15
1 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya yang mencakup beberapa aspek kehidupan masyarakat dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Berkaitan dengan upaya tersebut, maka perlu dilaksanakannya program-program yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Salah satu program tersebut adalah pemberian kredit oleh perbankan kepada masyarakat sehingga dapat memperkuat permodalan yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang perbankan, fungsi utama bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dengan demikian, sebagai pihak yang memiliki dana yang cukup banyak ( surplus of founds), bank dalam fungsinya dapat memberikan pinjaman kepada pihak yang membutuhkan atau kekurangan dana dengan didasari oleh hukum jaminan. 1 Menurut J. Satrio hukum jaminan diartikan sebagai peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. 2 Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan bahwa hukum jaminan 1 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.19 2 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,2012, hlm.9.

BAB I PENDAHULUAN · 2019. 6. 27. · 4 . adanya kepastian hukum bagi kreditur atas pelunasan hutang atau pelasanaan suatu prestasi tertentu sebagaimana yang telah diperjanjikan oleh

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    BAB I PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional,

    merupakan salah satu upaya yang mencakup beberapa aspek kehidupan masyarakat

    dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan

    Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Berkaitan

    dengan upaya tersebut, maka perlu dilaksanakannya program-program yang dapat

    meningkatkan taraf hidup masyarakat. Salah satu program tersebut adalah

    pemberian kredit oleh perbankan kepada masyarakat sehingga dapat memperkuat

    permodalan yang nantinya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.

    Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang perbankan,

    fungsi utama bank adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.

    Dengan demikian, sebagai pihak yang memiliki dana yang cukup banyak (surplus

    of founds), bank dalam fungsinya dapat memberikan pinjaman kepada pihak yang

    membutuhkan atau kekurangan dana dengan didasari oleh hukum jaminan.1

    Menurut J. Satrio hukum jaminan diartikan sebagai peraturan hukum yang

    mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang

    debitur.2 Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan bahwa hukum jaminan

    1 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.19 2 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,2012, hlm.9.

  • 2

    adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara

    pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan

    untuk mendapatkan fasilitas kredit. Namun jangan salah dalam mendefinisian suatu

    arti dari “hukum jaminan”.

    Hukum jaminan dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah

    zekeeidsrechten memiliki arti yang berbeda. Recht dalam Bahasa Jerman memiiliki

    arti yang bermacam-macam. Pertama ia bisa berarti hukum (law), tetapi juga hak

    (right) atau keadilan (just).3 Pitlo juga memberikan rumusan tentang

    zekerheidsrechten sebagai : hak (een recht) yang memberikan kreditur kedudukan

    yang lebih baik dari kreditor-krditor lain. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan

    bahwa hukum jaminan tidak berarti ketentuan yang mengatur hubungan hukum

    antara kreditur dan debitur sebagai akibat dari pembebanan suatu hutang tertentu

    dengan suatu jaminan saja, namun juga sebagai penjamin hak-hak yang mengatur

    perlindungan hukum terhadap para pihak khususnya kreditur dalam memberikan

    fasilitas kredit tersebut.

    Secara yuridis, Undang-undang yang berlaku di Indonesia telah

    memberikan jaminan atau perlindungan hukum kepada kreditur sebagai penyalur

    dan penghimpun dana dalam berbagai bentuk transakasi keuangan di masyarakat.

    Hal ini telah diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu :

    3 Sir John Salmond “Jurisprudence” cetakan ke X, tahun 1947 hal. 8; sir Paul Vinograoff

    “Common sense in law” cetakan ke-2, hal. 45, hanya menunjuk 2 arti dari kata recht, yaitu sebagai law

    dan right; L.v. Apeldoorn, “Inleiing tot de stude van het Nederlandse Recht, cetakan ke 11, hal. 32,

    membedakan arti recht dalam : hubungan hukum, dan peraturan.

  • 3

    “Segala harta kekayaan Debitur, baik yang bergerak maupun yang

    tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang akan ada di

    kemudian hari menjadi tanggungan/jaminan atas hutang-hutangnya”. 4

    Namun dalam pasal ini, jaminan yang dimaksud masih bersifat umum

    atau dengan kata lain benda jaminan itu tidak ditunjuk secara khusus dan tidak

    diperuntukan bagi kreditur tertentu. Hal ini disebabkan karena semua kreditur

    mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditor-kreditor lain, yang berarti

    tidak ada kreditur yang diutamakan atau diistimewakan dari kreditur-kreditur

    lainnya. Dengan jaminan umum tersebut kreditor tidak mengetahui secara

    persis berapa jumlah harta kekayaan debitor yang ada sekarang dan yang akan

    ada di kemudian hari, serta kepada siapa saja berutang, sehingga khawatir hasil

    penjualan harta kekayaan debitor nantinya tidak cukup untuk melunasi hutang-

    hutangnya. Hal ini menyebabkan jaminan yang bersifat umum tersebut

    dianggap belum memberikan perlindungan hukum secara maksimal bagi

    kreditor selaku pemberi pinjaman kepada debitor dalam hal pelunasan

    hutangnya.

    Oleh karena itu, pembentuk undang-undang memberikan kepastian bagi

    kreditor dalam bentuk jaminan khusus, yang obyeknya juga milik debitor hanya

    saja ditunjuk secara tertentu dan diperuntukan bagi kreditur tertentu yang

    bersifat kebendaan maupun bersifat perorangan. Jaminan khusus ini timbul

    karena adanya perjanjian khusus antara debitur dan kreditur dengan tujuan

    4 Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  • 4

    adanya kepastian hukum bagi kreditur atas pelunasan hutang atau pelasanaan

    suatu prestasi tertentu sebagaimana yang telah diperjanjikan oleh debitur atau

    pihak ketiga.

    Dalam hukum perdata, jaminan kebendaan ini kemudian dikategorikan

    menjadi dua, yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. Jaminan tersebut

    memiliki arti penting dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan

    penyerahan, daluarsa, kedudukan berkuasa, dan pembebanan/jaminan. Adanya

    pembedaan tersebut menentukan jenis jaminan/ikatan kredit yang dapat

    digunakan sebagai jaminan kredit. Jika benda jaminan itu berupa benda

    bergerak, maka lembaga jaminannya berbentuk gadai atau fidusia. Jika benda

    jaminan itu berbentuk benda tidak bergerak, maka lembaga jaminannya adalah

    hipotik atau credietverband.

    Lembaga-lembaga hak jaminan kemudian mengalami beberapa

    perubahan dalam pelaksanaan penjaminan dan eksekusinya. Hal ini disebabkan

    karena dalam penerapannya belum memberikan kepastian hukum dan

    perlindungan bagi semua pihak yang berkepentingan. Khususnya, hal-hal yang

    menyangkut pengaturan mengenai bumi,air serta kekayaan alam yang

    terkandung di dalamnya yang ada dalam pasal-pasal buku kedua Kitab Undang-

    Undang Hukum Perdata. Ketentuan tersebut dicabut oleh Undang-Undang

    Nomor 5 Tahun 1960 kecuali ketentuan mengenai hypotik yang masih berlaku

    pada mulai berlakunya undang-undang ini. Dalam ketentuan Pasal 51 UUPA,

    sebenarnya sudah ada lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan

  • 5

    pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan, sebagai pengganti Hipoteek dan

    Credietverband. Hal ini disebabkan karena perundang-undangan yang berasal

    dari jaman colonial Belanda tersebut tidak sesuai dengan asas-asas Hukum

    Tanah Nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung

    perkembangan yang terjadi dalam bidang pengkreditan dan hak jaminan

    sebagai akibat dari kemajuan ekonomi.

    Setelah menunggu selama 34 tahun sejak Undang-Undang Nomor 5

    tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria , barulah kemudian

    Undang-Undang Hak Tanggungan dibuat. Dengan lahirnya UU Nomor 4

    Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Berserta Benda-benda yang

    Berkaitan dengan Tanah maka segala peraturan tentang tanah sebagai jaminan

    tersebut memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap para pihak

    baik dalam pelaksanaan maupun dalam eksekusinya.5

    Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

    Tanggungan yang dimaksud dengan Hak tanggungan adalah :

    “Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan

    dengan tanah, yang selanjutnya di sebut hak tanggungan adalah hak

    jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana

    dimaksud dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang

    Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut

    benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,

    untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang

    diutamakan kepada kreditur terhadap kreditur-kreditur lainnya”.6

    5 Habib Adjie, 2008, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan atas Tanah, Bandung,

    Mandar Maju, hal. 6 6 Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

  • 6

    Dari ketentuan di atas, maka Hak Tanggungan pada dasarnya hanya

    dibebankan pada hak atas tanah dan juga seringkali terdapat benda-benda

    diatasnya yang bisa berupa bangunan, tanaman dan hasil-hasil lainnya yang

    secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan

    sebagaimana yang dimaksud dalam perjanjian yang dibuat bersama

    sebelumnya.

    Proses pembebanan Hak Tanggungan dilakukan melalui dua (2) tahap

    kegiatan, yaitu:

    a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak

    Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut

    PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;

    b. Tahap pendaftaraanya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat

    lahirnya Hak Tanggungan yang diberikan.

    Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa hak tanggungan akan lahir jika telah

    dibuat dalam bentuk akta otentik dan didaftarkan dalam kantor pertanahan.

    Menurut pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

    Tanggungan, Obyek Hak Tanggungan harus berupa hak atas tanah yang dapat

    dialihkan oleh pemegang haknya yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan

    Hak Guna Bangunan serta Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut

    ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah

    tangankan dan dapat juga di bebani Hak Tanggungan.

  • 7

    Hak tanggungan sebagai salah satu lembaga hak jaminan atas tanah untuk

    pelunasan utang tertentu sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pasal 3

    Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, memiliki ciri-ciri

    sebagai berikut :

    1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada

    pemegangnya.

    2. Selalui mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek

    itu berada.

    3. Memenuhi asas spesialis dan pubisitas sehingga dapat mengikat pihak

    ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang

    berkepentingan.

    4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi

    Dengan adanya ciri-ciri diatas menjadikan Hak Tanggungan memiliki

    kedudukan yang kuat dalam hukum jaminan mengenai tanah. Kredit yang dijamin

    dengan hak atas tanah tersebut, apabila debitur tidak lagi mampu melunasi

    hutangnya dan terjadi wanprestasi sampai menyebabkan kredit macet, maka pihak

    kreditur tentunya tidak mau dirugikan dan akan mengambil pelunasan hutang

    debitur tersebut dengan cara mengeksekusi jaminan kredit tersebut dengan cara

    menjualnya melalui system pelelangan umum agar debitur juga tidak terlalu

    dirugikan karena kemungkinan masih ada sisa atas penjualan dan atau hasil

    pelelangan jaminan yang diberikan kepada kreditur.7

    7 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, 2008,hal.186.

  • 8

    Eksekusi merupakan upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah

    kepada pihak yang menang dalam berperkara di pengadilan. Sedangkan hukum

    eksekusi merupakan hukum yang mengatur hak ihkwal pelaksanaan putusan

    Hakim. Dalam hal ini sebagaimana biasanya eksekusi Hak Tanggungan

    bukanlah merupakan eksekusi riil, akan tetapi yang berhubungan dengan

    penjualan dengan cara melelang obyek Hak Tanggungan, dan apabila ada

    sisanya dikembalikan kepada kreditur.8

    Eksekusi Hak Tanggungan melalui pelalangan umum sebagaimana

    yang telah diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

    tentang Hak Tanggungan ditentukan bahwa :

    “Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut

    tata cara yang dibutuhkan dalam peraturan perundang-undangan

    untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak

    mendahului dari pada kreditur-kreditur lainnya”.

    Dari ketentuan diatas terlihat bahwa eksekusi atas Hak Tanggungan

    tidaklah termasuk eksekusi riil, tetapi eksekusi yang mendasarkan pada alas hak

    eksekusi yang bertitel atau irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

    yang Maha Esa”. Dengan demikian, maka sertifikat Hak Tanggugan mempuya

    titel eksekutorial, yang berlaku adalah Peraturan mengenai Eksekusi yang

    dikenal dengan Parate Eksekusi yang diatur dalam pasal 224 HIR/pasal 258

    Rbg.

    8 Ibid, hal. 69

  • 9

    Dalam praktek pemberian kredit dengan jaminan berupa Hak

    Tanggungan atas tanah, masih banyak ditemukan kendala yang dapat memicu

    terhambatnya perlindungan kepentingan pihak kreditur atas Hak Tanggungan

    tersebut. Untuk mengetahui hambatan-hambatan tersebut, penulis menganalisis

    sebuah Putusan Nomor 999/pdt.G/2013/Pn.Sby agar dapat menjawab

    bagaimana keabsahan pemasangan hak tanggungan dan apa yang menjadi dasar

    pertimbangan hakim untuk melindungi kepentingan kreditor.

    Dalam kasus perdata Nomor 999/Pdt.G/2013/Pn.Sby, PT. Bank UOB

    Tbk selaku Penggugat yang bergerak dalam jasa perbankan telah memberikan

    pinjaman fasilitas kredit kepada Timbul Daud Nainggolan sesuai dengan

    Perjanjian Kredit No. 01 tertanggal 1 November 2011 yang dibuat dihadapan

    Notaris/PPAT Anita Anggawidjaja, SH dalam jangka waktu 1 November 2011

    sampai dengan 1 November 2012. Timbul Daud Nainggolan menyerahkan

    jaminan sebidang tanah berikut bangunan sebagaimana Sertifikat Hak Guna

    Bangunan No. 6281, seluas 409 M2, sebagaimana terurai dalam Surat Ukur

    tertanggal 07.09.2009 No.185/Manukan Kulon/2009, setempat terletak dan

    dikenal Jl. Raya Manukan Tama No.51 Kota Surabaya. Kemudian SGHB yang

    dijaminkan Tergugat ternyata sudah pernah dibebankan Hak Tanggungan

    sebelumnya pada PT. Bank Mandiri namun belum di cabut/ di roya. Oleh

    karenanya Tergugat membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

    No. 227/2013 tanggal 27 Maret 2013 serta menyertakan Bukti Pelunasan

    kepada Bank Mandiri untuk diroya pembebanannya dan dialihkan

  • 10

    pemebebanannya kepada PT. Bank UOB Tbk. Oleh karena tidak dapat

    melakukan peralihan hak dan mendaftarkan APHT ke kantor pertanahan, maka

    sampai kasus ini terselenggara, Hak Tanggungan masih juga dipegang oleh

    PT.Bank Mandiri dan belum dialihkan kepada PT. Bank UOB sementara

    fasilitas kredit sudah diberikan kepada Tergugat dan Tergugat terbukti

    melakukan perbuatan wanprestasi.

    Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan tersebut, maka

    penulis mengambil, memilih, dan menyusun skripsi ini dengan judul

    “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITOR ( Studi Kasus Putusan

    Nomor 999/Pdt.G/2013/Pn.Sby)” , agar mengetahui lebih jauh bagaimana

    keabsahan hak tanggungan memberikan perlindungan kepada kreditor dan

    perlindungan yang bagaimakah yang diberikan hakim dalam putusan tersebut.

    Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merumuskan

    pokok penelitian mengenai: Keabsahan Pemasangan Hak Tanggungan sebagai

    bentuk Perlindungan Hukum bagi Kreditur. Sehingga berdasarkan pokok penelitian

    di atas, maka terdapat beberapa pertanyaan penuntun yang tujuannya agar pokok

    penelitian dapat terjawab, yaitu:

    1. Bagaimana keabsahan pemasangan Hak Tanggungan dalam kasus

    perdata nomor 999/pdt.g/2013/Pn.Sby?

  • 11

    2. Apakah pertimbangan hakim dalam kasus tersebut mencerminkan

    perlindungan hukum terhadap kreditor pemegang hak jaminan

    kebendaan?

    Tujuan Penelitian

    Berdasarkan dengan permasalahan yang penulis rumuskan di atas, maka

    tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

    1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana keabsahan pemasangan

    Hak Tanggungan dalam kasus perdata nomor 999/pdt.g/2013/Pn.Sby.

    2. Untuk mengatahui bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus

    suatu perkara yang mencerminkan perlindungan hukum terhadap

    kreditor pemegang hak jaminan kebendaan.

    Manfaat Penelitian

    1. Manfaat akademis

    Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

    kontribusi yang cukup dalam pengembangan ilmu hukum, yang

    berkaitan dengan ilmu keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum

    perjanjian, jaminan, hak tanggungan, dan perbankan.

    2. Manfaat praktis

    Secara praktis, penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap para

    praktisi hukum serta pihak-pihak lainnya dalam mengkaji dan menelaah

  • 12

    hak tanggungan, terutama mengenai perlindungan hukum bagi kreditor

    pemegang hak tanggungan.

    Metode Penelitian

    Metode penelitian yang digunakan penulis terdiri dari jenis penelitian,

    metode pendekatan, dan jenis bahan hukum yang digunakan.

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab pertanyaan yang telah

    dirumuskan dalam skripsi ini yaitu menggunakan penelitian yuridis

    normative.9 Yuridis normative adalah suatu proses untuk menemukan

    aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum

    untuk menjawab isu hukum yang akan diteliti. Penelitian ini berusaha

    mengkontruksikan suatu langkah-langkah, tahap atau prosedur

    pemasangan Hak Tanggungan sebagai wujud perlindungan terhadap

    kreditur.

    2. Metode pendekatan

    Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

    Pendekatan kasus

    Metode pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan

    pendekatan hukum yang didasarkan pada studi kasus putusan Nomor

    9 Johny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,

    Jawa Timur, 2009, hal. 45.

  • 13

    999/pdt.G/2013/Pn.Sby, prinsipnya adalah menganalisis persoalan

    tentang keabsahan pemasangan Hak Tanggungan terhadap kreditur.

    Metode penelitian bertujuan untuk mengetahui sah tidaknya

    pemasangan Hak Tanggungan sehingga menimbulkan hak Priveledge

    bagi kreditur.

    3. Bahan Hukum

    Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan sekunder,

    sedangkan teknik pengumpulan bahan yang dilakukan dalam penelitian

    ini adalah studi kepustakaan, yakni penelitian terhadap berbagai data

    sekunder yang berhubungan dengan obyek penelitian.10

    Data penelitian diperoleh melalui studi pustaka, meliputi:

    (a) Bahan hukum primer berupa kepustakaan, peraturan perundang-

    undangan yang berkaitan dengan Hak Tanggungan, bahan-bahan

    hukum primer yang digunakan adalah :

    - Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (HIR);

    - Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

    Pokok-Pokok Agraria (UUPA);

    - Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

    Tanggungan;

    - Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang perubahan

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

    10 Amirrudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,

    hal.32.

  • 14

    (b) Bahan hukum sekunder, adalah data yang berasal dari beberapa

    literatur, bahan kuliah, pendapat para pakar, yang berhubungan

    dengan isu yang dibahas.

    (c) Bahan hukum tersier, adalah kasus dan ansiklopedia yang memuat

    pengertian yang dibutuhkan dalam penelitian ini, baik yang

    diperoleh dari perpustakaan maupun ari media elektronik.

    Unit Amatan dan Analisis

    a. Unit Amatan

    Unit amatannya adalah kasus putusan Nomor 999/Pdt.G/2013/Pn.Sby

    dimana amar putusan dalam putusan ini adalah dikabulkan sebagian

    oleh hakim. Penyelesaian kasus dengan pendekatan yuridis normatif,

    yaitu penelitian yang berbasis pada ilmu hukum normatif ( peraturan

    perundang-undangan) dengan menkaji sistem suatu norma dalam

    peraturan yang digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam

    memutuskan bagaimanakah perlindungan kreditur terhadap keabsahan

    pembebanan Hak Tanggungan. Hal ini berkaitan dengan Hak

    Tanggungan sebagai jaminan kreditur dalam pelunasan hutangnya.

    Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah Undang-

    Undang Dasar Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

    (BW), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

    Pokok-Pokok agrarian (UUPA), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

  • 15

    tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

    tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang

    Perbankan.

    b. Unit Analisis

    Unit analisis dalam penelitian ini adalah tentang perihal keabsahan

    pemasangan Hak Tanggungan dan bagaimana perlindungan terhadap

    keabsahan yang ditimbulkan bagi kreditur.