155
BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang pemberhentian Kepala Daerah tentunya tidak terlepas dari kajian utamannya yakni kajian tentang otonomi daerah yang dalam hal ini berbicara pula tentang pembagian kewenangan dan wilayah dalam suatu negara. Pembagian kewenangan dalam sebuah negara kesatuan tentu jauh berbeda dengan pembagian kewenangan yang dianjut dalam sebuah negara federasi dan serikat. Dalam negara kesatuan seperti hal Indonesia, otonomi tidak dapat disamakan dengan kebebasan suatu daerah untuk melaksanakan fungsi pemerintahannya sesuai dengan kehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional bangsa. Konflik kepentingan antara melaksanakan fungsi otonomi dengan mempertahankan kesatuan bangsa sering terjadi manapun terutama dinegara negara berkembang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, pelayanan masyarakat dan pembangunan, maka dalam hal ini pemerintah mengemban sedikitnya tiga fungsi yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Suatu pendapat mengatakan bahwa fungsi distribusi dan stabilisasi pada umunya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan kondisi dan situasi yang berbeda-beda dari masing-masing wilayah 1 . Mengenai 1 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.hal.105 1

BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

  • Upload
    vuanh

  • View
    258

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

BAB IPENDAHULUAN

A .Latar Belakang Kajian tentang pemberhentian Kepala Daerah tentunya tidak terlepas dari

kajian utamannya yakni kajian tentang otonomi daerah yang dalam hal ini

berbicara pula tentang pembagian kewenangan dan wilayah dalam suatu negara.

Pembagian kewenangan dalam sebuah negara kesatuan tentu jauh berbeda dengan

pembagian kewenangan yang dianjut dalam sebuah negara federasi dan serikat.

Dalam negara kesatuan seperti hal Indonesia, otonomi tidak dapat disamakan

dengan kebebasan suatu daerah untuk melaksanakan fungsi pemerintahannya

sesuai dengan kehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional

bangsa. Konflik kepentingan antara melaksanakan fungsi otonomi dengan

mempertahankan kesatuan bangsa sering terjadi manapun terutama dinegara

negara berkembang.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah,

pelayanan masyarakat dan pembangunan, maka dalam hal ini pemerintah

mengemban sedikitnya tiga fungsi yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan

fungsi stabilisasi. Suatu pendapat mengatakan bahwa fungsi distribusi dan

stabilisasi pada umunya lebih efektif dilaksanakan oleh pemerintah pusat,

sedangkan fungsi alokasi pada umumnya lebih mengetahui kebutuhan serta

standar pelayanan masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan

kondisi dan situasi yang berbeda-beda dari masing-masing wilayah1. Mengenai

1

1

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1999.hal.105

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

susunan Pemerintahan Daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah secara tegas menyatakan pemerintahan Daerah

terdiri dari eksekutif daerah yang di pegang oleh pemerintah daerah ( kepala

daerah), Dewan Perawakilan Rakyat Daerah sebagai badan legislatif daerah, yang

selanjutnya akan disebut DPRD. Sebagai suatu organ yang bertanggungjawab

dalam penyelenggraan pemerintahan daerah, kedua organ tersebut ( Kepala

Daerah dan DPRD) memiliki fungsi dan kewenangan masing-masing di samping

saat tertentu ada hubungan satu sama lain, untuk mewujukan suatu pemerintahan

yang baik.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

yang selanjutnya disebut UUDNKRI 1945, bila di telah ketentuan yang terdapat

dalam pasal 18 pasca perubahan UUDNKRI 1945, yakni ketentuan Pasal 18 yang

semula hanya terdiri dari satu pasal berubah menjadi tiga pasal yaitu pasal 18

yang terdiri dari 7 (tujuh) ayat, Pasal 18 A yang terdiri 2 (dua) ayat, dan Pasal 18

B Juga terdiri dari 2 (dua)ayat. Sejalan dengan perubahan Pasal 18 tersebut,

tampak sejumlah paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

paradigma yang dimaksud adalah2:

1. Pemerintahan daerah disusun dan dijalankan berdasarkan otonomi dan

tugas pembantuan (belaka). Yang diharapkan di masa depan tidak ada lagi

pemerintahan dekosentrasi dalam pemerintahan daerah.

2

2

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat studi Hukum ( PSH) fakultas Hukum UII Yogyakarta,2001,hal.229

2

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

2. Pemerintahan daerah disusun dijalankan atas dasar otonomi seluas-

luasnya. Semua fungsi pemerintahan dibidang administrasi negara

(administratief regelen en bestuur) dijalankan oleh pemerintahan daerah,

kecuali yang ditentukan sebagai urusan pusat.

3. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan atas dasar keragaman daerah.

Urusan rumah tangga tidak perlu seragam atau sama. Perbedaan harus

dimungkinkan baik atas dasar cultural, sosial ,ekonomi, geografi dan lain

sebagainya.

4. Pemerintah daerah disusun dan dijalankan dengan mengakui dan

menghormati satu kesatuan masyarakat hukum adat (adatrechts gemeenschap)

dan berbagai hak teradisionalnya. Satuan pemerintahan yang asli dan hak-hak

masyarakat asli atas bumi,air dan lain-lain wajib dihormati untuk sebesar-

besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat setempat.

5. Pemerintahan daerah dapat disusun dan dijalankan berdasarkan sifat atau

keadaan khusus tertentu baik atas dasar kedudukan (seperti Ibu Kota Negara ),

kesejahteraan (seperti D.I.Yogyakarta)atau karena keadaan sosial cultural

(seperti D.I. Aceh)

6. Anggota DPRD dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum.

7. Hubungan Pusat dan Daerah dilaksanakan selaras dan adil.

Ketujuh pokok pikiran dari paradigma yang di gariskan dalam Pasal 18,

18A dan Pasal 18B. Perubahan kedua UUDNKRI 1945 tersebut diatas sama sekali

tidak dijumpai pengaturan tentang hubungan kewenangan DPRD dengan Kepala

Daerah. Sekurang-kurangnya tidak ada indicator yang dapat di jadikan pegangan

3

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

mengenai kewenangan DPRD dalam hal mengusulkan pemberhentian Kepala

Daerah akan tetapi dalam DPRD juga mempunyai hak untuk mengusulkan

pemberhentian terhadap Kepala Daerah sebagaimana yang terdapat dalam

Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jika dilihat dalam

ketentuan-ketentuan Pasal 18, 18A dan pasal 18 B yang meletakan / menggariskan

paradigma baru penyelenggaraan pemerintah daerah, pada giliranya bergantung

pada undang-undang untuk mengaturnya lebih lanjut.

Selain UUD 1945 (sebelum dan Pasca Perubahan) belum mengatur

hubungan kewenangan antara organ pemerintah daerah dimaksud secara jelas,

juga beberapa peraturan perundang-undangan yang pernah ada masih menunjukan

pasang-surut sehingga dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu

mengalami perubahan. Artinya pada suatu saat masa atau periode lainnya terjadi

perubahan yaitu kewenangan DPRD yang lebih kuat ( dominan ) dibandingkan

dengan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Indria Samego3 mensyinyalir

bahwa dengan posisi menguatnya fungsi DPRD, DPRD dengan Relatif mudah

melakukan “pemerasan” terhadap pihak eksekutif. Kedua pola diatas, belum

dapat memberikan harapan untuk terselenggaranya substansi otonomi yang dicita-

citakan karena keduanya dapat menciptakan hubungan yang koluktif yang

berkelanjutan.

Berangkat dari otonomi daerah tersebut,dalam undang-undang 32 Tahum

2004 Tentang Pemerintahan Daerah, salah satu yang dosoroti dalam Undang-

3

3

.Indria Samego,Masalah Good Govermance Di Dalam Sistem Pemerintahan Daerah, Jurnal demokrasi & HAM vol 2.NO.2, Juni- September 2002.hal.63

4

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemberhentian kepala Daerah, jika Kepala

Daerah melanggar sumpah dan janjinya maka tindak lanjutnya DPRD

mengusulkan kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas

pendapat DPRD. Undang-undang No 32 Tahun 2004 tidak mengatur

pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang berimplikasi pada

pemberhentian kepala daerah. Dalam hal meminta laporan pertanggungjawaban

Kepala Daerah kepada DPRD yang diatur dalam pasal 42 ayat (1) huruf (h)yang

dimaksudkan sebagai pemberdayaan DPRD, untuk mewujudkan Cheks and

balances, Namun, dalam peraktiknya tidak jarang menjadi salah satu sumber

potensi konflik antara DPRD dengan kepala Daerah.

Berbeda dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi

Daerah yang mengatur pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD jika

pertanggungjawaban Kepala Daerah ditolak untuk kedua kalinya maka

implikasinya adalah pada usulan pemberhentian kepala daerah tersebut. Dalam

Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah juncto

Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan

Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah dua

hal tersebut mengatur perihal pemberhentian kepala daerah. Yang diatur dalam

Undang-undang 32 Tahun 2004 dalam pasal 27 ayat (2) bahwa “ Selain

mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud Pada ayat(1) Kepala Daerah

mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan

pemerintahan kepada pemerintah dan memberikan laporan keterangan

pertanggungjwaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan

5

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat” . Jadi dalam isi

pasal ini Kepala Daerah memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban

Kepada DPRD. Laporan pertanggungjawaban kepala daerah juga telah diatur juga

dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan

Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perawakilan Rakyat Daerah,

Dan Inforamasi Laporan Penyelengaraan Pemerintah Daerah Kepada

Masayarakat, dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2007

bahwa untuk terwujudnya pelakasanaan otonomi daerah sejalan dengan

menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggung jawab serta mampu

menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip

tata pemerintahan yang baik, maka kepala daerah wajib melaporkan

peneyelenggaraan pemerintahan. Yang menjadi persoalan,jika seorang kepala

daerah tidak mampu mempertanggungjawakan penyelenggaraan pemerintahan

kepada DPRD maka untuk menciptakan suatu pemerintahan yang baik yang

dicita-citakan tidak dapat terwujud sebab tidak memungkinkan terciptanya Check

and Balances 4.

Dalam hal melakukan pemberhentian kepala daerah dapat dilakukan

dalam dua mekanisme yaitu Pertama, kepala daerah diberhentikan dengan usulan

dan atau keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan disetujui oleh

44 Sri Soemantri M. Konseprualitas Dasar-Dasar Konstitusi Bagi Demokrasi Yang Berlanjut. Dalam Laporan Konfrensi : Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Di Indonesia.Oktober 2001, IDEA Kumpulan Makalah, hal.53

6

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

presiden, kedua, pemberhentian kepala daerah oleh presiden tanpa usulan dan atau

keputusan DPR. Apabila kepala daerah diperkirakan telah melakukan

penyelewengan, maka, harus diadakan penyelidikan dengan persetujuan presiden.

Pemberhentian kepala daerah dapat dilaksanakan hanya berdasarkan atas hukum

dan peraturan yang diberlakukan tanpa adanya kepentingan. Pemberhentian atas

usulan DPRD apabila terjadi krisis kepercayaan maka DPRD menggunakan hak

angket untuk menanggapinya, penggunaan hak angket setelah mendapat

persetujuan rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari

jumlah anggota DPRD dan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3

dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap

kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Dalam hal ditemukan bukti tindak

pidana dimaksud, DPRD menyerahkan proses penyelesaianya kepada aparat

peneggak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Kepala

daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak

pidana dengan ancaman paling singkat 5 (lima tahun) atau lebih berdasarkan

putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, DPRD

mengusulkan pemberhentian sementara dengan keptusan DPRD.

Berdasarkan keputusan DPRD tersebut, presiden menetapkan

pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Apabila

kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dinyatakan bersalah berdasarkan

putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, pimpinan

DPRD mengusulkan pemberhentian berdasarkan rapat paripurna DPRD yang

dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil

7

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang

hadir. Berdasarkan keputusan DPRD tersebut, presiden memberhentikan kepala

daerah dan/atau wakil kepala daerah, sedangkan pemberhentian tanpa melalui

usulan DPRD,bahwa kepala daerah dan /atau wakil kepala daerah diberhentikan

oleh presiden, karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang

dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan

dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Pada prinsipnya pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala

Daerah dapat dilakukan pada masa jabatannya dan pada akhir masa jabatan.

Namun dalam hal ini yang perlu dikaji adalah jika seorang kepala daerah

diberhentikan sebelum masa jabatannya selesai, sebab jika seorang kepala daerah

diberhentikan apabila memenuhi alasan dalam pasal 29 Undang-Undang 32

Tahun 2004 . Dalam hal Pemberhentian kepala Daerah yang diatur dalam pasal

29 ayat (1) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah .

Bahwa Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah berhenti karena :

a. Meninggal dunia,

b. Permintaan sendiri

c. Diberhentikan karena:

Dalam pembahasan ini yang diperosoalkan jika seorang kepala Daerah

diberhentikan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Kepala Daerah

dan/atau Wakil kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf c

diberhentikan karena:

a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru.

8

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap

secara berturut selam enem bulan.

c. Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah dan/atau wakil

Kepala Daerah.

d. Dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala Daerah dan/atau

wakil kepala Daerah.

e. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah.

f. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Apabila salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-undang 32

Tahun 2004 dilanggar oleh Kepala Daerah, maka dalam hal ini DPRD mempunyai

kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah baik di tingkat

Provinsi maupun ditingkat kabupaten dan Kota, sebagaimana yang diatur dalam

Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan

pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada

Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada

Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota” .

Berdasarkan isi dari pasal tersebut DPRD diberi kewenangan dalam mengsulkan

pemberhentian Kepala Daerah, dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daearah diusulkan kepada

presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung Atas pendapat DPRD bahwa

kepala daerah dan /atau wakil kepala daerah tidak lagi memenuhi syarat

9

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

melanggar sumpah dan janji/jabatan,tidak melaksanakan kewajiban dan/atau

melanggar larangan.

2. Pendapat DPRD diputusakan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri

oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan yang

diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota

DPRD yang hadir.

3. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat

DPRD paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima

mahkamah agung dan putusannya bersifat final.

4. Apabila mahkamah agung memutusakan bahwa Kepala daerah dan /atau

kepala daerah terbukti melanggar sumpah /janji jabatan dan/atau tidak

melaksanakan kewajiban. DPRD menyelenggarakan rapat paripurna DPRD

yang dihadiri sekuarang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan

yang diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota

DPRD untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil

kepala daerah kepada presiden.

5. Presiden wajib memperoses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau

wakil kepala daerah tersebut, paling lambat 30 hari sejak DPRD

menyampaikan usul tersebut.5

55 Siswanto Sunarno,2005.OpCit.,hal.59

10

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Jika telaah dalam pasal ,adapun kelemahannya dalam pasal 29 Undang-

undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal 29 ayat ( 2)

huruf a bahwa kepala daerah diberhentikan bila “ Berakahir masa jabatanya dan

telah dilantik pejabat yang baru” jika dipahami maka masa jabatan dari seorang

kepala daerah adalah lima tahun tentunya hal ini sudah jelas, akan tetapi yang

menimbulkan persoalan adalah kata “dan” yang menimbulkan berbagai macam

persepsi bahwa seorang kepala daerah baru diberhentikan apabila sudah ada

pejabat pengantinya. Jika dianalogikan bagaimana jika dalam masa jabatan

seorang kepala daerah melakukan tindakan melawan hukum sementara belum ada

pejabat baru yang dilantik, hal ini tentunya menimbulkan persoalan dikemudian

hari. Sebab jika kepala daerah diberhentikan maka untuk menggisi kekosongan

kepala daerah maka tindak lanjutnya adalah DPRD mengadakan sidang paripurna

untuk melantik wakil kepala daerah untuk menjadi pejabat kepala daerah sampai

berakhir masa jabatannya. Perihal rapat paripurna DPRD tentunya membutuhkan

proses, sementara secara hukum kekosongan jabatan itu tidak boleh terjadi karena

dapat menimbulkan siapa yang bertanggung jawab dalam masa kekosongan

tersebut, tentunya hal ini dapat menimbulkan persolan.

Berbicara dugaan kepala daerah melanggar sumpah/janji dan tidak

melaksanakan kewajibannya sebenarnya merupakan masalah hukum yang

memerlukan pembuktian hukum terlebih dahulu. Namun, Undang-Undang No 32

Tahun 2004 mengatur pengecualian tidak ditempuh melalui pengadilan negeri,

pengadilan tinggi, tetapi langsung ke Mahkamah Agung. Proses pemberhentian

kepala daerah, menurut Undang-Undang No 32 Tahun2004, lama, berbelit, dan

11

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

agak sulit dilaksanakan. Bisa saja putusan Mahkamah Agung yang menyatakan

benar bahwa kepala daerah melanggar sumpah dan janji dan tidak melaksanakan

kewajibannya maka tindak dilanjutnya oleh DPRD mengadakan rapat paripurna

untuk menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung. Pada sisi lain rapat paripurna

DPRD bisa saja terjadi oleh karena timbulnya perubahan politik di DPRD,

Anggota DPRD tidak lagi berpandangan bahwa kepala daerah melanggar sumpah

dan janji dan atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah. Sebab, setelah

putusan Mahkamah Agung disampaikan ke DPRD, DPRD akan melaksanakan

rapat paripurna kembali untuk memutuskan pendapat tersebut dalam hal ini

tentunya dapat menimbulkan persoalan sebab putusan Mahkamah Agung yang

mempunyai kekuatan hukum yang tetap akan diputusan lagi dalam rapat paripuna

DPRD. Dalam hal ini dapat terjadi konflik kepentingan yang memunculkan

adanya sebuah supremasi hukum dimana hukum harus ditegakan dan supremasi

politik yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta

dilaksanakan begitu saja akan tetapi harus diputuskan lagi dalam rapat paripurna

DPRD. Bila tidak didukung 2/3 (dua pertiga) anggota DPRD, apakah putusan

Mahkamah Agung dapat dikatakan mempunyai kekuatan hukum. 6

Sebagai contoh. pemberhentian Tengku Azmun Jaafar sebagai

Bupati Pelalawan dilakukan menyusul Keputusan Mahkamah Agung (MA)

nomor 736/k/pid.sus/2009 tanggal 3 Agustus 2009 yang menyatakan

Tengku Azmun Jaafar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi

6

6

Otong Rozadi. Jalan panjang Pemberhentian Kepala Daerah. serial online 30 Juli 2007, avaible from:URL:http//202.146.kompas-cetak

12

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

dan divonis 11 tahun penjara . Majelis hakim menyatakan Azmun

bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam penerbitan Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) kepada 15

perusahaan kehutanan di Pelalawan, sehingga merugikan negara Rp 1,2

triliun. Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider 6

bulan kurungan dan pembayaran uang pengganti Rp 12,3 miliar. Azmun

dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 Undang-undang No 31

Tahun1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Dalam

pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Azmun dengan

sengaja menerbitkan IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan dalam kurun

waktu Desember 2002 sampai Januari 2003, padahal mengetahui bahwa

perusahaan-perusahaan itu tidak kompeten dalam bidang kehutanan.

Berdasarkan hal tersebut Permerintah Provinsi Riau mengeluarkan SK

bernomor 131.14-590/2009. SK tersebut berisi tentang pengesahan

pemberhentian Bupati Pelalawan dan pengesahan pengangkatan Wakil

Bupati Pelalawan, Rustam Effendi sebagai bupati menggantikan Tengku

Azmun Jaafar.

Jika dilihat dari contoh kasus ini maka seorang kepala daerah baru

dapat diberhentikan apabila sudah ada pejabat pengantinya, hal ini

tentunya dapat menimbulkan masalah hukum sebab jika belum ada

pejabat pengantinya maka kepala daerah tersebut tidak dapat

diberhentikan serta yang siapa yang mengisi kekosongan jabatan kepala

13

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

daerah selama proses rapat paripurna DPRD untuk mengangkat wakil

kepala Daerah menjadi pejabat kepala daerah. Sebagaimana isi dari

pasal 29 ayat (2) huruf a, Undang-undang No.32 Tahun 2004 dapat

menimbulkan penafsiran yang salah yang tentunya dapat menimbulkan

masalah hukum.

Begitu pula Walikota Pemantang Siantar RE sihaan yang dituduh

melakukan penyelewengan proyek bangsal rumah sakit umum daerah oleh Komisi

Pengawas Persaingan Usaha, atas dasar itulah DPRD kota Pematang siantar

mengadakan sidang paripurna untuk mengusulkan memberhentikan RE Sihaan

berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No 01 P/ KHS/ 2009 tanggal 3 Maret

2009.7 Dalam pengambilan keputusan rapat paripuna oleh DPRD dinilai cacat

hukum sebab tidak dari 2/3 anggota DPRD yang hadir. Rapat paripurna yang

diadakan oleh 16 orang dan satu tidak hadir itu dari 30 anggota DPRD Pematang

Siantar jelas tidak qourum, sehingga keputusan yang diambil adalah tidak sah dan

tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat8. Jika dilihat dari contoh kasus

tersebut menunjukan bahwa pemberhentian Kepala daerah berawal dari usulan

DPRD, berdasarkan atas putusan Mahkamah Agung dan tindak lanjutnya DPRD

mengadakan rapat paripurna. Dalam pengambilan keputusan oleh DPRD

7

7

AndyFaizal . Dipecat DPRD, Bupati Menghilang. Serial Online 22 Januari 2009, available from:URL:http://www.nersandy.blogspot.com.html

8

8

Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com

14

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

walaupun tidak didukung oleh 2/3 anggota DPRD dari 3/4 anggota DPRD yang

hadir sehingga kepala daerah tersebut diberhentikan.

Sebagai perbandingannya yang diatur dalam UUDNKRI 1945 mengatur

mengenai pemberhentian Presiden bedasarkan pada pasal 7A Bahwa Presiden dan

wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila

terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap

negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela

maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/ atau

wakil presiden. Presiden sebagai kepala Pemerintah yang proses pemilihannya

melibatkan seluruh warga negera yang memenuhi syarat oleh UUD dimungkinkan

untuk diberhentikan dalam masa jabatannya jika memenuhi syarat. Menurut

Richard A. Posner dalam buku The Investigation, Impeachment, and Trial of

President Clinton, secara historis impeachment berasal dari abad ke-14 di Inggris.

Parlemen menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-pejabat

tinggi dan individu-individu yang amat powerful, yang terkait dalam kasus

korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan kewenangan pengadilan biasa.

Dalam praktek, The House of Commons bertindak sebagai a grand jury yang

memutuskan apakah akan meng-impeach seorang pejabat. Apabila pejabat itu di-

impeach, maka The House of Lords akan mengadilinya. Apabila dinyatakan

bersalah, maka pejabat tersebut akan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan yang

telah diatur, termasuk memecat dari jabatannya.9 Di Inggris, impeachment

9

9

.M.P. Pangaribuan, “’Impeachment’, Pranata untuk Memproses Presiden”, Kompas, edisi Senin, 19 Februari 2001.

15

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

pertama kali digunakan pada bulan November 1330 di masa pemerintahan

Edward III terhadap Roger Mortimer, Baron of Wigmore yang kedelapan, dan

Earl of March yang pertama.10 Ketentuan ini juga membawa implikasi pada

Kepala Daerah sebagai penyelenggara pemerintah daerah yaitu dapat

diberhentikan dalam masa jabatannya apabila memenuhi syarat untuk itu.

Begitu juga dengan proses pemberhentianya yang tentunya memerlukan

suatu mekanisme yang jelas sehingga tidak memunculkan konflik kepentingan

diantara kedua organ tersebut. Bilamana terjadi konflik kepentingan diantara elit

pemerintahan dan elit politik didaerah mengingat kedua organ pemerintahan ini

sama-sama dipilih oleh rakyat, ini dipicu beberapa faktor yang melatarbelakangi

antara lain: Pemilihan umum yang mendadak, system umum yang proporsional,

lemahnya system peneggakan hukum dan menonjolnya kepentingan elit politik

dan pemerintah. Selain itu, ada kaitanya dengan kualitas sebagian anggota DPRD

yang masih dibawah standart, baik aspek pendidikan, pegalaman politik, latar

belakang sosial dan ekonomi maupun aspek komitment moral terhadap

kepentingan yang diwakilinya.

Pemberhentian kepala daerah jika dilihat dalam pasal 29 ayat (2) huruf a.

dan d, dapat menimbulkan penafsiran yang salah,sebagaimana telah dijelasakan

sebelumnya sehingga hal ini menunjukan adanya kekaburan norma yang perlu

dikaji secara hukum. Dalam hal pemberhentian Kepala Daerah atas usulan DPRD

10

1

Naf’an Tarihoran, “Makna Impeachment Presiden bagi Orang Amerika”, Tesis Magister Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, (Jakarta: Studi Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, 1999), hal. 75 yang mengutip berbagai sumber.

16

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

yang perlu dikaji adalah implikasi dari usulan DPRD serta akibat hukum dari

pemberhentian kepala daerah. Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang

melatarbelakangi dilakukanya penelitian ini, maka dalam penelitian ini adalah

untuk menemukan jawaban-jawaban dari beberapa persoalan yang telah

diraikan diatas.

B . Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari uraian diatas maka dapatlah dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian

Kepala Daerah?

2. Bagaimanakah Akibat hukum Pemberhentian Kepala Daerah ?

C . Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari Penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami implikasi usulan DPRD terhadap

pemberhentian kepala daerah.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap pemberhentian Kepala daerah .

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat akademis; untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum di

bidang pemerintahan daerah khususnya yang berkenaan dengan

pemberhentian Kepala Daerah.

17

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

2. Manfaat Praktis; sebagai masukan bagi pemerintah daerah, dan DPRD

khususnya dalam rangka mewujudkan fungsi kontrol antara DPRD dan

Kepala Daerah.

D .Krangka Teoritis

Untuk dapat lebih memahami permasalahan tersebut diatas , maka akan

dikemukakan teori , konsep dan asas-asas hukum yang relevan serta dilengkapi

pula dengan pandangan-pandangan para sarjana yang berpengaruh.

1.Konsep Negara Hukum

Berdasarkan sejarah perkembangan dan jenis-jenis Negara hukum yang

tumbuh dan berkembang pada dunia barat, maka negara hukum yang dianut

Negara Indonesia tidakalah dalam arti formal, namun negara hukum dalam arti

materil yang juga distilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state,

welfaarstaat ) atau Negara kemakmuran. Sebagai konsekuensi Negara Indonesia

beradasarkan atas hukum, maka Negara Indonesia telah berkomitmen untuk

menempatkan hukum sebagai acuan tertinggi dalam peneyelenggaraan Negara

dan pemerintahannya ( supremasi hukum ). 11Supremasi berasal dari bahasa

Inggris “supreme” yang berarti “highest in degree”, yang dapat diterjemahkan

“mempunyai derajat tinggi”. Dengan demikian, dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara, hukum harus berada di tempat yang paling tinggi,

hukum juga dapat mengatasi kekuasaan lain termasuk kekuasaan politik. Dengan

kata lain, negara yang dapat dikatakan telah mewujudkan Supremasi Hukum

11

1

Bagir Manan,1994. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 .Universitas Padjadjaran, Bandung .Hal.18

18

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

adalah negara yang sudah mampu menempatkan hukum sebagai panglima,

bukannya hukum yang hanya menjadi “pengikut setia kekuasaan” dan

kepentingan politik tertentu yang jauh dari kepentingan rakyat secara

keseluruhan.12 Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedalautan hukum”13 yang

menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan guiding

principle bagi segala aktifitas organ-organ Negara,pemerintahan,pejabat-pejabat

beserta rakyatnya. Dengan demikian,Negara melalui pemerintahan ditingkat

pusat maupun ditingkat daerah untuk dapat mewujudkan ketertiban masayarakat

memerlukan adanya suatu system pengendalian masyarakat salah satunya upaya

hukum.14

Suatu negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rechtstaat) Menurut

Burkens, Sebagai yang dikutip Yohanes Usfunan antara lain sebagai berikut.15

a. Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas peraturan

perundang-undangan ( Wettelijke gronslag). Dengan Landasan ini,

Undang-Undang dalam arti formil dan Undang-Undang Dasar sendiri

12

1

M. Satria.2009,Dalam Jurnal.Fenomena Penegakan Supremasi Hukum Pada Pemilihan Umum Pasca Penetapan Calon legislatif Tahun 2009.hal.7

13

1

Ismail Suny.1984.Mekanisme Demokrasi Pancasila,Aksara Baru.Jakarta.Hal, 8

14

1

Lili Rasjidi dan B, Arief Sidarta(ed) 1989,filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remadja Karya,Bandung. Hal. 11

15

1

Usfunan,1988,Kebebasan Berpendapat Diindonesia, Disertasi dalam Meraih Doktor Pada Program Pasca sarjana UNAIR, Surabaya Hal.111

19

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

merupakan tumpuan dasar tindak pemerintah. Dalam hubungan ini

pemebentukan Undang-Undang Merupakan bagian penting negara hukum.

b. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makana bahwa kekuasaan

negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.

c. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan dari

pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan

pemebentuk undang-undang.

d. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia.

