan untuk di skorsing (pemberhentian sementara).78
Pemberhentian sementara oleh presiden, seperti yang dikemukan oleh
Djohermansyah Djohan dalam pendapatnya mengatakan bahwa;
“Secara etika pemerintahan, memang tidak elok seorang kepala daerah yang sudah ditahan masih mengendalikan pemerintahan dari balik penjara. Tetapi, bila masih berstatus tersangka, kita masih menganut azas praduga tak bersalah sehingga dimungkinkan seorang gubernur atau bupati untuk memimpin dari rumah tahanan”
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Nursyahbani Katjasungkana, merumuskan
beberapa alasan mengapa ada kewenangan presiden berdasarkan Pasal 31 ayat (1)
Undang-Undang Pemerintahan daerah tersebut:
1. Pemberhentian sementara dimaksudkan untuk menghindari terhambatnya
proses pemerintahan di daerah, karena proses hukum akan memakan waktu
yang cukup lama.
2. Pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memudahkan urusan-urusan
penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga tugas-tugas kepala daerah yang
dialihkan ke pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah tidak akan terpengaruh proses hukum pejabat daerah yang
berstatus sebagai terdakwa.
3. Kepala daerah dapat diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD.
Pengaturan ini merupakan bentuk penegasan adanya supervisi pemerintah
pusat terhadap pemerintahan daerah.
78
7
hhtp://www. Mahkamahkonstitusi.go.id. Pemberhentian sementara vs presumtion of innocent
109
4. Untuk menjamin kepastian hukum serta memudahkan aparat penegak
hukum melakukan proses peradilan terhadap terdakwa yang telah
dibebastugaskan dari jabatannya. Dengan bebas tugas, pejabat tersebut tidak
dapat melakukan intervensi atau menyalahgunakan kewenangannya sebagai
pejabat publik menyangkut kasus yang didakwakan padanya.
5. Pemberhentian dilakukan selama dia masih menjabat sebagai kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah agar tidak menimbulkan kekhawatiran
atau konflik kepentingan terdakwa yang dapat merusak dan/atau
menghilangkan barang bukti. Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut
maka sesungguhnya perumusan pasal dan penjelasan ketentuan pasal tersebut
adalah untuk menjamin kepastian hukum atau due process of law dan tidak
menganggu proses hukum yang sedang dilaksanakan.
Dalam hal ini pengambilan keputusan oleh presiden memunculkan dua pemikiran
yaitu ;
Pertama ,pemberhentian sementara merupakan keputusan yang melanggar asas
praduga tak bersalah (presumption of innocent).
Kedua ,pemberhentian sementara kepala daerah untuk mempermudah dalam
proses hukum,serta tidak menghambat keberlangsungan
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Menurut Zairin Harahap, kepala daerah yang diberhentikan sementara
alias nonaktif dari jabatannya punya implikasi luas. Pejabat yang bersangkutan tak
lagi punya kewenangan dalam pengambilan kebijakan. “Kalau sudah nonaktif
110
maka tidak bisa mengambil kebijakan strategis” yang dimaksud dengan kebijakan
strategis ,seperti mengangkat pejabat baru, menandatangani penetapan APBD,
maupun meneken surat keterangan otorisasi (SKO). “Semua kewenangan itu
harus ditanggalkan sejak statusnya nonaktif,” Senada dengan pendapat Zairin
harahap Zaki Sierrad menilai, pejabat nonaktif tak lagi punya otoritas membuat
keputusan terkait jabatannnya. Dari sisi fatsun atau etika politik, pejabat
bersangkutan secara moral tak lagi berhak menerima fasilitas-fasiltas yang
berhubungan dengan jabatannya. “Ini karena pejabat itu tak lagi bisa
melaksanakan kewajibannya”,. Dengan dinonaktifkan itu kepala daerah atau
wakil kepala daerah tak lagi menjalankan tugas-tugasnya. “Secara etika berkantor
pun sudah tidak bisa,” Pemberhentian sementara pejabat berbeda dengan
pemberhentian secara permanen. Hak-hak pejabat bersangkutan dapat
dikembalikan mana kala dakwaan tidak terbukti dan memiliiki kekuatan hukum
tetap. “Prosesnya memang panjang dan tidak mudah,”79
Berbicara tentang Kepala Daerah melanggar sumpah dan janji jabatan
merupakan tindakan melawan hukum, sebab kepala daerah telah melanggar isi
dari dalam konsep tindakan pemerintah dimaksudkan setiap kebijakan kepala
daerah untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintahan atau
administrasi negara. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah
tentunya harus data dipertanggungjawabkan. Berdasarkan pengertian ini, tampak
79
7
Zairin Harahap. Korupsi APBD Purworejo: Serial online.4 Juni 2009. availablefrom:URL.http://infokorupsi.com
111
ada beberapa unsur yang terdapat didalamnya. Muchsan menyebutkan unsur-
unsur tindakan hukum pemerintahan sebagai berikut :80
1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya
sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan dengan
prakarsa dan tanggung jawab sendiri.
2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan.
3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan
akibat hukum di bidang administrasi
4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat.
Unsur-unsur yang dikemukakan oleh Muchsan ini perlu ditambah,
terutama dalam kaitannya dengan negara hukum yang mengedepankan asas
legalitas, yaitu perbuatan hukum administrasi harus didasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pada prinsipnya, tindakan hukum administrasi
hanya dapat dilakukan dalam hal dan dengan cara yang telah diatur dan
diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam prinsip asas penyelenggaraan pemerintahan kepala daerah yang
melanggar sumpah dan janji jabatan ,tentunya hal ini sangat bertentangan dengan
asas kebijaksanaan asas penyelenggaraan kepentingan umum, sebab kepala daerah
80
8
Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hal. 18
112
Pasal 25 Undang-undang No.32 tahun 2004 ,Kepala daerah mempunyai tugas dan
wewenang:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD;
b. Mengajukan rancangan Perda;
c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD
untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;dan
g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan
Berdasarkan isi pasal tersebut tentunya, Kepala Daerah sangat
bertanggungjawab penuh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah,
mengingat tugas dan kewajibannya lebih mengutamakan daerah, lebih khususnya
lagi mengutamakan kepentingan rakyat.
BAB IV
113
AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH
A. Kekosongan Jabatan Kepala Daerah
Dalam perspektif ketatanegaraan, pemilihan kepala daerah berkaitan erat
dengan pengisian jabatan dalam susunan organisasi pemerintahan daerah, yakni
bagaimana proses, mekanisme dan tata cara yang dilakukan untuk mengisi suatu
jabatan dengan pejabat Sehingga, pemilihan kepala daerah dalam perspektif
tersebut, menunjuk pada 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Adanya jabatan, dalam hal ini Kepala Daerah;
b. Adanya tata cara (mekanisme) tertentu untuk pengisian jabatan, yang dapat
dilakukan melalui pengangkatan (appointment) atau pemilihan (election); dan
c. Adanya pejabat, dalam hal ini Gubernur (untuk daerah provinsi), dan
Bupati/Walikota untuk daerah kabupaten/kota.
Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, salah satu yang menjadi sorotan adalah mengenai
pemberhentian Kepala Daerah, artinya jika kepala daerah diberhentikan maka hal
ini tentunya dapat menyebabkan kekosongan jabatan kepala daerah, sebagaimana
yang terdapat dalam pasal 29 ayat (2) huruf a Kepala Daerah dan /atau Wakil
Kepala Daerah diberhentikan karena “ berakhir masa jabatannya dan telah
dilantik pejabat yang baru”. Mengenai seorang Kepala Daerah yang di
berhentikan sebelum masa jabatannya selesai, tentunya melalui usulan DPRD
kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa
kepala daerah telah melanggar sumpah/janji jabatan dan /atau tidak melaksanakan
114
kewajiban kepala daerah. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang 32 tahun 2004 :
“apabila Kepala Daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetapa sebagaimana dimaksud pasal 30 ayat
(2),pasal 31 ayat (2),dan pasal 32 ayat (7) jabatan kepala daerah diaganti oleh
wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan
disahkan oleh Presiden”.
Dalam contoh kasus Tengku Azmun Jaafar sebagai Bupati Pelalawan
dilakukan menyusul Keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor
736/k/pid.sus/2009 tanggal 3 Agustus 2009 yang menyatakan Tengku Azmun
Jaafar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan divonis 11 tahun
penjara. Majelis hakim menyatakan Azmun bersalah melakukan tindak pidana
korupsi dalam penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan
Tanaman (IUPHHK-HT) kepada 15 perusahaan kehutanan di Pelalawan, sehingga
merugikan negara Rp 1,2 triliun. Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500
juta subsider 6 bulan kurungan dan pembayaran uang pengganti Rp 12,3 miliar.
Azmun dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 Undang-undang No 31
Tahun1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Dalam
pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Azmun dengan sengaja
menerbitkan IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan dalam kurun waktu Desember
2002 sampai Januari 2003, padahal mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan itu
115
tidak kompeten dalam bidang kehutanan. Bedasarkan hal tersebut Permerintah
Provinsi Riau mengeluarkan SK bernomor 131.14-590/2009. SK tersebut berisi
tentang pengesahan pemberhentian Bupati Pelalawan dan pengesahan
pengangkatan Wakil Bupati Pelalawan, Rustam Effendi sebagai bupati
menggantikan Tengku Azmun Jaafar. Dalam contoh kasus di atas bahwa kepala
daerah diberhentikan apabila sudah mendapat keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan demikian tindak lanjutnya adalah
wakil kepala daerah harus bersedia untuk memangku jabatan sebagai kepala
daerah melalui rapat paripurna DPRD. Prihal rapat paripurna tentunya menyita
waktu yang tidak singkat sementara kekosongan jabatan tidak boleh terjadi.
Pegisian jabatan kepala daerah tersebut merupakan Pemberian wewenang yang
atributif dimana peraturan perundang-undangan sudah mengaturnya. Apabila
kepala daerah diberhentikan maka untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut
DPRD mengadakan Rapat Paripurna untuk melantik wakil kepala daerah sebagai
pejabat kepala daerah.
Dalam konsep negara hukum kekosongan jabatan tidak boleh terjadi,
karena hal ini menyangkut dengan asas tertib penyelenggaraan pemerintahan
yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat,untuk menjaga kesinambungan dan
keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,oleh karena ada
beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling) yang hanya dilakukan dalam
116
kapasitas sebagai kepala daerah, seperti pengesahan Peraturan daerah dan Peraturan
kepala daerah.81
Dalam ilmu hukum biasa dikenal sebagai kekosongan kekuasaan (rechtvacuum).
Kekosongan hukum ini sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan melawan negara (coup
de etaat). Sebagai contoh, Peristiwa ini pernah terjadi. Saat menjelang Pemilu 2009,
Presiden SBY ke luar negeri dalam lawatan resmi ketatanegaraan. Wapres Jusuf Kalla
yang menggantikan Presiden ad interm berada di Aceh dalam kampanye Partai. Jakarta
Kosong selama 48 jam. Kalangan akademisipun teriak. Dan kemudian akibat dari
“kelalaian” sehingga Jusuf Kalla kemudian segera pulang ke Jakarta sehingga tidak
dapat digunakan kaum pemberontak menguasai negara (coup de etaat ) dalam
pendapatnya M Musri Nauli, bagaimana pentingnya dan tidak dibenarkan adanya
kekosongan kekuasaan (rechvacuum). Dalam diskursus hukum ketatanegaraan, tidak
dibenarkan kekuasaan kosong walau sedetikpun. .82
Dalam mengisi kekokosongan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah ,adapun pejabat sementara yang mengisi kekosongan kepala daerah
tersebut, akan tetapi jika dicermati isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 49
Tahun 2008 tentang perubahan ketiga Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005,
membatasi wewenang dari pejabat sementara kepala daerah,seperti yang
digaris dalam Pasal 132 A:
81
8
Umbu Rauta.Pergantian Kepala Daerah Menurut Hukum Tata Negara. Serial online.27 februari 2007. availablefrom:URL.http://beriman-hati.blogspot.com
82
8
M.Musri Nauli. Kekosongan Kekuasaan (Rechtvacuum) Serial online.16 Juli 2010. availablefrom:URL.http://www.jambiekspres.co.id
1. Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat
untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk
mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta
kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala
daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala
daerah/wakil kepala daerah dilarang:
a. Melakukan mutasi pegawai;
b. Membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya
dan/atau mengeluarkan perijinan
c. Membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan
kebijakan pejabat sebelumnya; dan
d. Membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Ketentuan ini , setidaknya dapat diketahui bahwa pejabat pengganti (PJS) kepala
daerah tidak dapat melakukan hal sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 132 A
Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008.
Pergantian jabatan kepala daerah memang telah diatur juga dalam Undang-undang
No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah nampak sejumlah pasal yang mengatur
pengisian kekosongan jabatan kepala daerah yakni:
1. Pasal 34
(1) . Pergantian jabatan kepala daerah telah diatur juga dalam Undang-
undang No.32 Tahun 2004 pasal 34 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (5);
wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala
daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Pasal 35
(1). Apabila kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dimaksud
dalam pasal 30 ayat (2),pasal 31 ayat (2),dan Pasal 32 ayat (7)
jabatan kepala daerah diganti oleh wakil kepala daerah samapai
berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya berdasarkan
kepurusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden.
Pergantian jabatan kepala daerah dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tersebut
dinyatakan :
1. Pasal 129
(1). Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), dan Pasal 128 ayat (6), setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya.
2. Pasal 130 (1).Apabila Kepala Daerah diberhentikan sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), dan Pasal 128 ayat (6), Wakil Kepala Daerah melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3. Pasal 131 (1). Apabila Kepala Daerah diberhentikan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (2), Pasal 127 ayat (2), dan Pasal 128 ayat (7), jabatan Kepala Daerah diganti oleh Wakil Kepala Daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden.
Dalam hal kekosongan jabatan tersebut sangat berkaiatan erat dengan
penyelenggaraan pemerintahan menginggat proses rapat paripurna DPRD untuk
mengangkat seorang wakil kepala daerah menjadi kepala daerah bukanlah hal yang
mudah, sebab hal ini juga menyangkut kemampuan dari seorang wakil kepala daerah
untuk memimpin dalam waktu jabatan yang tersisa dari kepala daerah sebelumnya, akan
tetapi hal ini merupakan konsekwensi logis bahwa seorang wakil kepala daerah wajib
mengisi kekosongon jabatan kepala daerah. Jika seorang wakil kepala daerah diangkat
menjadi kepala daerah maka tugas berikutnya adalah untuk memimilih seorang wakil
kepala daerah yang baru, sebab apabila Wakil kepala daerah diangkat menjadi Kepala
Daerah,maka persoalan akan muncul adalah kosongnya jabatan Wakil Kepala Daerah.
B. Mekanisme Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Daerah
Dalam penjelasan sebelumnya dimana seorang kepala daerah yang diberhentikan
diganti oleh wakil kepala daerah namun yang perlu dikaji dalam hal ini adalah proses
pengisian jabatan tersebut mengingat dalam konteks asas -asas umum pemeriatahan yang
baik (AAUPB) penyelenggaraan pemerintahan lebih mementingkan kepentingan umum,
demikian juga dalam konsep negara hukum artinya segala tindakan harus berdasarkan
hukum. Dalam pasal 35 Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur prihal
prosedur pengisian jabatan kepala daerah jika kepala daerah diberhentikaan apabila
mengalami krisis kepercayaan publik . Dalam Pasal 24 (3) UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Wakil kepala daerah membantu kepala daerah
menjalankan dan memimpin pemerintahan daerah (pemda).
Wakil kepala daerah dalam peraturan ini memang sifatnya hanya membantu
kepala daerah melaksanakan tugas tertentu dan menggantikan kepala daerah jika
berhalangan. Namun, patut diperhatikan juga keberadaan wakil kepala daerah
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yaitu dipilih secara berpasangan oleh
rakyat dan secara bersamaan memimpin pemerintahan daerah sesuai perintah Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004. Berbeda dengan pengisian jabatan kepala daerah ,apabila
diperdalam lagi pengisian jabatan wakil kepala daerah diatur juga dalam Pasal 35 Ayat
(2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 26 Ayat (4) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan "Apabila terjadi kekosongan
jabatan wakil kepala daerah, sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan, kepala daerah
mengusulkan dua calon wakil kepala daerah untuk dipilih Rapat Paripurna DPRD
berdasarkan usul partai atau gabungan partai yang pasangan calonnya terpilih dalam
pemilihan kepala daerah-wakil kepala daerah . Jika diamati pengisisian jabatan wakil
kepala daerah lebih mudah prosesnya dibandingkan dengan pengisian jabatan kepala
daerah. Dalam pengisian wakil kepala daerah, kepala Daerah mengusulkan dua calon
wakil kepala daerah untuk dipilih Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usulan dari partai
atau gabungan partai yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah-
wakil kepala daerah.
Meski demikian tidak diatur secara eksplisit perihal pengisian jabatan Wakil
Kepala Daerah karena menggantikan Kepala Daerah yang diberhentikan, namun
berdasarkan tafsiran sistematis dan analogi dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
maka kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah merupakan kemestian untuk dilakukan
pengisian jabatan kepala daerah. Penafsiran sistematis digunakan karena Pasal 35
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tidak dapat dilepaskaitkan dengan pasal-pasal
sebelumya mulai Pasal 29 Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang mengatur alasan dan
prosedur pemberhentian serta pergantian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Sementara tafsiran analogi digunakan karena terjadi keadaan yang serupa yaitu
kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah akibat Wakil Kepala Daerah menggantikan
Kepala Daerah karena salah satu alasan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.32
Tahun 2004.
Alasan pendukung lainnya yaitu:
1. Demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
2. Adanya pembagian kewenangan secara atributif dan eksplisit antara Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 25 – 26 yaitu tugas
dan wewenang serta kewajiban kepala daerah, sehingga akan terjadi persoalan dari
perspektif hukum administrasi negara;
3. Dalam rangka menjaga kedaruratan berikutnya (yaitu jika terjadi keadaan
berhalangan terhadap kepemimpinan puncak ditubuh pemerintah (eksekutif),
sehingga akan memakan biaya lebih besar karena harus dilakukan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Akankah waktu yang ada tersita hanya dengan
urusan pengisian jabatan pemerintahan, sementara tugas utama untuk layanan
masyarakat menjadi tersita dan terkesampingkan.83
83
8
Umbu Rauta.Pergantian Kepala Daerah Menurut Hukum Tata Negara. Serial online.27 februari 2007. availablefrom:URL.http://beriman-hati.blogspot.com
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Asas demokrasi merupakan dasar dari
Negara Hukum Indonesia dan Hukum Administrasi Indonesia, karena secara substansial
asas demokrasi meletakan dan menjunjung tinggi superioritas kedalautan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintah, artinya dalam memilih seorang wakil kepala daerah untuk
menggantikan kepala daerah campur tangan rakyat sangat diperlukan untuk menghindari
kolusi di kalangan elit politik ,dan tentunya hal ini dapat dilakukan melalui wakil rakyat
yang ada di parlement.
Pandangan Hans Kelsen84, yang menjelaskan bahwa:” Democracy, that all power
should be exercised by one collegiate organ the members of which are elected by the
people and which should be legally responsible to the people ( demokrasi secara
konseptual bahwa semua kekuasaan harus dilaksanakan oleh suatu badan kolegial yang
anggotannya dipilih oleh rakyat dan secara hukum harus bertangung jawab kepada rakyat
).
Seiring dengan pendapat Hans Kelsen Pendapat C.F. Strong tentang esensi
demokrasi sebagai system pemerintahan yang tidak dapat di pisahkan dengan rakyat dan
kedalautan rakyat.
Dijelaskan bahwa:
“ The term democracy,. .is variously used, some times to means a from of government,and some times to cannote a condition of society. . . By democracy in this sense we therefore mean a system of government in which the majority of the grown members of political community participate trough a method of representation which secures the government is ultimately responsible for ist action to that majority. In other words, the words, thecontemporary constitutional state must be based on a system of democratic representation which guarantes the sovereignty of the people”.85
84
8
.Hans Kelsen, General Theory Of Law State, Russell&Russell, New York, 1961, h.282
85
8
C.F Strong, Modern Political Constitution An Introduction To The Comparative Study of Their History And Existing, Soddgwiick & Jacktos Limited,London Revised Edition,1952.h.11
Apa yang dijelaskan ini menunjukan konstitusi negara modern system
pemerintahan tentu termasuk pemerintahan daerahnya, memilki badan perwakilan rakyat
yang merupakan pencerminan dijaminnya “ kedalautan rakyat”. Pada negara hukum yang
demokratis (democratische rechtsstaat), tidak ada jabatan ataupun pemangku jabatan
yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan
suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkannya atau bahwa pelaksanaan
kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol, karena dalam kontrol itu
sendiri terkandung asas pertanggungjawaban. Pengawasan ini menjadi aspek yang sangat
penting bagi berjalannya pemerintahan. Pemerintahan yang baik hanya bisa tercipta
dengan jajaran pejabat pemerintah yang baik pula. Jabatan yang lebih luar biasa lagi tentu
saja dimiliki oleh kepala daerah. Sesuatu yang menjadi idealisasi dari hukum administrasi
negara adalah terciptanya pemerintahan yang memegang teguh pada asas-asas umum
pemerintahan yang baik, sehingga gagasan mengenai pemerintahan yang baik dan bersih
(clean and good governance) dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Dimungkinkannya kepala daerah dan/atau
Wakil kepala daerah diberhentikan dalam masa jabatannya merupakan bentuk mekanisme
kontrol hukum atas akuntabilitas publik dari pejabat publik86. Tiap jabatan yang secara
langsung dipertanggungjawabkan kepada publik dan semestinya berada dibawah
pengawasan langsung dari publik, maka pengisian jabatannya senantiasa memerlukan
keikutsertaan ataupun pengukuhan publik.
Dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 berdasarkan kebijakan politik yang
mengarah kepada prinsip kesetaraan antara pemerintah dengan pemerintah daerah,
86
8
Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005.hal.25
maupun dalam pemerintahan daerah itu sendiri, sebagai suatu system pemerintahan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem kesetaraan ini mengandung makna
bahwa penyelenggaraan pemerintahan khususnya dipemerintahan daerah, antara kepala
daerah dengan DPRD memiliki kewenangan masing-masing adalah sarana kontrol yang
seimbang dan sinergis yang bersifat checks and balances sehingga dapat dihindari
adanya pemusatan kekuasaan dan kewenangan yang pada akhirnya menjurus kepada
penyalahgunaan wewenang dan penyalahgunaan kekuasaan. Disinilah prinsip-prinsip
dalam system pemerintahan daerah, hal mana masyarakat ikut serta dalam mengawasi
kegiatan kinerja pemerintahan melalui kelembagaan DPRD.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat simpulkan sebagai berikut :
1.Implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian Kepala daerah, yang menyebabkan
seorang kepala daerah diberhentikan dalam masa jabatannya, tentunya tidak terlepas
dari kewenangan yang dimiliki DPRD yang diatur dalam Undang-undang 32 Tahun
2004 pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala
daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi
DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD
kabupaten / kota” kewenangan yang diberi undang-undang, tentunya berdampak pada
pemberhentian kepala daerah. Berdasarkan isi pasal tersebut, bahwa usulan untuk
memberhentikan kepala daerah diputuskan lagi dalam rapat paripurna. DPRD dalam
pasal 43 Undang-undang No.32 Tahun 2004 telah diatur mengenai hak DPRD yaitu :
Interpelasi; Hak angket; Menyatakan pendapat .
Dalam menanggapi usulan pemberhentian Kepala Daerah tersebut DPRD
menggunakan hak angket yang dilakukan setelah diajukan hak interpelasi untuk
mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya
3/4 dari jumlah anggota DPRD dan persetujuan diambil sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPRD yang hadir.
Sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan di daerah, DPRD juga mempunyai
fungsi legislasi,anggaran dan pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan DPRD
Secara khusus tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 24 ayat
1C, Pengawasan ini bertujuan mengembangkan kehidupan demokrasi menjamin
keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta
mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan
eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden
berdasarkan putusan Makamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak
melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dalam pengambilan keputusan rapat paripurna DPRD untuk mengusulkan
pemberhentian Kepala Daerah dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota DPRD dan
diambil persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota DPRD, artinya keputusan
untuk mengusulkan pemberhentian Kepala daerah harus disetujui 2/3 dari anggota
DPRD , tentunya hal ini dapat menimbulkan persoalan sebab tanpa dihadiri 3/4 dari
anggota DPRD serta tidak disetujui oleh 2/3 dari anggota DPRD maka putusan tersebut
tidak bisa dilaksanakan sementara Kepala Daerah jelas-jelas telah melanggar sumpah
dan janji jabatannya. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang 32 Tahun 2004
juga, bahwa Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
DPRD, berdasarkan ketentuan ini Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau
tidak melaksanakan kewajiban, Putusan Mahkamah Agung ini diserahkan lagi kepada
DPRD untuk menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang
hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah kepada Presiden. Ketentuan ini menunjukan bahwa keputusan Mahkamah
Agung tidak bisa dijalankan apabila tidak disetujui 2/3 anggota DPRD, sebab bisa saja
dalam perjalanan rapat paripurna anggota DPRD terjadi perubahan politik. Dimana
dalam putusan Mahakamah Agung supremasi hukum lebih di junjung sebab Negara
Indonesia adalah Negara hukum, sementara dilain pihak juga dikalangan anggota
DPRD lebih mengutamakan supremasi politik, yang lebih mengutamakan kepentingan
fraksinya yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta dijalankan
begitu saja.
Dalam menanggapi usulan DPRD presiden wajib memperoses usulan
pemberhentian kepala daerah tersebut, atau melakukan pemberhentian sementara
terhadap kepala daerah, sementara secara hukum pemberhentian sementara kepala
daerah merupakan tindakan yang melanggar asas kepastian hukum , sebab tidak adil
dan demokratis seorang yang belum ada kepastian hukum (inkrach van gewijh) tetapi
sudah diusulkan untuk di skorsing (pemberhentian sementara)
2. Akibat hukum terhadap pemberhentian kepala daerah, adalah terjadinya kekosongan
jabatan kepala daerah, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
pasal 35 ayat (1) Undang-undang 32 tahun 2004, dimana jabatan kepala daerah
diaganti oleh wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan
disahkan oleh Presiden. Prihal rapat paripurna DPRD untuk melantik wakil kepala
daerah tentunya membutuhkan waktu yang tidak singkat, artinya dalam proses tersebut
telah terjadi kekosongan jabatan kepala daerah ,dalam konsep negara hukum
kekosongan jabatan tidak boleh terjadi, karena hal ini menyangkut dengan asas tertib
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat,untuk
menjaga kesinambungan dan keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan,oleh karena ada beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling)
yang hanya dilakukan dalam kapasitas sebagai kepala daerah, seperti pengesahan
Peraturan daerah dan Peraturan kepala daerah.
Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah yang diberhentikan diganti oleh wakil
kepala daerah namun yang perlu dikaji dalam hal ini adalah proses pengisian jabatan
tersebut mengingat dalam konteks asas -asas umum pemeriatahan yang baik (AAUPB)
penyelenggaraan pemerintahan lebih mementingkan kepentingan umum, demikian
juga dalam konsep negara hukum artinya segala tindakan harus berdasarkan hukum.
Dalam pasal 35 Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur prihal prosedur
pengisian jabatan kepala daerah jika kepala daerah diberhentikaan apabila mengalami
krisis kepercayaan publik. Dalam Pasal 24 (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, Wakil kepala daerah membantu kepala daerah
menjalankan dan memimpin pemerintahan daerah (pemda). Wakil kepala daerah
dalam peraturan ini memang sifatnya hanya membantu kepala daerah melaksanakan
tugas tertentu dan menggantikan kepala daerah jika berhalangan. Namun, patut
diperhatikan juga keberadaan wakil kepala daerah merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, yaitu dipilih secara berpasangan oleh rakyat dan secara bersamaan
memimpin pemerintahan daerah sesuai perintah Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004.
B. Saran- Saran
1. Hendaknya dalam hal Pemberhentian Kepala Daerah seharusnya yang diutamakan
adalah supremasi hukum.
2. Pengambilan keputusan rapat paripurna DPRD terhadap pemberhentian Kepala
Daerah, harus mematuhi mekanisme hukum yang berlaku.
3. Hendaknya putusan Mahkamah Agung harus menjadi acuan terhadap
pemberhentian Kepala Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
Alkostar ,Artidjo , 2005, Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
Budiarjo,Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Garmedia, Jakarta.1988.
Cambell, Black Hery,Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, West Publishing Co,1997.
Diokdjo Sisworo, Soedjono, Pengantar ilmu Hukum, Rajawali Press, Jakarta.1986.
Wade. E.C.S. dan G, GOgfrey. Constitutional Law: An Outline of law and Practise of the Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and State and Administrative Law, Edition,Longman,London.1965
G.Sudargo., Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung Alumni, 1983
Gilles, Paquet, “Paradigms Of Governance” Canadian Center For Managemen Development, Rethinking Governance, The Dewar Series : Perspektive On Publik Management 1994.
G.H.Addink Dalam Siswanto Sunarno,Reader,Principles of Good Governance,2005 Hadjon, Philipus M,dkk, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara (Introduction To The
Indonesian Administration Law),cet. I Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997.
Hadjon, Philipus M. Tentang Wewenang, Dalam Yuridis, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September -Desember 1997.
Hoessei, Benyamin, Berbagai Faktor yang Mempenagruhi Besarnya Otonmi Daerah di Tingkat II Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Jakarta. Program PPS Universitas Indonesia,1993.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradailan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Pustaka Sianar Harapan Jakarta.2004.
Ismail, Sunny,. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif( suatu penyelidikan Dalam Hukum Tata Negara). Aksara Baru, Jakarta,1983.
Kantaprawira Rusai, Pengaruh Pemilihan Umum Terhadap Prilaku Politik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia : Dimensi Budaya Politik Dan Budaya Hukum. Disertasi Pascasarajana Unpad, Bandung,1992.
Kaloh, J, kepala Daerah; Pola kegiatan dan prilaku kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, PT Garamedia Pustaka Utama.Jakarta .2003.
Kelsen ,Hans, General Theory Of Law State, Russell&Russell, New York, 1961.
Manan ,Bagir , perjalanan historis pasal 18 UUD 1945. Unsika Karawang 1993.
------------------, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat studi Hukum ( PSH) fakultas Hukum UII Yogyakarta,2001.
Manan, Bagir , Restrukturisasi Badan Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 239, Jakarta.2005.
Manan, Bagir,1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, makalah Ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana Unpad Bandung.
Muschab, Mashuri, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945. Bina Aksara Jakarta 1981.
Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta : Liberty,1981.
Mahfud MD, Moh, ketika Gudang Kehabisan Teori Ekonomi” dalam pemerintahan yang bersih,UII Press, Yogyakarta,2000.
------------------ Oligarki Politik Hambat Supremasi Hukum.Serial Online 11 februari 2010 available From:URL:http://www.sinarharapan.co.id.
Mayo, Hendry B. An Introduction To Democratic Theory.Oxford Univesity Press,New York.1960.
M.Musri Nauli. Kekosongan Kekuasaan (Rechtvacuum) Serial online.16 Juli 2010. availablefrom:URL.http://www.jambiekspres.co.id
Nisjar S, Karhi, Beberapa catatan tentang Good Governance, Dalam jurnalAdministrasi dan Pembangunan , Vol.1 No.2, PERSADI LP3ES, Jakarta 1997.
Noer, Deliar . Pengantar Pemikiran Politik, Rajawali, Cet. Ke-1 .Jakarta.1983
Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com
Sarundjang, Arus Balik Kekuasaan Kedaerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1998.
Syarifudin Ateng , Dalam Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif Eksekutif dalam Rangka pelaksanaan otonomi Daerah. Alqaprint Jatinangor Sumedang,2002.
Samego Indria ,Masalah Good Govermance di Dalam Sistem Pemerintahan Daerah, Jurnal demokrasi & HAM vol 2.NO.2, Juni- September 2002.
Soemantri ,Sri M.2001. Konseprualitas Dasar-Dasar Konstitusi Bagi Demokrasi Bagi Demokrasi Yang Berlanjut. Dalam Laporan Konfrensi : Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Di Indonesia. IDEA Kumpulan Makalah.
Suswono ,Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Utama, Jakarta.1997.
Smith ,B.C., Decentralization ( the territorial dimension Of the state),George Allan & Onwin Ltd, London WCIA ILU UK,1985.
Strong ,C.F , Modern Political Constitution An Introduction To The Comparative Study of Their History And Existing, Soddgwiick & Jacktos Limited,London Revised Edition,1952.
Soedjito, Irawan , Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah, Bina Aksara, Jakarta,1981.
Soekanto ,Soerjono , Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1984.
Sukahman ,Wirnano , Pengantar Penelitian ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tarsito Bandung. 1985.
Smith, dalam Johanes Fernandes,Dari Otonomi Ke Integrasi. JIIS UI,Jakarta, 1992.
Sunarno, Siswanto Sunarno,Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia.Sinar Grafika.Jakarta.2005.
Sadjino. Fungsi kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, LaKsBang PRESSindo, Yogyakarata,2005.
Syueb ,Sudono .Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi.laksbang Mediatama,Surabaya.2008.
Soehino, Ilmu Negara,Liberty, Yogyakarta, 1980
Suwandi,Made ,dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah.Jakarta.2005.
Waren ,J.H., The local Government service, George Allen & Onwin Ltd, Museum Street, London,1952.
Wasistiono ,Sadu, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,ed.II, Fokus Media ,Bandung,2002.
----------------Meningkatkan Kinerja Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD).FokusMedia.Bandung.2009.
Wardani, Kunthi Dyah , Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2007.
Stoner dan Freman Dalam Sadu Wasistiono.Meningkatkan Kinerja Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). FokusMedia.Bandung.2009
Shimon Shetreet, 1995, Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Faizal,Andy.Dipecat DPRD, Bupati Menghilang. Serial Online 22 januari2009,availablefrom:URL:http:/www.nersandy.blogspot.com.html
Regerio, Pinto,F, Profecting The Governance Aproach To Civil Servisce Rewform An Intitusional Enveriroment Assesment For Freparing a Sectoral Adjusment Loans at The Gambia, Word Bank Disccusion Paper, Africa Technical Departement series.
Umbu Rauta. Pergantian Kepala Daerah Menurut Hukum Tata Negara. Serialonline.27februari2007.availablefrom:URL.http://beriman-hati.blogspot.com
Yudho,Winarno.dkk (tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi),
Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (laporan penelitian), Jakarta, 2005.
Zairin Harahap. Korupsi APBD Purworejo: Serial online.4 Juni 2009 availablefrom:URL.http://infokorupsi.com
Hasil penelitian lapangan dengan mengambil studi kasus di DPRD Propinsi Sumatera Selatan dan DPRD Propinsi Sulawesi Utara. Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Politik Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat email: [email protected]. 2 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008
Pemberhentian sementara vs presumption of innocent hhtp : // www . Mahkamah konstitusi .go.id.
Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005.
Departemen dalam Negeri RI “ Politik Lokal/Nasional, Kepemimpinan dan Good Govenance” Makalah pada saat rapat Konsulidasi Pemerintahan dalam negeri 4 september 2001.
Rapat Paripurna DPRD Kebumen Diboikot Tiga Fraksi.Serial online 30 Juli 2010 availablefrom:URL.http://purwekertonews.com
UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN,PENGESAHAN,PENGANKATAN DAN PEMBERHETIAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH . (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4480)
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 92)
UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUSAAN KEHAKIMAN. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5076)
UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN- KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG MAHKAMAH AGUNG.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4359)
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH KEPADA PEMERINTAH.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 19)
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DPRD. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomo 4417)
CONTOH - CONTOH KASUS PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH
Rapat Paripurna DPRD Kebumen Diboikot Tiga Fraksi
Rapat Paripurna DPRD Kebumen beragendakan Usulan Pemberhentian Bupati dan Wakil
Bupati Kebumen Periode 2005 – 2010, gagal menghasilkan keputusan akibat tak
mencapai kuorum dan diboikot oleh 3 fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi
Partai Kebangkitan Bangsa (FKB) dan Fraksi Partai Golkar (FPG), Senin (5/7). Rapat
tersebut hanya dibuka dan ditutup lagi oleh Ketua DPRD Kebumen, Ir Budi Hianto.
Menurut Kasubag Humas DPRD Kebumen, Titi Widagni, berdasarkan Tata Tertib DPRD
Kebumen, Rapat Paripurna semacam itu harus dihadiri oleh minimal tiga perempat dari
jumlah anggota atau 38 orang. Sampai rapat ditutup, anggota yang hadir hanya hanya 29
orang, maka rapatpun dinyatakan tak mencapai kuorum dan harus ditunda sampai tiga
hari berikutnya atau menunggu keputusan Banmus DPRD Kebumen.
“Rapat ini sebenarnya agenda kelembagaan DPRD yang memang sudah sesuai dengan
mekanisme perundang-undangan, yaitu 2 minggu sebelum jabatan bupati dan wakil
bupati habis DPRD harus sudah mulai mempersiapkan proses pemberhentiannya. Rapat
ini benar-benar bukan agenda politik untuk mendiskreditkan seseorang, jadi
seharusnyalah anggota ketiga fraksi itu menyadari aturan itu dan hadir di sini,” ujar Wakil
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kebumen, Tatag Sujoko di Aula DPRD Kebumen.
Sedangkan Ketua FKB DPRD Kebumen, Ir Sri Harry Susanto MM, ketika dihubungi
menyatakan bahwa boikot ketiga fraksi terhadap Rapat Paripurna tersebut memang sudah
kesepakatan ketiga fraksi yang berasal dari 3 partai pengusung pasangan calon bupati –
wakil bupati (cabup-cawabup) dalam Pemilukada 2010 Kebumen, KH M Nashirudin AM
– H Probo Indartono SE Msi.
Alasan ketiga fraksi memboikot agenda tersebut menurut Sri Harry Susanti disebabkan
usulan mereka agar DPRD Kebumen membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) Kebumen telah ditolak mentah-mentah oleh Ketua DPRD
Kebumen. Usulan pembentukan Pansus Pilkada itu dilatarbelakangi oleh keprihatinan
terhadap banyaknya pelanggaran dalam Pemilukada 2010 Kebumen lalu, sehingga DPRD
sebagai lembaga pengawas terhadap penggunaan dana APBD berhak untuk melakukan
pengkajian terhadap pelaksanaan Pemilukada 2010 Kebumen.
“Berdasarkan Tata Tertib DPRD Kebumen, anggota DPRD Kebumen berhak
mengusulkan pembentukan pansus. Bukankah Pemilukada 2010 Kebumen menggunakan
dana APBD 2010 Kebumen, sehingga sangat wajar bila DPRD Kebumen
mempertanyakan pelaksanaan Pemilukada. Sebagai lembaga yang berhak melakukan
pengawasan terhadap APBD, kami pun berhak mengawasi Pemilukada,” ujar Sri Harry
Susanti.
Sri Harry Susanti mengakui bila penolakan pembentukan Pansus Pillkada itu benar-benar
mengecewakan para anggota 3 fraksi tersebut, sehingga mereka pun sepakat untuk
memboikot Rapat Paripurna yang digelar Senin (5/7) itu.
Jalan Panjang Pemberhentian Kepala Daerah
Oleh Otong Rosadi
Akhirnya, setelah berminggu-minggu Garut diingarbingarkan dengan unjuk rasa
berbagai elemen masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan
Bupati Garut Agus Supriadi sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana
korupsi APBD Garut, Kamis (26/7). Sebelumnya DPRD Garut telah
menyampaikan hasil dari Panitia Hak Angket dan rekomendasi DPRD Garut ke
Mahkamah Agung perihal usulan pemberhentian Bupati untuk diperiksa lebih
lanjut oleh MA.
Partai Golkar Garut bersikap dengan "memecat" Agus Supriadi dari
kepengurusan partai. Sejumlah partai, ormas, dan elemen masyarakat juga
meminta Bupati Garut mundur dari jabatannya.
Kasus Bupati Garut ini menarik untuk ditelaah dari sudut hukum tata negara.
Bagaimana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur pemberhentian
kepala daerah? Mengapa pula mekanisme penyelesaian kasus ini terkesan rumit,
panjang, dan berliku.
Kasus ini berawal dari pengaduan sejumlah kasus dugaan korupsi di Kabupaten
Garut. KPK menemukan bukti kuat dugaan kasus tindak pidana korupsi di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut, termasuk dugaan keterlibatan Bupati.
Pemeriksaan KPK ini mendorong pengunduran diri beberapa pejabat teras
Pemkab Garut dengan alasan untuk memudahkan pengusutan dugaan korupsi.
Dari sinilah "Bupati Garut Gate" bermula.
Kisah pun bergulir cepat. Beberapa pejabat mundur dari jabatannya (24 Juni
2007). Massa dari berbagai lapisan masyarakat menyatu dalam gelombang unjuk
rasa. Unjuk rasa pun mengarah pada Bupati. Bupati dipandang harus
bertanggung jawab atas dugaan korupsi dan atas kinerja buruknya memimpin
Garut.
Gayung bersambut. Pada 27 Juni 2007 rapat pimpinan DPRD membentuk Panitia
Khusus Hak Angket DPRD. Pansus Hak Angket DPRD Garut menghasilkan
rekomendasi. Rekomendasi itu berisi usulan pemberhentian sementara Bupati
dari jabatannya pada 11 Juli 2007. Rekomendasi ini lalu disampaikan ke MA
untuk mendapat putusan. UU No 32/2004
Berbeda dengan UU No 22/1999 yang mengatur pertanggungjawaban kepala
daerah kepada DPRD yang dapat membawa implikasi pada usulan
pemberhentian kepala daerah, UU No 32/2004 tidak mengatur
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang berimplikasi pada
pemberhentian kepala daerah. Meski demikian, UU No 32/2004 juncto PP No
6/2005 mengatur perihal pemberhentian kepala daerah dengan empat model.
Pertama, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada
Presiden apabila dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, dan tidak
melaksanakan kewajibannya sebagai kepala daerah (Pasal 123 PP No 6/2005).
Prosedurnya dimulai dengan adanya pendapat DPRD bahwa kepala daerah
dinyatakan melanggar sumpah atau janji dan atau tidak melaksanakan
kewajiban kepala daerah.
Pendapat DPRD tersebut diputuskan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri
sekurang-kurangnya tiga perempat jumlah anggota DPRD, dan putusan diambil
dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPRD yang
hadir.
Pendapat DPRD hasil rapat paripurna itu diajukan kepada MA untuk diputuskan.
MA wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRD paling
lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima MA, dan putusannya
bersifat final. Apabila MA memutuskan kepala daerah terbukti melanggar
sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan kewajibannya, DPRD
menyelenggarakan kembali rapat paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya
tiga perempat jumlah anggota DPRD, dan putusan diambil dengan persetujuan
sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPRD yang hadir.
Pemberhentian kepala daerah yang terbukti melanggar sumpah/janji dan atau
tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah diusulkan DPRD kepada Presiden,
dan Presiden wajib memproses usul DPRD tersebut paling lambat 30 hari sejak
DPRD menyampaikan usul tersebut.
Dugaan kepala daerah melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan
kewajibannya sebenarnya merupakan masalah hukum yang memerlukan
pembuktian hukum terlebih dahulu. Namun, UU No 32/2004 mengatur
pengecualian tidak ditempuh melalui pengadilan negeri, pengadilan tinggi,
tetapi langsung ke MA. Proses pemberhentian kepala daerah, menurut UU No
32/2004, lama, berbelit, dan agak sulit dilaksanakan.
Bisa saja putusan MA yang menyatakan benar bahwa kepala daerah melanggar
sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajibannya tidak dilanjutkan oleh
DPRD karena terjadi perubahan politik di DPRD. Anggota DPRD tidak lagi
berpandangan bahwa kepala daerah melanggar sumpah/janji dan atau tidak
melaksanakan kewajiban kepala daerah. Sebab, setelah putusan MA
disampaikan ke DPRD, DPRD akan melaksanakan paripurna kembali untuk
memutuskan pendapat tersebut. Bila tidak didukung dua pertiga anggota DPRD,
putusan MA tidak bermakna.
Model kedua, apabila memunculkan krisis kepercayaan publik kepada kepala
daerah (Pasal 128 PP No 6/2005), krisis terus berlanjut dan menimbulkan
ketidakstabilan pemerintahan dan pembangunan, DPRD dapat menggunakan
hak angket sebagai kelanjutan dari hak interpelasi untuk menyikapinya. Jika
melalui mekanisme hak angket DPRD berpandangan bahwa kepala daerah
melakukan tindak pidana yang melibatkan tanggung jawabnya, DPRD
menyerahkan proses penyelesaiannya kepada penegak hukum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jika pengadilan memutuskan kepala daerah melakukan tindak pidana, dengan
ancaman pidana penjara paling sedikit lima tahun atau lebih, sekalipun belum
merupakan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, DPRD dapat
mengusulkan "pemberhentian sementara" kepala daerah kepada Presiden.
Presiden memberhentikan sementara kepala daerah berdasarkan usulan DPRD
tersebut.
Apabila terbukti bersalah melalui keputusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, DPRD mengusulkan pemberhentian kepala daerah
kepada Presiden dan Presiden memberhentikan kepala daerah bersangkutan.
Pada model ketiga dan keempat, kepala daerah diberhentikan oleh Presiden
tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau
lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (Pasal 125 PP No 6/2005).
Model ini diawali "pemberhentian sementara" apabila pengadilan telah
memutuskan bahwa kepala daerah terbukti melakukan tindak pidana. Presiden
memproses pemberhentian sementara gubernur atas usulan Menteri Dalam
Negeri. Adapun Mendagri memproses pemberhentian sementara bupati/wali
kota atas usulan gubernur.
Dalam model keempat, kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
terorisme, makar, dan atau tindak pidana terhadap keamanan negara yang
dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (Pasal 127 PP No 6/2005). Model keempat ini diawali dengan
"pemberhentian sementara" apabila berkas perkara telah dilimpahkan ke
pengadilan dan dalam proses penuntutan dengan dibuktikan register perkara.
Kembali ke hukum
Berdasarkan pemberitaan media massa, dalam kasus Bupati Garut, proses
pemberhentian dilakukan dengan menggunakan campuran model pertama dan
kedua. Dari dugaan korupsi muncul krisis kepercayaan publik, lalu DPRD
membentuk panitia untuk menjalankan hak angket. Hasil rekomendasi hak
angket DPRD yang seharusnya diserahkan kepada penegak hukum (KPK atau
jaksa dan kemudian pengadilan) untuk diperiksa lebih lanjut justru diserahkan
ke MA. Padahal, campur tangan MA hanya untuk model pertama, bukan untuk
model kedua.
KPK "bertindak cepat" dengan memeriksa Bupati Garut dan menetapkannya
sebagai tersangka. Artinya, KPK kemudian mendorong proses "Bupati Garut
Gate" menuju pada pilihan model keempat. Langkah KPK ini diharapkan dapat
sementara waktu meredakan gelombang unjuk rasa di Garut dan
memindahkannya kepada prosedur hukum yang semestinya (due process of
law).
Model keempat ini lebih tepat dipilih asal tetap berjalan sesuai prosedur yang
benar, termasuk keharusan meminta persetujuan tertulis dari Presiden sesuai
ketentuan Pasal 133 PP No 106/2005.
Sebab, bagaimanapun prosedur penegakan hukum yang benar merupakan
prasyarat bagi penegakan hukum yang berkepastian dan mendekati rasa
keadilan. Semoga. OTONG ROSADI Dosen Fakultas Hukum Universitas Ekasakti
Padang; Berdomisili di Pamanukan, Subang
Mendagri Pecat Bupati Pelalawan
"SK pemberhentian Bupati Pelalawan sudah diterima oleh Pemerintah Provinsi Riau,"
kata Kepala Biro Tata Pemerintahan Setdaprov Riau Alimudin di Pekanbaru, Jumat (4/9).
SK bernomor 131.14-590/2009.
Ia menyebutkan, SK tersebut berisi tentang pengesahan pemberhentian Bupati Pelalawan
dan pengesahan pengangkatan Wakil Bupati Pelalawan, Rustam Effendi sebagai bupati
menggantikan Tengku Azmun Jaafar. Ia juga menambahkan bahwa pelantikan Rustam
Effendi sebagai Wakil Bupati Pelalawan akan digelar dalam waktu dekat melalui rapat
paripurna istimewa DPRD Kabupaten Pelalawan.
Sementara itu, pemberhentian Tengku Azmun Jaafar sebagai Bupati Pelalawan dilakukan
menyusul Keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor 736/k/pid.sus/2009 tanggal 3
Agustus 2009 yang menyatakan Tengku Azmun Jaafar terbukti bersalah melakukan
tindak pidana korupsi dan divonis 11 tahun penjara. Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT)
DKI Jakarta memvonis mantan Bupati Pelalawan tersebut dengan 16 tahun penjara.
Sedangkan di pengadilan tingkat pertama, mantan Bupati Pelalawan divonis 11 tahun
penjara.
Majelis hakim menyatakan Azmun bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam
penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)
kepada 15 perusahaan kehutanan di Pelalawan, sehingga merugikan negara Rp 1,2 triliun.
Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan
pembayaran uang pengganti Rp 12,3 miliar.
Azmun dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan
UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Dalam
pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Azmun dengan sengaja menerbitkan
IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan dalam kurun waktu Desember 2002 sampai Januari
2003, padahal mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan itu tidak kompeten dalam
bidang kehutanan. [*/sss]
Oleh:M. Musri Nauli *
PERSETERUAN antara Yusril Ihza Mahendra dengan Jaksa Agung dimulai dalam kasus
korupsi Sisminbakum. Kasus Sisminbakum telah menetapkan tersangka terhadap Prof.
Romli Atmasasmita dan pejabat penting lainnya di Depkumham. Prof. Romi Atmasasmita
kemudian telah menjalani proses hukum dan dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut.
Saat pemeriksaan proses hukum terhadap para tersangka, sebagian kalangan menyesalkan
terhadap proses hukum tersebut. Adanya kecurigaan “rekayasa” kasus ini tidak terlepas
dari “seringnya” Prof. Romli mengkritisi kebijakan negara dalam persoalan hukum
pidana.
Pernyataan ini yang kemudian dianggap sebagai salah satu alasan kemudian kasus ini
mengemuka di permukaan. Terlepas dari pernyataan bahwa kasus ini tidak berdimensi
politik, namun bacaan publik tidak serta merta dapat dimentahkan dengan pernyataan
tersebut.
Persidangan terhadap Prof. Romli kemudian menyeret Yusril Ihza Mahendra. Perseteruan
antara Prof. Romli dengan kejaksaan Agung kemudian melebar antara Yusril dengan
Kejaksaan Agung. Apabila sebelumnya Prof. Romli “mempersoalkan” tentang rekayasa
kasus, bukti-bukti yang tidak kuat, namun disaat ketika perseteruan dengan Yusril, Yusril
kemudian mempersoalkan keabsahan Jaksa Agung.
Kekosongan Kekuasaan (Rechtvacuum)
Sebelum diperiksa sebagai tersangka, Yusril mengeluarkan “jurus ampuh” dengan
menyatakan Jaksa Agung illegal. Jurus ampuh ini ternyata efektif. Dunia Politik geger.
Perdebatan dalam ilmu hukum membuat banyak pihak tersentak. Wacana tentang tidak
diangkatnya Hendarman Supandi sebagai Jaksa Agung pada Kabinet Indonesia Bersatu
periode II menimbulkan persoalan yang serius dalam lapangan hukum ketatanegaraan.
Dalam ilmu hukum biasa dikenal sebagai kekosongan kekuasaan (rechtvacuum).
Kekosongan hukum ini sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan melawan negara (coup
de etaat).
Peristiwa ini pernah terjadi. Saat menjelang Pemilu 2009, Presiden SBY ke luar negeri
dalam lawatan resmi ketatanegaraan. Wapres Jusuf Kalla yang menggantikan Presiden ad
interm berada di Aceh dalam kampanye Partai. Jakarta Kosong selama 48 jam. Kalangan
akademisipun teriak. Dan kemudian akibat dari “kelalaian” sehingga Jusuf Kalla
kemudian segera pulang ke Jakarta sehingga tidak dapat digunakan kaum pemberontak
menguasai negara (coup de etaat).
Peristiwa lain tentang Kekosongan kekuasaan (rechtvacuum) tidak terjadi dalam
peristiwa dicopotnya Komandan Kopassus menjelang kejatuhan orde baru. Sebelum
ditetapkan Komandan Kopassus tetap, pengganti sementara Komandan Kopassus
menjabat selama 16 jam. Dan setelah 16 jam, barulah ditetapkan Komandan Kopassus
tetap.
Begitu juga saat Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda pasca agresi II. Sebelum
ditangkap, Soekarno dan Hatta kemudian memberikan kewenangan Presiden kepada
Syafruddin Prawiranegara yang saat itu sedang berada di Bukit tinggi. Surat resmi
melalui kawat diterima oleh Syafruddin Prawiranegara dan kemudian Syafruddin
Prawiranegara menyatakan memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Bukittinggi.
Hubungan diplomatikpun berjalan.
Mesir dan berbagai negara-negara lain tetap membangun komunikasi ketatanegaraan
dengan Pemerintahan Syafruddin Prawiranegara walaupun Soekarno dan Hatta ditawan
oleh Belanda.
Sehingga kampanya Belanda yang menyatakan bahwa kekusaaan Indonesia telah jatuh
dengan ditangkapnya Presiden dan wakil Presiden, terbantahkan dengan mandat yang
diterima Syafruddin Prawiranegara. Sehingga dalam diplomasi internasional, kampanya
Belanda kemudian ditertawakan oleh dunia internasional. Dan salah satu peristiwa
penting yang membuat Indonesia tetap diakui sebagai negara yang berdaulat dan
membuat Belanda kemudian hengkang dari Indonesia 30 Desember 1949.
Beberapa peristiwa penting disampaikan penulis, sekadar gambaran, bagaimana
pentingnya tidak dibenarkan adanya kekosongan kekuasaan (rechvacuum). Dalam
diskursus hukum ketatanegaraan, tidak dibenarkan kekuasaan kosong walau sedetikpun.
PERGANTIAN KEPALA DAERAH MENURUT HUKUM TATA NEGARA
(Kasus Meninggalnya Walikota Salatiga)
Oleh : Umbu Rauta, SH.MH.
Belum genap setahun menjabat sebagai Walikota, tanggal 9 Februari 2007, warga
Salatiga telah berduka dengan meninggalnya Walikota H. Totok Mintarto. Sosok
Walikota tersebut cukup terkesan di hati warga karena figur kedekatan dengan semua
lapisan masyarakat yang terdiri dari berbagai latarbelakang dan aliran. Pasca
meninggalnya Walikota, terjadi kekosongan jabatan Walikota, yang secara yuridis patut
dilakukan pengisian jabatan lewat peristiwa pergantian. Saat ini, meski agak “malu-malu
kucing”, suhu perpolitikan di Kota Hatti Beriman mulai hangat seputar percakapan
tentang pergantian jabatan Walikota. Setidaknya agenda perbincangan memusat pada (a)
siapa dan bagaimana prosedur pengisian jabatan Walikota; dan (b) wajibkah jabatan
Wakil Walikota dilakukan pengisian apabila Wakil Walikota John Manoppo dikukuhkan
menjadi Walikota. Terhadap keadaan yang terjadi di Salatiga, dapat disoroti dari
perspektif Hukum Tata Negara, terutama perangkat perundang-undangan yang mengatur
perihal pemberhentian dan pergantian jabatan Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala
Daerah (WKDH).
Perihal Pemberhentian & Pergantian Jabatan
Dalam Pasal 29 – 35 UU No. 32 Tahun 2004 (telah diubah dengan UU No. 8 Tahun
2005) maupun Pasal 123 – 133 PP No. 6 Tahun 2005, telah diatur beberapa alasan
pemberhentian KDH dan atau WKDH, yaitu meninggal dunia, permintaan sendiri, dan
diberhentikan. Fakta di Salatiga yaitu Walikota meninggal dunia, sehingga beralasan
untuk dilakukan pemberhentian dan pergantian jabatan. Selanjutnya, apabila terjadi
pemberhentian KDH karena meninggal dunia, permintaan sendiri, diberhentikan, maka
Wakil KDH menggantikan KDH sampai habis masa jabatannya. Pergantian KDH
dilakukan melalui usulan pengesahan pemberhentian & pergantian KDH oleh DPRD ke
Presiden. Beranjak dari ketentuan tersebut, Wakil Walikota “diperintahkan” mengganti
Walikota sampai habis masa jabatannya. Perintah ini tidak dapat dielakkan.
Lantas, bagaimana jika Wakil Walikota tidak berkeinginan untuk menggantikan
Walikota? Meski tidak ada sanksi, namun semangat dari ketentuan di atas yaitu (a)
menjaga kesinambungan atau keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan, oleh karena ada beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling)
yang hanya dilakukan dalam kapasitas sebagai Walikota, seperti pengesahan Perda &
Peraturan Walikota; dan (b) proses seleksi jabatan yang dilakukan secara paket, sekaligus
memungkinkan Wakil Walikota sewaktu-waktu mengemban jabatan sebagai Walikota
jika terjadi keadaan yang tidak memungkinkan Walikota melanjutkan kepemimpinannya.
Agenda pemberhentian Walikota diawali dengan pemberitahuan Pimpinan DPRD untuk
diputus dalam Rapat Paripurna DPRD. Selanjutnya diajukan ke Mendagri melalui
Gubernur Jawa Tengah untuk pengesahan. Sementara agenda pergantian dibahas &
diputus dalam Rapat Paipurna DPRD agar Wakil Walikota diusulkan ke Mendagri
melalui Gubernur Jawa Tengah untuk mengganti Walikota sampai habis masa jabatan.
Meski tidak diatur kapan waktu pemberhentian dan pergantian KDH dan atau WKDH,
namun dengan pertimbangan keberlanjutan dan kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan, DPRD secepatnya menyelenggarakan Rapat Paripurna
dengan agenda pemberhentian & pergantian jabatan Walikota.
Perihal Kekosongan Jabatan Wakil KDH
Dalam Pasal 35 ayat 1 – 2 UU No. 32/2004 mengatur prosedur pengisian jabatan WKDH
jika KDH diberhentikan dengan alasan melakukan tindak pidana & menghadapi krisis
kepercayaan publik. Apabila kekosongan jabatan Wakil KDH masih dalam rentang waktu
lebih dari 18 bulan, KDH mengusulkan 2 orang calon WKDH untuk dipilih oleh Rapat
Paripurna DPRD berdasarkan usul Parpol/gabungan Parpol yang pasangan calonnya
terpilih dalam Pilkadal.
Meski demikian tidak diatur secara eksplisit perihal pengisian jabatan WKDH karena
menggantikan KDH yang meninggal dunia, namun berdasarkan tafsiran sistematis dan
analogi dari UU No. 32/2004 maka kekosongan jabatan Wakil KDH merupakan
kemestian untuk dilakukan pengisian. Penafsiran sistematis digunakan karena Pasal 35
tidak dapat dilepaskaitkan dengan pasal-pasal sebelumya mulai Pasal 29 yang mengatur
alasan dan prosedur pemberhentian serta pergantian KDH dan WKDH. Sementara
tafsiran analogi digunakan karena terjadi keadaan yang serupa yaitu kekosongan jabatan
WKDH akibat WKDH menggantikan KDH karena salah satu alasan dalam Pasal 29 ayat
1.
Alasan pendukung lainnya yaitu (1) demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di Kota Salatiga, (2) adanya pembagian kewenangan secara atributif dan
eksplisit antara KDH dan WKDH sebagaimana diatur dalam Pasal 25 – 26, sehingga akan
terjadi persoalan dari perspektif hukum administrasi negara; (3) dalam rangka menjaga
kedaruratan berikutnya (yaitu jika terjadi keadaan berhalangan terhadap kepemimpinan
puncak ditubuh pemerintah (eksekutif), sehingga akan memakan biaya lebih besar karena
harus dilakukan pemilihan KDH dan WKDH. Akankah waktu yang ada tersita hanya
dengan urusan pengisian jabatan pemerintahan, sementara tugas utama untuk layanan
masyarakat menjadi tersita dan terkesampingkan.
Prosedur Pengisian Jabatan Wakil KDH
Prosedur pengisian jabatan WKDH dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat 2,
dimana basis pencalonan adalah Parpol/Gabungan Parpol yang memenuhi syarat dalam
Pilkadal. Parpol/Gabungan Parpol perlu melakukan penjaringan dan penyaringan bakal
calon Wakil Walikota sesuai mekanisme internal partai maupun kepenuhan terhadap
syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 58. Sumber calon yang akan diajukan
Parpol/Gabungan Parpol ke KDH tidak dilakukan pengaturan secara eksplisit, sehingga
kewenangan ada pada Parpol/Gabungan Parpol. Oleh karenanya, ada 2 alternatif yang
dapat digunakan yaitu : menggunakan hasil penyaringan saat Pilkadal, yaitu calon
WKDH urutan berikutnya (untuk kasus Salatiga adalah calon Wakil Walikota urutan
berikutnya setelah John Manoppo dari gabungan PDIP dan PAN), atau dilakukan
penjaringan & penyaringan baru oleh Parpol/Gabungan Parpol.
Selanjutnya, apakah ada peran dari KDH dalam penjaringan dan penyaringan calon
WKDH yan dilakukan Parpol/Gabungan Parpol? Meski tidak diatur, namun dalam rangka
kerjasama yang bermakna antara KDH dan WKDH, tidak keliru jika dilakukan konsultasi
intensif dengan KDH.
Hasil penyaringan yang telah dilakukan Parpol/Gabungan Parpol diajukan ke KDH untuk
disampaikan ke DPRD. DPRD akan melakukan pemilihan terhadap 2 calon yang
diajukan KDH. Prosedur pemilihan menggunakan ketentuan internal DPRD yaitu
Peraturan Tata Tertib DPRD. Potensi masalah hukum akan terjadi jika calon yang
diajukan Parpol/Gabungan Parpol kurang dari 2 calon (1 calon). Akankah KDH atau
DPRD menolak agar dilakukan proses ulang sampai memperoleh minimal 2 calon?
Meski tidak diatur, dengan pertimbangan kedaruratan pergantian jabatan dan
penghargaan akan peran Parpol/Gabungan Parpol, maka proses tetap dapat dilanjutkan
oleh KDH dan DPRD untuk dilakukan pemilihan.
Catatan Akhir
Apabila DPRD Kota Salatiga telah mengusulkan pengesahan pemberhentian dan pergantian Walikota maupun akan dilakukan pengisian terhadap jabatan Wakil Walikota, demi mewujudkan Kota Salatiga Hatti Beriman, maka beberapa hal berikut patut menjadi perhatian bersama. Pertama, mewujudkan terjadinya perimbangan politik (terutama kesukuan dan keagamaan) dalam jabatan Walikota dan Wakil Walikota. Fakta menunjukan hal semacam ini tak terhindarkan, apalagi memperhatikan persyaratan figur yang berkembang khususnya untuk bakal calon Walikota. Kedua, masyarakat hendaknya mengawasi Parpol/Gabungan Parpol maupun anggota DPRD agar tidak terjadi permainan politik uang yang mencederai semangat dan gerakan pemberantasan korupsi.Ketiga, menghargai dan mendukung hasil dari proses pergantian dan pengisian jabatan yang dilakukan secara jujur dan adil oleh Parpol/Gabungan Parpol, Walikota dan DPRD. Semoga.......
Dipecat DPRD, Bupati HST Menghilang
Kamis, 22 Januari 2009 | 20:00 WITA
BARABAI, KAMIS - Sejak keluarnya keputusan DPRD Kabupaten Hulu Sungai
Tengah (HST) yang mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri RI untuk
memecat Bupati Kabupaten HST, sejak kemarin sore, Bupati Saiful Rasyid
menghilang dan sulit ditemui.
Bahkan bupati yang dijadwalkan memimpin rapat internal pembahasan RAPBD
dari tim eksekutif pun batal hadir. Untuk menggantikan posisi bupati memimpin
rapat digantikan Sekda Igb Dharma Putra. "Bapak belum masuk, mulai sejak
kemarin," kata salah satu Staf Ajudan Bupati HST. (Khairil Rahim)
Pemberhentian Kepala Daerah Berlaku Adagium Ubi Eadem Ratio, Ibi Idem
Jus[Senin, 03 April 2006].
Tidak ada pelanggaran konstitusi ketika Mendagri atas nama Presiden
memberhentiukan Bupati Sarolangun. Pemberhentian sementara itu justeru untuk
memberikan kepastian hukum.
Demikian antara lain pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi ketika memutus
perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah yang diajukan oleh Muhammad Made. Bupati Sarolangun itu merasa hak
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal 31 ayat (1) UU dimaksud beserta
penjelasannya.
Pasal 31 ayat (1) merugikan karena atas dasar itulah Mendagri atas nama Presiden
memberhentikan pemohon untuk sementara dari jabatannya sebagai Bupati Sarolangun,
Jambi. Surat pemberhentian itu dibuat atas permintaan Gubernur Jambi setelah Madel
dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan ponton senilai Rp2,5 miliar.
Dalam permohonananya, tim kuasa hukum Madel menegaskan bahwa pemberhentian
sementara itu tidak memberikan kepastian hukum. Apalagi tidak melalui mekanisme
DPRD. Lebih tegas lagi, melanggar asas praduga tidak bersalah (presumption of
innocence). "Pemberhentian itu justeru menerapkan praduga bersalah. Padahal klien kami
belum tentu terbukti bersalah," ujar Suhardi Somomoeljono, pengacara Madel.
Suhardi menunjuk contoh kasus Akbar Tanjung. Meskipun sudah duduk sebagai terdakwa
dan divonis bersalah di tingkat pertama, Akbar tak kunjung lengser dari kedudukannya
sebagai Ketua DPR. Dalam praktek, pemohon berdalih ada banyak pejabat setingkat
bupati atau gubernur yang tidak diberhentikan sementara meskipun sudah dinyatakan
sebagai tersangka atau terdakwa. Apa yang dialami Madel dianggap sebagai bentuk
diskriminasi hukum.
Namun, dalam persidangan Rabu (29/3) lalu, Mahkamah menolak permohonan pemohon.
Mahkamah menganggap apa yang didalilkan pemohon tidak bertentangan dengan UUD
1945. Pemohon dinilai Mahkamah telah mencampuradukkan antara rezim hukum
administrasi dengan hukum pidana, juga menyamakan dakwaan dengan putusan. Apa
yang dilakukan Mendagri adalah tindakan administratif, bukan suatu putusan pidana.
Putusan pidana hanya ada di tangan hakim di pengadilan tempat pemohon duduk sebagai
terdakwa (sudah divonis �red).
Dalam hubungan dengan pemberhentian sementarai, berlaku adagium yang berbunyi Ubi
eadem ratio, ibi idem jus, pada alasan yang sama berlaku hukum yang sama. Oleh karena
itu, tidaklah tepat apabila pemberhentian sementara terhadap Pemohon dari jabatan
Bupati Sarolangun dikatakan bersifat diskriminatif dengan cara membandingkannya
dengan pejabat publik atau pihak lain dalam kualifikasi yang berbeda dan diatur oleh
undang-undang yang berbeda.
Kasus Akbar Tanjung, misalnya, selaku Ketua DPR RI yang pernah berstatus sebagai
terdakwa di pengadilan, tetapi tidak diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai
Ketua DPR RI, bukanlah merupakan diskriminasi karena tunduk pada undang-undang
yang berbeda dan bukan tergolong pejabat tata usaha negara sebagaimana halnya kepala
daerah. MK menegaskan, benar bahwa dalam pengertian diskriminasi terdapat unsur
perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan
diskriminasi.
Dalil pemohon mengenai adanya pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) juga ditepis Mahkamah. Menurut Mahkamah, berdasarkan ketentuan baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional telah nyata bahwa prinsip atau asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam bidang hukum pidana, khususnya dalam rangka due process of law. Asas tersebut sesungguhnya berkaitan dengan beban pembuktian (burden of proof, bewijslast) di mana kewajiban untuk membuktikan dibebankan kepada negara, c.q. penegak hukum, sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana prinsip pembuktian terbalik (omgekeerde bewijslast) telah dianut sepenuhnya.
GUBERNUR JANGAN DIAMKAN WAKO SIANTAR
Jum'at, 14 Agustus 2009 , 18:11:00JAKARTA…Mendagri Mardiyanto meminta Gubernur Sumut Syamsul Arifin untuk
cepat melakukan klarifikasi di lapangan terkait situasi politik di Kota Pematang Siantar.
Hasil klarifikasi harus segera disampaikan ke Mendagri Mardiyanto. Juru Bicara
Depdagri Saut Situmorang menjelaskan, Depdagri sudah menyurati Syamsul Arifin
terkait persoalan di Pematang Siantar itu. Surat Depdagri ditandatangani Direktur
Jenderal Otonomi Dearah (Dirjen Otda) Sodjuangon Situmorang. Surat itu bernomor
131.12/2100/Otda tertanggal 4 Agustus 2009."Surat tertanggal 4 Agustus yang ditujukan
kepada Gubernur Sumatera Utara itu, mengharapkan agar Gubernur Sumatera Utara
dapat segera melakukan klarifikasi lapangan terhadap permasalahan Walikota Pematang
Siantar dimaksud dan melaporkan hasilmya kepada Mendagri kepada kesempatan
pertama," terang Saut Situmorang di kantornya, Jumat (14/8).
Disebutkan Saut, hingga saat ini Depdagri masih menunggu laporan klarifikasi Syamsul
Arifin. Saut membantah informasi yang beredar yang menyebutkan Mendagri
Mardiyanto sudah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian Wali Kota
Pematang Siantar RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap. "Itu tidak benar," ucap
Saut.Pada akhir Juli lalu, Saut Situmorang sudah menjelaskan, Depdagri masih terus
mengkaji persoalan politik di Siantar itu. Depdagri juga sudah berkoordinasi dengan
Sekretaris Negara (Setneg) Hatta Radjasa. Setneg juga sudah menyurati Mendagri, yang
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka penanganan dan penyelesaian
permasalahan walikota dan wakil walikota Pematang Siantar. Surat Setneg yang dikirim
ke Mendagri Mardiyanto bernomor B-3283/SETNEG/D tanggal 2 Juli 2009. Di surat itu
juga dilampirkan berkas usul pemberhentian Walikota dan Wakil Walikota Pematang
Siantar periode 2005-2010 yang dimohonkan DPRD setempat. Saut menjelaskan, berkas
yang dari Setneg itu akan dijadikan bahan pertimbangan dalam menyelesaikan kasus
ini.Saut juga sudah menjelaskan, rapat paripurna DRDP Pematang Siantar tanggal 25 Juni
2009 yang merupakan tindak lanjut keputusan Mahkamah Agung RI No. 01/P/KHS/2009
tanggal 3 Maret 2009 yang pemberhentian Walikota dan Wakilnya, sampai saat ini belum
pernah quorum.Dijelaskan Saut, pemerintah tidak akan gegabah dalam membuat
keputusan. Penyelesaian kasus ini tetap akan diambil berdasarkan ketentuan yang
berlaku, terutama pasal 123 Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005. PP itulah yang
menjadi acuan karena mengatur tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan
pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemberhentian kepala daerah dan
wakil kepala daerah dapat dilakukan setelah ada keputusan pengadilan yang menyatakan
bersalah dan bersifat incraht.
PP ini juga sekaligus mengatur mekanisme pengusulan pemberhentian. Usul
pemberhentian harus terlebih dahulu disampaikan kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah. Oleh Gubernur, usul dimaksud disampaikan kepada
Mendagri yang kemudian meneruskannya kepada Presiden. “Ada prosedur yang harus
dilalui. Bukan DPRD yang menyampaikannya langsung ke Presiden,” tegas pejabat
Depdagri asal Balige itu.
Berita Depdagri Sunday, 03 August 2008 15:29:00Pjs Tak Boleh Lakukan MutasiKategori: Berita Depdagri(48 view)
Di antara jumlah tersebut, 72 kepala daerah sudah diberi surat persetujuan Mendagri.
‘’Sisanya yang 13 tinggal beberapa hari lagi. Jangan khawatir, pasti disetujui,’’ ujar
Kepala Pusat Penerangan Depdagri Saut Situmorang pada acara penjelasan PP 49/2008 di
Bandung kemarin. Proses pengajuan pengunduran diri itu memang diwajibkan dalam UU
12 Tahun 2008 bagi kepala daerah yang akan mencalonkan lagi.
Sesuai ketentuan, incumbent harus mengundurkan diri sejak tanggal pendaftaran.
‘’Ketika incumbent hendak mendaftarkan diri dalam pilkada, dia wajib menyerahkan
pernyataan pengunduran diri dan persetujuan dari pejabat yang berwenang, dalam hal ini
Mendagri,’’ jelasnya.
Setidaknya ada empat manfaat jika pejabat mundur. ‘’Pertama, menghindari
penyalahgunaan fasilitas, misalnya rumah dinas yang digunakan untuk konsolidasi tim
sukses, atau mobil dinas yang digunakan untuk mobilitas kampanye,’’ ujar doktor
Australian National University, Canberra, Australia, tersebut. Lalu, pegawai negeri sipil
terjamin netralitasnya. ‘’Mereka tidak bingung dan takut jika tidak mendukung
incumbent. PNS memang harus tidak berpihak,’’ katanya. Yang ketiga, incumbent tidak
bisa lagi menggunakan kewenangan jabatannya untuk pemenangan diri sendiri. ‘’Dengan
begitu, asas fairness dalam pilkada akan tercapai,’’ kata Saut. Dia mengingatkan, pejabat
yang sudah mundur harus segera meninggalkan segala fasilitas dinasnya terhitung setelah
pemberhentian itu disahkan. ‘’Jadi, setelah mengajukan (surat mundur, red) harus sudah
persiapan,’’ jelasnya.
Direktur Pejabat Negara Sapto Supono yang juga memberikan materi menambahkan,
kebijakan itu berlaku final dan tak dapat ditawar lagi. ‘’Memang banyak incumbent yang
kaget karena mesin birokrasi tak bisa lagi didayagunakan. Mereka tak menyangka akan
secepat itu,’’ kata pejabat kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, itu. Sapto mencontohkan di
Lampung dan Jawa Timur. ‘’Sudah tak sempat lagi konsolidasi karena harus mundur.
Efek positifnya, mesin birokrasi terpantau dan sangat terkontrol,’’ papar kandidat doktor
IPB itu.
Sapto mengingatkan, pejabat kepala daerah yang menggantikan atau wakil kepala daerah
yang naik jabatan dilarang melakukan kebijakan strategis. Misalnya, memutasi pegawai.
Itu diatur dengan PP 49 Tahun 2008 yang baru keluar 5 Juli lalu. ‘’Karena pernah terjadi,
begitu wakilnya naik, langsung terjadi penggantian personel besar-besaran. Itu
membahayakan pemerintahan,’’ terangnya.
Selain itu, pejabat pengganti atau pejabat sementara (pjs) juga dilarang membatalkan
perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya. Atau, sebaliknya, mengeluarkan
perizinan yang bertentangan dengan yang sudah dikeluarkan sebelumnya. ‘’Juga pernah
terjadi, PT yang sudah dilarang beroperasi karena melanggar analisis syarat-syarat izin,
tiba-tiba boleh beroperasi,’’ ungkapnya.
Sapto mencontohkan salah satu kabupaten di Indonesia bagian Timur. ‘’Ada lahan yang
tidak boleh digunakan untuk kegiatan usaha malah kemudian diizinkan oleh si pengganti.
Itu tidak boleh,’’ jelasnya.
Pejabat baru juga tak boleh membuat kebijakan pemekaran wilayah yang bertentangan
dengan kebijakan pejabat sebelumnya. ‘’Pada prinsipnya, kepala daerah dan wakilnya
harus harmonis, satu tubuh, tapi memang kenyataannya di lapangan cukup sulit,’’
katanya.
Karena itu, lanjut Sapto, PP 49/2008 berusaha meminimalisasi peluang kepala daerah dan wakilnya untuk berkompetisi. ‘’Akan sangat berbahaya jika mereka tidak mesra. Jadi, jangan mentang-mentang jadi pengganti kepala daerah lalu membuat kebijakan yang seolah-olah balas dendam,’’ tuturnya.(rdl/nw/jpnn)
Pencampuradukan Politik dengan Pemerintahan *)
Oleh Syarief Makhya **)
Abdulah Fadrie Auli, Ketua Komisi C DPRD, beberapa kali menyampaikan undangan rapat dengar pendapat (hearing), tetapi tidak pernah dihadiri pejabat Pemerintah Provinsi Lampung karena tidak mendapat izin Gubernur Sjachroedin Z.P. (Lampost, 21-3). Ketidakhadiran dinas-dinas menghadiri undangan DPRD, hanyalah salah satu akibat dampak disharmonisasi hubungan DPRD dengan Gubernur yang berlangsung satu tahun lebih.Dampak lain, yaitu tidak dibahasnya RAPBD 2006, pencekalan dana perjalanan anggota DPRD, sampai kegiatan seremonial ulang tahun Provinsi Lampung yang gagal dilaksanakan. Jika, konflik DPRD dengan Gubernur Sjachroedin Z.P. tidak kunjung selesai, dampak perjalanan tiga tahun ke depan bisa diperkirakan akan jauh lebih dahsyat, antara lain terganggunya proses penyelenggaraan pemerintahan.Hingga sekarang, belum ada tanda-tanda yang memberikan harapan konflik akan berakhir, bahkan belakangan ini konflik itu kian meruncing. Potret yang terjadi sekarang, yaitu ada upaya saling menjatuhkan.Anggota DPRD yang mendukung SK No. 15/2005 berupaya mencari celah korupsi atau penyimpangan anggaran yang dilakukan pemerintah daerah, seperti kasus dana bantuan Rp124 miliar, sementara Gubernur berupaya mengehentikan dana-dana jatah anggota DPRD. Dalam kasus konflik DPRD dengan Gubernur, DPRD memang menjadi kuat, tetapi kekuatan kekuasaan tersebut tidak dipakai untuk men-check and balance.DPRD kemudian memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan merobohkan kepala daerah. Sementara itu, Gubernur juga memiliki posisi yang kuat karena mampu mempertahankan kekuasaan dari tekan politik DPRD, tapi kekuatan Gubernur menjadi kurang efektif karena tidak memiliki dukungan politik DPRD.Melihat fakta akibat konflik tersebut, ruang konflik seperti tidak bisa lokalisasi, sehingga berdampak pada proses penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Pada hal jika dicermati, akar konflik berawal dari proses pemilihan gubernur yang dianggap bermasalah sampai terjadi hilangnya kepercayaan DPRD terhadap Gubernur Sjachroedin Z.P. dan kemudian merembet pada aktivitas pemerintahan.
Jadi, subtansi konflik bersumber pada persoalan politik. Namun, dampaknya, kedua belah pihak memanfaatkan aktivitas pemerintahan sebagai alat unjuk kekuasaan. DPRD dengan otoritasnya tidak mau membahas RAPBD 2006 dan mengelar ulang tahun Lampung. Sementara itu, Gubernur Sjachroedin Z.P. juga dengan kewenangannya mengeluarkan instruksi agar dinas-dinas tidak perlu menghadiri undangan hearing dengan DPRD dan pencekalan dana anggota DPRD.Dalam konteks fenomena tersebut, terjadi pencampuradukan antara persoalan politik dan urusan administrasi pemerintahan. Pembahasan RAPBD, hearing, dan alokasi dana untuk DPRD adalah urusan administrasi pemerintahan yang harus berjalan sebagaimana mestinya, tanpa harus terpengaruh persoalan
konflik. Sementara itu, SK No. 15/2005 adalah urusan politik karena terkait masalah dukungan dan legitimasi politik.Mungkinkah dalam persoalan konflik antara Gubernur Sjachroedin Z.P. dengan DPRD bisa dipilah antara persoalan politik dengan persoalan pemerintahan, sehingga keberlangsungan proses penyelenggaraan pemerintahan bisa terjaga dengan sewajarnya? Dan, apakah bisa dibenarkan ada intervensi politik dalam proses penyelenggara pemerintahan?Politik dan PemerintahanAntara aktivitas politik dengan aktivitas pemerintahan dalam praktek pemerintahan bisa ditelaah dalam dua bentuk. Pertama, dalam internal pemerintah daerah. Di lingkungan pemerintah daerah, dikenal ada yang namanya pejabat politik, yaitu gubernur dan wakil gubernur yang dipilih rakyat/DPRD, dan pejabat birokrasi yaitu jabatan karier di birokrasi pemerintahan, seperti sekretaris daerah, kepala dinas, dsb.Intervensi politik dalam birokrasi di negeri ini mempunyai catatan panjang. Pada masa Orde Baru intervensi bersifat monolitik oleh Golongan Karya (Golkar). Pada zaman Orde Baru, antara pejabat politik dan pejabat karier tidak bisa dipisahkan.Artinya, mereka yang menduduki jabatan di birokrasi juga aktif dan berafiliasi ke Golkar. Setelah reformasi, dengan banyaknya partai, intervensi terhadap birokrasi bersifat polisentris. "Intinya sama saja: Memanfaatkan birokrasi untuk partai."Jadi, walaupun birokrasi ditempatkan dalam kedudukan yang netral, dalam prakteknya muncul birokrasi partisan karena mereka sangat loyal dan berafiliasi politik kepada parpol yang menduduki jabatan politik, padahal secara formal PNS tidak menjadi salah satu anggota partai politik. Berkembangnya birokrasi partisan, berakibat birokrasi tidak mandiri dan tidak memiliki kekuatan penyeimbang kekuasaan dengan kedudukan pejabat politik.Implikasinya, pejabat birokrasi kemudian dijadikan alat untuk memperkuat dukungan dan legitimasi terhadap para pejabat politik. Kasus instruksi Gubernur Sjachroedin Z.P. terhadap kepala-kepala dinas agar tidak datang untuk hearing dengan DPRD adalah wujud birokrasi partisan.Kedua, aktivitas politik, secara kelembagaan lebih banyak diperankan lembaga perwakilan rakyat (DPRD) karena lembaga ini adalah pencerminan kedaulatan rakyat. Pemahaman politik dalam konteks aktivitas politik di DPRD harus dipahami dalam politik kebijakan, yaitu sebatas melakukan fungsi formulasi kebijakan dan kontrol terhadap implementasi kebijakan.UU No. 32/2004 Pasal 19 menyebutkan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah dan DPRD. Pasal ini, secara jelas memosisikan kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan.Implikasi pasal ini, aktivitas penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah. Aktivitas penyelenggaraan ini meliputi tugas-tugas desentralisasi dan tugas pembantuan.Ketentuan pasal ini menekankan baik kepala daerah maupun DPRD dalam aktivitas penyelenggaraan pemerintahan menekankan pada service sphere bukan pada political sphere. Pemahaman politik dalam perspektif UU No.
32/2004 tidak menjangkau pada penjatuhan kepala daerah karena dalam UU ini tidak dikenal dengan sistem parlementer.Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tak dikenal pemakzulan (impeachment) terhadap kepala daerah melalui mosi tidak percaya. Sebab, tidak ada aturan yang memungkinkan masyarakat dapat secara langsung meng-impeach kepala daerah. Namun, DPRD bisa mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Presiden jika memenuhi ketentuan Pasal 29 atau diberhentikan sementara oleh Presiden apabila melakukan tindak pidana kejahatan (lihat Pasal 30--32).Kajian tersebut menunjukkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebenarnya ada pemisahan yang tegas antara sifat wewenang kepala daerah sebagai pejabat politik dan fungsi birokrasi. Artinya, spirit UU No. 32/2004 menekankan pada terwujudnya tertib pemerintahan sehingga fungsi pelayanan pada masyarakat tidak terganggu.Oleh sebab itu, kendati terjadi konflik antara DPRD dan Gubernur, proses penyelenggaraan pemerintahan harus terjaga dan bisa berfungsi sebagaimana mestinya.Politik 'Ngambang'Konflik DPRD Provinsi Lampung dengan Gubernur Lampung belum menemukan titik temu akan ada penyelesaian secara tuntas. Upaya kedua belah pihak agar pemerintah pusat segera mengambil keputusan yang tegas untuk penyelesaian konflik tersebut hingga sekarang juga belum bisa dilakukan.Singkat kata, terjadi kebuntuan untuk mencari jalan ke luar dalam penyelesaian konflik tersebut. Dari berbagai informasi, sikap pemerintah dalam penyelesaian konflik sampai pada suatu kesimpulan akan diambangkan sampai berakhirnya masa jabatan Sjachroedin sebagai gubernur Lampung pada 2008.Jika simpulan ini benar, penyelesaian konflik hanya dimungkinkan bisa dilakukan pada tingkat daerah, yaitu sangat bergantung pada Sjachroedin dengan DPRD, tidak lagi bergantung pemerintah pusat. Namun, jika tidak ada keinginan kedua belah pihak untuk rekonsiliasi, suasana disharmonisasi akan berlangsung panjang selama tiga tahun ke depan.Akhirnya, selain persoalan penyelesaian konflik harus diselesaikan Sjachroedin dengan DPRD, juga pemisahan antara politik dan pemerintahan menjadi penting dilakukan, sehingga dampak konflik bisa diminimalisasi dan tidak berakibat terganggunya aktivitas pemerintahan sehari-hari serta tidak hancur-hancuran. Untuk merealisasikan gagasan ini, kuncinya baik eksekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan di antara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Selain persoalan penyelesaian konflik harus diselesaikan Sjachroedin dengan DPRD, juga pemisahan antara politik dan pemerintahan menjadi penting untuk dilakukan agar dampak konflik bisa diminimalisasi. *) Dimuat di Lampung Post, 27 Maret 2006 **) StaPengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung