Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional,
merupakan salah satu upaya yang mencakup beberapa aspek kehidupan masyarakat
dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Berkaitan
dengan upaya tersebut, maka perlu dilaksanakannya program-program yang dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Salah satu program tersebut adalah
pemberian kredit oleh perbankan kepada masyarakat sehingga dapat memperkuat
permodalan yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang perbankan,
fungsi utama bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Dengan demikian, sebagai pihak yang memiliki dana yang cukup banyak (surplus
of founds), bank dalam fungsinya dapat memberikan pinjaman kepada pihak yang
membutuhkan atau kekurangan dana dengan didasari oleh hukum jaminan.1
Menurut J. Satrio hukum jaminan diartikan sebagai peraturan hukum yang
mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang
debitur.2 Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan bahwa hukum jaminan
1 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.19 2 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,2012, hlm.9.
2
adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara
pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan
untuk mendapatkan fasilitas kredit. Namun jangan salah dalam mendefinisian suatu
arti dari “hukum jaminan”.
Hukum jaminan dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah
zekeeidsrechten memiliki arti yang berbeda. Recht dalam Bahasa Jerman memiiliki
arti yang bermacam-macam. Pertama ia bisa berarti hukum (law), tetapi juga hak
(right) atau keadilan (just).3 Pitlo juga memberikan rumusan tentang
zekerheidsrechten sebagai : hak (een recht) yang memberikan kreditur kedudukan
yang lebih baik dari kreditor-krditor lain. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa hukum jaminan tidak berarti ketentuan yang mengatur hubungan hukum
antara kreditur dan debitur sebagai akibat dari pembebanan suatu hutang tertentu
dengan suatu jaminan saja, namun juga sebagai penjamin hak-hak yang mengatur
perlindungan hukum terhadap para pihak khususnya kreditur dalam memberikan
fasilitas kredit tersebut.
Secara yuridis, Undang-undang yang berlaku di Indonesia telah
memberikan jaminan atau perlindungan hukum kepada kreditur sebagai penyalur
dan penghimpun dana dalam berbagai bentuk transakasi keuangan di masyarakat.
Hal ini telah diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu :
3 Sir John Salmond “Jurisprudence” cetakan ke X, tahun 1947 hal. 8; sir Paul Vinograoff
“Common sense in law” cetakan ke-2, hal. 45, hanya menunjuk 2 arti dari kata recht, yaitu sebagai law
dan right; L.v. Apeldoorn, “Inleiing tot de stude van het Nederlandse Recht, cetakan ke 11, hal. 32,
membedakan arti recht dalam : hubungan hukum, dan peraturan.
3
“Segala harta kekayaan Debitur, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang akan ada di
kemudian hari menjadi tanggungan/jaminan atas hutang-hutangnya”. 4
Namun dalam pasal ini, jaminan yang dimaksud masih bersifat umum
atau dengan kata lain benda jaminan itu tidak ditunjuk secara khusus dan tidak
diperuntukan bagi kreditur tertentu. Hal ini disebabkan karena semua kreditur
mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditor-kreditor lain, yang berarti
tidak ada kreditur yang diutamakan atau diistimewakan dari kreditur-kreditur
lainnya. Dengan jaminan umum tersebut kreditor tidak mengetahui secara
persis berapa jumlah harta kekayaan debitor yang ada sekarang dan yang akan
ada di kemudian hari, serta kepada siapa saja berutang, sehingga khawatir hasil
penjualan harta kekayaan debitor nantinya tidak cukup untuk melunasi hutang-
hutangnya. Hal ini menyebabkan jaminan yang bersifat umum tersebut
dianggap belum memberikan perlindungan hukum secara maksimal bagi
kreditor selaku pemberi pinjaman kepada debitor dalam hal pelunasan
hutangnya.
Oleh karena itu, pembentuk undang-undang memberikan kepastian bagi
kreditor dalam bentuk jaminan khusus, yang obyeknya juga milik debitor hanya
saja ditunjuk secara tertentu dan diperuntukan bagi kreditur tertentu yang
bersifat kebendaan maupun bersifat perorangan. Jaminan khusus ini timbul
karena adanya perjanjian khusus antara debitur dan kreditur dengan tujuan
4 Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4
adanya kepastian hukum bagi kreditur atas pelunasan hutang atau pelasanaan
suatu prestasi tertentu sebagaimana yang telah diperjanjikan oleh debitur atau
pihak ketiga.
Dalam hukum perdata, jaminan kebendaan ini kemudian dikategorikan
menjadi dua, yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. Jaminan tersebut
memiliki arti penting dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan
penyerahan, daluarsa, kedudukan berkuasa, dan pembebanan/jaminan. Adanya
pembedaan tersebut menentukan jenis jaminan/ikatan kredit yang dapat
digunakan sebagai jaminan kredit. Jika benda jaminan itu berupa benda
bergerak, maka lembaga jaminannya berbentuk gadai atau fidusia. Jika benda
jaminan itu berbentuk benda tidak bergerak, maka lembaga jaminannya adalah
hipotik atau credietverband.
Lembaga-lembaga hak jaminan kemudian mengalami beberapa
perubahan dalam pelaksanaan penjaminan dan eksekusinya. Hal ini disebabkan
karena dalam penerapannya belum memberikan kepastian hukum dan
perlindungan bagi semua pihak yang berkepentingan. Khususnya, hal-hal yang
menyangkut pengaturan mengenai bumi,air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya yang ada dalam pasal-pasal buku kedua Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Ketentuan tersebut dicabut oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 kecuali ketentuan mengenai hypotik yang masih berlaku
pada mulai berlakunya undang-undang ini. Dalam ketentuan Pasal 51 UUPA,
sebenarnya sudah ada lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan
5
pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan, sebagai pengganti Hipoteek dan
Credietverband. Hal ini disebabkan karena perundang-undangan yang berasal
dari jaman colonial Belanda tersebut tidak sesuai dengan asas-asas Hukum
Tanah Nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung
perkembangan yang terjadi dalam bidang pengkreditan dan hak jaminan
sebagai akibat dari kemajuan ekonomi.
Setelah menunggu selama 34 tahun sejak Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria , barulah kemudian
Undang-Undang Hak Tanggungan dibuat. Dengan lahirnya UU Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Berserta Benda-benda yang
Berkaitan dengan Tanah maka segala peraturan tentang tanah sebagai jaminan
tersebut memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap para pihak
baik dalam pelaksanaan maupun dalam eksekusinya.5
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan yang dimaksud dengan Hak tanggungan adalah :
“Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, yang selanjutnya di sebut hak tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur terhadap kreditur-kreditur lainnya”.6
5 Habib Adjie, 2008, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan atas Tanah, Bandung,
Mandar Maju, hal. 6 6 Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
6
Dari ketentuan di atas, maka Hak Tanggungan pada dasarnya hanya
dibebankan pada hak atas tanah dan juga seringkali terdapat benda-benda
diatasnya yang bisa berupa bangunan, tanaman dan hasil-hasil lainnya yang
secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan
sebagaimana yang dimaksud dalam perjanjian yang dibuat bersama
sebelumnya.
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui dua (2) tahap
kegiatan, yaitu:
a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut
PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;
b. Tahap pendaftaraanya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat
lahirnya Hak Tanggungan yang diberikan.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hak tanggungan akan lahir jika telah
dibuat dalam bentuk akta otentik dan didaftarkan dalam kantor pertanahan.
Menurut pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, Obyek Hak Tanggungan harus berupa hak atas tanah yang dapat
dialihkan oleh pemegang haknya yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan
Hak Guna Bangunan serta Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut
ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah
tangankan dan dapat juga di bebani Hak Tanggungan.
7
Hak tanggungan sebagai salah satu lembaga hak jaminan atas tanah untuk
pelunasan utang tertentu sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 3
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya.
2. Selalui mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek
itu berada.
3. Memenuhi asas spesialis dan pubisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi
Dengan adanya ciri-ciri diatas menjadikan Hak Tanggungan memiliki
kedudukan yang kuat dalam hukum jaminan mengenai tanah. Kredit yang dijamin
dengan hak atas tanah tersebut, apabila debitur tidak lagi mampu melunasi
hutangnya dan terjadi wanprestasi sampai menyebabkan kredit macet, maka pihak
kreditur tentunya tidak mau dirugikan dan akan mengambil pelunasan hutang
debitur tersebut dengan cara mengeksekusi jaminan kredit tersebut dengan cara
menjualnya melalui system pelelangan umum agar debitur juga tidak terlalu
dirugikan karena kemungkinan masih ada sisa atas penjualan dan atau hasil
pelelangan jaminan yang diberikan kepada kreditur.7
7 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, 2008,hal.186.
8
Eksekusi merupakan upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah
kepada pihak yang menang dalam berperkara di pengadilan. Sedangkan hukum
eksekusi merupakan hukum yang mengatur hak ihkwal pelaksanaan putusan
Hakim. Dalam hal ini sebagaimana biasanya eksekusi Hak Tanggungan
bukanlah merupakan eksekusi riil, akan tetapi yang berhubungan dengan
penjualan dengan cara melelang obyek Hak Tanggungan, dan apabila ada
sisanya dikembalikan kepada kreditur.8
Eksekusi Hak Tanggungan melalui pelalangan umum sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan ditentukan bahwa :
“Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut
tata cara yang dibutuhkan dalam peraturan perundang-undangan
untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak
mendahului dari pada kreditur-kreditur lainnya”.
Dari ketentuan diatas terlihat bahwa eksekusi atas Hak Tanggungan
tidaklah termasuk eksekusi riil, tetapi eksekusi yang mendasarkan pada alas hak
eksekusi yang bertitel atau irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa”. Dengan demikian, maka sertifikat Hak Tanggugan mempuya
titel eksekutorial, yang berlaku adalah Peraturan mengenai Eksekusi yang
dikenal dengan Parate Eksekusi yang diatur dalam pasal 224 HIR/pasal 258
Rbg.
8 Ibid, hal. 69
9
Dalam praktek pemberian kredit dengan jaminan berupa Hak
Tanggungan atas tanah, masih banyak ditemukan kendala yang dapat memicu
terhambatnya perlindungan kepentingan pihak kreditur atas Hak Tanggungan
tersebut. Untuk mengetahui hambatan-hambatan tersebut, penulis menganalisis
sebuah Putusan Nomor 999/pdt.G/2013/Pn.Sby agar dapat menjawab
bagaimana keabsahan pemasangan hak tanggungan dan apa yang menjadi dasar
pertimbangan hakim untuk melindungi kepentingan kreditor.
Dalam kasus perdata Nomor 999/Pdt.G/2013/Pn.Sby, PT. Bank UOB
Tbk selaku Penggugat yang bergerak dalam jasa perbankan telah memberikan
pinjaman fasilitas kredit kepada Timbul Daud Nainggolan sesuai dengan
Perjanjian Kredit No. 01 tertanggal 1 November 2011 yang dibuat dihadapan
Notaris/PPAT Anita Anggawidjaja, SH dalam jangka waktu 1 November 2011
sampai dengan 1 November 2012. Timbul Daud Nainggolan menyerahkan
jaminan sebidang tanah berikut bangunan sebagaimana Sertifikat Hak Guna
Bangunan No. 6281, seluas 409 M2, sebagaimana terurai dalam Surat Ukur
tertanggal 07.09.2009 No.185/Manukan Kulon/2009, setempat terletak dan
dikenal Jl. Raya Manukan Tama No.51 Kota Surabaya. Kemudian SGHB yang
dijaminkan Tergugat ternyata sudah pernah dibebankan Hak Tanggungan
sebelumnya pada PT. Bank Mandiri namun belum di cabut/ di roya. Oleh
karenanya Tergugat membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
No. 227/2013 tanggal 27 Maret 2013 serta menyertakan Bukti Pelunasan
kepada Bank Mandiri untuk diroya pembebanannya dan dialihkan
10
pemebebanannya kepada PT. Bank UOB Tbk. Oleh karena tidak dapat
melakukan peralihan hak dan mendaftarkan APHT ke kantor pertanahan, maka
sampai kasus ini terselenggara, Hak Tanggungan masih juga dipegang oleh
PT.Bank Mandiri dan belum dialihkan kepada PT. Bank UOB sementara
fasilitas kredit sudah diberikan kepada Tergugat dan Tergugat terbukti
melakukan perbuatan wanprestasi.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan tersebut, maka
penulis mengambil, memilih, dan menyusun skripsi ini dengan judul
“PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR ( Studi Kasus Putusan
Nomor 999/Pdt.G/2013/Pn.Sby)” , agar mengetahui lebih jauh bagaimana
keabsahan hak tanggungan memberikan perlindungan kepada kreditor dan
perlindungan yang bagaimakah yang diberikan hakim dalam putusan tersebut.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
pokok penelitian mengenai: Keabsahan Pemasangan Hak Tanggungan sebagai
bentuk Perlindungan Hukum bagi Kreditur. Sehingga berdasarkan pokok penelitian
di atas, maka terdapat beberapa pertanyaan penuntun yang tujuannya agar pokok
penelitian dapat terjawab, yaitu:
1. Bagaimana keabsahan pemasangan Hak Tanggungan dalam kasus
perdata nomor 999/pdt.g/2013/Pn.Sby?
11
2. Apakah pertimbangan hakim dalam kasus tersebut mencerminkan
perlindungan hukum terhadap kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan dengan permasalahan yang penulis rumuskan di atas, maka
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana keabsahan pemasangan
Hak Tanggungan dalam kasus perdata nomor 999/pdt.g/2013/Pn.Sby.
2. Untuk mengatahui bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus
suatu perkara yang mencerminkan perlindungan hukum terhadap
kreditor pemegang hak jaminan kebendaan.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang cukup dalam pengembangan ilmu hukum, yang
berkaitan dengan ilmu keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum
perjanjian, jaminan, hak tanggungan, dan perbankan.
2. Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap para
praktisi hukum serta pihak-pihak lainnya dalam mengkaji dan menelaah
12
hak tanggungan, terutama mengenai perlindungan hukum bagi kreditor
pemegang hak tanggungan.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis terdiri dari jenis penelitian,
metode pendekatan, dan jenis bahan hukum yang digunakan.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab pertanyaan yang telah
dirumuskan dalam skripsi ini yaitu menggunakan penelitian yuridis
normative.9 Yuridis normative adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
untuk menjawab isu hukum yang akan diteliti. Penelitian ini berusaha
mengkontruksikan suatu langkah-langkah, tahap atau prosedur
pemasangan Hak Tanggungan sebagai wujud perlindungan terhadap
kreditur.
2. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
Pendekatan kasus
Metode pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
pendekatan hukum yang didasarkan pada studi kasus putusan Nomor
9 Johny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Jawa Timur, 2009, hal. 45.
13
999/pdt.G/2013/Pn.Sby, prinsipnya adalah menganalisis persoalan
tentang keabsahan pemasangan Hak Tanggungan terhadap kreditur.
Metode penelitian bertujuan untuk mengetahui sah tidaknya
pemasangan Hak Tanggungan sehingga menimbulkan hak Priveledge
bagi kreditur.
3. Bahan Hukum
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan sekunder,
sedangkan teknik pengumpulan bahan yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah studi kepustakaan, yakni penelitian terhadap berbagai data
sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian.10
Data penelitian diperoleh melalui studi pustaka, meliputi:
(a) Bahan hukum primer berupa kepustakaan, peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan Hak Tanggungan, bahan-bahan
hukum primer yang digunakan adalah :
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (HIR);
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA);
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan;
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
10 Amirrudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
hal.32.
14
(b) Bahan hukum sekunder, adalah data yang berasal dari beberapa
literatur, bahan kuliah, pendapat para pakar, yang berhubungan
dengan isu yang dibahas.
(c) Bahan hukum tersier, adalah kasus dan ansiklopedia yang memuat
pengertian yang dibutuhkan dalam penelitian ini, baik yang
diperoleh dari perpustakaan maupun ari media elektronik.
Unit Amatan dan Analisis
a. Unit Amatan
Unit amatannya adalah kasus putusan Nomor 999/Pdt.G/2013/Pn.Sby
dimana amar putusan dalam putusan ini adalah dikabulkan sebagian
oleh hakim. Penyelesaian kasus dengan pendekatan yuridis normatif,
yaitu penelitian yang berbasis pada ilmu hukum normatif ( peraturan
perundang-undangan) dengan menkaji sistem suatu norma dalam
peraturan yang digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam
memutuskan bagaimanakah perlindungan kreditur terhadap keabsahan
pembebanan Hak Tanggungan. Hal ini berkaitan dengan Hak
Tanggungan sebagai jaminan kreditur dalam pelunasan hutangnya.
Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-
Undang Dasar Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(BW), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok agrarian (UUPA), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
15
tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan.
b. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah tentang perihal keabsahan
pemasangan Hak Tanggungan dan bagaimana perlindungan terhadap
keabsahan yang ditimbulkan bagi kreditur.