Sesuai dengan persyaratan tersebut, kiranya jelas bahwa sayarat pertama

dan ketiga yang relevan dengan obyek penelitian ini, syarat pertama menunjukan

bahwa, dalam hal pemberhentian kepala daerah kiranya dalam mengambil

keputusan harus mempunyai dasar hukum yang jelas, yang merupakan tumpuan

dasar dalam setiap mengambil keputusan. Asas legalitas ini diwujudakan dalam

bentuk Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainya untuk

memberikan pelindungan dan kepastian hukum dalam pemberhentian kepala

daerah. Sedangkan syarat ketiga menunjukan bahwa , dalam hal pemberhentian

kepala daerah hendakanya juga harus memperhatikan hak-hak dari Kepala

daerah,guna mendapat perlindungan hukum serta kepastian hukum.

Sejalan dengan Burkens, Frederich Julius Stahl Mengemukakan 4 unsur negara

hukum sebagaimana dikutip Sudargo G., sebagai berikut:16

a. Asas Legalitas (Pemerintahan berdasarkan undang-undang)

16

1

Sudargo G,1983 .Pengertian Tentang Negara Hukum.Alumni Bandung.Hal,8-9

20

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

b. Pembagian Kekuasaan.

c. Perlindungan hak-hak azasi manusia.

d. Adanya peradilan administrasi.

Tidak jauh berbeda, Bagir Manan Mengemukakan ciri-ciri Minimal dari

negara berdasarkan atas azas hukum yaitu:17

a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum.

b. Adanya ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainya.

c. Adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa

terahadap masayarakat (badan peradilan yang bebas)

d. Adanya pembagian kekuasaan

Adapun Av Dicey dari Anglo Saxon Memberikan ciri-ciri Rule Of law sebagai

berikut:

a. Supremasi hukum,dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan

sehingga seorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.

b. Kedudukan sama didepan hukum,baik bagi rakyat biasa maupun bagi

pejabat.

c. Terjaminya hak-hak manusia oleh undang-undang dan keputusan

pengadilan.18

17

1

Bagir Manan,1994. Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 . Makalah Ilimiah disampaikan kepada mahasiswa Pasca sarjana Universitas Padjadjaran Tahun 1994/1995., Bandung.hal.19

18

1

E.C.S.Wade dan G, GOgfrey.1965. Constitutional Law: An Outline of law and Practise of the Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and State and Administrative Law, Edition,Longman,London.hal.50-51

21

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Dalam kaitanya dengan obyek penelitian ini maka unsur pertama dari konsep

kedua tersebut diatas yang relevan, diaman mensyaratkan setiap tindakan

pemerintah harus beradasarkan atas hukum. Negara Indonesia adalah negara

hukum (recthstaat) berdasarakan pancasila.19 Negara hukum yang dianut

Indonesia tidaklah dalam artian formal, namun Negara hukum dalam artian

material, yang juga distilahkan dengan negara kesejahteraan( Welfare state) atau “

Negara kesejahtraan”20 Untuk mewujudkan Tujuan tersebut, negara hanya

bertugas memelihara ketertiban masyarakat, akan tetapi dituntut turut serta secara

aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat. Kewajiban ini

merupakan amanat para pendiri negara (the founding father) Indonesia, seperti

dikemukakan pada alinea ke-4 pembukaan undang-undang dasar 1945 seabagi

negara beradasarkan atas hukum, maka segala aktivitas dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara haruslah sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum

yang berlaku. Disamping perundang-undangan negara hukum seperti tersebut

diatas kiranya perlu juga dilihat berapa pendapat lainya untuk diapakai sebagai

pembanding dan memperkaya pengertian negara hukum sebagai berikut:

Abud Daud Busroh dkk., menyatakan bahwa negara hukum adalah negara

yang berdasarkan atas hukum. Maksudnya adalah segala kewenangan dan

19

1

Sjachran Basah,1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Penerbit Alumni, Cetakan Ke-3,Bandung.

20

2

E.Utrecht,1960,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Penerbit FHPM Unpad, Bandung,hal 21-22.

22

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

tindakan-tindakan alat-alat negara atau penguasa semata-mata berdasarkan atau

dengan kata lain diatur oleh hukum.21

Dasril radjab mengemukakan untuk sebuah negara yang mengandung

prinsip negara hukum, bukan sekedar diatur dalam hukum (formal) saja, namun

lebih dari itu. Hukum itu yang terpenting adalah mencapai keadilan dalam

masyarakat. Keadilan dapat diacapai dengan hukum, apabila hukum itu

merupakan kaidah-kaidah yang mempunyai nilai.22

D.Notohamidjojo menyebutkan, negara hukum ialah diamana pemerintah

dan semua pejabat-pejabat hukum mulai dari presiden, para menteri, kepala-

kepala lembaga Pemerintahan lain, pegawai, Hakim, Jaksa dan kepala lembaga

pemerintahan yang lain, anggota legislatif semuanya dalam menjalanka tugasnya

didalam dan diluar jam kantor taat kepada hukum, mengambil keputusan-

keputusan,jabatan-jabatan menurut hati nurani sesuai hukum.23

Dari ketiga pendapat diatas penadapat Dasril Radjab terlalu umum, tidak

menjelaskan unsur-unsur Negara Hukum secara konkrit. Sedangkan pandangan

Abu Daud Busroh dkk.,dan D.Notohamidjojo nampaknya lebih konkrit, hanya

saja ditujukan pada subyek hukum pejabat penegak hukum dan tidak menyentuh

212 Abu Daud Busroh,dkk.,1985.Asas-Asas Hukum Tata Negara.Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.110.

222 Dasril Radjab,1994.Hukum Tata Negara Indonesia, PT.Rineka Cipta, Jakarta Hal.65.

232 D.Noto Hamidjojo,1970, Makna Negara Hukum,BPK,Jakarta,Hal.36.

23

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

subyek hukum warga masyarakat secara keseluruhan. Hukum yang berlaku (dasar

hukum) inilah yang menentukan cara untuk memperoleh kewenangan pemerintah.

2.Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Dalam melakukan tindakan pemerintahan khususnya dalam kaitanya

dengan penyelenggaraan pemerintahan, selain beradasarkan peraturan perundang-

undangan, akan tetapi juga harus mengacu dan memperhatikan juga asas-asas

umum pemerintahan yang baik (AAUPB). Terkait dengan asas-asas umum

pemerintahan yang baik, H.A.Muin Fahmal mengemukakan bahwa awalnya

teradapat dalam Algemene Beginselen Van BehoorlijkeBestuur yang dikemukakan

De’ Monchy yang diajukan dalam parlemen Belanda pada tahun 1950.24

Kemudian oleh komisi Vander Grinten pada Tahun 1952 oleh crice le Roy

menyebutkan Sembilan asas dan diakomodasikan dalam yurisprudensi Belanda

tahun 1957 menjadi sepuluh. Selanjutnya oleh Koentjoro Poerbopranoto,

menyebut 13 (tiga belas) asas yakni sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum

2. Asas keseimbangan

3. Asas Kesamaan

4. Asas bertindak cermat

5. Asas Motivasi

6. Asas jangan mencampuradukan kewenangan

7. Asas fire play

242 H.A.Muin Fahmal,2006. Peran Asas-asaa Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta.hal.49.

24

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

8. Asas kedailan atau kewajaran

9. Asas menanggapi pengaharapan yang wajar

10. Asas meniadakan Akibat-akibat suatu keputusan yang batal

11. Asas perlindungan dan pandangan hidup

12. Asas kebijaksanaan

13. Asas Kebijaksanaan Asas penyelenggaraan kepentingan umum

Keberadaan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan tersebut

sebagaimana yang dikemukan koentjoro Poerbopranoto tersebut diatas,pada

prinsipnya adalah untuk menghindari adanya tindakan kolusi,korupsi dan

nepotisme dalam peneyelenggaraan pemerintahan.

Selain itu, Philipus M.Hadjon juga mengemukakan beberapa asas umum

pemerintahan yang baik, yakni sebagai berikut:

1. Asas perasamaan

2. Asas kepercayaan

3. Asas kepastian hukum

4. Asas kecermatan

5. Asas pemeberian Alasan(Motivasi)

6. Larangan “detournament de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang)

7. Larangan bertindak sewenang-wenang.25

Bertitik tolak beberapa asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik

yang dikemukakan oleh koentjoro Poerbopranoto dan yang dikemukakan oleh

252 .Philipus M.Hadjon,et.al,2005, Pengantar Hukum Admonistrasi Indonesia,Gajah Mada University Press, Yogyakarta,hal.270

25

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Philipus M.Hadjon, pada prinsipnya merupakan suatu kaidah dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Dari beberapa asas tersebut diatas yang

mempunyai relevansi dalam penulisan ini adalah : Asas Kepastian Hukum.

Dimana dalam Asas kepastian hukum dalam asas dalam Negara hukum yang

melandaskan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap

kebijakan penyelenggraan negara. Sebab tanpa adanya suatu aturan hukum yang

jelas akan menimbulkan masalah-masalah dikemudian hari. Asas ini berkaitan

Pemberhentian Kepala Daerah serta pengambilan keputusan oleh DPRD Untuk

mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah kepada Presiden melalui menteri

dalam Negeri.

3. Konsep Pemberhentian

Ketentuan Pasal 29 ayat ( 1) seorang Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah

berhenti karena: meninggal dunia, Permintaan sendiri, diberhentikan.

Pemberhentian sebagai kepala daerah adalah pemberhentian yang

menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi berkedudukan sebagai Seorang

Kepala

Daerah. Pemberhentian dari jabatan sebagai kepala daerah adalah pemberhentian

yang menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi bekerja pada suatu satuan

organisasi Negara.

Jenis-Jenis Pemberhentian Sebagai Kepala daerah. Pemberhentian

sebagai Kepala daerah atas usulan DPRD dan pemberhentian kepala

derah tidak melalui usulan. Kepala Daerah yang diberhentikan melalui

26

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

usulan DPRD Pemberhentian atas usul DPRD ini dibagi dalam dua

kelompok alasan sebagai berikut:

a. Karena alasan berakhir masa jabatannya dan telah dilantik

pejabat yang baru dan karena alasan karena tidak dapat

melaksanakan tugas secara, berkelanjutan atau berhalangan tetap

secara berturut-turut selama 6 bulan (pasal. 29 ayat (2) a dan b.).

Pemberhentian karena alasan ini diusulkan DPRD kepada Presiden .

b. Pemberhentian Kepala Daerah dan/ atau Wakil Kepala Daerah

karena alasan : a) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Daerah

dan atau Wakil Kepala Daerah ; b) dinyatakan melanggar

sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala

daerah;c) tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah dan/atau

Wakil Kepala Daerah; dan d) melanggar larangan hagi Kepala Daerah

dan/atau Wakil Kepala Daerah. Pemberhentian karena alasan ini

diputuskan dalam Rapat Paripurna DPRD berupa "pendapat DPRD"

untuk diajukan ke Mahakamah Agung guna diperiksa, diadili dan

diputuskan.

Sedangkan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah

tanpa melalui usulan DPRD. Pemberhentian model ini dilakukan secara

langsung olch Presiden dengan dua sifat Sebagi berikut:

a. Pemberhentian sementara. Pemberhentian sementara dilakukan

langsung oleh Presiden karena alasan: a) apabila dinyatakan

27

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana

penjara paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan

pengadilan (sesuai dengan penjelasan pasal ini, pengadilan yang

dimaksud adalah pengadilan pertama/pengadilan negeri). b) karena

diduga melakukan tindak pidana terorisme, makar dan/atau tindak

pidana terhadap keamanan negara. Pemberhentian model ini

dilakukan melalui usulan DPRD.

b. Pemberhentian. Pemberhentian dilakukan oleh Presiden tanpa

melalui usulan DPRD karena alasan : a) terbukti melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun

atau lebih berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki

kekuatan hukum tetap; b) terbukti melakukan tindak pidana

terorisme, makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

Djohermansyah Djohan , mengemukakan sesuai aturan dalam UU

No 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005, maka

pemberhentian sementara kepala daerah yang terjerat hukum tidak

harus melalui usulan DPRD.lebih lanjut dikatakan bahwa

“Secara etika pemerintahan, memang tidak elok seorang kepala

daerah yang sudah ditahan masih mengendalikan pemerintahan

dari balik penjara. Tetapi, bila masih berstatus tersangka, kita

masih menganut azas praduga tak bersalah sehingga

dimungkinkan seorang gubernur atau bupati untuk memimpin

dari rumah tahanan”26.

26

2

Djohermansyah Djohan,Pemberhentian Kepala Daerah Tak Berkasus Tak Mesti Lewat DPR.serial online 7 maret 2010.available from:

28

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Nursyahbani Katjasungkana27, merumuskan

beberapa alasan mengapa ada kewenangan presiden berdasarkan Pasal 31 ayat (1)

Undang-Undang Pemda tersebut. Pertama, pemberhentian sementara

dimaksudkan untuk menghindari terhambatnya proses pemerintahan di daerah,

karena proses hukum akan memakan waktu yang cukup lama. Kedua,

pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memudahkan urusan-urusan

penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga tugas-tugas kepala daerah yang

dialihkan ke pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara

pemerintah daerah tidak akan terpengaruh proses hukum pejabat daerah yang

berstatus sebagai terdakwa. Ketiga, kepala daerah dapat diberhentikan sementara

tanpa melalui usulan DPRD.

4. Teori Kewenangan

Secara teoritik Hukum Administrasi Indonesia berkolerasi erat dengan

konsepsi Negara Hukum Indonesia dan demokrasi, bahkan sangat esensial dalam

memberikan corak bagi pertumbuhan dan perkembangan Hukum Administrasi

Indonesia. Hanya dengan akar demokrasi yang kuat dibawah pohon negara

Hukum Indonesia serta dibawah naungan Hukum Administrasi Indonesia, dapat

diwujudkan penyelenggaraan negara yang bersih ( clean government )

URL:http://matanews.com

27

2

Nursyahbani Katjasungkana.Pemeberhentian Sementara Kepala Daerah vs Persumption Of Innocent.serial online 27 oktober2008.availablefrom:URL:http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=63

29

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Asas demokrasi merupakan dasar dari Negara Hukum Indonesia dan

Hukum Administrasi Indonesia, karena secara substansial asas demokrasi

meletakan dan menjunjung tinggi superioritas kedalautan rakyat dalam

penyelenggaraan pemerintah. Demokrasi dan Hukum Administrasi Indonesia

sebagai pelaksanaan cita-cita pemerintah dari yang di perintah akan menimbulkan

konsekwensi bagi badan / pejabat tata usaha negara di mana setiap tindakan

badan / pejabat tata usaha negara “ harus’’ terlebih dahulu memperoleh

persetujuan dari yang di perintah ( rakyat )

Dalam sebuah Negara Hukum modern, persetujuan dari rakyat tersebut di

berikan melalui wakil-wakilnya, di parlemen (DPR) yang dituangkan dalam

bentuk undang-undang, sehingga melahirkan asas legalitas. Asas Demokrasi dan

asas legalitas inilah yang kemudian menjadi dasar kewenangan atau legitimasi

bagi badan /pejabat tata usaha negara dalam bertindak yang di perolehnya melalui

atribusi. Dasar kewenangan atau atribusi ini sangat penting dalam sebuah negara

demokrasi, terutama bagi badan / pejabat tata usah negara dalam melakukan

tindakan-tindakan hukum yang sifatnya membebankan sesuatu kepada seseorang

atau masayarakat, misalnya, pembebanan pajak.

Di Indonesia secara formal asas legalitas atau asas keabsahan ditemukan

ketentuannya dalam pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, yang menyatakan : Badan atau pejabat Tata Usaha

Negara melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

30

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Asas legalitas tersebut dapat di temukan dalam setiap negara hukum,

misalnya di Inggris asas legalitas itu disebut asas the rule of law,di Belanda

disebut wet matigheid van bestuur atau rechmatigheid van bestuur,sedangkan di

Perancis disebut asas Ie principe de la legelite de I’administration dan di Jerman

disebut asas gesetzmassigkeit der varwaltung.

Asas legalitas tersebut sebagai dasar kewenangan atau keabsahan dalam

menyelenggarakan pemerintahan ,dapat terjadi karena diberikan oleh badan

administrasi negara melalui attribusi atau diberikan oleh administrasi negara

kepada administrasi negara lainnya melalui peraturan perundang-undangan

dengan cara delegasi atau mandat.

Dilihat dari asalnya atau sumber wewenang attributive (legislators) dapat

dibedakan, asalnya diperoleh dari pemerintah tingkat pusat ( MPR dan / atau DPR

/ DPD) serta dari pemerintah di tingkat daerah (DPRD) atau di tingkat desa

(BPD). Asal wewenang itu di sebut original legislator atau dari pembuat undang-

undang asli (originale ivetgever). Selanjutnya, apabila presiden berdasarkan suatu

ketentuan undang-undang mengeluarkan suatu peraturan pemerintah (PP) yang

menciptakan wewenang pemerintah kepada badan / pejabat tata usaha negara,

maka wewenang itu disebut delegated legislator atau gedelegeerde attributie.

Dalam Black’s Law Dictionary dijelaskan bahwa28 Authority right to

exercise poers; to implament and enforce laws; to e’ast obedoce; to command; to

judge. control over; jurisdiction; often syimonyomus whit power deleted by a

282 .Hery Cambeli Black, Black’s Law Dictionary,St.Paul Minn, West Publishing Co,1997,h.119

31

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

pricial I his agent to effect legal of principal by acts done in accordance whit

pripical’s manifestation of conttens to agent.

Philipus M.Hadjon mengemukakan bahwa istilah wewenang atau

kewenangan disejajarkan dengan bevoegheid, tetapi mempunyai perbedaan

karakter. Bevoegheid digunakan dalam hukum publik dan hukum privat.

sedangkan wewenang selalu digunakan dalam hukum publik. Dengan demikian,

wewenang sejajar dengan bevoegheid dalam hukum publik29.

Dalam hukum perdata jika seseorang atau suatu badan telah memenuhi

kualifikasi tertentu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, maka

berwenang mengadakan perjanjian menurut hukum perdata. Hal itu dalam hukum

perdata di sebut dengan istilah mampu untuk berbuat ( handelingsbekwaam).

Hubungan-hubungan dalam hukum perdata dapat dilakukan sejauh tunduk pada

hukum positif30.

Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan inti dari hukum tata

negara dalam hukum adminstrasi negara. Dalam hukum tata negara, wewenang

didekskripsikan sebagai kekuasaan hukum. jadi wewenang berkaitan dengan

kekuasaan. Wewenang terdiri atas minimal tiga unsur yaitu pengaruh, dasar

hukum dan konfronitas hukum, wewenang dapat pula dilukiskan sebagai suatu

kemampuan yang diberi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk

292 .Hadjon, Philipus M. Tentang Wewenang, Dalam Yuridis, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September -Desember 1997 selanjutnya Disebut Hadjon, Philipus, M

303 .Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradailan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Pustaka Sianar Harapan Jakarta.2004. hal. 94

32

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah. Dengan adanya unsur kekuasaan,

maka wewenang merupakan legitimasi bagi dikeluarkanya keputusan-keputusan

sepihak yang bersifat mengikat terhadap orang lain. pelaksanaan wewenang itu

dapat melahirkan norma-norma hukum material maupun formal.

Philipus M. Hadjon mengemukakan ada dua sumber untuk memperoleh

wewenang yaitu attribusi dan delegasi. Namun dikatakan pula bahwa acapkali,

mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang. Tetapi,

dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah untuk membuat keputusan,

Philipus M Hadjon juga menegaskan bahwa hanya ada dua cara untuk

memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu attribusi dan delegasi31.

Sementara itu, Suwoto Mulyosudarmo menggunakan istilah kekuasaan,

mengemukakan bahwa ada dua macam pemberiaan kekuasaan yang sifatnya

atributif dan prolehan kekuasaan yang sifatnya derifatif. Perolehan kekuasaan

secara derivative dibedakan atas delegasi dan mandat32

Attribusi adalah pembentukan dan pemberian wewenang tertentu kepada

organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang berwenang

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan dan distribusi

wewenang terutama ditetapkan didalam konstitusi atau UUD. Pembentukan

wewenang pemerintahan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.Disini

31

3

. Hadjon, Philipus M,dkk, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara (Introduction To The Indonesian Administration Law),cet. I Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997. hal.128-129

32

3

Mulyosudarmo, Suwono, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Utama, Jakarta.1997.hal.39-48

33

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

terjadi pemberiaan wewenang baru oleh suatu ketentuan peraturan perundang-

undangan sehingga dilahirkan suatu wewenang baru.

Dengan demikian, pembentukan wewenang yang berdasarkan pada

atribusi nampak dari ciri-ciri sebagai berikut :

a. Melahirkan wewenang baru

b. Dilakukan oleh suatu badan yang pembentukannya berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan.

Legislator berkompeten untuk memberikan atribusi wewenang

pemerintahan dibedakan atau original legislator, seperti MPR menetapkan UUD,

dan presiden bersama DPR membuat undang-undang dan delegated legislator,

seperti : Presiden menetapkan PP yang menciptakan wewenang pemerintah organ

tertentu33.

Delegasi adalah penyerahan wewenang untuk membuat sesuatu putusan

oleh pejabat pemerintahan (delegans) kepada pihak lain (delegantaris) dan

wewenang itu menjadi tanggung jawab dari delegantaris. Syarat-syarat delegasi

adalah:

a. Harus difinitis, artinya bahwa delegans tidak dapat lagi menggunakan

sendiri wewenang yang telah diserahkan.

b. Harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, artinya bahwa delegasi

hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-

undangan.

33

3

.Indroharto,2004.Op.Cit.,hal.17

34

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

c. Tidak kepada bawahan, artinya bahwa dalam hubungan hirarki

kepegawaian tidak diperkenankan ada delegasi.

d. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya bahwa delegans

berwenang meminta penjelasan tentang peleksanaan wewenang tersebut.

e. Merupakan peraturan kebijakan (beleids-regel), artinya bahwa delegans

memberikan instruksi tentang pemberiaan wewenang tersebut.

Dengan demikian, pada delegasi selalu didahului oleh adanya atribusi

wewenang. Tripel membedakan delegasi atas primare dan secundare delegation.

Pembedaan dilakukan berdasarkan aspek kuantitas dan kualitas (sifat) primare

delegation berkaitan dengan jumlah atau keleluasaan kewenangan yang

didelegasikan, yang dapat bertambah atau berkuarang. Sedangkan secundare

delegation berkaitan dengan sifat kewenangan yaitu adakalanya bersifat

zefstanding atau zakelijk.

Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan

(mandataris) untuk membuat suatu keputusan atas nama yang memberikan

mandat (mandans).Disini tidak perlu ada peraturan perundang-undangan yang

melandasi, karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intern. Dengan

demikian, disini tidak terjadi pemberiaan wewenang baru maupun pelimpahan

wewenang dari organ atau pejabat TUN yang satu kepada Pejabat TUN yang lain.

Jadi ,wewenang pemerintahan yang dilakukan oleh mandataris atas nama dan

tanggung jawab mandans.

35

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Namun demikian, mandat dapat terajadi kepada bukan bahwahan , tetapi

hal itu baru dianggap sah apabila mandataris mau menerima pemberiaan mandat

tersebut.

a. Wewenang itu menimpakan sehari-hari dari mandans

b. Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak bertentangan

dengan bentuk pemberiaan mandat tersebut. Oleh karena itu, unsur-unsur dari

mandat (pemeberiaan kuasa) adalah:

1) Hanya dapat dilakukan oleh organ yang memperoleh wewenang

secara atributif atau pemegang delegasi

2) Tidak membawa konsekwensi bagi mandataris untuk bertanggung

jawab kepada pihak ketiga, namun dapat diwajibkan untuk memberikan

laporan atas pelaksanaan wewenang kepada mandans

3) Mandataris harus bertindak atas nama mandans

4) Pelimpahan wewenang kepada pihak ketiga hanya atas seizin

mandans.

Berdasarkan paparan teori tersebut, maka dibedakan antara pembentuk

wewenang yang diperoleh secara atributif dengan pembentuk wewenang secara

atributif dilakukan oleh pembentuk konstitusi ( pembentuk negara) yaitu PPKI.

Lembaga-lembaga negara (state institutions) memperoleh wewenang yang

ditentukan didalam UUD 1945 berdasarkan pengesahan yang dilakukan oleh

PPKI. sedangkan pembentukan wewenang dilakukan oleh pemegang wewenang

atributif.

36

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Pemahaman mengenai pembentuk wewenang berdasarkan pada teori-teori

pembentukan wewenang atau cara memperoleh wewenang merupakan merupakan

salah satu masalah dalam HTN dan HAN yang akan tetap aktual dan menarik

perhatiaan para ahli hukum . Terlebih lagi dengan dilakukannya amandemen

terhadap UUD 1945 yang menyebabkan perubahan struktur ketatanegaraan RI.

Perkembangan mengenai lembaga-lembaga negara sangat mencolok,

terutama menyangkut hubungan antara legislatif dengan eksekutif dan yudikatif

yang dilandasi oleh suatu paradigma baru bagi Indonesia yaitu system pemisahan

kekuasaan berdasarkan perinsip pengawasan dan keseimbangan (check and

balances system) yang dipandang sebagai urat nadi pemerintahan demokratis yang

berdasarkan atas hukum. Pendelegasian wewenang perundang-undangan justru

menimbulkan ketegangan yang berkaitan dengan masalah politis konstitusional.

Oleh karena itu, produk hukum yang berupa peraturan perundang-undangan harus

jelas mengatur mengenai hal itu. Jika tidak , persoalan sengketa antar wewenang

tidak akan terelakan.

5.Teori Hak Asasi Manusia dan Demokrasi

Prinsip fundamental dari suatu keadilan adalah pengakuan bahwa semua

manusia itu memiliki martabat yang sama. Disamping itu memiliki hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang sama pula. Hak-hak yang paling fundamental itu

adalah aspek-aspek manusia Indonesia sendiri. Semua hak yang berakar dalam

kodratnya sebagai manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan eksistensi

manusia dan merupakan konsekwensi hakiki dari kodratnya. Dalam kaitanya

dengan penyelenggraan pemerintahan,Good governance, dewasa ini menjadi

37

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

sebuah cita bersama yang selalu didengungkan pada hampir setiap kesempatan,

namun yang menjadi pertanyaan kita apakah sesungguhnya “pemerintahan

(governance)” Istilah governance secara harafiah dapat diartiakan sebagai suatu

kegiatan pengarahan, pembinaan , atau dalam bahasa Inggrisnya disebut

Guiding. Governance

adalah suatu proses dalam mana suatu system social ekonomi atau system

organisasi social kompleks lainya yang dikendalikan dan diatur34 . Menurut

Paquet “Governance is the process through wich a ocio -economy or any Other

Complex organization is steered”35.Sementara itu Pinto mendefinisikan

Governance Sebagai “Paraktik penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan

oleh pemerintah dalam penyelengaraan Urusan pemerintah secara umum dan

pembangunan ekonomi pada khususnya”36. Kaitannya dengan substansi tulisan

ini, maka tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu variable mutlak terciptanya

pemerintahan yang bersih adalah keharusan adanya sebuah

pertanggungjawaban. Good Governance berkaitan erat dengan hak-hak asasi

yang berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pemerintah yaitu:

343 Karhi Nisjar S, Beberapa catatan tentang Good Governance, Dalam jurnal Administrasi dan Pembangunan , Vol.1 No.2, PERSADI LP3ES, Jakarta 1997, hal.155

353 Paquet, Gilles “Paradigms Of Governance” dalam Canadian Center For Managemen Development, Rethinking Governance, The Dewar Series : Perspektive On Publik Management 1994 Exploration No.2

363 Pinto, Regerio F, Profecting The Governance Aproach To Civil Servisce Rewform An Intitusional Enveriroment Assesment For Freparing a Sectoral Adjusment Loans at The Gambia, Word Bank Disccusion Paper, Africa Technical Departement series,hal.252

38

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

a. Menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat ( to guarantee the

sevcurity of all persons and society it self )

b. Mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sector sewasta

dan masyarkat ( to manange an effective framework for the public sector,

the private sector and civil society ).

c. Memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainya sesuai dengan

kehendak rakyat ( to promote economic, social and otheraims in

accordance with the wishes of the population)37

Demokrasi mempunyai arti penting dalam suatu negara untuk menjamin jalannya

suatu organisasi negara. Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara memberi

pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam

masalah-masalah pokok mengenai kehidupanya termasuk dalam menilai

kebijasanaan negara karena kebijaksanaan negara tersebut menentukan kehidupan

rakyat.38 Jadi,negara demokrasi adalah negara yang diselengarakan berdasarkan

kehendak dan kemauan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi berarti suatu

perorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuaan

rakyat karena kedalautan berada dalam tangan rakyat. Dalam kaitan ini patut pula

dikemukakan penadapat dari Hendry B. Mayo yang memberikan pengertian

sebagai berikut:

373 G.H.Addink,Reader,Principles of Good Governance,hal.1.3

383 Deliar Noer,1983. Pengantar Pemikiran Politik, Rajawali, Cet. Ke-1 .Jakarta.hal 207

39

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

A democratic political system is one which publik policies are made on majority

basis, by representatives subject to effective popular control periodic elections

which are conducted on the principle of political freedom.39

6.Teori Desentralisasi

Di negara Belanda teori desentralisasi dalam arti pandangan yang

proposisinya menjelasakan konsep desentralisasi, dan kutip oleh pakar-pakar

Belanda seperti F.A.M Stroink, J.S.Steenbeck, J.M.De Mij, A.D. Balifante

adalah Pandangan Van der Pot,. Yang ditulis dalam bukunya “Handboek Van

Nederlande Staatsrecht” Van der Pot membedakan konsep desentralisasi ke

dalam dua kategori, yaitu “ desentralisasi territorial” dan “ desentralisasi

fungsional”. Desentralisasi territorial menjelma dalam bentuk badan yang

didasarkan pada wilayah(gebeidcorporatie), berbentuk “otonomi” dan “tugas

pembantuan”.

Desentaralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang

didasarkan pada tujuan tertentu (doelcorporatie)40

Letak perbedaannya pada” desentralisasi fungsional” berbentuk badan-badan

yang menjalankan kewenangan dalam rangka desentralisasi berdasarkan

tujuan sesuai fungsi yang diemban. Contoh “subak” oraganisasi perairan

diBali yang menjalankan fungsi pengairan atau irigasi non teknis.

393 Hendry B. Mayo,1960. An Introduction To Democratic Theory.Oxford Univesity Press,New York.hal.70

404 Bagir manan,Op.Cit.,1993.hal.29

40

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Di Belanda, badan yang menjalankan kewenangan berdasarkan “

delcorporatie”, desntralisasi fungsional “ Waterchap” untuk mengurus

penolakan air (Waterkering) dan pembuangan air (waterlozing) pada suatu

wilayah tertentu.

Pada desntaralisasi teritoril disebut “ desentralisasi kenegaraan” badan-

badan yang menjalankan kewenangan didasrkan dalam lingkup wilayah

tertentu atau batas territorial.Baik berbentuk “Otonomi” maupun \

“ medebewind” (tugas pembantuan ). Otonomi daerah mengnandung arti hak

mengatur ( legislative), hak mengurus (eksekutive) rumah tangga sendiri,

dengan kekayaan (anggaran) sendiri.

Tugas pembantuan atau medebewind mengandung arti tugas untuk membantu

apabila di perlukan melasanakan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi. Asas medebewind dimasukan kedalam bentuk desentralisasi karena di

dalam menjalankan tugas pembantuan, daerah memiliki “ kebebasan” tentang

cara bagaimana tugas itu harus dijalankan, meskipun daerah tetap bertangung

jawab kepada pemerintahn pusat.

BC Smith menjelaskan desentralisasi merupakan hal yang universal,

“The need for sam form of decesntralization of tobe universal”41.J.H Warren

menyebutkan “A bove everthing however local geverment is a fundamental is

414 B.C.Smith, Decentralization ( the territorial dimension Of the state),George Allan & Onwin Ltd, London WCIA ILU UK,1985,hal.2

41

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

institutional because of it education effect upon the mass of ordinary

cirtixzans”.42

Pakar pemerintahan di Indonesia, Irawan soedjito,membedakan

desentarlisasi kedalam tiga kategori, yaitu desentralisasi teritorial,

desentralisasi fungsional, desentralisasi administrative atau dekosentrasi.43

Pengertian “desentralisasi territorial” dan “ desentralisasi fungsional”

sama dengan pengertian yang telah lazim diikuti ( pendapat Van der Pot)di

atas, sedangkan “ desentralisasi administrative atau dekosentrasi ”

(ombtelijk decentraliatie) mengandung arti: pemerintah pusat

melimpahkan sebagian dari kewenangannya kepada alat perlengakapan

atau organ pemerintah sendiri di daerah yakni pejabat-pejabat pemerintah

yang ada di daerah untuk dilaksanakan.44

Mengenai hubungan antara desentralisasi dan dekosentrasi, di akui oleh

Irawan Soedjito ada dua pendapat. Pendapat pertama, kelompok yang

berpendapat ,bahwa dekosentrasi sebagai bentuk dari desentralisasi. Yang

termasuk dalam kelompok ini, antara lain Rodinelli yang membagi

desentaralisasi kedalam bentuk utama, yaitu :

1) Deconcentration

2) Delegation to semi-outonomuous or parastatal agencies

3) Devolution to local development

424 J.H.Waren, The local Government service, George Allen & Onwin Ltd, Museum Street, London,1952.hal. X

434 Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah, Bina Aksara, Jakarta,1981.hal.29

444 Irawan Soedjito, Ibid,.33-34

42

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

4) Transfer of function from public non-government institution

Begitu pula pandangan dari Litvack dan Sedon, senada

mengakategorikan konsep desentralisasi menjadi empat, meliputi:

1) Desentralisasi politik

2) Desentralisasi administratif, memiliki tiga bentuk :

a. Dekosentrasi

b. Delegasi

c. Devolusi

3) Desentralisasi fiscal

4) Desentralisasi ekonomi45

Pendapat kedua, menganggap dekosentrasi hanyalah pelunakan dari

sentralisasi bukan bagaian dari desentralisasi. Pendapat ini dianut oleh UUD

1945 ( perubahan kedua). Dalam pasal 18 ayat 2 ditentukan: “ pemerintah

daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas pembantuan”

Dekosentrasi tidak diatur dalam penyelenggraan pemerintah daerah,

karena dipandang sebagai bagaian dari penyelenggaraan pemerintah pusat melekat

pada kewenangan pemerintah pusat, secara teoritis dekosentrasi merupakan

pelunakan sentralisasi menuju desentralisasi.Andi Mustari Pide mendefinisikan

Desentaralisasi sebagai“pelimpahan kekuasaan dan wewenang dibidang tertentu

secara vertical dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada

instansi/lembaga/pejabat fungsional dibawahnya, sehingga diserahi wewenang

454 Sadu Wasistiono,Op,Cit .,hal,18 dan 23

43

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

tertentu tidak berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu”46

Desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hoessein adalah

pembentukan daerah otonom dan /atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya

oleh pemerintah pusat.47 Kaitannya dengan kajian ini adalah bahwa dalam

Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 Pasal 19 menyebutkan penyelenggara

pemerintahan daerah adalah pemerintah dan DPRD. Pasal ini, secara jelas

memosisikan kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan. Implikasi

pasal ini, aktivitas penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan

bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah. Aktivitas penyelenggaraan

ini meliputi tugas-tugas desentralisasi dan tugas pembantuan. Ketentuan pasal ini

menekankan baik kepala daerah maupun DPRD dalam aktivitas penyelenggaraan

pemerintahan menekankan pada service sphere bukan pada political sphere.

Pemahaman politik dalam perspektif Undang-Undang No. 32 Tahun2004 tidak

menjangkau pada penjatuhan kepala daerah karena dalam Undang-Undang ini

tidak dikenal dengan sistem parlementer. Dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 sama sekali tak dikenal pemakzulan (impeachment) terhadap kepala

daerah melalui mosi tidak percaya. Sebab, tidak ada aturan yang memungkinkan

masyarakat dapat secara langsung meng-impeach kepala daerah. Namun, DPRD

bisa mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada

464 Andi Mustari Pide, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI. Gaya Media Peratama, Jakarta,1999,hal.33

474 Benyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Mempenagruhi Besarnya Otonmi Daerah di Tingkat II Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Jakarta.Program PPS Universitas Indonesia,1993

44

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Presiden jika memenuhi ketentuan Pasal 29 Undang-undang No 32 Tahun 2004

atau diberhentikan sementara oleh Presiden apabila melakukan tindak pidana

kejahatan (lihat Pasal 30--32 Undang-undang 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah).48

E. Metode Penelitian

1.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normative yang mengakaji

hukum positif dan asas-asas hukum serta aspek teoritiknya, menurut Soerjono

Soekanto, jenis penelitian normatif meliputi : penelitian hukum positif, asas-asas

hukum, sejarah hukum dan perbandingan hukum49.Penelitian hukum normative

mengkaji bahan-bahan hukum baik primer dari sumber yang mengikat, sekunder

yang menjelasakan bahkan hukum primer seperti karya ilmiah para sarjana, dan

bahakan hukum tersier yang menjelasakan kedua bahan hukum primer maupun

sekunder yakni kamus hukum.

2. Pendekatan yang Dipergunakan

Pendekatan yang di perggunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) yaitu

dengan mengkaji peraturan penrundang-undangan yang relevan

dengan masalah yang di bahas.

484 Syarief Makhya. Pencampuradukan Politik Dengan Pemerintahan.Serial Online 27 Maret 2006.Availablefrom:URL.http://fisip-pemerintahan.unila.ac.id

494 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1984

45

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yang mengkaji

pandangan para ahli yang berkaitan dengan pokok masalah yang

dibahas.

c. Pendekatan perbandingan ( comparative approach) dilakukan

dengan membandingkan antara undang-undang yang satu dengan yang

lainnya yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.

3. Sumber dan Jenis Bahan HukumBahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah bahan

hukum primer , bahan hukum sekunder dan tertier.

a. Bahan hukum Primer, yakni bahan hukum yang bersifat mengikat

karena bersumber dari peraturan perundang- undangan di bidang

pemerintahan daerah khususnya Undang-undang No.32 Tahun 2004

tentang pemerintahan daerah.

b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan

bahan hukum primer, karena itu bahan hukum ini di peroleh dari buku-

buku, makalah, jurnal yang ditulis oleh para ahli.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan hukum yang menjelaskan bahan

hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum di lakukan dengan menginventaris, menyusun berdasarkan

subyek, selanjutnya dikaji / atau di pelajari kemudian diklasifikasi sesuai dengan

pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan

hukum menurut Winarno Sukahman disebut teknik studi dokumentasi dengan

46

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

menggunakan alat bantu kartu titipan (card system ) berdasarkan pengarang /

penulis ( subyek) maupun tema atau pokok masalah (obyek)50.

5. Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum terkumpul selanjutnya diklasifikasi seemikian rupa

selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik untuk mendapatkan jawaban dari

permasalahan penelitiaan. Bahan-bahan hukum dianalisis dengan pemaparan

secara sistematis dan runtut dengan teknik argumnetatif. Terhadap ketentuan

hukum yang tidak jelas ditafsirkan sesuai mentode interpretasi hukum. Interpretasi

hukum yang digunakan adalah penalaran analogi dan penalaran acontrario51.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian ini terdiri dari Bab I Pendahuluan yang terdiri dari

latar belakang, tujuan dan kegunaan penelitian,rumusan masalah, krangka teoritis,

metode penelitian dan sistematika penelitian.

Bab II Tinjauan umum tentang pemberhentian kepala daerah yang terdiri

dari kedudukan Kepala Daerah dalam sistem pemerintahan daerah menurut

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemberhentian Kepala Daerah menurut

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,dan Mekanisme pemberhentian Kepala

Daerah.

505 Wirnano Sukahman, Pengantar Penelitian ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tarsito Bandung. 1985.,hal.257

515 Soedjono Diokdjo Sisworo, Pengantar ilmu Hukum, Rajawali Press, Jakarta.,hal.156

47

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Bab III Implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian kepala

daerah,yang terdiri dari, usulan DPRD terhadap pemberhentian Kepala Daerah

dan Pelaksanaan putusan DPRD terhadap pemberhentian Kepala Daerah

Bab IV Akibat hukum terhadap pemberhentian kepala daerah yang terdiri

dari, kekosongan jabatan Kepala Daerah dan mekanisme pengisian kekosongan

jabatan Kepala Daerah.

Bab V Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH

A. Kedudukan Kepala Daerah Dalam System Pemerintahan Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Sebelum membahas mengenai pemberhentian Kepala Daerah menurut

Undang-Undang 32 Tahun 2004, terlebih dahulu dikemukakan kedudukan Kepala

Daerah dalam struktur pemerintahan daerah menurut Undang-Undang 32 Tahun

2004. Pada daerah ditentukan adanya lembaga eksekutif pemerintah dan lembaga

legislatif yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain. Hubungan antara

kepala Daerah dan DPRD ditata sedemikian rupa sehingga benar-benar sederajad

dan tidak di dominasi salah satu diantar keduanya. Masing-masing badan atau

lembaga menjalankan peran sesuai dengan kedudukan, tugas pokok dan fungsinya

dalam system pemerintahan negara Indonesia. Pemerintah Daerah dan DPRD

merupakan kesatuan integral yang memberikan pelayanan publik sesuai dengan

48

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

ketentuan hukum yang diamanatkan oleh UUDNKRI 1945. Kepala Daerah

menyelenggarakan pemerintahan di daerahanya hal ini tersirat dari ketentuan

pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2004, yang menyatakan :

“Pemerintahan daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan daerah oleh

pemerintah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Menurut Montesquieu pemerintahan dalam arti luas meliputi bidang

legislatif,eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit

menunjuk pada aparatur atau alat perlengkapan negara yang melakasanakan tugas

dan kewenagan pemerintah dalam arti sempit yaitu bidang eksekutif saja. Menurut

Van Vollenhoven sebagaimana dikutip oleh sadjino, pemerintahan dalam sempit

hanya meliputi bidang bestuur saja ,yaitu segala tugas dan kewenangan negara

dikurangi bidang perundang-undangan ( wetgeving), peradilan (rechtspraak) dan

bidang kepolisian ( politie).52

Selanjutnya mengenai istilah pemerintahan daerah tidak dapat dilepaskan

dari pengertian pemerintahan seperti yang telah diuraikan diatas. Pemerintahan

daerah meruapakan sub system dari pemerintahan yang bersifat nasional.

persoalan hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia

merupakan konsekuensi dari pembagian kekuasaan negara secara vertikal dalam

525 Sadjino.Fungsi kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, LaKsBang PRESSindo, Yogyakarata,2005.hal.24

49

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

negara kesatuan RI, sehingga melahirkan adanya pemerintahan pusat dan

pemerintahan daerah. Menurut Carl J Frederich sebagaimana yang dikutip

Miriam Budiarjo, pembagian kekuasaan secara vertikal atau disebut juga dengan

territorial division of power adalah pembagian kekuasaan menurut beberapa

tingkatan kekuasaan pemerintahan yaitu antara pusat dan pemerintah daerah(

local government)53

Lebih lanjut dalam pasal 2 Undang-undang No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa:

1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi

dan daerah itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing

mempunyai pemerintahan daerah.

2) Pemerintahan daerah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan.

3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan

otonomi seluas-seluasnya kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan

pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

pelayanan umum dan daya saing daerah.

Berikutnya dalam pasal 3 Undang-undang No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa:

1) Pemerintah daerah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 aayat (3)

adalah:

535 Miriam Budiarjo,Dasar-dasar Ilmu Politik, Garmedia, Jakarta.1988.hal138

50

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

a. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah

provinsi dan DPRD;

b. Pemerintahan daerah kabupaten kota terdiri atas pemerintah

daerah kabupaten kota dan DPRD kabupaten kota.

Ketentuan senada juga dapat kita lihat dalam pasal 19 ayat (2) Undang-

Undang No.32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa “ penyelenggara

pemerintahan daerah adalah pemerintahan daerah dan DPRD” Dari ketentuan

diatas terlihat bahwa DPRD dan Kepala Daerah merupakan unsur

penyelenggara pemerintahan daerah yang keduanya mempunyai kedudukan

sederajat, tidak dapat saling menjatuhkan. Hubungan antara Kepala Daerah dan

DPRD terjalin secara fungsional dan kemitraan. Hal ini tercermin dalam membuat

kebijakan daerah berupa peraturan daerah.

Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara Kepala Daerah dan DPRD

adalah sama-sama mitra kerja dalam membuat kebijakan daerah dan

melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga

antar kedua lembaga perlu membangun suatu sinergi hubungan kerja yang saling

mendukung, bukan merupakan lawan atau pesaing satu sama lain dalam

melaksanakan fungsi masing-masing.

DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah mempunyai fungsi

legislasi, fungsi budgetair dan fungsi pengawasan (controlling). Terkait dengan

pengawasan kepada Kepala Daerah, DPRD menurut UU No.32 Tahun 2004 tidak

lagi diberi kewenangan untuk memberhentikan Kepala Daerah sebagaimana yang

pernah diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1999. Kendati demikian, tetap

51

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

mempunyai sedikit posisi tawar dihadapan kepala daerah dengan hak mengawasi

kinerja Kepala Daerah dalam peneyelenggaraan pemerintahan

Di daerah propinsi, pihak pemerintah dipimpin oleh Gubernur yang

mempunyai kedudukan sebagai kepala daerah dan sekaligus sebagai kepala

wilayah mewakili pemerintah pusat. Sedangkan di daerah kabupaten, pihak

pemerintah di pimpin oleh Bupati dan didaerah kota dipimpin oleh walikota yang

berkedudukan sebagai Kepala Daerah otonom.

Baik Gubernur didaerah propinsi maupun Bupati dan Walikota di daerah

kabupaten dan kota mempunyai kedudukan yang sederajat dan seimbang dengan

kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat masing-masing untuk daerah propinsi

ataupun untuk daerah kabupaten dan daerah kota. Karena itu dalam Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004, istilah daerah Tinggkat I dan Daerah Tinggkat II

tidak digunakan lagi agar tidak mengesankan adanya hirarki antar daerah yang

lebih tinggi dan daerah yang tingkatanya lebih rendah.

Setiap daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah yang berdasarkan asas

desentralisasi, yang merupakan kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil

Kepala Daerah. Kepala Daerah propinsi disebut gubernur karena jabatannya juga

merupakan Wakil kepala Pemerintah pusat di daerah berdasarkan asas

dekosentrasi. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menurut asas

desentralisasi.

Reformasi yang dilakukan pemerintah melalui Undang-undang No.32

tahun 2004 adalah Kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang

persyaratan dan tata caranya ditetapakan dalam peraturan perundang-undangan.

52

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Reformasi tersebut untuk memenuhi amanat konstitusi sebagaimana yang dimuat

dalam pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) UUDNKRI 1945 yang berbunyi:

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masaing sebagai kepala pemerintahan

daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagaimana diintrodusir

Undang-undang No .32 Tahun 2004 dirasakan masih belum benar-benar

demokratis karena yang boleh mengajukan pasangan calon kepala daerah dan

wakil kepala daerah hanyalah partai politik atau gabungan partai politik,

sementara calon perseorangan/ independen tidak dimungkinkan mengikuti

pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu maka berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 005/ PPU-V/2007 kemudian diberikan ruang/ peluang kepada

calon perseorangan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.

Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kemudian

dilakukan perubahan terhadap pasal 56 Undang-undang No.32 Tahun 2004 dan

telah disahkan oleh DPR pada rapat paripurna tanggal 2 April 2008. Dalam

Undang-undang No.32 Tahun 2004 diatur mekanisme dan tata cara pengajuan

pasangan calon pereseorangan dalam pemilihan Kepala daerah Di Indonesia.

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan

baik oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang

memperoleh sejumlah kursi tertentu dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan

atau memperoleh dukungan suara dalam pemilu legislatif dalam jumlah tertentu.

53

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Syarat-syarat untuk dapat dipilih dan ditetapkan menjadi Kepala Daerah

adalah:

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Setia Kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus

1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;

c. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau

sederajat;

d. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun pada saat pendaftaran;

e. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan

menyeluruh dari tim dokter;

f. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

lebih;

g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

h. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;

54

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau

secara badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan

keuangan negara;

k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

l. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

m. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum

mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;

n. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain

riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;

o. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah

selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan

p. Tidak dalam status sebagai Penjabat Kepala Daerah.

Pada pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 disebutkan

bahwa kepala daerah adalah pemimpin daerah. Dengan demikian, kepala daerah

mempunyai tugas untuk memimpin daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum

yang didalamnya terdapat pemerintahan daerah dan komunitas-komunitas

otonomi lainya. Ada dua jenis kepemimpinan yang dijalankan oleh kepala

daerah yakni kepemimpinan organisasional dan kepemimpinan sosial54.

kepemimpinan oraganisasional karena kepala Daerah memimpin organisasi

pemerintah daerah yang terdiri dari para birokrat. Kepala daerah dapat

545 .Sadu Wasistiono. Meningkatkan Kinerja DPRD.Fokus Media,Bandung, 2009. hal.42.

55

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

mengguanakan fasilitas manajemen seperti kewenagan,anggaran,logistic untuk

menggerakan bawahanya. Pada sisi lain, kepala daerah juga harus menjalankan

kepemimpinan sosial, yakni memimpin masyarakat luas sebagai pengikutnya.

Dalam menjalankan kepemimpinan sosial, kepala daerah lebih banyak

mengendalikan kapasitas dan kapabilitas sebagai panutan bagi pengikutnya.

Dalam system pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004,DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Istilah ini

dikokordan dengan istilah unsur penyelenggara negara pada tingkat nasional yang

bisa digunakan dalam bahasa konstitusi. Sebagai Unsur penyelenggara

pemerintahan daerah, kedudukan DPRD adalah sejajar dan merupakan mitra

kepala daerah dengan fungsi masing-masing. DPRD lebih banyak menjalankan

fungsi mengatur dalam bentuk membuat kebijakan berupa peraturan daerah,

sedangkan kepala daerah lebih banyak menjalankan fungsi mengurus, dalam

bentuk pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan oleh DPRD.

Pada pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan kepala Daerah

mempunyai tugas dan wewenang:

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebiajakan yang

ditetapakan bersama DPRD.

b. Mengajukan perda.

c. Menetapakan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.

d. Menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang APBD kepada DPRD

untuk dibahas dan ditetapkan bersama.

e. Menguapayakan terlaksananya kewajiban daerah

56

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

f. Mewakili daerahnya didalam dan diliuar pengadilan, dan dapat menunjuk

kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Pada sisi lain menurut Pasal 1 butir keempat Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 disebutkan bahwa: “ Dewan Perawakilan Rakyat Daerah yang

selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perawakilan rakyat sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah” . Pasal tersebut menunjukan bahwa DPRD

mempunyai kedudukan sebagai wakil rakyat dan sebagai unsur penyelenggara

pemerintahan daerah.

Dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 menempatkan DPRD sebagai

komponen penyelenggraan pemerintahan daerah. Penempatan kedudukan DPRD

seperti itu berangkat dari pemikiran bahwa apa yang diselenggrakan di daerah

dalam rnagka otonomi merupakan deivasi atau turunan urusan pemerintahan

bidang eksekutif yang dipancarkan oleh Presiden. Dengan demikian apa yang

dikerjakan oleh pemerintah daerah dan DPRD merupakan ranah eksekutif.

Cabang-cabang pemerintahan lainya seperti legislatif, yudikatif dan auditif tidak

pernah memancarakan kekusaannya untuk di desentralisasikan kepada daerah

otonom.

Kerancuan kedudukan DPRD dalam system pemerintahan daerah dan system

pemerintahan negara timbul karena tiga hal:55

555 Sadu Wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD). Fokus Media.Bandung. 2009.hal.36

57

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

1. Nama yang digunakan adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sehingga

berkonotasi seperti DPR-nya daerah otonom, sehingga pengaturanyapun

disamakan dengan DPR. Hal tersebut terlihat dari pengaturan mengenai

susunan, kedudukan, tugas dan wewenang DPRD selalu menjadi satu dalam

undang-undang yang mengatur mengenai susuanan, kedudukan,tugas dan

wewenang DPR.

2. Proses pengisian anggota DPRD yang dilakukan melalui pemilihan umum

bersama-sama dengan pemilihan anggota DPR,sehingga para anggota DPRD

merasa seperti anggota DPR di tinggkat daerah. Hal tersebut secra tegas diatur

pada Pasal 23E ayat (2) UUDNKRI 1945 yang menyebutkan bahwa, “

pemilihan umum adalah pemilihan untuk Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah , Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

3. Fungsi-fungsi yang dijalankan DPRD sama dengan fungsi-fungsi yang

dijalankan DPR hanya berbeda cakupanya saja, sehingga memperkuat

anggapan bahwa DPRD adalah DPR-nya daerah otonom.

Adapun cara mengatasi adanya kerancuan mengenai kedudukan DPRD dalam

system pemerintahan daerah dan sistem pemerintahan negara, perlu dilakukan

pelurusan konsep berpikir sebagai berikut:56

1. Mengganti nama DPRD misalnya dengan Dewan propinsi Untuk

DPRD propinsi, Dewan Kabupaten untuk DPRD kabupaten serta Dewan

565 Ibid,hal.,37

58

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Kota untuk DPRD Kota. Penggantian nama ini tidak harus mengurangi

makna demokrasi, sepanjang pengisiannya tetap menjunjung tinggi

kedalautan di tangan rakyat.

2. Proses Pengisian anggota DPRD tidak dilaksanakan melalui

pemilihan umum bersama-sama DPR dan DPD, tetapi dilakukan bersama-

sama pemilihan kepala daerah, sehingga masa bakti anggota DPRD akan

sama dengan masa jabatan kepala daerah. Perubahan ini tentunya

memerlukan amandemen konstitusi.

3. Penamaan fungsi DPRD khususnya fungsi legislasi diganti menjadi

fungsi pengaturan supaya sesuai dengan penegertian desentralisasi yang

menyangkut hak unutk mengatur dan mengurus urusan setempat. Secara

sederhana fungsi legislasi adalah fungsi membuat undang-undang.

Produk yang dihasilkan DPRD bersama-sama Kepala Daerah bukanlah

undang-undang(law), melainkan peraturan daerah( local regulation).

Peraturan daerah tersebut apabila bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi tingakatanya atau bertentangan

dengan kepentingan umum dibatalkan oleh Presiden ,bukan oleh

Mahkamah Agung. Hal ini semakin mempertegas bahwa apa yang

dikerjakan oleh pemerintahan daerah merupakan derivasi dari kekuasaan

eksekutif di tingkat nasional.

B. Pemberhentian Kepala Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-

Undangan di Bidang Pemerintahan Daerah Dalam Persepsi Sejarah.

59

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

1. Pemberhentian Kepala Daerah Menurut Undang-Undang No.22 Tahun 1999

Tentang Otonomi Daerah.

Jika ditinjau secara historis perundang-undangan dalam Undang- Undang

No.22 tahun 1999 pemberhentian Kepala Daerah disebabkan karena penolakan

pertanggungjawaban kepala daerah. Menyimak pasal-pasal dalam Undang-

undang No.22 Tahun 1999:

1. Pasal 46

(1) Kepala Daerah ditolak pertanggungjawabannya

sebagaimana dimaksud dalam pasal 45, baik

pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun

pertanggungjawaban keuangan, harus melengkapi

dan/atau menyempurnakannya dalam jangka waktu paling

lama tiga puluh hari.

(2) Kepala Daerah yang sudah melengkapi dan/atau

menyempurnakan pertanggungjawabannya menyampaikan

kembali kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat

(1)

(3) Bagi Kepala Daerah yang pertanggungjawabannya ditolak

untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan

pemberhentiannya kepada Presiden.

(4) Tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapakan

oleh pemerintah

2. Pasal 49 huruf “g”

Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena:

g. mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang

melibatkan pertanggungjawaban, dan keteranagannya atas kasus

itu ditolak oleh DPRD

60

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

3. Pasal 54

Kepala Daerah yang ditolak pertanggungjawabannya oleh

DPRD, sebagaimana dimaksud dalam pasal 53, tidak dapat

dicalonkan kemabali sebagai Kepala Daerah dalam masa

jabatannya berikutnya.

Dari ketiga pasal Undang-undang No.22 Tahun 1999

tersebut dapat diketahui, bahwa akibat hukum terhadap

penolakan pertanggungjawaban Kepala Daerah adalah dapat

dijadikan dasar untuk memberhentikan Kepala Daerah oleh

Presiden bagi Gubernur dan oleh Menteri Dalam Negeri

terhadap Bupati/ Walikota.

Tentang akibat penolakan pertanggungjawaban Kepala

Daerah yang ditentukan oleh Undang-Undang No.22 Tahun

1999 tersebut dijabarkan lebih lanjut didalam Peraturan

pemerintah No.108 tahun 2000. Didalam PP No.108 tersebut

dinyatakan:

1. Pertanggungjawaban Kepala Daerah dapat di tolak apabila terdapat

perbedaan yang nyata antara rencana dengan realisasi APBD yang

merupakan penyimpangan yang alasannya tidaka dapat dipertanggung

jawabkan berdasarkan tolok ukur Renstra. Penilaian pertanggungjawaban

Kepala Daerah dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri

sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD.

Penolakan DPRD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3

(dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir mencakup seluruh

fraksi (pasal 7)

2. Apabila Pertanggungjawabannya ditolak, Kepala Daerah harus

melengkapi dan/atau menyempurnakan dalam waktu paling lambat 30

61

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

hari. Apabila Kepala Daerah tidak melengkapi dan menyempurnakan

dokumen pertanggungjawaban dalam jangka waktu paling lama 30

hari,DPRD dapat mengusulkan pemeberhentian kepada Presiden melalui

menteri dalam Negeri dan otonomi Daerah bagi Gubernur, kepada

Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui gubernur

Bupati/walikota.(pasal 8)

3. DPRD melakukan penilaian atas lapran pertanggungjawaban akhir tahun

anggaran yang telah disempurnakan paling lambat selesai 1 (satu) bulan

setelah lapotan tersebut diserahkan. Pertanggungjawaban Kepala Daerah

yang telah disempurnakan dapat ditolak apabila dalam laporan yang telah

disempurnakan masih tidak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan

tolok ukur Renstra. Penilaian DPRD atas pertanggungjawaban yang telah

disempurnakan, dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadri

oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD.

Penolakan atas laporan yang telah disempurnakan hanya dapat diputuskan

atas dasar persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah

anggota yang hadir dana mencakup seluruh fraksi.(pasal 9)

4. Apabila laporan pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Gubernur

ditolak untuk keduakalinya. DPRD mengusulkan pemeberhentian

Gubernur Dan Wakil Gubernur Kepada Presiden melalui Menteri Dalam

Negeri dan Otonomi Daerah. Apabila laporan pertanggungjawaban akhir

tahun anggaran Bupati/ walikota ditolak untuk keduakalinya, DPRD

mengusulkan pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota Dan

62

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah

melalui Gubernur ( Pasal 10)

5. Dalam hal pertanggungjawaban akhir tahun anggaran ditolak untuk

keduakalinya, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah membentuki

komisi peneyelidik Independen untuk Propinsi: Gubernur membentuk

komisi peneyelidik Independen Untuk kabupaten/ kota( pasal 11)

6. Hasil penilaian atas keputusan penolakan pertanggungjawaban Gubernur

oleh Komisi disamapaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi

Daerah dengan tembusan kepada Presiden.

7. Hasil penilaian atas keputusan penolakan pertanggungjawaban Bupati/

Walikota oleh komisi disamapaikan kepada Gubernur dengan tembusan

kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah (pasal 13)

8. Apabila Komisi menilai keputusan DPRD atas penolakan

pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Gubernur telah usai dengan

ketentuan yang berlaku, usul pemberhentian sebagaiamana dimaksud

dalam pasal 10 ayat (1) diteruskan kepada presiden untuk disahkan

.Apabila komisi menilai keputusan DPRD atas penolakan

pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Bupati/Walikota telah sesuai

dengan ketentuan yang berlaku, usul pemberhentian ssebagaimana

dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) diteruskan kepada Menteri Dalam

Negeri dan Otonomi Daerah untuk disahkan.(pasal 4)

9. Apabila Komisi menilai keputusan DPRD atas penolakan

pertanggungjawaban akhir tahun anggaran Gubernur tidak sesuai dengan

63

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

ketentuan yang berlaku, Presiden membatalakan keputusan DPRD

sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1). Apabila Komisi menilai

keputusan DPRD atats penolakan pertanggungjawaban akhir tahun

anggaran Bupati/walikota tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah membatalkan keputusan

DPRD sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2). ( Pasal 15)

10.Dengan dibatalkannya keputusan DPRD atas penolakan

pertanggungjawaban akhir tahun Gubernur atau Bupati/ Walikota, usul

pemeberhentian sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dinyatakan ditolak

DPRD merehabilitasi nama baik gubernur atau Bupati/Walikota. (Pasal 16)

11.Pertanggunjawaban akhir masa jabatan Kepala Daerah ditolak, apabila

terdapat perbedaan yang nyata antara pelaksanaan peneyelenggaraan

pemerintahan daerah yang merupakan penyimpangan yang alasannya tidak

dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan tolok ukur Renstra.( Pasal 19)

12.Apabila pertanggungjawaban akhir masa jabatan Kepala Daerah ditolak,

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bersangkutan tidak dapat

dicalonkan kemabali sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

untuk masa jabatan berikutnya. (Pasal 20)

13.Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dapat dipanggil oleh DPRD atau

dengan inisiatif sendiri untuk memberikan keteranagan atas dugaan

perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.(Pasal 21)

14.Apabila DPRD tidak menolak pertanggungjawaban sebagaimana

dimaksud dalam pasal 24 ayat (2), DPRD menyerahkan peneyelesaiannya

64

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

kepada pihak yang berwenang seseuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Penyelidikan dapat dilaksanakan setelah

mendapat izin dari Presiden bagi Gubernur dan Menteri Dalam Negeri

Dan Otonomi Daerah bagi Bupati/ Walikota. Apabila Gubernur dan atau

Wakil Gubernur berstatus sebagai terdakwa, Presiden memberhentikan

sementara Gubernur dan /atau Wakil Gubernur dari jabatannya. Apabila

Bupati/ walikota dan /atau Wakil Buapati/Wakil walikota bersetatus

sebagai terdakwa, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah

memberhentikan sementara Bupati/walikota dan /atau Wakil

Buapati/Wakil walikota dari jabatannya. (Pasal 25)

15. Apabila keputusan Penagadilan telah mempunyai kekuatan hukum yang

tetap dan menyatakan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah

bersalah, DPRD mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan /atau

Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dan

Otonomi Daerah. Apabila keputusan pengadilan telah mempunyai

kekuatan hukum tetap dan menyatakan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur

tidak bersalah, Presiden mencabut pemberhentian sementara serta

merehabilitasi nama baik Gubernur dan Wakil Gubernur. Apabila

keputusan pengadilan telah mempunyai kekkuatan hukum tetap dan

menyatakan Bupati/ Walikota dan/atau wakil Bupati/Wakil Walikotataidak

bersalah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah mencabut

pemberhentian sementara serta merehabilitasi nama baik Bupati/Wakil

Walikota dan /atau Wakil Bupati/Wakil Walikota.(Pasal 26)

65

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Dari ketentuan PP Nomor 108 Tahun 2000 tersebut dapat diketahui, bahwa

akibat dari suatu penolakan LPJ Kepala Daerah adalah:

1. Pemberhentian sementara terhadap Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah

apabila keterangan Kepala Daerah terhadap dugaan tindak pidana ditolak

oleh DPRD dan menyebabkan Kepala Daerah diajukan ke sidang

Pengadilan sebagai terdakwa.

2. Pemberhentian tetap terhadap Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah

apabila:

a. Kepala daerah/ wakil Kepala Daerah dinyatakan bersalah oleh

Keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,

bahwa kepala daerah/wakil Kepala Daerah telah melakukan tindak

pidana yang dianggap dapat menyebabkan timbulnya krisis

kepercayaan

b. Kepala Daerah ditolak pertanggungjawaban akhir tahun untuk

kedua kalinya.

3. Pengusulan oleh DPRD untuk pemberhentian Kepala Daerah kepada

Presiden bagi Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri bagi Bupati/

Walikota dalam pertanggungjawaban akhir tahun Kepala Daerah ditolak

oleh DPRD untuk kedua kalinya atau apabila Kepala Daerah yang

pertanggungjawabannya ditolak pertama kali namun tidak memperbaiki

laporanya.

66

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

4. Tidak dapat dicalonkan kembali Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

untuk periode berikutnya dalam hal Kepala Daerah ditolak

Pertanggungjawaban akhir masa jabatan.

2. Pemberhentian Kepala Daerah Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

Berberda dengan Undang-undang No.22 tahun 1999, semenjak berlakunya

UU Nomor 32 Tahun 2004, seringkali terdengar terjadinya konflik kepentingan

antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal disebabkan

beberapa kondisi yang sering melatarbelakangi dominasi konflik kekuasaan di

daerah adalah:

Pertama,kepentingan partai tidak terpenuhi misalnya kandidat Gubernur/Bupati/

walikota yang diajukan dan restui pipimnan pusat partai tidak terpilih.

Kedua,kepentingan DPRD tersumbat peluangnya karena pimpinan daerah

menutup peluang konspirasi. Berbagai tuntutan fasilitas bagi legislatif

tidak seluruhnya terpenuhi dalam anggaran daerah, misalnya. Atau

pimpinan daerah tidak membuka akses untuk bekerja sama melakukan “

korupsi” yang dilegalkan dengan consensus dilegislatif seperti

pemerintah daerah diharuskan menandai perjalanan studi banding ke

daerah atau mengadakan fasilitas pribadi anggota dengan dana

nonbgjeter atau diluar anggaran.

Ketiga, pimpinan daerah secara hukum benar-benar melanggar Undang-undang

atau terlibat tindak pidana dan dituntut ke pengadilan.

67

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Jika hal ini benar-benar terjadi pada suatu lembaga DPRD, maka akan

memunculkan persoalan-persoalan antara lain:

1) Mematikan mekanisme yang sehat, sehingga menghambat terjadinya

Clean and strong government.

2) DPRD dan Kepala Daerah akan lebih banyak berorientasi kepada

kepentingan partai daripada kepentingan rakyat.

3) Terbuka pintu yang lebar terhadap terjadinya kolusi antara eksekutif dan

legislatif

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Kepala Daerah dan/atau

Wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau

diberhentikan. Dalam hal kepala daerah daerah yang diberhentikan dari

jabatannya kerena:

a. Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru.

b. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan

tetap secara berturut selam enem bulan.

c. Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai kepala daerah dan/atau wakil

Kepala Daerah.

d. Dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala Daerah dan/atau

wakil kepala Daerah.

e. Tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah.

f. Melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

68

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Pemberhentian Kepala Daerah dan/atau kepala daerah, dilaksanakan dengan

mengacu pada ketentuan, yakni sebagai berikut:57

a. Melanggar sumpah / janji.

1. Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah diusulkan

kepada presiden berdasarakan putusan Mahkamah Agung atas pendapat

DPRD bahwa kepala daerahdan/atau wakil kepala daerah dinyatakan

melanggar sumpah / janji jabatan dan/atau tidak melasanakan kewajiban

kepala daerah dan wakil kepala daerah.

2. pendapat DPRD diputuskan melalui rapat paripurna DPRD yang

dihadiri sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota DPRD dan putusan

diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota

DPRD yang hadir.

3. Mahkamah wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat

DPRD paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima

mahkamah agung dan putusan bersifat final.

4. Apabila mahkamah agung memutusakan kepala daerah dan/atau

wakil kepala daerah telah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan

/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan rapat

paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah

anggota DPRD dan putusan diambil dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemeberhentian

kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada presiden.

575 Siswanto Sunarno,2005.Op,Cit.,hal.,59

69

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

5. Presiden wajib memperoses usul pemeberhentia Kepala daerah dan

atau wakil kepala daerah tersebut, paling lambat 30 hari sejak DPRD

menyampaikan usul tersebut.

b Melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau Lebih.

Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah diberehentikan sementara oleh

presiden tanpa melalui DPRD, apabila dinyatakan melakukan tindak pidana

kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau

lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

c. Melakukan Tindak pidana korupsi, Tindak pidana Terorisme, Makar, dan /atau

Tindak Pidana Terhadap keamanan Negara.

Kepala daerahdan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa

melalui usulan DPRD kerena terbukti melakukan maker dan/atau perbuatan

lain yang dapat memecah belah NKRI yang dinyatakan dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap .

d. Menghadapi krisis kepercayaan.

Dalam hal Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah mengahadapi krisis

kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan

melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angketnya untuk

menanggapinya. Penggunaan hak angket dilaksanakan setelah mendapat

persetujuan rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4

dari jumlah anggota DPRD danputusan diambil dengan persetujuan sekurang-

70

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan

penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Dalam hal ditemukan bukti tindak pidana dimaksud, DPRD

menyerahkan proses penyelesaiaannya kepada aparat penegak hukum sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Apabila kepala daerah dan/atau wakil

kepala daerah dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan

ancaman paling singkat lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan

yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap,DPRD mengusulkan

pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.

Berdasarkan Keputusan DPRD tersebut, presiden menetapakan

pemberhentian sementara Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala dinyatakan bersalah berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Pimpinan

DPRD mengusulkan berdasarkan berdasarkan keputusan rapat paripurna

DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan

putusan dapat diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota DPRD yang hadir. Berdasarkan keputusan DPRD tersebut

presiden memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara

karena dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan diancam pidana penjara

lima tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, atau karena didakwa melakukan tindak pidana

korupsi,tindak pidana,makar,dan/atau tindak pidana terhadap keamanan

71

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

negara yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, serta berdasarkan keputusan DPRD yang menetapkan

pemberhentian sementara sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah,setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak

bersalah,berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, paling lambat 30 hari, presiden merehabilitasikan dan

mengefektifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang

bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya. Apabila kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah yang diberehentikan sementara telah berakhir

masa jabatannya, preiden merehabilitasikan kepala daerah dan/atau wakil

kepala daerah yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali.

Apabila kepala daerah tersebut diberhentikan sementara, wakil

kepala Daerah tersebut diberhentikan sementara, wakil kepala daerah

melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya

keputusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian

pula, apabila wakil kepala daerah diberhentikan sementara maka tugas dan

kewajiban kepala daerah dilaksanakan oleh kepala daerah sampai dengan

adanya keputusan pengadilan yang mempunyai kekutan hukum yang tetap.

Apabila kepala Daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara,

presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri , atau

penjabat bupati/walikota atas usul Gubernur

dengan pertimbangan DPRD samapai dengan adanya putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

72

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Apabila kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jabatan kepala

daerah diganti oleh wakil kepala daerah samapai berakhir masa jabatannya

dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan rapat paripurna

DPRD dan disahkan oleh presiden. Apabila terjadi kekosongan wakil kepala

daerah yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan, kepala daerah

mengsulkan dua orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih oleh rapat

paripurna DPRD berdasarkan usul paratai politik atau gabungan partai politik

yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil

kepala daerah. Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau

diberehentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, rapat paripurna

DPRD memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, paling lambat enem bulan

terhitung sejak ditetapkanya pejabat kepala daerah. Dalam hal terjadi

kekososngan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekretaris daerah

melaksanakan tugas sehari-hari kepala daerah sampai dengan presiden

mengangkat pejabat kepala daerah.

e. Tindakan penyidikan

Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari

presiden atas permintaan penyidik. Dalam persetujuan tertulis tersebut, tidak

diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak

diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat

73

Page 74: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan

diperlukan dengan persetujuan tertulis dari presiden, dan dalam persetujuan

tertulis tidak diberikan oleh presiden, dalam waktu 60 hari terhitung sejak

diterimanya permohonan, proses penahanan dapat dilakukan. Hal-hal yang

dapat dikecualikan dari ketentuan diatas, apabila tertangkap tangan melakukan

tindak pidana kejahatan, atau disangka telah melakukan tindak pidana

kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak

pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Tindakan penyidikan itu wajib

dilaporkan kepada presiden paling lambat 2x 24 jam.

Tindakan penyelidikan dan penyidikan ini dijabarkan lebih lanjut dalam

Peraturan Pemerintahan No.6 Tahun 2005 Pasal 113:

(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah

dan/atau Wakil Kepala Daerah,dilaksanakan setelah adanya

persetujuan tertulis dari Presiden atas Permintaan Penyidik.

(2) Dalam persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60

( enem puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan,

proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

(3) Penyampaian permohonan peneyelidikn dan penyidikan

sebagaimana dimaksud pada ayat(2) disertai ujian yang jelas

tentang tindak pidana yang diduga telah dilakukan oleh Kepala

Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.

74

Page 75: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

(4) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan

diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan

sabagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(5) Penyampaian permohonan penahanan sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) disertai uraian yang jelas tentang tindak pidana

yang diduga dan alasan penahanan Kepala Daerah dan /atau

Wakil Kepala Daerah.

(6) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) adalah:

a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana

kejahatan

b. Disangka telah melakukan tindak pidana

kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau

telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap

keamanan Negara.

(7) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

setelah dilakukan, wajib dilaporkan kepada Presiden paling

lambat dalam waktu 2(dua)kali 24(dua puluh emapat)jam.

Dalam penjelasan lebih lanjut istilah pemberhentian sering

disebut dengan Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”,

yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti,

maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian

dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah

pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran

hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black,

75

Page 76: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

“Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.”

Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih

bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhan58

Menurut Webster’s New World Dictionary, istilah “to impeach”,

berarti, “to bring (a public official) before the proper tribunal on the

charges of wrongdoing”. Sementara itu, Encyclopedia Britanica

menjelaskan pengertian impeachment sebagai, “a criminal proceeding

instituted against a public official by a legislative body”59

Impeachment menurut Black Law Dictionary adalah60:

A criminal proceeding against a public officer. Before a quasi

political court, instituted by a written accusation called

“article of impeachment”. For example a written accusation

by the house of representatives of the United States to the

Senate of the United States, against the President, Vice

President, or an officer of the United States.

Lebih jelas, menurut Marsilam Simanjuntak impeachment adalah61

Suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus terhadap seorang

pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik,

karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang

585 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 600.

595 Winarno Yudho, dkk (tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi), Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (laporan penelitian), Jakarta, 2005, hal. 27.

606 Kunthi Dyah Wardani, Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2007, hal. 16.

616 Ibid., hal,16

76

Page 77: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

ditentukan Undang-undang Dasar. Hasil akhir dari mekanisme

impeachment ini adalah pemberhentian dari jabatan, dengan

tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan

pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya.

Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses

pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian

demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga

“impeachment” itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal proses

permintaan pertanggungjawaban yang disebut impeachment itu tidak

selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang

dimintai pertanggungjawaban. Contoh kasus adalah peristiwa yang

dialami oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang di-

impeach oleh House of Representatives, tetapi dalam persidangan Senat

tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga kasus Bill Clinton

tidak berakhir dengan pemberhentian.

Melihat dari contoh yang telah terjadi, maka haruslah dibedakan

antara perkataan “impeachment” dengan “removal from office” yang

berarti pemberhentian dari jabatan. Seperti dikatakan oleh Jethro K.

Lieberman, “impeachment is the means by which the federal officials

may be removed from office for misbehavior”62. Lembaga impeachment

ini hanyalah sarana untuk melakukan pemberhentian terhadap pejabat

626 Winarno Yudho, dkk., Op.Cit, hal. 28

77

Page 78: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

publik. Namun hasilnya masih tergantung pada proses hukum dan politik

yang melingkupinya.

Impeachment merupakan proses politik. Sehingga di dalamnya

tidak terdapat sanksi pidana ataupun sanksi kurungan. Yang ada hanyalah

sanksi pemberhentian dari jabatannya. Namun bila terbukti ada tindak

pidana di dalamnya, maka prosedur penyelesaian tindak pidana seperti

biasanya tetap dapat dilakukan, hanya saja hal tersebut dilakukan

setelah pemberhentian tersebut terlaksana.

Proses impeachment merupakan salah satu kekuasaan yang

dipegang oleh parlemen. Ini adalah sebagai bentuk dari fungsi kontrol

parlemen terhadap para pejabat publik yang telah diberikan amanat oleh

rakyat untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Sehingga apabila

seorang pejabat publik dalam masa jabatannya terbukti melakukan

pelanggaran baik yang telah diatur dalam konstitusi maupun hukum

positif yang berlaku, kepadanya dapat dihadapkan pada proses

impeachment dengan tujuan memberhentikan yang bersangkutan dari

jabatannya.

C. Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah

a. Pemberhentian Kepala Daerah Berdasarkan Usulan DPRD

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan

pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui

Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam

78

Page 79: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota.” Berdasarkan isi dari

pasal tersebut DPRD mempunyai kewenangan untuk mengusulkan

pemberhentian Kepala Daerah. Prihal pemberhentian kepala daerah melalui

usulan DPRD,apabila kepala daerah mengahadapi krisis kepercayaan yang

luas karena melakukan tindak pidana yang melibatkan

tanggungjawabnya,maka dalam hal ini DPRD menggunakan hak angket

untuk menanggapinya.Pelaksanaan hak angket,dilakukan sebagai kelanjutan

hak interpelasi yang dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Rapat

Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4(tiga perempat)

dari jumlah anggota DPRD dan diambil persetujuan sekurang-kurangnya 2/3

(dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan

peneyelidikan terhadap kepala daerah.

Dalam menggunakan hak angket,akan dibentuk panitia angket yang terdiri

atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lambat 60

(enem puluh) hari dan akan menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.

Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana,maka DPRD akan

menyerahakan prosesnya kepada aparat penegak hukum sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Apabila kepala daerah dinyatakan berasalah

karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat 5

(lima) Tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum

mempunyai kekuatan hukum tetap,maka sebagai tindaklanjutnya DPRD

mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.

79

Page 80: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Berdasarkan Keputusan DPRD tersebut,Presiden menetapkan

pemberhentian sementara terhadap kepala daerah dan Menteri Dalam Negeri

menetapakan pemberhentian sementara kepala daerah paling lamabat 30(tiga

puluh) sejak usulan pemberhentian. Apabila kepala daerah dinyatakan

bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap, maka pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian Kapala

Daerah dengan Keputusan pimpinan DPRD. Berdasarkan keputusan

Pimpinan DPRD, Presiden menetapkan pemberhentian kepala daerah

tersebut.

Apabila kepala daerah ,setelah melalui proses peradilan dinyatakan tidak

bersalah,berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum yang tetap,maka paling lambat 30 (tiga puluh ) hari Presiden telah

merehabilitasikan dan telah mengaktifkan kembali kepala daerah

bersangkutan sampai akhir masa jabatannya. Apabila Kepala daerah yang

diberhentikan sementara telah berakhir masa jabatannya, maka Presiden

merehabilitasikan kepala daerah bersangkutan dan tidak mengatifkannya

kembali.

b.Pemberhentian kepala Daerah Tanpa Melalui Usulan DPRD

Dalam Pasal 31 Undang-Undang No.32 Tahun 2004:

(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidanaterhadap keamanan negara

(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena terbukti

80

Page 81: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap .

Pemberhentian Kepala daerah oleh Presiden tanpa melalui usulan

DPRDdijabarkan lebih lanjut dalam PP No 6 Tahun 2005 yang dinyatakan

dalam pasal 127:

(1) Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberehentikan tanpa melalui usulan DPRD, karena terbukti malakukan tindak pidana korupsi,terorisme,maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan Negara yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2) Presiden memperoses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan putusan pengadilan yang telaha mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur terbukti melakukan tindak pidana korupsi,terorisme,maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, melalui usulan Menteri Dalam Negeri.

(3) Menteri Dalam Negeri memperoses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan Putusan Penagadilan yang telaha mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan Bupati dan /atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, maker dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, melalui usulan Gubernur.

Kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui

usulan DPRD,apabila melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam

dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan

putusan pengadilan. Presiden memperoses pemberhentian sementara

berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang menyatakan kepala daerah

terbukti melakukan tindak pidana kejahatan melalui usulan dari Menteri

Dalam Negeri. Proses pemberhentian sementara Kepala Daerah, dilakukan

81

Page 82: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

apabila berkas perkara dakwaan melakukan tindak pidana

korupsi,terorisme,makar dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara

telah melimpahkan ke pengadilan dan dalam proses penututan dengan

dibuktikan register perkara. Berdasarkan bukti register perkara Presiden

memberhentikan sementara kepala daerah melalui usulan Menteri Dalam

Negeri.

Bahwa Kepala Daerah diberhentikan secara langsung oleh Presiden tanpa

melalui usulan DPRD,karena kepala daerah tersebut terbukti melakukan

tindak pidana korupsi,terorisme,maker dan/atau tindakan pidana terhadap

keamananan negara yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Presiden memperoses

pemberhentian berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap yang menyatakan bahwa kepala daerah terbukti

melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah disebutkan diatas,melalui

usulan Menteri Dalam Negeri.

Menteri Dalam Negeri memperoses berdasarkan Putusan Pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa kepala

daerah terbukti melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, maker dan/atau

tindak pidana terhadap keamanan negara, melalui usulan Gubernur.

BAB III

82

Page 83: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

IMPLIKASI USULAN DPRD TERHADAP PEMBERHENTIAN KEPALA

DAERAH

A. Usulan DPRD Terhadap Pemberhentian Kepala Daerah

Berbicara tentang pemberhentian Kepala Daerah tentunya tidak terlepas

dari peran DPRD dalam mengusulkan pemberhentian tersebut, sebagaimana yang

diatur dalam Undang-undang 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat (1) huruf d

“ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/ wakil kepala

daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD Propinsi dan

kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten / kota”

kewenangan yang diberi undang-undang tentunya berdampak pada

pemberhentian kepala daerah. Kewenagan DPRD dalam mengusulkan

pemberhentian kepala daerah diatur juga dalam pasal 293 ayat (1) huruf d

Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan,

DPRD Provinsi memiliki tugas dan wewenang untuk mengusulkan pemberhentian

Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah kepada Presiden melalui Mendagri.

Dalam ketentuan pasal 29 ayat (3) Undang-undang No. 32 Tahun 2004

“Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b

diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna

dan diusulkan oleh pimpinan DPRD”.

83

Page 84: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Berdasarkan isi pasal tersebut,bahwa usulan untuk memberhentikan kepala

daerah diputuskan lagi dalam rapat paripurna. DPRD dalam pasal 43 Undang-

undang No.32 Tahun 2004 telah diatur mengenai hak DPRD yaitu :

(1) .

a. Interpelasi; adalah hak DPRD untuk meminta keterangan Kepala

Daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan

strategis serta berdapak luas pada kehidupan masyarakat.

b. Angket; adalah fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan

penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu kepala daerah yang

dan strategis serta berdampak luas kepada kehidupan masyarakat,

daerah dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

c. Menyatakan pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat

terhadap kebijakan kepala daerah atau sebagai lembaga mengenai

kejadian luar biasa yang terjadi didaerah disertai dengan rekomendasi

penyelesaiaannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak

interpelasi dan hak angket.

(2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana Pelaksanaan hak angket sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan

dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga

perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan

84

Page 85: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD

yang hadir.

(3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang

bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan

hasil kerjanya kepada DPRD.

(4) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang

dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki

serta untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan

hal yang sedang diselidiki.

(5) Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud

pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan

yang sah menurut peraturan perundang-undangan.

(6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi

panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket dapat

memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik

Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.

(8) Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan

pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada

peraturan perundang-undangan.

85

Page 86: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Pemberian hak-hak tersebut dinilai terkesan sebagai bonus kepada DPRD

yang kewenagannya dan hak-haknya telah direduksi oleh Undang-undang No.32

tahun 2004. Terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut biasanya Kepala Daerah

hanya sekedar mendengarkan “ uneg-uneg” dan “curahan hati” DPRD terkait

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kepala Daerah tidak berkewajiban

melaksanakan dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi uneg-uneg DPRD

tersebut, tetapi biasanya menjawab dengan kalimat bersayap seperti “ akan

diperhatikan” atau “akan ditindaklanjuti”. Apabila janji tersebut tidak ditepati

oleh kepala daerah, maka DPRD hanya dapat sekedar “memanggil” untuk

dimintai keterangan tanpa kewenangan untuk memberikan sanksi. Hal itu terjadi

karena hak-hak DPRD tersebut tidak tegas dan tidak jelas apa akibat hukum atau

sanksinya jika saran atau rekomendasi DPRD tidak di indahkan oleh Kepala

Daerah. Situasi dan kondisi demikian mirip dengan suasana Orde Baru dimana

kepala daerah lebih dominan terhadap DPRD dalam penyelengaraan pemerintahan

daerah.63

Bila dilihat dalam menanggapi usulan pemberhentian Kepala Daerah

tersebut DPRD menggunakan hak angket yang dilakukan setelah diajukan hak

interpelasi untuk mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri

sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota DPRD dan persetujuan diambil

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam

menggunakan hak angket tersebut dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua

63

6

Sudono Syueb.Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi.laksbang Mediatama,Surabaya.2008.hal.88

86

Page 87: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 hari telah

menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD.

Selanjutnya, panitia angket memangil mendengar dan memeriksa Kepala

Daerah yang dianggap mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta diminta

untuk menunjukan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sah

menurut perundang-undangan. Kepala Daerah yang dipanggil,didengar dan

diperiksa wajib memenuhi panggilan tersebut, dalam hal ini juga panitia dapat

memanggil secara paksa juga dengan bantuan Polri sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Pemanggilan seorang kepala daerah oleh DPRD jika kepala daerah

tersebut dianggap telah melakukan tindakan melawan hukum, maka dalam hal ini

sebagai organ pemerintahan daerah DPRD juga mempunyai fungsi pengawasan

sebagai cita-cita dan menuju masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur

memerlukan kemapanan,harmonisasi sinergis antara hubungan antar unsur

penyelenggara Pemerintahan daerah guna terciptanya saling kontrol antara

DPRD dan kepala daerah.

Penggunaan hak angket oleh DPRD lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal

128 Peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yaitu:

1. Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil Kepala Daerah mengahadapi

krissi kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak

pidana yang melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angket

untuk menanggapinya.

87

Page 88: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

2. Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan

sebagai kelanjutan hak interpelasi yang dilaksanakan setelah mendapat

persetujuan Rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya

3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan

persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD

yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala Daerah dan/atau

Wakil Kepala Daerah.

3. Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dibentuk panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja

dalam waktu paling lambat 60 hari (enem puluh ) dan menyampaiakan hasil

kerajanya kepada DPRD.

4. Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang

dimaksud pada ayat (1), DPRD menyelesaikan proses penyelesaiannya kepada

aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5. Apabila Kepala Daerah dan /atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan

berasalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara

paling singkat 5 (lima ) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang

belum mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat

(4), DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.

6. Berdasarkan Keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5),

presiden menetapkan pemeberhentian sementara Gubernurdan /atau Wakil

Gubernur, dan Menteri Dalam Negeri meetapkan pemberhentian sementara

88

Page 89: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau wakil walikota paling

lambat 30 (tiga puluh )hari sejak usulan pemberhentian.

7. Apabila Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah dinyatakan bersalah

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,

Pimpinan DPRD mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan/atau wakil

Kepala Daerah dengan keputusan Pimpinan DPRD.

8. Berdasarkan keputusan Pimpinan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat

(7) presiden menetapkan pemberhentian Gubernur dan / atau Wakil Gubernur

dan Menteri Dalm Negeri Menetapkan Pemberhentian Bupati dan/atau Wakil

bupati atau Walikota dan/atau wakil walikota paling lambat 30 (tiga puluh)

hari.

Adapun mekanisme atau tata cara penggunaan hak menyatakan pendapat,

hak interpelasi dan penggunaan hak angket dapat dikemukakan sebagaimana

dijelaskan bagan - bagan berikut:64

64

6

Diolah dari Sadu Wasistiono, Meningkatkan Kinerja Dewan Pewakilan Rakyat Daerah( DPRD).FokusMedia.Bandung.2009.hal.141

89

Page 90: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Bagan 2. Mekanisme Penggunaan Hak Angket DPRD

90

Rapat Paripurna-Pengusul memberikan penjelasan

-Pandangan Anggota DPRD lainya melalui fraksi

-Para pengusul memberikan jawaban atas pandangan anggota DPRD

-keputusan DPRD menerima Usul prakarsa atau menolak usul prakarsa.

Tidak disetujui

Disetujui

usulan disampaikan Pimpinan DPRD pada rapat Paripurna

Pemakarsa mengusul 5 anggota DPRD

Rapat Paripurna-Gubernur,Bupati/walikota memberikan keterangan lisan atau tertulis

- Setiap anggota rapat mengajukan pertayaan atas keteranagan Gubernur,Bupati/ walikota

- DPRD menyampaikan pendapatnya

Dijadikan bahan untuk DPRD dalam melaksanakan fungsi

Disamapaikan secara resmi kepada Gubernur,Bupati/ walikota

Pengusulan penyelidikan penjelasan secara tertulis dan ditandatanganiDisampaikan Kepada pimpinan DPRD Anggota DPRD

Page 91: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Bagan 3.Mekanisme Penggunaan Hak

Menyatakan Pendapat DPRD

91

Rapat paripurna-Pengusul memberikan penjelasan

-Pandangan Anggota DPRD lainya

-Pengusul memberikan jawaban atas pandangan anggota DPRD

-Keputusan DPRD Menerima usul Prakarsa atau menolak usul prakarsa

Rapat panmus DPRDPembahasan jadwal

Pemakarsa/pengusul. Minimal 5 Anggota DPRD

Mengusulkan kepada Presiden untuk mencabut pemberhentian sementara dan serta merehabilitasi nama baiknya

Memberhentikan secara tetap

Tidak terbuktiTerbukti

Ada IndikasiDisampaikan kepada aparat penegak hukumMengusulkan Kepada Presiden Untuk memberhentikan sementara

Disampaikan secara Resmi Kepada Gubernur,Bupati/Walikota

Apabila disetujui keputusan DPRD Apabila usul

perakarsa ditolak dapat mengajukan perubahan atau menarik kembali

Pansus mengadakan penyelidikan

Rapat Paripurna

MENERIMAUSULAN

MENOLAK USULAN

Usulan disampaikan dalam rapat paripurna setelah mendapat pertimbangan dari panitia musyawarah

Pemakarsa/pengusul mengajukan secara tertulis dan ditanda tangani minimal 5 anggota DPRD

Rapat Paripurna-pengusul memberikan penjelasan atas usul yang disampaikan

-Anggota DPRD lainnya memberikan pandangan melalui fraksiGubernur,Bupati

/walikota memberikan pendapat

- Para pengusul Memberikan jawaban atas pandangan anggota dan pendapat Gubernur Bupati/Walikota

- Keputusan DPRD menerima Usul Prakarsa atau menolak usul prakarsa

Keputusan DPRD-Pernyataan Pendapat-Saran Penyelesaian

- peringatan

Page 92: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan di daerah, DPRD juga

mempunyai fungsi legislasi,anggaran dan pengawasan. Tugas dan wewenang

pengawasan DPRD Secara khusus tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 pasal 24 ayat 1C yang berbunyi :

“DPRD mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan terhadap

pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainya, peraturan Kepala

Daerah, APBD, Kebijakan Pemerintah daerah dalam melaksanakan program

pembangunan daerah dan kerja sama internasional daerah”

Pengawasan ini bertujuan mengembangkan kehidupan demokrasi

menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan

kewenangannya, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara

lembaga legislatif dan eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan

92

Page 93: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

rakyat. Konsep dasar Pengawasan DPRD meliputi pemahaman tentang arti

penting pangawasan,syarat pengawasan yang efektif, ruang lingkup dan proses

pengawasan. Menurut Stoner dan Freeman65 contoroling is the process of assuring

that actual activities conform to planed activities. Secara umum dapat dikatakan

bahwa pengawasan merupakan proses untuk menjamin suatu kegiatan sesuai

dengan rencana kegiatan, artinya bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan

daerah dibutuh suatu pengawasan dari DPRD guna tercapai tujuan barsama yaitu

mensejahterakan masyarakat ,sebab tanpa adanya suatu pengawasan dapat

memunculkan penyalahgunaan wewenang pada eksekutif daerah.

Pengawasan memilki arti penting bagi pemerintah daerah karena akan

memberikan umpan balik untuk perbaikan pengelolaan pembangunan.Sementara

bagi pelaksana, pengawasan merupakan aktivitas untuk memberikan kontribusi

dalam proses pembangunan agar aktivitas pengelolaan dapat mencapai tujuan dan

sasaran secara efektif dan efisien. Secara spesifik, hasil pengawasan DPRD

terhadap Pemerintah Daerah di tujukan;

a) Untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana

dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b) Untuk menjamin kemungkinan tindakan koreksi yang cepat dan tepat

terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan dalam upaya

mencegah berlanjutnya kesalahan dan atau penyimpangan.

65

6

Stoner dan Freman dalam Sadu wasistiono. Meningkatkan Kinerja Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). FokusMedia.Bandung.2009.hal.147

93

Page 94: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

c) Untuk menumbuhkan motivasi, memperbaiki, mengurangi dan atau

meniadakan penyimpangan.

d) Untuk menyakinkan bahwa kinerja pemerintah daerah atau telah

mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.66

Melalui pengawasan tersebut, DPRD dapat membangun sebuah early

warning system atau sitem peringatan dini apabila terjadi kejanggalan atau

penyimpangan dalam proses pengelolaan tata pemerintahan. Melalui Instrumen

pengawasan, anggota DPRD dapat menggunakan hak bertanya kepada Kepala

Daerah. Jika atas pertanyaan tersebut Kepala Daerah tidak dapat memberikan

jawaban yang memuaskan DPRD dapat mengajukan interpelasi untuk meminta

keterangan kepada Kepala Daerah. Jika masih juga tidak memuaskan atas

interpelasi tersebut,DPRD dapat menggunakan hak angket. Hasil dari pelaksanaan

hak angket itu dapat bermuara kepada penggunaan hak menyatakan pendapat.

Setelah semua hak-hak DPRD digunakan dapat saja berujung pada pemberhentian

Kepala Daerah.

Dalam perjalannya juga tidak jarang kedua organ pemerintahan daerah ini,

menimbulkan masalah yang menunjukan menguatnya kewenangan DPRD dalam

hal mengsulkan pemberhentian kepala daerah ,sebab hal ini bisa saja memicu

terjadinya perubahan politik diantara kaum elit politik daerah sehingga

menimbulkan permasalahan diantara kaum eksekutif dan legislatif. Ada beberapa

66

6

Sadu Wasistiono,2009.Op.Cit.,hal. 145

94

Page 95: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

hal yang menyebabkan disharmonisasi antara eksekutif daerah dengan DPRD

menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 antara lain:67

1. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan membuat Kepala Daerah

lebih kuat dibandingkan akuntabilitas DPRD. Akibat dari kondisi tersebut

akan terjadi shift titik berat kekuatan politik yang tadinya ke DPRD/legislative

heavy menujukan kea rah executive heavy. Kondisi tersebut diperkuat lagi

dengan adanya dukungan perangkat daerah kepada Kepala Daerah, sehingga

akan memperkuat posisi Kepala Daerah.

2. Konsekuensi dari pemilihan langsung, DPRD maupun Kepala Daerah

akan bertanggung jawab langsung kepada rakyat pemilih. Kepala Daerah

tidak lagi menyampaikan laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan

pemerintahan (LPJ) kepada DPRD, namun menurut pasal 27 ayat (2) Undang-

undang No 32 Tahun 2004 mekanisme pertanggungjawaban Kepala Daerah

diatur sebagai berikut:

a. Ke atas kepada Presiden cq. Mendagri berupa LPPD ( Laporan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah)

b. Ke samping kepada DPRD berupa LKPJ( Laporan Keterangan

Pertanggungjawaban )

c. Ke bawah kepada masyarakat berupa IPPD ( Informasi

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah).

67

Made Suwandi,dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah.Jakarta.2005.hal ,21

95

Page 96: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

3. DPRD akan tetap mempunyai otoritas dalam bidang legislasi,anggaran

dan kontrol. Bila DPRD mampu menggunakan kewenangan tersebut secara

efektif, maka diharapkan DPRD sedikit banyak akan mampu mengimbangi

kekuatan eksekutif (kepala daerah)

4. Terjadinya perubahan signifikan terhadap konstruksi pemerintah daerah

yang ada sekarang, dimana terdapat kejelasan antara pejabat politik (kepala

daerah dan DPRD) dengan pejabat karir. Pejabat politik bertugas merumuskan

kebijakan politik, sedangkan pejabat karir mengoprasikan kebijakan tersebut

kedalam bentuk pelayanan publik.

Berdasarkan uraian diatas, nampak bahwa dengan adanya pemilihan

kepala daerah secara langsung oleh rakyat akan dapat meningkatkan legitimsi

politiknya dalam memimpin pemerintahan daerah, dan sekaligus menciptakan

check and balances dalam hubungannya dengan DPRD. Namun apabila DPRD

terlampau lemah atau dikuasai oleh partai yang sama dengan kepala daerah, akan

menciptakan “ power shift” ke arah “ executive heavy” . Oleh karena itu perlu

adanya upaya kearah penciptaan tata hubungan kerja dalam rangka menciptakan

kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya tujuan bersama yakni

mensejahterakan masyarakat. Pencapai tujuan bersama tersebut akan lebih baik

apabila kinerja pemerintahan daerah dan kinerja DPRD dapat secara sinergi

menciptakan pelayanan masyarakat sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan

pemerintahan sebagaimana yang dikemukan koentjoro Poerbopranoto, pada

prinsipnya adalah untuk menghindari adanya tindakan kolusi,korupsi dan

nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan.

96

Page 97: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

B. Pelaksanaan Putusan DPRD Terhadap Pemberhentian Kepala Daerah

Dalam usulan pemberhentian Kepala Daerah tentunya melalui rapat

paripurna anggota DPRD. Ketentuan pasal 29 ayat (4) dikatakan bahwa

Pemberhentian kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan

huruf e dilaksanakan dengan ketentuan:

a. Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada

Presiden berdasarkan putusan Makamah Agung atas pendapat DPRD bahwa

kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar

sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah

dan wakil kepala daerah;

b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui

Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga

perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan

persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD

yang hadir.

c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat

DPRD tersebut paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah permintaan DPRD itu

diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.

d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau

wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak

melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD

yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah

anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya

97

Page 98: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan

usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada

Presiden.

e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau

wakil kepala daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD

menyampaikan usul tersebut.

Tentang usulan Pemeberhentian Kepala Daerah dijabarkan lebih lanjut

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dinyatakan dalam Pasal 123

ayat 4 Pemeberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah

Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e,dilaksanakan dengan

ketentuan:

a. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah diusulkan kepada

Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat

DPRD,bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah Melanggar

sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajibannya.

b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a, diputuskan melalui

Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4(tiga

perempat) dari jumlah anggota DPRD dan diambil dengan persetujuan

sekurang-kurangnya 2/3( dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang

hadir.

c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili,dan memutus pendapat

DPRD tersebut paling lambat 30 ( tiga puluh) hari setelah permintaan

DPRD diterimah Mahkamah Agung dan Putusannya bersifat final.

98

Page 99: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Kepala Daerah dan/atau

Wakil Kepala Daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dana atau

tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna

DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah

anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-

kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk

memutuskan usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala

Daerah kepada Presiden.

e. Presiden wajib memperoses usul pemberhentian Kepala Daerah dan/atau

Wakil Kepala Daerah tersebut, paling lambat 30 (tiga puluh ) hari sejak

DPRD menyampaikan usul tersebut.

Dalam penjelasan isi Pasal 29 ayat (4)Undang-Undang No.32 tahun 2004

maupun Pasal 123 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.6 tahun 2005 ,diatas bahwa

usulan pemberhentian kepala daerah disampaikan kepada Presiden berdasarkan

putusan Mahkamah Agung,atas pendapat DPRD bahwa Kepala Daerah tersebut

dinyatakan telah melanggar sumpah dan janji jabatan atau tidak melaksanakan

kewajiban sebagai kepala daerah. Dalam pengambilan keputusan rapat paripurna

DPRD untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dihadiri sekurang-

kurangnya 3/4 anggota DPRD dan diambil persetujuan sekurang-kurangnya 2/3

dari anggota DPRD, artinya keputusan untuk mengusulkan pemberhentian Kepala

daerah harus disetujui 2/3 dari anggota DPRD, tentunya hal ini dapat

menimbulkan persoalan sebab tanpa dihadiri 3/4 dari anggota DPRD serta tidak

99

Page 100: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

disetujui oleh 2/3 dari anggota DPRD maka putusan tersebut tidak bisa

dilaksanakan sementara Kepala Daerah jelas-jelas telah melanggar sumpah dan

janji jabatannya. Sebagai contoh Rapat Paripurna DPRD Kebumen beragendakan

Usulan Pemberhentian Bupati dan Wakil Bupati Kebumen Periode 2005 – 2010,

gagal menghasilkan keputusan akibat tak mencapai kuorum dan diboikot oleh 3

fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa

(FKB) dan Fraksi Partai Golkar (FPG)68.

Anggota DPRD telah ada acuannya yakni tata tertib DPRD yang

berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2004 tentang pedoman

penyusunan peraturan tata tertib dan telah dirubah dengan Pemerintah Pemerintah

Nomor 53 tahun 2005. Setiap pembuatan tata tertib DPRD tidak boleh

bertentangan dengan Peraturan Pemerintah tersebut. Dalam, pasal 58 ayat (1)

huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 dinyatakan rapat paripurna

DPRD dinyatakan sah apabila dihadiri secara fissik sekurang-kurangnya 3/4 dari

jumlah anggota DPRD untuk memutuskan usul DPRD mengenai pemberhentian

kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam penjelasan dan ayat pasal tersebut

juga dinyatakan yang dimaksud dihadiri secara fisik adalah dihadiri langsung oleh

anggota DPRD dan berada dalam ruangan sidang.69

68

6

.Rapat Paripurna DPRD Kebumen Diboikot Tiga Fraksi.Serial online 30 Juli 2010 availablefrom:URL.http://purwekertonews.com

69

6

Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com

100

Page 101: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) juga, bahwa Mahkamah Agung wajib

memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD, berdasarkan ketentuan ini

Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan

kewajiban, Putusan Mahkamah Agung ini diserahkan lagi kepada DPRD untuk

menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil

dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota

DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau

wakil kepala daerah kepada Presiden. Dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusan

Mahkamah Agung tidak bisa dijalankan apabila tidak disetujui 2/3 anggota

DPRD, sebab bisa saja dalam perjalanan rapat paripurna anggota DPRD, terjadi

perubahan politik. Dimana dalam putusan Mahakamah Agung supremasi hukum

lebih di junjung sebab Negara Indonesia adalah Negara hukum ,menyadari bahwa

untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan

jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang dihasilkan dalam

amandemen UUDNKRI 1945 tidak hanya menyebutkan secara eksplisit

kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUDNKRI 1945

menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak hanya

itu, Pasal 24 Ayat (2) UUDNKRI 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan

kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2)

101

Page 102: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

UUDNKRI 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki

integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan

berpengalaman di bidang hukum. Khusus untuk menjaga kemandirian dan

integritas hakim, amandemen UUDNKRI 1945 juga memunculkan sebuah

lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan kehakiman menyatakan, Kekuasaan Kehakiman

adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia. Jika dibandingkan dengan Pasal 24 Ayat (1)

UUDNKRI 1945, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang No 48

tahun 2009 jelas berbeda karena terjadi penambahan kata/frasa: “negara”,

“berdasarkan Pancasila”, dan “demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia”. Kalau ditelusuri lebih jauh, bunyi Pasal 1 Undang-Undang No 48

Tahun 2009 persis sama dengan bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Yang berbeda

hanya dalam memberikan penjelasan70. Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No 48

Tahun 2009 menyebutkan:

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini

mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari

segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali

70

7

Saldi Isra.Keterbukaan Pengadilan Dan Akses Terhadap Keadilan. Serial Online.9 Mei 2010. Availablefrom: URL.http://saldiisra.web.id

102

Page 103: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak

mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan

rasa keadilan rakyat Indonesia.

Sementara itu, Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970

menyebutkan:

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di

dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan

pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan,

direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil,

kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak

sifatnya, karena tugas dari pada Hakim adalah untuk menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan

menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang

jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan

kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan

Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim

terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak

langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak

lain di luar peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi

kadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.71 Dalam pandangan Hakim Agung

71

7

Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI, hal 7

103

Page 104: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang

merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknya

negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor

adanya pengadilan yang merdeka.72

Sementara dilain pihak juga, dikalangan anggota DPRD lebih

mengutamakan supremasi politik, yang lebih mengutamakan kepentingan

fraksinya yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta

dijalankan begitu saja. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan

kehakiman atau peradilan begitu mudah tunduk pada kekuasaan lain, Secara

konseptual, dalam pandangan Bagir Manan ada beberapa jawaban, yaitu:73

1) Kekuasaan kehakiman memang sangat lemah dibandingkan kekuasaan

legislatif dan yudikatif,

2) Tatanan politik. Dalam kenyataan, kehakiman selalu tidak berdaya

menghadapai tekanan politik untuk menjaga agar kekuasaan kehakiman yang

merdeka tetap utuh, dan

3) Sistem administrasi, misalnya anggaran belanja. Selama sistem anggaran

belanja kekuasaan kehakiman tergantung pada “kebaikan hati” pemerintah

72

7

Artidjo Alkostar, 2005, Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.

73

7

Bagir Manan, 2005, Restrukturisasi Badan Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Jakarta .Tahun XX. No. 239.

104

Page 105: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

sebagai pemegang kas negara, maka berbagai upaya memperkuat kekuasaan

kekuasaan kehakiman akan mengalami berbagai hambatan.

Karena berbagai penyebab di atas, upaya membebaskan kekuasaan

kehakiman dari pengaruh kekuasaan lain merupakan perjuangan terus-menerus.

Bagaimanapun, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu

prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam Judicial

Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges

membagi independence of the judiciary menjadi empat hal yaitu substantive

independence (independensi dalam memutus perkara), personal independence

[misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure)],

internal independence (misalnya independensi dari atasan dan rekan kerja) dan

collective independence (misalnya adanya partisipai pengadilan dalam

administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan)74.

Memang tidak dapat dihindari bahwa menguatnya pendapat DPRD,

tentunya tidak bisa disalahkan sebab pandangan politik dari anggota DPRD

merupakan hak politik anggota DPRD. Sebab anggota DPRD juga tidak terlepas

dari fraksi yang memegang peranan penting dalam pelaksanaan tugas dan

wewenang DPRD baik secara kelembagaan maupun terhadap masing-masing

individu anggotanya. Fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik dapat

mewarnai berbagai proses politik yang terjadi di tingkat alat kelengkapan DPRD

74

7

Shimon Shetreet, 1995, Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia.

105

Page 106: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

dan lobby di luar kelembagaan formal DPRD. Fraksi tidak hanya sekedar sebagai

wadah berhimpun para anggota partai politik yang duduk sebagai wakil rakyat di

parlemen. Tetapi lebih dari itu, fraksi juga dapat mengarahkan setiap pilihan sikap

dan keputusan yang diambil dalam proses politik pemerintahan secara

keseluruhan. Mengingat besarnya peranan fraksi, maka bagi setiap anggota

parlemen akan sukar menentukan sikapnya untuk dapat terlepas dari ketentuan

atau aba-aba politik yang disampaikan oleh fraksinya. Perbedaan sikap memang

dapat berkembang dalam konteks yang konstruktif, ketika pilihan yang diambil

individu tetap berada dalam batas toleransi atau garis ketentuan fraksi. Batas

toleransi yang ditetapkan menjadi wilayah yang tidak boleh dilanggar, karena

merupakan hal prinsipil dalam menjaga ruang kebebasan para anggotanya.

Konsekuensi dapat dihadapi ketika terjadi pelanggaran atas batas-batas prinsipil

tersebut dan yang terberat adalah berupa pemberian sanksi pergantian antar waktu

(PAW) atas usul partai atau populer dengan istilah recall75.

Pandangan, Mahfud MD menegaskan, penegakkan supremasi hukum tidak

akan pernah berjalan baik selama model politik yang diterapkan adalah

oligarki. "Hukum dalam arti produk politik sangat dipengaruhi sistem

politik, apakah demokratis atau tidak," Oligarki adalah suatu sistem politik

dimana berbagai keputusan diambil hanya oleh elite-elitenya dan bukan

anggota partai.Demokrasi penting untuk membangun bangsa ini.

Demokratis atau tidaknya suatu pengambilan keputusan politik, akan

menggambarkan baik-buruknya wajah hukum di suatu negara.76

75

7

Hasil penelitian lapangan dengan mengambil studi kasus di DPRD Propinsi Sumatera Selatan dan DPRD Propinsi Sulawesi Utara. Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Politik Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat email: [email protected]. 2 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

106

Page 107: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Jika dilihat dalam kasus Walikota Pemantang Siantar RE sihaan yang

dituduh melakukan penyelewengan proyek bangsal rumah sakit umum daerah

oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, atas dasar itulah DPRD kota Pematang

siantar mengadakan sidang paripurna untuk mengusulkan memberhentikan RE

Sihaan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No 01 P/ KHS/ 2009 tanggal 3

Maret 2009 ,yang tidak didukung 2/3 anggota DPRD dalam pengambilan

keputusan pemberhentian Kepala daerah, akan tetapi putusan tersebut tetap

dijalankan. Jika dilihat dari contoh kasus tersebut menunjukan bahwa

pemberhentian Kepala daerah berawal dari usulan DPRD, berdasarkan atas

putusan Mahkamah Agung dan tindak lanjutnya DPRD mengadakan rapat

paripurna,apabila dihadiri 3/4 anggota DPRD yang hadir serta diambil keputusan

2/3 dari anggota DPRD,sehingga kepala daerah tersebut diberhentikan. Sementara

yang terjadi dalam kasus tersebut adalah keputusan tidak didukung oleh 2/3

anggota DPRD (quorum),tentunya keputusan ini cacat hukum. Apabila terjadi

demikian maka, untuk itu rapat paripurna DPRD tentang pemberhentian kepala

dan wakil kepala daerah tersebut cacat hukum dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat. Dalam hal ini walikota dan wakil walikota Pematang Siantar

dapat melakukan perlawanan (verzet) terhadap pelaksanaan rapat paripurna dan

keputusan yang diambil oleh DPRD Pematang Siantar tersebut. Presidenlah

nantinya mempertimbangkan secara hukum apakah mekanisme atau proses usulan

pemberhentian oleh DPRD Pematang Siantar sudah berdasarkan peraturan

76

7

Mahfud MD.Oligarki Politik Hambat Supremasi Hukum.Serial Online 11 februari 2010 available From:URL:http://www.sinarharapan.co.id.

107

Page 108: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

perundang-undangan atau tidak. Dan apakah perlawanan walikota/wakil walikota

diterima atau tidak. Karena tidak serta merta setiap usulan pemberhentian kepala

dan wakil kepala daerah dari DPRD terus dikabulkan Presiden. Masih ada telaah

juridis oleh staf bidang hukum kepresidenan.77

Jika demikian yang menjadi problem adalah apabila kepala daerah tersebut

melanggar sumpah dan janji jabatannya sementara untuk usulan

pemberhentiannya harus didukung atau disetujui 2/3 dari jumlah 3/4 anggota

DPRD yang hadir sehingga usulan tersebut bisa disampaikan kepada Presiden,

sehingga presiden dapat mengambil keputusan untuk memberhentikan sementara

Kepala Daerah tersebut sampai proses hukumnya selesai dan telah mempunyai

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sebab asas

legalitas dalam Negara hukum menyatakan bahwa setiap tindak pemerintahan

harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan ( Wettelijke gronslag),

dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formil dan Undang-Undang

Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintah. Dalam hubungan ini

pembentukan Undang-Undang merupakan bagian penting dari negara hukum.

Dalam menanggapi usulan DPRD presiden wajib memperoses usulan

pemberhentian kepala daerah tersebut, atau melakukan pemberhentian sementara

terhadap kepala daerah, sementara secara hukum pemberhentian sementara

kepala daerah merupakan tindakan yang melanggar asas kepastian hukum, sebab

tidak adil dan demokratis seorang yang belum ada kepastian hukum (inkrach van

77

7

Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com

108

Page 109: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

gewijh) tetapi sudah diusulkan untuk di skorsing (pemberhentian sementara).78

Pemberhentian sementara oleh presiden, seperti yang dikemukan oleh

Djohermansyah Djohan dalam pendapatnya mengatakan bahwa;

“Secara etika pemerintahan, memang tidak elok seorang kepala daerah yang sudah ditahan masih mengendalikan pemerintahan dari balik penjara. Tetapi, bila masih berstatus tersangka, kita masih menganut azas praduga tak bersalah sehingga dimungkinkan seorang gubernur atau bupati untuk memimpin dari rumah tahanan”

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Nursyahbani Katjasungkana, merumuskan

beberapa alasan mengapa ada kewenangan presiden berdasarkan Pasal 31 ayat (1)

Undang-Undang Pemerintahan daerah tersebut:

1. Pemberhentian sementara dimaksudkan untuk menghindari terhambatnya

proses pemerintahan di daerah, karena proses hukum akan memakan waktu

yang cukup lama.

2. Pemberhentian sementara dimaksudkan untuk memudahkan urusan-urusan

penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga tugas-tugas kepala daerah yang

dialihkan ke pejabat sementara dan DPRD sebagai unsur penyelenggara

pemerintah daerah tidak akan terpengaruh proses hukum pejabat daerah yang

berstatus sebagai terdakwa.

3. Kepala daerah dapat diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD.

Pengaturan ini merupakan bentuk penegasan adanya supervisi pemerintah

pusat terhadap pemerintahan daerah.

78

7

hhtp://www. Mahkamahkonstitusi.go.id. Pemberhentian sementara vs presumtion of innocent

109

Page 110: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

4. Untuk menjamin kepastian hukum serta memudahkan aparat penegak

hukum melakukan proses peradilan terhadap terdakwa yang telah

dibebastugaskan dari jabatannya. Dengan bebas tugas, pejabat tersebut tidak

dapat melakukan intervensi atau menyalahgunakan kewenangannya sebagai

pejabat publik menyangkut kasus yang didakwakan padanya.

5. Pemberhentian dilakukan selama dia masih menjabat sebagai kepala

daerah dan/atau wakil kepala daerah agar tidak menimbulkan kekhawatiran

atau konflik kepentingan terdakwa yang dapat merusak dan/atau

menghilangkan barang bukti. Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut

maka sesungguhnya perumusan pasal dan penjelasan ketentuan pasal tersebut

adalah untuk menjamin kepastian hukum atau due process of law dan tidak

menganggu proses hukum yang sedang dilaksanakan.

Dalam hal ini pengambilan keputusan oleh presiden memunculkan dua pemikiran

yaitu ;

Pertama ,pemberhentian sementara merupakan keputusan yang melanggar asas

praduga tak bersalah (presumption of innocent).

Kedua ,pemberhentian sementara kepala daerah untuk mempermudah dalam

proses hukum,serta tidak menghambat keberlangsungan

penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Menurut Zairin Harahap, kepala daerah yang diberhentikan sementara

alias nonaktif dari jabatannya punya implikasi luas. Pejabat yang bersangkutan tak

lagi punya kewenangan dalam pengambilan kebijakan. “Kalau sudah nonaktif

110

Page 111: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

maka tidak bisa mengambil kebijakan strategis” yang dimaksud dengan kebijakan

strategis ,seperti mengangkat pejabat baru, menandatangani penetapan APBD,

maupun meneken surat keterangan otorisasi (SKO). “Semua kewenangan itu

harus ditanggalkan sejak statusnya nonaktif,” Senada dengan pendapat Zairin

harahap Zaki Sierrad menilai, pejabat nonaktif tak lagi punya otoritas membuat

keputusan terkait jabatannnya. Dari sisi fatsun atau etika politik, pejabat

bersangkutan secara moral tak lagi berhak menerima fasilitas-fasiltas yang

berhubungan dengan jabatannya. “Ini karena pejabat itu tak lagi bisa

melaksanakan kewajibannya”,. Dengan dinonaktifkan itu kepala daerah atau

wakil kepala daerah tak lagi menjalankan tugas-tugasnya. “Secara etika berkantor

pun sudah tidak bisa,” Pemberhentian sementara pejabat berbeda dengan

pemberhentian secara permanen. Hak-hak pejabat bersangkutan dapat

dikembalikan mana kala dakwaan tidak terbukti dan memiliiki kekuatan hukum

tetap. “Prosesnya memang panjang dan tidak mudah,”79

Berbicara tentang Kepala Daerah melanggar sumpah dan janji jabatan

merupakan tindakan melawan hukum, sebab kepala daerah telah melanggar isi

dari dalam konsep tindakan pemerintah dimaksudkan setiap kebijakan kepala

daerah untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang pemerintahan atau

administrasi negara. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala daerah

tentunya harus data dipertanggungjawabkan. Berdasarkan pengertian ini, tampak

79

7

Zairin Harahap. Korupsi APBD Purworejo: Serial online.4 Juni 2009. availablefrom:URL.http://infokorupsi.com

111

Page 112: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

ada beberapa unsur yang terdapat didalamnya. Muchsan menyebutkan unsur-

unsur tindakan hukum pemerintahan sebagai berikut :80

1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya

sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan dengan

prakarsa dan tanggung jawab sendiri.

2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi

pemerintahan.

3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan

akibat hukum di bidang administrasi

4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan

kepentingan negara dan rakyat.

Unsur-unsur yang dikemukakan oleh Muchsan ini perlu ditambah,

terutama dalam kaitannya dengan negara hukum yang mengedepankan asas

legalitas, yaitu perbuatan hukum administrasi harus didasarkan pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pada prinsipnya, tindakan hukum administrasi

hanya dapat dilakukan dalam hal dan dengan cara yang telah diatur dan

diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam prinsip asas penyelenggaraan pemerintahan kepala daerah yang

melanggar sumpah dan janji jabatan ,tentunya hal ini sangat bertentangan dengan

asas kebijaksanaan asas penyelenggaraan kepentingan umum, sebab kepala daerah

80

8

Muchsan, 1981, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hal. 18

112

Page 113: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Pasal 25 Undang-undang No.32 tahun 2004 ,Kepala daerah mempunyai tugas dan

wewenang:

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan

yang ditetapkan bersama DPRD;

b. Mengajukan rancangan Perda;

c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD

untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk

kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan;dan

g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan

perundangundangan

Berdasarkan isi pasal tersebut tentunya, Kepala Daerah sangat

bertanggungjawab penuh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah,

mengingat tugas dan kewajibannya lebih mengutamakan daerah, lebih khususnya

lagi mengutamakan kepentingan rakyat.

BAB IV

113

Page 114: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH

A. Kekosongan Jabatan Kepala Daerah

Dalam perspektif ketatanegaraan, pemilihan kepala daerah berkaitan erat

dengan pengisian jabatan dalam susunan organisasi pemerintahan daerah, yakni

bagaimana proses, mekanisme dan tata cara yang dilakukan untuk mengisi suatu

jabatan dengan pejabat Sehingga, pemilihan kepala daerah dalam perspektif

tersebut, menunjuk pada 3 (tiga) hal, yaitu :

a. Adanya jabatan, dalam hal ini Kepala Daerah;

b. Adanya tata cara (mekanisme) tertentu untuk pengisian jabatan, yang dapat

dilakukan melalui pengangkatan (appointment) atau pemilihan (election); dan

c. Adanya pejabat, dalam hal ini Gubernur (untuk daerah provinsi), dan

Bupati/Walikota untuk daerah kabupaten/kota.

Semenjak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah, salah satu yang menjadi sorotan adalah mengenai

pemberhentian Kepala Daerah, artinya jika kepala daerah diberhentikan maka hal

ini tentunya dapat menyebabkan kekosongan jabatan kepala daerah, sebagaimana

yang terdapat dalam pasal 29 ayat (2) huruf a Kepala Daerah dan /atau Wakil

Kepala Daerah diberhentikan karena “ berakhir masa jabatannya dan telah

dilantik pejabat yang baru”. Mengenai seorang Kepala Daerah yang di

berhentikan sebelum masa jabatannya selesai, tentunya melalui usulan DPRD

kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa

kepala daerah telah melanggar sumpah/janji jabatan dan /atau tidak melaksanakan

114

Page 115: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

kewajiban kepala daerah. Dalam hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat

dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang 32 tahun 2004 :

“apabila Kepala Daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetapa sebagaimana dimaksud pasal 30 ayat

(2),pasal 31 ayat (2),dan pasal 32 ayat (7) jabatan kepala daerah diaganti oleh

wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses

pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan

disahkan oleh Presiden”.

Dalam contoh kasus Tengku Azmun Jaafar sebagai Bupati Pelalawan

dilakukan menyusul Keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor

736/k/pid.sus/2009 tanggal 3 Agustus 2009 yang menyatakan Tengku Azmun

Jaafar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan divonis 11 tahun

penjara. Majelis hakim menyatakan Azmun bersalah melakukan tindak pidana

korupsi dalam penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan

Tanaman (IUPHHK-HT) kepada 15 perusahaan kehutanan di Pelalawan, sehingga

merugikan negara Rp 1,2 triliun. Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500

juta subsider 6 bulan kurungan dan pembayaran uang pengganti Rp 12,3 miliar.

Azmun dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 Undang-undang No 31

Tahun1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Dalam

pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Azmun dengan sengaja

menerbitkan IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan dalam kurun waktu Desember

2002 sampai Januari 2003, padahal mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan itu

115

Page 116: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

tidak kompeten dalam bidang kehutanan. Bedasarkan hal tersebut Permerintah

Provinsi Riau mengeluarkan SK bernomor 131.14-590/2009. SK tersebut berisi

tentang pengesahan pemberhentian Bupati Pelalawan dan pengesahan

pengangkatan Wakil Bupati Pelalawan, Rustam Effendi sebagai bupati

menggantikan Tengku Azmun Jaafar. Dalam contoh kasus di atas bahwa kepala

daerah diberhentikan apabila sudah mendapat keputusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan demikian tindak lanjutnya adalah

wakil kepala daerah harus bersedia untuk memangku jabatan sebagai kepala

daerah melalui rapat paripurna DPRD. Prihal rapat paripurna tentunya menyita

waktu yang tidak singkat sementara kekosongan jabatan tidak boleh terjadi.

Pegisian jabatan kepala daerah tersebut merupakan Pemberian wewenang yang

atributif dimana peraturan perundang-undangan sudah mengaturnya. Apabila

kepala daerah diberhentikan maka untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut

DPRD mengadakan Rapat Paripurna untuk melantik wakil kepala daerah sebagai

pejabat kepala daerah.

Dalam konsep negara hukum kekosongan jabatan tidak boleh terjadi,

karena hal ini menyangkut dengan asas tertib penyelenggaraan pemerintahan

yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat,untuk menjaga kesinambungan dan

keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,oleh karena ada

beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling) yang hanya dilakukan dalam

116

Page 117: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

kapasitas sebagai kepala daerah, seperti pengesahan Peraturan daerah dan Peraturan

kepala daerah.81

Dalam ilmu hukum biasa dikenal sebagai kekosongan kekuasaan (rechtvacuum).

Kekosongan hukum ini sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan melawan negara (coup

de etaat). Sebagai contoh, Peristiwa ini pernah terjadi. Saat menjelang Pemilu 2009,

Presiden SBY ke luar negeri dalam lawatan resmi ketatanegaraan. Wapres Jusuf Kalla

yang menggantikan Presiden ad interm berada di Aceh dalam kampanye Partai. Jakarta

Kosong selama 48 jam. Kalangan akademisipun teriak. Dan kemudian akibat dari

“kelalaian” sehingga Jusuf Kalla kemudian segera pulang ke Jakarta sehingga tidak

dapat digunakan kaum pemberontak menguasai negara (coup de etaat ) dalam

pendapatnya M Musri Nauli, bagaimana pentingnya dan tidak dibenarkan adanya

kekosongan kekuasaan (rechvacuum). Dalam diskursus hukum ketatanegaraan, tidak

dibenarkan kekuasaan kosong walau sedetikpun. .82

Dalam mengisi kekokosongan jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah ,adapun pejabat sementara yang mengisi kekosongan kepala daerah

tersebut, akan tetapi jika dicermati isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 49

Tahun 2008 tentang perubahan ketiga Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005,

membatasi wewenang dari pejabat sementara kepala daerah,seperti yang

digaris dalam Pasal 132 A:

81

8

Umbu Rauta.Pergantian Kepala Daerah Menurut Hukum Tata Negara. Serial online.27 februari 2007. availablefrom:URL.http://beriman-hati.blogspot.com

82

8

M.Musri Nauli. Kekosongan Kekuasaan (Rechtvacuum) Serial online.16 Juli 2010. availablefrom:URL.http://www.jambiekspres.co.id

Page 118: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

1. Penjabat kepala daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4), atau yang diangkat

untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan diri untuk

mencalonkan/dicalonkan menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, serta

kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah yang menggantikan kepala

daerah yang mengundurkan diri untuk mencalonkan/dicalonkan sebagai calon kepala

daerah/wakil kepala daerah dilarang:

a. Melakukan mutasi pegawai;

b. Membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya

dan/atau mengeluarkan perijinan

c. Membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan

kebijakan pejabat sebelumnya; dan

d. Membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan

pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan setelah

mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Ketentuan ini , setidaknya dapat diketahui bahwa pejabat pengganti (PJS) kepala

daerah tidak dapat melakukan hal sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 132 A

Peraturan Pemerintah No.49 Tahun 2008.

Pergantian jabatan kepala daerah memang telah diatur juga dalam Undang-undang

No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah nampak sejumlah pasal yang mengatur

pengisian kekosongan jabatan kepala daerah yakni:

1. Pasal 34

Page 119: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

(1) . Pergantian jabatan kepala daerah telah diatur juga dalam Undang-

undang No.32 Tahun 2004 pasal 34 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (5);

wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban kepala

daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Pasal 35

(1). Apabila kepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dimaksud

dalam pasal 30 ayat (2),pasal 31 ayat (2),dan Pasal 32 ayat (7)

jabatan kepala daerah diganti oleh wakil kepala daerah samapai

berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya berdasarkan

kepurusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden.

Pergantian jabatan kepala daerah dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 6 Tahun 2005. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 tersebut

dinyatakan :

1. Pasal 129

(1). Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), dan Pasal 128 ayat (6), setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya.

2. Pasal 130 (1).Apabila Kepala Daerah diberhentikan sementara sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), dan Pasal 128 ayat (6), Wakil Kepala Daerah melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Daerah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Pasal 131 (1). Apabila Kepala Daerah diberhentikan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (2), Pasal 127 ayat (2), dan Pasal 128 ayat (7), jabatan Kepala Daerah diganti oleh Wakil Kepala Daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan disahkan oleh Presiden.

Page 120: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Dalam hal kekosongan jabatan tersebut sangat berkaiatan erat dengan

penyelenggaraan pemerintahan menginggat proses rapat paripurna DPRD untuk

mengangkat seorang wakil kepala daerah menjadi kepala daerah bukanlah hal yang

mudah, sebab hal ini juga menyangkut kemampuan dari seorang wakil kepala daerah

untuk memimpin dalam waktu jabatan yang tersisa dari kepala daerah sebelumnya, akan

tetapi hal ini merupakan konsekwensi logis bahwa seorang wakil kepala daerah wajib

mengisi kekosongon jabatan kepala daerah. Jika seorang wakil kepala daerah diangkat

menjadi kepala daerah maka tugas berikutnya adalah untuk memimilih seorang wakil

kepala daerah yang baru, sebab apabila Wakil kepala daerah diangkat menjadi Kepala

Daerah,maka persoalan akan muncul adalah kosongnya jabatan Wakil Kepala Daerah.

B. Mekanisme Pengisian Kekosongan Jabatan Kepala Daerah

Dalam penjelasan sebelumnya dimana seorang kepala daerah yang diberhentikan

diganti oleh wakil kepala daerah namun yang perlu dikaji dalam hal ini adalah proses

pengisian jabatan tersebut mengingat dalam konteks asas -asas umum pemeriatahan yang

baik (AAUPB) penyelenggaraan pemerintahan lebih mementingkan kepentingan umum,

demikian juga dalam konsep negara hukum artinya segala tindakan harus berdasarkan

hukum. Dalam pasal 35 Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur prihal

prosedur pengisian jabatan kepala daerah jika kepala daerah diberhentikaan apabila

mengalami krisis kepercayaan publik . Dalam Pasal 24 (3) UU Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, Wakil kepala daerah membantu kepala daerah

menjalankan dan memimpin pemerintahan daerah (pemda).

Page 121: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Wakil kepala daerah dalam peraturan ini memang sifatnya hanya membantu

kepala daerah melaksanakan tugas tertentu dan menggantikan kepala daerah jika

berhalangan. Namun, patut diperhatikan juga keberadaan wakil kepala daerah

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yaitu dipilih secara berpasangan oleh

rakyat dan secara bersamaan memimpin pemerintahan daerah sesuai perintah Undang-

Undang Nomor 32 tahun 2004. Berbeda dengan pengisian jabatan kepala daerah ,apabila

diperdalam lagi pengisian jabatan wakil kepala daerah diatur juga dalam Pasal 35 Ayat

(2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 26 Ayat (4) Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan "Apabila terjadi kekosongan

jabatan wakil kepala daerah, sisa masa jabatannya lebih dari 18 bulan, kepala daerah

mengusulkan dua calon wakil kepala daerah untuk dipilih Rapat Paripurna DPRD

berdasarkan usul partai atau gabungan partai yang pasangan calonnya terpilih dalam

pemilihan kepala daerah-wakil kepala daerah . Jika diamati pengisisian jabatan wakil

kepala daerah lebih mudah prosesnya dibandingkan dengan pengisian jabatan kepala

daerah. Dalam pengisian wakil kepala daerah, kepala Daerah mengusulkan dua calon

wakil kepala daerah untuk dipilih Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usulan dari partai

atau gabungan partai yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah-

wakil kepala daerah.

Meski demikian tidak diatur secara eksplisit perihal pengisian jabatan Wakil

Kepala Daerah karena menggantikan Kepala Daerah yang diberhentikan, namun

berdasarkan tafsiran sistematis dan analogi dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

maka kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah merupakan kemestian untuk dilakukan

pengisian jabatan kepala daerah. Penafsiran sistematis digunakan karena Pasal 35

Page 122: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Undang-undang No.32 Tahun 2004 tidak dapat dilepaskaitkan dengan pasal-pasal

sebelumya mulai Pasal 29 Undang-Undang No 32 Tahun 2004 yang mengatur alasan dan

prosedur pemberhentian serta pergantian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Sementara tafsiran analogi digunakan karena terjadi keadaan yang serupa yaitu

kekosongan jabatan Wakil Kepala Daerah akibat Wakil Kepala Daerah menggantikan

Kepala Daerah karena salah satu alasan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No.32

Tahun 2004.

Alasan pendukung lainnya yaitu:

1. Demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.

2. Adanya pembagian kewenangan secara atributif dan eksplisit antara Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 25 – 26 yaitu tugas

dan wewenang serta kewajiban kepala daerah, sehingga akan terjadi persoalan dari

perspektif hukum administrasi negara;

3. Dalam rangka menjaga kedaruratan berikutnya (yaitu jika terjadi keadaan

berhalangan terhadap kepemimpinan puncak ditubuh pemerintah (eksekutif),

sehingga akan memakan biaya lebih besar karena harus dilakukan pemilihan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Akankah waktu yang ada tersita hanya dengan

urusan pengisian jabatan pemerintahan, sementara tugas utama untuk layanan

masyarakat menjadi tersita dan terkesampingkan.83

83

8

Umbu Rauta.Pergantian Kepala Daerah Menurut Hukum Tata Negara. Serial online.27 februari 2007. availablefrom:URL.http://beriman-hati.blogspot.com

Page 123: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Dalam penyelenggaraan pemerintahan Asas demokrasi merupakan dasar dari

Negara Hukum Indonesia dan Hukum Administrasi Indonesia, karena secara substansial

asas demokrasi meletakan dan menjunjung tinggi superioritas kedalautan rakyat dalam

penyelenggaraan pemerintah, artinya dalam memilih seorang wakil kepala daerah untuk

menggantikan kepala daerah campur tangan rakyat sangat diperlukan untuk menghindari

kolusi di kalangan elit politik ,dan tentunya hal ini dapat dilakukan melalui wakil rakyat

yang ada di parlement.

Pandangan Hans Kelsen84, yang menjelaskan bahwa:” Democracy, that all power

should be exercised by one collegiate organ the members of which are elected by the

people and which should be legally responsible to the people ( demokrasi secara

konseptual bahwa semua kekuasaan harus dilaksanakan oleh suatu badan kolegial yang

anggotannya dipilih oleh rakyat dan secara hukum harus bertangung jawab kepada rakyat

).

Seiring dengan pendapat Hans Kelsen Pendapat C.F. Strong tentang esensi

demokrasi sebagai system pemerintahan yang tidak dapat di pisahkan dengan rakyat dan

kedalautan rakyat.

Dijelaskan bahwa:

“ The term democracy,. .is variously used, some times to means a from of government,and some times to cannote a condition of society. . . By democracy in this sense we therefore mean a system of government in which the majority of the grown members of political community participate trough a method of representation which secures the government is ultimately responsible for ist action to that majority. In other words, the words, thecontemporary constitutional state must be based on a system of democratic representation which guarantes the sovereignty of the people”.85

84

8

.Hans Kelsen, General Theory Of Law State, Russell&Russell, New York, 1961, h.282

85

8

C.F Strong, Modern Political Constitution An Introduction To The Comparative Study of Their History And Existing, Soddgwiick & Jacktos Limited,London Revised Edition,1952.h.11

Page 124: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Apa yang dijelaskan ini menunjukan konstitusi negara modern system

pemerintahan tentu termasuk pemerintahan daerahnya, memilki badan perwakilan rakyat

yang merupakan pencerminan dijaminnya “ kedalautan rakyat”. Pada negara hukum yang

demokratis (democratische rechtsstaat), tidak ada jabatan ataupun pemangku jabatan

yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan

suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkannya atau bahwa pelaksanaan

kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol, karena dalam kontrol itu

sendiri terkandung asas pertanggungjawaban. Pengawasan ini menjadi aspek yang sangat

penting bagi berjalannya pemerintahan. Pemerintahan yang baik hanya bisa tercipta

dengan jajaran pejabat pemerintah yang baik pula. Jabatan yang lebih luar biasa lagi tentu

saja dimiliki oleh kepala daerah. Sesuatu yang menjadi idealisasi dari hukum administrasi

negara adalah terciptanya pemerintahan yang memegang teguh pada asas-asas umum

pemerintahan yang baik, sehingga gagasan mengenai pemerintahan yang baik dan bersih

(clean and good governance) dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan

peraturan-perundang-undangan yang berlaku. Dimungkinkannya kepala daerah dan/atau

Wakil kepala daerah diberhentikan dalam masa jabatannya merupakan bentuk mekanisme

kontrol hukum atas akuntabilitas publik dari pejabat publik86. Tiap jabatan yang secara

langsung dipertanggungjawabkan kepada publik dan semestinya berada dibawah

pengawasan langsung dari publik, maka pengisian jabatannya senantiasa memerlukan

keikutsertaan ataupun pengukuhan publik.

Dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 berdasarkan kebijakan politik yang

mengarah kepada prinsip kesetaraan antara pemerintah dengan pemerintah daerah,

86

8

Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005.hal.25

Page 125: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

maupun dalam pemerintahan daerah itu sendiri, sebagai suatu system pemerintahan

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem kesetaraan ini mengandung makna

bahwa penyelenggaraan pemerintahan khususnya dipemerintahan daerah, antara kepala

daerah dengan DPRD memiliki kewenangan masing-masing adalah sarana kontrol yang

seimbang dan sinergis yang bersifat checks and balances sehingga dapat dihindari

adanya pemusatan kekuasaan dan kewenangan yang pada akhirnya menjurus kepada

penyalahgunaan wewenang dan penyalahgunaan kekuasaan. Disinilah prinsip-prinsip

dalam system pemerintahan daerah, hal mana masyarakat ikut serta dalam mengawasi

kegiatan kinerja pemerintahan melalui kelembagaan DPRD.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat simpulkan sebagai berikut :

1.Implikasi usulan DPRD terhadap pemberhentian Kepala daerah, yang menyebabkan

seorang kepala daerah diberhentikan dalam masa jabatannya, tentunya tidak terlepas

dari kewenangan yang dimiliki DPRD yang diatur dalam Undang-undang 32 Tahun

2004 pasal 42 ayat (1) huruf d “ mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala

daerah/ wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi

DPRD Propinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD

kabupaten / kota” kewenangan yang diberi undang-undang, tentunya berdampak pada

pemberhentian kepala daerah. Berdasarkan isi pasal tersebut, bahwa usulan untuk

memberhentikan kepala daerah diputuskan lagi dalam rapat paripurna. DPRD dalam

pasal 43 Undang-undang No.32 Tahun 2004 telah diatur mengenai hak DPRD yaitu :

Interpelasi; Hak angket; Menyatakan pendapat .

Page 126: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Dalam menanggapi usulan pemberhentian Kepala Daerah tersebut DPRD

menggunakan hak angket yang dilakukan setelah diajukan hak interpelasi untuk

mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya

3/4 dari jumlah anggota DPRD dan persetujuan diambil sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota DPRD yang hadir.

Sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan di daerah, DPRD juga mempunyai

fungsi legislasi,anggaran dan pengawasan. Tugas dan wewenang pengawasan DPRD

Secara khusus tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 24 ayat

1C, Pengawasan ini bertujuan mengembangkan kehidupan demokrasi menjamin

keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta

mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan

eksekutif demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden

berdasarkan putusan Makamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah

dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak

melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Dalam pengambilan keputusan rapat paripurna DPRD untuk mengusulkan

pemberhentian Kepala Daerah dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota DPRD dan

diambil persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota DPRD, artinya keputusan

untuk mengusulkan pemberhentian Kepala daerah harus disetujui 2/3 dari anggota

DPRD , tentunya hal ini dapat menimbulkan persoalan sebab tanpa dihadiri 3/4 dari

anggota DPRD serta tidak disetujui oleh 2/3 dari anggota DPRD maka putusan tersebut

tidak bisa dilaksanakan sementara Kepala Daerah jelas-jelas telah melanggar sumpah

Page 127: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

dan janji jabatannya. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang 32 Tahun 2004

juga, bahwa Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat

DPRD, berdasarkan ketentuan ini Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala

daerah dan/atau wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau

tidak melaksanakan kewajiban, Putusan Mahkamah Agung ini diserahkan lagi kepada

DPRD untuk menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-

kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan

persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang

hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala

daerah kepada Presiden. Ketentuan ini menunjukan bahwa keputusan Mahkamah

Agung tidak bisa dijalankan apabila tidak disetujui 2/3 anggota DPRD, sebab bisa saja

dalam perjalanan rapat paripurna anggota DPRD terjadi perubahan politik. Dimana

dalam putusan Mahakamah Agung supremasi hukum lebih di junjung sebab Negara

Indonesia adalah Negara hukum, sementara dilain pihak juga dikalangan anggota

DPRD lebih mengutamakan supremasi politik, yang lebih mengutamakan kepentingan

fraksinya yang menyebabkan putusan Mahkamah Agung tidak serta merta dijalankan

begitu saja.

Dalam menanggapi usulan DPRD presiden wajib memperoses usulan

pemberhentian kepala daerah tersebut, atau melakukan pemberhentian sementara

terhadap kepala daerah, sementara secara hukum pemberhentian sementara kepala

daerah merupakan tindakan yang melanggar asas kepastian hukum , sebab tidak adil

dan demokratis seorang yang belum ada kepastian hukum (inkrach van gewijh) tetapi

sudah diusulkan untuk di skorsing (pemberhentian sementara)

Page 128: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

2. Akibat hukum terhadap pemberhentian kepala daerah, adalah terjadinya kekosongan

jabatan kepala daerah, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam

pasal 35 ayat (1) Undang-undang 32 tahun 2004, dimana jabatan kepala daerah

diaganti oleh wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses

pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan

disahkan oleh Presiden. Prihal rapat paripurna DPRD untuk melantik wakil kepala

daerah tentunya membutuhkan waktu yang tidak singkat, artinya dalam proses tersebut

telah terjadi kekosongan jabatan kepala daerah ,dalam konsep negara hukum

kekosongan jabatan tidak boleh terjadi, karena hal ini menyangkut dengan asas tertib

penyelenggaraan pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan rakyat,untuk

menjaga kesinambungan dan keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan,oleh karena ada beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling)

yang hanya dilakukan dalam kapasitas sebagai kepala daerah, seperti pengesahan

Peraturan daerah dan Peraturan kepala daerah.

Mekanisme pengisian jabatan kepala daerah yang diberhentikan diganti oleh wakil

kepala daerah namun yang perlu dikaji dalam hal ini adalah proses pengisian jabatan

tersebut mengingat dalam konteks asas -asas umum pemeriatahan yang baik (AAUPB)

penyelenggaraan pemerintahan lebih mementingkan kepentingan umum, demikian

juga dalam konsep negara hukum artinya segala tindakan harus berdasarkan hukum.

Dalam pasal 35 Undang -undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur prihal prosedur

pengisian jabatan kepala daerah jika kepala daerah diberhentikaan apabila mengalami

krisis kepercayaan publik. Dalam Pasal 24 (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, Wakil kepala daerah membantu kepala daerah

Page 129: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

menjalankan dan memimpin pemerintahan daerah (pemda). Wakil kepala daerah

dalam peraturan ini memang sifatnya hanya membantu kepala daerah melaksanakan

tugas tertentu dan menggantikan kepala daerah jika berhalangan. Namun, patut

diperhatikan juga keberadaan wakil kepala daerah merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan, yaitu dipilih secara berpasangan oleh rakyat dan secara bersamaan

memimpin pemerintahan daerah sesuai perintah Undang-Undang Nomor 32 tahun

2004.

B. Saran- Saran

1. Hendaknya dalam hal Pemberhentian Kepala Daerah seharusnya yang diutamakan

adalah supremasi hukum.

2. Pengambilan keputusan rapat paripurna DPRD terhadap pemberhentian Kepala

Daerah, harus mematuhi mekanisme hukum yang berlaku.

3. Hendaknya putusan Mahkamah Agung harus menjadi acuan terhadap

pemberhentian Kepala Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.

Page 130: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Alkostar ,Artidjo , 2005, Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.

Budiarjo,Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Garmedia, Jakarta.1988.

Cambell, Black Hery,Black’s Law Dictionary, St Paul Minn, West Publishing Co,1997.

Diokdjo Sisworo, Soedjono, Pengantar ilmu Hukum, Rajawali Press, Jakarta.1986.

Wade. E.C.S. dan G, GOgfrey. Constitutional Law: An Outline of law and Practise of the Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and State and Administrative Law, Edition,Longman,London.1965

G.Sudargo., Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung Alumni, 1983

Gilles, Paquet, “Paradigms Of Governance” Canadian Center For Managemen Development, Rethinking Governance, The Dewar Series : Perspektive On Publik Management 1994.

G.H.Addink Dalam Siswanto Sunarno,Reader,Principles of Good Governance,2005 Hadjon, Philipus M,dkk, Pengantar Hukum Adminstrasi Negara (Introduction To The

Indonesian Administration Law),cet. I Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997.

Hadjon, Philipus M. Tentang Wewenang, Dalam Yuridis, Nomor 5 dan 6 Tahun XII September -Desember 1997.

Hoessei, Benyamin, Berbagai Faktor yang Mempenagruhi Besarnya Otonmi Daerah di Tingkat II Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi, Jakarta. Program PPS Universitas Indonesia,1993.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradailan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Pustaka Sianar Harapan Jakarta.2004.

Ismail, Sunny,. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif( suatu penyelidikan Dalam Hukum Tata Negara). Aksara Baru, Jakarta,1983.

Kantaprawira Rusai, Pengaruh Pemilihan Umum Terhadap Prilaku Politik Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia : Dimensi Budaya Politik Dan Budaya Hukum. Disertasi Pascasarajana Unpad, Bandung,1992.

Page 131: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Kaloh, J, kepala Daerah; Pola kegiatan dan prilaku kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, PT Garamedia Pustaka Utama.Jakarta .2003.

Kelsen ,Hans, General Theory Of Law State, Russell&Russell, New York, 1961.

Manan ,Bagir , perjalanan historis pasal 18 UUD 1945. Unsika Karawang 1993.

------------------, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat studi Hukum ( PSH) fakultas Hukum UII Yogyakarta,2001.

Manan, Bagir , Restrukturisasi Badan Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 239, Jakarta.2005.

Manan, Bagir,1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, makalah Ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana Unpad Bandung.

Muschab, Mashuri, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945. Bina Aksara Jakarta 1981.

Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negara Indonesia, Yogyakarta : Liberty,1981.

Mahfud MD, Moh, ketika Gudang Kehabisan Teori Ekonomi” dalam pemerintahan yang bersih,UII Press, Yogyakarta,2000.

------------------ Oligarki Politik Hambat Supremasi Hukum.Serial Online 11 februari 2010 available From:URL:http://www.sinarharapan.co.id.

Mayo, Hendry B. An Introduction To Democratic Theory.Oxford Univesity Press,New York.1960.

M.Musri Nauli. Kekosongan Kekuasaan (Rechtvacuum) Serial online.16 Juli 2010. availablefrom:URL.http://www.jambiekspres.co.id

Nisjar S, Karhi, Beberapa catatan tentang Good Governance, Dalam jurnalAdministrasi dan Pembangunan , Vol.1 No.2, PERSADI LP3ES, Jakarta 1997.

Noer, Deliar . Pengantar Pemikiran Politik, Rajawali, Cet. Ke-1 .Jakarta.1983

Sarbudin Panjaitan.Rapat Paripurna DPRD Pematang Siantar Memberhentikan Walikota Cacat Hukum.Serial Online 30 Juni 2009 available from:URL:http://hariansib.com

Sarundjang, Arus Balik Kekuasaan Kedaerah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1998.

Page 132: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Syarifudin Ateng , Dalam Sadu Wasistiono dan Ondo Riyani, Etika Hubungan Legislatif Eksekutif dalam Rangka pelaksanaan otonomi Daerah. Alqaprint Jatinangor Sumedang,2002.

Samego Indria ,Masalah Good Govermance di Dalam Sistem Pemerintahan Daerah, Jurnal demokrasi & HAM vol 2.NO.2, Juni- September 2002.

Soemantri ,Sri M.2001. Konseprualitas Dasar-Dasar Konstitusi Bagi Demokrasi Bagi Demokrasi Yang Berlanjut. Dalam Laporan Konfrensi : Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi Di Indonesia. IDEA Kumpulan Makalah.

Suswono ,Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis Dan Yuridis Terhadap Pidato Nawaskara, PT. Gramedia Utama, Jakarta.1997.

Smith ,B.C., Decentralization ( the territorial dimension Of the state),George Allan & Onwin Ltd, London WCIA ILU UK,1985.

Strong ,C.F , Modern Political Constitution An Introduction To The Comparative Study of Their History And Existing, Soddgwiick & Jacktos Limited,London Revised Edition,1952.

Soedjito, Irawan , Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah, Bina Aksara, Jakarta,1981.

Soekanto ,Soerjono , Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1984.

Sukahman ,Wirnano , Pengantar Penelitian ilmiah, Dasar Metode dan Teknik, Tarsito Bandung. 1985.

Smith, dalam Johanes Fernandes,Dari Otonomi Ke Integrasi. JIIS UI,Jakarta, 1992.

Sunarno, Siswanto Sunarno,Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia.Sinar Grafika.Jakarta.2005.

Sadjino. Fungsi kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, LaKsBang PRESSindo, Yogyakarata,2005.

Syueb ,Sudono .Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi.laksbang Mediatama,Surabaya.2008.

Soehino, Ilmu Negara,Liberty, Yogyakarta, 1980

Suwandi,Made ,dkk. Menggagas Format Otonomi Daerah.Jakarta.2005.

Page 133: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Waren ,J.H., The local Government service, George Allen & Onwin Ltd, Museum Street, London,1952.

Wasistiono ,Sadu, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,ed.II, Fokus Media ,Bandung,2002.

----------------Meningkatkan Kinerja Dewan Pewakilan Rakyat Daerah (DPRD).FokusMedia.Bandung.2009.

Wardani, Kunthi Dyah , Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2007.

Stoner dan Freman Dalam Sadu Wasistiono.Meningkatkan Kinerja Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). FokusMedia.Bandung.2009

Shimon Shetreet, 1995, Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Faizal,Andy.Dipecat DPRD, Bupati Menghilang. Serial Online 22 januari2009,availablefrom:URL:http:/www.nersandy.blogspot.com.html

Regerio, Pinto,F, Profecting The Governance Aproach To Civil Servisce Rewform An Intitusional Enveriroment Assesment For Freparing a Sectoral Adjusment Loans at The Gambia, Word Bank Disccusion Paper, Africa Technical Departement series.

Umbu Rauta. Pergantian Kepala Daerah Menurut Hukum Tata Negara. Serialonline.27februari2007.availablefrom:URL.http://beriman-hati.blogspot.com

Yudho,Winarno.dkk (tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi),

Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (laporan penelitian), Jakarta, 2005.

Zairin Harahap. Korupsi APBD Purworejo: Serial online.4 Juni 2009 availablefrom:URL.http://infokorupsi.com

Hasil penelitian lapangan dengan mengambil studi kasus di DPRD Propinsi Sumatera Selatan dan DPRD Propinsi Sulawesi Utara. Penulis adalah Peneliti Madya Bidang Politik Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Alamat email: [email protected]. 2 Kajian, Vol 13, No. 3, September 2008

Page 134: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Pemberhentian sementara vs presumption of innocent hhtp : // www . Mahkamah konstitusi .go.id.

Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005.

Departemen dalam Negeri RI “ Politik Lokal/Nasional, Kepemimpinan dan Good Govenance” Makalah pada saat rapat Konsulidasi Pemerintahan dalam negeri 4 september 2001.

Rapat Paripurna DPRD Kebumen Diboikot Tiga Fraksi.Serial online 30 Juli 2010 availablefrom:URL.http://purwekertonews.com

UNDANG-UNDANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN,PENGESAHAN,PENGANKATAN DAN PEMBERHETIAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH . (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4480)

Page 135: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KETIGA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 92)

UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUSAAN KEHAKIMAN. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5076)

UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN- KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951)

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG MAHKAMAH AGUNG.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4359)

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG LAPORAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH KEPADA PEMERINTAH.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 19)

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 53 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DPRD. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomo 4417)

CONTOH - CONTOH KASUS PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH

Rapat Paripurna DPRD Kebumen Diboikot Tiga Fraksi

Rapat Paripurna DPRD Kebumen beragendakan Usulan Pemberhentian Bupati dan Wakil

Bupati Kebumen Periode 2005 – 2010, gagal menghasilkan keputusan akibat tak

mencapai kuorum dan diboikot oleh 3 fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat (FPD), Fraksi

Partai Kebangkitan Bangsa (FKB) dan Fraksi Partai Golkar (FPG), Senin (5/7). Rapat

tersebut hanya dibuka dan ditutup lagi oleh Ketua DPRD Kebumen, Ir Budi Hianto.

Menurut Kasubag Humas DPRD Kebumen, Titi Widagni, berdasarkan Tata Tertib DPRD

Kebumen, Rapat Paripurna semacam itu harus dihadiri oleh minimal tiga perempat dari

jumlah anggota atau 38 orang. Sampai rapat ditutup, anggota yang hadir hanya hanya 29

orang, maka rapatpun dinyatakan tak mencapai kuorum dan harus ditunda sampai tiga

hari berikutnya atau menunggu keputusan Banmus DPRD Kebumen.

“Rapat ini sebenarnya agenda kelembagaan DPRD yang memang sudah sesuai dengan

mekanisme perundang-undangan, yaitu 2 minggu sebelum jabatan bupati dan wakil

bupati habis DPRD harus sudah mulai mempersiapkan proses pemberhentiannya. Rapat

Page 136: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

ini benar-benar bukan agenda politik untuk mendiskreditkan seseorang, jadi

seharusnyalah anggota ketiga fraksi itu menyadari aturan itu dan hadir di sini,” ujar Wakil

Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kebumen, Tatag Sujoko di Aula DPRD Kebumen.

Sedangkan Ketua FKB DPRD Kebumen, Ir Sri Harry Susanto MM, ketika dihubungi

menyatakan bahwa boikot ketiga fraksi terhadap Rapat Paripurna tersebut memang sudah

kesepakatan ketiga fraksi yang berasal dari 3 partai pengusung pasangan calon bupati –

wakil bupati (cabup-cawabup) dalam Pemilukada 2010 Kebumen, KH M Nashirudin AM

– H Probo Indartono SE Msi.

Alasan ketiga fraksi memboikot agenda tersebut menurut Sri Harry Susanti disebabkan

usulan mereka agar DPRD Kebumen membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pemilihan

Kepala Daerah (Pilkada) Kebumen telah ditolak mentah-mentah oleh Ketua DPRD

Kebumen. Usulan pembentukan Pansus Pilkada itu dilatarbelakangi oleh keprihatinan

terhadap banyaknya pelanggaran dalam Pemilukada 2010 Kebumen lalu, sehingga DPRD

sebagai lembaga pengawas terhadap penggunaan dana APBD berhak untuk melakukan

pengkajian terhadap pelaksanaan Pemilukada 2010 Kebumen.

“Berdasarkan Tata Tertib DPRD Kebumen, anggota DPRD Kebumen berhak

mengusulkan pembentukan pansus. Bukankah Pemilukada 2010 Kebumen menggunakan

dana APBD 2010 Kebumen, sehingga sangat wajar bila DPRD Kebumen

mempertanyakan pelaksanaan Pemilukada. Sebagai lembaga yang berhak melakukan

pengawasan terhadap APBD, kami pun berhak mengawasi Pemilukada,” ujar Sri Harry

Susanti.

Sri Harry Susanti mengakui bila penolakan pembentukan Pansus Pillkada itu benar-benar

mengecewakan para anggota 3 fraksi tersebut, sehingga mereka pun sepakat untuk

memboikot Rapat Paripurna yang digelar Senin (5/7) itu.

Jalan Panjang Pemberhentian Kepala Daerah

Oleh Otong Rosadi

Akhirnya, setelah berminggu-minggu Garut diingarbingarkan dengan unjuk rasa

berbagai elemen masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan

Bupati Garut Agus Supriadi sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana

korupsi APBD Garut, Kamis (26/7). Sebelumnya DPRD Garut telah

menyampaikan hasil dari Panitia Hak Angket dan rekomendasi DPRD Garut ke

Page 137: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Mahkamah Agung perihal usulan pemberhentian Bupati untuk diperiksa lebih

lanjut oleh MA.

Partai Golkar Garut bersikap dengan "memecat" Agus Supriadi dari

kepengurusan partai. Sejumlah partai, ormas, dan elemen masyarakat juga

meminta Bupati Garut mundur dari jabatannya.

Kasus Bupati Garut ini menarik untuk ditelaah dari sudut hukum tata negara.

Bagaimana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur pemberhentian

kepala daerah? Mengapa pula mekanisme penyelesaian kasus ini terkesan rumit,

panjang, dan berliku.

Kasus ini berawal dari pengaduan sejumlah kasus dugaan korupsi di Kabupaten

Garut. KPK menemukan bukti kuat dugaan kasus tindak pidana korupsi di

lingkungan Pemerintah Kabupaten Garut, termasuk dugaan keterlibatan Bupati.

Pemeriksaan KPK ini mendorong pengunduran diri beberapa pejabat teras

Pemkab Garut dengan alasan untuk memudahkan pengusutan dugaan korupsi.

Dari sinilah "Bupati Garut Gate" bermula.

Kisah pun bergulir cepat. Beberapa pejabat mundur dari jabatannya (24 Juni

2007). Massa dari berbagai lapisan masyarakat menyatu dalam gelombang unjuk

rasa. Unjuk rasa pun mengarah pada Bupati. Bupati dipandang harus

bertanggung jawab atas dugaan korupsi dan atas kinerja buruknya memimpin

Garut.

Gayung bersambut. Pada 27 Juni 2007 rapat pimpinan DPRD membentuk Panitia

Khusus Hak Angket DPRD. Pansus Hak Angket DPRD Garut menghasilkan

rekomendasi. Rekomendasi itu berisi usulan pemberhentian sementara Bupati

dari jabatannya pada 11 Juli 2007. Rekomendasi ini lalu disampaikan ke MA

untuk mendapat putusan. UU No 32/2004

Berbeda dengan UU No 22/1999 yang mengatur pertanggungjawaban kepala

daerah kepada DPRD yang dapat membawa implikasi pada usulan

pemberhentian kepala daerah, UU No 32/2004 tidak mengatur

pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD yang berimplikasi pada

pemberhentian kepala daerah. Meski demikian, UU No 32/2004 juncto PP No

6/2005 mengatur perihal pemberhentian kepala daerah dengan empat model.

Page 138: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Pertama, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala daerah kepada

Presiden apabila dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, dan tidak

melaksanakan kewajibannya sebagai kepala daerah (Pasal 123 PP No 6/2005).

Prosedurnya dimulai dengan adanya pendapat DPRD bahwa kepala daerah

dinyatakan melanggar sumpah atau janji dan atau tidak melaksanakan

kewajiban kepala daerah.

Pendapat DPRD tersebut diputuskan melalui rapat paripurna DPRD yang dihadiri

sekurang-kurangnya tiga perempat jumlah anggota DPRD, dan putusan diambil

dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPRD yang

hadir.

Pendapat DPRD hasil rapat paripurna itu diajukan kepada MA untuk diputuskan.

MA wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRD paling

lambat 30 hari setelah permintaan DPRD itu diterima MA, dan putusannya

bersifat final. Apabila MA memutuskan kepala daerah terbukti melanggar

sumpah/janji jabatan dan atau tidak melaksanakan kewajibannya, DPRD

menyelenggarakan kembali rapat paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya

tiga perempat jumlah anggota DPRD, dan putusan diambil dengan persetujuan

sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota DPRD yang hadir.

Pemberhentian kepala daerah yang terbukti melanggar sumpah/janji dan atau

tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah diusulkan DPRD kepada Presiden,

dan Presiden wajib memproses usul DPRD tersebut paling lambat 30 hari sejak

DPRD menyampaikan usul tersebut.

Dugaan kepala daerah melanggar sumpah/janji dan tidak melaksanakan

kewajibannya sebenarnya merupakan masalah hukum yang memerlukan

pembuktian hukum terlebih dahulu. Namun, UU No 32/2004 mengatur

pengecualian tidak ditempuh melalui pengadilan negeri, pengadilan tinggi,

tetapi langsung ke MA. Proses pemberhentian kepala daerah, menurut UU No

32/2004, lama, berbelit, dan agak sulit dilaksanakan.

Bisa saja putusan MA yang menyatakan benar bahwa kepala daerah melanggar

sumpah/janji dan tidak melaksanakan kewajibannya tidak dilanjutkan oleh

DPRD karena terjadi perubahan politik di DPRD. Anggota DPRD tidak lagi

Page 139: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

berpandangan bahwa kepala daerah melanggar sumpah/janji dan atau tidak

melaksanakan kewajiban kepala daerah. Sebab, setelah putusan MA

disampaikan ke DPRD, DPRD akan melaksanakan paripurna kembali untuk

memutuskan pendapat tersebut. Bila tidak didukung dua pertiga anggota DPRD,

putusan MA tidak bermakna.

Model kedua, apabila memunculkan krisis kepercayaan publik kepada kepala

daerah (Pasal 128 PP No 6/2005), krisis terus berlanjut dan menimbulkan

ketidakstabilan pemerintahan dan pembangunan, DPRD dapat menggunakan

hak angket sebagai kelanjutan dari hak interpelasi untuk menyikapinya. Jika

melalui mekanisme hak angket DPRD berpandangan bahwa kepala daerah

melakukan tindak pidana yang melibatkan tanggung jawabnya, DPRD

menyerahkan proses penyelesaiannya kepada penegak hukum sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika pengadilan memutuskan kepala daerah melakukan tindak pidana, dengan

ancaman pidana penjara paling sedikit lima tahun atau lebih, sekalipun belum

merupakan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, DPRD dapat

mengusulkan "pemberhentian sementara" kepala daerah kepada Presiden.

Presiden memberhentikan sementara kepala daerah berdasarkan usulan DPRD

tersebut.

Apabila terbukti bersalah melalui keputusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, DPRD mengusulkan pemberhentian kepala daerah

kepada Presiden dan Presiden memberhentikan kepala daerah bersangkutan.

Pada model ketiga dan keempat, kepala daerah diberhentikan oleh Presiden

tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana

kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun atau

lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap (Pasal 125 PP No 6/2005).

Model ini diawali "pemberhentian sementara" apabila pengadilan telah

memutuskan bahwa kepala daerah terbukti melakukan tindak pidana. Presiden

memproses pemberhentian sementara gubernur atas usulan Menteri Dalam

Page 140: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Negeri. Adapun Mendagri memproses pemberhentian sementara bupati/wali

kota atas usulan gubernur.

Dalam model keempat, kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa

melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi,

terorisme, makar, dan atau tindak pidana terhadap keamanan negara yang

dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap (Pasal 127 PP No 6/2005). Model keempat ini diawali dengan

"pemberhentian sementara" apabila berkas perkara telah dilimpahkan ke

pengadilan dan dalam proses penuntutan dengan dibuktikan register perkara.

Kembali ke hukum

Berdasarkan pemberitaan media massa, dalam kasus Bupati Garut, proses

pemberhentian dilakukan dengan menggunakan campuran model pertama dan

kedua. Dari dugaan korupsi muncul krisis kepercayaan publik, lalu DPRD

membentuk panitia untuk menjalankan hak angket. Hasil rekomendasi hak

angket DPRD yang seharusnya diserahkan kepada penegak hukum (KPK atau

jaksa dan kemudian pengadilan) untuk diperiksa lebih lanjut justru diserahkan

ke MA. Padahal, campur tangan MA hanya untuk model pertama, bukan untuk

model kedua.

KPK "bertindak cepat" dengan memeriksa Bupati Garut dan menetapkannya

sebagai tersangka. Artinya, KPK kemudian mendorong proses "Bupati Garut

Gate" menuju pada pilihan model keempat. Langkah KPK ini diharapkan dapat

sementara waktu meredakan gelombang unjuk rasa di Garut dan

memindahkannya kepada prosedur hukum yang semestinya (due process of

law).

Model keempat ini lebih tepat dipilih asal tetap berjalan sesuai prosedur yang

benar, termasuk keharusan meminta persetujuan tertulis dari Presiden sesuai

ketentuan Pasal 133 PP No 106/2005.

Sebab, bagaimanapun prosedur penegakan hukum yang benar merupakan

prasyarat bagi penegakan hukum yang berkepastian dan mendekati rasa

keadilan. Semoga. OTONG ROSADI Dosen Fakultas Hukum Universitas Ekasakti

Padang; Berdomisili di Pamanukan, Subang

Page 141: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Mendagri Pecat Bupati Pelalawan

"SK pemberhentian Bupati Pelalawan sudah diterima oleh Pemerintah Provinsi Riau,"

kata Kepala Biro Tata Pemerintahan Setdaprov Riau Alimudin di Pekanbaru, Jumat (4/9).

SK bernomor 131.14-590/2009.

Ia menyebutkan, SK tersebut berisi tentang pengesahan pemberhentian Bupati Pelalawan

dan pengesahan pengangkatan Wakil Bupati Pelalawan, Rustam Effendi sebagai bupati

menggantikan Tengku Azmun Jaafar. Ia juga menambahkan bahwa pelantikan Rustam

Effendi sebagai Wakil Bupati Pelalawan akan digelar dalam waktu dekat melalui rapat

paripurna istimewa DPRD Kabupaten Pelalawan.

Sementara itu, pemberhentian Tengku Azmun Jaafar sebagai Bupati Pelalawan dilakukan

menyusul Keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor 736/k/pid.sus/2009 tanggal 3

Agustus 2009 yang menyatakan Tengku Azmun Jaafar terbukti bersalah melakukan

tindak pidana korupsi dan divonis 11 tahun penjara. Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT)

DKI Jakarta memvonis mantan Bupati Pelalawan tersebut dengan 16 tahun penjara.

Sedangkan di pengadilan tingkat pertama, mantan Bupati Pelalawan divonis 11 tahun

penjara.

Majelis hakim menyatakan Azmun bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam

penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)

kepada 15 perusahaan kehutanan di Pelalawan, sehingga merugikan negara Rp 1,2 triliun.

Majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan dan

pembayaran uang pengganti Rp 12,3 miliar.

Azmun dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan

UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP. Dalam

pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyatakan Azmun dengan sengaja menerbitkan

IUPHHK-HT kepada 15 perusahaan dalam kurun waktu Desember 2002 sampai Januari

2003, padahal mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan itu tidak kompeten dalam

bidang kehutanan. [*/sss]

Page 142: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Oleh:M. Musri Nauli *

PERSETERUAN antara Yusril Ihza Mahendra dengan Jaksa Agung dimulai dalam kasus

korupsi Sisminbakum. Kasus Sisminbakum telah menetapkan tersangka terhadap Prof.

Romli Atmasasmita dan pejabat penting lainnya di Depkumham. Prof. Romi Atmasasmita

kemudian telah menjalani proses hukum dan dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut.

Saat pemeriksaan proses hukum terhadap para tersangka, sebagian kalangan menyesalkan

terhadap proses hukum tersebut. Adanya kecurigaan “rekayasa” kasus ini tidak terlepas

dari “seringnya” Prof. Romli mengkritisi kebijakan negara dalam persoalan hukum

pidana.

Pernyataan ini yang kemudian dianggap sebagai salah satu alasan kemudian kasus ini

mengemuka di permukaan. Terlepas dari pernyataan bahwa kasus ini tidak berdimensi

politik, namun bacaan publik tidak serta merta dapat dimentahkan dengan pernyataan

tersebut.

Persidangan terhadap Prof. Romli kemudian menyeret Yusril Ihza Mahendra. Perseteruan

antara Prof. Romli dengan kejaksaan Agung kemudian melebar antara Yusril dengan

Kejaksaan Agung. Apabila sebelumnya Prof. Romli “mempersoalkan” tentang rekayasa

kasus, bukti-bukti yang tidak kuat, namun disaat ketika perseteruan dengan Yusril, Yusril

kemudian mempersoalkan keabsahan Jaksa Agung.

Kekosongan Kekuasaan (Rechtvacuum)

Sebelum diperiksa sebagai tersangka, Yusril mengeluarkan “jurus ampuh” dengan

menyatakan Jaksa Agung illegal. Jurus ampuh ini ternyata efektif. Dunia Politik geger.

Perdebatan dalam ilmu hukum membuat banyak pihak tersentak. Wacana tentang tidak

diangkatnya Hendarman Supandi sebagai Jaksa Agung pada Kabinet Indonesia Bersatu

periode II menimbulkan persoalan yang serius dalam lapangan hukum ketatanegaraan.

Dalam ilmu hukum biasa dikenal sebagai kekosongan kekuasaan (rechtvacuum).

Kekosongan hukum ini sangat berbahaya dan bisa disalahgunakan melawan negara (coup

de etaat).

Page 143: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Peristiwa ini pernah terjadi. Saat menjelang Pemilu 2009, Presiden SBY ke luar negeri

dalam lawatan resmi ketatanegaraan. Wapres Jusuf Kalla yang menggantikan Presiden ad

interm berada di Aceh dalam kampanye Partai. Jakarta Kosong selama 48 jam. Kalangan

akademisipun teriak. Dan kemudian akibat dari “kelalaian” sehingga Jusuf Kalla

kemudian segera pulang ke Jakarta sehingga tidak dapat digunakan kaum pemberontak

menguasai negara (coup de etaat).

Peristiwa lain tentang Kekosongan kekuasaan (rechtvacuum) tidak terjadi dalam

peristiwa dicopotnya Komandan Kopassus menjelang kejatuhan orde baru. Sebelum

ditetapkan Komandan Kopassus tetap, pengganti sementara Komandan Kopassus

menjabat selama 16 jam. Dan setelah 16 jam, barulah ditetapkan Komandan Kopassus

tetap.

Begitu juga saat Soekarno dan Hatta ditangkap Belanda pasca agresi II. Sebelum

ditangkap, Soekarno dan Hatta kemudian memberikan kewenangan Presiden kepada

Syafruddin Prawiranegara yang saat itu sedang berada di Bukit tinggi. Surat resmi

melalui kawat diterima oleh Syafruddin Prawiranegara dan kemudian Syafruddin

Prawiranegara menyatakan memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Bukittinggi.

Hubungan diplomatikpun berjalan.

Mesir dan berbagai negara-negara lain tetap membangun komunikasi ketatanegaraan

dengan Pemerintahan Syafruddin Prawiranegara walaupun Soekarno dan Hatta ditawan

oleh Belanda.

Sehingga kampanya Belanda yang menyatakan bahwa kekusaaan Indonesia telah jatuh

dengan ditangkapnya Presiden dan wakil Presiden, terbantahkan dengan mandat yang

diterima Syafruddin Prawiranegara. Sehingga dalam diplomasi internasional, kampanya

Belanda kemudian ditertawakan oleh dunia internasional. Dan salah satu peristiwa

penting yang membuat Indonesia tetap diakui sebagai negara yang berdaulat dan

membuat Belanda kemudian hengkang dari Indonesia 30 Desember 1949.

Beberapa peristiwa penting disampaikan penulis, sekadar gambaran, bagaimana

pentingnya tidak dibenarkan adanya kekosongan kekuasaan (rechvacuum). Dalam

diskursus hukum ketatanegaraan, tidak dibenarkan kekuasaan kosong walau sedetikpun.

Page 144: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

PERGANTIAN KEPALA DAERAH MENURUT HUKUM TATA NEGARA

(Kasus Meninggalnya Walikota Salatiga)

Oleh : Umbu Rauta, SH.MH.

Belum genap setahun menjabat sebagai Walikota, tanggal 9 Februari 2007, warga

Salatiga telah berduka dengan meninggalnya Walikota H. Totok Mintarto. Sosok

Walikota tersebut cukup terkesan di hati warga karena figur kedekatan dengan semua

lapisan masyarakat yang terdiri dari berbagai latarbelakang dan aliran. Pasca

meninggalnya Walikota, terjadi kekosongan jabatan Walikota, yang secara yuridis patut

dilakukan pengisian jabatan lewat peristiwa pergantian. Saat ini, meski agak “malu-malu

kucing”, suhu perpolitikan di Kota Hatti Beriman mulai hangat seputar percakapan

tentang pergantian jabatan Walikota. Setidaknya agenda perbincangan memusat pada (a)

siapa dan bagaimana prosedur pengisian jabatan Walikota; dan (b) wajibkah jabatan

Wakil Walikota dilakukan pengisian apabila Wakil Walikota John Manoppo dikukuhkan

menjadi Walikota. Terhadap keadaan yang terjadi di Salatiga, dapat disoroti dari

perspektif Hukum Tata Negara, terutama perangkat perundang-undangan yang mengatur

perihal pemberhentian dan pergantian jabatan Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala

Daerah (WKDH).

Perihal Pemberhentian & Pergantian Jabatan

Dalam Pasal 29 – 35 UU No. 32 Tahun 2004 (telah diubah dengan UU No. 8 Tahun

2005) maupun Pasal 123 – 133 PP No. 6 Tahun 2005, telah diatur beberapa alasan

Page 145: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

pemberhentian KDH dan atau WKDH, yaitu meninggal dunia, permintaan sendiri, dan

diberhentikan. Fakta di Salatiga yaitu Walikota meninggal dunia, sehingga beralasan

untuk dilakukan pemberhentian dan pergantian jabatan. Selanjutnya, apabila terjadi

pemberhentian KDH karena meninggal dunia, permintaan sendiri, diberhentikan, maka

Wakil KDH menggantikan KDH sampai habis masa jabatannya. Pergantian KDH

dilakukan melalui usulan pengesahan pemberhentian & pergantian KDH oleh DPRD ke

Presiden. Beranjak dari ketentuan tersebut, Wakil Walikota “diperintahkan” mengganti

Walikota sampai habis masa jabatannya. Perintah ini tidak dapat dielakkan.

Lantas, bagaimana jika Wakil Walikota tidak berkeinginan untuk menggantikan

Walikota? Meski tidak ada sanksi, namun semangat dari ketentuan di atas yaitu (a)

menjaga kesinambungan atau keberlanjutan penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan, oleh karena ada beberapa tindakan pemerintahan (bestuurshandeling)

yang hanya dilakukan dalam kapasitas sebagai Walikota, seperti pengesahan Perda &

Peraturan Walikota; dan (b) proses seleksi jabatan yang dilakukan secara paket, sekaligus

memungkinkan Wakil Walikota sewaktu-waktu mengemban jabatan sebagai Walikota

jika terjadi keadaan yang tidak memungkinkan Walikota melanjutkan kepemimpinannya.

Agenda pemberhentian Walikota diawali dengan pemberitahuan Pimpinan DPRD untuk

diputus dalam Rapat Paripurna DPRD. Selanjutnya diajukan ke Mendagri melalui

Gubernur Jawa Tengah untuk pengesahan. Sementara agenda pergantian dibahas &

diputus dalam Rapat Paipurna DPRD agar Wakil Walikota diusulkan ke Mendagri

melalui Gubernur Jawa Tengah untuk mengganti Walikota sampai habis masa jabatan.

Meski tidak diatur kapan waktu pemberhentian dan pergantian KDH dan atau WKDH,

namun dengan pertimbangan keberlanjutan dan kelancaran penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan, DPRD secepatnya menyelenggarakan Rapat Paripurna

dengan agenda pemberhentian & pergantian jabatan Walikota.

Perihal Kekosongan Jabatan Wakil KDH

Dalam Pasal 35 ayat 1 – 2 UU No. 32/2004 mengatur prosedur pengisian jabatan WKDH

jika KDH diberhentikan dengan alasan melakukan tindak pidana & menghadapi krisis

kepercayaan publik. Apabila kekosongan jabatan Wakil KDH masih dalam rentang waktu

Page 146: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

lebih dari 18 bulan, KDH mengusulkan 2 orang calon WKDH untuk dipilih oleh Rapat

Paripurna DPRD berdasarkan usul Parpol/gabungan Parpol yang pasangan calonnya

terpilih dalam Pilkadal.

Meski demikian tidak diatur secara eksplisit perihal pengisian jabatan WKDH karena

menggantikan KDH yang meninggal dunia, namun berdasarkan tafsiran sistematis dan

analogi dari UU No. 32/2004 maka kekosongan jabatan Wakil KDH merupakan

kemestian untuk dilakukan pengisian. Penafsiran sistematis digunakan karena Pasal 35

tidak dapat dilepaskaitkan dengan pasal-pasal sebelumya mulai Pasal 29 yang mengatur

alasan dan prosedur pemberhentian serta pergantian KDH dan WKDH. Sementara

tafsiran analogi digunakan karena terjadi keadaan yang serupa yaitu kekosongan jabatan

WKDH akibat WKDH menggantikan KDH karena salah satu alasan dalam Pasal 29 ayat

1.

Alasan pendukung lainnya yaitu (1) demi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di Kota Salatiga, (2) adanya pembagian kewenangan secara atributif dan

eksplisit antara KDH dan WKDH sebagaimana diatur dalam Pasal 25 – 26, sehingga akan

terjadi persoalan dari perspektif hukum administrasi negara; (3) dalam rangka menjaga

kedaruratan berikutnya (yaitu jika terjadi keadaan berhalangan terhadap kepemimpinan

puncak ditubuh pemerintah (eksekutif), sehingga akan memakan biaya lebih besar karena

harus dilakukan pemilihan KDH dan WKDH. Akankah waktu yang ada tersita hanya

dengan urusan pengisian jabatan pemerintahan, sementara tugas utama untuk layanan

masyarakat menjadi tersita dan terkesampingkan.

Prosedur Pengisian Jabatan Wakil KDH

Prosedur pengisian jabatan WKDH dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat 2,

dimana basis pencalonan adalah Parpol/Gabungan Parpol yang memenuhi syarat dalam

Pilkadal. Parpol/Gabungan Parpol perlu melakukan penjaringan dan penyaringan bakal

calon Wakil Walikota sesuai mekanisme internal partai maupun kepenuhan terhadap

syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 58. Sumber calon yang akan diajukan

Parpol/Gabungan Parpol ke KDH tidak dilakukan pengaturan secara eksplisit, sehingga

kewenangan ada pada Parpol/Gabungan Parpol. Oleh karenanya, ada 2 alternatif yang

dapat digunakan yaitu : menggunakan hasil penyaringan saat Pilkadal, yaitu calon

WKDH urutan berikutnya (untuk kasus Salatiga adalah calon Wakil Walikota urutan

Page 147: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

berikutnya setelah John Manoppo dari gabungan PDIP dan PAN), atau dilakukan

penjaringan & penyaringan baru oleh Parpol/Gabungan Parpol.

Selanjutnya, apakah ada peran dari KDH dalam penjaringan dan penyaringan calon

WKDH yan dilakukan Parpol/Gabungan Parpol? Meski tidak diatur, namun dalam rangka

kerjasama yang bermakna antara KDH dan WKDH, tidak keliru jika dilakukan konsultasi

intensif dengan KDH.

Hasil penyaringan yang telah dilakukan Parpol/Gabungan Parpol diajukan ke KDH untuk

disampaikan ke DPRD. DPRD akan melakukan pemilihan terhadap 2 calon yang

diajukan KDH. Prosedur pemilihan menggunakan ketentuan internal DPRD yaitu

Peraturan Tata Tertib DPRD. Potensi masalah hukum akan terjadi jika calon yang

diajukan Parpol/Gabungan Parpol kurang dari 2 calon (1 calon). Akankah KDH atau

DPRD menolak agar dilakukan proses ulang sampai memperoleh minimal 2 calon?

Meski tidak diatur, dengan pertimbangan kedaruratan pergantian jabatan dan

penghargaan akan peran Parpol/Gabungan Parpol, maka proses tetap dapat dilanjutkan

oleh KDH dan DPRD untuk dilakukan pemilihan.

Catatan Akhir

Apabila DPRD Kota Salatiga telah mengusulkan pengesahan pemberhentian dan pergantian Walikota maupun akan dilakukan pengisian terhadap jabatan Wakil Walikota, demi mewujudkan Kota Salatiga Hatti Beriman, maka beberapa hal berikut patut menjadi perhatian bersama. Pertama, mewujudkan terjadinya perimbangan politik (terutama kesukuan dan keagamaan) dalam jabatan Walikota dan Wakil Walikota. Fakta menunjukan hal semacam ini tak terhindarkan, apalagi memperhatikan persyaratan figur yang berkembang khususnya untuk bakal calon Walikota. Kedua, masyarakat hendaknya mengawasi Parpol/Gabungan Parpol maupun anggota DPRD agar tidak terjadi permainan politik uang yang mencederai semangat dan gerakan pemberantasan korupsi.Ketiga, menghargai dan mendukung hasil dari proses pergantian dan pengisian jabatan yang dilakukan secara jujur dan adil oleh Parpol/Gabungan Parpol, Walikota dan DPRD. Semoga.......

Dipecat DPRD, Bupati HST Menghilang

Kamis, 22 Januari 2009 | 20:00 WITA

BARABAI, KAMIS - Sejak keluarnya keputusan DPRD Kabupaten Hulu Sungai

Tengah (HST) yang mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri RI untuk

memecat Bupati Kabupaten HST, sejak kemarin sore, Bupati Saiful Rasyid

menghilang dan sulit ditemui.

Page 148: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Bahkan bupati yang dijadwalkan memimpin rapat internal pembahasan RAPBD

dari tim eksekutif pun batal hadir. Untuk menggantikan posisi bupati memimpin

rapat digantikan Sekda Igb Dharma Putra. "Bapak belum masuk, mulai sejak

kemarin," kata salah satu Staf Ajudan Bupati HST. (Khairil Rahim)

Pemberhentian Kepala Daerah Berlaku Adagium Ubi Eadem Ratio, Ibi Idem

Jus[Senin, 03 April 2006].

Tidak ada pelanggaran konstitusi ketika Mendagri atas nama Presiden

memberhentiukan Bupati Sarolangun. Pemberhentian sementara itu justeru untuk

memberikan kepastian hukum.

Demikian antara lain pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi ketika memutus

perkara permohonan pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah yang diajukan oleh Muhammad Made. Bupati Sarolangun itu merasa hak

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal 31 ayat (1) UU dimaksud beserta

penjelasannya.

Pasal 31 ayat (1) merugikan karena atas dasar itulah Mendagri atas nama Presiden

memberhentikan pemohon untuk sementara dari jabatannya sebagai Bupati Sarolangun,

Jambi. Surat pemberhentian itu dibuat atas permintaan Gubernur Jambi setelah Madel

dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan ponton senilai Rp2,5 miliar.

Dalam permohonananya, tim kuasa hukum Madel menegaskan bahwa pemberhentian

sementara itu tidak memberikan kepastian hukum. Apalagi tidak melalui mekanisme

DPRD. Lebih tegas lagi, melanggar asas praduga tidak bersalah (presumption of

innocence). "Pemberhentian itu justeru menerapkan praduga bersalah. Padahal klien kami

belum tentu terbukti bersalah," ujar Suhardi Somomoeljono, pengacara Madel.

Suhardi menunjuk contoh kasus Akbar Tanjung. Meskipun sudah duduk sebagai terdakwa

dan divonis bersalah di tingkat pertama, Akbar tak kunjung lengser dari kedudukannya

sebagai Ketua DPR. Dalam praktek, pemohon berdalih ada banyak pejabat setingkat

bupati atau gubernur yang tidak diberhentikan sementara meskipun sudah dinyatakan

Page 149: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

sebagai tersangka atau terdakwa. Apa yang dialami Madel dianggap sebagai bentuk

diskriminasi hukum.

Namun, dalam persidangan Rabu (29/3) lalu, Mahkamah menolak permohonan pemohon.

Mahkamah menganggap apa yang didalilkan pemohon tidak bertentangan dengan UUD

1945. Pemohon dinilai Mahkamah telah mencampuradukkan antara rezim hukum

administrasi dengan hukum pidana, juga menyamakan dakwaan dengan putusan. Apa

yang dilakukan Mendagri adalah tindakan administratif, bukan suatu putusan pidana.

Putusan pidana hanya ada di tangan hakim di pengadilan tempat pemohon duduk sebagai

terdakwa (sudah divonis �red).

Dalam hubungan dengan pemberhentian sementarai, berlaku adagium yang berbunyi Ubi

eadem ratio, ibi idem jus, pada alasan yang sama berlaku hukum yang sama. Oleh karena

itu, tidaklah tepat apabila pemberhentian sementara terhadap Pemohon dari jabatan

Bupati Sarolangun dikatakan bersifat diskriminatif dengan cara membandingkannya

dengan pejabat publik atau pihak lain dalam kualifikasi yang berbeda dan diatur oleh

undang-undang yang berbeda.

Kasus Akbar Tanjung, misalnya, selaku Ketua DPR RI yang pernah berstatus sebagai

terdakwa di pengadilan, tetapi tidak diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai

Ketua DPR RI, bukanlah merupakan diskriminasi karena tunduk pada undang-undang

yang berbeda dan bukan tergolong pejabat tata usaha negara sebagaimana halnya kepala

daerah. MK menegaskan, benar bahwa dalam pengertian diskriminasi terdapat unsur

perbedaan perlakuan tetapi tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta merupakan

diskriminasi.

Dalil pemohon mengenai adanya pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) juga ditepis Mahkamah. Menurut Mahkamah, berdasarkan ketentuan baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional telah nyata bahwa prinsip atau asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam bidang hukum pidana, khususnya dalam rangka due process of law. Asas tersebut sesungguhnya berkaitan dengan beban pembuktian (burden of proof, bewijslast) di mana kewajiban untuk membuktikan dibebankan kepada negara, c.q. penegak hukum, sedangkan terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana prinsip pembuktian terbalik (omgekeerde bewijslast) telah dianut sepenuhnya.

GUBERNUR JANGAN DIAMKAN WAKO SIANTAR

Page 150: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Jum'at, 14 Agustus 2009 , 18:11:00JAKARTA…Mendagri Mardiyanto meminta Gubernur Sumut Syamsul Arifin untuk

cepat melakukan klarifikasi di lapangan terkait situasi politik di Kota Pematang Siantar.

Hasil klarifikasi harus segera disampaikan ke Mendagri Mardiyanto. Juru Bicara

Depdagri Saut Situmorang menjelaskan, Depdagri sudah menyurati Syamsul Arifin

terkait persoalan di Pematang Siantar itu. Surat Depdagri ditandatangani Direktur

Jenderal Otonomi Dearah (Dirjen Otda) Sodjuangon Situmorang. Surat itu bernomor

131.12/2100/Otda tertanggal 4 Agustus 2009."Surat tertanggal 4 Agustus yang ditujukan

kepada Gubernur Sumatera Utara itu, mengharapkan agar Gubernur Sumatera Utara

dapat segera melakukan klarifikasi lapangan terhadap permasalahan Walikota Pematang

Siantar dimaksud dan melaporkan hasilmya kepada Mendagri kepada kesempatan

pertama," terang Saut Situmorang di kantornya, Jumat (14/8).

Disebutkan Saut, hingga saat ini Depdagri masih menunggu laporan klarifikasi Syamsul

Arifin. Saut membantah informasi yang beredar yang menyebutkan Mendagri

Mardiyanto sudah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pemberhentian Wali Kota

Pematang Siantar RE Siahaan dan Wakilnya Imal Raya Harahap. "Itu tidak benar," ucap

Saut.Pada akhir Juli lalu, Saut Situmorang sudah menjelaskan, Depdagri masih terus

mengkaji persoalan politik di Siantar itu. Depdagri juga sudah berkoordinasi dengan

Sekretaris Negara (Setneg) Hatta Radjasa. Setneg juga sudah menyurati Mendagri, yang

dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka penanganan dan penyelesaian

permasalahan walikota dan wakil walikota Pematang Siantar. Surat Setneg yang dikirim

ke Mendagri Mardiyanto bernomor B-3283/SETNEG/D tanggal 2 Juli 2009. Di surat itu

juga dilampirkan berkas usul pemberhentian Walikota dan Wakil Walikota Pematang

Siantar periode 2005-2010 yang dimohonkan DPRD setempat. Saut menjelaskan, berkas

yang dari Setneg itu akan dijadikan bahan pertimbangan dalam menyelesaikan kasus

ini.Saut juga sudah menjelaskan, rapat paripurna DRDP Pematang Siantar tanggal 25 Juni

2009 yang merupakan tindak lanjut keputusan Mahkamah Agung RI No. 01/P/KHS/2009

tanggal 3 Maret 2009 yang pemberhentian Walikota dan Wakilnya, sampai saat ini belum

pernah quorum.Dijelaskan Saut, pemerintah tidak akan gegabah dalam membuat

keputusan. Penyelesaian kasus ini tetap akan diambil berdasarkan ketentuan yang

berlaku, terutama pasal 123 Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 tahun 2005. PP itulah yang

Page 151: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

menjadi acuan karena mengatur tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan

pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemberhentian kepala daerah dan

wakil kepala daerah dapat dilakukan setelah ada keputusan pengadilan yang menyatakan

bersalah dan bersifat incraht.

PP ini juga sekaligus mengatur mekanisme pengusulan pemberhentian. Usul

pemberhentian harus terlebih dahulu disampaikan kepada gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat di daerah. Oleh Gubernur, usul dimaksud disampaikan kepada

Mendagri yang kemudian meneruskannya kepada Presiden. “Ada prosedur yang harus

dilalui. Bukan DPRD yang menyampaikannya langsung ke Presiden,” tegas pejabat

Depdagri asal Balige itu.

Berita Depdagri Sunday, 03 August 2008 15:29:00Pjs Tak Boleh Lakukan MutasiKategori: Berita Depdagri(48 view)

Di antara jumlah tersebut, 72 kepala daerah sudah diberi surat persetujuan Mendagri.

‘’Sisanya yang 13 tinggal beberapa hari lagi. Jangan khawatir, pasti disetujui,’’ ujar

Kepala Pusat Penerangan Depdagri Saut Situmorang pada acara penjelasan PP 49/2008 di

Bandung kemarin. Proses pengajuan pengunduran diri itu memang diwajibkan dalam UU

12 Tahun 2008 bagi kepala daerah yang akan mencalonkan lagi.

Sesuai ketentuan, incumbent harus mengundurkan diri sejak tanggal pendaftaran.

‘’Ketika incumbent hendak mendaftarkan diri dalam pilkada, dia wajib menyerahkan

pernyataan pengunduran diri dan persetujuan dari pejabat yang berwenang, dalam hal ini

Mendagri,’’ jelasnya.

Setidaknya ada empat manfaat jika pejabat mundur. ‘’Pertama, menghindari

penyalahgunaan fasilitas, misalnya rumah dinas yang digunakan untuk konsolidasi tim

sukses, atau mobil dinas yang digunakan untuk mobilitas kampanye,’’ ujar doktor

Australian National University, Canberra, Australia, tersebut. Lalu, pegawai negeri sipil

terjamin netralitasnya. ‘’Mereka tidak bingung dan takut jika tidak mendukung

incumbent. PNS memang harus tidak berpihak,’’ katanya. Yang ketiga, incumbent tidak

bisa lagi menggunakan kewenangan jabatannya untuk pemenangan diri sendiri. ‘’Dengan

begitu, asas fairness dalam pilkada akan tercapai,’’ kata Saut. Dia mengingatkan, pejabat

yang sudah mundur harus segera meninggalkan segala fasilitas dinasnya terhitung setelah

Page 152: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

pemberhentian itu disahkan. ‘’Jadi, setelah mengajukan (surat mundur, red) harus sudah

persiapan,’’ jelasnya.

Direktur Pejabat Negara Sapto Supono yang juga memberikan materi menambahkan,

kebijakan itu berlaku final dan tak dapat ditawar lagi. ‘’Memang banyak incumbent yang

kaget karena mesin birokrasi tak bisa lagi didayagunakan. Mereka tak menyangka akan

secepat itu,’’ kata pejabat kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, itu. Sapto mencontohkan di

Lampung dan Jawa Timur. ‘’Sudah tak sempat lagi konsolidasi karena harus mundur.

Efek positifnya, mesin birokrasi terpantau dan sangat terkontrol,’’ papar kandidat doktor

IPB itu.

Sapto mengingatkan, pejabat kepala daerah yang menggantikan atau wakil kepala daerah

yang naik jabatan dilarang melakukan kebijakan strategis. Misalnya, memutasi pegawai.

Itu diatur dengan PP 49 Tahun 2008 yang baru keluar 5 Juli lalu. ‘’Karena pernah terjadi,

begitu wakilnya naik, langsung terjadi penggantian personel besar-besaran. Itu

membahayakan pemerintahan,’’ terangnya.

Selain itu, pejabat pengganti atau pejabat sementara (pjs) juga dilarang membatalkan

perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya. Atau, sebaliknya, mengeluarkan

perizinan yang bertentangan dengan yang sudah dikeluarkan sebelumnya. ‘’Juga pernah

terjadi, PT yang sudah dilarang beroperasi karena melanggar analisis syarat-syarat izin,

tiba-tiba boleh beroperasi,’’ ungkapnya.

Sapto mencontohkan salah satu kabupaten di Indonesia bagian Timur. ‘’Ada lahan yang

tidak boleh digunakan untuk kegiatan usaha malah kemudian diizinkan oleh si pengganti.

Itu tidak boleh,’’ jelasnya.

Pejabat baru juga tak boleh membuat kebijakan pemekaran wilayah yang bertentangan

dengan kebijakan pejabat sebelumnya. ‘’Pada prinsipnya, kepala daerah dan wakilnya

harus harmonis, satu tubuh, tapi memang kenyataannya di lapangan cukup sulit,’’

katanya.

Karena itu, lanjut Sapto, PP 49/2008 berusaha meminimalisasi peluang kepala daerah dan wakilnya untuk berkompetisi. ‘’Akan sangat berbahaya jika mereka tidak mesra. Jadi, jangan mentang-mentang jadi pengganti kepala daerah lalu membuat kebijakan yang seolah-olah balas dendam,’’ tuturnya.(rdl/nw/jpnn)

Page 153: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

Pencampuradukan Politik dengan Pemerintahan *)

Oleh Syarief Makhya **)

Abdulah Fadrie Auli, Ketua Komisi C DPRD, beberapa kali menyampaikan undangan rapat dengar pendapat (hearing), tetapi tidak pernah dihadiri pejabat Pemerintah Provinsi Lampung karena tidak mendapat izin Gubernur Sjachroedin Z.P. (Lampost, 21-3). Ketidakhadiran dinas-dinas menghadiri undangan DPRD, hanyalah salah satu akibat dampak disharmonisasi hubungan DPRD dengan Gubernur yang berlangsung satu tahun lebih.Dampak lain, yaitu tidak dibahasnya RAPBD 2006, pencekalan dana perjalanan anggota DPRD, sampai kegiatan seremonial ulang tahun Provinsi Lampung yang gagal dilaksanakan. Jika, konflik DPRD dengan Gubernur Sjachroedin Z.P. tidak kunjung selesai, dampak perjalanan tiga tahun ke depan bisa diperkirakan akan jauh lebih dahsyat, antara lain terganggunya proses penyelenggaraan pemerintahan.Hingga sekarang, belum ada tanda-tanda yang memberikan harapan konflik akan berakhir, bahkan belakangan ini konflik itu kian meruncing. Potret yang terjadi sekarang, yaitu ada upaya saling menjatuhkan.Anggota DPRD yang mendukung SK No. 15/2005 berupaya mencari celah korupsi atau penyimpangan anggaran yang dilakukan pemerintah daerah, seperti kasus dana bantuan Rp124 miliar, sementara Gubernur berupaya mengehentikan dana-dana jatah anggota DPRD. Dalam kasus konflik DPRD dengan Gubernur, DPRD memang menjadi kuat, tetapi kekuatan kekuasaan tersebut tidak dipakai untuk men-check and balance.DPRD kemudian memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan merobohkan kepala daerah. Sementara itu, Gubernur juga memiliki posisi yang kuat karena mampu mempertahankan kekuasaan dari tekan politik DPRD, tapi kekuatan Gubernur menjadi kurang efektif karena tidak memiliki dukungan politik DPRD.Melihat fakta akibat konflik tersebut, ruang konflik seperti tidak bisa lokalisasi, sehingga berdampak pada proses penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Pada hal jika dicermati, akar konflik berawal dari proses pemilihan gubernur yang dianggap bermasalah sampai terjadi hilangnya kepercayaan DPRD terhadap Gubernur Sjachroedin Z.P. dan kemudian merembet pada aktivitas pemerintahan.

Jadi, subtansi konflik bersumber pada persoalan politik. Namun, dampaknya, kedua belah pihak memanfaatkan aktivitas pemerintahan sebagai alat unjuk kekuasaan. DPRD dengan otoritasnya tidak mau membahas RAPBD 2006 dan mengelar ulang tahun Lampung. Sementara itu, Gubernur Sjachroedin Z.P. juga dengan kewenangannya mengeluarkan instruksi agar dinas-dinas tidak perlu menghadiri undangan hearing dengan DPRD dan pencekalan dana anggota DPRD.Dalam konteks fenomena tersebut, terjadi pencampuradukan antara persoalan politik dan urusan administrasi pemerintahan. Pembahasan RAPBD, hearing, dan alokasi dana untuk DPRD adalah urusan administrasi pemerintahan yang harus berjalan sebagaimana mestinya, tanpa harus terpengaruh persoalan

Page 154: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

konflik. Sementara itu, SK No. 15/2005 adalah urusan politik karena terkait masalah dukungan dan legitimasi politik.Mungkinkah dalam persoalan konflik antara Gubernur Sjachroedin Z.P. dengan DPRD bisa dipilah antara persoalan politik dengan persoalan pemerintahan, sehingga keberlangsungan proses penyelenggaraan pemerintahan bisa terjaga dengan sewajarnya? Dan, apakah bisa dibenarkan ada intervensi politik dalam proses penyelenggara pemerintahan?Politik dan PemerintahanAntara aktivitas politik dengan aktivitas pemerintahan dalam praktek pemerintahan bisa ditelaah dalam dua bentuk. Pertama, dalam internal pemerintah daerah. Di lingkungan pemerintah daerah, dikenal ada yang namanya pejabat politik, yaitu gubernur dan wakil gubernur yang dipilih rakyat/DPRD, dan pejabat birokrasi yaitu jabatan karier di birokrasi pemerintahan, seperti sekretaris daerah, kepala dinas, dsb.Intervensi politik dalam birokrasi di negeri ini mempunyai catatan panjang. Pada masa Orde Baru intervensi bersifat monolitik oleh Golongan Karya (Golkar). Pada zaman Orde Baru, antara pejabat politik dan pejabat karier tidak bisa dipisahkan.Artinya, mereka yang menduduki jabatan di birokrasi juga aktif dan berafiliasi ke Golkar. Setelah reformasi, dengan banyaknya partai, intervensi terhadap birokrasi bersifat polisentris. "Intinya sama saja: Memanfaatkan birokrasi untuk partai."Jadi, walaupun birokrasi ditempatkan dalam kedudukan yang netral, dalam prakteknya muncul birokrasi partisan karena mereka sangat loyal dan berafiliasi politik kepada parpol yang menduduki jabatan politik, padahal secara formal PNS tidak menjadi salah satu anggota partai politik. Berkembangnya birokrasi partisan, berakibat birokrasi tidak mandiri dan tidak memiliki kekuatan penyeimbang kekuasaan dengan kedudukan pejabat politik.Implikasinya, pejabat birokrasi kemudian dijadikan alat untuk memperkuat dukungan dan legitimasi terhadap para pejabat politik. Kasus instruksi Gubernur Sjachroedin Z.P. terhadap kepala-kepala dinas agar tidak datang untuk hearing dengan DPRD adalah wujud birokrasi partisan.Kedua, aktivitas politik, secara kelembagaan lebih banyak diperankan lembaga perwakilan rakyat (DPRD) karena lembaga ini adalah pencerminan kedaulatan rakyat. Pemahaman politik dalam konteks aktivitas politik di DPRD harus dipahami dalam politik kebijakan, yaitu sebatas melakukan fungsi formulasi kebijakan dan kontrol terhadap implementasi kebijakan.UU No. 32/2004 Pasal 19 menyebutkan penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah dan DPRD. Pasal ini, secara jelas memosisikan kedudukan DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan.Implikasi pasal ini, aktivitas penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan bersama-sama antara DPRD dan kepala daerah. Aktivitas penyelenggaraan ini meliputi tugas-tugas desentralisasi dan tugas pembantuan.Ketentuan pasal ini menekankan baik kepala daerah maupun DPRD dalam aktivitas penyelenggaraan pemerintahan menekankan pada service sphere bukan pada political sphere. Pemahaman politik dalam perspektif UU No.

Page 155: BAB I PENDAHULUAN A .Latar Belakang Kajian tentang

32/2004 tidak menjangkau pada penjatuhan kepala daerah karena dalam UU ini tidak dikenal dengan sistem parlementer.Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 sama sekali tak dikenal pemakzulan (impeachment) terhadap kepala daerah melalui mosi tidak percaya. Sebab, tidak ada aturan yang memungkinkan masyarakat dapat secara langsung meng-impeach kepala daerah. Namun, DPRD bisa mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Presiden jika memenuhi ketentuan Pasal 29 atau diberhentikan sementara oleh Presiden apabila melakukan tindak pidana kejahatan (lihat Pasal 30--32).Kajian tersebut menunjukkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebenarnya ada pemisahan yang tegas antara sifat wewenang kepala daerah sebagai pejabat politik dan fungsi birokrasi. Artinya, spirit UU No. 32/2004 menekankan pada terwujudnya tertib pemerintahan sehingga fungsi pelayanan pada masyarakat tidak terganggu.Oleh sebab itu, kendati terjadi konflik antara DPRD dan Gubernur, proses penyelenggaraan pemerintahan harus terjaga dan bisa berfungsi sebagaimana mestinya.Politik 'Ngambang'Konflik DPRD Provinsi Lampung dengan Gubernur Lampung belum menemukan titik temu akan ada penyelesaian secara tuntas. Upaya kedua belah pihak agar pemerintah pusat segera mengambil keputusan yang tegas untuk penyelesaian konflik tersebut hingga sekarang juga belum bisa dilakukan.Singkat kata, terjadi kebuntuan untuk mencari jalan ke luar dalam penyelesaian konflik tersebut. Dari berbagai informasi, sikap pemerintah dalam penyelesaian konflik sampai pada suatu kesimpulan akan diambangkan sampai berakhirnya masa jabatan Sjachroedin sebagai gubernur Lampung pada 2008.Jika simpulan ini benar, penyelesaian konflik hanya dimungkinkan bisa dilakukan pada tingkat daerah, yaitu sangat bergantung pada Sjachroedin dengan DPRD, tidak lagi bergantung pemerintah pusat. Namun, jika tidak ada keinginan kedua belah pihak untuk rekonsiliasi, suasana disharmonisasi akan berlangsung panjang selama tiga tahun ke depan.Akhirnya, selain persoalan penyelesaian konflik harus diselesaikan Sjachroedin dengan DPRD, juga pemisahan antara politik dan pemerintahan menjadi penting dilakukan, sehingga dampak konflik bisa diminimalisasi dan tidak berakibat terganggunya aktivitas pemerintahan sehari-hari serta tidak hancur-hancuran. Untuk merealisasikan gagasan ini, kuncinya baik eksekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan di antara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Selain persoalan penyelesaian konflik harus diselesaikan Sjachroedin dengan DPRD, juga pemisahan antara politik dan pemerintahan menjadi penting untuk dilakukan agar dampak konflik bisa diminimalisasi. *) Dimuat di Lampung Post, 27 Maret 2006 **) StaPengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung